Jumat, 10 Mei 2013

LIONTIN BIRU SAFIR





Becak yang ditumpanginya berhenti didepan sebuah rumah bernomor dua puluh.
“Disini, Neng?” tanya tukang becak itu.
“Ya.” Sahut Runi sambil turun. Diambilnya koper kecilnya. Setelah membayar ongkos becak, dia melangkah masuk kehalaman rumah yang cukup besar itu. Batu-batu bulat berserakan disepanjang jalan buatan yang menuju keteras rumah itu.
Dipijitnya bel yang ada dipintu depan. Setelah menunggu beberapa saat, seorang perempuan setengah baya membukakan pintu.
“Oh, Neng Ruli.” Sambut Bi Ifah, pembantu dirumah ibu Winata. “Mari masuk, Neng. Kamar untuk Neng Ruli sudah sejak dua hari lalu dibersihkan.”
“Terima kasih, Bi.”
“Mudah-mudahan Neng Ruli betah tinggal disini.” Kata Bi Ifah sambil mengantar Ruli kekamar yang akan ditempatinya.
“Ya, mudah-mudahan saja. Terima kasih, Bi.” Sahut Ruli.
Bi Ifah tersenyum lalu pergi.
Perasaannya terasa lega setelah tiba ditempat tujuan setelah menempuh perjalanan cukup jauh. Lusa dia sudah akan mulai mengajar pada salah sebuah SMA di kota kecil ini. Beruntung dia bisa segera mendapatkan kamar indekos berkat bantuan Wiwin, temannya waktu kuliah dulu yang juga mengajar dikota ini.
Ruli menaruh tasnya yang berisi beberapa potong pakaiannya. Sejenak dia mengamati kamar kostnya. Cukup luas untuk ditempatinya sendirian. Sebuah tempat tidur, sebuah lemari pakaian, dan sebuah meja yang bisa dipakainya untuk menulis lengkap dengan sebuah kursi dengan sandaran yang tinggi. Semuanya kelihatan bukan barang baru tapi masih cukup bagus. Dia merasa puas. Dibukanya jendela yang berukuran besar dan tinggi. Kamarnya menghadap kehalaman samping. Udara terasa segar memasuki kamarnya.
Sore itu setelah mandi, dia bertemu Vini, gadis yang juga kost dirumah Ibu Winata. Dia biasa makan malam bersama Vini. Disekitar  tempat tinggal mereka banyak tukang makanan yang buka sampai larut malam.     
“Ibu Winata punya putra?” tanya Ruli.  Dirumah yang besar itu selain mereka berdua, hanya dihuni Bu Winata dan Bi Munah, pembantunya. 
“Menurut Bi Ifah katanya punya dua. Laki-laki semua. Yang sulung tinggal di Bali. Jadi pelukis. Yang bungsu sudah meninggal.”
“Kasihan Bu Winata. Dia pasti kesepian.”
“Memang. Apalagi anaknya yang sulung itu jarang pulang. Kata Bi Munah, dulu Bapak Winata menginginkan kedua anaknya jadi dokter seperti dirinya. Tapi tak satupun dari kedua anaknya yang mau mengikuti keinginan Bapak Winata. Anaknya yang sulung jadi pelukis, pekerjaan yang ditentang mati-matian oleh Bapak Winata. Bahkan pada anaknya yang bungsu pun, yang telah meninggal itu, Bapak Winata sempat marah besar karena dia pun seperti kakaknya, tidak mau menjadi dokter. Dia memilih kuliah di jurusan ekonomi.”
“Bi Ifah  tahu banyak soal keluarga itu?”
“Tentu saja, karena Bi Ifah  sejak muda dulu sudah ikut dengan Bapak dan Ibu Winata. Bahkan Bi Ifah  sering menangis sedih kalau sedang bercerita tentang anak-anak Bapak dan Ibu Winata karena sejak mereka bayi hingga dewasa, Bi Ifah  yang mengasuh mereka.”
--- o ---
Hujan yang turun seharian membuat cuaca terasa dingin. Ruli berjalan tergesa-gesa menuju rumah kostnya. Mendadak dia menghentikan langkahnya ketika seseorang menyapanya.
“Selamat sore.”
“Sore.” Ruli  melihat seorang pemuda berwajah  tampan dengan postur tubuh tinggi langsing berdiri didekat pohon tersenyum menatapnya. Selama dua minggu tinggal dikota ini, sudah beberapa kali dia melihat pemuda itu berdiri disana, memperhatikannya dan tersenyum menatapnya. Hari-hari kemarin dia tidak merasa begitu heran karena cuaca cukup bagus. Tapi kali ini, mengherankan sekali melihat  pemuda itu meskipun memakai jas hujan,  berdiri dibawah pohon ditengah gerimis hujan yang cukup deras. Apalagi cuaca begitu dingin menggigit. 
“Baru pulang, Mbak?”
“Ya.”
“Mbak betah tinggal dikota ini?”
“Tentu saja. Memang kenapa?”
Pemuda itu hanya tersenyum. “Tidak apa-apa, hanya ingin bertanya saja.”
Ruli membalas senyumannya. “Maaf ditinggal dulu, ya.”
“Silahkan Mbak.” Pemuda itu mempersilahkannya lewat dengan sopan.
Sebelum masuk kehalaman rumah, repleks Ruli menoleh kearah pemuda itu. Pemuda itu masih berdiri disana, memperhatikannya dengan tatapan matanya yang sukar dimengertinya. Ketika kembali kekamarnya dia tak habis pikir memikirkan kelakuan pemuda itu. Benarkah hanya karena ingin bertegur sapa saja dengannya dia sampai mau menunggu dia lewat walaupun harus kehujanan? Dia tak dapat menahan senyumnya. Ada-ada saja ulah manusia, pikirnya geli.
--- o ---

Sore itu hujan lebih deras dari kemarin. Ruli  melangkah tergesa-gesa menuju rumah kostnya yang hanya tinggal beberapa meter lagi. Tapi mendadak dia memperlambat langkahnya. Pemuda itu sudah menunggunya lagi.
“Maaf Mbak, mbak kost dirumah Ibu Winata, bukan?”
“Ya, betul.”
“Saya juga dulu pernah tinggal dirumah itu.”
“Oh, ya?” Meskipun sudah ingin segera tiba dirumahnya, tapi Ruli terpaksa menahan kakinya dulu. Ada rasa iba dan tak mengerti yang dirasakannya pada pemuda ini. Sekedar bertegur sapa seperti ini, apa salahnya, pikirnya. Sekedar untuk menyenangkan hati pemuda itu. Siapa tahu memang dia benar-benar ingin berkenalan dengannya.
“Mbak betah tinggal disana?”
“Tentu saja. Memang kenapa?”
Pemuda itu hanya tersenyum menjawab pertanyaannya. “Saya punya  sesuatu untuk Mbak?” katanya tiba-tiba.
“Apa?”
Pemuda itu merogoh sesuatu dari dalam saku celananya dan menyerahkan bungkusan kecil kepadanya. Dia menerima bungkusan kecil itu. “Kalau Mbak suka, pakailah. Saya akan merasa bahagia sekali bila mbak mau memakainya.”
“Kenapa anda memberikan hadiah ini kepada saya?” Ruli  melongo tak mengerti. “Kita belum pernah saling mengenal sebelumnya. Saya jadi tidak mengerti.”
“Suatu saat nanti Mbak pasti mengerti. Wajah dan penampilan Mbak mengingatkan saya pada seseorang. Mbak juga selalu baik pada saya……..”
“Jangan mengartikan lain sikap saya.” Ruli  tertawa.  “Saya baik pada siapapun.”
“Saya tahu, tapi mbak baik pada saya merupakan suatu keistimewaan. Sudah lama sekali saya tidak punya teman. Saya beruntung bertemu dengan Mbak dan Mbak mau bercakap-cakap dengan saya.” Pemuda itu kelihatan menarik napas dalam. “Jadi, mbak harap mau menerima pemberian saya ini. Saya akan senang sekali bila Mbak mau memakainya.”
“Memangnya bungkusan ini isinya apa?”
“Mbak lihat saja nanti.”
Tiba dikamarnya bergegas Ruli  membuka bungkusan kecil itu. Dia terbelalak. Sebuah liontin biru safir yang indah sekali. Ah, mana mungkin pemuda yang baru beberapa hari dikenalnya  memberikan liontin itu kepadanya? Dia menggelengkan kepalanya tak mengerti. Dia membuka kalungnya. Dilepasnya liontin yang selama ini dipakainya dan diganti dengan liontin biru safir itu. Dia berdiri didepan kaca. Dia merasa lebih menarik mengenakan liontin biru safir itu. Dielusnya liontin itu. Dia tersenyum kecil. 
--- o ---

Sore itu pemuda itu sudah ada disana lagi. Dia tersenyum ketika melihat liontin yang tergantung dileher Ruli. “Mbak suka dengan liontin itu?”
“Ya.” Ruli tersenyum kecil. “Modelnya bagus. Liontin ini pasti mahal harganya.”
“Saya senang mbak mau memakainya. Setidaknya, mbak memakainya untuk menyenangkan perasaan saya.”
--- o ---
Ruli baru selesai mandi ketika Vini memberitahunya kalau ibu Winata sudah tiga hari terbaring sakit dikamarnya. Malam itu  juga Ruli  menjenguk ibu Winata dikamarnya.
“Dari mana nak Ruli memperoleh liontin ini?” tanya Ibu Winata tiba-tiba ditengah-tengah pembicaraan. Matanya terpaku menatap liontin yang dikenakan Ruli.
Ruli  menunduk memperhatikan liontin yang dikenakannya. “Hadiah dari seorang teman, bu.” Sahutnya spontan tanpa berpikir lagi.
Mata Bu Winata tiba-tiba berkaca-kaca. “Liontin semacam itu, dulu pernah ibu buatkan untuk  Hendra, putra ibu yang bungsu. Dia meminta ibu membuatkan sebuah liontin dari safir biru untuk kekasihnya. Sayang ayahnya tak pernah merestui hubungan mereka. Kasihan, padahal mereka saling mencintai. Bahkan ayahnya sampai tega mengusir Hendra dari rumah ini. Siapa mengira, bila saat itu adalah pertemuan ibu yang terakhir dengannya. Dia meninggal karena kecelakaan lalu lintas, beberapa saat setelah Hendra meninggalkan rumah. Saat itu hujan deras. Motor yang dikendarainya slip. Dari arah berlawanan datang mobil yang melaju cepat. Hendra tertabrak……. dan meninggal ditempat itu juga.” Ibu Winata menangis terisak-isak, teringat peristiwa dimasa lalu. “Mungkin, liontin yang ibu berikan kepadanyapun belum sempat dia berikan kepada kekasihnya.”
Mulut Ruli mendadak terbuka. Dia ingin menceritakan tentang pemuda yang hampir setiap sore menunggunya, tapi kata-kata yang sudah siap keluar dari mulutnya mendadak terhenti. Tidak, dia tak akan menceritakan tentang pemuda itu. Tak ada hubungan apapun antara cerita ibu Winata dengan pemuda yang setiap sore dilihatnya. Dia menunduk memperhatikan liontin yang dikenakannya. 
Tapi setelah masuk kembali kekamarnya, cerita ibu Winata tentang putranya yang telah meninggal dan liontin yang dibuatkan untuk putranya itu begitu merasuki pikirannya. Ruli  memperhatikan liontin itu. Mendadak dia bergidik. Dia tidak mengenal pemuda itu. Ah, mengapa dia mau menerima pemberiannya dan mau memakai liontin ini? Siapakah pemuda itu? Bergegas dia membuka linton itu. Dibukanya jendela kamarnya. Diluar dingin dan gelap sekali. Tapi dari cahaya lampu dikamarnya yang terang, dia bisa melihat keluar. Sekuat tenaga dia melemparkan liontin itu kesemak-semak diujung halaman. Setelah itu bergegas dia menutup jendela kembali dengan perasaan lega.
--- o ---
Pemuda itu tak pernah dilihatnya lagi. Berkali-kali Ruli  memikirkan pemuda itu. Tahukah pemuda itu kalau dia membuang liontin pemberiannya? Atau barangkali justru pemuda itu melihatnya membuang liontin itu dan menjadi tersinggung hingga tidak mau menemuinya lagi. Terbersit perasaan bersalah dihatinya. Mengapa dia tidak menghargai pemberian orang? Bukankah pemuda itu kelihatan begitu tulus memberikan liontin itu kepadanya? Bukankah wajah pemuda itu kelihatan bahagia ketika melihatnya mengenakan liontin itu? Kasihan, barangkali perasaannya terluka ketika mengetahui dia membuang liontin itu. Ah, besok, kalau cuaca baik, aku akan mencari liontin itu disemak-semak diujung halaman.  Mudah-mudahan saja liontin itu tidak hilang dan berhasil ditemukannya lagi.
--- o ---
“Selamat sore.”
“Sore.” Ruli  menahan debaran didadanya. Pemuda itu berdiri disamping pohon besar yang menaungi jalan. Ah, rasanya sudah lama sekali dia tidak melihat pemuda itu lagi. Dia ingin melontarkan pertanyaan, kemana saja pemuda itu selama beberapa minggu ini? Tapi hati kecilnya mencegahnya.
“Mbak tidak mau lagi mengenakan liontin pemberian saya.” Kata pemuda itu dengan suara murung.
Ruli tidak segera menjawab. Sudah beberapa kali dia mencari liontin itu dibalik semak-semak tapi tak pernah berhasil ditemukannya. Dia menyesal dengan keputusannya yang tergesa-gesa membuang liontin seindah itu. “Liontin itu masih ada. Masih saya simpan.” Katanya akhirnya, tak ingin mengecewakan perasaan pemuda itu seandainya saja dia tahu dirinya telah membuang liontin pemberiannya.
“Benarkah Mbak masih menyimpan liontin pemberian saya?”
“Ya.” Ruli  mengangguk pelan.
“Terima kasih. Mbak baik sekali. Liontin itu pemberian ibu saya. Saya memintanya dari ibu dan akan diberikan kepada kekasih saya, tapi sayang, saya belum sempat memberikannya. Ketika saya melihat Mbak, saya melihat ada kemiripan diantara Mbak dengan kekasih saya. Hati saya tergerak ingin memberikan liontin yang tak  sempat saya berikan kepada kekasih saya, meskipun saya belum lama mengenal Mbak. Untunglah Mbak mau menerima meskipun Mbak belum tahu siapa saya. Tapi saya bahagia sekali.” Pemuda itu lalu bergegas pamit. Dia memperhatikan punggung pemuda itu yang ditutupi jas hujan warna abu-abu tua berjalan menjauhinya. Dia menghela napas panjang. Bergegas dia berjalan cepat menuju rumah kostnya.
--- o ---
Malam itu  Ruli merasa lebih santai. Minggu kemarin dia sibuk memberikan mid-test dan memeriksa hasilnya. Perutnya terasa lapar. Dicuaca sedingin ini pasti enak makan sate. Dia akan mengajak Vini makan sate ditempat yang biasa. Dibukanya laci mejanya akan mengambil dompetnya.  Matanya tiba-tiba terpaku. Dia melihat liontin yang dibuangnya beberapa waktu lalu, tergeletak diatas kotak perhiasannya.
--- o ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar