Jumat, 10 Mei 2013

RANA





Samad adalah seorang petani. Sepanjang hidupnya dia selalu bekerja keras. Ketika masih kanak-kanak hingga remaja, dia rajin bekerja membantu ayahnya di sawah dan ladang. Setelah menikah, Samad makin rajin bekerja untuk menghidupi isteri dan ketiga anak perempuannya. Anaknya yang sulung bernama Hindun,  yang kedua Ambi dan yang bungsu  bernama Rana. Diantara ketiga anaknya, hanya Rana yang paling rajinbekerja membantu kedua orangtuanya disawah dan ladang. Sementara Hindun dan Ambi, lebih senang bersolek dan bermain-main sepanjang hari.
Usia Samad makin lama makin tua dan sering sakit-sakitan. Tenaganya pun semakin lama terasa semakin emah. Hingga pada suatu hari Samad merasa bahwa usianya sudah tidak akan lama lagi. Dia memanggil isterinya dan ketiga anaknya.
“Isteriku, anak-anakku, ayah merasa hiidup ayah tidak akan lama lagi.”kata Samad dengan suara lemah. “Ayah bukan orang kaya, namun ayah meninggalkan sawah dan ladang yang cukup untuk kalian. Peliharalah baik-baik sawah dan ladang itu karena hasil dari sawah dan ladang akan cukup untuk  menghidupi kalian.”
Tidak lama kemudian setelah itu  Samad meninggal dunia dengan tenang. Isteri dan ketiga anaknya  merasa sangat kehilangan karena Samad adalah seorang suami dan ayah yang baik. Setelah ayahnya meninggal, Hindun dan Ambi mau  membantu ibu dan Rana  bekerja disawah.  Namun hal itu tidak berlangsung lama. Hindun dan Ambi tidak ingat lagi kepada pesan ayahnya. Mereka sepanjang hari kembali hanya berdandan dan bermain-main, sementara ibunya dan Rana bekerja disawah dan ladang sepanjang hari.
Pada suatu hari ibunya jatuh sakit. Makin lama semakin parah. Untuk mengobati ibunya, Rana membeli obat dengan uang peninggalan ayahnya. Namun meskipun sudah diberi obat, sakit ibunya tidak kunjung sembuh juga. Karena sibuk mengurus  ibunya, sawah dan ladang jadi terbengkalai. Rana tidak serajin dulu lagi pergi ke sawah dan ladang. Padi, kentang dan sayur mayur yang ditanam disawah dan ladang hasilnya tidak sebanyak dulu lagi. Sementara  itu uang peninggalan ayahnya telah habis untuk membeli obat dan kehidupan mereka sehari-hari. Akhirnya  sawah  dijual untuk membeli obat dan untuk menghidupi mereka. Kini mereka hanya memiliki sepetak kecil ladang yang ditanami dengan kentang.
Pada suatu hari ketika Rana sedang bekerja di ladang, dia melihat seorang laki-laki tua lewat. Jalannya pincang dan tubuhnya dipenuhi dengan penyakit kulit. Beberapa orang penduduk desa yang berpapasan dengan kakek itu menyingkir dengan perasaan jijik. Kakek itu kelihatan sangat payah. Jalannya sudah sempoyongan. Ketika melihat Rana sedang bekerja di ladang, kakek itu mendekati Rana.
“Nak, bolehkah kakek meminta makanan dan seteguk air? Kakek sangat lapar dan haus sekali.” Kata kakek itu dengan  nafas terengah-engah.
Rana berhenti bekerja. Dia merasa iba sekali melihat kakek itu. Rana teringat kepada ayahnya yang telah meninggal. Timbulah rasa kasihan kepada kakek itu.
“Mari Kek, saya membawa sedikit makanan dan minuman.” Rana mengajak kakek itu kebawah sebuah pohon  besar yang tumbuh didekat  ladangnya. Dibawah pohon itu Rana menaruh bekalnya.
Rana  membuka bungkusan bekalnya. Dia membawa lima butir kentang rebus dan sebotol air putih. Diberikannya botol minumannya dan tiga butir kentang rebus kepada kakek itu. Kakek itu memakan kentang rebus itu dengan lahap dan meminum habis air dalam botol.
“Terima kasih, Nak. Kau sungguh baik sekali.”
Kakek itu lalu mengeluarkan tiga kelopak mawar dari dalam saku bajunya. Tiga kelopak mawar itu masing-masing berwarna merah, jingga dan putih.
“Nak, sebagai ucapan rasa terima kasih, kakek memberimu tiga kelopak mawar ini. Bila engkau menaruh kelopak mawar merah didalam mulutmu, engkau akan dapat memahami bahasa tumbuhan. Bila engkau menaruh kelopak mawar jingga ini, engkau akan bisa memahami bahasa binatang. Dan bila engkau menaruh kelopak mawar putih ini didalam mulutmu, engkau akan bisa menghilang. Pergunakanlah ketiga kelopak mawar ini bila engkau memerlukannya.”
Rana menerima ketiga kelopak mawar itu. Sesaat kemudian kakek itu tiba-tiba menghilang dari hadapan Rana. Rana mengerti, kakek itu  pasti seorang kakek sakti.
Rana ingin mencoba keajaiban salah sebuah kelopak mawar itu. Dia meletakan kelopak mawar merah dimulutnya. Sesaat kemudian dia mendengar pohon besar yang disandariunya, berkata kepada pohon didekatnya.
“Tubuhku sudah semakin tua. Kalau ada angin ribut, tubuhku pasti akan tumbang karena batang tubuhku sudah keropos.” Kata pohon besar itu. “Padahal ketika aku masih muda, tubuhku sangat kuat. Waktu aku masih muda dulu, ada seorang perampok yang menyembunyikan harta   hasil rampokannya dibawah akarku. Rupanya dia berniat licik tidak mau membagi hasil rampokannya selama bertahun-tahun dengan temannya. Ketika perampok itu telah selesai menimbun peti hartanya dibawah akarku, temannya datang menyusul. Mereka lalu bertengkar dan saling menikam. Kedua perampok  itu sama-sama terbunuh oleh senjata lawan. Berpuluh-puluh tahun lamanya aku menyimpan peti  harta itu namun tak seorangpun yang tahu dengan kejadian itu. Kalau suatu saat aku tumbang, mungkin barulah ada orang yang bisa menemukan peti harta dibawah akarku ini.”
Rana mengeluarkan kelopak mawar merah itu  lalu bergegas pulang.  Namun ketika tiba disebuah kolam. Rana tertarik melihat ikan-ikan yang sedang berenang diam kemari. Rana meletakan kelopak mawar jingga didalam mulutnya. Setelah itu dia duduk ditepi kolam. Salah seekor ikan yang besar berkata kepada temannya.
“Beberapa waktu lalu, seorang pangeran dengan teman-temannya baru pulang berburu dan  lewat melalui  jalan  ini.  Pangeran itu bermaksud akan mencuci mukanya dikolam, namun tiba-tiba cincin yang dikenakannya terlepas dan jatuh kedalam kolam.  Aku yang melihat sebuah benda terjatuh, kukira adalah makanan sehingga aku segera menelannya. Namun ternyata benda itu adalah  cincin milik sang pangeran. Kalau saja ada yang bisa mengeluarkan cincin itu dari dalam tubuhku, tubuhku tentu tidak akan tersiksa seperti ini.”
Rana merasa takjub. Dia segera pulang kerumahnya dan kembali lagi ke kolam dengan jala. Setelah berusaha beberapa kali, ikan yang tadi bicara berhasil masuk kedalam jala. Rana berusaha mengeluarkan cincin dari dalam tubuh ikan itu melalui mulut ikan  itu.  Akhirnya cincin itu berhasil dikeluarkan. Dengan gembira Rana melepaskan ikan itu kembali ke dalam kolam. Ikan itu pun berenang kian kemari dengan gembira.
Keesokan harinya Rana pamitan kepada ibunya. Dia akan pergi ke istana kerajaan dan menyerahkan cincin itu kepada sang pangeran. Namun ternyata tidak mudah untuk bisa menghadap sang pangeran. Meskipun Rana sudah berkata jujur bahwa dia akan menyerahkan cincin pangeran yang hilang, Rana malah diusir karena tidak mau memperlihatkan cincin yang ditemukannya itu kepada pengawal. Akhirnya Rana diusir. Namun Rana tidak kehilangan akal. Dia segera menaruh kelopak mawar putih didalam mulutnya. Seketika tubuh Rana menghilang.  Dengan mudah Rana bisa masuk kedalam istana tanpa ada yang melihatnya. Rana mencari-cari kamar sang pangeran. Tidak mudah mencari mana kamar sang pangeran karena di istana begitu banyak kamar. Namun tiba-tiba  Rana melihat salah satu kamar pintunya agak terkuak sedikit. Lewat pintu itu Rana melihat didalam kamar itu ada seorang pangeran yang sedang berdiri  termenung didepan jendela kamarnya sambil memandang keluar.  Rana segera masuk kedalam kamar itu. Dia mengeluarkan kelopak mawar  putih dari dalam mulutnya dan menyapa sang pangeran dengan hati-hati.
“Maafkanlah kelancangan hamba, Pangeran. Hamba datang tanpa permisi.”  Tegur Rana dengan sopan.
Pangeran itu menoleh. Dia kelihatan sangat terkejut ketika melihat seorang gadis sudah berada dikamarnya. “Siapa kau?” tanya sang pangeran.
“Hamba datang kemari untuk menyerahkan cincin tuanku yang hilang.”  Kata Rana sambil menyerahkan cincin itu.
Pangeran menerima cincin itu dan mengamat-amatinya. Mendadak wajahnya menjadi berseri-seri. “Benar, ini cincinku. Dimana kau menemukan cincinku ini?” tanya sang pangeran suka cita.
“Hamba menemukannya  didalam kolam” sahut Rana.
“Oh ya, beberapa waktu lalu aku pulang berburu dan bermaksud mencuci mukaku dengan air kolam. Namun sial, pada saat mengambil air itu, cincinku terlepas dan masuk kedalam kolam.”  Kata sang pangeran. “Kau akan kuberi hadiah karena cincin ini adalah cincin yang sangat berharga bagiku. Cincin ini hanya dikenakan oleh pewaris takhta kerajaan. Tunggu sebentar ya, aku akan mengambil hadiah untukmu.”
“Oh, jangan. Hamba harus segera pulang. Ibuku sedang sakit keras. Ibu pasti sudah cemas menungguku” kata Rana tergesa-gesa.
“Tunggu! Siapa namamu?” tanya sang pangeran.
“Nama hamba Rana.”
“Dimana rumahmu??”
“Didesa, ditepi hutan.”
Cepat-cepat Rana menaruh kelopak mawar putih didalam mulutnya dan menghilang. Rana lalu bergegas pulang tanpa kesulitan melewati penjaga-penjaga istana yang ketat.
Ketika Rana tiba dirumahnya, ibunya sedang menunggunya dengan cemas. “Ibu sangat cemas, kau lama sekali pergi, nak.” Kata ibunya.
“Ibu jangan khawatir. Besok saya akan membeli obat yang lebih bagus buat ibu agar ibu bisa segera sembuh. Saya juga akan membelikan ibu baju dan makanan yang enak-enak.” Kata Rana sambil tersenyum.
“Oh, uang kita sudah habis, nak. Darimana kau mendapat uang untuk membeli semuanya?” tanya ibunya.
Rana kembali tersenyum. “Ibu jangan khawatir, semua itu akan bisa kita beli.” Lalu dengan singkat Rana menceritakan tentang rahasia pohon tua didekat ladang  mereka. Ibunya merasa gembira dan mendoakan semoga Rana berhasil menemukan harta itu.
Namun tanpa sepengetahuan Rana dan ibunya, Hindun dan Ambi mendengarkan percakapan mereka. Malam itu juga ketika Rana dan ibunya sudah tidur, Hindun dan Ambi mengambil kapak dan bergegas pergi ke ladang mereka. Mereka bekerja keras menebang pohon tua itu. Menjelang pagi hari keduanya berhasil menebang pohon tua itu. Benar saja, dibawah akar pohon itu ada sebuah peti yang berisi harta benda yang sangat berharga. Uang emas serta berbagai macam perhiasan dari emas berlian. Hindun dan Ambi bersorak gembira melihat harta yang begitu banyak. Mereka berdua sepakat akan pergi ke kota dan menjual harta benda itu. Uang hasil penjualannya akan digunakan untuk bersenang-senang. Dikota pasti banyak hal-hal yang menyenangkan asalkan mereka punya uang. Dan sekarang uang itu sudah mereka miliki.
Sementara itu ketika pagi harinya Rana pergi ke ladang akan mencari harta dibawah pohon  itu, dia terperanjat karena pohon  itu sudah  ada yang menebang. Rana segera tahu, kedua kakaknyalah yang telah menebang pohon itu karena ketika Rana  akan berangkat tadi pagi, dia  tidak melihat Hindun dan Ambi dirumahnya.
Rana segera pulang kerumahnya dan menangis tersedu-sedu. Dia merasa kecewa karena tidak bisa membelikan obat, baju dan makanan yang enak-enak seperti yang dijanjikannya kepada ibunya  kemarin.
“Sudahlah, nak. Tidak perlu engkau merasa sedih dan kecewa. Kau anak yang baik. Niatmu sangat baik. Semoga  Tuhan memberikan balasan kepadamu.”
 Tiba-tiba terdengar suara gaduh diluar rumah. Rana melongok dari  jendela. Dia merasa terkejut melihat enam orang berkuda  berhenti didepan pondoknya. Salah seorang penunggang kuda itu adalah sang pangeran.
Oh, rupanya sang pangeran datang untuk memberikan hadiah kepada Rana karena jasa Rana yang telah berhasil menemukan cincinnya sebagai simbol putera mahkota. Cincin itu sangat berarti bagi sang pangeran karena cincin itu menandakan suatu saat dirinyalah yang akan menjadi raja menggantikan ayahandanya sebagai pewaris takhta kerajaan.
Sang  pangeran merasa iba melihat keadaan ibunya Rana. Akhirnya sang pangeran membawa Rana dan ibunya ke istana. Ibunya dirawat dengan baik oleh tabib istana. Sementara Rana mendapat tempat di keputren dan mendapat perlakuan yang baik seperti layaknya seorang puteri. Akhirnya sang pangeran menikah dengan Rana. Pesta perkawinan mereka diselenggarakan dengan meriah.
Sementara itu Hindun dan Ambi sudah menghabiskan harta yang mereka temukan itu. Mereka hidup berfoya-foya dan menghamburkan semua uang yang mereka miliki. Tidak lama kemudian, mereka telah miskin kembali. Mereka pulang kembali ke desa mereka. Namun mereka tidak menemukan Rana dan ibunya. Dari orang-orang desa, tahulah mereka bahwa Rana dan ibunya tinggal di istana. Tanpa malu-malu, mereka segera pergi ke istana dan meminta tinggal di istana.
Ketika melihat kedatangan kedua kakaknya, Rana lalu menceritakan kelakuan Hindun dan Ambi kepada suaminya. Sang pangeran menolak Hindun dan Ambi yang ingin tinggal di istana.  Pangeran memerintahkan Hindun dan Ambi kembali ke  desa mereka dan menggarap ladang peninggalan ayah  mereka. Apa boleh buat, akhirnya Hindun dan Ambi kembali ke desa mereka dan terpaksa harus bekerja keras untuk mendapatkan uang dari hasil penjualan tanaman yang mereka tanam di ladang. Mereka menyesal telah membuang-buang waktu dengan percuma karena ternyata untuk mendapatkan uang itu tidak semudah yang mereka bayangkan. Mereka harus bekerja keras dulu untuk bisa mendapatkan uang.  Mereka berjanji akan merubah sifat mereka yang buruk dan akan mengingat pesan ayah mereka dulu sebelum meninggal dunia.
Sementara itu Rana hidup bahagia disamping sang pangeran yang sangat mencintai dan menyayanginya. Ibu Rana pun sekarang sudah sembuh dan merasa bahagia menyaksikan kebahagiaan Rana.

--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar