Dua hari lagi tahun baru
tiba. Puteri Shalina melihat kesibukan di istana. Para
pegawai istana sibuk menghias istana, merangkai bunga, menyiapkan makanan
dan minuman untuk menyambut perayaan
tahun baru. Beberapa pegawai istana lainnya sibuk membuat terompet dan
menghiasnya dengan kertas yang berwarna-warni. Setiap tahun di istana selalu
menyelenggarakan pesta untuk menyambut datangnya tahun baru. Raja, permaisuri,
puteri-puteri raja serta seluruh penghuni istana bergembira ria menyambut malam
tahun baru dan meniup terompet bersama-sama sambil menikmati makan dan minuman
istimewa.
Namun Puteri Shalina
merasa sedih. Sepanjang tahun ini beberapa wilayah dikerajaan tertimpa bencana.
Banjir, longsor, gempa bumi, silih berganti menimpa beberapa wilayah kerajaan. Namun bagi penghuni istana beragam
bencana yang menimpa penduduk itu tidak begitu berpengaruh bagi mereka karena
bencana itu terjadi di wilayah yang cukup jauh dari istana.
Puteri Shalina memiliki
seorang pelayan yang selalu setia menemaninya kemanapun dia pergi. Namanya
Popino. Pagi itu Shalina memanggil Popino.
“Popino, hari ini antar
aku jalan-jalan ke perkampungan, ya.” Kata Puteri Shalina.
“Baik, Tuan Puteri.”
“Popino, bawalah uang secukupnya
juga makanan minuman yang agak banyak
untuk bekal kita berjalan-jalan sepanjang hari ini.” Kata Puteri Shalina
mengingatkan Popino.
“Baik, Tuan Puteri.” Sahut
Popino.
Popino segera menyiapkan beragam bekal makanan dan
minuman yang cukup banyak seperti yang diperintahkan puteri Shalina kepadanya.
Karena bekal itu cukup banyak, Popino menaruhnya pada kuda yang berbeda dengan
yang ditunggangi dirinya dan ditunggangi oleh puteri Shalina. Setelah menyiapkan
bekal, Puteri Shalina menunggangi kuda poni kesayangannya. Demikian juga dengan
Popino. Diapun menunggangi seekor kuda poni. Dibelakang mereka diikuti seekor kuda poni lain yang membawa bekal
makanan dan minuman diatas punggungnya. Popino memegang tali kuda itu.
Setelah menempuh perjalanan
yang cukup jauh, tibalah mereka pada sebuah perkampungan. Shalina melihat
penduduk sedang sibuk bekerja bergotong royong memperbaiki gubuk-gubuk mereka
yang rusak porak poranda akibat gempa. Ada
yang memperbaiki atap. Ada
yang membuat dinding dari bilik. Ada
yang menggergaji kayu. Dan beragam pekerjaan lainnya yang dikerjakan secara
bergotong royong. Demikian pula dengan anak-anak kecil. Mereka ikut sibuk
bekerja membantu pekerjaan orangtua mereka.
Puteri Shalina mendekati
salah seorang gadis kecil berpakaian lusuh yang sedang mengumpulkan kayu-kayu yang sudah tidak
terpakai.
“Untuk apa kayu-kayu
itu?” tanya Shalina.
“Untuk kayu bakar, tuan
puteri.” Sahut anak itu.
“Dua hari lagi tahun baru
tiba. Apakah engkau akan merayakan malam pergantian tahun baru bersama keluarga
dan teman-temanmu?” tanya Puteri Shalina.
“Merayakan tahun baru?”
tanya anak itu, seakan aneh mendapat pertanyaan itu. “Bagaimana mungkin kami
disini dapat merayakan tahun baru sementara keadaan kampung kami porak poranda
dilanda gempa. Diperkampungan sebelah keadaannya tidak jauh berbeda dengan
perkampungan kami. Sepanjang tahun ini perkampungan sebelah sudah dua kali
dilanda gempa yang menghancurkan hampir semua rumah diperkampungan itu.”
“Oh, maafkanlah
pertanyaaanku tadi, kawanku.” Kata Shalina.
Shalina bersama Popino melanjutkan
kembali perjalanan. Akhirnya mereka tiba diperkampungan yang tidak jauh dari
perkampungan yang pertama mereka singgahi. Kembali Shalina melihat keadaan yang
tidak jauh berbeda dengan keadaan yang dilihatnya di perkampungan tadi. Dia
melihat seorang gadis kecil sedang menggendong adiknya yang nampak baru berusia
beberapa bulan. Adiknya sedang menagis keras. Shalina mendekati gadis kecil
itu.
“Kenapa adikmu menangis?”
tanya Shalina.
“Adikku merasa lapar. Dia
ingin makan.” Sahut gadis kecil itu.
“Kemanakah ayah dan
ibumu?” tanya Shalina lagi.
Gadis kecil itu mendadak
berlinang air mata. “Ayahku meninggal ketika terjadi gempa dikampung kami
beberapa waktu lalu. Ayah tertimpa atap rumah kami yang roboh. Rumah kami
hancur. Kini kami hidup berempat. Aku, ibuku dan kedua adikku.” Ujar gadis itu.
“Sekarang kemana ibumu dan
dadikmu yang seorang lagi?” tanya Shalina.
“Ibuku dan adikku sedang
mencari makanan. Setiap hari ibu dan adikku yang satu itu mencari makanan yang
bisa kami makan sementara aku diberi tugas menjaga adikku yang masih kecil
ini.”
Air mata Shalina hampir
jatuh. Gadis kecil ini dengan keluarganya hanyalah sebagian kecil korban
bencana alam. Seandainya dia terus melangkah, pastinya masih banyak gadis kecil
lainnya yang nasibnya tidak jauh berbeda dengan gadis kecil yang ditemuinya
ini.
“Ambilah ini sedikit makanan
dan minuman.” Kata Shalina. “Dan berikan uang ini pada ibumu untuk membeli
makanan.”
“Oh, terima kasih, tuan
puteri.” Ujar gadis kecil itu dengan penuh suka cita. Bergegas diberikannya
makan dan minuman kepada adiknya yang masih menangis. Anak kecil itu mendadak
berhenti menangis dan memakan makanan
pemberian puteri Shalina dengan lahap.
Hari sudah sore ketika
Shalina dan Popino tiba kembali di istana. Kuda yang membawa bekal makanan
nampak riang gembira karena diatas punggungnya sudah tidak ada lagi beban
makanan dan minuman. Semua bekal makanan dan minuman sudah habis dibagi-bagikan
Shalina kepada penduduk yang tertimpa bencana alam.
Ketika masuk ke istana,
Shalina melihat beberapa pegawai istana sedang membuat terompet. Shalina menemui ayahnya. Dia menceritakan
perjalanannya siang tadi dan menceritakan apa yang dilihatnya
diperkampungan-perkampungan yang tertimpa bencana.
“Ayah, disaat nanti kita
semua di istana merayakan malam
pergantian tahun baru bersama-sama, dibeberapa perkampungan hampir semua
penduduk sedang sibuk bekerja memperbaiki rumah mreka yang porak poranda. Bukan
hanya rumah-rumah mereka yang rusak, mereka pun sudah tidak punya harta
benda lagi. Bahkan untuk makanan pun
mereka memerlukan datangnya bantuan.”
Raja tersenyum menatap
puterinya. “Shalina, sepanjang tahun ini
bencana alam, gempa bumi, banjir, seakan tidak berhenti terjadi dibeberapa perkampungan
diwilayah kerajaan kita. Namun bencana
semacam itu sudah biasa terjadi. Pihak kerajaan sudah menyumbang banyak bantuan untuk meringankan
penderitaan mereka. Apa yang kau lihat tadi jangan terlalu kau risaikan. Dua
hari lagi kita akan merayakan malam pergantian tahun baru. Bergembiralah
bersama-saudara-saudaramu dan seluruh penghuni istana.”
“Oh ayah. Aku tidak
mengerti. Sebagai raja seharusnya ayah ikut merasakan penderitaan rakyatmu.”
Airmata Shalina berlinang.
“Di istana ayah hidup
senang sementara rakyat ayahanda sedang ditimpa musibah dan penderitaan.”
“Lalu, apa maumu,Shalina?
Sudah semestinya seorang raja seperti ayahmu ini hidup senang, bukan? Bukankah ayah adalah seorang raja.” Ujar raja dengan
gusar.
“Ayah maafkanlah kelancanganku
ini.” kata Shalina. “Dengan kewenangan ayah sebagai seorang raja, ayah bisa
merubah acara yang akan berlangsung di istana untuk menyambut perayaan malam
tahun baru. Tidak ada pesta meriah dan poya-poya di istana. Makanan minuman
yang sudah dipersiapkan untuk menyambut
perayaan tahun baru, bisa kita kirimkan
keperkampungan-perkampungan dimana sebagian besar rakyat ayahanda tengah dilanda
kelaparan. Cobalah ayah pergi ke salah satu perkampungan yang sedang dilanda
bencana itu, dengarkanlah oleh ayah
tangisan anak-anak kecil yang kelaparan, anak-anak yang kehilangan orangtuanya,
ataupun penderitaan-penderitaan lain yang sedang
mereka rasakan saat ini akibat bencana yang menimpa mereka perkampungan mereka.”
Raja tertegun mendengar
ucapan Shalina, mendadak mata raja berlinang. Diusapnya kepala Shalina.
“Shalina, betapa mulia
hatimu.” Ujar raja penuh haru. “Aku punya
enam orang anak. Perempuan semua. Engkau anakku nomor lima. Namun diantara keeanam anakku, hanya
engkaulah yang memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitarmu dan rakyat
kerajaan ini. Engkaulah yang paling penuh perhatian terhadap keadaan rakyat dikerajaan
ini. Baiklah, ayah berjanji akan membatalkan pesta di malam tahun baru. Masih
ada waktu untuk membatalkan rencana itu. Makanan yang sudah terlanjur dibuat akan kita kirimkan keperkampungan-perkampungan
yang sedang dilanda bencana. Juga kita membawa bantuan-bantuan lain seperti
pakaian, selimut, dan barang-barang lain yang pasti sangat mereka butuhkan saat
ini. Engkau benar, Shalina,. Dibandingkan penghuni istana, rakyat di perkampungan
yang sedang tertimpa bencana lebih membutuhan makanan-makanan itu.”
“Oh terima kasih, ayah.” Ujar
Shalina gembira.
Siang hari menjelang malam
pergantian tahun baru, pegawai istana sibuk mengirimkan berpeti-peti makanan
dan minuman ke beberapa perkampungan
yang sedang dilanda bencana. Salah seorang pegawai yang mendapat tugas membuat ratusan
terompet menemui Shaliha, dan bertanya, “Tuan puteri, lalu bagaimana dengan
ratusan terompet yang telah terlanjur dibuat ini, kalau diistana tidak ada
pesta malam tahun baru?”
“Sisihkan beberapa buah
terompet itu untuk orang-orang istana termasuk aku.” Kata Shalina. “Sisanya kau
kirimkan ke perkampungan yang sedang
dilanda bencana. Berikan terompet-terompet itu pada anak-anak kecil. Biarlah
dimalam pergantian tahun baru nanti anak-anak itu mendapatkan kegembiraan bisa
meniup terompet bersama-sama dengan teman-temannya dan sejenak mereka melupakan kesedihan mereka
akibat bencana yang menimpa perkampungan mereka.”
Dimalam tahun baru Shalina
sudah berada ditengah-tengah penduduk perkampungan yang terkena bencana.
Perkampungan nampak terang benderang oleh cahaya api obor yang menyala pada
tiang-tiang. Shalina bergembira meniup terompet bersama-sama anak-anak dikampung
itu. Bahkan raja, permaisuri, puteri-puteri raja lainnya serta pergawia istana, ikut serta menyambut tahun baru diperkampungan. Shalina merasa gembira melihat anak-anak itu dengan
wajah gembira mereka meniup terompet
bersahut-sahutan. Setidaknya untuk malam itu mereka bisa meplupakan
musibah dan penderitaan mereka akibat bencana. Kegembiraan itu akan memberi semangat dan harapan untuk menyambut hari esok
yang lebih baik, buat mereka, juga buat orang tua mereka serta
seluruh penduduk lainnya.
--- 0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar