Becak yang ditumpanginya berhenti
didepan sebuah rumah bernomor dua puluh.
“Disini, Neng?” tanya tukang becak
itu.
“Ya.” Sahut Runi sambil turun.
Diambilnya koper kecilnya. Setelah membayar ongkos becak, dia melangkah masuk
kehalaman rumah yang cukup besar itu. Batu-batu bulat berserakan disepanjang
jalan buatan yang menuju keteras rumah itu.
Dipijitnya bel yang ada dipintu
depan. Setelah menunggu beberapa saat, seorang perempuan setengah baya
membukakan pintu.
“Oh, Neng Ruli.” Sambut Bi Ifah,
pembantu dirumah ibu Winata. “Mari masuk, Neng. Kamar untuk Neng Ruli sudah
sejak dua hari lalu dibersihkan.”
“Terima kasih, Bi.”
“Mudah-mudahan Neng Ruli betah
tinggal disini.” Kata Bi Ifah sambil mengantar Ruli kekamar yang akan
ditempatinya.
“Ya, mudah-mudahan saja. Terima
kasih, Bi.” Sahut Ruli.
Bi Ifah tersenyum lalu pergi.
Perasaannya terasa lega setelah
tiba ditempat tujuan setelah menempuh perjalanan cukup jauh. Lusa dia sudah
akan mulai mengajar pada salah sebuah SMA di kota kecil ini. Beruntung dia bisa
segera mendapatkan kamar indekos berkat bantuan Wiwin, temannya waktu kuliah
dulu yang juga mengajar dikota ini.
Ruli menaruh tasnya yang berisi
beberapa potong pakaiannya. Sejenak dia mengamati kamar kostnya. Cukup luas
untuk ditempatinya sendirian. Sebuah tempat tidur, sebuah lemari pakaian, dan
sebuah meja yang bisa dipakainya untuk menulis lengkap dengan sebuah kursi
dengan sandaran yang tinggi. Semuanya kelihatan bukan barang baru tapi masih
cukup bagus. Dia merasa puas. Dibukanya jendela yang berukuran besar dan
tinggi. Kamarnya menghadap kehalaman samping. Udara terasa segar memasuki
kamarnya.
Sore itu setelah mandi, dia bertemu
Vini, gadis yang juga kost dirumah Ibu Winata. Dia biasa makan malam bersama
Vini. Disekitar tempat tinggal mereka
banyak tukang makanan yang buka sampai larut malam.
“Ibu Winata punya putra?” tanya
Ruli. Dirumah yang besar itu selain
mereka berdua, hanya dihuni Bu Winata dan Bi Munah, pembantunya.
“Menurut Bi
Ifah katanya punya dua. Laki-laki semua. Yang sulung tinggal di Bali. Jadi
pelukis. Yang bungsu sudah meninggal.”
“Kasihan Bu
Winata. Dia pasti kesepian.”
“Memang.
Apalagi anaknya yang sulung itu jarang pulang. Kata Bi Munah, dulu Bapak Winata
menginginkan kedua anaknya jadi dokter seperti dirinya. Tapi tak satupun dari
kedua anaknya yang mau mengikuti keinginan Bapak Winata. Anaknya yang sulung
jadi pelukis, pekerjaan yang ditentang mati-matian oleh Bapak Winata. Bahkan
pada anaknya yang bungsu pun, yang telah meninggal itu, Bapak Winata sempat marah
besar karena dia pun seperti kakaknya, tidak mau menjadi dokter. Dia memilih
kuliah di jurusan ekonomi.”
“Bi
Ifah tahu banyak soal keluarga itu?”
“Tentu
saja, karena Bi Ifah sejak muda dulu
sudah ikut dengan Bapak dan Ibu Winata. Bahkan Bi Ifah sering menangis sedih kalau sedang bercerita
tentang anak-anak Bapak dan Ibu Winata karena sejak mereka bayi hingga dewasa,
Bi Ifah yang mengasuh mereka.”
--- o ---
Hujan yang
turun seharian membuat cuaca terasa dingin. Ruli berjalan tergesa-gesa menuju
rumah kostnya. Mendadak dia menghentikan langkahnya ketika seseorang
menyapanya.
“Selamat
sore.”
“Sore.”
Ruli melihat seorang pemuda
berwajah tampan dengan postur tubuh
tinggi langsing berdiri didekat pohon tersenyum menatapnya. Selama dua minggu
tinggal dikota ini, sudah beberapa kali dia melihat pemuda itu berdiri disana,
memperhatikannya dan tersenyum menatapnya. Hari-hari kemarin dia tidak merasa
begitu heran karena cuaca cukup bagus. Tapi kali ini, mengherankan sekali
melihat pemuda itu meskipun memakai jas
hujan, berdiri dibawah pohon ditengah
gerimis hujan yang cukup deras. Apalagi cuaca begitu dingin menggigit.
“Baru
pulang, Mbak?”
“Ya.”
“Mbak betah
tinggal dikota ini?”
“Tentu
saja. Memang kenapa?”
Pemuda itu
hanya tersenyum. “Tidak apa-apa, hanya ingin bertanya saja.”
Ruli
membalas senyumannya. “Maaf ditinggal dulu, ya.”
“Silahkan
Mbak.” Pemuda itu mempersilahkannya lewat dengan sopan.
Sebelum
masuk kehalaman rumah, repleks Ruli menoleh kearah pemuda itu. Pemuda itu masih
berdiri disana, memperhatikannya dengan tatapan matanya yang sukar
dimengertinya. Ketika kembali kekamarnya dia tak habis pikir memikirkan
kelakuan pemuda itu. Benarkah hanya karena ingin bertegur sapa saja dengannya
dia sampai mau menunggu dia lewat walaupun harus kehujanan? Dia tak dapat
menahan senyumnya. Ada-ada saja ulah manusia, pikirnya geli.
--- o ---
Sore itu
hujan lebih deras dari kemarin. Ruli
melangkah tergesa-gesa menuju rumah kostnya yang hanya tinggal beberapa
meter lagi. Tapi mendadak dia memperlambat langkahnya. Pemuda itu sudah
menunggunya lagi.
“Maaf Mbak,
mbak kost dirumah Ibu Winata, bukan?”
“Ya,
betul.”
“Saya juga
dulu pernah tinggal dirumah itu.”
“Oh, ya?”
Meskipun sudah ingin segera tiba dirumahnya, tapi Ruli terpaksa menahan kakinya
dulu. Ada rasa iba dan tak mengerti yang dirasakannya pada pemuda ini. Sekedar
bertegur sapa seperti ini, apa salahnya, pikirnya. Sekedar untuk menyenangkan
hati pemuda itu. Siapa tahu memang dia benar-benar ingin berkenalan dengannya.
“Mbak betah
tinggal disana?”
“Tentu
saja. Memang kenapa?”
Pemuda itu
hanya tersenyum menjawab pertanyaannya. “Saya punya sesuatu untuk Mbak?” katanya tiba-tiba.
“Apa?”
Pemuda itu
merogoh sesuatu dari dalam saku celananya dan menyerahkan bungkusan kecil
kepadanya. Dia menerima bungkusan kecil itu. “Kalau Mbak suka, pakailah. Saya
akan merasa bahagia sekali bila mbak mau memakainya.”
“Kenapa
anda memberikan hadiah ini kepada saya?” Ruli
melongo tak mengerti. “Kita belum pernah saling mengenal sebelumnya.
Saya jadi tidak mengerti.”
“Suatu saat
nanti Mbak pasti mengerti. Wajah dan penampilan Mbak mengingatkan saya pada
seseorang. Mbak juga selalu baik pada saya……..”
“Jangan
mengartikan lain sikap saya.” Ruli
tertawa. “Saya baik pada
siapapun.”
“Saya tahu,
tapi mbak baik pada saya merupakan suatu keistimewaan. Sudah lama sekali saya
tidak punya teman. Saya beruntung bertemu dengan Mbak dan Mbak mau
bercakap-cakap dengan saya.” Pemuda itu kelihatan menarik napas dalam. “Jadi,
mbak harap mau menerima pemberian saya ini. Saya akan senang sekali bila Mbak
mau memakainya.”
“Memangnya
bungkusan ini isinya apa?”
“Mbak lihat
saja nanti.”
Tiba
dikamarnya bergegas Ruli membuka
bungkusan kecil itu. Dia terbelalak. Sebuah liontin biru safir yang indah
sekali. Ah, mana mungkin pemuda yang baru beberapa hari dikenalnya memberikan liontin itu kepadanya? Dia
menggelengkan kepalanya tak mengerti. Dia membuka kalungnya. Dilepasnya liontin
yang selama ini dipakainya dan diganti dengan liontin biru safir itu. Dia
berdiri didepan kaca. Dia merasa lebih menarik mengenakan liontin biru safir
itu. Dielusnya liontin itu. Dia tersenyum kecil.
--- o ---
Sore itu
pemuda itu sudah ada disana lagi. Dia tersenyum ketika melihat liontin yang
tergantung dileher Ruli. “Mbak suka dengan liontin itu?”
“Ya.” Ruli
tersenyum kecil. “Modelnya bagus. Liontin ini pasti mahal harganya.”
“Saya
senang mbak mau memakainya. Setidaknya, mbak memakainya untuk menyenangkan
perasaan saya.”
--- o ---
Ruli baru
selesai mandi ketika Vini memberitahunya kalau ibu Winata sudah tiga hari
terbaring sakit dikamarnya. Malam itu
juga Ruli menjenguk ibu Winata
dikamarnya.
“Dari mana
nak Ruli memperoleh liontin ini?” tanya Ibu Winata tiba-tiba ditengah-tengah
pembicaraan. Matanya terpaku menatap liontin yang dikenakan Ruli.
Ruli menunduk memperhatikan liontin yang
dikenakannya. “Hadiah dari seorang teman, bu.” Sahutnya spontan tanpa berpikir
lagi.
Mata Bu
Winata tiba-tiba berkaca-kaca. “Liontin semacam itu, dulu pernah ibu buatkan
untuk Hendra, putra ibu yang bungsu. Dia
meminta ibu membuatkan sebuah liontin dari safir biru untuk kekasihnya. Sayang
ayahnya tak pernah merestui hubungan mereka. Kasihan, padahal mereka saling
mencintai. Bahkan ayahnya sampai tega mengusir Hendra dari rumah ini. Siapa
mengira, bila saat itu adalah pertemuan ibu yang terakhir dengannya. Dia
meninggal karena kecelakaan lalu lintas, beberapa saat setelah Hendra
meninggalkan rumah. Saat itu hujan deras. Motor yang dikendarainya slip. Dari
arah berlawanan datang mobil yang melaju cepat. Hendra tertabrak……. dan
meninggal ditempat itu juga.” Ibu Winata menangis terisak-isak, teringat
peristiwa dimasa lalu. “Mungkin, liontin yang ibu berikan kepadanyapun belum
sempat dia berikan kepada kekasihnya.”
Mulut Ruli
mendadak terbuka. Dia ingin menceritakan tentang pemuda yang hampir setiap sore
menunggunya, tapi kata-kata yang sudah siap keluar dari mulutnya mendadak
terhenti. Tidak, dia tak akan menceritakan tentang pemuda itu. Tak ada hubungan
apapun antara cerita ibu Winata dengan pemuda yang setiap sore dilihatnya. Dia
menunduk memperhatikan liontin yang dikenakannya.
Tapi
setelah masuk kembali kekamarnya, cerita ibu Winata tentang putranya yang telah
meninggal dan liontin yang dibuatkan untuk putranya itu begitu merasuki
pikirannya. Ruli memperhatikan liontin
itu. Mendadak dia bergidik. Dia tidak mengenal pemuda itu. Ah, mengapa dia mau
menerima pemberiannya dan mau memakai liontin ini? Siapakah pemuda itu?
Bergegas dia membuka linton itu. Dibukanya jendela kamarnya. Diluar dingin dan
gelap sekali. Tapi dari cahaya lampu dikamarnya yang terang, dia bisa melihat
keluar. Sekuat tenaga dia melemparkan liontin itu kesemak-semak diujung
halaman. Setelah itu bergegas dia menutup jendela kembali dengan perasaan lega.
--- o ---
Pemuda itu
tak pernah dilihatnya lagi. Berkali-kali Ruli
memikirkan pemuda itu. Tahukah pemuda itu kalau dia membuang liontin
pemberiannya? Atau barangkali justru pemuda itu melihatnya membuang liontin itu
dan menjadi tersinggung hingga tidak mau menemuinya lagi. Terbersit perasaan
bersalah dihatinya. Mengapa dia tidak menghargai pemberian orang? Bukankah
pemuda itu kelihatan begitu tulus memberikan liontin itu kepadanya? Bukankah
wajah pemuda itu kelihatan bahagia ketika melihatnya mengenakan liontin itu?
Kasihan, barangkali perasaannya terluka ketika mengetahui dia membuang liontin
itu. Ah, besok, kalau cuaca baik, aku akan mencari liontin itu disemak-semak
diujung halaman. Mudah-mudahan saja
liontin itu tidak hilang dan berhasil ditemukannya lagi.
--- o ---
“Selamat
sore.”
“Sore.”
Ruli menahan debaran didadanya. Pemuda
itu berdiri disamping pohon besar yang menaungi jalan. Ah, rasanya sudah lama
sekali dia tidak melihat pemuda itu lagi. Dia ingin melontarkan pertanyaan,
kemana saja pemuda itu selama beberapa minggu ini? Tapi hati kecilnya
mencegahnya.
“Mbak tidak
mau lagi mengenakan liontin pemberian saya.” Kata pemuda itu dengan suara
murung.
Ruli tidak
segera menjawab. Sudah beberapa kali dia mencari liontin itu dibalik
semak-semak tapi tak pernah berhasil ditemukannya. Dia menyesal dengan
keputusannya yang tergesa-gesa membuang liontin seindah itu. “Liontin itu masih
ada. Masih saya simpan.” Katanya akhirnya, tak ingin mengecewakan perasaan
pemuda itu seandainya saja dia tahu dirinya telah membuang liontin
pemberiannya.
“Benarkah
Mbak masih menyimpan liontin pemberian saya?”
“Ya.”
Ruli mengangguk pelan.
“Terima
kasih. Mbak baik sekali. Liontin itu pemberian ibu saya. Saya memintanya dari
ibu dan akan diberikan kepada kekasih saya, tapi sayang, saya belum sempat
memberikannya. Ketika saya melihat Mbak, saya melihat ada kemiripan diantara
Mbak dengan kekasih saya. Hati saya tergerak ingin memberikan liontin yang
tak sempat saya berikan kepada kekasih
saya, meskipun saya belum lama mengenal Mbak. Untunglah Mbak mau menerima
meskipun Mbak belum tahu siapa saya. Tapi saya bahagia sekali.” Pemuda itu lalu
bergegas pamit. Dia memperhatikan punggung pemuda itu yang ditutupi jas hujan
warna abu-abu tua berjalan menjauhinya. Dia menghela napas panjang. Bergegas
dia berjalan cepat menuju rumah kostnya.
--- o ---
Malam
itu Ruli merasa lebih santai. Minggu
kemarin dia sibuk memberikan mid-test dan memeriksa hasilnya. Perutnya terasa
lapar. Dicuaca sedingin ini pasti enak makan sate. Dia akan mengajak Vini makan
sate ditempat yang biasa. Dibukanya laci mejanya akan mengambil dompetnya. Matanya tiba-tiba terpaku. Dia melihat
liontin yang dibuangnya beberapa waktu lalu, tergeletak diatas kotak
perhiasannya.
--- o ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar