Jumat, 10 Mei 2013

Helena dan Bunga Mawarnya





Helena memperhatikan mawar-mawar  dikebun bunganya. Hari ini banyak sekali mawar-mawar  dikebunnya yang akan dipetiknya dan dijajakan dipinggir jalan. Tahun baru sudah hampir tiba. Setiap akhir tahun dagangan bunganya biasanya sangat laris. Banyak pembeli yang membeli bunganya untuk dibawa pulang dan dijadikan hiasan dirumah-rumah mereka untuk menyambut datangnya tahun baru.
Hujan mulai turun gerimis. Helena mengenakan mantel hujan dan mengambil keranjang bunganya. Dia mulai bekerja memotong tangkai-tangkai bunga-bunga mawarnya dengan hati-hati. Mawar merah. Mawar putih. Mawar jingga. Mawar biru. Bila sudah dirangkai dalam jambangan bunga, mawar-mawar ini akan nampak indah sekali. Helena dengan tekun bekerja memotong bunga-bunga mawar dikebunnya. Dia tidak mempedulikan hujan gerimis dan cuaca yang dingin. Dia harus bergegas menyelesaikan pekerjaannya dan segera pergi kejalanan untuk menjajakan dagangannya karena mawar-mawarnya tidak bisa disimpan lama-lama karena akan segera layu.
Setelah mendapatkan dua keranjang bunga mawar potong, Helena segera pamit pada ibunya akan pergi kejalan menjajakan dagangannya. Hujan masih turun gerimis. Udara terasa dingin sekali. Namun Helena tidak peduli. Dia bergegas pergi kejalanan dimana banyak orang yang lalu lalang.
“Bunganya, bu. Bunganya, pak.” Helena mulai menjajakan dagangannya, menyapa orang-orang yang lewat lalu lalang didepannya.
Hujan yang turun gerimis membuat orang-orang berjalan dengan langkah bergegas dan hanya beberapa orang yang sempat melirik bunga-bunga dalam keranjang yang dijajakan Helena. Namun Helena tidak patah semangat. Dia selalu merasa yakin menjelang tahun baru, seperti juga menjelang tahun-tahun baru sebelumnya, dagangannya selalu laris.
“Bunganya, bu. Bunganya, pak.” Kata Helena menyapa terus orang-orang yang lewat didepannya. Namun tidak ada seorangpun yang mampir dan membeli bunga-bunganya. Setelah menunggu selama berjam-jam dan tidak ada yang tertarik untuk membeli bunganya, Helena mulai sedih. Gerimis semakin deras. Cuaca terasa semakin dingin. Helena mulai menggigil kedinginan. Perutnya terasa lapar. Namun dia tidak memiliki uang untuk membeli makanan maupun minuman hangat untuk menghangatkan perutnya.
“Berapa setangkainya?” Sebuah suara menyapanya dikala Helena tengah termangu-mangu.
Helena menoleh. Dia melihat seorang wanita berwajah anggun mendekatinya dan memperhatikan dagangannya.
“Oh murah, nyonya. Setangkainya dua ribu.” Sahut Helena cepat. Senang sekali akhirnya ada juga orang yang mampir dan tertarik dengan dagangannya.
“Boleh setangkainya seribu saja?” tanya wanita itu.
Helena tidak berpikir panjang. Sudah sangat lama dia menjajakan dagangannya. Malam sudah mulai menjelang. Dia sudah lapar dan kedinginan. Dia sudah ingin pulang kerumahnya. Dia teringat pada ibunya yang tengah sakit dan pasti sedang menunggunya pulang membawa makanan.
“Silahkan, nyonya. Berapa tangkai yang akan nyonya beli?”
Wanita itu menatap Helena. “Bunga-bungamu indah sekali. Bahkan mawar biru-mawar biru ini  luar biasa indahnya. Kelopaknya nampak berkilauan seperti ada butiran-butiran berlian  kecil didalamnya. Kenapa kau jual murah?”
Helena tertegun mendapat pertanyaan itu, lalu dia tersenyum. “Nyonya, saya sudah berjam-jam lamanya menjajakan dagangan bunga saya. Namun baru nyonya yang tertarik dan ingin membeli bunga saya. Saya ingin bunga-bunga saya segera terjual agar saya bisa segera pulang. Ibu saya sedang sakit. Ibu pasti sudah menunggu saya pulang.”
“Ayahmu kemana?” tanya wanita itu seakan tertarik dengan cerita Helena.
“Ayah sudah lama meninggal. Saya hanya tinggal berdua bersama dengan ibu saya. Ibu saya sudah lama sakit-sakitan. Itulah sebabnya saya berjualan bunga-bunga ini untuk menyambung hidup kami.”
“Siapa namamu?”
“Helena, nyonya.”
“Kamu anak yang berbakti pada orangtua, Helena. Bunga-bunga ini semuanya aku beli.”
Bukan main senangnya perasaan Helena akhirnya semua dagangan bunganya terjual habis. Setelah mendapatkan uang dari wanita itu, bergegas dia mengambil keranjang bunganya yang telah kosong dan segera pulang kerumah. Sebelumnya dia mampir membeli roti untuk ibunya. Ibunya pasti senang dikirim roti-roti yang masih hangat ini.
Esok harinya Helena kembali menjajakan bunganya ditempat yang sama. Kali ini hujan turun lebih deras. Cuaca terasa semakin dingin. Besok adalah malam tahun baru. Seperti kemarin, walaupun Helena sudah berupaya menawarkan bunga-bunganya pada orang yang tengah lalu lalang, namun tidak ada seorangpun yang tertarik membeli bunganya. Namun Helena tidak patah semangat. Setiap kali ada orang yang lewat didepannya, selalu ada ada harapan ada orang yang tertarik untuk membeli bunganya. Namun ternyata, hingga malam mulai menjelang, tak satu tangkaipun bunganya yang terjual. Helena menatap dagangannya dengan perasaan sedih. Hujan masih turun dengan derasnya. Aku harus segera pulang. Ibu pasti sudah menungguku. Helena membawa kedua keranjang bunganya. Ketika melewati toko roti, Helena berhenti sesaat. Dia hanya menatap roti-roti didalam toko itu dengan perasaan sedih. Dia tidak punya uang sepeserpun untuk membeli roti untuk ibunya. Akhirnya Helena beranjak pergi. Dia harus segera pulang. Mantel hujannya sudah tidak mampu lagi menahan tubuhnya dari rasa dingin. Hujan deras semakin mengguyur dari langit.
“Helena!”
Helena berhenti melangkah ketika mendengar namanya dipanggil. Dia menoleh. Mendadak dia tertegun. Wanita berwajah anggun yang kemarin memborong bunganya, baru melangkah keluar dari dalam toko roti itu. Mungkin wanita itu habis membeli roti. Tangannya membawa kantong berisi roti.
“Helena! Kamu mau kemana?” tanya wanita itu mendekati Helena.
“Saya mau pulang, nyonya.”
“Bunga mawarmu belum terjual semuanya, kenapa cepat-cepat pulang?”
“Nyonya, ibu saya sedang sakit. Saya khawatir bila meninggalkannya terlalu lama.”
“Helena, aku akan membeli semua bungamu.”
“Oh, terima kasih, nyonya. Nyonya baik hati sekali.” Ucap Helena dengan gembira. Akhirnya ada juga yang mau membeli bunganya. Diterimanya uang pemberian wanita itu sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali.
“Helena, ambilah roti ini untuk kau bawa pulang. Ibumu pasti senang mendapatkan kiriman roti ini.” Wanita itu mengangsurkan kantong roti pada Helena. Helena termangu menatap kantong roti itu. Dia lalu menatap wanita itu. Wanita itu tersenyum menatap Helena. Akhirnya Helena menerima pemberian wanita itu.
“Helena, aku sudah lama memperhatikanmu setiap kali kau sedang menjajakan daganganmu ditempat yang sama. Kau masih kecil, usiamu paling baru sepuluh tahun, namun kau sudah harus bekerja. Aku baru tahu dari ceritamu bahwa ibumu sedang sakit. Kau seorang anak yang berbakti pada orangtuamu.” Kata wanita itu.
Tiba-tiba sebuah kereta yang indah yang ditarik oleh dua ekor kuda berhenti didekat mereka. Seorang lelaki mengenakan seragam turun dari atas kereta dan mengangguk dengan hormat pada wanita itu sambil membukakan pintu kereta.
“Mari silahkan, tuanku.” Ucap lelaki berseragam itu. Sementara lelaki lain yang memegang tali kuda, tetap duduk ditempatnya dengan tubuh yang duduk tegap.
“Selamat tinggal, Helena. Bila aku ingin mendapatkan mawar-mawar yang indah untuk menghiasi istanaku, aku akan menyuruh pengawal untuk membeli bunga-bunga mawar kepadamu. Aku sangat senang dengan mawar birumu yang indah ini. Kau pasti telaten dalam memelihara kebun  bungamu, Helena.” Ucap wanita itu sambil masuk kedalam kereta yang sudah menunggunya.
Helena tercekat. Wanita itu pasti ratu Yuliana. Keanggunan wajah ratu negerinya sudah terkenal kemana-mana walapun Helena belum pernah melihat wajah ratunya. Tanpa sadar Helena menjatuhkan lututnya, dan mengangguk dengan hormat.
“Terima kasih, Ratu.” Ucap Helena dengan suara gemetar.
Kereta itu melaju perlahan. Helena melihat wajah ratu Yuliana tersenyum dibalik jendela kereta dan melambaikan tangan kepadanya. Tanpa sadar, Helena membalas lambaian tangan ratu Yuliana.
Helena bergegas pulang kerumahnya. Tiba dirumahnya dia membuka kantong roti pemberian ratu Yuliana. Ternyata didalam kantong itu bukan hanya berisi roti-roti yang beraneka macam rasa dan isinya, namun juga sekantong uang. Terima kasih, ratuku yang baik hati, ucap Helena dalam hati. Alangkah senangnya, menjelang malam tahun baru dia bisa bertemu dengan ratunya.

--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar