Sabtu, 12 Maret 2016

Mala dan Adela




Mala dan Adela


Matahari bersinar cerah. Udara dingin dilereng bukit terasa  hangat ketika matahari bersinar semakin terang.  Mala menggiring kambing-kambingnya menaiki lereng bukit. Perasaannya terasa cemas. Rumput hijau yang segar makanan kambing-kambingnya yang biasanya terhampar luas memenuhi lereng bukit kini semuanya mengering. Kemarau yang panjang telah membuat rumput hijau itu kuning mengering.
Mala menggiring kambing-kambingnya semakin jauh menaiki lereng bukit berharap akan menemukan rumput hijau. Lereng bukit itu sangat luas. Pastilah ada tempat yang masih menyisakan rumput hijau segar untuk kambing-kambingnya. Namun hingga jauh menanjak yang terlihat hanyalah rerumputan kecokelatan yang kering. Kambing-kambingnya berlarian semakin jauh keatas. Mala ikut berlari mengejar kambing-kambingnya dengan nafas terengah-engah.
“Tunggu! Jangan terlalu jauh!” teriak Mala keras.
Namun kambing-kambingnya tidak mendengarkan teriakannya. Mereka berlari semakin cepat menaiki lereng bukit. Mala tertinggal dari kambing-kambingnya yang berlari semakin cepat menuju kepuncak bukit. . Semakin Mala mengejar, semakin cepat mereka berlari hingga akhirnya Mala tertinggal dari kambing-kambingnya.
“Ah, kambing-kambing nakal. Mereka meninggalkan aku.” Gerutu Mala sambil berlari semakin kencang menaiki bukit. Akhirnya Mala berhasil mengejar kambing-kambingnya keatas bukit. Mala berdiri ditempatnya dan mengedarkan pandangannya kesekelilingnya. Desanya terlihat jauh dibawah. Yang terlihat hanya atap-atap rumah dan jalanan desa yang berkelak-kelok.
“Ah, perjalanan kita hari ini jauh sekali. Atap-atap rumah penduduk desa sangat jauh dari pandangan.” Kata Mala pada kambingnya.

 Tiba-tiba disebelah kanannya dia melihat dari kejauhan ada tempat yang menghijau. Rumput disana pastilah hijau segar.
“Ah, akhirnya aku mendapatkan juga rumput hijau yang segar.” Kata Mala gembira.
“Ayo, kita kesana!” Seru Mala pada kambing-kambingnya.
Mala  segera menggiring kambing-kambingnya kearah tempat itu. Dia mengira tempat itu dekat namun ternyata tempat itu masih agak  jauh karena naik turun lereng bukit. Namun Mala terus melangkah dengan penuh semangat menuju kearah tempat itu. Kambing-kambingnya berlarian gembira mengikutinya. Akhirnya mereka tiba juga ditempat itu. Kambing-kambingnya segera merumput dengan lahap. Rumput-rumput itu terlihat hijau segar dan sehat. Mala duduk pada sebuah batu besar sambil memakan bekalnya. Selesai memakan bekalnya, Mala berjalan ketepi lereng. Dibawah tempatnya berdiri, dia melihat ada sebuah pondok kayu. Pondok kayu itu terlihat bersih dan terawat baik.
“Ah, siapakah yang tinggal di pondok kayu itu? Tempatnya cukup jauh dari desa.” Pikir Mala.
Tiba-tiba pintu pondok itu terbuka. Mala terkejut. Gadis yang usianya sebaya dengan Mala, keluar dari dalam pondok itu. Gadis berambut panjang itu kelihatan terkejut ketika melihat Mala yang tengah berdiri ditempat yang tinggi tidak jauh dari pondoknya.
“Hai, siapa kamu?” tanya gadis itu. “Kenapa kamu berdiri disana?”
“Aku tengah menggembalakan kambing-kambingku didekat sini.” Sahut Mala.
“Menggembalakan kambing? Kamu penduduk desa dibawah ya?” tanya gadis itu lagi.
“Ya.”
“Kenapa menggembalakan kambingmu hingga sampai kesini? Apakah ditempat yang lebih dekat dengan desamu tidak ada rumput?”
“Tempat dimana biasanya kambing-kambingku merumput kering karena kemarau. Jadi aku terpaksa mencari tempat rumput yang lebih segar. Dan akhirnya aku menemukan tempat ini. Rumput dilereng bukit ini lebih hijau dan segar walaupun masih musim kemarau.” Ucap Mala.
“Ya, rumput disini selalu hijau dan segar karena ada mata air yang mengalir didekat tempat ini. Walaupun musim kemarau panjang namun rumput-rumput disini tetap hijau dan segar.” Kata gadis itu. “Aku juga memiliki beberapa ekor kambing. Aku biasa menggembalakan kambing-kambingku disini.”
“Mata air? Dimana letak mata air itu?” tanya Mala tertarik.
“Disebelah sana. Tidak jauh dari belakang kandang kambingku.” Sahut gadis itu. “Kamu mau melihatnya?”
“Ya, aku ingin melihatnya.” Sahut Mala sambil meloncat turun kebawah. Mala mengikuti gadis itu berjalan menuju mata air yang berada tidak terlalu jauh dari belakang kandang kambing  gadis itu.
“Siapa namamu?” tanya gadis itu sambil menoleh menatap Mala.
“Mala. Dan kau?” sahut Mala.
“Adela.” Sahut Adela. Mereka melintasi jalanan bebatuan hingga akhirnya tiba ditempat mata air itu.
“Nah, itu dia mata airnya.” Adela menujuk pada mata air itu.
Mala melihat air mengalir dari celah-celah bukit seperti pancuran. Airnya jernih dan bening. Air itu mengalir menuruni lereng bukit dan akhirnya menjadi sungai kecil dibawah lereng. Sebagian dari air yang mengalir dari mata air itu merembes pada tanah disekitarnya. Kini Mala mengerti mengapa rumput disekitar lereng itu subur dan hijau karena tanahnya selalu tersiram dari rembesan mata air itu.
“Ah, segarnya berada ditempat ini.” Seru Mala. “Air itu pasti rasanya sangat segar sekali.”
“Ya, cobalah. Kau bisa minum air itu dan rasakan bagaimana segarnya air dari mata air itu. Aku sendiri sering minum dari mata air itu.” Sahut Adela.
Mala menampung air itu dengan kedua telapak tangannya dan meminumnya. Rasanya dingin dan segar. Mala minum beberapa kali. Dia tersenyum menatap Adela. “Airnya dingin dan segar.” Katanya.
Mala mengikuti Adela meninggalkan mata air itu. Dia melihat banyak bunga-bunga yang tumbuh disana. Cantik sekali. Bunga-bunga itu terhampar luas seperti hamparan permadani yang indah.  
“Kau pastinya senang tinggal disini. Tempatnya sejuk dan pemandangannya indah. Banyak bunga-bunga yang tumbuh indah disini.” Kata Mala.
“Ya, aku betah tinggal disini. Aku tinggal bersama ibuku dan nenekku.” Sahut Adela.
Tak lama kemudian mereka sudah sampai lagi dipondok Adela. Adela memasuki kandang kambing dibelakang rumahnya. Mala mengikuti Adela dan melihat beberapa ekor kambing yang sehat berada didalam kandang. Kambing-kambing itu terlihat gemuk dan terawat dengan baik. Bulu-bulunya bersih.
“Ini kambing-kambingmu?” tanya Mala.
“Ya, tadi sebelum kau datang kemari, aku baru selesai menggembalakan kambing-kambingku.” Sahut Adela. Dia mengambil sebuah bangku kecil dan tempat menampung susu. Adela mulai memerah susu kambing dengan cekatan.
“Ah, kau ternyata pintar memerah susu kambing.” Seru Mala.
Adela tersenyum. “Ibuku yang mengajarkan aku bagaimana caranya memerah susu kambing.” Sahut Adela. “Ibuku pernah cukup lama tinggal dikota ditempat peternakan sapi dan kambing. Ditempat itu ibuku belajar memerah susu kambing dan susu sapi. Ditempat itu juga ibuku belajar bagaimana membuat keju.”
“Keju?”
“Ya. Aku suka keju. Keju terbuat dari susu sapi atau susu kambing. Karena yang ada disini adalah kambing, jadi keju yang kubuat terbuat dari susu kambing.” Sahut Adela. “Sebulan sekali ibuku menjual keju itu ke desa sambil berbelanja kebutuhan lainnya ke pasar.”
Seorang wanita cantik tiba-tiba keluar dari pondok itu. Rambutnya ditutup dengan kerudung.  
“Adela!” panggilnya.
“Ya, Bu. Aku masih memerah susu, Bu. Sebentar lagi selesai.” Sahut Adela tanpa beranjak dari tempatnya.
Wanita itu melihat pada Mala yang berdiri diluar kandang kambing.
“Ah, siapa ini?” tanya wanita itu sambil berjalan mendekati kandang.
Adela menghentikan pekerjaannya dan keluar dari dalam kandang.
“Dia Mala, Bu. Dia dari desa dibawah. Dia tengah menggembalakan kambing-kambingnya disebelah sana.” Sahut Adela.
“Saya Mala, Bu.” Kata Mala memperkenalkan diri. “Saya mencari rumput segar untuk kambing-kambing saya dan ternyata menemukannya disekitar sini.”
“Pastinya cukup jauh kamu menggiring kambing-kambingmu hingga bisa sampai kemari.” Kata wanita itu sambil tertawa. “Kamu tadi mengambil jalan mana?”
“Jalan yang disebelah sana, Bu. Yang lurus dari jalan desa.”
“Ah, kalau melalui jalan sana kamu harus berjalan cukup jauh bila akan sampai kemari. Namun bila membawa kambing-kambingmu, memang hanya itu satu-satunya jalan yang bisa kamu tempuh. Tapi bila kau kemari tanpa membawa kambing-kambingmu, kamu bisa mengambil jalan memotong dari arah kantor desa itu, lalu menapaki jalanan dibelakang kantor desa dan lurus menanjak hingga sampai kemari.” Kata ibu Adela.
“Oh saya baru tahu. Nanti bila saya tidak sedang membawa kambing saya akan mencoba jalan yang dibelakang kantor desa itu, Bu.” Mala tersenyum.
 “Hati-hati menjaga kambing-kambingmu, Mala. Jangan sampai mereka menaiki tebing.” Kata Ibu Adela ketika melihat kambing-kambing Mala yang tengah merumput didekat tebing. Ibu Adela tahu kambing sangat gemar memanjat tempat-tempat tinggi. Kambingnya sendiri sudah beberapa kali menaiki tebing dan pernah beberapa kali ada yang terperosok jatuh.
Mala mengangguk. Dia kembali pada kambing-kambingnya yang masih asyik menikmati rumput. Matahari semakin tinggi. Udara terasa panas.  Mala mengeluarkan  bekalnya dan mulai makan. Makannya terasa sangat nikmat sekali setelah tadi dia kelelahan berlari-lari begitu cepat dari bawah hingga sampai kepuncak bukit ini. Kambing-kambingnya masih asyik merumput. Dua ekor anak kambing bermain-main berlari-lari kecil didekat induknya. Mala menyabit rumput dan memasukannya kedalam karung. Keringat bercucuran membasahi tubuhnya. Sekarung rumput segar itu cukup untuk makan kambing-kambingnya hingga esok tiba dan kambing-kambingnya merumput lagi dilereng bukit. 
“Sudah saatnya aku pulang.” Kata Mala sambil memasukan wadah nasi dan tempat minumnya kedalam kantongnya. Dia mengumpulkan kambing-kambingnya dan menghitungnya.
“Adela, aku pulang.” Teriak Mala.
“Ya. Sampai bertemu kembali.” Sahut Adela. Dia keluar dari dalam kandang kambingnya sambil menenteng ember berisi susu kambing. Keduanya saling melambaikan tangan.
Mala menggiring kambing-kambingnya  menuruni perbukitan. Langit terlihat mendung.
“Ah, sebenarnya bulan ini sudah harus musim hujan.” Kata Mala. Langit semakin mendung. Mala bergegas menggiring kambingnya. Begitu sampai dirumahnya hujan turun rintik-rintik.
“Ah, akhirnya hujan turun juga.” Seru Mala gembira.
“Sekarang sudah saatnya masuk musim hujan.” Kata ibunya sambil menyiapkan makan buat Mala. Nasi yang masih mengepul hangat, ikan bakar dan sayur mayur segar untuk lalapan. Mala kembali makan dengan lahap. Perutnya terasa lapar kembali walaupun dilereng bukit tadi dia sudah menghabiskan bekalnya.
“Bu, diatas lereng itu ada sebuah pondok. Ada penghuninya yang usianya sebaya dengan aku. Namanya Adela.” Kata Mala.
“Pondok dilereng bukit?” ibunya berpikir sejenak.  “Ya, ibu tahu. Itu pondok milik kakek Marta. Sekarang anaknya yang perempuan, anaknya satu-satunya, tinggal disana juga. Mungkin yang kau maksud adalah anaknya Mirna. Cucunya kakek Marta.”
“Ya, kakeknya sudah meninggal.”
“Kau kenal dengannya?”
“Ya. Tadi tidak sengaja aku sampai kedekat pondoknya dan berkenalan dengannya. Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Mirna jarang turun ke desa. Dulu dia menikah dengan orang kaya dari kota. Kabarnya perkawinan mereka tidak disetujui oleh kedua orangtua suaminya. Ketika suaminya meninggal, Mirna kembali ke desa ini dan tinggal bersama orangtuanya.”
“Ibu kenal dengan ibu Adela?”
“Tentu saja. Dulu waktu kecil ibu dan Mirna suka bertemu dan bermain bersama. Ibu tidak sekolah tapi Mirna sekolah. Bahkan sekolah hingga ke sekolah menengah atas di kota dan kami tidak pernah bertemu lagi sejak saat itu.”
Esok harinya Mala menggembalakan kembali kambingnya ditempat kemarin. Dia melihat Adela pun tengah menggembalakan kambingnya disana.
“Adela!” sapa Mala.
“Hai, Mala.” Sahut Adela gembira. “Au senang kau menggembalakan kambingmu disini lagi. Jadi sekarang aku punya teman.”
“Adela, apakah kau suka turun ke desa?”
“Kadang-kadang. Yang suka turun ke desa adalah ibuku. Sebulan sekali ibu pergi ke pasar, sambil menjual keju buatannya pada toko didesa, pulangnya ibuku berbelanja kebutuhan sehari-hari.”
“Aku tak pernah melihatmu selama ini dan aku baru tahu bila disini ada sebuah pondok.  Kenapa kau tidak tinggal didesa?”
“Pondok kayu ini milik kakek dan nenekku. Dulu kami tinggal berempat dipondok ini. Setelah kakek meninggal, kami hanya tinggal bertiga dipondok ini. Kami tidak ingin pindah kedesa karena tinggal disini sangat nyaman dan menyenangkan.” Ucap Adela.
“Ayahmu kemana?”
“Ayahku sudah meninggal ketika aku masih berusia setahun.”
“Ayahku juga sudah meninggal ketika aku masih kecil.” Ucap Mala.
Adela membuka bungkusan berisi dua potong keju. Dia memberikan sepotong keju pada Mala.
“Ini keju buatan ibuku. Rasanya enak. Cobalah.” Kata Adela sambil menyodorkan sepotong keju itu pada Mala.
Mala menerima potongan keju itu, mengamatinya sejenak, lalu menggigitnya sedikit.  “Ah, keju ini enak sekali. Ibumu lama hidup dikota jadi terbiasa membuat makanan kota. Kalau ibuku selamanya tinggal didesa jadi yang dibuat ibu  ya makanan desa saja.” Ucap Mala. Keju itu rasanya enak dan gurih. Baru kali ini dia merasakan yang namanya keju. Didesanya selama ini dia belum pernah melihat ada orang yang membuat keju. 
“Makanan kota dan makanan desa sama enaknya menurutku. Ibuku juga sering memasak masakan dari sayuran yang tumbuh disekitar rumah. Yang penting makanan itu sehat dan bergizi.” Sahut Adela.
Kedua gadis kecil itu sama-sama menikmati keju hingga habis.
 “Apakah kau tidak bersekolah?” tanya Adela.
“Tidak. Teman-temanku semuanya bersekolah. Ibuku tidak punya uang untuk menyekolahkan aku.” Kata Mala lirih. “Padahal aku sebenarnya sangat ingin sekolah agar aku bisa membaca dan menulis.”
“Aku juga tidak sekolah. Tapi ibuku setiap malam mengajarkan aku membaca menulis.”
“Kau bisa membaca dan menulis?”
“Ya. Aku bisa membaca, menulis dan berhitung. Kalau kau mau ikut belajar, datanglah setiap sore kemari. Ibuku pasti senang mengajarimu membaca menulis dan pengetahuan lain.” Adela tersenyum menatap Mala yang kini sudah menjadi sahabatnya.
“Benarkah?” tanya Mala tak percaya.
“Ya. Mari kita temui ibuku. Kita tanyakan apakah ibu bisa mengajarimu membaca, menulis dan berhitung?” kata Adela.
Kedua gadis kecil itu berlarian menuruni bukit menuju pondok. Ibu Adela tengah membuat keju ketika keduanya masuk melalui pintu belakang pondok.
“Bu, apakah Mala boleh ikut belajar membaca, menulis dan berhitung pada ibu? Mala tidak sekolah seperti aku tapi dia ingin juga bisa membaca, menulis dan berhitung.” Kata Adela.
“Tentu saja. Datanglah setiap sore kemari, Mala. Sekarang Adela punya teman belajar, jadi dia tidak akan merasa bosan lagi bila sedang belajar.”
“Ibu, terima kasih. Saya sudah lama sekali ingin belajar membaca, menulis dan berhitung.” Kata Mala gembira.
Ibu Adela tersenyum. “Belajar yang rajin. Walaupun kalian tidak sekolah, jadilah anak yang pintar dengan belajar sendiri.”
Bukan main senangnya perasaan Mala mendengar ucapan ibu Adela. Sudah lama sekali dia ingin sekali belajar membaca,  menulis dan berhitung. Walaupun dia tidak bersekolah, namun dia ingin sekali bisa pintar seperti teman-temannya yang lain. Bila ada kemauan selalu ada jalan.
“Bu, mulai sore ini aku akan pergi kerumah Adela.” Kata Mala begitu pulang dan masuk kedalam pondoknya.
“Ada apa?” tanya ibunya yang tengah sibuk bekerja didapur membuat keripik pisang dan keripik singkong.
“Ibunya Adela wanita pintar. Adela diajari ibunya menulis, membaca dan berhitung. Adela walaupun tidak sekolah sudah pintar sekali membaca,  menulis dan berhitung. Tadi Adela menawari aku  seandainya aku juga ingin belajar pada ibunya. Ternyata ibunya pun mau mengajari aku membaca, menulis dan berhitung.” Kata Mala.
“Oh, baik sekali ibu Mirna. Belajarlah yang baik pada ibu Mirna. Anggaplah beliau sebagai gurumu.” Kata ibu. “Oh ya, apakah Adela tidak bersekolah?”
“Tidak. Dia seperti aku menjadi penggembala kambing.”
“Ah, kenapa? Padahal Mirna sendiri dulu bersekolah sampai ke kota.”
“Aku tidak tahu. Mungkin memang Ibu Mirna ingin mengajar sendiri pada Adela atau memang Adela sendiri yang tidak ingin bersekolah.”
Ibu menghentikan pekerjaannya dan menatap Mala. Mata ibu mendadak basah.
“Kenapa, Bu.” Tanya Mala.
“Mala, sebenarnya ibu ingin engkau bersekolah yang tinggi. Ibu ingin engkau pintar. Namun ibu tidak memiliki biaya untuk menyekolahkanmu. Ibu selalu berdoa agar engkau bisa menjadi anak pintar. Sekarang doa ibu terkabul. Semoga ini sebagai jalan buatmu untuk masa depanmu. Walaupun engkau tidak duduk dibangku sekolah seperti teman-temanmu yang lain, namun engkau tetap bisa membaca, menulis dan berhitung. Belajarlah dengan sungguh-sungguh, Nak.” Kata Ibunya.
Mala mengangguk. “Ya, bu.” Sahutnya.
Mala duduk didekat ibunya.  “Ibu Mirna juga pintar membuat keju. Tadi aku diberi sepotong keju oleh Adela. Rasanya enak sekali. Hanya saja membuatnya pasti sangat rumit.”
“Keju.”
“Ya, keju. Makanan orang kota. Menurut Adela, Ibu Mirna dulu waktu dikota pernah lama tinggal ditempat peternakan sapi dan kambing. Disana Ibu Mirna belajar memelihara sapi dan kambing. Juga belajar memerah susu dan membuat keju. Sekarang setelah kembali pulang kedesa, ibu Mirna mengajarkan Adela bagaimana cara memelihara kambing, memerah susu dan membuat keju.” Cerita Mala.
Ibu terlihat berpikir sejenak. “Kalau tidak salah, dulu Ibu Mirna memang menikah dengan anak seorang peternak sapi dan kambing yang kaya di kota. Yah, mungkin dulu ibu Mirna ketika menikah dulu belajar banyak dari mertuanya.” Kata ibu.
“Nanti juga saya ingin belajar memerah susu dan membuat keju, Bu. Sayangnya kambing yang kita pelihara bukan kambing yang menghasilkan susu.”
Ibu tersenyum. “Kau gadis kecil yang luar biasa buat ibu. Ibu sangat bangga padamu. Bila kau memang ingin memelihara juga kambing yang bisa menghasilkan susu, kau bisa menukar beberapa ekor kambingmu dengan kambing jenis yang menghasilkan susu. Harga kambing itu pastinya jauh lebih mahal.”
Mala termenung sejenak. “Rasanya sayang bila saya harus menukar kambing-kambing saya dengan kambing lain. Kambing-kambing kita banyak yang membeli untuk diambil dagingnya.”
“Nah, kau dan Adela menjadi penggembala kambing untuk tujuan yang berbeda. Kau tujuannya memelihara  kambing untuk dijual dan diambil dagingnya, sementara Adela memelihara kambing untuk diambil susunya.”
“Ya, Bu.” Mala tersenyum.
Mala bangkit. “Sore ini aku akan kerumah Adela lagi.”        
“Ya.” Sahut ibunya sambil melanjutkan kembali pekerjaannya membuat keripik pisang dan keripik singkong. Untuk menopang hidup ibu setiap hari membuat keripik pisang dan kering singkong dan menjajakannya berkelililing desa.
Sore itu Mala datang kerumah Adela. Ibu Adela bernama Mirna, seorang wanita yang cantik, pintar, sabar dan telaten. Dia mengajarkan membaca,  menulis dan berhitung pada Mala dari awal. Sementara Adela sudah pintar membaca, menulis dan berhitung. Adela mempunyai beberapa buah buku bacaan dan mereka sering membacanya bersama-sama. Adela mengajarkan pada Mala beberapa kata dan kalimat yang tidak dimengertinya. Belajar itu ternyata sangat menyenangkan, apalagi dibimbing oleh seorang guru yang baik dan telaten seperti Ibu Mirna. Hampir setiap sore Mala selalu datang ke pondok Adela. Kecuali hari minggu libur. Seperti kata Ibu Mirna, bila ke pondok Adela, Mala mengambil jalan dibelakang kantor desa. Ternyata benar, melalui jalan dibelakang kantor desa, ke pondok Adela lebih dekat. Ibunya ikut merasa gembira melihat Mala kini sudah bisa membaca, menulis dan berhitung.
“Ibu Mirna baik sekali. Jangan lupakan beliau, beliau adalah gurumu, Mala.” Kata ibunya setelah mendengarkan cerita Mala bagaimana Ibu Mirna mengajarinya membaca, menulis dan berhitung.
“Ya, Bu. Aku sangat kagum pada Ibu Mirna. Beliau pintar sekali. Bahkan beliau bukan hanya pintar membaca, menulis dan berhitung saja. Beliau juga pintar membuat keju dan aneka macam kue kering.” Sahut Mala.
Suatu hari Mala tidak melihat Adela menggembalakan kambingnya. Mala memburu pondok Adela. Ibu Mirna tengah menjerang air panas diatas tungku.
“Adela sakit. Dia deman semalaman.” Kata Ibu Mirna ketika melihat Mala.
“Bolehkah aku menengoknya?” tanya Mala.
“Tentu saja. Adela tengah berbaring dikamarnya.”
Mala masuk kekamar Adela.
“Mala, aku tidak bisa menggembalakan kambing. Aku sakit. Semalam tubuhku demam dan menggigil.” Kata Adela ketika melihat Mala.
“Aku bisa menggantikanmu menggembalakan kambing-kambingmu selama kamu sakit.” Kata Mala.
Mala mengeluarkan kambing-kambing dari kandangnya. Kambing-kambing itu berlarian gembira menuju tempat biasa mereka makan rumput. Sesekali Mala berteriak cemas ketika melihat beberapa ekor kambing menaiki tebing dan mengembik dari atas sana.
“Ah, jangan! Turun! Turun!” teriak Mala cemas.
Dia khawatir kambing-kambing itu akan terpeleset jatuh dan cedera.
“Mala, biarkan saja! Nanti juga mereka akan turun sendiri.” Teriak Adela dari jendela kamarnya.
“Ah, kamu sedang sakit! Sebaiknya kamu istirahat saja. Biarkan Mala yang menggembalakan kambing-kambing kita.” Tegur nenek.
“Aku tidak bisa berbaring terus, Nek. Aku sudah sembuh. Aku tidak demam dan menggigil lagi setelah minum ramuan dari nenek.” Sahut Adela.
“Ah, benarkah?” tanya ibunya sambil meraba kening Adela. Ternyata benar demam Adela sudah turun. Kini sudah tidak panas lagi.
“Tapi sebaiknya kau beristirahat dulu, Adela. Kau harus benar-benar sembuh jangan keluar rumah dulu.” Kata nenek lagi.
“Aku sudah sembuh, Nek.” Sahut Adela sambil mengganti bajunya dengan baju sederhana yang biasa dia pakai bila tengah mengembalakan kambingnya atau bekerja dikandang kambing memerah susu.
“Hati-hati! Jangan pergi terlalu jauh.” Pesan ibunya.
Adela menghampiri Mala. Keduanya asyik bermain sambil menggembalakan kambing-kabing mereka. Udara siang semakin panas. Keduanya makan bekal masing-masing dan saling bercerita.
“Kapan kau main kerumahku?” tanya Mala. “Sesekali kau harus pergi kedesa dan bertemu dengan penduduk desa.”
“Ya, nanti aku akan main kerumahmu.” Kata Adela.  
Matahari bersinar semakin terik. Sudah saatnya pulang.
Sore itu Mala pergi kembali kerumah Adela seperti biasanya. Dia melihat Adela sudah menunggunya.
Sore itu Mala belajar sungguh-sungguh. Dia menemukan kegembiraan ketika akhirnya dia sudah bisa membaca dan menulis. Adela pun kelihatannya gembira melihat Mala sudah semakin lancar membaca dan tulisannya semakin bagus.
“Kamu mendapatkan kemajuan yang cukup cepat, Mala.” Puji Mirna. “Kau sekarang sudah bisa membaca,  menulis dan berhitung. Teruslah belajar agar ilmu yang kau dapat tidak hilang dan lupa lagi.”
“Ya, Bu. Terima kasih sudah mengajari saya.” Kata Mala gembira.
Adela mengambil sebuah buku dari dalam lemari dan memberikannya pada Mala.
“Buku ini untukmu. Cerita-ceritanya sangat menarik. Kau bisa membacanya menjelang tidur. Jadi kau tidak akan lupa lagi dengan pelajaran membaca yang sudah kau pelajari. Dan ini buku tulis dan pulpennya. Masih baru. Kau teruskan belajar menulis disini. Buatlah cerita dengan begitu kau tetap belajar menulis. Dan tulisanmu pasti akan semakin  bagus bila kau terus menulis.”
“Terima kasih, Adela. Kau baik sekali.”
“Terima kasih juga kau sudah menjadi temanku yang baik.” Kata Adela.
“Ibu kita ketika masih kecil berteman juga.” Kata Mala.
“Siapa nama ibumu?” tanya Mirna.
“Tatik.”
“Tatik? Ah, tentu saja aku masih ingat. Tatik teman masa kecilku dulu. Salamku pada ibumu. Kapan-kapan aku akan berkunjung kerumahmu.”
“Ya, Bu.”
Mala pulang dengan gembira. Dia memperlihatkan buku bacaan dan buku tulis dan pulpen pemberian Adela.
“Besok jangan lupa membawa dua bungkus keripik pisang dan singkong buat ibu Mirna. Sampaikan salam ibu padanya.”
“Ya, bu.”
Ibu Mirna gembira menerima kiriman keripik pisang dan singkong.
“Jadi ibumu berjualan keripik pisang dan singkong?”
“Ya, ibu menjajakannya keliling desa. Hampir tiap hari jualannya habis terjual.”
“Sampaikan salamku buat ibumu.” Kata Ibu Mirna.
Mala bergegas pulang. Hujan turun dengan derasnya. Dia senang hujan turun karena rumput akan hijau lagi setelah tersiram hujan. Namun dia akan tetap menggembalaan kambing-kambingnya dilereng bukit dekat mata air itu karena rumput disana lebih subur dan lebih segar. Dia memperhatikan sejak kambing-kambingnya makan rumput dilereng bukit dekat mata air itu, kambing-kambingnya terlihat lebih sehat dan gemuk. Dan susu yang dihasilkannya pun lebih banyak.
Persahabatan Mala dengan Adela tetap berlangsung hingga mereka  dewasa. Walaupun keduanya tidak bersekolah namun mereka pintar membaca dan menulis. Ilmu yang mereka dapatkan bukan dari bangku sekolah namun dari seorang wanita yang menjadi guru mereka, seorang wanita yang pintar, sabar dan sangat telaten dalam mengajar pada mereka.
Mala menjadi peternak kambing. Kambing-kambingnya semakin berkembang biak dan semakin banyak jumlahnya. Banyak pedagang kambing dari kota yang membeli kambing dari Mala untuk dipotong dan dagingnya dijual dipasar di kota.
Sementara Adela mengembangbiakan kambingnya untuk menghasilkan susu kambing. Kambing-kambing Adela berkembang biak dan jumlahnya semakin banyak.  Adela menjadi pemasok susu kambing  yang dijual berkeliling oleh salah seorang pegawainya ke kota.  Pondok kecilnya sudah diperbaiki dan menjadi sebuah rumah kayu yang besar dan bagus. Ibu Kandang kambingnya pun sudah berubah. Tidak lagi kandang kambing kecil tapi kandang kambing yang besar dan berisi puluhan ekor kambing yang menghasilkan susu segar. Sebagian dari susu kambing itu dijual berupa susu kambing segar yang dijual dalam botol. Sebagian lagi susu kambing itu diolah menjadi keju. Keju buatan Adela sangat enak dan gurih. Penduduk banyak yang mendatangi pondok dilereng bukit itu untuk membeli susu kambing segar dan keju.
Ibu Tatik dan Ibu Mirna usianya sudah semakin tua namun mereka hidup tenang menyaksikan gadis kecil mereka telah menjadi gadis remaja yang pintar dan cekatan dalam menjalankan usahanya. Sesekali Ibu Tatik dan Ibu Mirna saling berkunjung satu sama lain dan menjadi dua orang sahabat seperti halnya kedua anak mereka, Mala dan Adela.   
 




 



Senin, 04 Januari 2016

Melati Di Kaki Bukit






Melati Di Kaki Bukit

Pondok bambu terbuat dari kayu-kayu yang sudah tua. Namun pondok itu terlihat terawat dengan baik. Lantainya bersih disapu dan dipel tiap hari. Halamannya pun terawat dengan baik. Tumbuhan dan bunga-bunga terpelihara dengan baik. Windi, pemilik pondok itu seorang gadis yang rajin. Pondok itu satu-satunya peninggalan kedua orangtuanya yang sudah meninggal sekian tahun lalu. Untuk menyambung hidupnya, Windi meneruskan usaha orangtuanya membuat beberapa macam makanan diantaranya membuat wajit. Wajit buatan ibunya dulu sangat laku. Wajit yang terbuat dari santan, beras ketan dan gula merah itu yang digodok lalu setelah kental dan mengeras dibungkus dengan kertas warna warni. Setiap hari Windi mengerjakan semua pekerjaannya sendirian. Pagi hari, beberapa orang akan mengambil wajitnnya dan menjualnya.
Pagi itu Windi baru selesai membuat wajit ketika pintu pondoknya ada yang mengetuk.
“Windi! Windi!” suara Mak Ifah, penjual keliling kampung yang biasa mengambil wajitnya terdengar memanggilnya berkali-kali.
Windi membuka pintu. Mak Ifah menurunkan gendongannya, bakul yang diikat dengan sehelai selendang yang diikatkan dibahunya. Lalu diatas bakul itu ada nampan yang berisi dagangannya.
“Masuk, Mak. Aku baru selesai mandi.” Kata Windi sambil mengambil wajitnya yang sudah siap didagangkan.
Mak Ifah membayar wajit itu. “Hari ini cuacanya mendung. Mudah-mudahan tidak keburu hujan.” Kata Mak Ifah sambil menggendong kembali bakul dan nyirunya.
“Ya, sekarang sudah musim hujan, Mak. Jangan lupa membawa payung.” Kata Windi.
“Ini payung lipat selalu ada didalam bakul.” Kata Mak Ifah. Lalu dia menuruni bukit dan mulai berkeliling menjajakan dagangannya.
Mak Ifah, penjual gendongan hanya berkeliling seputar desa mereka. Macam-macam yang dijualnya. Sayur mayur, ikan, makanan kering, dan beragam jajanan. Setiap pagi mak Ifah berkeliling disekitar rumah-rumah penduduk di desa. Beberapa orang sudah menjadi langganannnya. Diusianya yang sudah semakin tua Mak Ifah masih sanggup berjalan jauh naik turun didaerah perbukitan didesa mereka. Kehadiran Mak Ifah sering ditunggu oleh beberapa orang langganannya. Dan wajit buatan Windi menjadi salah satu makanan yang sering ditunggu pelanggannya.
Siang itu Windi sudah sibuk seperti biasanya didapur pondoknya. Api menyala didalam tungku. Diatasnya sebuah katel besar mengepul panas berisi adonan wajit yang tengah diolah Windi.
Meskipun diluar hujan turun rintik-rintik namun udara didalam dapur terasa panas oleh api yang menyala didalam tungku. Windi menambah beberapa potong kayu bakar untuk menjaga nyala api. Tangannya dengan cekatan mengaduk-aduk adonan wajit yang makin lama semakin kental. Tak lama kemudian adonan wajitnya telah matang. Windi mengangkat katel besar dan menempatkannya diatas potongan kayu bulat yang berfungsi sebagai tempat menyimpan katel. Windi lalu menanak nasi dan menyiapkan lauk pauknya berupa ikan peda yang dibungkus dengan daun pisang lalu dimasukan kedalam timbunan abu didalam tungku.
Sambil menunggu nasinya matang, dia keluar rumah memetik leunca yang tumbuh dibelakang pondoknya. Hujan masih turun rintik-rintik. Udara terasa dingin sekali. Apalagi didaerah perbukitan seperti ini. Tak lama Windi kembali masuk kedalam dapur pondoknya dan menaruh leunca yang baru dipetiknya dipiring kaleng kecil. Dia mengambil cowet kecil yang terbuat dari tanah liat dan mulai membuat sambal. Ketika nasinya telah matang dan ikan peda yang diperam didalam abu pun telah matang, Windi mulai makan. Dia menikmati rejekinya hari ini. Makanannya selalu sederhana setiap hari namun ini adalah rejeki yang selalu disyukurinya. Dia merasa nikmat sekali. Selesai makan diakhiri dengan minum secangkir teh panas hangat. Diluar hujan turun dengan derasnya. Langit terlihat mendung pertanda hujan masih akan turun lama. 
Selesai makan pekerjaannya belum selesai. Dia harus membungkus wajitnya dan besok pagi telah siap dijajakan kembali.
Tok. Tok. Tok. Sebuah ketukan dipintu dapur membuatnya menghentikan pekerjaannya.
Windi membuka pintu. Dia melihat seorang gadis kecil yang kelihatannya menggigil kedinginan berdiri didepan pintu dapur.
“Ah, siapa kamu?” tanya Windi. Dia tidak mengenal gadis kecil itu. Beberapa orang gadis kecil yang tinggal disekitar pondoknya dikenalnya dengan baik karena beberapa orang dari mereka kerap bermain-main diseputar pondoknya dan memetik bunga-bunga yang tumbuh disekitar pondoknya.
“Aku...aku lapar sekali.” Sahut gadis kecil itu dengan gigi gemeretuk menahan dingin.
Windi merasa iba melihat gadis itu sehingga dia tidak bertanya lagi.”Masuklah.” kata Windi sambil membuka pintu pondok menyuruh gadis kecil itu masuk. Dengan tubuh menggigil kedinginan, gadis itu masuk dan duduk pada bangku kayu didekat pintu. Tubuhnya basah kuyup.
“Sebentar, aku rasanya masih punya baju kecil bekas aku dulu.” Kata Windi. Dia mengambil baju lama didalam kamarnya dan kembali dengan baju berbunga-bunga kecil baju bekas ketika dia masih kecil.
“Gantilah bajumu. Kau pasti kedinginan.” Kata Windi sambil menyerahan baju itu kepada gadis kecil itu.
“Terima kasih, Kakak.” Gadis itu mengganti bajunya. Ternyata baju itu pas ditubuh gadis kecil itu.
“Kau pasti lapar, makanlah seadanya.” Windi menyediakan makan buat gadis kecil itu. Untunglah masih ada nasi yang tersisa dan ikan peda. Gadis itu makan dengan lahap. Windi merasa kasihan melihat gadis itu yang kelihatannya sangat kelaparan sekali. Dia memberi beberapa buah wajit yang langsung dihabiskan oleh gadis kecil itu. Diluar hujan masih turun dengan derasnya.
“Kamu dari mana? Kenapa sampai berada disini?” gadis kecil itu tidak menjawab. Dia hanya menangis sedih.
“Kenapa kamu menangis? Apakah orangtuamu memarahimu?” tanya Windi.
“Aku sudah tidak punya ayah dan ibu. Keduanya sudah lama meninggal dunia.” Kata gadis kecil itu.
“Siapakah namamu?” tanya Windi.
“Melati.”
“Lalu kamu selama ini tinggal bersama siapa?” tanya Windi.
“Ada saudara dari pihak ibuku yang merawat aku setelah kedua orangtuaku meninggal. Namun Ibu Lala, yang merawatku itu selalu memukuliku bila aku tidak bisa bekerja dengan baik.”
“Pekerjaan apa yang harus kau lakukan?”  tanya Windi.
“Membersihkan rumah, menyapu, mengepel, mencuci dan segala macam pekerjaan rumah.”
Windi termenung. Gadis sekecil itu disuruh mengerjakan beragam pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
“Jadi kau pergi dari rumah?” tanya Windi.
“Ya. Ibu Lala sudah beberapa hari tidak memberiku makan karena aku kata bu Lala tidak benar bekerja, katanya lantai masih kotor padahal setiap hari aku selalu menyapu dan mengepelnya. Baju-baju tidak bersih padahal aku selalu berusaha mencuci dengan baik.”
Windi hanya menghela nafas. Dia merasa bingung, apa yang harus dilakukannya. Pintu diketuk dari luar, Mak Ifah masuk sambil menggendong dagangannya.
“Masuk, Mak Ifah.” Kata Windi.
Mak Ifah menurunkan gendongan dagangannya. Matanya melihat pada Melati. Mak Ifah seperti terkejut melihat gadis kecil itu.
“Siapa ini? Rasanya aku pernah melihat gadis kecil ini.” Kata Mak Ifah.
“Namanya Melati.” Kata Windi. Lalu dia menceritakan obrolannya dengan Melati kepada Mak Ifah.
“Mak juga tahu Bu Lala itu. Memang bu Lala sangat galak sekali kepada gadis ini. Kalau Mak lewat depan rumahnya sering mendengar suara Bu Lala yang tengah memarahi gadis kecil ini.” Kata Mak Ifah.
“Tapi tidak baik juga bila kau tinggal disini tanpa meminta persetujuan bu Lala, Melati. Nanti setelah hujan reda, kakak akan mengantarmu pulang kerumahmu.” Kata Windi.
Melati kelihatan tidak mau namun dia tidak mengatakan sepatah katapun. Sore hari Windi mengantarkan Melati kerumahnya. Mereka menuruni bukit lalu menaiki lagi tangga-tangga batu yang jalannya menuju kerumah bu Lala. Tak lama mereka sudah sampai dirumah bu Lala. Bu Lala kelihatan gusar ketika melihat Melati yang pulang diantar Windi.
“Melati tersesat. Tadi dia kerumah saya.” Kata Windi menjelaskan.
“Kau mau kabur lagi rupanya ya? Dasar anak tak tahu diri.” Seru bu Lala.
Windi menahan perasaannya ketika melihat bu Lala memukuli Melati.
“Bu, harap jangan marah pada anak ini......”
“Kau pulanglah! Ini urusanku.” Seru bu Lala sambil menyeret Melati masuk kedalam rumahnya.
Windi pulang dengan perasaan tak menentu. Dia membayangkan Melati yang dipukuli oleh bu Lala. Hatinya terasa pedih. Namun dia meneruskan kembali langkahnya. Dia khawatir bila dia terlalu jauh ikut campur urusan orang lain akan berakibat buruk kepadanya.
Tiga hari kemudian, ketika Windi sedang membungkus wajit, Melati datang lagi kerumahnya dengan baju lusuh, wajah kumal dan letih.
“Ah, Melati. Kau kemari lagi.” Sambut Windi dengan gembira. Windi tahu anak itu kelihatan lapar sekali. Dia memberi anak itu makan. Nasi hangat, tempe goreng, dan ayam panggang. Melati makan dengan lahap sekali. Kelihatan dia sangat lapar sekali.
“Kakak baik sekali.” Kata Melati sambil tersenyum. Wajahnya kelihatan cerah kembali, tidak luyu seperti kedatangannya tadi.
Beberapa kali Melati datang kerumah Windi. Dan selalu disambut Windi dengan gembira karena dia sudah jatuh sayang pada anak kecil yang cantik itu. Namun beberapa waktu kemudian, hampir dua bulan lamanya, Melati tak pernah datang lagi kerumah Windi. Windi merasa kehilangan, dan dia merasa heran kenapa Melati tak pernah lagi berkunjung kerumahnya. Windi sudah menyisihkan uang dan membeli sebuah boneka buat Melati bila nanti dia datang lagi kerumahnya. Namun Melati tak pernah datang lagi kerumahnya. Kemudian Windi mendengar keributan itu. Melati meninggal. Dibunuh oleh bu Lala. Airmatanya mengalir tak henti-hentinya. Dia sudah sangat menyayangi gadis itu. Ada penyesalan dalam hatinya kenapa dia tidak mengambil gadis itu dan merawatnya saja.
“Bu Lala sudah ditahan oleh polisi.” Kata Mak Ifah dengan wajah murung. Beberapa kali bila dia sedang kerumah Windi, dia melihat Melati gadis kecil itu tengah berada dipondok Windi.
“Seandainya kita tahu akhirnya akan begini, Mak pasti setuju bila dulu kau mengambil Melati dan merawatnya disini.” Kata Mak Ifah sambil menghapus airmatanya.
Windi menganguk dengan perasaan sedih. Duka itu terasa menyayat hatinya. Melati, gadis kecil yang cantik itu, yang selalu makan dengan lahap, yang selalu gembira bila tengah ada dipondoknya, kini telah tidak ada lagi. Windi menanam beberapa pohon melati dihalaman di pondoknya. Bunga-bunga melati yang kecil putih bersih itu akan selalu mengingatnya pada gadis kecil bernama Melati yang sangat disayanginya namun takdir menentukan lain, kebersamaannya dengan Melati hanya se