Pada jaman dahlu kala,
hiduplah seorang raja dengan tiga puterinya yang cantik jelita. Yang sulung bernama Herlina, yang nomor dua Sharina,
dan yang bungsu bernama Haliza.
Raja dan ratu sangat menyayangi ketiga
puterinya dan memanjakan mereka. Setelah besar, Herlina tumbuh menjadi
seorang puteri yang congkak dan angkuh. Apalagi dia menyadari suatu saat kelak
dialah yang akan menggantikan kedudukan ayahnya menjadi seorang ratu. Sharina
pemalas dan pemarah, pekerjaan sehari-harinya hanya dudud-duduk ditaman sambil
bermain-main dengan binatang-binatang peliharaannya. Sementara yang bungsu,
Haliza, tumbuh menjadi puteri yang berkepribadian hangat, periang dan baik
hati.
Pada suatu hari raja jatuh sakit yang sangat parah. Tak ada seorang pun
tabib istana yang bisa menyembuhkan raja. Namun salah seorang tabib akhirnya
mengatakan bahwa raja bisa sembuh oleh sebuah ramuan dari sejenis mawar
berwarna ungu. Mawar ungu itu tumbuh pada sebuah pulau kecil yang berada ditengah
sebuah telaga. Sementara telaga itu
sendiri berada didalam sebuah hutan belantara. Menurut tabib itu, bunga itu harus dipetik oleh salah seorang
puteri raja.
Akhirnya ratu membicarakan masalah itu dengan ketiga puterinya. Ratu
meminta puteri sulungnya untuk pergi
ketengah hutan untuk memetik mawar ungu itu.
“Baiklah bunda, saya akan pergi.” Kata Puteri Herlina. “Tapi saya minta
pengawalan dari prajurit istana dan perbekalan selama saya melakukan
perjalanan.”
Esok harinya puteri Herlina pergi menuju hutan. Ketika telah tiba di
hutan yang dimaksud, rombongan berhenti disebuah telaga yang berair hitam
pekat. Itulah telaga yang dimaksud oleh
tabib istana itu. Didekat telaga itu ada sebuah pondok kecil. Seorang kakek yang buruk rupa sedang duduk didepan
pondoknya.
“Mau pergi kemanakah tuan puteri?” tanya kakek itu dengan ramah.
“Eh kakek, saya mau menyeberang ke tengah telaga itu. Bisakah aku
meminjam perahu itu?” Tanya Herlina
sambil menunjuk sebuah perahu yang tertambat ditepi telaga.
“Ada keperluan apakah tuan puteri hendak pergi ketengah telaga itu?
Telaga itu beracun. Sungguh berbahaya
menyeberangi telaga itu.” Kata kakek
itu.
“Aku tidak peduli.” Sahut Herlina dengan ketus. “Lagi pula bukan aku yang
akan menyeberang kesana tapi pengawalku.”
Kakek itu tersenyum. “Kalau aku
meminjamimu perahuku, apa yang akan tuan puteri berikan kepadaku sebagai
imbalannya?”
“Aku membawa emas berlian. Aku bisa menyewa perahumu dengan emas berlian
yang kubawa.“ sahut Herlina dengan nada congkak.
“Aku tidak membutuhkan emas berlian.
Yang ku inginkan sebagai imbalannya, tolong bersihkan pondokku ini
dengan tanganmu sendiri.”
“Kakek sialan. Kau pikir aku ini pelayanmu?” Herlina melotot gusar. “Aku seoranhg puteri raja. Tak sepantasnya
kau berbicara seperti itu kepadaku!”
Herlina menoleh pada salah seorang
pengawalnya. “Ambil saja perahu itu dan
pergilah ketengah telaga itu. Petik mawar ungu yang dimaksud oleh tabib istana.”
Pengawal segera melaksanakan perintah. Dia menuju tepi telaga akan
mengambil perahu yang tertambat disana. Namun tiba-tiba dia memekik dan
terhuyung-huyung. Sesaat kemudian dia
terkapar ditepi telaga. Mati seketika. Semuanya menatap dengan kaget. Salah
seorang pengawal memburu pengawal yang mati itu. Namun tiba-tiba saja pengawal itu pun jatuh
tersungkur. Nasibnya sama dengan temannya.
”Telaga itu benar-benar
beracun!” seru salah seorang
pengawal lain.
Herlina menjadi ketakutan. Dia tak mau membuang nyawanya dengan percuma.
Hanya dengan mencium bau telaga itu saja pengawalnya sudah mati. Dia melihat
kakek itu pergi kedalam pondoknya lalu menutup pintu dan tidak keluar lagi.
Akhirnya Herlina memutuskan kembali keistana tanpa hasil
“Bunda maafkan saya. Saya telah
gagal memetik mawar ungu untuk obat
ayahanda.” Katanya setiba di istana.
“Tidak apa-apa anakku, kamu sudah mau berusaha” sahut ratu.
“Biarlah saya saja yang berangkat
bunda” Kata Sharina.
“Pergilah anakku, semoga usahamu berhasil.”
Keesokan harinya Sharina berangkat menuju hutan didampingi pengawal dan perbekalan yang lengkap seperti Herlina. Setelah beberapa hari tibalah dia ditepi
telahga itu. Dia termangu menatap telaga yang hitam pekat itu. Bau menyengat
menusuk hidungnya. Dia melihat seorang kakek buruk rupa sedang duduk didepan pondoknya.
Sharina menegur kakek itu.
“Kakek, bisakah aku meminjam perahumu?”
“Ada keperluan apakah tuan puteri
hendak pergi ketengah telaga yang
beracun itu?”
“Bisa tidak aku meminjam perahumu?” Sharina tidak menjawab pertanyaan
kakek itu.
“Huh gadis sombong. Aku tidak mau meminjamkan perahuku.” Sahut kakek itu
dengan nada kesal.
Sharina memerintahkan salah seoang pengawalnya mengambil perahu yang
tertambat ditepi telaga tanpa meminta ijin lagi kepada pemiliknya. Namun
seperti yang dialami pengawal puteri Herlina, perngawal itu pun langsung
terhuyung dan mati seketika. Akhirnya Sharina memutuskan kembali.
Ratu semakin bersedih. Penyakit raja semakin parah. Akhirnya Haliza
memutuskan dia yang akan pergi. Dia tidak mau dikawal dan hanya membawa
perbekalan secukupnya saja. Ratu mengiringi kepergian puteri bungsunnya dengan
doa. Tinggal Haliza harapan satu-satunya yang bisa membawa pulang mawar ungu
itu.
Setelah sekian lama berjalan dan hanya memakan buah-buahan yang dtemuinya
ditengah perjalanan, akhirnya Haliza tiba di tepi telaga hitam itu. Dia melihat
seorang kakek sedang duduk seorang diri
didepan pondoknya.
“Kakek, kepunyaan siapakah perahu itu? Bolehkah saya meminjamnya?” sapa
Haliza dengan sopan.
Kakek itu memperhatikan Haliza
sesaat lalu mendengus kesal. “Huh! Sudah dua orang puteri yang datang kesini.
Semuanya sombong dan angkuh.”
“Oh, barangkali yang kakek maksud adalah kedua orang kakak saya. Maafkanlah mereka jika mereka kurang sopan,
kakek. Barangkali mereka sedang kebingungan karena begitu tergesa-gesa ingin
segera pergi ke tengah telaga itu untuk memetik mawar ungu yang akan dipakai
sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit ayahanda.” Kata Haliza.
“Apa yang bisa kau berikan padaku bila aku meminjamkan perahuku?”
“Saya tidak membawa bekal yang banyak kakek, tapi saya bisa membalas
kebaikan kakek dengan membersihkan
pondok kakek dan memasak masakan
yang enak untuk kakekl”
“Kalau begitu kerjakanlah dulu
sebelum kamu meminjam perahuku.”
“Baiklah.” Sahut Haliza segera.
Haliza segera membersihkan pondok
kakek itu yang kotor penuh debu.
Dia bekerja dengan rajin dan cekatan. Setelah itu dia memasak untuk makan malam
kakek itu. Ketika malam tiba, dia membersihkan tempat tidur kakek itu hingga si
kakek bisa tidur dengan nyaman. Setelah kakek itu tertidur, barulah Haliza
tidur didapur dengan beralaskan tumpukan jerami.
Malam itu Haliza tidur dengan nyenyak sekali. Dalam tidurnya dia bermimpi.
Rasanya dia sedang berada disebuah taman bunga mawar. Semua mawar
yang tumbuh ditaman itu berwarna ungu. Indah sekali. Apalagi sinar
mentari yang cerah menyinari taman bunga itu sehingga bunga-bunga mawar ungu
itu kelihatan indah berkilauan. Tiba-tiba Haliza melihat seorang pemuda sedang berdiri
ditengah-tengah taman bunga mawar ungu itu. Pemuda itu tersenyum menatapnya
lalu mendekatinya.
“Engkau gadis yang baik.” kata
pemuda itu dengan ramah. “Petiklah bunga
mawar ungu ini untuk mengobati penyakit ayahmu.”
Haliza baru akan memetik bunga mawar itu ketika tiba-tiba dia terjaga
dari tidurnya. Oh, tenyata hari sudah siang. Sinar matahari menyilaukan
matanya.
“Oh aku kesiangan.” Kata Haliza. “Aku harus segera pergi ketengah telaga
itu untuk memetik mawar ungu.”
Haliza mencari kakek itu. Namun yang ditemuinya adalah seorang pemuda
tampan yang sedang duduk dan tersenyum
ketika melihat kedatangannya. Haliza
terkejut. Wajah pemuda itu persis seperti pemuda dalam impiannya.
“Selamat pagi, Haliza. Sudah dari tadi aku menunggumu.” Sapa pemuda itu.
“Oh siapakah kamu dan kemana kakek?” tanya Haliza.
“Aku akan mengantarmu pergi menyeberang ketengah telaga itu dan memetik
mawar ungu yang kau cari.” Kata pemuda
itu tanpa menjawab pertanyaan Haliza.
“Tapi kemana kakek? Aku harus meminta ijin dulu kepadanya.”
Pemuda itu tersenyum. “Lebih baik
kita pergi ketengah telaga itu sekarang.”
Akhirnya Haliza menurut. Mereka
menyeberang telaga itu. Haliza merasa heran, dia sama sekali tidak
mencium bau busuk dari telaga itu seperti cerita kedua kakakknya. Akhirnya
mereka tiba ditengah telaga itu. Benar
saja ditengah telaga itu ada sebuah pulau kecil yang penuh dengan mawar ungu. Indah sekali. Persis
seperti dalam mimpinya semalam.
”Oh indah sekali.” Seru Haliza kagum.
“Petiklah beberapa tangkai mawar ungu itu untuk obat ayahmu!” kata pemuda itu.
Haliza memetik beberapa bunga mawar. Setelah itu mereka lalu menyeberangi
telaga itu kembali. Setelah mendarat, barulah Haliza menyadari, pondok
kakek itu telah lenyap tak berbekas.
“Oh, kemanakah perginya pondok
kakek? Aku harus mengucapkan terima kasih pada kakek yang telah menolongku.”
Kata Haliza.
Pemdua itu tersenyum. “Akulah kakek itu, Haliza. Aku sebenarnya adalah
seorang pangeran dari kerajaan yang bertetangga
dengan kerajaan ayahmu. Ketika aku sedang berburu menjangan, aku telah salah memanah menjangan peliharaan
seorang nenek sihir sehingga dia marah dan menyihirku menjadi seorang kakek
yang buruk rupa. Aku meminta berulang-ulang dan memohon agar nenek sihir itu
mau memulihkan kembali keadaanku seperti sediakala. Akhirnya nenek sihir itu
mau mengampuni aku namun dia tak bisa
mencabut sihirnya begitu saja. Dia mengatakan, aku harus menjaga telaga
miliknya ini dan nanti bila aku bertemu
dengan seorang gadis yang baik budi pekertinya
dan menyayangiku, keadaanku akan pulih kembali seperti sedia kala.”
“Oh, syukurlah kalau begitu.” Kata Haliza yang turut merasa gembira
karena sang pangeran telah pulih kembali seperti sedia kala.
Sang pangeran mengantarkan Haliza pulang keistananya. Kedatangan puteri
Haliza disambut dengan gembira. Mawar ungu yang dibawanya langsung diseduh dan
airnya diminumkan kepada raja. Raja sembuh seketika. Tidak lama kemudian Haliza
menikah dengan pangeran itu. Mereka hidup rukun dan bahagia.
--- 0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar