Pangeran Zulhardiansyah
menahan tali kekang kudanya. Dia duduk tegak diatas pelana kudanya sambil
memperhatikan keramaian disudut kampong itu. Kerumunan itu menarik
perhatiannya. Pangeran Zulhardiansyah memajukan kudanya agar bisa melihat lebih
jelas. Ternyata seorang pedagang budak belian tengah menawarkan budak-budak
yang dimilikinya. Perang baru saja usai. Dalam situasi yang masih semrawut, perdagangan
budak belian sudah biasa terjadi dinegerinya.
Mata pangeran Zulhardiansyah
terpaku pada seorang gadis yang mengenakan kerudung tipis berwarna jingga.
Rambutnya yang hitam panjang dan terurai disembunyikan dibalik kerudungnya.
Hanya sebagian anak rambut yang terurai dikeningnya. Gadis itu parasnya cantik
jelita. Namun gadis itu kelihatan sedih dan lelah. Tatapan matanya seakan
kosong dan dia tidak mempedulikan keadaan disekelilingnya.
Pangeran Zulhardiansyah
turun dari atas kudanya dan mendekati pedagang budak itu. “Aku beli budak yang
itu.” Kata pangeran Zulhardiansyah sambil menunjuk gadis berkerudung jingga itu.
“Budak itu harganya mahal
sekali, tuan.” Kata pedagang budak itu.
“Aku beli berapapun harga
yang engkau tawarkan.” Kata pangeran Zulhardiansyah.
Dalam waktu yang singkat,
budak cantik itu sudah menjadi milik pangeran Zulhardiansyah. “Ayo ikut aku.”
Kata pangeran Zulhardiansyah pada gadis itu.
Gadis itu menatap pangeran
dengan tatapan mata yang redup. Setitik air mata jatuh dipipinya. “Tuan, terima
kasih. Namun apakah hamba hanyalah terlepas dari mulut harimau dan masuk
kedalam mulut buaya?”
“Kenapa kau bertanya
begitu?” Tanya pangeran Zulhardiansyah.
Gadis itu menangis. “Sudah terlalu banyak penderitaan hamba selama
ini, mohon tuan jangan menambah lagi
penderitaan hamba.”
Pangeran Zulhardiansyah
merasa iba melihat airmata gadis itu. “Kau tidak perlu khawatir, aku akan
membawamu kerumahku. Siapa namamu?”
“Salsabilla, tuan.” Sahut gadis itu.
“Sekarang kau bebas, Salsabilla. Aku sudah membelimu dari pedagang budak belian
itu. Kau ikut aku ke rumahku. Aku akan menyediakan semua kebutuhanmu. Bukan
sebagai budak, namun sebagai bagian dari keluargaku.” Kata pangeran
Zulhardiansyah.
“Terima kasih atas kebaikan
hati tuan.” Ucap Salsabilla.
Tiba di istananya, pangeran
Zulhardiansyah menyuruh pelayan-pelayannya untuk menyediakan segala kebutuhan Shamira dengan
sebaik-baiknya. Pangeran Zulhardiansyah membelikan gaun-gaun yang indah dan
perhiasan-perhiasan yang mahal. Namun
walaupun pangerah Zulhardiansyah sudah memperlakukan Salsabilla dengan
sebaik-baiknya, gadis itu selalu kelihatan murung dan bersedih.
“Kenapa engkau selalu
murung?” Tanya pangeran Zulhardiansyah suatu hari ketika dia mendapati
Salsabilla tengah duduk sendirian ditepi kolam sambil memperhatikan ikan-ikan
yang tengah berenang didalam kolam di taman.
Salsabilla menatap pangeran
Zulhardiansyah. “Hamba teringat pada ibu hamba.” Ucapnya dengan suara lirih.
“Ibu hamba pasti sangat kehilangan hamba ketika hamba diculik oleh pedagang
budak itu.”
“Dimanakah ibumu?” Tanya
pangeran zulhardiansyah. “Aku akan mencari ibumu agar engkau bisa berkumpul
kembali dengan ibumu.”
“Oh, benarkah tuan?” Tanya
Salsabilla dengan gembira.
“Ya, aku berjanji akan
membantumu hingga engkau bisa berkumpul kembali dengan ibumu.” Ujar pangeran.
“Ibu saya berada
diperkampungan kumuh. Nanti malam antar saya kesana.” Kata Salsabilla.
Malam itu Salsabilla bersama
pangeran Zulhardiansyah pergi kesebuah
perkampungan kumuh. Setelah melewati gang sempit, tibalah mereka disebuah rumah
yang sederhana.
“Disinilah kami dulu tinggal
sebelum pedagang budak itu menculik aku dan memisahkan aku dengan ibuku.” Kata
Salsabilla sambil mendorong pintu. Didalam ruangan itu gelap gulita.
“Ibu! Ibu!” Salsabilla
memanggil ibunya.
“Siapa?” Terdengar suara
lirih menyahut.
Oh, bukan main gembiranya
Salsabilla ketika mendengar suara ibunya. Dia segera menyalakan sebatang lilin.
Ibunya tengah terbaring sakit. Salsabilla memeluk ibunya sambil menangis. “Ibu,
aku sudah pulang. Sekarang ibu ikut bersamaku.”
Pangeran Zulhardiansyah
terpaku ketika melihat wanita separuh baya itu. Dia seakan pernah mengenali
wanita itu.
“Nyonya, bukankah nyonya
adalah istri dari tuan Fazri?” Tanya pangeran Zulhardiansyah. “Beliau adalah
sahabat ayahku, pangeran Falaqi.”
Wanita itu memperhatikan
pangeran Zulhardiansyah. “Ya, aku masih ingat padamu. Engkau putera pangeran
Falaqi.”
Sambil menangis, wanita itu
bercerita bahwa istana suaminya telah hancur diserang musuh. Suami dan penghuni
istana tewas ditangan musuh. Dia bersama puterinya melarikan diri dan
bersembunyi dirumah ditengah-tengah perkampungan penduduk yang kumuh ini agar
tidak ada musuh yang mengenali mereka. Namun puterinya berhasil diculik seorang
pedagang budak. Setahun lebih mereka berpisah dan kini mereka bertemu lagi.
“Sekarang nyonya tidak usah
khawatir lagi. Nyonya akan saya bawa ke istana saya. Hiduplah dengan tenang
disana bersama Salsabilla.” Kata pangeran Zulhardiansyah.
Akhirnya pangeran
Zulhardiansyah membawa ibunda Salsabilla ke istananya. Tidak lama kemudian
pangeran Zulhardiansyah melangsungkan pernikahannya dengan Salsabilla.
Perkawinan itu sangat membahagiakan ibunda Salsabilla karena kini puterinya
sudah memiliki suami yang baik dan penuh tanggung jawab yang akan melindunginya
dengan sebaik-baiknya.
---
0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar