Minggu, 10 Februari 2019

Di Tikungan Jalan Itu


 

Jalanan terlihat lengang. Hujan masih turun gerimis. Udara terasa dingin. Beberapa orang terlihat lalu lalang dijalanan yang lengang. Toko-toko dipinggir jalan masih buka. Walaupun hari belum senja namun toko-toko itu telah menyalakan lampu-lampu didalam toko-toko mereka. Meta melangkah pelan menuju toko roti. Dia memegang payung. Matanya melihat kesekelilingnya. Kemarin dia melihat lelaki itu. Lelaki separuh baya yang tengah duduk sendirian di bangku taman. Saat itu udara cerah. Sekarang rasanya tidak mungkin ada orang yang mau duduk dibangku taman ditengah cuaca sedingin ini dan hujan tengah turun gerimis.

Toko roti itu masih buka. Beberapa orang pembeli tengah memilih-milih roti. Meta masuk. Matanya langsung tertuju pada sepotong roti yang penuh dengan butiran kismis. Roti yang sangat lezat. Empuk dan harum. Dan roti itu yang kemarin dibelinya yang membuat mata lelaki tua itu menatap kantong plastik yang dibawanya. Meta bisa merasakan tatapan lapar dari sepasang mata lelaki tua itu. Namun kemarin dia tetap melangkah tak peduli. Baru setelah tiba dirumahnya dia baru menyadari arti tatapan mata lelaki tua itu. Mata itu bercerita banyak meskipun tak ada sepatah katapun yang terucap dari mulut lelaki itu. Lapar dan haus. Dan dia tahu bahwa lelaki tua itu pasti bukan pengemis atau gelandangan. Pakaian yang dikenakannya walaupun bukan pakaian bagus namun tidak selusuh pakaian pengemis. Dan wajahnya masih terlihat bersih. Tatapan mata lelaki tua itu pada kantong plastik yang dibawanya yang membuat pikirannya kembali dan kembali teringat pada lelaki tua itu.

Dia pasti lapar dan ingin makan, pikir Meta sambil duduk menghadapi secangkir kopi dan roti yang baru dibelinya. Aku sudah banyak bertemu dengan pengemis dan gelandangan, rasanya tanganku mudah terulur untuk memberi sekedar sebungkus nasi. Tapi kenapa pada pandangan lelaki tua itu aku seakan tidak peka?

Kopi yang diminumnya masih terasa hangat. Pikirannya masih melayang sebentar pada tatapan lelaki tua itu. Baiklah, besok aku akan kembali ke toko roti itu dan membeli roti yang sama. Bila aku bertemu dengan lelaki tua itu aku akan memberikan roti itu padanya. Selepas berpikir begitu dia kembali disibukan dengan segala rutinitasnya bila tengah berada dirumah mungilnya. Mencuci piring, membersihkan dapur, menyetrika. Setelah rampung baru mandi dan menikmati waktu senggangnya, membaca buku dengan televisi yang menyala dihadapannya.

Paginya dia sudah kembali sibuk dengan kegiatan sehari-harinya. Sore hari sepulang kantor barulah dia teringat kembali dengan niatnya akan membeli roti dan berharap akan bertemu dengan lelaki tua yang dilihatnya kemarin. Kini dia sudah berada didalam toko yang sama dengan yang kemarin. Roti penuh taburan kismis ternyata sudah habis. Terpaksa dia memilih roti lain. Roti keju, roti pisang, roti selai nanas, dan beragam roti lain. Akhirnya dia memilih roti pisang dan roti keju. Keduanya dimasukan kedalam kantong plastik yang sama. Dia keluar toko, berjalan pelan melintasi taman kota dan berharap melihat lelaki tua yang dilihatnya kemarin, yang memperhatikannya sejak saat keluar dari toko hingga melintas dihadapannya. Namun matanya tak menemukan yang dicarinya. Ah, mana mungkin disaat gerimis begini lelaki itu akan duduk ditempat yang sama seperti kemarin, pikir Meta.

Dia berjalan pelan menuju jalan pulang kerumahnya. Ada sedikit perasaan kecewa karena tak menemukan orang yang dicarinya. Kepalanya tertunduk.  Tiba-tiba saja matanya menangkap bayangan itu. Bayangan laki-laki tua yang kemarin dilihatnya. Tubuh tua itu tengah berada dipinggir jalan akan menyeberang jalan, menuju tikungan jalan.  Ah, akhirnya aku menemukannya, pikir Meta gembira. Bergegas dia mempercepat langkah kakinya menuju lelaki itu berada. Lalu lintas begitu ramai. Saatnya orang pulang kerja.

“Pak! Tunggu!” Teriak Meta sekeras suaranya.

Tak ada yang mendengarnya. Hujan turun semakin deras. Orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Meta semakin mempercepat langkahnya. Masih cukup jauh jaraknya dengan lelaki tua itu. Namun matanya bisa mengenali lelaki tua itu dari jaket lusuh yang dikenakannya.

“Pak! Tunggu!”

Masih tak ada yang peduli pada siapa dia berteriak. Meta mencoba berlari diatas jalanan yang licin. Payung dipegangnya erat-erat. Dilihatnya lelaki itu mulai menyeberang jalan. Meta berlari semakin cepat. Dia harus mendapatkan lelaki itu dan menyerahkan roti yang sudah dibelinya. Langkahnya semakin cepat. Matanya tertuju hanya pada sosok lelaki itu.

Tiba-tiba….

Ciiiittttttt….. Gubrakkkkk……

“Hai! Hati-hati! Matamu kau taruh dimana?”

Bentakan keras lelaki muda itu sudah terlambat untuk menyelamatkannya. Dia tersungkur disamping got. Lututnya terasa sakit. Sakit sekali. Beberapa orang memburunya.

“Kau juga mestinya hati-hati mengendarai motormu!” seru seseorang pada lelaki yang juga tersungkur dari motornya.

Lelaki itu meringis. “Dia yang salah. Aku sudah kasih klakson tapi dia terus saja berlari.” Serunya membela diri.

Meta berusaha duduk. Tapi pikirannya tidak bisa lepas lepas dari sosok lelaki tua itu. Dia nyaris memekik kegirangan. Lelaki tua itu sudah berada diseberang jalan.

“Oh tolong, tolong hentikan bapak tua itu!” serunya setengah meminta. Beberapa orang yang tengah menolongnya menoleh pada jari telunjuknya yang menunjuk keseberang jalan.

“Yang mana?” tanya salah seorang.

“Yang memakai jaket abu lusuh itu. Oh itu dia, jalannya akan semakin menjauh. Kejarlah dia. Berikan bungkusan roti ini padanya. Cepatlah. Tolonglah.” Meta menyerahkan kantong plastik yang ternyata masih dipegangnya dengan erat.

Seorang penolongnya mengambil kantong plastik itu dan bergegas menyeberang jalan mengejar lelaki itu dan menyerahkan kantong plastik berisi roti itu padanya.

“Dia siapamu?” tanya lelaki yang menabraknya yang ikut berjongkok didekatnya.

“Bukan siapa-siapa.”

“Lantas? Aku menduga isi kantong plastik itu adalah roti.”

“Ya.”

“Maksudmu memberikan roti itu pada lelaki tua itu? Hingga kau ceroboh dan cedera seperti ini?”

“Itu urusanku.” Sahut Meta. Dia mencoba berdiri. Namun ternyata kakinya terlalu sakit untuk berdiri dan menopang tubuhnya. Dia terduduk lagi.

Lelaki yang memberikan kantong plastik telah kembali lagi. “Orang itu mengucapkan terima kasih. Orang itu adalah pengemis. Kenapa kau mengejarnya?”

“Aku hanya ingin memberikan roti itu.”

“Astaga, baik hatinya dirimu.” Kata lelaki itu sambil tertawa diikuti oleh beberapa orang yang ada didekatnya. Meta merasa malu. Dia ingin segera pergi dari tempat itu. Namun kakinya terlalu sakit.

“Aku antar kamu ke puskesmas. Juga antar kamu pulang.” Kata lelaki yang menabraknya.

Meta tak bisa menolak karena hanya lelaki itu saja yang menawarkan bantuan sekaligus yang telah menabraknya. Sepanjang jalan dia hanya diam saja. Di puskesmas perawat memeriksa lukanya. Tidak ada luka serius. Hanya luka lecet saja. Lelaki itu mengantarnya pulang. Dia menggelengkan kepala mendengar ceritanya.

“Begitu seriusnya engkau menanggapi tatapan mata lelaki tua itu. Barangkali saja dia selalu menatap kelaparan pada semua yang lewat yang tengah membawa makanan atau barangkali saja dia memang sudah biasa bersikap begitu……” kata lelaki itu.

“Mungkin saja. Tapi aku puas karena aku sudah berhasil memberinya roti…..”

“Walaupun penuh pengobanan hingga sampai tertabrak motor…..”

Meta menarik napas dalam. Tak ada orang yang tahu apa yang selalu bergalau dalam batinnya. Sepanjang hidupnya dia selalu dimanja oleh kedua orangtua, saudara-saudara dan seluruh keluarganya. Hidup terasa penuh dengan kemanjaan-kemanjaan bahkan penuh kemudahan-kemudahan. Apapun yang diinginkan selalu dipenuhi. Namun ternyata hidup dalam perjalanannya kemudian memberinya banyak pelajaran. Setelah ayahnya meninggal, setelah dia terpaksa hidup di kota besar dan berpisah dengan ibunya yang tinggal dikota kecil kelahirannya, dia banyak belajar. Ternyata dia selama ini hidup begitu egois, tak peduli, dan selalu ingin menang sendiri. Sepanjang hidupnya dia selalu mementingkan dirinya sendiri. Dia tak pernah peduli pada orang lain.

Di kota dia hidup sendiri dan mandiri. Banyak sakit hati yang dirasakannya. Banyak ujian-ujian kehidupan yang kemudian menempanya menjadi wanita yang dewasa. Perjuangan hidupnya dikota telah menempa dirinya. Dia mulai belajar memperhatikan sekelilingnya. Belajar mengasihi orang lain. Belajar menahan diri. Belajar menepiskan segala egonya. Banyak belajar dari kehidupan disekelilingnya. Dan dia selalu mulai belajar dari hal-hal kecil. Tatapan mata lelaki tua itu terlalu sepele untuk diperhatikan. Namun dia belajar empati. Apakah tindakannya ini bodoh? Seandainya dinilai bodohpun dia tak akan pernah peduli. Karena dia sudah mengikuti apa yang menjadi kata hatinya.