Jumat, 10 Mei 2013

Keluarga





            “Lusa ulang tahun perkawinan ayah dan ibu, apa rencanamu buat mereka?” suara Anti langsung menerobos masuk begitu dia menyapa ‘Halo’. “Mudah-mudahan dihari ulang tahun ayah dan ibu tahun ini, engkau bisa memenuhi keinginan ayah dan ibu  yang sudah ingin melihatmu segera berumah tangga. Terus-terang Win, bukannya aku terus menerus mendesakmu, tapi aku tak mau engkau bersikap seakan-akan tak peduli dengan urusan yang satu ini. Oh ya, kalau kau tak keberatan, aku punya kenalan. Nanti kukenalin. Pokoknya orangnya sip deh.”
            “Simpan saja buat Mbak Anti.”
            “Lho kok gitu sih? Aku kan sudah punya Mas Rudi.”
            “Repot amat sih mengurus aku melulu! Kayak nggak ada kerjaan aja. Udah ya, aku banyak kerjaan nih. Selamat siang.” Tanpa basa-basi lagi dia segera menutup telepon.
            Mendadak dia merasa kesal  dengan ulah Anti. Telepon dari Anti membuatnya ingin marah. Ah, siapa lagi yang akan diperkenalkan Anti, orang yang selalu paling repot dengan masalah kesendiriannya ini, kepadanya? Apa Anti dan saudara-saudaranya yang lain belum bosan juga setelah berkali-kali memperkenalkannya dengan seseorang yang kenyataannya  selalu berakhir dengan kegagalan. Nah kini, siapa lagi yang akan disodorkan mereka kepadanya? Lagi pula, ah, mana mereka tahu kalau saat ini dia sudah punya kenalan. Benar-benar kenalannya sendiri bukan kenalan mereka yang diperkenalkan kepadanya. Coba kalau mereka tahu siapa yang tengah kupikirkan saat ini, masih beranikah mereka menyodorkan seseorang kepadanya? Lamunannya terhenti ketika mendadak Wildan melintas didekatnya dengan berkas ditangannya, tersenyum dan masuk keruangan pimpinan. Susahnya lelaki ini diajak main kerumahnya, pikirnya sambil menekuni kembali pekerjaannya yang tertunda oleh telepon tadi. Padahal sudah geregetan perasaannya ingin segera memperkenalkannya pada keluarganya. Tetapi selalu saja jawabannya, ‘Nanti, nantilah kalau sudah waktunya aku pasti datang.’ Kenyataannya dia mau menunggu. Dan membiarkan dirinya sering diledek rekan-rekan dikantornya melihat kedekatannya dengan Wildan.  
            “Mas Wildan, antar aku beli kado, ya.” katanya siang itu menjelang istirahat. 
            “Siapa yang mau kawin?”
            “Lusa ayah dan ibu mau merayakan ulang tahun perkawinannya.” 
            “Pesta dong.”
            “Ah, hanya syukuran kecil keluarga. Mas Wildan datang, ya.”
            Wildan tersenyum. “Keluargamu semua kumpul dong.”
            “Mungkin, tapi jangan khawatir Mas tak akan ditanya macam-macam.”
            Diantar Wildan sepulang kantor sore itu dia pergi mencari kado buat orangtuanya. Ah, memilih kado buat orangtuanya selalu membingungkannya karena seperti tahun kemarin, orangtuanya hanya berbisik, kado yang paling diharapkannya adalah perkawinannya. Terharu perasaannya karena sampai saat ini dia belum  berhasil juga memenuhi keinginan orangtuanya.
            “Aku dengar kau selalu menolak bila salah seorang keluargamu akan memperkenalkanmu dengan seseorang.”  kata Wildan sepulang membeli kado dan mampir kerumah makan.
            “Kata siapa?”
            “Dengar-dengar saja.”
            Dia tersenyum sambil meminum es jeruknya. “Aku bukannya menolak tapi cara mereka akan memperkenalkan aku dengan seseorang seringkali membuatku merasa risih. Dikenalkan aja belum tapi cara mereka bicara selalu menjurus seakan-akan aku harus senang dengan orang yang akan diperkenalkan oleh mereka itu. Aku nggak bisa dong begitu. Namanya dikenalin, ya kenalan saja. Masalah aku nanti akan suka atau tidak kan tergantung nanti setelah perkenalan itu. Nggak mau dong aku dipaksa untuk menyukai orang yang baru kukenal. Sama saja dengan orang yang diperkenalkan padaku itu, dia juga kan belum tentu menyukai aku.”
            Ya, selama ini dia memang selalu menolak bila akan diperkenalkan dengan lelaki kenalan keluarganya. Anti, kakaknya yang nomor dua selalu yang paling antusias memperkenalkannya dengan kenalan-kenalan Rudi, suaminya yang memang banyak kenalannya. Indra, Doni dan Hari, tiga nama yang pernah dikenalkan Anti dan Rudi  kepadanya akhirnya tak memiliki kelanjutan cerita apa-apa. Bahkan hanya meningalkan segores kekesalan dihatinya, merasa dirinya dijadikan boneka yang bisa dipasang-pasangkan semaunya. Lagi pula, meskipun usianya terus merambat, bahkan adik perempuannya sudah mendahuluinya, dia tetap ingin mendapatkan jodoh atas upayanya sendiri tanpa campur tangan keluarganya.
            “Aku juga sering mengalami hal yang sama seperti yang kau alami saat ini.” kata Wildan lagi. “Rasanya tak ada lagi topik pembicaraan yang lebih menarik dalam keluarga kecuali mempermasalahkan kesendirianku. Lama-lama aku kesal juga menghadapi ulah keluargaku. Semuanya seakan-akan mencemaskan aku yang belum juga bertemu jodoh. Tapi lama-lama aku mencoba memahami maksud baik mereka yang kemudian seakan repot sendiri mencarikan seorang gadis yang cocok untukku. Memang sampai saat ini tak ada satupun yang berhasil menjadi istriku, tapi dari sini aku kemudian mengambil pelajaran bahwa untuk masyarakat kita, ukuran keberhasilan seseorang dalam hidup tetap belum bisa melepaskan dari masalah perkawinan. Meskipun memang jodoh ada ditangan Tuhan namun sebagai manusia mereka tetap melakukan upaya untuk mempertemukan aku dengan seseorang yang mungkin adalah jodohku. Hanya saja mereka tak mau memahami bahwa dalam soal jodoh kalau belum waktunya, dikejar sampai bagaimanapun tetap saja tak akan berhasil. Tapi kalau sudah tiba waktunya yang ditentukan Yang Maha Kuasa, tanpa kita kejarpun akan datang dengan sendirinya. Sayangnya, kesadaran semacam itu hanya disadari sesaat saja, bila keinginan untuk segera melihat saya segera menikah, mereka mati-matian melakukan berbagai macam upaya.” Wildan tersenyum. “Aku memahami kekesalanmu dengan sikap keluargamu yang seakan begitu sibuk mencarikan seorang lelaki yang siapa tahu akan cocok denganmu. Tapi menurutku, lebih baik engkau tidak   menolak dan menentang maksud baik mereka. Kita sadari  niat baik mereka yang mungkin sudah begitu  inginnya segera melihatmu duduk dipelaminan.”
            “Aku tidak menentang, cuma aku seringkali merasa kesal kalau sudah didesak-desak seperti itu bahkan seakan-akan dipaksa agar aku mau menuruti keinginan mereka. Lama-lama aku pikir, apa tidak ada hal lain lagi dalam pikiran mereka kecuali masalah jodohku. Aku sendiri tidak menutup diri dari pergaulan, tapi aku tak mau bila orang lain, termasuk keluargaku sendiri seakan begitu repot mengintai setiap laki-laki yang dimungkinkan akan aku sukai. Rasanya kok aku seperti boneka saja bisa dipasang-pasangkan begitu saja. Coba apa tidak malu tiap kali punya kenalan bujangan yang agak lumayan, salah seorang dari mereka langsung mencari informasi tentang lelaki itu. Kadang-kala suka keterlaluan lagi, masa langsung diselidik segala macam tetek bengeknya padahal dikenalin juga belum. Lama-lama aku kesal juga harus menerima perlakuan seperti itu?”
            “Maksud mereka memang baik hanya mungkin cara menyampaikannya kepadamu yang membuatmu merasa kurang berkenan.”
            “Padahal teman-temanku pun yang usianya lebih tua dari aku masih banyak yang belum menikah, tapi kok mereka kelihatannya tenang-tenang saja bahkan keluarganyapun tidak repot seperti keluargaku.”
            “Kelihatannya memang begitu tapi siapa yang tahu kalau keluarga mereka mungkin lebih heboh dari keluargamu. Kau kan tidak mengetahui secara detail tentang mereka.” Wildan melihat jam tangannya. “Kita pulang, yuk.”
            “Jangan lupa besok, ya.”
            Malam itu dia tersenyum sendiri. Perkenalannya dengan Wildan sudah berlangsung delapan bulan lebih. Wildan pegawai yang mendapat promosi dikantornya., pindahan dari pusat. Meskipun tidak satu bagian, tapi hubungann dengan Wildan terjalin baik. Selama ini dia hanya diam-diam saja menyukai lelaki itu. Lagi pula dia tak mau sembrono, siapa tahu Wildan sudah memiliki seseorang. Mudah-mudahan besok Wildan memenuhi janjinya. Dia benar-benar mau datang menghadiri syukuran ulang tahun perkawinan orangtuanya, dimana kelima anaknya tengah berkumpul semua. Yang membuatnya mendadak tersenyum, bagaimana reaksi Anti. Selama ini dia yang paling kesal menghadapi ulah Anti yang selalu repot memikirkan urusan jodohnya. Coba kalau besok Wildan datang, masih beranikan dia menyodorkan seseorang kepadanya? Mendadak dia merasa puas. Akhirnya dia berhasil membawa seseorang kerumahnya. Benar-benar kenalannya bukan kenalan mereka yang diperkenalkan kepadanya.           
            Rasanya tak sabar menunggu kedatangan Wildan. Dia hanya tersenyum dalam hati melihat Anti berkali-kali melihat jam seakan tak sabar menunggu kedatangan tamu yang akan diperkenalkannya kepada mereka.
            “Jam berapa sih rencananya temanmu akan datang?” tanya Anti tak sabar.
            “Ribut amat sih? Kan sudah kubilang dia akan datang jam setengah delapan.” sahutnya kalem.
            “Aku penasaran, seperti apa pilihanmu.”
            “Pokoknya dijamin sip deh.”
            Ketika bel berdentang, bergegas dia keluar kamar. Mendadak dia tertegun, Wildan tengah bercakap-cakap dengan Rudi, kakak iparnya. Begitu akrab. Derai tawa mereka yang terdengar sampai keruang tengah. Yang membuatnya merasa semakin heran, Anti nimbrung dalam pembicaraan mereka dan kelihatannya sudah kenal dengan Wildan.        
            “Wildan kan teman kuliahku dulu, Yus.” kata Rudi sambil tersenyum begitu melihat kedatangannya. “Dulu, Wildan  meneleponku memberitahu bahwa dia akan pindah dinas kekota ini. Lalu dia bercerita tentang salah seorang karyawati dikantornya. Ternyata gadis yang dimaksud adalah adikku sendiri.”
            Mendadak dia merasa dibohongi. Anti pura-pura penasaran ingin tahu Wildan padahal dia sudah tahu dari dulu siapa Wildan. Rudi lagi, mendadak dia merasa curiga, jangan-jangan Wildan mendekatinya atas dorongan dari Rudi dan Anti. Meskipun kesal  tapi dia mencoba menahan kekesalannya hingga acara tuntas. Baru pada acara makan dia punya kesempatan berduaan dengan Wildan. Mereka duduk diteras belakang sambil memperhatikan kolam.
            “Mas Wildan tak jujur padaku.” katanya beberapa saat kemudian setelah tak tahan berdiam diri lama-lama. Dia menaruh piringnya dan mengambil sebutir jeruk. “Mas tak pernah bilang kalau Mas sudah lama kenal dengan keluargaku.”
            “Masa aku harus cerita kalau aku teman kuliah  Rudi dulu.” sahut Wildan tenang.  “Lagi pula tiap kali melihatmu aku tak pernah ingat pada Rudi.”
            “Pasti Rudi yang mendesakmu agar Mas mendekatiku.” katanya dengan perasaan sakit hati. Ah, kenapa sih dia tak bisa lepas dari campur tangan keluarganya?
            “Kau keliru bila menduga begitu.” sahut Wildan tenang. “Rudi  memang pernah cerita tentang dirimu, tentang kekerasan sikapmu, tentang kekesalanmu bila urusan pribadimu diikut campuri, tapi dia cerita karena aku yang bertanya-tanya tentang dirimu. Sebagai teman wajar dong dia memberikan informasi tentang gadis yang aku sukai. Kebetulan saja gadis yang dimaksud adalah adik iparnya.” Wildan tersenyum menatapnya. “Aku mengerti kekerasan  sikapmu yang tak mau dicampuri urusan pribadimu. Tapi cobalah memisahkan antara hal yang kebetulan terjadi diantara kita dengan hal yang sengaja. Lagi  pula seandainya memang Rudi dan Anti mendorong aku untuk mendekatimu, apa salahnya kalau aku memang benar-benar menyukaimu. Beruntung malah, aku tak harus punya kegiatan ekstra melakukan pendekatan dengan keluarga gadis yang aku sukai. Cobalah berpikir jernih, jangan hanya karena tak mau urusan pribadimu diikutcampuri mendadak kau merusak acara malam ini dengan sikapmu yang seperti ini.”
            Dia menengadah menatap langit yang kelam. Wildan benar, kenapa dia harus merusak acara malam ini dengan sikapnya yang penuh dengan kecurigaan. Lagi pula kenapa dia harus merasa kesal pada Wildan dan Rudi? Mengapa dia harus merasa curiga kedekatan Wildan kepadanya atas dorongan Rudi. Selama delapan bulan mereka sekantor, hubungan mereka wajar-wajar saja. Dia tak pernah  merasa ada sikap Wildan yang mencurigakan. Ketika Wildan menunjukan sikap suka kepadanya, dia pun tak merasa sikap itu dibuat-buat.  Kebetulan saja mungkin Wildan kenal Rudi dan Anti. Hingga malam ini Wildan datang, tak ada seorangpun dalam keluarganya yang menyebut-nyebut nama Wildan kepadanya. Untuk memberi kesan kepadanya bahwa mereka tak mau ikut campur lagi dengan urusannya. Dan kalaupun dibelakangnya, tanpa sepengetahuannya, Anti dan Rudi mendorong dan mendukung Wildan mendekatinya, apa salahnya karena dia pun menyukai lelaki itu. Lagi pula itu upaya mereka karena ingin adiknya segera mendapatkan seorang pasangan hidup. Dia menoleh, tersenyum menatap Wildan yang asyik memperhatikan ikan dalam kolam.
            “Maafkan aku, mas.”
            Wildan menoleh, tersenyum membalas senyumannya.

--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar