Jumat, 10 Mei 2013

Kemilau Kemuning Yang Luruh





Adilla mencium  bau harum  roti tengah dipanggang didalam oven.  Bau harumnya   menebar memenuhi  ruangan dapur. Tiga orang perempuan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Diatas sebuah meja besar disudut ruangan, roti-roti dengan bentuk bundar dan panjang dengan beragam isi yang sudah   terbungkus plastik siap untuk dijajakan.
“Asmi!”
 Asmi  menoleh. Adilla berdiri diambang pintu.
“Hei Dil, kenapa kamu masuk kedapur? Tunggu diruang tengah saja, ya. Nanti aku kesana. Aku masih tanggung dengan pekerjaanku.”
“Aku hanya sebentar, aku ada perlu padamu…….” Ujar Adilla.
“Tunggu dulu diruangan tengah. Sebentar lagi pekerjaanku  beres.” Kata Asmi.
Adilla meninggalkan dapur menuju teras didepan rumah.  Diteras itu ada kursi rotan dengan bantalan yang dibungkus motif bambu. Dia duduk disana  menunggu Asmi sambil menikmati sejuknya udara diteras.   Rumah Asmi nyaman dan asri. Bangunan rumah model kuno dengan atap yang tinggi. Rumah bercat putih itu tidak terlalu besar namun berhalaman luas. Beberapa buah pohon besar dan rindang yang tumbuh dihalaman berumput hijau membuat suasana terasa teduh dan nyaman. Adilla betah duduk disana. Namun barangkali  bukan rumah ini yang menimbulkan perasaan nyaman dihatinya. Namun Asmi yang membuatnya selalu ingin menemui gadis itu. Asmi selalu menjadi  temannya yang baik, yang penuh pengertian, yang sabar, yang selalu berusaha mau mengerti dirinya. Baginya, Asmi adalah sahabatnya yang baik, bukan hanya sejak mereka masih duduk dibangku SMA ketika mereka masih sekelas. Namun sampai sekarangpun setelah mereka kuliah di perguruan tinggi  dia tetap menganggap Asmi sebagai sahabatnya yang baik.
Pintu depan terbuka. Asmi keluar. Wajahnya cerah dan segar. Dia baru mandi. Wajahnya segar. Blouse hijau yang dikenakannya menambah kesegaran wajahnya.  Asmi  membawa  dua cangkir  teh dan sebuah stoples berisi kue kering cokelat.
“Maaf ya, lama menunggu. Aku mandi dulu. Gerah seharian didapur tadi.” Asmi menaruh kedua cangkir  teh dan stoples  itu diatas meja. “Nah, ini kue kering cokelat kesukaanmu. Dicoba deh. Rasanya lebih renyah dari yang kubuat  tempo hari.”
Adilla mencoba sepotong. Memang enak dan renyah.
“Hm, enak. Coba satu lagi, ya.” Adilla mengambil lagi sepotong dan memasukannya kedalam mulutnya.
Asmi tersenyum melihat tingkahnya. Adilla  menyerahkan kantong kertas yang dibawanya pada Asmi.
“Apa ini?” Tanya Asmi.
“Oleh-oleh  waktu pulang umroh kemarin.”
Asmi membuka kantong kertas itu. Dia tersenyum melihat macam-macam isinya. Kerudung, gulungan hiasan dinding  bertuliskan ayat kursi, bungkusan kurma dan kismis, dan sebuah dus  lagi. Asmi membuka dus itu. Isinya sebuah teko kecil dengan tiga buah cangkir kecil dengan hiasan keemasan dipinggirnya. Asmi berdecak melihat indahnya teko dengan tiga buah cangkir itu.
“Terima kasih, Dill. Kau memberi oleh-oleh banyak sekali.” Ucap Asmi gembira. “Ini apa?” Asmi membuka gulungan bertuliskan ayat suci Al-Qur’an.
“Itu terbuat dari daun papyrus. Kubeli ketika di Mesir.”
“Mesir? Pasti menyenangkan sekali perjalanan umrah-mu. Mana photo-photonya? Aku ingin lihat.”
Adilla menyerahkan album kecil. Dia sudah mencetak photo-photonya selama melakukan umroh dan ziarah wisata. Photo-photo itu sengaja dibawanya untuk melengkapi ceritanya pada Asmi setelah kemarin puas mengirimkan banyak pesan pendek pada Asmi. Dia sudah tidak sabar ingin segera bercerita pada Asmi, betapa menyenangkannya perjalanannya. 
“Sehabis umrah, kemana lagi perjalananmu selain ke Mesir?” Asmi membuka-buka album kecil itu. Dia melihat photo-photo itu satu persatu pada album kecil. Photo-photo itu menjadi pelengkap cerita Adilla melalui pesan-pesan pendek yang diterimanya kemarin tentang perjalanannya.
“Palestina, Jordania…….”
“Pastinya perjalananmu menyenangkan.” Ucap Asmi. Dia melihat photo Adilla dengan latar belakang phiramid.
“Ya, tempat-tempat bersejarah di Mesir hampir semuanya dikunjungi.”
“Seandainya aku punya uang, aku juga ingin  pergi berhaji. Atau umrah dulu sepertimu. Dill, apa ini?” Asmi menunjuk photo yang tengah dilihatnya. Ada banyak tulang belulang dalam photo itu.
“Oh, itu kerangka tujuh manusia yang disebut dalam ashabul Kahfi. Nah, yang ini photo aku ketika berdiri didepan gua sebelum masuk kedalam tempat dimana kerangka tujuh pemuda itu berada.”
“Indah sekali pemandangan di Jordania, Dill.” Ucap Asmi  terkesan melihat beragam photo Adilla selama dalam perjalanan di Timur Tengah. “Ini dimana?”
“Itu di Palestina.”
“Ada tentara, Dill. Tentara apa ini?”
“Itu tentara Israel. Palestina dikuasai oleh Israel. Pada saat masuk ke Palestina, semua warga diperiksa terlebih dahulu oleh tentara Israel. Begitu juga dengan wisatawan yang berkunjung ke Palestina?”
“Dill, aku minta photomu yang berdiri didepan phiramid ini, ya.”
“Boleh, ambil saja beberapa buah yang kamu mau. Photo-photo itu memang sengaja aku cetak untukmu. Pilih aja yang mana yang kamu suka.”
Asmi mengambil beberapa lembar photo. “Photo-photo ini akan aku simpan untuk kenang-kenangan. Aku juga ingin pergi umroh kalau aku punya uang.”
“Ya.” Ucap Adilla. Dia menangkap kegembiraan pada wajah Asmi. Adilla menatap Asmi  dengan tatapan bimbang. “Aku tadi mencarimu ke kampus. Handphonemu tidak aktif. Tapi aku tidak melihatmu dikampus.”
“Tadi siang selesai kuliah aku langsung pulang. Ada yang memesan kue untuk acara esok hari jadi aku langsung bekerja membuat kue.” Asmi mengambil kue dan mengunyahnya. “Ayo dimakan lagi. Biasanya kau paling suka kue cokelat.”
Adilla mengambil kue lagi sebuah, menggigitnya. “Kue buatanmu memang enak. Tak heran bila daganganmu laris dan banyak yang memesan.”
Asmi tersenyum. “Alhamdulillah, rejekiku diberi cukup.” 
“Kau hebat, bisa membiayai kuliahmu sendiri. Aku sendiri sampai sekarang masih meminta uang pada orangtua.”
Asmi tersenyum. “Tapi waktuku jadi habis untuk bekerja. Setiap hari selain urusan kuliah, waktuku habis untuk mengurus usaha membuat roti dan kue. Kamu kira aku tidak capek mengurus usahaku ini.” Asmi menyandarkan punggungnya kesandaran kursi.
“Setiap orang ingin menikmati masa remajanya dengan sepuas hati, mengisi masa remaja yang indah, yang hanya sekali seumur hidup dilakoni oleh manusia.” Kata Asmi lagi. “Keinginanku juga sama seperti remaja puteri lainnya. Namun aku bukan remaja yang dilahirkan dengan kondisi yang memungkinkan untuk menikmati indahnya dunia remaja. Aku  ingin bekerja untuk mendapatkan penghasilan. Aku ingin kuliah sementara keadaan keuangan ibuku serba pas-pasan. Setelah ayah meninggal, otomatis ibuku hanya mengandalkan dari uang pensiunan ayah. Kami berdua hidup hanya mengandalkan uang pensiunan ayah sebagai pegawai negeri. Aku harus berpikir untuk mencari uang. Untuk biaya sekolahku, untuk kehidupan sehari-hari, untuk memenuhi segala macam kebutuhanku.”
“Kau memang kreatif.”
Asmi menatap wajah Adilla yang  kelihatan berbeda dari  biasanya. Dia merasa ada sesuatu pada Adilla. “Ada apa?”
Adilla membalas tatapan Asmi. Lama sekali dia menatap wajah gadis itu. Seakan ada yang ingin diungkapkannya melalui tatapan matanya. Kata-katanya kemudian meluncur perlahan dan lirih. “As, aku akan bertunangan. Hari minggu lusa.”
Asmi menatap Adilla. Mula-mula terasa biasa saja. Adilla akan bertunangan. Kalimat itu terasa biasa saja terdengar ditelinganya. Namun kemudian terasa ada sesuatu yang menyentuh perasaannya. Lalu  terasa seakan mengiris. Sakit dan pedih. Dia merasa tak percaya dengan apa  yang diucapkan Adilla. Bertunangan? Dengan siapa? Ya Allah, kuatkanlah hatiku dan sabarkanlah aku dengan semua ini. Ternyata sia-sia penantianku selama ini. Asmi berusaha mengendalikan perasaannya.  Adilla pasti tidak akan menduga apa yang sekarang berkecamuk dalam hatinya. Adilla selama ini hanya menganggap dirinya  hanya sebagai temannya semata. Tidak lebih dari itu. Adilla hanya menganggap dirinya sebagai sahabat sejak mereka masih duduk dibangku SMA. Namun dirinyalah yang memiliki perasaan lain kepada Adilla. Dirinyalah yang menempatkan Adilla bukan sekedar teman atau sahabat, namun  sebagai seseorang yang istimewa dihatinya. Cukup lama dia menunggu Adilla mengungkapkan perasaannya kepadanya, perasaan cinta seperti yang dimilikinya untuk Adilla. Namun Adilla tak kunjung mengucapkan kata itu. Bahkan kini dia  mengatakan akan bertunangan dengan gadis lain. Sekejap Asmi memejamkan matanya. Hanya sekejap. Jangan sampai Adilla tahu bagaimana  perasaannya mendengar berita yang baru saja disampaikan Adilla kepadanya.
“Kau akan bertunangan, Dil?” ucap Asmi berusaha kelihatan ikut bergembira dengan berita itu. “Berita  gembira.  Hari minggu lusa, ya? Oh, kenapa baru sekarang kau menyampaikan berita gembira ini kepadaku? Siapa calon tunanganmu itu?”
Adilla menyandarkan punggungnya. Dia menatap Asmi.  “Namanya Ninda.” Ucapnya pelan. “Aku baru kenal dengannya empat bulan lalu. Ibunya adalah teman pengajian ibuku. Kami bertemu dan berkenalan waktu sama-sama ikut  ibu kami ke pengajian itu. Sejak itu kami sering bertemu. Ninda sering menelepon aku, meminta aku kerumahnya, atau menemaninya pergi belanja, atau sekedar jalan-jalan. Kami juga kemarin pergi umrah sama-sama. Ninda bersama kedua orangtuanya. Aku juga bersama kedua orangtuaku, dan kakakku Farhan bersama istrinya. Sebelum berangkat umroh memang sudah ada pembicaraan antara orangtuaku dengan orangtua Ninda. Orangtua kami menginginkan kami kelak bisa menjadi suami istri. Namun karena aku dan Ninda masih sama-sama kuliah, orangtua kami menginginkan kami bertunangn terlebih dahulu.”
“Ninda. Namanya bagus sekali. Pasti orangnya cantik, ya?” Tanya Asmi dengan nada biasa-biasa saja. Dia  berusaha menekan perasaan cemburu yang terasa mengganggu  perasaannya.
Adilla  tersenyum. “Orangnya cantik sepertimu. Hanya bedanya dalam  penampilan keseharian, kau mengenakan  jilbab, Ninda tidak. Tapi dia bilang suatu saat dia juga ingin mengenakan jilbab. Hanya untuk saat ini dia merasa masih belum siap.” Sahut Adilla.
“Kau pasti bahagia dan senang. Aku turut mendoakan semoga Ninda adalah jodohmu. Mudah-mudahan engkau cocok dengannya. Kapan rencananya kalian akan menikah?”
“Aku dan Ninda masih harus menyelesaikan kuliah dulu. Akupun ingin bekerja dulu sebelum menikah. Rumah tangga kan memerlukan biaya. Mungkin setelah kuliahku selesai dan aku sudah bekerja, barulah kami menikah.”
“Yah, kau yang akan menjalani perkawinan, Dill. Kau pasti harus mempertimbangkan segalanya dengan matang.”
“Rencana pertunangan ini pada mulanya  aku menolak. Aku belum ingin terikat dengan tali pertunangan. Aku masih ingin bebas. Namun ibuku  dan ibunya Ninda menghendaki kepastian hubunganku dengan Ninda. Mereka memahami alasanku   bila saat ini aku belum bersedia  menikah  karena aku dan Ninda masih sama-sama kuliah. Namun ibuku  dan ibunya Ninda sepakat agar  kami bertunangan dulu.”
“Ibumu dan ibunya Ninda benar. Lebih baik kalian memang bertunangan dahulu. Dengan pertunangan itu kalian diberi kesempatan untuk menyelesaikan dulu kuliah kalian, dan engkau mendapatkan pekerjaan terlebih dahulu sebelum engkau menjadi seorang kepala rumah tangga.”
“Ya. Tapi………..” Adilla menatap Asmi. “Sebenarnya aku  bingung. Kau tahu kondisiku, aku masih kuliah. Aku belum bekerja. Untuk kebutuhan kuliah dan segala macam kebutuhan aku sehari-hari pun aku masih meminta uang pada ibuku. Terus terang, pertunangan inipun terasa  menjadi beban bagiku karena seolah-olah aku sudah memiliki  tanggungan seorang gadis yang telah dipersiapkan untuk menjadi istriku nanti.”
“Jangan kau anggap sebagai beban, jalani saja apa adanya.”
“Apa bisa aku menjadi suami Ninda?”
“Kenapa kau bertanya begitu?”
“Ninda orangnya boros,  royal dan hobi jalan-jalan. Tapi aku menyukainya. Dia baik dan perhatian. Aku terpikir  untuk bekerja paruh waktu disela-sela kuliahku.  Bagaimanapun aku harus punya penghasilan. Aku malu bila aku masih meminta uang  pada ibuku bila ada hal-hal penting untuk urusan aku dan  Ninda.”
“Ibumu pasti memahami keadaanmu saat ini yang masih kuliah, Dil. Kau tidak perlu berpikir terlalu rumit. Jalani saja pertunanganmu dengan Ninda. Bila kuliahmu lancar,  tahun depan kau sudah akan selesai kuliah. Tahun depan kau sudah mendapatkan ijazah sarjanamu dan kau sudah bisa mencari pekerjaan.” Ucap Asmi.  Asmi  tersenyum melihat wajah Adilla yang serius. Seakan ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. “Kurasa ibumu sudah faham, untuk saat ini kau pasti masih akan mendapatkan uang saku yang cukup bahkan mungkin diberi lebih untuk hal-hal lain diluar segala biaya keperluanmu untuk kuliah dan untuk kebutuhan hidupmu sehari-hari. Apalagi  uang bensin, pasti bertambah.”
“Kenapa?” Adilla melihat senyuman dibibir Asmi.
“Ibumu pasti tahu kau akan sering jalan-jalan dengan Ninda sehingga memerlukan uang bensin yang lebih besar dibandingkan dengan dulu.”
Adilla tersenyum. Dia senang Asmi mendukung pertunangannya dengan Ninda. Padahal sebelumnya dia dilanda kegelisahan dan keraguan. Dia tidak ingin mengecewakan keinginan ibunya dan ibunya Ninda. Namun pada sisi  lain dia masih merasa ragu untuk melangkah. Namun sekarang dia merasa lega mendengar ucapan  Asmi. Dia merasa didukung oleh sahabatnya.
Asmi tersenyum menatap Adilla. “Adilla, aku ingin engkau bahagia menghadapi hari pertunanganmu hari minggu lusa.”
“Kau datang bersama-sama dengan keluargaku kerumah Ninda, ya.”
“Kalau kau mengajak aku, tentu saja aku akan ikut.”
“Tentu aku mengajakmu. Tadi aku  sudah  bilang  pada ibuku aku akan mengajakmu menghadiri pertunanganku dengan Ninda. Ibuku  setuju. Jadi hari  minggu pagi, sebelum jam tujuh kau sudah harus berada dirumahku, ya.”
“Sebelum jam tujuh?”
“Ya. Jam Sembilan kita berangkat kerumah Ninda.”
“Kenapa pagi-pagi sekali aku sudah harus berada dirumahmu? Jam setengah tujuh sih kepagian. Hari libur aku biasanya mandi jam tujuh. Tapi demi kamu aku rela mandi jam enam. Kalau berangkat kerumah Ninda jam sembilan, jam setengah delapan aku sudah berada dirumahmu.”
“Aku ingin engkau sudah hadir dirumahku lebih lama sebelum berangkat kerumah Ninda.”
“Kenapa?”
“Ibu  membelikan aku dua buah kemeja batik.  Yang satu dasarnya warna merah hati. Yang satu lagi dasarnya warna hijau. Motifnya sama bagusnya. Ibu  sengaja membelikan dua buah kemeja batik itu agar aku bisa memilih mana yang lebih aku sukai. Aku bingung mau memakai yang mana. Coba kamu nanti yang membantu aku memilihkan kemeja batik mana yang lebih pantas aku kenakan dihari pertunanganku nanti.”
“Itu sih gampang. Aku bisa membayangkan kau pasti tampan sekali bila mengenakan kemeja batik warna merah hati.”
“Tapi kau belum lihat kedua kemeja batik itu motifnya berbeda.”
“Tapi aku bisa membayangkan, kemeja batik dengan dasar merah hati pasti lebih cocok untuk kau kenakan dihari pertunanganmu nanti.”
“Kenapa pilihanmu pada kemeja batik merah hati?”
“Kau mengenakan kemeja batik warna merah hati waktu mengantar aku ke resepsi pernikahan Meila, masih ingat? Saat itu kau sempat membuat aku terkesima?” Asmi tersenyum menggoda Adilla.
Adilla tertawa.
“Tapi hanya sempat terkesima saja, tidak sampai membuat aku terkesima beneran.”
Adilla tidak menanggapi canda Asmi. “Oke, tapi kau tetap datang jam setengah tujuh, ya.”
“Aku datang jam setengah delapan. Kalau jalanan macet, aku terlambat datang kerumahmu  tidak apa-apa, kan?”
“Kalau jam setengah delapan kau belum juga datang, aku akan menjemputmu.”
“Akan aku usahakan jam setengah delapan aku sudah berada dirumahmu. Aku tidak mau seluruh keluargamu memarahi aku gara-gara kau kabur menjemput aku.”
“Oke, aku percaya. Kau pasti menepati janji.” Adilla kelihatan lega.
Asmi diam. Diam-diam dia memperhatikan wajah Adilla. Namun saat itu Adilla pun tengah menatapnya.
“Selama ini kau adalah sahabatku, Asmi.” Ucap Adilla tiba-tiba. Seperti ada yang tengah dipikirkannya.  “Aku sudah lama melewatkan waktu bersama-sama denganmu. Sejak kita masih sama-sama di SMA.”
“Yah, aku memang sahabatmu, ya?” Asmi menghela napas dalam. “Alangkah senangnya aku bisa  menjadi sahabatmu, Dil.”
“Aku juga senang bisa menjadi sahabatmu, Asmi.”
“Bila kau sudah bertunangan dengan Ninda, apakah aku masih akan tetap menjadi sahabatmu?”
“Tentu saja, Asmi. Kau tetap sahabatku sampai kapanpun. Nanti aku akan memperkenalkan engkau  kepada Ninda. Ninda pasti senang berkenalan denganmu.”
“Jangan!” ucap Asmi spontan, terlontar begitu saja.
“Kenapa?” Adilla menatapnya  heran.
“Jangan! Aku tidak mau!”
“Kenapa kau tidak mau berkenalan dengan Ninda? Dia baik dan cukup familiar.”
“Aku percaya dia baik, tapi kau harus faham perasaan wanita. Bila engkau memperkenalkan aku sebagai sahabatmu kepada Ninda, belum tentu Ninda akan menerimanya dengan lapang dada. Adilla, perasaan wanita sulit dimengerti. Fahamilah, sebelum terlanjur kau menciptakan bara dalam hubunganmu dengan Ninda, janganlah engkau mencoba menyalakan bara itu.”
“Wah, kata-katamu puitis begitu?” Adilla tertawa. “Kau terlalu berlebihan.”
“Aku tidak berlebihan. Aku mengucapkan apa yang ada dalam pikiranku.”
“Aku tidak mengerti.”
“Oh, bodohnya kamu!” gerutu Asmi. “”Ninda akan cemburu kepadaku walaupun kau memperkenalkan aku sebagai sahabatmu. Perasaan wanita sensitif, Adilla.”
“Kau terlalu jauh menduga. Belum tentu Ninda akan seperti itu. Dia tahu aku memiliki banyak teman wanita. Sudah beberapa kali setiap kali aku sedang jalan dengan Ninda kami bertemu teman-teman wanitaku. Aku memperkenalkan mereka kepada Ninda dan Ninda tidak apa-apa.”
“Aku yang tidak mau kau perkenalkan dengan Ninda. Pokoknya aku hanya ikut mengantarmu kerumah Ninda. Aku berbaur dengan keluargamu dan kau tak perlu secara khusus memperkenalkan aku kepada Ninda sebagai sahabatmu.  Bila kau  tidak mengikuti keinginanku ini,  lebih baik aku tidak jadi pergi ikut mengantarmu kerumah Ninda.”
“Ya, baiklah kalau itu keinginanmu.” Adilla mengangguk.
Asmi tersenyum. Telepon genggamnya berbunyi. Asmi mengangkatnya. Lalu bicara. “Ya, tante. Oh, baik. Iya, tante. Kue apa saja? Ya, ya.”
Sesaat Asmi bercakap-cakap ditelepon. Lalu telepon ditutup. Dia menoleh pada Adilla sambil tersenyum.
“Ibumu pesan kue kering untuk hari minggu lusa. Ibumu tahu dari siapa nomor teleponku.”
“Dari aku. Kemarin ibu meminta nomor teleponmu.”
Asmi tersenyum. Perasaannya  lega. “Aku akan membuatkan kue kering. Masih ada waktu untuk hari minggu lusa.”
Sepulang Adilla, Asmi masuk kekamarnya. Dia melihat pada dua buah novel yang tergeletak diatas meja belajarnya. Sebelum Adilla berangkat umrah, Adilla membelikan dua novel itu untuknya. Ada sesuatu yang terasa membuat  perasaannya sedih. Sedih dan hampa. Adilla akan bertunangan. Adilla akan segera menjadi milik gadis lain. Masih adakah kemungkinan  aku memilikinya seperti halnya harapan-harapanku yang kupupuk dan kusirami selama ini? Ataukah harapan-harapanku selama ini yang kusiram setiap hari harus layu seketika  dengan pertunangan Adilla ini? Airmatanya tak bisa ditahan lagi. Asmi mendekap kedua novel itu kedadaya. Hatinya terasa perih. Aku yang salah, batinnya berbisik. Seharunya aku tidak menaruh perasaan lain terhadap Adilla seperti halnya Adilla sendiri yang ternyata hanya menganggap aku sebagai sahabatnya semata. Asmi menatap kelima lembar photo Adilla yang tadi diterimanya. Airmatanya jatuh menitik.

--- 0 ---


Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri, pikir Asmi. Aku sungguh merasa kehilangan Adilla. Yah, aku akan kehilangan Adilla bila dia kelak telah dimiliki Ninda. Asmi merasa malas melakukan kegiatan apapun. Setelah memberi petunjuk pada Rohmah, pembantunya yang paling ahli membuat roti dan kue dan selama ini sudah dipercayainya dalam membantunya menangani usahanya, dia kembali kekamarnya.  Ditatapnya buku-buku kuliahnya  yang tergeletak diatas meja belajarnya, yang tak sempat dibacanya. Pikirannya terasa tidak bisa konsentrasi. Apapun yang dilakukannya, pikirannya terasa terpecah. Kedatangan Adilla semalam yang memberitahu dirinya akan bertunangan membuat semangat Asmi mendadak hilang entah kemana. Dia merasa lesu. Perasaannya terasa hampa.
“Kenapa, Asmi?” Tanya Maryati. Ibunya, melongok kekamar, melihat Asmi seperti lesu.
“Tidak apa-apa.” Sahut Asmi.
Maryati tidak percaya. Dia melihat sesuatu yang berbeda pada Asmi. Tidak biasanya anak satu-satunya itu nampak lesu seperti itu. Namun dia tidak tahu apa sebabnya. 
“Kamu sakit?”
“Tidak, ma.”
“Lalu kenapa kau seperti tidak bersemangat seperti itu?”
“Aku lagi malas saja, ma.” Sahut Asmi. Dia merebahkan tubuhnya. Memejamkan matanya dan tidak peduli dengan kehadiran ibunya.
 “Mama dengar tadi kau menyerahkan semua pekerjaan pada Rohmah, kau mau pergi kemana?”
“Tidak kemana-mana. Aku malas saja mengerjakan pekerjaan hari ini.”  Sahut Asmi masih tetap memejamkan matanya. 
“Ya, sudah. Kalau kau sakit, istirahat saja. Biar mama yang menangani di dapur.”
Maryati  pergi.
Asmi menghela napas dalam. Dia merasa lega ibunya tidak banyak bertanya lagi. Dia mengambil album photo didekatnya. Dibukanya lembaran demi lembaran. Beberapa buah photo dirinya dengan Adilla terpampang disana. Waktu mereka jalan-jalan ke Maribaya. Asmi tersenyum hambar. Kenangan itu terasa mengusik perasaannya.  Wajah Adilla  dalam photo itu begitu cerah dan segar. Mereka berphoto dengan latar belakang air terjun, diatas jembatan dan ketika sedang duduk berdampingan di warung pada kursi bambu sambil minum es kelapa muda. Photo-photo itu terasa begitu  berarti pada saat sekarang Adilla sudah akan menjadi milik gadis lain.
Pintu terbuka. Maryati  datang lagi melongok kedalam kamar.
“Asmi, Rohmah bilang ada beberapa macam kue yang harus dikemas terpisah. Katanya, kau memesan untuk dibawa kerumah Adilla. Ada acara apa dirumah Adilla?” Tanya Maryati.
Asmi menyimpan album photo. Dia tidak ingin ketahuan oleh ibunya apa yang tengah berkecamuk dalam hatinya.  “Hari minggu besok ada acara dirumah Adilla.”
“Acara apa?”
Asmi menatap ibunya sesaat, lalu menyahut lirih. “Adilla akan bertunangan.”
Maryati  menatap anaknya. Tiba-tiba Maryati  mencoba menduga  mengapa Asmi kelihatan berubah. Maryati   masuk dan duduk disamping tempat tidur, menatap wajah puterinya yang sejak pagi nampak lesu.
“Oh, Adilla akan bertunangan dan kau akan kesana?”
“Ya, semalam Adilla kemari.” Sahut Asmi lirih. Dia berpikir lebih baik dia bicara terus terang pada ibunya. “Dia memberitahu aku rencana  pertunangannya dan mengajak aku ikut dengan keluarganya kerumah Ninda, calon tunangannya. Tidak enak menolak ajakan  Adilla. Insya Allah aku akan ikut mengantar Adilla. Tapi kue-kue itu untuk dirumah Adilla. Ibunya semalam meneleponku, memesan kue-kue kering itu.”
Maryati  diam sesaat. Dia membaca sesuatu dalam wajah puterinya. Lalu tersenyum lembut. Kini dia sudah bisa menduga, mengapa hari ini  Asmi kelihatan lesu.  “Yah, kalian sudah lama berteman. Kau harus  menunjukan bahwa kau seorang teman yang baik buat Adilla. Kau harus menunjukan perhatianmu  sebagai seorang teman pada Adilla seperti halnya Adilla selama ini sering menunjukan perhatiannya kepadamu.”
“Ya, ma.”
“Kau tidak apa-apa Adilla akan bertunangan, kan?” Tanya Maryati seakan menyelidiki perasaan anaknya.
“Tentu saja tidak apa-apa.” Sahut Asmi datar.
“Adilla pasti akan tetap menjadi temanmu walaupun  dia sudah bertunangan, hanya saja kalian berdua sekarang harus bisa membatasi pergaulan kalian, tidak lagi seperti dulu, kemana-mana sering berdua. Setelah Adilla bertunangan dengan….siapa nama calon tunangan Adilla itu?”
“Ninda.”
“Yah, setelah Adilla bertunangan dengan Ninda,  pastinya kalian tidak bisa bersama-sama sebebas seperti dulu lagi. Kalian tetap teman namun pertemanan kalian sudah terbatas karena sekarang Adilla sudah menjadi tunangan Ninda. Kau  faham dengan maksud mama, kan?”
“Ya, ma.”
Mendadak perasaan Asmi terasa sedih.  Ucapan ibunya malah membangkitkan kesedihannya yang sejak semalam berusaha dipendamnya. Maryati  memperhatikan wajah puterinya  yang muram. Membayangkan persahabatannya dengan Adilla akan menjadi renggang sudah cukup membangkitkan kesedihannya. Apalagi membayangkan Adilla akan menjadi milik gadis lain. Airmatanya seakan tak sanggup dibendung lagi.
“Kamu menyukai Adilla, As?” Tanya Maryati lembut, tidak ingin mengusik perasaan puteri semata wayangnya ini.
Asmi tidak menyahut. Namun Maryati  sudah bisa menduga bagaimana perasaan puterinya pada Adilla. Bahkan selama ini dirinya pun sering mengharapkan diantara puterinya dengan Adilla. Bukan hanya sebagai teman. Namun ada hubungan lain yang lebih istimewa. Sebagai seorang ibu, dia sering menilai teman-teman Asmi,  yang laki-laki maupun yang perempuan. Diantara teman laki-laki Asmi, Adilla nampak lebih istimewa dimatanya. Dari kesantunannya. Dari perhatiannya kepada Asmi.  Dari sikap dan caranya dalam memperlakukan Asmi. Dan hal-hal lain yang membuat perasaannya sebagai seorang ibu yang selalu mengharapkan yang terbaik untuk puteri satu-satunya, berharap Adilla  bukan hanya sekedar teman buat puterinya. Namun kini kenyataan berbicara lain. Ada perasaan kecewa yang menyelinap dalam hatinya seperti yang dirasakan Asmi. Namun dia tidak ingin memperlihatkan kekecewaannya. Puterinya masih muda. Jalan hidupnya masih panjang. Masih banyak kemungkinan yang bakal terjadi dalam hidupnya. Andaikan Adilla bukan lelaki yang diciptakan untuk menjadi pendamping puterinya, semoga Allah memberikan pengganti seorang lelaki yang lebih baik untuk puterinya.  Selalu ada doa-doa dan pengharapan untuk kebahagiaan puteri terkasihnya ini. 
“Asmi, mama harap kau menerima kenyataan ini dengan lapang dada. Mama memahami kau pasti merasa kehilangan bila Adilla sudah tidak bisa sedekat   dulu lagi denganmu. Kau masih memiliki banyak teman laki-laki. Kau bisa menjalin persahabatan dengan yang lain.”
Tapi tidak akan  ada yang sebaik Adilla, pikir Asmi. Dia menghapus air matanya yang mendadak terjatuh bergulir membasahi pipinya. Dengan Adilla, persahabatanku terasa berbeda. Terasa penuh arti. Karena aku sangat menghayati dan menikmati persahabatanku dengan Adilla.
“Kamu mencintai Adilla?” Kembali  Maryati bertanya lembut. Hatinya  terasa perih melihat airmata yang membasahi pipi anaknya. Apapun perasaan yang dirasakan puterinya itu, dapat dirasakan juga oleh dirinya. Kesedihan Asmi adalah kesedihannya juga.
Asmi tetap tidak menyahut.
Maryati  menarik napas dalam. Perasaannya terasa sedih melihat belahan jiwanya seakan tengah berduka. Digenggamnya tangan puterinya.
“Jodoh ditentukan oleh Allah.” Ucap Maryati lembut. “Bila engkau mengharapkan Adilla, semoga Allah membukakan jalan-Nya untuk kalian berdua. Namun apabila Adilla bukan jodohmu, Insya Allah suatu saat nanti Allah akan mengirimkan seorang laki-laki yang terbaik untukmu sebagai jodohmu. Berdo’alah kepada Allah. Mintalah yang terbaik untuk dirimu, untuk kehidupanmu, Insya Allah, Allah akan mendengarkan dan mengabulkan do’a-do’amu.”
Asmi terisak pelan. “Ya, selama ini aku ternyata salah menafsirkan kebaikan-kebaikan dan perhatian-perhatian Adilla kepadaku, ma.” Ucap Asmi tersendat. “Aku mengira  Adilla mencintaiku. Aku mengira Adilla akan menungguku hingga aku  dan dia selesai kuliah. Namun ternyata aku keliru. Aku keliru membaca perasaan Adilla kepadaku. Ternyata  sekarang   Adilla akan bertunangan dengan gadis lain. Terus terang aku merasa kecewa dengan kenyataan ini.”
Maryati  berusaha tersenyum walaupun matanya  membasah. “Jodoh ada ditangan Allah. Biarkan Allah mengatur segalanya. Untukmu. Juga  untuk Adilla. Kau tidak perlu memaksakan diri berusaha untuk mendapatkan Adilla apabila dia memang bukan jodohmu. Namun apabila Adilla adalah jodohmu, cepat atau lambat Allah  akan mempersatukan kalian berdua.”
Maryati   mengelus punggung tangan anaknya. “Kau masih muda. Masih banyak kemungkinan yang  bakal terjadi dalam hidupmu. Jalani kehidupanmu apa adanya dan selalu ingat kepada Allah. Allah akan menilaimu dan memberikan yang terbaik  dalam hal  apapun kepadamu  untuk mengisi hidupmu.”
Asmi hanya mengangguk. “Ya, ma.”
Maryati  keluar kamar.  Menutup pintu dengan hati-hati. Sesaat matanya mengawasi anaknya, sebelum menutup pintu rapat-rapat.
Asmi  kembali sendirian. Dia menyibakan gorden kamarnya. Sinar mentari masuk kekamarnya. Sudah jam sembilan. Dan dia sudah berjam-jam lamanya mengurung dirinya dikamar. Ya, kenapa aku harus menenggelamkan diri dalam kekecewaan  hanya karena Adilla akan bertunangan dengan gadis lain? Aku hanya merugikan diriku sendiri. Matahari bersinar begitu cerah dan memberikan kehangatan di permukaan bumi. Juga memberikan kehangatan kepadaku, agar aku bangun dan tidak mengurung diri dikamar.
Asmi beranjak  dari tempat tidur. Dia melihat wajahnya dicermin. Kelihatan muram. Dibenahinya wajahnya. Memakai bedak dan lipstick.  Dia keluar dari kamarnya. Didapur Rohmah dan pembantu-pembantunya yang lain sedang sibuk bekerja, kesibukan rutin seperti hari-hari biasanya membuat roti dan kue basah. Tanpa banyak bicara dia segera bekerja. Usaha roti dan kue basah  yang telah dengan susah payah dirintisnya tak boleh terganggu hanya karena kekecewaannya. Asmi tidak  ingin  larut  dengan kesedihan yang tengah mengganggu perasaannya. Dia menenggelamkan diri dalam  kesibukannya. Lalu melihat jam. Sudah hampir  jam sebelas. Dia harus segera bersiap pergi ke kampus. Kuliah pertama  tadi terpaksa dia bolos. Aku harus ingat, pendidikan adalah masa depanku. Aku bekerja jadi pembuat roti dan kue  justru untuk membiayai pendidikanku. Demi kelanjutan pendidikanku, aku rela bekerja keras memiliki usaha roti dan kue. Semangat Asmi terasa muncul lagi, menepiskan segala kerisauan dan kesedihan yang tadi membelenggunya.
“Sudah sembuh, mbak?” Tanya Mardiatun, yang biasa disapa Atun. “Kalau masih sakit sebaiknya mbak Asmi beristirahat saja dulu.”
“Aku tidak apa-apa kok.” Sahut Asmi. “Dagangan kita hari ini sudah diambil  semua?”
“Sudah, mbak.”
“Mbak, sebagian kue-kue  kering pesanan mbak untuk lusa   sudah dibuat dan saya simpan diatas meja makan.” Kata Rohmah. “Sisanya masih dibuat.”
“Ya. Terima kasih, ya.”
Asmi mengucap syukur dalam hatinya. Allah telah membukakan   jalan baginya untuk mencari rejeki. Usaha pembuatan roti dan kue miliknya dari hari ke hari menunjukan perkembangan yang baik.  Roti dan kue basah dagangannya tiap hari selalu laris. Langganan  yang memesan kerumah pun  semakin bertambah. Ya Allah, terima kasih atas nikmat dan karunia  yang telah Engkau berikan kepadaku selama ini.  Maafkan aku bila kadang aku lupa mensyukuri nikmat dan karunia yang telah Engkau berikan kepadaku.

--- 0 ---

“Wajahmu kelihatan pucat, kenapa? Kamu sakit, ya?” Riana menatap wajah Asmi.
Asmi mencoba menghindar pertanyaan Riana. Dia tidak ingin ada seorangpun yang tahu apa yang sedang dirasakannya dan terasa mengganggu pikirannya. Juga Riana. Walaupun Riana adalah sahabatnya, dia tidak ingin Riana tahu apa yang kini tengah mengganggu perasaannya. Riana adalah sahabatnya. Dia percaya pada Riana. Namun dia tidak ingin Riana tahu bagaimana perasaannya dengan kenyataan Adilla akan bertunangan dengan gadis lain. Dia tidak ingin perasaannya terbongkar oleh siapapun. Juga oleh Riana, sahabatnya sendiri.
“Aku kurang tidur semalam.” Kilah Asmi. “Ada  yang memesan kue. Baru selesai kukerjakan sampai jam sebelas malam. Lalu aku mengetik tugas makalah sampai jam dua belas lewat. Subuh aku sudah menyiapkan kue-kue pesanan diantar ke langganan.”
“Kau terlalu kecapean, Asmi.”
“Memang, tapi aku senang menjalani semua itu.”
“As, kamu sudah tahu Adilla akan bertunangan?” tanya Riana tiba-tiba.
Asmi tidak segera menjawab. Dia mengeluarkan bukunya dari dalam tasnya. Dia tidak  ingin membicarakan Adilla, namun bila dia mengelak, Riana akan tahu bagaimana perasaannya yang sesungguhnya kepada Adilla. 
“Sudah.” Sahutnya pelan. “Adilla sendiri yang bercerita kepadaku. Kemarin malam dia datang kerumah, dan cerita tentang rencana pertunangannya.”
“Ninda, calon tunangan Adilla  itu baru sembuh dari patah hati. Kekasihnya, Fahrul,  meninggal dalam kecelakaan. Ninda prustasi. Lama sekali yang dilakukan Ninda  hanya mengurung diri dikamarnya. Hingga akhirnya ibunya mempertemukannya dengan Adilla. Ternyata mereka berdua menemukan kecocokan satu sama lain. Hanya beberapa bulan  mereka bersama-sama, akhirnya orangtua mereka sepakat untuk menjodohkan mereka. Adilla nampaknya bisa memulihkan kembali perasaan Ninda. Terutama setelah mereka melakukan perjalan umroh bersama-sama tempo hari.”
“Darimana kamu tahu cerita itu?”
“Dari Yuni, teman adikku. Dia teman sekelas Ninda waktu di SMA.”
Asmi hanya menghela napas dalam. Berita pertunangan Adilla nampaknya sudah menyebar dilingkungan teman-teman mereka.
“Aku tidak menduga Adilla akan bertunangan dengan gadis lain. Selama ini Adilla sering bersama-sama denganmu. Kemana-mana kalian selalu berdua. Banyak teman-teman kita yang menduga kau adalah calon Adilla. Habis kalian lengket terus sih…….”
Asmi hanya tersenyum. Membicarakan Adilla hanya menambah  rasa sakit dihatinya. Lebih baik dia tidak membicarakan apapun tentang Adilla bila hal itu hanya akan menambah goresan  luka dihatinya. Seakan faham dengan perasaan Asmi, Riana tidak bicara apa-apa lagi. Dia mengeluarkan dua buah jeruk dari dalam tasnya. Diberikannya sebuah pada Asmi.
“As, maafkan aku, ya.” Riana berucap lirih.
“Maaf untuk apa?”
“Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu dengan pertunangan Adilla, tapi aku tahu bahwa selama ini kau memang dekat dengan Adilla.”
“Lalu…….”
“Kau tidak apa-apa mendengar Adilla akan bertunangan dengan gadis lain?”
Asmi berusaha tersenyum. “Insya Allah aku tidak apa-apa. Adilla memang selama ini dekat denganku, namun semuanya juga tahu bahwa kedekatan antara aku dengan Adilla selama ini hanya sebagai sahabat saja. Kau juga tahu hal itu, kan?”
Riana mengangguk. Dia faham, ada sesuatu yang disembunyikan Asmi dari sorot matanya yang sayu.  Namun Riana tidak ingin mengganggu Asmi. Dia merasa kasihan pada sahabatnya ini. Dia tahu Asmi sejak dulu menyukai Adilla walaupun kedekatan Asmi dengan Adilla selama ini hanya berbungkus tali persahabatan.  

--- 0 ---

Asmi terbangun  mendengar  telepon genggamnya berbunyi. Sebuah pesan pendek  masuk. Jangan lupa hari ini aku bertunangan. Kutunggu dirumah sebelum jam 7. Asmi menaruh kembali handphonenya. Aku tidak boleh memperlihatkan kesedihanku, pikir Asmi. Kepalanya terasa berat. Semalam dia tidur setelah larut malam. Pikirannya tak bisa ditentramkan. Selalu kembali dan kembali lagi memikirkan Adilla. Aku tidak boleh memperlihatkan kesedihanku, pikir Asmi lagi. Kalau aku kelihatan  layu, apalagi kelihatan sedih, Adilla akan curiga.
Bergegas Asmi mandi. Dia mengenakan pakaian yang sudah disiapkannya sejak kemarin. Rok panjang motif batik dengan kebaya merah muda model encim. Kerudungnya warna merah muda, serasi dengan kebayanya.
“Ma, aku pergi dulu, ya.” Asmi pamit pada ibunya.
“Ya, hati-hati, ya.” Sahut Maryati, tersenyum menatap anaknya.
Asmi mengambil dua buah kantong plastik berisi kue kering. Bergegas dia pergi. Dirumah Adilla sudah banyak orang ketika Asmi tiba disana. Asmi masuk melalui pintu samping. Dari sana langsung masuk keruang makan. Kebetulan Adilla sedang ada disana, duduk dimeja makan sedang sarapan. Beberapa orang keluarga Adilla juga ada disana. Ada Maya, istri Wisnu kakak tertua Adilla. Juga Desi, istri Farhan, kakak Adilla lainnya.
“Hampir aku jemput kalau kau sepuluh menit lagi belum juga datang.” Gurau Adilla menyambut kedatangan Asmi. Kelihatan  cerah dengan batik merahnya.
Asmi menaruh dua buah kantong plastik yang dibawanya diatas meja. Dia menyalami beberapa keluarga Adilla yang tengah duduk diruangan tengah. Lalu dia menghampiri Adilla.
“Aku malu, didalam kendaraan umum tadi, aku kelihatan aneh mengenakan  kain dan kebaya ini. Semua orang sepertinya memperhatikan aku.” Kata Asmi.
Adilla ketawa. “Salahmu juga, aku sudah menawarimu untuk kujemput tapi kau tidak mau. Nanti pulang aku antar, ya.”
“Ya. Jangan bohong.” Ucap Asmi. Namun mendadak dia teringat sesuatu. “Lebih baik jangan. Biar aku pulang naik kendaraan umum lagi.”
“Lho, kenapa?”
“Apa tunanganmu tidak akan marah kalau tahu kau mengantar aku pulang?”
Adilla tersenyum. “Ya, enggaklah. Masa aku mengantar temanku saja dia marah. Enggak, Ninda pasti mengerti, kok.” Ucap Adilla ringan. Dia melihat pada kantong plastik yang ditaruh Asmi diatas meja. “Apa itu?”
“Kue pesanan ibumu.”
“Terima kasih, Asmi. Uangnya mau diambil sekarang?” Kata Nani, ibunya Adilla. senyumannya ramah seperti biasa. Wanita paruh baya yang masih nampak cantik dan segar itu mengenakan kebaya warna coklat.
“Nanti saja, tante. Bisa titip sama Adilla saja nanti.” Sahut Asmi.
“Mah, Asmi tahu kue apa yang sangat  aku sukai. Nah, kalau aku kerumahnya, dia pasti menyuguhi aku dengan kue-kue kesukaanku.” Ujar Adilla.
Nani hanya tersenyum mendengar ucapan anaknya. 
Tidak lama rombongan keluarga Adilla menuju rumah Ninda. Rumah Ninda besar dan megah. Saat itulah Asmi sadar, apalah artinya dirinya bila dibandingkan dengan Ninda. Pantas bila Adilla memilih Ninda. Ninda  memiliki segalanya yang lebih dari dirinya. Lagi pula Adilla selama ini hanya menganggap aku sebagai sahabatnya semata, pikir Asmi. Aku yang telah salah menafsirkan kebaikan-kebaikan dan perhatian-perhatian  Adilla selama ini kepadaku.
Ninda   turut  menyambut kedatangan rombongan keluarga Adilla. Gadis itu cantik sekali. Kulitnya putih bersih. Ada tahi lalat besar disudut bibirnya sebelah kiri, membuat senyumannya  kelihatan sangat menarik. Rambutnya hitam, disanggul kecil dengan hiasan rambut berwarna keperakan.  Ninda mengenakan kebaya hijau. Ketika berdiri disamping Adilla, Ninda begitu cantik dan anggun. Mereka kelihatan serasi sekali. Dalam hati Asmi mengakui, Adilla dan Ninda kelihatan serasi.
Acara pertunangan itu berlangsung lancar.  Asmi melihat acara pertunangan itu istimewa sekali. Begitu banyak hidangan yang disajikan. Beragam macam makanan yang ditata pada beberapa buah meja bundar. Yang hadir pun bukan hanya dari pihak keluarga Adilla dan Ninda saja, namun rekan-rekan orangtua mereka juga hadir.
Asmi lebih banyak duduk menyendiri. Dia melihat Adilla kelihatan bahagia. Sehari itu Adilla berdampingan terus dengan Ninda. Adilla seakan tidak menyadari kehadirannya. Namun Asmi tidak menyalahkan Adilla. Adilla kini sudah menjadi milik gadis lain. Sementara dirinya hanyalah sekedar teman Adilla. Aku harus mengingatkan perasaanku, jangan sampai ada luka disana karena bagi Adilla aku hanyalah sekedar temannya saja. Sementara disisinya kini ada seorang gadis yang demikian cantik mempesona. Pantas bila Adilla tidak ingat lagi pada gadis lain. Wajah Adilla sangat berbeda  dengan saat malam tempo hari datang kerumahnya bercerita akan bertunangan. Malam itu wajah Adilla nampak ragu ketika bercerita akan bertunangan. Namun sekarang tak ada keraguan diwajah itu. yang ada hanyalah senyuman bahagia.
Hingga acara usai, Asmi tidak merasakan kesan apapun kecuali ada perasaan sedih. Adilla kini sudah akan menjadi suami orang. Kesedihannya semakin bertambah. Saat acara usai, Adilla tidak ikut pulang dengan rombongan keluarganya. Dia akan pulang belakangan. Adilla masih asyik bercakap-cakap dengan teman-temannya yang datang berkumpul diumah Ninda.  Canda dan tawa mereka berderai. Asmi menemui Adilla.
“Dill, aku pulang duluan, ya.”
“Ya, ya.” Sahut Adilla.  Wajahnya kelihatan gembira. Dia menatap Asmi dengan senyuman dibibirnya. “Terima kasih ya, sudah hadir menemani aku.”
“Ya. Selamat, ya.” Asmi tersenyum menjabat tangan Adilla.
“Terima kasih, mbak.” Ninda menyalami Asmi. Wajahnya cantik berseri.
Asmi tersenyum. Mereka sudah bahagia. Aku tidak boleh lagi merasa kecewa dengan  keputusan Adilla ini, kata Asmi dalam hati. Aku tidak boleh mengusik kebahagiaan mereka. 
“Asmi, kamu ikut dengan mbak aja, ya.” Kata Maya.
“Terima kasih, mbak.” Asmi  mengikuti Maya kedalam mobilnya. Adilla pasti lupa tadi dia janji akan mengantarku pulang, pikir Asmi ketika mobil telah melaju  meninggalkan rumah Ninda. Ya, Adilla pasti lupa karena dia sedang sibuk dengan kebahagiaannya. Asmi menghela napas dalam. Aku tidak boleh mengusik kebahagiaan Adilla. Adilla sudah bahagia bersama Ninda.
“Asmi, Adilla pernah cerita katanya kamu pintar membuat roti dan kue.” Maya  yang duduk didepan disamping Wisnu, suaminya, menoleh pada Asmi yang duduk dibelakangnya.
“Biasa saja, mbak. Bisa sedikit.” Sahut Asmi.
“Kata Adilla kamu punya usaha bikin roti dan kue.”
“Ya, mbak. Dititipkan diwarung-warung. Sebagian dijajakan keliling.”
“Kamu gadis yang ulet, Asmi. Bisa bekerja sambil kuliah.” Komentar Wisnu.
Asmi hanya tersenyum. Dia menyalakan telepon genggamnya yang  selama dirumah Ninda dimatikan. Beberapa pesan pendek beruntun masuk. Asmi tercekat. Dia seakan tak percaya  dengan isi pesan pendek yang diterimanya.
“Mbak!” seru Asmi.
Maya menoleh. Melihat wajah Asmi yang kelihatan mendadak seperti panik.  “Ada apa?” Tanya Maya terkejut.
“Mbak, ibu saya dirumah sakit……ibu saya dibawa kerumah sakit…….” Sahut Asmi. Mendadak teleponnya berbunyi. Bergegas Asmi mengangkatnya dengan tangan gemetar. 
 “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsallam. Mbak, cepat pulang. Ibu……ibu, Mbak.” Suara Rohmah  kedengaran panik.
“Kenapa dengan ibu?”
“Ibu tadi terjatuh dikamar mandi. Kepala ibu membentur dinding bak. Ibu pingsan. Kami membawanya ke rumah sakit. Sekarang ibu sudah dirumah lagi…….”
Suara Rohmah mengabur, berbaur dengan tangisan.
Asmi mendadak panik. Serangan jantung. Ibunya sudah lama mengidap penyakit jantung. Sudah dua kali ibunya terkena serangan jantung. Ya Allah, selamatkanlah ibuku.
“Bagaimana ibumu, Asmi?” Tanya Maya.
“Ibu sudah dirumah lagi……” sahut Asmi pelan. Mendadak dia merasa lemas. Firasatnya seakan mengatakan lain.
“Kita kerumah Asmi dulu, pap.” Kata Maya pada Wisnu. Wisnu mengangguk.
Tiba dirumahnya, mendadak Asmi merasa lemas.  Banyak orang berkumpul dirumahnya. Kursi meja  dikeluarkan. Asmi berlari masuk kedalam rumah. Matanya terpaku menatap orang-orang yang berkumpul diruang tengah. Sesosok tubuh yang tertutup kain terbujur ditengah ruangan.
“Asmi, tadi tante  berusaha menghubungimu, namun handphonemu tidak aktif. Tante menyuruh Yogi menjemputmu kekampus, untunglah kau sudah pulang…….”
Asmi tidak mendengarkan ucapan Wati, adik ibunya satu-satunya, yang menyambut kedatangannya. Matanya terpaku pada sesosok tubuh  yang tertutup kain, yang terbujur ditengah ruangan. Dia tak percaya melihat apa yang terjadi.
“Ibu kenapa, tante?”
“Serangan jantung. Ibumu menghembuskan napasnya dalam perjalanan menuju rumah sakit.” Gandara, anak tertua Wati yang menjelaskan.
Asmi terduduk. Bersimpuh didekat jenazah ibunya. Tak percaya dengan apa yang terjadi. Tadi pagi ketika dia akan berangkat kerumah Adilla, ibu kelihatan  sehat. Airmatanya tak bisa dibendung lagi. Kini dia sudah tidak memiliki ayah dan ibu lagi. Kini dia yatim piatu. Dia merasakan tangan-tangan memeluknya, menangisinya.   Matanya terpejam rapat. Ya Allah, kuatkanlah hati hamba menerima ujian-Mu ini. Airmatanya mengalir deras.
Maya memeluk Asmi, mencoba menenangkan gadis itu.
“Asmi, kamu harus tabah. Terimalah ini dengan hati ikhlas. Semoga ibumu mendapat tempat yang baik disisi-Nya.” Ucap Maya.
Asmi hanya mengangguk. Airmatanya kembali mengalir membasahi pipinya. Wisnu hanya mengelus bahu Asmi tanpa berkata apa-apa. Dia sudah menelepon Adilla, memberitahu Adilla mengenai berita duka ini. Adilla berkata dia akan segera kerumah Asmi.
Menjelang magrib Adilla datang kerumah Asmi. Adilla masih mengenakan kemeja batik yang dipakainya tadi waktu acara pertunangan. Maya Adilla menahan kesedihan menatap Asmi. Dia tahu bagaimana berdukanya gadis itu. Mulut Adilla berucap lirih, “Asmi, aku turut berduka. Mas Wisnu tadi sore menelepon aku mengabarkan berita ini. Aku tidak bisa cepat-cepat kemari. Banyak keluarga Ninda yang datang.”
“Tidak apa-apa.” Sahut Asmi. “Seharusnya engkau tidak terganggu. Kau sedang punya acara sendiri bersama Ninda.”
“Acaraku sudah selesai. Aku tadi kaget mendapat telepon dari mas Wisnu mengabarkan kejadian ini. Aku turut berduka, Asmi. Mudah-mudahan engkau tabah menerima semua ini, ya.”
“Terima kasih, Dill.”
Pemakaman ibunya berlangsung keesokan harinya.  Asmi tak bisa lama  larut dalam kesedihannya. Dia harus menyiapkan acara tahlilan ibunya selama tujuh hari. Keluarga dari ayah dan ibunya datang silih berganti.
“Tabahkanlah hatimu, Asmi. Kau masih memiliki keluarga. Dari pihak ayahmu maupun dari pihak ibumu. Kalau ada apa-apa, hubungi kami.” Ucap paman Irfan, adik bungsu ayahnya.
“Terima kasih, paman.” Asmi mengangguk.
Asmi bersyukur banyak keluarga dari pihak ayah dan ibunya yang memberikan perhatian kepadanya. Dia sekarang sudah tidak memiliki lagi ayah dan ibu. Namun masih banyak keluarga dan teman-temannya yang memperhatikannya dan menghibur dukanya.
Adilla setiap hari datang kerumahnya, ikut tahlilan setiap malam. “Aku percaya kau pasti tabah, As.”
“Aku telah kehilangan kedua orangtuaku, Dill. Aku kini tidak punya siapa-siapa lagi.”
“Kamu masih memiliki keluarga dari pihak ayahmu,  juga dari pihak ibumu. Kamu juga masih memiliki teman-teman yang menyayangimu. Kamu tidak akan sendirian, Asmi. Kamu juga masih punya aku. Kalaun ada apa-apa, kamu bisa bicara kepadaku. Aku akan selalu siap membantumu.”
“Terima kasih, Dill. Kamu baik sekali.”
“Kamu juga baik, Asmi.”
Selama tujuh hari Adilla setiap malam datang kerumah Asmi turut tahlilan. Dia memperhatikan Asmi berangsur-angsur pulih kembali. Gadis itu menemukan ketegarannya. Asmi mulai menerima kenyataan. Duka diwajahnya masih membayang namun airmata gadis itu telah berhenti mengalir. Adilla senang melihat Asmi mulai bisa tersenyum lagi, walaupun hanya senyuman tipis.
Kedua orangtua Adilla  datang waktu pemakaman ibunya.
“Kamu pasti tabah, Asmi. Tante percaya kamu seorang gadis yang kuat.” Ucap Nani.
“Terima kasih, tante.”
Asmi mensyukuri semua perhatian yang diterimanya walaupun kepergian ibunya merupakan kesedihan buat dirinya. Dia sangat kehilangan ibunya. Setelah kepergian ayahnya, hanya ibunya yang dimilikinya. Bertahun-tahun lamanya semenjak kepergian ayahnya, dia melewati hari-hari bersama berdua  saja bersama ibunya. Hari-hari mereka lewati berdua. Dari ibunyalah dia belajar untuk bisa kuat dan tegar. Hidup harus dijalani dan dilakoni dengann penuh ketabahan, keikhlasan dan selalu berdoa kepadaNya. Cukuplah Allah buat kia, dialah sebaik-baik penolong. Sering ibunya bicara begitu disaat dia mendapatkan kesedihan dan kekecewaan. Disaat dia merasa hidup begitu pahit dan getir. Ibunya tak pernah mengeluh.
“Bila kau selalu melihat keatas, kepada orang-orang yang kehidupannya seakan kelihatan jauh lebih baik diatas kita, kau tidak akan pernah bersyukur pada Allah karena yang kau lihat adalah orang lain yang seolah diberi lebih segalanya  oleh Allah.” Ucap ibunya suatu saat. “Tapi cobalah engkau menunduk, melihat pada orang-orang yang kehidupannya dibawah kita. Dari segi apapun. Dari segi ekonomi atau yang lainnya. Kau akan menyadari betapa engkau semestinya banyak mengucapkan syukur kepada Allah dengan segala apapun yang telah diberikan Allah untuk mengisi hidupmu. Dan engkau tidak akan pernah  menyesali apapun yang tidak diberikan Allah kepadamu. Bersyukur, Asmi. Dengan selalu mengucap syukur, engkau akan mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan dalam hidupmu.”
Ibunya adalah sumber kekuatan  bagi dirinya. Kini dia telah kehilangan ibunya.  Namun hidup harus terus dilakoninya. Walaupun dia kini sendirian saja. Airmatanya kembali mengalir. Masa depannya masih panjang. Hanya Allah tempatnya bergantung.  Seperti nasehat ibunya selama ini. Yang akan dijadikan  pegangan baginya untuk terus melangkah menapaki jalan kehidupannya menuju masa depannya. 

--- 0 ---
Sambil menunggu kuliah berikutnya Adilla biasa jajan dikantin kampus. Kantin favoritnya adalah kantin yang  dekat dengan tempat kuliah Asmi. Tempatnya kecil namun nyaman. Didepan kantin ada sebatang pohon asam tua yang rindang yang terasa memberikan kesejukan dan keteduhan. Apabila  ada janji bertemu Asmi, dia biasa menunggu gadis itu dikantin.
Hari itu Adilla  sengaja makan disana. Dimeja yang biasa dia duduki bila sedang bersama Asmi. Dikantin kampus ini Asmi menitipkan roti dan kue-kue basah  buatannya. Teman-temannya sudah tahu bahwa roti dan kue–kue basah yang dijual dikantin buatan Asmi. Roti dan kue-kue basah itu sangat  laris. Namun kali ini Adilla  tidak melihat roti dan kue-kue basah buatan Asmi. Waktu baru menunjukan pukul duabelas lewat lima belas menit. Biasanya pada jam-jam segini roti dan kue-kue basah buatan Asmi masih tersedia di kantin.
“Sudah seminggu ini Mbak Asmi tidak mengirim  roti dan kue-kue basah, mas.” Kata gadis penjaga kantin ketika Adilla bertanya.  “Kata Mbak Asmi  seminggu ini mau istirahat dulu. Mungkin mulai  senin depan mbak Asmi akan  mengirim roti dan kue-kue basah lagi.”
“Kenapa?” Tanya Adilla penasaran.
“Saya tidak tahu, mas. Tapi  kalau mas  mau pesan roti atau kue, silahkan dicatat saja. Nanti saya sampaikan pada mbak Asmi.”
“Oh, enggak. Saya hanya heran, biasanya kue-kue buatan Asmi selalu tersedia disini. Saya kan langganan setianya, mbak.” Sahut Adilla.
“Oh, iya. Memang banyak yang menanyakan roti dan kue-kue basah buatan mbak Asmi selama seminggu ini. Kue-kue buatan mbak Asmi memang enak. Disini juga laris terus dagangannya.” Ujar  gadis penjaga kantin itu.
“Terima kasih ya, mbak.”
Adilla kembali ketempat duduknya. Dia  termenung. Kenapa Asmi tidak jualan lagi? Ada apa dengan gadis itu? Sakitkah dia? Apakah dia  kelelahan setelah menerima banyak pesanan akhir-akhir ini? Ataukah  dia sakit setelah kepergian ibunya? Penasaran,  pulang kuliah Adilla pergi kerumah Asmi. Namun pembantu dirumahnya mengatakan Asmi sedang pergi keluar.
“Kemana?” Tanya Adilla.
“Saya kurang tahu, mas.” Sahut pembantu itu.
“Yah, tidak apa-apa. Tolong nanti sampaikan pada mbak Asmi, ada saya Adilla mencarinya.”
“Baik, mas.”
Adilla mengendarai  motornya. Udara siang terasa panas. Jalanan macet berdebu. Bunyi klakson bersahut-sahutan. Adilla menyelip diantara mobil-mobil yang terjebak kemacetan. Sepanjang jalan dia tidak bisa melepaskan pikirannya dari Asmi. Hatinya terus bertanya, kemana Asmi? Dia merasa khawatir Asmi sakit atau kenapa-kenapa.  Tiba dirumah, dia mengirimkan beberapa pesan pendek. Namun pesan pendek  yang dikirimkannya pada Asmi tidak ada balasan.
Pasti ada apa-apa dengan Asmi, pikir Adilla. Setelah menunggu sekian lama tidak ada balasan pesan dari Asmi.  Tidak biasanya Asmi tidak membalas pesannya.  Aku harus menemui Asmi dan melihat keadaannya. Malam itu dia pergi kerumah Asmi. Asmi sendiri yang membukakan pintu. Bukan main gembiranya Adilla melihat Asmi. 
“Hei, kemana saja?” sapa  Adilla riang.
Sambutan Asmi nampak dingin. Tidak biasanya Asmi begitu.
“Kamu sakit, ya? Aku tidak  melihatmu tadi siang dikampus.”
“Aku sehat-sehat saja.”
“Tadi aku ke kantin. Aku tidak melihat roti dan kue jualanmu. Kata penjaga kantin, seminggu ini kau tidak mengirimkan roti dan kue. Kenapa?”
“Tidak apa-apa.”
“Tapi yang jualan keliling masih?”
“Masih. Itu kan usaha  pokok aku.”
Adilla merasa, Asmi berubah. Kelihatan tidak antusias dengan kedatangannya. Namun dia bingung, kenapa Asmi berubah.
“Kau seperti tidak gembira.”
“Memang kenapa aku harus gembira?”
“Wajahmu kok muram?”
“Ah, matamu saja yang salah melihat. Aku tidak apa-apa kok.”
“Kau seperti tidak senang aku kemari?”  kata Adilla curiga melihat sikap Asmi kepadanya.
Asmi tidak segera menyahut. Dia menatap Adilla dalam. “Ya, memang.” Sahut Asmi santai.
“Lho, kenapa?”
“Dill, sebaiknya kamu sekarang tidak sering-sering lagi datang kemari.  Nanti Ninda marah sama aku kalau tahu kamu sering datang kemari.”
“Lho, aku kan masih tetap temanmu walaupun aku sudah bertunangan dengan Ninda.”
“Tapi aku yang tidak mau kau datang kemari lagi. Sekarang sebaiknya kamu pulang aja deh.”
“Tega benar kau mengusir aku.”
“Aku tidak mau mencari masalah, Dill. Kau sudah bukan seperti  yang kemarin. Sekarang kau sudah terikat dengan gadis lain. Maafkan aku, Dill.”
“Aku sedih kamu usir seperti ini, As.”
“Maafkan aku, Dill. Aku tidak  mau ada masalah nanti antara kau, aku dan tunanganmu.”
Adilla pulang dengan perasaan sedih. Dia ingin memberi  penjelasan pada Asmi bahwa pertunangannya dengan Ninda bukan berarti putusnya persahabatan mereka. Namun Asmi seakan sudah tidak ingin melihatnya lagi. Bahkan seperti ingin mengusirnya. Pada saat dia masih ingin duduk bersama-sama dengan gadis itu.  Atau memang aku yang salah? Pikir Adilla. Aku sudah bertunangan dengan Ninda, tidak seharusnya aku tetap menjalin pertemanan dengan Asmi. Yah, mungkin Asmi benar. Sebaiknya aku tidak terlalu sering  kerumah Asmi. Gadis itu jadi ketakutan akan timbul masalah dikemudian hari. Tapi aku masih ingin berteman dengan Asmi. Dan aku rasa pertemananku dengan Asmi tidak akan mengganggu pertunanganku dengan Ninda. Adilla melarikan motornya menembus jalanan yang  ramai. Angin malam terasa dingin menerpa tubuhnya. Tiba-tiba saja dia merasa sedih dengan sikap Asmi yang jadi menjauh darinya. Ada perasaan hampa yang tiba-tiba menyelinap dalam hatinya. Perasaan kehilangan. Asmi temannya yang baik hati dan perhatian. Sesaat Adilla terkenang saat-saat indah selama berteman dengan Asmi sejak SMA dulu. Nostalgia. Kenyataannya aku tak bisa melepaskan diri dari jerat nostalgia bersama Asmi walaupun aku sudah memiliki Ninda. Asmi, seandainya engkau tahu, aku sangat menyayangimu. Kenapa engkau harus menjauh dariku? Adilla semakin mengencangkan laju motornya menembus jalanan.

--- 0 ---

Ninda menatap photo Fahrul yang dibingkai dalam figura cokelat.  Matanya tiba-tiba membasah. Airmata yang sudah mengering itu menitik lagi. Dua tahun lalu, airmatanya seakan tumpah ketika dia menangisi kematian Fahrul. Fahrul adalah cinta pertamanya. Bersama Fahrul untuk pertama kalinya dia merasakan betapa bahagianya dicintai dan mencintai.  Fahrul yang memberinya kenangan-kenangan indah akan arti cinta, namun Fahrul juga yang membuat airmatanya tumpah ketika dia pergi untuk selama-lamanya. Kecelakaan itu telah merenggut nyawa Fahrul. Ninda merasa dunianya runtuh.
Dia memahami, bahwa mencintai dengan sangat itu memiliki konsekwensi yang tinggi pada saat cinta itu meninggalkannya. Betapa rapuh hatinya manakala dia menyadari betapa menyakitkannya kehilangan orang yang dicintai dan mencintainya. Semula dia berpikir, cinta  tak akan pernah datang lagi menghampirinya. Semula dia berpikir, akan sulit lagi baginya untuk mencintai dan dicintai. Namun Allah Maha Kuasa. Dia bertemu Adilla. Dia menemukan  kebahagiaan seperti yang didapatkannya ketika bersama  Fahrul dulu. Adilla baik dan lembut. Lelaki itu seakan membawanya keluar dari lorong sunyi hidupnya. Adilla seakan mengajaknya untuk melihat kembali sinar mentari diluar sana yang bersinar lembut yang semenjak kematian Fahrul seakan tak pernah lagi dirasakan kehangatan cahayanya. Ninda tidak memungkiri, perjalan umroh bersama-sama dengan Adilla telah semakin mendekatkan mereka.
Fahrul, aku sekarang sudah bertunangan dengan Adilla, maafkanlah aku, bisik Ninda  sambil mengusap photo itu. Maafkan aku, Fahrul. Aku tidak mengkhianatimu. Namun aku harus menemukan penggantimu. Aku tidak mungkin terus menerus tenggelam dalam kesedihan berlarut-larut. Aku benar-benar kehilanganmu, namun aku juga tidak bisa membiarkan diriku terus sendirian. Adilla namanya. Ya, Adilla adalah pengganti dirimu.
Airmata Ninda terjatuh. Tepat mengenai photo Fahrul. Aku ingin engkau tenang dan bahagia. Aku ingin engkau mendapatkan kedamaian dan ketentraman ditempatmu sekarang. Cintaku kepadamu ikut terkubur bersama jasadmu. Cintamu kepadaku akan tetap aku kenang selamanya. Aku sangat mencintaimu. Maafkan aku dengan semua yang terjadi padaku sekarang.  Mudah-mudahan Adilla mencintaiku seperti dulu engkau mencintai aku.
“Ninda……”
Gadis itu menoleh. Nuraeni, ibunya, masuk kekamarnya.
“Sedang apa, nak?”
Mata Nuraeni langsung melihat pada photo besar dan bingkai berukir ditangan anaknya. Nuraeni duduk disampingnya.
“Photo Fahrul masih kau simpan?” tanya Nuraeni.
“Ya, ma.” Sahut Ninda.
“Kamu sekarang sudah memiliki Adilla, Ninda.” Nuraeni mengingatkan anaknya. Dia dapat merasakan perasaan Ninda yang masih merasa kehilangan Fahrul, namun disisi lain dia ingin Ninda keluar dari dukanya dan menyadari bahwa sekarang sudah ada Adilla sebagai pengganti Fahrul.
“Ya.”
“Sebaiknya kamu tidak menyimpan photo Fahrul lagi, Ninda. Kamu  sekarang sudah bertunangan dengan Adilla. Masa depanmu ada bersama Adilla. Mama memahami kau pasti sangat kehilangan Fahrul, namun dia adalah  bagian dari masa lalumu. Fahrul sudah tidak ada lagi. Dia sudah tenang disisi-Nya. Lebih baik kau mendoakannya agar dia mendapatkan tempat yang baik disisi-Nya. Hadapilah masa depanmu bersama Adilla. Allah Maha Pemurah, telah mengirimkan pengganti Fahrul untukmu.”
Ninda hanya menunduk.
“Kamu belum bisa melupakan Fahrul, Ninda?”
“Ya, ma. Rasanya sulit sekali melupakan Fahrul.”
“Sampai kapan kamu akan bisa melupakan almarhum kekasihmu itu? Mama khawatir, bila Adilla mengetahui kau masih belum bisa melupakan Fahrul, akan mempengaruhi perasaannya. Adilla pasti tidak ingin hatimu mendua. Adilla pasti marah dan tersinggung bila dia tahu kau masih mengenang Fahrul.”
Ninda mengangguk.
Ibunya tersenyum. “Sekarang simpanlah photo itu, ya. Kau boleh mengenang Fahrul sebagai bagian dari masa lalumu, namun janganlah membuatmu merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Mama setiap saat selalu berdoa semoga Allah memberikan kebahagiaan kepadamu. Alhamdulillah doa mama terkabul.  Kau sudah mendapatkan pengganti Adilla. Insya Allah, dia laki-laki yang baik untukmu.”
Kembali Ninda hanya mengangguk tanpa berkata.
Ketika dia sudah sendirian lagi dikamarnya, Ninda mengambil photo Adilla. Adilla tengah berdiri didepan phiramid.  Aku juga mencintaimu, mas Dill, tapi biarkan ada ruangan kosong dalam hatiku yang kusediakan untuk cintaku kepada Fahrul. Ninda menghapus air matanya. Tapi mama benar, aku  boleh mengenang Fahrul hanya sebagai bagian dari masa laluku semata yang pernah mengisi ruanganan kosong dimasa laluku namun aku tidak boleh merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Sekarang aku sudah memiliki mas Dill. Mama benar, Fahrul adalah masa laluku.  Walaupun aku masih bisa mengenangnya, namun Fahrul sudah tiada lagi. Aku tidak boleh merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Aku sekarang sudah memiliki Mas Dill. Masa depanku sekarang bersama mas Dill.
Ninda mengamati photo Adilla. Aku mencintaimu, mas Dill. Maafkan aku bila aku tetap masih mengenang Fahrul. Jangan tanyakan mana yang lebih aku cintai antara dirimu dan Fahrul karena dalam hidupku aku hanya mengenal cinta kepada Fahrul dan kepadamu.
Ninda lalu mengambil photo Fahrul. Maafkan aku, Fahrul. Aku tidak mengkhianatimu namun aku akan menyimpan photomu dan tidak akan melihatmu lagi  agar aku bisa tenang menjalani kehidupanku  bersama mas Dill. Ninda mengambil kertas Koran.  Hati-hati dibungkusnya pigura yang berisi photo Fahrul itu, juga  dengan photo-photo Fahrul lainnya. Dan segala macam benda pemberian Fahrul yang sekarang hanya membuatnya semakin sedih mengingat segala kenangannya tatkala bersama Fahrul dulu. Ninda menyimpan semuanya didalam laci. Dikuncinya laci itu. namun didalam dompetnya, dia masih menyimpan photo Fahrul berukuran kecil. Didalam dompetnya, photo Fahrul itu diletakkan bersisian dengan photo Adilla.  

--- 0 ---

Ninda menyambut kedatangan Adilla. Wajahnya  segar berseri. Ibunya yang diam-diam memperhatikan anaknya, mengucapkan syukur dalam hatinya. Lalu bergegas pergi. Dia tidak ingin mengganggu anaknya. 
“Coba tebak, apa isinya kado ini?” Tanya Ninda.
“Kado?” Adilla terperangah. Dia melihat kado kecil ditangan Ninda.
“Buka deh.”
“Kado untuk apa?”
“Mas Dill,  hari ini adalah hari ulangtahunmu, apa mas Dill tidak ingat?”
“Aku tidak pernah ingat dengan hari ulangtahunku karena aku tidak pernah merayakannya.” Sahut Adilla.
Perasaan Adila merasa terharu melihat perhatian Ninda. Tidak pernah ada orang yang ingat pada hari ulangtahunnya. Kecuali ibunya. Itupun waktu dia masih duduk disekolah dasar. Setelah dia besar, setiap hari ulang tahunnya tiba, tidak ada bedanya dengan hari-hari biasa. Dan tidak pernah ada yang mengingatkannya dengan hari ulang tahunnya. Kecuali hari ini. Ninda mengingatkan dengan hari ulang tahunnya.
“Buka deh.” Ucap Ninda sambil   memeluk bahu Adilla.
Adilla merasa risih merasakan kemanjaan Ninda kepadanya. Namun dia merasa tidak tega bila menepis tangan gadis itu dibahunya. Adila membuka bungkusan itu. Jam tangan. Pasti mahal harganya. Sejenak Adilla terpaku menatap jam tangan itu. Dia terharu dengan perhatian  Ninda kepadanya.
“Terima kasih. Kamu baik sekali. Tapi kenapa membelikan jam tangan ini?”
“Apa salahnya aku menghadiahkan   jam tangan itu untuk mas Dill? Aku suka dengan jam tangan itu dan aku ingin mas Dill  memakainya.“
Adilla memperhatikan jam tangan itu. Suara Ninda demikian lembut dan halus. Dia sungguh-sungguh ingin menyenangkan perasaanku, pikir Adilla.  
“Kenapa hanya dilihat saja?” Tanya Ninda. “Ayo dipakai. Pasti cocok dipakai mas Dill.”
Ninda mengambil jam tangan itu dari dalam kotaknya dan mengenakannya ditangan kiri Adilla. Benar-benar pas. Adilla hanya terpekur menatap jam tangan itu.
“Mas Dill  senang dengan jam tangan ini?”
“Tentu saja.” Sahut Adilla. “Kamu pintar memilihkan jam tangan ini.”
“Aku memilihnya dengan hati, jadi pasti cocok untuk mas Dill.” Ninda tersenyum manis.  Lalu dia bergayut manja dilengan Adilla.  “Mas Dill, antar aku keluar sebentar, ya.”
“Kemana?”
“Beli sepatu. Aku ingin membeli sepatu dengan tali-talinya yang berwarna keemasan. Minggu depan sepupuku akan menikah. Mas Dill juga nanti datang bersamaku ke resepsi perkawinan rani bersamaku, ya.”
Hari itu Adilla mengantar Ninda belanja. Bukan hanya sepatu. Tapi juga baju dan beragam belanjaan lainnya. Gadis itu nampak gembira. Ketika Ninda membuka dompetnya akan membayar belanjaannya, Adilla melihat ada photo Fahrul disana, bersisian  dengan photo dirinya. Mendadak Adilla merasa cemburu.  Ninda masih menyimpan photo Fahrul. Gadis itu masih mengenang kekasihnya walaupun dia kini sudah bertunangan dengannya.  Jadi apa artinya pertunangan ini bila Ninda masih menyimpan  photo lelaki lain walaupun lelaki itu adalah bekas kekasihnya dahulu. Adilla merasa marah dan tersinggung. Namun dia mencoba menahan diri.
“Kamu masih menyimpan photo Fahrul, Ninda?”  Tanya Adilla ketika mereka sudah berada didalam mobil. Dia berusaha melembutkan suaranya gar Ninda tidak merasa tersinggung. 
Ninda menatap Adilla. “Photo yang mana?”
“Didompetmu itu. Aku melihat ada photo Fahrul.”
Ninda membuka dompetnya. “Ya, aku menyimpan photo Fahrul. Hanya photo ini satu-satunya yang masih kusimpan.  Namun photo Mas Dill  juga aku simpan disini.”
“Apa yang ada dalam pikiranmu?” Kening Adilla berkerut tidak senang. “Kenapa photoku kau rendengkan dengan photo Fahrul?”
“Mas Dill, aku pikir ini bukan masalah serius. Fahrul dan Mas Dill adalah dua laki-laki yang sama istimewanya buatku, dalam hidupku.” Sahut Ninda polos.
“Tapi Fahrul sudah meninggal, dan aku sekarang adalah tunanganmu.” Protes Adilla tanpa menyembunyikan ketidaksukaan dalam nada suara dan raut wajahnya. Keningnya berkerut tajam.
“Ya, tapi aku tidak bisa menyingkirkan photo Fahrul.”
“Kalau begitu, kau belum bisa melupakan Fahrul, walaupun kita sekarang sudah bertunangan.”
“Maafkan aku, Mas Dill.”
“Kukira kau sudah cukup dewasa untuk memahami keadaan ini. Kau sudah bertunangan dengan aku. Dan tidak seharusnya kau masih menyimpan photo almarhum kekasihmu itu walaupun kau masih belum bisa melupakannya.”
Melihat kemarahan dimata Adilla, mendadak Ninda menangis.
“Kenapa Mas Dill  memarahi aku? Aku…..aku…….” Airmata Ninda semakin berhamburan.
Adilla menjadi serba salah.  Dia mencoba memahami kondisi gadis itu. namun disisi lain harga dirinya sebagai seorang lelaki seakan terusik.
“Ya, sudah. Aku hanya ingin engkau tidak menyimpan photo Fahrul lagi didompetmu.”
“Ya, aku tidak akan menyimpannya lagi. Ini adalah satu-satunya photo Fahrul yang masih aku simpan. Jangan marahi aku, mas Dill. Aku janji tidak akan menyimpan photo Fahrul lagi.”
“Aku tidak marah kepadamu. Maafkan aku bila tadi kata-kataku terlalu keras kepadamu.”
Ninda menghapus airmatanya, berusaha tersenyum sambil menatap Adilla. Dia mencoba memahami perasaan Ninda. Mungkin Ninda masih belum bisa melupakan Fahrul. Mungkin terlalu banyak kenangan gadis itu pada lelaki yang pernah menjadi kekasihnya. Namun disisi lain dia juga sebagai tunangan Ninda tidak ingin gadis itu masih memikirkan lelaki lain, walaupun lelaki itu sudah tidak ada lagi didunia ini. Dia ingin Ninda hanya memikirkan dirinya. Namun mendadak Adilla sadar, betapa egoisnya dirinya. Disatu sisi dia menghendaki Ninda hanya memikirkan dirinya saja namun disisi lain dirinya pun tetap suka memikirkan Asmi walaupun kini dia sudah memiliki Ninda.

--- 0 ---


Malam itu Adilla muncul dirumah Asmi dengan wajah muram.  Walaupun sudah dilarang datang, namun Adilla tetap memaksa suka datang kerumah Asmi. Awalnya Asmi masih suka protes. Namun lama kelamaan dia sering merasa kasihan pada sahabatnya itu bila dia selalu mengusirnya pergi.  Kini Adilla datang lagi. Asmi tidak terlalu respon melihat kemuraman diwajah Adilla. Namun membiarkan Adilla pun hatinya tidak tega. Akhirnya Asmi bertanya juga.
“Kenapa? Ada apa lagi?”
Adilla menjatuhkan tubuhnya diatas kursi rotan diteras depan. Dia duduk dikursi panjang. Kakinya diselonjorkan.
“Kamu jangan mengusir aku lagi dong.”
Asmi tersenyum. “Ada apa?”
“Aku bingung oleh hubunganku  dengan Ninda……..” Ucap Adilla.
“Lho, kenapa?”
“Aku merasa Ninda tidak mencintaiku.” Sahut Adilla. Suaranya terasa berat.
“Ah, itu hanya perasaanmu saja.” Tukas Asmi. “Tidak  mungkin Ninda mau bertunangan denganmu bila dia tidak mencintaimu. Dia pasti mencintaimu, Dill.”
“Aku tahu sebelum bertemu denganku Ninda  menjalin hubungan dengan Fahrul.” Kata Adilla lagi. “Fahrul meninggal dalam kecelakaan. Ninda shock dengan kematian kekasihnya itu. Dia benar-benar kehilangan Fahrul. Dia lama tidak mau kuliah dan menghabiskan waktu hanya untuk menangisi kekasihnya yang telah pergi. Ibunya membawanya ke pengajian. Suatu hari ibunya melihat aku waktu aku mengantar mama. Ibunya Ninda menanyakan aku kepada mama. Entah bagaimana pembicaraan antara ibunya Ninda dengan mama. Mama  setuju memperkenalkan aku dengan Ninda  dan ketika melihat kami mulai akrab, sering jalan berdua, mereka sepakat aku dan Ninda bertunangan.”
Adilla mengusap wajahnya. Malam dimusim kemarau terasa panas. Tubuhnya terasa gerah dan berkeringat. Dia membuka jaketnya.
“Aku memang tertarik pada Ninda.” Ucap Adilla. “Dia cantik dan baik. Sejak pertama kali diperkenalkan oleh ibuku, aku sudah tertarik kepadanya. Ninda juga menunjukan sikap yang baik dan menerima  aku. Kami memang hanya sebentar saling mengenal, namun saat itu aku merasa sudah jatuh cinta sekaligus kasihan kepadanya. Aku tahu bagaimana shock perasaannya dengan kematian Fahrul yang tiba-tiba. Aku ingin membuatnya bahagia. Kami tidak menolak ketika orangtua sepakat  agar  kami bertunangan. Namun kini, rasanya  aku masih ragu untuk menikah dengan Ninda……..”
“Hanya karena soal Fahrul kamu seolah menganggap itu sebuah masalah. Lama-lama Ninda pasti akan bisa melupakan Fahrul.”
“Dia masih menyimpan photo Fahrul dalam dompetnya. Photo Fahrul  bersisian   dengan photoku.” Protes Adilla.
“Masa?” Asmi tertawa. Namun tawanya tertahan ketika melihat Adilla meliriknya dengan tidak senang.
“Coba kamu pikir, bagaimana perasaanku ketika aku melihat photoku bersisian  dengan photo Fahrul?  Aku sudah jelas adalah tunangannya, sementara Fahrul adalah bekas kekasihnya yang sudah meninggal lebih setahun lalu. Untuk apa dia masih menyimpan photo Fahrul? Apakah Ninda masih mencintai dan mengenang Fahrul sehingga dia masih juga menyimpan photonya dan dibawanya kemana-mana.”
“Yah, sabarlah. Kurasa itu bukan masalah yang pelik.” Ucap Asmi. “Kamu bisa memberi pengertian pada Ninda untuk tidak menyimpan photo Fahrul lagi, apalagi bila disimpan didalam dompetnya bersisian   dengan photomu.”
“Aku sudah mengatakan  hal itu pada Ninda.”
“Lalu? Apa dia mau mengikuti kata-katamu?”
“Ya, dia menurut. Sekarang photo Fahrul sudah tidak ada lagi didalam dompetnya.” Sahut Adilla. “Mungkin Ninda sekarang menaruh photo Fahrul dibawah bantalnya.”
Asmi tertawa. “Nah, rupanya kamu masih  cemburu, Dill.” 
“Tidak, aku tidak cemburu.” Tukas Adilla.
“Kamu cemburu, Adilla.” Ujar Asmi. “Kalau kamu tidak cemburu, kamu pasti tidak akan menduga Ninda menyimpan photo Fahrul dibawah  bantalnya. Bisa saja kamu berpikir bahwa photo itu sudah disimpan Ninda dilaci, atau bahkan mungkin sudah dibuangnya.”
Adilla hanya menghela napas dalam.
“Lalu apa lagi? Soal photo sudah selesai, masih ada masalah lain lagi?”
“Asmi, sepertinya aku tak akan bisa menjalani kehidupan berumah tangga dengan Ninda. Dia terlalu mahal  untukku.” Ucap Adilla. “Setiap akhir pekan selalu ada hari yang digunakan untuk berbelanja kebutuhan-kebutuhan pribadinya yang menurutku  mahal. Setiap bulan, selalu ada akhir pekan yang dipakai untuk liburan ketempat-tempat wisata yang dia inginkan.  Uang buat Ninda bukan masalah. Sebagai anak tunggal dari orangtua yang memiliki usaha yang mapan dia bisa mendapatkan uang dengan mudah dan  orangtuanya akan mampu memenuhi apapun yang diinginkannya. Namun aku jadi takut dan khawatir. Aku pasti tidak akan bisa mengikuti irama hidup Ninda yang serba mewah dan serba mudah mendapatkan apapun yang diinginkannya. Orangtuanya tidak pernah menolak apapun yang diinginkan Ninda.”
“Aku tidak bisa berkomentar, aku takut salah.” Ucap Asmi. Dia belum memahami, untuk apa Adilla menceritakan semua itu kepadanya. 
“Aku tidak  meminta pendapatmu, aku hanya ingin engkau mendengarkan apa yang menjadi beban perasaanku.”
“Ninda mungkin akan berubah setelah menikah, setelah dia menjadi seorang isteri dan seorang ibu rumah tangga. Sekarang dia masih gadis, pemikirannya masih muda. Dia  masih belum bisa mengatur kehidupannya harus seperti apa. Namun bila  setelah menikah dia pasti akan memiliki tanggung jawab sebagai seorang isteri, sebagai seorang ibu rumah tangga.”
“Aku tidak mau bermain lotre dengan masa depanku, apalagi dengan  perkawinanku. Aku tidak sedang berjudi dengan hidupku, dengan masa depanku, Asmi. Aku sudah berulangkali mempertimbangkan apakah aku bisa melanjutkan pertunangan ini ke jenjang perkawinan atau justru aku segera mengambil sikap, berhenti sampai disini saja.”
“Kau berhak memutuskan sendiri apa yang terbaik untuk dirimu, untuk masa depanmu, tapi aku tidak mau terlibat dalam urusanmu dengan Ninda.”
“Kau tidak terlibat dalam urusanku dengan Ninda, namun aku hanya ingin menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku, dengan perasaanku kepadamu, Asmi.”
“Ya.”
Adilla menatap Asmi. Gadis itu  kelihatan lebih kurus. Dia juga jadi lebih banyak diam. Semenjak ibunya meninggal, banyak perubahan yang dilihatnya pada Asmi. Adilla mengalihkan pembicaraan.
“Masih banyak langganan yang memesan kue?” Tanya Adilla.
“Alhamdulillah, masih banyak pesanan. Langgananku bertambah banyak. Roti dan kue-kue basah yang kutitipkan diwarung-warung juga masih laris. Juga yang dijajakan keliling.”
“Usahamu lancar, aku ikut  bersyukur.”
“Yah, aku bersyukur pada Allah yang telah memberi  rejeki kepadaku.”
“Kau memang gadis yang mandiri, Asmi.”
“Keadaan yang memaksa aku harus  bisa mandiri.”
“Aku salut padamu, kau sudah bisa membiayai hidupmu sendiri.”
Asmi tidak berkomentar.
“Kau nampak lebih dewasa dibandingkan dengan usiamu, Asmi.  Aku sering membayangkan, sebenarnya bahagia benar lelaki yang kelak menjadi suamimu. Kau bukan tipe perempuan rewel.”
Asmi  tersenyum mendengar ucapan Adilla.
“Asmi,  kadang aku berpikir, kau jauh lebih dewasa daripada aku.” Kata Adilla tiba-tiba, memecah keheningan diantara mereka. Angin malam bertiup lembut. “Kau hidup sendirian tapi kau tidak pernah mengeluh dengan bagaimanapun  kondisimu. Sementara aku, aku malahan merasakan diriku rapuh dan lemah. Padahal aku laki-laki. Aku masih memiliki orangtua yang lengkap. Konsentrasiku sekarang hanyalah menyelesaikan kuliahku. Soal pertunanganku dengan Ninda adalah masa depan. Namun aku selalu  memikirkan hubunganku dengan Ninda. Aku tidak bisa menepiskan persoalan-persoalan yang  timbul dalam hubunganku dengan Ninda. Dan persoalan itu terasa jadi beban buatku.  Aku tidak bisa menikmati pertunanganku dengan Ninda, yang kurasakan adalah beban yang harus kupikul yang terasa berat.”
“Kau cengeng, Dill.”
“Aku tidak cengeng.”
“Kau cengeng. Kau hanya membesar-besarkan masalahmu yang sebenarnya bisa kau atasi dengan mudah.”
Adilla terdiam. “Ya, mungkin benar aku cengeng walaupun aku tidak ingin engkau mengatakan  hal itu kepadaku. Namun aku tetap melihat betapa berbedanya Ninda dengan engkau. Aku merasa lebih nyaman bicara denganmu dibandingkan bicara dengan Ninda.”
“Kau pasti bisa menjadikan Ninda sebagai kekasih sekaligus sahabatmu bila engkau mau melakukannya. Kurasa Ninda juga akan bisa bersikap dewasa bila engkau pintar membimbingnya  menuju kearah kedewasaan.”
Tiba-tiba Adilla menatap Asmi sambil tersenyum.  “Asmi, kau sudah punya seseorang yang istimewa dihatimu? Selama ini engkau tidak pernah bercerita apapun kepadaku tentang seseorang. Malah hanya aku saja yang suka bercerita kepadamu.”
Mendadak Asmi merasa khawatir mendengar pertanyaan itu. Sekian waktu lalu dia  pernah berharap Adilla akan mengajaknya bicara serius, tentang mereka, namun harapan itu pupus  ketika Adilla mengatakan akan bertunangan dengan Ninda. Kini, setelah dia mendengarkan keluhan-keluhan Adilla, mengetahui apa yang terjadi diantara Adilla dan Ninda, dia tidak ingin Adilla menjadi seseorang yang istimewa lagi dihatinya. Dia akan menutup pintu hatinya rapat-rapat untuk Adilla.
 “Bila misalkan aku sudah memiliki seseorang yang istimewa dihatiku, apakah  engkau senang mendengarnya?” Tanya Asmi.
Adilla menatapnya. “Aku serius bertanya…….”
“Aku juga serius menjawab.”
“Kau tidak menjawab pertanyaanku.”
“Aku  ingin engkau lebih dulu menjawab pertanyaanku.”
“Asmi, aku serius menanyakan hal itu kepadamu.”
“Aku juga serius bertanya apakah engkau senang bila misalkan aku sudah memiliki seseorang yang istimewa dihatiku seperti yang engkau tanyakan.”
“Jadi kau sudah memiliki seseorang, Asmi?”
Asmi menatap Adilla. Hatinya terasa pedih. Mengapa harus berdusta apabila harapan itu masih ada dihatinya. Asmi menunduk. Namun dia tidak mungkin lagi mengakui perasaannya kepada Adilla. Tidak mungkin. Kejujurannya hanya akan menambah luka dihatinya. Adilla sudah tidak mungkin untuk dimilikinya lagi. Adilla sudah akan menjadi milik gadis lain. Dan dia tidak ingin merusak hubungan mereka. Airmatanya menitik perlahan. Betapa sakitnya pada saat dia mencintai, namun cinta itu tidak bisa dimilikinya. Tak sadar dia menunduk, menyembunyikan matanya yang tiba-tiba membasah.
“Asmi, kenapa? Kamu menangis…….”
“Aku teringat pada ibuku.” Sahut Asmi tersendat. “Aku juga teringat padda ayahku……..”
“Asmi, kau pasti tabah, aku percaya kau pasti kuat dan tabah…….”
“Kau tidak tahu, selama ini ibuku adalah sumber kekuatan bagiku. Kini seseorang yang selalu memberiku cinta, kasih sayang dan kekuatan sudah tidak ada lagi disisiku mendampingiku. Aku sekarang sendirian. Kau tidak tahu, bahwa hatiku pun rapuh. Aku sering gamang menghadapi masa depanku……..”  Asmi terisak. Airmatanya mengalir membasahi pipinya. “Dapatkah engkau membayangkan, aku masih muda, masa depanku masih panjang, dan semua itu harus aku lalui sendirian. Tanpa ayah dan ibu. Tanpa seseorang yang menemaniku melangkah melewati hari-hari menuju masa depanku…….”
“Asmi, kamu punya saudara. Kamu memiliki teman. Kamu memiliki sahabat. Aku masih tetap sahabatmu. Percayalah. Aku selalu siap membantumu kapanpun engkau membutuhkan aku.”
Asmi menghapus airmatanya. Matanya yang masih basah menatap Adilla.
“Dill, kamu memang sahabatku. Namun ada keterbatasan diantara kita. Apalgi bila kau sudah menikah nanti, sudah memiliki istri. Betapapun engkau tetap menganggap aku sahabatmu, namun kau telah dibatasi oleh kehidupan baru yang akan engkau jalani……”
“Ya.” Adilla mengangguk, memahami ucapan Asmi. “Aku faham hal itu, Asmi. Tapi percayalah, aku masih akan tetap menjadi sahabatmu.” 

--- 0 ---

Adilla merasa bingung dengan perasaannya. Dia tidak tahan melihat Asmi menangis, terpuruk dalam dukanya. Ingin dia  mengulurkan tangannya pada gadis itu. Bukan  sekedar sahabat yang  menghiburnya dukanya. Namun sebagai seseorang yang lain buat gadis itu.
Adilla bimbang dengan perasaan yang bergalau dalam dadanya. Bagaimanakah  sebenarnya perasaanku kepada Asmi? Benarkah aku hanya mengganggap Asmi sebagai sahabat semata? Mengapa aku tidak bisa melepaskan pikiranku dari Asmi? Mengapa setiap waktu aku selalu memikirkan Asmi? Apalagi setelah ibunya Asmi meninggal dan melihat  gadis itu sungguh-sungguh berkabut berduka,  Adilla semakin tidak bisa melepaskan pikirannya dari Asmi. Bukan sekedar iba. Atau kasihan. Atau sekedar ingin menghapus duka gadis itu. Namun keinginan lebih jauh. Ingin  merengkuhnya dalam pelukannya. Dan meyakinkan  gadis itu bahwa dirinya masih memiliki seseorang didunia ini yang mencintai dan menyayanginya. Yang akan menghapuskan airmatanya. Yang akan menyibakkan kabut duka diwajahnya. Ingin Adilla bicara terus terang  pada Asmi, betapa dirinya sangat mencintai dan menyayangi gadis itu. Namun kata itu tak jua terucap dari bibirnya. 
Adilla dilanda perasaan gelisah sendirian dengan pertanyaan-pertanyaannya sendiri yang sulit dijawabnya. Mengapa dulu aku suka merasa cemburu bila melihat Asmi dekat dengan lelaki lain? Mengapa aku selalu merasa rindu bila tidak bertemu dengannya? Tidakkah sebenarnya aku tengah  mengingkari perasaanku yang sesungguhnya kepada gadis itu? Tidakkah sebenarnya aku ragu untuk mau mengakui  perasaanku sendiri bahwa sebenarnya aku sejak lama menyukai dan mencintainya?
Sudah bertahun-tahun aku mengenal Asmi, pikir Adilla.  Waktu yang sekian lama itu telah memupuk perasaan-perasaan  lain dalam hatiku kepadanya. Mengapa aku ragu untuk mengungkapkan bahwa sebenarnya aku mencintainya?
Adilla tertunduk menatap cincin emas putih dijari manisnya. Benar cincin ini telah mengikatnya dalam sebuah pertunangan dengan seorang gadis bernama Ninda. Namun hati dan perasaannya tak bisa diikat. Selalu terbang menjelajah kedalam bayangan  Asmi.
Adilla merasa diombang-ambingkan lamunannya sendiri.  Seharusnya aku tidak mengingkari perasaanku bahwa aku sesungguhnya mencintai Asmi. Asmi  memang sahabatku namun hatiku tak bisa mengingkari  aku  menemukan ketenangan dan ketentraman bila berada dekat diamping Asmi. Kenapa aku tidak mau jujur dengan diriku sendiri? Dengan perasaanku sendiri?
Cinta adalah karunia yang indah yang diberikan Allah kepada manusia.  Aku bukan seorang pecinta. Dan sekali saja  aku menemukan cintaku,  kenapa cinta itu harus kuingkari dan kualihkan kepada gadis lain hanya karena aku kasihan kepadanya?
Yah, aku cinta sekaligus kasihan kepada Ninda. Namun kini, perasaan itu pula yang kurasakan kepada Asmi. Bila aku mencintai dan merasa kasihan kepada Ninda, itu pula yang kurasakan kepada Asmi. Bahkan Asmi lebih berat beban perasaannya.  Ninda masih memiliki orangtua yang utuh. Dia tidak sendirian didunia ini. Namun Asmi kini hanya sendirian. Dia sudah tidak memiliki ayah ibu lagi. Kalaupun harus ada yang dikasihani, seharusnya aku lebih merasa kasihan pada Asmi. Adilla merasakan kegalauan dalam hatinya. Perasaannya  terasa pedih pada saat dia jujur mencintai seorang wanita, perasaannya tersandung pada cincin yang baru beberapa  waktu  melingkar dijari manisnya.

--- 0 ---

Udara terasa panas. Namun keramaian bazar yang digelar di kampus tidak menyurutkan sebagian besar mahasiswa yang menjadi pengunjung acara bazar itu. beragam barang yang ditawarkan dengan harga lebih murah membuat mereka datang berbondongan ke tempat bazar dan memilih beragam barang yang mereka butuhkan.
Ninda dan Lusi ikut berdesakan dengan yang lainnya. Lelah berkeliling, Ninda mengajak Lusi mampir di stand makanan. Mereka memesan gado-gado dan es jeruk. Keduanya duduk pada sepasang kursi dibawah tenda sambil memperhatikan orang-orang yang lalu lalang dijalanan. 
“Nin, aku pernah melihat Adilla kerumah Asmi.” Kata Lusi. Mereka berdua tengah makan gado-gado di kantin kampus.
“Siapa Asmi?” Tanya Ninda spontan.
“Yang aku tahu, Asmi teman Adilla. Ah, bukan sekedar teman. Mungkin bisa disebut sahabat. Mereka memang berteman baik sejak lama. Sejak sebelum Adilla bertemu denganmu mereka sudah sering bersama-sama. Bahkan menurut issue yang kudengar, sampai sekarang pun setelah Adilla bertunangan denganmu, dia masih sering kok kerumah Asmi.”
Ninda merasa cemburu mendengar ucapan Lusi. Mendadak Ninda teringat padda gadis  berparas ayu dan lembut yang datang menghadiri acara pertunangannya dengan Adilla. Adilla memperkenalkan gadis itu sebagai temannya. Namanya Asmi. Namun Adilla tidak bercerita banyak tentang gadis itu. dan dia sendiripun tidak banyak bertanya siapa Asmi. Dia menganggap hal wajar apabila teman-teman Adilla datang pada acara pertunangan mereka.
“Lus, kamu tidak dengan sengaja ingin memanas-manasi aku agar aku cemburu dengan ceritamu, kan?!”
Lusi menggeleng. Wajahnya serius. “Tidak, Nin. Aku bicara yang sebenarnya. Aku tidak berniat membuatmu marah dan cemburu. Namun aku juga tidak ingin engkau terlalu seratus persen percaya pada Adilla. Walaupun kau sudah bertunangan dengan Adilla, namun kau tetap harus menarus rasa waspada. Aku tidak ingin suatu saat engkau mendapatkan kekecewaan.”
“Yah, terus terang aku sekarang kecewa mendengar hal ini.” Ucap Ninda. Selera makannya mendadak hilang. Rasa lapar yang tadi terasa menyiksanya, mendadak sirna. Gado-gado yang dimakannya dengan lahap mendadak tidak menarik seleranya lagi.
“Lus, cantikkah Asmi itu?” tanya Ninda pelan.
“Kecantikan sih relatif, Nin. Namun wajah Asmi lumayan. Kulitnya putih bersih. Penampilannya selalu rapi dan modis. Dia mengenakan jilbab. Tubuhnya tinggi langsing berisi.  Dia dikenal dilingkungan kampusnya sebagai tukang roti dan kue.”
“Apa? Tukang roti dan kue? Kenapa? Apa dia memang tukang roti dan kue?”
“Ya, dia pintar membuat roti dan aneka macam kue basah. Roti dan kue-kue basahnya enak sekali. Dia sudah beberapa lama  ini sambil kuliah  memiliki usaha membuat roti dan aneka macam kue basah. Roti dan kue-kuenya itu dijajakan keliling, dan sebagian lagi dititipkan diwarung-warung. Juga di kantin-kantin dikampus.  Jadi dia suka dipanggil Asmi tukang roti dan kue.”
Dirumahnya Ninda masih terpengaruh dengan cerita Lusi tentang gadis bernama Asmi. Benarkah diantara Asmi dan Adilla hanya bersahabat semata? Ninda menekan perasaan cemburu yang tiba-tiba terasa mengganggu perasaannya. Cemburu itu wajar terasa mengganggunya. Bukankah cemburu itu pertanda cinta? Dan bukankah dia mencintai Adilla? Tapi aku tidak mau cepat terpengaruh oleh cerita Lusi dan menuduh Adilla tanpa bukti. Sampai pulang kerumahnya, Ninda masih terpengaruh dengan cerita Lusi tentang Asmi. Perasaan Ninda mulai disesaki perasaan cemburu. Malam itu Adilla hanya sebentar mampir kerumahnya mengantarkan piring pesanan ibunya, lalu bergegas pergi lagi tanpa sempat bercakap-cakap lebih lama dengan Ninda.
“Mas Dill, mau kemana? Kenapa buru-buru?”
“Aku ada perlu. Nin, maaf ya. Lusa aku kemari lagi.” Ucap Adilla tergesa.
Ninda hanya menatap kepergian Adilla dengan perasaan kesal. Mendadak Ninda merasa curiga. Ketika mobil Adilla keluar dari halaman rumahnya, bergegas Ninda mengeluarkan mobil dari garasi dan menguntit kemana mobil Adilla perginya. Setelah cukup lama mengikuti Adilla, Ninda melihat mobil Adilla masuk ke halaman sebuah rumah. Ninda melihat banyak orang dirumah itu. Ketika melihat seseorang lewat didekat mobilnya, bergegas Ninda menegur lelaki itu.
“Mas! Mas! Maaf mau nanya, siapa pemilik rumah itu?” Tanya Ninda tanpa keluar dari mobilnya.
“Rumah yang mana? Oh, rumah yang bercat putih itu? Itu rumah ibu Maryati.” Sahut orang itu.
“Ibu Maryati?”
“Yah, ibu Masyati sudah  meninggal dunia. Sekarang malam seratus hari meninggalnya ibu Maryati, ada pengajian dirumahnya.”
“Ibu Maryati memiliki anak perempuan?”
“Ya, ibu Maryati hanya memiliki anak satu-satunya,  perempuan.”
“Siapa namanya?”
“Asmi.”
Ninda termenung setelah orang  itu  berlalu. Jadi benar Adilla kerumah Asmi. Kecemburuan itu terasa semakin menyesakan  dadanya. Bila diantara Adilla dan Asmi benar terjalin pertemanan biasa saja, mengapa Adilla sangat memperhatikan Asmi? Ibunya Asmi meninggal,  sebagai teman mungkin Adilla bisa merasakan kesedihan Asmi dan menunjukan perhatiannya sebagai teman. Namun haruskah Adilla begitu sering datang mengunjungi Asmi dan menghibur perasaan temannya yang tengah berduka itu?
Besoknya Ninda menceritakan yang dialaminya semalam pada Lusi.
“Lus, mungkin kau benar dengan ceritamu  kemarin padaku. Adilla kerumah Asmi, memang itu benar. Semalam aku melihatnya sendiri.” Ucap Ninda. “Ibunya Asmi sudah  meninggal. Semalam adalah hari keseratus meninggalnya ibunya itu. Banyak orang dirumahnya mengadakan pengajian. Adilla juga datang kerumah Asmi, ikut pengajian disana.”
“Aku yakin Adilla hanya berteman saja dengan Asmi, Nin. Namun kau perlu waspada. Segala sesuatu bisa saja terjadi. Kau perlu hati-hati agar tidak mendapatkan kekecewaan bila suatu saat ada hal-hal yang terjadi diluar dugaanmu.”
“Ya, terima kasih Lus kau sudah mengingatkan aku. Kalau aku tidak salah, gadis bernama Asmi itu datang waktu pertunanganku. Adilla mengenalkan dia sebagai  temannya. Dan aku juga tidak berpikir apa-apa. Sikap mereka wajar-wajar saja seperti benar-benar bahwa diantara mereka hanya berteman saja.”
Seminggu kemudian Ninda mengajak Lusi kerumah Asmi.
“Untuk apa?” Tanya Lusi khawatir mendengar ajakan Ninda.
Ninda tersenyum melihat raut wajah Lusi. “Kamu jangan khawatir, Lus. Aku bukan akan melabrak atau memarahi Asmi.”
“Lantas?”
“Aku hanya akan membeli roti dan kue-kue buatannya. Kamu bilang roti dan kue-kuenya enak dan laris. Nah, aku jadi ingin mencobanya. Siapa tahu memang benar enak seperti ceritamu. Bila memang benar enak, kalau ada acara dirumahku, aku bisa memesan roti dan kue pada Asmi, kan?”
“Bagaimana kalau Adilla ada disana?” Tanya Lusi masih merasa khawatir.
“Tidak akan, Adilla sedang ke Jakarta.” Sahut Ninda.
Ninda menghentikan mobilnya diluar pagar. Mereka masuk kerumah  yang kelihatan sejuk dan rindang dengan pepohonan besar dan rindang yang menaungi halaman berumput  hijau itu. Sejuk dan asri. Rumah itu nampak bersih dan terawat baik. Begitu kelihatan apabila pemiliknya sangat memperhatikan kebersihan rumah.
“Kita lewat samping saja.” Kata Lusi. Pada saat itu dia melihat seorang gadis dengan blouse motif garis dipadu dengan celana jeans  keluar dari sana.
“Mbak, disini jualan roti dan kue, ya?” Tanya Lusi.
“Ya, benar.” Sahut Asmi. Dia baru akan keluar ketika melihat dua orang gadis memasuki halaman rumahnya. Mendadak Asmi tertegun menatap salah satu dari gadis itu. Dia masih ingat. Gadis itu adalah Ninda, tunangan Adilla.
“Kami mau beli roti dan kue, mbak. Bisa langsung beli disini, kan?” Tanya Ninda.
“Tentu saja bisa.” Asmi tersenyum. Dia menatap Ninda. “Ninda, ya? Mari masuk, dik.”
Lusi menoleh menatap Ninda. “Dia tahu kepadamu.”
“Dia masih ingat padaku.” Sahut Ninda.  Oh, dia masih ingat aku, pikir Ninda. Dia berusaha tersenyum. Dia tidak ingin Asmi mencurigai kedatangannya. Dia juga pura-pura mengerutkan keningnya, seolah kaget melihat Asmi.
“Benar. Ehm, mbak rasanya kita pernah bertemu, ya? Dimana?”
“Lho, kita kan pernah bertemu waktu pertunanganmu dengan Adilla.”
“Oh, iya. Saya baru ingat sekarang. Mas Dill pernah memperkenalkan kita saat itu, kan?”
“Ya.” Asmi tersenyum.
Asmi  mengajak kedua tamunya keruangan samping. Ninda dan Lusi mengikutinya.
“Ada yang bilang, roti dan kue buatan mbak Asmi  terkenal enak, jadi kami penasaran kemari.” Sahut Lusi.
“Terima kasih.” Asmi tersenyum.
Ninda melihat Asmi sepertinya gadis itu baik dan ramah. Namun keramahan Asmi tidak menghapus perasaan cemburu dihatinya. Malah terasa cemburu itu semakin menggerogotinya. Justru keramahan dan sikap Asmi yang kelihatan baik  yang bisa menjerat Adilla dan merebutnya darinya.
“Silahkan mau beli roti dan kue yang mana?”   Asmi mempersilahkan kedua tamunya memilih roti dan kue yang mereka inginkan sambil menyerahkan  dus pada mereka.
Ninda  memilih roti dan kue dan memasukannya kedalam dus. Dalam hati Ninda mengakui, roti dan kue-kue yang dijual Asmi semuanya begitu menggugah selera. Mama pasti senang bila dikirim roti dan kue ini, tapi aku tidak boleh cerita pada mama bila yang membuat roti dan kue ini adalah Asmi, teman Adilla yang telah membuat aku merasa cemburu, pikir Ninda.
“Kelihatannya Asmi baik dan ramah, ya.” Kata Ninda ketika mereka sudah berada didalam mobil dan meninggalkan rumah Asmi.
“Ya, coba deh roti buatannya. Enak dan empuk.” Lusi memberikan sebuah roti. Ninda menggigit dan mengunyahnya. Memang enak dan lembut. Juga  harum.
“Dia sepertinya seorang gadis yang mandiri.” Kata Ninda lagi.
“Ya, dia sekarang sudah tidak punya orangtua lagi. Ibunya sudah meninggal. Ayahnya juga sudah lama meninggal. Itu cerita yang aku tahu tentang dirinya.” Sahut Lusi.
“Kasihan.” Ucap Ninda spontan. “Pastilah tidak mudah hidup tanpa orangtua lagi. Beruntung Asmi memiliki keahlian hingga dia bisa hidup mandirfi. Kelihatannya usaha roti dan kuenya sudah berjalan baik. Sudah banyak dikenal dan banyak langganannya.”
Lusi menoleh menatap Ninda. “Jadi sekarang kau sudah tidak perlu merasa cemburu lagi pada Asmi. Dia keadaannya jauh lebih memprihatinkan daripada kamu. Kamu masih memiliki orangtua yang lengkap sementara Asmi sudah yatim piatu dan harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya atau mungkin untuk membiayai kuliahnya dan  sebagainya.”
Ninda tidak menyahut. Matanya melihat kejalanan. Namun dalam hatinya dia mengakui kebenaran ucapan Lusi. Yah, dia tidak perlu mencemburui Asmi. Gadis itu keadaannya begitu  sederhana. Dia juga patut dikasihani, sudah tidak memiliki orangtua lagi. Pikiran Ninda terasa lebih tenang. Dia berjanji akan menepiskan perasaan cemburunya pada Asmi dan tidak ingin merusak hubungannya dengan Adilla.
--- 0 ---

Adilla menatap wajah Ninda yang cantik. Gadis itu kelihatan begitu menarik dengan kaus kuning lengan panjang dan jeans birunya. Rambutnya yang sebahu diikat menjadi satu dibelakang. Namun bukan itu yang membuat Adilla menatap tunangannya  lama-lama. Dia selalu  merasa tidak enak, tiap kali makan diluar Ninda yang buru-buru membayar duluan makanan pesanan mereka.
“Biar aku saja yang bayar.” Kata Adilla cepat ketika Ninda mengeluarkan dompetnya.
Ninda tersenyum sambil memegang tangan Adilla.  “Tidak usah, mas Dill.” Cegahnya cepat.  “Mama sudah tahu kita akan makan diluar jadi mama sudah memberi uang lebih padaku.”
“Aku tidak enak, tiap kali makan selalu kamu yang paling sering bayar makanan.” Ucap Adilla.
“Karena aku yang mengajak mas Dill   makan. Kalau mas Dill yang mengajak makan, biasanya mas Dill yang bayar, kan?” Sahut Ninda. “Coba bayangkan, bila setiap kali kita makan diluar mas Dill  yang membayar, berapa uang yang mas Dill   keluarkan sementara selama  ini aku yang paling sering mengajak makan diluar.”
“Kau jarang makan dirumah, ya?”
“Sarapan  pagi dan makan malam aku dirumah.” Ninda tersenyum menatap Adilla. “Jangan dipersoalkan, aku kan sering tidak keburu makan siang  dirumah.”
”Kalau sudah menikah, kau harus mengurangi kebiasaanmu makan   diluar. Kalau makan dirumah kan lebih hemat.”
Ninda tertawa. “Mas Dill, apa-apa pasti deh ditujukan setelah menikah. Itu kan masih lama.”
“Tapi kamu sudah harus membiasakan dari sekarang. Kebiasaan sering jajan itu tidak baik, Nin. Pemborosan.”
“Kenapa? Pernikahan   kita masih lama, bukan?”
“Ninda, aku bicara serius. Aku mulai tidak suka melihatmu senang jajan.”
“Apa-apa selalu bilang tidak suka.” Tukas Ninda. “Kenapa sih mas Dill  tak penah menyukai apapun yang aku suka? Kenapa aku selalu dikritik? Soal  belanja, soal baju, soal  makan diluar………..”
“Kita akan menjadi   suami istri, Ninda. Fahamilah bahwa perkawinan  bukan permainan. Kita akan bersatu menjadi suami istri. Aku akan berusaha menjadi suami yang baik bagimu namun aku juga berharap kaupun akan menjadi istri yang baik bagiku.”
“Mas Dill, aku tidak ingin terlalu banyak teori. Jalani saja apa adanya agar kita tidak menjadi kaku dalam menjalani hubungan kita ini. Aku juga ingin menjadi istri yang baik  bagimu.”
“Kalau begitu, rubahlah kebiasaan-kebiasaanmu   yang aku kurang suka mulai dari sekarang. Kau tidak akan bisa berubah seketika begitu kau sudah menjadi seorang istri.”
“Aku tidak mau didikte.”
“Aku tidak mendikte. Tapi aku wajar  mengharapkan engkau mau merubah kebiasaan-kebiasaanmu yang aku kurang suka.”
“Itu sama artinya mas Dill   mendikte aku. Aku tidak suka.”
“Kau tidak bisa diatur.”
“Aku tidak mau diatur karena aku belum resmi menjadi istrimu.”
Adilla memilih diam. Dia tidak mau terlalu sering berdebat dengan Ninda. Namun kini dia merasa, ada banyak hal ketidakcocokan dengan Ninda. Bila dibandingkan dengan Asmi, dia rasanya merasa lebih tentram bersama Asmi.  Asmi tak pernah membantah kata-katanya bila ucapannya bisa diterima. Bila Asmi mendebatnya, dia selalu punya argument yang kuat dan rasional. Namun Ninda bukan Asmi. Dan dia tidak pantas untuk membandingkan Ninda dengan Asmi atau Asmi dengan Ninda. Akhirnya Adilla hanya diam. Dia tidak ingin hubungannya dengan Ninda menjadi rusak hanya karena dia egois dengan sikapnya sendiri.

--- 0 ---

Adilla melihat Ninda masih asyik memilih-milih baju. Seakan tak puas-puasnya Ninda berkeliling, mengamati seluruh baju yang dipajang.  Hari ini sudah beberapa potong baju yang dibeli Ninda.
“Kamu masih akan membeli baju lagi, Ninda?”
“Yah.” Ninda tersenyum tanpa melihat pada Adilla. Matanya terus memilih baju yang bergantungan, mengamatinya satu persatu, mengambilnya dari gantungan, mematut diri didepan kaca lalu menaruhnya lagi ditempatnya.
“Yang ini bagus tidak?” Tanya Ninda. Dia mengambil gaun terusan. Warna putih gading.  Pada bagian dadanya bertaburan payet yang indah berkilauan.
Adila tidak menjawab. Dia  sudah tidak ingin berkomentar. Mendadak dia merasa bosan dan jenuh terhdap  Ninda. Terlalu banyak uang dan waktu  yang dihabiskan Ninda hanya untuk berbelanja, jajan dan jalan-jalan. Masa depan seperti apa yang akan ditempuhnya bersama gadis yang demikian boros dan royal?
“Ninda, kita pulang sekarang.” Ajak Adilla, melihat pada jam tangannya.
“Pulang? Hari masih sore. Masih banyak waktu untuk jalan-jalan.”
“TIdak, Ninda. Kita pulang sekarang.”
“Aku masih ingin jalan-jalan……..”
Jengkel dengan kelakuan Ninda akhirnya Adilla menyeret tangan gadis itu. Sambil merengut Ninda terpaksa menuruti Adilla.  Didalam mobil, Adilla menumpahkan kekesalannya pada gadis itu.
“Ninda, aku ingin bicara terus terang kepadamu. Aku tidak akan bisa mengikuti pola hidupmu yang boros  dan royal seperti ini. Kita sudah  bertunangan. Andai kita jadi menikah…..”
“Lho, kita pasti akan menikah, mas Dill.” Protes Ninda. 
“Ya, andai kita jadi menikah, terus terang aku keberatan dengan pola hidupmu yang royal  dan boros seperti ini. Kau tahu saat ini aku masih  kuliah. Andaikan kita menikah setelah aku  mendapatkan pekerjaan, kau pasti bisa memperhitungkan berapa gajiku  sebagai seorang pegawai pemula.”
Ninda tertawa. “Mas Dill tidak perlu khawatir. Mama papaku pasti tidak akan melepaskan kita begitu saja. Apalagi aku hanya akan tunggal. Apa yang mereka miliki pastilah untuk kita. Mas Dill tidak usah khawatir dengan masa depan kita. Bahkan rumah dan perabotan untuk kita  tinggali setelah kita  menikah nanti  sudah dipersiapkan mama dan papa. Lagi pula orangtuamu pun cukup berada. Mas Dill, kenapa kau begitu khawatir?” Ninda tersenyum menatap Adilla.
“Ninda, mengertilah. Aku  tidak bisa hidup berumah  tangga terus menerus disokong oleh orangtua. Kau harus memahami prinsip dan keinginanku. Aku ingin mendirikan rumah tangga dengan  kemandirian kita berdua. Kau harus bisa hidup dengan gajiku, dan jangan mengandalkan  harta orangtua kita.”
“Mas Dill,   aku tidak  mau berdebat denganmu. Aku sudah merasa nyaman dengan kehidupanku saat ini. Alhamdulillah, uang  bukan  masalah buatku. Dan andaikan setelah kita menikah  nanti orangtuaku masih menyokong kehidupan kita, kurasa hal itu adalah suatu kewajaran. Tidak mungkin mama dan papa akan   tega melepaskan kita begitu saja.”
“Kau selalu berharap pada sokongan orangtua sementara aku justru ingin  hidup mandiri. Kita tidak akan pernah dewasa apabila kita terus menerus menggantungkan diri pada orangtua kita. Apalagi bila kita telah berumah-tangga.”
“Mas Dill, kita memang berbeda prinsip tapi aku rasa mas Dill  terlalu mempertajam hal ini. Sesuatu hal yang menurutku bukanlah sebuah prinsip  hidup  yang harus diperdebatkan.”
“Bagiku ini justru sebuah prinsip. Aku tidak mau setelah menikah aku masih menggantungkan diri pada orangtua. Aku malu bila aku sudah menikah aku masih meminta bantuan materi pada orangtua.”
“Mas Dill,” Ninda tersenyum menatap calon suaminya. “Aku rasa kita tidak perlu membicarakan masalah ini. Mas Dill berpikir dan berbicara terlalu  jauh. Kita jalani saja saat ini, jangan terlalu  memikirkan masa yang akan datang.”
“Ninda, tapi kita hidup perlu punya rencana. Dan Kita juga perlu membicarakan hal-hal yang prinsip  agar  kita bisa sesuai dalam melangkah.”
“Mas Dill, apa yang baru saja kita bicarakan menurutku bukan sebuah masalah prinsip yang membuat kita harus berdebat. Aku menghargai prinsip mas Dill yang ingin mandiri setelah menikah. Itu bagus sekali. Tapi pernikahan itu masih lama. Janganlah hal itu membuat kita sekarang jadi sering berdebat  untuk membahas suatu hal yang masih disebut dengan masa depan kita.”
Adilla menatap calon istrinya. Mungkin Ninda benar dengan pendapatnya itu. Namun mungkin pula tidak sesuai dengan keinginannya sendiri. Dia merasa perlu berkomunikasi dengan calon istrinya karena setelah menikah mereka akan memiliki  banyak masalah dan persoalan yang memerlukan kesesuaian dalam menyelaraskan prinsip  hidup mereka. Namun untuk saat ini sepertinya sulit buat dirinya untuk memberikan  pengertian kepada Ninda. Gadis itu sejak kecil dimanja dan dipenuhi segala kebutuhannya. Apapun yang diinginkannya selalu tersedia dengan mudah.
Mendadak Adilla teringat pada Asmi. Ninda berbeda dengan Asmi. Dalam kesederhanaan hidupnya, apalagi setelah ayahnya meninggal, Asmi terbiasa hidup prihatin dan mandiri. Asmi terbiasa berusaha sendiri. Hal itu barangkali yang membuat Asmi mengasah diri, mencari potensi apa yang ada pada dirinya yang bisa dikembangkannya. Asmi sangat senang memasak dan membuat kue. Ketika dia menemukan bahwa dirinya bisa usaha membuat kue dan roti, Asmi merintis usahanya dengan modal pas-pasan. Dan ternyata usahanya semakin lama semakin membuahkan hasil. Ketekunan dan kerja kerasnya  tidak sia-sia. Dia bisa membiayai hidupnya sendiri. Dari usaha roti dan kue-kue basah yang dititipkannya diwarung-warung dan  yang dijajakan berkeliling oleh beberapa anak remaja putus sekolah dilingkungan rumahnya, usahanya kini sudah semakin maju. Bukan hanya anak-anak sekolah yang menjadi  tukang dagangnya, namun juga pengangguran-pengangguran  dilingkungan rumahnya yang selama ini tidak memiliki kegiatan apa-apa. Sebagai sahabatnya yang sudah cukup lama mengenal Asmi, sering dia tidak bisa menyembunyikan perasaan bangganya kepada Asmi.
Sebenarnya tidak pantas dia membandingkan Ninda dengan Asmi. Dua gadis itu jelas berbeda karena mereka memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Namun bila dia sedang kesal menghadapi Ninda, seringkali bayangan Asmi muncul dan membuatnya secara tidak sadar membandingkan Ninda dengan Asmi. Namun dia tidak menyalahkan Ninda bila karakter Ninda seperti itu. Kondisi keluarga Ninda yang telah membentuk gadis itu menjadi manja dan selalu tergantung  pada orang lain.

--- 0 ---

“Asmi, tolonglah memahami. Kami sudah bertunangan. Kami akan segera menikah. Kau sebagai teman Adilla memiliki hak untuk tetap bergaul dengan Adilla. Namun Adilla sudah tidak seperti yang kau kenal dulu sebelum kami bertunangan. Dia sekarang sudah akan menjadi suamiku.”
Ninda menemui Asmi dikampusnya. Melihat Ninda tengah duduk menunggunya pada bangku didepan ruangan kuliahnya, Asmi sudah punya perasaan Ninda sengaja menunggunya. Benar saja dugaannya.Ninda mengajaknya duduk ditempat yang lebih sunyi yang tidak banyak orang yang lalu lalang memperhatikan mereka.
“Ninda, aku tidak mengerti, apa maksudmu? Sejak Adilla bertunangan denganmu aku tidak pernah lagi berdekatan dengan Adilla. Akucukup tahu diri menempatkan diriku. Adilla memang sahabatku sejak dulu. Namun aku tidak ingin mengganggu bila Adilla sudah bertunangan dengan seorang gadis. Adilla  juga sudah tahu hal ini. Dia jarang menghubungi aku lagi sejak kalian bertunangan.”
“Adilla masih sering berkunjung kerumahmu?”
“Tidak.”
“Aku tahu Adilla masih suka berkunjung kerumahmu. Ada hubungan apa antara kalian? Pastinya bukan sekedar teman dekat atau sahabat sehingga Adilla harus secara khusus dan istimewa datang kerumahmu.”
“Ninda, percayalah padaku. Diantara aku dan Adilla tidak ada hubungan apa-apa.”
“Lalu apa artinya photo-photo ini?”
Ninda melemparkan lima lembar photo kehadapan Asmi. Asmi terpana. Itu photo-photo dirinya dengan Adilla ketika jalan-jalan ke Maribaya.
“Photo-photo itu terlalu mesra untuk disebut sebagai photo antara dua orang yang berteman atau bersahabat sekalipun.”
“Itu photo-photo lama. Jauh sebelum Adilla bertemu denganmu.”
“Adilla masih menyimpan photo-photo ini. Dia menempelkannya di lemari pakaiannya dikamarnya. Waktu Adilla sakit, aku menengoknya dan menungguinya. Aku melihat photo-photo itu diantara photo-photo lain yang menempel pada lemari pakaiannya. Kuambil photo-photo itu tanpa sepengetahuan Adilla.”
Asmi mengeluh dalam hatinya. Dia menyesalkan Adilla kenapa masih menyimpan photo-photo mereka dulu?
“Adilla tidak menganggap photo-photo kami ini sebagai photo istimewa. Kau lihat sendiri, photo-photo itu ditempel Adilla dilemari pakaiannya berbaur dengan photo-photonya bersama teman-temannya yang lain.”
“Asmi, jauhi Adilla. Jangan dekati dia lagi.”
“Ninda, aku tidak akan menjauhi Adilla karena aku tidak pernah mendekati dia lagi. Kau tidak berhak mengatur aku.”
Asmi mengambil tasnya lalu berdiri. Bergegas dia meninggalkan Ninda. Ninda terpaku menatap kepergian Asmi.

--- 0 ----

Ninda makan seakan tidak berselera. Dia juga lebih banyak diam dan hanya bicara seperlunya saja. Sejak berangkat dari rumah, Adilla sudah merasa sikap Ninda tidak seperti biasanya.  Adilla  merasa, ada sesuatu hal yang mengganggu perasaan gadis itu. Namun entah apa. Adilla tidak ingin bertanya, dia tahu nanti Ninda akan bicara kepadanya. Mereka baru usai  nonton film dan pulangnya makan ditempat biasa mereka makan.
“Ada hubungan apa antara mas Dill  dengan Asmi?” Tanya Ninda. Dia mendorong  piringnya ketengah. Makanannya tidak dihabiskan.
Adilla menatap Ninda. Kini dia mengerti, pasti ada sesuatu hal  yang ingin diucapkan Ninda kepadanya. Soal Asmi.
“Kami berteman sejak dulu.” Sahut Adilla.
“Dia terlalu istimewa bila sekedar jadi temanmu.”
“Kami memang bersahabat.”
Ninda menatap Adilla dalam.  “Mas Dill  mencintainya dan diapun mencintaimu mas Dill.” Ucap Ninda. “Mas Dill  tidak bisa berdusta kepadaku. Aku tahu mas Dill  menyembunyikan hal ini dariku. Apabila sekedar sahabat kenapa mas Dill  selalu memikirkan dirinya. Kekhawatiranmu terhadap Asmi terlalu berlebihan. Dan itu bukan perhatian-perhatian seorang lelaki pada seorang  wanita yang hanya sekedar bersahabat. Sikap mas Dill  seolah Asmi adalah kekasihmu.”
Adilla menghela napas dalam. Dia merasakan kecemburuan Ninda seakan meluap.  “Ninda, aku mohon engkau mengerti. Asmi sudah tidak  memiliki ayah dan ibu. Ayahnya meninggal  sejak dia masih duduk dibangku sekolah dasar. Ibunya tidak bekerja. Hanya mengandalkan uang pensiun ayahnya. Asmi terbiasa hidup mandiri. Dia sudah bekerja mencari uang dengan menjual roti dan kue untuk menambah pendapatan keluarga. Dihari pertunangan kita, ketika kita tengah berbahagia, Asmi justru mendapatkan kesedihan, ibunya meninggal. Dia sekarang sudah tidak punya ayah ibu lagi. Seharusnya engkau menaruh perasaan kasihan kepadanya.”
“Mas Dill, aku tidak bisa menerima alasanmu.”  tukas Ninda. “Bila memang  hanya itu yang menjadi alasan kenapa perhatianmu pada Asmi kelihatan terlalu  berlebihan? Masih banyak gadis lain yang juga sudah tidak memiliki ayah ibu. Kau mencintainya, mas Dill. Kau mencintainya. Mas Dill  jangan bohong kepadaku. Mas Dill mencintainya.” Suara  Ninda bertubi-tubi penuh emosi. Amarah sekan meluap membakar perasaannya.
“Ninda, aku tidak suka engkau cemburu pada Asmi.” Seru Adilla. Dia tidak senang melihat Ninda begitu emosi seperti itu. Dia lalu merendahkan suaranya ketika melihat beberapa orang dari meja didekat mereka menoleh pada mereka. “Kamu jangan mencemburui Asmi. Dia hanya temanku.” 
“Aku tidak cemburu.” Tukas Ninda dengan nafas terengah. “Namun apabila aku cemburu pun hal itu wajar bila aku melihat sikap mas Dill  pada Asmi. Jujurlah padaku bahwa engkau mencintainya.”
Adilla  menatap Ninda, menahan amarahnya didesak seperti itu oleh Ninda.
“Yah, aku mencintainya.” Sahut Adilla. Mata Ninda membesar mendengar ucapan Adilla. Seakan tak percaya Adilla akan berani mengakui perasaannya terhadap Asmi.
“Aku mencintainya sebagai sahabat.” Kata Adilla lagi. Kini suaranya lebih tenang. “Dia sahabatku yang  baik. Dia memahami aku. Dia pengertian dikala aku susah. Dia bisa menyelami perasaan-perasaanku bila aku sedang gundah.” Adilla menghela napas dalam. “Sekarang apa maumu? Aku sudah jujur kepadamu bahwa Asmi hanyalah temanku. Tidak ada apa-apa antara aku dan Asmi. Kau tidak pantas mencemburuinya.
Ninda menatap Adilla. “Sedemikian dalamkah  persahabatan antara mas Dill dengan Asmi?”  Tanya Ninda. Suaranya lirih, seakan menahan tangis.
“Ya.” Sahut Adilla. “Aku perlu  jujur tentang hal ini agar engkau mau mengerti.”
Ninda mengangguk. “Ya, aku mengerti.” Ucap ninda pelan. Matanya mendadak berkaca-kaa. Kedua bola matanya yang hitam bulat menatap Adilla sendu. “Tapi aku tunanganmu, mas Dill. Aku juga ingin engkau mengerti dan memahami aku…….”
Adilla membalas menatap Ninda.  Perasaannya tersentuh melihat mata Ninda yang berkaca-kaca. Dia menyesal telah menyakiti perasaan gadis itu. Selama ini Ninda baik dan penuh perhatian kepadanya. Dan Ninda kelihatan sungguh-sungguh mencintainya.
“Mas Dill, jauhi Asmi, jangan berhubungan lagi dengan dia.” Mata Ninda membasah. “Apa artinya pertunangan kita ini apabila masih ada orang lain diantara kita.”
Adilla kembali menatap kedua bola mata Ninda yang semakin basah.
“Baiklah.” Kata Adilla perlahan. Dia memahami perasaan Ninda. Dia mencoba bersikap bijak.  “Aku tidak akan berhubungan lagi dengan Asmi.”
Ninda tersenyum tipis. Dia menghapus airmatanya dengan tissue. “Mas Dill, maafkan  aku. Aku tidak bermaksud memutuskan tali silaturahmi antara mas Dill  dengan Asmi namun aku ingin mas Dill  memahami perasaanku.”
Adilla mengangguk. Dia memahami perasaan Ninda. Ninda cemburu pada Asmi. Wajar apabila Ninda cemburu pada wanita lain yang ada diantara mereka. Aku yang salah, pikir Adilla. Seharusnya aku bisa menjaga perasaan Ninda. Aku mencintainya dan Ninda pun mencintai aku. Aku pun akan merasa cemburu andai ada lelaki lain yang dekat dengan Ninda.

---- 0 ----


“Ninda menemuimu di kampus?” Tanya Adilla.
Asmi tidak segera menjawab. Dia hanya membuka-buka bukunya. Namun kemudian mengangguk ketika Adilla menunggu jawabannya.
“Ya.”
“Apa yang dikatakannya kepadamu?”
“Tanyakan sendiri apa yang diucapkannya kepadaku.”
“Asmi, aku minta maaf, kau jangan tersinggung.”
“Kenapa harus kau yang meminta maaf kepadaku? Apa salahmu padaku?”
“Asmi, aku tidak tahu harus bicara apa kepadamu. Aku bingung. Aku memang tidak merasa punya salah kepadamu, tapi tindakan Ninda yang menemuimu barangkali  ada kata-katanya yang  tidak berkenan dihatimu  yang membuat aku merasa perlu meminta maaf kepadamu……..”
“Kau memang calon suami yang baik hati.” Asmi tersenyum. “Belum  jadi suami tapi kau sudah mau ikut bertanggungjawab dengan apa yang dilakukan calon istrimu.”
Asmi mempermainkan ujung kerudungnya yang menjuntai. “Sudahlah, aku tidak apa-apa kok. Aku memahami perasaannya.”
“Ninda cemburu kepadamu.”
“Aku menduga dia cemburu kepadaku. Namun kurasa tak seharusnya dia mencemburuiku. Aku tak pernah berhubungan denganmu.” Asmi menatap Adilla. “Ninda mengambil photo-photo kita waktu kita dulu diphoto di Maribaya. Kau juga salah, Dil. Seharusnya engkau tidak menyimpan apalagi menempelkan photo-photo kita di lemari, yang terlihat jelas siapapun yang masuk kekamarmu.”
“Photo-photo itu tidak terpisah, berbaur dengan photo-photoku yang lain bersama teman-temanku yang kutempel pada lemari. Yah senang saja melihat photo-photoku bersama teman-temanku yang kutempel pada lemari, bisa kulihat setiap saat.”
“Tapi seharusnya photo-photoku tidak kau pasang disana.” Protes Asmi.
“Apa salahnya? Aku senang punya photo-photo ketika sedang bersamamu. Waktu jalan-jalan di Maribaya itu hanya satu-satunya aku dan kau pernah berphoto bersama. Aku menganggap photo itu sangat berkesan bagiku.”
“Tapi jadi bencana ketika dilihat Ninda. Dia jadi cemburu melihat photo-photo itu, Adilla.”
“Mana aku tahu Ninda akan masuk kekamarku dan mengambil photo-photo itu tanpa sepengetahuanku.”
“Kau ceroboh.”
“Aku tidak ceroboh, aku apa adanya saja menempel photo-photo itu tanpa memiliki tujuan atau prasangka apapun.”
“Sekarang Ninda jadi membenci aku.”
“Ninda tidak akan membencimu. Aku akan menjelaskan kepadanya tentang dirimu.”
“Jangan, tidak perlu. Biar saja. Kalau kau membicarakan  tentang aku pada Ninda hanya akan menimbulkan pertengkaran lain diantara kalian. Biar saja Ninda melihat sendiri bahwa diantara engkau dan aku tidak ada hubungan apa-apa.”
“Masalahnya……..” ucap Adilla, matanya lurus menatap Asmi. “Aku sudah berterus-terang pada Ninda bahwa aku……mencintaimu……”
Tidak mungkin Adilla berterus terang pada Ninda bahwa dia mencintaiku, pikir Asmi. Aku tidak percaya. Bohong. Adilla bohong. Asmi tidak percaya Adilla mengakui pada Ninda bahwa dia mencintai dirinya. Asmi menatap Adilla.
“Perempuan lain bisa kau bohongi, Dill. Namun jangan harap aku akan percaya pada apa yang kau ucapkan barusan.” Asmi tersenyum sinis.
Adilla tersenyum ceria menatap Asmi. “Kau nanti akan percaya bahwa aku memang mengakui pada Ninda bahwa aku mencintaimu.”

--- 0 ---


“Mas Dill tidak mengenakan cincin pertunangan kita?” Ninda meraih tangan kiri Adilla dan menatap jari manis Adilla yang kosong. Biasanya cincin emas putih itu ada disana. “Kenapa mas Dill  tidak mengenakan cincin pertunangan kita?”
Mata Ninda penuh tanya dan seakan menyudutkannya untuk segera memberikan alasan dan jawaban.
“Cincin itu kan tidak perlu aku kenakan setiap hari.” Ucap Adilla.
“Tapi itu adalah cincin tunangan, Mas Dill.” Protes Ninda. “Seperti halnya aku  yang setiap hari mengenakan cincin pertunangan kita, akupun ingin engkau mengenakan cincin itu setiap hari.” Ninda memperlihatkan jari manis  tangan sebelah kirinya. Adilla melihat cincin tunangan  pada jari manis gadis itu.
“Aku tidak suka kau bicara keras seperti itu, Ninda.”
“Aku berhak marah kepadamu. Sudah beberapa kali aku melihat engkau  tidak mengenakan cincin pertunangan kita. Dulu alasanmu adalah lupa, namun sekarang kau beralasan cincin itu tidak perlu tiap hari kau kenakan. Kenapa mas Dill  tidak terus terang saja bahwa mas Dill  tidak mau mengenakan cincin itu. Apakah cincin itu mengekang kebebasanmu dalam bergaul? Terutama dengan gadis-gadis yang kau sukai?”
“Aku tidak mau dipaksa, Ninda.”
“Itu bukan paksaan, tapi keharusan karena  mas Dill  sudah bertunangan dengan aku.”
Adilla hanya diam. Sudah beberapa kalid dia tidak mengenakan cincin tunangan. Dia merasa tidak perlu mengenakan cincin itu setiap hari. Sebenarnya dia  ingin menolak ada pertunangan seperti ini. Buat dirinya, tidak ada pertunangan. Yang ada adalah perkawinan. Namun dia   terbiasa penurut kepada ibunya. Ketika ibunya dan ibunya Ninda sepakat ada pertunangan, dia hanya menuruti keinginan orangtuanya. Dia tidak ingin mengecewakan mereka. Walau dalam hatinya dia tidak setuju. Namun dia tidak mau membantah keinginan orangtuanya dan orangtua Ninda.
“Siapa yang mengharuskan aku harus mengenakan cincin itu setiap hari sementara laki-laki yang sudah menikahpun banyak yang tidak mengenakan cincin perkawinan mereka.” Kata Adilla. “Lagi pula, terus terang aku sebenarnya tidak ingin ada pertunangan dalam hidupku. Bila memang seorang wanita adalah jodohku, aku ingin langsung menikah tanpa melalui proses pacaran, apalagi  bertunangan.”
Ninda menatap Adilla. Seakan terkejut mendengar ucapan Adilla. “Kau menyesal telah bertunangan dengan aku, mas Dill?”
Adilla membalas tatapan Ninda. “Tidak. Maafkan aku bila kata-kataku tadi membuatmu terkejut.”
“Kenapa  Mas Dill tidak menolak sebelumnya?”
“Aku tidak bisa membantah pada orangtua, Ninda.  Orangtua kita menginginkan kita bertunangan. Kupikir tidak salah aku menuruti keinginan orangtua kita.”
Ninda menunduk. Menatap cincin yang melingkar dijari manisnya. “Kata-katamu tadi adalah ungkapan yang sejujurnya, apa yang ada dalam hatimu yang sebenarnya, Mas Dill.” Ucap Ninda pelan. Ada setitik airmata  menggantung disudut matanya.
“Maafkan aku, Ninda. Bila aku salah dalam bicara kepadamu.”
Ninda menggeleng. “Tidak, mas Dill. Kau tidak salah. Mas Dill benar. Aku yang salah. Selama ini aku berpikir mas Dill mencintaiku. Namun ternyata aku keliru menafsirkan semua ini…….”

--- 0 ---



Mobil  Adilla memasuki halaman rumah Ninda. Dari balik kaca mobilnya dia melihat seorang lelaki  tengah duduk santai diteras. Adilla turun dari dalam mobilnya. Dia melangkah menuju teras. Lelaki itu melihat sekilas pada Adilla lalu kembali asyik dengan telepon genggamnya, tidak mengacuhkan kedatangan Adilla. Saat itu Ninda keluar dari dalam rumah. Wajahnya gembira melihat kedatangan Adilla.
“Mas Dill, ayo kenalkan. ini Rizal. Puteri teman papa.”
Rizal berdiri sejenak menyalami Adilla. Menatapnya. Namun tatapannya seperti tidak bersahabat.
“Oh, ini tunanganmu yang kau ceritakan itu, ya?”  Tanya Rizal.
Adilla merasa kurang senang melihat sikap Rizal yang arogan dan tidak sopan seperti itu. Namun dia menahan diri.
“Ya, ini mas Dill. Kami sudah akan menikah, setelah mas Dill menyelesaikan kuliahnya nanti.:
“Oh.” Gumam Rizal. Dia melihat jam tangannya. “Aku pulang dulu, ya. Sampaikan salam buat tante Nur.”
“Ya, terima kasih ya atas  kiriman anggreknya. Mama sangat senang sekali koleksi angkreknya semakin bertambah.”
“Ya, nanti aku kirim lagi. Temanku punya usaha budidaya angkrek. Beragam bunga anggrek dijual disana. Nanti aku ajak kamu dan tante Nur    datang sendiri kesana, biar bisa memilih anggrek sepuasnya.”
“Oh ya? Terima kasih.” Ucap Ninda gembira.
Rizal berlalu memasuki mobilnya sedan warna hitam yang diparkir diluar halaman rumah. 
“Siapa Rizal? Sikapnya kelihatan arogan sekali? Masa dia tadi bertanya, oh ini tunanganmu yang kau ceritakan itu, ya?” komentar Adilla setelah mobil Rizal pergi.
Ninda tertawa mendengar ucapan Adilla. “Jangan tersinggung, mas Dill. Rizal memang sikapnya begitu. Tapi sebenarnya dia baik, kok. Tadi dia mengantarkan anggrek untuk mama. Mama kan senang koleksi bunga anggrek. Kebetulan Rizal punya teman yang punya usaha budidaya anggrek. Mas Dill dengar sendiri tadi, Rizal akan mengajak aku dan mama melihat sendiri ke tempat budidaya anggrek temannya itu.”
“Sikapnya sangat simpatik sekali kepadamu dan kepada tante Nur, ya?!” sindir Adilla.
“Mas Dill jangan cemburu begitu dong. Aku jadi tidak enak kalau nanti Rizal datang kemari dan melihat sikap mas Dill yang tidak bersahabat seperti itu.”
Hari-hari berikutnya Adilla melihat Rizal  semakin sering kelihatan berada dirumah Ninda. Adilla tidak mengingkari ada perasaan cemburu yang terasa mengganggunya setiap kali dia melihat kehadiran lelaki itu dirumah Ninda. Walaupun  tidak diucapkannya, namun dia tidak dapat menyembunyikan pada raut wajahnya. Ninda sudah merasa, Adilla cemburu dengan kehadiran Rizal dirumahnya.
“Mas Dill tidak senang Rizal sering datang kemari, ya?”   Tanya Ninda suatu hari.
“Terus terang, ya.” Sahut Adilla.
“Mas Dill punya seorang sahabat, namanya Asmi. Lantas mengapa aku tidak boleh pula memiliki sahabat? Rizal seorang teman yang menyenangkan. Dia baik dan perhatian kepadaku.”
“Kau selalu mencemburui Asmi. Padahal dia benar-benar hanya seorang sahabat bagiku.”
“Rizal juga hanya sekedar teman bagiku. Sama seperti Asmi bagimu.”
Adilla menatap Ninda. Dia tidak bisa membaca apa yang ada dalam pikiran gadis itu.
“Baiklah, jadi Rizal  hanya sekedar teman bagimu?”
“Ya.” Sahut Ninda.
Adilla mencoba percaya pada ucapan Ninda. Rizal hanya sekedar teman bagi Ninda. Namun hari-hari berikutnya, Adilla merasa  Ninda dengan Rizal kelihatan semakin dekat.  Bahkan Adilla merasa, Ninda sudah lebih dekat kepada Rizal daripada kepadanya. Sering Rizal menemani Ninda kemana-mana. Bahkan Ninda sudah semakin jarang meminta diantar lagi atau ditemani bila akan pergi kemanapun kepadanya.
“Ninda, terus terang aku tidak suka melihatmu semakin dekat dengan Rizal.” Kata Adilla. Dia harus berbicara terus terang pada Ninda.
“Kenapa mas Dill tidak senang melihat aku dekat dengan Rizal?” cetus Ninda. “Rizal putera bapak Hajar. Bapak Hajar adalah teman bisnis papa. Rizal baik kok. Bapak Hajar juga baik padaku.”
Adilla kini mengerti. Diantara Ninda dan Rizal ada hubungan lain. Mereka bukan sekedar berteman. Ninda sudah tidak ingat lagi bahwa dirinya telah bertunangan dengan Adilla. Namun Adilla mengerti. Ninda hanya ingin membalas dendam karena dirinya masih dekat dengan Asmi.
Adilla mencoba menahan perasaannya. Dia cemburu melihat Rizal sering kerumah Ninda, namun dia tidak punya alasan untuk mencemburui Rizal. Barangkali memang benar seperti pengakuan Ninda bahwa dirinya hanya berteman dengan Rizal. Hingga akhirnya Adilla melihat kenyataan lain. Ninda sedang dipeluk Rizal ketika malam itu Adilla kerumah Ninda. Dia memarkir mobilnya agak jauh dari rumah Ninda karena dia melihat ada mobil Rizal diparkir didepan rumah Ninda. Adilla lalu berjalan menuju rumah gadis itu. Ditaman dihalaman depan, pemandangan yang menyakitkan itu terasa mengusik harga dirinya. Dia melihat kenyataan, gadis itu berada dalam pelukan Rizal.
Pengkhiatanan Ninda terasa menyakitkan perasaannya sekaligus membuka matanya bahwa selama ini Ninda tidak mencintainya. Dia hanya dijadikan pelarian setelah Ninda kehilangan Fahrul. Perhatian-perhatian Ninda selama ini kepadanya yang seakan mencintainya dan menyayanginya ternyata palsu belaka. Sekarang Adilla sadar, bahwa cinta tidak bisa dipaksakan.

--- 0 ---
Adilla melihat kenyataan Ninda bersama lelaki lain. Pengkhianatan Ninda  terasa menyakitkan perasaannya sekaligus membuka matanya bahwa selama ini Ninda  tidak sepenuhnya mencintanya. Perhatian-perhatian Ninda  selama ini yang seakan mencintainya  dan menyayanginya ternyata palsu  belaka. Bahwa cinta memang tidak bisa dipaksakan. Bahwa cinta seharusnya adalah kerelaan dan keikhlasan untuk mau menerima kelebihan sekaligus kekurangan dari orang yang  dicintainya.
Adilla mengetahui bahwa lelaki itu bernama Rizal. Anak seorang pengusaha sukses. Adilla menilai bahwa Rizal pasti cocok dengan Ninda. Rizal pasti bisa mengikuti gaya hidup Ninda yang boros dan mewah.
Berhari-hari ini Adilla banyak termenung. Dia seperti tengah diombang-ambingkan perasaannya sendiri yang mulai goyah dan bimbang dengan keputusannya sendiri. Perkawinan adalah masa depannya. Memang benar jodoh ditentukan Allah. Namun manusia diberi kesempatan untuk memilih sendiri terlebih dahulu hingga kemudian Allan menentukan siapakah jodohnya.
Aku berhak memilih untuk kebahagiaanku sendiri, untuk masa depanku, dengan siapa aku merasa mantap melangkahkan kakiku menapaki masa depanku.
Dia ingin menyingkirkan segala kebimbangan dan kegalauan yang terus mengganggunya. Dia tahu orangtuanya tidak memaksanya untuk  menuruti keinginan mereka. Ayah ibunya selama ini cukup bijak dan tidak pernah memaksakan kehendak mereka pada  ketiga anak-anaknya. Mengenai pertunangannya dengan Ninda,  orangtuanya tidak memaksanya.  Mereka hanya mengarahkan dan memberikan saran. Selanjutnya terserah anak-anaknya untuk mengambil keputusan sendiri.
Ketika dia diperkenalkan pada Ninda, ibunya hanya memberikan jalan karena selama ini dita tidak pernah memiliki kekasih. Dia sendiri senang diperkenalkan pada Ninda. Dimatanya Ninda seorang gadis yang baik. Namun baru sekarang disadarinya dia terlalu tergesa-gesa mengikuti keinginan orangtua Ninda dan orang tuanya yang menginginkan dirinya dengan Ninda bertunangan terlebih dahulu sebelum mereka menikah.  Sekarang baru disadarinya, dia seolah memaksakan  diri bila dia melanjutkan pertunangan dengan Ninda. Ninda bukan untuknya. Dia tidak akan bisa mengikuti gaya hidup Ninda. Disisi lain Ninda pun tidak akan mau mengikuti keinginannya. Mereka berdua seolah berdiri pada dua jalur yang berbeda yang sulit untuk dipertemukan.
Pada saat perasaannya terasa bimbang dan galau, bayangan Asmi terasa semakin sering mengganggunya. Dia mengenal Asmi bukan sehari dua hari. Sejak mereka masih di SMA mereka sudah berteman. Dia sudah mengenal kepribadian Asmi. Gadis sederhana, mandiri dan penuh pengertian didalam penilaiannya. Sudah lama dia tertarik pada Asmi. Namun rasanya sulit untuk mengungkapkan perasaannya kepada Asmi. Selama ini Asmi selalu baik dan penuh perhatian kepadanya. Namun dia tidak bisa mengartikan bahwa Asmi akan menerima cintanya.
Dia tidak pernah bisa menebak bagaimana perasaan Asmi yang sesungguhnya kepadanya. Namun kini, setelah dia bertunangan dengan Ninda, dia merasakan perubahan pada sikap Asmi.  Asmi lebih sering menghindarinya. Asmi jadi lebih pendiam kepadanya. Sering mengelak bila dia ingin bertemu. Dan yang lebih kentara, dia melihat Asmi sering  terlihat murung. Adilla menemukan jawabannya dari Riana. Riana sewaktu SMA sebangku dengan Asmi. Bahkan sekarang pun mereka masih bersama-sama di kampus walaupun berbeda jurusan.
“Asmi menyukaimu, Dill. Sejak dulu pun Asmi sudah menyukaimu.” Kata Riana.
“Benarkah?” Tanya Adilla. “Asmi memang baik kepadaku, namun selama ini aku sulit menebak perasaannya kepadaku.”
“Kau sendiri menyukai Asmi, kan? Kenapa engkau tidak mengutarakan perasaanmu kepada Asmi?”
“Na, aku selama ini selalu merasa ragu. Aku khawatir…….”
“Cintamu akan bertepuk sebelah tangan?” Riana tertawa. “Kamu  laki-laki, Dill. Cinta ditolak hal biasa buat laki-laki. Bukan sesuatu hal yang tabu dan memalukan. Dicoba saja. Siapa tahu kekhawatiranmu tidak terbukti, Dill.”
Adilla hanya termenung mendengar saran Riana.
“Adilla, tapi sekarang sudah terlambat. Kau sudah bertunangan dengan Ninda. Tidak  baik bila kau masih  memikirkan gadis lain, Dill.”
Adilla diam saja. “Na, kamu jangan menyampaikan pembicaraan kita ini pada Asmi, ya. Ini pembicaraan kita berdua.”
“Ya, tentu saja.” Sahut Riana, tersenyum penuh pengertian. “Kamu tidak usah khawatir, Dill. Aku sejak dulu kan berteman baik denganmu. Aku bisa menjaga kepercayaanmu.”
“Terima kasih.”
Pulang kerumahnya Adilla merasa semakin bimbang. Kebimbangan yang terasa semakin mengacaukan perasaannya. Betapapun sulitnya untuk memilih, namun aku harus mengambil keputusan. Ya, mungkin sebenarnya selama ini Asmi menyukaiku, namun sebagai wanita dia berusaha menyembunyikan perasaannya. Aku yang tidak peka menangkap sinyal-sinyal yang sebenarnya selama ini sering diberikan Asmi kepadaku. Kebaikan-kebaikan dan perhatian-perhatian Asmi kepadaku sangat berbeda dengan kebaikan-kebaikan dan perhatian-perhatian yang diberikan Asmi pada teman-teman lelakinya yang lain. Aku sendiripun merasakan ada perhatian lebih dari Asmi kepadaku.
Adilla mengambil photo Asmi. Cantik dan lembut. Asmi memang nampak keibuan. Sewatu SMA dulu, jarang ada teman lelaki yang berani mengganggu Asmi. Adilla meletakkan photo itu. Dia lalu mengambil   kotak merah kecil. Dibukanya. Dia  menatap  cincin tunangan didalam kotak merah itu. Sudah beberapa waktu cincin itu hanya disimpannya saja. Dia merasa enggan memakainya.
Dia tahu apa yang harus dilakukannya dengan cincin itu. Pengkhianatan Ninda terasa melukai perasaannya. Namun pengkhianatan Ninda  membuatnya tekadnya terasa semakin bulat  untuk mengakhiri pertunangannya dengan Ninda. Dia tidak ingin lagi mengenakan topeng  kepura-puraan yang membuat dirinya dan perasaannya seakan terbelenggu dalam sebuah cinta yang palsu.
Seperti bunga kertas, bunga itu kelihatan begitu  indah namun palsu dan semu. Yang diinginkannya adalah bunga yang sesungguhnya, seperti sebuah cinta yang sesungguhnya yang diharapkannya ada dalam hatinya.   Cinta adalah sebuah anugerah. Cinta seharusnya dihayati dan disyukuri.
Andaikan cinta adalah sesuatu hal yang istimewa dan hanya sekali saja hadir dalam hidupnya, dia ingin mendapatkan dan memiliki cinta itu seutuhnya, akan dijaga dan disimpannya dengan sepenuh hati.
Tiba-tiba saja perasaannya menjadi terasa sentimental dan melankolis. Betapa airmatanya menjadi mudah hadir ketika dia sedang  dipermainkan oleh lamunan-lamunannya. Selama ini dia tidak pernah cengeng. Hidup harus kuat dan tegar. Namun kenapa perasaan-perasaan sentimental itu kerap mengganggunya pada saat dia sedang bercengkrama dengan kesendiriannya? Cintalah yang telah membuatnya menjadi seperti ini.
“Ninda, aku ingin bicara denganmu.” Kata Adilla. Malam itu dia kerumah Ninda setelah berhari-hari pikirannya terasa terganggu dan sumpek. Dia harus bicara dengan Ninda. Dia sudah memikirkannya matang-matang.
Ninda menatapnya. Menunggu apa yang akan disampaikan Adilla.
“Kelihatannya hubungan  kita ini tidak bisa diteruskan lagi. Aku melihatmu semakin dekat dengan Rizal. Aku tidak akan bertanya kepadamu ada hubungan apa antara engkau dengan Rizal karena kalian sudah sama-sama dewasa. Namun aku perlu kejelasan hubungan kita.”
Adilla menatap  jari manis Ninda. Ninda tidak mengenakan cincin.
“Dimana cincin tunangan kita?”
“Aku simpan dalam dompet.”
“Kau sudah tidak mau mengenakannya?”
“Karena mas Dill juga pernah tidak memakai cincin pertunangan kita.”
Adilla menarik napas dalam.  Sekarang mereka seolah ingin saling membalas sakit hati dan kekecewaan diantara mereka. Hanya ingin saling membalas dendam. Adilla sadar, mereka berdua sama keras kepalamnya. Tak ada yang mau mengalah. Apa jadinya nanti bila mereka berdua sudah resmi terikat menjadi suami istri. Yang akan terjadi nanti tiap kali kecewa dan sakit hati akan dibalas dengan cara yang sama. Tiada artinya lagi mereka meneruskan pertunangan ini. Sebelum  segalanya terlambat untuk diakhiri.
“Ninda, kamu pernah tidak memikirkan mengenai kemungkinan lain dari hubungan kita ini?”
 Ninda tidak menyahut.
“Sepertinya kita tidak bisa melanjutkan kembali pertunangan kita ini. Terlalu banyak perbedaan diantara kita yang sulit mencari titik temu.”
Ninda mengeluarkan dompetnya. Dia mengambil cincin tunangan mereka.
“Cincin ini aku kembalikan kepadamu.”
Adilla menatap cincin itu. “Simpan saja cincin itu, Ninda. Sebagai kenang-kenangan kita pernah bersama.”
Ninda menatap Adilla. menahan airmatanya. Ketika Adilla telah pergi, Ninda menumpahkan airmatanya. Hatinya terasa pedih. Dia mencintai Adilla seperti hanya dia mencintai Fahrul. Hanya dia sendiri yang dapat merasakan bagaimana besar rasa cintanya pada Adilla. Bagaimana takutnya dia kehilangan lelaki itu. Namun Adilla tidak mengerti dengan perasaannya. Adilla tidak memahami cintanya pada lelaki itu. Adilla tidak memahami kecemburuan-kecemburuannya dengan persahabatan Adilla dan Asmi. Persahabatan mereka yang terus berlanjut terasa menyakitkan perasaannya dan selalu menimbulkan bara kecemburuan dalam hatinya yang suatu saat bisa berkobar menjadi api yang membakarnya. Namun ketika dia membalas sakit hatinya kepada Adilla dengan cara yang sama, Adilla mengambil keputusan yang tak diduganya. Adilla memutuskan pertunangan mereka. Ninda merasa limbung. Namun kenyataan ini  terpaksa harus diterimanya. Dia terpuruk dalam kesedihan. Dia tidak menduga akan begini akhirnya. Sambil menangis, dia menatap cincin pertunangan itu yang kini sudah tidak ada maknanya lagi.

--- 0 ---


Aku tidak akan bertemu Adilla lagi, pikir  Asmi.  Dia melihat mobil Adilla dari balik jendela ruangan kuliahnya dilantai dua. Mobil Adilla diparkir didepan gedung itu.  Teman-temannya satu persatu sudah meninggalkan ruangan kuliah. Tinggal dia sendirian yang masih termenung menatap keluar. Asmi melihat Adilla keluar dari dalam mobilnya. Berkali-kali Adilla menengok pada orang-orang yang lalu lalang. Seperti tengah mencari-cari seseorang. Siapa yang kau cari, Adilla? Akukah?  Aku disini. Namun aku tidak ingin bertemu denganmu. Asmi bertahan berdiri dibalik jendela hingga akhirnya dia melihat Adilla memasuki mobilnya. Mobil itu perlahan meninggalkan tempat parkir. Asmi menghela napas panjang. Dia tidak merasa lega melihat Adilla  telah pergi. Hatinya terasa perih karena dia mengingkari perasaannya sendiri. Kenapa aku tidak mau mengakui bahwa aku sebenarnya mencintai Adilla? Bukankah hatiku menangis ketika Adilla bertunangan dengan Ninda? Mengapa aku sekarang harus menghindar pada  saat cinta itu datang menghampiri?
Sekian lama dia mengharapkan Adilla, kini pada saat harapan itu akan diwujudkan Adilla, justru hatinya yang enggan untuk menerima harapan yang diberikan Adilla itu. Bayangan Ninda seakan mengganggunya. Tatapan mata Ninda yang menghujam cemburu tak bisa lepas dari ingatannya. Asmi melangkah keluar. Dia melintasi diantara ruangan yang mulai sepi. Langkahnya  perlahan menuruni tangga. Matanya terpekur menatap lantai tangga.
“Asmi…..”
Asmi terkejut. Pada enam tangga  dibawahnya, Adilla tengah berdiri disana.
Asmi meneruskan  langkahnya menuruni tangga.
“Hai.” Sapanya ketika sudah berhadapan dengan Adilla.
“Hai.” Sahut Adilla. Tersenyum menatap Asmi. “Aku tahu kamu belum keluar dari kampus. Tadi aku menunggumu dibawah.”
“Ada apa?”
“Aku ingin pulang sama-sama.”
“Aku mau ke toko buku dulu.”
“Aku antar.”
“Jangan. Aku pasti lama. Pulangnya mau mampir ke pasar dulu beli bahan—bahan kue.”
“Tidak apa-apa, aku antar kamu.” Suara Adilla memaksa.
“Sudah kubilang, aku pasti lama. Kau pulang duluan aja deh.”
“Tidak apa-apa lama juga, aku tidak sedang buru-buru.”
“Adilla……”
“Aku tidak suka kau jadi berubah seperti ini, kenapa jadi tidak mau kutemani lagi?”
“Kau sudah punya Ninda, Adilla.”
“Aku sudah tidak dengan Ninda lagi. Kau tahu itu.  Ninda sudah mengembalikan cincin pertunangan kami. Diantara kami sekarang sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi.”
“Adilla, kenapa hal itu harus terjadi? Seharusnya engkau berusaha mempertahankan hubungan kalian.”
“Asmi, aku capek membicarakan soal Ninda  terus……”
Asmi melihat mata Adilla. Dia tahu, Adilla tak ingin lagi diusik dengan pembicaraan tentang Ninda.
Toko buku yang mereka kunjungi masih toko buku yang dulu biasa mereka kunjungi. Toko buku itu terletak dibelokan perempatan jalan. Bentuk bangunannya sudah kuno. Sebuah toko buku kecil yang tidak terlalu ramai didatangi pembeli. Rumah makan kecil yang mereka kunjungi masih rumah makan yang dulu biasa mereka kunjungi terletak tidak jauh dari toko buku itu. Makanan dan minuman yang mereka pesan masih makanan dan minuman seperti yang biasa mereka pesan seperti dulu.
“Senang ya kita bisa bersama-sama lagi.” Kata Adilla, tersenyum menatap Asmi.
Asmi menunduk, menikmati makanannya. Dia tahu Adilla pasti menunggunya berkomentar.
“Asmi, kamu tahu tidak, apa yang paling aku sukai darimu?”
Asmi menatap Adilla, ingin mendengar ucapan gombal Adilla. Adilla suka menggombal, namun dia menikmatinya sebagai bagian dari persahabatannya dengan Adilla.
“Kau gadis yang mandiri. Kau bisa berjuang untuk hidup tanpa tergantung pada belas kasihan orang lain. Ketika kau mulai merintis usaha membuat roti dan kue, aku sudah kagum padamu. Aku melihat engkau mau bekerja keras. Kau juga secara tidak langsung membuka lapangan pekerjaan, pada pembantu-pembantu  yang membantu pekerjaanmu, pada anak-anak yang putus sekolah yang menjajakan daganganmu, pada pemuda-pemuda pengangguran disekitar rumahmu.”
Asmi tersenyum. “Selama ini rasanya kau tak pernah memuji aku.”
“Aku baru menyadari betapa menyenangkannya engkau justru setelah aku tidak pernah bersama-sama denganmu. Saat itu  baru aku terpikir  betapa engkau berjuang, bekerja keras dan berusaha hidup mandiri pada saat aku sendiri masih tergantung pada orangtua.”
“Suatu saat engkau juga akan bisa hidup mandiri, orangtuamu sedang memberimu bekal melalui pendidikan. Bila sekolahmu telah rampung, kau juga akan bekerja dan memiliki penghasilan sendiri.”
“Kau sudah memulainya dari sekarang. Aku malu pada diriku sendiri. Padahal setiap orang pasti bisa bila mau berusaha. Apa yang telah kau lakukan telah memotivasi aku untuk mulai memikirkan pekerjaan. Waktuku masih cukup untuk mencari pekerjaan disela-sela waktuku untuk kuliah.”
“Kau punya orangtua yang cukup berada, Dil. Kau tidak usah menyusahkan diri sendiri. Selesaikan saja dulu studimu baru engkau mencari pekerjaan yang sesuai dengan keinginanmu. Aku bekerja mencari uang dari usaha membuat roti dan kue ini karena kondisiku yang  serba pas-pasan sehingga aku seolah dituntut untuk mencari jalan  keluar dengan membantu ibuku menambah penghasilan. Kebetulan aku bisa membuat roti dan kue, keahlian sekecil apapun bila dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya Insya Allah akan membuahkan hasil.”
“Asmi, aku senang melihat keuletanmu. Kau sudah banyak mengajariku banyak hal. Kau selalu mengingatkan aku agar  jangan lupa shalat. Kau yang mengingatkan aku agar aku mau belajar membaca Al-Qur’an. Kau mengajariku bahwa hidup terlalu singkat untuk kita lewatkan begitu saja. Kau selalu mengingatkan aku agar mengisi waktu dengan sebaik-baiknya sebelum usia tua datang dan membuat kita menyesal telah menyia-nyiakan masa muda kita. Asmi, kau akan tetap bersamaku, bukan?”
Asmi terdiam.
“Asmi, aku ingin tetap bersamamu. Bukan untuk sehari ini saja, atau sekedar sehari esok. Tapi  untuk selama-lamanya.”
“Adilla, aku tidak mau kau jadikan aku ini sebagai pelarian dari kekecewaanmu terhadap Ninda…..”
“Aku memang kecewa dengan pertunanganku dengan Ninda, namun itu adalah cerita lain dalam kehidupanku. Kau adalah cerita lain dari kehidupanku. Aku mencintaimu dan ingin selalu bersamamu untuk selamanya. Aku ingin menikah denganmu.”
“Adilla, menikah itu gampang tapi banyak yang harus kau pertimbangkan. Kuliah kita tinggal setahun lagi. Kenapa engkau tidak menunggu sampai  selesai dan kau mendapatkan pekerjaan?”
“Asmi, aku bisa menunggu namun aku tidak ingin pikiranku berubah lagi. Kau sering berkata bahwa Allah akan selalu membukakan pintu rejeki-Nya pada umat-Nya yang mau berusaha. Kau sudah membukakan mataku bahwa dengan usaha dan kerja keras, rejeki itu pasi akan selalu ada. Aku sekarang sudah bekerja part-timer  pada sebuah perusaha konsultan jasa konstruksi………..”
“Oh, ya? Kau tidak pernah cerita tentang hal ini padaku.”
“Aku ingin sepertimu, mau bekerja keras dan berusaha, mengisi waktu dengan sebaik-baiknya. Allah yang akan menentukan besar kecilnya rejeki kita namun kita wajib berusaha mencari rejeki sambil  berdoa…..”
Asmi tersenyum. Dia mengucapkan syukur dalam hatinya. Allah telah mengembalikan Adilla kepadanya.

--- 0 ---



Ibunya adalah orang pertama yang diberitahu  putusnya pertunangannya dengan Ninda. Adilla tahu, keputusannya ini akan membuat semua pihak terkejut. Namun disisi lain, dia harus berani menentukan sikapnya sendiri. Dia tidak ingin terus menerus masalah pertunangannya dengan Ninda menjadi beban bagi bathinnya. Mereka sudah jelas tidak mungkin bisa terus bersama.
“Ma, aku sudah  memutuskan pertunangan dengan Ninda. Maafkan aku, keputusan ini kuambil kerena aku tidak bisa memaksakan diri, meneruskan pertunangan dengan Ninda sampai ke pernikahan.”
Sesaat Nani terlihat kaget. Walaupun sebelumnya dia sudah sering mendengar Adilla mengeluhkan hubungannya dengan Ninda dan berulangkali dia meminta agar Adilla bersabar, namun dia tidak menduga bila Adilla akan memutuskan pertunangan mereka. Namun kini Adilla telah mengambil keputusan sendiri.
“Semuanya sudah kau pikirkan matang-matang, Dil?” Tanya Nani lembut, dia tidak ingin menyinggung perasaan anaknya.
“Ya, ma.”
“Kau  yang akan menjalani.  Perkawinan adalah masa depanmu. Bila kau sudah bulat hati untuk mengakhiri pertunanganmu dengan Ninda, keputusan itu sudah kau pikirkan matang-matang.”
“Ya, ma. Insya Allah.” Adilla merasa lega, ibunya bisa menerima keputusannya dengan lapang dada. Semula dia mengira ibunya akan marah dan menentang keputusannya.  “Ma, ada satu hal lagi yang akan saya sampaikan pada mama.”
“Apa?”
Adilla tersenyum. “Insya Allah, saya akan menikah dengan Asmi.”
Kali ini Nani benar-benar terkejut.  “Apa? Astagfirullahualadziem. Adilla, mama harap kau tidak main-main. Kuliahmu belum selesai.”
“Ma, saya dan Asmi masih sama-sama kuliah, Insya Allah kalau lancar tahun depan kami sudah menyelesaikan kuliah kami. Apa yang akan kami jalani ini pasti berat dan penuh dengan resiko, namun kami sudah sepakat akan tetap melangsungkan pernikahan. Pernikahan ini adalah jalan terbaik untuk kami berdua. Saya takut bila saya salah melangkah. Mama tahu hubungan saya selama ini dengan Asmi sudah dekat.”
“Jadi selama ini Asmi bukan hanya sekedar  teman bagimu?” Tanya Nani setelah termenung beberapa saat lamanya sambil menatap wajah anak bungsunya.
Adilla tersenyum. “Semula saya menganggap Asmi hanya sebagai teman, tapi lama kelamaan  perasaan saya berubah kepadanya, ma. Saya menyukai Asmi bukan hanya sebagai teman biasa, namun dia bisa menjadi teman dalam mendampingi hidup saya.”
“Kenapa engkau tidak menangguhkan sampai tahun depan, sampai kalian berdua merampungkan dulu kuliah kalian?”
“Mama merestui perkawinan saya dengan Asmi?” Tanya Adilla. Dia menatap ibunya penuh harap.  Matanya berbinar. Ada kebahagiaan yang tidak disembunyikannya dari sepasang matanya. Nani dapat merasakan kebahagiaan yang tengah dirasakan anaknya. Dan   dia tidak akan pernah merasa tega untuk mengusik kebahagiaan yang tengah dirasakan anaknya. Selama ini yang diharapkannya adalah anak-anaknya bahagia.
“Adilla, Insya Allah mama merestui hubungan kalian tapi untuk melangkah keperkawinan secepat ini…..”
“Ma, saya dengan Asmi sudah cukup dewasa. Insya Allah kami berdua akan bertanggung jawab dengan perkawinan kami ini.” Ucap Adilla. “Mama merestui perkawinan kami ini?”
Nani  tersenyum.  “Adilla, mama selalu berharap engkau mendapatkan kebahagiaan. Perkawinan adalah masa depanmu. Kehidupanmu selanjutnya. Kau sudah cukup dewasa untuk menentukan sendiri dengan siapa engkau akan melangkah sepanjang hidupmu. Mamah menilai Asmi gadis yang baik. Bila engkau sudah merasa mantap memilih Asmi, kau berhak menentukan pilihanmu senidiri. Bila perkawinanmu dengan Asmi membuatmu bahagia, Insya Allah mama dan   papa akan merestui perkawinan kalian.”
“Terima kasih,ma.” Adilla mencium tangan ibunya. Bukan main senangnya mendapat restu dari ibunya.  

--- 0 ---



Tiga minggu kemudian  pernikahan Adilla dan Asmi  diselenggarakan dengan sederhana seperti keinginan Adilla yang tidak ingin menunda-nuda perkawinannya. Namun kesederhanaan itu tidak mengurangi kebahagiaan Asmi dan Adilla. Keduanya kelihatan  bahagia dan berseri menerima ucapan selamat dari keluarga dan teman-teman dekat mereka yang diundang.
“Asmi, aku bahagia sekali.” Ucap Adilla.
“Aku juga.” Sahut Asmi, tersenyum menatap wajah Adilla.
Pasangan pengantin baru itu  tinggal dirumah Asmi. Menjelang perkawinan mereka, Asmi sibuk  membenahi kamar   bekas orangtuanya yang berukuran lebih luas dibandingkan dengan kamar yang ditempatinya selama ini. Bekas kamar orangtuanya akan dipakainya sebagai kamar tidurnya setelah menikah.  Letak kamar itu lebih luas dan lebih  nyaman dengan jendela besar yang menghadap pada taman kecil disamping rumah. Dia mengganti  cat kamar yang semula berwarna krem muda dengan warna putih.  Dia juga mengeluarkan lemari dan barang-barang lainnya yang mengisi kamar bekas orangtuanya, lalu menggantinya dengan  barang-barangnya sendiri, termasuk tempat tidur baru dan gorden baru berwarna biru yang berenda pada bagian tepinya. Asmi tersenyum puas ketika melihat hasilnya.
Perkawinan merupakan sebuah  kehidupan baru  bagi Asmi maupun bagi Adilla. Sekarang Adilla menyaksikan sendiri bagaimana sibuknya Asmi sehari-hari. Jam setengah empat subuh Asmi sudah bangun. Sambil menunggu adzan shubuh Asmi sudah sibuk didapur bersama pembantu-pembantunya membuat adonan roti. Sekarang kesibukan Asmi semakin bertambah dengan kehadiran seorang suami. Sambil melakukan rutinitasnya sehari-hari, Asmi menyediakan segala macam kebutuhan Adilla. Asmi menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri dengan sepenuh hati. Adilla bangga dan senang pada istrinya. Dia merasa tidak salah pilih telah menikah dengan Asmi. Asmi memberikan banyak kegembiraan-kegembiran dalam hidupnya.  
“Asmi, aku bisa melakukan sendiri.” Kata Adilla ketika melihat Asmi memilihkan baju yang akan dipakainya hari itu.
Asmi tersenyum. “Aku sekarang sudah menjadi istrimu, jadi  pekerjaan ini sudah menjadi pekerjaanku.”
Adilla hanya tersenyum. Keluar dari kamarnya dia melihat kopi yang masih mengepul panas sudah terhidang diatas meja. Sementara Asmi masih sibuk membenahi meja makan menyiapkan sarapan  pagi.
Adilla bersyukur, dia melihat pengabdian yang tulus dari Asmi. Walaupun Asmi sendiri disibukan dengan kuliahnya dan usahanya, namun dia tetap memberikan prioritas untuk melayani segala kebutuhan suaminya. Hingga suatu hari  empat bulan setelah perkawinan mereka ketika Adilla pulang kuliah dia melihat Asmi sedang terbaring dengan wajah pucat.
“Kenapa, As?”
“Kepalaku pusing. Tapi aku tidak apa-apa.” Sahut Asmi. Dia menarik selimut dan menutup kakinya dengan selimut. Dia memejamkan matanya.
“Wajahmu pucat sekali. Kau sakit, Asmi.”
“Tidak, aku sehat.”
Adilla tidak percaya. Dia meraba kening Asmi. Asmi membuka matanya dan menatap suaminya, lalu tersenyum.
“Dil, kau harus siap-siap menjadi seorang bapak…..” bisik Asmi lirih.
“Apa? Kau hamil?” Adilla menatap istrinya.
Asmi mengangguk. “Aku sudah mengetesnya sendiri. Hasilnya positif.”
“Kita periksa ke dokter. Aku ingin dokter yang meyakinkan kita dengan kehamilanmu.” Ujar Adilla.
Asmi mengangguk setuju. Sore itu mereka pergi ke dokter walaupun sudah mengetesnya sendiri namun untuk lebih meyakinkan bahwa dirinya benar-benar tengah hamil dia setuju dengan ajakan Adilla yang mengajaknya pergi ke dokter. Seperti yang sudah diduga, dokter mengatakan Asmi positif hamil.
“Aku benar-benar bahagia mendengarnya, Asmi. Mulai sekarang kau jangan terlalu capek. Jaga kandunganmu dengan sebaik-baiknya. Kau juga harus banyak beristirahat, ya.” Kata Adilla dalam perjalanan pulang. Motornya melintas dijalanan yang ramai. Tidak seperti kebiasaannya, kali ini dia menjalankan motor dengan kecepatan sedang. Dia tidak ingin Asmi menegurnya karena dia terlalu kencang menjalankan motornya.
Asmi hanya  mengangguk mendengar ucapan Adilla. Dia merasa bahagia melihat kebahagiaan yang memancar pada wajah Adilla. Betapa bangga dan bahagianya dia bisa memberikan kebahagiaan pada suaminya tercinta. Sebentar lagi dia akan menjadi seorang ibu dan Adilla akan menjadi seorang ayah. Perkawinan mereka akan lengkap dengan hadirnya buah hati.
“Aku akan memberitahu mama dan papa dengan kehamilanmu ini. Mereka pasti sangat bahagia akan memiliki cucu baru.” Kata Adilla gembira.
Hari-hari  berjalan cukup indah dan penuh rasa syukur yang tiada henti-hentinya mereka ucapkan kepada Allah yang telah memberikan cukup segala sesuatunya buat perkawinan mereka. Riak-riak kecil kerap menghampiri perkawinan mereka. Namun hanya riak kecil sebagai pemanis kehidupan berumah tangga. Kelahiran bayi perempuan mereka semakin menambah kebahagiaan mereka. Adilla memberinya nama Anissa Salikha. Kelahiran bayi itu disaat Adilla sedang sibuk menyelesaikan skripsinya. Bayi itu cantik dan sehat. Bukan main senangnya Adilla menyambut kelahiran puteri pertamanya. Sekarang dia sudah menjadi seorang ayah.  Dia ikut bangun malam ketika Anisa bangun.  Kesibukan Asmi adalah kesibukan Adilla juga.
“Kamu harus konsentrasi dengan skripsimu,  Dil. Aku bisa mengurus sendiri bayi kita.” Ucap Asmi ketika melihat kelelahan diwajah Adilla. Dia merasa kasihan kepada kepada Adilla karena ditengah kesibukannya menyelesaikan pendidikannya waktunya menjadi sering terganggu oleh kerepotannya ikut mengurus bayi mereka walaupun Adilla sendiri kelihatan menikmati bisa membantu istrinya.
“Aku tidak bisa membiarkanmu repot sendiri mengurus bayi kita.”
“Aku senang dan berterima kasih kau bantu,  namun aku tidak mau karena kesibukanmu membantu aku mengurus bayi kita membuat pelajaranmu terbengkalai. Kau harus belajar dan menyelesaikan kuliahmu secepatnya.”
“Ya.” Adilla mengangguk. Dia menatap Asmi beberapa saat lamanya, seakan ada sesuatu yang ingin diucapkannya pada istrinya.
“Ada apa?” Tanya Asmi.
“Asmi, aku malu padamu. Selama kita berumah tangga, kau selalu menyokong perekonomian rumah tangga kita. Aku malu, sebagai kepala keluarga aku justru  belum bisa bekerja untuk menafkahi keluarga kita. Kau sudah berjanji, kan?”
Asmi tersenyum. “Kau kan masih kuliah. Nanti bila kau sudah berhasil menyelesaikan pendidikanmu dan mendapatkan pekerjaan, kaulah yang akan menafkahi keluarga kita.”
“Asmi, aku bahagia memiliki seorang istri yang  penuh pengertian sepertimu.”
“Aku juga bahagia memiliki seorang suami yang baik sepertimu.” 
Pengertian Asmi sebagai seorang istri yang memacu  Adilla untuk segera menuntaskan kuliahnya dan segera mendapatkan pekerjaan.  Lima bulan  kemudian Adilla diwisuda. Asmi menyusul diwisuda beberapa bulan kemudian.
Adilla  bekerja pada anak cabang  perusahaan milik  ayahnya yang bergerak dibidang hasil-hasil perkebunan. Dia mengawali dari bawah  sebagai karyawan biasa seperti yang lainnya. Ayahnya ingin Adilla bisa memahami  seluk beluk perusahaan agar lebih bisa menguasai pekerjaan. Andaikan suatu saat Adilla menadapatkan posisi yang baik dia sudah punya pengalaman bekerja dari level bawah. Seperti halnya dengan Wisnu dan Farhan, kedua kakak Adilla yang sekarang menjalankan usaha milik orangtua mereka.
“Biar aku saja yang bekerja di kantoran.” Kata Adilla. “Kau selama ini sudah terlalu sibuk dengan usahamu.”
“Bagaimana dengan ijazah sarjanaku? Sayang bila disimpan saja didalam lemari.” Ucap Asmi.
“Hidup selalu dihadapkan pada pilihan, Asmi. Kau bisa memilih mana yang lebih cocok untukmu. Kau bisa bekerja dikantoran namun pastinya ada konsekwensinya bagi usahamu yang sudah mulai berkembang ini.  Kau pasti sulit menangani waktu dan pekerjaan antara bekerja di kantoran dengan menjalankan usahamu. Apalagi Anissa semakin membutuhkan perhatianmu. Aku ingin engkau menjadi ibu rumah tangga saja.”
“Ya.” Asmi mengangguk. Dia bisa menerima penjelasan Adilla.
Perkawinan mereka  berjalan dengan selalu diisi dengan penuh rasa  bahagia dan syukur. Adilla  merasakan bahwa perkawinan adalah sebuah ibadah yang tidak ternilai. Dia bahagia memiliki istri yang cantik dan begitu penuh pengertian seperti Asmi.  Tak henti-hentinya dia memanjatkan rasa syukurnya kepada Allah yang telah memberinya jodoh seorang wanita seperti Asmi. Allah telah memberikan yang terbaik untuknya. Allah telah memberikan wanita yang terbaik untuk menjadi pendamping hidupnya. Allah telah memberinya jodoh dimana dia merasa lebih dekat kepada Allah, Sang Khalik, Tuhan Sang Maha Pencipta.
Suatu hari pada empat tahun usia perkawinan mereka Asmi melihat Adilla sedang mencoret-coret kertas.
“Apa itu?” Tanya Asmi, tertarik dengan yang tengah dikerjakan suaminya.
Adilla memperlihatkan gambar yang baru selesai dibuatnya. Gambar sebuah rumah. Asmi duduk disamping Adila sambil mengamati gambar itu.
“Rumah siapa ini?”
Adilla tersenyum mengamati gambar ditangannya. “Rumah kita.”
“Oh, kau akan membuat rumah, Dil?” Asmi memekik gembira.
“Yah, aku sedang memikirkan, kita lebih baik memiliki rumah, rumah kita sendiri.”
“Lalu, rumah ini bagaimana?” Tanya Asmi, mendadak, seolah termenung. Rumah peninggalan orangtuanya ini  tidak mungkin ditinggalkan begitu saja. Dia sudah merasa betah tinggal dirumah peninggalan orangtuanya ini. Lagi pula rumah ini adalah juga tempat usahanya.
“Aku sudah memikirkannya. Rumah peninggalan orangtuamu ini kita jadikan sebagai tempat usahamu membuat roti dan kue. Bagian depan kita renovasi sehingga bisa menjadi sebuah toko roti dan kue. Kau tetap menjalankan usahamu  yang sudah terjalin dengan pedagang keliling. Mereka tetap memiliki lapangan kerja dan mata pencaharian. Namun disamping itu kau memiliki toko roti dan kue sehingga pembeli bisa langsung membeli roti dan kue ke tokomu.”
“Adilla, aku senang sekali mendengar usulmu ini. Tapi darimana kau memiliki uang untuk membuat rumah?”
Adilla tersenyum. “Soal tanahnya, ayah dan ibu  sudah membelikan untukku. Sama luasnya dengan  tanah yang dibelikan untuk kedua kakakku, mas Wisnu dan mas Farhan. Letaknya tidak jauh dari sini. Besok aku ajak kau kesana. Kau pasti senang tinggal disana. Soal pembangunannya, aku sudah mengajukan kredit meminjam uang ke bank.”
“Darimana uangnya untuk membayar kredit itu?” Asmi mengerutkan keningnya.
“Ayah yang pinjam. Jadi aku berhutang pada ayah. Akan kubayar dengan cara mencicil bila aku sudah bekerja.”
Asmi tidak berkomentar. Dia tahu, ayah Adilla membantu anaknya namun sekaligus juga mengajarinya agar memiliki tanggung jawab. Dia menatap suaminya.  “Kau tidak betah tinggal dirumah ini?”
“Aku betah tinggal disini. Udaranya sejuk dan nyaman. Namun sebagai suami aku tetap memiliki kewajiban untuk menyediakan tempat tinggal  untukmu. Rumah ini kan peninggalan  orangtuamu. Rumah yang akan aku buat nanti adalah sebagai wujud tanggung jawabku sebagai suami kepadamu.”
Asmi tersenyum. Dia memeluk Adilla.  “Adilla, kau benar-benar seorang suami yang baik dan bertanggung  jawab.”
“Kau juga seorang istri yang baik dan bertanggung jawab, Asmi. Aku sangat bahagia mendapatkan jodoh seorang wanita  sepertimu.”
Adilla memperhatikan gambar ditangannya. “Uang yang kupinjam pada bank masih cukup untuk melakukan renovasi pada rumah peninggalan orangtuamu ini.”
Asmi hanya menganguk. “Terima kasih, Dil. Kau saja yang membuat sketsanya ya, bagaimana agar toko roti dan kue milikku itu nanti nampak nyaman.”
“Ya.” Adilla tersenyum.
“Aku punya tabungan. Mungkin cukup bila dipakai untuk menambah biaya renovasi rumah ini menjadi sebuah toko roti idamanku.” Asmi tersenyum menatap Adilla.

--- 0 ---



“Mas Dill!”
Adilla baru keluar dari apotik setelah  membeli obat batuk. Sudah tiga hari ini dia batuk-batuk terus. Udara musim kemarau yang panas membuat tenggorokannya sering terasa kering. Adilla menoleh. Sejenak dia hanya menatap wanita yang memanggilnya  itu. Seorang wanita berambut panjang, diikat menjadi satu dibelakang,  mengenakan celana panjang hitam dengan blouse ungu tua. Mendadak perasaan Adilla  berdesir. Ninda. Ya, wanita itu  Ninda. Sejenak Adilla hanya terpaku menatapnya. Matanya melihat perubahan pada diri Ninda.  Wanita itu  sekarang nampak kurus, tidak berseri-seri walaupun   masih kelihatan  cantilk.  Adilla melihat Ninda kelihatan berubah bila dibandingkan dengan Ninda yang pernah dikenalnya dulu.
“Ninda.”
“Mas Dill.”
Keduanya berjabat tangan. Rasanya tak percaya bertemu Ninda lagi setelah perpisahan mereka sekian tahun lalu.
“Mas Adilla masih mengenalku.” Ucap Ninda. Suaranya lembut dan halus.
“Apa kabarmu? Kok kamu sekarang kelihatan  kurus.”
“Masa?” Ninda tersenyum.
“Apa kabar orangtuamu? Beliau berdua sehat?”
Sejurus lamanya Ninda menatap Adilla mendengar pertanyaan itu.
“Mas Dill tidak pernah mendengar kabar  tentang keluarga kami?” Tanya Ninda. Suataranya serius dan sedih.
“Tidak,” sahut Adillla. “kenapa?”
“Perusahaan papa telah bangkrut.” Ucap Ninda lirih. “Kami sekarang sudah tidak punya apa-apa lagi. Aku malu mengatakannya kepadamu bila kami sekarang telah menjadi orang miskin.”
“Ninda, kau tidak boleh bicara begitu.” Tukas Adilla cepat. “Ninda, aku selama ini sama sekali tidak pernah mendengar berita apapun  tentang dirimu ataupun tentang keluargamu.”
Adilla mengajak Ninda ke restoran  didekat situ. Dia ingin mendengar cerita gadis itu. Sudah lama mereka tidak bertemu. Bagaimanapun gadis itu bekas tunangannya. Andaikan pun dia sudah tidak mencintai lagi gadis itu namun  perpisahan mereka tidak menyingkirkan perasaan sayangnya kepada Ninda.  Mereka duduk didekat jendela yang menghadap keluar, kejalanan yang panas dan berdebu dengan kendaraan yang padat dijalan.
“Mau makan?” Tanya Adilla.
“Tidak. Aku minum saja.”
Adilla mengambil daftar menu. “Mau minum apa?”
“Es jeruk saja.”
Adilla memesan es jeruk.
“Apa yang terjadi pada keluargamu, Nin?” Tanya Adilla. Dia menatap gadis yang duduk dihadapannya.
“Mas Dill masih ingat  pada Rizal?” Tanya Ninda.
“Rizal? Oh ya, dia ……”
“Dia menipu aku. Dia sama sekali tidak mencintai aku. Dia hanya menginginkan hartaku. Uang tabunganku habis. Perhiasankupun diambilnya dengan cara menipu aku. Dia menipu aku dengan segala cara. Dan aku begitu bodoh mempercayai ucapan dan bujuk rayunya.  Dia mengganggu  hubunganku dengan  mas Dill karena dia ingin mengambil harta orangtuaku.” Ninda menatap Adilla. Matanya mendadak sendu. Dia berusaha agar airmatanya tidak jatuh.  Membicarakan Rizal seakan mengoyak kembali luka dihatinya. Sakit dan perih tiap kali teringat pada Rizal.
“Ayah Rizal, Pak Hajar, juga menipu papa hingga perusahaan papa bangkrut.” Ucap Ninda. “Aku tidak memahami apa yang dilakukan  ayah Rizal  pada  papa, namun perusahaan papa kemudian menjadi bangkrut dan papa memiliki utang yang banyak sehingga harus menjual semua hartanya untuk membayar hutang-hutangnya. “
“Ninda, aku ikut merasa prihatin dengan musibah yang menimpa keluargamu.”
“Papa pun terpaksa menjual rumah kami, satu-satunya harta yang masih tersisa untuk menutupi seluruh hutang-hutangnya. Lalu papa membeli rumah kecil dipinggiran kota. Sulit untuk bisa bangkit lagi. Apalagi usia papa semakin tua.   Papa seakan sudah kehilangan semangatnya. Sekarang papa  sakit-sakitan. Papa sangat terpukul dengan semua ini. Papa merintis usahanya sejak muda, dan dihancurkan oleh pak Hajar dalam waktu yang singkat.”
Pesanan es jeruk datang. Adilla menyodorkan gelas es jeruk itu kehadapan Ninda. Perasaannya terasa trenyuh mendengar cerita Ninda. Nasib tengah mempermainkan gadis itu.
“Minum dulu, Nin.”
“Terima kasih.” Ninda mengucek es jeruknya. Menyedotnya sedikit.
Adilla mengucek-ngucek minumannya sambil memperhatikan Ninda dengan seksama. Benar, terlalu banyak yang berubah pada gadis itu. Bukan hanya ceritanya mengenai  keadaan keluarganya yang baru saja diceritakannya, namun juga keadaan  dirinya. Ninda sekarang kelihatan lebih lembut. Lebih dewasa. Dan seperti pendiam. Dia masih ingat bagaimana dulu bila Ninda tengah berceloteh kepadanya. Begitu riang. Begitu gembira. Begitu penuh keceriaan yang selalu terbayang pada sepasang matanya yang berbinar seperti sinar mentari di siang  hari.
“Bagaimana dengan kuliahmu?” Tanya Adilla lembut. “Dulu  kau sudah duduk disemester empat.”
“Aku terpaksa berhenti kuliah sejak setahun lalu.” Ucap Ninda. “Papa dan mama  sudah tidak sanggup lagi membiayai kuliahku. Biaya kuliah saat ini kan mahal sekali, sementara untuk hidup sehari-haripun sulit sekali.”
Adilla menarik napas dalam. Dia menatap Ninda. Tidak  ada kemarahan yang memancar dari wajah gadis itu ketika dia tadi bercerita tentang Rizal  yang telah menipunya. Tridak ada kebencian pada wajah gadis cantik itu ketika dia bercerita ayah Rizal, Hajar  yang telah menipu ayahnya hingga  perusahaan ayahnya bangkrut. Wajah gadis itu biasa-biasa saja.  Yang terlihat hanya ketulusan dan kepasrahan.
Mendadak Adilla merasa iba dengan nasib gadis itu.  Masih terbayang dalam benaknya bagaimana kehidupan Ninda dulu ketika masih bersamanya. Ninda  royal, boros dan seolah  tidak  memiliki beban apapun dalam hidupnya.   Hidup seolah mudah dan serba gampang buatnya. Tidak ada kesedihan, tidak ada kesusahan.  Apapun  yang diinginkannya selalu tersedia dengan mudah. Namun kini, dengan penampilannya yang  sederhana, Ninda kelihatan  bersahaja.
“Aku harus pulang sekarang.” Ninda melihat jam tangannya. Dia berdiri. “Papa harus segera minum obat. Terima kasih minumannya ya, mas Dill.”
Adilla ikut berdiri. “Ninda, tunggu sebentar. Kita pesan makanan dulu  untuk kau bawa pulang.”
“Tidak usah, mas Dill. Jangan merepotkan.”
“Tidak apa-apa, aku sudah berniat sejak tadi akan memesan  makanan untuk kau bawa pulang.” Adilla pergi menemui pelayan restoran. Dia memesan beberapa macam masakan. Ninda  duduk mengawasi Adilla. Tidak lama kemudian  Adilla kembali dengan kantong plastik ditangannya. Diberikannya kantong platik itu kepada Ninda.
“Ini bawalah untuk ibumu.”
“Terima kasih, mas Dill.”
“Aku antar kamu pulang….”
“Terima kasih mas Dill. Biar  aku  naik kendaraan umum saja. Rumahku jauh dipinggiran kota.”
“Aku mengantarmu  pulang sekalian aku ingin bertemu dengan ayah dan ibumu.” Ucap Adilla tegas.
Sambil mengendarai mobilnya menuju rumah Ninda, diam-diam Adilla melirik gadis yang duduk disampingnya itu, yang duduk tenang tidak banyak bicara, matanya lurus menatap kejalanan seakan sedang menikmati suasana jalan yang ramai. Pikiran Adilla melayang kesekian  tahu  lalu. Walaupun  tidak berlangsung lama, hanya enam bulan saja,  namun dia pernah menjalin hubungan dengan gadis ini. Ninda pernah masuk kedalam kehidupannya. Bagaimanapun akhir dari hubungan mereka, namun  dia dengan Ninda pernah bersama. Dan mereka pernah bertunangan. Tinggal selangkah lagi menuju jenjang perkawinan. Namun takdir  menentukan lain. Mereka bukan jodoh.
“Mas Dill, bagaimana kabar mbak Asmi? Sudah punya anak  berapa?”  Suara Ninda  mengusik lamunan  Adilla.
“Kabar Asmi alhamdulillah baik. Anakkku baru satu. Perempuan. Namanya Anissa. Sekarang Asmi sedang mengandung anak kedua kami.”
Ninda menatap wajah Adilla. “Pasti perkawinan mas Dill  bahagia, ya?”
Adilla tersenyum. “Alhamdulilllah. Kebahagiaan dalam perkawinan  adalah sebuah proses, Ninda. Aku katakan sebuah proses karena kebahagiaan itu tidak tercipta begitu saja. Kebahagiaan itu tidak jatuh dari langit. Tapi harus diupayakan, harus diperjuangkan dan  melalui usaha kita yang terus menerus untuk menciptakan kebahagiaan itu.”
“Ya.” Ninda mengangguk.
Adillla melirik gadis itu. “Kapan kau akan menikah?”
Ninda tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Menikah? Semua orang ingin menikah. Semua orang ingin segera bertemu dengan jodohnya.  Begitu juga aku. Namun aku tidak tahu, kapan aku akan menikah. Mungkin setelah Allah mempertemukan aku dengan jodohku, barulah aku akan menikah.”
“Kata orang, jodoh akan datang sendiri kalau sudah waktunya. Tapi kita sebagai manusia tetap harus berusaha agar kita bertemu dengan jodoh kita, Ninda.”
“Yah, banyak orang yang mengatakan begitu, jodoh tidak usah dicari karena jodoh akan datang sendiri kalau sudah waktunya. Aku sebagai manusia sejak dulu sudah berusaha mendapatkankan jodohku, namun kalau ternyata Allah menentukan bahwa lelaki yang pernah bersamaku menikah dengan wanita lain dan ternyata bukan jodohku, aku tidak mau terlalu memaksakan diri.” Ninda melirik Adilla. “Aku percaya dengan ucapan orang, bahwa  jodoh tidak usah dicari karena kalau sudah waktunya aku  menikah, jodoh itu akan datang sendiri.”
“Ya.” Adilla hanya mengangguk setuju. Dia tidak ingin pembicaraan itu akan membuka kembali lembaran masa lalu diantara mereka. Adilla membelokkan pembicaraan. Dia menceritakan tentang usaha roti dan kue yang dijalankan Asmi.
“Mbak Asmi wanita ulet dan senang bekerja keras.” Ucap Ninda.  “Aku ingin mencontoh mbak Asmi.”
“Dimana rumahmu?” Tanya Adilla setelah hampir setengah jam mereka menempuh perjalanan.
“Nanti dipertigaan jalan itu berbelok kesebelah  kiri, rumahku  disana.”
Adillla membelokan mobilnya dipertigaan jalan. “Yang mana?” Mobilnya terus menggelinding menapaki jalan beraspal yang sudah retak-retak.
“Itu, rumah bercat  hijau muda.” Ninda menunjuk sebuah rumah.
Mobil Adilla berhenti didepan rumah kecil sederhana bercat hijau muda. Ninda turun  dari mobil Adilla. Adilla mengikutinya. Ninda  membuka pintu pagar bercat putih.
“Masuk, yuk.” Ajak Ninda riang seoleh tanpa beban.
Ruangan depan rumah itu sederhana sekali. Hanya ada seperangkat kursi  diruangan tamu itu. Adilla teringat pada rumah ninda dulu yang sering dikunjunginya. Rumah besar dengan perabotan yang serba berukir. Perasaannya terasa sedih. Begitu jauh berbeda kehidupan Ninda dulu dengan keadaan Ninda sekarang. Namun gadis itu kelihatan tabah menerima keadaannya walaupun jauh berbeda dengan keadaannya dahulu. Tidak ada keluh kesah. Tidak terdengar ada ratapan dengan perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Walaupun mungkin Ninda menyembunyikan semuanya itu hanya dalam hatinya saja. 
“Mama!” Ninda masuk kedalam memanggil ibunya.
Beberapa saat Adilla  menunggu. Tak lama Ninda muncul lagi bersama ibunya. Wanita yang rambutnya telah mulai  dipenuhi uban itu menatap Adilla seakan tak percaya dengan kehadiran lelaki muda itu. Adilla juga menatap wanita itu, calon ibu mertua yang batal, dengan tatapan tak percaya. Sungguh jauh berbeda penampilan ibunya Ninda dulu dengan  sekarang.
“Tante.….” Adilla mencium tangan wanita itu.
“Adilla….”
Seakan tak kuasa menahan kesedihannya, Nuraeni  memeluk Adilla dan tangisnya pun pecah. Beberapa saat lamanya Adilla ikut hanyut dalam kesedihan Nuraeni. Sementara Ninda hanya duduk menunduk, menyembunyikan matanya yang basah melihat ibunya menangis seperti itu.
“Tante, Ninda  sudah menceritakan semuanya pada saya…”
“Adilla, tante bahagia kau datang  kemari. Lihatlah oom Yoga, papa Ninda sekarang sakit-sakitan.”
Tangan Adilla ditarik  kedalam sebuah kamar kecil yang  pengap. Kembali keharuan terasa menyesakan perasaan Adilla. Dia  melihat Yoga, lelaki yang dulu diketahuinya begitu gagah dan tampan, kini hanya terbaring lemah diatas  tempat tidurnya yang sederhana. Kehidupan, begitu mudahnya merubah nasib manusia.
“Oom Yoga sekarang menderita beragam penyakit yang menggerogoti tubuhnya.” Kata Nuraeni. “Oom Yoga sudah tidak banyak lagi melakukan kegiatan seperti dulu dengan kondisinya yang seperti ini.” 
Yoga tidak bicara sepatah katapun  ketika melihat Adilla. Namun wajahnya mendadak mengerut menahan  tangis.
“Oom….” Adilla duduk ditepi pembaringan. Dia memegang tangan Yoga yang kurus.
Yoga melirik sejenak. Lalu wajah yang nampak tua itu mendadak menangis. Ninda segera  menarik tangan Adillla keluar kamar. Mata gadis itu basah.
“Maafkan  papa, mas Dill. Papa sekarang sangat sensitif perasaannya  dan mudah menangis.”
“Ya.” Adilla menggangguk mengerti.
“Ninda, aku pulang dulu, ya. Insya Allah  kapan-akapan aku akan kemari lagi.”
“Benar, mas Dill? Terima kasih sudah mengantar aku pulang. Terima kasih juga untuk yang dibelikan tadi untuk mama.” Ninda meraih tangan Adilla dan mencium punggung tangannya. Saat itu tiba-tiba saja dalam hati Adilla ada rasa sayang yang pernah hilang pada Ninda seakan mengalir kembali bagaikan air sungai yang jernih. Tanpa sadar Adilla mengelus rambut Ninda. Ninda mengangkat wajahnya. Senyumannya bertemu dengan senyuman Adilla.
Adillla melajukan kendaraannya meninggalkan rumah Ninda. Namun pikirannya seakan tertinggal dirumah gadis itu. Ninda, aku tidak menduga betapa hidupmu akan berubah seperti ini.  Mudah-mudahan engkau tabah menjalani semua ini sebagai ujian dari Allah untukmu dan keluargamu.
Mobil Adilla berhenti ketika lampu merah menyala. Sambil menunggu  lampu  menyala hijau, tak sadar mata Adilla melihat pada jam tangan  yang dikenakannya. Jam tangan itu hadiah dari  Ninda ketika dia berulang tahun beberapa tahun lalu.  Rasa haru kembali  menyentuh perasaaanya. Dulu Ninda mampu membeli barang apapun yang diinginkannya. Bukan hanya untuk dirinya sendiri namun juga untuk orang-orang  lain yang ingin diberinya. Uang bukan masalah  buat  gadis itu. Dengan mudah dia  bisa mendapatkannya. Namun sekarang , keadaan Ninda sudah jauh berbeda disbanding dengan  dulu. Betapa sederhananya  kehidupan Ninda sekarang. Apalagi dengan keadaan ayahnya yang sakit-sakitan.  Kasihan Ninda, pikir Adilla.
Adilla menepikan mobilnya dipinggir jalan. Dia mematikan  mesin mobil. Untuk beberapa waktu lamanya dia hanya menatap jalanan yang rimbun oleh pepohonan yang rindang.  Perasaannya terasa hanyut oleh rasa haru dan sedih. Dia merasakan perubahan yang sangat besar pada Ninda. Bukan hanya keadaan keluarganya saja yang berubah. Juga diri Ninda. . Tidak ada lagi sikap sombong dan arogan. Tidak ada lagi kemewahan pada diri Ninda. Yang memancar adalah sebuah sikap yang penuh dengan  ketulusan, kepasrahan   dan kesederhanaan. 
Adillla menyalakan kembali mesin mobilnya. Dia tidak mengerti, mengapa mobilnya berbalik arah  menuju rumah Ninda kembali. Seakan ada magnit yang menariknya untuk datang lagi  kerumah Ninda.
Bunyi kendaraan yang berhenti didepan rumah membuat Ninda bergegas keluar rumah. Dia menatap Adilla yang turun  dari mobilnya dengan tatapan heran. Ninda membukakan pintu pagar dan terperangah melihat kedatangan Adilla yang baru beberapa menit lalu pergi dari rumahnya.
“Ada apa? Kenapa  balik lagi?  Ada yang ketinggalan, mas Dill?” Tanya Ninda.
Adilla menatap gadis itu. Setiap kali menatap wajah Ninda, kini  muncul perasaan trenyuh, perasaan iba, perasaan  kasihan atau apapun juga namanya perasaan yang menyentuh batinnya terhadap  gadis itu.
“Ninda, ini aku  ada uang untukmu.  Pakailah untuk kebutuhanmu.” Adilla mengepalkan  sejumlah uang ketangan Ninda.
Ninda menatap Adilla beberapa saat. Lalu  dia menunduk, melihat uang  ditangannya. “Terima kasih, mas Dill.”  Ucap Ninda dengan  haru.
Ketika Adilla akan beranjak pergi, Ninda memanggil lelaki itu dengan suara  lirih.
“Mas Dill,  apakah mbak  Asmi tahu mas memberi uang  ini  kepada saya?”
Adilla tersenyum menatap gadis itu.  Dia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan Ninda.
”Ninda, kau tak  perlu banyak bertanya. Pakailah uang itu untuk kebutuhanmu, ya.” Ujarnya.
Ninda mengangguk.  Matanya tak lepas menatap Adilla. Senyumnya begitu berseri menghiasi bibirnya. Adilla senang melihat  Ninda tersenyum seperti itu.

--- 0 ---


Ninda membuka lemari pakaiannya. Dia mengeluarkan gaun-gaunnya. Gaun-gaun  mahal yang dibelinya  dulu. Dia  memilih-milih gaun-gaun itu. Ada sepuluh helai gaun yang kemudian disisihkannya, dimasukan kedalam kantong plastik. Kemarin dia sudah menelepon Devi, salah seorang temannya. Dia berencana akan menawarkan gaun-gaun itu pada Devi. Barangkali Devi berniat membelinya. Memang gaun-gaun itu semuanya bukan gaun-gaun baru, namun hampir semuanya baru sekali dua kali saja dipakainya.
“Kamu serius akan menjual baju-bajumu ini kepadaku, Nin?” Tanya Devi ketika Ninda sudah ada dirumahnya. Devi mengamati gaun-gaun itu satu persatu.
“Ya, aku butuh uang, Dev.”  Ujar Ninda.
“Aku ikut merasa prihatin dengan keadaanmu sekarng, Nind. Aku berharap engkau tabah dan sabar menjalani semua cobaan ini. Insya Allah suatu saat nanti Allah akan merubah kembali hidupmu seperti semula. Berdoalah, semoga Allah membukakan pintu rakhmat-Nya untukmu.”
“Amien. Terima kasih, Dev.”  Ninda tersenyum.
Sambil mengamati gaun-gaun milik Ninda, diam-diam Devi mengamati Ninda. Sudah setahun mereka hampir tidak pernah bertemu, sejak Ninda berhenti kuliah. Devi  melihat banyak hal berubah pada Ninda. Gadis cantik itu seolah telah kehilangan keceriaannya. Namun ketulusan yang terpancar pada wajahnya membuat Ninda  kelihatan  lebih dewasa.
“Aku tidak mungkin membeli semua baju-bajumu ini, Nin.” Kata Devi setelah selesai memilih. “Aku mengambil yang warna biru dan ungu ini aja, ya.  Selain pas dengan tubuhku, juga aku  menyukai modelnya.”
“Oh, boleh.” Sahut Ninda.
“Harganya bagaimana?” Tanya Devi.
“Terserah kamu aja deh, ini kan bukan gaun baru. Aku tidak menawarkan harga. Kau mau membeli gaun-gaun ini pun aku sudah bersyukur.”
“Aku tahu harga gaun-gaun ini ditoko. Dikurangi setengah harga dari harga-harga ditoko, ya.”
“Iya, tidak apa-apa. Terima kasih ya, Dev.”
Devi mengambil dompetnya dan memberikan sejumlah uang kepada Ninda. Ninda menerimanya dengan wajah  gembira.
“Nin, aku akan menelepon Mardiana, Ika dan Gina ya,  agar mereka datang kemari. Barangkali mereka pun ada yang mau membeli baju-bajumu.” Kata Devi ketika mendadak dia teringat pada ketiga teman mereka yang lain. Dulu ketika Ninda masih kuliah, mereka berlima sering bersama-sama.
“Oh, boleh.” Ninda mengangguk setuju. “Tterima kasih ya, Dev. Aku memang berencana akan kerumah mereka menawarkan baju-bajuku ini,  terima kasih bila engkau sekarang akan menelepon mereka agar datang kemari.”
Lebih dari setengah jam kemudan Mardiana, Ika dan Gina  sudah datang kerumah Devi.
“Astaga, Nin. Aku rasanya tak  percaya kau akan menjual baju-bajumu yang bagus-bagus ini.” Kata Ika. Dia memeluk Ninda. “Akujadi ingin  ingin menangis melihatmu. Maafkan aku, Ninda. Aku kok jadi sedih melihatmu sekarang.”
Ika menghapus airmatanya. Devi, Mardiana dan Gina hanya diam. Mereka menahan haru dalam hati mereka masing-masing. Namun tak ada kata yang terucap. Ninda  hanya tersenyum. Dia memeluk Ika.
“Hidup  seperti roda, Ka. Berputar terus. Dulu aku mengalami masa-masa dimana aku memiliki materi yang berlebihan karena keadaan orangtuaku yang masih memiliki usaha yang  mapan.  Sekarang Allah sedang menguji aku, juga orangtuaku, dengan  mengambil semua yang dulu pernah kami  miliki. “
“Aku pecaya kau pasti akan tabah dan sabar menjalani semua ini.” Ucap Mardiana. Dia mengambil gaun terusan warna perak. Ditatapnya gaun itu. Dia lalu berkata pelan,  “Ninda, aku masih ingat  dulu kau mengenakan gaun ini ke ulang tahun Helen. Kamu cantik sekali dengan gaun ini. Aku juga masih ingat kau mengenakan  kalung berlian yang indah berkilauan.”
“Oh, kau masih mengingatnya, Mar. Ya, gaun itu hanya pernah aku pakai sekali itu saja waktu ke ulang tahun Helen.”
“Aku  coba dulu, ya. Kalau pas dengan badanku, aku ambil gaun yang ini saja.” Kata Mardiana.
“Aku coba yang ini.” Ika   mengambil gaun warna biru  dengan hiasan payet dibagian dadanya. 
Hari itu Ninda pulang denga perasaan puas. Sebagian baju-bajunya dibeli oleh teman-temannya.  Hanya tersisa tiga potong gaun. Biar yang ini aku simpan saja, pikir Ninda sambil menyimpan kembali ketiga  gaunnya yang tersisa kedalam lemari pakaiannya.  Siapa tahu suatu saat  nanti   aku membutuhkan untuk kupakai sendiri. Nind merasa  sedih melihat ketiga   gaun itu. Pikirannya   melayang pada Adilla, dulu Adilla yang mengantarnya  ketika dia   membeli ketiga gaun itu.
Airmata Ninda menitik. Dia teringat masa-masa ketika bersama dengan Adilla. Mas Dill, aku tidak akan mengusikmu lagi, engkau sekarang telah bahagia bersama Asmi dan anakmu. Ninda    merasakan hatinya perih. Ya Allah, kenapa Engkau selalu  mengambil lelaki yang aku  cintai dan aku sayangi? Dulu engkau mengambil Fahrul dari kehidupanku, lalu Engkau  memisahkan  pula aku dengan Adilla. Dalam kehidupanku, aku hanya mengenal cinta kepada dua lelaki saja, Fahrul dan Adilla. Kedua lelaki itu yang membuatku pernah merasakan bahagia akan arti cinta. Namun ternyata mereka bukan untukku. Mereka bukan jodohku. Cintaku kepada Fahrul, cintaku kepada Adilla, semua kau ambil lagi hingga kini aku sendirian lagi dalam kesunyian hatiku.
“Aku tidak mencintaimu, Ninda.” Suara Rizal seakan terngiang lagi ditelinganya,  mengoyak kembali kenangan pahitnya bersama lelaki itu. “Kau keliru bila berpikir aku mencintaimu.”
“Aku sudah memiliki Meta.” Kata Rizal lagi. “Kami akan segera menikah.”
Rizal meninggalkannya dan tak pernah kembali lagi. Kepergian Rizal  hampir bersamaan dengan kehancuran perusahaan milik ayahnya. Hatinya sakit bukan  main ketika ibunya bercerita bahwa Hajar, ayah Rizal, telah menipu ayahnya dan membuat perusahaan mereka bangkrut. Sementara Rizal menipunya dengan memberinya cinta palsu setelah uang dan perhiasannya berhasil ditipu lelaki itu.  Langit terasa gelap. Dunia terasa runtuh. Alangkah menyakitkannya kejadian yang menimpanya itu. Namun pada saat itu Ninda sadar, dia masih memiliki tali tempat dia bergantung. Tali itu adalah yang menghubungkannya dengan sang Khalik. Tali yang tak pernah kelihatan namun bisa dirasakannnya, ada membentang antara dirinya dengan sang Khalik, Tuhan pencipta semesta alam.
“Ninda…..”
Ninda baru selesai shalat. Dia menoleh. Nuraeni  berdiri diambang pintu kamar, menatap puterinya yang masih mengenakan mukena. Cantik sekali puterinya dengan mukena berenda warna jingga.
“darimana?”
“Dari rumah teman, ma.”
“Tadi kamu membawa kantong plastik besar. Apa itu?”
Sesaat Ninda merasa ragu untuk menjawab pertanyaan ibunya. Dia khawatir bila ibunya tahu dia menjual baju-bajunya ibunya akan marah. Namun dia juga tidak ingin berbohong pada ibunya.
“Aku menjual beberapa buah bajuku yang bagus pada teman-teman kuliah dulu. Devi, Mardiana, Ika dan Gina.” Sahut Ninda.
Sesaat Nuraeni menatapnya. Lalu melangkah membuka lemari pakaian anaknya. Dan tertegun melihat sebagian isinya telah tidak ada lagi.
“Mengapa kau menjual baju-bajumu, nak? Apakah kau tidak merasa sayang menjual baju-baju mahal yang dulu sangat engkau inginkan?”
Ninda tersenyum. “Tidak, ma. Baju-baju itu memang baru sekali dua kali kupakai. Tapi aku sudah tidak akan  memakainya lagi. Aku lebih senang memakai pakaian sederhana. Jadi daripada gaun-gaun itu disimpan saja didalam lemari, lebih baik aku menjualnya.”
“Teman-temanmu mau membelinya?”
“Ya, mereka tahu gaun-gaun itu ditoko harganya mahal. Mereka membelinya setengah harga. Tidak apa-apa. Aku ikhlas kok.”
Nuraeni duduk ditepi tempat tidur. Matanya basah menatap anak semata wayangnya. Dia tidak bisa menyembunyikan kesedihan dan dukanya.
“Ninda, maafkan mama dan papa, nak. Mama dan papa sekarang tidak bisa lagi memberimu kesenangan seperti dulu. Mama dan papa tidak bisa lagi membahagiakanmu.”
Ninda tersenyum, walaupun terasa sendu, namun dia tersenyum tulus. ”Mama jangan banyak pikiran. Insya Allah aku tidak akan dan tidak ingin mengeluh dengan keadaan kita sekarang. Kata siapa aku sekarang tidak bahagia? Mama keliru, aku tetap merasa bahagia. Aku bahagia, bagaimanapun keadaan kita saat ini, yang jauh berbeda dengan keadaan kita dulu, namun kita masih tetap bersama-sama. Kita patut bersyukur kepada Allah bahwa dalam keadaan apapun mama, papa dan aku masih tetap bersama.”
“Ninda, kau jauh lebih tabah dari mama.”
“Ma, dalam keadaan kita yang prihatin,  aku merasakan hikmah dari apa yang tengah menimpa kita ini. Ketika malam telah menjelang, ketika malam telah semakin sunyi, aku merasakan nikmat yang luar biasa ketika aku melaksanakan shalat malam dan membaca Al-Qur’an, hal yang dulu jarang bahkan nyaris tidak pernah aku lakukan. Dengan shalat dan membaca Al-Qur’an, aku menemukan ketenangan dan kedamaian perasaan. Ketika aku merasa bahwa Allah tetap bersamaku, mengawasi dan menemaniku. Aku  percaya kepada takdir baik dan takdir buruk. Aku percaya  kehidupan manusia sudah diatur oleh Allah Maha Kuasa.” Ninda mengambil Al-Qur’an. Dia membuka kitab suci itu.
“Ma, cob abaca Al-Qur’an surat Ali imran ayat 26 ini. Katakanlah: wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau beri kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Ditangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Ninda menatap ibunya. “Ma, bacalah Al-Qur’an. Bacalah dan lihatlah artinya. Didalamnya begitu banyak petunjuk dan hikmah yang bisa kita ambil dan kita pelajari untuk kita terapkan dalam kehidupan kita. Ma, Al-Qur’an  adalah pedoman dan petunjuk bagi kaum muslimin. Betapa selama ini kita hanya membaca  Al-Qur’an tanpa kita mencoba memahami artinya. Sekarang, dalam keadaan kita seperti ini, dimana kesibukan-kesibukan kita dengan urusan duniawi telah jauh berkurang dibandingkan dulu waktu mama dan papa masih memiliki banyak harta, kita justru memiliki bayak waktu untuk lebih tekun beribadah kepada Allah. Betapa fana kehidupan di dunia ini. Dan kita selama ini sudah menghabiskan banyak waktu hanya untuk mengejar kesenangan duniawi yang sebenarnya semakin kita kejar, kita semakin haus dan tak pernah puas dengan apa yang sudah kita miliki. Kehidupan duniawi adalah bagaikan  kita minum air laut yang asin. Semakin kita banyak meneguknya, kita akan semakin merasakan haus.”
Nuraeni mengangguk. “Ninda, mama bangga kepadamu. Mama dan papa sangat bersyukur Allah telah memberikan karunia kepada mama dan papa, seorang puteri yang bagaikan sebutir mutiara berharga dalam kehidupan kami. Engkau anak yang sholeh, engkau anak yang berbakti pada orangtua. Doa mama, semoga engkau mendapatkan jodoh seorang lelaki yang baik, yang bisa menjadi pengganti mama dan papa bagimu bila  mama  dan papa sudah tidak ada lagi.”
Ketika ibunya telah keluar dari dalam kamarnya, Ninda menangis diam-diam. Ya Allah, janganlah Engkau memperlihatkan kesedihanku dihadapan ayah bundaku. Serikanlah wajahku, Ya Allah. Biarlah ayah ibuku melihat bahwa dalam keadaan kami yang seperti ini aku tetap kelihatan bahagia agar  perasaan mereka berdua merasa tenang dan tentram. Bila orangtuaku melihat aku bersedih dan bermuram durja, mereka pasti akan merasakan kesedihan yang lebih besar lagi daripada yang aku rasakan. Ya Allah, kuatkanlah dan tabahkanlah hatiku untuk menjalani semua ini. Simpanlah tangis dan kesedihanku ini dari pandangan orangtuaku. Biarlah tangis dan kesedihanku ini hanya Engkau  yang tahu, yang kutumpahkan saat aku bersujudn dihadapan-Mu. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kemurungan dan kesusahan.
Ya Allah, curahkanlah kesabaran kepadaku. Ya Allah, janganlah kau palingkan hatiku setelah Engkau tunjuki dan berilah aku rakhmat-Mu karena Engkau adlah Yang Maha Pemberi. Ya Allah, kokohkanlah aku dari kemungkinan terpelesetnya iman. Ya Allah, aku mohonkan pada-Mu jiwa yang tenang tentram, yang percaya pada pertemuan dengan-mu dan ridha atas putusan-Mu serta merasa cukup puas dengan pemberian-Mu.

--- 0 ---


Telepon genggam Adilla berbunyi. Adilla baru melangkah dari ruang kerjanya, akan makan siang.
“Assallamualaikum.”
“Waalaikum salam.” Suara Ninda. Walaupun  terdengar serak, namun  Adilla masih bisa mengenali suara Ninda.
“Mas  Dill, tolonglah aku. Papa dibawa kerumah sakit, papa terkena serangan jantung.”
“Ya, ya. Aku segera kesana,”
Adila memberitahu Hanief, pegawai dibidang administrasi, bahwa  dia  pergi kerumah sakit. .
“Ayah temanku dibawa kerumah sakit. Terkena serangan jantung. Bila  ada yang menanyakan aku, bilang saja aku sedang  keluar, ya.”
“Oke.” Sahut Hanief, mengangkat wajahnya sedikit, lalu menekuni kembali pekerjaannya.
Adilla bergegas pergi. Dia  melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Dicarinya  Ninda. Namun yang ditemuinya adalah airmata gadis itu yang berhamburan begitu melihat kedatangan Adilla.
“Papa……papa……meninggal…..” ucap Ninda tersendat-sendat, berusaha menahan tangisnya agar tidak pecah. “Papa…..papa…..telah pergi…papa telah pergi, mas Dill……..”
Adilla hanya terpaku  menatap Ninda yang terpuruk dalam kesedihannya. Airmatanya sendiri tak bisa ditahan. Kesedihan gadis itu seakan menjadi kesedihannya. Dia merasa  terlibat dalam duka gadis itu. Adilla merasa bertanggung jawab terhadap Ninda. Dia tidak tega membiarkan gadis itu menanggung kesedihannya seorang diri. Apalagi ibunya seakan sudah tidak berdaya, hanya terduduk sambil menangis. Adilla merasa ikut bertanggungjawab terhadap apa yang tengah menimpa keluarga Ninda. Dia tidak bisa membiarkan Ninda mengurus semuanya sendirian. Ninda membutuhkan bantuannya.
Tanpa diminta, Adilla ikut  mengurus segalanya. Adilla mengurus biaya  rumah sakit dan menyiapakan ambulance untuk  mengantar jenazah ayah Ninda kerumahnya.  Tiga hari lamanya Adilla pulang pergi kerumah Ninda. Walaupun dia tidak bercerita sedikitpun  mengenai hal itu pada Asmi. Dia melihat Asmi sendiri tengah disibukan dengan pesanan dari beberapa kantor selama seminggu ini. Kesibukan Adilla  yang berbeda dari kesibukan rutinnya sehari-hari nampaknya kurang diperhatikan Asmi. Adilla merasa lega. Apa yang dilakukannya pada keluarga Ninda adalah dorongan hatinya. Dia bersyukur Asmi tidak tahu.  Walaupun terselip perasaan bersalah karena dia melakukan semua itu tanpa sepengetahuan Asmi.
Dihari keempat, Ninda sudah kelihatan nampak lebih tenang. Dia sudah tidak banyak menangis lagi walaupun matanya masih kelihatan  sembab. Wajahnya kelihatan letih sekali.
“Mas Dill, terima kasih atas semua bantuan Mas Dill sejak papa meninggal. Tanpa bantuan mas Dill aku tidak mungkin menangani semuanya sendirian saja.” Ucap Ninda ketika Adilla malam itu datang kerumahnya.
“Ya.” Adilla hanya mengangguk. “Kamu harus tabah ya, Nin. Kamu harus kuat.”
“Insya Allah.” Ninda mengangguk.
Nuraeni datang menemui Adilla. Matanya masih sembab bekas menangis. Dia memeluk Adilla sesaat. 
“Adilla, tante berterima kasih dengan semua bantuanmu pada kami.”
Nuraeni duduk. Matanya menatap Adilla. Selalu seakan ada kata-kata yang terasa menggantung diujung lidahnya setiap kali dia menatap bekas tunangan puterinya ini. Selalu ada rasa sesal yang tak pernah hilang dari hatinya.
“Andaikan dulu Allah mentakdirkan engkau menikah dengan Ninda, alangkah bahagianya hati tante ini.” Kata Nuraeni tiba-tiba, seakan tercetus begitu saja tanpa disadarinya.
“Mama…..” Ninda kelihatan terkejut, berusaha mencegah ibunya bicara seperti itu.
“Kau laki-laki yang baik, Adilla. Tidak salah mata tante  dulu menilaimu  untuk menjadikan engkau menantu.”
“Mama, sudahlah. Semua itu sudah berlalu. Semua itu adalah masa  lalu.” Cetus Ninda. Dia tidak ingin ibunya mengungkit masa lalunya bersama Adilla. Dia malu pada Adilla walaupun mungkin Adilla bisa memahami hal itu. 
“Yah, itu memang masa lalu. Namun  mama masih tetap mengingatnya. Adilla, andaikan nanti sesuatu hal terjadi apa-apa pada tante, tante menitipkan Ninda kepadamu.”
“Mama, jangan bicara begitu! Mas Dill sudah menikah,  Mas Dill sudah memiliki anak dan istri.”
“Ninda, bila mama meninggal nanti, siapakah  yang akan mengurusmu? Siapa yang akan menjadi pengganti orangtuamu setelah mama dan papa tidak ada lagi? Kau sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi, nak. Mama tidak salah  menitipkanmu kepada Adilla.  Mama percaya Adilla akan bisa menjaga dan  melindungimu dengan  baik.” Ucap Nuraeni.
Ninda hanya menunduk mendengar ucapan ibunya. Dia menahan airmatanya. Dia merasa sedih, ibunya berbicara  seolah-olah akan pergi meninggalkannya, mengikuti ayahnya yang telah terlebih dulu pergi.  Sementara Adilla hanya dia menatap keduanya.
Ninda menahan airmatanya agar jangan terjatuh. Dia memahami, ibunya sangat terpukul dengan musibah yang menimpa keluarga mereka. Dia juga memahami, bagaimana beratnya perasaan ibunya setiap kali memikirkan dirinya, memikirkan masa depannya, memikirkan beragam kemungkinan seandainya dirinya pergi mengikuti suaminya. Dengan siapakah anaknya kelak? Airmata Ninda menitik perlahan. Tergesa gadis itu menghapus airmata yang menuruni pipinya.
Adilla menatap Nuraeni.  Dia teringat pada ibunya. Ibunya memiliki tiga anak laki-laki. Namun selalu saja ibunya  memikirkan ketiga anaknya walaupun mereka semuanya telah dewasa. Apalagi ibunya Ninda. Adilla dapat merasakan betapa berat perasaan wanita ini memikirkan  anak perempuan satu-satunya ini. Sesaat Adilla merasa bingung harus bicara apa. Dia tidak ingin menjanjikan apapun terhadap Nuraeni mengenai Ninda. Dia sudah memiliki istri dan anak. Namun dia juga tidak ingin mengecewakan wanita ini. Hidup selalu penuh dengan banyak kemungkinan. Juga misteri yang sulit diduga. Dia tidak ingin wanita ini merasa cemas dan gelisah memikirkan nasib anaknya.
“Tante tidak usah khawatir. Saya memahami kekhawatiran tante dengan masa depan Ninda. Insya Allah saya akan menjaga Ninda, tante.”
“Terima kasih, Adilla.   Tante percaya  kepadamu. Kau akan memegang janjimu itu.”
Ketika Nuraeni pergi, Ninda menatap Adillla dengan  malu.
“Mas Dill, maafkan dengan  semua yang diucapkan mama tadi.”
Adilla tersenyum.  “Tidak apa-apa, Nin. Ibumu sangat  mengkhawatirkan dirimu. Dan itu adalah sebuah  kewajaran dari seorang ibu kepada anaknya.”
“Tapi aku jadi malu pada Mas Dill, mama mengharapkan  sesuatu yang sudah tidak  mungkin   lagi pada mas Dill.”
Adilla menatap Ninda, memahami apa yang ada dalam pikiran gadis itu.
“Mas Dill sudah memiliki anak dan  istri.” Ninda menunduk. “Saya tidak  mau mengganggu kebahagiaan perkawinan  orang lain. Maafkan mama  bila  mama telah salah   menafsirkan kebaikan dan perhatian mas Dill  kepada  keluarga kami.”
“Ibumu tidak salah menafsirkan, Ninda. Aku memang  menyayangimu.  Sejak dulu pun aku menyayangimu……”
Ninda mengangkat wajanya. Matanya melebar, seakan tak percaya mendengar  apa yang  diucapkan Adilla kepadanya.
“Benarkah mas Dill menyayangi aku?”
Adilla mengangguk. “Yah, aku sangat menyayangimu……..”
--- 0 ---

Malam itu sepulang dari tempat kerja, Adilla mampir ke swalayan. Dia membeli apel dan pear. Ketika melewati tempat permen dan cokelat, Adilla mengambil beberapa batang cokelat. Dia tahu Ninda sangat senang makan cokelat.  Lalu mobilnya meluncur menuju rumah Ninda.
Aku berselingkuh, pikir Adilla. Ya, aku  berselingkuh. Aku sudah menikah, aku sudah memiliki Asmi yang kucintai dan mencintaiku, seharusnya aku  bisa menutup pikiran dan perasaanku kepada Ninda. Namun aku tidak bisa.
Ya Allah, maafkanlah aku. Aku tidak ingin mengkhianati Asmi. Aku mencintai istriku. Namun hati dan perasaanku tak bisa berpaling dari Ninda. Aku tidak tega  melihat keadaannya. Aku tidak tega melihat kondisi Ninda yang seperti ini. Ketabahan dan ketegaran gadis itu justru telah membuatku menjadi mencintai dan menyayanginya.
Ya Allah, Enggau member rejeki lebih kepadaku. Aku tidak bisa menutup mata dari keadaan Ninda saat ini. Dia membutuhkan pertolongan dan bantuan aku. Dia membutuhkan biaya untuk menyambung hidupnya. Apakah salah bila aku ingin menolongnya? Aku memang salah karena aku tidak berterus terang pada Asmi dengan apa yang kulakukan ini kepada Ninda. Aku mengkhianati Asmi. Namun apabila aku berterus terang kepad Asmi, aku khawatir Asmi tidak akan mau menerima alasan apapun. Dia pasti marah.
Mobilnya tiba dirumah Ninda. Ninda tersenyum melihat Adilla menyodokan beberapa potong cokelat.
“Cokelat.” Ucap Ninda senang. “Rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah makan cokelat. Terima kasih, mas Dill. Mas Dill masih ingat dengan cokelat kesukaanku.”
“Aku tahu kamu pasti masih suka makan cokelat.” Ucap Adilla.
“Tentu saja.” Sahut Ninda. “Tapi aku sudah lama sekali tidak pernah lagi makan cokelat. Uangku  yang kupunya rasanya sayang untuk dibelikan pada cokelat.”
Wajah Ninda berseri. Adilla senang melihat senyuman pada wajah gadis itu. Bila Ninda tersenyum, seluruh wajahnya seakan ikut tersenyum. Matanya seakan ikut memancarkan kebahagiaan.
“Ninda, apa rencanamu untuk masa depanmu?” Tanya Adilla.
Ninda menatap Adilla, beberapa saat dia hanya diam, seakan berpikir akan menjawab apa.  “Aku tidak tahu.” Kata Ninda akhirnya.
“Kamu masih muda, Nin. Perjalanan   hidupmu   masih  panjang. Kamu tetap harus memikirkan masa  depanmu.” Ucap Adilla.
“Ya.” Ninda menganguk. “Sebenarnya aku ingin kuliah lagi. Bila aku memiliki bekal pendidikan, aku akan bisa  mendapatkan pekejaan. Namun  untuk kuliah lagi, sepertinya hal itu tidak mungkin. Biaya kuliah mahal dan tidak akan terjangkau oleh  keadaanku sekarang ini.”
Ninda berusaha meredam  kekecewaannya “Aku lebih baik  mencari  pekerjaan saja. Dengan bekerja aku akan  mendapatkan penghasilan.”
“Ya, aku juga berpikir begitu.” Sahut Adillla.
Ninda menatap Adilla. Ada perasaan bahagia menyelinap dalam hatinya melihat perhatian Adilla kepadanya. “Mas Dill sepertinya memikirkan aku.” Ucap Ninda pelan.
“Yah, aku memikirkan masa depanmu.” Sahut Adilla. “Bagaimanapun kau tidak bisa terus menerus membiarkan hidupmu seperti ini. Kau harus berbuat sesuatu untuk hidupmu. Kau harus keluar dari kesulitan hidupmu. Istilahnya, daripada aku terus menerus memberimu ikan, lebih baik aku memberimu kail. Dengan kail itu engkau bisa mencari ikan sendiri.”
“Aku juga malu sering diberi uang oleh Mas Dill….”
“Aku ikhlas memberimu uang,  Nin. Selama aku masih punya rejeki, tidak masalah aku memberimu uang. Namun tentunya lebih baik lagi bila engkau memiliki kegiatan atau pekerjaan yang bisa menghasilkan, setidaknya untuk mencukupi kebutuhanmu sendiri.”
Ninda menatap Adilla, lalu mengangguk setuju. Matanya masih menatap Adilla, seakan ada sesuatu hal yang  ingin disampaikannya pada Adilla. “Mas Dill….”
“Ya.”
”Aku sebenarnya malu menyampaikan ini kepada mas Dill. Aku khawatir jadinya aku seperti terlalu banyak meminta bantuan dan pertolongan pada mas Dill.”
“Apa?”
“Aku membutuhkan mesin jahit,” ucap Ninda. Dia memperhatikan raut wajah Adilla, seakan khawatir Adilla tidak senang dengan apa yang dikatakannya.
“Sejak dulu aku sangat senang menjahit.” Kata Ninda lagi ketika melihat Adilla  tidak menyela  kata-katanya. “Aku ingin usaha. Aku bisa membuat mukena, atau bantal kursi, atau membuat beragam hiasan dari hasil jahit menjahit. Apabila mas Dill tidak keberanan membantu aku ……. Aku membutuhkan sebuah mesin jahit dan mesin bordir…….”
“Jadi  kau ingin mesih jahit dan mesin bordir?’ Tanya Adilla.
“Ya,”
Adilla mengangguk.  “Aku akan mengusahakan agar engkau bisa segera mendapatkan mesin jahit yang kau inginkan.”
Ninda seakan ingin melonjak ketika mendengar ucapan Adilla.
“Terima kasih mas Dill.  Mas Dill baik sekali. Aku   benar-benar malu jadi  sering meminta bantuan pada  mas Dill.”
Adilla  tersenyum “Aku  senang membantumu, Ninda. Aku sudah mengatakan kepada ibumu bahwa aku berjanji akan menjaga dan melindungimu, bukan? Aku menyayangimu, Ninda.”
Ninda tersenyum “Mama pasti senang bila tahu aku  akan memiliki usaha menjahit.”  Ucap Ninda.
Namun mendadak Ninda menunduk. Dia  menyembunyikan wajahnya yang  tiba-tiba terasa hangat.  Tidak, pikir Ninda. Aku   tidak boleh salah menafsirkan ucapan mas Dill kepadaku. Maksud Mas Dill  adalah bahwa dia benar-benar menyayangi aku bukan berarti mas Dill mencintai aku. Demikian pula dengan maksud mas Dill bahwa dia akan menjaga dan melindungiku, artinya dia akan seperti mama dan papa, akan menjaga dan melindungi aku. Menjaga dan melindungi bukan dalam peranan peranan yang lain.  Aku tidak boleh terlalu berharap agar  aku tidak mendapatkan kekecewaan yang kedua kalinya.
Adilla menatap wajah Ninda yang tengah menunduk. Dia melihat   kegembiraan diwajah Ninda.   Hatinya ikut merasa bahagia melihat perubahan diwajah Ninda. Ninda seolah mendapatkan  kembali kegembiraan-kegembiraannya. Ninda seolah menemukan kembali sesuatu yang pernah terenggut dalam hidupnya.
“Aku senang melihat kau kelihatan  gembira lagi, Ninda.”
Ninda  mengangkat wajahnya. “Mas Dill yang telah  mengembalikan kegembiraan-kegembiraan saya yang telah sekian  lamanya   pergi dan hilang dari kehidupan saya.”
“Aku tidak ingin melihatmu bersedih lagi. Kau  harus bisa melupakan kesedihanmu, Ninda.  Kau harus bisa menatap dunia  ini  dengan hati  yang lapang dan ikhlas.”
“Mas Dill, ajari aku bagaimana  agar aku bisa bangkit dari kesedihanku. Ajari aku, bagaimana agar aku bisa melangkah menggapai harapan menuju  masa depan yang indah.”
“Kamu pasti bisa, Ninda.”
“Ya, aku pasti bisa.” Ninda menyahut pelan. “Apalagi bila mas Dill  yang mengajariku dan mau menemani langkah-langkahku  menuju masa depanku.”
Adillla menatap gadis itu. Mata gadis itu berbicara banyak. Mata   itu berbicara tentang cinta dan juga rasa sayang yang pernah ada diantara mereka.
“Ninda, aku pasti akan mengajarimu tentang hidup, andaikan aku  sendiri mengerti  dan memahami apa dan bagaimana hidup itu. Namun aku sendiri pun  masih harus terus belajar agar aku bisa memahami dan mengerti. Hidup memang harus dipelajari agar kita tidak salah melangkah, namun  lebih baik biarkan kehidupan mengalir apa adanya, seperti air yang mengalir.” Ujar Adilla. Matanya lekat menatap wajah gadis itu. “Sebenarnya, kehidupan telah lebih banyak lagi mengajarimu segala hal, Ninda. Kehidupan telah memberimu banyak pengalaman dan pelajaran. Dan baru sekarang aku melihat dan menyadari, betapa engkau sebenarnya seorang gadis  yang sabar dan tabah. Betapa derita yang menimpamu telah menempamu menjadi seorang gadis yang kuat dan tegar. Ninda, aku bangga melihatmu. Benar, aku bangga dan salut kepadamu.”
Ninda hanya menunduk mendengar ucapan Adilla. Airmatanya mengalir perlahan.
“Aku tidak mungkin prutasi, aku tidak mungkin rubuh hanya karena Allah mengambil hampir semua yang kumiliki yang bersifat materi dan status sosial, mas Dill. Aku harus bisa kuat dan tabah. Aku harus bisa tegar dengan segala apa yang menimpa keluargaku.” Ucap Ninda. “Allah tidak mengambil semuanya. Allah masih memberiku kesempatan untuk merawat mama dan papa. Allah masih memberiku kesempatan untuk berbakti dan menyayangi orangtua disaat usia mereka telah semakin tua, disaat tubuh mereka telah semakin renta dan lemah. Allah masih memberiku kesempatan untuk berdoa. Semua itu adalah nikmat-nikmat yang aku syukuri ketika aku menyadari masih banyak kesempatan-kesempatan yang diberikan Allah kepadaku.”
“Ninda, kau begitu sholeh. Bersyukurlah ayah dan ibumu memiliki seorang puteri yang sholeh sepertimu.”
Ninda menangis mendengar ucapan Adilla.  Dia mengisak pelan.
“Aku ingin membahagiakan mama dan papa, mas Dill. Namun keterbatasan yang kumiliki yang membuatku  tidak mampu untuk membahagiakan mereka kecuali dengan sikap-sikapku kepada mereka, jangan sampai mereka merasa terluka dan sakit hati dengan sikap dan perkataan-perkataanku. Andaikan aku mampu, aku ingin membahagiakan mereka lebih daripada apa yang kulakukan saat ini.”
“Ninda, kau pasti bisa membahagiakan orangtuamu. Kau pasti bisa membahagiakan ibumu  yang kini tinggal sendiri. Insya Allah, Allah akan mendengar doa-doa dan pengharapanmu. Allah Maha Melihat, Ninda. Allah Maha Mendengar. Suatu saat nanti Allah akan memperlihatkan kepadamu bahwa doa dan harapanmu dikabulkanNya.”
“Mudah-mudahan.” Sahut Ninda.

--- 0 ---


Ninda  gembira sekali  ketika siang itu Adilla meneleponnya, mengajaknya membeli mesin jahit  yang diinginkannya. Kegembiraan gadis itu seakan meluap tak tertahankan.
“Mesin jahit? Jadi benar Mas Dill akan membelikan mesin jahit buatku? Benarkan? Aku rasanya tak percaya.” Seru Ninda riang.
“Tentu saja benar.” Adilla tersenyum, dia dapat merasakan kegembiraan gadis itu  dari nada suaranya yang riang.
“Kamu sendiri yang memilih, Ninda. Aku kan tidak tahu mesin jahit yang bagaimana yang kau inginkan.” Kata Adilla.
“Mas Dill serius akan membelikan aku mesih jahit? Aku rasanya tidak percaya…..”
“Nanti sore  sepulang kerja aku  akan menjemputmu, ya. Aku akan pulang lebih cepat. Toko mesin jahit mudah-mudahan belum tutup.”
“Ya. Aku  tak sabar menunggu Mas Dill datang.” Ucap Ninda.
Ninda berlari menemui ibunya didapur. “Mama! Mama!” panggil Ninda riang.
Nuraeni tengah berada didapur, dia duduk pada sebuah dipan sambil  memotong-motong  kangkung untuk ditumis. Dia menoleh mendengar Ninda memanggilnya.
“Ada apa?” Kening Nuraeni sedikit berkerut melihat kegembiraan diwajah Ninda. “Ada apa?”
“Mama, mas Dill akan membelikan aku sebuah mesin jahit. Nanti sore mas Dill akan kemari menjemput aku. Aku disuruh memilih sendiri mesin jahit yang kuinginkan.” Ninda bercerita riang.
“Mesin jahit? Untuk apa engkau meminta dibelikan mesin jahit?” Tanya Nuraeni heran.
Ninda duduk didekat ibunya. “Mama tahu, sejak dulu aku senang sekali menjahit. Mesin jahit milikku yang dulu, sudah lama dijual. Aku sedih harus menjual mesin jahit itu padahal bila aku memiliki mesin jahit aku bisa  usaha dengan memanfaatkan keterampilanku menjahit.” Ninda mengatur nafasnya. Bicaranya demikian tergesa-gesa dan beruntun. Kata-kata berdesakan diujung mulutnya ingin segera bercerita pada ibunya.
“Mas Dill memikirkan masa depanku, ma. Mas Dill ingin aku punya usaha untuk masa depanku. Lama aku  berpikir, apa yang bisa aku kerjakan untuk  mencari nafkah.  Tiba-tiba terpikir, mengapa aku tidak memanfaatkan keterampilanku menjahit. Aku kan bisa menjahit. Aku sangat senang menjahit.    Jadi aku meminta dibelikan mesin jahit pada mas Dill. Mas Dill setuju. Tadi mas Dill menelepon aku, mengatakan nanti sore sepulang kerja mas Dill akan mengajak aku membeli mesin jahit itu.” Kata Ninda dengan mata berbinar senang.
Nuraeni menatap puterinya. “Adilla benar—benar memperhatikanmu, Ninda.” Ucap Nuraeni. Matanya tiba-tiba membasah.
“Mama sadar, Adilla sudah punya istri. Maafkan mama bila mama sering berpikir, seandainya Adilla menikah denganmu. Seandainya Adilla adalah jodohmu, jodoh yang selalu mama pinta kepada Allah dalam doa-doa mama selama ini.”
“Mama……” Ninda cepat menukas.  “Kebaikan mas Dill jangan mama salah artikan. Mas Dill hanya menyambung silaturahmi diantara kita yang sempat terputus. Mas Dill laki-laki baik. Dia tetap ingin menjaga kelangsungan silaturahmi diantara kita.”
“Mama mengerti.” Sahut Nuraeni. “Tapi disisi lain hati mama yang tidak bisa berdusta. Adilla masih  mencintaimu.”
“Mama, sudahlah.” Tukas Ninda. “Doakan agar usahaku nanti lancar. Aku bisa membuat sarung bantal kursi. Atau seprei. Atau mukena. Atau juga boneka-boneka kecil. Aku akan memulai usahaku dari bawah. Aku siap bekerja keras. Keberhasilan kan harus dirintis dari bawah dulu.”
Nuraeni tersenyum menatap Ninda. “Mama selalu berdoa untukmu, Ninda. Hanya engkau satu-satunya milik mama didunia ini. Mama berdoa segalanya untukmu. Untuk keberhasilanmu. Untuk jodohmu. Kau sudah waktunya memiliki suami, Ninda. Mama berdoa semoga Allah segera mendatangkan jodohmu agar mama tenang bila  telah  melihatmu berumah tangga.”
Ninda hanya tersenyum mendengar ucapan ibunya. Bergegas dia pergi akan mandi. Nuraeni melanjutkan kembali pekerjaannya, memotong-motong kangkung. Namun pikirannya melayang pada Adilla. Ya Allah, Engkau mempertemukan kembali anakku dengan Adilla. Hanya Engkau yang tahu apa rencanaMu dengan semua ini. Mata Nuraeni terasa membasah.
Ninda menyambut kedatangan Adilla dengan harap-harap cemas. Sejak  sejam sebelumnya dia sudah siap. Berkali-kali dia pergi keruangan depan, melihat keluar dari kaca jendela, berharap melihat mobil Adilla datang. Ketika Adilla benar-benar datang, Ninda memburunya, membuka pintu pagar cepat-cepat dengan raut wajah senang.
“Mas Dill…..”
“Ayo naik. Kita pergi sekarang. Nanti tokonya keburu tutup.”
Ninda pamit pada ibunya sambil berteriak dari dalam mobil Adilla.
“Ma! Aku pergi dulu!”
“Ya, hati-hati, ya.”
Nuraeni menatap kepergian Ninda dengan Adilla. Ya Allah, mereka bersama-sama lagi. Ya Allah, maafkan hambaMu ini. Bukan hamba culas atau jahat, bukan hamba tidak memikirkan seorang wanita lain yang bernama Asmi, namun andaikan Engkau menghendaki anakku dengan Adilla bersama-sama lagi, Ya Allah Yang Maha Pengasih, biarlah mereka berdua berjodoh. Biarlah mereka berdua selalu bersama untuk selamanya. Namun Nuraeni hanya mengucapkan semua itu didalam hatinya saja. Dia merasa tidak sanggup membayangkan seandainya semua yang dilihatnya diantara Ninda dan Adilla hanyalah sebatas pengharapannya saja.
“Mas Dill……..” Ninda menatap Adilla yang tengah mengemudikan mobilnya.
“Apa?”  Adilla menoleh sesaat.
“Mas Dill baik sekali kepadaku.”
Adilla tersenyum mendengar ucapan Ninda.  “Ninda, kita bukan siapa-siapa lagi. Keluarga kita sudah lama saling mengenal.”
“Mas Dill, aku menjadi malu…..”
“Malu pada siapa?” Adilla kembali  tersenyum.
“Aku malu pada mas Dill, aku sepertinya memanfaatkan mas Dill untuk kepentinganku…..”
“Kau sendiri yang berpikir begitu. Aku tidak punya pikiran seperti itu.”
Sebelumnya Adilla bertanya dulu pada  Hanief, toko mana yang menjual mesin jahit.
“Mau beli mesin jahit? Untuk siapa?” Tanya Hanief.
“Salah seorang saudaraku ingin dibelikan mesin jahit. Dia  pintar menjahit. Dia ingin punya usaha dari keterampilannya menjahit.”
“Oh.” Sahut Hanief. Dia memberitahu beberapa toko yang menjual mesin jahit.  “Kamu nanti telusuri aja toko-toko itu.”
“Ya. Terima kasih, ya.”
 Adilla  langsung ke toko yang disebutkan oleh Hanief. Adilla menemani Ninda memilih mesih jahit seperti yang diinginkan Ninda.  Adilla meminta kepada pegawai toko untuk mengantarkan mesin jahit itu kerumah Ninda.
“Mas Dill, terima kasih, ya.” Ucap Ninda ketika Adilla mengantarnya pulang.
“Ya, aku senang sekarang kau akan memiliki usaha. Mudah-mudahan usahamu berhasil dan maju.”
“Doakan, ya.’
“Tentu saja, aku akan berdoa usahamu sukses seperti harapanmu.”
“Amien.”
Adilla dan Ninda bertukar pandang sambil sama-sama tersenyum.
Mesin jahit itu tidak lama kemudian sudah datang diantarkan oleh pegawai toko itu. Nuraeni menatap mesin jahit itu. Lalu dia menatap puterinya.
“Ninda, ternyata benar Adilla membelikanmu mesin jahit.” Ucap Nuraeni.”Semula mama tidak percaya Adilla akan membelikanmu mesin jahit.”
“Ya, ma. Ini mesin jahitnya, sudah ada dirumah kita.” Ninda tersenyum.
Nuareni meraba-raba mesin jahit itu. Lalu duduk sambil menatap Ninda.
“Ninda, Adilla begitu baik  kepadamu. Apakah Asmi tahu Adilla membelikanmu mesin jahit ini?”
“Aku tidak menanyakan hal itu kepada mas Dill, ma. Aku sudah senang mas Dill membelikan mesin jahit ini.”
“Ninda, mama  ingin bertanya kepadamu, seandainya……seandainya Adilla memperistrimu, apakah engaku mau menjadi istri Adilla?”
Ninda tidak segera menjawab pertanyaan ibunya.  “Aku tidak tahu, ma. Aku sendiri tidak tahu, apakah hubunganku dengan mas Dill sekarang ini akan menjurus kearah hubungan lain selain menyambung silaturahmi diantara aku dan mas Dill. Aku kira mas Dill tidak bermaksud kearah sana. Mas Dill hanya kasihan kepadaku. Mas Dill tidak tega melihat keadaanku sekarang ini. Mas Dill hanya ingin menolong aku keluar dari kesulitan hidupku saat ini.”
Nuraeni mengangguk. “Ya, mungkin kamu benar, Ninda. Adilla hanya ingin menolongmu agar engkau bisa hidup mandiri dan memiliki usaha. Mungkin mama  yang berpikir terlalu jauh. Mama sudah ingin melihatmu segera menikah. Mama sudah ingin melihatmu  memiliki suami sebagai pengganti mama dan papa bila nanti mama sudah tidak ada lagi.”
“Mama jangan bicara begitu.”
“Ninda, setiap orang pasti mati. Mama ingin bila kelak mama meninggalkan dunia ini, mama meninggalkanmu dengan perasaan tenang bila engkau sudah memiliki suami.”
Mata Ninda basah. Dia sedih ibunya bicara begitu. Namun dia memahami, sejak kondisi mereka seperti ini, ibunya seakan jiwanya menjadi rapuh. Mudah menangis. Mudah tersentuh. Dia memahami perasaan ibunya. Terlalu berat beban perasaan yang ditanggung ibunya. Apalagi setelah ayahnya meninggal.
“Andaikan mama boleh meminta pada Adilla, mama ingin engkau menikah dengan Adilla. Dia laki-laki  yang baik dan penuh tanggung jawab. Mama tenang menutup mata bila engkau mendapatkan suami seperti Adilla.”
“Ma, laki-laki didunia ini bukan hanya mas Dill. Masih banyak laki-laki lain yang baik seperti mas Dill. Dunia ini luas. Mudah-mudahan Allah mengabulkan doa mama, suatu saat nanti aku mendapatkan jodoh seorang lelaki seperti yang mama harapkan.”
Nuraeni menghapus matanya. “Jodoh ditangan Allah, Ninda. Ya, mama hanya bisa berdoa, semoga Allah memberimu jodoh yang baik. Seorang jodoh yang akan memberimu  kebaikan didunia dan diakhirat.”
Ninda tidak mengomentari ucapan ibunya. Dia hanya diam ketika ibunya telah beranjak pergi. Ninda segera berwudhu dan shalat. Usai shalat, ketika masih duduk diatas sajadah, dia tak bisa menahan airmatanya. Selalu airmatanya jatuh setiap kali dia usai shalat dan tinggal sendirian. Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui yang terbaik untuk hidupku. Andaikan memang mas Dill adalah jodohku, berilah aku petunjuk. Janganlah aku Engkau jadikan seorang wanita yang egois, yang ingin merebut cinta seorang lelaki dari wanita lain walaupun aku sangat mencintai lelaki itu. Berilah aku keimanan dan kesadaran dengan cinta yang kurasakan dalam hatiku. Berilah aku petunjukMu, Ya Allah………..


--- 0 ---



Ninda menghitung uang tabungannya. Tidak akan cukup dipakai modal awal usahanya untuk membeli bahan-bahan yang dibutuhkan untuk memulai usahanya. Dia akan memulai dengan membuat sarung-sarung bantal kursi. Dia masih menyimpan majalah-majalah yang memuat beragam sarung bantal yang menarik. Dia juga akan membuat sprei dan sarung bantalnya. Namun uang yang dimilikinya tidak akan cukup. Ninda membuka lemarinya. Dia mengambil kotak perhiasannya, yang selama ini disimpannya dengan begitu hati-hati.
Didalam kotak perhiasan masih tersisa benda berharga yang masih dimilikinya. Dia membuka kotak perhiasannya. Dia masih memiliki dua buah  gelang emas, sebuah kalung panjang serta dua buah cincin, cincin berlian dan yang sebuah lagi adalah cincin tunangannya dulu dengan Adilla.
Ninda mengambil gelang dan kalung. Dia menatap gelang dan kalung itu  beberapa  saat.  Terasa sayang untuk menjual gelang dan kalung itu. Modelnya bagus sekali. Dia sangat menyukainya. Namun dalam keadaannya sekarang yang sangat membutuhkan modal untuk memulai usahanya, dia terpaksa harus menjual perhiasannya itu. Kedua gelang dan kalung ini aku jual saja untuk modal usaha, pikir Ninda.
Ninda berganti pakaian. Dia pergi ke toko emas dimana dulu dia membeli perhiasan itu. Setelah menjual gelang dan kalungnya, dia  lalu pergi ke pasar. Dia mendekap tasnya hati-hati. Didalamnya ada  uang  hasil penjualan gelang dan kalungnya yang akan dipakainya  untuk belanja beragam bahan  untuk memulai usahanya. Bukan main senangnya ketika  dia mendapat uang lebih yang besar dari dugaannya. Harga emas sedang tinggi.
Hampir seharian itu Ninda belanja. Dia keluar masuk pasar mencari bahan-bahan yang dibutuhkannya. Semalam dia sudah mencatat apa saja yang akan dibelinya.  Pulang kerumahnya dia sarat membawa hasil belanjaannya.  Tubuhnya terasa lelah sekali. Namun kelelahan itu tak dirasakannya. Yang terasa adalah semangat yang mengalir dalam tubuhnya. Aku akan memulai merintis usaha. Aku harus bekerja keras,  pikir Ninda. Ya Allah, lancarkanlah urusanku ini, berilah aku kemudahan dalam menjalankan usahaku ini.  
“Banyak sekali belanjaanmu, Ninda.” Ucap Nuraeni ketika melihat barang-barang belanjaan  yang dibawa Ninda.
“Ini baru sebagian, ma.” Sahut Nina. Dia merapikan kantong-kantong belanjaannya. Nanti malam dia akan mengecek lagi, apa-apa yang belum sempat dibelinya. “Besok aku akan pergi belanja lagi. Masih banyak bahan-bahan yang kubutuhkan yang belum sempat kubeli.   Tadi aku sudah kerepotan dengan barang-barang belanjaanku.”
“Besok mama antar kamu belanja, ya.”
“Jangan, ma. Aku bisa belanja sendiri. Mama dirumah saja.”
Nuraeni menatap anaknya penuh haru.
“Ninda, maafkan mama, ya nak. Kau sekarang harus bekerja seperti ini.”
Ninda tersenyum. “Ma, kita hidup harus ikhlas. Ikhlas dengan apapun yang diberikan Allah untuk jalan hidup kita. Ikhlas dengan bagaimana Allah mengisi hidup kita dan ikhlas ketika Allah mengambil kembali apapun milik kita yang pernah dititipkan Allah pada kita. Kita tidak perlu menyesali apa yang telah terjadi dan apa yang menimpa kita. Ikhlas memang sulit untuk dilaksanakan, tapi kita harus belajar menerapkan dan menjalankan keikhlasan dalam hati kita agar kita tetap bisa menjaga ketenangan perasaan kita dan yakin Allah akan tetap bersama kita dalam kondisi kita yang bagaimanapun. Allah akan menilai kesabaran dan ketabahan kita dalam menjalani segala kondisi yang diberikan Allah sebagai ujian bagi hidup kita.”
Nuraeni menangis. “Betapa bersih hatimu, Ninda. Baru sekarang mama menyadari betapa engkau sebenarnya seorang yang sholeh, seorang yang ikhlas, seorang anak yang sungguh berbakti kepada orangtua……”
Ninda mengambil  sebuah  kantong plastik kecil dari dalam kantong plastik  belanjaannya. Dia mengeluarkan beberapa macam bungkusan kue, diambilnya piring lalu diletakannya beragam kue basah itu diatas piring.
“Tadi aku membeli kue-kue basah ini di pasar. Mama  pasti suka kue-kue ini.”
Nuraeni mangambil sebuah kue. “Ninda, dulu kita selalu membeli kue-kue enak dan lezat di toko-toko kue besar……..”
“Mama,” Ninda tersenyum menatap ibunya. “Sudahlah, ma. Kita patut bersyukur, dulu kita pernah mengalami dan menikmati  beragam kue ataupun  makanan enak, lezat dan  serba mahal. Kita harus mensyukuri kita pernah merasakan nikmat itu. Sekarang kita tetap harus bersyukur, kita tidak pernah lagi membeli makanan-makanan enak dan mahal seperti yang dulu selalu kita nikmati, kita jangan terus menyesalinya, ma. Sekarang kita masih bisa menikmati jajanan pasar ini. Semua ini adalah rejeki dari Allah yang harus kita syukuri.”
“Maafkan mama selalu berbicara tentang masa lalu, Ninda.” Ucap Nuraeni, seakan tersadarkan oleh ucapan Ninda.
Ninda hanya tersenyum.  Jauh dalam lubuk hatinya dia bisa merasakan apa yang dirasakan ibunya. Hanya dia tidak ingin ibunya terus menerus mengungkap-ungkap masa lalu mereka. Yang dihadapi oleh mereka saat ini adalah kenyataan. Masa lalu hanyalah sekedar kenangan yang sudah lewat.
Esoknya Ninda pergi lagi ke pasar.  Dia mencatat semua barang-barang yang dibutuhkannya. Dia keluar masuk toko lagi seperti kemarin.  Selesai belanja, dia keluar pasar, melewati tempat parkir.
“Ninda!”
Ninda menoleh. Tania, teman kuliahnya dulu keluar dari dalam mobilnya yang tengah diparkir disana.
“Astaga, Ninda. Kamu belanja apa? Banyak sekali belanjaanmu?” seru Tania melihat Ninda membawa begitu banyak kantong plastic belanjaannya.
“Tania.” Ninda terkejut sekaligus senang bertemu teman kuliahnya dulu.
Tania memeluknya. “NInda, aku tak pernah melihatmu lagi di kampus. Devi yang cerita, katanya kau sudah keluar. Kenapa? Aduh, Ninda. Aku masih ingat kamu dulu aktif sekali dikampus. Kenapa harus keluar?”
Ninda hanya tersenyum. “Sudahlah. Aku realistis, Tania. Aku sudah tidak mungkin melanjutkan kuliahku lagi.”
Tania melihat pada belanjaan Ninda. “Sekarang kamu akan kemana?”
“Pulang. Kamu sendiri dari mana?”
“Bibi Evie, adik ibuku punya toko dipasar. Barusan aku dari sana.” Sahut Tania. “Ayo aku antar kamu pulang sekalian.”
“Tidak usah merepotkan. Aku bisa naik angkutan umum, kok.”
“Ayolah.” Tania membantu Ninda mengambil kantong belanjaannya. Akhirnya Ninda mengikuti Tania memasuki mobilnya.
“NInda, bagaimana dengan kabar ibumu? Aku mendengar berita ayahmu telah meninggal. Maaf, aku tidak sempat melayat.”
“Tidak apa-apa.” Sahut Ninda. “Kabar mama Alhamdulillah baik. Yah, papa sudah meninggal. Terkena serangan jantung.”
“Kamu harus tabah,  Ninda.” Tania menoleh  pada Ninda sesaat. “Tapi aku melihat kamu memang kelihatannya sangat tabah sekali. Kamu memang gadis yang tegar, Ninda. Sekarang apa kegiatanmu setelah tidak kuliah lagi?”
“Aku baru akan merintis usaha, Nia. Aku akan mencoba membuat sarung bantal kursi dan seprei. Aku akan mencoba dulu. Nanti aku lihat bagaimana peluangnya. Bila ternyata lagu, aku bisa focus membuat sarung bantal kursi dan seprei.”
“Kamu punya keterampilan menjahit, Ninda. Jadi kamu bisa memanfaatkan keterampilanmu itu.” Ujar Tania. “Ninda, tadi aku sempat ragu akan menegurmu. Kau jadi berbeda disbanding dulu.”
Ninda tersenyum mendengar ucapan Tania. “Masa? Benarkah aku berbeda dengan aku yang dulu? Yah, gimana. Sekarang aku jarang pergi kemana-mana. Waktuku lebih banyak aku habiskan dirumah. Jadi mungkin karena hal itu aku jadi jarang berdandan.”
“Tapi kamu harus tetap memperhatikan penampilanmu, Ninda. Kamu cantik. Sayang bila kau tidak merawatnya.”
“Terima kasih atas saranmu. Yang kupikirkan sekarang adalah bagaimana aku memajukan usahaku ini agar berhasil.”
“Tidak ada salahnya engkau meluangkan waktumu untuk memperhatikan penampilanmu.”
“Ya, aku akan mencoba memperhatikan penampilanku lagi.” Ninda tersenyum. “Bagaimana kegiatanmu? Masih aktif di klub basket kampus kita?”
“Ya, kadang-kadang. Aku sendiri sekarang sedang fokus menyelesaikan kuliahku yang sempat tersendat. Aku kemarin sempat kerja paruh waktu. Ternyata malah membuat kuliahku jadi terbengkalai. Jadi terpaksa aku keluar dari pekerjaanku dan segera menyelesaikan kuliahku.”
Tania bercerita tentang kegiatan di kampus yang dulu selalu diiukti Ninda. Dan dirinya. Mendengar cerita Tania, Ninda seakan bernostalgia mengenang masa-masa menyenangkan dikampus mereka. Sesekali dia tertawa mendengar cerita Tania.
“Kapan-kapan kita bertemu lagi, ya. Sampaikan salamku pada ibumu.” Kata Tania ketika mereka telah tiba dirumah Ninda.
“Terima kasih, Nia.  Mampir dulu kedalam, yuk.”
“Kapan-kapan aku kemari lagi, ya.” Kata Tania, melambaikan tangan. Mobilnya melaju  pergi.
“Siapa yang tadi mengantarmu?” Tanya Nuraeni, keluar dari rumah membantu Ninda membawa belanjaannya kedalam rumah.
“Tania. Mama pasti masih ingat pada Tania, yang dulu seklub basket denganku  waktu kuliah dulu.”
“Oh, ya. Mama ingat. Dia sudah selesai sekolahnya?”
“Tadi dia cerita sedang menyelesaikan kuliahnya. Seharusnya sudah selesai. Tapi dia sempat kerja paruh waktu jadi kuliahnya agak terganggu.”
Nuraeni tidak berkomentar. Dia merasa khawatir  membicarakan kuliah akan membuat perasaan Ninda sedih. Dia tahu, betapa kecewanya Ninda ketika dia terpaksa harus berhenti kuliah karena sudah tidak ada lagi biaya untuk menyekolahkannya. Ninda memang tidak pernah mengungkapkan kekecewaannya, namun Nuraeni tahu betapa kecewanya Ninda.
“Sudah selesai membeli semua bahan-baha  yang  kau butuhkan, Nin?”
“Sudah.”  Ninda mengeluarkan catatannya. Dia mencoret satu persatu barang-barang dalam daftar  yang sudah dibelinya.  Semuanya sudah tercoret. Semua  yang dibutuhkannya sudah dibelinya.
Awalnya Nuraeni membantu Ninda. Namun ketika melihat begitu banyak pekerjaan, Nuraeni mengusulkan agar mereka mencari seseorang yang bisa membantu Ninda mengerjakan usahanya.
“Kamu tidak mungkin akan sanggup menangani sendirian semua pekerjaan-pekerjaan ini, Ninda.” Kata Nuraeni. “Kau perlu seorang pembantu untuk membantumu mengerjakan usahamu ini.”
“Ya, ma.” Sahut Ninda. “Memang hal itu sudah kupikirkan. Namun untuk mengambil seorang pembantu, aku  harus  memikirkan gajinya. Untuk saat ini aku  belum sanggup membayar gaji. Tapi bila hanya seorang, kukira aku bisa menyisihkan pendapatan dari usaha ini untuk membayar gajinya.”
“Ya, baguslah.” Ucap Nuraeni. “Mengenai penjualan semua hasil pekerjaanmu ini, mama akan menghubungi bu Sari dan bu Wina. Mereka sudah biasa berjualan. Mungkin mereka akan membantu usahamu dengan membantu menjualkan barang-barangmu.”
“Terima kasih, ma.”
Ninda mulai memikirkan siapa yang akan dijadikan pembantunya. Tiba-tiba  dia teringat pada Ayuning, tetangganya yang rumahnya tidak jauh dari rumahnya. Gadis itu baru tamat dari sekolah menengah kejuruan. Kedua orangtuanya sudah lama meninggal. Gadis itu selama ini tinggal bersama bibinya. Sore itu Ninda menemui Ayuning dirumahnya. Ayuning menyambut tawaran Ninda dengan senang.
“Terima kasih, mbak.  Daripada saya menganggur dirumah, lebih  baik saya ikut bekerja bersama mbak Ninda.”
Ketika sudah menyelesaikan beragam pekerjaan dalam jumlah yang cukup besar, Nuraeni menghubungi Sari dan Wina, teman-temannya dulu. Ninda tidak tega melihat ibunya terlibat dalam usahanya. Namun Nuraeni bersikeras ingin membantu Ninda.
Sore itu Nuraeni menemui Ninda yang masih sibuk bekerja bersama Ayuning.
“Ninda, bu Sari dan bu Wina senang dengan sarung bantal dan sprei  buatanmu. Sarung-sarung itu menarik perhatian mereka karena modelnya bagus sekali. Mereka memesan lagi dalam jumlah besar.” Kata Nuraeni. “Bahkan bu Linda, yang punya toko, memesan sarung bantal dalam jumlah yang besar.  Kamu bisa memenuhi pesanan mereka, kan?”
“Insya Allah, ma.” Ucap Ninda. Dia mengucap syukur, usahanya  menunjukan perkembangan yang bagus. Allah telah membukakan jalan untuknya. Dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. “Alhamdulilah. Insya Allah, ma, saya akan memenuhi pesanan mereka.”
Ninda percaya, selama manusia masih mau berusaha  serta mau bekerja keras, Allah pasti akan membukakan pintu rejeki buat umat-Nya. Dia teringat pada cerita ayahnya. Dulu ayahnya pun merintis usaha dari bawah. Ketekunan dan kerja keras yang membuat ayahnya berhasil. Namun nasib menentukan lain ketika usaha ayahnya telah berada dipuncak keberhasilan. Allah menguji mereka sekeluarga dengan mengambil kembali hampir semua harta yang dulu mereka miliki dan menguji mereka dengan kemiskinan dan kekurangan. Kini Ninda semakin sadar, kekayaan dan kemiskinan, ternyata adalah ujian buat mereka.
Aku harus menambah modal, pikir Ninda. Dia teringat pada dua buah cincin yang masih disimpannya didalam kotak perhiasannya. Ninda  pergi kekamarnya. Dia mengambil kotak perhiasannya dan membukanya. Aku terpaksa harus menjual kedua cincin ini. Beberapa saat Ninda memperhatikan cincin pemberian Adilla ketika mereka bertunangan dulu. Hatinya terasa pedih. Kenangan lama terasa mengoyak kembali luka dihatinya. Tidak, aku tidak akan menjual cincin ini. Cincin ini adalah kenanganku bersama mas Dill. Aku sudah tidak mungkin memiliki mas Dill lagi. Biarlah cincin  ini jadi kenanganku bersama mas Dill. Biarlah cincin  ini menjadi bukti bahwa antara aku dan mas Dill pernah saling mencintai. Hati-hati Ninda menaruh kembali cincin itu. Dia hanya mengambil cincin berlian. Cincin itu akan dijualnya. Ninda sudah menaksir harganya. Dia akan menjual cincin itu pada salah seorang  kenalan ibunya yang senang mengoleksi perhiasan berlian.
“Ayu.” Kata Ninda ketika dia sudah mendapatkan uang dari hasil penjualan cincin berliannya.  “Sepertinya  kita perlu tenaga tambahan. Pesanan semakin banyak. Kita tidak mungkin mengerjakan semua pekerjaan ini berdua saja.”
“Berapa orang lagi yang mbak butuhkan?” Tanya Ayuning. “Bagaimana bila saya menghubungi teman-teman sekolah saya yang masih menganggur?”
“Dua orang saja, Yu.” Kata Ninda. “Ya, boleh kau hubungi kedua temanmu itu. Laki-laki atau perempuan teman yang akan kau hubungi itu?”
“Keduanya perempuan, Ratna dan Endah.”
“Ya, coba kau hubungi mereka. Bila mereka sepertimu, rajin dan cekatan, tentu mbak akan bersedia menerima mereka berdua untuk  membantu usaha kita ini.”
“Ya, mbak. Nanti sore saya akan menghubungi Ratna dan Endah. Saya  tahu keduanya masih menganggur.”
Dua hari kemudian, Ratna dan Endah datang menemui Ninda. Ninda menguji keterampilan mereka. Hasil jahitan mereka rapi. Dengan senang hati Ninda menerima Ratna dan Endah bekerja dengannya. Kehadiran Ratna dan Endah membuat pekerjaan semakin cepat selesai. Ratna dan Endah bukan  hanya rajin dan cekatan, namun mereka juga banyak menyumbangkan    beragam ide kepada Ninda yang membuat Ninda semakin bisa mengembangkan   kreativitasnya. Pesanan semakin banyak yang datang. Pelanggan semakin bertambah. Nuraeni sudah tidak lagi pergi ke teman-temannya karena pelanggan datang sendiri kerumah Ninda.
Tak henti-hentinya Ninda mengucapkan rasa syukur atas segala rejeki  yang telah diberikan Allah kepadanya.  Ya Allah, terima kasih atas karunia dan rejeki yang telah Engkau berikan kepada hambamu ini. Mudah-mudahan semua rejeki yang telah Engkau berikan ini menjadi barokah bagi kami semua, buatku, juga buat semua pegawai-pegawai yang membantu usahaku ini.

--- 0 ---


Handphonenya berbunyi. Sebuah pesan pendek masuk kedalam handphone.  Adilla sedang mengetik pada laptopnya. Diambilnya handphonenya. Adilla tersenyum membaca sebuah pesan pendek. Mas Dill,  terima kasih atas semua bantuan mas Dill pada saya. Semoga Allah membalas semua kebaikan mas Dill pada saya. Amien. Ninda.
Adilla menyimpan hasil ketikannya pada laptopnya. Kebetulan Ninda mengirim pesan pendek. Sejak membelikan mesin jahit pada Ninda, hampir tiga bulan lalu, dia tidak  pernah  kerumah Ninda lagi.   Adilla  percaya Ninda akan sungguh-sungguh menjalankan usahanya. Gadis itu  kelihatan gembira dan bersemangat sekali ketika dibelikan mesin jahit. Adilla sendiri senang sudah bisa membantu Ninda untuk memiliki usaha sendiri sehingga gadis itu diharapkan bisa hidup mandiri dengan usahanya itu.
Namun Adilla malu mengakui, kini kerap ada perasaan rindu  pada gadis itu. Selalu ada perasaan ingin bertemu dengan Ninda tiap kali dia teringat pada Ninda. Namun dia berusaha menahan diri. Dia bahkan berusaha  membunuh perasaan itu walaupun semakin dia ingin membunuhnya, semakin sering perasaan rindu itu menggodanya. Adilla istigfar dalam hati.
Dia sadar, dirinya sudah memiliki istri dan anak. Dia tidak berpikir terlalu jauh akan mengkhianati perkawinannya walaupun tindakannya yang sudah menolong Ninda seringkali membuatnya merasa berdosa pada Asmi karena dia tidak bercerita sedikitpun tentang hal itu kepada Asmi. Adilla sadar tindakannya salah. Namun dia merasa apa yang dilakukannya pada Ninda benar, walaupun itu menurut pikirannya sendiri.
Adilla menekan nomor telepon Ninda.
“Assallamu’alaikum…..” suara Ninda lembut menyapanya.
“Wa’alaikumsallam. Bagaimana kabarmu?” tanya Adilla.
“Alhamdulillah baik. Bagaimana pula kabar mas Dill?”
“Alhamdulillah, aku sehat-sehat saja. Bagaimana usahamu?”
 “Alhamdulillah, sampai hari ini lancar-lancar saja, mas Dill. Terima kasih, ya, mas Dill telah membukakan jalan kepadaku untuk memulai usaha ini dengan membelikan aku sebuah mesin jahit yang sangat berguna sekali untuk memulai usahaku ini.”
Ninda lalu bercerita tentang usahanya, tentang sarung-sarung bantal yang dibuatnya. Dia juga bercerita, sudah menambah lagi pegawai untuk menjalankan usahanya.
“Ternyata tidak mudah menjalankan usaha sendirian, mas Dill.” Ujar Ninda. ”Aku membutuhkan orang lain untuk membantuku menjalankan usahaku ini. Kebetulan ada anak tetangga yang baru lulus dari sekolah kejuruan. Dia pintar menjahit karena memang dia lulusan sekolah menjahit. Aku mengajaknya bekerja denganku. Baru dua minggu aku mengambil Ayuning bekerja denganku, aku sudah membutuhkan tambahan pegawai lagi. Banyak pesanan yang datang. Aku tidak mungkin mengerjakannya berdua saja dengan Ayuning. Kebetulan Ayuning menawarkan kedua teman sekolahnya dulu. Jadi sekarang aku sudah punya tiga orang pegawai, mas Dill.”
“Kamu kedengarannya bersemangat sekali, Ninda.” Komentar Adilla tersenyum. Dia ikut senang. Kegembiraan Ninda terasa menular kepadanya.
“Ya, mas Dill. Aku senang sekali.” Sahut Ninda. Tidak menyembunyikan kegembiraan dalam suaranya. “Sekarang aku memiliki kegiatan. Aku punya usaha sendiri. Merintis usaha tidak mudah. Membutuhkan kerja keras dan ketekunan. Tapi aku akan berusaha semaksimal mungkin. Aku ingin memiliki masa depan yang baik. Seperti yang mas Dill ucapkan padaku.”
Adilla tersenyum. “Yah, mudah-mudahan usahamu semakin maju dan berkembang.”
“Kapan mas Dill akan kemari? Mas Dill harus melihat sendiri usaha yang sedang aku jalankan ini.”
“Insya Allah, aku nanti kerumahmu.”
“Mas Dill janji, ya.”
“Insya Allah. Aku tidak janji, tapi aku akan menyempatkan  agar aku bisa kerumahmu.”  Kata Adilla.
“Aku tunggu.” Ujar Ninda. “Mas Dill, aku ingin mas Dill kerumah. Aku ingin mas Dill melihat bahwa aku sudah menjalankan usahaku dengan sebaik-baiknya. Aku tidak  ingin mengecewakan mas Dill yang telah berupaya membantu aku. Uluran tangan mas Dill aku manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Allah Maha Pemurah. Aku diberi kelancaran dalam menjalankan usahaku ini.”
“Ninda, aku senang mendengarnya. Aku percaya kamu pasti sungguh-sungguh menjalankan usahamu.”
“Tapi aku belum bisa memberi apa-apa pada mas Dill sebagai balas jasa atas segala kebaikan mas Dill padaku…..”
“Ninda, aku ikhlas membantumu.” Tukas Adilla. “Aku tidak mengharapkan balasan apapun darimu. Aku hanya ingin engkau bisa hidup mandiri. Aku ingin engkau memiliki kegiatan dan usaha untuk bekal hidupmu. Aku senang kau sekarang nampak bersemangat menjalankan usahamu. Semangatmu itu akan mempermudah kau menjalankan usahamu. Mudah-mudahan ini baru langkah awal, usahamu nanti akan berjalan dan semakin berkembang lagi, akan semakin maju lagi.”
“Amien. Mas Dill, sekali lagi terima kasih, ya.”
“Ya. Kamu tidak boleh murung lagi, ya.”
“Apa aku kelihatan murung?” Ninda tertawa. “Mungkin itu hanya penglihatan mas Dill saja. Insya Allah aku tidak murung. Kalau soal sedih, yah manusiawi, namanya juga manusia, kadang senang, kadang sedih, kadang suka, kadang duka. Setiap manusia kan pasti mengalami hal-hal seperti itu.”
“Nanti aku nelpon lagi, ya. Aku masih banyak pekerjaan.”
“Terima kasih ya, mas Dill. Maaf aku mengganggu mas Dill. Aku tadi bingung. Kalau aku menelepon diluar  jam kerja, khawatirnya mas Dill sedang ada dimana. Jadi tadi aku memutuskan menelepon mas Dill pada jam kerja saja. Maaf ya, mas Dill.”
“Tidak apa-apa. Aku senang kau kirim sms jadi aku tahu nomor teleponmu.”
Terdengar Ninda tertawa pelan. “Aku ada rejeki sedikit, jadi kubelikan handphone bekas. Aku membutuhkan handphone untuk memudahkan aku berkomunikasi dengan pelanggan-pelangganku.”
“Tidak apa-apa handphone bekas pun, asal masih bagus untuk dipakai berkomunikasi.”
Adilla menutup telpon genggamnya. Ninda. Mengapa setiap menyebut nama Ninda selalu muncul perasaan sayang dalam hatiku pada gadis itu? Apakah aku tidak keliru membedakan antara perasaan sayang  dan perasaan kasihan pada gadis itu? Bila aku hanya sekedar kasihan kepadanya, aku tidak perlu menyimpan perasaan rindu kepadanya. Namun perasaan sayang yang ada dalam hatiku kepadanya selalu berbaur dengan perasaan rindu. Adilla mengalihkan kembali perhatiannya pada pekerjaannya. Dia tidak ingin menunda-nunda pekerjaannya. Dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya agar bisa segera pulang. Dia kangen pada Anissa. Puterinya itu makin lama wajahnya makin mirip Asmi. Adilla tersenyum. Matanya serius menatap layar laptop. Jari jemarinya mulai bekerja pada laptopnya.


--- 0 ---



Adilla menarik napas dalam. Dia menatap Ninda, merasakan keharuan-keharuan yang menyesakan perasaannya  setiap kali dia menatap wajah Ninda. Kesederhanaan dan kerendahan hati gadis itu telah mengikat perasaannya terhadap gadis itu. Sesuatu yang ingin diutarakannya kepada Ninda terasa mengantung diujung  lidahnya. Sekarang atau tidak sama sekali, pikir Adilla. Kalau aku tidak mengucapkannya pada Ninda sekarang, berarti aku tidak akan pernah lagi mengucapkannya kepada Ninda.
“Ninda…..”
Ninda mengangkat wajahnya. Dia menatap Adilla. Merasakan getaran-getaran halus pada sepasang mata Adilla yang begitu lembut menatapnya.
“Ninda, aku akan menemani  langkah-langkahmu menuju masa depanmu. Aku  akan menikahimu…..”
Lama sekali  Ninda   menatap Adilla  seakan tidak percaya  dengan apa yang baru saja diucapkan Adilla kepadanya.
“Apakah aku tidak salah mendengar dengan apa yang baru saja mas Dill katakan kepadaku?”
“Tidak. Kau tidak salah mendengar, Ninda. Aku serius, aku akan menikahimu…….”
Ucapan Adilla  terlalu mengejutkannya. Ninda menatap Adilla tak percaya dengan apa yang didengarnya dari mulut lelaki itu. Pertemuannya kembali dengan Adilla telah merubah kembali jalan hidupnya. Adilla mengulurkan tangannya pada saat dirinya tengah dalam keadaan terpuruk. Kehadiran Adilla terasa memberikan kebahagiaan dalam hidupnya pada saat dia tengah terseok-seok melangkah, menggapai secercah harapan ditengah kepedihan dan kepahitan hidupnya. Dia meyakini, pertemuannya kembali dengan Adilla adalah kehendak Allah.  Allah jua yang telah menentukan segalanya. Bertemu kembali dengan Adilla bukan hanya merubah kemballi jalan hidupnya, mengangkatnya dari keterpurukan, namun sekaligus membangkitkan kembali kenangan masa lalunya bersama lelaki itu.  Dia tidak bisa mengingkari, cinta itu masih ada dihatinya walaupun dia tahu Adilla sudah tidak sendiri lagi.
Dia tidak bisa menepis cinta dihatinya, setiap hari cinta itu tumbuh semakin subur dan berkembang. Jauh lebih indah daripada yang dirasakannya dulu  ketika dia masih  bertunangan dengan Adilla. Sekarang, Adilla mengucapkan kalimat itu. Ya Allah, benarkah Adilla akan menikahiku? Benarkah Adilla menginginkan aku menjadi istrinya? Ya Allah, berilah aku sebuah kepastian. Janganlah aku dipermainkan oleh sebuah harapan indah apabila harapan itu hanya sekedar harapan semu yang tidak akan pernah terwujud. Ninda menunduk, menyembunyikan matanya yang basah.
“Kenapa engkau menangis? Apakah engkau tidak suka menjadi isteriku? Apakah engkau tidak mau menikah denganku?”
Ninda mengangkat wajahnya. Dia tidak menyembunyikan airmatanya yang mengalir membasahi pipinya.
“Mas Dill, aku terkejut mendengar ucapanmu. Aku terkejut sekaligus bahagia.” Ucap Ninda tersendat menahan tangis. “Aku tak pernah menduga mas Dill akan mengucapkan kata itu kepadaku. Sekian tahun  lalu, aku pernah berharap begitu indah bahwa suatu saat aku akan menikah dengan mas Dill. Aku mengira, kehidupan akan tetap berjalan mulus dan indah seperti rencana yang ada dalam pikiranku. Aku tidak menduga, dalam kehidupan segala hal bisa terjadi dan berubah dalam tempo waktu yang singkat. Aku……..aku terpukul sekali ketika mas Dill memutuskan pertunangan kita. Aku lebih terpukul lagi ketika tidak lama kemudian mas Dill menikah dengan wanita lain…….”
“Ninda, kamu tidak usah membicarakan masa lalu. Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Yang kita bicarakan adalah saat ini dan bagaimana kedepan.”
“Bila aku berbicara tentang mas Dill dan aku, aku tidak akan bisa melepaskan dari cerita masa lalu. Masa lalu diantara kita adalah nyata ada dan terjadi. Tidak akan bisa  kita hapus begitu saja.”
“Ninda, aku minta maaf bila dulu aku menyakiti perasaanmu.”
“Mas Dill tidak perlu minta maaf karena aku sendiri pun banyak melakukan kesalahan kepada mas Dill. Baru kusadari kesalahan-kesalahanku justri setelah mas Dill pergi dariku dan menikah dengan wanita lain.” Ninda menghapus airmatanya. “Sekarang mas Dill kembali lagi kepadaku, seakan ingin membuka kembali lembaran-lembaran  yang pernah kita bukukan dimasa lalu…..Bagaimana  dengan mbak Asmi? Apakah mas Dill sudah membicarakan hal ini dengan mbak Asmi?  Apakah mas Dill sudah meminta keikhlasan mbak Asmi?” 
Adilla diam sejenak. “Aku belum bicara apa-apa tentang dirimu kepada Asmi. Bahkan Asmi belum tahu tentang hal ini. Namun aku tetap akan menikahimu…….”
Ninda menggeleng. “Tidak, aku tidak ingin merebut mas Dill dari mbak Asmi. Aku ingin mas Dill berbicara terbuka pada mbak Asmi mengenai mas Dill dengan aku. Aku pernah merasa sakit hati ketika mas Dill menikah dengan mbak Asmi.  Aku pernah merasakan bagaimana sakit hatiku ketika cintaku terenggut. Aku tidak akan melakukan hal yang sama karena aku tahu betapa sakitnya ketika lelaki yang kucintai menikah dengan wanita lain…….”
“Tapi engkau bersedia menikah denganku?”
Ninda tidak menjawab. Dia hanya menangis. Lalu kepalanya mengangguk perlahan. “Seandainya memang Allah berkehendak kita berjodoh…….”
Malam itu Ninda menangis dalam sujudnya. Ya Allah, seandainya memang mas Dill adalah jodohku yang selama ini aku cari, yang selama ini aku minta dalam doa-doaku kepadaMu, berilah aku petunjuk, ya Allah.

--- 0 ---



Arisan bulan ini diselenggarakan dirumah Ratih. Ratih memesan beberapa macam kue pada Asmi untuk arisan yang akan diselenggarakan lusa.
“Ini arisan terakhir  ya bu Asmi.” Kata Ratih. “Biasanya kalau arisan terakhir hampir semua peserta datang berkumpul sambil membicarakan rencana selanjutnya, kapan arisan akan dimulai lagi.”
“Oh, iya? Saya tidak tahu kalau lusa arisan terakhir, bu.” Ujar Asmi.
“Soalnya bu Asmi jarang hadir sih. Tapi lusa bu Asmi harus  menyempatkan hadir, ya. Sambil berkumpul sekalian kita bersilaturahmi. Kita tingga satu kompleks namun karena kesibukan kita masing-masing sehingga kita nyaris tidak pernah bertemu satu sama lainnya, jadi arisan ini adalah kesempatan yang bagus buat warga kompleks untuk bisa bertemu dan bersilaturahmi.”
“Benar, bu Ratih. Insya Allah saya akan datang.”
“Saya pesan kue-kue untuk acara lusa, ya.” Kata Ratih. Ratih menuliskan beberapa macam kue pesanannya. Lalu kertas itu diserahkan kepada Asmi. Ratih tersenyum menatap Asmi.
“Bu, saya sebenarnya tidak enak lho mau menyampaikannya pada bu Asmi, tapi sepertinya saya perlu menyampaikan hal ini kepada bu Asmi. Kita kan sama-sama wanita, ya. Jadi sepertinya harus ada rasa saling toleransi antara sesama wanita.”
“Apa, bu?”
“Maaf ya, bu. Saya juga mendengar dari  ibu-ibu yang lain, artinya saya tidak pernah melihat secara langsung. Begini, bu……” Ratih menatap Asmi sesaat seakan masih ragu untuk menyampaikan sesuatu hal kepada Asmi.
Asmi menunggu apa yang akan disampaikan Ratih kepadanya.
“Masa sih bu Asti belum mendengar?”
“Apa bu?”
“Pak Adilla sekarang punya gandengan baru. Hati-hati lho, bu. Wanita yang sering kelihatan bersama pak Adilla cantik sekali. Banyak yang bilang begitu kepada saya. Tapi saya sendiri belum pernah memergoki pak Adilla bersama dengan gandengan barunya itu.”
Asmi menahan perasaannya. Dia tidak mau cepat terpengaruh dengan ucapan Ratih.
“Oh, ada gossip tentang suami saya ya, bu?” Asmi tersenyum, berusaha santai.
“Sepertinya sudah bukan gossip lagi, bu Asmi. Nampaknya memang benar pak Adilla memiliki gandengan seorang wanita cantik. Malah beritanya pak Adilla sering sekali terlihat keluar dari rumah wanita itu.”
“Aduh, saya berterima kasih bu Ratih sudah  memberitahu saya tentang gossip suami saya, tapi saya tidak mau merusak hubungan saya dengan suami saya tanpa saya mengetahui apakah gossip itu memang hanya sekedar gossip ataukah memang benar  bahwa suami saya memiliki wanita lain.”
Ratih tersenyum. “Bu Asmi  bijak sekali. Saya juga berharap gossip yang saya dengar itu hanyalah sekedar gossip. Mudah-mudahan tidak demikian adanya. Saya juga bisa menilai, pak Adilla nampaknya seorang suami yang baik. Tidak mungkin pak Adilla akan tega mengkhianati bu Asmi. Tapi kita sebagai istri perlu juga waspada, bu. Maafkan saya ya, bu Asmi. Jangan lupa pesanan saya untuk lusa dan bu Asmi datang ke arisan, ya.”
“Insya Allah.” Sahut Asmi. “Soal pesanan kue, pagi-pagi pun insya Allah sudah diantar kerumah ibu.”
“Terima kasih, bu Asmi.’
Setelah Ratih pulang,  Asmi merasa lemas tubuhnya. Dia tidak percaya Adilla akan tega mengkhianati cintanya. Pada saat perkawinan mereka sedang menunjukan perkembangan yang sangat membahagiakan. Perekonomian yang mulai merangkak naik. Anak yang cantik dan sehat.  Hubungan suami istri yang harmonis. Tidak mungkin Adilla memiliki wanita lain. Namun walaupun dia tidak percaya, ucapan Ratih  terasa mengganggu perasaannya.
Tidak, pikir Asmi. Aku tidak boleh terpengaruh dengan gossip-gosip yang tidak jelas. Aku tidak boleh membuat perkawinanku menjadi rusak hanya karena aku tidak bijak dalam menghadapi rongrongan yang ingin merusak perkawinanku. Sudah banyak contohnya perkawinan yang jadi berantakan karena istri yang tidak bijaksana dalam menyaring rongrongan yang ingin merusak  perkawinan. Aku tidak mau hal itu terjadi dalam perkawinanku  yang sudah dengan susah payah bertahun-tahun lamanya aku bersama Adilla bangun bersama-sama. Asmi berusaha melupakan ucapan Ratih. Ketika malam itu Adilla pulang kerja, Asmi sudah menyiapkan masakan yang istimewa kesukaan Adilla. Sambil makan, diam-diam Asmi memperhatikan Adilla. Tidak ada yang berubah pada Adilla. Adilla masih tetap Adilla  seperti yang dikenalnya selama ini. Asmi mencoba berpikir jernih. Dalam sebuah perkawinan, selalu saja ada banyak cobaan dan godaan. Salah satunya adalah ketika perkawinan dilanda gossip. Dan aku tidak mau perkawinanku rusak karena aku percaya kepada gosiip, pikir Asmi.
Namun hari-hari selanjutnya, bukan hanya Ratih. Usai arisan dirumah Ratih, Asmi mendengar berita yang hampir sama seperti yang didengarnya sebelumnya dari Ratih. Sinta. Vera. Yuli. Dan wanita-wanita lain yang membawa berita yang tidak menyenangkan tentang Adilla dengan seorang wanita.
Malam itu Asmi sudah tidak bisa menahan perasaannya lagi. Dia  harus menanyakan kebenaran berita itu pada Adilla.
Adilla datang jam sepuluh lewat lima belas menit. Seandainya kepalanya  tidak sumpek setelah dijejali berita tentang Adilla dengan seorang wanita cantik,  sebenarnya kedatangan Adilla jam sepuluh lewat adalah hal biasa buatnya. Dan selama ini dia tidak pernah mempermasalahkan Adilla datang jam berapapun. Dia sangat mendukung pekerjaan dan karier suaminya. Sebagai istri yang mengalami perjalanan suaminya dari bawah, sejak masih kuliah, lulus, menganggur, mencari pekerjaan dan akhirnya mendapat pekerjaan,  dia memahami bagaimana Adilla berjuang untuk kepentingan keluarganya.  Namun kini, kecurigaan dan syak wasangka itu sudah memenuhi kepalanya  yang hampir pecah. Dadanya sendiri sudah terasa panas digolakkan api cemburu.
Tanpa menunggu Adilla berganti pakaian, Asmi sudah memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaannya.
“Kenapa pulang terlambat?”
“Banyak pekerjaan dikantor.” Sahut Adilla, matanya langsung menatap Asmi, seakan sudah merasa bahwa ada sesuatu hal yang sedang terjadi pada isterinya.
“Banyak pekerjaan dikantor.” Ulang Asmi dengan  sinis. Airmatanya sudah menggantung diujung matanya. “Kenapa kau membohongi aku, Dill? Kenapa kau tega membohongi aku? Apa yang salah denganku selama menjadi isterimu? Apa yang kurang dari pengabdianku selama ini kepadamu?  Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik bagimu? Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik kepadamu.”
“Ada apa?” Adilla menatap istrinya dengan kening berkerut.
Airmata Asmi sudah tidak bisa dibendung lagi. Hatinya yang panas dilanda perasaan cemburu seakan membludak dalam tangisannya.
“Siapakah wanita yang sering kau temui itu? Siapa? Kenapa kau tega mengkhianati aku?”
Adilla menatapnya. Diam. Kini dia mengerti.
“Siapa yang memberimu berita yang tidak benar?”
“Tidak penting dari siapa aku mendengar berita tentangmu, yang kuinginkan adalah jawabanmu, apakah berita itu benar atau tidak?” Asmi menatap Adilla. Mendadak dia teringat sesuatu. Tidak mungkin ada maling yang mau mengaku. “Oh, tidak. Aku tidak membutuhkan jawabanmu mengenai kebenaran berita itu. Yang jelas, sudah banyak yang tahu mengenai kau dengan wanita itu.”
“Sini duduk.” Adilla menarik tangannya.
“Mungkin berita yang kau dengar itu sebagian benar adanya.” Kata Adilla pelan.
Hati Asmi mendadak sakit. Maling itu akhirnya akan mengaku juga.
“Namun aku juga tidak akan membenarkan berita itu.”  Ucap Adilla lagi. “Aku tidak berselingkuh seperti dugaanmu. Aku tidak mengkhianati perkawinan kita. Aku tetap setia kepadamu.”
“Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api.”
“Maafkan aku, Asmi. Aku mungkin salah tidak memberitahumu tentang hal ini. Namun andaikan aku memberitahumu mengenai hal ini, aku sendiri tidak tahu darimana harus memulainya dan aku tidak bisa menebak bagaimana reaksimu…….”
“Jangan berbelit-belit. Aku tidak mengerti. Kau mengakui ada kebenaran dari berita yang disampaikan orang kepadaku. Siapakah wanita itu?  Dill, jujurlah padaku, siapakah wanita yang sekarang ramai digosipkan orang denganmu itu?”
Adilla menatap wajah Asmi. Matanya seakan bimbang. Dia  tidak segera menyahut.
“Aku  ingin kejelasan darimu mengenai wanita itu.” Desak Asmi.
“Kau sudah mengenalnya.” Sahut Adilla.
Asmi menatap Adilla tidak mengerti. “Siapa?”
“Ninda.”
“Jadi….” Asmi tergagap. Tak percaya mendengar pengakuan Adilla. “Jadi selama ini kau masih berhubungan dengan Ninda?”
“Tidak. Aku bertemu Ninda enam bulan lalu. Keadaannya sekarang sudah berubah. Sudah berbeda dari dulu ketika aku dan engkau mengenalnya lima tahun lalu. Perusahaan  ayahnya sudah bangkrut. Mereka  kini hidup sangat sederhana. Rumah besar mereka sudah dijual, kini mereka menempati rumah kecil sederhana dipinggiran kota.  Ninda bahkan tidak melanjutkan kuliahnya karena orangtuanya sudah tidak memiliki biaya lagi.  Terus terang aku sangat trenyuh melihat keadaan Ninda saat. Dia  patut dikasihani, Asmi.”
“Tapi kau sudah jadi suamiku, Dil. Apa perlunya rasa kasihan itu?”
“Asmi, kita tidak pernah tahu apa yang bakal terjadi dalam hidup kita. Demikian pula dengan Ninda. Dia pasti tidak menduga apabila ayahnya akan mengalami kebangkrutan. Terus terang, aku tidak tega melihat kondisi Ninda, Asmi. “
“Karena dia bekas tunanganmu?”
Adilla terdiam sesaat. “Ya, mungkin itu salah satu sebabnya mengapa keadaan Ninda membuat aku merasa kasihan kepadanya.,”
”Kau masih  mencintainya?”
“Tidak.”
“Kau tidak perlu berdusta padaku, Dil. Kau masih mencintai Ninda. Kalau tidak, apa perlunya engkau sering mengunjunginya sehingga  banyak orang yang tahu kau sering datang kerumah Ninda.” Airmata Asmi berhamburan. Dia merasakan perutnya sakit. Adilla memburunya. Namun Asmi menepisnya.
“Aku tidak bisa menerima apapun alasanmu, Dill. Berhentilah berhubungan dengan Ninda.”
“Asmi, kau harus melihat sendiri bagaimana keadaan Ninda sekarang.”
“Aku tidak perduli dan merasa tidak punya urusan dengan Ninda. Aku tidak perlu tahu bagaimana keadaan dia sekarang. Yang kuinginkan adalah engkau berhenti berhubungan dengan Ninda.”
Mendadak Asmi seakan teringat sesuatu. Dia menatap Adilla dengan perasaan curiga. “Tempo hari engkau pernah berbicara tentang poligami, apakah ini yang kau maksud bahwa kau akan menikahi Ninda?”
“Asmi, aku  tidak berpikir sejauh itu.”
Namun Asmi sudah pergi.
Adilla merasa perlu selesai bicara dengan Asmi. Dia menunggu Asmi hingga masuk kekamar. Ketika istrinya masuk kekamar, Adilla mengawasinya dari tempat tidur. Asmi duduk didepan meja rias sambil membersihkan wajahnya. Adilla menunggu. Biasanya Asmi akan terus bicara selama masih ada uneg-uneg yang mengganjal dalam hatinya. Benar saja, selesai membersihkan wajahnya, Asmi menatap Adilla serius.
 “Kalau kau masih berhubungan dengan Ninda, aku minta cerai.”
“Aku tidak akan menceraikamu.”
“Kalau begitu jauhi Ninda.  Aku tidak ingin dia jadi duri dalam perkawinann kita.”
“Aku tidak bisa menjauhi  Ninda,  Asmi. Aku merasa kasihan  kepadanya. Dia sudah kehilangan ayahnya. Ibunya tidak punya pekerjaan. Ninda sendiri tidak bekerja. Mereka sudah tidak memiliki apa-apa lagi kecuali rumah yang mereka tempati sekarang.”
”Aku tidak mau kondisi mereka yang menurutmu memprihatinkan kau jadikan alasan untuk merekatkan kembali hubunganmu dengan Ninda. Kau pilih satu, aku atau dia. Aku tidak bisa membiarkan kondisi rumah tangga kita menjadi seperti ini.”
“Tidak bisakah engkau  menaruh belas kasihan pada Ninda? Kondisimu sekarang jauh berbeda dengan Ninda. Kau sekarang seorang pengusaha roti dan kue yang  berhasil. Kau sudah sukses. Sementara Ninda sekarang sudah jatuh miskin.”
“Jadi  kemiskinan dia itu yang  telah membuatmu merasa kasihan dan berubah pikiran agar cinta lama bersemi kembali?”
“Jujur saja kukatakan, ya. Keadaan Ninda yang membuat aku merasa kasihan dan merasa perlu membantunya.”
Asmi menatap Adilla dengan marah. “Sia-sia pengorbananku selama ini.” Ucap Asmi dengan suara serak menahan tangis. “Aku susah payah mendampingimu sejak kamu masih kuliah. Sejak dulu aku bekerja keras membanting tulang agar  rumah tangga kita bisa tetap berjalan, agar perekonomian keluarga kita semakin membaik. Namun sekarang inilah balasannya darimu. Disaat kau sudah bisa hidup mapan, kau berpaling pada wanita lain. Adilla, aku tidak bisa menerima ini. Aku minta cerai. Ceraikan aku. Tanpamu aku bisa hidup mandiri.”
“Asmi, aku tidak berniat menceraikanmu.” Adilla menyahut lembut. Dia memahami kemarahan Asmi. Namun untuk bercerai, hal itu tidak pernah terlintas dalam benaknya. Dia masih mencintai Asmi. Dia masih ingin hidup bersama Asmi. Mengenai dia mencintai Ninda, itu persoalan lain lagi.
“Tidak. Aku akan tetap minta cerai bila kau masih berhubungan dengan Ninda.” Kata Asmi keras. “Pergilah kau pada wanita itu. Biarkan aku sendiri. Kau tak perlu merisaukan aku. Tanpamu pun aku bisa menghidupi Anisa.”
“Sombong benar kau ini.” Adilla menatap marah pada Asmi. “Tidak sepantasnya kau mengucapkan kata-kata arogan seperti itu pada suamimu.”
Asmi hanya membalikkan tubuhnya membelakangi suaminya. Dia sudah berubah, pikir Adilla geram. Ya, Asmi sekarang sudah berubah karena merasa dirinya sekarang sudah sukses sebagai seorang pengusaha. Dia sudah tidak membutuhkan aku lagi. Dia merasa sudah bisa hidup mandiri. Mendadak keegoan Adilla  terusik. Asmi memang sudah tidak membutuhkan aku lagi, namun Ninda sangat membutuhkan aku.  Bersama dengan Ninda aku merasa dibutuhkan, aku merasa diriku sebagai lelaki sejati. Setiap uluran apapun yang kuberikan kepada Ninda, Ninda  selalu menyambutnya dengan penuh rasa syukur. Sekecil apapun pemberianku kepada Ninda, Ninda selalu menerimanya dengan penuh rasa terima kasih. Dia tidak melihat besar kecilnya pemberianku kepadanya. Yang dilihat Ninda adalah perhatianku kepadanya. Ninda benar-benar membutuhkan aku.

--- 0 ---


Telepon genggamnya berbunyi. Adilla melihat teleponnya. Ibunya meneleponnya.
“Dill, mamah ingin bicara denganmu.” Kata Nani. “Pulang kerja kamu kerumah mamah. Mamah tunggu, yah.”
“Ada apa, mah?”
“Pokoknya pulang kerja kamu kerumah dulu, ya.”
“Papah sakit?”
“Tidak ada yang sakit. Mamah ingin bicara denganmu. Penting.” Kata ibunya.
“Ya, mah. Pulang kerja saya langsung kerumah mamah.” Kata Adilla.
 Adilla  menduga, pasti ada sesuatu hal yang penting yang ingin dibicarakan ibunya kepadanya. Sesuatu yang penting? Apa? Dalam hati Adilla bertanya-tanya.  Dari nada bicaranya, ibunya seolah mendesak dia harus hari ini juga kerumah.
Dirumahnya, Nani, ibunya Adilla  berusaha menyibukan dirinya dengan segala pekerjaan. Namun pikirannya selalu kembali dan kembali lagi pada Adilla, anak bungsunya. Adilla memang sudah dewasa. Namun sebagi ibunya, dia tetap memiliki kewajiban untuk mengingatkan dan menegur anaknya agar tidak salah melangkah. Adilla anak bungsunya, anaknya yang paling penurut. Sejak kecil Adilla tidak pernah membantah kata-kata orangtuanya. Dibandingkan dengan kedua kakaknya, Wisnu dan Farhan, Adilla adalah buah hatinya yang paling manis.
Buat Nani, justru  terasa aneh mendengar gossip Adilla berselingkuh. Adilla tidak seperti Wisnu yang senang berganti-ganti pacar. Bukan saja ketika masih bujangan, namun bahkan setelah menikah pun Nani tahu Wisnu masih memiliki banyak wanita lain selain istrinya. Berulangkali Nani mencoba menasehati anaknya yang sulung itu. Kasihan Maya istrinya. Namun segala nasehat dan wejangan sudah tidak mempan lagi pada Wisnu. Akhirnya Nani membiarkan saja. Wisnu sudah kelewat dewasa untuk dinasehati seperti itu walaupun oleh ibu kandungnya sendiri. Farhan nampaknya rukun berumah tangga dengan Desi. Nani hampir tidak pernah mendengar berita apapun yang tidak menyenangkan mengenai rumah tangga anak keduanya. Dia melihat Farhan dan Desi hidup rukun dengan ketiga anak mereka.
Namun kini si bungsu Adilla yang menjadi pikirannya. Dia sudah beberapa kali mendengar gossip Adilla memiliki wanita lain. Nani hapal sifat Adilla. Dia tidak seperti Wisnu. Bahkan Adilla sebelum bertunangan dengan Ninda, hanya pernah pacaran sekali dengan Meisya, teman seklub tenis waktu sekolah. Hubungan mereka tidak lama. Lalu Adilla bersahabat dengan Asmi. Nampaknya dalam persahabatan  itu Adilla menemukan kecocokan dengan Asmi. Asmi bukan hanya sekedar sahabat bagi Adilla. Namun Adilla menemukan hal lain pada Asmi. Waktu juga yang akhirnya menentukan bahwa ternayata Asmi adlah jodoh Adilla. Namun sekarang, disaat perkawinan mereka sudah berjalan lima tahun, mendadak Nani merasa risau mendengar berita Adilla berselingkuh. Kasihan Asmi. Padahal selama lima tahun berumah tanggga, kelihatannya perkawinan Adilla dan Asmi baik-baik saja. Mereka kelihatan saling mencintai dan saling menyayangi. Kenapa sekarang tiba-tiba muncul berita yang tidak menyenangkan ini? Nani merasa perlu meminta penjelasan pada anaknya. Sebelum segalanya terlambat. Nani yakin, Adilla masih anaknya yang dulu, yang baik, yang penurut, yang tak pernah membantah nasehat dan ucapan orangtua. Berkali-kali matanya melihat pada jam dinding. Dia sudah tidak sabar  menunggu Adilla.
Pulang kerja Adilla membelikan buah-buahan untuk  ibunya. Lalu mobilnya meluncur menuju rumah ibunya. Bi Siti, pembantu tua yang telah sekian puluh tahun  lamanya ikut dengan keluarga mereka, bahkan sejak dia masih merangkak, menyambut kedatangannya dengan gembira. Apalagi ketika Adilla memberinya uang, serangkaian doa meluncur dari mulutnya yang keriput.
“Terima kasih, mas Dill. Bibi doakan mas Dill banyak rejeki, banyak anak, dan banyak yang mencintai…….”
“Terima kasih. Wah doanya keren sekali.” Adilla tertawa, lalu bergegas masuk kedalam rumah. Benar saja ibunya sudah menunggunya. Perasaan Adilla langsung tidak enak melihat tatapan  mata ibunya yang serius.
“Ada apa, Mah?”
“Duduk sini dekat mamah.” Ucap Nani.
“Ya.” Adilla duduk disamping ibunya. “Ada apa, mah?”
“Mamah mau bicara langsung saja padamu, Dill. Mamah tidak suka bicara bertele-tele. Apalagi ngedongeng. Begini, mamah sudah beberapa kali mendengar berita tidak sedap mengenai dirimu.” Nani memulai. “Kabarnya engkau memiliki wanita lain. Istilahnya, kau berselingkuh, Apakah semua itu benar?”
Adilla tidak segera menjawab mendengar pertanyaan ibunya.
“Adilla, mamah percaya kepadamu. Kamu anak mamah yang baik. Sejak dulu kamu adalah anak mamah yang baik. Mamah berharap engkau pun bisa menjadi suami dan ayah yang baik. Mamah ingin engkau menjadi suami dan ayah teladan bagi istri dan anak-anakmu. Siapakah wanita itu?”
“Mah,”  ucap Adilla pelan. “Mungkin berita yang sampai pada mamah itu, mungkin benar namun mungkin juga tidak sepenuhnya benar.”
“Jangan bertele-tele, mamah ingin kamu jujur pada mamah.”
“Mah, saya ingin menjelaskannya  terlebih dahulu pada mamah agar mamah tidak salah faham dan tidak menyalahkan saya.”
“Apapun alasanmu, namun  perselingkuhan tetap tidak bisa dibenarkan, Adilla.” tukas ibunya.
“Mah, dengarkan dulu. Saya bertemu Ninda……..”
“Ninda? Ninda yang mana?” Nani mengerutkan keningnya.
“Ninda bekas tunangan saya dulu…..”
“Astagfirullahual’adziem….. jadi kau berselingkuh dengan Ninda, Adilla?”
“Mah, dengarkan dulu. Saya bertemu dengan Ninda di apotik ketika dia sedang membeli obat untuk ayahnya yang sakit. Kami mengobrol. Dari obrolan itu saya mengetahui keadaan Ninda sekarang. Mah, perusahaan oom Yoga sudah bangkrut. Mereka sekarang sudah tidak memiliki apap-apa lagi. Bahkan rumah besar yang mereka miliki sudah terjual. Kini mereka menempati rumah kecil sederhana dipingggiran kota. Rizal, lelaki yang merusak pertunangan saya dengan Ninda, ternyata menipu Ninda. Bahkan pak Hajar, ayah Rizal, yang telah membuat perusahaan ayah Ninda bangkrurt.”
“Adilla, persoalan keluarga Ninda bukan urusanmu. Apa perlunya kamu ikut campur?”
“Mah, aku kasihan melihat keadaan Ninda sekarang.”
“Adilla, mamah sudah tahu perusahaan pak Yoga  bangkrut, mamah sudah lama mendengarnya, namun apa  perlunya engkau   ikut campur dengan urusan keluarga mereka? Kau jangan sok jadi pahlawan, Dill.”
“Mah, oom Yoga sudah  meninggal. Terus terang aku tidak tega melihat penderitaan Ninda……”
“Apa maksudmu, Adilla? dulu engkau memutuskan   pertunanganmu dengan Ninda, namun  sekarang engkau menjalin lagi hubungan dengan Ninda.”
“Ma, Ninda sekarang tidak memiliki apa-apa lagi. Keadaannya sudah bertolak belakang dengan   keadaannya dulu ketika saya dengan Ninda masih bertunangan. Saya kasihan melihat keadaaannya. Saya   kasihan melihat kondisi Ninda yang seperti itu.”
“Tapi kau sudah punya istri, Adilla. Bagaimanapun  kondisi Ninda, betapapun kau merasa  iba dan kasihan kepada Ninda dengan keadaaannya, segalanya  sudah bukan urusanmu lagi. Kamu sudah menikah. Kamu sudah menjadi suami dan memiliki anak. Ingat Adilla, mamah tidak ingin menderngar lagi gossip-gosip kau berselingkuh. Perkawinanmu dengan Asmi  harus kau jaga dengan sebaik-baiknya. Perkawinan  adalah amanah buatmu. Kau harus bisa menjaga amanah itu  dengan sebaik-baiknya.”
“Mah, jujur saja, aku tidak tega melihat keadaa Ninda.”
“Tega atau tidak tega, kau harus menutup mata dari Ninda. Kewajibanmu adalah mengurus rumah tanggamu dengan Asmi.  Bukan mengurus perempuan lain diluar perkawinanmu.”
“Mamah, bila apa yang terjadi pada Ninda menimpa  keluarga kita, mamah pasti bisa merasakan bagaimana perasasan  Ninda sekarang. Dulu Ninda hidup serba berkecukupan, sekarang dia hidup dalam serba kesederhanaan……”
“Adilla, mamah tidak  mau  kamu  bicara panjang lebar, apalagi berdebat dengan mamah. Putuskan hubunganmu dengan Ninda,  dan jangan menemui  Ninda lagi. Kau urus rumah tanggamu sendiri.”
Washyudi  muncul mendengar suara-suara tegang diruangan tengah. Dia melihat anak dan ibu sama tegangnya. Wahyudi duduk dihadapan mereka. Matanya melihat pada istri dan anaknya berganti-ganti.
“Ada apa?” Tanya Wahyudi.
 TIdak   ada yang menyahut. Baik Adilla  maupun ibunya hanya diam saja. Adilla merasa tidak perlu memberikan penjelasan. Dia sendiri terperangkap dalam kebingungannya sendiri. Benar, dia telah bicara serius pada Ninda, namun dia belum siap untuk membicarakan mengenai hal itu  dengan  keluarganya. Apalagi dengan ayah dan ibunya. Baru sekarang Adilla menyadari, betapa berat beban perasaannya menjalani perselingkuhan, walaupun dia memiliki niat yang baik pada Ninda. Bagaimanapun, seandainya dia menikahi Ninda, pasti keluarganya tidak akan menyetujui rencananya. Akan menentang rencana itu habis-habisan. Apapun alasannya. Kasihan. Iba. Cinta. Atau pun sayang. Alasan apapun  tidak akan diterima ayah ibunya. Dia tetap akan disalahkan. Tidak aka nada yang mendukungnya untuk berpoligami. Tidak ada dalam sejarah keluarga mereka yang berpoligami. Bahkan seolah poligami adalah hal yang tabu dalam keluarga mereka. Kini dia seolah menentang arus. Dan dia harus siap menghadapi kecaman dan seribu satu macam ucapan yang akan menyerangnya.
“Ada apa, nih?” Tanya Wahyudi sekali lagi ketika tidak ada yang menjawab.
“Adilla….”  Sahut Nani  sambil melirik anaknya, yang duduk terpekur sambil menunduk,
“Kenapa dengan Adilla?”   Wahyudi  ikut melirik anak bungsunya.
“Soal yang kemarin mamah ceritakan pada papah.” Ucap Nani. Dia melihat Adilla duduk terpekur disampingnya. “Ternyata setelah ditanyakan pada Adilla, gosip itu benar. Adilla benar punya wanita lain. Ninda, pak. Ninda bekas tunannganya dulu. Ternyata cinta lama bersemi kembali.”
Wahyudi tersenyum melihat sikap istrinya yang demikian serius. Sudah dua hari, yang dibicarakan istrinya hanya masalah Adilla. Begitu serius istrinya menanggapi berita perselingkuhan Adilla.
“Lalu, bila benar Adillla punya wanita lain lagi, apalagi seperti yang mama ucapkan barusan, cinta lama bersemi kembali, kenapa jadi mamah yang kelihatan begitu   repot? Dari kemarin mamah mengomel terus,  bicara terus tidak ada habis-habisnya. Seolah-olah  Adilla punya wanita lain beritanya lebih hebat, lebih heboh, lebih menggemparkan dibandingkan dengan berita-berita lainnya di koran-koran, ataupun  berita ditelevisi.”
Nani  agak bersungut mendengar ucapan suaminya.
“Niat mamah baik, pah. Adilla kan sudah punya anak istri. Mamah ingin Adilla menjadi   lelaki yang baik dan bertanggungjawab.” Ucap Nani. 
“Lantas, apa menurut mamah perselingkuhan itu adalah  sebuah kejahatan?”
“Bukan sebuah kejahatan, tapi sebuah perbuatan   yang tidak  terpuji yang dilakukan oleh seorang suami  terhadap istrinya.”
“Lalu apakah Adilla sudah mengakui bahwa dia benar susah berselingkuh?”
“Dia sudah mengakui, benar dia berselingkuh dengan Ninda.
“Mah!” Adilla langsung protes. “Saya tidak pernah bilang saya berselingkuh dengan Ninda.”
“Lho, tadi kamu mengakui, kamu kasihan pada Ninda dengan keadaaannya sekarang…..”
“Memang betul saya  bicara begitu.” Potong Adilla. “Namun saya tidak bilang bahwa saya berselingkuh dengan Ninda.”
“Sudah.” Potong Wahyudi. Dia lalu menatap Adilla serius. “Papah sendiri sudah mendengar gosip kau punya wanita lain, Dill. Papah tidak bisa berkomentar banyak. Kau sudah dewasa. Kau sudah bisa menentukan sikap mana  yang terbaik untukmu. Papah juga pernah muda……”
“Yah, papah juga dulu waktu muda bagaimana….” Sindir istrinya.
“Papah juga pernah  muda, “ Wahyudi mengulangi  ucapannya  sambil melirik istrinya. Nani  terpaksa   diam  menahan mulutnya dilirik seperti  itu oleh suaminya.”Papah memahami bila kau tergoda oleh wanita lain. Namun  yang harus kau ingat, godaan itu jangan sampai  merusak perkawinanmu, Adilla.”
“Papah bicara to the point aja deh, pah.” Ucap istrinya. “Jangan bertele-tele begitu. Katakan  pada Adilla agar dia menjauhi  Ninda atau wanita lain manapun   kalau ingin perkawinannya selamat.” 
“Papah tidak akan bicara begitu pada Adilla, mah.” Sahut Wahyudi. “Adilla sudah dewasa dan kita orangtua sudah tidak pantas lagi terlalu mencampuri urusan pribadi anak-anak kita.”
“Tapi Adilla anak  bungsu kita, pak.”
“Yah, Adilla memang anak bungsu kita. Kita kadang lupa bahwa Adilla sudah dewasa, sudah punya istri dan anak. Kita sering menganggap Adilla   masih anak-anak. Sementara pada Wisnu dan Farhan, kakak-kakak Adilla, dari dulu kita sering menganggap mereka sudah dewasa. Namun sebenarnya Adilla pun sudah dewasa. Dan dia berhak menentukan sikapnya sendiri tanpa kita sebagai orang tua terlalu jauh mencampuri urusan pribadinya.”
“Terima kasih, pak.” Kata  Adilla dengan  perasaan lega.
“Tapi kau juga jangan  menyalahkan  mamahmu, Dill. Mamah  memanggilmu kemari karena mamah menunjukan perasaan sayangnya sebagai seorang ibu kepadamu. Walaupun kau, juga kedua kakakmu Wisnu dan  Farhan sudah dewasa, sudah berumah tangga, namun seorang ibu tetap seorang ibu, yang memiliki kasih sayang dan  perhatian yang tak terbatas pada anak-anaknya.”
“Ya, pah. Saya mengerti.” Ucap Adilla. Dia memeluk ibunya. “Maafkan saya, mah.”
“Yah, mama  hanya mengkhawatirkanmu, Dill.”
“Insya Allah saya bisa mengatasi persoalan-persoalan saya, mah.”
“Mengatasi dan mencari persoalan   adalah dua kalimat yang berbeda, Adilla.” ucap nani seakan   belum puas mengomeli anak bungsungnya. “Mengatasi artinya  persoalan datang sendiri  dan kau  berusaha menyelesaikan persoalan itu. Namun mencari persoalan artinya  kau tidak memiliki persoalan apa-apa, namun kau mencari persoalan itu agar datang menghampirimu. Contohnya, sebenarnya perkawinanmu  dengan Asmi sudah berjalan bagus dan cukup harmonis, namun ketika kau  bertemu Ninda, kau seolah mencari persoalan  dengan menjalin   kembali hubungan dengan Ninda. Hingga akhirnya timbul   persoalan dalam perkawinanmu,”
“Mah, sudahlah. Kita percayakan pada Adilla. Dia sudah dewasa.  Kita tidak perlu mendikte dia.” Tukas Wahyudi, mencegah istrinya banyak bicara lagi.
Adilla pamit pada orangtuanya. Namun dia baru akan masuk kedalam mobilnya ketika sebuah mobil masuk kehalaman rumah orangtuanya. 
“Dill.” Wisnu, kakak sulungnya  memanggilnya, lalu bergegas turun dari dalam mobilnya.
“Mas.”
“Wah, aku kemarin ketawa mendengar gosipmu,  Dill. Kau rupanya sekarang sudah mulai berubah, ya? Bukan lagi anak mami yang baik dan penurut. Kau ada kemajuan, ha…ha…. Kok enggak bilang-bilang aku sih kalau mau begituan, ha..ha…ha…”  Wisnu tertawa berderai. Kelihatan  gembira menggoda adik bungsunya. 
“Apa, mas?” 
Meskipun Adilla sudah menduga kemana arah bicara Wisnu, namun dia pura-pura tidak mengerti.  Wisnu senang bercanda. Namun dia tidak mau dijadikan bahan candaan kakaknya. Jadi walaupun sikapnya santai, dia pasang wajah serius menatap kakaknya.
“Begini, Dill.” Ucap Wisnu. Kali ini lagaknya lebih serius ketika melihat sikap adik bungsunya yang serius. “Kita sama-sama laki-laki. Aku mengerti apa yang kau inginkan dank au butuhkan. Tapi istilahnya, kalau kita ingin makan sate, kita tokh tidak perlu repot-repot membeli kambing, tokh?! Cari gampangnya saja, Dill. Kita tidak perlu repot-repo.  Nah, kau pasti faham apa maksudku, kan?”  Kembali Wisnu tertawa berderai.
Adilla  tersenyum mendengar ucapan kakaknya.
“Aku bukan suami yang tahan harus menyakiti perasaan istri, Dill.” Ujar Wisnu lagi yang membuat Adilla kembali tersenyum. Dia tahu bagaimana perilaku kakaknya dibelakang istrinya.
“Apalagi mbakmu kan kamu tahu sendiri bagaimana pencemburunya dia. Jadi aku tidak mau ambil resiko. Kalau kita ingin makan sate tokh kita kita perlu membeli kambingnya. Lebih repot, Dill.”
“Aku pulang duluan ya, mas.” Adilla tidak ingin pembicaraan semakin jauh, bergegas dia akan pergi.
“Ya, ya. Tapi ingat nasehatku tadi ya, Dill. Kau tidak usah beli kambing kalau hanya sekedar ingin makan sate.” Wisnu melambaikan tangannya pada adiknya sambil ketawa.
Adilla sudah melarikan mobilnya. Sepanjang jalan dia memikirkan ucapan ibunya. Ibunya benar. Ibu  mengkhawatirkan dirinya. Perkawinannya dengan Asmi selama lima tahun ini berjalan  harmonis. Bahkan nyaris tanpa riak-riak  yang berarti yang bisa menggoncangkan perkawinan mereka. Kalaupun ada masalah, hanyalah  riak-riak kecil yang merupakan suatu hal yang wajar terjadi dalam kehidupan perkawinan.
Namun sekarang masalahnya terasa lain setelah dia bertemu dengan Ninda.  Tali yang terentang diantara dirinya dengan Ninda semakin hari terasa semakin kuat. Dia merasa tidak bisa lepas lagi dari Ninda.  Adilla teringat ucapan Wisnu tadi. Adilla  tersenyum. Dia tidak akan bisa seperti kakaknya. Dia tahu selama ini Wisnu memiliki banyak kekasih gelap. Semuanya cantik dan menarik. Semuanya adalah bunga-bunga yang menarik dan menawan hati. Pasti tidak sembarangan Wisnu mengambil perempuan-perempuan yang menjadi kekasihnya. Namun semuanya hanyalah sekedar bunga kertas semata buat kehidupan Wisnu. Bagaimanapun Wisnu tidak akan mengalmbil salah satupun dari mereka untuk dikawininya secara resmi. Bunga-bunga kertas itu hanya sekedar hiasan dalam hidupnya yang bisa dibuangnya kapanpun dia mau. Maya, istrinya bukannya tidak tahu dengan kelakuan Wisnu. Selama ini Maya hanya pura-pura tidak tahu. Maya seolah menutup mata dengan kelakuan suaminya. Sudah berulang kali terjadi keributan antara Maya  dengan perempuan kekasih suaminya.  Entah berapa perempuan yang telah didatangi dan dilabrak Maya karena  ketahuan berselingkuh dengan suaminya. Namun setiap   kali selesai  urusan dengan satu perempuan, akan muncul selingkuhan dengan perempuan lain. Istilahnya, patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh tiga. Akhirnya Maya bosan sendiri. Untuk bercerai otaknya masih jalan. Bersama Wisnu dia menikmati limpahan materi. Status sosial pun tetap terjaga. Sebagai istri seorang pengusaha sukses, dia menikmati statusnya sebagai istri Wisnu Pradana yang dihormati dan dihargai orang. Maya cukup cerdik untuk tidak  meminta cerai pada Wisnu. Dia akhirnya merubah pikirannya. Biarlah Wisnu menjalin selingkuhgan dengan perempuan lain, asalkan tidak ada perkawinan diantara mereka. Buat Wisnu, istri sahnya hanya tetap dirinya. Bagi Maya, kehidupan seperti itu jauh lebih  baik daripada dia dimadu.  Dipoligami tidak ada dalam pikiran Maya. Wisnu senang melihat istrinya mulai mengurangi sifat pencemburunya yang berlebihan. Namun disisi lain dia melihat hal yag berubah pada Maya terhadap dirinya. Sikap Maya selalu manis dan santun. Dia selalu menyediakan semua kebutuhan  suaminya tanpa banyak bicara. Namun disiisi lain Maya sudah tidak pernah lagi bersikap  mesra pada suaminya. Dan Wisnu faham, semua itu bukan salah Maya.
Dia sendiri yang telah menghapus kemesraan-kemesraan yang pernah diberikan istrinya kepadanya. Namun Wisnu tidak mempermasalahkan sikap istrinya. Dia tahu apapun  sudah ada konsekwensinya.
Adilla menghela napas dalam. Tidak, aku tidak akan   bisa  seperti  mas Wisnu. Buat mas Wisnu, perempuan-perempuan selain istrinya adalah bunga-bunga kertas semata yang hanya untuk dijadikan hiasan  semata, lalu dibuang lagi kapanpun dia menghendakinya, lalu mencari bunga kertas lainnya. Sementara aku kepada Ninda tidak menganggapnya sebagai bunga kertas. Aku ingin menjadikan Ninda  bunga sesungguhnya dalam kehidupanku. Aku  ingin menikahi Ninda, menjadikan dirinya sebagai istriku, sebagai pendamping hidupku, sebagai belahan hatiku. Sama seperti aku menjadikan Asmi sebagai belahan jiwaku dalam hidupku. Adilla melajukan kendaraannya semakin kencang. Dia harus segera pulang kerumah. Sudah sering dia pulang terlambat. Walaupun Asmi tidak pernah mempermasalahkannya, namun dia tidak ingin Asmi terus memendam perasaan kecewa dengan perhatiannya yang akhir-akhir ini semakin berkurang. 


--- 0 ---


Pantas selama ini aku   perasaanku seperti berbeda dari biasanya, pikir Asmi. Perasaanku tidak bisa dibohongi. Aku merasakan ada perubahan pada Adilla. Aku kenal suamiku. Aku sudah hapal Adilla. Seharian itu Asmi banyak termenung. Ternyata inilah jawabannya. Adilla memiliki wanita lain. Dan  yang disebut wanita lain itu adalah Ninda. Ninda. Asmi merasa terhenyak. Rasanya tak percaya Ninda akan muncul lagi dalam kehidupan Adilla. Baginya, Ninda adalah wanita dimasa lalu suaminya. Namun masa lalu itu kini datang lagi dengan cerita berbeda.
Asmi merasa terpukul. Dia merasa dikhianati. Suaminya berselingkuh. Adilla mengkhianatinya. Apa yang salah dengan pengabdianku selama ini kepadanya sebagai istrinya? Aku sudah mencurahkan seluruh waktu dan pikiranku untuk menjadi istri yang baik buat suamiku. Aku merasa sudah maksimal berbuat dan berbakti sebagai istrinya.    Namunnternyata sekarang inilah balasannya dari Adilla. pengkhianatan dan perselingkuhannya dengan bekas tunangannya. Adilla, aku sungguh tidak menduga kau akan mengkhianati aku. Aku tidak menduga kau akan tega membagi cintamu kepadaku dengan wanita lain. 
Asmi tidak bisa menahan kesedihannya. Dia mengunci pintu  kamarnya dan menumpahkan airmatanya. Perasaannya terasa sakit dan pedih dikhianati Adilla. Seakan ada sebilah belati tajam yang menorehkan luka yang dalam dihatinya. Luka yang penuh darah.  Cintanya  yang tulus dan suci  yang dipersembahkan untuk suaminya selama  ini sekarang telah ternoda oleh pengkhianatan Adilla. Aku tak mungkin bisa memaafkan Adilla. Kesalahan apapun yang pernah dilakukan Adilla kepadaku, aku akan selalu membukakan pintu maafku untuknya. Namun tidak untuk yang satu ini. Hatiku terlalu sakit dikhianati.
Perasaanku tak bisa berbohong, pikir Asmi. Aku merasakan kesibukan Adilla akhir-akhir ini semakin bertambah. Adilla sering pergi dan pulang malam. Dia juga melihat Adilla sering termenung seakan ada sesuatu hal yang tengah dipikirkannya. Selama ini dia tidak pernah menanyakan apapun juga kepada Adilla karena biasanya Adilla akan bercerita sendiri kepadanya bila ada sesuatu hal yang ingin disampaikannya. Selama berumah tangga, Asmi menilai Adilla cukup jujur kepadanya. Adilla selalu berterus terang dan tak pernah menyembunyikan apapun darinya. Namun sekarang Adilla telah berubah. Ya, Adilla telah berubah. Dia sudah berani menyembunyikan sesuatu darinya. Perselingkuhan itu telah merubah Adilla menjadi bukan Adilla seperti yang dikenalnya selama ini, yang telah lima tahun lamanya menjadi suaminya. 
Adilla, mengapa engkau  tega mengkhianati aku? Dari kesedihan yang dirasakannya, kemudian berubah menjadi kekecewaan dan sakit hati. Lalu kekecewaan dan sakit hati itu berubah menjadi kemarahan yang terasa panas bergolak dalam dadanya.
Namun dia tidak tahu kepada siapa dia harus marah? Kepada siapa dia bisa menumpahkan kemarahannya? Adilla sudah mengakui hubungannya dengan Ninda. Bila dia menunjukan kemarahannya kepada Adilla, suaminya akan semakin menjauh darinya. Bahkan bisa lari darinya.
Tidak, aku tidak boleh mengumbar emosi dan amarahku kepada Adilla. Dia tetap suamiku. Perselingkuhan dan pengkhianatannya menyakiti perasaanku, namun tidak harus membuat pikiranku menjadi buta untuk berpikir jernih. Aku sudah memiliki Anissa dan Fauziah. Mereka tidak boleh menjadi korban emosiku terhadap ayahnya. Aku harus berusaha sabar dan tabah. Aku harus kuat menghadapi semua ini. Pasti ada jalan keluarnya dari persoalan ini. Aku tidak perlu berpikir terlalu jauh. Barangkali Adilla hanya tergoda sesaat setelah bertemu dengan Ninda lagi. Barangkali tidak lama lagi Adilla sudah akan melepaskan Ninda lagi dan mengembalikan  keharmonisan perkawinan mereka kembali. Selalu banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Ya Allah, bantulah aku. Kuatkanlah hatiku. Bukalah jalan yang terang untuk menghadapi persoalanku ini. Ya Allah, hanya kepadaMu aku meminta dan memohon. Kembalikanlah suamiku. Berilah dia kesadaran bahwa aku sungguh mencintainya. Ya, aku sungguh mencintainya. Kuberikan seluruh kehidupanku untuk dirinya. Jangan ambil dia dariku, Ya Allah.
--- 0 ---
Maya menemui Asmi. Asmi sudah merasa, dia sudah menduga, untuk apa Maya dating kepadanya. Meskipun begitu, Asmi menyambut kedatangan kakak iparnya dengan  gembira. Hubungannya dengan Maya, lebih erat dibandingkan dengan Desi, istri Farhan, kakak Adilla yang nomor dua.
Maya melihat kue-kue yang dihidangkan Asmi. “Asmi, kamu benar-benar kreatif. Macam-macam bentuk kue ini. Ini kue apa?” Tanya Maya, mengambil sepotong kue. “Ehm, enak, renyah dan gurih.”
“Membuat kue sudah jadi duniaku.” Canda Asmi.
“Kamu tahu enggak, ada kalimat, cinta suami datangnya dari perut?”
Asmi tertawa, seakan sudah bisa meraba kemana arah pembicaraan Maya. “Ya, aku pernah mendengar kalimat itu, cinta suami datangnya dari perut, tapi kenyataannya tidak cukup dengan membuat perut suami enak untuk mengikat cinta suami.”
“Yah, memang begitu kenyataannya. Dunia ini terlalu beragam. Tak cukup hanya urusan perut yang  bisa membuat cinta suami pada kita.” Maya tertawa, lalu dia menatap Asmi serius. “Asmi, aku tidak ingin mencampuri urusan pribadimu. Namun sebagai kakak, aku saying padamu. Aku tidak ingin engkau mengikuti emosimu.”
“Apa?”
“Aku mendengar dari mas Wisnu, katanya kau ingin bercerai dengan Adilla…….”
“Ya.” Sahut Asmi. “Kupikir memang cerai jalan terbaik. Aku sudah merasa yakin, aku tidak akan sanggup bila  harus dimadu.”
“Asmi, aku kakakmu. Aku tidak bermaksud menasehatimu. Sebagai wanita dewasa, kau berhal menentukan sendiri apa yang menurutmu terbaik untukmu. Kau bisa menentukan dan memilih sendiri apa yang kau inginkan. Namun aku tidak ingin engkau terbawa emosi, tanpa mempertimbangkan lebih jauh.  Bercerai bukan sebuah keputusan yang baik walaupun mungkin cerai bisa membuatmu merasa terlepas dari satu persoalan yang tengah membelitmu, namun kemudian akan menimbulkan persoalan-persoalan lain setelah perceraian itu. Kau lihat aku, apakah kau kita selama perkawinanku dengan mas Wisnu aku tidak pernah merasakan sakit hati, cemburu, panas hati dan perasaan-perasaan  semacam itu yang sering ada pada hati istri manapun ketika mengetahui suaminya berselingkuh dengan wanita lain? Mas Wisnu jauh lebih banyak memiliki kekasih dibandingkan dengan Adilla. Namun semala ini aku tidak pernah memintai cerai kepada mas Wisnu. Seingatku, tak pernah terucap dari mulutku meminta cerai pada suamiku.”
“Karena mbak Maya kuat dan tahan. Aku tidak.” Sahut Asmi.
“Bukan masalah kuat dan tahan, namun perceraian selalu memiliki konsekwensi yang lebih besar lagi. Aku tidak siap menjadi seorang janda. Aku melihat, status janda jauh lebih  berat. Aku berpikir, biarlah suamiku memiliki perempuan  lain diluar perkawinan, asalkan perempuan itu  tidak menjadi istri resmi suamiku.”
“Mbak, berarti mbak lebih suka suami berzinah? Aku tidak bisa sefaham dengan mbak dalam hal ini. Justru zinah yang aku takutkan dilakukan Adilla pada perempuan lain.”
“Asmi, kau tak usah picik. Soal zinah, itu tanggung jawab suami kita. Bukan urusan kita. Suami kita tahu hukum  agama, pastinya dia tahu bahwa berzinah adalah dosa.”
“Tapi kita juga ikut terbawa dosa bila kita tidak mengingatkan suami kita dengan  perbuatannya.”
“Asmi, kalau suami kita berselingkuh, tidak ada kewajiban suami kita bertindak sebagai suami pada perempuan simpanannya. Tapi bila suami kita mengawini perempuan itu secara resmi, dia memiliki kewajiban seperti yang dilakukannya  pada kita. Jelas ada dampaknya yang besar pada kita.”
“Aku tidak bisa sefaham dengan mbak. Aku tidak mau Adilla berzinah.”
“Ya, kau tidak mau Adilla berzinah, kau mengijinkan Adilla menikah lagi, tapi pada saat yang sama kau ingin bercerai dengan Adilla, begitu? Bila kau mengijinkan Adilla menikah lagi, berarti kau harus ikhlas dan jangan meminta cerai pada suamimu.”
“Aku menginjinkan Adilla menikah lagi untuk menjaga agamanya. Adilla mencintai Ninda dan Ninda pun mencintai Adilla. Mereka bukan remaja lagi yang bisa dicegah untuk  tidak berbuat sesuatu yang terlarang. Mereka punya tujuan hidup yang sama, ingin membentuk rumah tangga bersama. Aku tidak bisa berbuat banyak. Aku tidak ingin karena keegoisanku, membuat agama Adilla jadi rusak.”
“Asmi, mungkin kau benar dengan pemikiranmu itu, namun apakah dengan niatmu ingin bercerai  tidak membuat masalah menjadi semakin rumit? Bagaimana dengan Anissa dan Fauziah? Bila engkau bercerai dengan Adilla, kedua anakmu masih membutuhkan kasih sayang ayahnya, mereka masih  membutuhkan kasih sayang yang lengkap dari kedua  orangtuanya. Pikirkanlah sekali lagi keputusanmu itu.”
Maya menatap Asmi. “Asmi, dimataku Adilla malah sosok lelaki yang baik dan tidak suka gonta-ganti perempuan. Aku tahu Adilla begitu sejak dulu. Apa yang terjadi sekarang aku rasa hanyalah sebuah kekecualian. Dalam hidup, banyak hal tidak terduga. Dan aku yakin, Adilla semula tidak bermaksud menyakitimu atau mengkhianati perkawinan kalian. Ada pertimbangan lain yang membuat Adilla begitu.”
 “Asmi, kita tidak bisa egois memiliki suami kita seutuhnya. Semakin kuat keinginan kita  untuk membelenggu suami kita, akan semakin kuat suami kita berontak untuk melepaskan dirinya dari belenggu kita.”
Ketika Maya telah pulang, Asmi hanya menangis. Maya punya pandangan berbeda dengan dirinya. Dia tidak akan bisa seperti Maya, membiarkan suaminya berselingkuh dan menutup mata dengan perbuatan suaminya. Namun cara seperti dirinya, mengijinkan Adilla menikah lagi dan pada saat yang sama dia menuntut cerai, barangkali pula bukan cara yang tepat.
Asmi pergi ke tokonya. Kesibukan ditoko kue membuat Asmi bisa melupakan kesedihannya. Dia menjalani hari-hari rutinnya. Toko roti dan kuenya semakin banyak pelanggannnya. Tak henti Asmi mensyukuri rejeki yang diberikanNya kepadanya.
Pulang kerumah, dia kembali disibukan dengan kesibukan yang membahagiakan. Fauziah tumbuh sehat dan montok. Namun tiap kali Adilla pulang kerumah, selalu saja ada api cemburu yang terasa membakar perasaannya.
Ya Allah, kenapa aku tidak bisa memadamkan api cemburu dalam hatiku? Kenapa aku tidak bisa ikhlas menerima keadaan ini? Aku bersujur kepadaMu. Kumohonkan ampunan kepadamu, namun kenapa selalu saja hatiku panas terbakar api cemburu? Aku tidak kuat menanggung beban ini? Hanya kedua anakku yang membuatku mampu bertahan. Ya Allah, kuatkanlah hatiku. Berilah aku ketentraman perasaan. Berilah aku keikhlasan dalam menerima suamiku sebagai jodoh yang telah Engkau berikan kepadaku, untuk menemani langkah-langkah hidupku, didunia dan diakhirat kelak.

--- 0 ---

Asmi masuk kehalaman rumah bercat hijau yang kecil dan sederhana itu. Kesibukan terlihat pada garasi rumah yang dijadikan tempat kerja. Tiga orang  perempuan   sibuk bekerja, menjahit,  membordir dan memasang hiasan pada sarung-sarung bantal. Pada sudut ruangan sarung bantal menumpuk pada sebuah meja besar.
Seorang  perempuan yang  tengah  duduk sambil mencatat menoleh ketika melihat kedatangan Asmi. Matanya terpaku menatap Asmi. Perempuan itu mendadak berdiri, meninggalkan pekerjaannya dan  menyongsong kedatangan Asmi.
“Mbak Asmi……”
Dia masih mengenaliku, pikir Asmi. Sesaat dia ragu, apa yang harus diucapkannya. Serangkaian kalimat yang sudah dipersiapkannya sejak kemarin mendadak menghilang. Dia tidak bisa mengingatnya lagi. Walaupun kelihatan terkejut melihat kedatangan Asmi, namun Ninda kelihatan berusaha bersikap wajar. Senyumannya ramah dan bersahabat.  Sambutannya  hangat dan tidak kaku. Dia pasti bersandiwara melihat kedatanganku, pikir Asmi.
Asmi menatap Ninda. Dalam benaknya masih terbayang Ninda yang cantik dan segar berseri. Namun yang kini berdiri dihadapannya  bukan Ninda yang dulu.  Kini wajah itu seperti kehilangan cahaya yang dulu menyinari wajahnya. Walaupun kecantikan itu masih  membayang pada raut wajahnya. Yang paling berubah dari Ninda adalah tatapan matanya  yang kini bersinar lembut.
Beberapa waktu lamanya Asmi hanya diam terpaku. Pantas bila Adilla sering mengatakan kasihan pada Ninda. Kini dia sendiri pun tidak mengingkari, hati kecilnya merasa iba kepada gadis yang pernah dikenalnya lima tahun lalu. Hidup memang sulit diduga.  Pasti sulit buat Ninda menghadapi kenyataan pahit yang menimpa keluarganya.  Namun gadis itu nampak tabah dan tegar. Dia bahkan  nampak lebih dewasa, lebih tenang, lebih lembut. Sungguh jauh berbeda dengan Ninda yang dikenalnya dulu.
 “Mbak Asmi, silahkan masuk.” Suara Ninda halus dan lembut.
“Ninda, aku ingin bicara denganmu.” Ucap Asmi dengan suara datar.
Ninda membalas tatapan  Asmi yang menatapnya serius.
“Mari diruangan depan, mbak.” Ajak Ninda. Dia melangkah keruangan depan rumahnya. Asmi  membereskan beberapa bungkusan sarung bantal yang dibungkus  plastik  dan meletakannya dilantai.
“Terima kasih.” Asmi mengikutinya.
Mereka duduk berhadapan. Ninda memanggil Ayuning memintanya  mengambilkan minuman. Tak lama  Ayuning kembali dengan dua cangkir minuman.
Asmi menatap Ninda  seksama.
“Mbak Asmi, apa kabarnya?”
“Alhamdulillah, baik. Bagaimana pula kabarmu?” Tanya Asmi datar.
“Seperti yang mbak lihat, inilah keadaan saya sekarang ini.” Sahut Ninda. “Maaf, terus terang saya terkejut dengan kedatangan mbak Asmi kemari, barangkali mbak Asmi ada perlu kepada saya?” 
“Kurasa kau sudah faham, mengapa aku kemari.” Ucap Asmi perlahan. “Apa benar Adilla sering datang kemari menemuimu?”
Ninda tidak segera menjawab pertanyaan Asmi. Dia menatap Asmi, lalu menunduk. Perlahan kepala itu menggangguk. Asmi menghela napas dalam. Dia tidak tahu bagaimana dengan perasaannya. Mungkin dia senang Ninda jujur kepadanya. Namun disisi lain, kejujuran Ninda membuat hatinya sakit. Istri mana yang tidak sakit hatinya bila mengetahui kebenaran bahwa suaminya sering mengunjungi wanita lain. 
“Ninda, terus teranglah kepadaku, ada hubungan apa antara kau dan Mas Dill? Aku sudah sering mendengar dari orang lain Mas Dill  sering datang kemari.”
Ninda menatap Asmi  bimbang.  “Memang mas Dill suka datang kemari…..” ucapnya pelan.
“Ada hubungan apa antara kau dan mas Dill?”
“Tidak ada hubungan apa-apa……”
“Ninda, jangan bohong kepadaku. Aku datang kemari untuk menyelesaikan masalah. Masalah antara kau, aku dan suamiku.”
Ninda kembali menunduk.
“Kau tidak perlu berbohong kepadaku, Ninda. Katakanlah terus terang kepadaku, kau masih mencintai mas Dill, kan?”
Ninda  menunduk. Asmi menunggu. Tak lama kepala itu mengangguk. Hati Asmi terasa semakin pedih. Jadi benar, Adilla dan Ninda masih saling mencintai.  Rentang waktu sekian tahun yang telah memutuskan hubungan mereka, ternyata perasaan diantara mereka  masih ada.
“Maafkan aku, mbak Asmi. Aku  sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Aku  mencintai Mas Dill, aku  membutuhkan mas Dill dalam hidupku, untuk tempat aku  berlindung dan bersandar……”
“Aku sudah mendengar berita tentang dirimu dengan mas Dill. Aku tidak menduga, wanita yang ramai dibicarakan orang berhubungan dengan mas Dill ternyata adalah engkau.”
Ninda hanya menatap Asmi. Lalu sesaat kemudian mulutnya berucap lirih, tersendat menahan tangisnya.  “Maafkan aku, mbak. Maafkan aku, mbak Asmi. Aku  tahu, aku  salah. Tidak sepantasnya aku  mencintai suami orang. Namun aku  tidak bisa menahan semua ini….maafkan aku….maafkan aku..…..”
Asmi menatap airmata yang mengalir pada pipi Ninda. Gadis itu sekarang sudah dewasa. Dia bukan lagi wanita muda yang dikenalnya lima tahun lalu.  Ninda sudah banyak berubah. Barangkali kepahitan hidup yang menempa kedewasaannya.
“Dapatkah engkau merasakan, bagaimana perasaanku ketika mendengar suamiku berselingkuh dengan wanita lain?” Tanya Asmi dengan suara datar, berusaha menahan emosinya. “Dapatkah engkau merasakan bagaimana sakitnya hatiku ketika aku mendengar dari orang lain bahwa suamiku mengkhianati perkawinan kami?”
Ninda hanya menunduk. Airmatanya semakin deras membasahi pipinya. “Maafkan aku, mbak Asmi. Aku sadar sepenuhnya  telah menyakiti perasaan mbak…..”
“Ninda, kita sama-sama wanita. Engkau pasti bisa memahami perasaanku. Jauhilah Adilla. kau bisa mencari lelaki lain. Lelaki yang lebih baik dari Adilla. Lelaki yang belum terikat  hubungan apapun dengan wanita lain.”
Ninda mengangkat wajahnya. “Ya, mbak. Aku faham itu. Aku tidak pernah terpikir akan bertemu kembali dengan mas Dill. Mas Dill sudah kuanggap sebagai lelaki dimasa laluku. Pertemuan kami terjadi tanpa sengaja. Aku tidak berniat mengganggu perkawinan mas Dill dengan mbak Asmi. Aku tahu mas Dill telah memiliki istri. Aku tahu tidak mungkin mengharapkan mas Dill lagi. Aku tahu semua itu. tapi aku tidak bisa mencegah mas Dill untuk datang kemari…….”
“Ninda, kamu bisa menolak mas Dill. Kamu bisa menghindari mas Dill agar tidak ada lagi hubungan antara engkau dan mas Dill kalau kau memiliki niat untuk melakukan itu….”
Ninda menatap Asmi dengan tatapan sayu. “Mbak, maafkan aku. Aku tidak bisa melakukan itu kepada mas Dill. Aku membutuhkan mas Dill…..’
“Kau bukan membutuhkan mas Dill, Ninda. Tapi kau masih mencintai mas Dill.”
“Salahkah aku bila aku masih mencintai mas Dill, mbak? Dulu mas Dill memutuskan pertunangan kami ketika aku masih mencintainya. Bahkan aku tidak mengerti, mengapa mas Dill tega memutuskan   pertunangan kami. Padahal  mas Dill  tahu aku sangat mencintainya. Apa yang salah denganku? Aku tulus mencintai mas Dill dan penuh harap mas Dill akan menjadi suamiku. Namun kenyataan berbicara lain. Mas Dill pergi dariku dan menikah dengan wanita lain.”
Asmi terpaku mendengar ucapan Ninda. Sesaat perasaannya  tersentuh mendengar setiap kata yang diucapkan Ninda. Seakan membuka kembali lembaran masa lalu mereka. Seakan Ninda ingin mengatakan kepadanya bahwa dulu Adilla adalah miliknya. Dirinyalah yang telah merebut Adilla dari tangan gadis itu. Asmi terdiam sesaat.
“Mbak……” ucap Ninda lirih. “Hidup sulit diduga. Aku terima takdirku. Aku kehilangan tunangan yang sangat aku cintai dengan sepenuh hati. Lalu aku kehilangan kehidupan serba manis dan serba mudah dalam waktu sekejap, dan melemparkan aku dalam kehidupan yang pahit dan susah. Mbak melihat sendiri bagaimana kehidupanku sekarang. Jauh berbeda dengan  kehidupanku dulu. Semua ini adalah takdir Allah sekaligus ujian dan cobaan dari Allah kepadaku. Kini Allah mempertemukan aku kembali dengan mas Dill. Tidak ada niat dalam hatiku untuk merebut mas Dill dari mbak Asmi. Namun apa yang harus aku lakukan bila mas Dill menghampiri aku lagi…….” Ninda terisak pelan. “Mungkin awal mulanya mas Dill hanya sekedar kasihan, sekedar iba kepadaku. Hanya Allah yang tahu, bagaimana  sesungguhnya perasaan mas Dill kepadaku. Aku hanyalah seorang wanita. Kehidupanku tidaklah seperti dulu. Dalam keadaanku sekarang yang seperti ini, salahkah aku bila aku tidak menolak uluran tangan mas Dill? Salahkah aku bila aku melihat kehadiran mas Dill sebagai sebuah pertolongan buatku? Salahkah   aku bila melihat mas Dill dari sudut pandang  perasaanku sebagai seorang perempuan? Salahkah  bila aku seolah diberi harapan bahwa mas Dill masih menyayangi aku, masih memperhatikan aku, walaupun mas Dill sudah memiliki istri. Mbak, tolong jawablah pertanyaan-pertanyaanku ini agar aku mengerti….”
Asmi terdiam. Dari mana dia akan memulai menjawab pertanyaan-pertanyaan Ninda. Dari mana  dia harus memulai memberi  penjelasan pada gadis itu yang kini begitu kelihatan  lemah dan tak berdaya. Betapapun besarnya rasa cemburu yang membakar perasaannya, namun dia  merasa tidak tega harus menumpahkan emosi dan amarahnya pada gadis itu walaupun perasaannya terasa panas bergolak dilanda rasa cemburu. Dia tidak melihat kepura-puraan dari sikap dan ucapan-ucapan Ninda. Gadis itu seperti berbicara tulus dan sejujurnya. Begitu terus terang mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya.
“Mbak Asmi, maafkanlah aku…..maafkanlah aku….. maafkanlah atas semua kesalahan-kesalahanku. Aku tahu, aku bersalah, tidak seharusnya hal ini terjadi lagi antara aku dan mas Dill…….”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan.” Ucap Asmi lirih, berusaha menahan tangisnya.
Kini dia terperangkap dalam kebingungannya sendiri. Dia terperangkap dalam kemelut yang sudah sejak sekian tahun silam ada membelit mereka bertiga. Dia teringat  kejadian sekian tahun silam. Persahabatannya dengan Adilla. Lalu  muncul Ninda  dengan  pertunangannya yang singkat dengan Adilla. Kemudian    perkawinannya dengan Adilla. Semua itu masih terekam jelas dalam benaknya. Dan kini seolah diputar kembali untuk mengingatkannya bahwa sekian tahun silam, ada cinta antara Adilla dan Ninda. Bukan salah mereka apabila sekarang perasaan cinta diantara mereka masih ada, bertaut   kembali dalam pertemuan mereka setelah terpisah sekian tahun lamanya. Ya Allah, mengapa aku harus terlibat kembali dengan orang yang sama? Mengapa cerita dimasa lalu harus terulang lagi sekarang?
Beberapa saat lamanya Asmi hanya termenung. Galau oleh perasaannya sendiri.
“Ninda, jadi engkau masih mencintai mas Dill?”   Dia merasa perlu menanyakan sekali lagi hal itu. Hanya atas nama cinta sering orang tidak memikirkan perasaan orang lain.
Ninda tidak segera menjawab. Dia menatap Asmi. Mendadak Ninda menunduk. “Mbak Asmi, dalam hidupku aku hanya pernah mencintai dua lelaki, Fahrul dan mas Dill. Fahrul sudah lebih dulu diambil oleh yang kuasa, tinggal mas Dill yang masih ada.”
Asmi menghela napas dalam. Yah, Ninda masih mencintai Adilla. “Ninda, bila engkau mencintai mas Dill, aku tidak  isa mencegah perasaan yang ada dalam hatimu. Kau memiliki hak untuk masih mencintai mas Dill, walaupun kau tahu mas Dill sudah bukan lagi mas Dill yang kau kenal ketika kalian masih bertunangan. Mas Dill sudah menikah denganku sejak lima tahun silam. Kami sudah memiliki seorang puteri. Seharusnya engkau mau mengerti, mas Dill sudah memiliki keluarga dan kau tak mungkin untuk memilikinya lagi. Tak mungkin. Kalau kau mau membuka mata dan melihat kenyataan ini.”
Bibir Asmi bergetar. Dia ingin bicara banyak. Dia ingin Ninda mengerti. Betapa orang selalu mengatasnamakan cinta, namun haruskah cinta berpijak diatas penderitaan wanita lain? Ninda wanita dewasa. Dia pasti faham, dimana cintanya mesti berlabuh. Bukan pada lelaki yang sudah memiliki istri. Namun dunia seolah mendadak menjadi sempit manakala hati hanya bersikukuh tak ingin  berpaling dari sebuah hati yang sudah terlanjur dimana cinta itu dipertautkan.
“Ninda, aku sudah bicara dengan mas Dill mengenai hal ini……..” kali ini Asmi tak kuasa menahan  tangisnya. Airmatanya jatuh mengalir membasahi pipnya. “Mas Dill sudah jujur kepadaku, diapun….diapun mencintaimu……..”
Ninda memejamkan matanya. Ya Allah, terima kasih atas kejujuran mas Dill pada mbak Asmi. Betapa berharganya kejujuran lelaki itu buatku. Betapa berartinya pengakuan lelaki itu buatku.
“Aku tidak bisa apa-apa, Ninda. Aku tidak bisa mencegah ataupun memutuskan pertautan batin antara kau dan mas Dill. Semula aku mengira bahwa apa yang tengah terjadi dalam perkawinanku ini adalah sekedar ujian dan godaan semata yang biasa teradi dalam sebuah perkawinan. Namun mas Dill tidak menganggap ini sebagai godaan. Mas Dill serius mencintaimu dan ingin menikahimu…….” Asmi terisak. Hatinya pedih seakan tercabik ketika dia terpaksa harus mengucapkan semua itu.
Kembali Ninda memejamkan matanya sesaat. Dia ingin menangis ketika melihat wanita yang duduk dihadapannya ini  menangis. Dia dapat merasakan kepedihan wanta itu. Namun disisi lain, dia tidak bisa membunuh egonya. Dia ingin memiliki Adilla, walaupun dia tahu Adilla sudah memiliki istri. Cinta yang membuatnya begitu egois ingin memiliki lelaki itu. Hanya atas nama cinta dia ingin memiliki lelaki itu.
“Ninda, berat buatku untuk berbagi cinta dengan wanita lain.”  ucap Asmi, berusaha menahan perasaannya, berusaha agar tangisnya tidak meledak. “Namun aku melihat, kau dan mas Dill saling mencintai. Aku tidak tahu bagaimana caranya aku memisahkan kalian berdua. Kau dan mas Dill adalah dua manusia dewasa yang saling mencintai. Aku sudah memilih bercerai, namun mas Dill tidak mau menceraikan aku. Aku tidak mau dimadu, Ninda. Namun mas Dill tidak memberiku banyak pilihan, aku akhirnya harus ikhlas mas Dill menikah denganmu.…..”
“Maafkan saya bila saya melukai mbak Asmi…..”
Asmi  menggeleng.  “Tidak ada yang perlu dimaafkan dari kejadian ini, Ninda.” Asmi menghela napas dalam. Ditatapnya wajah Ninda yang pucat.  “Ninda, mungkin sekarang kita seri. Dulu aku menikah dengan mas Dill, kau terpaksa melepaskan mas Dill untukku. Sekarang aku terpaksa harus mengikhlaskan mas Dill menikah denganmu. Jadi kita seri. Tidak ada lagi yang harus kita perdebatkan karena kehidupan kita sudah terlibat sejak sekian tahun lalu.”
Sepulang dari rumah Ninda, Asmi terpaku didepan jendela kamarnya, menatap keluar dengan pikiran kacau tak menentu. Dia terombang-ambing dalam kebimbangan perasaannya. Tidak aka nada wanita manapun yang mau dimadu, tidak ada istri manapun yang mau berbagi cinta dengan wanita manapun.  Naluriah seorang istri adalah memiliki cinta suaminya seutuhnya. Hanya untuk dirinya. Tidak ada ruang kosong dalam hati suaminya untuk diisi oleh wanita lain. Oleh wanita manapun juga.
Asmi teringat pada Wisnu. Ya, Adilla berbeda dengan Wisnu. Wisnu memiliki banyak kekasih gelap namun tidak ada satupun yang dinikahi Wisnu. Wisnu hanya menjadikan kekasih-kekasih gelapnya sebagai gula-gila semata untuk pemanis hidupnya. Namun Adilla tidak. Dia percaya pada suaminya. Sepanjang perkawinan mereka dia yakin Adilla tidak pernah mengkhianati kepercayaannya. Adilla tidak pernah mengkhianati cintanya. Adilla tidak akan seperti Wisnu yang memiliki banyak kekasih gelap yang hanya dijadikan boneka mainan untuk sementara wajtu lalu akan dibuang begitu saja bila boneka itu sudah tidak menarik lagi.
Adilla tidak akan berani seperti Wisnu melakukan hal-hal seperti itu walaupun akhirnya hanya Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat setiap perbuatan manusia.  Namun Asmi tetap percaya pada suaminya. Kini Adilla telah jujur kepadanya dirinya mencintai Ninda. Dia seharusnya menghargai kejujuran Adilla walaupun kejujuran dan dibohongi sama menyakitkan perasaan. Namun Adilla jauh lebih baik daripada Wisnu. Adilla lebih baik memilih menikahi wanita itu daripada berzinah seperti yang dilakukan Wisnu.
Asmi menjatuhkan tubuhnya diatas tempat  tidur. Airmatanya tumpah. Ya Allah, berilah aku kekuatan  untuk menghadapi semua ini. Berilah aku ketabahan dan kesabaran walaupun perasaanku panas dibakar rasa cemburu dan hatiku sakit suamiku mencintai wanita lain. Tenangkalah hatiku, ya Allah. Buatlah sebuah rumah  dalam hatiku dimana didalam rumah itu ada sebuah lampu yang menerangi setiap orang yang masuk kedalamnya. Ada kesejukan dan kasih sayang, hingga aku bisa menepiskan rasa benciku pada siapapun walaupun aku ingin membencinya. Buatlah jiwaku tetap tenang dan ikhlas walaupun ujian dan cobaan tengah menggoyahkan kesabaranku.
Asmi menghapus airmatanya. Dia mendengar bunyi adzan shalat ashar. Dia segera berwudhu. Shalat membuat dukanya terasa memudar. Dia merasa Allah memperhatikannya dan menghapus airmatanya.
Usai shalat Asmi masih terduduk diatas sajadahnya dengan mukena membalut tubuhnya.  Ya Allah, betapa  banyaknya kebahagiaan dan nikmat  yang telah Engkau berikan kepadaku. Betapa banyaknya rakhmat dan karunia yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Ujian yang tenag menimpaku ini janganlah menjadikan aku tidak bersyukur kepada-Mu, ya Allah. Buatlah hatiku senantiasa mengingat nikmat dan karunia-Mu.
Pikirannya melayang pada Ninda. Seharusnya dia merasa puas dengan keadaan Ninda sekarang. Namun disisi lain hati kecilnya terasa berontak, agar dia tidak mengumbar egonya. Hati kecilnya seakan berusaha menyentuh perasaannya bahwa wanita itu  memang patut dikasihani. Bila memang benar Adilla akan memperistri  Ninda,  dia tidak boleh egois walaupun pernikahan Adilla sudah pasti  akan menyakiti  perasaannya.
Asmi menunggu Adilla pulang. Dia menyambut kedatangan Adilla seperti biasa. Disembunyikannya sembab matanya dengan polesan bedak dan riasan mata.
“Dill, aku tadi kerumah Ninda.” Asmi duduk disamping Adilla, menemani suaminya yang baru selesai makan malam. Dikupasnya sebuah jeruk untuk Adilla.
Adilla diam, menunggu Asmi melanjutkan kata-katanya.
“Aku bertemu Ninda.” Kata Asmi lagi. Matanya lekat menatap wajah suaminya.   “Aku harap engkau tidak marah. Aku perlu bertemu dan bicara dengan Ninda.  Aku tidak mau hanya mendengar dari orang lain ataupun mendengar darimu saja. Bagiku semuanya harus jelas……”
“Lalu?
“Ya, aku sudah bicara dengan Ninda.” Ucap Asmi. “Aku sudah berbicara dengan Ninda. Dia jujur mengakui bahwa dia mencintaimu. Yah…..dia masih mencintaimu, Dill. Ninda  bicara jujur kepadaku, dia masih mencintaimu…..”
Asmi terisak. “Dill, aku merasa sakit dengan kenyataan ini. Aku sebagai istrimu merasa dikhianati. Namun aku tidak bisa marah. Aku tidak bisa menumpahkan emosiku dengan kenyataan ini……..”
Asmi menatap suaminya dengan mata berlinang airmata. “Dil, bila kau memang ingin menikahi Ninda, lakukanlah. Pertemuanmu dengan Ninda mungkin atas kehendak yang kuasa. Aku tidak bisa bicara banyak. Hubunganmu dengan Ninda jangan sampai menimbulkan fitnah karena bagaimanapun kau dan Ninda adalah dua manusia dewasa, seorang lelaki dengan seorang wanita  dewasa.”
Adilla menatap istrinya. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Dia tahu Asmi marah. Namun dia tidak menduga bila secepat itu Asmi akan memberikan jawaban atas kegalauan perasaannya selama beberapa waktu ini.
“Kau tidak perlu bertanya tentang keikhlasanku,  Dill.” Kata Asmi lagi. “Tidak akan pernah ada seorang istri yang mau mengikhlaskan suaminya menikah lagi. Begitu juga aku. Dengan dasar alasan apapun, sulit bagi seorang istri merelakan suaminya menikah lagi. Tapi aku akan relakan kau menikah lagi, bila memang kau benar mencintai Ninda. Aku tahu, Ninda sangat mencintaimu. Dia hanya mengenal dua lelaki yang pernah dicintainya dalam hidupnya. Fahrul dan dirimu. Aku tidak tega melihatnya. Bukan hanya melihat keadaannya sekarang yang jauh berbeda dengan keadaannya dulu. Tapi juga tidak tega melihat perasaannya. Buat Ninda sulit untuk mencintai lelaki lain. Dia tidak memiliki ruangan kosong yang banyak dalam hatinya untuk mencintai banyak lelaki dalam hidupnya. Ketika dia mencintai, hanya kesungguhan yang ada dalam hatinya. Dan kesungguhan cinta itu hanya ditemui pada Fahrul dan dirimu. Ninda memiliki cinta seperti sebening embun. Embun itu tidak menetes pada setiap tempat. Embun itu hanya menetes pada tempat yang dikehendakinya. Bila fahrul masih ada, barangkali Ninda akan berlari kedalam pelukan Fahrul. Namun Fahrul sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya dirimu, Dill. Aku……aku” Asmi tersendat menahan tangis.
“Aku…..aku hanya kasihan dan merasa tidak tega melihatnya, Dill. Aku tidak tega. Mungkin  benar cintanya kepadamu adalah cinta yang tulus dan suci, cinta yang mungkin aku sendiri tidak memilikinya untukmu…… Aku tidak ega merenggut cinta Ninda kepadamu. Aku  tidak merasa memiliki kekuatan untuk mematahkan perasaan yang ada pada Ninda kepadamu.”
Adilla diam saja.
“Dill, kau yang menentukan kapan kau akan menikahi Ninda. Aku tidak bisa ikut campur dalam hal ini. Namun bila perkawinan itu memang harus terjadi, jagalah cinta itu dengan sebaik-baiknya…….”
Asmi  membalikan tubuhnya, membelakangi suaminya.
Adilla masih saja diam. Dia tidur terlentang sambil menatap langit kamar.

--- 0 ---


Asmi sudah menduga untuk apa Ninda datang menemuinya. Kedatangan Ninda disambutnya dengan perasaan dingin.
“Mbak Asmi, saya akan menikah dengan mas Dill….”
Asmi menatap gadis itu. Hatinya terasa cemburu melihat rona memerah pada wajah gadis itu.  Ninda kelihatan cantik mengenakan rok panjang warna hijau tua dengan blouse tangan panjang warna putih berenda didadanya. Rambutnya diikat menjadi satu dibelakang.
“Ya, aku sudah tahu…..”
“Saya ingin meminta maaf kepada mbak apabila….”
“Kau tidak perlu meminta maaf, Ninda. Aku dan mas Dill sudah membiarakan hal ini berdua. Mas Dill mencintaimu dan kau pun mencintai Adilla.”
“Maafkan aku….”
“Cinta adalah perasaan, Ninda. Aku tidak bisa mencegah agar cinta  yang ada padamu dan yang ada pada mas Dill bisa pupus dan padam. Kau dan mas Dill memiliki hak untuk saling mencintai, walaupun mungkin…..walaupun mungkin seharusnya cinta itu sudah tidak harus ada lagi diantara kalian karena sudah ada aku. Namun aku tidak bisa egois. Cinta ternyata tidak bisa egois untuk memiliki seutuhnya, Ninda.  Baru sekarang hal ini aku sadari ketika mas Dill bertemu kembali denganmu dan ternyata mas Dill dan dirimu masih memiliki perasaan yang dulu pernah ada diantara kalian. Kau dan mas Dill yidak salah karena cinta itu pernah ada dalam hati kalian sekian tahun lalu. Aku mencoba instopeksi diri. Berulang kali aku merenungkan apa yang kini terjadi antara engkau dan mas Dill. Aku tidak ingin menyalahkan  siapapun juga. Aku tidak ingin menyalahkan engkau ataupun menyalahkan mas Dill.”
“Mbak Asmi, saya meminta keikhlasan dan ijin dari mbak dengan pernikahan ini…..”
Asmi diam sesaat. Dia menahan airmatanya agar tidak keluar menjadi tangisan. “Ninda, kau tak perlu lagi meminta keikhlasanku. Adilla sudah memintanya dariku….”
“Aku yang kini datang meminta keikhlasan dari mbak, dengan setulus hati aku meminta……..” Ninda menunduk, suaranya terisak, airmatanya mengalir. “Maafkan aku, mbak. Maafkan aku…… betapa egoisnya diriku yang ingin mendapatkan kembali cinta mas Dill. Alangkah egoisnya cinta yang kurasakan pada mas Dill ini, cinta yang hanya ingin sepenuhnya memiliki tanpa ingin aku menoleh pada perasaan seorang wanita lain yang memiliki cinta yang sama besarnya seperti yang kumiliki ini kepada mas Dill…….”
Ninda bangkit dari tempat duduknya dan berlutut didepan Asmi. Dia bersimpuh dalam pangkuan Asmi. Tangisnya pecah. Airmatanya tumpah. Asmi menunduk, menatap kepala yang menelungkup diatas pangkuannya. Keharuan terasa menyesakan perasaannya. Ingin dia membenci Ninda yang telah merebut Adilla. Namun kebencian itu seakan memudar mendengarkan tangisan gadis itu.  Betapa haru perasaannya merasakan ada wanita lain yang demikian besar cintanya kepada suaminya, yang mungkin cintanya lebih besar dari yang dimilikinya kepadanya suaminya.
“Sudahlah, Ninda. Sudahlah. Jangan engkau menangis.”
“Mbak, maafkan aku. Maafkanlah aku……”
“Aku sudah ikhlas mas Dill menikah denganmu……..”
Airmata Asmi jatuh. Dia menunduk. Airmatanya jatuh diatas kepala Ninda yang masih menelungkup diatas pangkuannya.

--- 0 ---


Adilla baru selesai makan ketika Asmi duduk disampingnya. Tangannya memegang tangan Adilla lembut. Matanya menatap dengan pandangan berkaca-kaca. Suaranya tersendat ketika dia berucap lirih.
“Tadi ada Ninda kemari…….”
Adilla menunggu.
“Ninda datang meminta ijin dan keikhlasanku……”
Adilla masih diam.
“Aku ikhlaskan…..”
Adilla menatap Asmi.
“Ya, Dill. Aku ikhlas ketika Ninda tadi datang meminta keikhlasanku. Aku ikhlas engkau menikah dengan Ninda. Mungkin kau benar, Ninda membutuhkanmu. Dia membutuhkan dirimu, bukan sebagai saudara, atau kakak, dia membutuhkan dirimu untuk menjadikan kau sebagai suaminya. Ninda mencintaimu. Dan aku juga tahu kau mencintai Ninda. Apa lagi yang bisa aku lakukan kepada kalian? Hatiku sakit harus berbagi cinta dengan  perempuan lain. Namun aku juga tidak ingin memutuskan cinta kalian. Bila Allah memang  telah menentukan takdirNya  bahwa dirimu dengan Ninda  berjodoh, aku hanyalah manusia biasa yang tidak memiliki daya dan kekuatan untuk mencegah kekuatan dan kekuasaan Allah yang telah menentukan takdir  tiap-tiap manusia. Aku shalat dan aku membaca Al-Qur’an setiap waktu. Namun aku kini menyadari, keimanan yang ingin selalu kutanamkan dalam hatiku tidak mudah untuk diterapkan ketika Allah menguji hatiku dengan kejadian ini……”
Asmi menunduk, menangis dengan perasaan sedih dan hati tersayat.
Adilla memeluk Asmi. “As, maafkan aku….”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Dill. Nikahilah Ninda, jadikan dia bunga dalam hatimu. Bukan bunga kertas yang hanya indah dalam pandangan dan pajangan. Namun bunga yang sesungguhnya dalam hidupmu. Yang bisa memberikan keharuman dalam hidupmu. Keharuman yang alami yang membuatmu merasa bahagia dan mensyukuri cinta sebagai sebuah karunia Allah. Aku tidak ingin mengusik kebahagiaan yang kau rasakan bersama Ninda. Aku juga tidak ingin mengusik kebahagiaan Ninda yang akan menjadi istrimu.”
Mendadak Asmi mengaduh. Dia memegang perutnya. Dia merasakan perutnya mulas. Asmi meringis.
“Asmi….” Adilla memeluk Asmi. “Kenapa?”
“Dill, sepertinya aku akan melahirkan…….”Asmi terengah. “Bawa aku ke dokter….”
Adilla bergegas memanggil Rohmah. Mereka membawa Asmi ke bidan terdekat. Asmi sudah akan melahirkan. Tidak sampai setengah jam kemudian, Asmi melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan sehat. Adilla menamai puteri keduanya Fauziah Safiera. 

--- 0 ---


Dihari pernikahan Adilla dengan Ninda, Asmi hanya mengurung dirinya dikamarnya bersama Fauziah. Usia anak keduanya sekarang sudah empat bulan. Cantik, montok dan lucu. Alangkah bahagianya perasaannya memiliki dua mutiara hati yang menyenangkan perasaannya. Walaupun disisi lain ada kebahagiaan yang harus terbagi dengan wanita lain.
Asmi membayangkan bagaimana perkawinan Adilla dan Ninda dirumah Ninda. Dia membayangkan kebahagiaan diwajah Ninda ketika gadis itu menemuinya. Walaupun gadis itu menangis dalam pangkuannya, namun ketika pulang Ninda tidak menyembunyikan kebahagiaan yang merona pada wajahnya yang cantik.
Ketika sore menjelang, dia tidak bisa lagi menahan perasaannya. Dia pergi kerumah ibu Fatimah, pemimpin majelis taklim, tempatnya basa mengikuti pengajian.
“Bersabarlah.” Ucap ibu Fatimah, pemimping majelis taklim, tempatnya mencurahkan perasaannya selama ini.
“Kau mungkin tidak menyukai perilaku suamimu, namun barangkali dia akan memberikan kebaikan-kebaikan yang banyak buatmu. Perkawinan adalah rakhmat sekaligus ujian. Bila kau sabar menghadapi suamimu, kau akan memperoleh surga.”
“Saya merasa tidak kuat lagi dengan  permaduan ini, saya ingin memilih bercerai saja, bu.”
“Bercerai adalah sesuatu yang dihalalkan namun dibenci oleh Allah. Asmi, ibu memahami perasaanmu. Tidak ada wanita yang mau dimadu. Namun masih banyak yang patut kau syukuri. Bukalah matamu dan hatimu. Lihatlah hidupmu dengan  lapang dada dan penuh rasa syukur. Lihatlah nikmat dan karunia Allah yang telah diberikan dan dititipkan-Nya kepadamu. Semua yang kau dapatkan adalah sumber buatmu untuk selalu mensyukuri nikmat Allah. Allah telah memberikan banyak kepadamu. Allah telah memberimu kecukupan dan kebahagiaan yang tiada ternilai. Bila kemudian kebahagiaan dan limpahan rakhmat-Nya ini membuatmu harus berbagi dengan wanita lain, mengapa harus membuatmu menjadi tidak mau bersyukur pada Allah?”
“Hati saya panas, bu. Adilla sekarang nampak semakin bahagia setelah menikah dengan Ninda. Saya yang mendampingi Adilla sejak masa-masa masih kuliah, masa-masa sulit ketika dia baru lulus kuliah, bekerja diperusahaan ayahnya pun bukan dengan jalan mudah, dia tetap seperti pegawai baru lainnya yang harus melalui tahap demi tahap dalam perusahaan, namun kini setelah kehidupan kami semakin baik, dia berpaling pada wanita lain. Saya benar-benar sakit hati. Apakah Adilla tidak ingat dengan masa-masa sulit kami dulu?”
“Asmi, betapa menjadi istri itu tidak bisa pamrih. Ikhlas, Asmi. Hanya keikhlasan yang akan membuat seorang istri merasakan kebahagiaan dalam mendampingi suaminya. Seperti seorang ibu yang ikhlas melahirkan anaknya walaupun melahirkan itu sakit. Seperti keikhlasan orangtua dalam membesarkan anak-anaknya, walaupun dalam membesarkan anak-anaknya begitu banyak pengorbanan yang harus dilakukan oleh mereka. Namun ketika anak-anaknya sudah bisa hidup mandiri, tak pernah ada orangtua yang  ingin mengingatkan anak-anaknya betapa besar pengorbanan mereka dalam membesarkan anak-anaknya. Hanya anak-anak yang sholeh yang akan mengingat bahwa mereka bisa hidup karena atas jasa orangtua. Demikian juga dengan suami kita, Asmi. Kita  tidak perlu mengingatkan suami kita dengan segala pengorbanan kita.  Biarkanlah suami kita yang menilai dan merasakan sendiri. Mereka juga punya hati nurani dan perasaan.”
Fatimah mengelus bahu Asmi.
“Mengenai kebahagiaan diwajah suamimu setelah pernikahannya dengan Ninda, yang membuat  hatimu merasa panas, seharusnya engkau bersyukur. Biarlah mereka berdua merasakan kebahagiaan itu. Engkau tidak perlu merasa iri dan dengki karena kebahagiaan yang terpancar pada wajah Adilla, juga pernah dirasakan olehmu ketika dia mempersuntingmu. Kebahagiaan yang dirasakan oleh Ninda, juga pernah dirasakan olehmu. Setiap orang berhak merasa bahagia. Dan Ninda tidak bahagia diatas penderitaanmu. Dia sudah mengalami penderitaan jauh lebih hebat dibandingkan dirimu. Kamu bisa merasakan, betapa berat buat Ninda dari seseorang yang hidup serba berkecukupan, lalu Allah mengambil hampir semua hartanya sehingga Ninda mengalami perubahan hidup yang luar biasa. Namun Ninda nampak tegar dan tabah. Dia tidak pernah mengeluh. Dia menerima semua itu dengan penuh kesabaran. Allah Maha Melihat. Allah senantiasa mengawasi semua makhluk-Nya. Allah tak pernah tidur. Allah melihat bagaimana kesabaran dan ketabahan Ninda dalam menerima ujian dan cobaan-Nya. Allah juga melihat dan mengawasimu. Ketika kau diberi nikmat-Nya. Ketika kau diberinya kebahagiaan yang seakan tiada hentinya. Kini Allah mengujimu. Allah ingin melihat, sampai dimana keimananmu dalam menerima dan menjalani segala ujian dan cobaan-Nya.”
Asmi hanya menangis. Kata-kata Fatimah masuk kedalam hatinya, bisa dimengertinya, namun hati kecilnya tetap tidak bisa menerima. Ninda telah merebut Adilla. Dan  dia merasa tidak berdaya.
“Shalat dan bacalah Al-Qur’an.” Ucap Fatimah lembut. “Shalat  dan membaca Al-Qur’an sambil melihat artinya, akan membukakan mata dan pikiran kita untuk melihat dan menghadapi setiap persoalan yang kita hadapi denga  pikiran dan perasaan yang jernih. Semua manusia memiliki hawa nafsu, Asmi. Namun kita diberi akal untuk bisa mengendalikan hawa nafsu kita. Agar kita tetap bisa menjalani kehidupan kita dengan tenang dan terarah.”
Asmi mengangguk walaupun airmatanya masih menetes membasahi pipinya.
“Terima kasih, bu Fat. Bantulah saya dengan doa agar saya kuat menjalani semua ini sebagai lelakon hidup saya.”
Bu Fatimah mengangguk. “Insya Allah, kau pasti kuat, nak.”

--- 0 ---


Aku ternyata tidak ikhlas dengan perkawinan Adilla dan Ninda, kata Asmi dalam hati. Aku hanya mengucapkan kata ikhlas dimulutku saja. Namun tidak tembus hingga kedalam hatiku. Ya Allah, betapa tersiksanya aku melakukan kemunafikan, ketika kata yang aku ucapkan hanyalah sebuah kedustaan untuk menutupi perasaan kalah dan tersisih oleh kehadiran wanita lain dalam kehidupan suamiku. Betapa  tersiksanya perasaanku. Betapa sulitnya aku memadamkan api semburu dalam dadaku yang selalu membara dan berkobar. Ya Allah, siramilah  hatiku dengan kesejukanMu. Buatlah diriku untuk mau menerima semua takdirMu ini dengan hati yang lapang dan tulus ikhlas.
Asmi bersujud sambil menangis. Shalatnya telah usai dikerjakan. Namun dia masih belum ingin beranjak dari sajadahnya. Airmatanya seakan tumpah. Dan tak pernah kering. Selalu mengalir sejak pernikahan Adilla dengan Ninda. Betapa beratnya menjalani permaduan. Selalu ada rasa cemburu dan dengki yang menggerogoti perasaannya. Ya Allah, tolonglah aku. Buatlah diriku merasa bahagia seperti yang pernah aku rasakan ketika Ninda belum hadir dalam perkawinan kami.
Asmi melipat mukenanya.  Tatapannya terpaku pada photo perkawinannya. Mereka begitu bahagia. Siapa menduha bila kemudian akan hadir wanita lain dalam kehidupan perkawinan mereka.
Asmi menghapus airmatanya. Aku mencintaimu, Dill. Namun aku tidak ma uterus menerus sakit oleh beban perasaan yang mengganggu kalbuku. Aku ingin menemukan kembali kenyamanan dan ketenangan yang pernah aku miliki dan aku rasakan, walaupun aku harus hidup tanpamu lagi. Aku harus mengambil keputusan yang terbaik untuk hidupku.
Malam itu Asmi menunggu Adilla. Dia menunggu kesempatan untuk bicara. Ditunggunya saat yang tepat.
“Adilla, aku ingin bicara denganmu.” Kata Asmi hati-hati.
Adilla menatapnya. “Ada apa?”
Asmi menghela napas dalam. “Dill, aku sudah memikirkan dan mempertimbangkan berkali-kali. Aku merasa berat  mengatakannya kepadamu. Namun aku juga tidak ingin terbelenggu oleh kesakitan-kesakitan yang aku rasakan selama ini…..”
Adilla sudah merasa, ada sesuatu yang ingin diucapkan Asmi kepadanya. Dia menatap istrinya. Wajah istrinya kelihatan tenang.
“Aku minta cerai, Dill.” Kata Asmi. Dia menatap bayinya yang sedang tertidur lelap.
Adilla terpaku menatap istrinya. Lalu dia menggeleng pelan. “Tidak, Asmi. Aku tidak berniat menceraikanmu sampai kapanpun.” Sahut Adilla.
“Aku tetap ingin bercerai.” Ucap Asmi. Kini matanya sudah basah. Ditatapnya wajah suaminya. “Tolonglah aku, Dill. Tolonglah aku. Aku sudah tidak sanggup lagi menjalani kehidupan perkawinan seperti ini. Aku tidak bisa lagi menenangkan perasaanku pada saat aku menyadari bahwa perkawinan kita sudah tidak utuh lagi. Kau sudah memiliki istri lain selain aku. Kau memiliki perkawinan lain selain perkawinan kita. Tolonglah aku, Dill. Tolonglah aku. Aku sudah tidak sanggup lagi menjalani semua ini…….”
Adilla menatap Asmi yang tengah menangis. “Asmi, aku minta maaf kepadamu. Perkawinan kita sudah berjalan bertahun-tahun. Aku mencintaimu. Dan akan tetap mencintaimu. Maafkan aku dengan perkawinanku dengan Ninda……”
“Dill, kau sudah memiliki perkawinan dengan Ninda. Aku tidak bisa lagi menjalankan tugasku sebagai istrimu dengan penuh keikhlasan seperti yang kulakukan dulu sebelum Ninda hadir diantara kita. Aku sekarang  merasa tidak akan bisa lagi seperti aku yang dulu. Maafkan aku, aku tidak bisa terus menerus berpura-pura. Aku sudah kehilangan kebahagiaanku dengan perkawinan kita ini. Aku tak ingin terus menerus terbelenggu dengan kemunafikan, seakan aku menikmati dan bahagia dengan permaduan ini. Aku tetap ingin bercerai. Aku sudah memikirkannya berulang kali. Ini adalah jalan terbaik buat kita, Dill.”
“Asmi, kurasa sudah tidak ada masalah lagi. Aku sudah berusaha berbuat adil kepadamu dan kepada Ninda. Maafkan bila aku memiliki banyak kekurangan dalam menjalankan kewajibanku sebagai suami….”
Asmi menangis. Tidak dapatkah Adilla merasakan kecemburuan-kecemburuan yang membakar dadanya semenjak perkawinan Adilla dengan Ninda? Selama ini dia hanya memendam semua perasaannya itu dalam lubuk hatinya. Atas nama istri yang sholeh, dia mengorbankan perasaannya sendiri. Kesholehan yang dipertaruhkan diatas bara api cemburu. Ya Allah, maafkan aku. Aku takut keimananku kepadamu akan goyah bila aku tetap bertahan dengan perkawinan yang penuh dengan kecemburuan dan kedengkian ini. Shalatku tak lagi khusyu. Sering dihiasi dengan isak tangis dan airmata. Doa-doaku penuh rasa sakit hati dan cemburu. Kenapa aku tidak bisa ikhlas menerima semua ini? Kenapa aku tidak bisa meyakinkan hatiku bahwa perkawinanku ini adalah sebuah ibadah yang sungguh tidak ternilai?

--- 0 ---



Malam itu Asmi bersiap-siap akan menutup tokonya. Biasanya Mardiatun yang menjaga toko sampai tutup. Namun hari  ini Mardiatun ijin. Ibunya sakit. Jadi Asmi yang menggantikannya. Dia sudah bilang pada Adilla hari ini dia akan pulang telat.
Diluar hujan turun dengan derasnya. Suara curah hujan  gemuruh menimpa genteng. Pembeli sudah berkurang. Pekerja-pekerja tokonya sudah pulang semua. Asmi melihat jam antik disudut ruangan toko.  Waktu sudah menunjukan pukul delapan tiga puluh lima menit. Sebentar lagi dia akan menutup tokonya.
Asmi   menelepon Adilla. “Mas Dill, sebentar lagi aku pulang, ya.” Kata Asmi. “Disini hujan deras, lho.”
“Ya, aku sendiri sekarang dalam perjalanan pulang. Hati-hati, ya.” Sahut Adilla.
“Ya.” Asmi menutup telepon genggamnya.
Asmi baru selesai menghitung uang. Dia mengunci laci tempat uang.  Mendadak seseorang   masuk kedalam tokonya. Asmi melihat kedatangan lelaki berjaket hitam itu. Wajah lelaki itu  basah oleh air hujan.  Asmi   melihat pada wadah kaca tempat roti dan kue dipajang. Masih ada beberapa macam roti dan kue yang tersisa.
Asmi berdiri menyambut kedatangan pembelinya.
“Silahkan, pak. Roti dan kuenya masih ada.”
Lelaki itu tidak menuju pada  tempat  roti dan kue dipajang. Dia mendekati Asmi, lalu berdiri menatap Asmi dengan tatapan tajam.  Perasaan Asmi berdebar melihat cara lelaki itu menatapnya. Perasaannya menjadi tidak enak. Mendadak dia ketakutan. Namun belum sempat dia berpikir apapun, lelaki itu menarik sesuatu yang terselip diperutnya. Seketika Asmi sadar, apa yang tengah terjadi. Perampok.
Lelaki itu menodongkan pistolnya kearahnya. Asmi membuka mulutnya akan berteriak meminta tolong. Namun sebelum dia sempat  membuka mulutnya, lelaki itu telah menembakkan pistolnya kearahnya. Sebuah peluru dengan cepat melesat keluar dari pistol itu dan  menembus dadanya. Asmi menjerit kesakitan. Sesaat kemudian tubuhnya rubuh. Dia  terkapar bersimbah darah. Asmi masih sempat melihat wajah lelaki itu, dengan dingin menatapnya. Sesaat kemudian Asmi tidak melihat apa-apa lagi. Segalanya menjadi gelap.

--- 0 ---

Malam itu berita kematian Asmi, pemilik toko roti dan kue ‘Safrina’ menggemparkan warga disekitar toko itu. Dalam sekejap, ditengah curah hujan yang semakin deras, warga berdatangan dan berdesakan didepan toko kue itu. Yang pertama mengetahui kejadian itu adalah tukang beca yang biasa mangkal tidak jauh dari toko kue itu. Dia melihat seorang lelaki berpakaian hitam  keluar dari toko dengan langkah tergesa, lalu bergegas menaiki motor yang sudah menunggunya ditepi jalan, tidak jauh dari toko itu.  Dalam sekejap motor yang dikendarai salah seorang temannya melesat pergi. Tukang becak itu curiga. Apalagi samar-samar dia mendengar bunyi letusan dari dalam toko  itu. Bergegas dia memberitahu salah seorang tukang becak lainnya yang baru datang. Mereka berdua masuk kedalam toko dan melihat seorang wanita sudah terkapar dilantai bersimbah darang. Kedua tukang becak itu melaporkan kejadian itu kepada salah seorang warga. Dalam sekejap berita pembunuhan itu sudah menyebar.
Polisi dan wartawan berdatangan melihat lokasi kejadian. Polisi  memeriksa toko. Wartawan mencatat kejadian itu. Polisi menyelidiki apa motif dari pembunuhan itu.  Namun dari hasil pemeriksaan ditempat kejadian perkaran, polisi tidak menemukan satupun barang didalam toko itu yang rusak atau hilang.  Uang dalam laci masih dalam keadaan utuh. Beberapa barang berharga yang ada didalam toko itu seperti televisi berukuran besar dan sebuah jam  antik tetap berada pada tempatnya. Nampaknya bukan perampokan yang menjadi motif pembunuhan itu.
Adiila shock mendapatkan Asmi sudah tidak bernyawa dalam keadaan bersimbah darah. Anisa menjerit-jerit memanggil ibunya.
Esok paginya Ninda mendadak histeris. Dia memeluk Adilla erat-erat. Wajahnya pucat pasi.
“Mas Dill, aku tidak tahu apa-apa. Demi Allah aku tidak tahu apa-apa!” Ninda menangis histeris. Wajahnya ketakutan.
“Tenanglah, Ninda. Ada apa?” bujuk Adilla berusaha menenangkan istrinya.
“Demi Allah, Mas Dill. Aku tidak tahu apa-apa dengan apa yang terjadi pada Mbak Asmi.” Ninda masih histeris ketakutan.
“Ninda, sayang. Aku percaya kamu tidak tahu apa-apa dengan  kejadian ini. Tenanglah dulu, ceritakan kepadaku, ada apa?”
Ninda menyerahkan  telepon genggamnya pada Adilla. Adilla melihat  sejumlah pesan pendek menumpuk ditelepon genggam istrinya dari nomor yang sama.
Ninda, akulah yang telah membunuh Asmi. Aku melakukannya demi kamu. Aku terus dikejar perasaan berdosa telah menyakiti perasaanmu.
Aku juga dikejar perasaan berdosa ayahku telah menipu ayahmu sehingga perusahaannya hancur. Namun  kau dan orangtuamu tidak pernah menuntut dan mencari kami. Apalagi melaporkan kami kepada  pihak berwajib.
Hukum karma telah menimpa kami sekeluarga. Ayahku stroke dan sekarang sudah meninggal. Hidupku sendiri kacau. Aku berjudi dan hartaku habis dimeja judi. Aku sekarang miskin, tidak punya apa-apa lagi.
Aku terima karma itu. namun aku tetap tidak bisa melupakan perasaan berdosaku kepadamu. Aku  mendengar engkau telah menikah dengan Adilla. Aku senang mendengar kau sudah menjadi istri Adilla. Aku percaya Adilla akan menjadi suami yang baik bagimu.  Dan aku tahu kamu mencintai Adilla.
Aku ingin engkau memiliki Adilla seutuhnya. Tanpa kamu harus berbagi cinta dengan wanita lain. Ninda, akulah Rizal yang telah membunuh Asmi. Aku melakukan semua ini untuk menebus perasaan berdosa kepadamu dan aku ingin membuatmu bahagia.
Adilla  terpaku usai membaca beberapa pesan pendek ditelepon genggam Ninda. Rizal. Dia sudah gila, pikir Adilla. Ya, laki-laki itu sudah gila. Dia orang berbahaya. Asmi tidak berdosa. Kenapa Rizal harus membunuh Asmi? Kenapa? Apa salah dan dosa Asmi?
Adilla  memperlihatkan pesan pendek itu kepada pihak berwajib. Besoknya  beberapa media yang meliput berita pembunuhan itu menulis,   Rizal ditetapkan sebagai buronan.

--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar