Jumat, 10 Mei 2013

Mawar Ungu





Pada jaman dahlu kala, hiduplah seorang raja dengan tiga puterinya yang cantik jelita. Yang  sulung bernama  Herlina, yang nomor dua  Sharina,  dan yang bungsu  bernama Haliza. Raja dan ratu sangat menyayangi ketiga  puterinya dan memanjakan mereka. Setelah besar, Herlina tumbuh menjadi seorang puteri yang congkak dan angkuh. Apalagi dia menyadari suatu saat kelak dialah yang akan menggantikan kedudukan ayahnya menjadi seorang ratu. Sharina pemalas dan pemarah, pekerjaan sehari-harinya hanya dudud-duduk ditaman sambil bermain-main dengan binatang-binatang peliharaannya. Sementara yang bungsu, Haliza, tumbuh menjadi puteri yang berkepribadian hangat, periang dan baik hati. 
Pada suatu hari raja jatuh sakit yang sangat parah. Tak ada seorang pun tabib istana yang bisa menyembuhkan raja. Namun salah seorang tabib akhirnya mengatakan bahwa raja bisa sembuh oleh sebuah ramuan dari sejenis mawar berwarna ungu. Mawar ungu itu tumbuh pada sebuah pulau kecil yang berada ditengah sebuah telaga.  Sementara telaga itu sendiri berada didalam sebuah hutan belantara. Menurut tabib itu,  bunga itu harus dipetik oleh salah seorang puteri raja.
Akhirnya ratu membicarakan masalah itu dengan ketiga puterinya. Ratu meminta puteri sulungnya untuk  pergi ketengah hutan untuk memetik mawar ungu itu.
“Baiklah bunda, saya akan pergi.” Kata Puteri Herlina. “Tapi saya minta pengawalan dari prajurit istana dan perbekalan selama saya melakukan perjalanan.”
Esok harinya puteri Herlina pergi menuju hutan. Ketika telah tiba di hutan yang dimaksud, rombongan berhenti disebuah telaga yang berair hitam pekat. Itulah telaga yang  dimaksud oleh tabib istana itu. Didekat telaga itu ada sebuah pondok kecil.  Seorang kakek yang buruk rupa sedang duduk didepan pondoknya.
“Mau pergi kemanakah tuan puteri?” tanya kakek itu dengan ramah.
“Eh kakek, saya mau menyeberang ke tengah telaga itu. Bisakah aku meminjam perahu itu?” Tanya Herlina  sambil menunjuk sebuah perahu yang tertambat ditepi telaga.
“Ada keperluan apakah tuan puteri hendak pergi ketengah telaga itu? Telaga itu beracun.  Sungguh berbahaya menyeberangi telaga itu.” Kata kakek  itu.
“Aku tidak peduli.” Sahut Herlina dengan ketus. “Lagi pula bukan aku yang akan menyeberang kesana tapi pengawalku.”
Kakek  itu tersenyum. “Kalau aku meminjamimu perahuku, apa yang akan tuan puteri berikan kepadaku sebagai imbalannya?”
“Aku membawa emas berlian. Aku bisa menyewa perahumu dengan emas berlian yang kubawa.“ sahut Herlina dengan nada congkak.
“Aku tidak membutuhkan emas berlian.  Yang ku inginkan sebagai imbalannya, tolong bersihkan pondokku ini dengan tanganmu sendiri.”
“Kakek sialan. Kau pikir aku ini pelayanmu?” Herlina  melotot gusar.  “Aku seoranhg puteri raja. Tak sepantasnya kau berbicara seperti itu kepadaku!”
Herlina menoleh  pada salah seorang pengawalnya.  “Ambil saja perahu itu dan pergilah ketengah telaga itu. Petik mawar ungu yang dimaksud oleh tabib  istana.”
Pengawal segera melaksanakan perintah. Dia menuju tepi telaga akan mengambil perahu yang tertambat disana. Namun tiba-tiba dia memekik dan terhuyung-huyung. Sesaat kemudian  dia terkapar ditepi telaga. Mati seketika. Semuanya menatap dengan kaget. Salah seorang pengawal memburu pengawal yang mati itu. Namun  tiba-tiba saja pengawal itu pun jatuh tersungkur. Nasibnya sama dengan temannya. 
”Telaga itu benar-benar  beracun!”  seru salah seorang pengawal lain.
Herlina menjadi ketakutan. Dia tak mau membuang nyawanya dengan percuma. Hanya dengan mencium bau telaga itu saja pengawalnya sudah mati. Dia melihat kakek itu pergi kedalam pondoknya lalu menutup pintu dan tidak keluar lagi.
Akhirnya Herlina memutuskan kembali keistana tanpa hasil
“Bunda maafkan saya. Saya telah  gagal memetik mawar ungu untuk obat  ayahanda.” Katanya setiba di istana.
“Tidak apa-apa anakku, kamu sudah mau berusaha” sahut ratu.
“Biarlah  saya saja yang berangkat bunda” Kata Sharina.
“Pergilah anakku, semoga usahamu berhasil.”
Keesokan harinya Sharina berangkat menuju hutan  didampingi pengawal dan perbekalan  yang lengkap seperti Herlina.  Setelah beberapa hari tibalah dia ditepi telahga itu. Dia termangu menatap telaga yang hitam pekat itu. Bau menyengat menusuk hidungnya. Dia melihat seorang kakek buruk rupa sedang duduk didepan pondoknya. Sharina menegur  kakek  itu.
“Kakek, bisakah aku meminjam perahumu?”
“Ada keperluan apakah tuan puteri  hendak pergi ketengah telaga  yang beracun itu?”
“Bisa tidak aku meminjam perahumu?” Sharina tidak menjawab pertanyaan kakek itu.
“Huh gadis sombong. Aku tidak mau meminjamkan perahuku.” Sahut kakek itu dengan nada kesal.
Sharina memerintahkan salah seoang pengawalnya mengambil perahu yang tertambat ditepi telaga tanpa meminta ijin lagi kepada pemiliknya. Namun seperti yang dialami pengawal puteri Herlina, perngawal itu pun langsung terhuyung dan mati seketika. Akhirnya Sharina memutuskan kembali.
Ratu semakin bersedih. Penyakit raja semakin parah. Akhirnya Haliza memutuskan dia yang akan pergi. Dia tidak mau dikawal dan hanya membawa perbekalan secukupnya saja. Ratu mengiringi kepergian puteri bungsunnya dengan doa. Tinggal Haliza harapan satu-satunya yang bisa membawa pulang mawar ungu itu.
Setelah sekian lama berjalan dan hanya memakan buah-buahan yang dtemuinya ditengah perjalanan, akhirnya Haliza tiba di tepi telaga hitam itu. Dia melihat seorang kakek  sedang duduk seorang diri didepan pondoknya.
“Kakek, kepunyaan siapakah perahu itu? Bolehkah saya meminjamnya?” sapa Haliza dengan sopan.
Kakek  itu memperhatikan Haliza sesaat lalu mendengus kesal. “Huh! Sudah dua orang puteri yang datang kesini. Semuanya sombong dan angkuh.”
“Oh, barangkali yang kakek maksud adalah kedua orang kakak saya.  Maafkanlah mereka jika mereka kurang sopan, kakek. Barangkali mereka sedang kebingungan karena begitu tergesa-gesa ingin segera pergi ke tengah telaga itu untuk memetik mawar ungu yang akan dipakai sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit ayahanda.” Kata Haliza.
“Apa yang bisa kau berikan padaku bila aku meminjamkan perahuku?”
“Saya tidak membawa bekal yang banyak kakek, tapi saya  bisa membalas  kebaikan kakek dengan membersihkan  pondok kakek dan memasak masakan  yang enak untuk kakekl”
“Kalau begitu kerjakanlah  dulu sebelum kamu meminjam perahuku.”
“Baiklah.”  Sahut Haliza segera.
Haliza segera membersihkan pondok  kakek  itu yang kotor penuh debu. Dia bekerja dengan rajin dan cekatan. Setelah itu dia memasak untuk makan malam kakek itu. Ketika malam tiba, dia membersihkan tempat tidur kakek itu hingga si kakek bisa tidur dengan nyaman. Setelah kakek itu tertidur, barulah Haliza tidur didapur dengan beralaskan tumpukan jerami.
Malam itu Haliza tidur dengan nyenyak sekali. Dalam tidurnya dia  bermimpi.  Rasanya dia sedang berada disebuah taman bunga mawar.  Semua mawar  yang tumbuh ditaman itu berwarna ungu. Indah sekali. Apalagi sinar mentari yang cerah menyinari taman bunga itu sehingga bunga-bunga mawar ungu itu kelihatan indah berkilauan. Tiba-tiba Haliza  melihat seorang pemuda sedang berdiri ditengah-tengah taman bunga mawar ungu itu. Pemuda itu tersenyum menatapnya lalu mendekatinya.
“Engkau gadis yang baik.”  kata pemuda itu dengan ramah.  “Petiklah bunga mawar ungu ini untuk mengobati penyakit ayahmu.”
Haliza baru akan memetik bunga mawar itu ketika tiba-tiba dia terjaga dari tidurnya. Oh, tenyata hari sudah siang. Sinar matahari menyilaukan matanya.
“Oh aku kesiangan.” Kata Haliza. “Aku harus segera pergi ketengah telaga itu untuk memetik mawar ungu.”
Haliza mencari kakek itu. Namun yang ditemuinya adalah seorang pemuda tampan yang sedang  duduk dan tersenyum ketika  melihat kedatangannya. Haliza terkejut. Wajah pemuda itu persis seperti pemuda dalam impiannya.
“Selamat pagi, Haliza. Sudah dari tadi aku menunggumu.” Sapa pemuda itu.
“Oh siapakah kamu dan kemana kakek?” tanya Haliza.
“Aku akan mengantarmu pergi menyeberang ketengah telaga itu dan memetik mawar ungu yang kau cari.”  Kata pemuda itu tanpa  menjawab pertanyaan Haliza.
“Tapi kemana kakek? Aku harus meminta ijin dulu kepadanya.”
Pemuda itu tersenyum. “Lebih  baik kita pergi ketengah telaga itu sekarang.”
Akhirnya Haliza menurut. Mereka  menyeberang telaga itu. Haliza merasa heran, dia sama sekali tidak mencium bau busuk dari telaga itu seperti cerita kedua kakakknya. Akhirnya mereka tiba ditengah  telaga itu. Benar saja ditengah telaga itu ada sebuah pulau kecil yang penuh  dengan mawar ungu. Indah sekali. Persis seperti dalam mimpinya semalam. 
”Oh indah sekali.” Seru Haliza kagum. 
“Petiklah beberapa tangkai mawar ungu itu untuk obat ayahmu!”  kata pemuda itu.
Haliza memetik beberapa bunga mawar. Setelah itu mereka lalu menyeberangi telaga itu kembali. Setelah mendarat, barulah Haliza menyadari, pondok kakek  itu telah lenyap tak berbekas.
“Oh, kemanakah  perginya pondok kakek? Aku harus mengucapkan terima kasih pada kakek yang telah menolongku.” Kata Haliza.
Pemdua itu tersenyum. “Akulah kakek itu, Haliza. Aku sebenarnya adalah seorang pangeran dari kerajaan yang bertetangga  dengan kerajaan ayahmu. Ketika aku sedang berburu menjangan,   aku telah salah memanah menjangan peliharaan seorang nenek sihir sehingga dia marah dan menyihirku menjadi seorang kakek yang buruk rupa. Aku meminta berulang-ulang dan memohon agar nenek sihir itu mau memulihkan kembali keadaanku seperti sediakala. Akhirnya nenek sihir itu mau mengampuni aku namun  dia tak bisa mencabut sihirnya begitu saja. Dia mengatakan, aku harus menjaga telaga miliknya  ini dan nanti bila aku bertemu dengan seorang gadis yang baik budi pekertinya  dan menyayangiku, keadaanku akan pulih kembali seperti sedia kala.”
“Oh, syukurlah kalau begitu.” Kata Haliza yang turut merasa gembira karena sang pangeran telah pulih kembali seperti sedia kala.
Sang pangeran mengantarkan Haliza pulang keistananya. Kedatangan puteri Haliza disambut dengan gembira. Mawar ungu yang dibawanya langsung diseduh dan airnya diminumkan kepada raja. Raja sembuh seketika. Tidak lama kemudian Haliza menikah dengan pangeran itu. Mereka hidup rukun dan bahagia. 

--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar