Senin, 10 November 2014

Kedai Roti Miranti














Kedai Roti Miranti



Udara terasa sangat dingin sekali. Hujan turun deras sejak sore dan sepertinya tidak akan segera berhenti. Malam semakin larut. Miranti melihat keluar jendela dari kedai roti tuanya. Dia melihat hujan masih turun dengan deras. Bunyi curah hujan terdengar berisik menimpa genting kedai rotinya. Disaat hujan deras begini, mungkin orang-orang merasa malas keluar rumah, pikir Miranti sedih. Dia melihat pada rak-rak tempat roti dikedainya yang masih penuh dengan roti-rotinya yang baru dibakar. Biasanya, sebelum jam delapan malam rotinya sudah hampir habis terjual. Namun sekarang rotinya belum setengahnya dari yang dibuatnya yang terjual. Miranti merasa sedih sekali. Namun dia menyadari beginilah yang namanya berjualan, ada kalanya ramai  dengan pembeli namun ada kalanya juga jualannya sepi tidak laku.
Miranti menghela napas dalam. Apa boleh buat, walaupun rotinya masih banyak, namun dia akan menutup kedai rotinya. Hari telah malam dan hujan turun semakin deras membuat udara terasa semakin dingin. Dia harus segera menutup kedai rotinya dan berisitirahat sebab besok dia harus bangun pagi-pagi sekali dan kembali disibukan dengan membuat roti yang akan dijualnya. Dia mengerjakan semuanya sendiri. Dia tidak memiliki cukup banyak uang untuk membayar upah pembantu bila dia harus memiliki pembantu yang akan membantu pekerjaannya.
Miranti menutup pintu kedai rotinya, lalu dia menutup jendela kedai rotinya. Namun baru saja dia selesai menutup jendela, tiba-tiba dari luar ada yang mengetuk pintu kedainya dengan keras.
“Bukalah! Kami akan membeli roti.” Teriak sebuah suara diantara derasnya suara curah hujan.
“Ya, bukalah pintunya! Kami merasa lapar sekali.” Kata sebuah suara lain tidak kalah kerasnya dari suara yang pertama.
Miranti bergegas membuka pintu kedainya. Ada tiga orang kakek bertubuh pendek gemuk berdiri didepan kedai rotinya. Ketiga kakek itu terlihat basah kuyup diguyur hujan. Dihalaman, ada sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Kereta itu membawa gelondongan-gelondongan kayu yang baru ditebang dan telah dipotong-potong.
“Ah, akhirnya kau buka juga pintunya.” Kata kakek yang berbaju biru dengan gembira.
“Silahkan masuk.” Kata Miranti dengan ramah.
Ketiga kakek itu segera masuk dan menempati sebuah meja. Mereka duduk mengelilingi meja itu.
“Silahkan dipilih rotinya, tuan-tuan.” Kata Miranti.
“Ambilkan saja macam-macam roti yang kau buat dan jangan lupa bawakan juga minuman panas untuk kami bertiga. Kami merasa lapar dan kedinginan sekali.” Kata kakek yang berbaju kuning.  
“Baiklah” Kata Miranti. Dia segera mengambil wadah roti dan mengisinya dengan beraneka macam roti. Lalu Miranti menyeduh tiga cangkir cokelat panas dan segera menghidangkannya bersama dengan roti pada ketiga kakek  itu.
Ketiga kakek itu segera saja menyantap roti dan meminum cokelat panas yang dihidangkan Miranti.
“Ahhhh…… rotimu sangat enak sekali.” Puji kakek yang berbaju hijau.
“Segelas cokelat panas ini sangat enak sekali. Tubuhku rasanya kembali bertenaga.” Kata kakek berbaju biru.
“Perpaduan roti dan secangkir cokelat panas membuat kekuatanku pulih kembali setelah seharian menebang pohon.” Kata kakek berbaju kuning.
Miranti tersenyum mendengar ucapan ketiga tamunya itu. Oh, rupanya mereka semua adalah para penebang kayu yang kemalaman dari hutan.
Ketiga penebang kayu itu lalu berdiri dengan perasaan puas.
“Saatnya kami pulang. Hujan rupanya telah berhenti sehingga kami bisa meneruskan kembali perjalanan pulang. Nah, berapa yang harus kami bayar untuk semua roti dan cokelat panasmu itu?” Tanya kakek berbaju hijau.
Miranti segera menghitung semua roti dan cokelat panas yang telah disantap ketiga tamunya. Kakek berbaju biru mengeluarkan tempat uangnya. Dia mengeluarkan beberapa keping uang dan menyerahkannya pada Miranti. Miranti melongo menerima pembayaran dari kakek  itu. Bukan keping-keping uang biasa, tapi ada lima keping emas yang berkilauan yang diberikan kakek itu kepadanya.
“Tuan…..” kata Miranti tergagap. “Jumlah emas ini terlalu banyak untuk membayar roti dan minuman tadi.”
“Tidak apa-apa. Ambil saja semuanya. Kau gadis yang baik yang telah menolong kami bertiga dari kelaparan dan dinginnya udara diluar.” Ujar kakek itu.
Lalu ketiga kakek itu bersiap akan pergi.
“Tunggu!” kata Miranti bergegas. Lalu dengan cepat dia  membungkus semua roti yang masih ada di kedainya dan dimasukannya kedalam karung. Lalu diserahkannya pada kakek berbaju biru.
“Bawalah semua roti ini untuk bekal diperjalanan. Tuan-tuan pasti nanti akan merasa lapar kembali.” Ucap Miranti.
“Oh, terima kasih. Belum pernah aku bertemu gadis sebaik engkau.” Kata kakek berbaju biru itu. Kakek berbaju kuning  lantas memanggul karung berisi roti itu lalu menaruhnya didalam gerobak.
Ketiga kakek  itu lalu naik kedalam gerobak. Gerobak itu perlahan pergi meninggalkan kedai roti. Miranti masih berdiri diluar kedainya sambil memperhatikan kepergian gerobak itu yang bergerak perlahan melintasi rerumputan dan semakin menjauh.
Miranti menutup pintu kedainya. Hujan sudah berhenti,   rumput-rumput kelihatan  basah bekas disiram hujan. Miranti menutup pintu kedainya. Dia melihat rak-rak rotinya telah kosong melompong. Miranti merasa gembira sekali, akhirnya rotinya terjual habis semuanya.
Esok harinya Miranti pergi ke pasar. Dia menjual kelima keping emas itu kepada tukang emas. Miranti sangat gembira sekali. Dia mendapat uang yang banyak sekali dari hasil penjualan kelima keping emas itu. Miranti lalu belanja segala macam kebutuhan untuk pembuatan roti jualannya. Dia menyewa sebuah gerobak yang ditarik kuda untuk membawa belanjaannya ke pondoknya. Sementara sebagian besar uangnya akan dia pergunakan untuk membangun kedai rotinya yang telah tua dan lapuk.
Beberapa waktu kemudian kedai roti tua itu telah berubah menjadi sebuah kedai roti yang cantik. Miranti sangat gembira sekali karena dia sekarang tidak lagi mengerjakan semuanya sendirian. Dia memiliki tiga orang pembantu yang membantunya membuat roti dan melayani pembeli. Pelanggannya pun kini semakin bertambah banyak. Ditengah-tengah jualannya yang semakin laris, Miranti tidak melupakan ketiga kakek itu  yang telah menjadi tamunya disuatu malam dan membuat hidupnya berubah. Ketiga kakek itu tak pernah singgah lagi ke kedai rotinya namun Miranti selalu mengenang kebaikan ketiga kakek itu.  (Foto dr google)

Minggu, 02 November 2014

Pondok Bunga di Lereng Bukit








Permaisuri raja sudah berbulan-bulan lamanya menderita sakit. Kepalanya sering terasa pusing. Tubuhnya sering terasa lemas tak bertenaga. Tabib-tabib istana sudah berusaha mengobati sang permaisuri namun sakit permaisuri tak kunjung sembuh juga. Raja merasa sangat gundah gulana. Raja sangat mencintai permaisuri dan merasa khawatir dengan kondisi kesehatan istrinya itu. Raja memiliki seorang putera mahkota yang bernama pangeran Andi yang akan segera dipersiapkan untuk menggantikan dirinya menjadi raja. Namun sayangnya sang pangeran belum juga memiliki seorang istri yang akan mendampinginya apabila kelak diangkat menjadi raja. Raja dan permaisuri sudah sering mengingatkan  pangeran Andi agar segera memiliki istri namun rupanya pangeran Andi belum juga menemukan gadis yang cocok dengannya.
Suatu hari permaisuri sangat ingin berjalan-jalan keluar istana menghirup udara pegunungan.
“Mungkin aku tengah merasa jenuh dengan keadaan di istana. Aku ingin berjalan-jalan keluar istana melihat pemandangan diluar istana. Aku ingin berjalan-jalan ke pegunungan dan menghirup udara segar pegunungan.” Kata permaisuri kepada raja.
Raja segera memerintahkan dua orang pengawal dan dua orang dayang untuk menemani sang permaisuri berjalan-jalan.
Kereta kuda yang ditarik dua ekor kuda hitam berpacu meninggalkan istana. Udara sangat cerah. Langit biru bersih. Sepanjang perjalanan dengan tatapan sayu akibat sakit yang dideritanya, permaisuri melayangkan tatapannya keluar jendela kereta. Kereta berpacu dengan cepat makin lama semakin jauh meninggalkan istana. Pemandangan yang dilihat permaisuri sepanjang jalan tak ada satupun yang menarik perhatiannya. Kereta kuda terus berlari melintasi perkampungan, hutan, lembah dan perbukitan yang hijau. Ketika telah tiba diperbukitan, sang permaisuri terlihat mulai tertarik dengan pemandangan disekitar perbukitan yang hijau dan indah penuh bunga-bunga beraneka warna yang tengah bermekaran. Rumput-rumput menghijau terhampar bagaikan hamparan permadani yang luas sekali. Bunga-bunga beraneka jenis dan warna menghiasi perbukitan, terlihat indah dengan warna-warnanya yang cerah diantara hijaunya perbukitan dan sejuknya udara perbukitan.

Tatapan sang permaisuri tiba-tiba tertambat pada sebuah pondok kayu yang berada dilereng bukit.
“Ah, pondok kepunyaan siapakah itu?” seru permaisuri pada salah seorang dayangnya. “Pondok kayu yang sangat indah sekali. Penuh dengan bunga-bunga indah yang bermekaran.”
“Ya, betul. Pondok yang indah sekali.” Ucap salah seorang dayang yang ikut merasa tertarik melihat keindahan pondok kayu itu.
Permaisuri meminta kusir menghentikan laju kereta. Kereta berhenti. Tatapan mata permaisuri terlihat sangat senang melihat pondok kayu itu yang penuh dengan bunga-bunga yang tengah bermekaran. Pondok kayu itu terdiri dari dua tingkat. Ada beberapa jendela tinggi pada pondok kayu itu. Pada masing-masing jendela, dibawahnya ditaruh pot-pot bunga berwarna-warni, terlihat sangat indah sekali.
“Aku ingin tahu pondok milik siapakah itu. Coba kita kesana.” Kata permaisuri.
Kereta kuda melaju lagi menaiki bukit dan tak lama kemudian kereta kuda itu sudah tiba didepan pondok kayu itu. Permaisuri keluar dari kereta kuda. Dia merasa senang melihat pondok kayu yang terlihat asri dan terawat dengan baik. Pastinya pemiliknya sangat telaten merawat pondoknya. Udara pegunungan yang sejuk dan segar membuat permaisuri merasa tubuhnya terasa lebih segar. Dia memanggil Mirna, salah seorang dayangnya.
“Mirna, cobalah kau ketuk pintu pondok itu. Siapakah pemiliknya. Apakah bisa aku menyewa pondok ini untuk beristirahat selama beberapa hari? Aku merasa kerasan bila aku tinggal di pondok ini.” Ucap permaisuri.
Mirna segera mengetuk pintu pondok itu. Tak lama kemudian keluarlah seorang gadis yang cantik membukakan pintu pondok. Rambutnya hitam panjang tebal dan dikepang menjadi satu dibelakang. Kulitnya kuning langsat bersinar, terlihat sehat.  Pakaiannya sederhana seperti biasanya gadis desa pegunungan, berupa rok panjang terbuat dari kain sederhana. Gadis cantik itu  terlihat sangat keheranan melihat ada orang asing yang mengetuk pintu pondoknya.
“Oh, darimanakah nyonya ini?” Tanya gadis itu.
“Kami dari istana….” Kata Mirna. Namun belum juga  Mirna menyelesaikan ucapannya, gadis itu sudah berjongkok dan member hormat dengan raut wajah ketakutan.
“Berdirilah.” Kata Mirna sambil tersenyum. “Kami membawa ibunda permaisuri. Ibunda permaisuri  merasa tertarik melihat pondok ini. Siapakah pemilik pondok ini?”
“Hamba sendiri pemilik pondok ini, Nyonya.” Sahut gadis itu.
“Baiklah. Siapakah namamu?”
“Melani, Nyonya.”
Mirna kembali lagi ke kereta menemui permaisuri dan melaporkan sudah bertemu dengan pemilik pondok itu yang ternyata pemiliknya adalah seorang gadis muda. Permaisuri berkenan turun dan menemui gadis pemilik pondok itu.
“Oh, tuanku Yang Mulia. Maafkanlah hamba sama sekali tidak tahu apabila tuanku berkenan singgah ke pondok hamba yang sederhana ini.” Melani menekuk lututnya memberi hormat pada permaisuri raja yang baru kali ini dilihatnya.
Permaisuri tersenyum lembut. Dia merasa terkesan dengan kecantikan dan kesantunan gadis pegunungan itu.
“Bangunlah. Aku merasa tertarik melihat pondokmu ini yang sangat cantik penuh dengan bunga-bunga yang sangat cantik. Apakah boleh apabila aku tinggal dan menyewa pondokmu untuk beberapa hari?” Tanya permaisuri.
“Tentu saja, Yang Mulia. Silahkan Yang Mulia tinggal disini, tidak usah menyewa apabila Yang Mulia berkenan ingin tinggal disini.” Kata Melani. “Mari masuk Yang Mulia. Namun hamba mohon maaf apabila keadaan di pondok hamba ini segalanya teramat sangat sederhana.”
Permaisuri diiringi kedua dayangnya masuk kedalam pondok itu. Melani segera menyajikan minuman teh hangat yang diberi irisan jeruk dan gula. Rasa teh hangat itu asam manis. Dia pun menyajikan beberapa buah roti lengkap dengan selai stroberi dan keju.
“Mari silahkan dinikmati makanan dan minuman pedesaan ini, Yang Mulia.” Ucap Melani. Bukan hanya menyuguhi permaisuri, Melani juga menyuguhi makanan dan minuman yang sama buat pengawal, dayang dan kusir yang ikut duduk di pondok kayunya.
“Oh, kau gadis yang cekatan.” Kata permaisuri sambil menikmati minuman. Ah, terasa segar sekali. Permaisuri meminum  minumannya sampai habis. Terasa nikmat sekali. Permaisuri merasa tubuhnya mendadak terasa sangat segar sekali. Lalu permaisuri mengambil sepotong roti dan keju.
“Hem, roti ini sangat enak sekali. Lembut dan harum. Dan keju ini rasanya enak sekali. Dimana kau membeli roti dan keju ini, Melani?” Tanya permasuri.
“Hamba membuatnya sendiri, Yang Mulia.” Sahut Melani sambil tersenyum malu.
“Ah, rupanya kau memang gadis yang rajin sekali, Melani.” Permasuri tersenyum.
Sambil menghidangkan makanan dan minuman pada permasuri dan pengiringnya, Melani sibuk naik turun tangga dilantai atas membenahi kamar-kamar yang akan ditempati permaisuri dan para pengiringnya. Tak lama Melani telah selesai dengan pekerjaannya.
“Yang Mulia, silahkan berisitirahat dikamar yang telah hamba sediakan dilantai atas. Barangkali Yang Mulia merasa lelah dan ingin beristirahat.” Kata Melani.
“Terima kasih, Melani. Betul, aku ingin beristirahat dulu.” Sahut permaisuri sambil beranjak mengikuti Melani menaiki tangga kayu menuju kamar dilantai atas. Mirna mengikuti permaisuri sambil membawa segala kebutuhan permaisuri yang dibawa dari istana.
Melani membukakan pintu kamar. Permaisuri merasa senang melihat kamar itu. Didalam kamar berlantai kayu itu hanya ada sebuah dipan sederhana dan sebuah meja kecil dengan kursi kayu. Melani menunjukan kamar mandi yang berada dikamar itu pada permaisuri. Permaisuri merasa senang melihat kamar mandi kecil yang bersih itu.  Jendela kamar  yang tinggi ditutup oleh gorden sederhana dengan motif bunga. Permaisuri membuka jendela. Udara segar pegunungan bertiup masuk kedalam kamar. Permaisuri melihat dibawah jendela ada tempat berbentuk kotak persegi panjang dimana diletakan pot-pot bunga kecil berjejer rapi.
“Selamat beristirahat, Yang Mulia.” Kata Melani sambil menutup pintu kamar.
Melani menyediakan dua kamar lagi dilantai bawah untuk ditempati pengawal dan dayang istana. Setelah itu Melani menyibukan diri di dapur memasak untuk makan malam nanti. Sore hari, permaisuri baru keluar kamar. Permaisuri  terlihat lebih segar. Permaisuri turun dari lantai atas dan melihat Melani tengah sibuk menyiapkan masakan untuk makan malam.
“Ah, kami merepotkanmu, Melani.” Kata permaisuri ketika melihat kesibukan Melani didapur. Sayur mayur segar dan buah-buahan bertumpuk didapur. Dari dalam kuali yang mengepul panas, tercium aroma daging sapi yang tengah dimasak.
“Sama sekali tidak, Yang Mulia. Saya merasa mendapat kehormatan dengan kedatangan Yang Mulia ke pondok saya ini.” Sahut Melani sambil membuka pembakaran roti dan mengeluarkan roti yang telah matang. Bau harum roti mengisi dapur kecil itu.
“Mirna dan Lena, kedua dayangku, akan membantumu.” Kata permaisuri sambil memanggil kedua dayangnya yang segera saja ikut sibuk didapur membantu Melani. Sementara kedua pengawal dan kusir kereta tengah berjalan-jalan diluar pondok menikmati pemandangan pegunungan di sore hari yang sejuk.
Malam pun tiba. Udara pegunungan di malam hari terasa sangat dingin sekali. Permaisuri membungkus dirinya dengan mantel tebal. Pengawal sibuk menyalakan perapian ditungku perapian diruangan tengah agar udara didalam pondok itu terasa hangat. Sementara Melani bersama Mirna dan Lena sibuk menyiapkan makan malam. Makan malam terasa nikmat sekali. Sop daging sapi yang panas berisi potongan wortel dan kentang. Daging sapi saus kecap. Sayur jamur dan brokoli. Roti-roti yang baru keluar dari pembakaran. Sayur mayur segar dan buah-buahan menemani makan malam itu. Permaisuri makan dengan lahap sekali. Sudah lama sekali permaisuri tidak pernah lagi makan selahap ini.
Esok paginya permaisuri merasa tubuhnya terasa semakin segar. Semalam tidurnya terasa nyeyak sekali. Dia lalu berjalan-jalan disekitar pondok itu. Kakinya menginjak rumput-rumput lembut yang menutupi tanah. Ketika permaisuri kembali ke pondok itu, dia merasa tubuhnya terasa jauh lebih segar. Ah, rasanya aku kini telah sembuh, pikir permaisuri.
Empat hari lamanya permaisuri tinggal di pondok kayu itu. Dia memberi uang pada Melani untuk membeli segala macam kebutuhan selama dia tinggal di pondok itu termasuk juga untuk segala macam makanan dan minuman yang disediakan Melani untuk dirinya dan pengiringnya.
“Aku merasa sangat kerasan tinggal di pondokmu ini, Melani. Masakanmu pun sangat lezat sekali. Keju buatanmu sangat lezat sekali. Aku baru melihat sendiri bagaimana caranya membuat keju. Kau gadis yang serba bisa, Melani.”
Hari kelima, tiba-tiba datang seseorang yang menunggang kuda dan dipacu dengan cepat. Kuda itu lalu berhenti didepan pondok kayu itu. Penunggangnya lalu turun dan mengetuk pintu pondok   itu. Melani membukakan pintu pondok itu.
“Maaf, apakah ibuku tinggal disini?” Tanya pemuda itu.
“Ibumu?” Melani melongo.
“Oh, anakku. Kau kemari akan menjemput ibu? Sayangnya ibu masih merasa kerasan tinggal disini dan belum ingin pulang kembali ke istana.” Permaisuri muncul dari dalam pondok dan bicara pada pemuda itu.
“Ya, Bu. Ayah meminta saya untuk menjemput ibu.” Kata pemuda itu sambil mencium tangan permaisuri. Oh, rupanya pemuda itu adalah pangeran mahkota yang akan menjemput ibundanya.
“Pulanglah dan ajaklah ayahmu kemari. Kita sekeluarga akan beristirahat disini selama beberapa hari lagi.” Kata permaisuri.
Pangeran Andi kembali ke istana. Esoknya pangeran Andi kembali bersama ayahanda raja. Ternyata raja pun merasa kerasan melihat pondok itu. Akhirnya raja dan pengeran Andi ikut menginap selama beberapa hari di pondok kayu itu dan menikmati kesegaran udara pegunungan.
Setelah tinggal lebih dari seminggu, akhirnya permaisuri pamitan dan mengucapkan banyak terima kasih karena Melani telah melayani dirinya, raja, pangeran Andi serta para pengiring dengan baik. Permaisuri menghadiahi perhiasan berupa seuntai kalung mutiara yang indah  dan uang pada Melani sebagai ucapan terima kasih. Akhirnya permaisuri beserta rombongan pulang kembali ke istana dalam keadaan sehat. Beberapa waktu kemudian pangeran Andi datang kembali ke pondok kayu itu akan  menjemput Melani dan membawanya ke istana. Rupanya pangeran Andi dan Melani telah saling jatuh cinta selama pertemuan di pondok kayu itu. Akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia. Sesekali raja, permaisuri, pangeran Andi dan Melani menghabiskan waktu senggang di pondok kayu itu yang telah menjadi tempat istirahat keluarga kerajaan. (foto diambil dari google)






Kamis, 23 Oktober 2014

The Trip To Boundtiful.













The Trip To Boundtiful.

Beberapa saluran televisi sekarang banyak yang memutar kembali film-film lama. Sebetulnya dengan adanya youtube gampang mencari film-film lama yang ingin kita tonton hanya saja dibandingkan dengan menonton di youtube tentunya lebih asyik menonton di televisi, dan bila dibandingkan lagi dengan nonton film di bioskop tentunya juga nonton di bioskop akan lebih asyik lagi namun sayangnya hamper tidak ada bioskop yang memutar kembali film-film lama….
Salah satu film lama yang diputar kembali oleh salah satu salurah televisi  adalah film lama dengan judul ‘The Trip To Boundtiful’. Ceritanya cukup sederhana, intinya adalah sang pemeran utama yaitu Carries Watts yg diperankan oleh Geraldine Page, dimasa tuanya yang hidup menumpang dirumah anak menantunya, senantiasa merindukan kampung halamannya disebuah tempat yang bernama Boundtiful.
Berkali-kali dia mencoba minggat dari rumah anak menantunya untuk menuju tempat yang dirindukannya itu, tempat dimana dia menghabiskan masa kanak-kanak dan dewasanya bersama dengan keluarganya. Tempat itu adalah sebuah tempat pertanian dimana dia menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya disana bersama dengan orangtua dan keluarganya. Dan memiliki tetangga-tetangga yang memiliki hubungan yang harmonis dengannya sehingga kenangan akan tempat kelahirannya itu senantiasa melekat dalam benaknya. Namun setiap kali dia minggat dari rumah anak menantunya itu berkali-kali pula anak dan menantunya berhasil menemukannya di station dan membawanya kembali ke apartemen mereka.
Hingga suatu saat wanita tua itu merasa sudah sangat tidak kerasan untuk tinggal lebih lama lagi dirumah anak dan menantunya dimana dia sering sekali bertengkar dengan menantunya. Dipagi itu wanita tua  itu memutuskan untuk minggat kembali dari rumah anak menantunya setelah anak dan menantunya pergi keluar rumah.
Wanita tua itu berhasil mencapai statsiun. Dan ketika dia menyebutkan tempat tujuannya ternyata petugas penjual tiket  sama sekali tidak mengenal nama yang disebutkannya itu. Tidak kehilangan harapan, nenek itu akhirnya membeli tiket  menuju kota yang lebih dekat dengan harga tiket lebih murah dengan tempat Bountiful tersebut.
Perjalanan itu adalah perjalanan yang sangat menyenangkan bagi wanita tua. Dia bertemu dengan gadis muda yang duduk satu bangku dengannya didalam bis dan menjadi teman bercakap-cakap selama dalam perjalanan.
Ah, wanita tua yang merindukan kampung halamannya dimana dia memiliki banyak kenangan ditempat itu bersama keluarga dan teman-temannya. Wanita tua yang terlihat ramah dan baik hati dan dimasa tuanya memendam kerinduan yang mendalam pada tempat dimasa kecilnya yang menyimpan banyak kenangan indah.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh akhirnya wanita tua itu tiba juga di Bountiful dengan diantar oleh salah seorang petugas yang berhasil menemukannya atas perintah anaknya. Wanita itu memohon pada petugas itu agar dia diantar dulu ke Bountiful sebelum dia dibawa kembali ke rumah anaknya. Petugas itu berbaik hati mengantar wanita tua itu ketempat yang sangat dirindukannya. Dan akhirnya pagi itu wanita itu tiba ditempat yang selama ini selalu diimpikannya bisa dilihatnya kembali. Namun apa yang dilihatnya sekarang sudah jauh berubah dibandingkan saat dia meninggalkan tempat itu. Rumah peninggalan orangtuanya sudah tua dan lapuk.  Begitu pula dengan tetangga-tetangganya sudah tidak ada lagi yang masih tinggal di Bountiful karena mereka sudah meninggal dan anak cucu mereka sudah pindah ke kota dan tidak ada lagi yang kerasan tetap tinggal di Bountiful menjadi petani. Mereka menjual tanah dan rumah warisan dan hidup di kota seperti juga anak lelaki wanita tua itu.  Namun hati wanita itu tetap merasa gembira dan bahagia karena akhirnya keinginannya sudah tercapai dia bisa datang kembali ke Bountiful dan  seakan menemukan kembali apa yang selama ini dicarinya. Kebahagiaan dan kedamaian bersama rumah tua peninggalan orangtuanya itu dimana dimasa kecil dan remajanya dia menghabiskan banyak waktunya tinggal dirumah itu. Kenangan-kenangan lama kembali bermunculan.  
Menonton film ini ada sesuatu hal yang terasa menyentuh perasaan saya. Mungkin wanita tua itu adalah gambara dari diri kita sendiri. Bila ada umur, suatu saat kelak kita semua akan menjadi tua. Menjadi tua dan memiliki banyak kenangan selama rentang waktu sebelum menjadi tua dan renta. Bukankah dari kita semua kadangkala, disuatu waktu, sering juga mengenang kembali kenangan-kenangan dimasa lalu dan semuanya seakan masih terekam dengan baik dalam benak kita?  Menonton film ini saya merasa terharu dan tersentuh. Intinya adalah sebuah kerinduan seorang wanita tua akan tempat kelahirannya dimana dia menghabiskan banyak waktu bersama orangtua dan keluarganya beserta teman-temannya dilingkungan dimana dia pernah tinggal yang sangat membekas dalam benaknya.
Potret wanita tua itu adalah mungkin potret bagi kebanyakan orang dimasa tuanya yang mungkin juga kita pun akan mengalaminya, mengenangka kembali masa-masa kecil ketika kita masih berkumpul dengan orangtua yang lengkap, dengan keluarga dan teman-teman serta tetangga-tetangga kita yang memiliki kenangan yang indah dimasa lalu kita. Dan dengan mengenang kembali semua itu adalah sebuah hiburan yang menyenangkan dan membahagiakan. Bila kita sudah berpindah dari tempat dimana kita menghabiskan masa kecil kita yang bahagia, mungkin kita pun bila kelak telah tua dan renta kita pun akan rindu dan ingin berkunjung kembali ke tempat dimana kita pernah menghabiskan masa kecil kita dan menyimpan kenangan yang indah pada masa kecil

Rabu, 24 September 2014

Senang Sinjang











Senang Sinjang

Berawal dari masa kecil saya ketika saya suka  memperhatikan  ibu saya yang memiliki koleksi sinjang dan pada beberapa acara tertentu ibu saya suka mengenakan sinjang. Saya suka memperhatikan ibu saya mewiron sinjang atau melepe sinjang, lalu ibu saya melipatnya dengan rapi dan menaruhnya didalam lemari. Mungkin dari sana awal mulanya saya juga mulai menyukai  mengkoleksi sinjang. Motif-motif sinjang yang saya koleksi lebih cenderung pada motif-motif jaman dulu.  ibu saya dulu senang membeli dan mengkoleksi sinjang yang merupakan batik  tulis yang harganya pasti sekarang sangat mahal sekali. Ada beberapa batik tulis simpanan ibu saya yang kemudian  saya simpan, namun saya juga memiliki koleksi batik cap  dan saya simpan untuk senang-senang saja. Bila ditanya itu motif apa, saya kesulitan menjawab karena saat ini saya masih sebatas senang saja dengan menyimpan kain-kain dengan motif-motif  jaman dulu dan pastinya dibutuhkan banyak waktu buat saya untuk mempelajari beragam motif-motif kain yang saya miliki… 
































Add caption














































Senin, 22 September 2014

Asta dan Warung Nasi Bu Minah









Asta berjalan pelan melintasi warung nasi itu.Warung nasi yang selalu terlihat penuh dengan pengunjung hampir setiap harinya dari pagi hingga petang.Pemilik warung itu seorang wanita separuh baya yang selalu terlihat sibuk melayani pengunjung warung nasinya.Ada dua perempuan muda yang membantu bu Minah berjualan.Kedua gadis itu terlihat sangat cekatan bekerja dan selalu ramah menyapa setiap tamu yang datang berkunjung ke warung nasi itu.
Hari itu hujan turun dengan deras. Asta berjalan memasuki warung nasi. Perutnya terasa sangat lapar sekali. Sebetulnya dia tidak memiliki uang sepeserpun namun perutnya terasa sudah sangat perih sekali menahan lapar sepanjang hari yang belum diisi makanan sedikitpun.
“Silahkan duduk, nak.”Sambut bu Minah dengan ramah. “Mau makan apa?”
“Saya pesan nasi dan daging ayam saja.” Sahut Asta. Agak ragu dan malu.
Bu Minah menyuruh salah seorang pembantunya untuk menyediakan pesanan Asta. Tidak lama kemudian gadis itu datang membawa pesanan Asta. Tidak lupa pula menyediakan segelas air teh panas. Juga lalapan dan sambalnya.Asta makan dengan sangat lahap sekali.Dia lupa bahwa dia tidak memiliki uang sepeserpun untuk membayar makanan yang sedang dimakannya.Tidak lama kemudian makanan yang dipesannya telah habis. Oh, bukan main nikmatnya karena kini perutnya terasa nyaman setelah diisi.
Asta melihat bu Minah dan kedua pelayannya sedang sibuk melayani pembeli lainnya.Asta sejenak merasa ragu.Dia bisa saja segera pergi sebelum bu Minah dan kedua pelayannya memperhatikannya telah selesai makan.Namun niatnya diurungkan.Dia mendekati bu Minah.
“Bu….” Panggil Asta pelan.
“Sudah selesai?Tadi nasi dan ayam goreng. Ada tambahan lagi?” bu Minah sudah siap akan menghitung.
Asta menatap bu Minah malu.Dia sekilas memperhatikan orang-orang yang tengah makan.Tidak ada yang memperhatikannya.
“Bu, saya malu, saya sama sekali tidak punya uang untuk membayar makanan yang tadi saya makan….” Ucap Asta lirih.
Bu Minah menatap Asta sejenak.Lalu tersenyum.“Tidak apa-apa bila tidak punya uang.Kau tidak harus membayarnya.”Ucap bu Minah.
“Tapi bu, saya sungguh sangat malu sekali…..” ucap Asta.
“Tidak usah malu.Apa yang sudah kau makan tadi anggap saja pemberian dari saya.”Ucap bu Minah.
“Oh, terima kasih, bu.” Ucap Asta. Dia lalu pamit pergi.
Esok sorenya ketika Asta lewat didepan warung nasi itu, dia melihat warung nasi itu penuh seperti biasanya.Asta sejenak berhenti memperhatikan warung itu dari seberang jalan.Perutnya terasa lapar.Namun dia bergegas pergi.Namun baru saja dia melangkah, tiba-tiba terdengar seseorang berteriak dari dalam warung.
“Nak, mari mampir dulu.”
Oh, ternyata bu Minah yang keluar dari dalam warungnya dan memanggil Asta. Asta berhenti.Bu Minah melambaikan tangan kearahnya.Dengan ragu Asta berjalan mendekati warung bu Minah.
“Mari mampir dulu.Perutmu pasti sangat lapar sekali.”Ucap bu Minah mengajak Asta masuk kedalam warungnya.
“Bu, saya sama sekali tidak punya uang.”Ucap Asta malu.
“Makanlah apa saja yang kau mau.Kau tidak usah membayarnya.”Kata bu Minah dengan ramah.
Bu Minah menyuruh salah seorang pelayannya untuk menyiapkan makanan buat Asta.Meskipun merasa malu namun Asta akhirnya menyantap makanan yang disediakan untuknya.Demikianlah hampir setiap hari setiap kali Asta menewati warung nasi bu Minah, bu Minah selalu memanggilnya menyuruhnya masuk dan makan.Tidak terasa sudah tiga bulan lamanya hampir setiap hari Asta makan diwarung bu Minah tanpa membayar.
Suatu hari Asta pergi mencari ikan seperti biasanya.Tiba-tiba jaringnya terasa berat.Dia menarik jaringnya. Bukan main terkejutnya ketika dia melihat hasil tangkapannya adalah seekor ikan mas yang sangat besar sekali. Oh, aku sangat mujur hari ini, pikir Asta gembira. Dia akan memberikan ikan mas itu kepada bu Minah. Namun bukan main terkejutnya ketika tiba-tiba dia mendengar suara yang lembut.
“Tuan, saya jangan ditangkap.Lepaskan lagi saya kedalam sungai dan saya akan memberikan sesuatu yang sangat berharga untukmu.” Oh, ternyata ikan itu yang berbicara.
Asta mendadak menjadi ketakutan.
“Jangan takut.Aku adalah anak raja ikan penguasa sungai ini.Aku tersesat bermain terlalu jauh dari istanaku. Ayah dan ibuku serta semuanya pasti sekarang sedang mencari aku. Lepaskanlah aku.Nanti aku akan memberimu banyak hadiah.”
“Apakah kau bisa dipercaya?”Tanya Asta ragu. Dia sudah berniat akan memberikan ikan mas besar itu kepada bu Minah.
“Aku bisa dipercaya.Lepaskan aku dan tunggulah aku akan segera kembali menemuimu.” Kata ikan mas itu. “Oh ya, siapakah namamu?”
“Asta.” Sahut Asta.
“Asta, sekarang kau lepaskan aku dan aku akan segera kembali lagi kemari.” Kata ikan mas itu.
Akhirnya Asta melepaskan ikan mas itu. Ikan itu berenang dengan cepat dan tak lama sudah menghilang kedalam sungai.Asta  lalu duduk ditepi sungai menunggu kedatangan ikan mas itu kembali. Namun sekian lama dia menunggu, ikan mas itu tidak juga datang kembali. Asta menyesal mengapa dia melepaskan ikan satu-satunya hasil tangkapannya itu.Hari sudah semakin sore. Akhirnya Asta memutuskan akan pulang dengan perasaan kecewa.
Namun baru saja dia melangkah beberapa langkah akan meninggalkan sungai, mendadak terdengar suara memanggilnya.
“Asta!Asta!”
Asta menoleh. Bukan main terkejutnya ketika dia melihat ikan mas yang tadi ditangkapnya diiringi oleh beberapa ikan mas besar lainnya yang menyeret sesuatu.
“Asta, kemarilah.Aku membawakan sesuatu untukmu.” Kata ikan mas itu.
Asta turun ke sungai. Beberapa ekor ikan mas besar itu mendekati Asta. Diatas tubuh beberapa ekor ikan itu ada sebuah kotak kecil.
“Asta, ambilah kotak itu sebagai hadiah dari ayah dan ibu karena kau telah melepaskan aku, dan pergunakanlah apa yang ada dalam kotak itu dengan sebaik-baiknya untuk hidupmu.”
Asta mengambil kotak itu dia lalu membukanya. Oh, bukan main terkejutnya karena didalam kotak itu berisi beraneka macam perhiasan mas dan berlian dalam jumlah yang banyak.
“Apakah ini semua untukku?”Tanya Asta tak percaya.
“Ya, semuanya itu untukmu.Mulai saat ini kau jangan lagi mencari ikan dan menangkap ikan-ikan rakyat ayahku.Hiduplah dengan tenang dengan harta pemberian dari ayahku itu.” Kata ikan mas itu.
Asta lalu berjalan pulang.Ketika melewati warung bu Minah, dia melihat bu Minah sedang berada didepan warungnya dan kelihatannya sedang menunggu seseorang.Ketika melihat Asta, bu Minah terlihat gembira.
“Ah, akhirnya kau datang juga.Tidak biasanya kau pulang sesore ini.Mari masuk, makanan sudah menunggumu.”Kata bu Minah.
Seperti biasanya Asta pun makan diwarung bu Minah.Setelah selesai makan, dia menghampiri bu Minah.
“Bu, sudah tiga bulan lamanya saya makan diwarung ibu. Saya sangat malu sekali namun saya sangat berterima kasih sekali atas kebaikan  ibu.” Kata Asta.
“Ibu sangat senang bisa membantumu, nak.Kau kelihatannya jujur. Dan ibu percaya suatu saat nasibmu akan berubah. Jangan kau pikirkan apa yang sudah kau makan dari warung ibu ini. Ibu ikhlas memberikannya kepadamu.”Kata bu Minah.
Asta mengeluarkan kotak kecil pemberian ikan mas itu. Bu Minah terkejut ketika melihat isi kotak itu yang berisi perhiasan mas berlian yang mahal harganya.
“Ah, dari mana kau mendapatkan kotak berisi perhiasan berharga ini?”Tanya bu Minah sambil menatap Asta curiga.
Asta segera menceritakan kejadian hari itu kepada bu Minah.Lalu dia berkata.“Bu, hari ini saya mendapat rejeki yang tidak terduga. Saya akan membagi dua isi kotak ini dengan ibu. Saya sangat berhutang budi dan sangat berterima kasih sekali pada ibu yang telah memberi saya makan pada saat saya sedang kelaparan.”
“Ah, tidak.Itu adalah rejekimu.Ibu ikhlas memberikan apa yang sudah ibu berikan kepadamu.”Tolak bu Minah.
“Tidak bu, ini adalah rejeki kita berdua. Saya akan membagi dua isi kotak ini dengan Ibu.” Kata Asta.
Akhirnya Asta membagi dua isi kotak itu.Lalu dia menyerahkan kotak itu beserta isinya yang setengah kepada bu Minah.Bu Minah menangis terharu sambil memeluk Asta.
Asta pulang kerumahnya.Esok harinya dia menjual sebagian perhiasan itu.Dengan uang hasil penjualan perhiasan itu dia membeli sebidang tanah yang cukup luas, lalu membangun rumah dan hidup sebagai petani.Beberapa bulan kemudian sambil mengendarai kereta kuda miliknya, Asta melewati warung nasi bu Minah.Namun warung nasi itu kini sudah tidak ada lagi.Warung itu sudah berubah menjadi sebuah rumah yang sangat bagus.Asta segera turun dan masuk kedalam rumah itu.Bu Minah hampir tidak mengenali Asta bila Asta tidak memperkenalkan diri karena sekarang penampilan Asta sudah jauh berbeda dengan Asta yang dulu.Bu Minah bercerita, dengan hasil penjualan emas berlian itu dia bisa hidup layak.Dia menutup warungnya karena usianya sudah semakin tua dan dia ingin beristirahat menikmati masa tuanya.Sebagian uang hasil penjualan perhiasan itu dipakainya untuk merombak warungnya menjadi sebuah rumah yang bagus.Kini bu Minah hidup tenang dan ditemani oleh kedua pelayannya yang setia.

--- 0 ---




Jumat, 01 Agustus 2014

Raja Depp dan Bucek








Sudah hampir tiga tahun lamanya negeri dalam keadaan susah. Musim kemarau membuat hasil pertanian rusak. Tak ada panen padi ataupun palawija. Rakyat berulang kali meminta bantuan pada Raja Depp agar membuat saluran air, namun Raja Depp tidak pernah menggubris keluhan rakyat. Raja muda itu sangat gemar berburu ke hutan. Musim kemarau membuat Raja Depp hampir setiap hari pergi berburu ke hutan dan pulang ke istana dengan membawa rusa hasil buruannya, lalu rusa itu dijadikan daging panggang dan dinikmati oleh Raja Depp beserta para pengawalnya. Tak sedikitpun Raja ingat pada rakyatnya yang sudah mulai dilanda kelaparan dimana-mana karena sudah tidak ada lagi yang bisa dimakan.  
Rakyat yang kelaparan sudah sangat marah sekali kepada raja mereka yang sering melakukan perbuatan sewenang-wenang. Makanan-makanan busuk yang dibagikan Raja Depp berserakan dijalanan, berbaur dengan sampah. Seluruh rakyat sudah bersiap akan melakukan pemberontakan agar Raja Depp mau peduli pada rakyatnya yang tengah dilanda kelaparan sementara di istana makanan berlimpah dan dijadikan untuk berpoya-poya oleh Raja Depp.
Namun Raja Depp menganggap apa yang dilakukan rakyat sungguh sangat tidak berterima kasih. Suatu hari Raja Depp memperhatikan dari balik jendela kamarnya dilantai atas pada halaman istana yang dipenuhi rakyat yang tengah berteriak-teriak memanggil Raja Depp agar keluar menemui rakyatnya. Diantara pemberontak itu ada seorang anak muda seusianya yang gagah dan tampan. Anak muda itu kelihatannya yang menjadi pemimpin dari pemberontak itu.
“Siapakah anak muda itu?” Tanya Raja Depp pada salah seorang pengawal yang mendampinginya.
“Yang mana, Tuan?” Tanya pengawalnya sambil ikut melihat keluar jendela.
“Anak muda yang mengenakan topi hitam itu, yang berdiri paling depan.” Sahut Raja Depp.
“Oh, dia adalah anak seorang petani. Namanya Bucek.”
“Panggil anak muda itu dan suruh menghadapku. Hanya anak muda itu saja. Aku terkesan dengan keberaniannya.”
Pengawal itu segera keluar istana dan menemui anak muda itu. Raja Depp memperhatikan dari balik jendela kamarnya. Kelihatan anak muda itu mengikuti pengawal itu masuk ke istana.
Anak muda itu duduk dihadapan Raja Depp dengan sikap penuh keberanian.
“Siapa namamu?” Tanya Raja Depp.
“Bucek.”
“Aku suka dengan keberanianmu. Kau kelihatannya gagah berani. Maukah engkau menjadi salah seorang pengawalku?” Tanya Raja Depp.
“Tidak, Yang Mulia. Bukan pekerjaan yang hamba cari. Hamba mewakili teman-teman semua yang merupakan rakyat Tuanku Yang Mulia agar Tuanku bersedia membantu kami semua yang sedang dilanda kesusahan. Sudah bertahun-tahun kami para petani tidak pernah panen karena musim kemarau yang sangat panjang. Yang kami butuhkan adalah bantuan dari Tuanku Yang Mulia berupa pipa-pipa untuk menyalurkan air dari sungai sehingga sawah kami bisa diairi lagi dan bisa diolah kembali.” Sahut Bucek dengan suara lantang.
“Bicaramu panjang sekali dan lantang, padahal kau sedang bicara dengan Raja.” Tegur Raja Depp sambil tersenyum.
“Maafkan hamba, Tuanku. Kesempatan bertemu dengan Tuanku sudah lama sekali hamba tunggu, dan baru sekarang hamba bisa bertemu dengan Tuanku.” Sahut Bucek.
“Sebetulnya kalian semua tidak perlu protes ke istana apalagi merencanakan pemberontakan hanya karena musim kemarau yang terlalu panjang. Kalian bisa menanam tanaman lain sebagai pengganti padi dan gandum. Bukankah banyak tanaman lain yang bisa ditanam yang tidak memerlukan banyak air?”
“Misalnya apa, Tuanku?”
“Bukankah bertanam kentang dan umbi-umbian tidak memerlukan banyak air? Jadi walaupun musim kemarau kalian masih bisa panen kentang dan umbi-umbian untuk kalian makan?” sahut Raja Depp.
“Tuanku, bertanam apapun kami para petani tetap membutuhkan air untuk menggemburkan tanah sebelum ditanami. Mohon maaf yang sebesar-besarnya, sudikah Tuanku sejenak saja meninjau sawah ladang kami dan melihat sendiri bagaimana tanah sudah sangat kering kerontang. Bahkan sawah-sawah tanahnya sudah terbelah-belah akibat kekeringan yang sangat parah tahun ini.”
“Anak muda, aku mengerti. Baiklah, akan aku pikirkan hal itu. Hanya saja aku tidak suka bila kau memimpin rakyat untuk memberontak kepadaku. Aku bisa menghukummu dengan hukuman yang sangat berat.” Kata Raja Depp.
“Tuanku, tidak akan pernah terjadi rakyat memberontak pada Raja apabila rakyat sudah hidup makmur dan tercukupi seluruh kebutuhan hidupnya.” Sahut Bucek. “Perut yang lapar lah yang membuat rakyat marah, tuanku.”
“Baiklah, sekarang aku akan melihat sendiri sudah separah apakah kerusakan yang melanda sawah dan ladang kalian sehingga kalian ingin melakukan pemberontakan kepadaku. Kau temani aku bersama dengan para pengawalku.” Kata Raja Depp sambil bangkit.
Raja Depp berserta Bucek dan para pengawalnya naik kuda. Rakyat yang tengah berkumpul diluar halaman istana memberi jalan ketika iring-iringan Raja Depp lewat. Raja Depp merasa terkejut ketika dibawa oleh Bucek  ke pesawahan dan ladang-ladang. Tanah-tanah sudah sangat kering sekali. Bahkan beberapa penduduk yang dilihat Raja Depp tubuhnya sudah banyak yang kurus kering. Anak-anak banyak yang menderita busung lapar karena kekurangan makanan bergizi. Raja Depp merasa terkejut melihat apa yang dilihatnya. Dia baru sadar bahwa ternyata keadaan negerinya sudah sangat menderita sekali sementara di istana dirinya hidup senang dan berpoya-poya. Raja Depp menahan airmatanya. Dia teringat pada pesan almarhum ayahnya sebelum menyerahkan takhta kepadanya bahwa dia harus memperhatikan rakyatnya dengan sebaik-baiknya. Namun kini dia telah melakukan kesalahan yang sangat besar sekali dengan menelantarkan rakyatnya. Hatinya dipenuhi dengan penyesalan.
“Jadi yang kalian butuhkan adalah pipa-pipa untuk menyalurkan air dari sungai?” Raja Depp menoleh pada Bucek.
“Ya, Tuanku. Air sungai sudah mulai mengering juga. Itu salah satu pilihan menarik air sungai untuk mengairi sawah dan ladang. Pilihan lainnya adalah membuat beberapa buah sumur dibeberapa tempat, lalu dibuat sebuah bak yang besar sekali sebagai bak induk pada beberapa tempat dimana dibuat sumur itu. Melalui beberapa buah bak induk  itu dialirkan air pada beberapa tempat sehingga bisa mengairi sawah dan sebagian lagi pada beberapa bak induk lainnya dialirkan air pada jamban-jamban umum untuk kebutuhan penduduk sehari-hari.” Kata Bucek.
“Baiklah. Aku akan memenuhi permintaan rakyatku.” Raja Depp mengangguk setuju.
“Terima kasih, Tuanku.” Ucap Bucek dengan gembira.
Tidak lama kemudian rakyat berkerja bergotong royong menggali tanah pada beberapa tempat dan membuat sumur. Dibawah tanah yang kering itu ternyata tersimpan air yang jernih dan bening. Begitu sebuah sumur selesai digali, air yang jernih dan bersih memancar keluar. Rakyat bersorak sorai gembira. Sebagian rakyat lainnya  pada beberapa tempat membuat beberapa buah bak induk sebagai tempat penampungan air. Sementara itu air sungai pun ditarik untuk mengairi beberapa sawah yang paling dekat dengan sungai. Semuanya bekerja dengan giat dan penuh harapan. Bucek  memimpin semua pekerjaan itu. Dia sangga bahagia ketika melihat semua teman-temannya bekerja dengan penuh semangat. Bantuan-bantuan peralatan dan bahan-bahan dari Raja Depp mengalir dengan penuh sehingga pekerjaan bisa diselesaikan dengan cepat.
Ketika beberapa bulan kemudian pekerjaan telah selesai, para petani kembali turun ke sawah dan mulai menggarap kembali sawah ladang mereka. Air mengalir dimana-dimana. Bukan hanya sawah ladang yang terpenuhi kebutuhan akan air, bahkan seluruh penduduk pun terpenuhi kebutuhan akan air bersih. Mereka tidak perlu lagi pergi rame-rame ke sungai untuk mencuci pakaian dan mandi karena dibeberapa tempat sudah tersedia jamban-jamban yang mengalirkan air yang bersih dan jernih. Rakyat gembira dan Raja Depp pun merasa puas dengan pekerjaan yang telah diselesaikan dengan baik.
Raja Depp terkesan dengan keberanian dan kesungguhan Bucek  dalam menjalankan tugasnya. Akhirnya Raja Depp menjadikan  Bucek sebagai sahabatnya.  Apabila Raja Depp ingin turun ke desa-desa meninjau rakyatnya, Bucek  selalu menemaninya.