Adilla mencium bau harum
roti tengah dipanggang didalam oven.
Bau harumnya menebar memenuhi ruangan dapur. Tiga orang perempuan sibuk
dengan pekerjaannya masing-masing. Diatas sebuah meja besar disudut ruangan,
roti-roti dengan bentuk bundar dan panjang dengan beragam isi yang sudah terbungkus plastik siap untuk dijajakan.
“Asmi!”
Asmi menoleh. Adilla berdiri diambang pintu.
“Hei Dil, kenapa kamu masuk kedapur?
Tunggu diruang tengah saja, ya. Nanti aku kesana. Aku masih tanggung dengan
pekerjaanku.”
“Aku hanya sebentar, aku ada perlu
padamu…….” Ujar Adilla.
“Tunggu dulu diruangan tengah.
Sebentar lagi pekerjaanku beres.” Kata
Asmi.
Adilla meninggalkan dapur menuju teras
didepan rumah. Diteras itu ada kursi
rotan dengan bantalan yang dibungkus motif bambu. Dia duduk disana menunggu Asmi sambil menikmati sejuknya udara
diteras. Rumah Asmi nyaman dan asri.
Bangunan rumah model kuno dengan atap yang tinggi. Rumah bercat putih itu tidak
terlalu besar namun berhalaman luas. Beberapa buah pohon besar dan rindang yang
tumbuh dihalaman berumput hijau membuat suasana terasa teduh dan nyaman. Adilla
betah duduk disana. Namun barangkali
bukan rumah ini yang menimbulkan perasaan nyaman dihatinya. Namun Asmi
yang membuatnya selalu ingin menemui gadis itu. Asmi selalu menjadi temannya yang baik, yang penuh pengertian,
yang sabar, yang selalu berusaha mau mengerti dirinya. Baginya, Asmi adalah
sahabatnya yang baik, bukan hanya sejak mereka masih duduk dibangku SMA ketika
mereka masih sekelas. Namun sampai sekarangpun setelah mereka kuliah di
perguruan tinggi dia tetap menganggap
Asmi sebagai sahabatnya yang baik.
Pintu depan terbuka. Asmi keluar.
Wajahnya cerah dan segar. Dia baru mandi. Wajahnya segar. Blouse hijau yang
dikenakannya menambah kesegaran wajahnya.
Asmi membawa dua cangkir teh dan sebuah stoples berisi kue kering
cokelat.
“Maaf ya, lama menunggu. Aku mandi
dulu. Gerah seharian didapur tadi.” Asmi menaruh kedua cangkir teh dan stoples itu diatas meja. “Nah, ini kue kering cokelat
kesukaanmu. Dicoba deh. Rasanya lebih renyah dari yang kubuat tempo hari.”
Adilla mencoba sepotong. Memang enak
dan renyah.
“Hm, enak. Coba satu lagi, ya.” Adilla
mengambil lagi sepotong dan memasukannya kedalam mulutnya.
Asmi tersenyum melihat tingkahnya. Adilla menyerahkan kantong kertas yang dibawanya
pada Asmi.
“Apa ini?” Tanya Asmi.
“Oleh-oleh waktu pulang umroh kemarin.”
Asmi membuka kantong kertas itu. Dia
tersenyum melihat macam-macam isinya. Kerudung, gulungan hiasan dinding bertuliskan ayat kursi, bungkusan kurma dan
kismis, dan sebuah dus lagi. Asmi
membuka dus itu. Isinya sebuah teko kecil dengan tiga buah cangkir kecil dengan
hiasan keemasan dipinggirnya. Asmi berdecak melihat indahnya teko dengan tiga
buah cangkir itu.
“Terima kasih, Dill. Kau memberi
oleh-oleh banyak sekali.” Ucap Asmi gembira. “Ini apa?” Asmi membuka gulungan
bertuliskan ayat suci Al-Qur’an.
“Itu terbuat dari daun papyrus. Kubeli
ketika di Mesir.”
“Mesir? Pasti menyenangkan sekali
perjalanan umrah-mu. Mana photo-photonya? Aku ingin lihat.”
Adilla menyerahkan album kecil. Dia
sudah mencetak photo-photonya selama melakukan umroh dan ziarah wisata.
Photo-photo itu sengaja dibawanya untuk melengkapi ceritanya pada Asmi setelah
kemarin puas mengirimkan banyak pesan pendek pada Asmi. Dia sudah tidak sabar
ingin segera bercerita pada Asmi, betapa menyenangkannya perjalanannya.
“Sehabis umrah, kemana lagi
perjalananmu selain ke Mesir?” Asmi membuka-buka album kecil itu. Dia melihat
photo-photo itu satu persatu pada album kecil. Photo-photo itu menjadi
pelengkap cerita Adilla melalui pesan-pesan pendek yang diterimanya kemarin
tentang perjalanannya.
“Palestina, Jordania…….”
“Pastinya perjalananmu menyenangkan.”
Ucap Asmi. Dia melihat photo Adilla dengan latar belakang phiramid.
“Ya, tempat-tempat bersejarah di Mesir
hampir semuanya dikunjungi.”
“Seandainya aku punya uang, aku juga
ingin pergi berhaji. Atau umrah dulu
sepertimu. Dill, apa ini?” Asmi menunjuk photo yang tengah dilihatnya. Ada banyak tulang
belulang dalam photo itu.
“Oh, itu kerangka tujuh manusia yang
disebut dalam ashabul Kahfi. Nah, yang ini photo aku ketika berdiri didepan gua
sebelum masuk kedalam tempat dimana kerangka tujuh pemuda itu berada.”
“Indah sekali pemandangan di Jordania,
Dill.” Ucap Asmi terkesan melihat
beragam photo Adilla selama dalam perjalanan di Timur Tengah. “Ini dimana?”
“Itu di Palestina.”
“Ada
tentara, Dill. Tentara apa ini?”
“Itu tentara Israel.
Palestina dikuasai oleh Israel.
Pada saat masuk ke Palestina, semua warga diperiksa terlebih dahulu oleh
tentara Israel.
Begitu juga dengan wisatawan yang berkunjung ke Palestina?”
“Dill, aku minta photomu yang berdiri
didepan phiramid ini, ya.”
“Boleh, ambil saja beberapa buah yang
kamu mau. Photo-photo itu memang sengaja aku cetak untukmu. Pilih aja yang mana
yang kamu suka.”
Asmi mengambil beberapa lembar photo. “Photo-photo
ini akan aku simpan untuk kenang-kenangan. Aku juga ingin pergi umroh kalau aku
punya uang.”
“Ya.” Ucap Adilla. Dia menangkap
kegembiraan pada wajah Asmi. Adilla menatap Asmi dengan tatapan bimbang. “Aku tadi mencarimu
ke kampus. Handphonemu tidak aktif. Tapi aku tidak melihatmu dikampus.”
“Tadi siang selesai kuliah aku
langsung pulang. Ada
yang memesan kue untuk acara esok hari jadi aku langsung bekerja membuat kue.”
Asmi mengambil kue dan mengunyahnya. “Ayo dimakan lagi. Biasanya kau paling
suka kue cokelat.”
Adilla mengambil kue lagi sebuah,
menggigitnya. “Kue buatanmu memang enak. Tak heran bila daganganmu laris dan
banyak yang memesan.”
Asmi tersenyum. “Alhamdulillah,
rejekiku diberi cukup.”
“Kau hebat, bisa membiayai kuliahmu
sendiri. Aku sendiri sampai sekarang masih meminta uang pada orangtua.”
Asmi tersenyum. “Tapi waktuku jadi
habis untuk bekerja. Setiap hari selain urusan kuliah, waktuku habis untuk
mengurus usaha membuat roti dan kue. Kamu kira aku tidak capek mengurus usahaku
ini.” Asmi menyandarkan punggungnya kesandaran kursi.
“Setiap orang ingin menikmati masa
remajanya dengan sepuas hati, mengisi masa remaja yang indah, yang hanya sekali
seumur hidup dilakoni oleh manusia.” Kata Asmi lagi. “Keinginanku juga sama
seperti remaja puteri lainnya. Namun aku bukan remaja yang dilahirkan dengan
kondisi yang memungkinkan untuk menikmati indahnya dunia remaja. Aku ingin bekerja untuk mendapatkan penghasilan.
Aku ingin kuliah sementara keadaan keuangan ibuku serba pas-pasan. Setelah ayah
meninggal, otomatis ibuku hanya mengandalkan dari uang pensiunan ayah. Kami
berdua hidup hanya mengandalkan uang pensiunan ayah sebagai pegawai negeri. Aku
harus berpikir untuk mencari uang. Untuk biaya sekolahku, untuk kehidupan
sehari-hari, untuk memenuhi segala macam kebutuhanku.”
“Kau memang kreatif.”
Asmi menatap wajah Adilla yang kelihatan berbeda dari biasanya. Dia merasa ada sesuatu pada Adilla.
“Ada apa?”
Adilla membalas tatapan Asmi. Lama
sekali dia menatap wajah gadis itu. Seakan ada yang ingin diungkapkannya
melalui tatapan matanya. Kata-katanya kemudian meluncur perlahan dan lirih.
“As, aku akan bertunangan. Hari minggu lusa.”
Asmi menatap Adilla. Mula-mula terasa
biasa saja. Adilla akan bertunangan. Kalimat itu terasa biasa saja terdengar
ditelinganya. Namun kemudian terasa ada sesuatu yang menyentuh perasaannya.
Lalu terasa seakan mengiris. Sakit dan pedih.
Dia merasa tak percaya dengan apa yang
diucapkan Adilla. Bertunangan? Dengan siapa? Ya Allah, kuatkanlah hatiku dan
sabarkanlah aku dengan semua ini. Ternyata sia-sia penantianku selama ini. Asmi
berusaha mengendalikan perasaannya.
Adilla pasti tidak akan menduga apa yang sekarang berkecamuk dalam
hatinya. Adilla selama ini hanya menganggap dirinya hanya sebagai temannya semata. Tidak lebih
dari itu. Adilla hanya menganggap dirinya sebagai sahabat sejak mereka masih
duduk dibangku SMA. Namun dirinyalah yang memiliki perasaan lain kepada Adilla.
Dirinyalah yang menempatkan Adilla bukan sekedar teman atau sahabat, namun sebagai seseorang yang istimewa dihatinya.
Cukup lama dia menunggu Adilla mengungkapkan perasaannya kepadanya, perasaan
cinta seperti yang dimilikinya untuk Adilla. Namun Adilla tak kunjung
mengucapkan kata itu. Bahkan kini dia
mengatakan akan bertunangan dengan gadis lain. Sekejap Asmi memejamkan
matanya. Hanya sekejap. Jangan sampai Adilla tahu bagaimana perasaannya mendengar berita yang baru saja
disampaikan Adilla kepadanya.
“Kau akan bertunangan, Dil?” ucap Asmi
berusaha kelihatan ikut bergembira dengan berita itu. “Berita gembira. Hari minggu lusa, ya? Oh, kenapa baru sekarang
kau menyampaikan berita gembira ini kepadaku? Siapa calon tunanganmu itu?”
Adilla menyandarkan punggungnya. Dia
menatap Asmi. “Namanya Ninda.” Ucapnya
pelan. “Aku baru kenal dengannya empat bulan lalu. Ibunya adalah teman
pengajian ibuku. Kami bertemu dan berkenalan waktu sama-sama ikut ibu kami ke pengajian itu. Sejak itu kami
sering bertemu. Ninda sering menelepon aku, meminta aku kerumahnya, atau
menemaninya pergi belanja, atau sekedar jalan-jalan. Kami juga kemarin pergi
umrah sama-sama. Ninda bersama kedua orangtuanya. Aku juga bersama kedua
orangtuaku, dan kakakku Farhan bersama istrinya. Sebelum berangkat umroh memang
sudah ada pembicaraan antara orangtuaku dengan orangtua Ninda. Orangtua kami
menginginkan kami kelak bisa menjadi suami istri. Namun karena aku dan Ninda
masih sama-sama kuliah, orangtua kami menginginkan kami bertunangn terlebih
dahulu.”
“Ninda. Namanya bagus sekali. Pasti
orangnya cantik, ya?” Tanya Asmi dengan nada biasa-biasa saja. Dia berusaha menekan perasaan cemburu yang terasa
mengganggu perasaannya.
Adilla
tersenyum. “Orangnya cantik sepertimu. Hanya bedanya dalam penampilan keseharian, kau mengenakan jilbab, Ninda tidak. Tapi dia bilang suatu
saat dia juga ingin mengenakan jilbab. Hanya untuk saat ini dia merasa masih
belum siap.” Sahut Adilla.
“Kau pasti bahagia dan senang. Aku
turut mendoakan semoga Ninda adalah jodohmu. Mudah-mudahan engkau cocok
dengannya. Kapan rencananya kalian akan menikah?”
“Aku dan Ninda masih harus
menyelesaikan kuliah dulu. Akupun ingin bekerja dulu sebelum menikah. Rumah
tangga kan memerlukan biaya. Mungkin setelah kuliahku selesai dan aku sudah
bekerja, barulah kami menikah.”
“Yah, kau yang akan menjalani
perkawinan, Dill. Kau pasti harus mempertimbangkan segalanya dengan matang.”
“Rencana pertunangan ini pada
mulanya aku menolak. Aku belum ingin
terikat dengan tali pertunangan. Aku masih ingin bebas. Namun ibuku dan ibunya Ninda menghendaki kepastian
hubunganku dengan Ninda. Mereka memahami alasanku bila saat ini aku belum bersedia menikah
karena aku dan Ninda masih sama-sama kuliah. Namun ibuku dan ibunya Ninda sepakat agar kami bertunangan dulu.”
“Ibumu dan ibunya Ninda benar. Lebih
baik kalian memang bertunangan dahulu. Dengan pertunangan itu kalian diberi
kesempatan untuk menyelesaikan dulu kuliah kalian, dan engkau mendapatkan
pekerjaan terlebih dahulu sebelum engkau menjadi seorang kepala rumah tangga.”
“Ya. Tapi………..” Adilla menatap Asmi.
“Sebenarnya aku bingung. Kau tahu
kondisiku, aku masih kuliah. Aku belum bekerja. Untuk kebutuhan kuliah dan
segala macam kebutuhan aku sehari-hari pun aku masih meminta uang pada ibuku.
Terus terang, pertunangan inipun terasa
menjadi beban bagiku karena seolah-olah aku sudah memiliki tanggungan seorang gadis yang telah
dipersiapkan untuk menjadi istriku nanti.”
“Jangan kau anggap sebagai beban, jalani
saja apa adanya.”
“Apa bisa aku menjadi suami Ninda?”
“Kenapa kau bertanya begitu?”
“Ninda orangnya boros, royal dan hobi jalan-jalan. Tapi aku
menyukainya. Dia baik dan perhatian. Aku terpikir untuk bekerja paruh waktu disela-sela
kuliahku. Bagaimanapun aku harus punya
penghasilan. Aku malu bila aku masih meminta uang pada ibuku bila ada hal-hal penting untuk
urusan aku dan Ninda.”
“Ibumu pasti memahami keadaanmu saat
ini yang masih kuliah, Dil. Kau tidak perlu berpikir terlalu rumit. Jalani saja
pertunanganmu dengan Ninda. Bila kuliahmu lancar, tahun depan kau sudah akan selesai kuliah.
Tahun depan kau sudah mendapatkan ijazah sarjanamu dan kau sudah bisa mencari
pekerjaan.” Ucap Asmi. Asmi tersenyum melihat wajah Adilla yang serius.
Seakan ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. “Kurasa ibumu sudah faham, untuk
saat ini kau pasti masih akan mendapatkan uang saku yang cukup bahkan mungkin
diberi lebih untuk hal-hal lain diluar segala biaya keperluanmu untuk kuliah
dan untuk kebutuhan hidupmu sehari-hari. Apalagi uang bensin, pasti bertambah.”
“Kenapa?” Adilla melihat senyuman
dibibir Asmi.
“Ibumu pasti tahu kau akan sering
jalan-jalan dengan Ninda sehingga memerlukan uang bensin yang lebih besar
dibandingkan dengan dulu.”
Adilla tersenyum. Dia senang Asmi
mendukung pertunangannya dengan Ninda. Padahal sebelumnya dia dilanda
kegelisahan dan keraguan. Dia tidak ingin mengecewakan keinginan ibunya dan
ibunya Ninda. Namun pada sisi lain dia
masih merasa ragu untuk melangkah. Namun sekarang dia merasa lega mendengar
ucapan Asmi. Dia merasa didukung oleh
sahabatnya.
Asmi tersenyum menatap Adilla.
“Adilla, aku ingin engkau bahagia menghadapi hari pertunanganmu hari minggu
lusa.”
“Kau datang bersama-sama dengan
keluargaku kerumah Ninda, ya.”
“Kalau kau mengajak aku, tentu saja
aku akan ikut.”
“Tentu aku mengajakmu. Tadi aku sudah
bilang pada ibuku aku akan
mengajakmu menghadiri pertunanganku dengan Ninda. Ibuku setuju. Jadi hari minggu pagi, sebelum jam tujuh kau sudah
harus berada dirumahku, ya.”
“Sebelum jam tujuh?”
“Ya. Jam Sembilan kita berangkat
kerumah Ninda.”
“Kenapa pagi-pagi sekali aku sudah
harus berada dirumahmu? Jam setengah tujuh sih kepagian. Hari libur aku
biasanya mandi jam tujuh. Tapi demi kamu aku rela mandi jam enam. Kalau
berangkat kerumah Ninda jam sembilan, jam setengah delapan aku sudah berada
dirumahmu.”
“Aku ingin engkau sudah hadir
dirumahku lebih lama sebelum berangkat kerumah Ninda.”
“Kenapa?”
“Ibu
membelikan aku dua buah kemeja batik.
Yang satu dasarnya warna merah hati. Yang satu lagi dasarnya warna
hijau. Motifnya sama bagusnya. Ibu
sengaja membelikan dua buah kemeja batik itu agar aku bisa memilih mana
yang lebih aku sukai. Aku bingung mau memakai yang mana. Coba kamu nanti yang
membantu aku memilihkan kemeja batik mana yang lebih pantas aku kenakan dihari
pertunanganku nanti.”
“Itu sih gampang. Aku bisa
membayangkan kau pasti tampan sekali bila mengenakan kemeja batik warna merah
hati.”
“Tapi kau belum lihat kedua kemeja
batik itu motifnya berbeda.”
“Tapi aku bisa membayangkan, kemeja
batik dengan dasar merah hati pasti lebih cocok untuk kau kenakan dihari
pertunanganmu nanti.”
“Kenapa pilihanmu pada kemeja batik
merah hati?”
“Kau mengenakan kemeja batik warna
merah hati waktu mengantar aku ke resepsi pernikahan Meila, masih ingat? Saat
itu kau sempat membuat aku terkesima?” Asmi tersenyum menggoda Adilla.
Adilla tertawa.
“Tapi hanya sempat terkesima saja,
tidak sampai membuat aku terkesima beneran.”
Adilla tidak menanggapi canda Asmi.
“Oke, tapi kau tetap datang jam setengah tujuh, ya.”
“Aku datang jam setengah delapan.
Kalau jalanan macet, aku terlambat datang kerumahmu tidak apa-apa, kan?”
“Kalau jam setengah delapan kau belum
juga datang, aku akan menjemputmu.”
“Akan aku usahakan jam setengah
delapan aku sudah berada dirumahmu. Aku tidak mau seluruh keluargamu memarahi
aku gara-gara kau kabur menjemput aku.”
“Oke, aku percaya. Kau pasti menepati
janji.” Adilla kelihatan lega.
Asmi diam. Diam-diam dia memperhatikan
wajah Adilla. Namun saat itu Adilla pun tengah menatapnya.
“Selama ini kau adalah sahabatku,
Asmi.” Ucap Adilla tiba-tiba. Seperti ada yang tengah dipikirkannya. “Aku sudah lama melewatkan waktu bersama-sama
denganmu. Sejak kita masih sama-sama di SMA.”
“Yah, aku memang sahabatmu, ya?” Asmi
menghela napas dalam. “Alangkah senangnya aku bisa menjadi sahabatmu, Dil.”
“Aku juga senang bisa menjadi
sahabatmu, Asmi.”
“Bila kau sudah bertunangan dengan
Ninda, apakah aku masih akan tetap menjadi sahabatmu?”
“Tentu saja, Asmi. Kau tetap sahabatku
sampai kapanpun. Nanti aku akan memperkenalkan engkau kepada Ninda. Ninda pasti senang berkenalan
denganmu.”
“Jangan!” ucap Asmi spontan, terlontar
begitu saja.
“Kenapa?” Adilla menatapnya heran.
“Jangan! Aku tidak mau!”
“Kenapa kau tidak mau berkenalan
dengan Ninda? Dia baik dan cukup familiar.”
“Aku percaya dia baik, tapi kau harus
faham perasaan wanita. Bila engkau memperkenalkan aku sebagai sahabatmu kepada
Ninda, belum tentu Ninda akan menerimanya dengan lapang dada. Adilla, perasaan
wanita sulit dimengerti. Fahamilah, sebelum terlanjur kau menciptakan bara
dalam hubunganmu dengan Ninda, janganlah engkau mencoba menyalakan bara itu.”
“Wah, kata-katamu puitis begitu?”
Adilla tertawa. “Kau terlalu berlebihan.”
“Aku tidak berlebihan. Aku mengucapkan
apa yang ada dalam pikiranku.”
“Aku tidak mengerti.”
“Oh, bodohnya kamu!” gerutu Asmi.
“”Ninda akan cemburu kepadaku walaupun kau memperkenalkan aku sebagai
sahabatmu. Perasaan wanita sensitif, Adilla.”
“Kau terlalu jauh menduga. Belum tentu
Ninda akan seperti itu. Dia tahu aku memiliki banyak teman wanita. Sudah
beberapa kali setiap kali aku sedang jalan dengan Ninda kami bertemu
teman-teman wanitaku. Aku memperkenalkan mereka kepada Ninda dan Ninda tidak
apa-apa.”
“Aku yang tidak mau kau perkenalkan
dengan Ninda. Pokoknya aku hanya ikut mengantarmu kerumah Ninda. Aku berbaur
dengan keluargamu dan kau tak perlu secara khusus memperkenalkan aku kepada
Ninda sebagai sahabatmu. Bila kau tidak mengikuti keinginanku ini, lebih baik aku tidak jadi pergi ikut
mengantarmu kerumah Ninda.”
“Ya, baiklah kalau itu keinginanmu.”
Adilla mengangguk.
Asmi tersenyum. Telepon genggamnya
berbunyi. Asmi mengangkatnya. Lalu bicara. “Ya, tante. Oh, baik. Iya, tante.
Kue apa saja? Ya, ya.”
Sesaat Asmi bercakap-cakap ditelepon.
Lalu telepon ditutup. Dia menoleh pada Adilla sambil tersenyum.
“Ibumu pesan kue kering untuk hari
minggu lusa. Ibumu tahu dari siapa nomor teleponku.”
“Dari aku. Kemarin ibu meminta nomor
teleponmu.”
Asmi tersenyum. Perasaannya lega. “Aku akan membuatkan kue kering. Masih
ada waktu untuk hari minggu lusa.”
Sepulang Adilla, Asmi masuk
kekamarnya. Dia melihat pada dua buah novel yang tergeletak diatas meja
belajarnya. Sebelum Adilla berangkat umrah, Adilla membelikan dua novel itu
untuknya. Ada
sesuatu yang terasa membuat perasaannya
sedih. Sedih dan hampa. Adilla akan bertunangan. Adilla akan segera menjadi
milik gadis lain. Masih adakah kemungkinan
aku memilikinya seperti halnya harapan-harapanku yang kupupuk dan
kusirami selama ini? Ataukah harapan-harapanku selama ini yang kusiram setiap
hari harus layu seketika dengan
pertunangan Adilla ini? Airmatanya tak bisa ditahan lagi. Asmi mendekap kedua
novel itu kedadaya. Hatinya terasa perih. Aku yang salah, batinnya berbisik.
Seharunya aku tidak menaruh perasaan lain terhadap Adilla seperti halnya Adilla
sendiri yang ternyata hanya menganggap aku sebagai sahabatnya semata. Asmi
menatap kelima lembar photo Adilla yang tadi diterimanya. Airmatanya jatuh
menitik.
--- 0 ---
Aku tidak bisa membohongi perasaanku
sendiri, pikir Asmi. Aku sungguh merasa kehilangan Adilla. Yah, aku akan
kehilangan Adilla bila dia kelak telah dimiliki Ninda. Asmi merasa malas
melakukan kegiatan apapun. Setelah memberi petunjuk pada Rohmah, pembantunya
yang paling ahli membuat roti dan kue dan selama ini sudah dipercayainya dalam
membantunya menangani usahanya, dia kembali kekamarnya. Ditatapnya buku-buku kuliahnya yang tergeletak diatas meja belajarnya, yang
tak sempat dibacanya. Pikirannya terasa tidak bisa konsentrasi. Apapun yang
dilakukannya, pikirannya terasa terpecah. Kedatangan Adilla semalam yang
memberitahu dirinya akan bertunangan membuat semangat Asmi mendadak hilang
entah kemana. Dia merasa lesu. Perasaannya terasa hampa.
“Kenapa, Asmi?” Tanya Maryati. Ibunya,
melongok kekamar, melihat Asmi seperti lesu.
“Tidak apa-apa.” Sahut Asmi.
Maryati tidak percaya. Dia melihat
sesuatu yang berbeda pada Asmi. Tidak biasanya anak satu-satunya itu nampak
lesu seperti itu. Namun dia tidak tahu apa sebabnya.
“Kamu sakit?”
“Tidak, ma.”
“Lalu kenapa kau seperti tidak
bersemangat seperti itu?”
“Aku lagi malas saja, ma.” Sahut Asmi.
Dia merebahkan tubuhnya. Memejamkan matanya dan tidak peduli dengan kehadiran
ibunya.
“Mama dengar tadi kau menyerahkan semua
pekerjaan pada Rohmah, kau mau pergi kemana?”
“Tidak kemana-mana. Aku malas saja
mengerjakan pekerjaan hari ini.” Sahut
Asmi masih tetap memejamkan matanya.
“Ya, sudah. Kalau kau sakit, istirahat
saja. Biar mama yang menangani di dapur.”
Maryati pergi.
Asmi menghela napas dalam. Dia merasa
lega ibunya tidak banyak bertanya lagi. Dia mengambil album photo didekatnya.
Dibukanya lembaran demi lembaran. Beberapa buah photo dirinya dengan Adilla
terpampang disana. Waktu mereka jalan-jalan ke Maribaya. Asmi tersenyum hambar.
Kenangan itu terasa mengusik perasaannya.
Wajah Adilla dalam photo itu
begitu cerah dan segar. Mereka berphoto dengan latar belakang air terjun,
diatas jembatan dan ketika sedang duduk berdampingan di warung pada kursi bambu
sambil minum es kelapa muda. Photo-photo itu terasa begitu berarti pada saat sekarang Adilla sudah akan
menjadi milik gadis lain.
Pintu terbuka. Maryati datang lagi melongok kedalam kamar.
“Asmi, Rohmah bilang ada beberapa
macam kue yang harus dikemas terpisah. Katanya, kau memesan untuk dibawa
kerumah Adilla. Ada
acara apa dirumah Adilla?” Tanya Maryati.
Asmi menyimpan album photo. Dia tidak
ingin ketahuan oleh ibunya apa yang tengah berkecamuk dalam hatinya. “Hari minggu besok ada acara dirumah Adilla.”
“Acara apa?”
Asmi menatap ibunya sesaat, lalu
menyahut lirih. “Adilla akan bertunangan.”
Maryati menatap anaknya. Tiba-tiba Maryati mencoba menduga mengapa Asmi kelihatan berubah. Maryati masuk dan duduk disamping tempat tidur,
menatap wajah puterinya yang sejak pagi nampak lesu.
“Oh, Adilla akan bertunangan dan kau
akan kesana?”
“Ya, semalam Adilla kemari.” Sahut
Asmi lirih. Dia berpikir lebih baik dia bicara terus terang pada ibunya. “Dia
memberitahu aku rencana pertunangannya
dan mengajak aku ikut dengan keluarganya kerumah Ninda, calon tunangannya.
Tidak enak menolak ajakan Adilla. Insya
Allah aku akan ikut mengantar Adilla. Tapi kue-kue itu untuk dirumah Adilla.
Ibunya semalam meneleponku, memesan kue-kue kering itu.”
Maryati diam sesaat. Dia membaca sesuatu dalam wajah
puterinya. Lalu tersenyum lembut. Kini dia sudah bisa menduga, mengapa hari
ini Asmi kelihatan lesu. “Yah, kalian sudah lama berteman. Kau
harus menunjukan bahwa kau seorang teman
yang baik buat Adilla. Kau harus menunjukan perhatianmu sebagai seorang teman pada Adilla seperti
halnya Adilla selama ini sering menunjukan perhatiannya kepadamu.”
“Ya, ma.”
“Kau tidak apa-apa Adilla akan
bertunangan, kan?”
Tanya Maryati seakan menyelidiki perasaan anaknya.
“Tentu saja tidak apa-apa.” Sahut Asmi
datar.
“Adilla pasti akan tetap menjadi
temanmu walaupun dia sudah bertunangan,
hanya saja kalian berdua sekarang harus bisa membatasi pergaulan kalian, tidak
lagi seperti dulu, kemana-mana sering berdua. Setelah Adilla bertunangan
dengan….siapa nama calon tunangan Adilla itu?”
“Ninda.”
“Yah, setelah Adilla bertunangan dengan
Ninda, pastinya kalian tidak bisa
bersama-sama sebebas seperti dulu lagi. Kalian tetap teman namun pertemanan
kalian sudah terbatas karena sekarang Adilla sudah menjadi tunangan Ninda. Kau faham dengan maksud mama, kan?”
“Ya, ma.”
Mendadak
perasaan Asmi terasa sedih. Ucapan
ibunya malah membangkitkan kesedihannya yang sejak semalam berusaha
dipendamnya. Maryati memperhatikan wajah
puterinya yang muram. Membayangkan
persahabatannya dengan Adilla akan menjadi renggang sudah cukup membangkitkan
kesedihannya. Apalagi membayangkan Adilla akan menjadi milik gadis lain.
Airmatanya seakan tak sanggup dibendung lagi.
“Kamu menyukai Adilla, As?” Tanya
Maryati lembut, tidak ingin mengusik perasaan puteri semata wayangnya ini.
Asmi tidak menyahut. Namun Maryati sudah bisa menduga bagaimana perasaan
puterinya pada Adilla. Bahkan selama ini dirinya pun sering mengharapkan
diantara puterinya dengan Adilla. Bukan hanya sebagai teman. Namun ada hubungan
lain yang lebih istimewa. Sebagai seorang ibu, dia sering menilai teman-teman
Asmi, yang laki-laki maupun yang
perempuan. Diantara teman laki-laki Asmi, Adilla nampak lebih istimewa
dimatanya. Dari kesantunannya. Dari perhatiannya kepada Asmi. Dari sikap dan caranya dalam memperlakukan
Asmi. Dan hal-hal lain yang membuat perasaannya sebagai seorang ibu yang selalu
mengharapkan yang terbaik untuk puteri satu-satunya, berharap Adilla bukan hanya sekedar teman buat puterinya.
Namun kini kenyataan berbicara lain. Ada
perasaan kecewa yang menyelinap dalam hatinya seperti yang dirasakan Asmi.
Namun dia tidak ingin memperlihatkan kekecewaannya. Puterinya masih muda. Jalan
hidupnya masih panjang. Masih banyak kemungkinan yang bakal terjadi dalam
hidupnya. Andaikan Adilla bukan lelaki yang diciptakan untuk menjadi pendamping
puterinya, semoga Allah memberikan pengganti seorang lelaki yang lebih baik
untuk puterinya. Selalu ada doa-doa dan
pengharapan untuk kebahagiaan puteri terkasihnya ini.
“Asmi, mama harap kau menerima
kenyataan ini dengan lapang dada. Mama memahami kau pasti merasa kehilangan
bila Adilla sudah tidak bisa sedekat
dulu lagi denganmu. Kau masih memiliki banyak teman laki-laki. Kau bisa
menjalin persahabatan dengan yang lain.”
Tapi tidak akan ada yang sebaik Adilla, pikir Asmi. Dia
menghapus air matanya yang mendadak terjatuh bergulir membasahi pipinya. Dengan
Adilla, persahabatanku terasa berbeda. Terasa penuh arti. Karena aku sangat
menghayati dan menikmati persahabatanku dengan Adilla.
“Kamu mencintai Adilla?” Kembali Maryati bertanya lembut. Hatinya terasa perih melihat airmata yang membasahi
pipi anaknya. Apapun perasaan yang dirasakan puterinya itu, dapat dirasakan
juga oleh dirinya. Kesedihan Asmi adalah kesedihannya juga.
Asmi tetap tidak menyahut.
Maryati menarik napas dalam. Perasaannya terasa sedih
melihat belahan jiwanya seakan tengah berduka. Digenggamnya tangan puterinya.
“Jodoh ditentukan oleh Allah.” Ucap
Maryati lembut. “Bila engkau mengharapkan Adilla, semoga Allah membukakan
jalan-Nya untuk kalian berdua. Namun apabila Adilla bukan jodohmu, Insya Allah
suatu saat nanti Allah akan mengirimkan seorang laki-laki yang terbaik untukmu
sebagai jodohmu. Berdo’alah kepada Allah. Mintalah yang terbaik untuk dirimu,
untuk kehidupanmu, Insya Allah, Allah akan mendengarkan dan mengabulkan do’a-do’amu.”
Asmi terisak pelan. “Ya, selama ini
aku ternyata salah menafsirkan kebaikan-kebaikan dan perhatian-perhatian Adilla
kepadaku, ma.” Ucap Asmi tersendat. “Aku mengira Adilla mencintaiku. Aku mengira Adilla akan
menungguku hingga aku dan dia selesai
kuliah. Namun ternyata aku keliru. Aku keliru membaca perasaan Adilla kepadaku.
Ternyata sekarang Adilla akan bertunangan dengan gadis lain.
Terus terang aku merasa kecewa dengan kenyataan ini.”
Maryati berusaha tersenyum walaupun matanya membasah. “Jodoh ada ditangan Allah. Biarkan
Allah mengatur segalanya. Untukmu. Juga
untuk Adilla. Kau tidak perlu memaksakan diri berusaha untuk mendapatkan
Adilla apabila dia memang bukan jodohmu. Namun apabila Adilla adalah jodohmu,
cepat atau lambat Allah akan
mempersatukan kalian berdua.”
Maryati mengelus punggung tangan anaknya. “Kau masih
muda. Masih banyak kemungkinan yang
bakal terjadi dalam hidupmu. Jalani kehidupanmu apa adanya dan selalu
ingat kepada Allah. Allah akan menilaimu dan memberikan yang terbaik dalam hal
apapun kepadamu untuk mengisi
hidupmu.”
Asmi hanya mengangguk. “Ya, ma.”
Maryati keluar kamar.
Menutup pintu dengan hati-hati. Sesaat matanya mengawasi anaknya,
sebelum menutup pintu rapat-rapat.
Asmi
kembali sendirian. Dia menyibakan gorden kamarnya. Sinar mentari masuk
kekamarnya. Sudah jam sembilan. Dan dia sudah berjam-jam lamanya mengurung
dirinya dikamar. Ya, kenapa aku harus menenggelamkan diri dalam kekecewaan hanya karena Adilla akan bertunangan dengan
gadis lain? Aku hanya merugikan diriku sendiri. Matahari bersinar begitu cerah
dan memberikan kehangatan di permukaan bumi. Juga memberikan kehangatan
kepadaku, agar aku bangun dan tidak mengurung diri dikamar.
Asmi beranjak dari tempat tidur. Dia melihat wajahnya
dicermin. Kelihatan muram. Dibenahinya wajahnya. Memakai bedak dan
lipstick. Dia keluar dari kamarnya.
Didapur Rohmah dan pembantu-pembantunya yang lain sedang sibuk bekerja,
kesibukan rutin seperti hari-hari biasanya membuat roti dan kue basah. Tanpa
banyak bicara dia segera bekerja. Usaha roti dan kue basah yang telah dengan susah payah dirintisnya tak
boleh terganggu hanya karena kekecewaannya. Asmi tidak ingin
larut dengan kesedihan yang
tengah mengganggu perasaannya. Dia menenggelamkan diri dalam kesibukannya. Lalu melihat jam. Sudah
hampir jam sebelas. Dia harus segera
bersiap pergi ke kampus. Kuliah pertama
tadi terpaksa dia bolos. Aku harus ingat, pendidikan adalah masa depanku.
Aku bekerja jadi pembuat roti dan kue
justru untuk membiayai pendidikanku. Demi kelanjutan pendidikanku, aku
rela bekerja keras memiliki usaha roti dan kue. Semangat Asmi terasa muncul
lagi, menepiskan segala kerisauan dan kesedihan yang tadi membelenggunya.
“Sudah sembuh, mbak?” Tanya Mardiatun,
yang biasa disapa Atun. “Kalau masih sakit sebaiknya mbak Asmi beristirahat
saja dulu.”
“Aku tidak apa-apa kok.” Sahut Asmi.
“Dagangan kita hari ini sudah diambil
semua?”
“Sudah, mbak.”
“Mbak, sebagian kue-kue kering pesanan mbak untuk lusa sudah dibuat dan saya simpan diatas meja makan.”
Kata Rohmah. “Sisanya masih dibuat.”
“Ya. Terima kasih, ya.”
Asmi mengucap syukur dalam hatinya.
Allah telah membukakan jalan baginya
untuk mencari rejeki. Usaha pembuatan roti dan kue miliknya dari hari ke hari
menunjukan perkembangan yang baik. Roti
dan kue basah dagangannya tiap hari selalu laris. Langganan yang memesan kerumah pun semakin bertambah. Ya Allah, terima kasih atas
nikmat dan karunia yang telah Engkau
berikan kepadaku selama ini. Maafkan aku
bila kadang aku lupa mensyukuri nikmat dan karunia yang telah Engkau berikan
kepadaku.
--- 0 ---
“Wajahmu kelihatan pucat, kenapa? Kamu
sakit, ya?” Riana menatap wajah Asmi.
Asmi mencoba menghindar pertanyaan
Riana. Dia tidak ingin ada seorangpun yang tahu apa yang sedang dirasakannya dan
terasa mengganggu pikirannya. Juga Riana. Walaupun Riana adalah sahabatnya, dia
tidak ingin Riana tahu apa yang kini tengah mengganggu perasaannya. Riana
adalah sahabatnya. Dia percaya pada Riana. Namun dia tidak ingin Riana tahu
bagaimana perasaannya dengan kenyataan Adilla akan bertunangan dengan gadis
lain. Dia tidak ingin perasaannya terbongkar oleh siapapun. Juga oleh Riana,
sahabatnya sendiri.
“Aku kurang tidur semalam.” Kilah
Asmi. “Ada yang memesan kue. Baru selesai kukerjakan
sampai jam sebelas malam. Lalu aku mengetik tugas makalah sampai jam dua belas
lewat. Subuh aku sudah menyiapkan kue-kue pesanan diantar ke langganan.”
“Kau terlalu kecapean, Asmi.”
“Memang, tapi aku senang menjalani
semua itu.”
“As, kamu sudah tahu Adilla akan
bertunangan?” tanya Riana tiba-tiba.
Asmi tidak segera menjawab. Dia
mengeluarkan bukunya dari dalam tasnya. Dia tidak ingin membicarakan Adilla, namun bila dia
mengelak, Riana akan tahu bagaimana perasaannya yang sesungguhnya kepada
Adilla.
“Sudah.” Sahutnya pelan. “Adilla
sendiri yang bercerita kepadaku. Kemarin malam dia datang kerumah, dan cerita
tentang rencana pertunangannya.”
“Ninda, calon tunangan Adilla itu baru sembuh dari patah hati. Kekasihnya,
Fahrul, meninggal dalam kecelakaan.
Ninda prustasi. Lama sekali yang dilakukan Ninda hanya mengurung diri dikamarnya. Hingga
akhirnya ibunya mempertemukannya dengan Adilla. Ternyata mereka berdua
menemukan kecocokan satu sama lain. Hanya beberapa bulan mereka bersama-sama, akhirnya orangtua mereka
sepakat untuk menjodohkan mereka. Adilla nampaknya bisa memulihkan kembali
perasaan Ninda. Terutama setelah mereka melakukan perjalan umroh bersama-sama
tempo hari.”
“Darimana kamu tahu cerita itu?”
“Dari Yuni, teman adikku. Dia teman
sekelas Ninda waktu di SMA.”
Asmi hanya menghela napas dalam.
Berita pertunangan Adilla nampaknya sudah menyebar dilingkungan teman-teman
mereka.
“Aku tidak menduga Adilla akan
bertunangan dengan gadis lain. Selama ini Adilla sering bersama-sama denganmu.
Kemana-mana kalian selalu berdua. Banyak teman-teman kita yang menduga kau
adalah calon Adilla. Habis kalian lengket terus sih…….”
Asmi hanya tersenyum. Membicarakan
Adilla hanya menambah rasa sakit
dihatinya. Lebih baik dia tidak membicarakan apapun tentang Adilla bila hal itu
hanya akan menambah goresan luka
dihatinya. Seakan faham dengan perasaan Asmi, Riana tidak bicara apa-apa lagi.
Dia mengeluarkan dua buah jeruk dari dalam tasnya. Diberikannya sebuah pada
Asmi.
“As, maafkan aku, ya.” Riana berucap
lirih.
“Maaf untuk apa?”
“Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu
dengan pertunangan Adilla, tapi aku tahu bahwa selama ini kau memang dekat
dengan Adilla.”
“Lalu…….”
“Kau tidak apa-apa mendengar Adilla
akan bertunangan dengan gadis lain?”
Asmi berusaha tersenyum. “Insya Allah
aku tidak apa-apa. Adilla memang selama ini dekat denganku, namun semuanya juga
tahu bahwa kedekatan antara aku dengan Adilla selama ini hanya sebagai sahabat
saja. Kau juga tahu hal itu, kan?”
Riana mengangguk. Dia faham, ada
sesuatu yang disembunyikan Asmi dari sorot matanya yang sayu. Namun Riana tidak ingin mengganggu Asmi. Dia
merasa kasihan pada sahabatnya ini. Dia tahu Asmi sejak dulu menyukai Adilla
walaupun kedekatan Asmi dengan Adilla selama ini hanya berbungkus tali persahabatan.
--- 0 ---
Asmi terbangun mendengar
telepon genggamnya berbunyi. Sebuah pesan pendek masuk. Jangan
lupa hari ini aku bertunangan. Kutunggu dirumah sebelum jam 7. Asmi menaruh
kembali handphonenya. Aku tidak boleh memperlihatkan kesedihanku, pikir Asmi.
Kepalanya terasa berat. Semalam dia tidur setelah larut malam. Pikirannya tak
bisa ditentramkan. Selalu kembali dan kembali lagi memikirkan Adilla. Aku tidak
boleh memperlihatkan kesedihanku, pikir Asmi lagi. Kalau aku kelihatan layu, apalagi kelihatan sedih, Adilla akan
curiga.
Bergegas Asmi mandi. Dia mengenakan
pakaian yang sudah disiapkannya sejak kemarin. Rok panjang motif batik dengan
kebaya merah muda model encim. Kerudungnya warna merah muda, serasi dengan
kebayanya.
“Ma, aku pergi dulu, ya.” Asmi pamit
pada ibunya.
“Ya, hati-hati, ya.” Sahut Maryati,
tersenyum menatap anaknya.
Asmi mengambil dua buah kantong
plastik berisi kue kering. Bergegas dia pergi. Dirumah Adilla sudah banyak
orang ketika Asmi tiba disana. Asmi masuk melalui pintu samping. Dari sana langsung masuk
keruang makan. Kebetulan Adilla sedang ada disana, duduk dimeja makan sedang
sarapan. Beberapa orang keluarga Adilla juga ada disana. Ada Maya, istri Wisnu
kakak tertua Adilla. Juga Desi, istri Farhan, kakak Adilla lainnya.
“Hampir aku jemput kalau kau sepuluh
menit lagi belum juga datang.” Gurau Adilla menyambut kedatangan Asmi.
Kelihatan cerah dengan batik merahnya.
Asmi menaruh dua buah kantong plastik
yang dibawanya diatas meja. Dia menyalami beberapa keluarga Adilla yang tengah
duduk diruangan tengah. Lalu dia menghampiri Adilla.
“Aku malu, didalam kendaraan umum
tadi, aku kelihatan aneh mengenakan kain
dan kebaya ini. Semua orang sepertinya memperhatikan aku.” Kata Asmi.
Adilla ketawa. “Salahmu juga, aku
sudah menawarimu untuk kujemput tapi kau tidak mau. Nanti pulang aku antar,
ya.”
“Ya. Jangan bohong.” Ucap Asmi. Namun
mendadak dia teringat sesuatu. “Lebih baik jangan. Biar aku pulang naik
kendaraan umum lagi.”
“Lho, kenapa?”
“Apa tunanganmu tidak akan marah kalau
tahu kau mengantar aku pulang?”
Adilla tersenyum. “Ya, enggaklah. Masa
aku mengantar temanku saja dia marah. Enggak, Ninda pasti mengerti, kok.” Ucap
Adilla ringan. Dia melihat pada kantong plastik yang ditaruh Asmi diatas meja.
“Apa itu?”
“Kue pesanan ibumu.”
“Terima kasih, Asmi. Uangnya mau
diambil sekarang?” Kata Nani, ibunya Adilla. senyumannya ramah seperti biasa.
Wanita paruh baya yang masih nampak cantik dan segar itu mengenakan kebaya
warna coklat.
“Nanti saja, tante. Bisa titip sama
Adilla saja nanti.” Sahut Asmi.
“Mah, Asmi tahu kue apa yang
sangat aku sukai. Nah, kalau aku
kerumahnya, dia pasti menyuguhi aku dengan kue-kue kesukaanku.” Ujar Adilla.
Nani hanya tersenyum mendengar ucapan
anaknya.
Tidak lama rombongan keluarga Adilla
menuju rumah Ninda. Rumah Ninda besar dan megah. Saat itulah Asmi sadar, apalah
artinya dirinya bila dibandingkan dengan Ninda. Pantas bila Adilla memilih
Ninda. Ninda memiliki segalanya yang
lebih dari dirinya. Lagi pula Adilla selama ini hanya menganggap aku sebagai
sahabatnya semata, pikir Asmi. Aku yang telah salah menafsirkan
kebaikan-kebaikan dan perhatian-perhatian
Adilla selama ini kepadaku.
Ninda
turut menyambut kedatangan
rombongan keluarga Adilla. Gadis itu cantik sekali. Kulitnya putih bersih. Ada tahi lalat besar
disudut bibirnya sebelah kiri, membuat senyumannya kelihatan sangat menarik. Rambutnya hitam,
disanggul kecil dengan hiasan rambut berwarna keperakan. Ninda mengenakan kebaya hijau. Ketika berdiri
disamping Adilla, Ninda begitu cantik dan anggun. Mereka kelihatan serasi
sekali. Dalam hati Asmi mengakui, Adilla dan Ninda kelihatan serasi.
Acara pertunangan itu berlangsung
lancar. Asmi melihat acara pertunangan
itu istimewa sekali. Begitu banyak hidangan yang disajikan. Beragam macam
makanan yang ditata pada beberapa buah meja bundar. Yang hadir pun bukan hanya
dari pihak keluarga Adilla dan Ninda saja, namun rekan-rekan orangtua mereka
juga hadir.
Asmi lebih banyak duduk menyendiri.
Dia melihat Adilla kelihatan bahagia. Sehari itu Adilla berdampingan terus
dengan Ninda. Adilla seakan tidak menyadari kehadirannya. Namun Asmi tidak
menyalahkan Adilla. Adilla kini sudah menjadi milik gadis lain. Sementara
dirinya hanyalah sekedar teman Adilla. Aku harus mengingatkan perasaanku,
jangan sampai ada luka disana karena bagi Adilla aku hanyalah sekedar temannya
saja. Sementara disisinya kini ada seorang gadis yang demikian cantik
mempesona. Pantas bila Adilla tidak ingat lagi pada gadis lain. Wajah Adilla
sangat berbeda dengan saat malam tempo
hari datang kerumahnya bercerita akan bertunangan. Malam itu wajah Adilla
nampak ragu ketika bercerita akan bertunangan. Namun sekarang tak ada keraguan
diwajah itu. yang ada hanyalah senyuman bahagia.
Hingga acara usai, Asmi tidak
merasakan kesan apapun kecuali ada perasaan sedih. Adilla kini sudah akan
menjadi suami orang. Kesedihannya semakin bertambah. Saat acara usai, Adilla
tidak ikut pulang dengan rombongan keluarganya. Dia akan pulang belakangan.
Adilla masih asyik bercakap-cakap dengan teman-temannya yang datang berkumpul
diumah Ninda. Canda dan tawa mereka
berderai. Asmi menemui Adilla.
“Dill, aku pulang duluan, ya.”
“Ya, ya.” Sahut Adilla. Wajahnya kelihatan gembira. Dia menatap Asmi
dengan senyuman dibibirnya. “Terima kasih ya, sudah hadir menemani aku.”
“Ya. Selamat, ya.” Asmi tersenyum
menjabat tangan Adilla.
“Terima kasih, mbak.” Ninda menyalami
Asmi. Wajahnya cantik berseri.
Asmi tersenyum. Mereka sudah bahagia.
Aku tidak boleh lagi merasa kecewa dengan
keputusan Adilla ini, kata Asmi dalam hati. Aku tidak boleh mengusik
kebahagiaan mereka.
“Asmi, kamu ikut dengan mbak aja, ya.”
Kata Maya.
“Terima kasih, mbak.” Asmi mengikuti Maya kedalam mobilnya. Adilla pasti
lupa tadi dia janji akan mengantarku pulang, pikir Asmi ketika mobil telah
melaju meninggalkan rumah Ninda. Ya,
Adilla pasti lupa karena dia sedang sibuk dengan kebahagiaannya. Asmi menghela
napas dalam. Aku tidak boleh mengusik kebahagiaan Adilla. Adilla sudah bahagia
bersama Ninda.
“Asmi, Adilla pernah cerita katanya
kamu pintar membuat roti dan kue.” Maya
yang duduk didepan disamping Wisnu, suaminya, menoleh pada Asmi yang
duduk dibelakangnya.
“Biasa saja, mbak. Bisa sedikit.”
Sahut Asmi.
“Kata Adilla kamu punya usaha bikin
roti dan kue.”
“Ya, mbak. Dititipkan diwarung-warung.
Sebagian dijajakan keliling.”
“Kamu gadis yang ulet, Asmi. Bisa
bekerja sambil kuliah.” Komentar Wisnu.
Asmi hanya tersenyum. Dia menyalakan
telepon genggamnya yang selama dirumah
Ninda dimatikan. Beberapa pesan pendek beruntun masuk. Asmi tercekat. Dia
seakan tak percaya dengan isi pesan
pendek yang diterimanya.
“Mbak!” seru Asmi.
Maya menoleh. Melihat wajah Asmi yang
kelihatan mendadak seperti panik. “Ada apa?” Tanya Maya
terkejut.
“Mbak, ibu saya dirumah sakit……ibu
saya dibawa kerumah sakit…….” Sahut Asmi. Mendadak teleponnya berbunyi.
Bergegas Asmi mengangkatnya dengan tangan gemetar.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsallam. Mbak, cepat pulang.
Ibu……ibu, Mbak.” Suara Rohmah kedengaran
panik.
“Kenapa dengan ibu?”
“Ibu tadi terjatuh dikamar mandi.
Kepala ibu membentur dinding bak. Ibu pingsan. Kami membawanya ke rumah sakit.
Sekarang ibu sudah dirumah lagi…….”
Suara Rohmah mengabur, berbaur dengan
tangisan.
Asmi mendadak panik. Serangan jantung.
Ibunya sudah lama mengidap penyakit jantung. Sudah dua kali ibunya terkena
serangan jantung. Ya Allah, selamatkanlah ibuku.
“Bagaimana ibumu, Asmi?” Tanya Maya.
“Ibu sudah dirumah lagi……” sahut Asmi
pelan. Mendadak dia merasa lemas. Firasatnya seakan mengatakan lain.
“Kita kerumah Asmi dulu, pap.” Kata
Maya pada Wisnu. Wisnu mengangguk.
Tiba dirumahnya, mendadak Asmi merasa
lemas. Banyak orang berkumpul
dirumahnya. Kursi meja dikeluarkan. Asmi
berlari masuk kedalam rumah. Matanya terpaku menatap orang-orang yang berkumpul
diruang tengah. Sesosok tubuh yang tertutup kain terbujur ditengah ruangan.
“Asmi, tadi tante berusaha menghubungimu, namun handphonemu
tidak aktif. Tante menyuruh Yogi menjemputmu kekampus, untunglah kau sudah
pulang…….”
Asmi tidak mendengarkan ucapan Wati,
adik ibunya satu-satunya, yang menyambut kedatangannya. Matanya terpaku pada
sesosok tubuh yang tertutup kain, yang
terbujur ditengah ruangan. Dia tak percaya melihat apa yang terjadi.
“Ibu kenapa, tante?”
“Serangan jantung. Ibumu menghembuskan
napasnya dalam perjalanan menuju rumah sakit.” Gandara, anak tertua Wati yang
menjelaskan.
Asmi terduduk. Bersimpuh didekat
jenazah ibunya. Tak percaya dengan apa yang terjadi. Tadi pagi ketika dia akan
berangkat kerumah Adilla, ibu kelihatan
sehat. Airmatanya tak bisa dibendung lagi. Kini dia sudah tidak memiliki
ayah dan ibu lagi. Kini dia yatim piatu. Dia merasakan tangan-tangan
memeluknya, menangisinya. Matanya
terpejam rapat. Ya Allah, kuatkanlah hati hamba menerima ujian-Mu ini.
Airmatanya mengalir deras.
Maya memeluk Asmi, mencoba menenangkan
gadis itu.
“Asmi, kamu harus tabah. Terimalah ini
dengan hati ikhlas. Semoga ibumu mendapat tempat yang baik disisi-Nya.” Ucap
Maya.
Asmi hanya mengangguk. Airmatanya
kembali mengalir membasahi pipinya. Wisnu hanya mengelus bahu Asmi tanpa
berkata apa-apa. Dia sudah menelepon Adilla, memberitahu Adilla mengenai berita
duka ini. Adilla berkata dia akan segera kerumah Asmi.
Menjelang magrib Adilla datang kerumah
Asmi. Adilla masih mengenakan kemeja batik yang dipakainya tadi waktu acara
pertunangan. Maya Adilla menahan kesedihan menatap Asmi. Dia tahu bagaimana
berdukanya gadis itu. Mulut Adilla berucap lirih, “Asmi, aku turut berduka. Mas
Wisnu tadi sore menelepon aku mengabarkan berita ini. Aku tidak bisa
cepat-cepat kemari. Banyak keluarga Ninda yang datang.”
“Tidak apa-apa.” Sahut Asmi.
“Seharusnya engkau tidak terganggu. Kau sedang punya acara sendiri bersama
Ninda.”
“Acaraku sudah selesai. Aku tadi kaget
mendapat telepon dari mas Wisnu mengabarkan kejadian ini. Aku turut berduka,
Asmi. Mudah-mudahan engkau tabah menerima semua ini, ya.”
“Terima kasih, Dill.”
Pemakaman ibunya berlangsung keesokan
harinya. Asmi tak bisa lama larut dalam kesedihannya. Dia harus
menyiapkan acara tahlilan ibunya selama tujuh hari. Keluarga dari ayah dan
ibunya datang silih berganti.
“Tabahkanlah hatimu, Asmi. Kau masih
memiliki keluarga. Dari pihak ayahmu maupun dari pihak ibumu. Kalau ada
apa-apa, hubungi kami.” Ucap paman Irfan, adik bungsu ayahnya.
“Terima kasih, paman.” Asmi
mengangguk.
Asmi bersyukur banyak keluarga dari
pihak ayah dan ibunya yang memberikan perhatian kepadanya. Dia sekarang sudah
tidak memiliki lagi ayah dan ibu. Namun masih banyak keluarga dan
teman-temannya yang memperhatikannya dan menghibur dukanya.
Adilla setiap hari datang kerumahnya,
ikut tahlilan setiap malam. “Aku percaya kau pasti tabah, As.”
“Aku telah kehilangan kedua
orangtuaku, Dill. Aku kini tidak punya siapa-siapa lagi.”
“Kamu masih memiliki keluarga dari
pihak ayahmu, juga dari pihak ibumu.
Kamu juga masih memiliki teman-teman yang menyayangimu. Kamu tidak akan
sendirian, Asmi. Kamu juga masih punya aku. Kalaun ada apa-apa, kamu bisa
bicara kepadaku. Aku akan selalu siap membantumu.”
“Terima kasih, Dill. Kamu baik
sekali.”
“Kamu juga baik, Asmi.”
Selama tujuh hari Adilla setiap malam
datang kerumah Asmi turut tahlilan. Dia memperhatikan Asmi berangsur-angsur
pulih kembali. Gadis itu menemukan ketegarannya. Asmi mulai menerima kenyataan.
Duka diwajahnya masih membayang namun airmata gadis itu telah berhenti
mengalir. Adilla senang melihat Asmi mulai bisa tersenyum lagi, walaupun hanya
senyuman tipis.
Kedua orangtua Adilla datang waktu pemakaman ibunya.
“Kamu pasti tabah, Asmi. Tante percaya
kamu seorang gadis yang kuat.” Ucap Nani.
“Terima kasih, tante.”
Asmi mensyukuri semua perhatian yang
diterimanya walaupun kepergian ibunya merupakan kesedihan buat dirinya. Dia
sangat kehilangan ibunya. Setelah kepergian ayahnya, hanya ibunya yang
dimilikinya. Bertahun-tahun lamanya semenjak kepergian ayahnya, dia melewati
hari-hari bersama berdua saja bersama
ibunya. Hari-hari mereka lewati berdua. Dari ibunyalah dia belajar untuk bisa
kuat dan tegar. Hidup harus dijalani dan dilakoni dengann penuh ketabahan,
keikhlasan dan selalu berdoa kepadaNya. Cukuplah Allah buat kia, dialah
sebaik-baik penolong. Sering ibunya bicara begitu disaat dia mendapatkan
kesedihan dan kekecewaan. Disaat dia merasa hidup begitu pahit dan getir.
Ibunya tak pernah mengeluh.
“Bila kau selalu melihat keatas,
kepada orang-orang yang kehidupannya seakan kelihatan jauh lebih baik diatas
kita, kau tidak akan pernah bersyukur pada Allah karena yang kau lihat adalah
orang lain yang seolah diberi lebih segalanya
oleh Allah.” Ucap ibunya suatu saat. “Tapi cobalah engkau menunduk,
melihat pada orang-orang yang kehidupannya dibawah kita. Dari segi apapun. Dari
segi ekonomi atau yang lainnya. Kau akan menyadari betapa engkau semestinya
banyak mengucapkan syukur kepada Allah dengan segala apapun yang telah
diberikan Allah untuk mengisi hidupmu. Dan engkau tidak akan pernah menyesali apapun yang tidak diberikan Allah
kepadamu. Bersyukur, Asmi. Dengan selalu mengucap syukur, engkau akan
mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan dalam hidupmu.”
Ibunya adalah sumber kekuatan bagi dirinya. Kini dia telah kehilangan
ibunya. Namun hidup harus terus
dilakoninya. Walaupun dia kini sendirian saja. Airmatanya kembali mengalir.
Masa depannya masih panjang. Hanya Allah tempatnya bergantung. Seperti nasehat ibunya selama ini. Yang akan
dijadikan pegangan baginya untuk terus
melangkah menapaki jalan kehidupannya menuju masa depannya.
--- 0 ---
Sambil menunggu kuliah berikutnya
Adilla biasa jajan dikantin kampus. Kantin favoritnya adalah kantin yang dekat dengan tempat kuliah Asmi. Tempatnya
kecil namun nyaman. Didepan kantin ada sebatang pohon asam tua yang rindang
yang terasa memberikan kesejukan dan keteduhan. Apabila ada janji bertemu Asmi, dia biasa menunggu
gadis itu dikantin.
Hari itu Adilla sengaja makan disana. Dimeja yang biasa dia
duduki bila sedang bersama Asmi. Dikantin kampus ini Asmi menitipkan roti dan
kue-kue basah buatannya. Teman-temannya
sudah tahu bahwa roti dan kue–kue basah yang dijual dikantin buatan Asmi. Roti
dan kue-kue basah itu sangat laris.
Namun kali ini Adilla tidak melihat roti
dan kue-kue basah buatan Asmi. Waktu baru menunjukan pukul duabelas lewat lima belas menit.
Biasanya pada jam-jam segini roti dan kue-kue basah buatan Asmi masih tersedia
di kantin.
“Sudah seminggu ini Mbak Asmi tidak
mengirim roti dan kue-kue basah, mas.”
Kata gadis penjaga kantin ketika Adilla bertanya. “Kata Mbak Asmi seminggu ini mau istirahat dulu. Mungkin
mulai senin depan mbak Asmi akan mengirim roti dan kue-kue basah lagi.”
“Kenapa?” Tanya Adilla penasaran.
“Saya tidak tahu, mas. Tapi kalau mas
mau pesan roti atau kue, silahkan dicatat saja. Nanti saya sampaikan
pada mbak Asmi.”
“Oh, enggak. Saya hanya heran,
biasanya kue-kue buatan Asmi selalu tersedia disini. Saya kan langganan setianya, mbak.” Sahut Adilla.
“Oh, iya. Memang banyak yang
menanyakan roti dan kue-kue basah buatan mbak Asmi selama seminggu ini. Kue-kue
buatan mbak Asmi memang enak. Disini juga laris terus dagangannya.” Ujar gadis penjaga kantin itu.
“Terima kasih ya, mbak.”
Adilla kembali ketempat duduknya.
Dia termenung. Kenapa Asmi tidak jualan
lagi? Ada apa
dengan gadis itu? Sakitkah dia? Apakah dia
kelelahan setelah menerima banyak pesanan akhir-akhir ini? Ataukah dia sakit setelah kepergian ibunya?
Penasaran, pulang kuliah Adilla pergi
kerumah Asmi. Namun pembantu dirumahnya mengatakan Asmi sedang pergi keluar.
“Kemana?” Tanya Adilla.
“Saya kurang tahu, mas.” Sahut
pembantu itu.
“Yah, tidak apa-apa. Tolong nanti
sampaikan pada mbak Asmi, ada saya Adilla mencarinya.”
“Baik, mas.”
Adilla mengendarai motornya. Udara siang terasa panas. Jalanan
macet berdebu. Bunyi klakson bersahut-sahutan. Adilla menyelip diantara
mobil-mobil yang terjebak kemacetan. Sepanjang jalan dia tidak bisa melepaskan
pikirannya dari Asmi. Hatinya terus bertanya, kemana Asmi? Dia merasa khawatir
Asmi sakit atau kenapa-kenapa. Tiba
dirumah, dia mengirimkan beberapa pesan pendek. Namun pesan pendek yang dikirimkannya pada Asmi tidak ada
balasan.
Pasti ada apa-apa dengan Asmi, pikir
Adilla. Setelah menunggu sekian lama tidak ada balasan pesan dari Asmi. Tidak biasanya Asmi tidak membalas
pesannya. Aku harus menemui Asmi dan
melihat keadaannya. Malam itu dia pergi kerumah Asmi. Asmi sendiri yang
membukakan pintu. Bukan main gembiranya Adilla melihat Asmi.
“Hei, kemana saja?” sapa Adilla riang.
Sambutan Asmi nampak dingin. Tidak
biasanya Asmi begitu.
“Kamu sakit, ya? Aku tidak melihatmu tadi siang dikampus.”
“Aku sehat-sehat saja.”
“Tadi aku ke kantin. Aku tidak melihat
roti dan kue jualanmu. Kata penjaga kantin, seminggu ini kau tidak mengirimkan
roti dan kue. Kenapa?”
“Tidak apa-apa.”
“Tapi yang jualan keliling masih?”
“Masih. Itu kan usaha
pokok aku.”
Adilla merasa, Asmi berubah. Kelihatan
tidak antusias dengan kedatangannya. Namun dia bingung, kenapa Asmi berubah.
“Kau seperti tidak gembira.”
“Memang kenapa aku harus gembira?”
“Wajahmu kok muram?”
“Ah, matamu saja yang salah melihat.
Aku tidak apa-apa kok.”
“Kau seperti tidak senang aku
kemari?” kata Adilla curiga melihat
sikap Asmi kepadanya.
Asmi tidak segera menyahut. Dia
menatap Adilla dalam. “Ya, memang.” Sahut Asmi santai.
“Lho, kenapa?”
“Dill, sebaiknya kamu sekarang tidak
sering-sering lagi datang kemari. Nanti
Ninda marah sama aku kalau tahu kamu sering datang kemari.”
“Lho, aku kan masih tetap temanmu walaupun aku sudah
bertunangan dengan Ninda.”
“Tapi aku yang tidak mau kau datang
kemari lagi. Sekarang sebaiknya kamu pulang aja deh.”
“Tega benar kau mengusir aku.”
“Aku tidak mau mencari masalah, Dill.
Kau sudah bukan seperti yang kemarin.
Sekarang kau sudah terikat dengan gadis lain. Maafkan aku, Dill.”
“Aku sedih kamu usir seperti ini, As.”
“Maafkan aku, Dill. Aku tidak mau ada masalah nanti antara kau, aku dan
tunanganmu.”
Adilla pulang dengan perasaan sedih.
Dia ingin memberi penjelasan pada Asmi
bahwa pertunangannya dengan Ninda bukan berarti putusnya persahabatan mereka.
Namun Asmi seakan sudah tidak ingin melihatnya lagi. Bahkan seperti ingin
mengusirnya. Pada saat dia masih ingin duduk bersama-sama dengan gadis
itu. Atau memang aku yang salah? Pikir
Adilla. Aku sudah bertunangan dengan Ninda, tidak seharusnya aku tetap menjalin
pertemanan dengan Asmi. Yah, mungkin Asmi benar. Sebaiknya aku tidak terlalu
sering kerumah Asmi. Gadis itu jadi
ketakutan akan timbul masalah dikemudian hari. Tapi aku masih ingin berteman
dengan Asmi. Dan aku rasa pertemananku dengan Asmi tidak akan mengganggu
pertunanganku dengan Ninda. Adilla melarikan motornya menembus jalanan
yang ramai. Angin malam terasa dingin
menerpa tubuhnya. Tiba-tiba saja dia merasa sedih dengan sikap Asmi yang jadi
menjauh darinya. Ada perasaan hampa yang tiba-tiba menyelinap dalam hatinya.
Perasaan kehilangan. Asmi temannya yang baik hati dan perhatian. Sesaat Adilla
terkenang saat-saat indah selama berteman dengan Asmi sejak SMA dulu.
Nostalgia. Kenyataannya aku tak bisa melepaskan diri dari jerat nostalgia
bersama Asmi walaupun aku sudah memiliki Ninda. Asmi, seandainya engkau tahu,
aku sangat menyayangimu. Kenapa engkau harus menjauh dariku? Adilla semakin
mengencangkan laju motornya menembus jalanan.
--- 0 ---
Ninda menatap photo Fahrul yang
dibingkai dalam figura cokelat. Matanya
tiba-tiba membasah. Airmata yang sudah mengering itu menitik lagi. Dua tahun
lalu, airmatanya seakan tumpah ketika dia menangisi kematian Fahrul. Fahrul
adalah cinta pertamanya. Bersama Fahrul untuk pertama kalinya dia merasakan
betapa bahagianya dicintai dan mencintai.
Fahrul yang memberinya kenangan-kenangan indah akan arti cinta, namun
Fahrul juga yang membuat airmatanya tumpah ketika dia pergi untuk
selama-lamanya. Kecelakaan itu telah merenggut nyawa Fahrul. Ninda merasa
dunianya runtuh.
Dia memahami, bahwa mencintai dengan
sangat itu memiliki konsekwensi yang tinggi pada saat cinta itu
meninggalkannya. Betapa rapuh hatinya manakala dia menyadari betapa
menyakitkannya kehilangan orang yang dicintai dan mencintainya. Semula dia
berpikir, cinta tak akan pernah datang
lagi menghampirinya. Semula dia berpikir, akan sulit lagi baginya untuk
mencintai dan dicintai. Namun Allah Maha Kuasa. Dia bertemu Adilla. Dia
menemukan kebahagiaan seperti yang
didapatkannya ketika bersama Fahrul
dulu. Adilla baik dan lembut. Lelaki itu seakan membawanya keluar dari lorong
sunyi hidupnya. Adilla seakan mengajaknya untuk melihat kembali sinar mentari
diluar sana
yang bersinar lembut yang semenjak kematian Fahrul seakan tak pernah lagi
dirasakan kehangatan cahayanya. Ninda tidak memungkiri, perjalan umroh
bersama-sama dengan Adilla telah semakin mendekatkan mereka.
Fahrul, aku sekarang sudah bertunangan
dengan Adilla, maafkanlah aku, bisik Ninda
sambil mengusap photo itu. Maafkan aku, Fahrul. Aku tidak mengkhianatimu.
Namun aku harus menemukan penggantimu. Aku tidak mungkin terus menerus
tenggelam dalam kesedihan berlarut-larut. Aku benar-benar kehilanganmu, namun
aku juga tidak bisa membiarkan diriku terus sendirian. Adilla namanya. Ya,
Adilla adalah pengganti dirimu.
Airmata Ninda terjatuh. Tepat mengenai
photo Fahrul. Aku ingin engkau tenang dan bahagia. Aku ingin engkau mendapatkan
kedamaian dan ketentraman ditempatmu sekarang. Cintaku kepadamu ikut terkubur
bersama jasadmu. Cintamu kepadaku akan tetap aku kenang selamanya. Aku sangat
mencintaimu. Maafkan aku dengan semua yang terjadi padaku sekarang. Mudah-mudahan Adilla mencintaiku seperti dulu
engkau mencintai aku.
“Ninda……”
Gadis itu menoleh. Nuraeni, ibunya,
masuk kekamarnya.
“Sedang apa, nak?”
Mata Nuraeni langsung melihat pada
photo besar dan bingkai berukir ditangan anaknya. Nuraeni duduk disampingnya.
“Photo Fahrul masih kau simpan?” tanya
Nuraeni.
“Ya, ma.” Sahut Ninda.
“Kamu sekarang sudah memiliki Adilla,
Ninda.” Nuraeni mengingatkan anaknya. Dia dapat merasakan perasaan Ninda yang
masih merasa kehilangan Fahrul, namun disisi lain dia ingin Ninda keluar dari
dukanya dan menyadari bahwa sekarang sudah ada Adilla sebagai pengganti Fahrul.
“Ya.”
“Sebaiknya kamu tidak menyimpan photo
Fahrul lagi, Ninda. Kamu sekarang sudah
bertunangan dengan Adilla. Masa depanmu ada bersama Adilla. Mama memahami kau
pasti sangat kehilangan Fahrul, namun dia adalah bagian dari masa lalumu. Fahrul sudah tidak
ada lagi. Dia sudah tenang disisi-Nya. Lebih baik kau mendoakannya agar dia
mendapatkan tempat yang baik disisi-Nya. Hadapilah masa depanmu bersama Adilla.
Allah Maha Pemurah, telah mengirimkan pengganti Fahrul untukmu.”
Ninda hanya menunduk.
“Kamu belum bisa melupakan Fahrul,
Ninda?”
“Ya, ma. Rasanya sulit sekali
melupakan Fahrul.”
“Sampai kapan kamu akan bisa melupakan
almarhum kekasihmu itu? Mama khawatir, bila Adilla mengetahui kau masih belum
bisa melupakan Fahrul, akan mempengaruhi perasaannya. Adilla pasti tidak ingin
hatimu mendua. Adilla pasti marah dan tersinggung bila dia tahu kau masih
mengenang Fahrul.”
Ninda mengangguk.
Ibunya tersenyum. “Sekarang simpanlah
photo itu, ya. Kau boleh mengenang Fahrul sebagai bagian dari masa lalumu,
namun janganlah membuatmu merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Mama setiap
saat selalu berdoa semoga Allah memberikan kebahagiaan kepadamu. Alhamdulillah
doa mama terkabul. Kau sudah mendapatkan
pengganti Adilla. Insya Allah, dia laki-laki yang baik untukmu.”
Kembali Ninda hanya mengangguk tanpa
berkata.
Ketika dia sudah sendirian lagi
dikamarnya, Ninda mengambil photo Adilla. Adilla tengah berdiri didepan
phiramid. Aku juga mencintaimu, mas
Dill, tapi biarkan ada ruangan kosong dalam hatiku yang kusediakan untuk
cintaku kepada Fahrul. Ninda menghapus air matanya. Tapi mama benar, aku boleh mengenang Fahrul hanya sebagai bagian
dari masa laluku semata yang pernah mengisi ruanganan kosong dimasa laluku
namun aku tidak boleh merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Sekarang aku sudah
memiliki mas Dill. Mama benar, Fahrul adalah masa laluku. Walaupun aku masih bisa mengenangnya, namun
Fahrul sudah tiada lagi. Aku tidak boleh merasakan kesedihan yang
berlarut-larut. Aku sekarang sudah memiliki Mas Dill. Masa depanku sekarang
bersama mas Dill.
Ninda mengamati photo Adilla. Aku
mencintaimu, mas Dill. Maafkan aku bila aku tetap masih mengenang Fahrul.
Jangan tanyakan mana yang lebih aku cintai antara dirimu dan Fahrul karena
dalam hidupku aku hanya mengenal cinta kepada Fahrul dan kepadamu.
Ninda lalu mengambil photo Fahrul.
Maafkan aku, Fahrul. Aku tidak mengkhianatimu namun aku akan menyimpan photomu
dan tidak akan melihatmu lagi agar aku
bisa tenang menjalani kehidupanku
bersama mas Dill. Ninda mengambil kertas Koran. Hati-hati dibungkusnya pigura yang berisi
photo Fahrul itu, juga dengan
photo-photo Fahrul lainnya. Dan segala macam benda pemberian Fahrul yang
sekarang hanya membuatnya semakin sedih mengingat segala kenangannya tatkala
bersama Fahrul dulu. Ninda menyimpan semuanya didalam laci. Dikuncinya laci
itu. namun didalam dompetnya, dia masih menyimpan photo Fahrul berukuran kecil.
Didalam dompetnya, photo Fahrul itu diletakkan bersisian dengan photo
Adilla.
--- 0 ---
Ninda menyambut kedatangan Adilla.
Wajahnya segar berseri. Ibunya yang
diam-diam memperhatikan anaknya, mengucapkan syukur dalam hatinya. Lalu
bergegas pergi. Dia tidak ingin mengganggu anaknya.
“Coba tebak, apa isinya kado ini?”
Tanya Ninda.
“Kado?” Adilla terperangah. Dia
melihat kado kecil ditangan Ninda.
“Buka deh.”
“Kado untuk apa?”
“Mas Dill, hari ini adalah hari ulangtahunmu, apa mas
Dill tidak ingat?”
“Aku tidak pernah ingat dengan hari
ulangtahunku karena aku tidak pernah merayakannya.” Sahut Adilla.
Perasaan Adila merasa terharu melihat
perhatian Ninda. Tidak pernah ada orang yang ingat pada hari ulangtahunnya.
Kecuali ibunya. Itupun waktu dia masih duduk disekolah dasar. Setelah dia
besar, setiap hari ulang tahunnya tiba, tidak ada bedanya dengan hari-hari
biasa. Dan tidak pernah ada yang mengingatkannya dengan hari ulang tahunnya. Kecuali
hari ini. Ninda mengingatkan dengan hari ulang tahunnya.
“Buka deh.” Ucap Ninda sambil memeluk bahu Adilla.
Adilla merasa risih merasakan
kemanjaan Ninda kepadanya. Namun dia merasa tidak tega bila menepis tangan
gadis itu dibahunya. Adila membuka bungkusan itu. Jam tangan. Pasti mahal
harganya. Sejenak Adilla terpaku menatap jam tangan itu. Dia terharu dengan
perhatian Ninda kepadanya.
“Terima kasih. Kamu baik sekali. Tapi
kenapa membelikan jam tangan ini?”
“Apa salahnya aku menghadiahkan jam tangan itu untuk mas Dill? Aku suka
dengan jam tangan itu dan aku ingin mas Dill
memakainya.“
Adilla memperhatikan jam tangan itu.
Suara Ninda demikian lembut dan halus. Dia sungguh-sungguh ingin menyenangkan
perasaanku, pikir Adilla.
“Kenapa hanya dilihat saja?” Tanya
Ninda. “Ayo dipakai. Pasti cocok dipakai mas Dill.”
Ninda mengambil jam tangan itu dari
dalam kotaknya dan mengenakannya ditangan kiri Adilla. Benar-benar pas. Adilla
hanya terpekur menatap jam tangan itu.
“Mas Dill senang dengan jam tangan ini?”
“Tentu saja.” Sahut Adilla. “Kamu
pintar memilihkan jam tangan ini.”
“Aku memilihnya dengan hati, jadi
pasti cocok untuk mas Dill.” Ninda tersenyum manis. Lalu dia bergayut manja dilengan Adilla. “Mas Dill, antar aku keluar sebentar, ya.”
“Kemana?”
“Beli sepatu. Aku ingin membeli sepatu
dengan tali-talinya yang berwarna keemasan. Minggu depan sepupuku akan menikah.
Mas Dill juga nanti datang bersamaku ke resepsi perkawinan rani bersamaku, ya.”
Hari itu Adilla mengantar Ninda
belanja. Bukan hanya sepatu. Tapi juga baju dan beragam belanjaan lainnya.
Gadis itu nampak gembira. Ketika Ninda membuka dompetnya akan membayar
belanjaannya, Adilla melihat ada photo Fahrul disana, bersisian dengan photo dirinya. Mendadak Adilla merasa
cemburu. Ninda masih menyimpan photo
Fahrul. Gadis itu masih mengenang kekasihnya walaupun dia kini sudah
bertunangan dengannya. Jadi apa artinya
pertunangan ini bila Ninda masih menyimpan
photo lelaki lain walaupun lelaki itu adalah bekas kekasihnya dahulu.
Adilla merasa marah dan tersinggung. Namun dia mencoba menahan diri.
“Kamu masih menyimpan photo Fahrul,
Ninda?” Tanya Adilla ketika mereka sudah
berada didalam mobil. Dia berusaha melembutkan suaranya gar Ninda tidak merasa
tersinggung.
Ninda menatap Adilla. “Photo yang
mana?”
“Didompetmu itu. Aku melihat ada photo
Fahrul.”
Ninda membuka dompetnya. “Ya, aku
menyimpan photo Fahrul. Hanya photo ini satu-satunya yang masih kusimpan. Namun photo Mas Dill juga aku simpan disini.”
“Apa yang ada dalam pikiranmu?” Kening
Adilla berkerut tidak senang. “Kenapa photoku kau rendengkan dengan photo
Fahrul?”
“Mas Dill, aku pikir ini bukan masalah
serius. Fahrul dan Mas Dill adalah dua laki-laki yang sama istimewanya buatku,
dalam hidupku.” Sahut Ninda polos.
“Tapi Fahrul sudah meninggal, dan aku
sekarang adalah tunanganmu.” Protes Adilla tanpa menyembunyikan ketidaksukaan
dalam nada suara dan raut wajahnya. Keningnya berkerut tajam.
“Ya, tapi aku tidak bisa menyingkirkan
photo Fahrul.”
“Kalau begitu, kau belum bisa melupakan
Fahrul, walaupun kita sekarang sudah bertunangan.”
“Maafkan aku, Mas Dill.”
“Kukira kau sudah cukup dewasa untuk
memahami keadaan ini. Kau sudah bertunangan dengan aku. Dan tidak seharusnya
kau masih menyimpan photo almarhum kekasihmu itu walaupun kau masih belum bisa
melupakannya.”
Melihat kemarahan dimata Adilla,
mendadak Ninda menangis.
“Kenapa Mas Dill memarahi aku? Aku…..aku…….” Airmata Ninda
semakin berhamburan.
Adilla menjadi serba salah. Dia mencoba memahami kondisi gadis itu. namun
disisi lain harga dirinya sebagai seorang lelaki seakan terusik.
“Ya, sudah. Aku hanya ingin engkau
tidak menyimpan photo Fahrul lagi didompetmu.”
“Ya, aku tidak akan menyimpannya lagi.
Ini adalah satu-satunya photo Fahrul yang masih aku simpan. Jangan marahi aku,
mas Dill. Aku janji tidak akan menyimpan photo Fahrul lagi.”
“Aku tidak marah kepadamu. Maafkan aku
bila tadi kata-kataku terlalu keras kepadamu.”
Ninda menghapus airmatanya, berusaha
tersenyum sambil menatap Adilla. Dia mencoba memahami perasaan Ninda. Mungkin
Ninda masih belum bisa melupakan Fahrul. Mungkin terlalu banyak kenangan gadis
itu pada lelaki yang pernah menjadi kekasihnya. Namun disisi lain dia juga
sebagai tunangan Ninda tidak ingin gadis itu masih memikirkan lelaki lain,
walaupun lelaki itu sudah tidak ada lagi didunia ini. Dia ingin Ninda hanya
memikirkan dirinya. Namun mendadak Adilla sadar, betapa egoisnya dirinya.
Disatu sisi dia menghendaki Ninda hanya memikirkan dirinya saja namun disisi
lain dirinya pun tetap suka memikirkan Asmi walaupun kini dia sudah memiliki
Ninda.
--- 0 ---
Malam itu Adilla muncul dirumah Asmi
dengan wajah muram. Walaupun sudah
dilarang datang, namun Adilla tetap memaksa suka datang kerumah Asmi. Awalnya
Asmi masih suka protes. Namun lama kelamaan dia sering merasa kasihan pada
sahabatnya itu bila dia selalu mengusirnya pergi. Kini Adilla datang lagi. Asmi tidak terlalu
respon melihat kemuraman diwajah Adilla. Namun membiarkan Adilla pun hatinya
tidak tega. Akhirnya Asmi bertanya juga.
“Kenapa? Ada apa lagi?”
Adilla menjatuhkan tubuhnya diatas
kursi rotan diteras depan. Dia duduk dikursi panjang. Kakinya diselonjorkan.
“Kamu jangan mengusir aku lagi dong.”
Asmi tersenyum. “Ada apa?”
“Aku bingung oleh hubunganku dengan Ninda……..” Ucap Adilla.
“Lho, kenapa?”
“Aku merasa Ninda tidak mencintaiku.”
Sahut Adilla. Suaranya terasa berat.
“Ah, itu hanya perasaanmu saja.” Tukas
Asmi. “Tidak mungkin Ninda mau
bertunangan denganmu bila dia tidak mencintaimu. Dia pasti mencintaimu, Dill.”
“Aku tahu sebelum bertemu denganku
Ninda menjalin hubungan dengan Fahrul.”
Kata Adilla lagi. “Fahrul meninggal dalam kecelakaan. Ninda shock dengan
kematian kekasihnya itu. Dia benar-benar kehilangan Fahrul. Dia lama tidak mau
kuliah dan menghabiskan waktu hanya untuk menangisi kekasihnya yang telah
pergi. Ibunya membawanya ke pengajian. Suatu hari ibunya melihat aku waktu aku
mengantar mama. Ibunya Ninda menanyakan aku kepada mama. Entah bagaimana
pembicaraan antara ibunya Ninda dengan mama. Mama setuju memperkenalkan aku dengan Ninda dan ketika melihat kami mulai akrab, sering
jalan berdua, mereka sepakat aku dan Ninda bertunangan.”
Adilla mengusap wajahnya. Malam
dimusim kemarau terasa panas. Tubuhnya terasa gerah dan berkeringat. Dia
membuka jaketnya.
“Aku memang tertarik pada Ninda.” Ucap
Adilla. “Dia cantik dan baik. Sejak pertama kali diperkenalkan oleh ibuku, aku
sudah tertarik kepadanya. Ninda juga menunjukan sikap yang baik dan
menerima aku. Kami memang hanya sebentar
saling mengenal, namun saat itu aku merasa sudah jatuh cinta sekaligus kasihan
kepadanya. Aku tahu bagaimana shock perasaannya dengan kematian Fahrul yang
tiba-tiba. Aku ingin membuatnya bahagia. Kami tidak menolak ketika orangtua
sepakat agar kami bertunangan. Namun kini, rasanya aku masih ragu untuk menikah dengan
Ninda……..”
“Hanya karena soal Fahrul kamu seolah
menganggap itu sebuah masalah. Lama-lama Ninda pasti akan bisa melupakan
Fahrul.”
“Dia masih menyimpan photo Fahrul
dalam dompetnya. Photo Fahrul
bersisian dengan photoku.”
Protes Adilla.
“Masa?” Asmi tertawa. Namun tawanya
tertahan ketika melihat Adilla meliriknya dengan tidak senang.
“Coba kamu pikir, bagaimana perasaanku
ketika aku melihat photoku bersisian
dengan photo Fahrul? Aku sudah
jelas adalah tunangannya, sementara Fahrul adalah bekas kekasihnya yang sudah
meninggal lebih setahun lalu. Untuk apa dia masih menyimpan photo Fahrul?
Apakah Ninda masih mencintai dan mengenang Fahrul sehingga dia masih juga
menyimpan photonya dan dibawanya kemana-mana.”
“Yah, sabarlah. Kurasa itu bukan masalah
yang pelik.” Ucap Asmi. “Kamu bisa memberi pengertian pada Ninda untuk tidak
menyimpan photo Fahrul lagi, apalagi bila disimpan didalam dompetnya
bersisian dengan photomu.”
“Aku sudah mengatakan hal itu pada Ninda.”
“Lalu? Apa dia mau mengikuti kata-katamu?”
“Ya, dia menurut. Sekarang photo
Fahrul sudah tidak ada lagi didalam dompetnya.” Sahut Adilla. “Mungkin Ninda
sekarang menaruh photo Fahrul dibawah bantalnya.”
Asmi tertawa. “Nah, rupanya kamu
masih cemburu, Dill.”
“Tidak, aku tidak cemburu.” Tukas
Adilla.
“Kamu cemburu, Adilla.” Ujar Asmi.
“Kalau kamu tidak cemburu, kamu pasti tidak akan menduga Ninda menyimpan photo
Fahrul dibawah bantalnya. Bisa saja kamu
berpikir bahwa photo itu sudah disimpan Ninda dilaci, atau bahkan mungkin sudah
dibuangnya.”
Adilla hanya menghela napas dalam.
“Lalu apa lagi? Soal photo sudah
selesai, masih ada masalah lain lagi?”
“Asmi, sepertinya aku tak akan bisa
menjalani kehidupan berumah tangga dengan Ninda. Dia terlalu mahal untukku.” Ucap Adilla. “Setiap akhir pekan
selalu ada hari yang digunakan untuk berbelanja kebutuhan-kebutuhan pribadinya
yang menurutku mahal. Setiap bulan,
selalu ada akhir pekan yang dipakai untuk liburan ketempat-tempat wisata yang
dia inginkan. Uang buat Ninda bukan
masalah. Sebagai anak tunggal dari orangtua yang memiliki usaha yang mapan dia
bisa mendapatkan uang dengan mudah dan
orangtuanya akan mampu memenuhi apapun yang diinginkannya. Namun aku
jadi takut dan khawatir. Aku pasti tidak akan bisa mengikuti irama hidup Ninda
yang serba mewah dan serba mudah mendapatkan apapun yang diinginkannya.
Orangtuanya tidak pernah menolak apapun yang diinginkan Ninda.”
“Aku tidak bisa berkomentar, aku takut
salah.” Ucap Asmi. Dia belum memahami, untuk apa Adilla menceritakan semua itu
kepadanya.
“Aku tidak meminta pendapatmu, aku hanya ingin engkau
mendengarkan apa yang menjadi beban perasaanku.”
“Ninda mungkin akan berubah setelah
menikah, setelah dia menjadi seorang isteri dan seorang ibu rumah tangga.
Sekarang dia masih gadis, pemikirannya masih muda. Dia masih belum bisa mengatur kehidupannya harus
seperti apa. Namun bila setelah menikah
dia pasti akan memiliki tanggung jawab sebagai seorang isteri, sebagai seorang
ibu rumah tangga.”
“Aku tidak mau bermain lotre dengan
masa depanku, apalagi dengan
perkawinanku. Aku tidak sedang berjudi dengan hidupku, dengan masa
depanku, Asmi. Aku sudah berulangkali mempertimbangkan apakah aku bisa
melanjutkan pertunangan ini ke jenjang perkawinan atau justru aku segera
mengambil sikap, berhenti sampai disini saja.”
“Kau berhak memutuskan sendiri apa
yang terbaik untuk dirimu, untuk masa depanmu, tapi aku tidak mau terlibat
dalam urusanmu dengan Ninda.”
“Kau tidak terlibat dalam urusanku
dengan Ninda, namun aku hanya ingin menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku,
dengan perasaanku kepadamu, Asmi.”
“Ya.”
Adilla menatap Asmi. Gadis itu kelihatan lebih kurus. Dia juga jadi lebih
banyak diam. Semenjak ibunya meninggal, banyak perubahan yang dilihatnya pada
Asmi. Adilla mengalihkan pembicaraan.
“Masih banyak langganan yang memesan
kue?” Tanya Adilla.
“Alhamdulillah, masih banyak pesanan.
Langgananku bertambah banyak. Roti dan kue-kue basah yang kutitipkan
diwarung-warung juga masih laris. Juga yang dijajakan keliling.”
“Usahamu lancar, aku ikut bersyukur.”
“Yah, aku bersyukur pada Allah yang
telah memberi rejeki kepadaku.”
“Kau memang gadis yang mandiri, Asmi.”
“Keadaan yang memaksa aku harus bisa mandiri.”
“Aku salut padamu, kau sudah bisa
membiayai hidupmu sendiri.”
Asmi tidak berkomentar.
“Kau nampak lebih dewasa dibandingkan
dengan usiamu, Asmi. Aku sering
membayangkan, sebenarnya bahagia benar lelaki yang kelak menjadi suamimu. Kau
bukan tipe perempuan rewel.”
Asmi
tersenyum mendengar ucapan Adilla.
“Asmi,
kadang aku berpikir, kau jauh lebih dewasa daripada aku.” Kata Adilla
tiba-tiba, memecah keheningan diantara mereka. Angin malam bertiup lembut. “Kau
hidup sendirian tapi kau tidak pernah mengeluh dengan bagaimanapun kondisimu. Sementara aku, aku malahan
merasakan diriku rapuh dan lemah. Padahal aku laki-laki. Aku masih memiliki
orangtua yang lengkap. Konsentrasiku sekarang hanyalah menyelesaikan kuliahku.
Soal pertunanganku dengan Ninda adalah masa depan. Namun aku selalu memikirkan hubunganku dengan Ninda. Aku tidak
bisa menepiskan persoalan-persoalan yang
timbul dalam hubunganku dengan Ninda. Dan persoalan itu terasa jadi
beban buatku. Aku tidak bisa menikmati
pertunanganku dengan Ninda, yang kurasakan adalah beban yang harus kupikul yang
terasa berat.”
“Kau cengeng, Dill.”
“Aku tidak cengeng.”
“Kau cengeng. Kau hanya
membesar-besarkan masalahmu yang sebenarnya bisa kau atasi dengan mudah.”
Adilla terdiam. “Ya, mungkin benar aku
cengeng walaupun aku tidak ingin engkau mengatakan hal itu kepadaku. Namun aku tetap melihat
betapa berbedanya Ninda dengan engkau. Aku merasa lebih nyaman bicara denganmu
dibandingkan bicara dengan Ninda.”
“Kau pasti bisa menjadikan Ninda
sebagai kekasih sekaligus sahabatmu bila engkau mau melakukannya. Kurasa Ninda
juga akan bisa bersikap dewasa bila engkau pintar membimbingnya menuju kearah kedewasaan.”
Tiba-tiba Adilla menatap Asmi sambil
tersenyum. “Asmi, kau sudah punya
seseorang yang istimewa dihatimu? Selama ini engkau tidak pernah bercerita
apapun kepadaku tentang seseorang. Malah hanya aku saja yang suka bercerita
kepadamu.”
Mendadak Asmi merasa khawatir
mendengar pertanyaan itu. Sekian waktu lalu dia
pernah berharap Adilla akan mengajaknya bicara serius, tentang mereka,
namun harapan itu pupus ketika Adilla
mengatakan akan bertunangan dengan Ninda. Kini, setelah dia mendengarkan
keluhan-keluhan Adilla, mengetahui apa yang terjadi diantara Adilla dan Ninda,
dia tidak ingin Adilla menjadi seseorang yang istimewa lagi dihatinya. Dia akan
menutup pintu hatinya rapat-rapat untuk Adilla.
“Bila misalkan aku sudah memiliki seseorang
yang istimewa dihatiku, apakah engkau
senang mendengarnya?” Tanya Asmi.
Adilla menatapnya. “Aku serius
bertanya…….”
“Aku juga serius menjawab.”
“Kau tidak menjawab pertanyaanku.”
“Aku
ingin engkau lebih dulu menjawab pertanyaanku.”
“Asmi, aku serius menanyakan hal itu
kepadamu.”
“Aku juga serius bertanya apakah
engkau senang bila misalkan aku sudah memiliki seseorang yang istimewa dihatiku
seperti yang engkau tanyakan.”
“Jadi kau sudah memiliki seseorang,
Asmi?”
Asmi menatap Adilla. Hatinya terasa
pedih. Mengapa harus berdusta apabila harapan itu masih ada dihatinya. Asmi
menunduk. Namun dia tidak mungkin lagi mengakui perasaannya kepada Adilla.
Tidak mungkin. Kejujurannya hanya akan menambah luka dihatinya. Adilla sudah
tidak mungkin untuk dimilikinya lagi. Adilla sudah akan menjadi milik gadis
lain. Dan dia tidak ingin merusak hubungan mereka. Airmatanya menitik perlahan.
Betapa sakitnya pada saat dia mencintai, namun cinta itu tidak bisa
dimilikinya. Tak sadar dia menunduk, menyembunyikan matanya yang tiba-tiba
membasah.
“Asmi, kenapa? Kamu menangis…….”
“Aku teringat pada ibuku.” Sahut Asmi
tersendat. “Aku juga teringat padda ayahku……..”
“Asmi, kau pasti tabah, aku percaya
kau pasti kuat dan tabah…….”
“Kau tidak tahu, selama ini ibuku
adalah sumber kekuatan bagiku. Kini seseorang yang selalu memberiku cinta,
kasih sayang dan kekuatan sudah tidak ada lagi disisiku mendampingiku. Aku
sekarang sendirian. Kau tidak tahu, bahwa hatiku pun rapuh. Aku sering gamang
menghadapi masa depanku……..” Asmi
terisak. Airmatanya mengalir membasahi pipinya. “Dapatkah engkau membayangkan,
aku masih muda, masa depanku masih panjang, dan semua itu harus aku lalui
sendirian. Tanpa ayah dan ibu. Tanpa seseorang yang menemaniku melangkah
melewati hari-hari menuju masa depanku…….”
“Asmi, kamu punya saudara. Kamu
memiliki teman. Kamu memiliki sahabat. Aku masih tetap sahabatmu. Percayalah.
Aku selalu siap membantumu kapanpun engkau membutuhkan aku.”
Asmi menghapus airmatanya. Matanya
yang masih basah menatap Adilla.
“Dill, kamu memang sahabatku. Namun
ada keterbatasan diantara kita. Apalgi bila kau sudah menikah nanti, sudah
memiliki istri. Betapapun engkau tetap menganggap aku sahabatmu, namun kau
telah dibatasi oleh kehidupan baru yang akan engkau jalani……”
“Ya.” Adilla mengangguk, memahami
ucapan Asmi. “Aku faham hal itu, Asmi. Tapi percayalah, aku masih akan tetap
menjadi sahabatmu.”
--- 0 ---
Adilla merasa bingung dengan
perasaannya. Dia tidak tahan melihat Asmi menangis, terpuruk dalam dukanya.
Ingin dia mengulurkan tangannya pada
gadis itu. Bukan sekedar sahabat
yang menghiburnya dukanya. Namun sebagai
seseorang yang lain buat gadis itu.
Adilla bimbang dengan perasaan yang
bergalau dalam dadanya. Bagaimanakah
sebenarnya perasaanku kepada Asmi? Benarkah aku hanya mengganggap Asmi
sebagai sahabat semata? Mengapa aku tidak bisa melepaskan pikiranku dari Asmi?
Mengapa setiap waktu aku selalu memikirkan Asmi? Apalagi setelah ibunya Asmi
meninggal dan melihat gadis itu
sungguh-sungguh berkabut berduka, Adilla
semakin tidak bisa melepaskan pikirannya dari Asmi. Bukan sekedar iba. Atau
kasihan. Atau sekedar ingin menghapus duka gadis itu. Namun keinginan lebih
jauh. Ingin merengkuhnya dalam
pelukannya. Dan meyakinkan gadis itu
bahwa dirinya masih memiliki seseorang didunia ini yang mencintai dan
menyayanginya. Yang akan menghapuskan airmatanya. Yang akan menyibakkan kabut
duka diwajahnya. Ingin Adilla bicara terus terang pada Asmi, betapa dirinya sangat mencintai
dan menyayangi gadis itu. Namun kata itu tak jua terucap dari bibirnya.
Adilla dilanda perasaan gelisah
sendirian dengan pertanyaan-pertanyaannya sendiri yang sulit dijawabnya.
Mengapa dulu aku suka merasa cemburu bila melihat Asmi dekat dengan lelaki
lain? Mengapa aku selalu merasa rindu bila tidak bertemu dengannya? Tidakkah
sebenarnya aku tengah mengingkari
perasaanku yang sesungguhnya kepada gadis itu? Tidakkah sebenarnya aku ragu
untuk mau mengakui perasaanku sendiri
bahwa sebenarnya aku sejak lama menyukai dan mencintainya?
Sudah bertahun-tahun aku mengenal
Asmi, pikir Adilla. Waktu yang sekian
lama itu telah memupuk perasaan-perasaan
lain dalam hatiku kepadanya. Mengapa aku ragu untuk mengungkapkan bahwa
sebenarnya aku mencintainya?
Adilla tertunduk menatap cincin emas
putih dijari manisnya. Benar cincin ini telah mengikatnya dalam sebuah
pertunangan dengan seorang gadis bernama Ninda. Namun hati dan perasaannya tak
bisa diikat. Selalu terbang menjelajah kedalam bayangan Asmi.
Adilla merasa diombang-ambingkan
lamunannya sendiri. Seharusnya aku tidak
mengingkari perasaanku bahwa aku sesungguhnya mencintai Asmi. Asmi memang sahabatku namun hatiku tak bisa
mengingkari aku menemukan ketenangan dan ketentraman bila
berada dekat diamping Asmi. Kenapa aku tidak mau jujur dengan diriku sendiri?
Dengan perasaanku sendiri?
Cinta adalah karunia yang indah yang
diberikan Allah kepada manusia. Aku
bukan seorang pecinta. Dan sekali saja
aku menemukan cintaku, kenapa
cinta itu harus kuingkari dan kualihkan kepada gadis lain hanya karena aku
kasihan kepadanya?
Yah, aku cinta sekaligus kasihan
kepada Ninda. Namun kini, perasaan itu pula yang kurasakan kepada Asmi. Bila
aku mencintai dan merasa kasihan kepada Ninda, itu pula yang kurasakan kepada
Asmi. Bahkan Asmi lebih berat beban perasaannya. Ninda masih memiliki orangtua yang utuh. Dia
tidak sendirian didunia ini. Namun Asmi kini hanya sendirian. Dia sudah tidak
memiliki ayah ibu lagi. Kalaupun harus ada yang dikasihani, seharusnya aku
lebih merasa kasihan pada Asmi. Adilla merasakan kegalauan dalam hatinya.
Perasaannya terasa pedih pada saat dia
jujur mencintai seorang wanita, perasaannya tersandung pada cincin yang baru
beberapa waktu melingkar dijari manisnya.
--- 0 ---
Udara terasa panas. Namun keramaian
bazar yang digelar di kampus tidak menyurutkan sebagian besar mahasiswa yang
menjadi pengunjung acara bazar itu. beragam barang yang ditawarkan dengan harga
lebih murah membuat mereka datang berbondongan ke tempat bazar dan memilih
beragam barang yang mereka butuhkan.
Ninda dan Lusi ikut berdesakan dengan
yang lainnya. Lelah berkeliling, Ninda mengajak Lusi mampir di stand makanan.
Mereka memesan gado-gado dan es jeruk. Keduanya duduk pada sepasang kursi
dibawah tenda sambil memperhatikan orang-orang yang lalu lalang dijalanan.
“Nin, aku pernah melihat Adilla
kerumah Asmi.” Kata Lusi. Mereka berdua tengah makan gado-gado di kantin
kampus.
“Siapa Asmi?” Tanya Ninda spontan.
“Yang aku tahu, Asmi teman Adilla. Ah,
bukan sekedar teman. Mungkin bisa disebut sahabat. Mereka memang berteman baik
sejak lama. Sejak sebelum Adilla bertemu denganmu mereka sudah sering
bersama-sama. Bahkan menurut issue yang kudengar, sampai sekarang pun setelah
Adilla bertunangan denganmu, dia masih sering kok kerumah Asmi.”
Ninda merasa cemburu mendengar ucapan
Lusi. Mendadak Ninda teringat padda gadis
berparas ayu dan lembut yang datang menghadiri acara pertunangannya
dengan Adilla. Adilla memperkenalkan gadis itu sebagai temannya. Namanya Asmi.
Namun Adilla tidak bercerita banyak tentang gadis itu. dan dia sendiripun tidak
banyak bertanya siapa Asmi. Dia menganggap hal wajar apabila teman-teman Adilla
datang pada acara pertunangan mereka.
“Lus, kamu tidak dengan sengaja ingin
memanas-manasi aku agar aku cemburu dengan ceritamu, kan?!”
Lusi menggeleng. Wajahnya serius.
“Tidak, Nin. Aku bicara yang sebenarnya. Aku tidak berniat membuatmu marah dan
cemburu. Namun aku juga tidak ingin engkau terlalu seratus persen percaya pada
Adilla. Walaupun kau sudah bertunangan dengan Adilla, namun kau tetap harus
menarus rasa waspada. Aku tidak ingin suatu saat engkau mendapatkan
kekecewaan.”
“Yah, terus terang aku sekarang kecewa
mendengar hal ini.” Ucap Ninda. Selera makannya mendadak hilang. Rasa lapar
yang tadi terasa menyiksanya, mendadak sirna. Gado-gado yang dimakannya dengan
lahap mendadak tidak menarik seleranya lagi.
“Lus, cantikkah Asmi itu?” tanya Ninda
pelan.
“Kecantikan sih relatif, Nin. Namun
wajah Asmi lumayan. Kulitnya putih bersih. Penampilannya selalu rapi dan modis.
Dia mengenakan jilbab. Tubuhnya tinggi langsing berisi. Dia dikenal dilingkungan kampusnya sebagai
tukang roti dan kue.”
“Apa? Tukang roti dan kue? Kenapa? Apa
dia memang tukang roti dan kue?”
“Ya, dia pintar membuat roti dan aneka
macam kue basah. Roti dan kue-kue basahnya enak sekali. Dia sudah beberapa
lama ini sambil kuliah memiliki usaha membuat roti dan aneka macam
kue basah. Roti dan kue-kuenya itu dijajakan keliling, dan sebagian lagi
dititipkan diwarung-warung. Juga di kantin-kantin dikampus. Jadi dia suka dipanggil Asmi tukang roti dan
kue.”
Dirumahnya Ninda masih terpengaruh
dengan cerita Lusi tentang gadis bernama Asmi. Benarkah diantara Asmi dan
Adilla hanya bersahabat semata? Ninda menekan perasaan cemburu yang tiba-tiba
terasa mengganggu perasaannya. Cemburu itu wajar terasa mengganggunya. Bukankah
cemburu itu pertanda cinta? Dan bukankah dia mencintai Adilla? Tapi aku tidak
mau cepat terpengaruh oleh cerita Lusi dan menuduh Adilla tanpa bukti. Sampai
pulang kerumahnya, Ninda masih terpengaruh dengan cerita Lusi tentang Asmi. Perasaan
Ninda mulai disesaki perasaan cemburu. Malam itu Adilla hanya sebentar mampir
kerumahnya mengantarkan piring pesanan ibunya, lalu bergegas pergi lagi tanpa
sempat bercakap-cakap lebih lama dengan Ninda.
“Mas Dill, mau kemana? Kenapa
buru-buru?”
“Aku ada perlu. Nin, maaf ya. Lusa aku
kemari lagi.” Ucap Adilla tergesa.
Ninda hanya menatap kepergian Adilla
dengan perasaan kesal. Mendadak Ninda merasa curiga. Ketika mobil Adilla keluar
dari halaman rumahnya, bergegas Ninda mengeluarkan mobil dari garasi dan
menguntit kemana mobil Adilla perginya. Setelah cukup lama mengikuti Adilla,
Ninda melihat mobil Adilla masuk ke halaman sebuah rumah. Ninda melihat banyak
orang dirumah itu. Ketika melihat seseorang lewat didekat mobilnya, bergegas
Ninda menegur lelaki itu.
“Mas! Mas! Maaf mau nanya, siapa
pemilik rumah itu?” Tanya Ninda tanpa keluar dari mobilnya.
“Rumah yang mana? Oh, rumah yang
bercat putih itu? Itu rumah ibu Maryati.” Sahut orang itu.
“Ibu Maryati?”
“Yah, ibu Masyati sudah meninggal dunia. Sekarang malam seratus hari
meninggalnya ibu Maryati, ada pengajian dirumahnya.”
“Ibu Maryati memiliki anak perempuan?”
“Ya, ibu Maryati hanya memiliki anak
satu-satunya, perempuan.”
“Siapa namanya?”
“Asmi.”
Ninda termenung setelah orang itu
berlalu. Jadi benar Adilla kerumah Asmi. Kecemburuan itu terasa semakin
menyesakan dadanya. Bila diantara Adilla
dan Asmi benar terjalin pertemanan biasa saja, mengapa Adilla sangat
memperhatikan Asmi? Ibunya Asmi meninggal,
sebagai teman mungkin Adilla bisa merasakan kesedihan Asmi dan
menunjukan perhatiannya sebagai teman. Namun haruskah Adilla begitu sering
datang mengunjungi Asmi dan menghibur perasaan temannya yang tengah berduka
itu?
Besoknya Ninda menceritakan yang
dialaminya semalam pada Lusi.
“Lus, mungkin kau benar dengan
ceritamu kemarin padaku. Adilla kerumah
Asmi, memang itu benar. Semalam aku melihatnya sendiri.” Ucap Ninda. “Ibunya
Asmi sudah meninggal. Semalam adalah
hari keseratus meninggalnya ibunya itu. Banyak orang dirumahnya mengadakan
pengajian. Adilla juga datang kerumah Asmi, ikut pengajian disana.”
“Aku yakin Adilla hanya berteman saja
dengan Asmi, Nin. Namun kau perlu waspada. Segala sesuatu bisa saja terjadi.
Kau perlu hati-hati agar tidak mendapatkan kekecewaan bila suatu saat ada
hal-hal yang terjadi diluar dugaanmu.”
“Ya, terima kasih Lus kau sudah
mengingatkan aku. Kalau aku tidak salah, gadis bernama Asmi itu datang waktu
pertunanganku. Adilla mengenalkan dia sebagai
temannya. Dan aku juga tidak berpikir apa-apa. Sikap mereka wajar-wajar
saja seperti benar-benar bahwa diantara mereka hanya berteman saja.”
Seminggu kemudian Ninda mengajak Lusi
kerumah Asmi.
“Untuk apa?” Tanya Lusi khawatir
mendengar ajakan Ninda.
Ninda tersenyum melihat raut wajah
Lusi. “Kamu jangan khawatir, Lus. Aku bukan akan melabrak atau memarahi Asmi.”
“Lantas?”
“Aku hanya akan membeli roti dan
kue-kue buatannya. Kamu bilang roti dan kue-kuenya enak dan laris. Nah, aku
jadi ingin mencobanya. Siapa tahu memang benar enak seperti ceritamu. Bila
memang benar enak, kalau ada acara dirumahku, aku bisa memesan roti dan kue
pada Asmi, kan?”
“Bagaimana kalau Adilla ada disana?”
Tanya Lusi masih merasa khawatir.
“Tidak akan, Adilla sedang ke Jakarta.” Sahut Ninda.
Ninda menghentikan mobilnya diluar
pagar. Mereka masuk kerumah yang
kelihatan sejuk dan rindang dengan pepohonan besar dan rindang yang menaungi
halaman berumput hijau itu. Sejuk dan
asri. Rumah itu nampak bersih dan terawat baik. Begitu kelihatan apabila
pemiliknya sangat memperhatikan kebersihan rumah.
“Kita lewat samping saja.” Kata Lusi.
Pada saat itu dia melihat seorang gadis dengan blouse motif garis dipadu dengan
celana jeans keluar dari sana.
“Mbak, disini jualan roti dan kue,
ya?” Tanya Lusi.
“Ya, benar.” Sahut Asmi. Dia baru akan
keluar ketika melihat dua orang gadis memasuki halaman rumahnya. Mendadak Asmi
tertegun menatap salah satu dari gadis itu. Dia masih ingat. Gadis itu adalah
Ninda, tunangan Adilla.
“Kami mau beli roti dan kue, mbak.
Bisa langsung beli disini, kan?”
Tanya Ninda.
“Tentu saja bisa.” Asmi tersenyum. Dia
menatap Ninda. “Ninda, ya? Mari masuk, dik.”
Lusi menoleh menatap Ninda. “Dia tahu
kepadamu.”
“Dia masih ingat padaku.” Sahut
Ninda. Oh, dia masih ingat aku, pikir
Ninda. Dia berusaha tersenyum. Dia tidak ingin Asmi mencurigai kedatangannya.
Dia juga pura-pura mengerutkan keningnya, seolah kaget melihat Asmi.
“Benar. Ehm, mbak rasanya kita pernah
bertemu, ya? Dimana?”
“Lho, kita kan pernah bertemu waktu
pertunanganmu dengan Adilla.”
“Oh, iya. Saya baru ingat sekarang.
Mas Dill pernah memperkenalkan kita saat itu, kan?”
“Ya.” Asmi tersenyum.
Asmi
mengajak kedua tamunya keruangan samping. Ninda dan Lusi mengikutinya.
“Ada
yang bilang, roti dan kue buatan mbak Asmi
terkenal enak, jadi kami penasaran kemari.” Sahut Lusi.
“Terima kasih.” Asmi tersenyum.
Ninda melihat Asmi sepertinya gadis
itu baik dan ramah. Namun keramahan Asmi tidak menghapus perasaan cemburu
dihatinya. Malah terasa cemburu itu semakin menggerogotinya. Justru keramahan
dan sikap Asmi yang kelihatan baik yang
bisa menjerat Adilla dan merebutnya darinya.
“Silahkan mau beli roti dan kue yang
mana?” Asmi mempersilahkan kedua
tamunya memilih roti dan kue yang mereka inginkan sambil menyerahkan dus pada mereka.
Ninda
memilih roti dan kue dan memasukannya kedalam dus. Dalam hati Ninda
mengakui, roti dan kue-kue yang dijual Asmi semuanya begitu menggugah selera.
Mama pasti senang bila dikirim roti dan kue ini, tapi aku tidak boleh cerita
pada mama bila yang membuat roti dan kue ini adalah Asmi, teman Adilla yang
telah membuat aku merasa cemburu, pikir Ninda.
“Kelihatannya Asmi baik dan ramah,
ya.” Kata Ninda ketika mereka sudah berada didalam mobil dan meninggalkan rumah
Asmi.
“Ya, coba deh roti buatannya. Enak dan
empuk.” Lusi memberikan sebuah roti. Ninda menggigit dan mengunyahnya. Memang
enak dan lembut. Juga harum.
“Dia sepertinya seorang gadis yang
mandiri.” Kata Ninda lagi.
“Ya, dia sekarang sudah tidak punya
orangtua lagi. Ibunya sudah meninggal. Ayahnya juga sudah lama meninggal. Itu
cerita yang aku tahu tentang dirinya.” Sahut Lusi.
“Kasihan.” Ucap Ninda spontan.
“Pastilah tidak mudah hidup tanpa orangtua lagi. Beruntung Asmi memiliki
keahlian hingga dia bisa hidup mandirfi. Kelihatannya usaha roti dan kuenya
sudah berjalan baik. Sudah banyak dikenal dan banyak langganannya.”
Lusi menoleh menatap Ninda. “Jadi
sekarang kau sudah tidak perlu merasa cemburu lagi pada Asmi. Dia keadaannya
jauh lebih memprihatinkan daripada kamu. Kamu masih memiliki orangtua yang
lengkap sementara Asmi sudah yatim piatu dan harus bekerja keras untuk
menghidupi dirinya atau mungkin untuk membiayai kuliahnya dan sebagainya.”
Ninda tidak menyahut. Matanya melihat
kejalanan. Namun dalam hatinya dia mengakui kebenaran ucapan Lusi. Yah, dia
tidak perlu mencemburui Asmi. Gadis itu keadaannya begitu sederhana. Dia juga patut dikasihani, sudah
tidak memiliki orangtua lagi. Pikiran Ninda terasa lebih tenang. Dia berjanji
akan menepiskan perasaan cemburunya pada Asmi dan tidak ingin merusak
hubungannya dengan Adilla.
--- 0 ---
Adilla menatap wajah Ninda yang
cantik. Gadis itu kelihatan begitu menarik dengan kaus kuning lengan panjang
dan jeans birunya. Rambutnya yang sebahu diikat menjadi satu dibelakang. Namun
bukan itu yang membuat Adilla menatap tunangannya lama-lama. Dia selalu merasa tidak enak, tiap kali makan diluar
Ninda yang buru-buru membayar duluan makanan pesanan mereka.
“Biar aku saja yang bayar.” Kata
Adilla cepat ketika Ninda mengeluarkan dompetnya.
Ninda tersenyum sambil memegang tangan
Adilla. “Tidak usah, mas Dill.” Cegahnya
cepat. “Mama sudah tahu kita akan makan
diluar jadi mama sudah memberi uang lebih padaku.”
“Aku tidak enak, tiap kali makan
selalu kamu yang paling sering bayar makanan.” Ucap Adilla.
“Karena aku yang mengajak mas
Dill makan. Kalau mas Dill yang mengajak
makan, biasanya mas Dill yang bayar, kan?”
Sahut Ninda. “Coba bayangkan, bila setiap kali kita makan diluar mas Dill yang membayar, berapa uang yang mas Dill keluarkan sementara selama ini aku yang paling sering mengajak makan
diluar.”
“Kau jarang makan dirumah, ya?”
“Sarapan pagi dan makan malam aku dirumah.” Ninda
tersenyum menatap Adilla. “Jangan dipersoalkan, aku kan sering tidak keburu makan siang dirumah.”
”Kalau sudah menikah, kau harus
mengurangi kebiasaanmu makan diluar.
Kalau makan dirumah kan
lebih hemat.”
Ninda tertawa. “Mas Dill, apa-apa
pasti deh ditujukan setelah menikah. Itu kan
masih lama.”
“Tapi kamu sudah harus membiasakan
dari sekarang. Kebiasaan sering jajan itu tidak baik, Nin. Pemborosan.”
“Kenapa? Pernikahan kita masih lama, bukan?”
“Ninda, aku bicara serius. Aku mulai
tidak suka melihatmu senang jajan.”
“Apa-apa selalu bilang tidak suka.”
Tukas Ninda. “Kenapa sih mas Dill tak
penah menyukai apapun yang aku suka? Kenapa aku selalu dikritik? Soal belanja, soal baju, soal makan diluar………..”
“Kita akan menjadi suami istri, Ninda. Fahamilah bahwa
perkawinan bukan permainan. Kita akan
bersatu menjadi suami istri. Aku akan berusaha menjadi suami yang baik bagimu
namun aku juga berharap kaupun akan menjadi istri yang baik bagiku.”
“Mas Dill, aku tidak ingin terlalu
banyak teori. Jalani saja apa adanya agar kita tidak menjadi kaku dalam
menjalani hubungan kita ini. Aku juga ingin menjadi istri yang baik bagimu.”
“Kalau begitu, rubahlah
kebiasaan-kebiasaanmu yang aku kurang
suka mulai dari sekarang. Kau tidak akan bisa berubah seketika begitu kau sudah
menjadi seorang istri.”
“Aku tidak mau didikte.”
“Aku tidak mendikte. Tapi aku
wajar mengharapkan engkau mau merubah
kebiasaan-kebiasaanmu yang aku kurang suka.”
“Itu sama artinya mas Dill mendikte aku. Aku tidak suka.”
“Kau tidak bisa diatur.”
“Aku tidak mau diatur karena aku belum
resmi menjadi istrimu.”
Adilla memilih diam. Dia tidak mau
terlalu sering berdebat dengan Ninda. Namun kini dia merasa, ada banyak hal
ketidakcocokan dengan Ninda. Bila dibandingkan dengan Asmi, dia rasanya merasa
lebih tentram bersama Asmi. Asmi tak
pernah membantah kata-katanya bila ucapannya bisa diterima. Bila Asmi
mendebatnya, dia selalu punya argument yang kuat dan rasional. Namun Ninda
bukan Asmi. Dan dia tidak pantas untuk membandingkan Ninda dengan Asmi atau
Asmi dengan Ninda. Akhirnya Adilla hanya diam. Dia tidak ingin hubungannya
dengan Ninda menjadi rusak hanya karena dia egois dengan sikapnya sendiri.
--- 0 ---
Adilla melihat Ninda masih asyik
memilih-milih baju. Seakan tak puas-puasnya Ninda berkeliling, mengamati
seluruh baju yang dipajang. Hari ini
sudah beberapa potong baju yang dibeli Ninda.
“Kamu masih akan membeli baju lagi,
Ninda?”
“Yah.” Ninda tersenyum tanpa melihat pada
Adilla. Matanya terus memilih baju yang bergantungan, mengamatinya satu
persatu, mengambilnya dari gantungan, mematut diri didepan kaca lalu menaruhnya
lagi ditempatnya.
“Yang ini bagus tidak?” Tanya Ninda.
Dia mengambil gaun terusan. Warna putih gading.
Pada bagian dadanya bertaburan payet yang indah berkilauan.
Adila tidak menjawab. Dia sudah tidak ingin berkomentar. Mendadak dia
merasa bosan dan jenuh terhdap Ninda.
Terlalu banyak uang dan waktu yang
dihabiskan Ninda hanya untuk berbelanja, jajan dan jalan-jalan. Masa depan
seperti apa yang akan ditempuhnya bersama gadis yang demikian boros dan royal?
“Ninda, kita pulang sekarang.” Ajak
Adilla, melihat pada jam tangannya.
“Pulang? Hari masih sore. Masih banyak
waktu untuk jalan-jalan.”
“TIdak, Ninda. Kita pulang sekarang.”
“Aku masih ingin jalan-jalan……..”
Jengkel dengan kelakuan Ninda akhirnya
Adilla menyeret tangan gadis itu. Sambil merengut Ninda terpaksa menuruti
Adilla. Didalam mobil, Adilla
menumpahkan kekesalannya pada gadis itu.
“Ninda, aku ingin bicara terus terang
kepadamu. Aku tidak akan bisa mengikuti pola hidupmu yang boros dan royal seperti ini. Kita sudah bertunangan. Andai kita jadi menikah…..”
“Lho, kita pasti akan menikah, mas
Dill.” Protes Ninda.
“Ya, andai kita jadi menikah, terus
terang aku keberatan dengan pola hidupmu yang royal dan boros seperti ini. Kau tahu saat ini aku
masih kuliah. Andaikan kita menikah
setelah aku mendapatkan pekerjaan, kau
pasti bisa memperhitungkan berapa gajiku
sebagai seorang pegawai pemula.”
Ninda tertawa. “Mas Dill tidak perlu
khawatir. Mama papaku pasti tidak akan melepaskan kita begitu saja. Apalagi aku
hanya akan tunggal. Apa yang mereka miliki pastilah untuk kita. Mas Dill tidak
usah khawatir dengan masa depan kita. Bahkan rumah dan perabotan untuk
kita tinggali setelah kita menikah nanti
sudah dipersiapkan mama dan papa. Lagi pula orangtuamu pun cukup berada.
Mas Dill, kenapa kau begitu khawatir?” Ninda tersenyum menatap Adilla.
“Ninda, mengertilah. Aku tidak bisa hidup berumah tangga terus menerus disokong oleh orangtua.
Kau harus memahami prinsip dan keinginanku. Aku ingin mendirikan rumah tangga
dengan kemandirian kita berdua. Kau
harus bisa hidup dengan gajiku, dan jangan mengandalkan harta orangtua kita.”
“Mas Dill, aku tidak
mau berdebat denganmu. Aku sudah merasa nyaman dengan kehidupanku saat
ini. Alhamdulillah, uang bukan masalah buatku. Dan andaikan setelah kita
menikah nanti orangtuaku masih menyokong
kehidupan kita, kurasa hal itu adalah suatu kewajaran. Tidak mungkin mama dan
papa akan tega melepaskan kita begitu
saja.”
“Kau selalu berharap pada sokongan
orangtua sementara aku justru ingin
hidup mandiri. Kita tidak akan pernah dewasa apabila kita terus menerus
menggantungkan diri pada orangtua kita. Apalagi bila kita telah
berumah-tangga.”
“Mas Dill, kita memang berbeda prinsip
tapi aku rasa mas Dill terlalu
mempertajam hal ini. Sesuatu hal yang menurutku bukanlah sebuah prinsip hidup
yang harus diperdebatkan.”
“Bagiku ini justru sebuah prinsip. Aku
tidak mau setelah menikah aku masih menggantungkan diri pada orangtua. Aku malu
bila aku sudah menikah aku masih meminta bantuan materi pada orangtua.”
“Mas Dill,” Ninda tersenyum menatap
calon suaminya. “Aku rasa kita tidak perlu membicarakan masalah ini. Mas Dill
berpikir dan berbicara terlalu jauh.
Kita jalani saja saat ini, jangan terlalu
memikirkan masa yang akan datang.”
“Ninda, tapi kita hidup perlu punya
rencana. Dan Kita juga perlu membicarakan hal-hal yang prinsip agar
kita bisa sesuai dalam melangkah.”
“Mas Dill, apa yang baru saja kita
bicarakan menurutku bukan sebuah masalah prinsip yang membuat kita harus
berdebat. Aku menghargai prinsip mas Dill yang ingin mandiri setelah menikah.
Itu bagus sekali. Tapi pernikahan itu masih lama. Janganlah hal itu membuat
kita sekarang jadi sering berdebat untuk
membahas suatu hal yang masih disebut dengan masa depan kita.”
Adilla menatap calon istrinya. Mungkin
Ninda benar dengan pendapatnya itu. Namun mungkin pula tidak sesuai dengan
keinginannya sendiri. Dia merasa perlu berkomunikasi dengan calon istrinya
karena setelah menikah mereka akan memiliki
banyak masalah dan persoalan yang memerlukan kesesuaian dalam
menyelaraskan prinsip hidup mereka.
Namun untuk saat ini sepertinya sulit buat dirinya untuk memberikan pengertian kepada Ninda. Gadis itu sejak
kecil dimanja dan dipenuhi segala kebutuhannya. Apapun yang diinginkannya
selalu tersedia dengan mudah.
Mendadak Adilla teringat pada Asmi.
Ninda berbeda dengan Asmi. Dalam kesederhanaan hidupnya, apalagi setelah
ayahnya meninggal, Asmi terbiasa hidup prihatin dan mandiri. Asmi terbiasa
berusaha sendiri. Hal itu barangkali yang membuat Asmi mengasah diri, mencari
potensi apa yang ada pada dirinya yang bisa dikembangkannya. Asmi sangat senang
memasak dan membuat kue. Ketika dia menemukan bahwa dirinya bisa usaha membuat
kue dan roti, Asmi merintis usahanya dengan modal pas-pasan. Dan ternyata
usahanya semakin lama semakin membuahkan hasil. Ketekunan dan kerja
kerasnya tidak sia-sia. Dia bisa
membiayai hidupnya sendiri. Dari usaha roti dan kue-kue basah yang
dititipkannya diwarung-warung dan yang
dijajakan berkeliling oleh beberapa anak remaja putus sekolah dilingkungan
rumahnya, usahanya kini sudah semakin maju. Bukan hanya anak-anak sekolah yang
menjadi tukang dagangnya, namun juga
pengangguran-pengangguran dilingkungan
rumahnya yang selama ini tidak memiliki kegiatan apa-apa. Sebagai sahabatnya
yang sudah cukup lama mengenal Asmi, sering dia tidak bisa menyembunyikan
perasaan bangganya kepada Asmi.
Sebenarnya tidak pantas dia
membandingkan Ninda dengan Asmi. Dua gadis itu jelas berbeda karena mereka
memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Namun bila dia sedang kesal
menghadapi Ninda, seringkali bayangan Asmi muncul dan membuatnya secara tidak
sadar membandingkan Ninda dengan Asmi. Namun dia tidak menyalahkan Ninda bila
karakter Ninda seperti itu. Kondisi keluarga Ninda yang telah membentuk gadis
itu menjadi manja dan selalu tergantung
pada orang lain.
--- 0 ---
“Asmi, tolonglah memahami. Kami sudah
bertunangan. Kami akan segera menikah. Kau sebagai teman Adilla memiliki hak
untuk tetap bergaul dengan Adilla. Namun Adilla sudah tidak seperti yang kau
kenal dulu sebelum kami bertunangan. Dia sekarang sudah akan menjadi suamiku.”
Ninda menemui Asmi dikampusnya.
Melihat Ninda tengah duduk menunggunya pada bangku didepan ruangan kuliahnya,
Asmi sudah punya perasaan Ninda sengaja menunggunya. Benar saja dugaannya.Ninda
mengajaknya duduk ditempat yang lebih sunyi yang tidak banyak orang yang lalu
lalang memperhatikan mereka.
“Ninda, aku tidak mengerti, apa
maksudmu? Sejak Adilla bertunangan denganmu aku tidak pernah lagi berdekatan
dengan Adilla. Akucukup tahu diri menempatkan diriku. Adilla memang sahabatku
sejak dulu. Namun aku tidak ingin mengganggu bila Adilla sudah bertunangan
dengan seorang gadis. Adilla juga sudah
tahu hal ini. Dia jarang menghubungi aku lagi sejak kalian bertunangan.”
“Adilla masih sering berkunjung
kerumahmu?”
“Tidak.”
“Aku tahu Adilla masih suka berkunjung
kerumahmu. Ada
hubungan apa antara kalian? Pastinya bukan sekedar teman dekat atau sahabat
sehingga Adilla harus secara khusus dan istimewa datang kerumahmu.”
“Ninda, percayalah padaku. Diantara
aku dan Adilla tidak ada hubungan apa-apa.”
“Lalu apa artinya photo-photo ini?”
Ninda melemparkan lima lembar photo kehadapan Asmi. Asmi
terpana. Itu photo-photo dirinya dengan Adilla ketika jalan-jalan ke Maribaya.
“Photo-photo itu terlalu mesra untuk
disebut sebagai photo antara dua orang yang berteman atau bersahabat
sekalipun.”
“Itu photo-photo lama. Jauh sebelum
Adilla bertemu denganmu.”
“Adilla masih menyimpan photo-photo
ini. Dia menempelkannya di lemari pakaiannya dikamarnya. Waktu Adilla sakit,
aku menengoknya dan menungguinya. Aku melihat photo-photo itu diantara
photo-photo lain yang menempel pada lemari pakaiannya. Kuambil photo-photo itu
tanpa sepengetahuan Adilla.”
Asmi mengeluh dalam hatinya. Dia
menyesalkan Adilla kenapa masih menyimpan photo-photo mereka dulu?
“Adilla tidak menganggap photo-photo
kami ini sebagai photo istimewa. Kau lihat sendiri, photo-photo itu ditempel
Adilla dilemari pakaiannya berbaur dengan photo-photonya bersama teman-temannya
yang lain.”
“Asmi, jauhi Adilla. Jangan dekati dia
lagi.”
“Ninda, aku tidak akan menjauhi Adilla
karena aku tidak pernah mendekati dia lagi. Kau tidak berhak mengatur aku.”
Asmi mengambil tasnya lalu berdiri.
Bergegas dia meninggalkan Ninda. Ninda terpaku menatap kepergian Asmi.
--- 0 ----
Ninda makan seakan tidak berselera.
Dia juga lebih banyak diam dan hanya bicara seperlunya saja. Sejak berangkat
dari rumah, Adilla sudah merasa sikap Ninda tidak seperti biasanya. Adilla
merasa, ada sesuatu hal yang mengganggu perasaan gadis itu. Namun entah
apa. Adilla tidak ingin bertanya, dia tahu nanti Ninda akan bicara kepadanya.
Mereka baru usai nonton film dan
pulangnya makan ditempat biasa mereka makan.
“Ada
hubungan apa antara mas Dill dengan
Asmi?” Tanya Ninda. Dia mendorong
piringnya ketengah. Makanannya tidak dihabiskan.
Adilla menatap Ninda. Kini dia mengerti,
pasti ada sesuatu hal yang ingin
diucapkan Ninda kepadanya. Soal Asmi.
“Kami berteman sejak dulu.” Sahut
Adilla.
“Dia terlalu istimewa bila sekedar
jadi temanmu.”
“Kami memang bersahabat.”
Ninda menatap Adilla dalam. “Mas Dill
mencintainya dan diapun mencintaimu mas Dill.” Ucap Ninda. “Mas
Dill tidak bisa berdusta kepadaku. Aku
tahu mas Dill menyembunyikan hal ini
dariku. Apabila sekedar sahabat kenapa mas Dill
selalu memikirkan dirinya. Kekhawatiranmu terhadap Asmi terlalu
berlebihan. Dan itu bukan perhatian-perhatian seorang lelaki pada seorang wanita yang hanya sekedar bersahabat. Sikap
mas Dill seolah Asmi adalah kekasihmu.”
Adilla menghela napas dalam. Dia
merasakan kecemburuan Ninda seakan meluap.
“Ninda, aku mohon engkau mengerti. Asmi sudah tidak memiliki ayah dan ibu. Ayahnya meninggal sejak dia masih duduk dibangku sekolah dasar.
Ibunya tidak bekerja. Hanya mengandalkan uang pensiun ayahnya. Asmi terbiasa hidup
mandiri. Dia sudah bekerja mencari uang dengan menjual roti dan kue untuk menambah
pendapatan keluarga. Dihari pertunangan kita, ketika kita tengah berbahagia,
Asmi justru mendapatkan kesedihan, ibunya meninggal. Dia sekarang sudah tidak
punya ayah ibu lagi. Seharusnya engkau menaruh perasaan kasihan kepadanya.”
“Mas Dill, aku tidak bisa menerima
alasanmu.” tukas Ninda. “Bila
memang hanya itu yang menjadi alasan
kenapa perhatianmu pada Asmi kelihatan terlalu
berlebihan? Masih banyak gadis lain yang juga sudah tidak memiliki ayah
ibu. Kau mencintainya, mas Dill. Kau mencintainya. Mas Dill jangan bohong kepadaku. Mas Dill
mencintainya.” Suara Ninda bertubi-tubi
penuh emosi. Amarah sekan meluap membakar perasaannya.
“Ninda, aku tidak suka engkau cemburu
pada Asmi.” Seru Adilla. Dia tidak senang melihat Ninda begitu emosi seperti
itu. Dia lalu merendahkan suaranya ketika melihat beberapa orang dari meja
didekat mereka menoleh pada mereka. “Kamu jangan mencemburui Asmi. Dia hanya
temanku.”
“Aku tidak cemburu.” Tukas Ninda
dengan nafas terengah. “Namun apabila aku cemburu pun hal itu wajar bila aku
melihat sikap mas Dill pada Asmi.
Jujurlah padaku bahwa engkau mencintainya.”
Adilla
menatap Ninda, menahan amarahnya didesak seperti itu oleh Ninda.
“Yah, aku mencintainya.” Sahut Adilla.
Mata Ninda membesar mendengar ucapan Adilla. Seakan tak percaya Adilla akan
berani mengakui perasaannya terhadap Asmi.
“Aku mencintainya sebagai sahabat.”
Kata Adilla lagi. Kini suaranya lebih tenang. “Dia sahabatku yang baik. Dia memahami aku. Dia pengertian dikala
aku susah. Dia bisa menyelami perasaan-perasaanku bila aku sedang gundah.”
Adilla menghela napas dalam. “Sekarang apa maumu? Aku sudah jujur kepadamu
bahwa Asmi hanyalah temanku. Tidak ada apa-apa antara aku dan Asmi. Kau tidak
pantas mencemburuinya.
Ninda menatap Adilla. “Sedemikian dalamkah persahabatan antara mas Dill dengan
Asmi?” Tanya Ninda. Suaranya lirih,
seakan menahan tangis.
“Ya.” Sahut Adilla. “Aku perlu jujur tentang hal ini agar engkau mau
mengerti.”
Ninda mengangguk. “Ya, aku mengerti.”
Ucap ninda pelan. Matanya mendadak berkaca-kaa. Kedua bola matanya yang hitam
bulat menatap Adilla sendu. “Tapi aku tunanganmu, mas Dill. Aku juga ingin
engkau mengerti dan memahami aku…….”
Adilla membalas menatap Ninda. Perasaannya tersentuh melihat mata Ninda yang
berkaca-kaca. Dia menyesal telah menyakiti perasaan gadis itu. Selama ini Ninda
baik dan penuh perhatian kepadanya. Dan Ninda kelihatan sungguh-sungguh
mencintainya.
“Mas Dill, jauhi Asmi, jangan
berhubungan lagi dengan dia.” Mata Ninda membasah. “Apa artinya pertunangan kita
ini apabila masih ada orang lain diantara kita.”
Adilla kembali menatap kedua bola mata
Ninda yang semakin basah.
“Baiklah.” Kata Adilla perlahan. Dia
memahami perasaan Ninda. Dia mencoba bersikap bijak. “Aku tidak akan berhubungan lagi dengan
Asmi.”
Ninda tersenyum tipis. Dia menghapus
airmatanya dengan tissue. “Mas Dill, maafkan
aku. Aku tidak bermaksud memutuskan tali silaturahmi antara mas
Dill dengan Asmi namun aku ingin mas
Dill memahami perasaanku.”
Adilla mengangguk. Dia memahami
perasaan Ninda. Ninda cemburu pada Asmi. Wajar apabila Ninda cemburu pada
wanita lain yang ada diantara mereka. Aku yang salah, pikir Adilla. Seharusnya
aku bisa menjaga perasaan Ninda. Aku mencintainya dan Ninda pun mencintai aku.
Aku pun akan merasa cemburu andai ada lelaki lain yang dekat dengan Ninda.
---- 0 ----
“Ninda menemuimu di kampus?” Tanya
Adilla.
Asmi tidak segera menjawab. Dia hanya
membuka-buka bukunya. Namun kemudian mengangguk ketika Adilla menunggu
jawabannya.
“Ya.”
“Apa yang dikatakannya kepadamu?”
“Tanyakan sendiri apa yang
diucapkannya kepadaku.”
“Asmi, aku minta maaf, kau jangan
tersinggung.”
“Kenapa harus kau yang meminta maaf
kepadaku? Apa salahmu padaku?”
“Asmi, aku tidak tahu harus bicara apa
kepadamu. Aku bingung. Aku memang tidak merasa punya salah kepadamu, tapi
tindakan Ninda yang menemuimu barangkali
ada kata-katanya yang tidak
berkenan dihatimu yang membuat aku merasa
perlu meminta maaf kepadamu……..”
“Kau memang calon suami yang baik
hati.” Asmi tersenyum. “Belum jadi suami
tapi kau sudah mau ikut bertanggungjawab dengan apa yang dilakukan calon
istrimu.”
Asmi mempermainkan ujung kerudungnya
yang menjuntai. “Sudahlah, aku tidak apa-apa kok. Aku memahami perasaannya.”
“Ninda cemburu kepadamu.”
“Aku menduga dia cemburu kepadaku.
Namun kurasa tak seharusnya dia mencemburuiku. Aku tak pernah berhubungan
denganmu.” Asmi menatap Adilla. “Ninda mengambil photo-photo kita waktu kita
dulu diphoto di Maribaya. Kau juga salah, Dil. Seharusnya engkau tidak
menyimpan apalagi menempelkan photo-photo kita di lemari, yang terlihat jelas
siapapun yang masuk kekamarmu.”
“Photo-photo itu tidak terpisah,
berbaur dengan photo-photoku yang lain bersama teman-temanku yang kutempel pada
lemari. Yah senang saja melihat photo-photoku bersama teman-temanku yang
kutempel pada lemari, bisa kulihat setiap saat.”
“Tapi seharusnya photo-photoku tidak
kau pasang disana.” Protes Asmi.
“Apa salahnya? Aku senang punya
photo-photo ketika sedang bersamamu. Waktu jalan-jalan di Maribaya itu hanya
satu-satunya aku dan kau pernah berphoto bersama. Aku menganggap photo itu
sangat berkesan bagiku.”
“Tapi jadi bencana ketika dilihat
Ninda. Dia jadi cemburu melihat photo-photo itu, Adilla.”
“Mana aku tahu Ninda akan masuk
kekamarku dan mengambil photo-photo itu tanpa sepengetahuanku.”
“Kau ceroboh.”
“Aku tidak ceroboh, aku apa adanya
saja menempel photo-photo itu tanpa memiliki tujuan atau prasangka apapun.”
“Sekarang Ninda jadi membenci aku.”
“Ninda tidak akan membencimu. Aku akan
menjelaskan kepadanya tentang dirimu.”
“Jangan, tidak perlu. Biar saja. Kalau
kau membicarakan tentang aku pada Ninda
hanya akan menimbulkan pertengkaran lain diantara kalian. Biar saja Ninda
melihat sendiri bahwa diantara engkau dan aku tidak ada hubungan apa-apa.”
“Masalahnya……..” ucap Adilla, matanya
lurus menatap Asmi. “Aku sudah berterus-terang pada Ninda bahwa
aku……mencintaimu……”
Tidak mungkin Adilla berterus terang
pada Ninda bahwa dia mencintaiku, pikir Asmi. Aku tidak percaya. Bohong. Adilla
bohong. Asmi tidak percaya Adilla mengakui pada Ninda bahwa dia mencintai
dirinya. Asmi menatap Adilla.
“Perempuan lain bisa kau bohongi,
Dill. Namun jangan harap aku akan percaya pada apa yang kau ucapkan barusan.”
Asmi tersenyum sinis.
Adilla tersenyum ceria menatap Asmi.
“Kau nanti akan percaya bahwa aku memang mengakui pada Ninda bahwa aku
mencintaimu.”
--- 0 ---
“Mas Dill tidak mengenakan cincin
pertunangan kita?” Ninda meraih tangan kiri Adilla dan menatap jari manis
Adilla yang kosong. Biasanya cincin emas putih itu ada disana. “Kenapa mas Dill tidak mengenakan cincin pertunangan kita?”
Mata Ninda penuh tanya dan seakan
menyudutkannya untuk segera memberikan alasan dan jawaban.
“Cincin itu kan tidak perlu aku kenakan setiap hari.”
Ucap Adilla.
“Tapi itu adalah cincin tunangan, Mas
Dill.” Protes Ninda. “Seperti halnya aku
yang setiap hari mengenakan cincin pertunangan kita, akupun ingin engkau
mengenakan cincin itu setiap hari.” Ninda memperlihatkan jari manis tangan sebelah kirinya. Adilla melihat cincin
tunangan pada jari manis gadis itu.
“Aku tidak suka kau bicara keras
seperti itu, Ninda.”
“Aku berhak marah kepadamu. Sudah
beberapa kali aku melihat engkau tidak
mengenakan cincin pertunangan kita. Dulu alasanmu adalah lupa, namun sekarang
kau beralasan cincin itu tidak perlu tiap hari kau kenakan. Kenapa mas
Dill tidak terus terang saja bahwa mas
Dill tidak mau mengenakan cincin itu.
Apakah cincin itu mengekang kebebasanmu dalam bergaul? Terutama dengan gadis-gadis
yang kau sukai?”
“Aku tidak mau dipaksa, Ninda.”
“Itu bukan paksaan, tapi keharusan
karena mas Dill sudah bertunangan dengan aku.”
Adilla hanya diam. Sudah beberapa
kalid dia tidak mengenakan cincin tunangan. Dia merasa tidak perlu mengenakan
cincin itu setiap hari. Sebenarnya dia
ingin menolak ada pertunangan seperti ini. Buat dirinya, tidak ada
pertunangan. Yang ada adalah perkawinan. Namun dia terbiasa penurut kepada ibunya. Ketika
ibunya dan ibunya Ninda sepakat ada pertunangan, dia hanya menuruti keinginan
orangtuanya. Dia tidak ingin mengecewakan mereka. Walau dalam hatinya dia tidak
setuju. Namun dia tidak mau membantah keinginan orangtuanya dan orangtua Ninda.
“Siapa yang mengharuskan aku harus
mengenakan cincin itu setiap hari sementara laki-laki yang sudah menikahpun
banyak yang tidak mengenakan cincin perkawinan mereka.” Kata Adilla. “Lagi
pula, terus terang aku sebenarnya tidak ingin ada pertunangan dalam hidupku.
Bila memang seorang wanita adalah jodohku, aku ingin langsung menikah tanpa
melalui proses pacaran, apalagi bertunangan.”
Ninda menatap Adilla. Seakan terkejut
mendengar ucapan Adilla. “Kau menyesal telah bertunangan dengan aku, mas Dill?”
Adilla membalas tatapan Ninda. “Tidak.
Maafkan aku bila kata-kataku tadi membuatmu terkejut.”
“Kenapa Mas Dill tidak menolak sebelumnya?”
“Aku tidak bisa membantah pada
orangtua, Ninda. Orangtua kita
menginginkan kita bertunangan. Kupikir tidak salah aku menuruti keinginan
orangtua kita.”
Ninda menunduk. Menatap cincin yang
melingkar dijari manisnya. “Kata-katamu tadi adalah ungkapan yang sejujurnya,
apa yang ada dalam hatimu yang sebenarnya, Mas Dill.” Ucap Ninda pelan. Ada setitik airmata menggantung disudut matanya.
“Maafkan aku, Ninda. Bila aku salah
dalam bicara kepadamu.”
Ninda menggeleng. “Tidak, mas Dill.
Kau tidak salah. Mas Dill benar. Aku yang salah. Selama ini aku berpikir mas
Dill mencintaiku. Namun ternyata aku keliru menafsirkan semua ini…….”
--- 0 ---
Mobil
Adilla memasuki halaman rumah Ninda. Dari balik kaca mobilnya dia
melihat seorang lelaki tengah duduk
santai diteras. Adilla turun dari dalam mobilnya. Dia melangkah menuju teras.
Lelaki itu melihat sekilas pada Adilla lalu kembali asyik dengan telepon
genggamnya, tidak mengacuhkan kedatangan Adilla. Saat itu Ninda keluar dari
dalam rumah. Wajahnya gembira melihat kedatangan Adilla.
“Mas Dill, ayo kenalkan. ini Rizal.
Puteri teman papa.”
Rizal berdiri sejenak menyalami
Adilla. Menatapnya. Namun tatapannya seperti tidak bersahabat.
“Oh, ini tunanganmu yang kau ceritakan
itu, ya?” Tanya Rizal.
Adilla merasa kurang senang melihat
sikap Rizal yang arogan dan tidak sopan seperti itu. Namun dia menahan diri.
“Ya, ini mas Dill. Kami sudah akan
menikah, setelah mas Dill menyelesaikan kuliahnya nanti.:
“Oh.” Gumam Rizal. Dia melihat jam
tangannya. “Aku pulang dulu, ya. Sampaikan salam buat tante Nur.”
“Ya, terima kasih ya atas kiriman anggreknya. Mama sangat senang sekali
koleksi angkreknya semakin bertambah.”
“Ya, nanti aku kirim lagi. Temanku
punya usaha budidaya angkrek. Beragam bunga anggrek dijual disana. Nanti aku
ajak kamu dan tante Nur datang sendiri kesana, biar bisa memilih
anggrek sepuasnya.”
“Oh ya? Terima kasih.” Ucap Ninda
gembira.
Rizal berlalu memasuki mobilnya sedan
warna hitam yang diparkir diluar halaman rumah.
“Siapa Rizal? Sikapnya kelihatan
arogan sekali? Masa dia tadi bertanya, oh ini tunanganmu yang kau ceritakan
itu, ya?” komentar Adilla setelah mobil Rizal pergi.
Ninda tertawa mendengar ucapan Adilla.
“Jangan tersinggung, mas Dill. Rizal memang sikapnya begitu. Tapi sebenarnya
dia baik, kok. Tadi dia mengantarkan anggrek untuk mama. Mama kan senang koleksi bunga anggrek. Kebetulan
Rizal punya teman yang punya usaha budidaya anggrek. Mas Dill dengar sendiri
tadi, Rizal akan mengajak aku dan mama melihat sendiri ke tempat budidaya
anggrek temannya itu.”
“Sikapnya sangat simpatik sekali
kepadamu dan kepada tante Nur, ya?!” sindir Adilla.
“Mas Dill jangan cemburu begitu dong.
Aku jadi tidak enak kalau nanti Rizal datang kemari dan melihat sikap mas Dill
yang tidak bersahabat seperti itu.”
Hari-hari berikutnya Adilla melihat
Rizal semakin sering kelihatan berada
dirumah Ninda. Adilla tidak mengingkari ada perasaan cemburu yang terasa
mengganggunya setiap kali dia melihat kehadiran lelaki itu dirumah Ninda.
Walaupun tidak diucapkannya, namun dia
tidak dapat menyembunyikan pada raut wajahnya. Ninda sudah merasa, Adilla
cemburu dengan kehadiran Rizal dirumahnya.
“Mas Dill tidak senang Rizal sering
datang kemari, ya?” Tanya Ninda suatu
hari.
“Terus terang, ya.” Sahut Adilla.
“Mas Dill punya seorang sahabat,
namanya Asmi. Lantas mengapa aku tidak boleh pula memiliki sahabat? Rizal
seorang teman yang menyenangkan. Dia baik dan perhatian kepadaku.”
“Kau selalu mencemburui Asmi. Padahal
dia benar-benar hanya seorang sahabat bagiku.”
“Rizal juga hanya sekedar teman
bagiku. Sama seperti Asmi bagimu.”
Adilla menatap Ninda. Dia tidak bisa
membaca apa yang ada dalam pikiran gadis itu.
“Baiklah, jadi Rizal hanya sekedar teman bagimu?”
“Ya.” Sahut Ninda.
Adilla mencoba percaya pada ucapan
Ninda. Rizal hanya sekedar teman bagi Ninda. Namun hari-hari berikutnya, Adilla
merasa Ninda dengan Rizal kelihatan
semakin dekat. Bahkan Adilla merasa,
Ninda sudah lebih dekat kepada Rizal daripada kepadanya. Sering Rizal menemani
Ninda kemana-mana. Bahkan Ninda sudah semakin jarang meminta diantar lagi atau
ditemani bila akan pergi kemanapun kepadanya.
“Ninda, terus terang aku tidak suka
melihatmu semakin dekat dengan Rizal.” Kata Adilla. Dia harus berbicara terus
terang pada Ninda.
“Kenapa mas Dill tidak senang melihat
aku dekat dengan Rizal?” cetus Ninda. “Rizal putera bapak Hajar. Bapak Hajar
adalah teman bisnis papa. Rizal baik kok. Bapak Hajar juga baik padaku.”
Adilla kini mengerti. Diantara Ninda
dan Rizal ada hubungan lain. Mereka bukan sekedar berteman. Ninda sudah tidak
ingat lagi bahwa dirinya telah bertunangan dengan Adilla. Namun Adilla
mengerti. Ninda hanya ingin membalas dendam karena dirinya masih dekat dengan
Asmi.
Adilla mencoba menahan perasaannya.
Dia cemburu melihat Rizal sering kerumah Ninda, namun dia tidak punya alasan
untuk mencemburui Rizal. Barangkali memang benar seperti pengakuan Ninda bahwa
dirinya hanya berteman dengan Rizal. Hingga akhirnya Adilla melihat kenyataan
lain. Ninda sedang dipeluk Rizal ketika malam itu Adilla kerumah Ninda. Dia
memarkir mobilnya agak jauh dari rumah Ninda karena dia melihat ada mobil Rizal
diparkir didepan rumah Ninda. Adilla lalu berjalan menuju rumah gadis itu.
Ditaman dihalaman depan, pemandangan yang menyakitkan itu terasa mengusik harga
dirinya. Dia melihat kenyataan, gadis itu berada dalam pelukan Rizal.
Pengkhiatanan Ninda terasa menyakitkan
perasaannya sekaligus membuka matanya bahwa selama ini Ninda tidak
mencintainya. Dia hanya dijadikan pelarian setelah Ninda kehilangan Fahrul.
Perhatian-perhatian Ninda selama ini kepadanya yang seakan mencintainya dan
menyayanginya ternyata palsu belaka. Sekarang Adilla sadar, bahwa cinta tidak
bisa dipaksakan.
--- 0 ---
Adilla melihat kenyataan Ninda bersama
lelaki lain. Pengkhianatan Ninda terasa
menyakitkan perasaannya sekaligus membuka matanya bahwa selama ini Ninda tidak sepenuhnya mencintanya.
Perhatian-perhatian Ninda selama ini
yang seakan mencintainya dan
menyayanginya ternyata palsu belaka.
Bahwa cinta memang tidak bisa dipaksakan. Bahwa cinta seharusnya adalah
kerelaan dan keikhlasan untuk mau menerima kelebihan sekaligus kekurangan dari
orang yang dicintainya.
Adilla mengetahui bahwa lelaki itu
bernama Rizal. Anak seorang pengusaha sukses. Adilla menilai bahwa Rizal pasti
cocok dengan Ninda. Rizal pasti bisa mengikuti gaya hidup Ninda yang boros dan mewah.
Berhari-hari ini Adilla banyak
termenung. Dia seperti tengah diombang-ambingkan perasaannya sendiri yang mulai
goyah dan bimbang dengan keputusannya sendiri. Perkawinan adalah masa depannya.
Memang benar jodoh ditentukan Allah. Namun manusia diberi kesempatan untuk
memilih sendiri terlebih dahulu hingga kemudian Allan menentukan siapakah
jodohnya.
Aku berhak memilih untuk kebahagiaanku
sendiri, untuk masa depanku, dengan siapa aku merasa mantap melangkahkan kakiku
menapaki masa depanku.
Dia ingin menyingkirkan segala
kebimbangan dan kegalauan yang terus mengganggunya. Dia tahu orangtuanya tidak
memaksanya untuk menuruti keinginan
mereka. Ayah ibunya selama ini cukup bijak dan tidak pernah memaksakan kehendak
mereka pada ketiga anak-anaknya.
Mengenai pertunangannya dengan Ninda,
orangtuanya tidak memaksanya.
Mereka hanya mengarahkan dan memberikan saran. Selanjutnya terserah
anak-anaknya untuk mengambil keputusan sendiri.
Ketika dia diperkenalkan pada Ninda,
ibunya hanya memberikan jalan karena selama ini dita tidak pernah memiliki
kekasih. Dia sendiri senang diperkenalkan pada Ninda. Dimatanya Ninda seorang
gadis yang baik. Namun baru sekarang disadarinya dia terlalu tergesa-gesa
mengikuti keinginan orangtua Ninda dan orang tuanya yang menginginkan dirinya
dengan Ninda bertunangan terlebih dahulu sebelum mereka menikah. Sekarang baru disadarinya, dia seolah
memaksakan diri bila dia melanjutkan
pertunangan dengan Ninda. Ninda bukan untuknya. Dia tidak akan bisa mengikuti
gaya hidup Ninda. Disisi lain Ninda pun tidak akan mau mengikuti keinginannya.
Mereka berdua seolah berdiri pada dua jalur yang berbeda yang sulit untuk
dipertemukan.
Pada saat perasaannya terasa bimbang
dan galau, bayangan Asmi terasa semakin sering mengganggunya. Dia mengenal Asmi
bukan sehari dua hari. Sejak mereka masih di SMA mereka sudah berteman. Dia
sudah mengenal kepribadian Asmi. Gadis sederhana, mandiri dan penuh pengertian
didalam penilaiannya. Sudah lama dia tertarik pada Asmi. Namun rasanya sulit untuk
mengungkapkan perasaannya kepada Asmi. Selama ini Asmi selalu baik dan penuh
perhatian kepadanya. Namun dia tidak bisa mengartikan bahwa Asmi akan menerima
cintanya.
Dia tidak pernah bisa menebak
bagaimana perasaan Asmi yang sesungguhnya kepadanya. Namun kini, setelah dia
bertunangan dengan Ninda, dia merasakan perubahan pada sikap Asmi. Asmi lebih sering menghindarinya. Asmi jadi
lebih pendiam kepadanya. Sering mengelak bila dia ingin bertemu. Dan yang lebih
kentara, dia melihat Asmi sering
terlihat murung. Adilla menemukan jawabannya dari Riana. Riana sewaktu
SMA sebangku dengan Asmi. Bahkan sekarang pun mereka masih bersama-sama di
kampus walaupun berbeda jurusan.
“Asmi menyukaimu, Dill. Sejak dulu pun
Asmi sudah menyukaimu.” Kata Riana.
“Benarkah?” Tanya Adilla. “Asmi memang
baik kepadaku, namun selama ini aku sulit menebak perasaannya kepadaku.”
“Kau sendiri menyukai Asmi, kan?
Kenapa engkau tidak mengutarakan perasaanmu kepada Asmi?”
“Na, aku selama ini selalu merasa
ragu. Aku khawatir…….”
“Cintamu akan bertepuk sebelah
tangan?” Riana tertawa. “Kamu laki-laki,
Dill. Cinta ditolak hal biasa buat laki-laki. Bukan sesuatu hal yang tabu dan
memalukan. Dicoba saja. Siapa tahu kekhawatiranmu tidak terbukti, Dill.”
Adilla hanya termenung mendengar saran
Riana.
“Adilla, tapi sekarang sudah
terlambat. Kau sudah bertunangan dengan Ninda. Tidak baik bila kau masih memikirkan gadis lain, Dill.”
Adilla diam saja. “Na, kamu jangan
menyampaikan pembicaraan kita ini pada Asmi, ya. Ini pembicaraan kita berdua.”
“Ya, tentu saja.” Sahut Riana,
tersenyum penuh pengertian. “Kamu tidak usah khawatir, Dill. Aku sejak dulu kan
berteman baik denganmu. Aku bisa menjaga kepercayaanmu.”
“Terima kasih.”
Pulang kerumahnya Adilla merasa
semakin bimbang. Kebimbangan yang terasa semakin mengacaukan perasaannya.
Betapapun sulitnya untuk memilih, namun aku harus mengambil keputusan. Ya,
mungkin sebenarnya selama ini Asmi menyukaiku, namun sebagai wanita dia
berusaha menyembunyikan perasaannya. Aku yang tidak peka menangkap sinyal-sinyal
yang sebenarnya selama ini sering diberikan Asmi kepadaku. Kebaikan-kebaikan
dan perhatian-perhatian Asmi kepadaku sangat berbeda dengan kebaikan-kebaikan
dan perhatian-perhatian yang diberikan Asmi pada teman-teman lelakinya yang
lain. Aku sendiripun merasakan ada perhatian lebih dari Asmi kepadaku.
Adilla mengambil photo Asmi. Cantik
dan lembut. Asmi memang nampak keibuan. Sewatu SMA dulu, jarang ada teman
lelaki yang berani mengganggu Asmi. Adilla meletakkan photo itu. Dia lalu
mengambil kotak merah kecil. Dibukanya.
Dia menatap cincin tunangan didalam kotak merah itu.
Sudah beberapa waktu cincin itu hanya disimpannya saja. Dia merasa enggan
memakainya.
Dia tahu apa yang harus dilakukannya
dengan cincin itu. Pengkhianatan Ninda terasa melukai perasaannya. Namun
pengkhianatan Ninda membuatnya tekadnya
terasa semakin bulat untuk mengakhiri
pertunangannya dengan Ninda. Dia tidak ingin lagi mengenakan topeng kepura-puraan yang membuat dirinya dan
perasaannya seakan terbelenggu dalam sebuah cinta yang palsu.
Seperti bunga kertas, bunga itu
kelihatan begitu indah namun palsu dan
semu. Yang diinginkannya adalah bunga yang sesungguhnya, seperti sebuah cinta
yang sesungguhnya yang diharapkannya ada dalam hatinya. Cinta adalah sebuah anugerah. Cinta
seharusnya dihayati dan disyukuri.
Andaikan cinta adalah sesuatu hal yang
istimewa dan hanya sekali saja hadir dalam hidupnya, dia ingin mendapatkan dan
memiliki cinta itu seutuhnya, akan dijaga dan disimpannya dengan sepenuh hati.
Tiba-tiba saja perasaannya menjadi
terasa sentimental dan melankolis. Betapa airmatanya menjadi mudah hadir ketika
dia sedang dipermainkan oleh
lamunan-lamunannya. Selama ini dia tidak pernah cengeng. Hidup harus kuat dan
tegar. Namun kenapa perasaan-perasaan sentimental itu kerap mengganggunya pada
saat dia sedang bercengkrama dengan kesendiriannya? Cintalah yang telah
membuatnya menjadi seperti ini.
“Ninda, aku ingin bicara denganmu.”
Kata Adilla. Malam itu dia kerumah Ninda setelah berhari-hari pikirannya terasa
terganggu dan sumpek. Dia harus bicara dengan Ninda. Dia sudah memikirkannya
matang-matang.
Ninda menatapnya. Menunggu apa yang
akan disampaikan Adilla.
“Kelihatannya hubungan kita ini tidak bisa diteruskan lagi. Aku
melihatmu semakin dekat dengan Rizal. Aku tidak akan bertanya kepadamu ada
hubungan apa antara engkau dengan Rizal karena kalian sudah sama-sama dewasa.
Namun aku perlu kejelasan hubungan kita.”
Adilla menatap jari manis Ninda. Ninda tidak mengenakan
cincin.
“Dimana cincin tunangan kita?”
“Aku simpan dalam dompet.”
“Kau sudah tidak mau mengenakannya?”
“Karena mas Dill juga pernah tidak
memakai cincin pertunangan kita.”
Adilla menarik napas dalam. Sekarang mereka seolah ingin saling membalas
sakit hati dan kekecewaan diantara mereka. Hanya ingin saling membalas dendam.
Adilla sadar, mereka berdua sama keras kepalamnya. Tak ada yang mau mengalah.
Apa jadinya nanti bila mereka berdua sudah resmi terikat menjadi suami istri.
Yang akan terjadi nanti tiap kali kecewa dan sakit hati akan dibalas dengan
cara yang sama. Tiada artinya lagi mereka meneruskan pertunangan ini.
Sebelum segalanya terlambat untuk
diakhiri.
“Ninda, kamu pernah tidak memikirkan
mengenai kemungkinan lain dari hubungan kita ini?”
Ninda tidak menyahut.
“Sepertinya kita tidak bisa melanjutkan
kembali pertunangan kita ini. Terlalu banyak perbedaan diantara kita yang sulit
mencari titik temu.”
Ninda mengeluarkan dompetnya. Dia
mengambil cincin tunangan mereka.
“Cincin ini aku kembalikan kepadamu.”
Adilla menatap cincin itu. “Simpan
saja cincin itu, Ninda. Sebagai kenang-kenangan kita pernah bersama.”
Ninda menatap Adilla. menahan
airmatanya. Ketika Adilla telah pergi, Ninda menumpahkan airmatanya. Hatinya
terasa pedih. Dia mencintai Adilla seperti hanya dia mencintai Fahrul. Hanya
dia sendiri yang dapat merasakan bagaimana besar rasa cintanya pada Adilla.
Bagaimana takutnya dia kehilangan lelaki itu. Namun Adilla tidak mengerti
dengan perasaannya. Adilla tidak memahami cintanya pada lelaki itu. Adilla
tidak memahami kecemburuan-kecemburuannya dengan persahabatan Adilla dan Asmi.
Persahabatan mereka yang terus berlanjut terasa menyakitkan perasaannya dan
selalu menimbulkan bara kecemburuan dalam hatinya yang suatu saat bisa berkobar
menjadi api yang membakarnya. Namun ketika dia membalas sakit hatinya kepada
Adilla dengan cara yang sama, Adilla mengambil keputusan yang tak diduganya.
Adilla memutuskan pertunangan mereka. Ninda merasa limbung. Namun kenyataan
ini terpaksa harus diterimanya. Dia
terpuruk dalam kesedihan. Dia tidak menduga akan begini akhirnya. Sambil
menangis, dia menatap cincin pertunangan itu yang kini sudah tidak ada maknanya
lagi.
--- 0 ---
Aku tidak akan bertemu Adilla lagi,
pikir Asmi. Dia melihat mobil Adilla dari balik jendela
ruangan kuliahnya dilantai dua. Mobil Adilla diparkir didepan gedung itu. Teman-temannya satu persatu sudah meninggalkan
ruangan kuliah. Tinggal dia sendirian yang masih termenung menatap keluar. Asmi
melihat Adilla keluar dari dalam mobilnya. Berkali-kali Adilla menengok pada
orang-orang yang lalu lalang. Seperti tengah mencari-cari seseorang. Siapa yang
kau cari, Adilla? Akukah? Aku disini.
Namun aku tidak ingin bertemu denganmu. Asmi bertahan berdiri dibalik jendela
hingga akhirnya dia melihat Adilla memasuki mobilnya. Mobil itu perlahan
meninggalkan tempat parkir. Asmi menghela napas panjang. Dia tidak merasa lega
melihat Adilla telah pergi. Hatinya
terasa perih karena dia mengingkari perasaannya sendiri. Kenapa aku tidak mau
mengakui bahwa aku sebenarnya mencintai Adilla? Bukankah hatiku menangis ketika
Adilla bertunangan dengan Ninda? Mengapa aku sekarang harus menghindar
pada saat cinta itu datang menghampiri?
Sekian lama dia mengharapkan Adilla,
kini pada saat harapan itu akan diwujudkan Adilla, justru hatinya yang enggan
untuk menerima harapan yang diberikan Adilla itu. Bayangan Ninda seakan
mengganggunya. Tatapan mata Ninda yang menghujam cemburu tak bisa lepas dari
ingatannya. Asmi melangkah keluar. Dia melintasi diantara ruangan yang mulai
sepi. Langkahnya perlahan menuruni
tangga. Matanya terpekur menatap lantai tangga.
“Asmi…..”
Asmi terkejut. Pada enam tangga dibawahnya, Adilla tengah berdiri disana.
Asmi meneruskan langkahnya menuruni tangga.
“Hai.” Sapanya ketika sudah berhadapan
dengan Adilla.
“Hai.” Sahut Adilla. Tersenyum menatap
Asmi. “Aku tahu kamu belum keluar dari kampus. Tadi aku menunggumu dibawah.”
“Ada apa?”
“Aku ingin pulang sama-sama.”
“Aku mau ke toko buku dulu.”
“Aku antar.”
“Jangan. Aku pasti lama. Pulangnya mau
mampir ke pasar dulu beli bahan—bahan kue.”
“Tidak apa-apa, aku antar kamu.” Suara
Adilla memaksa.
“Sudah kubilang, aku pasti lama. Kau
pulang duluan aja deh.”
“Tidak apa-apa lama juga, aku tidak
sedang buru-buru.”
“Adilla……”
“Aku tidak suka kau jadi berubah
seperti ini, kenapa jadi tidak mau kutemani lagi?”
“Kau sudah punya Ninda, Adilla.”
“Aku sudah tidak dengan Ninda lagi.
Kau tahu itu. Ninda sudah mengembalikan
cincin pertunangan kami. Diantara kami sekarang sudah tidak ada hubungan
apa-apa lagi.”
“Adilla, kenapa hal itu harus terjadi?
Seharusnya engkau berusaha mempertahankan hubungan kalian.”
“Asmi, aku capek membicarakan soal
Ninda terus……”
Asmi melihat mata Adilla. Dia tahu,
Adilla tak ingin lagi diusik dengan pembicaraan tentang Ninda.
Toko buku yang mereka kunjungi masih
toko buku yang dulu biasa mereka kunjungi. Toko buku itu terletak dibelokan
perempatan jalan. Bentuk bangunannya sudah kuno. Sebuah toko buku kecil yang
tidak terlalu ramai didatangi pembeli. Rumah makan kecil yang mereka kunjungi
masih rumah makan yang dulu biasa mereka kunjungi terletak tidak jauh dari toko
buku itu. Makanan dan minuman yang mereka pesan masih makanan dan minuman
seperti yang biasa mereka pesan seperti dulu.
“Senang ya kita bisa bersama-sama
lagi.” Kata Adilla, tersenyum menatap Asmi.
Asmi menunduk, menikmati makanannya.
Dia tahu Adilla pasti menunggunya berkomentar.
“Asmi, kamu tahu tidak, apa yang
paling aku sukai darimu?”
Asmi menatap Adilla, ingin mendengar
ucapan gombal Adilla. Adilla suka menggombal, namun dia menikmatinya sebagai bagian
dari persahabatannya dengan Adilla.
“Kau gadis yang mandiri. Kau bisa
berjuang untuk hidup tanpa tergantung pada belas kasihan orang lain. Ketika kau
mulai merintis usaha membuat roti dan kue, aku sudah kagum padamu. Aku melihat
engkau mau bekerja keras. Kau juga secara tidak langsung membuka lapangan
pekerjaan, pada pembantu-pembantu yang
membantu pekerjaanmu, pada anak-anak yang putus sekolah yang menjajakan
daganganmu, pada pemuda-pemuda pengangguran disekitar rumahmu.”
Asmi tersenyum. “Selama ini rasanya
kau tak pernah memuji aku.”
“Aku baru menyadari betapa
menyenangkannya engkau justru setelah aku tidak pernah bersama-sama denganmu.
Saat itu baru aku terpikir betapa engkau berjuang, bekerja keras dan berusaha
hidup mandiri pada saat aku sendiri masih tergantung pada orangtua.”
“Suatu saat engkau juga akan bisa
hidup mandiri, orangtuamu sedang memberimu bekal melalui pendidikan. Bila
sekolahmu telah rampung, kau juga akan bekerja dan memiliki penghasilan
sendiri.”
“Kau sudah memulainya dari sekarang.
Aku malu pada diriku sendiri. Padahal setiap orang pasti bisa bila mau
berusaha. Apa yang telah kau lakukan telah memotivasi aku untuk mulai
memikirkan pekerjaan. Waktuku masih cukup untuk mencari pekerjaan disela-sela
waktuku untuk kuliah.”
“Kau punya orangtua yang cukup berada,
Dil. Kau tidak usah menyusahkan diri sendiri. Selesaikan saja dulu studimu baru
engkau mencari pekerjaan yang sesuai dengan keinginanmu. Aku bekerja mencari
uang dari usaha membuat roti dan kue ini karena kondisiku yang serba pas-pasan sehingga aku seolah dituntut
untuk mencari jalan keluar dengan
membantu ibuku menambah penghasilan. Kebetulan aku bisa membuat roti dan kue,
keahlian sekecil apapun bila dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya Insya Allah
akan membuahkan hasil.”
“Asmi, aku senang melihat keuletanmu.
Kau sudah banyak mengajariku banyak hal. Kau selalu mengingatkan aku agar jangan lupa shalat. Kau yang mengingatkan aku
agar aku mau belajar membaca Al-Qur’an. Kau mengajariku bahwa hidup terlalu
singkat untuk kita lewatkan begitu saja. Kau selalu mengingatkan aku agar
mengisi waktu dengan sebaik-baiknya sebelum usia tua datang dan membuat kita
menyesal telah menyia-nyiakan masa muda kita. Asmi, kau akan tetap bersamaku,
bukan?”
Asmi terdiam.
“Asmi, aku ingin tetap bersamamu.
Bukan untuk sehari ini saja, atau sekedar sehari esok. Tapi untuk selama-lamanya.”
“Adilla, aku tidak mau kau jadikan aku
ini sebagai pelarian dari kekecewaanmu terhadap Ninda…..”
“Aku memang kecewa dengan
pertunanganku dengan Ninda, namun itu adalah cerita lain dalam kehidupanku. Kau
adalah cerita lain dari kehidupanku. Aku mencintaimu dan ingin selalu bersamamu
untuk selamanya. Aku ingin menikah denganmu.”
“Adilla, menikah itu gampang tapi
banyak yang harus kau pertimbangkan. Kuliah kita tinggal setahun lagi. Kenapa
engkau tidak menunggu sampai selesai dan
kau mendapatkan pekerjaan?”
“Asmi, aku bisa menunggu namun aku
tidak ingin pikiranku berubah lagi. Kau sering berkata bahwa Allah akan selalu
membukakan pintu rejeki-Nya pada umat-Nya yang mau berusaha. Kau sudah
membukakan mataku bahwa dengan usaha dan kerja keras, rejeki itu pasi akan
selalu ada. Aku sekarang sudah bekerja part-timer pada sebuah perusaha konsultan jasa
konstruksi………..”
“Oh, ya? Kau tidak pernah cerita
tentang hal ini padaku.”
“Aku ingin sepertimu, mau bekerja
keras dan berusaha, mengisi waktu dengan sebaik-baiknya. Allah yang akan
menentukan besar kecilnya rejeki kita namun kita wajib berusaha mencari rejeki
sambil berdoa…..”
Asmi tersenyum. Dia mengucapkan syukur
dalam hatinya. Allah telah mengembalikan Adilla kepadanya.
--- 0 ---
Ibunya adalah orang pertama yang
diberitahu putusnya pertunangannya
dengan Ninda. Adilla tahu, keputusannya ini akan membuat semua pihak terkejut.
Namun disisi lain, dia harus berani menentukan sikapnya sendiri. Dia tidak
ingin terus menerus masalah pertunangannya dengan Ninda menjadi beban bagi
bathinnya. Mereka sudah jelas tidak mungkin bisa terus bersama.
“Ma, aku sudah memutuskan pertunangan dengan Ninda. Maafkan
aku, keputusan ini kuambil kerena aku tidak bisa memaksakan diri, meneruskan
pertunangan dengan Ninda sampai ke pernikahan.”
Sesaat Nani terlihat kaget. Walaupun
sebelumnya dia sudah sering mendengar Adilla mengeluhkan hubungannya dengan
Ninda dan berulangkali dia meminta agar Adilla bersabar, namun dia tidak
menduga bila Adilla akan memutuskan pertunangan mereka. Namun kini Adilla telah
mengambil keputusan sendiri.
“Semuanya sudah kau pikirkan
matang-matang, Dil?” Tanya Nani lembut, dia tidak ingin menyinggung perasaan
anaknya.
“Ya, ma.”
“Kau
yang akan menjalani. Perkawinan
adalah masa depanmu. Bila kau sudah bulat hati untuk mengakhiri pertunanganmu
dengan Ninda, keputusan itu sudah kau pikirkan matang-matang.”
“Ya, ma. Insya Allah.” Adilla merasa
lega, ibunya bisa menerima keputusannya dengan lapang dada. Semula dia mengira
ibunya akan marah dan menentang keputusannya. “Ma, ada satu hal lagi yang akan saya
sampaikan pada mama.”
“Apa?”
Adilla tersenyum. “Insya Allah, saya
akan menikah dengan Asmi.”
Kali ini Nani benar-benar
terkejut. “Apa? Astagfirullahualadziem.
Adilla, mama harap kau tidak main-main. Kuliahmu belum selesai.”
“Ma, saya dan Asmi masih sama-sama
kuliah, Insya Allah kalau lancar tahun depan kami sudah menyelesaikan kuliah
kami. Apa yang akan kami jalani ini pasti berat dan penuh dengan resiko, namun
kami sudah sepakat akan tetap melangsungkan pernikahan. Pernikahan ini adalah
jalan terbaik untuk kami berdua. Saya takut bila saya salah melangkah. Mama
tahu hubungan saya selama ini dengan Asmi sudah dekat.”
“Jadi selama ini Asmi bukan hanya
sekedar teman bagimu?” Tanya Nani
setelah termenung beberapa saat lamanya sambil menatap wajah anak bungsunya.
Adilla tersenyum. “Semula saya
menganggap Asmi hanya sebagai teman, tapi lama kelamaan perasaan saya berubah kepadanya, ma. Saya
menyukai Asmi bukan hanya sebagai teman biasa, namun dia bisa menjadi teman
dalam mendampingi hidup saya.”
“Kenapa engkau tidak menangguhkan
sampai tahun depan, sampai kalian berdua merampungkan dulu kuliah kalian?”
“Mama merestui perkawinan saya dengan
Asmi?” Tanya Adilla. Dia menatap ibunya penuh harap. Matanya berbinar. Ada kebahagiaan yang tidak
disembunyikannya dari sepasang matanya. Nani dapat merasakan kebahagiaan yang
tengah dirasakan anaknya. Dan dia tidak
akan pernah merasa tega untuk mengusik kebahagiaan yang tengah dirasakan
anaknya. Selama ini yang diharapkannya adalah anak-anaknya bahagia.
“Adilla, Insya Allah mama merestui
hubungan kalian tapi untuk melangkah keperkawinan secepat ini…..”
“Ma, saya dengan Asmi sudah cukup
dewasa. Insya Allah kami berdua akan bertanggung jawab dengan perkawinan kami
ini.” Ucap Adilla. “Mama merestui perkawinan kami ini?”
Nani
tersenyum. “Adilla, mama selalu
berharap engkau mendapatkan kebahagiaan. Perkawinan adalah masa depanmu.
Kehidupanmu selanjutnya. Kau sudah cukup dewasa untuk menentukan sendiri dengan
siapa engkau akan melangkah sepanjang hidupmu. Mamah menilai Asmi gadis yang
baik. Bila engkau sudah merasa mantap memilih Asmi, kau berhak menentukan
pilihanmu senidiri. Bila perkawinanmu dengan Asmi membuatmu bahagia, Insya
Allah mama dan papa akan merestui
perkawinan kalian.”
“Terima kasih,ma.” Adilla mencium
tangan ibunya. Bukan main senangnya mendapat restu dari ibunya.
--- 0 ---
Tiga minggu kemudian pernikahan Adilla dan Asmi diselenggarakan dengan sederhana seperti
keinginan Adilla yang tidak ingin menunda-nuda perkawinannya. Namun
kesederhanaan itu tidak mengurangi kebahagiaan Asmi dan Adilla. Keduanya
kelihatan bahagia dan berseri menerima
ucapan selamat dari keluarga dan teman-teman dekat mereka yang diundang.
“Asmi, aku bahagia sekali.” Ucap
Adilla.
“Aku juga.” Sahut Asmi, tersenyum
menatap wajah Adilla.
Pasangan pengantin baru itu tinggal dirumah Asmi. Menjelang perkawinan
mereka, Asmi sibuk membenahi kamar bekas orangtuanya yang berukuran lebih luas
dibandingkan dengan kamar yang ditempatinya selama ini. Bekas kamar orangtuanya
akan dipakainya sebagai kamar tidurnya setelah menikah. Letak kamar itu lebih luas dan lebih nyaman dengan jendela besar yang menghadap
pada taman kecil disamping rumah. Dia mengganti cat kamar yang semula berwarna krem muda
dengan warna putih. Dia juga
mengeluarkan lemari dan barang-barang lainnya yang mengisi kamar bekas
orangtuanya, lalu menggantinya dengan
barang-barangnya sendiri, termasuk tempat tidur baru dan gorden baru
berwarna biru yang berenda pada bagian tepinya. Asmi tersenyum puas ketika
melihat hasilnya.
Perkawinan merupakan sebuah kehidupan baru bagi Asmi maupun bagi Adilla. Sekarang Adilla
menyaksikan sendiri bagaimana sibuknya Asmi sehari-hari. Jam setengah empat
subuh Asmi sudah bangun. Sambil menunggu adzan shubuh Asmi sudah sibuk didapur
bersama pembantu-pembantunya membuat adonan roti. Sekarang kesibukan Asmi
semakin bertambah dengan kehadiran seorang suami. Sambil melakukan rutinitasnya
sehari-hari, Asmi menyediakan segala macam kebutuhan Adilla. Asmi menjalankan
tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri dengan sepenuh hati. Adilla bangga
dan senang pada istrinya. Dia merasa tidak salah pilih telah menikah dengan
Asmi. Asmi memberikan banyak kegembiraan-kegembiran dalam hidupnya.
“Asmi, aku bisa melakukan sendiri.”
Kata Adilla ketika melihat Asmi memilihkan baju yang akan dipakainya hari itu.
Asmi tersenyum. “Aku sekarang sudah
menjadi istrimu, jadi pekerjaan ini
sudah menjadi pekerjaanku.”
Adilla hanya tersenyum. Keluar dari
kamarnya dia melihat kopi yang masih mengepul panas sudah terhidang diatas
meja. Sementara Asmi masih sibuk membenahi meja makan menyiapkan sarapan pagi.
Adilla bersyukur, dia melihat
pengabdian yang tulus dari Asmi. Walaupun Asmi sendiri disibukan dengan
kuliahnya dan usahanya, namun dia tetap memberikan prioritas untuk melayani
segala kebutuhan suaminya. Hingga suatu hari
empat bulan setelah perkawinan mereka ketika Adilla pulang kuliah dia
melihat Asmi sedang terbaring dengan wajah pucat.
“Kenapa, As?”
“Kepalaku pusing. Tapi aku tidak
apa-apa.” Sahut Asmi. Dia menarik selimut dan menutup kakinya dengan selimut.
Dia memejamkan matanya.
“Wajahmu pucat sekali. Kau sakit,
Asmi.”
“Tidak, aku sehat.”
Adilla tidak percaya. Dia meraba
kening Asmi. Asmi membuka matanya dan menatap suaminya, lalu tersenyum.
“Dil, kau harus siap-siap menjadi
seorang bapak…..” bisik Asmi lirih.
“Apa? Kau hamil?” Adilla menatap istrinya.
Asmi mengangguk. “Aku sudah
mengetesnya sendiri. Hasilnya positif.”
“Kita periksa ke dokter. Aku ingin
dokter yang meyakinkan kita dengan kehamilanmu.” Ujar Adilla.
Asmi mengangguk setuju. Sore itu
mereka pergi ke dokter walaupun sudah mengetesnya sendiri namun untuk lebih
meyakinkan bahwa dirinya benar-benar tengah hamil dia setuju dengan ajakan
Adilla yang mengajaknya pergi ke dokter. Seperti yang sudah diduga, dokter
mengatakan Asmi positif hamil.
“Aku benar-benar bahagia mendengarnya,
Asmi. Mulai sekarang kau jangan terlalu capek. Jaga kandunganmu dengan
sebaik-baiknya. Kau juga harus banyak beristirahat, ya.” Kata Adilla dalam
perjalanan pulang. Motornya melintas dijalanan yang ramai. Tidak seperti
kebiasaannya, kali ini dia menjalankan motor dengan kecepatan sedang. Dia tidak
ingin Asmi menegurnya karena dia terlalu kencang menjalankan motornya.
Asmi hanya mengangguk mendengar ucapan Adilla. Dia merasa
bahagia melihat kebahagiaan yang memancar pada wajah Adilla. Betapa bangga dan
bahagianya dia bisa memberikan kebahagiaan pada suaminya tercinta. Sebentar
lagi dia akan menjadi seorang ibu dan Adilla akan menjadi seorang ayah.
Perkawinan mereka akan lengkap dengan hadirnya buah hati.
“Aku akan memberitahu mama dan papa
dengan kehamilanmu ini. Mereka pasti sangat bahagia akan memiliki cucu baru.”
Kata Adilla gembira.
Hari-hari berjalan cukup indah dan penuh rasa syukur
yang tiada henti-hentinya mereka ucapkan kepada Allah yang telah memberikan
cukup segala sesuatunya buat perkawinan mereka. Riak-riak kecil kerap
menghampiri perkawinan mereka. Namun hanya riak kecil sebagai pemanis kehidupan
berumah tangga. Kelahiran bayi perempuan mereka semakin menambah kebahagiaan
mereka. Adilla memberinya nama Anissa Salikha. Kelahiran bayi itu disaat Adilla
sedang sibuk menyelesaikan skripsinya. Bayi itu cantik dan sehat. Bukan main
senangnya Adilla menyambut kelahiran puteri pertamanya. Sekarang dia sudah
menjadi seorang ayah. Dia ikut bangun
malam ketika Anisa bangun. Kesibukan
Asmi adalah kesibukan Adilla juga.
“Kamu harus konsentrasi dengan
skripsimu, Dil. Aku bisa mengurus
sendiri bayi kita.” Ucap Asmi ketika melihat kelelahan diwajah Adilla. Dia
merasa kasihan kepada kepada Adilla karena ditengah kesibukannya menyelesaikan
pendidikannya waktunya menjadi sering terganggu oleh kerepotannya ikut mengurus
bayi mereka walaupun Adilla sendiri kelihatan menikmati bisa membantu istrinya.
“Aku tidak bisa membiarkanmu repot
sendiri mengurus bayi kita.”
“Aku senang dan berterima kasih kau
bantu, namun aku tidak mau karena
kesibukanmu membantu aku mengurus bayi kita membuat pelajaranmu terbengkalai.
Kau harus belajar dan menyelesaikan kuliahmu secepatnya.”
“Ya.” Adilla mengangguk. Dia menatap
Asmi beberapa saat lamanya, seakan ada sesuatu yang ingin diucapkannya pada
istrinya.
“Ada apa?” Tanya Asmi.
“Asmi, aku malu padamu. Selama kita
berumah tangga, kau selalu menyokong perekonomian rumah tangga kita. Aku malu,
sebagai kepala keluarga aku justru belum
bisa bekerja untuk menafkahi keluarga kita. Kau sudah berjanji, kan?”
Asmi tersenyum. “Kau kan masih kuliah.
Nanti bila kau sudah berhasil menyelesaikan pendidikanmu dan mendapatkan
pekerjaan, kaulah yang akan menafkahi keluarga kita.”
“Asmi, aku bahagia memiliki seorang
istri yang penuh pengertian sepertimu.”
“Aku juga bahagia memiliki seorang
suami yang baik sepertimu.”
Pengertian Asmi sebagai seorang istri
yang memacu Adilla untuk segera
menuntaskan kuliahnya dan segera mendapatkan pekerjaan. Lima bulan
kemudian Adilla diwisuda. Asmi menyusul diwisuda beberapa bulan
kemudian.
Adilla
bekerja pada anak cabang perusahaan milik ayahnya yang bergerak dibidang hasil-hasil
perkebunan. Dia mengawali dari bawah
sebagai karyawan biasa seperti yang lainnya. Ayahnya ingin Adilla bisa
memahami seluk beluk perusahaan agar
lebih bisa menguasai pekerjaan. Andaikan suatu saat Adilla menadapatkan posisi
yang baik dia sudah punya pengalaman bekerja dari level bawah. Seperti halnya
dengan Wisnu dan Farhan, kedua kakak Adilla yang sekarang menjalankan usaha
milik orangtua mereka.
“Biar aku saja yang bekerja di
kantoran.” Kata Adilla. “Kau selama ini sudah terlalu sibuk dengan usahamu.”
“Bagaimana dengan ijazah sarjanaku?
Sayang bila disimpan saja didalam lemari.” Ucap Asmi.
“Hidup selalu dihadapkan pada pilihan,
Asmi. Kau bisa memilih mana yang lebih cocok untukmu. Kau bisa bekerja
dikantoran namun pastinya ada konsekwensinya bagi usahamu yang sudah mulai
berkembang ini. Kau pasti sulit
menangani waktu dan pekerjaan antara bekerja di kantoran dengan menjalankan
usahamu. Apalagi Anissa semakin membutuhkan perhatianmu. Aku ingin engkau
menjadi ibu rumah tangga saja.”
“Ya.” Asmi mengangguk. Dia bisa
menerima penjelasan Adilla.
Perkawinan mereka berjalan dengan selalu diisi dengan penuh
rasa bahagia dan syukur. Adilla merasakan bahwa perkawinan adalah sebuah
ibadah yang tidak ternilai. Dia bahagia memiliki istri yang cantik dan begitu
penuh pengertian seperti Asmi. Tak
henti-hentinya dia memanjatkan rasa syukurnya kepada Allah yang telah
memberinya jodoh seorang wanita seperti Asmi. Allah telah memberikan yang
terbaik untuknya. Allah telah memberikan wanita yang terbaik untuk menjadi
pendamping hidupnya. Allah telah memberinya jodoh dimana dia merasa lebih dekat
kepada Allah, Sang Khalik, Tuhan Sang Maha Pencipta.
Suatu hari pada empat tahun usia
perkawinan mereka Asmi melihat Adilla sedang mencoret-coret kertas.
“Apa itu?” Tanya Asmi, tertarik dengan
yang tengah dikerjakan suaminya.
Adilla memperlihatkan gambar yang baru
selesai dibuatnya. Gambar sebuah rumah. Asmi duduk disamping Adila sambil
mengamati gambar itu.
“Rumah siapa ini?”
Adilla tersenyum mengamati gambar
ditangannya. “Rumah kita.”
“Oh, kau akan membuat rumah, Dil?”
Asmi memekik gembira.
“Yah, aku sedang memikirkan, kita
lebih baik memiliki rumah, rumah kita sendiri.”
“Lalu, rumah ini bagaimana?” Tanya Asmi,
mendadak, seolah termenung. Rumah peninggalan orangtuanya ini tidak mungkin ditinggalkan begitu saja. Dia
sudah merasa betah tinggal dirumah peninggalan orangtuanya ini. Lagi pula rumah
ini adalah juga tempat usahanya.
“Aku sudah memikirkannya. Rumah
peninggalan orangtuamu ini kita jadikan sebagai tempat usahamu membuat roti dan
kue. Bagian depan kita renovasi sehingga bisa menjadi sebuah toko roti dan kue.
Kau tetap menjalankan usahamu yang sudah
terjalin dengan pedagang keliling. Mereka tetap memiliki lapangan kerja dan
mata pencaharian. Namun disamping itu kau memiliki toko roti dan kue sehingga
pembeli bisa langsung membeli roti dan kue ke tokomu.”
“Adilla, aku senang sekali mendengar
usulmu ini. Tapi darimana kau memiliki uang untuk membuat rumah?”
Adilla tersenyum. “Soal tanahnya, ayah
dan ibu sudah membelikan untukku. Sama
luasnya dengan tanah yang dibelikan
untuk kedua kakakku, mas Wisnu dan mas Farhan. Letaknya tidak jauh dari sini.
Besok aku ajak kau kesana. Kau pasti senang tinggal disana. Soal
pembangunannya, aku sudah mengajukan kredit meminjam uang ke bank.”
“Darimana uangnya untuk membayar
kredit itu?” Asmi mengerutkan keningnya.
“Ayah yang pinjam. Jadi aku berhutang
pada ayah. Akan kubayar dengan cara mencicil bila aku sudah bekerja.”
Asmi tidak berkomentar. Dia tahu, ayah
Adilla membantu anaknya namun sekaligus juga mengajarinya agar memiliki
tanggung jawab. Dia menatap suaminya. “Kau
tidak betah tinggal dirumah ini?”
“Aku betah tinggal disini. Udaranya
sejuk dan nyaman. Namun sebagai suami aku tetap memiliki kewajiban untuk
menyediakan tempat tinggal untukmu.
Rumah ini kan peninggalan orangtuamu.
Rumah yang akan aku buat nanti adalah sebagai wujud tanggung jawabku sebagai
suami kepadamu.”
Asmi tersenyum. Dia memeluk
Adilla. “Adilla, kau benar-benar seorang
suami yang baik dan bertanggung jawab.”
“Kau juga seorang istri yang baik dan
bertanggung jawab, Asmi. Aku sangat bahagia mendapatkan jodoh seorang
wanita sepertimu.”
Adilla memperhatikan gambar
ditangannya. “Uang yang kupinjam pada bank masih cukup untuk melakukan renovasi
pada rumah peninggalan orangtuamu ini.”
Asmi hanya menganguk. “Terima kasih,
Dil. Kau saja yang membuat sketsanya ya, bagaimana agar toko roti dan kue
milikku itu nanti nampak nyaman.”
“Ya.” Adilla tersenyum.
“Aku punya tabungan. Mungkin cukup
bila dipakai untuk menambah biaya renovasi rumah ini menjadi sebuah toko roti
idamanku.” Asmi tersenyum menatap Adilla.
--- 0 ---
“Mas Dill!”
Adilla baru keluar dari apotik
setelah membeli obat batuk. Sudah tiga
hari ini dia batuk-batuk terus. Udara musim kemarau yang panas membuat
tenggorokannya sering terasa kering. Adilla menoleh. Sejenak dia hanya menatap
wanita yang memanggilnya itu. Seorang
wanita berambut panjang, diikat menjadi satu dibelakang, mengenakan celana panjang hitam dengan blouse
ungu tua. Mendadak perasaan Adilla
berdesir. Ninda. Ya, wanita itu
Ninda. Sejenak Adilla hanya terpaku menatapnya. Matanya melihat
perubahan pada diri Ninda. Wanita
itu sekarang nampak kurus, tidak
berseri-seri walaupun masih
kelihatan cantilk. Adilla melihat Ninda kelihatan berubah bila
dibandingkan dengan Ninda yang pernah dikenalnya dulu.
“Ninda.”
“Mas Dill.”
Keduanya berjabat tangan. Rasanya tak
percaya bertemu Ninda lagi setelah perpisahan mereka sekian tahun lalu.
“Mas Adilla masih mengenalku.” Ucap
Ninda. Suaranya lembut dan halus.
“Apa kabarmu? Kok kamu sekarang
kelihatan kurus.”
“Masa?” Ninda tersenyum.
“Apa kabar orangtuamu? Beliau berdua
sehat?”
Sejurus lamanya Ninda menatap Adilla
mendengar pertanyaan itu.
“Mas Dill tidak pernah mendengar
kabar tentang keluarga kami?” Tanya
Ninda. Suataranya serius dan sedih.
“Tidak,” sahut Adillla. “kenapa?”
“Perusahaan papa telah bangkrut.” Ucap
Ninda lirih. “Kami sekarang sudah tidak punya apa-apa lagi. Aku malu
mengatakannya kepadamu bila kami sekarang telah menjadi orang miskin.”
“Ninda, kau tidak boleh bicara
begitu.” Tukas Adilla cepat. “Ninda, aku selama ini sama sekali tidak pernah
mendengar berita apapun tentang dirimu
ataupun tentang keluargamu.”
Adilla mengajak Ninda ke restoran didekat situ. Dia ingin mendengar cerita
gadis itu. Sudah lama mereka tidak bertemu. Bagaimanapun gadis itu bekas
tunangannya. Andaikan pun dia sudah tidak mencintai lagi gadis itu namun perpisahan mereka tidak menyingkirkan
perasaan sayangnya kepada Ninda. Mereka
duduk didekat jendela yang menghadap keluar, kejalanan yang panas dan berdebu
dengan kendaraan yang padat dijalan.
“Mau makan?” Tanya Adilla.
“Tidak. Aku minum saja.”
Adilla mengambil daftar menu. “Mau
minum apa?”
“Es jeruk saja.”
Adilla memesan es jeruk.
“Apa yang terjadi pada keluargamu,
Nin?” Tanya Adilla. Dia menatap gadis yang duduk dihadapannya.
“Mas Dill masih ingat pada Rizal?” Tanya Ninda.
“Rizal? Oh ya, dia ……”
“Dia menipu aku. Dia sama sekali tidak
mencintai aku. Dia hanya menginginkan hartaku. Uang tabunganku habis.
Perhiasankupun diambilnya dengan cara menipu aku. Dia menipu aku dengan segala
cara. Dan aku begitu bodoh mempercayai ucapan dan bujuk rayunya. Dia mengganggu
hubunganku dengan mas Dill karena
dia ingin mengambil harta orangtuaku.” Ninda menatap Adilla. Matanya mendadak
sendu. Dia berusaha agar airmatanya tidak jatuh. Membicarakan Rizal seakan mengoyak kembali
luka dihatinya. Sakit dan perih tiap kali teringat pada Rizal.
“Ayah Rizal, Pak Hajar, juga menipu
papa hingga perusahaan papa bangkrut.” Ucap Ninda. “Aku tidak memahami apa yang
dilakukan ayah Rizal pada
papa, namun perusahaan papa kemudian menjadi bangkrut dan papa memiliki
utang yang banyak sehingga harus menjual semua hartanya untuk membayar
hutang-hutangnya. “
“Ninda, aku ikut merasa prihatin
dengan musibah yang menimpa keluargamu.”
“Papa pun terpaksa menjual rumah kami,
satu-satunya harta yang masih tersisa untuk menutupi seluruh hutang-hutangnya.
Lalu papa membeli rumah kecil dipinggiran kota. Sulit untuk bisa bangkit lagi.
Apalagi usia papa semakin tua. Papa seakan sudah kehilangan semangatnya. Sekarang
papa sakit-sakitan. Papa sangat terpukul
dengan semua ini. Papa merintis usahanya sejak muda, dan dihancurkan oleh pak
Hajar dalam waktu yang singkat.”
Pesanan es jeruk datang. Adilla
menyodorkan gelas es jeruk itu kehadapan Ninda. Perasaannya terasa trenyuh
mendengar cerita Ninda. Nasib tengah mempermainkan gadis itu.
“Minum dulu, Nin.”
“Terima kasih.” Ninda mengucek es
jeruknya. Menyedotnya sedikit.
Adilla mengucek-ngucek minumannya
sambil memperhatikan Ninda dengan seksama. Benar, terlalu banyak yang berubah
pada gadis itu. Bukan hanya ceritanya mengenai keadaan keluarganya yang baru saja
diceritakannya, namun juga keadaan dirinya. Ninda sekarang kelihatan lebih
lembut. Lebih dewasa. Dan seperti pendiam. Dia masih ingat bagaimana dulu bila
Ninda tengah berceloteh kepadanya. Begitu riang. Begitu gembira. Begitu penuh
keceriaan yang selalu terbayang pada sepasang matanya yang berbinar seperti
sinar mentari di siang hari.
“Bagaimana dengan kuliahmu?” Tanya
Adilla lembut. “Dulu kau sudah duduk disemester
empat.”
“Aku terpaksa berhenti kuliah sejak
setahun lalu.” Ucap Ninda. “Papa dan mama
sudah tidak sanggup lagi membiayai kuliahku. Biaya kuliah saat ini kan
mahal sekali, sementara untuk hidup sehari-haripun sulit sekali.”
Adilla menarik napas dalam. Dia
menatap Ninda. Tidak ada kemarahan yang
memancar dari wajah gadis itu ketika dia tadi bercerita tentang Rizal yang telah menipunya. Tridak ada kebencian
pada wajah gadis cantik itu ketika dia bercerita ayah Rizal, Hajar yang telah menipu ayahnya hingga perusahaan ayahnya bangkrut. Wajah gadis itu
biasa-biasa saja. Yang terlihat hanya
ketulusan dan kepasrahan.
Mendadak Adilla merasa iba dengan
nasib gadis itu. Masih terbayang dalam
benaknya bagaimana kehidupan Ninda dulu ketika masih bersamanya. Ninda royal, boros dan seolah tidak
memiliki beban apapun dalam hidupnya. Hidup seolah mudah dan serba gampang buatnya.
Tidak ada kesedihan, tidak ada kesusahan. Apapun
yang diinginkannya selalu tersedia dengan mudah. Namun kini, dengan
penampilannya yang sederhana, Ninda kelihatan
bersahaja.
“Aku harus pulang sekarang.” Ninda
melihat jam tangannya. Dia berdiri. “Papa harus segera minum obat. Terima kasih
minumannya ya, mas Dill.”
Adilla ikut berdiri. “Ninda, tunggu
sebentar. Kita pesan makanan dulu untuk
kau bawa pulang.”
“Tidak usah, mas Dill. Jangan merepotkan.”
“Tidak apa-apa, aku sudah berniat
sejak tadi akan memesan makanan untuk
kau bawa pulang.” Adilla pergi menemui pelayan restoran. Dia memesan beberapa
macam masakan. Ninda duduk mengawasi
Adilla. Tidak lama kemudian Adilla
kembali dengan kantong plastik ditangannya. Diberikannya kantong platik itu
kepada Ninda.
“Ini bawalah untuk ibumu.”
“Terima kasih, mas Dill.”
“Aku antar kamu pulang….”
“Terima kasih mas Dill. Biar aku
naik kendaraan umum saja. Rumahku jauh dipinggiran kota.”
“Aku mengantarmu pulang sekalian aku ingin bertemu dengan ayah
dan ibumu.” Ucap Adilla tegas.
Sambil mengendarai mobilnya menuju
rumah Ninda, diam-diam Adilla melirik gadis yang duduk disampingnya itu, yang
duduk tenang tidak banyak bicara, matanya lurus menatap kejalanan seakan sedang
menikmati suasana jalan yang ramai. Pikiran Adilla melayang kesekian tahu
lalu. Walaupun tidak berlangsung
lama, hanya enam bulan saja, namun dia
pernah menjalin hubungan dengan gadis ini. Ninda pernah masuk kedalam
kehidupannya. Bagaimanapun akhir dari hubungan mereka, namun dia dengan Ninda pernah bersama. Dan mereka
pernah bertunangan. Tinggal selangkah lagi menuju jenjang perkawinan. Namun
takdir menentukan lain. Mereka bukan
jodoh.
“Mas Dill, bagaimana kabar mbak Asmi?
Sudah punya anak berapa?” Suara Ninda
mengusik lamunan Adilla.
“Kabar Asmi alhamdulillah baik.
Anakkku baru satu. Perempuan. Namanya Anissa. Sekarang Asmi sedang mengandung
anak kedua kami.”
Ninda menatap wajah Adilla. “Pasti
perkawinan mas Dill bahagia, ya?”
Adilla tersenyum. “Alhamdulilllah.
Kebahagiaan dalam perkawinan adalah
sebuah proses, Ninda. Aku katakan sebuah proses karena kebahagiaan itu tidak tercipta
begitu saja. Kebahagiaan itu tidak jatuh dari langit. Tapi harus diupayakan, harus
diperjuangkan dan melalui usaha kita
yang terus menerus untuk menciptakan kebahagiaan itu.”
“Ya.” Ninda mengangguk.
Adillla melirik gadis itu. “Kapan kau
akan menikah?”
Ninda tersenyum mendengar pertanyaan
itu. “Menikah? Semua orang ingin menikah. Semua orang ingin segera bertemu
dengan jodohnya. Begitu juga aku. Namun
aku tidak tahu, kapan aku akan menikah. Mungkin setelah Allah mempertemukan aku
dengan jodohku, barulah aku akan menikah.”
“Kata orang, jodoh akan datang sendiri
kalau sudah waktunya. Tapi kita sebagai manusia tetap harus berusaha agar kita
bertemu dengan jodoh kita, Ninda.”
“Yah, banyak orang yang mengatakan
begitu, jodoh tidak usah dicari karena jodoh akan datang sendiri kalau sudah
waktunya. Aku sebagai manusia sejak dulu sudah berusaha mendapatkankan jodohku,
namun kalau ternyata Allah menentukan bahwa lelaki yang pernah bersamaku
menikah dengan wanita lain dan ternyata bukan jodohku, aku tidak mau terlalu
memaksakan diri.” Ninda melirik Adilla. “Aku percaya dengan ucapan orang, bahwa jodoh tidak usah dicari karena kalau sudah
waktunya aku menikah, jodoh itu akan
datang sendiri.”
“Ya.” Adilla hanya mengangguk setuju.
Dia tidak ingin pembicaraan itu akan membuka kembali lembaran masa lalu
diantara mereka. Adilla membelokkan pembicaraan. Dia menceritakan tentang usaha
roti dan kue yang dijalankan Asmi.
“Mbak Asmi wanita ulet dan senang
bekerja keras.” Ucap Ninda. “Aku ingin
mencontoh mbak Asmi.”
“Dimana rumahmu?” Tanya Adilla setelah
hampir setengah jam mereka menempuh perjalanan.
“Nanti dipertigaan jalan itu berbelok
kesebelah kiri, rumahku disana.”
Adillla membelokan mobilnya
dipertigaan jalan. “Yang mana?” Mobilnya terus menggelinding menapaki jalan
beraspal yang sudah retak-retak.
“Itu, rumah bercat hijau muda.” Ninda menunjuk sebuah rumah.
Mobil Adilla berhenti didepan rumah
kecil sederhana bercat hijau muda. Ninda turun
dari mobil Adilla. Adilla mengikutinya. Ninda membuka pintu pagar bercat putih.
“Masuk, yuk.” Ajak Ninda riang seoleh
tanpa beban.
Ruangan depan rumah itu sederhana
sekali. Hanya ada seperangkat kursi
diruangan tamu itu. Adilla teringat pada rumah ninda dulu yang sering
dikunjunginya. Rumah besar dengan perabotan yang serba berukir. Perasaannya
terasa sedih. Begitu jauh berbeda kehidupan Ninda dulu dengan keadaan Ninda
sekarang. Namun gadis itu kelihatan tabah menerima keadaannya walaupun jauh
berbeda dengan keadaannya dahulu. Tidak ada keluh kesah. Tidak terdengar ada
ratapan dengan perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Walaupun mungkin Ninda
menyembunyikan semuanya itu hanya dalam hatinya saja.
“Mama!” Ninda masuk kedalam memanggil
ibunya.
Beberapa saat Adilla menunggu. Tak lama Ninda muncul lagi bersama
ibunya. Wanita yang rambutnya telah mulai
dipenuhi uban itu menatap Adilla seakan tak percaya dengan kehadiran
lelaki muda itu. Adilla juga menatap wanita itu, calon ibu mertua yang batal,
dengan tatapan tak percaya. Sungguh jauh berbeda penampilan ibunya Ninda dulu
dengan sekarang.
“Tante.….” Adilla mencium tangan
wanita itu.
“Adilla….”
Seakan tak kuasa menahan kesedihannya,
Nuraeni memeluk Adilla dan tangisnya pun
pecah. Beberapa saat lamanya Adilla ikut hanyut dalam kesedihan Nuraeni.
Sementara Ninda hanya duduk menunduk, menyembunyikan matanya yang basah melihat
ibunya menangis seperti itu.
“Tante, Ninda sudah menceritakan semuanya pada saya…”
“Adilla, tante bahagia kau datang kemari. Lihatlah oom Yoga, papa Ninda
sekarang sakit-sakitan.”
Tangan Adilla ditarik kedalam sebuah kamar kecil yang pengap. Kembali keharuan terasa menyesakan
perasaan Adilla. Dia melihat Yoga,
lelaki yang dulu diketahuinya begitu gagah dan tampan, kini hanya terbaring
lemah diatas tempat tidurnya yang
sederhana. Kehidupan, begitu mudahnya merubah nasib manusia.
“Oom Yoga sekarang menderita beragam
penyakit yang menggerogoti tubuhnya.” Kata Nuraeni. “Oom Yoga sudah tidak
banyak lagi melakukan kegiatan seperti dulu dengan kondisinya yang seperti
ini.”
Yoga tidak bicara sepatah katapun ketika melihat Adilla. Namun wajahnya
mendadak mengerut menahan tangis.
“Oom….” Adilla duduk ditepi pembaringan.
Dia memegang tangan Yoga yang kurus.
Yoga melirik sejenak. Lalu wajah yang
nampak tua itu mendadak menangis. Ninda segera
menarik tangan Adillla keluar kamar. Mata gadis itu basah.
“Maafkan papa, mas Dill. Papa sekarang sangat sensitif
perasaannya dan mudah menangis.”
“Ya.” Adilla menggangguk mengerti.
“Ninda, aku pulang dulu, ya. Insya
Allah kapan-akapan aku akan kemari
lagi.”
“Benar, mas Dill? Terima kasih sudah
mengantar aku pulang. Terima kasih juga untuk yang dibelikan tadi untuk mama.”
Ninda meraih tangan Adilla dan mencium punggung tangannya. Saat itu tiba-tiba
saja dalam hati Adilla ada rasa sayang yang pernah hilang pada Ninda seakan
mengalir kembali bagaikan air sungai yang jernih. Tanpa sadar Adilla mengelus
rambut Ninda. Ninda mengangkat wajahnya. Senyumannya bertemu dengan senyuman
Adilla.
Adillla melajukan kendaraannya
meninggalkan rumah Ninda. Namun pikirannya seakan tertinggal dirumah gadis itu.
Ninda, aku tidak menduga betapa hidupmu akan berubah seperti ini. Mudah-mudahan engkau tabah menjalani semua
ini sebagai ujian dari Allah untukmu dan keluargamu.
Mobil Adilla berhenti ketika lampu
merah menyala. Sambil menunggu
lampu menyala hijau, tak sadar
mata Adilla melihat pada jam tangan yang
dikenakannya. Jam tangan itu hadiah dari
Ninda ketika dia berulang tahun beberapa tahun lalu. Rasa haru kembali menyentuh perasaaanya. Dulu Ninda mampu
membeli barang apapun yang diinginkannya. Bukan hanya untuk dirinya sendiri
namun juga untuk orang-orang lain yang
ingin diberinya. Uang bukan masalah
buat gadis itu. Dengan mudah
dia bisa mendapatkannya. Namun sekarang
, keadaan Ninda sudah jauh berbeda disbanding dengan dulu. Betapa sederhananya kehidupan Ninda sekarang. Apalagi dengan
keadaan ayahnya yang sakit-sakitan.
Kasihan Ninda, pikir Adilla.
Adilla menepikan mobilnya dipinggir
jalan. Dia mematikan mesin mobil. Untuk
beberapa waktu lamanya dia hanya menatap jalanan yang rimbun oleh pepohonan
yang rindang. Perasaannya terasa hanyut
oleh rasa haru dan sedih. Dia merasakan perubahan yang sangat besar pada Ninda.
Bukan hanya keadaan keluarganya saja yang berubah. Juga diri Ninda. . Tidak ada
lagi sikap sombong dan arogan. Tidak ada lagi kemewahan pada diri Ninda. Yang
memancar adalah sebuah sikap yang penuh dengan
ketulusan, kepasrahan dan
kesederhanaan.
Adillla menyalakan kembali mesin
mobilnya. Dia tidak mengerti, mengapa mobilnya berbalik arah menuju rumah Ninda kembali. Seakan ada magnit
yang menariknya untuk datang lagi kerumah
Ninda.
Bunyi kendaraan yang berhenti didepan
rumah membuat Ninda bergegas keluar rumah. Dia menatap Adilla yang turun dari mobilnya dengan tatapan heran. Ninda
membukakan pintu pagar dan terperangah melihat kedatangan Adilla yang baru
beberapa menit lalu pergi dari rumahnya.
“Ada apa? Kenapa balik lagi?
Ada yang ketinggalan, mas Dill?” Tanya Ninda.
Adilla menatap gadis itu. Setiap kali
menatap wajah Ninda, kini muncul
perasaan trenyuh, perasaan iba, perasaan
kasihan atau apapun juga namanya perasaan yang menyentuh batinnya
terhadap gadis itu.
“Ninda, ini aku ada uang untukmu. Pakailah untuk kebutuhanmu.” Adilla
mengepalkan sejumlah uang ketangan
Ninda.
Ninda menatap Adilla beberapa saat.
Lalu dia menunduk, melihat uang ditangannya. “Terima kasih, mas Dill.” Ucap Ninda dengan haru.
Ketika Adilla akan beranjak pergi,
Ninda memanggil lelaki itu dengan suara
lirih.
“Mas Dill, apakah mbak
Asmi tahu mas memberi uang
ini kepada saya?”
Adilla tersenyum menatap gadis
itu. Dia merasa tidak perlu menjawab
pertanyaan Ninda.
”Ninda, kau tak perlu banyak bertanya. Pakailah uang itu
untuk kebutuhanmu, ya.” Ujarnya.
Ninda mengangguk. Matanya tak lepas menatap Adilla. Senyumnya
begitu berseri menghiasi bibirnya. Adilla senang melihat Ninda tersenyum seperti itu.
--- 0 ---
Ninda membuka lemari pakaiannya. Dia
mengeluarkan gaun-gaunnya. Gaun-gaun
mahal yang dibelinya dulu.
Dia memilih-milih gaun-gaun itu. Ada
sepuluh helai gaun yang kemudian disisihkannya, dimasukan kedalam kantong
plastik. Kemarin dia sudah menelepon Devi, salah seorang temannya. Dia
berencana akan menawarkan gaun-gaun itu pada Devi. Barangkali Devi berniat
membelinya. Memang gaun-gaun itu semuanya bukan gaun-gaun baru, namun hampir
semuanya baru sekali dua kali saja dipakainya.
“Kamu serius akan menjual baju-bajumu
ini kepadaku, Nin?” Tanya Devi ketika Ninda sudah ada dirumahnya. Devi
mengamati gaun-gaun itu satu persatu.
“Ya, aku butuh uang, Dev.” Ujar Ninda.
“Aku ikut merasa prihatin dengan
keadaanmu sekarng, Nind. Aku berharap engkau tabah dan sabar menjalani semua
cobaan ini. Insya Allah suatu saat nanti Allah akan merubah kembali hidupmu
seperti semula. Berdoalah, semoga Allah membukakan pintu rakhmat-Nya untukmu.”
“Amien. Terima kasih, Dev.” Ninda tersenyum.
Sambil mengamati gaun-gaun milik
Ninda, diam-diam Devi mengamati Ninda. Sudah setahun mereka hampir tidak pernah
bertemu, sejak Ninda berhenti kuliah. Devi
melihat banyak hal berubah pada Ninda. Gadis cantik itu seolah telah
kehilangan keceriaannya. Namun ketulusan yang terpancar pada wajahnya membuat
Ninda kelihatan lebih dewasa.
“Aku tidak mungkin membeli semua
baju-bajumu ini, Nin.” Kata Devi setelah selesai memilih. “Aku mengambil yang
warna biru dan ungu ini aja, ya. Selain
pas dengan tubuhku, juga aku menyukai
modelnya.”
“Oh, boleh.” Sahut Ninda.
“Harganya bagaimana?” Tanya Devi.
“Terserah kamu aja deh, ini kan bukan
gaun baru. Aku tidak menawarkan harga. Kau mau membeli gaun-gaun ini pun aku
sudah bersyukur.”
“Aku tahu harga gaun-gaun ini ditoko.
Dikurangi setengah harga dari harga-harga ditoko, ya.”
“Iya, tidak apa-apa. Terima kasih ya,
Dev.”
Devi mengambil dompetnya dan
memberikan sejumlah uang kepada Ninda. Ninda menerimanya dengan wajah gembira.
“Nin, aku akan menelepon Mardiana, Ika
dan Gina ya, agar mereka datang kemari.
Barangkali mereka pun ada yang mau membeli baju-bajumu.” Kata Devi ketika
mendadak dia teringat pada ketiga teman mereka yang lain. Dulu ketika Ninda
masih kuliah, mereka berlima sering bersama-sama.
“Oh, boleh.” Ninda mengangguk setuju.
“Tterima kasih ya, Dev. Aku memang berencana akan kerumah mereka menawarkan
baju-bajuku ini, terima kasih bila
engkau sekarang akan menelepon mereka agar datang kemari.”
Lebih dari setengah jam kemudan
Mardiana, Ika dan Gina sudah datang
kerumah Devi.
“Astaga, Nin. Aku rasanya tak percaya kau akan menjual baju-bajumu yang
bagus-bagus ini.” Kata Ika. Dia memeluk Ninda. “Akujadi ingin ingin menangis melihatmu. Maafkan aku, Ninda.
Aku kok jadi sedih melihatmu sekarang.”
Ika menghapus airmatanya. Devi,
Mardiana dan Gina hanya diam. Mereka menahan haru dalam hati mereka
masing-masing. Namun tak ada kata yang terucap. Ninda hanya tersenyum. Dia memeluk Ika.
“Hidup
seperti roda, Ka. Berputar terus. Dulu aku mengalami masa-masa dimana
aku memiliki materi yang berlebihan karena keadaan orangtuaku yang masih
memiliki usaha yang mapan. Sekarang Allah sedang menguji aku, juga
orangtuaku, dengan mengambil semua yang
dulu pernah kami miliki. “
“Aku pecaya kau pasti akan tabah dan
sabar menjalani semua ini.” Ucap Mardiana. Dia mengambil gaun terusan warna
perak. Ditatapnya gaun itu. Dia lalu berkata pelan, “Ninda, aku masih ingat dulu kau mengenakan gaun ini ke ulang tahun
Helen. Kamu cantik sekali dengan gaun ini. Aku juga masih ingat kau
mengenakan kalung berlian yang indah
berkilauan.”
“Oh, kau masih mengingatnya, Mar. Ya,
gaun itu hanya pernah aku pakai sekali itu saja waktu ke ulang tahun Helen.”
“Aku
coba dulu, ya. Kalau pas dengan badanku, aku ambil gaun yang ini saja.”
Kata Mardiana.
“Aku coba yang ini.” Ika mengambil gaun warna biru dengan hiasan payet dibagian dadanya.
Hari itu Ninda pulang denga perasaan
puas. Sebagian baju-bajunya dibeli oleh teman-temannya. Hanya tersisa tiga potong gaun. Biar yang ini
aku simpan saja, pikir Ninda sambil menyimpan kembali ketiga gaunnya yang tersisa kedalam lemari
pakaiannya. Siapa tahu suatu saat nanti
aku membutuhkan untuk kupakai sendiri. Nind merasa sedih melihat ketiga gaun itu. Pikirannya melayang pada Adilla, dulu Adilla yang
mengantarnya ketika dia membeli ketiga gaun itu.
Airmata Ninda menitik. Dia teringat
masa-masa ketika bersama dengan Adilla. Mas Dill, aku tidak akan mengusikmu
lagi, engkau sekarang telah bahagia bersama Asmi dan anakmu. Ninda merasakan hatinya perih. Ya Allah, kenapa
Engkau selalu mengambil lelaki yang
aku cintai dan aku sayangi? Dulu engkau
mengambil Fahrul dari kehidupanku, lalu Engkau
memisahkan pula aku dengan Adilla.
Dalam kehidupanku, aku hanya mengenal cinta kepada dua lelaki saja, Fahrul dan
Adilla. Kedua lelaki itu yang membuatku pernah merasakan bahagia akan arti
cinta. Namun ternyata mereka bukan untukku. Mereka bukan jodohku. Cintaku
kepada Fahrul, cintaku kepada Adilla, semua kau ambil lagi hingga kini aku
sendirian lagi dalam kesunyian hatiku.
“Aku tidak mencintaimu, Ninda.” Suara
Rizal seakan terngiang lagi ditelinganya,
mengoyak kembali kenangan pahitnya bersama lelaki itu. “Kau keliru bila
berpikir aku mencintaimu.”
“Aku sudah memiliki Meta.”
Kata Rizal lagi. “Kami akan segera menikah.”
Rizal meninggalkannya dan tak pernah
kembali lagi. Kepergian Rizal hampir
bersamaan dengan kehancuran perusahaan milik ayahnya. Hatinya sakit bukan main ketika ibunya bercerita bahwa Hajar,
ayah Rizal, telah menipu ayahnya dan membuat perusahaan mereka bangkrut.
Sementara Rizal menipunya dengan memberinya cinta palsu setelah uang dan
perhiasannya berhasil ditipu lelaki itu.
Langit terasa gelap. Dunia terasa runtuh. Alangkah menyakitkannya
kejadian yang menimpanya itu. Namun pada saat itu Ninda sadar, dia masih
memiliki tali tempat dia bergantung. Tali itu adalah yang menghubungkannya
dengan sang Khalik. Tali yang tak pernah kelihatan namun bisa dirasakannnya,
ada membentang antara dirinya dengan sang Khalik, Tuhan pencipta semesta alam.
“Ninda…..”
Ninda baru selesai shalat. Dia menoleh.
Nuraeni berdiri diambang pintu kamar,
menatap puterinya yang masih mengenakan mukena. Cantik sekali puterinya dengan
mukena berenda warna jingga.
“darimana?”
“Dari rumah teman, ma.”
“Tadi kamu membawa kantong plastik
besar. Apa itu?”
Sesaat Ninda merasa ragu untuk
menjawab pertanyaan ibunya. Dia khawatir bila ibunya tahu dia menjual
baju-bajunya ibunya akan marah. Namun dia juga tidak ingin berbohong pada
ibunya.
“Aku menjual beberapa buah bajuku yang
bagus pada teman-teman kuliah dulu. Devi, Mardiana, Ika dan Gina.” Sahut Ninda.
Sesaat Nuraeni menatapnya. Lalu
melangkah membuka lemari pakaian anaknya. Dan tertegun melihat sebagian isinya
telah tidak ada lagi.
“Mengapa kau menjual baju-bajumu, nak?
Apakah kau tidak merasa sayang menjual baju-baju mahal yang dulu sangat engkau
inginkan?”
Ninda tersenyum. “Tidak, ma. Baju-baju
itu memang baru sekali dua kali kupakai. Tapi aku sudah tidak akan memakainya lagi. Aku lebih senang memakai
pakaian sederhana. Jadi daripada gaun-gaun itu disimpan saja didalam lemari,
lebih baik aku menjualnya.”
“Teman-temanmu mau membelinya?”
“Ya, mereka tahu gaun-gaun itu ditoko
harganya mahal. Mereka membelinya setengah harga. Tidak apa-apa. Aku ikhlas
kok.”
Nuraeni duduk ditepi tempat tidur.
Matanya basah menatap anak semata wayangnya. Dia tidak bisa menyembunyikan
kesedihan dan dukanya.
“Ninda, maafkan mama dan papa, nak.
Mama dan papa sekarang tidak bisa lagi memberimu kesenangan seperti dulu. Mama
dan papa tidak bisa lagi membahagiakanmu.”
Ninda tersenyum, walaupun terasa sendu,
namun dia tersenyum tulus. ”Mama jangan banyak pikiran. Insya Allah aku tidak
akan dan tidak ingin mengeluh dengan keadaan kita sekarang. Kata siapa aku
sekarang tidak bahagia? Mama keliru, aku tetap merasa bahagia. Aku bahagia,
bagaimanapun keadaan kita saat ini, yang jauh berbeda dengan keadaan kita dulu,
namun kita masih tetap bersama-sama. Kita patut bersyukur kepada Allah bahwa
dalam keadaan apapun mama, papa dan aku masih tetap bersama.”
“Ninda, kau jauh lebih tabah dari
mama.”
“Ma, dalam keadaan kita yang
prihatin, aku merasakan hikmah dari apa
yang tengah menimpa kita ini. Ketika malam telah menjelang, ketika malam telah
semakin sunyi, aku merasakan nikmat yang luar biasa ketika aku melaksanakan
shalat malam dan membaca Al-Qur’an, hal yang dulu jarang bahkan nyaris tidak
pernah aku lakukan. Dengan shalat dan membaca Al-Qur’an, aku menemukan
ketenangan dan kedamaian perasaan. Ketika aku merasa bahwa Allah tetap
bersamaku, mengawasi dan menemaniku. Aku
percaya kepada takdir baik dan takdir buruk. Aku percaya kehidupan manusia sudah diatur oleh Allah
Maha Kuasa.” Ninda mengambil Al-Qur’an. Dia membuka kitab suci itu.
“Ma, cob abaca Al-Qur’an surat Ali imran ayat 26
ini. Katakanlah: wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau beri kerajaan
kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang
Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
hinakan orang yang Engkau kehendaki. Ditangan Engkaulah segala kebajikan.
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Ninda menatap ibunya. “Ma,
bacalah Al-Qur’an. Bacalah dan lihatlah artinya. Didalamnya begitu banyak
petunjuk dan hikmah yang bisa kita ambil dan kita pelajari untuk kita terapkan
dalam kehidupan kita. Ma, Al-Qur’an
adalah pedoman dan petunjuk bagi kaum muslimin. Betapa selama ini kita
hanya membaca Al-Qur’an tanpa kita
mencoba memahami artinya. Sekarang, dalam keadaan kita seperti ini, dimana
kesibukan-kesibukan kita dengan urusan duniawi telah jauh berkurang
dibandingkan dulu waktu mama dan papa masih memiliki banyak harta, kita justru
memiliki bayak waktu untuk lebih tekun beribadah kepada Allah. Betapa fana
kehidupan di dunia ini. Dan kita selama ini sudah menghabiskan banyak waktu
hanya untuk mengejar kesenangan duniawi yang sebenarnya semakin kita kejar,
kita semakin haus dan tak pernah puas dengan apa yang sudah kita miliki.
Kehidupan duniawi adalah bagaikan kita
minum air laut yang asin. Semakin kita banyak meneguknya, kita akan semakin
merasakan haus.”
Nuraeni mengangguk. “Ninda, mama
bangga kepadamu. Mama dan papa sangat bersyukur Allah telah memberikan karunia
kepada mama dan papa, seorang puteri yang bagaikan sebutir mutiara berharga
dalam kehidupan kami. Engkau anak yang sholeh, engkau anak yang berbakti pada
orangtua. Doa mama, semoga engkau mendapatkan jodoh seorang lelaki yang baik,
yang bisa menjadi pengganti mama dan papa bagimu bila mama
dan papa sudah tidak ada lagi.”
Ketika ibunya telah keluar dari dalam
kamarnya, Ninda menangis diam-diam. Ya Allah, janganlah Engkau memperlihatkan
kesedihanku dihadapan ayah bundaku. Serikanlah wajahku, Ya Allah. Biarlah ayah
ibuku melihat bahwa dalam keadaan kami yang seperti ini aku tetap kelihatan
bahagia agar perasaan mereka berdua
merasa tenang dan tentram. Bila orangtuaku melihat aku bersedih dan bermuram
durja, mereka pasti akan merasakan kesedihan yang lebih besar lagi daripada
yang aku rasakan. Ya Allah, kuatkanlah dan tabahkanlah hatiku untuk menjalani
semua ini. Simpanlah tangis dan kesedihanku ini dari pandangan orangtuaku. Biarlah
tangis dan kesedihanku ini hanya Engkau
yang tahu, yang kutumpahkan saat aku bersujudn dihadapan-Mu. Ya Allah,
aku berlindung kepada-Mu dari kemurungan dan kesusahan.
Ya Allah, curahkanlah kesabaran
kepadaku. Ya Allah, janganlah kau palingkan hatiku setelah Engkau tunjuki dan
berilah aku rakhmat-Mu karena Engkau adlah Yang Maha Pemberi. Ya Allah,
kokohkanlah aku dari kemungkinan terpelesetnya iman. Ya Allah, aku mohonkan
pada-Mu jiwa yang tenang tentram, yang percaya pada pertemuan dengan-mu dan ridha
atas putusan-Mu serta merasa cukup puas dengan pemberian-Mu.
--- 0 ---
Telepon genggam Adilla berbunyi.
Adilla baru melangkah dari ruang kerjanya, akan makan siang.
“Assallamualaikum.”
“Waalaikum salam.” Suara Ninda.
Walaupun terdengar serak, namun Adilla masih bisa mengenali suara Ninda.
“Mas
Dill, tolonglah aku. Papa dibawa kerumah sakit, papa terkena serangan
jantung.”
“Ya, ya. Aku segera kesana,”
Adila memberitahu Hanief, pegawai
dibidang administrasi, bahwa dia pergi kerumah sakit. .
“Ayah temanku dibawa kerumah sakit.
Terkena serangan jantung. Bila ada yang
menanyakan aku, bilang saja aku sedang
keluar, ya.”
“Oke.” Sahut Hanief, mengangkat
wajahnya sedikit, lalu menekuni kembali pekerjaannya.
Adilla bergegas pergi. Dia melajukan mobilnya menuju rumah sakit.
Dicarinya Ninda. Namun yang ditemuinya
adalah airmata gadis itu yang berhamburan begitu melihat kedatangan Adilla.
“Papa……papa……meninggal…..” ucap Ninda
tersendat-sendat, berusaha menahan tangisnya agar tidak pecah.
“Papa…..papa…..telah pergi…papa telah pergi, mas Dill……..”
Adilla hanya terpaku menatap Ninda yang terpuruk dalam
kesedihannya. Airmatanya sendiri tak bisa ditahan. Kesedihan gadis itu seakan
menjadi kesedihannya. Dia merasa
terlibat dalam duka gadis itu. Adilla merasa bertanggung jawab terhadap
Ninda. Dia tidak tega membiarkan gadis itu menanggung kesedihannya seorang
diri. Apalagi ibunya seakan sudah tidak berdaya, hanya terduduk sambil
menangis. Adilla merasa ikut bertanggungjawab terhadap apa yang tengah menimpa
keluarga Ninda. Dia tidak bisa membiarkan Ninda mengurus semuanya sendirian.
Ninda membutuhkan bantuannya.
Tanpa diminta, Adilla ikut mengurus segalanya. Adilla mengurus
biaya rumah sakit dan menyiapakan
ambulance untuk mengantar jenazah ayah
Ninda kerumahnya. Tiga hari lamanya
Adilla pulang pergi kerumah Ninda. Walaupun dia tidak bercerita sedikitpun mengenai hal itu pada Asmi. Dia melihat Asmi
sendiri tengah disibukan dengan pesanan dari beberapa kantor selama seminggu
ini. Kesibukan Adilla yang berbeda dari
kesibukan rutinnya sehari-hari nampaknya kurang diperhatikan Asmi. Adilla
merasa lega. Apa yang dilakukannya pada keluarga Ninda adalah dorongan hatinya.
Dia bersyukur Asmi tidak tahu. Walaupun
terselip perasaan bersalah karena dia melakukan semua itu tanpa sepengetahuan
Asmi.
Dihari keempat, Ninda sudah kelihatan
nampak lebih tenang. Dia sudah tidak banyak menangis lagi walaupun matanya
masih kelihatan sembab. Wajahnya
kelihatan letih sekali.
“Mas Dill, terima kasih atas semua bantuan
Mas Dill sejak papa meninggal. Tanpa bantuan mas Dill aku tidak mungkin
menangani semuanya sendirian saja.” Ucap Ninda ketika Adilla malam itu datang
kerumahnya.
“Ya.” Adilla hanya mengangguk. “Kamu
harus tabah ya, Nin. Kamu harus kuat.”
“Insya Allah.” Ninda mengangguk.
Nuraeni datang menemui Adilla. Matanya
masih sembab bekas menangis. Dia memeluk Adilla sesaat.
“Adilla, tante berterima kasih dengan
semua bantuanmu pada kami.”
Nuraeni duduk. Matanya menatap Adilla.
Selalu seakan ada kata-kata yang terasa menggantung diujung lidahnya setiap
kali dia menatap bekas tunangan puterinya ini. Selalu ada rasa sesal yang tak
pernah hilang dari hatinya.
“Andaikan dulu Allah mentakdirkan
engkau menikah dengan Ninda, alangkah bahagianya hati tante ini.” Kata Nuraeni
tiba-tiba, seakan tercetus begitu saja tanpa disadarinya.
“Mama…..” Ninda kelihatan terkejut,
berusaha mencegah ibunya bicara seperti itu.
“Kau laki-laki yang baik, Adilla.
Tidak salah mata tante dulu
menilaimu untuk menjadikan engkau
menantu.”
“Mama, sudahlah. Semua itu sudah
berlalu. Semua itu adalah masa lalu.”
Cetus Ninda. Dia tidak ingin ibunya mengungkit masa lalunya bersama Adilla. Dia
malu pada Adilla walaupun mungkin Adilla bisa memahami hal itu.
“Yah, itu memang masa lalu. Namun mama masih tetap mengingatnya. Adilla,
andaikan nanti sesuatu hal terjadi apa-apa pada tante, tante menitipkan Ninda
kepadamu.”
“Mama, jangan bicara begitu! Mas Dill
sudah menikah, Mas Dill sudah memiliki
anak dan istri.”
“Ninda, bila mama meninggal nanti,
siapakah yang akan mengurusmu? Siapa
yang akan menjadi pengganti orangtuamu setelah mama dan papa tidak ada lagi?
Kau sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi, nak. Mama tidak salah menitipkanmu kepada Adilla. Mama percaya Adilla akan bisa menjaga
dan melindungimu dengan baik.” Ucap Nuraeni.
Ninda hanya menunduk mendengar ucapan
ibunya. Dia menahan airmatanya. Dia merasa sedih, ibunya berbicara seolah-olah akan pergi meninggalkannya,
mengikuti ayahnya yang telah terlebih dulu pergi. Sementara Adilla hanya dia menatap keduanya.
Ninda menahan airmatanya agar jangan
terjatuh. Dia memahami, ibunya sangat terpukul dengan musibah yang menimpa
keluarga mereka. Dia juga memahami, bagaimana beratnya perasaan ibunya setiap
kali memikirkan dirinya, memikirkan masa depannya, memikirkan beragam
kemungkinan seandainya dirinya pergi mengikuti suaminya. Dengan siapakah
anaknya kelak? Airmata Ninda menitik perlahan. Tergesa gadis itu menghapus
airmata yang menuruni pipinya.
Adilla menatap Nuraeni. Dia teringat pada ibunya. Ibunya memiliki
tiga anak laki-laki. Namun selalu saja ibunya
memikirkan ketiga anaknya walaupun mereka semuanya telah dewasa. Apalagi
ibunya Ninda. Adilla dapat merasakan betapa berat perasaan wanita ini memikirkan anak perempuan satu-satunya ini. Sesaat
Adilla merasa bingung harus bicara apa. Dia tidak ingin menjanjikan apapun
terhadap Nuraeni mengenai Ninda. Dia sudah memiliki istri dan anak. Namun dia
juga tidak ingin mengecewakan wanita ini. Hidup selalu penuh dengan banyak
kemungkinan. Juga misteri yang sulit diduga. Dia tidak ingin wanita ini merasa
cemas dan gelisah memikirkan nasib anaknya.
“Tante tidak usah khawatir. Saya
memahami kekhawatiran tante dengan masa depan Ninda. Insya Allah saya akan
menjaga Ninda, tante.”
“Terima kasih, Adilla. Tante percaya kepadamu. Kau akan memegang janjimu itu.”
Ketika Nuraeni pergi, Ninda menatap
Adillla dengan malu.
“Mas Dill, maafkan dengan semua yang diucapkan mama tadi.”
Adilla tersenyum. “Tidak apa-apa, Nin. Ibumu sangat mengkhawatirkan dirimu. Dan itu adalah
sebuah kewajaran dari seorang ibu kepada
anaknya.”
“Tapi aku jadi malu pada Mas Dill,
mama mengharapkan sesuatu yang sudah
tidak mungkin lagi pada mas Dill.”
Adilla menatap Ninda, memahami apa
yang ada dalam pikiran gadis itu.
“Mas Dill sudah memiliki anak dan istri.” Ninda menunduk. “Saya tidak mau mengganggu kebahagiaan perkawinan orang lain. Maafkan mama bila
mama telah salah menafsirkan
kebaikan dan perhatian mas Dill kepada keluarga kami.”
“Ibumu tidak salah menafsirkan, Ninda.
Aku memang menyayangimu. Sejak dulu pun aku menyayangimu……”
Ninda mengangkat wajanya. Matanya
melebar, seakan tak percaya mendengar
apa yang diucapkan Adilla
kepadanya.
“Benarkah mas Dill menyayangi aku?”
Adilla mengangguk. “Yah, aku sangat menyayangimu……..”
--- 0 ---
Malam itu sepulang dari tempat kerja,
Adilla mampir ke swalayan. Dia membeli apel dan pear. Ketika melewati tempat
permen dan cokelat, Adilla mengambil beberapa batang cokelat. Dia tahu Ninda
sangat senang makan cokelat. Lalu mobilnya
meluncur menuju rumah Ninda.
Aku berselingkuh, pikir Adilla. Ya,
aku berselingkuh. Aku sudah menikah, aku
sudah memiliki Asmi yang kucintai dan mencintaiku, seharusnya aku bisa menutup pikiran dan perasaanku kepada
Ninda. Namun aku tidak bisa.
Ya Allah, maafkanlah aku. Aku tidak
ingin mengkhianati Asmi. Aku mencintai istriku. Namun hati dan perasaanku tak
bisa berpaling dari Ninda. Aku tidak tega
melihat keadaannya. Aku tidak tega melihat kondisi Ninda yang seperti
ini. Ketabahan dan ketegaran gadis itu justru telah membuatku menjadi mencintai
dan menyayanginya.
Ya Allah, Enggau member rejeki lebih
kepadaku. Aku tidak bisa menutup mata dari keadaan Ninda saat ini. Dia
membutuhkan pertolongan dan bantuan aku. Dia membutuhkan biaya untuk menyambung
hidupnya. Apakah salah bila aku ingin menolongnya? Aku memang salah karena aku
tidak berterus terang pada Asmi dengan apa yang kulakukan ini kepada Ninda. Aku
mengkhianati Asmi. Namun apabila aku berterus terang kepad Asmi, aku khawatir
Asmi tidak akan mau menerima alasan apapun. Dia pasti marah.
Mobilnya tiba dirumah Ninda. Ninda
tersenyum melihat Adilla menyodokan beberapa potong cokelat.
“Cokelat.” Ucap Ninda senang. “Rasanya
sudah lama sekali aku tidak pernah makan cokelat. Terima kasih, mas Dill. Mas
Dill masih ingat dengan cokelat kesukaanku.”
“Aku tahu kamu pasti masih suka makan
cokelat.” Ucap Adilla.
“Tentu saja.” Sahut Ninda. “Tapi aku
sudah lama sekali tidak pernah lagi makan cokelat. Uangku yang kupunya rasanya sayang untuk dibelikan
pada cokelat.”
Wajah Ninda berseri. Adilla senang
melihat senyuman pada wajah gadis itu. Bila Ninda tersenyum, seluruh wajahnya
seakan ikut tersenyum. Matanya seakan ikut memancarkan kebahagiaan.
“Ninda, apa rencanamu untuk masa
depanmu?” Tanya Adilla.
Ninda menatap Adilla, beberapa saat
dia hanya diam, seakan berpikir akan menjawab apa. “Aku tidak tahu.” Kata Ninda akhirnya.
“Kamu masih muda, Nin. Perjalanan hidupmu
masih panjang. Kamu tetap harus
memikirkan masa depanmu.” Ucap Adilla.
“Ya.” Ninda menganguk. “Sebenarnya aku
ingin kuliah lagi. Bila aku memiliki bekal pendidikan, aku akan bisa mendapatkan pekejaan. Namun untuk kuliah lagi, sepertinya hal itu tidak
mungkin. Biaya kuliah mahal dan tidak akan terjangkau oleh keadaanku sekarang ini.”
Ninda berusaha meredam kekecewaannya “Aku lebih baik mencari
pekerjaan saja. Dengan bekerja aku akan
mendapatkan penghasilan.”
“Ya, aku juga berpikir begitu.” Sahut
Adillla.
Ninda menatap Adilla. Ada perasaan bahagia menyelinap dalam hatinya
melihat perhatian Adilla kepadanya. “Mas Dill sepertinya memikirkan aku.” Ucap
Ninda pelan.
“Yah, aku memikirkan masa depanmu.”
Sahut Adilla. “Bagaimanapun kau tidak bisa terus menerus membiarkan hidupmu
seperti ini. Kau harus berbuat sesuatu untuk hidupmu. Kau harus keluar dari
kesulitan hidupmu. Istilahnya, daripada aku terus menerus memberimu ikan, lebih
baik aku memberimu kail. Dengan kail itu engkau bisa mencari ikan sendiri.”
“Aku juga malu sering diberi uang oleh
Mas Dill….”
“Aku ikhlas memberimu uang, Nin. Selama aku masih punya rejeki, tidak
masalah aku memberimu uang. Namun tentunya lebih baik lagi bila engkau memiliki
kegiatan atau pekerjaan yang bisa menghasilkan, setidaknya untuk mencukupi
kebutuhanmu sendiri.”
Ninda menatap Adilla, lalu mengangguk
setuju. Matanya masih menatap Adilla, seakan ada sesuatu hal yang ingin disampaikannya pada Adilla. “Mas
Dill….”
“Ya.”
”Aku sebenarnya malu menyampaikan ini
kepada mas Dill. Aku khawatir jadinya aku seperti terlalu banyak meminta
bantuan dan pertolongan pada mas Dill.”
“Apa?”
“Aku membutuhkan mesin jahit,” ucap
Ninda. Dia memperhatikan raut wajah Adilla, seakan khawatir Adilla tidak senang
dengan apa yang dikatakannya.
“Sejak dulu aku sangat senang
menjahit.” Kata Ninda lagi ketika melihat Adilla tidak menyela
kata-katanya. “Aku ingin usaha. Aku bisa membuat mukena, atau bantal
kursi, atau membuat beragam hiasan dari hasil jahit menjahit. Apabila mas Dill
tidak keberanan membantu aku ……. Aku membutuhkan sebuah mesin jahit dan mesin
bordir…….”
“Jadi
kau ingin mesih jahit dan mesin bordir?’ Tanya Adilla.
“Ya,”
Adilla mengangguk. “Aku akan mengusahakan agar engkau bisa
segera mendapatkan mesin jahit yang kau inginkan.”
Ninda seakan ingin melonjak ketika
mendengar ucapan Adilla.
“Terima kasih mas Dill. Mas Dill baik sekali. Aku benar-benar malu jadi sering meminta bantuan pada mas Dill.”
Adilla
tersenyum “Aku senang membantumu,
Ninda. Aku sudah mengatakan kepada ibumu bahwa aku berjanji akan menjaga dan
melindungimu, bukan? Aku menyayangimu, Ninda.”
Ninda tersenyum “Mama pasti senang
bila tahu aku akan memiliki usaha
menjahit.” Ucap Ninda.
Namun mendadak Ninda menunduk.
Dia menyembunyikan wajahnya yang tiba-tiba terasa hangat. Tidak, pikir Ninda. Aku tidak boleh salah menafsirkan ucapan mas
Dill kepadaku. Maksud Mas Dill adalah
bahwa dia benar-benar menyayangi aku bukan berarti mas Dill mencintai aku.
Demikian pula dengan maksud mas Dill bahwa dia akan menjaga dan melindungiku,
artinya dia akan seperti mama dan papa, akan menjaga dan melindungi aku.
Menjaga dan melindungi bukan dalam peranan peranan yang lain. Aku tidak boleh terlalu berharap agar aku tidak mendapatkan kekecewaan yang kedua
kalinya.
Adilla menatap wajah Ninda yang tengah
menunduk. Dia melihat kegembiraan
diwajah Ninda. Hatinya ikut merasa
bahagia melihat perubahan diwajah Ninda. Ninda seolah mendapatkan kembali kegembiraan-kegembiraannya. Ninda
seolah menemukan kembali sesuatu yang pernah terenggut dalam hidupnya.
“Aku senang melihat kau kelihatan gembira lagi, Ninda.”
Ninda
mengangkat wajahnya. “Mas Dill yang telah mengembalikan kegembiraan-kegembiraan saya
yang telah sekian lamanya pergi dan hilang dari kehidupan saya.”
“Aku tidak ingin melihatmu bersedih
lagi. Kau harus bisa melupakan
kesedihanmu, Ninda. Kau harus bisa
menatap dunia ini dengan hati
yang lapang dan ikhlas.”
“Mas Dill, ajari aku bagaimana agar aku bisa bangkit dari kesedihanku. Ajari
aku, bagaimana agar aku bisa melangkah menggapai harapan menuju masa depan yang indah.”
“Kamu pasti bisa, Ninda.”
“Ya, aku pasti bisa.” Ninda menyahut
pelan. “Apalagi bila mas Dill yang
mengajariku dan mau menemani langkah-langkahku
menuju masa depanku.”
Adillla menatap gadis itu. Mata gadis
itu berbicara banyak. Mata itu
berbicara tentang cinta dan juga rasa sayang yang pernah ada diantara mereka.
“Ninda, aku pasti akan mengajarimu
tentang hidup, andaikan aku sendiri
mengerti dan memahami apa dan bagaimana
hidup itu. Namun aku sendiri pun masih
harus terus belajar agar aku bisa memahami dan mengerti. Hidup memang harus
dipelajari agar kita tidak salah melangkah, namun lebih baik biarkan kehidupan mengalir apa
adanya, seperti air yang mengalir.” Ujar Adilla. Matanya lekat menatap wajah
gadis itu. “Sebenarnya, kehidupan telah lebih banyak lagi mengajarimu segala
hal, Ninda. Kehidupan telah memberimu banyak pengalaman dan pelajaran. Dan baru
sekarang aku melihat dan menyadari, betapa engkau sebenarnya seorang gadis yang sabar dan tabah. Betapa derita yang
menimpamu telah menempamu menjadi seorang gadis yang kuat dan tegar. Ninda, aku
bangga melihatmu. Benar, aku bangga dan salut kepadamu.”
Ninda hanya menunduk mendengar ucapan
Adilla. Airmatanya mengalir perlahan.
“Aku tidak mungkin prutasi, aku tidak
mungkin rubuh hanya karena Allah mengambil hampir semua yang kumiliki yang
bersifat materi dan status sosial, mas Dill. Aku harus bisa kuat dan tabah. Aku
harus bisa tegar dengan segala apa yang menimpa keluargaku.” Ucap Ninda. “Allah
tidak mengambil semuanya. Allah masih memberiku kesempatan untuk merawat mama dan
papa. Allah masih memberiku kesempatan untuk berbakti dan menyayangi orangtua
disaat usia mereka telah semakin tua, disaat tubuh mereka telah semakin renta
dan lemah. Allah masih memberiku kesempatan untuk berdoa. Semua itu adalah
nikmat-nikmat yang aku syukuri ketika aku menyadari masih banyak
kesempatan-kesempatan yang diberikan Allah kepadaku.”
“Ninda, kau begitu sholeh.
Bersyukurlah ayah dan ibumu memiliki seorang puteri yang sholeh sepertimu.”
Ninda menangis mendengar ucapan
Adilla. Dia mengisak pelan.
“Aku ingin membahagiakan mama dan
papa, mas Dill. Namun keterbatasan yang kumiliki yang membuatku tidak mampu untuk membahagiakan mereka
kecuali dengan sikap-sikapku kepada mereka, jangan sampai mereka merasa terluka
dan sakit hati dengan sikap dan perkataan-perkataanku. Andaikan aku mampu, aku
ingin membahagiakan mereka lebih daripada apa yang kulakukan saat ini.”
“Ninda, kau pasti bisa membahagiakan
orangtuamu. Kau pasti bisa membahagiakan ibumu
yang kini tinggal sendiri. Insya Allah, Allah akan mendengar doa-doa dan
pengharapanmu. Allah Maha Melihat, Ninda. Allah Maha Mendengar. Suatu saat
nanti Allah akan memperlihatkan kepadamu bahwa doa dan harapanmu
dikabulkanNya.”
“Mudah-mudahan.” Sahut Ninda.
--- 0 ---
Ninda
gembira sekali ketika siang itu
Adilla meneleponnya, mengajaknya membeli mesin jahit yang diinginkannya. Kegembiraan gadis itu
seakan meluap tak tertahankan.
“Mesin jahit? Jadi benar Mas Dill akan
membelikan mesin jahit buatku? Benarkan? Aku rasanya tak percaya.” Seru Ninda
riang.
“Tentu saja benar.” Adilla tersenyum,
dia dapat merasakan kegembiraan gadis itu
dari nada suaranya yang riang.
“Kamu sendiri yang memilih, Ninda. Aku
kan tidak
tahu mesin jahit yang bagaimana yang kau inginkan.” Kata Adilla.
“Mas Dill serius akan membelikan aku
mesih jahit? Aku rasanya tidak percaya…..”
“Nanti sore sepulang kerja aku akan menjemputmu, ya. Aku akan pulang lebih
cepat. Toko mesin jahit mudah-mudahan belum tutup.”
“Ya. Aku tak sabar menunggu Mas Dill datang.” Ucap
Ninda.
Ninda berlari menemui ibunya didapur.
“Mama! Mama!” panggil Ninda riang.
Nuraeni tengah berada didapur, dia
duduk pada sebuah dipan sambil
memotong-motong kangkung untuk
ditumis. Dia menoleh mendengar Ninda memanggilnya.
“Ada apa?” Kening Nuraeni sedikit
berkerut melihat kegembiraan diwajah Ninda. “Ada apa?”
“Mama, mas Dill akan membelikan aku
sebuah mesin jahit. Nanti sore mas Dill akan kemari menjemput aku. Aku disuruh
memilih sendiri mesin jahit yang kuinginkan.” Ninda bercerita riang.
“Mesin jahit? Untuk apa engkau meminta
dibelikan mesin jahit?” Tanya Nuraeni heran.
Ninda duduk didekat ibunya. “Mama
tahu, sejak dulu aku senang sekali menjahit. Mesin jahit milikku yang dulu,
sudah lama dijual. Aku sedih harus menjual mesin jahit itu padahal bila aku
memiliki mesin jahit aku bisa usaha
dengan memanfaatkan keterampilanku menjahit.” Ninda mengatur nafasnya.
Bicaranya demikian tergesa-gesa dan beruntun. Kata-kata berdesakan diujung
mulutnya ingin segera bercerita pada ibunya.
“Mas Dill memikirkan masa depanku, ma.
Mas Dill ingin aku punya usaha untuk masa depanku. Lama aku berpikir, apa yang bisa aku kerjakan
untuk mencari nafkah. Tiba-tiba terpikir, mengapa aku tidak
memanfaatkan keterampilanku menjahit. Aku kan bisa menjahit. Aku sangat senang
menjahit. Jadi aku meminta dibelikan
mesin jahit pada mas Dill. Mas Dill setuju. Tadi mas Dill menelepon aku,
mengatakan nanti sore sepulang kerja mas Dill akan mengajak aku membeli mesin
jahit itu.” Kata Ninda dengan mata berbinar senang.
Nuraeni menatap puterinya. “Adilla
benar—benar memperhatikanmu, Ninda.” Ucap Nuraeni. Matanya tiba-tiba membasah.
“Mama sadar, Adilla sudah punya istri.
Maafkan mama bila mama sering berpikir, seandainya Adilla menikah denganmu.
Seandainya Adilla adalah jodohmu, jodoh yang selalu mama pinta kepada Allah
dalam doa-doa mama selama ini.”
“Mama……” Ninda cepat menukas. “Kebaikan mas Dill jangan mama salah artikan.
Mas Dill hanya menyambung silaturahmi diantara kita yang sempat terputus. Mas
Dill laki-laki baik. Dia tetap ingin menjaga kelangsungan silaturahmi diantara
kita.”
“Mama mengerti.” Sahut Nuraeni. “Tapi
disisi lain hati mama yang tidak bisa berdusta. Adilla masih mencintaimu.”
“Mama, sudahlah.” Tukas Ninda. “Doakan
agar usahaku nanti lancar. Aku bisa membuat sarung bantal kursi. Atau seprei.
Atau mukena. Atau juga boneka-boneka kecil. Aku akan memulai usahaku dari
bawah. Aku siap bekerja keras. Keberhasilan kan harus dirintis dari bawah
dulu.”
Nuraeni tersenyum menatap Ninda. “Mama
selalu berdoa untukmu, Ninda. Hanya engkau satu-satunya milik mama didunia ini.
Mama berdoa segalanya untukmu. Untuk keberhasilanmu. Untuk jodohmu. Kau sudah
waktunya memiliki suami, Ninda. Mama berdoa semoga Allah segera mendatangkan
jodohmu agar mama tenang bila telah melihatmu berumah tangga.”
Ninda hanya tersenyum mendengar ucapan
ibunya. Bergegas dia pergi akan mandi. Nuraeni melanjutkan kembali
pekerjaannya, memotong-motong kangkung. Namun pikirannya melayang pada Adilla.
Ya Allah, Engkau mempertemukan kembali anakku dengan Adilla. Hanya Engkau yang
tahu apa rencanaMu dengan semua ini. Mata Nuraeni terasa membasah.
Ninda menyambut kedatangan Adilla
dengan harap-harap cemas. Sejak sejam
sebelumnya dia sudah siap. Berkali-kali dia pergi keruangan depan, melihat
keluar dari kaca jendela, berharap melihat mobil Adilla datang. Ketika Adilla
benar-benar datang, Ninda memburunya, membuka pintu pagar cepat-cepat dengan
raut wajah senang.
“Mas Dill…..”
“Ayo naik. Kita pergi sekarang. Nanti
tokonya keburu tutup.”
Ninda pamit pada ibunya sambil
berteriak dari dalam mobil Adilla.
“Ma! Aku pergi dulu!”
“Ya, hati-hati, ya.”
Nuraeni menatap kepergian Ninda dengan
Adilla. Ya Allah, mereka bersama-sama lagi. Ya Allah, maafkan hambaMu ini.
Bukan hamba culas atau jahat, bukan hamba tidak memikirkan seorang wanita lain
yang bernama Asmi, namun andaikan Engkau menghendaki anakku dengan Adilla
bersama-sama lagi, Ya Allah Yang Maha Pengasih, biarlah mereka berdua berjodoh.
Biarlah mereka berdua selalu bersama untuk selamanya. Namun Nuraeni hanya
mengucapkan semua itu didalam hatinya saja. Dia merasa tidak sanggup
membayangkan seandainya semua yang dilihatnya diantara Ninda dan Adilla
hanyalah sebatas pengharapannya saja.
“Mas Dill……..” Ninda menatap Adilla
yang tengah mengemudikan mobilnya.
“Apa?”
Adilla menoleh sesaat.
“Mas Dill baik sekali kepadaku.”
Adilla tersenyum mendengar ucapan
Ninda. “Ninda, kita bukan siapa-siapa
lagi. Keluarga kita sudah lama saling mengenal.”
“Mas Dill, aku menjadi malu…..”
“Malu pada siapa?” Adilla kembali tersenyum.
“Aku malu pada mas Dill, aku
sepertinya memanfaatkan mas Dill untuk kepentinganku…..”
“Kau sendiri yang berpikir begitu. Aku
tidak punya pikiran seperti itu.”
Sebelumnya Adilla bertanya dulu
pada Hanief, toko mana yang menjual
mesin jahit.
“Mau beli mesin jahit? Untuk siapa?”
Tanya Hanief.
“Salah seorang saudaraku ingin
dibelikan mesin jahit. Dia pintar
menjahit. Dia ingin punya usaha dari keterampilannya menjahit.”
“Oh.” Sahut Hanief. Dia memberitahu
beberapa toko yang menjual mesin jahit.
“Kamu nanti telusuri aja toko-toko itu.”
“Ya. Terima kasih, ya.”
Adilla
langsung ke toko yang disebutkan oleh Hanief. Adilla menemani Ninda
memilih mesih jahit seperti yang diinginkan Ninda. Adilla meminta kepada pegawai toko untuk
mengantarkan mesin jahit itu kerumah Ninda.
“Mas Dill, terima kasih, ya.” Ucap
Ninda ketika Adilla mengantarnya pulang.
“Ya, aku senang sekarang kau akan
memiliki usaha. Mudah-mudahan usahamu berhasil dan maju.”
“Doakan, ya.’
“Tentu saja, aku akan berdoa usahamu
sukses seperti harapanmu.”
“Amien.”
Adilla dan Ninda bertukar pandang
sambil sama-sama tersenyum.
Mesin jahit itu tidak lama kemudian
sudah datang diantarkan oleh pegawai toko itu. Nuraeni menatap mesin jahit itu.
Lalu dia menatap puterinya.
“Ninda, ternyata benar Adilla
membelikanmu mesin jahit.” Ucap Nuraeni.”Semula mama tidak percaya Adilla akan
membelikanmu mesin jahit.”
“Ya, ma. Ini mesin jahitnya, sudah ada
dirumah kita.” Ninda tersenyum.
Nuareni meraba-raba mesin jahit itu.
Lalu duduk sambil menatap Ninda.
“Ninda, Adilla begitu baik kepadamu. Apakah Asmi tahu Adilla
membelikanmu mesin jahit ini?”
“Aku tidak menanyakan hal itu kepada
mas Dill, ma. Aku sudah senang mas Dill membelikan mesin jahit ini.”
“Ninda, mama ingin bertanya kepadamu,
seandainya……seandainya Adilla memperistrimu, apakah engaku mau menjadi istri
Adilla?”
Ninda tidak segera menjawab pertanyaan
ibunya. “Aku tidak tahu, ma. Aku sendiri
tidak tahu, apakah hubunganku dengan mas Dill sekarang ini akan menjurus kearah
hubungan lain selain menyambung silaturahmi diantara aku dan mas Dill. Aku kira
mas Dill tidak bermaksud kearah sana. Mas Dill hanya kasihan kepadaku. Mas Dill
tidak tega melihat keadaanku sekarang ini. Mas Dill hanya ingin menolong aku
keluar dari kesulitan hidupku saat ini.”
Nuraeni mengangguk. “Ya, mungkin kamu
benar, Ninda. Adilla hanya ingin menolongmu agar engkau bisa hidup mandiri dan
memiliki usaha. Mungkin mama yang
berpikir terlalu jauh. Mama sudah ingin melihatmu segera menikah. Mama sudah
ingin melihatmu memiliki suami sebagai
pengganti mama dan papa bila nanti mama sudah tidak ada lagi.”
“Mama jangan bicara begitu.”
“Ninda, setiap orang pasti mati. Mama
ingin bila kelak mama meninggalkan dunia ini, mama meninggalkanmu dengan
perasaan tenang bila engkau sudah memiliki suami.”
Mata Ninda basah. Dia sedih ibunya
bicara begitu. Namun dia memahami, sejak kondisi mereka seperti ini, ibunya
seakan jiwanya menjadi rapuh. Mudah menangis. Mudah tersentuh. Dia memahami
perasaan ibunya. Terlalu berat beban perasaan yang ditanggung ibunya. Apalagi
setelah ayahnya meninggal.
“Andaikan mama boleh meminta pada
Adilla, mama ingin engkau menikah dengan Adilla. Dia laki-laki yang baik dan penuh tanggung jawab. Mama
tenang menutup mata bila engkau mendapatkan suami seperti Adilla.”
“Ma, laki-laki didunia ini bukan hanya
mas Dill. Masih banyak laki-laki lain yang baik seperti mas Dill. Dunia ini
luas. Mudah-mudahan Allah mengabulkan doa mama, suatu saat nanti aku
mendapatkan jodoh seorang lelaki seperti yang mama harapkan.”
Nuraeni menghapus matanya. “Jodoh
ditangan Allah, Ninda. Ya, mama hanya bisa berdoa, semoga Allah memberimu jodoh
yang baik. Seorang jodoh yang akan memberimu
kebaikan didunia dan diakhirat.”
Ninda tidak mengomentari ucapan
ibunya. Dia hanya diam ketika ibunya telah beranjak pergi. Ninda segera
berwudhu dan shalat. Usai shalat, ketika masih duduk diatas sajadah, dia tak
bisa menahan airmatanya. Selalu airmatanya jatuh setiap kali dia usai shalat
dan tinggal sendirian. Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui yang terbaik untuk
hidupku. Andaikan memang mas Dill adalah jodohku, berilah aku petunjuk.
Janganlah aku Engkau jadikan seorang wanita yang egois, yang ingin merebut
cinta seorang lelaki dari wanita lain walaupun aku sangat mencintai lelaki itu.
Berilah aku keimanan dan kesadaran dengan cinta yang kurasakan dalam hatiku.
Berilah aku petunjukMu, Ya Allah………..
--- 0 ---
Ninda menghitung uang tabungannya.
Tidak akan cukup dipakai modal awal usahanya untuk membeli bahan-bahan yang
dibutuhkan untuk memulai usahanya. Dia akan memulai dengan membuat
sarung-sarung bantal kursi. Dia masih menyimpan majalah-majalah yang memuat
beragam sarung bantal yang menarik. Dia juga akan membuat sprei dan sarung
bantalnya. Namun uang yang dimilikinya tidak akan cukup. Ninda membuka
lemarinya. Dia mengambil kotak perhiasannya, yang selama ini disimpannya dengan
begitu hati-hati.
Didalam kotak perhiasan masih tersisa
benda berharga yang masih dimilikinya. Dia membuka kotak perhiasannya. Dia
masih memiliki dua buah gelang emas,
sebuah kalung panjang serta dua buah cincin, cincin berlian dan yang sebuah
lagi adalah cincin tunangannya dulu dengan Adilla.
Ninda mengambil gelang dan kalung. Dia
menatap gelang dan kalung itu
beberapa saat. Terasa sayang untuk menjual gelang dan kalung
itu. Modelnya bagus sekali. Dia sangat menyukainya. Namun dalam keadaannya
sekarang yang sangat membutuhkan modal untuk memulai usahanya, dia terpaksa
harus menjual perhiasannya itu. Kedua gelang dan kalung ini aku jual saja untuk
modal usaha, pikir Ninda.
Ninda berganti pakaian. Dia pergi ke
toko emas dimana dulu dia membeli perhiasan itu. Setelah menjual gelang dan
kalungnya, dia lalu pergi ke pasar. Dia
mendekap tasnya hati-hati. Didalamnya ada
uang hasil penjualan gelang dan
kalungnya yang akan dipakainya untuk
belanja beragam bahan untuk memulai
usahanya. Bukan main senangnya ketika
dia mendapat uang lebih yang besar dari dugaannya. Harga emas sedang
tinggi.
Hampir seharian itu Ninda belanja. Dia
keluar masuk pasar mencari bahan-bahan yang dibutuhkannya. Semalam dia sudah
mencatat apa saja yang akan dibelinya.
Pulang kerumahnya dia sarat membawa hasil belanjaannya. Tubuhnya terasa lelah sekali. Namun kelelahan
itu tak dirasakannya. Yang terasa adalah semangat yang mengalir dalam tubuhnya.
Aku akan memulai merintis usaha. Aku harus bekerja keras, pikir Ninda. Ya Allah, lancarkanlah urusanku
ini, berilah aku kemudahan dalam menjalankan usahaku ini.
“Banyak sekali belanjaanmu, Ninda.”
Ucap Nuraeni ketika melihat barang-barang belanjaan yang dibawa Ninda.
“Ini baru sebagian, ma.” Sahut Nina.
Dia merapikan kantong-kantong belanjaannya. Nanti malam dia akan mengecek lagi,
apa-apa yang belum sempat dibelinya. “Besok aku akan pergi belanja lagi. Masih
banyak bahan-bahan yang kubutuhkan yang belum sempat kubeli. Tadi aku sudah kerepotan dengan
barang-barang belanjaanku.”
“Besok mama antar kamu belanja, ya.”
“Jangan, ma. Aku bisa belanja sendiri.
Mama dirumah saja.”
Nuraeni menatap anaknya penuh haru.
“Ninda, maafkan mama, ya nak. Kau
sekarang harus bekerja seperti ini.”
Ninda tersenyum. “Ma, kita hidup harus
ikhlas. Ikhlas dengan apapun yang diberikan Allah untuk jalan hidup kita.
Ikhlas dengan bagaimana Allah mengisi hidup kita dan ikhlas ketika Allah
mengambil kembali apapun milik kita yang pernah dititipkan Allah pada kita.
Kita tidak perlu menyesali apa yang telah terjadi dan apa yang menimpa kita.
Ikhlas memang sulit untuk dilaksanakan, tapi kita harus belajar menerapkan dan
menjalankan keikhlasan dalam hati kita agar kita tetap bisa menjaga ketenangan
perasaan kita dan yakin Allah akan tetap bersama kita dalam kondisi kita yang
bagaimanapun. Allah akan menilai kesabaran dan ketabahan kita dalam menjalani
segala kondisi yang diberikan Allah sebagai ujian bagi hidup kita.”
Nuraeni menangis. “Betapa bersih
hatimu, Ninda. Baru sekarang mama menyadari betapa engkau sebenarnya seorang
yang sholeh, seorang yang ikhlas, seorang anak yang sungguh berbakti kepada
orangtua……”
Ninda mengambil sebuah
kantong plastik kecil dari dalam kantong plastik belanjaannya. Dia mengeluarkan beberapa macam
bungkusan kue, diambilnya piring lalu diletakannya beragam kue basah itu diatas
piring.
“Tadi aku membeli kue-kue basah ini di
pasar. Mama pasti suka kue-kue ini.”
Nuraeni mangambil sebuah kue. “Ninda,
dulu kita selalu membeli kue-kue enak dan lezat di toko-toko kue besar……..”
“Mama,” Ninda tersenyum menatap
ibunya. “Sudahlah, ma. Kita patut bersyukur, dulu kita pernah mengalami dan
menikmati beragam kue ataupun makanan enak, lezat dan serba mahal. Kita harus mensyukuri kita
pernah merasakan nikmat itu. Sekarang kita tetap harus bersyukur, kita tidak
pernah lagi membeli makanan-makanan enak dan mahal seperti yang dulu selalu
kita nikmati, kita jangan terus menyesalinya, ma. Sekarang kita masih bisa
menikmati jajanan pasar ini. Semua ini adalah rejeki dari Allah yang harus kita
syukuri.”
“Maafkan mama selalu berbicara tentang
masa lalu, Ninda.” Ucap Nuraeni, seakan tersadarkan oleh ucapan Ninda.
Ninda hanya tersenyum. Jauh dalam lubuk hatinya dia bisa merasakan
apa yang dirasakan ibunya. Hanya dia tidak ingin ibunya terus menerus
mengungkap-ungkap masa lalu mereka. Yang dihadapi oleh mereka saat ini adalah
kenyataan. Masa lalu hanyalah sekedar kenangan yang sudah lewat.
Esoknya Ninda pergi lagi ke
pasar. Dia mencatat semua barang-barang
yang dibutuhkannya. Dia keluar masuk toko lagi seperti kemarin. Selesai belanja, dia keluar pasar, melewati
tempat parkir.
“Ninda!”
Ninda menoleh. Tania, teman kuliahnya
dulu keluar dari dalam mobilnya yang tengah diparkir disana.
“Astaga, Ninda. Kamu belanja apa?
Banyak sekali belanjaanmu?” seru Tania melihat Ninda membawa begitu banyak
kantong plastic belanjaannya.
“Tania.” Ninda terkejut sekaligus
senang bertemu teman kuliahnya dulu.
Tania memeluknya. “NInda, aku tak
pernah melihatmu lagi di kampus. Devi yang cerita, katanya kau sudah keluar.
Kenapa? Aduh, Ninda. Aku masih ingat kamu dulu aktif sekali dikampus. Kenapa
harus keluar?”
Ninda hanya tersenyum. “Sudahlah. Aku
realistis, Tania. Aku sudah tidak mungkin melanjutkan kuliahku lagi.”
Tania melihat pada belanjaan Ninda.
“Sekarang kamu akan kemana?”
“Pulang. Kamu sendiri dari mana?”
“Bibi Evie, adik ibuku punya toko
dipasar. Barusan aku dari sana.” Sahut Tania. “Ayo aku antar kamu pulang
sekalian.”
“Tidak usah merepotkan. Aku bisa naik
angkutan umum, kok.”
“Ayolah.” Tania membantu Ninda
mengambil kantong belanjaannya. Akhirnya Ninda mengikuti Tania memasuki
mobilnya.
“NInda, bagaimana dengan kabar ibumu?
Aku mendengar berita ayahmu telah meninggal. Maaf, aku tidak sempat melayat.”
“Tidak apa-apa.” Sahut Ninda. “Kabar
mama Alhamdulillah baik. Yah, papa sudah meninggal. Terkena serangan jantung.”
“Kamu harus tabah, Ninda.” Tania menoleh pada Ninda sesaat. “Tapi aku melihat kamu
memang kelihatannya sangat tabah sekali. Kamu memang gadis yang tegar, Ninda.
Sekarang apa kegiatanmu setelah tidak kuliah lagi?”
“Aku baru akan merintis usaha, Nia.
Aku akan mencoba membuat sarung bantal kursi dan seprei. Aku akan mencoba dulu.
Nanti aku lihat bagaimana peluangnya. Bila ternyata lagu, aku bisa focus
membuat sarung bantal kursi dan seprei.”
“Kamu punya keterampilan menjahit,
Ninda. Jadi kamu bisa memanfaatkan keterampilanmu itu.” Ujar Tania. “Ninda,
tadi aku sempat ragu akan menegurmu. Kau jadi berbeda disbanding dulu.”
Ninda tersenyum mendengar ucapan
Tania. “Masa? Benarkah aku berbeda dengan aku yang dulu? Yah, gimana. Sekarang
aku jarang pergi kemana-mana. Waktuku lebih banyak aku habiskan dirumah. Jadi
mungkin karena hal itu aku jadi jarang berdandan.”
“Tapi kamu harus tetap memperhatikan
penampilanmu, Ninda. Kamu cantik. Sayang bila kau tidak merawatnya.”
“Terima kasih atas saranmu. Yang
kupikirkan sekarang adalah bagaimana aku memajukan usahaku ini agar berhasil.”
“Tidak ada salahnya engkau meluangkan
waktumu untuk memperhatikan penampilanmu.”
“Ya, aku akan mencoba memperhatikan
penampilanku lagi.” Ninda tersenyum. “Bagaimana kegiatanmu? Masih aktif di klub
basket kampus kita?”
“Ya, kadang-kadang. Aku sendiri
sekarang sedang fokus menyelesaikan kuliahku yang sempat tersendat. Aku kemarin
sempat kerja paruh waktu. Ternyata malah membuat kuliahku jadi terbengkalai.
Jadi terpaksa aku keluar dari pekerjaanku dan segera menyelesaikan kuliahku.”
Tania bercerita tentang kegiatan di
kampus yang dulu selalu diiukti Ninda. Dan dirinya. Mendengar cerita Tania,
Ninda seakan bernostalgia mengenang masa-masa menyenangkan dikampus mereka.
Sesekali dia tertawa mendengar cerita Tania.
“Kapan-kapan kita bertemu lagi, ya.
Sampaikan salamku pada ibumu.” Kata Tania ketika mereka telah tiba dirumah
Ninda.
“Terima kasih, Nia. Mampir dulu kedalam, yuk.”
“Kapan-kapan aku kemari lagi, ya.”
Kata Tania, melambaikan tangan. Mobilnya melaju
pergi.
“Siapa yang tadi mengantarmu?” Tanya
Nuraeni, keluar dari rumah membantu Ninda membawa belanjaannya kedalam rumah.
“Tania. Mama pasti masih ingat pada
Tania, yang dulu seklub basket denganku
waktu kuliah dulu.”
“Oh, ya. Mama ingat. Dia sudah selesai
sekolahnya?”
“Tadi dia cerita sedang menyelesaikan
kuliahnya. Seharusnya sudah selesai. Tapi dia sempat kerja paruh waktu jadi
kuliahnya agak terganggu.”
Nuraeni tidak berkomentar. Dia merasa
khawatir membicarakan kuliah akan
membuat perasaan Ninda sedih. Dia tahu, betapa kecewanya Ninda ketika dia
terpaksa harus berhenti kuliah karena sudah tidak ada lagi biaya untuk
menyekolahkannya. Ninda memang tidak pernah mengungkapkan kekecewaannya, namun
Nuraeni tahu betapa kecewanya Ninda.
“Sudah selesai membeli semua
bahan-baha yang kau butuhkan, Nin?”
“Sudah.” Ninda mengeluarkan catatannya. Dia mencoret
satu persatu barang-barang dalam daftar
yang sudah dibelinya. Semuanya
sudah tercoret. Semua yang dibutuhkannya
sudah dibelinya.
Awalnya Nuraeni membantu Ninda. Namun
ketika melihat begitu banyak pekerjaan, Nuraeni mengusulkan agar mereka mencari
seseorang yang bisa membantu Ninda mengerjakan usahanya.
“Kamu tidak mungkin akan sanggup
menangani sendirian semua pekerjaan-pekerjaan ini, Ninda.” Kata Nuraeni. “Kau
perlu seorang pembantu untuk membantumu mengerjakan usahamu ini.”
“Ya, ma.” Sahut Ninda. “Memang hal itu
sudah kupikirkan. Namun untuk mengambil seorang pembantu, aku harus
memikirkan gajinya. Untuk saat ini aku
belum sanggup membayar gaji. Tapi bila hanya seorang, kukira aku bisa
menyisihkan pendapatan dari usaha ini untuk membayar gajinya.”
“Ya, baguslah.” Ucap Nuraeni.
“Mengenai penjualan semua hasil pekerjaanmu ini, mama akan menghubungi bu Sari
dan bu Wina. Mereka sudah biasa berjualan. Mungkin mereka akan membantu usahamu
dengan membantu menjualkan barang-barangmu.”
“Terima kasih, ma.”
Ninda mulai memikirkan siapa yang akan
dijadikan pembantunya. Tiba-tiba dia
teringat pada Ayuning, tetangganya yang rumahnya tidak jauh dari rumahnya.
Gadis itu baru tamat dari sekolah menengah kejuruan. Kedua orangtuanya sudah
lama meninggal. Gadis itu selama ini tinggal bersama bibinya. Sore itu Ninda menemui
Ayuning dirumahnya. Ayuning menyambut tawaran Ninda dengan senang.
“Terima kasih, mbak. Daripada saya menganggur dirumah, lebih baik saya ikut bekerja bersama mbak Ninda.”
Ketika sudah menyelesaikan beragam
pekerjaan dalam jumlah yang cukup besar, Nuraeni menghubungi Sari dan Wina,
teman-temannya dulu. Ninda tidak tega melihat ibunya terlibat dalam usahanya.
Namun Nuraeni bersikeras ingin membantu Ninda.
Sore itu Nuraeni menemui Ninda yang
masih sibuk bekerja bersama Ayuning.
“Ninda, bu Sari dan bu Wina senang
dengan sarung bantal dan sprei buatanmu.
Sarung-sarung itu menarik perhatian mereka karena modelnya bagus sekali. Mereka
memesan lagi dalam jumlah besar.” Kata Nuraeni. “Bahkan bu Linda, yang punya
toko, memesan sarung bantal dalam jumlah yang besar. Kamu bisa memenuhi pesanan mereka, kan?”
“Insya Allah, ma.” Ucap Ninda. Dia
mengucap syukur, usahanya menunjukan
perkembangan yang bagus. Allah telah membukakan jalan untuknya. Dia tidak ingin
menyia-nyiakan kesempatan ini. “Alhamdulilah. Insya Allah, ma, saya akan
memenuhi pesanan mereka.”
Ninda percaya, selama manusia masih
mau berusaha serta mau bekerja keras,
Allah pasti akan membukakan pintu rejeki buat umat-Nya. Dia teringat pada
cerita ayahnya. Dulu ayahnya pun merintis usaha dari bawah. Ketekunan dan kerja
keras yang membuat ayahnya berhasil. Namun nasib menentukan lain ketika usaha
ayahnya telah berada dipuncak keberhasilan. Allah menguji mereka sekeluarga
dengan mengambil kembali hampir semua harta yang dulu mereka miliki dan menguji
mereka dengan kemiskinan dan kekurangan. Kini Ninda semakin sadar, kekayaan dan
kemiskinan, ternyata adalah ujian buat mereka.
Aku harus menambah modal, pikir Ninda.
Dia teringat pada dua buah cincin yang masih disimpannya didalam kotak
perhiasannya. Ninda pergi kekamarnya.
Dia mengambil kotak perhiasannya dan membukanya. Aku terpaksa harus menjual
kedua cincin ini. Beberapa saat Ninda memperhatikan cincin pemberian Adilla
ketika mereka bertunangan dulu. Hatinya terasa pedih. Kenangan lama terasa
mengoyak kembali luka dihatinya. Tidak, aku tidak akan menjual cincin ini.
Cincin ini adalah kenanganku bersama mas Dill. Aku sudah tidak mungkin memiliki
mas Dill lagi. Biarlah cincin ini jadi
kenanganku bersama mas Dill. Biarlah cincin
ini menjadi bukti bahwa antara aku dan mas Dill pernah saling mencintai.
Hati-hati Ninda menaruh kembali cincin itu. Dia hanya mengambil cincin berlian.
Cincin itu akan dijualnya. Ninda sudah menaksir harganya. Dia akan menjual
cincin itu pada salah seorang kenalan
ibunya yang senang mengoleksi perhiasan berlian.
“Ayu.” Kata Ninda ketika dia sudah
mendapatkan uang dari hasil penjualan cincin berliannya. “Sepertinya
kita perlu tenaga tambahan. Pesanan semakin banyak. Kita tidak mungkin mengerjakan
semua pekerjaan ini berdua saja.”
“Berapa orang lagi yang mbak
butuhkan?” Tanya Ayuning. “Bagaimana bila saya menghubungi teman-teman sekolah
saya yang masih menganggur?”
“Dua orang saja, Yu.” Kata Ninda. “Ya,
boleh kau hubungi kedua temanmu itu. Laki-laki atau perempuan teman yang akan kau
hubungi itu?”
“Keduanya perempuan, Ratna dan Endah.”
“Ya, coba kau hubungi mereka. Bila
mereka sepertimu, rajin dan cekatan, tentu mbak akan bersedia menerima mereka
berdua untuk membantu usaha kita ini.”
“Ya, mbak. Nanti sore saya akan
menghubungi Ratna dan Endah. Saya tahu
keduanya masih menganggur.”
Dua hari kemudian, Ratna dan Endah
datang menemui Ninda. Ninda menguji keterampilan mereka. Hasil jahitan mereka
rapi. Dengan senang hati Ninda menerima Ratna dan Endah bekerja dengannya.
Kehadiran Ratna dan Endah membuat pekerjaan semakin cepat selesai. Ratna dan
Endah bukan hanya rajin dan cekatan,
namun mereka juga banyak menyumbangkan
beragam ide kepada Ninda yang membuat Ninda semakin bisa
mengembangkan kreativitasnya. Pesanan
semakin banyak yang datang. Pelanggan semakin bertambah. Nuraeni sudah tidak
lagi pergi ke teman-temannya karena pelanggan datang sendiri kerumah Ninda.
Tak henti-hentinya Ninda mengucapkan
rasa syukur atas segala rejeki yang
telah diberikan Allah kepadanya. Ya
Allah, terima kasih atas karunia dan rejeki yang telah Engkau berikan kepada
hambamu ini. Mudah-mudahan semua rejeki yang telah Engkau berikan ini menjadi
barokah bagi kami semua, buatku, juga buat semua pegawai-pegawai yang membantu
usahaku ini.
--- 0 ---
Handphonenya berbunyi. Sebuah pesan
pendek masuk kedalam handphone. Adilla
sedang mengetik pada laptopnya. Diambilnya handphonenya. Adilla tersenyum
membaca sebuah pesan pendek. Mas
Dill, terima kasih atas semua bantuan
mas Dill pada saya. Semoga Allah membalas semua kebaikan mas Dill pada saya.
Amien. Ninda.
Adilla menyimpan hasil ketikannya pada
laptopnya. Kebetulan Ninda mengirim pesan pendek. Sejak membelikan mesin jahit
pada Ninda, hampir tiga bulan lalu, dia tidak
pernah kerumah Ninda lagi. Adilla
percaya Ninda akan sungguh-sungguh menjalankan usahanya. Gadis itu kelihatan gembira dan bersemangat sekali
ketika dibelikan mesin jahit. Adilla sendiri senang sudah bisa membantu Ninda
untuk memiliki usaha sendiri sehingga gadis itu diharapkan bisa hidup mandiri
dengan usahanya itu.
Namun Adilla malu mengakui, kini kerap
ada perasaan rindu pada gadis itu.
Selalu ada perasaan ingin bertemu dengan Ninda tiap kali dia teringat pada
Ninda. Namun dia berusaha menahan diri. Dia bahkan berusaha membunuh perasaan itu walaupun semakin dia
ingin membunuhnya, semakin sering perasaan rindu itu menggodanya. Adilla
istigfar dalam hati.
Dia sadar, dirinya sudah memiliki
istri dan anak. Dia tidak berpikir terlalu jauh akan mengkhianati perkawinannya
walaupun tindakannya yang sudah menolong Ninda seringkali membuatnya merasa
berdosa pada Asmi karena dia tidak bercerita sedikitpun tentang hal itu kepada
Asmi. Adilla sadar tindakannya salah. Namun dia merasa apa yang dilakukannya
pada Ninda benar, walaupun itu menurut pikirannya sendiri.
Adilla menekan nomor telepon Ninda.
“Assallamu’alaikum…..” suara Ninda
lembut menyapanya.
“Wa’alaikumsallam. Bagaimana kabarmu?”
tanya Adilla.
“Alhamdulillah baik. Bagaimana pula
kabar mas Dill?”
“Alhamdulillah, aku sehat-sehat saja.
Bagaimana usahamu?”
“Alhamdulillah, sampai hari ini lancar-lancar
saja, mas Dill. Terima kasih, ya, mas Dill telah membukakan jalan kepadaku
untuk memulai usaha ini dengan membelikan aku sebuah mesin jahit yang sangat
berguna sekali untuk memulai usahaku ini.”
Ninda lalu bercerita tentang usahanya,
tentang sarung-sarung bantal yang dibuatnya. Dia juga bercerita, sudah menambah
lagi pegawai untuk menjalankan usahanya.
“Ternyata tidak mudah menjalankan
usaha sendirian, mas Dill.” Ujar Ninda. ”Aku membutuhkan orang lain untuk
membantuku menjalankan usahaku ini. Kebetulan ada anak tetangga yang baru lulus
dari sekolah kejuruan. Dia pintar menjahit karena memang dia lulusan sekolah
menjahit. Aku mengajaknya bekerja denganku. Baru dua minggu aku mengambil
Ayuning bekerja denganku, aku sudah membutuhkan tambahan pegawai lagi. Banyak
pesanan yang datang. Aku tidak mungkin mengerjakannya berdua saja dengan
Ayuning. Kebetulan Ayuning menawarkan kedua teman sekolahnya dulu. Jadi
sekarang aku sudah punya tiga orang pegawai, mas Dill.”
“Kamu kedengarannya bersemangat
sekali, Ninda.” Komentar Adilla tersenyum. Dia ikut senang. Kegembiraan Ninda
terasa menular kepadanya.
“Ya, mas Dill. Aku senang sekali.”
Sahut Ninda. Tidak menyembunyikan kegembiraan dalam suaranya. “Sekarang aku
memiliki kegiatan. Aku punya usaha sendiri. Merintis usaha tidak mudah.
Membutuhkan kerja keras dan ketekunan. Tapi aku akan berusaha semaksimal
mungkin. Aku ingin memiliki masa depan yang baik. Seperti yang mas Dill ucapkan
padaku.”
Adilla tersenyum. “Yah, mudah-mudahan
usahamu semakin maju dan berkembang.”
“Kapan mas Dill akan kemari? Mas Dill
harus melihat sendiri usaha yang sedang aku jalankan ini.”
“Insya Allah, aku nanti kerumahmu.”
“Mas Dill janji, ya.”
“Insya Allah. Aku tidak janji, tapi
aku akan menyempatkan agar aku bisa
kerumahmu.” Kata Adilla.
“Aku tunggu.” Ujar Ninda. “Mas Dill,
aku ingin mas Dill kerumah. Aku ingin mas Dill melihat bahwa aku sudah
menjalankan usahaku dengan sebaik-baiknya. Aku tidak ingin mengecewakan mas Dill yang telah
berupaya membantu aku. Uluran tangan mas Dill aku manfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Allah Maha Pemurah. Aku diberi kelancaran dalam menjalankan
usahaku ini.”
“Ninda, aku senang mendengarnya. Aku percaya kamu pasti
sungguh-sungguh menjalankan usahamu.”
“Tapi aku belum bisa memberi apa-apa
pada mas Dill sebagai balas jasa atas segala kebaikan mas Dill padaku…..”
“Ninda, aku ikhlas membantumu.” Tukas
Adilla. “Aku tidak mengharapkan balasan apapun darimu. Aku hanya ingin engkau
bisa hidup mandiri. Aku ingin engkau memiliki kegiatan dan usaha untuk
bekal hidupmu. Aku senang kau sekarang nampak
bersemangat menjalankan usahamu.
Semangatmu itu akan mempermudah kau menjalankan usahamu. Mudah-mudahan ini baru
langkah awal, usahamu
nanti akan berjalan dan semakin berkembang lagi, akan semakin maju lagi.”
“Amien. Mas Dill, sekali lagi terima
kasih, ya.”
“Ya. Kamu tidak boleh murung lagi,
ya.”
“Apa aku kelihatan murung?” Ninda
tertawa. “Mungkin itu hanya penglihatan mas Dill saja. Insya Allah aku tidak
murung. Kalau soal sedih, yah manusiawi, namanya juga manusia, kadang senang,
kadang sedih, kadang suka, kadang duka. Setiap manusia kan pasti mengalami
hal-hal seperti itu.”
“Nanti
aku nelpon lagi, ya. Aku masih banyak pekerjaan.”
“Terima kasih ya, mas Dill. Maaf aku
mengganggu mas Dill. Aku tadi bingung. Kalau aku menelepon diluar jam kerja, khawatirnya mas Dill sedang ada
dimana. Jadi tadi aku memutuskan menelepon mas Dill pada jam kerja saja. Maaf
ya, mas Dill.”
“Tidak apa-apa. Aku senang kau kirim
sms jadi aku tahu nomor teleponmu.”
Terdengar Ninda tertawa pelan. “Aku
ada rejeki sedikit, jadi kubelikan handphone bekas. Aku membutuhkan handphone
untuk memudahkan aku berkomunikasi dengan pelanggan-pelangganku.”
“Tidak apa-apa handphone bekas pun,
asal masih bagus untuk dipakai berkomunikasi.”
Adilla menutup telpon genggamnya.
Ninda. Mengapa setiap menyebut nama Ninda selalu muncul perasaan sayang dalam
hatiku pada gadis itu? Apakah aku tidak keliru membedakan antara perasaan
sayang dan perasaan kasihan pada gadis
itu? Bila aku hanya sekedar kasihan kepadanya, aku tidak perlu menyimpan
perasaan rindu kepadanya. Namun perasaan sayang yang ada dalam hatiku kepadanya
selalu berbaur dengan perasaan rindu. Adilla mengalihkan kembali perhatiannya
pada pekerjaannya. Dia tidak ingin menunda-nunda pekerjaannya. Dia harus segera
menyelesaikan pekerjaannya agar bisa segera pulang. Dia kangen pada Anissa. Puterinya itu makin lama
wajahnya makin mirip Asmi. Adilla tersenyum. Matanya serius menatap layar laptop.
Jari jemarinya mulai bekerja pada laptopnya.
--- 0 ---
Adilla menarik napas dalam. Dia
menatap Ninda, merasakan keharuan-keharuan yang menyesakan perasaannya setiap kali dia menatap wajah Ninda.
Kesederhanaan dan kerendahan hati gadis itu telah mengikat perasaannya terhadap
gadis itu. Sesuatu yang ingin diutarakannya kepada Ninda terasa mengantung
diujung lidahnya. Sekarang atau tidak
sama sekali, pikir Adilla. Kalau aku tidak mengucapkannya pada Ninda sekarang,
berarti aku tidak akan pernah lagi mengucapkannya kepada Ninda.
“Ninda…..”
Ninda mengangkat wajahnya. Dia menatap
Adilla. Merasakan getaran-getaran halus pada sepasang mata Adilla yang begitu
lembut menatapnya.
“Ninda, aku akan menemani langkah-langkahmu menuju masa depanmu.
Aku akan menikahimu…..”
Lama sekali Ninda
menatap Adilla seakan tidak
percaya dengan apa yang baru saja
diucapkan Adilla kepadanya.
“Apakah aku tidak salah mendengar
dengan apa yang baru saja mas Dill katakan kepadaku?”
“Tidak. Kau tidak salah mendengar,
Ninda. Aku serius, aku akan menikahimu…….”
Ucapan Adilla terlalu mengejutkannya. Ninda menatap Adilla
tak percaya dengan apa yang didengarnya dari mulut lelaki itu. Pertemuannya
kembali dengan Adilla telah merubah kembali jalan hidupnya. Adilla mengulurkan
tangannya pada saat dirinya tengah dalam keadaan terpuruk. Kehadiran Adilla
terasa memberikan kebahagiaan dalam hidupnya pada saat dia tengah terseok-seok
melangkah, menggapai secercah harapan ditengah kepedihan dan kepahitan
hidupnya. Dia meyakini, pertemuannya kembali dengan Adilla adalah kehendak
Allah. Allah jua yang telah menentukan
segalanya. Bertemu kembali dengan Adilla bukan hanya merubah kemballi jalan
hidupnya, mengangkatnya dari keterpurukan, namun sekaligus membangkitkan
kembali kenangan masa lalunya bersama lelaki itu. Dia tidak bisa mengingkari, cinta itu masih
ada dihatinya walaupun dia tahu Adilla sudah tidak sendiri lagi.
Dia tidak bisa menepis cinta
dihatinya, setiap hari cinta itu tumbuh semakin subur dan berkembang. Jauh
lebih indah
daripada yang dirasakannya dulu ketika
dia masih bertunangan dengan Adilla.
Sekarang, Adilla mengucapkan kalimat itu. Ya Allah, benarkah Adilla akan
menikahiku? Benarkah Adilla menginginkan aku menjadi istrinya? Ya Allah,
berilah aku sebuah kepastian. Janganlah aku dipermainkan oleh sebuah harapan indah apabila harapan
itu hanya sekedar harapan semu yang tidak akan pernah terwujud. Ninda menunduk,
menyembunyikan matanya yang basah.
“Kenapa engkau menangis? Apakah engkau
tidak suka menjadi isteriku? Apakah engkau tidak mau menikah denganku?”
Ninda mengangkat wajahnya. Dia tidak
menyembunyikan airmatanya yang mengalir membasahi pipinya.
“Mas Dill, aku terkejut mendengar ucapanmu. Aku
terkejut sekaligus bahagia.” Ucap Ninda tersendat menahan tangis. “Aku tak
pernah menduga mas Dill akan mengucapkan kata itu kepadaku. Sekian tahun lalu, aku pernah berharap begitu indah bahwa suatu saat
aku akan menikah dengan mas Dill. Aku mengira, kehidupan akan tetap berjalan
mulus dan indah
seperti rencana yang ada dalam pikiranku. Aku tidak menduga, dalam kehidupan
segala hal bisa terjadi dan berubah dalam tempo waktu yang singkat. Aku……..aku
terpukul sekali ketika mas Dill memutuskan pertunangan kita. Aku lebih terpukul
lagi ketika tidak lama kemudian mas Dill menikah dengan wanita lain…….”
“Ninda, kamu tidak usah
membicarakan masa lalu. Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Yang kita bicarakan
adalah saat ini dan bagaimana kedepan.”
“Bila aku berbicara tentang mas Dill
dan aku, aku tidak akan bisa melepaskan dari cerita masa lalu. Masa lalu
diantara kita adalah nyata ada dan terjadi. Tidak akan bisa kita hapus begitu saja.”
“Ninda, aku minta maaf bila dulu aku
menyakiti perasaanmu.”
“Mas Dill tidak perlu minta maaf
karena aku sendiri pun banyak melakukan kesalahan kepada mas Dill. Baru
kusadari kesalahan-kesalahanku justri setelah mas Dill pergi dariku dan menikah
dengan wanita lain.” Ninda menghapus airmatanya. “Sekarang mas Dill kembali
lagi kepadaku, seakan ingin membuka kembali lembaran-lembaran yang pernah kita bukukan dimasa
lalu…..Bagaimana dengan mbak Asmi?
Apakah mas Dill sudah membicarakan hal ini dengan mbak Asmi? Apakah mas Dill sudah meminta keikhlasan mbak
Asmi?”
Adilla diam sejenak. “Aku belum bicara
apa-apa tentang dirimu kepada Asmi. Bahkan Asmi belum tahu tentang hal ini.
Namun aku tetap akan menikahimu…….”
Ninda menggeleng. “Tidak, aku tidak
ingin merebut mas Dill dari mbak Asmi. Aku ingin mas Dill berbicara terbuka
pada mbak Asmi mengenai mas Dill dengan aku. Aku pernah merasa sakit hati
ketika mas Dill menikah dengan mbak Asmi.
Aku pernah merasakan bagaimana sakit hatiku ketika cintaku terenggut.
Aku tidak akan melakukan hal yang sama karena aku tahu betapa sakitnya ketika
lelaki yang kucintai menikah dengan wanita lain…….”
“Tapi engkau bersedia menikah
denganku?”
Ninda tidak menjawab. Dia hanya
menangis. Lalu kepalanya mengangguk perlahan. “Seandainya memang Allah
berkehendak kita berjodoh…….”
Malam itu Ninda menangis dalam
sujudnya. Ya Allah, seandainya memang mas Dill adalah jodohku yang selama ini
aku cari, yang selama ini aku minta dalam doa-doaku kepadaMu, berilah aku
petunjuk, ya Allah.
--- 0 ---
Arisan bulan ini diselenggarakan
dirumah Ratih. Ratih memesan beberapa macam kue pada Asmi untuk arisan yang
akan diselenggarakan lusa.
“Ini arisan terakhir ya bu Asmi.” Kata Ratih. “Biasanya kalau
arisan terakhir hampir semua peserta datang berkumpul sambil membicarakan
rencana selanjutnya, kapan arisan akan dimulai lagi.”
“Oh, iya? Saya tidak tahu kalau lusa
arisan terakhir, bu.” Ujar Asmi.
“Soalnya bu Asmi jarang hadir sih.
Tapi lusa bu Asmi harus menyempatkan
hadir, ya. Sambil berkumpul sekalian kita bersilaturahmi. Kita tingga satu
kompleks namun karena kesibukan kita masing-masing sehingga kita nyaris tidak
pernah bertemu satu sama lainnya, jadi arisan ini adalah kesempatan yang bagus
buat warga kompleks untuk bisa bertemu dan bersilaturahmi.”
“Benar, bu Ratih. Insya Allah saya
akan datang.”
“Saya pesan kue-kue untuk acara lusa,
ya.” Kata Ratih. Ratih menuliskan beberapa macam kue pesanannya. Lalu kertas
itu diserahkan kepada Asmi. Ratih tersenyum menatap Asmi.
“Bu, saya sebenarnya tidak enak lho
mau menyampaikannya pada bu Asmi, tapi sepertinya saya perlu menyampaikan hal
ini kepada bu Asmi. Kita kan
sama-sama wanita, ya. Jadi sepertinya harus ada rasa saling toleransi antara
sesama wanita.”
“Apa, bu?”
“Maaf ya, bu. Saya juga mendengar
dari ibu-ibu yang lain, artinya saya
tidak pernah melihat secara langsung. Begini, bu……” Ratih menatap Asmi sesaat
seakan masih ragu untuk menyampaikan sesuatu hal kepada Asmi.
Asmi menunggu apa yang akan
disampaikan Ratih kepadanya.
“Masa sih bu Asti belum mendengar?”
“Apa bu?”
“Pak Adilla sekarang punya gandengan
baru. Hati-hati lho, bu. Wanita yang sering kelihatan bersama pak Adilla cantik
sekali. Banyak yang bilang begitu kepada saya. Tapi saya sendiri belum pernah
memergoki pak Adilla bersama dengan gandengan barunya itu.”
Asmi menahan perasaannya. Dia tidak
mau cepat terpengaruh dengan ucapan Ratih.
“Oh, ada gossip tentang suami saya ya,
bu?” Asmi tersenyum, berusaha santai.
“Sepertinya sudah bukan gossip lagi,
bu Asmi. Nampaknya memang benar pak Adilla memiliki gandengan seorang wanita
cantik. Malah beritanya pak Adilla sering sekali terlihat keluar dari rumah
wanita itu.”
“Aduh, saya berterima kasih bu Ratih
sudah memberitahu saya tentang gossip
suami saya, tapi saya tidak mau merusak hubungan saya dengan suami saya tanpa
saya mengetahui apakah gossip itu memang hanya sekedar gossip ataukah memang
benar bahwa suami saya memiliki wanita
lain.”
Ratih tersenyum. “Bu Asmi bijak sekali. Saya juga berharap gossip yang
saya dengar itu hanyalah sekedar gossip. Mudah-mudahan tidak demikian adanya.
Saya juga bisa menilai, pak Adilla nampaknya seorang suami yang baik. Tidak
mungkin pak Adilla akan tega mengkhianati bu Asmi. Tapi kita sebagai istri
perlu juga waspada, bu. Maafkan saya ya, bu Asmi. Jangan lupa pesanan saya
untuk lusa dan bu Asmi datang ke arisan, ya.”
“Insya Allah.” Sahut Asmi. “Soal
pesanan kue, pagi-pagi pun insya Allah sudah diantar kerumah ibu.”
“Terima kasih, bu Asmi.’
Setelah Ratih pulang, Asmi merasa lemas tubuhnya. Dia tidak percaya
Adilla akan tega mengkhianati cintanya. Pada saat perkawinan mereka sedang
menunjukan perkembangan yang sangat membahagiakan. Perekonomian yang mulai
merangkak naik. Anak yang cantik dan sehat.
Hubungan suami istri yang harmonis. Tidak mungkin Adilla memiliki wanita
lain. Namun walaupun dia tidak percaya, ucapan Ratih terasa mengganggu perasaannya.
Tidak, pikir Asmi. Aku tidak boleh
terpengaruh dengan gossip-gosip yang tidak jelas. Aku tidak boleh membuat
perkawinanku menjadi rusak hanya karena aku tidak bijak dalam menghadapi
rongrongan yang ingin merusak perkawinanku. Sudah banyak contohnya perkawinan
yang jadi berantakan karena istri yang tidak bijaksana dalam menyaring
rongrongan yang ingin merusak
perkawinan. Aku tidak mau hal itu terjadi dalam perkawinanku yang sudah dengan susah payah bertahun-tahun
lamanya aku bersama Adilla bangun bersama-sama. Asmi berusaha melupakan ucapan
Ratih. Ketika malam itu Adilla pulang kerja, Asmi sudah menyiapkan masakan yang
istimewa kesukaan Adilla. Sambil makan, diam-diam Asmi memperhatikan Adilla.
Tidak ada yang berubah pada Adilla. Adilla masih tetap Adilla seperti yang dikenalnya selama ini. Asmi
mencoba berpikir jernih. Dalam sebuah perkawinan, selalu saja ada banyak cobaan
dan godaan. Salah satunya adalah ketika perkawinan dilanda gossip. Dan aku
tidak mau perkawinanku rusak karena aku percaya kepada gosiip, pikir Asmi.
Namun hari-hari selanjutnya, bukan
hanya Ratih. Usai arisan dirumah Ratih, Asmi mendengar berita yang hampir sama
seperti yang didengarnya sebelumnya dari Ratih. Sinta. Vera. Yuli. Dan
wanita-wanita lain yang membawa berita yang tidak menyenangkan tentang Adilla
dengan seorang wanita.
Malam itu Asmi sudah tidak bisa
menahan perasaannya lagi. Dia harus
menanyakan kebenaran berita itu pada Adilla.
Adilla datang jam sepuluh lewat lima belas menit.
Seandainya kepalanya tidak sumpek
setelah dijejali berita tentang Adilla dengan seorang wanita cantik, sebenarnya kedatangan Adilla jam sepuluh
lewat adalah hal biasa buatnya. Dan selama ini dia tidak pernah
mempermasalahkan Adilla datang jam berapapun. Dia sangat mendukung pekerjaan
dan karier suaminya. Sebagai istri yang mengalami perjalanan suaminya dari
bawah, sejak masih kuliah, lulus, menganggur, mencari pekerjaan dan akhirnya
mendapat pekerjaan, dia memahami
bagaimana Adilla berjuang untuk kepentingan keluarganya. Namun kini, kecurigaan dan syak wasangka itu
sudah memenuhi kepalanya yang hampir pecah.
Dadanya sendiri sudah terasa panas digolakkan api cemburu.
Tanpa menunggu Adilla berganti
pakaian, Asmi sudah memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaannya.
“Kenapa pulang terlambat?”
“Banyak pekerjaan dikantor.” Sahut
Adilla, matanya langsung menatap Asmi, seakan sudah merasa bahwa ada sesuatu
hal yang sedang terjadi pada isterinya.
“Banyak pekerjaan dikantor.” Ulang
Asmi dengan sinis. Airmatanya sudah
menggantung diujung matanya. “Kenapa kau membohongi aku, Dill? Kenapa kau tega
membohongi aku? Apa yang salah denganku selama menjadi isterimu? Apa yang
kurang dari pengabdianku selama ini kepadamu?
Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik bagimu? Aku sudah berusaha
semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik kepadamu.”
“Ada
apa?” Adilla menatap istrinya dengan kening berkerut.
Airmata Asmi sudah tidak bisa
dibendung lagi. Hatinya yang panas dilanda perasaan cemburu seakan membludak
dalam tangisannya.
“Siapakah wanita yang sering kau temui
itu? Siapa? Kenapa kau tega mengkhianati aku?”
Adilla menatapnya. Diam. Kini dia
mengerti.
“Siapa yang memberimu berita yang
tidak benar?”
“Tidak penting dari siapa aku
mendengar berita tentangmu, yang kuinginkan adalah jawabanmu, apakah berita itu
benar atau tidak?” Asmi menatap Adilla. Mendadak dia teringat sesuatu. Tidak
mungkin ada maling yang mau mengaku. “Oh, tidak. Aku tidak membutuhkan
jawabanmu mengenai kebenaran berita itu. Yang jelas, sudah banyak yang tahu
mengenai kau dengan wanita itu.”
“Sini duduk.” Adilla menarik
tangannya.
“Mungkin berita yang kau dengar itu
sebagian benar adanya.” Kata Adilla pelan.
Hati Asmi mendadak sakit. Maling itu
akhirnya akan mengaku juga.
“Namun aku juga tidak akan membenarkan
berita itu.” Ucap Adilla lagi. “Aku
tidak berselingkuh seperti dugaanmu. Aku tidak mengkhianati perkawinan kita.
Aku tetap setia kepadamu.”
“Tidak mungkin ada asap kalau tidak
ada api.”
“Maafkan aku, Asmi. Aku mungkin salah
tidak memberitahumu tentang hal ini. Namun andaikan aku memberitahumu mengenai
hal ini, aku sendiri tidak tahu darimana harus memulainya dan aku tidak bisa
menebak bagaimana reaksimu…….”
“Jangan berbelit-belit. Aku tidak
mengerti. Kau mengakui ada kebenaran dari berita yang disampaikan orang
kepadaku. Siapakah wanita itu? Dill,
jujurlah padaku, siapakah wanita yang sekarang ramai digosipkan orang denganmu
itu?”
Adilla menatap wajah Asmi. Matanya
seakan bimbang. Dia tidak segera
menyahut.
“Aku
ingin kejelasan darimu mengenai wanita itu.” Desak Asmi.
“Kau sudah mengenalnya.” Sahut Adilla.
Asmi menatap Adilla tidak mengerti.
“Siapa?”
“Ninda.”
“Jadi….” Asmi tergagap. Tak percaya
mendengar pengakuan Adilla. “Jadi selama ini kau masih berhubungan dengan
Ninda?”
“Tidak. Aku bertemu Ninda enam bulan
lalu. Keadaannya sekarang sudah berubah. Sudah berbeda dari dulu ketika aku dan
engkau mengenalnya lima
tahun lalu. Perusahaan ayahnya sudah
bangkrut. Mereka kini hidup sangat
sederhana. Rumah besar mereka sudah dijual, kini mereka menempati rumah kecil
sederhana dipinggiran kota. Ninda bahkan tidak melanjutkan kuliahnya
karena orangtuanya sudah tidak memiliki biaya lagi. Terus terang aku sangat trenyuh melihat
keadaan Ninda saat. Dia patut
dikasihani, Asmi.”
“Tapi kau sudah jadi suamiku, Dil. Apa
perlunya rasa kasihan itu?”
“Asmi, kita tidak pernah tahu apa yang
bakal terjadi dalam hidup kita. Demikian pula dengan Ninda. Dia pasti tidak
menduga apabila ayahnya akan mengalami kebangkrutan. Terus terang, aku tidak
tega melihat kondisi Ninda, Asmi. “
“Karena dia bekas tunanganmu?”
Adilla terdiam sesaat. “Ya, mungkin
itu salah satu sebabnya mengapa keadaan Ninda membuat aku merasa kasihan
kepadanya.,”
”Kau masih mencintainya?”
“Tidak.”
“Kau tidak perlu berdusta padaku, Dil.
Kau masih mencintai Ninda. Kalau tidak, apa perlunya engkau sering
mengunjunginya sehingga banyak orang
yang tahu kau sering datang kerumah Ninda.” Airmata Asmi berhamburan. Dia
merasakan perutnya sakit. Adilla memburunya. Namun Asmi menepisnya.
“Aku tidak bisa menerima apapun
alasanmu, Dill. Berhentilah berhubungan dengan Ninda.”
“Asmi, kau harus melihat sendiri
bagaimana keadaan Ninda sekarang.”
“Aku tidak perduli dan merasa tidak
punya urusan dengan Ninda. Aku tidak perlu tahu bagaimana keadaan dia sekarang.
Yang kuinginkan adalah engkau berhenti berhubungan dengan Ninda.”
Mendadak Asmi seakan teringat sesuatu.
Dia menatap Adilla dengan perasaan curiga. “Tempo hari engkau pernah berbicara
tentang poligami, apakah ini yang kau maksud bahwa kau akan menikahi Ninda?”
“Asmi, aku tidak berpikir sejauh itu.”
Namun Asmi sudah pergi.
Adilla merasa perlu selesai bicara
dengan Asmi. Dia menunggu Asmi hingga masuk kekamar. Ketika istrinya masuk
kekamar, Adilla mengawasinya dari tempat tidur. Asmi duduk didepan meja rias
sambil membersihkan wajahnya. Adilla menunggu. Biasanya Asmi akan terus bicara
selama masih ada uneg-uneg yang mengganjal dalam hatinya. Benar saja, selesai
membersihkan wajahnya, Asmi menatap Adilla serius.
“Kalau kau masih berhubungan dengan Ninda, aku
minta cerai.”
“Aku tidak akan menceraikamu.”
“Kalau begitu jauhi Ninda. Aku tidak ingin dia jadi duri dalam
perkawinann kita.”
“Aku tidak bisa menjauhi Ninda,
Asmi. Aku merasa kasihan
kepadanya. Dia sudah kehilangan ayahnya. Ibunya tidak punya pekerjaan.
Ninda sendiri tidak bekerja. Mereka sudah tidak memiliki apa-apa lagi kecuali
rumah yang mereka tempati sekarang.”
”Aku tidak mau kondisi mereka yang
menurutmu memprihatinkan kau jadikan alasan untuk merekatkan kembali hubunganmu
dengan Ninda. Kau pilih satu, aku atau dia. Aku tidak bisa membiarkan kondisi
rumah tangga kita menjadi seperti ini.”
“Tidak bisakah engkau menaruh belas kasihan pada Ninda? Kondisimu
sekarang jauh berbeda dengan Ninda. Kau sekarang seorang pengusaha roti dan kue
yang berhasil. Kau sudah sukses. Sementara
Ninda sekarang sudah jatuh miskin.”
“Jadi
kemiskinan dia itu yang telah
membuatmu merasa kasihan dan berubah pikiran agar cinta lama bersemi kembali?”
“Jujur saja kukatakan, ya. Keadaan
Ninda yang membuat aku merasa kasihan dan merasa perlu membantunya.”
Asmi menatap Adilla dengan marah.
“Sia-sia pengorbananku selama ini.” Ucap Asmi dengan suara serak menahan
tangis. “Aku susah payah mendampingimu sejak kamu masih kuliah. Sejak dulu aku
bekerja keras membanting tulang agar
rumah tangga kita bisa tetap berjalan, agar perekonomian keluarga kita
semakin membaik. Namun sekarang inilah balasannya darimu. Disaat kau sudah bisa
hidup mapan, kau berpaling pada wanita lain. Adilla, aku tidak bisa menerima
ini. Aku minta cerai. Ceraikan aku. Tanpamu aku bisa hidup mandiri.”
“Asmi, aku tidak berniat
menceraikanmu.” Adilla menyahut lembut. Dia memahami kemarahan Asmi. Namun
untuk bercerai, hal itu tidak pernah terlintas dalam benaknya. Dia masih
mencintai Asmi. Dia masih ingin hidup bersama Asmi. Mengenai dia mencintai
Ninda, itu persoalan lain lagi.
“Tidak. Aku akan tetap minta cerai bila
kau masih berhubungan dengan Ninda.” Kata Asmi keras. “Pergilah kau pada wanita
itu. Biarkan aku sendiri. Kau tak perlu merisaukan aku. Tanpamu pun aku bisa
menghidupi Anisa.”
“Sombong benar kau ini.” Adilla
menatap marah pada Asmi. “Tidak sepantasnya kau mengucapkan kata-kata arogan
seperti itu pada suamimu.”
Asmi hanya membalikkan tubuhnya
membelakangi suaminya. Dia sudah berubah, pikir Adilla geram. Ya, Asmi sekarang
sudah berubah karena merasa dirinya sekarang sudah sukses sebagai seorang
pengusaha. Dia sudah tidak membutuhkan aku lagi. Dia merasa sudah bisa hidup
mandiri. Mendadak keegoan Adilla
terusik. Asmi memang sudah tidak membutuhkan aku lagi, namun Ninda
sangat membutuhkan aku. Bersama dengan
Ninda aku merasa dibutuhkan, aku merasa diriku sebagai lelaki sejati. Setiap
uluran apapun yang kuberikan kepada Ninda, Ninda selalu menyambutnya dengan penuh rasa syukur.
Sekecil apapun pemberianku kepada Ninda, Ninda selalu menerimanya dengan penuh
rasa terima kasih. Dia tidak melihat besar kecilnya pemberianku kepadanya. Yang
dilihat Ninda adalah perhatianku kepadanya. Ninda benar-benar membutuhkan aku.
--- 0 ---
Telepon genggamnya berbunyi. Adilla
melihat teleponnya. Ibunya meneleponnya.
“Dill, mamah ingin bicara denganmu.”
Kata Nani. “Pulang kerja kamu kerumah mamah. Mamah tunggu, yah.”
“Ada apa, mah?”
“Pokoknya pulang kerja kamu kerumah
dulu, ya.”
“Papah sakit?”
“Tidak ada yang sakit. Mamah ingin
bicara denganmu. Penting.” Kata ibunya.
“Ya, mah. Pulang kerja saya langsung
kerumah mamah.” Kata Adilla.
Adilla
menduga, pasti ada sesuatu hal yang penting yang ingin dibicarakan
ibunya kepadanya. Sesuatu yang penting? Apa? Dalam hati Adilla bertanya-tanya. Dari nada bicaranya, ibunya seolah mendesak
dia harus hari ini juga kerumah.
Dirumahnya, Nani, ibunya Adilla berusaha menyibukan dirinya dengan segala
pekerjaan. Namun pikirannya selalu kembali dan kembali lagi pada Adilla, anak
bungsunya. Adilla memang sudah dewasa. Namun sebagi ibunya, dia tetap memiliki
kewajiban untuk mengingatkan dan menegur anaknya agar tidak salah melangkah.
Adilla anak bungsunya, anaknya yang paling penurut. Sejak kecil Adilla tidak
pernah membantah kata-kata orangtuanya. Dibandingkan dengan kedua kakaknya,
Wisnu dan Farhan, Adilla adalah buah hatinya yang paling manis.
Buat Nani, justru terasa aneh mendengar gossip Adilla
berselingkuh. Adilla tidak seperti Wisnu yang senang berganti-ganti pacar.
Bukan saja ketika masih bujangan, namun bahkan setelah menikah pun Nani tahu
Wisnu masih memiliki banyak wanita lain selain istrinya. Berulangkali Nani
mencoba menasehati anaknya yang sulung itu. Kasihan Maya istrinya. Namun segala
nasehat dan wejangan sudah tidak mempan lagi pada Wisnu. Akhirnya Nani
membiarkan saja. Wisnu sudah kelewat dewasa untuk dinasehati seperti itu
walaupun oleh ibu kandungnya sendiri. Farhan nampaknya rukun berumah tangga
dengan Desi. Nani hampir tidak pernah mendengar berita apapun yang tidak
menyenangkan mengenai rumah tangga anak keduanya. Dia melihat Farhan dan Desi
hidup rukun dengan ketiga anak mereka.
Namun kini si bungsu Adilla yang
menjadi pikirannya. Dia sudah beberapa kali mendengar gossip Adilla memiliki
wanita lain. Nani hapal sifat Adilla. Dia tidak seperti Wisnu. Bahkan Adilla
sebelum bertunangan dengan Ninda, hanya pernah pacaran sekali dengan Meisya,
teman seklub tenis waktu sekolah. Hubungan mereka tidak lama. Lalu Adilla
bersahabat dengan Asmi. Nampaknya dalam persahabatan itu Adilla menemukan kecocokan dengan Asmi.
Asmi bukan hanya sekedar sahabat bagi Adilla. Namun Adilla menemukan hal lain
pada Asmi. Waktu juga yang akhirnya menentukan bahwa ternayata Asmi adlah jodoh
Adilla. Namun sekarang, disaat perkawinan mereka sudah berjalan lima tahun,
mendadak Nani merasa risau mendengar berita Adilla berselingkuh. Kasihan Asmi.
Padahal selama lima tahun berumah tanggga, kelihatannya perkawinan Adilla dan
Asmi baik-baik saja. Mereka kelihatan saling mencintai dan saling menyayangi.
Kenapa sekarang tiba-tiba muncul berita yang tidak menyenangkan ini? Nani
merasa perlu meminta penjelasan pada anaknya. Sebelum segalanya terlambat. Nani
yakin, Adilla masih anaknya yang dulu, yang baik, yang penurut, yang tak pernah
membantah nasehat dan ucapan orangtua. Berkali-kali matanya melihat pada jam
dinding. Dia sudah tidak sabar menunggu
Adilla.
Pulang kerja Adilla membelikan
buah-buahan untuk ibunya. Lalu mobilnya
meluncur menuju rumah ibunya. Bi Siti, pembantu tua yang telah sekian puluh
tahun lamanya ikut dengan keluarga
mereka, bahkan sejak dia masih merangkak, menyambut kedatangannya dengan gembira.
Apalagi ketika Adilla memberinya uang, serangkaian doa meluncur dari mulutnya
yang keriput.
“Terima kasih, mas Dill. Bibi doakan
mas Dill banyak rejeki, banyak anak, dan banyak yang mencintai…….”
“Terima kasih. Wah doanya keren
sekali.” Adilla tertawa, lalu bergegas masuk kedalam rumah. Benar saja ibunya
sudah menunggunya. Perasaan Adilla langsung tidak enak melihat tatapan mata ibunya yang serius.
“Ada
apa, Mah?”
“Duduk sini dekat mamah.” Ucap Nani.
“Ya.” Adilla duduk disamping ibunya. “Ada apa, mah?”
“Mamah mau bicara langsung saja padamu,
Dill. Mamah tidak suka bicara bertele-tele. Apalagi ngedongeng. Begini, mamah
sudah beberapa kali mendengar berita tidak sedap mengenai dirimu.” Nani
memulai. “Kabarnya engkau memiliki wanita lain. Istilahnya, kau berselingkuh,
Apakah semua itu benar?”
Adilla tidak segera menjawab mendengar
pertanyaan ibunya.
“Adilla, mamah percaya kepadamu. Kamu
anak mamah yang baik. Sejak dulu kamu adalah anak mamah yang baik. Mamah
berharap engkau pun bisa menjadi suami dan ayah yang baik. Mamah ingin engkau
menjadi suami dan ayah teladan bagi istri dan anak-anakmu. Siapakah wanita
itu?”
“Mah,”
ucap Adilla pelan. “Mungkin berita yang sampai pada mamah itu, mungkin
benar namun mungkin juga tidak sepenuhnya benar.”
“Jangan bertele-tele, mamah ingin kamu
jujur pada mamah.”
“Mah, saya ingin menjelaskannya terlebih dahulu pada mamah agar mamah tidak
salah faham dan tidak menyalahkan saya.”
“Apapun alasanmu, namun perselingkuhan tetap tidak bisa dibenarkan,
Adilla.” tukas ibunya.
“Mah, dengarkan dulu. Saya bertemu
Ninda……..”
“Ninda? Ninda yang mana?” Nani
mengerutkan keningnya.
“Ninda bekas tunangan saya dulu…..”
“Astagfirullahual’adziem….. jadi kau
berselingkuh dengan Ninda, Adilla?”
“Mah, dengarkan dulu. Saya bertemu
dengan Ninda di apotik ketika dia sedang membeli obat untuk ayahnya yang sakit.
Kami mengobrol. Dari obrolan itu saya mengetahui keadaan Ninda sekarang. Mah,
perusahaan oom Yoga sudah bangkrut. Mereka sekarang sudah tidak memiliki
apap-apa lagi. Bahkan rumah besar yang mereka miliki sudah terjual. Kini mereka
menempati rumah kecil sederhana dipingggiran kota. Rizal, lelaki yang merusak pertunangan
saya dengan Ninda, ternyata menipu Ninda. Bahkan pak Hajar, ayah Rizal, yang
telah membuat perusahaan ayah Ninda bangkrurt.”
“Adilla, persoalan keluarga Ninda
bukan urusanmu. Apa perlunya kamu ikut campur?”
“Mah, aku kasihan melihat keadaan
Ninda sekarang.”
“Adilla, mamah sudah tahu perusahaan
pak Yoga bangkrut, mamah sudah lama
mendengarnya, namun apa perlunya
engkau ikut campur dengan urusan
keluarga mereka? Kau jangan sok jadi pahlawan, Dill.”
“Mah, oom Yoga sudah meninggal. Terus terang aku tidak tega
melihat penderitaan Ninda……”
“Apa maksudmu, Adilla? dulu engkau
memutuskan pertunanganmu dengan Ninda,
namun sekarang engkau menjalin lagi
hubungan dengan Ninda.”
“Ma, Ninda sekarang tidak memiliki
apa-apa lagi. Keadaannya sudah bertolak belakang dengan keadaannya dulu ketika saya dengan Ninda
masih bertunangan. Saya kasihan melihat keadaaannya. Saya kasihan melihat kondisi Ninda yang seperti
itu.”
“Tapi kau sudah punya istri, Adilla.
Bagaimanapun kondisi Ninda, betapapun
kau merasa iba dan kasihan kepada Ninda
dengan keadaaannya, segalanya sudah
bukan urusanmu lagi. Kamu sudah menikah. Kamu sudah menjadi suami dan memiliki
anak. Ingat Adilla, mamah tidak ingin menderngar lagi gossip-gosip kau
berselingkuh. Perkawinanmu dengan Asmi
harus kau jaga dengan sebaik-baiknya. Perkawinan adalah amanah buatmu. Kau harus bisa menjaga
amanah itu dengan sebaik-baiknya.”
“Mah, jujur saja, aku tidak tega
melihat keadaa Ninda.”
“Tega atau tidak tega, kau harus
menutup mata dari Ninda. Kewajibanmu adalah mengurus rumah tanggamu dengan
Asmi. Bukan mengurus perempuan lain
diluar perkawinanmu.”
“Mamah, bila apa yang terjadi pada
Ninda menimpa keluarga kita, mamah pasti
bisa merasakan bagaimana perasasan Ninda
sekarang. Dulu Ninda hidup serba berkecukupan, sekarang dia hidup dalam serba
kesederhanaan……”
“Adilla, mamah tidak mau
kamu bicara panjang lebar,
apalagi berdebat dengan mamah. Putuskan hubunganmu dengan Ninda, dan jangan menemui Ninda lagi. Kau urus rumah tanggamu sendiri.”
Washyudi muncul mendengar suara-suara tegang diruangan
tengah. Dia melihat anak dan ibu sama tegangnya. Wahyudi duduk dihadapan
mereka. Matanya melihat pada istri dan anaknya berganti-ganti.
“Ada
apa?” Tanya Wahyudi.
TIdak
ada yang menyahut. Baik Adilla
maupun ibunya hanya diam saja. Adilla merasa tidak perlu memberikan
penjelasan. Dia sendiri terperangkap dalam kebingungannya sendiri. Benar, dia
telah bicara serius pada Ninda, namun dia belum siap untuk membicarakan
mengenai hal itu dengan keluarganya. Apalagi dengan ayah dan ibunya.
Baru sekarang Adilla menyadari, betapa berat beban perasaannya menjalani
perselingkuhan, walaupun dia memiliki niat yang baik pada Ninda. Bagaimanapun,
seandainya dia menikahi Ninda, pasti keluarganya tidak akan menyetujui
rencananya. Akan menentang rencana itu habis-habisan. Apapun alasannya.
Kasihan. Iba. Cinta. Atau pun sayang. Alasan apapun tidak akan diterima ayah ibunya. Dia tetap
akan disalahkan. Tidak aka nada yang mendukungnya untuk berpoligami. Tidak ada
dalam sejarah keluarga mereka yang berpoligami. Bahkan seolah poligami adalah
hal yang tabu dalam keluarga mereka. Kini dia seolah menentang arus. Dan dia
harus siap menghadapi kecaman dan seribu satu macam ucapan yang akan
menyerangnya.
“Ada
apa, nih?” Tanya Wahyudi sekali lagi ketika tidak ada yang menjawab.
“Adilla….” Sahut Nani
sambil melirik anaknya, yang duduk terpekur sambil menunduk,
“Kenapa dengan Adilla?” Wahyudi
ikut melirik anak bungsunya.
“Soal yang kemarin mamah ceritakan
pada papah.” Ucap Nani. Dia melihat Adilla duduk terpekur disampingnya.
“Ternyata setelah ditanyakan pada Adilla, gosip itu benar. Adilla benar punya
wanita lain. Ninda, pak. Ninda bekas tunannganya dulu. Ternyata cinta lama
bersemi kembali.”
Wahyudi tersenyum melihat sikap
istrinya yang demikian serius. Sudah dua hari, yang dibicarakan istrinya hanya
masalah Adilla. Begitu serius istrinya menanggapi berita perselingkuhan Adilla.
“Lalu, bila benar Adillla punya wanita
lain lagi, apalagi seperti yang mama ucapkan barusan, cinta lama bersemi
kembali, kenapa jadi mamah yang kelihatan begitu repot? Dari kemarin mamah mengomel terus, bicara terus tidak ada habis-habisnya.
Seolah-olah Adilla punya wanita lain
beritanya lebih hebat, lebih heboh, lebih menggemparkan dibandingkan dengan
berita-berita lainnya di koran-koran, ataupun
berita ditelevisi.”
Nani
agak bersungut mendengar ucapan suaminya.
“Niat mamah baik, pah. Adilla kan sudah punya anak
istri. Mamah ingin Adilla menjadi
lelaki yang baik dan bertanggungjawab.” Ucap Nani.
“Lantas, apa menurut mamah
perselingkuhan itu adalah sebuah
kejahatan?”
“Bukan sebuah kejahatan, tapi sebuah
perbuatan yang tidak terpuji yang dilakukan oleh seorang
suami terhadap istrinya.”
“Lalu apakah Adilla sudah mengakui
bahwa dia benar susah berselingkuh?”
“Dia sudah mengakui, benar dia
berselingkuh dengan Ninda.
“Mah!” Adilla langsung protes. “Saya
tidak pernah bilang saya berselingkuh dengan Ninda.”
“Lho, tadi kamu mengakui, kamu kasihan
pada Ninda dengan keadaaannya sekarang…..”
“Memang betul saya bicara begitu.” Potong Adilla. “Namun saya
tidak bilang bahwa saya berselingkuh dengan Ninda.”
“Sudah.” Potong Wahyudi. Dia lalu menatap
Adilla serius. “Papah sendiri sudah mendengar gosip kau punya wanita lain,
Dill. Papah tidak bisa berkomentar banyak. Kau sudah dewasa. Kau sudah bisa
menentukan sikap mana yang terbaik
untukmu. Papah juga pernah muda……”
“Yah, papah juga dulu waktu muda
bagaimana….” Sindir istrinya.
“Papah juga pernah muda, “ Wahyudi mengulangi ucapannya
sambil melirik istrinya. Nani
terpaksa diam menahan mulutnya dilirik seperti itu oleh suaminya.”Papah memahami bila kau
tergoda oleh wanita lain. Namun yang harus
kau ingat, godaan itu jangan sampai
merusak perkawinanmu, Adilla.”
“Papah bicara to the point aja deh,
pah.” Ucap istrinya. “Jangan bertele-tele begitu. Katakan pada Adilla agar dia menjauhi Ninda atau wanita lain manapun kalau ingin perkawinannya selamat.”
“Papah tidak akan bicara begitu pada
Adilla, mah.” Sahut Wahyudi. “Adilla sudah dewasa dan kita orangtua sudah tidak
pantas lagi terlalu mencampuri urusan pribadi anak-anak kita.”
“Tapi Adilla anak bungsu kita, pak.”
“Yah, Adilla memang anak bungsu kita.
Kita kadang lupa bahwa Adilla sudah dewasa, sudah punya istri dan anak. Kita
sering menganggap Adilla masih
anak-anak. Sementara pada Wisnu dan Farhan, kakak-kakak Adilla, dari dulu kita
sering menganggap mereka sudah dewasa. Namun sebenarnya Adilla pun sudah
dewasa. Dan dia berhak menentukan sikapnya sendiri tanpa kita sebagai orang tua
terlalu jauh mencampuri urusan pribadinya.”
“Terima kasih, pak.” Kata Adilla dengan
perasaan lega.
“Tapi kau juga jangan menyalahkan
mamahmu, Dill. Mamah memanggilmu
kemari karena mamah menunjukan perasaan sayangnya sebagai seorang ibu kepadamu.
Walaupun kau, juga kedua kakakmu Wisnu dan
Farhan sudah dewasa, sudah berumah tangga, namun seorang ibu tetap
seorang ibu, yang memiliki kasih sayang dan
perhatian yang tak terbatas pada anak-anaknya.”
“Ya, pah. Saya mengerti.” Ucap Adilla.
Dia memeluk ibunya. “Maafkan saya, mah.”
“Yah, mama hanya mengkhawatirkanmu, Dill.”
“Insya Allah saya bisa mengatasi
persoalan-persoalan saya, mah.”
“Mengatasi dan mencari persoalan adalah dua kalimat yang berbeda, Adilla.”
ucap nani seakan belum puas mengomeli
anak bungsungnya. “Mengatasi artinya
persoalan datang sendiri dan
kau berusaha menyelesaikan persoalan
itu. Namun mencari persoalan artinya kau
tidak memiliki persoalan apa-apa, namun kau mencari persoalan itu agar datang
menghampirimu. Contohnya, sebenarnya perkawinanmu dengan Asmi sudah berjalan bagus dan cukup
harmonis, namun ketika kau bertemu
Ninda, kau seolah mencari persoalan
dengan menjalin kembali hubungan
dengan Ninda. Hingga akhirnya timbul
persoalan dalam perkawinanmu,”
“Mah, sudahlah. Kita percayakan pada
Adilla. Dia sudah dewasa. Kita tidak
perlu mendikte dia.” Tukas Wahyudi, mencegah istrinya banyak bicara lagi.
Adilla pamit pada orangtuanya. Namun
dia baru akan masuk kedalam mobilnya ketika sebuah mobil masuk kehalaman rumah
orangtuanya.
“Dill.” Wisnu, kakak sulungnya memanggilnya, lalu bergegas turun dari dalam
mobilnya.
“Mas.”
“Wah, aku kemarin ketawa mendengar
gosipmu, Dill. Kau rupanya sekarang
sudah mulai berubah, ya? Bukan lagi anak mami yang baik dan penurut. Kau ada
kemajuan, ha…ha…. Kok enggak bilang-bilang aku sih kalau mau begituan,
ha..ha…ha…” Wisnu tertawa berderai.
Kelihatan gembira menggoda adik
bungsunya.
“Apa, mas?”
Meskipun Adilla sudah menduga kemana
arah bicara Wisnu, namun dia pura-pura tidak mengerti. Wisnu senang bercanda. Namun dia tidak mau
dijadikan bahan candaan kakaknya. Jadi walaupun sikapnya santai, dia pasang
wajah serius menatap kakaknya.
“Begini, Dill.” Ucap Wisnu. Kali ini
lagaknya lebih serius ketika melihat sikap adik bungsunya yang serius. “Kita
sama-sama laki-laki. Aku mengerti apa yang kau inginkan dank au butuhkan. Tapi
istilahnya, kalau kita ingin makan sate, kita tokh tidak perlu repot-repot
membeli kambing, tokh?! Cari gampangnya saja, Dill. Kita tidak perlu
repot-repo. Nah, kau pasti faham apa
maksudku, kan?” Kembali Wisnu tertawa
berderai.
Adilla
tersenyum mendengar ucapan kakaknya.
“Aku bukan suami yang tahan harus
menyakiti perasaan istri, Dill.” Ujar Wisnu lagi yang membuat Adilla kembali
tersenyum. Dia tahu bagaimana perilaku kakaknya dibelakang istrinya.
“Apalagi mbakmu kan kamu tahu sendiri
bagaimana pencemburunya dia. Jadi aku tidak mau ambil resiko. Kalau kita ingin
makan sate tokh kita kita perlu membeli kambingnya. Lebih repot, Dill.”
“Aku pulang duluan ya, mas.” Adilla
tidak ingin pembicaraan semakin jauh, bergegas dia akan pergi.
“Ya, ya. Tapi ingat nasehatku tadi ya,
Dill. Kau tidak usah beli kambing kalau hanya sekedar ingin makan sate.” Wisnu
melambaikan tangannya pada adiknya sambil ketawa.
Adilla sudah melarikan mobilnya.
Sepanjang jalan dia memikirkan ucapan ibunya. Ibunya benar. Ibu mengkhawatirkan dirinya. Perkawinannya dengan
Asmi selama lima tahun ini berjalan harmonis.
Bahkan nyaris tanpa riak-riak yang
berarti yang bisa menggoncangkan perkawinan mereka. Kalaupun ada masalah,
hanyalah riak-riak kecil yang merupakan
suatu hal yang wajar terjadi dalam kehidupan perkawinan.
Namun sekarang masalahnya terasa lain setelah
dia bertemu dengan Ninda. Tali yang
terentang diantara dirinya dengan Ninda semakin hari terasa semakin kuat. Dia
merasa tidak bisa lepas lagi dari Ninda.
Adilla teringat ucapan Wisnu tadi. Adilla tersenyum. Dia tidak akan bisa seperti
kakaknya. Dia tahu selama ini Wisnu memiliki banyak kekasih gelap. Semuanya
cantik dan menarik. Semuanya adalah bunga-bunga yang menarik dan menawan hati.
Pasti tidak sembarangan Wisnu mengambil perempuan-perempuan yang menjadi
kekasihnya. Namun semuanya hanyalah sekedar bunga kertas semata buat kehidupan
Wisnu. Bagaimanapun Wisnu tidak akan mengalmbil salah satupun dari mereka untuk
dikawininya secara resmi. Bunga-bunga kertas itu hanya sekedar hiasan dalam
hidupnya yang bisa dibuangnya kapanpun dia mau. Maya, istrinya bukannya tidak
tahu dengan kelakuan Wisnu. Selama ini Maya hanya pura-pura tidak tahu. Maya
seolah menutup mata dengan kelakuan suaminya. Sudah berulang kali terjadi
keributan antara Maya dengan perempuan
kekasih suaminya. Entah berapa perempuan
yang telah didatangi dan dilabrak Maya karena
ketahuan berselingkuh dengan suaminya. Namun setiap kali selesai
urusan dengan satu perempuan, akan muncul selingkuhan dengan perempuan
lain. Istilahnya, patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh tiga. Akhirnya
Maya bosan sendiri. Untuk bercerai otaknya masih jalan. Bersama Wisnu dia
menikmati limpahan materi. Status sosial pun tetap terjaga. Sebagai istri
seorang pengusaha sukses, dia menikmati statusnya sebagai istri Wisnu Pradana
yang dihormati dan dihargai orang. Maya cukup cerdik untuk tidak meminta cerai pada Wisnu. Dia akhirnya
merubah pikirannya. Biarlah Wisnu menjalin selingkuhgan dengan perempuan lain,
asalkan tidak ada perkawinan diantara mereka. Buat Wisnu, istri sahnya hanya
tetap dirinya. Bagi Maya, kehidupan seperti itu jauh lebih baik daripada dia dimadu. Dipoligami tidak ada dalam pikiran Maya.
Wisnu senang melihat istrinya mulai mengurangi sifat pencemburunya yang
berlebihan. Namun disisi lain dia melihat hal yag berubah pada Maya terhadap
dirinya. Sikap Maya selalu manis dan santun. Dia selalu menyediakan semua
kebutuhan suaminya tanpa banyak bicara.
Namun disiisi lain Maya sudah tidak pernah lagi bersikap mesra pada suaminya. Dan Wisnu faham, semua
itu bukan salah Maya.
Dia sendiri yang telah menghapus
kemesraan-kemesraan yang pernah diberikan istrinya kepadanya. Namun Wisnu tidak
mempermasalahkan sikap istrinya. Dia tahu apapun sudah ada konsekwensinya.
Adilla menghela napas dalam. Tidak,
aku tidak akan bisa seperti
mas Wisnu. Buat mas Wisnu, perempuan-perempuan selain istrinya adalah
bunga-bunga kertas semata yang hanya untuk dijadikan hiasan semata, lalu dibuang lagi kapanpun dia
menghendakinya, lalu mencari bunga kertas lainnya. Sementara aku kepada Ninda
tidak menganggapnya sebagai bunga kertas. Aku ingin menjadikan Ninda bunga sesungguhnya dalam kehidupanku.
Aku ingin menikahi Ninda, menjadikan
dirinya sebagai istriku, sebagai pendamping hidupku, sebagai belahan hatiku.
Sama seperti aku menjadikan Asmi sebagai belahan jiwaku dalam hidupku. Adilla
melajukan kendaraannya semakin kencang. Dia harus segera pulang kerumah. Sudah
sering dia pulang terlambat. Walaupun Asmi tidak pernah mempermasalahkannya,
namun dia tidak ingin Asmi terus memendam perasaan kecewa dengan perhatiannya
yang akhir-akhir ini semakin berkurang.
--- 0 ---
Pantas selama ini aku perasaanku seperti berbeda dari biasanya,
pikir Asmi. Perasaanku tidak bisa dibohongi. Aku merasakan ada perubahan pada
Adilla. Aku kenal suamiku. Aku sudah hapal Adilla. Seharian itu Asmi banyak
termenung. Ternyata inilah jawabannya. Adilla memiliki wanita lain. Dan yang disebut wanita lain itu adalah Ninda.
Ninda. Asmi merasa terhenyak. Rasanya tak percaya Ninda akan muncul lagi dalam
kehidupan Adilla. Baginya, Ninda adalah wanita dimasa lalu suaminya. Namun masa
lalu itu kini datang lagi dengan cerita berbeda.
Asmi merasa terpukul. Dia merasa
dikhianati. Suaminya berselingkuh. Adilla mengkhianatinya. Apa yang salah
dengan pengabdianku selama ini kepadanya sebagai istrinya? Aku sudah
mencurahkan seluruh waktu dan pikiranku untuk menjadi istri yang baik buat
suamiku. Aku merasa sudah maksimal berbuat dan berbakti sebagai istrinya. Namunnternyata sekarang inilah balasannya
dari Adilla. pengkhianatan dan perselingkuhannya dengan bekas tunangannya.
Adilla, aku sungguh tidak menduga kau akan mengkhianati aku. Aku tidak menduga
kau akan tega membagi cintamu kepadaku dengan wanita lain.
Asmi tidak bisa menahan kesedihannya.
Dia mengunci pintu kamarnya dan menumpahkan
airmatanya. Perasaannya terasa sakit dan pedih dikhianati Adilla. Seakan ada
sebilah belati tajam yang menorehkan luka yang dalam dihatinya. Luka yang penuh
darah. Cintanya yang tulus dan suci yang dipersembahkan untuk suaminya
selama ini sekarang telah ternoda oleh
pengkhianatan Adilla. Aku tak mungkin bisa memaafkan Adilla. Kesalahan apapun
yang pernah dilakukan Adilla kepadaku, aku akan selalu membukakan pintu maafku
untuknya. Namun tidak untuk yang satu ini. Hatiku terlalu sakit dikhianati.
Perasaanku tak bisa berbohong, pikir
Asmi. Aku merasakan kesibukan Adilla akhir-akhir ini semakin bertambah. Adilla
sering pergi dan pulang malam. Dia juga melihat Adilla sering termenung seakan
ada sesuatu hal yang tengah dipikirkannya. Selama ini dia tidak pernah
menanyakan apapun juga kepada Adilla karena biasanya Adilla akan bercerita
sendiri kepadanya bila ada sesuatu hal yang ingin disampaikannya. Selama
berumah tangga, Asmi menilai Adilla cukup jujur kepadanya. Adilla selalu
berterus terang dan tak pernah menyembunyikan apapun darinya. Namun sekarang
Adilla telah berubah. Ya, Adilla telah berubah. Dia sudah berani menyembunyikan
sesuatu darinya. Perselingkuhan itu telah merubah Adilla menjadi bukan Adilla
seperti yang dikenalnya selama ini, yang telah lima tahun lamanya menjadi
suaminya.
Adilla, mengapa engkau tega mengkhianati aku? Dari kesedihan yang
dirasakannya, kemudian berubah menjadi kekecewaan dan sakit hati. Lalu
kekecewaan dan sakit hati itu berubah menjadi kemarahan yang terasa panas bergolak
dalam dadanya.
Namun dia tidak tahu kepada siapa dia
harus marah? Kepada siapa dia bisa menumpahkan kemarahannya? Adilla sudah
mengakui hubungannya dengan Ninda. Bila dia menunjukan kemarahannya kepada
Adilla, suaminya akan semakin menjauh darinya. Bahkan bisa lari darinya.
Tidak, aku tidak boleh mengumbar emosi
dan amarahku kepada Adilla. Dia tetap suamiku. Perselingkuhan dan
pengkhianatannya menyakiti perasaanku, namun tidak harus membuat pikiranku
menjadi buta untuk berpikir jernih. Aku sudah memiliki Anissa dan Fauziah.
Mereka tidak boleh menjadi korban emosiku terhadap ayahnya. Aku harus berusaha
sabar dan tabah. Aku harus kuat menghadapi semua ini. Pasti ada jalan keluarnya
dari persoalan ini. Aku tidak perlu berpikir terlalu jauh. Barangkali Adilla
hanya tergoda sesaat setelah bertemu dengan Ninda lagi. Barangkali tidak lama
lagi Adilla sudah akan melepaskan Ninda lagi dan mengembalikan keharmonisan perkawinan mereka kembali.
Selalu banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Ya Allah, bantulah aku. Kuatkanlah
hatiku. Bukalah jalan yang terang untuk menghadapi persoalanku ini. Ya Allah,
hanya kepadaMu aku meminta dan memohon. Kembalikanlah suamiku. Berilah dia
kesadaran bahwa aku sungguh mencintainya. Ya, aku sungguh mencintainya.
Kuberikan seluruh kehidupanku untuk dirinya. Jangan ambil dia dariku, Ya Allah.
--- 0 ---
Maya menemui Asmi. Asmi sudah merasa,
dia sudah menduga, untuk apa Maya dating kepadanya. Meskipun begitu, Asmi
menyambut kedatangan kakak iparnya dengan
gembira. Hubungannya dengan Maya, lebih erat dibandingkan dengan Desi,
istri Farhan, kakak Adilla yang nomor dua.
Maya melihat kue-kue yang dihidangkan
Asmi. “Asmi, kamu benar-benar kreatif. Macam-macam bentuk kue ini. Ini kue
apa?” Tanya Maya, mengambil sepotong kue. “Ehm, enak, renyah dan gurih.”
“Membuat kue sudah jadi duniaku.”
Canda Asmi.
“Kamu tahu enggak, ada kalimat, cinta
suami datangnya dari perut?”
Asmi tertawa, seakan sudah bisa meraba
kemana arah pembicaraan Maya. “Ya, aku pernah mendengar kalimat itu, cinta
suami datangnya dari perut, tapi kenyataannya tidak cukup dengan membuat perut
suami enak untuk mengikat cinta suami.”
“Yah, memang begitu kenyataannya.
Dunia ini terlalu beragam. Tak cukup hanya urusan perut yang bisa membuat cinta suami pada kita.” Maya
tertawa, lalu dia menatap Asmi serius. “Asmi, aku tidak ingin mencampuri urusan
pribadimu. Namun sebagai kakak, aku saying padamu. Aku tidak ingin engkau
mengikuti emosimu.”
“Apa?”
“Aku mendengar dari mas Wisnu, katanya
kau ingin bercerai dengan Adilla…….”
“Ya.” Sahut Asmi. “Kupikir memang
cerai jalan terbaik. Aku sudah merasa yakin, aku tidak akan sanggup bila harus dimadu.”
“Asmi, aku kakakmu. Aku tidak
bermaksud menasehatimu. Sebagai wanita dewasa, kau berhal menentukan sendiri
apa yang menurutmu terbaik untukmu. Kau bisa menentukan dan memilih sendiri apa
yang kau inginkan. Namun aku tidak ingin engkau terbawa emosi, tanpa
mempertimbangkan lebih jauh. Bercerai
bukan sebuah keputusan yang baik walaupun mungkin cerai bisa membuatmu merasa
terlepas dari satu persoalan yang tengah membelitmu, namun kemudian akan
menimbulkan persoalan-persoalan lain setelah perceraian itu. Kau lihat aku,
apakah kau kita selama perkawinanku dengan mas Wisnu aku tidak pernah merasakan
sakit hati, cemburu, panas hati dan perasaan-perasaan semacam itu yang sering ada pada hati istri
manapun ketika mengetahui suaminya berselingkuh dengan wanita lain? Mas Wisnu
jauh lebih banyak memiliki kekasih dibandingkan dengan Adilla. Namun semala ini
aku tidak pernah memintai cerai kepada mas Wisnu. Seingatku, tak pernah terucap
dari mulutku meminta cerai pada suamiku.”
“Karena mbak Maya kuat dan tahan. Aku
tidak.” Sahut Asmi.
“Bukan masalah kuat dan tahan, namun
perceraian selalu memiliki konsekwensi yang lebih besar lagi. Aku tidak siap
menjadi seorang janda. Aku melihat, status janda jauh lebih berat. Aku berpikir, biarlah suamiku memiliki
perempuan lain diluar perkawinan,
asalkan perempuan itu tidak menjadi
istri resmi suamiku.”
“Mbak, berarti mbak lebih suka suami
berzinah? Aku tidak bisa sefaham dengan mbak dalam hal ini. Justru zinah yang
aku takutkan dilakukan Adilla pada perempuan lain.”
“Asmi, kau tak usah picik. Soal zinah,
itu tanggung jawab suami kita. Bukan urusan kita. Suami kita tahu hukum agama, pastinya dia tahu bahwa berzinah
adalah dosa.”
“Tapi kita juga ikut terbawa dosa bila
kita tidak mengingatkan suami kita dengan
perbuatannya.”
“Asmi, kalau suami kita berselingkuh,
tidak ada kewajiban suami kita bertindak sebagai suami pada perempuan
simpanannya. Tapi bila suami kita mengawini perempuan itu secara resmi, dia
memiliki kewajiban seperti yang dilakukannya
pada kita. Jelas ada dampaknya yang besar pada kita.”
“Aku tidak bisa sefaham dengan mbak.
Aku tidak mau Adilla berzinah.”
“Ya, kau tidak mau Adilla berzinah,
kau mengijinkan Adilla menikah lagi, tapi pada saat yang sama kau ingin
bercerai dengan Adilla, begitu? Bila kau mengijinkan Adilla menikah lagi,
berarti kau harus ikhlas dan jangan meminta cerai pada suamimu.”
“Aku menginjinkan Adilla menikah lagi
untuk menjaga agamanya. Adilla mencintai Ninda dan Ninda pun mencintai Adilla.
Mereka bukan remaja lagi yang bisa dicegah untuk tidak berbuat sesuatu yang terlarang. Mereka
punya tujuan hidup yang sama, ingin membentuk rumah tangga bersama. Aku tidak
bisa berbuat banyak. Aku tidak ingin karena keegoisanku, membuat agama Adilla
jadi rusak.”
“Asmi, mungkin kau benar dengan
pemikiranmu itu, namun apakah dengan niatmu ingin bercerai tidak membuat masalah menjadi semakin rumit?
Bagaimana dengan Anissa dan Fauziah? Bila engkau bercerai dengan Adilla, kedua
anakmu masih membutuhkan kasih sayang ayahnya, mereka masih membutuhkan kasih sayang yang lengkap dari
kedua orangtuanya. Pikirkanlah sekali
lagi keputusanmu itu.”
Maya menatap Asmi. “Asmi, dimataku
Adilla malah sosok lelaki yang baik dan tidak suka gonta-ganti perempuan. Aku
tahu Adilla begitu sejak dulu. Apa yang terjadi sekarang aku rasa hanyalah
sebuah kekecualian. Dalam hidup, banyak hal tidak terduga. Dan aku yakin,
Adilla semula tidak bermaksud menyakitimu atau mengkhianati perkawinan kalian.
Ada pertimbangan lain yang membuat Adilla begitu.”
“Asmi, kita tidak bisa egois memiliki suami
kita seutuhnya. Semakin kuat keinginan kita
untuk membelenggu suami kita, akan semakin kuat suami kita berontak
untuk melepaskan dirinya dari belenggu kita.”
Ketika Maya telah pulang, Asmi hanya
menangis. Maya punya pandangan berbeda dengan dirinya. Dia tidak akan bisa
seperti Maya, membiarkan suaminya berselingkuh dan menutup mata dengan
perbuatan suaminya. Namun cara seperti dirinya, mengijinkan Adilla menikah lagi
dan pada saat yang sama dia menuntut cerai, barangkali pula bukan cara yang
tepat.
Asmi pergi ke tokonya. Kesibukan
ditoko kue membuat Asmi bisa melupakan kesedihannya. Dia menjalani hari-hari
rutinnya. Toko roti dan kuenya semakin banyak pelanggannnya. Tak henti Asmi
mensyukuri rejeki yang diberikanNya kepadanya.
Pulang kerumah, dia kembali disibukan
dengan kesibukan yang membahagiakan. Fauziah tumbuh sehat dan montok. Namun
tiap kali Adilla pulang kerumah, selalu saja ada api cemburu yang terasa
membakar perasaannya.
Ya Allah, kenapa aku tidak bisa
memadamkan api cemburu dalam hatiku? Kenapa aku tidak bisa ikhlas menerima
keadaan ini? Aku bersujur kepadaMu. Kumohonkan ampunan kepadamu, namun kenapa
selalu saja hatiku panas terbakar api cemburu? Aku tidak kuat menanggung beban
ini? Hanya kedua anakku yang membuatku mampu bertahan. Ya Allah, kuatkanlah
hatiku. Berilah aku ketentraman perasaan. Berilah aku keikhlasan dalam menerima
suamiku sebagai jodoh yang telah Engkau berikan kepadaku, untuk menemani
langkah-langkah hidupku, didunia dan diakhirat kelak.
--- 0 ---
Asmi masuk kehalaman rumah bercat
hijau yang kecil dan sederhana itu. Kesibukan terlihat pada garasi rumah yang
dijadikan tempat kerja. Tiga orang
perempuan sibuk bekerja, menjahit, membordir dan memasang hiasan pada
sarung-sarung bantal. Pada sudut ruangan sarung bantal menumpuk pada sebuah
meja besar.
Seorang perempuan yang tengah
duduk sambil mencatat menoleh ketika melihat kedatangan Asmi. Matanya terpaku
menatap Asmi. Perempuan itu mendadak berdiri, meninggalkan pekerjaannya
dan menyongsong kedatangan Asmi.
“Mbak Asmi……”
Dia masih mengenaliku, pikir Asmi.
Sesaat dia ragu, apa yang harus diucapkannya. Serangkaian kalimat yang sudah
dipersiapkannya sejak kemarin mendadak menghilang. Dia tidak bisa mengingatnya
lagi. Walaupun kelihatan terkejut melihat kedatangan Asmi, namun Ninda
kelihatan berusaha bersikap wajar. Senyumannya ramah dan bersahabat. Sambutannya
hangat dan tidak kaku. Dia pasti bersandiwara melihat kedatanganku,
pikir Asmi.
Asmi menatap Ninda. Dalam benaknya
masih terbayang Ninda yang cantik dan segar berseri. Namun yang kini berdiri
dihadapannya bukan Ninda yang dulu. Kini wajah itu seperti kehilangan cahaya yang
dulu menyinari wajahnya. Walaupun kecantikan itu masih membayang pada raut wajahnya. Yang paling
berubah dari Ninda adalah tatapan matanya
yang kini bersinar lembut.
Beberapa waktu lamanya Asmi hanya diam
terpaku. Pantas bila Adilla sering mengatakan kasihan pada Ninda. Kini dia
sendiri pun tidak mengingkari, hati kecilnya merasa iba kepada gadis yang
pernah dikenalnya lima tahun lalu. Hidup memang sulit diduga. Pasti sulit buat Ninda menghadapi kenyataan
pahit yang menimpa keluarganya. Namun
gadis itu nampak tabah dan tegar. Dia bahkan
nampak lebih dewasa, lebih tenang, lebih lembut. Sungguh jauh berbeda
dengan Ninda yang dikenalnya dulu.
“Mbak Asmi, silahkan masuk.” Suara Ninda halus
dan lembut.
“Ninda, aku ingin bicara denganmu.”
Ucap Asmi dengan suara datar.
Ninda membalas tatapan Asmi yang menatapnya serius.
“Mari diruangan depan, mbak.” Ajak
Ninda. Dia melangkah keruangan depan rumahnya. Asmi membereskan beberapa bungkusan sarung bantal
yang dibungkus plastik dan meletakannya dilantai.
“Terima kasih.” Asmi mengikutinya.
Mereka duduk berhadapan. Ninda
memanggil Ayuning memintanya
mengambilkan minuman. Tak lama
Ayuning kembali dengan dua cangkir minuman.
Asmi menatap Ninda seksama.
“Mbak Asmi, apa kabarnya?”
“Alhamdulillah, baik. Bagaimana pula
kabarmu?” Tanya Asmi datar.
“Seperti yang mbak lihat, inilah
keadaan saya sekarang ini.” Sahut Ninda. “Maaf, terus terang saya terkejut
dengan kedatangan mbak Asmi kemari, barangkali mbak Asmi ada perlu kepada
saya?”
“Kurasa kau sudah faham, mengapa aku
kemari.” Ucap Asmi perlahan. “Apa benar Adilla sering datang kemari menemuimu?”
Ninda tidak segera menjawab pertanyaan
Asmi. Dia menatap Asmi, lalu menunduk. Perlahan kepala itu menggangguk. Asmi
menghela napas dalam. Dia tidak tahu bagaimana dengan perasaannya. Mungkin dia
senang Ninda jujur kepadanya. Namun disisi lain, kejujuran Ninda membuat
hatinya sakit. Istri mana yang tidak sakit hatinya bila mengetahui kebenaran
bahwa suaminya sering mengunjungi wanita lain.
“Ninda, terus teranglah kepadaku, ada
hubungan apa antara kau dan Mas Dill? Aku sudah sering mendengar dari orang
lain Mas Dill sering datang kemari.”
Ninda menatap Asmi bimbang.
“Memang mas Dill suka datang kemari…..” ucapnya pelan.
“Ada hubungan apa antara kau dan mas
Dill?”
“Tidak ada hubungan apa-apa……”
“Ninda, jangan bohong kepadaku. Aku
datang kemari untuk menyelesaikan masalah. Masalah antara kau, aku dan
suamiku.”
Ninda kembali menunduk.
“Kau tidak perlu berbohong kepadaku,
Ninda. Katakanlah terus terang kepadaku, kau masih mencintai mas Dill, kan?”
Ninda
menunduk. Asmi menunggu. Tak lama kepala itu mengangguk. Hati Asmi
terasa semakin pedih. Jadi benar, Adilla dan Ninda masih saling mencintai. Rentang waktu sekian tahun yang telah
memutuskan hubungan mereka, ternyata perasaan diantara mereka masih ada.
“Maafkan aku, mbak Asmi. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Aku mencintai Mas Dill, aku membutuhkan mas Dill dalam hidupku, untuk tempat
aku berlindung dan bersandar……”
“Aku sudah mendengar berita tentang
dirimu dengan mas Dill. Aku tidak menduga, wanita yang ramai dibicarakan orang
berhubungan dengan mas Dill ternyata adalah engkau.”
Ninda hanya menatap Asmi. Lalu sesaat
kemudian mulutnya berucap lirih, tersendat menahan tangisnya. “Maafkan aku, mbak. Maafkan aku, mbak Asmi.
Aku tahu, aku salah. Tidak sepantasnya aku mencintai suami orang. Namun aku tidak bisa menahan semua ini….maafkan
aku….maafkan aku..…..”
Asmi menatap airmata yang mengalir
pada pipi Ninda. Gadis itu sekarang sudah dewasa. Dia bukan lagi wanita muda
yang dikenalnya lima tahun lalu. Ninda
sudah banyak berubah. Barangkali kepahitan hidup yang menempa kedewasaannya.
“Dapatkah engkau merasakan, bagaimana
perasaanku ketika mendengar suamiku berselingkuh dengan wanita lain?” Tanya
Asmi dengan suara datar, berusaha menahan emosinya. “Dapatkah engkau merasakan
bagaimana sakitnya hatiku ketika aku mendengar dari orang lain bahwa suamiku
mengkhianati perkawinan kami?”
Ninda hanya menunduk. Airmatanya
semakin deras membasahi pipinya. “Maafkan aku, mbak Asmi. Aku sadar sepenuhnya telah menyakiti perasaan mbak…..”
“Ninda, kita sama-sama wanita. Engkau
pasti bisa memahami perasaanku. Jauhilah Adilla. kau bisa mencari lelaki lain.
Lelaki yang lebih baik dari Adilla. Lelaki yang belum terikat hubungan apapun dengan wanita lain.”
Ninda mengangkat wajahnya. “Ya, mbak.
Aku faham itu. Aku tidak pernah terpikir akan bertemu kembali dengan mas Dill.
Mas Dill sudah kuanggap sebagai lelaki dimasa laluku. Pertemuan kami terjadi
tanpa sengaja. Aku tidak berniat mengganggu perkawinan mas Dill dengan mbak
Asmi. Aku tahu mas Dill telah memiliki istri. Aku tahu tidak mungkin
mengharapkan mas Dill lagi. Aku tahu semua itu. tapi aku tidak bisa mencegah
mas Dill untuk datang kemari…….”
“Ninda, kamu bisa menolak mas Dill.
Kamu bisa menghindari mas Dill agar tidak ada lagi hubungan antara engkau dan
mas Dill kalau kau memiliki niat untuk melakukan itu….”
Ninda menatap Asmi dengan tatapan
sayu. “Mbak, maafkan aku. Aku tidak bisa melakukan itu kepada mas Dill. Aku
membutuhkan mas Dill…..’
“Kau bukan membutuhkan mas Dill,
Ninda. Tapi kau masih mencintai mas Dill.”
“Salahkah aku bila aku masih mencintai
mas Dill, mbak? Dulu mas Dill memutuskan pertunangan kami ketika aku masih
mencintainya. Bahkan aku tidak mengerti, mengapa mas Dill tega memutuskan pertunangan kami. Padahal mas Dill
tahu aku sangat mencintainya. Apa yang salah denganku? Aku tulus
mencintai mas Dill dan penuh harap mas Dill akan menjadi suamiku. Namun
kenyataan berbicara lain. Mas Dill pergi dariku dan menikah dengan wanita
lain.”
Asmi terpaku mendengar ucapan Ninda.
Sesaat perasaannya tersentuh mendengar
setiap kata yang diucapkan Ninda. Seakan membuka kembali lembaran masa lalu
mereka. Seakan Ninda ingin mengatakan kepadanya bahwa dulu Adilla adalah
miliknya. Dirinyalah yang telah merebut Adilla dari tangan gadis itu. Asmi
terdiam sesaat.
“Mbak……” ucap Ninda lirih. “Hidup
sulit diduga. Aku terima takdirku. Aku kehilangan tunangan yang sangat aku
cintai dengan sepenuh hati. Lalu aku kehilangan kehidupan serba manis dan serba
mudah dalam waktu sekejap, dan melemparkan aku dalam kehidupan yang pahit dan
susah. Mbak melihat sendiri bagaimana kehidupanku sekarang. Jauh berbeda
dengan kehidupanku dulu. Semua ini
adalah takdir Allah sekaligus ujian dan cobaan dari Allah kepadaku. Kini Allah
mempertemukan aku kembali dengan mas Dill. Tidak ada niat dalam hatiku untuk
merebut mas Dill dari mbak Asmi. Namun apa yang harus aku lakukan bila mas Dill
menghampiri aku lagi…….” Ninda terisak pelan. “Mungkin awal mulanya mas Dill
hanya sekedar kasihan, sekedar iba kepadaku. Hanya Allah yang tahu,
bagaimana sesungguhnya perasaan mas Dill
kepadaku. Aku hanyalah seorang wanita. Kehidupanku tidaklah seperti dulu. Dalam
keadaanku sekarang yang seperti ini, salahkah aku bila aku tidak menolak uluran
tangan mas Dill? Salahkah aku bila aku melihat kehadiran mas Dill sebagai
sebuah pertolongan buatku? Salahkah aku
bila melihat mas Dill dari sudut pandang
perasaanku sebagai seorang perempuan? Salahkah bila aku seolah diberi harapan bahwa mas Dill
masih menyayangi aku, masih memperhatikan aku, walaupun mas Dill sudah memiliki
istri. Mbak, tolong jawablah pertanyaan-pertanyaanku ini agar aku mengerti….”
Asmi terdiam. Dari mana dia akan
memulai menjawab pertanyaan-pertanyaan Ninda. Dari mana dia harus memulai memberi penjelasan pada gadis itu yang kini begitu
kelihatan lemah dan tak berdaya.
Betapapun besarnya rasa cemburu yang membakar perasaannya, namun dia merasa tidak tega harus menumpahkan emosi dan
amarahnya pada gadis itu walaupun perasaannya terasa panas bergolak dilanda
rasa cemburu. Dia tidak melihat kepura-puraan dari sikap dan ucapan-ucapan
Ninda. Gadis itu seperti berbicara tulus dan sejujurnya. Begitu terus terang
mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya.
“Mbak Asmi, maafkanlah aku…..maafkanlah
aku….. maafkanlah atas semua kesalahan-kesalahanku. Aku tahu, aku bersalah,
tidak seharusnya hal ini terjadi lagi antara aku dan mas Dill…….”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan.” Ucap
Asmi lirih, berusaha menahan tangisnya.
Kini dia terperangkap dalam kebingungannya
sendiri. Dia terperangkap dalam kemelut yang sudah sejak sekian tahun silam ada
membelit mereka bertiga. Dia teringat
kejadian sekian tahun silam. Persahabatannya dengan Adilla. Lalu muncul Ninda
dengan pertunangannya yang
singkat dengan Adilla. Kemudian
perkawinannya dengan Adilla. Semua itu masih terekam jelas dalam
benaknya. Dan kini seolah diputar kembali untuk mengingatkannya bahwa sekian
tahun silam, ada cinta antara Adilla dan Ninda. Bukan salah mereka apabila
sekarang perasaan cinta diantara mereka masih ada, bertaut kembali dalam pertemuan mereka setelah
terpisah sekian tahun lamanya. Ya Allah, mengapa aku harus terlibat kembali
dengan orang yang sama? Mengapa cerita dimasa lalu harus terulang lagi
sekarang?
Beberapa saat lamanya Asmi hanya
termenung. Galau oleh perasaannya sendiri.
“Ninda, jadi engkau masih mencintai
mas Dill?” Dia merasa perlu menanyakan
sekali lagi hal itu. Hanya atas nama cinta sering orang tidak memikirkan
perasaan orang lain.
Ninda tidak segera menjawab. Dia
menatap Asmi. Mendadak Ninda menunduk. “Mbak Asmi, dalam hidupku aku hanya
pernah mencintai dua lelaki, Fahrul dan mas Dill. Fahrul sudah lebih dulu
diambil oleh yang kuasa, tinggal mas Dill yang masih ada.”
Asmi menghela napas dalam. Yah, Ninda
masih mencintai Adilla. “Ninda, bila engkau mencintai mas Dill, aku tidak isa mencegah perasaan yang ada dalam hatimu.
Kau memiliki hak untuk masih mencintai mas Dill, walaupun kau tahu mas Dill
sudah bukan lagi mas Dill yang kau kenal ketika kalian masih bertunangan. Mas
Dill sudah menikah denganku sejak lima tahun silam. Kami sudah memiliki seorang
puteri. Seharusnya engkau mau mengerti, mas Dill sudah memiliki keluarga dan
kau tak mungkin untuk memilikinya lagi. Tak mungkin. Kalau kau mau membuka mata
dan melihat kenyataan ini.”
Bibir Asmi bergetar. Dia ingin bicara
banyak. Dia ingin Ninda mengerti. Betapa orang selalu mengatasnamakan cinta,
namun haruskah cinta berpijak diatas penderitaan wanita lain? Ninda wanita
dewasa. Dia pasti faham, dimana cintanya mesti berlabuh. Bukan pada lelaki yang
sudah memiliki istri. Namun dunia seolah mendadak menjadi sempit manakala hati
hanya bersikukuh tak ingin berpaling
dari sebuah hati yang sudah terlanjur dimana cinta itu dipertautkan.
“Ninda, aku sudah bicara dengan mas
Dill mengenai hal ini……..” kali ini Asmi tak kuasa menahan tangisnya. Airmatanya jatuh mengalir
membasahi pipnya. “Mas Dill sudah jujur kepadaku, diapun….diapun
mencintaimu……..”
Ninda memejamkan matanya. Ya Allah,
terima kasih atas kejujuran mas Dill pada mbak Asmi. Betapa berharganya
kejujuran lelaki itu buatku. Betapa berartinya pengakuan lelaki itu buatku.
“Aku tidak bisa apa-apa, Ninda. Aku
tidak bisa mencegah ataupun memutuskan pertautan batin antara kau dan mas Dill.
Semula aku mengira bahwa apa yang tengah terjadi dalam perkawinanku ini adalah
sekedar ujian dan godaan semata yang biasa teradi dalam sebuah perkawinan.
Namun mas Dill tidak menganggap ini sebagai godaan. Mas Dill serius mencintaimu
dan ingin menikahimu…….” Asmi terisak. Hatinya pedih seakan tercabik ketika dia
terpaksa harus mengucapkan semua itu.
Kembali Ninda memejamkan matanya
sesaat. Dia ingin menangis ketika melihat wanita yang duduk dihadapannya
ini menangis. Dia dapat merasakan
kepedihan wanta itu. Namun disisi lain, dia tidak bisa membunuh egonya. Dia
ingin memiliki Adilla, walaupun dia tahu Adilla sudah memiliki istri. Cinta
yang membuatnya begitu egois ingin memiliki lelaki itu. Hanya atas nama cinta
dia ingin memiliki lelaki itu.
“Ninda, berat buatku untuk berbagi
cinta dengan wanita lain.” ucap Asmi,
berusaha menahan perasaannya, berusaha agar tangisnya tidak meledak. “Namun aku
melihat, kau dan mas Dill saling mencintai. Aku tidak tahu bagaimana caranya
aku memisahkan kalian berdua. Kau dan mas Dill adalah dua manusia dewasa yang
saling mencintai. Aku sudah memilih bercerai, namun mas Dill tidak mau
menceraikan aku. Aku tidak mau dimadu, Ninda. Namun mas Dill tidak memberiku
banyak pilihan, aku akhirnya harus ikhlas mas Dill menikah denganmu.…..”
“Maafkan saya bila saya melukai mbak
Asmi…..”
Asmi
menggeleng. “Tidak ada yang perlu
dimaafkan dari kejadian ini, Ninda.” Asmi menghela napas dalam. Ditatapnya
wajah Ninda yang pucat. “Ninda, mungkin
sekarang kita seri. Dulu aku menikah dengan mas Dill, kau terpaksa melepaskan
mas Dill untukku. Sekarang aku terpaksa harus mengikhlaskan mas Dill menikah
denganmu. Jadi kita seri. Tidak ada lagi yang harus kita perdebatkan karena
kehidupan kita sudah terlibat sejak sekian tahun lalu.”
Sepulang dari rumah Ninda, Asmi
terpaku didepan jendela kamarnya, menatap keluar dengan pikiran kacau tak
menentu. Dia terombang-ambing dalam kebimbangan perasaannya. Tidak aka nada
wanita manapun yang mau dimadu, tidak ada istri manapun yang mau berbagi cinta
dengan wanita manapun. Naluriah seorang istri
adalah memiliki cinta suaminya seutuhnya. Hanya untuk dirinya. Tidak ada ruang
kosong dalam hati suaminya untuk diisi oleh wanita lain. Oleh wanita manapun
juga.
Asmi teringat pada Wisnu. Ya, Adilla
berbeda dengan Wisnu. Wisnu memiliki banyak kekasih gelap namun tidak ada
satupun yang dinikahi Wisnu. Wisnu hanya menjadikan kekasih-kekasih gelapnya
sebagai gula-gila semata untuk pemanis hidupnya. Namun Adilla tidak. Dia
percaya pada suaminya. Sepanjang perkawinan mereka dia yakin Adilla tidak
pernah mengkhianati kepercayaannya. Adilla tidak pernah mengkhianati cintanya.
Adilla tidak akan seperti Wisnu yang memiliki banyak kekasih gelap yang hanya
dijadikan boneka mainan untuk sementara wajtu lalu akan dibuang begitu saja
bila boneka itu sudah tidak menarik lagi.
Adilla tidak akan berani seperti Wisnu
melakukan hal-hal seperti itu walaupun akhirnya hanya Allah Yang Maha
Mengetahui dan Maha Melihat setiap perbuatan manusia. Namun Asmi tetap percaya pada suaminya. Kini
Adilla telah jujur kepadanya dirinya mencintai Ninda. Dia seharusnya menghargai
kejujuran Adilla walaupun kejujuran dan dibohongi sama menyakitkan perasaan.
Namun Adilla jauh lebih baik daripada Wisnu. Adilla lebih baik memilih menikahi
wanita itu daripada berzinah seperti yang dilakukan Wisnu.
Asmi menjatuhkan tubuhnya diatas
tempat tidur. Airmatanya tumpah. Ya
Allah, berilah aku kekuatan untuk
menghadapi semua ini. Berilah aku ketabahan dan kesabaran walaupun perasaanku
panas dibakar rasa cemburu dan hatiku sakit suamiku mencintai wanita lain.
Tenangkalah hatiku, ya Allah. Buatlah sebuah rumah dalam hatiku dimana didalam rumah itu ada
sebuah lampu yang menerangi setiap orang yang masuk kedalamnya. Ada kesejukan
dan kasih sayang, hingga aku bisa menepiskan rasa benciku pada siapapun walaupun
aku ingin membencinya. Buatlah jiwaku tetap tenang dan ikhlas walaupun ujian
dan cobaan tengah menggoyahkan kesabaranku.
Asmi menghapus airmatanya. Dia
mendengar bunyi adzan shalat ashar. Dia segera berwudhu. Shalat membuat dukanya
terasa memudar. Dia merasa Allah memperhatikannya dan menghapus airmatanya.
Usai shalat Asmi masih terduduk diatas
sajadahnya dengan mukena membalut tubuhnya.
Ya Allah, betapa banyaknya
kebahagiaan dan nikmat yang telah Engkau
berikan kepadaku. Betapa banyaknya rakhmat dan karunia yang telah Engkau
limpahkan kepadaku. Ujian yang tenag menimpaku ini janganlah menjadikan aku
tidak bersyukur kepada-Mu, ya Allah. Buatlah hatiku senantiasa mengingat nikmat
dan karunia-Mu.
Pikirannya melayang pada Ninda.
Seharusnya dia merasa puas dengan keadaan Ninda sekarang. Namun disisi lain
hati kecilnya terasa berontak, agar dia tidak mengumbar egonya. Hati kecilnya
seakan berusaha menyentuh perasaannya bahwa wanita itu memang patut dikasihani. Bila memang benar
Adilla akan memperistri Ninda, dia tidak boleh egois walaupun pernikahan
Adilla sudah pasti akan menyakiti perasaannya.
Asmi menunggu Adilla pulang. Dia
menyambut kedatangan Adilla seperti biasa. Disembunyikannya sembab matanya
dengan polesan bedak dan riasan mata.
“Dill, aku tadi kerumah Ninda.” Asmi
duduk disamping Adilla, menemani suaminya yang baru selesai makan malam.
Dikupasnya sebuah jeruk untuk Adilla.
Adilla diam, menunggu Asmi melanjutkan
kata-katanya.
“Aku bertemu Ninda.” Kata Asmi lagi.
Matanya lekat menatap wajah suaminya.
“Aku harap engkau tidak marah. Aku perlu bertemu dan bicara dengan
Ninda. Aku tidak mau hanya mendengar
dari orang lain ataupun mendengar darimu saja. Bagiku semuanya harus jelas……”
“Lalu?
“Ya, aku sudah bicara dengan Ninda.”
Ucap Asmi. “Aku sudah berbicara dengan Ninda. Dia jujur mengakui bahwa dia
mencintaimu. Yah…..dia masih mencintaimu, Dill. Ninda bicara jujur kepadaku, dia masih
mencintaimu…..”
Asmi terisak. “Dill, aku merasa sakit
dengan kenyataan ini. Aku sebagai istrimu merasa dikhianati. Namun aku tidak
bisa marah. Aku tidak bisa menumpahkan emosiku dengan kenyataan ini……..”
Asmi menatap suaminya dengan mata
berlinang airmata. “Dil, bila kau memang ingin menikahi Ninda, lakukanlah.
Pertemuanmu dengan Ninda mungkin atas kehendak yang kuasa. Aku tidak bisa
bicara banyak. Hubunganmu dengan Ninda jangan sampai menimbulkan fitnah karena
bagaimanapun kau dan Ninda adalah dua manusia dewasa, seorang lelaki dengan
seorang wanita dewasa.”
Adilla menatap istrinya. Entah apa
yang sedang dipikirkannya. Dia tahu Asmi marah. Namun dia tidak menduga bila
secepat itu Asmi akan memberikan jawaban atas kegalauan perasaannya selama
beberapa waktu ini.
“Kau tidak perlu bertanya tentang
keikhlasanku, Dill.” Kata Asmi lagi.
“Tidak akan pernah ada seorang istri yang mau mengikhlaskan suaminya menikah
lagi. Begitu juga aku. Dengan dasar alasan apapun, sulit bagi seorang istri
merelakan suaminya menikah lagi. Tapi aku akan relakan kau menikah lagi, bila
memang kau benar mencintai Ninda. Aku tahu, Ninda sangat mencintaimu. Dia hanya
mengenal dua lelaki yang pernah dicintainya dalam hidupnya. Fahrul dan dirimu.
Aku tidak tega melihatnya. Bukan hanya melihat keadaannya sekarang yang jauh
berbeda dengan keadaannya dulu. Tapi juga tidak tega melihat perasaannya. Buat
Ninda sulit untuk mencintai lelaki lain. Dia tidak memiliki ruangan kosong yang
banyak dalam hatinya untuk mencintai banyak lelaki dalam hidupnya. Ketika dia
mencintai, hanya kesungguhan yang ada dalam hatinya. Dan kesungguhan cinta itu
hanya ditemui pada Fahrul dan dirimu. Ninda memiliki cinta seperti sebening
embun. Embun itu tidak menetes pada setiap tempat. Embun itu hanya menetes pada
tempat yang dikehendakinya. Bila fahrul masih ada, barangkali Ninda akan
berlari kedalam pelukan Fahrul. Namun Fahrul sudah tidak ada lagi. Yang ada
hanya dirimu, Dill. Aku……aku” Asmi tersendat menahan tangis.
“Aku…..aku hanya kasihan dan merasa
tidak tega melihatnya, Dill. Aku tidak tega. Mungkin benar cintanya kepadamu adalah cinta yang
tulus dan suci, cinta yang mungkin aku sendiri tidak memilikinya untukmu…… Aku
tidak ega merenggut cinta Ninda kepadamu. Aku
tidak merasa memiliki kekuatan untuk mematahkan perasaan yang ada pada
Ninda kepadamu.”
Adilla diam saja.
“Dill, kau yang menentukan kapan kau
akan menikahi Ninda. Aku tidak bisa ikut campur dalam hal ini. Namun bila
perkawinan itu memang harus terjadi, jagalah cinta itu dengan
sebaik-baiknya…….”
Asmi
membalikan tubuhnya, membelakangi suaminya.
Adilla masih saja diam. Dia tidur
terlentang sambil menatap langit kamar.
--- 0 ---
Asmi sudah menduga untuk apa Ninda
datang menemuinya. Kedatangan Ninda disambutnya dengan perasaan dingin.
“Mbak Asmi, saya akan menikah dengan
mas Dill….”
Asmi menatap gadis itu. Hatinya terasa
cemburu melihat rona memerah pada wajah gadis itu. Ninda kelihatan cantik mengenakan rok panjang
warna hijau tua dengan blouse tangan panjang warna putih berenda didadanya.
Rambutnya diikat menjadi satu dibelakang.
“Ya, aku sudah tahu…..”
“Saya ingin meminta maaf kepada mbak
apabila….”
“Kau tidak perlu meminta maaf, Ninda.
Aku dan mas Dill sudah membiarakan hal ini berdua. Mas Dill mencintaimu dan kau
pun mencintai Adilla.”
“Maafkan aku….”
“Cinta adalah perasaan, Ninda. Aku
tidak bisa mencegah agar cinta yang ada
padamu dan yang ada pada mas Dill bisa pupus dan padam. Kau dan mas Dill
memiliki hak untuk saling mencintai, walaupun mungkin…..walaupun mungkin
seharusnya cinta itu sudah tidak harus ada lagi diantara kalian karena sudah
ada aku. Namun aku tidak bisa egois. Cinta ternyata tidak bisa egois untuk
memiliki seutuhnya, Ninda. Baru sekarang
hal ini aku sadari ketika mas Dill bertemu kembali denganmu dan ternyata mas
Dill dan dirimu masih memiliki perasaan yang dulu pernah ada diantara kalian.
Kau dan mas Dill yidak salah karena cinta itu pernah ada dalam hati kalian
sekian tahun lalu. Aku mencoba instopeksi diri. Berulang kali aku merenungkan
apa yang kini terjadi antara engkau dan mas Dill. Aku tidak ingin
menyalahkan siapapun juga. Aku tidak
ingin menyalahkan engkau ataupun menyalahkan mas Dill.”
“Mbak Asmi, saya meminta keikhlasan
dan ijin dari mbak dengan pernikahan ini…..”
Asmi diam sesaat. Dia menahan
airmatanya agar tidak keluar menjadi tangisan. “Ninda, kau tak perlu lagi
meminta keikhlasanku. Adilla sudah memintanya dariku….”
“Aku yang kini datang meminta
keikhlasan dari mbak, dengan setulus hati aku meminta……..” Ninda menunduk,
suaranya terisak, airmatanya mengalir. “Maafkan aku, mbak. Maafkan aku…… betapa
egoisnya diriku yang ingin mendapatkan kembali cinta mas Dill. Alangkah egoisnya
cinta yang kurasakan pada mas Dill ini, cinta yang hanya ingin sepenuhnya
memiliki tanpa ingin aku menoleh pada perasaan seorang wanita lain yang
memiliki cinta yang sama besarnya seperti yang kumiliki ini kepada mas Dill…….”
Ninda bangkit dari tempat duduknya dan
berlutut didepan Asmi. Dia bersimpuh dalam pangkuan Asmi. Tangisnya pecah.
Airmatanya tumpah. Asmi menunduk, menatap kepala yang menelungkup diatas
pangkuannya. Keharuan terasa menyesakan perasaannya. Ingin dia membenci Ninda
yang telah merebut Adilla. Namun kebencian itu seakan memudar mendengarkan
tangisan gadis itu. Betapa haru
perasaannya merasakan ada wanita lain yang demikian besar cintanya kepada
suaminya, yang mungkin cintanya lebih besar dari yang dimilikinya kepadanya
suaminya.
“Sudahlah, Ninda. Sudahlah. Jangan
engkau menangis.”
“Mbak, maafkan aku. Maafkanlah aku……”
“Aku sudah ikhlas mas Dill menikah
denganmu……..”
Airmata Asmi jatuh. Dia menunduk.
Airmatanya jatuh diatas kepala Ninda yang masih menelungkup diatas pangkuannya.
--- 0 ---
Adilla baru selesai makan ketika Asmi
duduk disampingnya. Tangannya memegang tangan Adilla lembut. Matanya menatap
dengan pandangan berkaca-kaca. Suaranya tersendat ketika dia berucap lirih.
“Tadi ada Ninda kemari…….”
Adilla menunggu.
“Ninda datang meminta ijin dan
keikhlasanku……”
Adilla masih diam.
“Aku ikhlaskan…..”
Adilla menatap Asmi.
“Ya, Dill. Aku ikhlas ketika Ninda
tadi datang meminta keikhlasanku. Aku ikhlas engkau menikah dengan Ninda.
Mungkin kau benar, Ninda membutuhkanmu. Dia membutuhkan dirimu, bukan sebagai
saudara, atau kakak, dia membutuhkan dirimu untuk menjadikan kau sebagai
suaminya. Ninda mencintaimu. Dan aku juga tahu kau mencintai Ninda. Apa lagi
yang bisa aku lakukan kepada kalian? Hatiku sakit harus berbagi cinta dengan perempuan lain. Namun aku juga tidak ingin
memutuskan cinta kalian. Bila Allah memang
telah menentukan takdirNya bahwa
dirimu dengan Ninda berjodoh, aku
hanyalah manusia biasa yang tidak memiliki daya dan kekuatan untuk mencegah
kekuatan dan kekuasaan Allah yang telah menentukan takdir tiap-tiap manusia. Aku shalat dan aku membaca
Al-Qur’an setiap waktu. Namun aku kini menyadari, keimanan yang ingin selalu
kutanamkan dalam hatiku tidak mudah untuk diterapkan ketika Allah menguji
hatiku dengan kejadian ini……”
Asmi menunduk, menangis dengan
perasaan sedih dan hati tersayat.
Adilla memeluk Asmi. “As, maafkan
aku….”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Dill.
Nikahilah Ninda, jadikan dia bunga dalam hatimu. Bukan bunga kertas yang hanya
indah dalam pandangan dan pajangan. Namun bunga yang sesungguhnya dalam
hidupmu. Yang bisa memberikan keharuman dalam hidupmu. Keharuman yang alami
yang membuatmu merasa bahagia dan mensyukuri cinta sebagai sebuah karunia
Allah. Aku tidak ingin mengusik kebahagiaan yang kau rasakan bersama Ninda. Aku
juga tidak ingin mengusik kebahagiaan Ninda yang akan menjadi istrimu.”
Mendadak Asmi mengaduh. Dia memegang
perutnya. Dia merasakan perutnya mulas. Asmi meringis.
“Asmi….” Adilla memeluk Asmi.
“Kenapa?”
“Dill, sepertinya aku akan
melahirkan…….”Asmi terengah. “Bawa aku ke dokter….”
Adilla bergegas memanggil Rohmah.
Mereka membawa Asmi ke bidan terdekat. Asmi sudah akan melahirkan. Tidak sampai
setengah jam kemudian, Asmi melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan
sehat. Adilla menamai puteri keduanya Fauziah Safiera.
--- 0 ---
Dihari pernikahan Adilla dengan Ninda,
Asmi hanya mengurung dirinya dikamarnya bersama Fauziah. Usia anak keduanya
sekarang sudah empat bulan. Cantik, montok dan lucu. Alangkah bahagianya
perasaannya memiliki dua mutiara hati yang menyenangkan perasaannya. Walaupun
disisi lain ada kebahagiaan yang harus terbagi dengan wanita lain.
Asmi membayangkan bagaimana perkawinan
Adilla dan Ninda dirumah Ninda. Dia membayangkan kebahagiaan diwajah Ninda
ketika gadis itu menemuinya. Walaupun gadis itu menangis dalam pangkuannya,
namun ketika pulang Ninda tidak menyembunyikan kebahagiaan yang merona pada
wajahnya yang cantik.
Ketika sore menjelang, dia tidak bisa
lagi menahan perasaannya. Dia pergi kerumah ibu Fatimah, pemimpin majelis
taklim, tempatnya basa mengikuti pengajian.
“Bersabarlah.” Ucap ibu Fatimah,
pemimping majelis taklim, tempatnya mencurahkan perasaannya selama ini.
“Kau mungkin tidak menyukai perilaku
suamimu, namun barangkali dia akan memberikan kebaikan-kebaikan yang banyak
buatmu. Perkawinan adalah rakhmat sekaligus ujian. Bila kau sabar menghadapi
suamimu, kau akan memperoleh surga.”
“Saya merasa tidak kuat lagi
dengan permaduan ini, saya ingin memilih
bercerai saja, bu.”
“Bercerai adalah sesuatu yang
dihalalkan namun dibenci oleh Allah. Asmi, ibu memahami perasaanmu. Tidak ada
wanita yang mau dimadu. Namun masih banyak yang patut kau syukuri. Bukalah
matamu dan hatimu. Lihatlah hidupmu dengan
lapang dada dan penuh rasa syukur. Lihatlah nikmat dan karunia Allah
yang telah diberikan dan dititipkan-Nya kepadamu. Semua yang kau dapatkan
adalah sumber buatmu untuk selalu mensyukuri nikmat Allah. Allah telah
memberikan banyak kepadamu. Allah telah memberimu kecukupan dan kebahagiaan yang
tiada ternilai. Bila kemudian kebahagiaan dan limpahan rakhmat-Nya ini
membuatmu harus berbagi dengan wanita lain, mengapa harus membuatmu menjadi
tidak mau bersyukur pada Allah?”
“Hati saya panas, bu. Adilla sekarang
nampak semakin bahagia setelah menikah dengan Ninda. Saya yang mendampingi
Adilla sejak masa-masa masih kuliah, masa-masa sulit ketika dia baru lulus
kuliah, bekerja diperusahaan ayahnya pun bukan dengan jalan mudah, dia tetap
seperti pegawai baru lainnya yang harus melalui tahap demi tahap dalam
perusahaan, namun kini setelah kehidupan kami semakin baik, dia berpaling pada
wanita lain. Saya benar-benar sakit hati. Apakah Adilla tidak ingat dengan
masa-masa sulit kami dulu?”
“Asmi, betapa menjadi istri itu tidak
bisa pamrih. Ikhlas, Asmi. Hanya keikhlasan yang akan membuat seorang istri
merasakan kebahagiaan dalam mendampingi suaminya. Seperti seorang ibu yang
ikhlas melahirkan anaknya walaupun melahirkan itu sakit. Seperti keikhlasan
orangtua dalam membesarkan anak-anaknya, walaupun dalam membesarkan
anak-anaknya begitu banyak pengorbanan yang harus dilakukan oleh mereka. Namun
ketika anak-anaknya sudah bisa hidup mandiri, tak pernah ada orangtua yang ingin mengingatkan anak-anaknya betapa besar
pengorbanan mereka dalam membesarkan anak-anaknya. Hanya anak-anak yang sholeh
yang akan mengingat bahwa mereka bisa hidup karena atas jasa orangtua. Demikian
juga dengan suami kita, Asmi. Kita tidak
perlu mengingatkan suami kita dengan segala pengorbanan kita. Biarkanlah suami kita yang menilai dan
merasakan sendiri. Mereka juga punya hati nurani dan perasaan.”
Fatimah mengelus bahu Asmi.
“Mengenai kebahagiaan diwajah suamimu
setelah pernikahannya dengan Ninda, yang membuat hatimu merasa panas, seharusnya engkau
bersyukur. Biarlah mereka berdua merasakan kebahagiaan itu. Engkau tidak perlu
merasa iri dan dengki karena kebahagiaan yang terpancar pada wajah Adilla, juga
pernah dirasakan olehmu ketika dia mempersuntingmu. Kebahagiaan yang dirasakan
oleh Ninda, juga pernah dirasakan olehmu. Setiap orang berhak merasa bahagia.
Dan Ninda tidak bahagia diatas penderitaanmu. Dia sudah mengalami penderitaan
jauh lebih hebat dibandingkan dirimu. Kamu bisa merasakan, betapa berat buat
Ninda dari seseorang yang hidup serba berkecukupan, lalu Allah mengambil hampir
semua hartanya sehingga Ninda mengalami perubahan hidup yang luar biasa. Namun
Ninda nampak tegar dan tabah. Dia tidak pernah mengeluh. Dia menerima semua itu
dengan penuh kesabaran. Allah Maha Melihat. Allah senantiasa mengawasi semua
makhluk-Nya. Allah tak pernah tidur. Allah melihat bagaimana kesabaran dan
ketabahan Ninda dalam menerima ujian dan cobaan-Nya. Allah juga melihat dan
mengawasimu. Ketika kau diberi nikmat-Nya. Ketika kau diberinya kebahagiaan
yang seakan tiada hentinya. Kini Allah mengujimu. Allah ingin melihat, sampai
dimana keimananmu dalam menerima dan menjalani segala ujian dan cobaan-Nya.”
Asmi hanya menangis. Kata-kata Fatimah
masuk kedalam hatinya, bisa dimengertinya, namun hati kecilnya tetap tidak bisa
menerima. Ninda telah merebut Adilla. Dan
dia merasa tidak berdaya.
“Shalat dan bacalah Al-Qur’an.” Ucap
Fatimah lembut. “Shalat dan membaca
Al-Qur’an sambil melihat artinya, akan membukakan mata dan pikiran kita untuk
melihat dan menghadapi setiap persoalan yang kita hadapi denga pikiran dan perasaan yang jernih. Semua
manusia memiliki hawa nafsu, Asmi. Namun kita diberi akal untuk bisa
mengendalikan hawa nafsu kita. Agar kita tetap bisa menjalani kehidupan kita
dengan tenang dan terarah.”
Asmi mengangguk walaupun airmatanya masih
menetes membasahi pipinya.
“Terima kasih, bu Fat. Bantulah saya
dengan doa agar saya kuat menjalani semua ini sebagai lelakon hidup saya.”
Bu Fatimah mengangguk. “Insya Allah,
kau pasti kuat, nak.”
--- 0 ---
Aku ternyata tidak ikhlas dengan
perkawinan Adilla dan Ninda, kata Asmi dalam hati. Aku hanya mengucapkan kata
ikhlas dimulutku saja. Namun tidak tembus hingga kedalam hatiku. Ya Allah,
betapa tersiksanya aku melakukan kemunafikan, ketika kata yang aku ucapkan
hanyalah sebuah kedustaan untuk menutupi perasaan kalah dan tersisih oleh
kehadiran wanita lain dalam kehidupan suamiku. Betapa tersiksanya perasaanku. Betapa sulitnya aku
memadamkan api semburu dalam dadaku yang selalu membara dan berkobar. Ya Allah,
siramilah hatiku dengan kesejukanMu.
Buatlah diriku untuk mau menerima semua takdirMu ini dengan hati yang lapang
dan tulus ikhlas.
Asmi bersujud sambil menangis.
Shalatnya telah usai dikerjakan. Namun dia masih belum ingin beranjak dari
sajadahnya. Airmatanya seakan tumpah. Dan tak pernah kering. Selalu mengalir
sejak pernikahan Adilla dengan Ninda. Betapa beratnya menjalani permaduan.
Selalu ada rasa cemburu dan dengki yang menggerogoti perasaannya. Ya Allah,
tolonglah aku. Buatlah diriku merasa bahagia seperti yang pernah aku rasakan
ketika Ninda belum hadir dalam perkawinan kami.
Asmi melipat mukenanya. Tatapannya terpaku pada photo perkawinannya.
Mereka begitu bahagia. Siapa menduha bila kemudian akan hadir wanita lain dalam
kehidupan perkawinan mereka.
Asmi menghapus airmatanya. Aku mencintaimu,
Dill. Namun aku tidak ma uterus menerus sakit oleh beban perasaan yang
mengganggu kalbuku. Aku ingin menemukan kembali kenyamanan dan ketenangan yang
pernah aku miliki dan aku rasakan, walaupun aku harus hidup tanpamu lagi. Aku
harus mengambil keputusan yang terbaik untuk hidupku.
Malam itu Asmi menunggu Adilla. Dia
menunggu kesempatan untuk bicara. Ditunggunya saat yang tepat.
“Adilla, aku ingin bicara denganmu.”
Kata Asmi hati-hati.
Adilla menatapnya. “Ada apa?”
Asmi menghela napas dalam. “Dill, aku
sudah memikirkan dan mempertimbangkan berkali-kali. Aku merasa berat mengatakannya kepadamu. Namun aku juga tidak
ingin terbelenggu oleh kesakitan-kesakitan yang aku rasakan selama ini…..”
Adilla sudah merasa, ada sesuatu yang
ingin diucapkan Asmi kepadanya. Dia menatap istrinya. Wajah istrinya kelihatan
tenang.
“Aku minta cerai, Dill.” Kata Asmi.
Dia menatap bayinya yang sedang tertidur lelap.
Adilla terpaku menatap istrinya. Lalu
dia menggeleng pelan. “Tidak, Asmi. Aku tidak berniat menceraikanmu sampai
kapanpun.” Sahut Adilla.
“Aku tetap ingin bercerai.” Ucap Asmi.
Kini matanya sudah basah. Ditatapnya wajah suaminya. “Tolonglah aku, Dill.
Tolonglah aku. Aku sudah tidak sanggup lagi menjalani kehidupan perkawinan
seperti ini. Aku tidak bisa lagi menenangkan perasaanku pada saat aku menyadari
bahwa perkawinan kita sudah tidak utuh lagi. Kau sudah memiliki istri lain
selain aku. Kau memiliki perkawinan lain selain perkawinan kita. Tolonglah aku,
Dill. Tolonglah aku. Aku sudah tidak sanggup lagi menjalani semua ini…….”
Adilla menatap Asmi yang tengah
menangis. “Asmi, aku minta maaf kepadamu. Perkawinan kita sudah berjalan
bertahun-tahun. Aku mencintaimu. Dan akan tetap mencintaimu. Maafkan aku dengan
perkawinanku dengan Ninda……”
“Dill, kau sudah memiliki perkawinan
dengan Ninda. Aku tidak bisa lagi menjalankan tugasku sebagai istrimu dengan
penuh keikhlasan seperti yang kulakukan dulu sebelum Ninda hadir diantara kita.
Aku sekarang merasa tidak akan bisa lagi
seperti aku yang dulu. Maafkan aku, aku tidak bisa terus menerus berpura-pura.
Aku sudah kehilangan kebahagiaanku dengan perkawinan kita ini. Aku tak ingin
terus menerus terbelenggu dengan kemunafikan, seakan aku menikmati dan bahagia
dengan permaduan ini. Aku tetap ingin bercerai. Aku sudah memikirkannya
berulang kali. Ini adalah jalan terbaik buat kita, Dill.”
“Asmi, kurasa sudah tidak ada masalah
lagi. Aku sudah berusaha berbuat adil kepadamu dan kepada Ninda. Maafkan bila
aku memiliki banyak kekurangan dalam menjalankan kewajibanku sebagai suami….”
Asmi menangis. Tidak dapatkah Adilla
merasakan kecemburuan-kecemburuan yang membakar dadanya semenjak perkawinan
Adilla dengan Ninda? Selama ini dia hanya memendam semua perasaannya itu dalam
lubuk hatinya. Atas nama istri yang sholeh, dia mengorbankan perasaannya
sendiri. Kesholehan yang dipertaruhkan diatas bara api cemburu. Ya Allah,
maafkan aku. Aku takut keimananku kepadamu akan goyah bila aku tetap bertahan
dengan perkawinan yang penuh dengan kecemburuan dan kedengkian ini. Shalatku
tak lagi khusyu. Sering dihiasi dengan isak tangis dan airmata. Doa-doaku penuh
rasa sakit hati dan cemburu. Kenapa aku tidak bisa ikhlas menerima semua ini?
Kenapa aku tidak bisa meyakinkan hatiku bahwa perkawinanku ini adalah sebuah
ibadah yang sungguh tidak ternilai?
--- 0 ---
Malam itu Asmi bersiap-siap akan
menutup tokonya. Biasanya Mardiatun yang menjaga toko sampai tutup. Namun
hari ini Mardiatun ijin. Ibunya sakit.
Jadi Asmi yang menggantikannya. Dia sudah bilang pada Adilla hari ini dia akan pulang
telat.
Diluar hujan turun dengan derasnya.
Suara curah hujan gemuruh menimpa
genteng. Pembeli sudah berkurang. Pekerja-pekerja tokonya sudah pulang semua.
Asmi melihat jam antik disudut ruangan toko.
Waktu sudah menunjukan pukul delapan tiga puluh lima menit. Sebentar
lagi dia akan menutup tokonya.
Asmi
menelepon Adilla. “Mas Dill, sebentar lagi aku pulang, ya.” Kata Asmi.
“Disini hujan deras, lho.”
“Ya, aku sendiri sekarang dalam
perjalanan pulang. Hati-hati, ya.” Sahut Adilla.
“Ya.” Asmi menutup telepon genggamnya.
Asmi baru selesai menghitung uang. Dia
mengunci laci tempat uang. Mendadak
seseorang masuk kedalam tokonya. Asmi
melihat kedatangan lelaki berjaket hitam itu. Wajah lelaki itu basah oleh air hujan. Asmi
melihat pada wadah kaca tempat roti dan kue dipajang. Masih ada beberapa
macam roti dan kue yang tersisa.
Asmi berdiri menyambut kedatangan
pembelinya.
“Silahkan, pak. Roti dan kuenya masih
ada.”
Lelaki itu tidak menuju pada tempat
roti dan kue dipajang. Dia mendekati Asmi, lalu berdiri menatap Asmi
dengan tatapan tajam. Perasaan Asmi
berdebar melihat cara lelaki itu menatapnya. Perasaannya menjadi tidak enak.
Mendadak dia ketakutan. Namun belum sempat dia berpikir apapun, lelaki itu
menarik sesuatu yang terselip diperutnya. Seketika Asmi sadar, apa yang tengah
terjadi. Perampok.
Lelaki itu menodongkan pistolnya
kearahnya. Asmi membuka mulutnya akan berteriak meminta tolong. Namun sebelum
dia sempat membuka mulutnya, lelaki itu
telah menembakkan pistolnya kearahnya. Sebuah peluru dengan cepat melesat
keluar dari pistol itu dan menembus
dadanya. Asmi menjerit kesakitan. Sesaat kemudian tubuhnya rubuh. Dia terkapar bersimbah darah. Asmi masih sempat
melihat wajah lelaki itu, dengan dingin menatapnya. Sesaat kemudian Asmi tidak
melihat apa-apa lagi. Segalanya menjadi gelap.
--- 0 ---
Malam itu berita kematian Asmi,
pemilik toko roti dan kue ‘Safrina’ menggemparkan warga disekitar toko itu.
Dalam sekejap, ditengah curah hujan yang semakin deras, warga berdatangan dan
berdesakan didepan toko kue itu. Yang pertama mengetahui kejadian itu adalah
tukang beca yang biasa mangkal tidak jauh dari toko kue itu. Dia melihat
seorang lelaki berpakaian hitam keluar
dari toko dengan langkah tergesa, lalu bergegas menaiki motor yang sudah
menunggunya ditepi jalan, tidak jauh dari toko itu. Dalam sekejap motor yang dikendarai salah
seorang temannya melesat pergi. Tukang becak itu curiga. Apalagi samar-samar
dia mendengar bunyi letusan dari dalam toko
itu. Bergegas dia memberitahu salah seorang tukang becak lainnya yang
baru datang. Mereka berdua masuk kedalam toko dan melihat seorang wanita sudah
terkapar dilantai bersimbah darang. Kedua tukang becak itu melaporkan kejadian
itu kepada salah seorang warga. Dalam sekejap berita pembunuhan itu sudah
menyebar.
Polisi dan wartawan berdatangan
melihat lokasi kejadian. Polisi
memeriksa toko. Wartawan mencatat kejadian itu. Polisi menyelidiki apa
motif dari pembunuhan itu. Namun dari
hasil pemeriksaan ditempat kejadian perkaran, polisi tidak menemukan satupun
barang didalam toko itu yang rusak atau hilang.
Uang dalam laci masih dalam keadaan utuh. Beberapa barang berharga yang
ada didalam toko itu seperti televisi berukuran besar dan sebuah jam antik tetap berada pada tempatnya. Nampaknya
bukan perampokan yang menjadi motif pembunuhan itu.
Adiila shock mendapatkan Asmi sudah
tidak bernyawa dalam keadaan bersimbah darah. Anisa menjerit-jerit memanggil
ibunya.
Esok paginya Ninda mendadak histeris.
Dia memeluk Adilla erat-erat. Wajahnya pucat pasi.
“Mas Dill, aku tidak tahu apa-apa.
Demi Allah aku tidak tahu apa-apa!” Ninda menangis histeris. Wajahnya
ketakutan.
“Tenanglah, Ninda. Ada apa?” bujuk
Adilla berusaha menenangkan istrinya.
“Demi Allah, Mas Dill. Aku tidak tahu apa-apa
dengan apa yang terjadi pada Mbak Asmi.” Ninda masih histeris ketakutan.
“Ninda, sayang. Aku percaya kamu tidak
tahu apa-apa dengan kejadian ini.
Tenanglah dulu, ceritakan kepadaku, ada apa?”
Ninda menyerahkan telepon genggamnya pada Adilla. Adilla
melihat sejumlah pesan pendek menumpuk
ditelepon genggam istrinya dari nomor yang sama.
Ninda,
akulah yang telah membunuh Asmi. Aku melakukannya demi kamu. Aku terus dikejar
perasaan berdosa telah menyakiti perasaanmu.
Aku
juga dikejar perasaan berdosa ayahku telah menipu ayahmu sehingga perusahaannya
hancur. Namun kau dan orangtuamu tidak
pernah menuntut dan mencari kami. Apalagi melaporkan kami kepada pihak berwajib.
Hukum
karma telah menimpa kami sekeluarga. Ayahku stroke dan sekarang sudah meninggal.
Hidupku sendiri kacau. Aku berjudi dan hartaku habis dimeja judi. Aku sekarang
miskin, tidak punya apa-apa lagi.
Aku
terima karma itu. namun aku tetap tidak bisa melupakan perasaan berdosaku
kepadamu. Aku mendengar engkau telah
menikah dengan Adilla. Aku senang mendengar kau sudah menjadi istri Adilla. Aku
percaya Adilla akan menjadi suami yang baik bagimu. Dan aku tahu kamu mencintai Adilla.
Aku
ingin engkau memiliki Adilla seutuhnya. Tanpa kamu harus berbagi cinta dengan
wanita lain. Ninda, akulah Rizal yang telah membunuh Asmi. Aku melakukan semua
ini untuk menebus perasaan berdosa kepadamu dan aku ingin membuatmu bahagia.
Adilla
terpaku usai membaca beberapa pesan pendek ditelepon genggam Ninda.
Rizal. Dia sudah gila, pikir Adilla. Ya, laki-laki itu sudah gila. Dia orang
berbahaya. Asmi tidak berdosa. Kenapa Rizal harus membunuh Asmi? Kenapa? Apa
salah dan dosa Asmi?
Adilla
memperlihatkan pesan pendek itu kepada pihak berwajib. Besoknya beberapa media yang meliput berita pembunuhan
itu menulis, Rizal ditetapkan sebagai
buronan.
--- 0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar