Jumat, 10 Mei 2013

SALSABILLA





Pangeran Zulhardiansyah menahan tali kekang kudanya. Dia duduk tegak diatas pelana kudanya sambil memperhatikan keramaian disudut kampong itu. Kerumunan itu menarik perhatiannya. Pangeran Zulhardiansyah memajukan kudanya agar bisa melihat lebih jelas. Ternyata seorang pedagang budak belian tengah menawarkan budak-budak yang dimilikinya. Perang baru saja usai. Dalam situasi yang masih semrawut, perdagangan budak belian sudah biasa terjadi dinegerinya.
Mata pangeran Zulhardiansyah terpaku pada seorang gadis yang mengenakan kerudung tipis berwarna jingga. Rambutnya yang hitam panjang dan terurai disembunyikan dibalik kerudungnya. Hanya sebagian anak rambut yang terurai dikeningnya. Gadis itu parasnya cantik jelita. Namun gadis itu kelihatan sedih dan lelah. Tatapan matanya seakan kosong dan dia tidak mempedulikan keadaan disekelilingnya.
Pangeran Zulhardiansyah turun dari atas kudanya dan mendekati pedagang budak itu. “Aku beli budak yang itu.” Kata pangeran Zulhardiansyah sambil menunjuk gadis berkerudung jingga itu.
“Budak itu harganya mahal sekali, tuan.” Kata pedagang budak itu.
“Aku beli berapapun harga yang engkau tawarkan.” Kata pangeran Zulhardiansyah.
Dalam waktu yang singkat, budak cantik itu sudah menjadi milik pangeran Zulhardiansyah. “Ayo ikut aku.” Kata pangeran Zulhardiansyah pada gadis itu.
Gadis itu menatap pangeran dengan tatapan mata yang redup. Setitik air mata jatuh dipipinya. “Tuan, terima kasih. Namun apakah hamba hanyalah terlepas dari mulut harimau dan masuk kedalam mulut buaya?”
“Kenapa kau bertanya begitu?” Tanya pangeran Zulhardiansyah.
Gadis itu menangis.  “Sudah terlalu banyak penderitaan hamba selama ini,  mohon tuan jangan menambah lagi penderitaan hamba.”
Pangeran Zulhardiansyah merasa iba melihat airmata gadis itu. “Kau tidak perlu khawatir, aku akan membawamu kerumahku. Siapa namamu?”
“Salsabilla,  tuan.” Sahut  gadis itu.
 “Sekarang kau bebas, Salsabilla.  Aku sudah membelimu dari pedagang budak belian itu. Kau ikut aku ke rumahku. Aku akan menyediakan semua kebutuhanmu. Bukan sebagai budak, namun sebagai bagian dari keluargaku.” Kata pangeran Zulhardiansyah.
“Terima kasih atas kebaikan hati tuan.” Ucap Salsabilla.
Tiba di istananya, pangeran Zulhardiansyah menyuruh pelayan-pelayannya untuk  menyediakan segala kebutuhan Shamira dengan sebaik-baiknya. Pangeran Zulhardiansyah membelikan gaun-gaun yang indah dan perhiasan-perhiasan yang mahal.  Namun walaupun pangerah Zulhardiansyah sudah memperlakukan Salsabilla dengan sebaik-baiknya, gadis itu selalu  kelihatan  murung dan bersedih.
“Kenapa engkau selalu murung?” Tanya pangeran Zulhardiansyah suatu hari ketika dia mendapati Salsabilla tengah duduk sendirian ditepi kolam sambil memperhatikan ikan-ikan yang tengah berenang didalam kolam di taman.
Salsabilla menatap pangeran Zulhardiansyah. “Hamba teringat pada ibu hamba.” Ucapnya dengan suara lirih. “Ibu hamba pasti sangat kehilangan hamba ketika hamba diculik oleh pedagang budak itu.”
“Dimanakah ibumu?” Tanya pangeran zulhardiansyah. “Aku akan mencari ibumu agar engkau bisa berkumpul kembali dengan ibumu.”
“Oh, benarkah tuan?” Tanya Salsabilla dengan gembira.
“Ya, aku berjanji akan membantumu hingga engkau bisa berkumpul kembali dengan ibumu.” Ujar pangeran.
“Ibu saya berada diperkampungan kumuh. Nanti malam antar saya kesana.” Kata Salsabilla.
Malam itu Salsabilla bersama  pangeran Zulhardiansyah pergi kesebuah perkampungan kumuh. Setelah melewati gang sempit, tibalah mereka disebuah rumah yang sederhana.
“Disinilah kami dulu tinggal sebelum pedagang budak itu menculik aku dan memisahkan aku dengan ibuku.” Kata Salsabilla sambil mendorong pintu. Didalam ruangan itu gelap gulita.
“Ibu! Ibu!” Salsabilla memanggil ibunya.
“Siapa?” Terdengar suara lirih menyahut.
Oh, bukan main gembiranya Salsabilla ketika mendengar suara ibunya. Dia segera menyalakan sebatang lilin. Ibunya tengah terbaring sakit. Salsabilla memeluk ibunya sambil menangis. “Ibu, aku sudah pulang. Sekarang ibu ikut bersamaku.”
Pangeran Zulhardiansyah terpaku ketika melihat wanita separuh baya itu. Dia seakan pernah mengenali wanita itu.
“Nyonya, bukankah nyonya adalah istri dari tuan Fazri?” Tanya pangeran Zulhardiansyah. “Beliau adalah sahabat ayahku, pangeran Falaqi.”
Wanita itu memperhatikan pangeran Zulhardiansyah. “Ya, aku masih ingat padamu. Engkau putera pangeran Falaqi.”
Sambil menangis, wanita itu bercerita bahwa istana suaminya telah hancur diserang musuh. Suami dan penghuni istana tewas ditangan musuh. Dia bersama puterinya melarikan diri dan bersembunyi dirumah ditengah-tengah perkampungan penduduk yang kumuh ini agar tidak ada musuh yang mengenali mereka. Namun puterinya berhasil diculik seorang pedagang budak. Setahun lebih mereka berpisah dan kini mereka bertemu lagi.
“Sekarang nyonya tidak usah khawatir lagi. Nyonya akan saya bawa ke istana saya. Hiduplah dengan tenang disana bersama Salsabilla.” Kata pangeran Zulhardiansyah. 
Akhirnya pangeran Zulhardiansyah membawa ibunda Salsabilla ke istananya. Tidak lama kemudian pangeran Zulhardiansyah melangsungkan pernikahannya dengan Salsabilla. Perkawinan itu sangat membahagiakan ibunda Salsabilla karena kini puterinya sudah memiliki suami yang baik dan penuh tanggung jawab yang akan melindunginya dengan sebaik-baiknya.

--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar