Senin, 06 April 2015

Liburan Di Tepi Pantai.



Liburan Di Tepi Pantai.

"Heeehhhhh....... anginnya kencang sekali. Sebaiknya kututup saja pintu pondok ini." kata Emma sambil bergegas menutup pintu jendela.
"Ya, tutup saja. Anginnya memang kencang sekali. Sebentar lagi pasti hujan turun. Sejak tadi langit sudah mendung sekali." kata Sarah.  "Perutku terasa lapar. Ayo kita membuat makanan."
Emma dan Sarah adalah dua saudara sepupu. Mereka sedang berlibur bersama. Orangtua Sarah memiliki sebuah pondok ditepi pantai. Pada saat sedang musim liburan biasanya orangtua Sarah menyewakan pondok itu pada wisatawan. Namun kali ini karena Sarah ingin berlibur dipantai, pondok itu tidak disewakan. Sarah mengajak Emma  berlibur bersama di pantai. Mereka sudah tiga hari berlibur dan berjalan-jalan menikmati keindahan pantai.
Namun sore ini mereka enggan keluar rumah. Apalagi cuaca mendung. Sebentar lagi pasti hujan turun.
"Apa yang akan kita masak?" tanya Emma. "Aku tidak mau udang atau ikan laut. Sejak kita kemari hampir setiap kali makan lauknya udang dan ikan laut terus."
"Coba kulihat, apa yang ada didapur." kata Sarah sambil pergi ke dapur. Pondok itu memiliki dua kamar, ruang tamu dan dapur yang berdampingan dengan kamar mandi. sebuah pondok kecil yang terbuat dari kayu.
Emma mengikuti Sarah kedapur. Sarah membuka kulkas. Dia meringis. Hanya ada seikat kangkung yang mereka beli dipasar kemarin.
"Hanya ada kangkung." kata Sarah.
"Ditumis saja, yuk. Tumis kangkung enak banget." ucap Emma.
"Kau yang menumisnya ya, aku yang akan menanak nasi." kata Sarah sambil mengambil secangkir beras. Secangkir beras itu cukup buat makan mereka berdua.
"Baik." Kata Emma. "Yang jelas aku belum mau lagi makan udang dan ikan laut."
"Haaa, rupanya kau sudah bosan dengan makanan laut." Sarah tertawa.
"Bukan bosan, hanya saja sejak kita kemari hampir setiap hari kita makan makanan laut." kata Emma sambil mulai memotong-motong kangkung sementara Sarah mulai menanak nasi.
Sarah membuka kembali kulkas. "Ada melon. Kau mau jus melon?"
"Ya. Jangan terlalu encer dan jangan terlalu manis." sahut Emma.
Kedua gadis itu sibuk menyiapkan makanan. Tiba-tiba mereka mendengar kegaduhan diluar. Orang-orang berteriak-teriak dengan keras seakan tengah terjadi sesuatu hal yang sangat menakutkan.
"Ada apa?" tanya Emma kaget sambil memburu jendela dan membukanya. Dia melihat orang-orang berlarian dan saling berteriak.
"Tsunami! Tsunami! Tsunami!"
"Saraaaahhhhhhhh...... tsunami! Cepat keluaaaaarrrrrrrr......" teriak Emma ketakutan.
Kedua gadis itu bergegas meninggalkan jendela dan memburu pintu. Mereka berhamburan keluar pondok dan ikut berlarian menjauhi pantai menyelamatkan diri bersama orang-orang lain yang berlarian mencari tempat yang aman. Seperti mimpi rasanya dari kejauhan mereka melihat ombak yang tinggi dan dalam sekejap menyapu apapun yang ada ditepi pantai.
Emma dan Sarah berpegangan tangan sambil berlarian sekuat tenaga menjauhi pantai.
"Emmaaaaaaaa..... cepat larinyaaaaa......." teriak Sarah.
"Saraaaaaahhhhhhhh.....tunggu akuuuuuuuuu....." teriak Emma ketakutan.
Keadaaan pantai yang semula tenang dan dipenuhi wisatawan mendadak menjadi kacau dan semuanya lari kalang kabut menyelamatkan diri menjauhi pantai.
"Lariiiiiiii.....lariiiiiiiiiiii!!!!!" teriak orang-orang.
Keadaan menjadi tak menentu. Mereka semua bingung akan lari kemana karena orang-orang berhamburan berlarian tak tentu arah.
Emma dan Sarah berpegangan tangan lari secepat-cepatnya menjauhi pantai.
"Naik keatas pohon!" teriak Emma ketika dia melihat sebatang pohon yang besar.
"Aku tak bisa naik pohon." sahut Sarah sambil menangis.
"Aku yang akan naik duluan." kata Emma sambil bergegas memanjat pohon. Ketika dia sudah memijak pada dahan, dia melihat kebawah.
"Ayo Sarah. Kamu pasti bisa naik. Pijak dengan kuat. Aku akan menarikmu keatas." teriak Emma.
Sarah berusaha memanjat pohon. Didorong rasa takut, ternyata dia bisa memanjat pohon. Ketika dia tiba didahan yang pertama, Emma bergegas naik kedahan yang kedua.
"Pegang erat-erat pohonnya, Sarah. Peluk pohonnya!" teriak Emma.
Sarah memeluk pohon sambil menangis keras. Dibawah pohon mereka melihat orang-orang masih ramai berlarian kesana kemari penuh ketakutan. Mendadak saja kedua gadis itu merasakan pohon yang mereka naiki berguncang dengan keras dan air laut menghantam pohon itu.
"Saraaaahhhhhhh..... peluknya pohonnya keras-keras!!!!" teriak  Emma. Suaranya nyaris hilang ditelan ombak yang menghantam mereka. 
Sesaat Emma dan Sarah seakan tak menyadari apa yang terjadi. Antara sadar dan tidak mereka merasakan pohon yang mereka naiki seakan mau tumbang. Suara-suara orang-orang yang semula terdengar jelas kini seakan tak jelas lagi. Kedua gadis itu tetap bertahan diatas pohon sambil memeluk pohon dengan kencang walaupun air laut menghantam mereka dengan keras sekali. Entah berapa lamanya mereka berdua berada diatas pohon itu. Ketika mereka membuka matanya dan memperhatikan  keadaan disekeliling mereka, keadaan sudah jauh berubah dari tadi. Keadaan disekitar pantai menjadi begitu mengerikan. Rumah-rumah rusak dihantam tsunami. Warung-warung yang semula banyak berdiri disepanjang pantai semuanya sudah roboh, rata dengan tanah. Kayu dan segalanya berserakan. Air sudah mulai surut lagi. Dan banyak manusia yang bergelimpangan sudah menjadi mayat. Pemandangan yang mereka lihat sangat mengerikan sekali. 
Emma dan Sarah tetap berada diatas pohon dalam keadaan basah kuyup. Keduanya bertatapan sambil berurai air mata. Mereka bersyukur, ternyata mereka selamat.
"Alhamdulillah, kita selamat, Sarah." kata Emma sambil menangis. "Ayo kita turun."
"Aku takut." sahut Sarah sambil menangis dan tak mau melepaskan pelukannya pada pohon.
"Tsunami sudah berhenti. Ayo kita turun. Kita harus melihat pondokmu, Sarah." bujuk Emma.
Akhirnya Sarah mau turun. Kedua gadis itu berlarian menuju pondok mereka. Dan yang mereka dapati pondok itu sudah rata dengan tanah. Keduanya menangis sambil berpelukan.
"Kita harus segera pulang, Sarah." kata Emma.
"Ya. Tapi apakah masih ada barang kita yang masih bisa diselamatkan?" tanya Sarah sambil menuju bekas pondoknya yang tinggal puing-puing. Ternyata semuanya telah habis disapu tsunami. Kembali kedua gadis itu menangis.
Sepanjang malam itu mereka melihat kesibukan yang luar biasa disekitar pantai. Bantuan datang dari mana-mana. Mereka juga mendapatkan jatah makanan. Mereka ikut berbaur bersama yang lainnya. Malam seakan begitu lama namun akhirnya pagi datang menjelang. 
"Bagaimana kita bisa pulang, Emma? Semua barang kita sudah tak tersisa." kata Sarah.
Emma memasukan tangannya kedalam saku celana panjangnya. Dia mengeluarkan kembali tangannya. Dia menatap Sarah.  "Sarah, ternyata aku masih memiliki uang. Sebagian uangku aku simpan dalam saku celanaku." seru Emma. Dia menghitung uangnya yang basah.
"Cukupkah untuk kita pulang kerumah?" tanya Sarah.
"Ya. Cukup. Ayo kita cari kendaraan umum. Kita pulang sekarang." seru Emma.
Kedua gadis itu segera berlari meninggalkan daerah pantai  menuju kejalanan besar dimana banyak kendaraan yang hilir mudik. Mereka menumpang kendaraan umum.  Sepanjang perjalanan keduanya hanya diam seakan baru bangun dari mimpi buruk.
Ketika tiba dirumah Sarah, kedua orangtua Sarah tidak ada karena begitu kemarin sore mendapat berita adanya tsunami di pantai segera pergi ke pantai akan mencari Sarah dan Emma. Sementara Emma begitu tiba dirumahnya disambut dengan tangisan ayah dan ibunya.
"Ah, Alhamdulillah kau sudah pulang. Bagaimana kau dan Sarah bisa menyelamatkan diri dari tsunami?" tanya ayah dan ibunya.
"Tunggulah. Nanti aku ceritakan. Sekarang aku akan menelepon ayah dan ibu Sarah dan memberitahu kalau aku dan Sarah sudah pulang kerumah dengan selamat." kata Emma.
Ayah dan ibu Sarah sangat gembira menerima telepon dari Emma. "Ya, tadi Sarah sudah menelepon dan mengatakan kalian selamat dan sudah pulang kembali kerumah." kata ayah Sarah. "Kami akan segera kembali pulang."
Sepanjang hari itu Emma sibuk bercerita tentang kejadian yang dialaminya pada ayah dan ibunya sambil menyaksikan berita di televisi mengenai tsunami. Sarah pun sama halnya dengan Emma, dia sibuk bercerita pada ayah dan ibunya bagaimana mereka memanjat pohon dan  menyelamatkan diri dari tsunami sambil menyaksikan juga berita di televisi. Hampir semua saluran televisi menyiarkan berita mengenai tsunami.
Malam itu Sarah menelepon Emma. "Emma, kamu masih mau aku ajak berlibur lagi dipantai?" tanya Sarah.
Emma tersenyum getir. "Untuk saat ini, tidak, Sarah. Aku masih trauma."
"Sama. Aku juga masih merasa trauma. Aku ngeri melihat ombak yang tinggi menyapu pantai....." Sarah berdesah.
"Aku ngeri melihat keadaan disekitar pantai yang porak poranda....." ucap Emma sambil memejamkan matanya membayangkan kejadian kemarin sore dialaminya.
"Aku masih merasa ngeri mendengarkan teriakan orang-orang yang berlarian ketakutan......"
"Aku bahkan masih merasakan bagaimana tsunami menghantam pohon yang kita naiki dan merasakan guncangan yang sangat keras......"
"Selamat tidur, Emma....."
"Selamat tidur, Sarah....."

 

Rabu, 01 April 2015

Sendang Raja



Sendang Raja

Sejak dini hari kesibukan dihampir rumah penduduk sudah terasa padahal hari masih sangat pagi dan kokok ayampun belum terdengar. Hari ini Raja mengundang seluruh penduduk akan menangkap ikan di sendang yang berada dibelakang istana. Sendang itu sangat besar dan luas. Selama ini sendang itu tak pernah ada yang mengganggu karena sendang itu milik Raja. Tak ada seorang rakyatpun yang berani memancing dan menangkap ikan di sendang milik Raja itu. Namun Raja setiap tahun sekali selalu mengundang seluruh rakyat untuk menangkap ikan di sendang itu dan ikan-ikan yang tak terhitung banyaknya itu bisa ditangkap dan dibawa kerumah penduduk masing-masing yang ikut menangkap ikan di sendang itu. Biasanya pada saat menangkap ikan itu, rakyat membawa bekal nasi dan makanan minuman yang akan mereka nikmati sambil menangkap ikan.
Antin pun sejak dini hari sudah ikut bangun seperti halnya ayah, ibu dan kedua kakaknya, Nanang dan Danang. Ibunya tengah sibuk menyiapkan bekal makanan didapur. Ibu membuat beberapa buah timbel dan membuat beberapa macam lauk pauknya. Sementara ayah menyiapkan bumbung untuk menyimpan ikan hasil tangkapan nanti.
Sebelum matahari terbit, Antin dan ayah ibu serta kakaknya segera menuju ke sendang. Ketika mereka tiba disana ternyata sudah banyak sekali penduduk yang sudah datang dan mereka mulai mengalirkan air sendang ke sungai hingga airnya surut. Sebagian yang lain lagi sudah mulai masuk kedalam sendang dan menangkap ikan-ikan yang banyak sekali jumlahnya memenuhi sendang itu. Beragam macam ikan ada dalam sendang itu. Ikan mas, ikan mujair, gurame, lele, ikan tawes dan lain-lainnya. Bahkan udangpun ada dalam sendang itu. Seluruh penduduk bergembira. Laki-laki dewasa menyingkirkan batu-batu besar yang ada dalam sendang. Dan ketika batu-batu besar itu disingkirkan, banyak ikan-ikan yang bersembunyi dibalik batu-batu itu. Sementara kaum perempuan dewasa menjaring ikan dengan ayakan yang terbuat dari bambu. Ikan-ikan berhasil mereka tangkap. Anak-anak berbaur dengan orang dewasa, mereka gembira bisa bermain-main didalam sendang sambil menangkap ikan. Semuanya riuh rendah bergembira didalam sendang. 
Antin berbaur bersama dengan teman-teman sebayanya. Dia mengambil ayakan kecil dan berusaha menangkap ikan-ikan yang kecil. Sebentar saja tubuhnya sudah kotor dengan lumpur.
"Tangkapkan ikan itu untukku!" teriak Antin tiba-tiba pada Danang, kakaknya ketika dia melihat seekor ikan mas kecil berenang pada genangan air. Ikan mas itu kelihatan berbeda dengan ikan mas- ikan mas lainnya. Warnanya kuning emas. Seperti sebuah ikan mainan yang terbuat dari emas murni. Cantik sekali. Apalagi pada saat itu matahari telah bersinar terang. Dan ketika sinar matahari itu menimpa tubuh ikan mas itu, ikan itu berkilauan seperti sebuah emas yang disinari matahari.
Dengan sigap Danang berusaha menangkap ikan mas itu dengan tangannya. Ikan itu berhasil meloloskan diri. Danang berusaha menangkapnya lagi. Kali ini berhasil. Danang lalu memasukan ikan mas itu kedalam ember kecil yang telah diberinya air dan diberikannya kepada adiknya.
"Aku akan memelihara ikan mas ini. Warnanya bagus sekali. Kuning mas. Seperti ikan yang terbuat dari emas." seru Antin gembira sambil memperhatikan ikan yang berada dalam ember yang berenang-renang didalam ember kecil itu.
Makin siang makin banyak penduduk yang berdatangan sehingga sendang itu penuh dengan penduduk yang menangkap ikan. Tiba-tiba saja semua menghentikan kesibukan mereka.
"Raja datang." kata salah seorang penduduk.
Semua menatap pada sesosok tubuh yang baru saja tiba. Seorang lelaki yang berwajah agung dan bertubuh tegap dan mengenakan pakaian seperti seorang raja. Antin terkesima melihat wajah Raja. Baru kali ini dia melihat raja. Selama ini dia hanya mendengar tentang raja dari mulut ke mulut saja dan seakan seperti sebuah dongeng baginya. Kini dongeng itu menjadi kenyataan, Raja berdiri tidak jauh darinya.
Seluruh penduduk memberi hormat dengan takjim pada raja dan rombongan yang baru datang. Seorang gadis kecil seusia Antin berada tidak jauh disamping raja. Gadis itu sangat cantik sekali. Pakaiannya sangat indah sekali. Terbuat dari bahan sutera dan satin.  Antin menatapnya dengan takjub. Dia teringat dengan cerita orang yang pernah didengarnya bahwa Raja memiliki seorang puteri yang sangat cantik sekali. Ah, apakah gadis kecil itu adalah puteri raja yang selama ini suka didengarnya? pikir Antin. 
"Teruskan kegiatan kalian semua. Aku senang kalian semua berkumpul disini." kata Raja.
Penduduk kembali asyik dengan kegiatan mereka menangkap ikan sementara raja dan rombongan berkeliling mengitari sendang. Tiba-tiba, ketika melewati Antin yang tengah duduk ditepi sendang sambil memegang ember kecilnya, gadis kecil yang bersama raja menunjuk pada ember yang ada didekat Antin.
"Ayah, lihat. Ikan itu cantik sekali. Warnanya kuning seperti emas. Berkilauan indah sekali. Ikan itu seperti ikan mainan yang terbuat dari emas." seru gadis kecil itu.
Antin terkejut. Gadis kecil itu menunjuk pada ikan yang berada dalam embernya yang tadi ditangkapkan Danang untuknya.
Raja berhenti ketika mendengar teriakan gadis itu dan melihat pada ember yang ditunjuk anaknya.
"Lasmini, ikan itu memang sangat cantik sekali. Seperti ikan yang terbuat dari emas murni." kata Raja.
"Aku ingin ikan itu, ayah." kata Lasmini.
"Ikan itu sudah ada yang punya. Pelayan akan mencarikan ikan yang lain untukmu." kata Raja.
"Tidak ayah, aku hanya menginginkan ikan itu saja." seru Lasmini.
Raja tiba-tiba menatap pada Antin. "Apakah ikan itu kepunyaanmu, nak?" tanya Raja.
Antin mengangguk. "Ya." sahutnya.
Ayahnya mendekatinya dan menyentuh tangannya, lalu berbisik, "Antin, tuan putri Lasmini menginginkan ikan mas mu itu, sebaiknya engkau memberikannya kepada tuan puteri." bisik ayahnya.
Antin belum sempat menjawab ucapan ayahnya ketika puteri Lasmini menatapnya. "Ah, jadi engkau yang memiliki ikan itu?" tanya tuan puteri Lasmini.
"Ya." sahut Antin.
"Siapakah namamu?" tanya tuan puteri Lasmini.
"Antin." jawab Antin.
"Antin, aku suka dengan ikan mas mu, bagaimana bila aku membelinya?"
Antin menggeleng. "Tidak, aku tak akan menjual ikan ini. Aku yang menemukannya tadi. Dan aku senang dengan warnanya yang kuning keemasan ini. Aku akan memeliharanya dirumah." sahut Antin.
"Aku akan menggantinya dengan ikan mas lain, Antin." kata puteri Lasmini lagi.
"Tidak." sahut Antin sambil menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu aku akan menukarnya dengan sebuah hadiah yang indah."
"Tidak. Aku tidak menginginkan hadiah apapun. Aku hanya menginginkan ikan mas ini saja." sahut Antin bersikeras.
Puteri Lasmini berusaha membujuk Antin namun Antin bersikukuh tidak akan menjual ikan masnya. Raja dan ayah Antin memperhatikan kedua gadis itu yang tengah bercakap-cakap. Raja tersenyum melihat Antin yang berkeras tidak akan menjual ikan masnya.
"Antin, tuan puteri Lasmini menginginkan ikan masmu, aku akan membeli ikanmu dan membayarnya." kata Raja.
Antin menggeleng. "Tidak, aku tidak akan menjualnya. Sejak pertama melihat ikan mas ini aku sudah merasa senang. Dan sekarang rasa senangku semakin bertambah pada ikan mas ini setelah tuan puteri Lasmini pun menyukai dan menginginkan ikan ini. Kalau tuan raja akan membelinya, pastinya harganya sangat mahal sekali dan tak akan terbeli oleh tuan raja." kata Antin.
"Ah, Antin. Kamu tidak boleh berbicara begitu pada raja." tegur ayahnya ketakutan.
Raja tersenyum mendengar ucapan Antin. "Biar saja. Anakmu ini pintar, dia sudah bisa berbicara melawan raja. Tak ada orang yang berani bicara seperti ini kepadaku sebelumnya." kata Raja sambil tersenyum.
Raja lalu berbicara lagi pada Antin. "Antin, mengapa kau mengatakan bahwa ikan ini mahal sekali dan tak akan terbeli oleh aku?" tanya Raja. "Bukankah aku adalah seorang raja yang bisa membeli apapun?"
"Tuan, tuan puteri sangat menginginkan ikan ini dan tuanku berani membeli dengan harga berapapun untuk ikan ini pastinya karena tuanku sangat sayang pada tuan puteri dan sangat ingin membahagiakan tuan puteri. Jadi, seandainya aku menjual harga yang sangat tinggi pun tuan akan membelinya karena tuan sangat ingin menyenangkan tuan puteri."
Raja tersenyum lagi mendengar ucapan Antin.  "Ah, kamu anak yang pintar." kata Raja. "Jadi berapa aku harus membayar untuk ikan mas mu ini?"
"Sudah kukatakan aku tidak akan menjual ikan ini, tuan. Sudah kukatakan harganya sangat mahal sekali dan tidak akan terbeli oleh tuanku."
Raja tertawa mendengar ucapan Antin. "Kalau begitu, bagaimana caranya agar aku bisa memberikan ikan mas itu pada puteriku ini?" tanya Raja.
Antin menatap puteri Lasmini. "Apakah tuan puteri benar-benar menginginkan ikan mas ini?"
"Ya." sahut tuan puteri Lasmini.
"Baiklah, aku akan memberikan ikan mas ini. Aku tidak akan menjualnya. Dan akupun tidak akan meminta hadiah apapun pada tuan puteri sebagai gantinya. Silahkah ambil ikan mas ini. Aku memberikan ikan mas ini sebagai hadiah kepada tuan puteri." kata Antin.
"Oh, kau baik sekali, Antin. Aku sangat senang sekali. Benarkah kau memberikan ikan ini tanpa aku harus membelinya?" tanya tuan puteri Lasmini dengan senang.
"Ya. Aku senang sekali bisa bertemu dan berkenalan dengan tuan puteri Lasmini yang selama ini hanya aku dengar ceritanya seperti sebuah dongeng." kata Antin. "Ambilah dan peliharalah ikan mas ini dengan baik. Ikan ini memang sangat cantik sekali." Antin menyerahkan ember kecilnya kepada tuan puteri Lasmini yang menerimanya dengan penuh suka cita.
Ayahnya kelihatan lega ketika melihat Antin menyerahkan ember itu kepada tuan puteri Lasmini. Sementara Raja langsung tertawa ikut merasa senang.
"Lasmini, gadis kecil ini sudah sangat baik sekali kepadamu, hadiah apakah yang akan engkau berikan untuk temanmu yang baik ini?" ucap Raja.
"Sudah saya katakan, saya tidak akan meminta hadiah apapun untuk mengganti ikan mas ini, tuanku." kata Antin.
"Kau tidak meminta hadiah sebagai gantinya, Antin, tapi Lasmini yang akan memberimu hadiah. Bukankah engkau pun sudah memberikan hadiah kepada Lasmini jadi sepantasnya bila Lasmini pun ingin memberikan hadiah juga kepadamu." kata Raja.
Puteri Lasmini menunduk memperhatikan kalung yang tergantung dilehernya. "Ayah, apakah aku boleh memberikan kalung ini kepada Antin?" tanya puteri Lasmini.
Raja mengangguk mengiyakan. Tuan Puteri Lasmini membuka kalungnya dan menyerahkannya kepada Antin. "Antin, aku sangat menyukai kalungku ini namun aku akan memberikannya kepadamu sebagai hadiah karena engkaupun sudah memberikan ikan mas yang kau sukai kepadaku. Jadi hari ini kita saling bertukar hadiah. Apakah engkau setuju?"
Antin diam sejenak, dia menoleh pada ayahnya. Ayahnya menganggukan kepalanya. "Ya, aku setuju." kata Antin. "Padahal seandainya tuan puteri tidak memberikan apapun padaku aku sudah merasa senang aku sudah bisa memberikan sesuatu pada tuan puteri."
Tuan Puteri Lasmini memakaikan kalungnya pada Antin. Setelah itu mereka berdua bersama-sama memperhatikan kembali kesibukan ditengah sendang. Rakyat semuanya bergembira. Begitu juga Antin. Akhirnya dia bertemu dengan tuan puteri Lasmini yang selama ini hanya didengarnya seperti sebuah dongeng saja.


Majun, Sang Pencari Ikan.



Majun, Sang Pencari Ikan.

Majun adalah seorang pencari ikan. Dia sering menjala ikan di sungai dan ikan hasil tangkapannya dijual kepasar. Majun memiliki tujuh orang anak yang masih kecil-kecil. Istri Majun, Minah, seorang wanita yang baik dan sabar. Uang hasil penjualan ikan dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Berapapun uang hasil penjualan ikan yang didapat Majun  selalu diaturnya dengan sebaik-baiknya sehingga bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari yang sangat sederhana.
Suatu hari Majun menjala ikannya seperti biasanya. Namun dia merasakan keanehan. Hingga sore hari tak seekorpun ikan yang berhasil ditangkapnya. Setiap kali jalanya diangkat, tak seekor ikanpun yang masuk kedalam jalanya. Majun terus berusaha mencari ikan. Dia mengayuh sampannya hingga jauh ke tengah sungai dan menebarkan kembali jalanya dengan penuh kesabaran, namun usahanya tak pernah berhasil. Hingga waktunya pulang tak seekorpun ikan yang berhasil ditangkapnya dan bisa dibawanya ke pasar untuk dijual.
Majun merasa sedih. Dia membayangkan istri dan ketujuh anaknya yang tentunya sudah menunggunya dengan perut lapar. Akhirnya Majun pulang dengan langkah gontai. Dia berjalan melintasi pasar. Walaupun hari sudah mulai beranjak sore namun keadaan pasar masih cukup ramai. Ketika melintasi tukang ikan dimana dia menjual ikan hasil tangkapannya, tukang ikan itu melihatnya.
"Hai, Majun. Kemarilah. Mana ikan hasil tangkapanmu hari ini?" teriak tukang ikan itu ketika melihat Majun berjalan dari kejauhan dan tidak singgah ke jongko ikannya seperti biasanya.
Majun berdiri dengan bingung. Namun akhirnya dia berjalan menghampiri tukang ikan itu.
"Hari ini tak seekor ikan pun yang berhasil kutangkap." kata Majun dengan sedih.
"Ah, kenapa?" sahut tukang ikan itu.
"Saya juga tidak tahu. Sudah beberapa kali saya pindah tempat dan menebar jala namun tak seekor ikanpun yang masuk kedalam jalaku." ucap Majun sambil pergi.
Ketika tiba dirumahnya, Majun melihat istri dan ketujuh anaknya yang masih kecil tengah menunggunya. Majun  merasa sedih karena dia pulang tanpa membawa apa-apa. Majun lalu menceritakan hal itu pada istrinya.
"Hari ini tak seekor ikanpun yang berhasil aku tangkap sehingga aku tak bisa pergi ke pasar menjual ikan dan membawa pulang uang." kata Majun.
Istrinya menatap suaminya. Matanya terlihat sabar. "Tidak apa-apa. Masih ada sisa beras sedikit lagi. Aku akan membuatkan bubur untuk anak-anak agar cukup untuk makan mereka semua." kata Minah.
Minah lalu mengambil beras dan membuat bubur dalam kuali. Anak-anaknya disuruhnya bersabar menunggu hingga bubur itu matang. Ketika bubur itu telah masak, Minah mengambil piring dan membagikan bubur itu pada semua anaknya yang segera memakan bubur encer itu dengan lahap.
Esok harinya kembali Majun mencari ikan di sungai seperti biasanya. Namun seperti hari kemarin tak seekor ikanpun berhasil ditangkapnya. Dan sore itu dia pulang dengan lunglai. Ketika melewati pasar, kembali tukang ikan itu memanggilnya, namun Majun terus saja pergi tanpa mempedulikan panggilan tukang ikan itu. Ketika kembali kerumahnya, seperti kemarin istri dan ketujuh anaknya tengah menunggunya. Kembali Majun berkata pada istrinya bahwa hari ini pun tak seekorpun ikan yang berhasil ditangkapnya.
"Tidak apa-apa. Aku masih menyisakan secangkir beras. Aku akan membuat bubur lebih encer lagi agar anak-anak kita bisa makan." kata Minah dengan sabar.
Demikianlah hampir sebulan lamanya Majun selalu pulang dengan tangan hampa. Dia merasa sedih. Namun Minah istrinya selalu menguatkan perasaannya. Ketika sudah tidak ada lagi sisa beras yang bisa dimakan, Minah pergi mencari singkong dan mengolah singkong itu menjadi makanan buat mereka sekeluarga.
Hari itu Majun kembali mencari ikan dan berharap kali ini dia akan berhasil mendapatkan ikan. Namun seperti hari-hari kemarin, kali ini pun Majun belum berhasil mendapatkan ikan. Majun merasa sedih sekali. Dia lalu pulang melewati pasar seperti biasanya. Ketika melewati pasar, dia melihat tukang ikan itu tengah berada di jongkonya seperti biasanya.
Ketika melihat Majun lewat, tukang ikan itu memanggilnya.
"Majun, kemarilah sebentar!" panggil tukang ikan itu.
Majun sejenak merasa ragu. Namun akhirnya dia menghampiri tukang ikan itu.
"Sudah sebulan lamanya aku belum juga berhasil menangkap ikan. Aku merasa heran, tak ada seekor ikanpun yang masuk kedalam jalaku. Sungai sangat sepi seakan tak ada penghuninya." kata Majun.
"Jangan kau bersedih, Majun. Mungkin saat ini belum rejekimu untuk mendapatkan ikan itu." kata tukang ikan itu. Lalu tukang ikan itu mengeluarkan uang dari dalam sakunya. "Majun, ambilah uang ini. Belilah beras dan segala macam kebutuhanmu untuk hari ini. Bawalah pulang, istri dan anak-anakmu pasti sudah menunggumu dirumah." kata tukang ikan itu.
Majur melihat uang yang cukup banyak yang dipegang tukang ikan itu.
"Ah, tidak, kawan. sudah sebulan ini tak seekor ikan pun yang aku jual kepadamu."
"Ambilah uang ini. Jangan khawatir, nanti pun akan ada lagi rejeki Allah untukmu dan untuk saya." kata tukang ikan itu sambil menyerahkan uang itu kepada Majun.
Majun mengucapkan banyak terima kasih pada tukang ikan itu. Lalu dia bergegas menuju pedagang beras. Dibelinya sekarung beras. Lalu dia pun membeli beberapa macam lauk pauk dan makanan lain untuk istri dan anak-anaknya.
Ketika tiba dirumahnya, istri dan anak-anaknya menyambut dengan gembira ketika melihat Majun memanggul sekarung beras dan tangan yang lainnya membawa bungkusan yang sangat besar.
Sambil menaruh bawaannya, Majun menceritakan kebaikan tukang ikan itu kepada istrinya.
"Alhamdulillah Ya Allah. Ada orang yang baik kepada kita, suamiku." kata Minah penuh rasa syukur.
"Sekarang segeralah menanak nasi dan membuat lauk pauknya. Kasihan anak-anak, mereka pasti sudah sangat kelaparan sekali." kata Majun.
Malam itu Majun dan anak istrinya makan dengan lahap sekali dan bergembira.
Demikianlah, hampir sebulan lamanya setiap kali Majun  pulang dengan tangan hampa dan lewat kedepan jongko tukang ikan itu, tukang ikan itu selalu memberi uang pada Majun untuk membeli makanan untuk keluarganya.
Suatu hari Majun kembali pergi ke sungai. Dia kini mengayuh sampannya jauh sekali ke tengah sungai. Majun  mulai menebar jalanya. Tiba-tiba jalanya terasa berat. Majun berdebar. Akhirnya hari ini dia berhasil menangkap ikan. Majun segera menarik jalanya. Dan dia terperangah kaget ketika melihat ikan yang sangat besar sekali yang terperangkap dalam jalanya. Ah, bukan main gembiranya perasaan Majun. Ikan itu pasti cukup mahal bila dijual kepasar. Majun  menarik jalanya. Namun ketika jalanya sudah hampir masuk kedalam sampannya, tiba-tiba dia mendengar suara.
"Manusia, jangan tangkap aku."
Majun menoleh ke kiri dan ke kanan. Tak ada seorang pun manusia didekatnya.
"Manusia yang baik, kembalikanlah aku kedalam sungai."
Kini Majun melihat bahwa yang bicara kepadanya adalah ikan yang tersangkut didalam jalanya.
"Tidak. Aku tak akan melepaskanmu. Aku akan menjualmu ke pasar." kata Majun.
"Manusia yang baik. Bila engkau melepaskan aku, aku akan menggantimu dengan lebih banyak ikan dan kau bisa menjual ikan-ikan itu setiap hari dan kau tak akan pernah kekurangan lagi." kata ikan itu.
Majun merasa ragu, dia tak percaya pada ucapan ikan itu.
"Percayalah padaku, aku adalah Raja Ikan. Aku akan memberimu cukup banyak hadiah yang bisa kau bawa pulang. Dan selain itu setiap hari bila engkau menjala disini, akan banyak ikan yang datang menghampirimu tanpa engkau susah payah menebar jalamu." kata ikan besar itu.
Majun masih termangu-mangu.
"Lepaskan aku sekarang, dan aku akan segera kembali kepadamu." kata ikan besar itu.
Akhirnya Majun  percaya pada ikan besar itu. Dia lalu melepaskan ikan itu dari jalanya. Ikan itu segera berenang dengan gembira dan meninggalkan Majun. Majun  termangu. Dia menyesal telah percaya pada ikan itu dan kini rejeki yang sudah ada ditangannya lepas begitu saja. Cukup lama Majun menunggu namun ikan itu tak datang kembali kepadanya. Akhirnya Majun mengayuh sampannya akan pulang. Namun tiba-tiba dia mendengar suara memanggilnya.
"Manusia, tunggulah. Bukankah aku bilang aku akan kembali kepadamu."
Majun menoleh. Ikan besar itu muncul. Dibelakangnya banyak sekali ikan-ikan yang mengiringinya. Ikan-ikan itu yang sangat banyak sekali berloncatan masuk kedalam sampan Majun, segera saja sampan Majun bergoyang-goyang karena sudah dipenuhi ikan-ikan yang bertumpuk-tumpuk memenuhi sampan.
"Apakah ikan-ikan yang memenuhi sampanmu itu sudah cukup banyak untuk kau jual?" tanya ikan besar itu.
"Ya, sudah cukup. Aku tak akan sanggup mengangkutnya ke pasar bila terlalu banyak." kata Majun.
"Tunggu, aku masih punya sesuatu lagi untukmu." kata ikan besar itu. Dia membuka mulutnya. Mulutnya penuh dengan sesuatu yang berkilauan.
"Ambilah intan berlian ini. Ini semua untukmu sebagai tanda terima kasih karena engkau sudah melepaskan aku." kata Raja Ikan itu. Majun melongo.
"Ambillah sehelai kain, aku akan memuntahkan intan berlian dalam mulutku ini keatas sehelai kain agar tidak berserakan." kata Raja Ikan itu.
Majun mengambil sehelai kain yang ada dalam sampannya. Lalu dibentangkan dihadapan mulut ikan besar itu. Raja Ikan itu memuntahkan seluruh intan berlian yang ada dalam mulutnya keatas helai kain itu. Setelah itu Raja Ikan itu segera berenang kedalam sungai dan tak kembali lagi. Majur segera membungkus intan berlian itu. 
Majur segera  mengayuh sampannya ketepi sungai. Majur membawa cerangka dan memasukan ikan-ikan itu kedalamnya. Lalu cerangka itu diangkutnya ke pasar. Tukang ikan itu menyambut kedatangan Majur dengan gembira.
"Ah, akhirnya engkau berhasil menjala ikan lagi, Majur." sambut tukang ikan itu dengan gembira ketika melihat Majur datang dengan membawa cerangka besar berisi banyak sekali ikan.
Majur lalu menjual ikan itu pada penjual ikan. Setelah menerima uang penjualan ikan dari tukang ikan itu, Majur lalu mengeluarkan intan berlian dalam buntelan kain. Dia menceritakan kejadian hari itu pada tukang ikan.
"Hari ini aku mendapatkan rejeki yang tak disangka-sangka. Aku akan membagi dua intan dan berlian ini denganmu karena engkau sudah membantu aku selama aku tengah berada dalam kesulitan." kata Majun.
Tukang ikan itu melongo melihat intan berlian yang berkilauan dalam buntelan kain yang dibawa Majun.
"Ah, Majun. Banyak sekali intan berlian ini. Apa yang kuberikan kepadamu tak sepadan dengan nilai intan berlian ini." kata tukang ikan itu.
"Ambilah setengahnya." kata Majun. Dia lalu membagi dua intan berlian itu dan menyerahkan setengahnya pada tukang ikan itu.
"Majun, terima kasih. Dengan penjulan intan berlian ini sebenarnya aku sudah tidak usah lagi jadi penjual ikan. Aku bisa membangun tambak ikan sendiri dan memulai usaha baru. Namun aku akan tetap menjadi penjual ikan karena dengan menjadi penjual ikan aku mendapatkan rejeki yang tak terduga banyaknya." kata tukang ikan itu sambil menangis.
"Ya, pergunakanlah hasil penjualan intan berlian ini dengan sebaik-baiknya. Aku sendiri akan tetap menjadi pencari ikan. Aku percaya rejekiku adalah menjadi pencari ikan." kata Majun.
Pulang kerumahnya Majun  menceritakan semua kejadian itu kepada istrinya. Minah berderai airmata mendengar cerita suaminya.
"Alhamdulillah, akhirnya Allah membukakan pintu rejeki untuk kita." kata Minah.
Esok harinya ketika Majun kembali ke sungai itu, ternyata ucapan Raja Ikan itu benar. Majun tidak usah menembarkan jalanya lagi karena ketika sampannya tiba ditengah sungai, ikan-ikan yang banyak sekali jumlahnya berloncatan masuk kedalam sampan Majun sehingga Majun bisa membawa banyak sekali ikan untuk dijualnya kepasar. Majun merasa gembira sekali. Rejekinya akhirnya datang juga setelah dicari dengan susah payah dan penuh ketawakalan. Pertemanannya dengan tukang ikan itu terus berlanjut hingga mereka usia tua dan sudah tidak sanggup lagi bekerja. Namun keduanya bahagia karena hasil jerih payah mereka selagi muda tidak sia-sia. Mereka hidup sejahtera walaupun sederhana.