Rabu, 02 Juli 2014

Puteri Prambani







Mawar Jingga menaruh bakul berisi pakaian kotor diatas batu besar ditepi sungai. Beberapa orang temannya sudah datang lebih dahulu ke sungai dan tengah mencuci pakaian. Pagi terasa begitu segar dan cerah. Matahari yang baru terbit terasa hangat menyinarkan cahayanya.
“Tidak lama lagi kita tidak akan bisa lagi mencuci pakaian di sungai ini.” Kata Kemala.
“Kenapa?” tanya Menik dan Anggun hampir bersamaan.
“Kemarin aku mendengar percakapan antara kepala desa dan beberapa warga katanya Raja ingin membendung sungai ini dan akan mengalirkan sungai ini melalui taman dibelakang istana.” Kata Kemala.
“Oh tidak mungkin” ucap Mawar Jingga. “Bagaimana mungkin Raja akan membendung sungai ini dan mengalirkannya ke istana? Bagaimana dengan kehidupan rakyat yang mengandalkan air sungai ini untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan sehari-hari.”
“Kita tidak mungkin menolak keinginan Raja. Perintah Raja harus dipatuhi dan dilaksanakan.” Kata Menik.
Keempat gadis itu mencuci pakaian tidak seperti hari-hari  biasanya. Biasanya mereka sambil mencuci suka sambil bercanda. Kali ini keempatnya hanya diam dan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Pulang kerumahnya Mawar Jingga menceritakan percakapannya kepada ayahnya.
“Ya.” Kata ayahnya. “Itu adalah titah Raja yang harus kita patuhi.”
Beberapa bulan kemudian Mawar Jingga melihat penduduk mulai bekerja membendung sungai dan mengalihkannya kearah taman istana. Oh, bukan main sedihnya Mawar Jingga karena kita dia tidak akan bisa mencuci lagi di sungai. Akhirnya dia mencuci di jamban dibelakang rumahnya.
Suatu hari Mawar Jingga berjalan-jalan ketempat dia biasa mencuci. Tak lama dia bertemu Kemala, Menik dan Anggun. Mereka berjalan menyusuri sungai yang mengarah ke taman istana. Ketika tiba disungai yang melintasi taman istana, mereka melihat seorang gadis cantik jelita dan berambut panjang tengah bermain-main bersama beberapa orang inangnya dipinggir sungai. Mawar Jingga dan teman-temannya memperhatikan gadis itu.
“Siapakah gadis itu? Cantik sekali.” tanya Menik.
“Dia adalah Puteri Prambani.” Sahut Kemala.
“Oh, diakah Puteri Prambani yang sangat terkenal itu? Kudengar dia seorang puteri yang baik hati.” Ucap Anggun.
Keempat gadis itu tetap berdiri ditempatnya. Mereka melihat Puteri Prambani turun ke sungai dan bermain-main air sungai dengan riang gembira. Keempat inangnya mengikuti Puteri Prambani turun ke sungai dan bermain-main bersama sang puteri.  Tiba-tiba Mawar Jingga dan ketiga temannya  melihat Puteri Prambani naik keatas batu besar dipinggir sungai dan menjerit-jerit ketakutan sambil menginjak-nginjakan kakinya ke batu  dengan keras. Beberapa inang ikut naik keatas batu besar itu dan berjongkok memperhatikan betis sang puteri.  Oh, rupanya ada beberapa ekor lintah sungai yang menempel pada kaki dan betis Puteri Prambani dan menyedot darah Puteri Prambani.
“Tolonglah aku. Aku takut.” Jerit Puteri Prambani.
Mawar Jingga dan ketiga temannya bergegas menghampiri Puteri Prambani.
“Biarkan saja lintah itu. Nanti juga dia akan lepas sendiri bila sudah puas menyedot darah tuan puteri.” Kata Mawar Jingga.
“Apa? Membiarkan binatang ini menyedot darah tuan puteri? Kau berbicara sembarangan. Tuan Puteri seorang berdarah biru. Tidak mungkin kita biarkan lintah menyedot darahnya.” Ucap salah seorang inang dengan marahnya.
“Walaupun Tuan Puteri seorang berdarah biru namun tetap saja darah yang dihisap lintah itu berwarna merah.” Ucap Menik.
“Tuan Puteri tidak usah takut, darah yang dihisap oleh lintah itu adalah darah kotor. Bila darah kotornya sudah dihisap oleh lintah itu, Tuan Puteri akan merasa lebih segar dan sanggup berjalan jauh tanpa merasa lelah.” Kata Mawar Jingga.
“Oh, benarkah? Aku selama ini tidak pernah berjalan jauh karena aku selalu cepat merasa lelah.” Kata Puteri Prambani.
“Nah, setelah darah kotor itu dihisap oleh lintah itu, Tuan Puteri akan sanggup berjalan jauh dan lebih kuat.” Kata Mawar Jingga. 
Puteri Prambani terlihat masih ketakutan dan merasa jijik melihat lintah yang menempel pada betisnya namun akhirnya dia membiarkan saja lintah itu menyedot darah dibetisnya. Tak lama kemudian lintah itu sudah penuh dengan darah dan lepas dengan sendirinya dari betis Puteri Prambani.
“Lihatlah darah yang dihisap lintah itu berwarna merah seperti darah kita juga.” Kata Anggun sambil melirik salah seorang inang. Inang itu hanya melongo melihat lintah yang penuh menghisap darah tuan puterinya.
“Kalian siapa?” tanya Puteri Prambani sambil turun dari batu besar dan menghampiri keempat gadis desa itu.
Keempat gadis itu memperkenalkan dirinya. Mereka juga bercerita bahwa sebelum sungai dibendung dan dialihkan ke taman istana, mereka biasanya mencuci pakaian disungai.
“Oh, sayang sekali aku sudah membuat kalian bersedih. Akulah yang meminta ayahku untuk mengalihkan aliran sungai ini melintasi taman istana.” Kata Puteri Prambani. “Namun kalian tidak usah khawatir. Aku memberikan ijin kepada kalian untuk mencuci pakaian disekitar istana ini. Bukankah sungai ini masih cukup dekat dari tempat tinggal kalian?”
“Oh, terima kasih Tuan Puteri.” Kata keempat gadis itu bersama-sama.
Beberapa hari kemudian Mawar Jingga dan ketiga temannya mencuci disungai tidak jauh dari istana. Suatu hari Puteri Prambani dan inang-inangnya datang menghampiri keempat gadis desa yang tengah mencuci itu.
“Mawar Jingga, ucapanmu ternyata betul. Aku sekarang merasa lebih sehat. Dan kemarin aku sengaja berjalan kaki menuju hutan bersama inang-inang, dan tahukah kau ternyata aku yang paling kuat berjalan.” Puteri Prambani tersenyum.
Sejak saat itu keempat gadis itu berteman baik dengan Puteri Prambani yang cantik jelita dan baik hati. Hari-hari tertentu ketika keempat gadis desa itu tengah mencuci pakaian disungai, Puteri Prambani kerap datang bersama para inangnya dan bermain-main disungai. Kini Puteri Prambani tidak merasa takut lagi pada lintah walaupun kadang sang Puteri bergidik bila ada lintah sungai yang menempel pada betisnya.