Samad adalah seorang petani. Sepanjang
hidupnya dia selalu bekerja keras. Ketika masih kanak-kanak hingga remaja, dia
rajin bekerja membantu ayahnya di sawah dan ladang. Setelah menikah, Samad
makin rajin bekerja untuk menghidupi isteri dan ketiga anak perempuannya.
Anaknya yang sulung bernama Hindun, yang
kedua Ambi dan yang bungsu bernama Rana.
Diantara ketiga anaknya, hanya Rana yang paling rajinbekerja membantu kedua orangtuanya
disawah dan ladang. Sementara Hindun dan Ambi, lebih senang bersolek dan
bermain-main sepanjang hari.
Usia Samad makin lama makin tua dan
sering sakit-sakitan. Tenaganya pun semakin lama terasa semakin emah. Hingga
pada suatu hari Samad merasa bahwa usianya sudah tidak akan lama lagi. Dia
memanggil isterinya dan ketiga anaknya.
“Isteriku, anak-anakku, ayah merasa
hiidup ayah tidak akan lama lagi.”kata Samad dengan suara lemah. “Ayah bukan
orang kaya, namun ayah meninggalkan sawah dan ladang yang cukup untuk kalian.
Peliharalah baik-baik sawah dan ladang itu karena hasil dari sawah dan ladang
akan cukup untuk menghidupi kalian.”
Tidak lama kemudian setelah itu Samad meninggal dunia dengan tenang. Isteri
dan ketiga anaknya merasa sangat
kehilangan karena Samad adalah seorang suami dan ayah yang baik. Setelah
ayahnya meninggal, Hindun dan Ambi mau
membantu ibu dan Rana bekerja
disawah. Namun hal itu tidak berlangsung
lama. Hindun dan Ambi tidak ingat lagi kepada pesan ayahnya. Mereka sepanjang
hari kembali hanya berdandan dan bermain-main, sementara ibunya dan Rana bekerja
disawah dan ladang sepanjang hari.
Pada suatu hari ibunya jatuh sakit.
Makin lama semakin parah. Untuk mengobati ibunya, Rana membeli obat dengan uang
peninggalan ayahnya. Namun meskipun sudah diberi obat, sakit ibunya tidak
kunjung sembuh juga. Karena sibuk mengurus
ibunya, sawah dan ladang jadi terbengkalai. Rana tidak serajin dulu lagi
pergi ke sawah dan ladang. Padi, kentang dan sayur mayur yang ditanam disawah
dan ladang hasilnya tidak sebanyak dulu lagi. Sementara itu uang peninggalan ayahnya telah habis
untuk membeli obat dan kehidupan mereka sehari-hari. Akhirnya sawah
dijual untuk membeli obat dan untuk menghidupi mereka. Kini mereka hanya
memiliki sepetak kecil ladang yang ditanami dengan kentang.
Pada suatu hari ketika Rana sedang
bekerja di ladang, dia melihat seorang laki-laki tua lewat. Jalannya pincang
dan tubuhnya dipenuhi dengan penyakit kulit. Beberapa orang penduduk desa yang
berpapasan dengan kakek itu menyingkir dengan perasaan jijik. Kakek itu
kelihatan sangat payah. Jalannya sudah sempoyongan. Ketika melihat Rana sedang
bekerja di ladang, kakek itu mendekati Rana.
“Nak, bolehkah kakek meminta makanan
dan seteguk air? Kakek sangat lapar dan haus sekali.” Kata kakek itu
dengan nafas terengah-engah.
Rana berhenti bekerja. Dia merasa iba
sekali melihat kakek itu. Rana teringat kepada ayahnya yang telah meninggal.
Timbulah rasa kasihan kepada kakek itu.
“Mari Kek, saya membawa sedikit
makanan dan minuman.” Rana mengajak kakek itu kebawah sebuah pohon besar yang tumbuh didekat ladangnya. Dibawah pohon itu Rana menaruh
bekalnya.
Rana
membuka bungkusan bekalnya. Dia membawa lima butir kentang rebus dan
sebotol air putih. Diberikannya botol minumannya dan tiga butir kentang rebus
kepada kakek itu. Kakek itu memakan kentang rebus itu dengan lahap dan meminum
habis air dalam botol.
“Terima kasih, Nak. Kau sungguh baik
sekali.”
Kakek itu lalu mengeluarkan tiga
kelopak mawar dari dalam saku bajunya. Tiga kelopak mawar itu masing-masing
berwarna merah, jingga dan putih.
“Nak, sebagai ucapan rasa terima
kasih, kakek memberimu tiga kelopak mawar ini. Bila engkau menaruh kelopak
mawar merah didalam mulutmu, engkau akan dapat memahami bahasa tumbuhan. Bila
engkau menaruh kelopak mawar jingga ini, engkau akan bisa memahami bahasa
binatang. Dan bila engkau menaruh kelopak mawar putih ini didalam mulutmu,
engkau akan bisa menghilang. Pergunakanlah ketiga kelopak mawar ini bila engkau
memerlukannya.”
Rana menerima ketiga kelopak mawar
itu. Sesaat kemudian kakek itu tiba-tiba menghilang dari hadapan Rana. Rana
mengerti, kakek itu pasti seorang kakek
sakti.
Rana ingin mencoba keajaiban salah
sebuah kelopak mawar itu. Dia meletakan kelopak mawar merah dimulutnya. Sesaat
kemudian dia mendengar pohon besar yang disandariunya, berkata kepada pohon
didekatnya.
“Tubuhku sudah semakin tua. Kalau ada
angin ribut, tubuhku pasti akan tumbang karena batang tubuhku sudah keropos.”
Kata pohon besar itu. “Padahal ketika aku masih muda, tubuhku sangat kuat.
Waktu aku masih muda dulu, ada seorang perampok yang menyembunyikan harta hasil rampokannya dibawah akarku. Rupanya
dia berniat licik tidak mau membagi hasil rampokannya selama bertahun-tahun
dengan temannya. Ketika perampok itu telah selesai menimbun peti hartanya
dibawah akarku, temannya datang menyusul. Mereka lalu bertengkar dan saling
menikam. Kedua perampok itu sama-sama
terbunuh oleh senjata lawan. Berpuluh-puluh tahun lamanya aku menyimpan
peti harta itu namun tak seorangpun yang
tahu dengan kejadian itu. Kalau suatu saat aku tumbang, mungkin barulah ada
orang yang bisa menemukan peti harta dibawah akarku ini.”
Rana mengeluarkan kelopak mawar merah
itu lalu bergegas pulang. Namun ketika tiba disebuah kolam. Rana
tertarik melihat ikan-ikan yang sedang berenang diam kemari. Rana meletakan
kelopak mawar jingga didalam mulutnya. Setelah itu dia duduk ditepi kolam.
Salah seekor ikan yang besar berkata kepada temannya.
“Beberapa waktu lalu, seorang pangeran
dengan teman-temannya baru pulang berburu dan
lewat melalui jalan ini.
Pangeran itu bermaksud akan mencuci mukanya dikolam, namun tiba-tiba
cincin yang dikenakannya terlepas dan jatuh kedalam kolam. Aku yang melihat sebuah benda terjatuh,
kukira adalah makanan sehingga aku segera menelannya. Namun ternyata benda itu
adalah cincin milik sang pangeran. Kalau
saja ada yang bisa mengeluarkan cincin itu dari dalam tubuhku, tubuhku tentu
tidak akan tersiksa seperti ini.”
Rana merasa takjub. Dia segera pulang
kerumahnya dan kembali lagi ke kolam dengan jala. Setelah berusaha beberapa
kali, ikan yang tadi bicara berhasil masuk kedalam jala. Rana berusaha
mengeluarkan cincin dari dalam tubuh ikan itu melalui mulut ikan itu.
Akhirnya cincin itu berhasil dikeluarkan. Dengan gembira Rana melepaskan
ikan itu kembali ke dalam kolam. Ikan itu pun berenang kian kemari dengan
gembira.
Keesokan harinya Rana pamitan kepada
ibunya. Dia akan pergi ke istana kerajaan dan menyerahkan cincin itu kepada
sang pangeran. Namun ternyata tidak mudah untuk bisa menghadap sang pangeran.
Meskipun Rana sudah berkata jujur bahwa dia akan menyerahkan cincin pangeran
yang hilang, Rana malah diusir karena tidak mau memperlihatkan cincin yang
ditemukannya itu kepada pengawal. Akhirnya Rana diusir. Namun Rana tidak
kehilangan akal. Dia segera menaruh kelopak mawar putih didalam mulutnya. Seketika
tubuh Rana menghilang. Dengan mudah Rana
bisa masuk kedalam istana tanpa ada yang melihatnya. Rana mencari-cari kamar
sang pangeran. Tidak mudah mencari mana kamar sang pangeran karena di istana
begitu banyak kamar. Namun tiba-tiba
Rana melihat salah satu kamar pintunya agak terkuak sedikit. Lewat pintu
itu Rana melihat didalam kamar itu ada seorang pangeran yang sedang
berdiri termenung didepan jendela
kamarnya sambil memandang keluar. Rana
segera masuk kedalam kamar itu. Dia mengeluarkan kelopak mawar putih dari dalam mulutnya dan menyapa sang
pangeran dengan hati-hati.
“Maafkanlah kelancangan hamba,
Pangeran. Hamba datang tanpa permisi.”
Tegur Rana dengan sopan.
Pangeran itu menoleh. Dia kelihatan
sangat terkejut ketika melihat seorang gadis sudah berada dikamarnya. “Siapa
kau?” tanya sang pangeran.
“Hamba datang kemari untuk menyerahkan
cincin tuanku yang hilang.” Kata Rana
sambil menyerahkan cincin itu.
Pangeran menerima cincin itu dan
mengamat-amatinya. Mendadak wajahnya menjadi berseri-seri. “Benar, ini
cincinku. Dimana kau menemukan cincinku ini?” tanya sang pangeran suka cita.
“Hamba menemukannya didalam kolam” sahut Rana.
“Oh ya, beberapa waktu lalu aku pulang
berburu dan bermaksud mencuci mukaku dengan air kolam. Namun sial, pada saat mengambil
air itu, cincinku terlepas dan masuk kedalam kolam.” Kata sang pangeran. “Kau akan kuberi hadiah
karena cincin ini adalah cincin yang sangat berharga bagiku. Cincin ini hanya
dikenakan oleh pewaris takhta kerajaan. Tunggu sebentar ya, aku akan mengambil
hadiah untukmu.”
“Oh, jangan. Hamba harus segera
pulang. Ibuku sedang sakit keras. Ibu pasti sudah cemas menungguku” kata Rana
tergesa-gesa.
“Tunggu! Siapa namamu?” tanya sang
pangeran.
“Nama hamba Rana.”
“Dimana rumahmu??”
“Didesa, ditepi hutan.”
Cepat-cepat Rana menaruh kelopak mawar
putih didalam mulutnya dan menghilang. Rana lalu bergegas pulang tanpa
kesulitan melewati penjaga-penjaga istana yang ketat.
Ketika Rana tiba dirumahnya, ibunya
sedang menunggunya dengan cemas. “Ibu sangat cemas, kau lama sekali pergi,
nak.” Kata ibunya.
“Ibu jangan khawatir. Besok saya akan
membeli obat yang lebih bagus buat ibu agar ibu bisa segera sembuh. Saya juga
akan membelikan ibu baju dan makanan yang enak-enak.” Kata Rana sambil
tersenyum.
“Oh, uang kita sudah habis, nak.
Darimana kau mendapat uang untuk membeli semuanya?” tanya ibunya.
Rana kembali tersenyum. “Ibu jangan
khawatir, semua itu akan bisa kita beli.” Lalu dengan singkat Rana menceritakan
tentang rahasia pohon tua didekat ladang
mereka. Ibunya merasa gembira dan mendoakan semoga Rana berhasil
menemukan harta itu.
Namun tanpa sepengetahuan Rana dan
ibunya, Hindun dan Ambi mendengarkan percakapan mereka. Malam itu juga ketika
Rana dan ibunya sudah tidur, Hindun dan Ambi mengambil kapak dan bergegas pergi
ke ladang mereka. Mereka bekerja keras menebang pohon tua itu. Menjelang pagi
hari keduanya berhasil menebang pohon tua itu. Benar saja, dibawah akar pohon
itu ada sebuah peti yang berisi harta benda yang sangat berharga. Uang emas
serta berbagai macam perhiasan dari emas berlian. Hindun dan Ambi bersorak
gembira melihat harta yang begitu banyak. Mereka berdua sepakat akan pergi ke
kota dan menjual harta benda itu. Uang hasil penjualannya akan digunakan untuk
bersenang-senang. Dikota pasti banyak hal-hal yang menyenangkan asalkan mereka
punya uang. Dan sekarang uang itu sudah mereka miliki.
Sementara itu ketika pagi harinya Rana
pergi ke ladang akan mencari harta dibawah pohon itu, dia terperanjat karena pohon itu sudah
ada yang menebang. Rana segera tahu, kedua kakaknyalah yang telah
menebang pohon itu karena ketika Rana
akan berangkat tadi pagi, dia
tidak melihat Hindun dan Ambi dirumahnya.
Rana segera pulang kerumahnya dan
menangis tersedu-sedu. Dia merasa kecewa karena tidak bisa membelikan obat,
baju dan makanan yang enak-enak seperti yang dijanjikannya kepada ibunya kemarin.
“Sudahlah, nak. Tidak perlu engkau
merasa sedih dan kecewa. Kau anak yang baik. Niatmu sangat baik. Semoga Tuhan memberikan balasan kepadamu.”
Tiba-tiba terdengar suara gaduh diluar rumah.
Rana melongok dari jendela. Dia merasa
terkejut melihat enam orang berkuda
berhenti didepan pondoknya. Salah seorang penunggang kuda itu adalah
sang pangeran.
Oh, rupanya sang pangeran datang untuk
memberikan hadiah kepada Rana karena jasa Rana yang telah berhasil menemukan
cincinnya sebagai simbol putera mahkota. Cincin itu sangat berarti bagi sang
pangeran karena cincin itu menandakan suatu saat dirinyalah yang akan menjadi
raja menggantikan ayahandanya sebagai pewaris takhta kerajaan.
Sang
pangeran merasa iba melihat keadaan ibunya Rana. Akhirnya sang pangeran
membawa Rana dan ibunya ke istana. Ibunya dirawat dengan baik oleh tabib
istana. Sementara Rana mendapat tempat di keputren dan mendapat perlakuan yang
baik seperti layaknya seorang puteri. Akhirnya sang pangeran menikah dengan
Rana. Pesta perkawinan mereka diselenggarakan dengan meriah.
Sementara itu Hindun dan Ambi sudah
menghabiskan harta yang mereka temukan itu. Mereka hidup berfoya-foya dan
menghamburkan semua uang yang mereka miliki. Tidak lama kemudian, mereka telah
miskin kembali. Mereka pulang kembali ke desa mereka. Namun mereka tidak
menemukan Rana dan ibunya. Dari orang-orang desa, tahulah mereka bahwa Rana dan
ibunya tinggal di istana. Tanpa malu-malu, mereka segera pergi ke istana dan
meminta tinggal di istana.
Ketika melihat kedatangan kedua
kakaknya, Rana lalu menceritakan kelakuan Hindun dan Ambi kepada suaminya. Sang
pangeran menolak Hindun dan Ambi yang ingin tinggal di istana. Pangeran memerintahkan Hindun dan Ambi
kembali ke desa mereka dan menggarap
ladang peninggalan ayah mereka. Apa
boleh buat, akhirnya Hindun dan Ambi kembali ke desa mereka dan terpaksa harus
bekerja keras untuk mendapatkan uang dari hasil penjualan tanaman yang mereka
tanam di ladang. Mereka menyesal telah membuang-buang waktu dengan percuma
karena ternyata untuk mendapatkan uang itu tidak semudah yang mereka bayangkan.
Mereka harus bekerja keras dulu untuk bisa mendapatkan uang. Mereka berjanji akan merubah sifat mereka
yang buruk dan akan mengingat pesan ayah mereka dulu sebelum meninggal dunia.
Sementara itu Rana hidup bahagia
disamping sang pangeran yang sangat mencintai dan menyayanginya. Ibu Rana pun
sekarang sudah sembuh dan merasa bahagia menyaksikan kebahagiaan Rana.
--- 0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar