“Lusa ulang tahun perkawinan ayah
dan ibu, apa rencanamu buat mereka?” suara Anti langsung menerobos masuk begitu
dia menyapa ‘Halo’. “Mudah-mudahan dihari ulang tahun ayah dan ibu tahun ini,
engkau bisa memenuhi keinginan ayah dan ibu
yang sudah ingin melihatmu segera berumah tangga. Terus-terang Win,
bukannya aku terus menerus mendesakmu, tapi aku tak mau engkau bersikap
seakan-akan tak peduli dengan urusan yang satu ini. Oh ya, kalau kau tak
keberatan, aku punya kenalan. Nanti kukenalin. Pokoknya orangnya sip deh.”
“Simpan saja buat Mbak Anti.”
“Lho kok gitu sih? Aku kan sudah
punya Mas Rudi.”
“Repot amat sih mengurus aku melulu!
Kayak nggak ada kerjaan aja. Udah ya, aku banyak kerjaan nih. Selamat siang.”
Tanpa basa-basi lagi dia segera menutup telepon.
Mendadak dia merasa kesal dengan ulah Anti. Telepon dari Anti
membuatnya ingin marah. Ah, siapa lagi yang akan diperkenalkan Anti, orang yang
selalu paling repot dengan masalah kesendiriannya ini, kepadanya? Apa Anti dan
saudara-saudaranya yang lain belum bosan juga setelah berkali-kali
memperkenalkannya dengan seseorang yang kenyataannya selalu berakhir dengan kegagalan. Nah kini,
siapa lagi yang akan disodorkan mereka kepadanya? Lagi pula, ah, mana mereka
tahu kalau saat ini dia sudah punya kenalan. Benar-benar kenalannya sendiri
bukan kenalan mereka yang diperkenalkan kepadanya. Coba kalau mereka tahu siapa
yang tengah kupikirkan saat ini, masih beranikah mereka menyodorkan seseorang
kepadanya? Lamunannya terhenti ketika mendadak Wildan melintas didekatnya
dengan berkas ditangannya, tersenyum dan masuk keruangan pimpinan. Susahnya
lelaki ini diajak main kerumahnya, pikirnya sambil menekuni kembali
pekerjaannya yang tertunda oleh telepon tadi. Padahal sudah geregetan
perasaannya ingin segera memperkenalkannya pada keluarganya. Tetapi selalu saja
jawabannya, ‘Nanti, nantilah kalau sudah waktunya aku pasti datang.’
Kenyataannya dia mau menunggu. Dan membiarkan dirinya sering diledek
rekan-rekan dikantornya melihat kedekatannya dengan Wildan.
“Mas Wildan, antar aku beli kado,
ya.” katanya siang itu menjelang istirahat.
“Siapa yang mau kawin?”
“Lusa ayah dan ibu mau merayakan
ulang tahun perkawinannya.”
“Pesta dong.”
“Ah, hanya syukuran kecil keluarga.
Mas Wildan datang, ya.”
Wildan tersenyum. “Keluargamu semua
kumpul dong.”
“Mungkin, tapi jangan khawatir Mas
tak akan ditanya macam-macam.”
Diantar Wildan sepulang kantor sore
itu dia pergi mencari kado buat orangtuanya. Ah, memilih kado buat orangtuanya
selalu membingungkannya karena seperti tahun kemarin, orangtuanya hanya
berbisik, kado yang paling diharapkannya adalah perkawinannya. Terharu
perasaannya karena sampai saat ini dia belum
berhasil juga memenuhi keinginan orangtuanya.
“Aku dengar kau selalu menolak bila
salah seorang keluargamu akan memperkenalkanmu dengan seseorang.” kata Wildan sepulang membeli kado dan mampir
kerumah makan.
“Kata siapa?”
“Dengar-dengar saja.”
Dia tersenyum sambil meminum es
jeruknya. “Aku bukannya menolak tapi cara mereka akan memperkenalkan aku dengan
seseorang seringkali membuatku merasa risih. Dikenalkan aja belum tapi cara
mereka bicara selalu menjurus seakan-akan aku harus senang dengan orang yang
akan diperkenalkan oleh mereka itu. Aku nggak bisa dong begitu. Namanya
dikenalin, ya kenalan saja. Masalah aku nanti akan suka atau tidak kan
tergantung nanti setelah perkenalan itu. Nggak mau dong aku dipaksa untuk
menyukai orang yang baru kukenal. Sama saja dengan orang yang diperkenalkan
padaku itu, dia juga kan belum tentu menyukai aku.”
Ya, selama ini dia memang selalu
menolak bila akan diperkenalkan dengan lelaki kenalan keluarganya. Anti,
kakaknya yang nomor dua selalu yang paling antusias memperkenalkannya dengan
kenalan-kenalan Rudi, suaminya yang memang banyak kenalannya. Indra, Doni dan
Hari, tiga nama yang pernah dikenalkan Anti dan Rudi kepadanya akhirnya tak memiliki kelanjutan
cerita apa-apa. Bahkan hanya meningalkan segores kekesalan dihatinya, merasa
dirinya dijadikan boneka yang bisa dipasang-pasangkan semaunya. Lagi pula, meskipun
usianya terus merambat, bahkan adik perempuannya sudah mendahuluinya, dia tetap
ingin mendapatkan jodoh atas upayanya sendiri tanpa campur tangan keluarganya.
“Aku juga sering mengalami hal yang
sama seperti yang kau alami saat ini.” kata Wildan lagi. “Rasanya tak ada lagi
topik pembicaraan yang lebih menarik dalam keluarga kecuali mempermasalahkan
kesendirianku. Lama-lama aku kesal juga menghadapi ulah keluargaku. Semuanya
seakan-akan mencemaskan aku yang belum juga bertemu jodoh. Tapi lama-lama aku
mencoba memahami maksud baik mereka yang kemudian seakan repot sendiri
mencarikan seorang gadis yang cocok untukku. Memang sampai saat ini tak ada
satupun yang berhasil menjadi istriku, tapi dari sini aku kemudian mengambil
pelajaran bahwa untuk masyarakat kita, ukuran keberhasilan seseorang dalam
hidup tetap belum bisa melepaskan dari masalah perkawinan. Meskipun memang
jodoh ada ditangan Tuhan namun sebagai manusia mereka tetap melakukan upaya
untuk mempertemukan aku dengan seseorang yang mungkin adalah jodohku. Hanya
saja mereka tak mau memahami bahwa dalam soal jodoh kalau belum waktunya,
dikejar sampai bagaimanapun tetap saja tak akan berhasil. Tapi kalau sudah tiba
waktunya yang ditentukan Yang Maha Kuasa, tanpa kita kejarpun akan datang
dengan sendirinya. Sayangnya, kesadaran semacam itu hanya disadari sesaat saja,
bila keinginan untuk segera melihat saya segera menikah, mereka mati-matian
melakukan berbagai macam upaya.” Wildan tersenyum. “Aku memahami kekesalanmu
dengan sikap keluargamu yang seakan begitu sibuk mencarikan seorang lelaki yang
siapa tahu akan cocok denganmu. Tapi menurutku, lebih baik engkau tidak menolak dan menentang maksud baik mereka.
Kita sadari niat baik mereka yang
mungkin sudah begitu inginnya segera
melihatmu duduk dipelaminan.”
“Aku tidak menentang, cuma aku
seringkali merasa kesal kalau sudah didesak-desak seperti itu bahkan
seakan-akan dipaksa agar aku mau menuruti keinginan mereka. Lama-lama aku
pikir, apa tidak ada hal lain lagi dalam pikiran mereka kecuali masalah jodohku.
Aku sendiri tidak menutup diri dari pergaulan, tapi aku tak mau bila orang
lain, termasuk keluargaku sendiri seakan begitu repot mengintai setiap
laki-laki yang dimungkinkan akan aku sukai. Rasanya kok aku seperti boneka saja
bisa dipasang-pasangkan begitu saja. Coba apa tidak malu tiap kali punya
kenalan bujangan yang agak lumayan, salah seorang dari mereka langsung mencari
informasi tentang lelaki itu. Kadang-kala suka keterlaluan lagi, masa langsung
diselidik segala macam tetek bengeknya padahal dikenalin juga belum. Lama-lama
aku kesal juga harus menerima perlakuan seperti itu?”
“Maksud mereka memang baik hanya
mungkin cara menyampaikannya kepadamu yang membuatmu merasa kurang berkenan.”
“Padahal teman-temanku pun yang
usianya lebih tua dari aku masih banyak yang belum menikah, tapi kok mereka
kelihatannya tenang-tenang saja bahkan keluarganyapun tidak repot seperti
keluargaku.”
“Kelihatannya memang begitu tapi
siapa yang tahu kalau keluarga mereka mungkin lebih heboh dari keluargamu. Kau
kan tidak mengetahui secara detail tentang mereka.” Wildan melihat jam
tangannya. “Kita pulang, yuk.”
“Jangan lupa besok, ya.”
Malam itu dia tersenyum sendiri.
Perkenalannya dengan Wildan sudah berlangsung delapan bulan lebih. Wildan
pegawai yang mendapat promosi dikantornya., pindahan dari pusat. Meskipun tidak
satu bagian, tapi hubungann dengan Wildan terjalin baik. Selama ini dia hanya
diam-diam saja menyukai lelaki itu. Lagi pula dia tak mau sembrono, siapa tahu
Wildan sudah memiliki seseorang. Mudah-mudahan besok Wildan memenuhi janjinya.
Dia benar-benar mau datang menghadiri syukuran ulang tahun perkawinan
orangtuanya, dimana kelima anaknya tengah berkumpul semua. Yang membuatnya
mendadak tersenyum, bagaimana reaksi Anti. Selama ini dia yang paling kesal
menghadapi ulah Anti yang selalu repot memikirkan urusan jodohnya. Coba kalau
besok Wildan datang, masih beranikan dia menyodorkan seseorang kepadanya?
Mendadak dia merasa puas. Akhirnya dia berhasil membawa seseorang kerumahnya.
Benar-benar kenalannya bukan kenalan mereka yang diperkenalkan kepadanya.
Rasanya tak sabar menunggu
kedatangan Wildan. Dia hanya tersenyum dalam hati melihat Anti berkali-kali
melihat jam seakan tak sabar menunggu kedatangan tamu yang akan
diperkenalkannya kepada mereka.
“Jam berapa sih rencananya temanmu
akan datang?” tanya Anti tak sabar.
“Ribut amat sih? Kan sudah kubilang
dia akan datang jam setengah delapan.” sahutnya kalem.
“Aku penasaran, seperti apa
pilihanmu.”
“Pokoknya dijamin sip deh.”
Ketika bel berdentang, bergegas dia
keluar kamar. Mendadak dia tertegun, Wildan tengah bercakap-cakap dengan Rudi,
kakak iparnya. Begitu akrab. Derai tawa mereka yang terdengar sampai keruang
tengah. Yang membuatnya merasa semakin heran, Anti nimbrung dalam pembicaraan
mereka dan kelihatannya sudah kenal dengan Wildan.
“Wildan kan teman kuliahku dulu,
Yus.” kata Rudi sambil tersenyum begitu melihat kedatangannya. “Dulu,
Wildan meneleponku memberitahu bahwa dia
akan pindah dinas kekota ini. Lalu dia bercerita tentang salah seorang
karyawati dikantornya. Ternyata gadis yang dimaksud adalah adikku sendiri.”
Mendadak dia merasa dibohongi. Anti
pura-pura penasaran ingin tahu Wildan padahal dia sudah tahu dari dulu siapa
Wildan. Rudi lagi, mendadak dia merasa curiga, jangan-jangan Wildan
mendekatinya atas dorongan dari Rudi dan Anti. Meskipun kesal tapi dia mencoba menahan kekesalannya hingga
acara tuntas. Baru pada acara makan dia punya kesempatan berduaan dengan
Wildan. Mereka duduk diteras belakang sambil memperhatikan kolam.
“Mas Wildan tak jujur padaku.”
katanya beberapa saat kemudian setelah tak tahan berdiam diri lama-lama. Dia
menaruh piringnya dan mengambil sebutir jeruk. “Mas tak pernah bilang kalau Mas
sudah lama kenal dengan keluargaku.”
“Masa aku harus cerita kalau aku
teman kuliah Rudi dulu.” sahut Wildan
tenang. “Lagi pula tiap kali melihatmu
aku tak pernah ingat pada Rudi.”
“Pasti Rudi yang mendesakmu agar Mas
mendekatiku.” katanya dengan perasaan sakit hati. Ah, kenapa sih dia tak bisa
lepas dari campur tangan keluarganya?
“Kau keliru bila menduga begitu.”
sahut Wildan tenang. “Rudi memang pernah
cerita tentang dirimu, tentang kekerasan sikapmu, tentang kekesalanmu bila
urusan pribadimu diikut campuri, tapi dia cerita karena aku yang bertanya-tanya
tentang dirimu. Sebagai teman wajar dong dia memberikan informasi tentang gadis
yang aku sukai. Kebetulan saja gadis yang dimaksud adalah adik iparnya.” Wildan
tersenyum menatapnya. “Aku mengerti kekerasan
sikapmu yang tak mau dicampuri urusan pribadimu. Tapi cobalah memisahkan
antara hal yang kebetulan terjadi diantara kita dengan hal yang sengaja.
Lagi pula seandainya memang Rudi dan
Anti mendorong aku untuk mendekatimu, apa salahnya kalau aku memang benar-benar
menyukaimu. Beruntung malah, aku tak harus punya kegiatan ekstra melakukan
pendekatan dengan keluarga gadis yang aku sukai. Cobalah berpikir jernih,
jangan hanya karena tak mau urusan pribadimu diikutcampuri mendadak kau merusak
acara malam ini dengan sikapmu yang seperti ini.”
Dia menengadah menatap langit yang
kelam. Wildan benar, kenapa dia harus merusak acara malam ini dengan sikapnya
yang penuh dengan kecurigaan. Lagi pula kenapa dia harus merasa kesal pada
Wildan dan Rudi? Mengapa dia harus merasa curiga kedekatan Wildan kepadanya
atas dorongan Rudi. Selama delapan bulan mereka sekantor, hubungan mereka
wajar-wajar saja. Dia tak pernah merasa
ada sikap Wildan yang mencurigakan. Ketika Wildan menunjukan sikap suka
kepadanya, dia pun tak merasa sikap itu dibuat-buat. Kebetulan saja mungkin Wildan kenal Rudi dan
Anti. Hingga malam ini Wildan datang, tak ada seorangpun dalam keluarganya yang
menyebut-nyebut nama Wildan kepadanya. Untuk memberi kesan kepadanya bahwa
mereka tak mau ikut campur lagi dengan urusannya. Dan kalaupun dibelakangnya,
tanpa sepengetahuannya, Anti dan Rudi mendorong dan mendukung Wildan
mendekatinya, apa salahnya karena dia pun menyukai lelaki itu. Lagi pula itu
upaya mereka karena ingin adiknya segera mendapatkan seorang pasangan hidup.
Dia menoleh, tersenyum menatap Wildan yang asyik memperhatikan ikan dalam
kolam.
“Maafkan aku, mas.”
Wildan menoleh, tersenyum membalas
senyumannya.
--- 0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar