Jumat, 19 Oktober 2018
Selasa, 02 Oktober 2018
Bisakah Batik Sumedang Bangkit Kembali?
Walaupun sejak jaman dahulu Kabupaten Sumedang tidak memiliki tradisi membatik namun bukan berarti bahwa Kabupaten Sumedang, kota kecil camperenik yang berada di Jawa Barat, tidak memiliki batik khas daerahnya. Sejak tahun 1990 an beberapa perajin batik Sumedang mulai bermunculan dan memproduksi beragam motif batik khas Sumedang. Saat itu sambutan dari masyarakat terutama pegawai pemerintah dan swasta sangat bagus sekali. Dihari tertentu yang ditetapkan pemerintah, para pegawai di pemerintah dan di swasta, mengenakan batik Sumedang. Bertahun-tahun kemudian keberadaan perajin batik Sumedang semakin bertambah, bukan hanya yang memproduksi sendiri namun juga yang bekerja sama dengan perajin dari daerah lain, salah satunya yaitu Batik Saca. Selama memproduksi batik, Batik Saca menjalin kerjasama dengan perajin dari daerah lain yaitu perajin batik dari Pekalongan. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan kenapa Batik Saca memilih bekerjasama dengan perajin dari daerah lain diantaranya adalah Batik Saca memiliki pengalaman yang masih sangat minim dalam hal produksi batik sehingga membutuhkan rekan kerja yang sudah berpengalaman dibidang pembuatan batik.
Ada beberapa motif khas Sumedang yang telah diproduksi oleh Batik Saca yaitu motif Mahkota Binokasih, Memanah, Kuda Renggong, Daun Boled, Hanjuang, Wijayakusumah, Teratai, Kereta Nagapaksi dan beberapa motif lain yang semuanya berkaitan dengan Sumedang.
Ada beberapa motif khas Sumedang yang telah diproduksi oleh Batik Saca yaitu motif Mahkota Binokasih, Memanah, Kuda Renggong, Daun Boled, Hanjuang, Wijayakusumah, Teratai, Kereta Nagapaksi dan beberapa motif lain yang semuanya berkaitan dengan Sumedang.
(Motif Kuda Renggong)
(Motif Kuda Renggong & Hanjuang)
(Motif Tradisi Memanah)
(Motif Tradisi Memanah)
(Motif Kujang)
(Motif Daun Boled)
(Motif Bunga Wijayakusumah)
(Motif Kujang)
Setelah beberapa tahun memproduksi batik, Batik Saca terpaksa berhenti memproduksi batik Sumedang karena ada beberapa kendala diantaranya adalah persaingan harga dengan batik cap yang relative lebih murah dan corak yang lebih beragam yang ditawarkan oleh pembatik dari daerah lain.
Saat ini barangkali hanya tinggal beberapa perajin batik Sumedang yang masih bertahan dan tetap memproduksi batik Sumedang. Batik Saca sendiri tidak betul-betul total berhenti karena masih menerima pesanan dari beberapa kalangan yang sudah lama menjadi langganan Batik Saca.
Semoga batik Sumedang tidak betul-betul menghilang karena selalu saja ada orang yang mencintai Sumedang dengan caranya sendiri diantaranya dengan membuat batik Sumedang yang betul-betul khas Sumedang ditengah persaingan dengan batik-batik dari daerah lain yang semakin semarak. Pertanyaan saya sesuai judul tulisan diatas; Bisakah batik Sumedang bangkit lagi? Saya jawab sendiri; Tentu saja bisa. Sumedang sudah memiliki perajin batik, Sumedang memiliki masyarakat yang masih senang dan bangga mengenakan batik khas Sumedang, Sumedang memiliki banyak potensi yang bisa disatupadukan dalam pengembangan batik Sumedang, Sumedang juga memiliki pemerintah yang tentunya akan sangat mendukung dan membantu para perajin batik Sumedang agar bisa bangkit kembali dan memproduksi kembali batik Sumedang.
Senin, 09 Juli 2018
Adelia
Hari masih pagi, diluar langit masih terlihat gelap. Pajar belum
menyingsing namun kesibukan didapur istana sudah mulai terasa. Adelia tengah
sibuk membantu ibunya seperti biasanya. Ayah Adelia dulu adalah seorang pegawai
di istana. Ibunya adalah salah seorang tukang masak di istana. Adelia sudah
lama tinggal di istana dan membantu pekerjaan ibunya menyiapkan makanan dan
beraneka macam kue setiap hari untuk keluarga kerajaan. Karena keahliannya
membuat kue, dia sering diminta oleh putera puteri raja untuk membuatkan
beraneka macam kue-kue lezat yang disukai putera-puteri raja. Kue-kue buatan Adelia
disukai oleh putera-puteri raja karena Adelia
sangat kreatif sekali dalam membuat kue.
Kue apapun yang dibuatnya selalu memiliki rasa
yang khas yang tidak dimiliki oleh pembuat kue lainnya sehingga Adelia menjadi pembuat kue kesayangan
keluarga raja.
Adelia sungguh sangat beruntung
bisa menjadi pembuat kue untuk keluarga kerajaan. Tidak setiap juru masak dan
orang yang memiliki keahlian membuat kue bisa menjadi juru masak diistana.
Apalagi juru masak bagi keluarga kerajaan.
Namun ternyata Adelia tidak
memanfaatkan keberuntungannya itu. Karena merasa dirinya sangat disayang oleh
keluarga kerajaan, akhirnya Adelia malah
sering bermalas-malasan. Bila dia diminta untuk membuatkan kue karena diistana
akan diadakan suatu acara, Adelia sering
menyuruh orang lain yang membuatnya. Tentu saja kue buatan Adelia sangat berbeda rasanya dengan kue buatan orang
lain.
Mala berbeda dengan Adelia. Dia
juga pandai memasak dan membuat kue. Namun Mala hanyalah juru masak didapur kecil dibagian
belakang istana. Setiap hari dia menyiapkan masakan dan kue-kue untuk para
pegawai istana, termasuk tukang kebun dan tukang sapu dilingkungan istana. Dulu
ibunya yang mengerjakan semua pekerjaan ini, namun setelah ibunya merasa cukup
tua, pekerjaan itu diserahkan kepada Mala.
Pada suatu hari Puteri Yulia, salah seorang puteri raja masuk kedapur
untuk para pegawai istana. Yulia baru selesai bermain-main ditaman sehingga dia merasa lapar dan haus
sekali. Puteri Yulia melihat Mala sedang sibuk bekerja menyiapkan berbagai
macam masakan dan kue-kue. Puteri Yulia mengambil sepotong kue. Hm. Enak
sekali.
“Kue buatanmu sungguh enak sekali, Mala.” Puji Puteri Yulia. “Kau pintar
sekali membuat kue. Apakah semua kue ini buatanmu?”
“Ya, Tuan Puteri.”
“Kue sebanyak ini engkau sendiri yang mengerjakannya?’
“Ya, setiap hari saya bangun pukul empat shubuh. Setelah mandi saya
segera pergi ke pasar untuk berbelanja seluruh kebutuhan. Pulang dari pasar
saya langsung mengolah bahan-bahan makanan dan memasak untuk sarapan para
pegawai istana. Setelah memasak saya membuat kue-kue ini. Setiap hari saya
memasak dan membuat kue tiga kali sehari.”
“Oh, Mala, pekerjaanmu sungguh berat.” Cetus Puteri Yulia.
Mala tersenyum. “Memang terasa berat
kalau pekerjaan dianggap beban, Tuan Puteri. Tapi saya mengerjakannya
dengan senang hati dan tidak menganggap sebagai beban. Saya telah menekuni
pekerjaan ini bertahun-tahun lamanya dan saya senang dengan pekerjaan saya ini.”
“Kau seorang gadis yang tekun dan mau bekerja keras, Karisa.” Kata
Puteri Yulia. “Sudah saatnya engkau naik pangkat, Mala. Aku akan mengusulkan
pada ibuku agar engkau menjadi juru masak untuk keluarga kerajaan. Kau tidak
perlu mengerjakan pekerjaanmu sendirian. Ada beberapa orang pelayan lain yang
akan membantu pekerjaanmu namun tanggung jawab dan pengawasan semua makanan
merupakan tanggung jawabmu. Sementara Adelia yang pemalas
akan menggantikanmu disini. Dia nanti bisa bekerja dengan dibantu oleh pelayan-pelayan
yang lain.”
Ya, Adelia yang sebenarnya sudah beruntung menjadi juru masak bagi
keluarga raja, tidak memanfaatkan keberuntungannya. Dia lebih senang
bermalas-malasan dan menyuruh orang lain yang mengerjakan pekerjaan yang
semestinya menjadi tugasnya. Sementara Mala karena kerja keras dan ketekunannya
akhirnya mendapat posisi yang baik di istana. Dia menjadi juru masak kesayangan
keluarga kerajaan.
Panen Mangga
Matahari bersinar lembut.
Pagi yang indah dan segar. Selesai mandi Arin bergegas pergi kedapur. Hari ini
rencananya mereka akan pergi ke kebun memetik mangga. Musim kemarau adalah
musim panen mangga. Ayah sudah berada didalam mobil tuanya, sebuah mobil bak
terbuka. Dibelakang mobil ada karung-karung kosong yang diikat menjadi satu.
Karung-karung itu nantinya akan diisi dengan hasil panen mangga dan segera
dijual. Biasanya ada orang yang akan menampung hasil panen mangga dan
menjualnya ke pasar.
“Cepatlah, kau selalu saja
terlambat!” seru Ninda, kakaknya yang sudah lebih dahulu naik kebelakang mobil
dan duduk pada tumpukan karung.
“Aku ambil bekal makanan
dulu.” Sahut Arin.
“Tidak usah, aku sudah
membawa bekal untuk kita semua.” Seru Santi, kakaknya yang kedua. “Ayolah
cepat, ayah sudah lama menunggu kita, terutama menunggu kau yang selalu saja
paling telat.”
“Cepatlah, jangan ribut
terus. Ayo semua naik kebelakang mobil.” Seru ayah dari balik kemudi.
Ibu yang baru datang dari
arah dapur segera naik mobil dan duduk disamping ayah. Ninda, Santi dan Arin
duduk bertiga dibelakang mobil. Mobil melaju menuju kebun. Angin pagi yang
segar menerpa wajahnya dan meniup rambutnya. Mobil melaju semakin cepat
melintasi jalanan beraspal. Dikiri kanan jalan sawah membentang luas. Tak lama
mobil sudah tiba dikebun. Ayah menepikan mobilnya kepinggir jalan. Dikebun
sudah ada beberapa orang pekerja yang tengah sibuk memetik mangga.
Ninda, Santi dan Arin segera
meloncat turun. Seorang lelaki mengambil karung dari belakang mobil. Ninda,
Santi dan Arin berlarian menuju ke kebun mangga. Mereka merasa senang melihat
pohon-pohon mangga di kebun hampir semuanya sarat dengan buah-buah yang hampir
matang. Bahkan banyak yang sudah matang. Ditanah, mangga-mangga yang telah
dipetik dimasukan kedalam keranjang dan sebagian lagi dimasukan kedalam karung.
“Apakah kita boleh memetik
mangga, Bu?” tanya Ninda.
Mereka perlu bertanya dulu
apakah mereka boleh memetik mangga karena siapa tahu ayah telah menjual seluruh
mangga yang ada pada seluruh pohon yang ada dikebun pada pembeli.
“Tentu saja boleh.” Sahut
Ibu. “Kita juga ingin membawa mangga yang telah masak kerumah dan menikmatinya
bersama-sama.”
Bukan main senangnya
perasaan ketiga gadis itu. Ninda lebih dulu naik keatas pohon. Dia bisa memanjat pohon walaupun sudah pernah beberapa
kali jatuh terpeleset.
“Hati-hati, Ninda. Jangan
terlalu tinggi kau memanjat pohon. Petiklah mangga yang paling bawah saja.
Banyak yang sudah matang diranting yang paling bawah.” Seru ibu khawatir.
“Ya, Bu.” Sahut Ninda. Dia
menginjak dahan yang paling bawah dan mulai memetik mangga yang sudah matang.
“Tangkaplah ini!”
Santi menengadah. Dia
mencoba menangkap mangga yang dijatuhkan Ninda. Namun tangannya tidak bisa
menangkap mangga itu hingga terjatuh ketanah.
“Ah, sayang sekali.
Mangganya menjadi pecah.” Seru Santi.
Ninda menjatuhkan lagi
sebuah mangga. Arin mencoba menangkapnya. Namun tangkapannya pun meleset.
Mangga itu terjatuh ketanah. Mangga yang sudah matang itu hancur sebagian.
Namun Ninda tetap saja menjatuh-jatuhkan mangga yang dipetiknya sementara Santi
dan Arin bergantian mencoba menangkap mangga itu. Ada yang berhasil ditangkap
ada juga yang jatuh ketanah. Namun mereka semuanya merasa gembira dan
berteriak-teriak satu sama lainnya.
Tidak terlalu banyak mangga
yang dipetik Ninda karena ayah melarangnya memetik mangga lebih banyak lagi
ketika melihat mangga-mangga yang dipetiknya berjatuhan ditanah dan menjadi
rusak.
“Kalau mangganya rusak
seperti itu, nanti tidak bisa dimakan lagi. Kamu turun, Ninda. Tidak baik anak
perempuan memanjat pohon seperti anak laki-laki.” Seru ayah menegur anak
sulungnya.
Ninda agak merengut karena
dia sangat suka memanjat pohon walaupun tidak berani memanjat kedahan yang
lebih tinggi.
Ibu membuka bekal makanan
yang mereka bawa dari rumah. Ninda menggelar tikar. Mereka semua duduk pada
tikar dan menikmati bekal yang mereka bawa. Nasi yang masih hangat yang
dibungkus dengan daun pisan. Ikan asin, pepes ikan, tempe bacem, pepes tahu,
sambal terasi, lalapan serta kerupuk udang yang semuanya disiapkan ibu tadi
pagi. Mereka semua makan dengan lahap. Makan dikebun, apalagi setelah merasa
lelah, selalu menyenangkan dan membuat makan terasa lahap. Selesai makan ibu
membuka wadah yang berisi agar-agar. Sementara Ninda dan Santi mengupas mangga
yang telah matang.
Selesai makan ayah terlibat
pembicaraan yang serius dengan pembeli buah, seorang lelaki bertopi bundar.
Lelaki itu adalah Paman Hendra, yang selama ini sering menampung hasil
pertanian dan hasil kebun ayah. Ayah menerima sejumlah uang dari paman Hendra.
Sementara seorang pegawai mengangkut beberapa buah karung berisi mangga dan
menaruhnya dibelakang mobil ayah.
“Karung-karung mangga itu
akan kita bawa pulang, Bu?” tanya Santi.
“Ya.” Sahut ibu. “Semua
mangga yang berada dikebun ini sudah dijual pada Paman Hendra namun kita juga
mendapat bagian beberapa karung mangga yang bisa kita bawa pulang. Kita akan
membagikan mangga-mangga itu sebagian untuk tetangga-tetangga kita, sebagian
untuk saudara-saudara kita, dan sisanya tentu saja untuk kita.”
Menjelang sore mereka
pulang. Ninda, Santi dan Arin duduk kembali dibagian belakang mobil bak
terbuka. Kali ini dibelakang mobil ada beberapa karung berisi mangga. Angin
sore terasa panas. Rasanya mereka ingin segera tiba dirumah dan mandi. Tubuh
mereka terasa sangat gerah sekali setelah seharian bermain dikebun. Malam nanti
mereka akan kembali menikmati mangga yang manis dan segar.
Pondok Bunga di Lereng Bukit
Permaisuri raja sudah berbulan-bulan lamanya
menderita sakit. Kepalanya sering terasa pusing. Tubuhnya sering terasa lemas
tak bertenaga. Tabib-tabib istana sudah berusaha mengobati sang permaisuri
namun sakit permaisuri tak kunjung sembuh juga. Raja merasa sangat gundah
gulana. Raja sangat mencintai permaisuri dan merasa khawatir dengan kondisi
kesehatan istrinya itu. Raja memiliki seorang putera mahkota yang bernama
pangeran Andi yang akan segera dipersiapkan untuk menggantikan dirinya menjadi
raja. Namun sayangnya sang pangeran belum juga memiliki seorang istri yang akan
mendampinginya apabila kelak diangkat menjadi raja. Raja dan permaisuri sudah
sering mengingatkan pangeran Andi agar
segera memiliki istri namun rupanya pangeran Andi belum juga menemukan gadis
yang cocok dengannya.
Suatu hari permaisuri sangat ingin
berjalan-jalan keluar istana menghirup udara pegunungan.
“Mungkin aku tengah merasa jenuh dengan
keadaan di istana. Aku ingin berjalan-jalan keluar istana melihat pemandangan
diluar istana. Aku ingin berjalan-jalan ke pegunungan dan menghirup udara segar
pegunungan.” Kata permaisuri kepada raja.
Raja segera memerintahkan dua orang pengawal
dan dua orang dayang untuk menemani sang permaisuri berjalan-jalan.
Kereta kuda yang ditarik dua ekor kuda hitam
berpacu meninggalkan istana. Udara sangat cerah. Langit biru bersih. Sepanjang
perjalanan dengan tatapan sayu akibat sakit yang dideritanya, permaisuri
melayangkan tatapannya keluar jendela kereta. Kereta berpacu dengan cepat makin
lama semakin jauh meninggalkan istana. Pemandangan yang dilihat permaisuri
sepanjang jalan tak ada satupun yang menarik perhatiannya. Kereta kuda terus
berlari melintasi perkampungan, hutan, lembah dan perbukitan yang hijau. Ketika
telah tiba diperbukitan, sang permaisuri terlihat mulai tertarik dengan
pemandangan disekitar perbukitan yang hijau dan indah penuh bunga-bunga
beraneka warna yang tengah bermekaran. Rumput-rumput menghijau terhampar
bagaikan hamparan permadani yang luas sekali. Bunga-bunga beraneka jenis dan
warna menghiasi perbukitan, terlihat indah dengan warna-warnanya yang cerah
diantara hijaunya perbukitan dan sejuknya udara perbukitan.
Tatapan sang permaisuri tiba-tiba tertambat
pada sebuah pondok kayu yang berada dilereng bukit.
“Ah, pondok kepunyaan siapakah itu?” seru
permaisuri pada salah seorang dayangnya. “Pondok kayu yang sangat indah sekali.
Penuh dengan bunga-bunga indah yang bermekaran.”
“Ya, betul. Pondok yang indah sekali.” Ucap
salah seorang dayang yang ikut merasa tertarik melihat keindahan pondok kayu
itu.
Permaisuri meminta kusir menghentikan laju
kereta. Kereta berhenti. Tatapan mata permaisuri terlihat sangat senang melihat
pondok kayu itu yang penuh dengan bunga-bunga yang tengah bermekaran. Pondok
kayu itu terdiri dari dua tingkat. Ada beberapa jendela tinggi pada pondok kayu
itu. Pada masing-masing jendela, dibawahnya ditaruh pot-pot bunga berwarna-warni,
terlihat sangat indah sekali.
“Aku ingin tahu pondok milik siapakah itu.
Coba kita kesana.” Kata permaisuri.
Kereta kuda melaju lagi menaiki bukit dan tak
lama kemudian kereta kuda itu sudah tiba didepan pondok kayu itu. Permaisuri
keluar dari kereta kuda. Dia merasa senang melihat pondok kayu yang terlihat
asri dan terawat dengan baik. Pastinya pemiliknya sangat telaten merawat
pondoknya. Udara pegunungan yang sejuk dan segar membuat permaisuri merasa
tubuhnya terasa lebih segar. Dia memanggil Mirna, salah seorang dayangnya.
“Mirna, cobalah kau ketuk pintu pondok itu.
Siapakah pemiliknya. Apakah bisa aku menyewa pondok ini untuk beristirahat
selama beberapa hari? Aku merasa kerasan bila aku tinggal di pondok ini.” Ucap
permaisuri.
Mirna segera mengetuk pintu pondok itu. Tak
lama kemudian keluarlah seorang gadis yang cantik membukakan pintu pondok.
Rambutnya hitam panjang tebal dan dikepang menjadi satu dibelakang. Kulitnya
kuning langsat bersinar, terlihat sehat.
Pakaiannya sederhana seperti biasanya gadis desa pegunungan, berupa rok
panjang terbuat dari kain sederhana. Gadis cantik itu terlihat sangat keheranan melihat ada orang
asing yang mengetuk pintu pondoknya.
“Oh, darimanakah nyonya ini?” Tanya gadis
itu.
“Kami dari istana….” Kata Mirna. Namun belum
juga Mirna menyelesaikan ucapannya,
gadis itu sudah berjongkok dan member hormat dengan raut wajah ketakutan.
“Berdirilah.” Kata Mirna sambil tersenyum.
“Kami membawa ibunda permaisuri. Ibunda permaisuri merasa tertarik melihat pondok ini. Siapakah pemilik
pondok ini?”
“Hamba sendiri pemilik pondok ini, Nyonya.”
Sahut gadis itu.
“Baiklah. Siapakah namamu?”
“Melani, Nyonya.”
Mirna kembali lagi ke kereta menemui
permaisuri dan melaporkan sudah bertemu dengan pemilik pondok itu yang ternyata
pemiliknya adalah seorang gadis muda. Permaisuri berkenan turun dan menemui
gadis pemilik pondok itu.
“Oh, tuanku Yang Mulia. Maafkanlah hamba sama
sekali tidak tahu apabila tuanku berkenan singgah ke pondok hamba yang
sederhana ini.” Melani menekuk lututnya memberi hormat pada permaisuri raja
yang baru kali ini dilihatnya.
Permaisuri tersenyum lembut. Dia merasa
terkesan dengan kecantikan dan kesantunan gadis pegunungan itu.
“Bangunlah. Aku merasa tertarik melihat
pondokmu ini yang sangat cantik penuh dengan bunga-bunga yang sangat cantik.
Apakah boleh apabila aku tinggal dan menyewa pondokmu untuk beberapa hari?”
Tanya permaisuri.
“Tentu saja, Yang Mulia. Silahkan Yang Mulia
tinggal disini, tidak usah menyewa apabila Yang Mulia berkenan ingin tinggal
disini.” Kata Melani. “Mari masuk Yang Mulia. Namun hamba mohon maaf apabila
keadaan di pondok hamba ini segalanya teramat sangat sederhana.”
Permaisuri diiringi kedua dayangnya masuk
kedalam pondok itu. Melani segera menyajikan minuman teh hangat yang diberi
irisan jeruk dan gula. Rasa teh hangat itu asam manis. Dia pun menyajikan
beberapa buah roti lengkap dengan selai stroberi dan keju.
“Mari silahkan dinikmati makanan dan minuman
pedesaan ini, Yang Mulia.” Ucap Melani. Bukan hanya menyuguhi permaisuri,
Melani juga menyuguhi makanan dan minuman yang sama buat pengawal, dayang dan
kusir yang ikut duduk di pondok kayunya.
“Oh, kau gadis yang cekatan.” Kata permaisuri
sambil menikmati minuman. Ah, terasa segar sekali. Permaisuri meminum minumannya sampai habis. Terasa nikmat sekali.
Permaisuri merasa tubuhnya mendadak terasa sangat segar sekali. Lalu permaisuri
mengambil sepotong roti dan keju.
“Hem, roti ini sangat enak sekali. Lembut dan
harum. Dan keju ini rasanya enak sekali. Dimana kau membeli roti dan keju ini,
Melani?” Tanya permasuri.
“Hamba membuatnya sendiri, Yang Mulia.” Sahut
Melani sambil tersenyum malu.
“Ah, rupanya kau memang gadis yang rajin
sekali, Melani.” Permasuri tersenyum.
Sambil menghidangkan makanan dan minuman pada
permasuri dan pengiringnya, Melani sibuk naik turun tangga dilantai atas
membenahi kamar-kamar yang akan ditempati permaisuri dan para pengiringnya. Tak
lama Melani telah selesai dengan pekerjaannya.
“Yang Mulia, silahkan berisitirahat dikamar
yang telah hamba sediakan dilantai atas. Barangkali Yang Mulia merasa lelah dan
ingin beristirahat.” Kata Melani.
“Terima kasih, Melani. Betul, aku ingin
beristirahat dulu.” Sahut permaisuri sambil beranjak mengikuti Melani menaiki
tangga kayu menuju kamar dilantai atas. Mirna mengikuti permaisuri sambil
membawa segala kebutuhan permaisuri yang dibawa dari istana.
Melani membukakan pintu kamar. Permaisuri
merasa senang melihat kamar itu. Didalam kamar berlantai kayu itu hanya ada
sebuah dipan sederhana dan sebuah meja kecil dengan kursi kayu. Melani
menunjukan kamar mandi yang berada dikamar itu pada permaisuri. Permaisuri
merasa senang melihat kamar mandi kecil yang bersih itu. Jendela kamar
yang tinggi ditutup oleh gorden sederhana dengan motif bunga. Permaisuri
membuka jendela. Udara segar pegunungan bertiup masuk kedalam kamar. Permaisuri
melihat dibawah jendela ada tempat berbentuk kotak persegi panjang dimana
diletakan pot-pot bunga kecil berjejer rapi.
“Selamat beristirahat, Yang Mulia.” Kata
Melani sambil menutup pintu kamar.
Melani menyediakan dua kamar lagi dilantai
bawah untuk ditempati pengawal dan dayang istana. Setelah itu Melani menyibukan
diri di dapur memasak untuk makan malam nanti. Sore hari, permaisuri baru
keluar kamar. Permaisuri terlihat lebih
segar. Permaisuri turun dari lantai atas dan melihat Melani tengah sibuk
menyiapkan masakan untuk makan malam.
“Ah, kami merepotkanmu, Melani.” Kata
permaisuri ketika melihat kesibukan Melani didapur. Sayur mayur segar dan
buah-buahan bertumpuk didapur. Dari dalam kuali yang mengepul panas, tercium
aroma daging sapi yang tengah dimasak.
“Sama sekali tidak, Yang Mulia. Saya merasa
mendapat kehormatan dengan kedatangan Yang Mulia ke pondok saya ini.” Sahut
Melani sambil membuka pembakaran roti dan mengeluarkan roti yang telah matang.
Bau harum roti mengisi dapur kecil itu.
“Mirna dan Lena, kedua dayangku, akan
membantumu.” Kata permaisuri sambil memanggil kedua dayangnya yang segera saja
ikut sibuk didapur membantu Melani. Sementara kedua pengawal dan kusir kereta
tengah berjalan-jalan diluar pondok menikmati pemandangan pegunungan di sore
hari yang sejuk.
Malam pun tiba. Udara pegunungan di malam
hari terasa sangat dingin sekali. Permaisuri membungkus dirinya dengan mantel
tebal. Pengawal sibuk menyalakan perapian ditungku perapian diruangan tengah
agar udara didalam pondok itu terasa hangat. Sementara Melani bersama Mirna dan
Lena sibuk menyiapkan makan malam. Makan malam terasa nikmat sekali. Sop daging
sapi yang panas berisi potongan wortel dan kentang. Daging sapi saus kecap. Sayur
jamur dan brokoli. Roti-roti yang baru keluar dari pembakaran. Sayur mayur
segar dan buah-buahan menemani makan malam itu. Permaisuri makan dengan lahap
sekali. Sudah lama sekali permaisuri tidak pernah lagi makan selahap ini.
Esok paginya permaisuri merasa tubuhnya
terasa semakin segar. Semalam tidurnya terasa nyeyak sekali. Dia lalu
berjalan-jalan disekitar pondok itu. Kakinya menginjak rumput-rumput lembut
yang menutupi tanah. Ketika permaisuri kembali ke pondok itu, dia merasa
tubuhnya terasa jauh lebih segar. Ah, rasanya aku kini telah sembuh, pikir
permaisuri.
Empat hari lamanya permaisuri tinggal di
pondok kayu itu. Dia memberi uang pada Melani untuk membeli segala macam
kebutuhan selama dia tinggal di pondok itu termasuk juga untuk segala macam
makanan dan minuman yang disediakan Melani untuk dirinya dan pengiringnya.
“Aku merasa sangat kerasan tinggal di
pondokmu ini, Melani. Masakanmu pun sangat lezat sekali. Keju buatanmu sangat
lezat sekali. Aku baru melihat sendiri bagaimana caranya membuat keju. Kau
gadis yang serba bisa, Melani.”
Hari kelima, tiba-tiba datang seseorang yang
menunggang kuda dan dipacu dengan cepat. Kuda itu lalu berhenti didepan pondok
kayu itu. Penunggangnya lalu turun dan mengetuk pintu pondok itu.
Melani membukakan pintu pondok itu.
“Maaf, apakah ibuku tinggal disini?” Tanya
pemuda itu.
“Ibumu?” Melani melongo.
“Oh, anakku. Kau kemari akan menjemput ibu?
Sayangnya ibu masih merasa kerasan tinggal disini dan belum ingin pulang
kembali ke istana.” Permaisuri muncul dari dalam pondok dan bicara pada pemuda
itu.
“Ya, Bu. Ayah meminta saya untuk menjemput
ibu.” Kata pemuda itu sambil mencium tangan permaisuri. Oh, rupanya pemuda itu
adalah pangeran mahkota yang akan menjemput ibundanya.
“Pulanglah dan ajaklah ayahmu kemari. Kita
sekeluarga akan beristirahat disini selama beberapa hari lagi.” Kata
permaisuri.
Pangeran Andi kembali ke istana. Esoknya
pangeran Andi kembali bersama ayahanda raja. Ternyata raja pun merasa kerasan
melihat pondok itu. Akhirnya raja dan pengeran Andi ikut menginap selama
beberapa hari di pondok kayu itu dan menikmati kesegaran udara pegunungan.
Setelah tinggal lebih dari seminggu, akhirnya
permaisuri pamitan dan mengucapkan banyak terima kasih karena Melani telah
melayani dirinya, raja, pangeran Andi serta para pengiring dengan baik.
Permaisuri menghadiahi perhiasan berupa seuntai kalung mutiara yang indah dan uang pada Melani sebagai ucapan terima
kasih. Akhirnya permaisuri beserta rombongan pulang kembali ke istana dalam
keadaan sehat. Beberapa waktu kemudian pangeran Andi datang kembali ke pondok
kayu itu akan menjemput Melani dan
membawanya ke istana. Rupanya pangeran Andi dan Melani telah saling jatuh cinta
selama pertemuan di pondok kayu itu. Akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia.
Sesekali raja, permaisuri, pangeran Andi dan Melani menghabiskan waktu senggang
di pondok kayu itu yang telah menjadi tempat istirahat keluarga kerajaan.
foto diambil dari google
Langganan:
Postingan (Atom)