Jumat, 10 Mei 2013

Dillani dan Alyani




Dillani dan Alyani dua gadis yang cantik jelita dan baik budi. Dillani, kakaknya sementara Alyani adalah adiknya. Mereka tinggal bersama ibu mereka yang sudah lama menjanda. Pondok  mereka berada di tepi hutan. Pondok  mereka terbuat dari kayu.  Meskipun kehidupan mereka sederhana, namun Dillani dan Alyani  selalu riang gembira. Setiap hari mereka berdua  pergi kepadang rumput untuk menggembalakan beberapa ekor kambing  yang merupakan warisan dari ayah mereka yang telah lama meninggal dunia. Sore hari, barulah mereka pulang menggiring kembali domba-domba mereka pulang ke kandang. Dillani dan Alyani sangat menjaga dengan baik kambing-kambing peninggalan ayah mereka. Kambing-kambing itu sekarang sudah beranak pinak. Sebagian sudah mereka jual dan sebagian lagi mereka perah susunya dan susu kambing  itu mereka jual. Dengan demikian Dillani dan Alyani bisa hidup dengan peninggalan ayah mereka. Sementara ibu mereka yang sudah tua hanya diam dirumah dan mengurus rumah. 
Suatu hari  ketika Dillani dan Alyani tengah  duduk beristirahat dibawah sebatang pohon rindang sambil menikmati makan siang bekal mereka, sementara kambing-kambing gembalaan mereka sedang merumput, tiba-tiba munculah seekor singa. Dillan dan Alyani menjerit ketakutan melihat singa itu. Mereka tahu singa itu adalah binatang buas. Mereka takut singa itu akan memangsa kambing-kambing gembalaan mereka. Sementara itu kambing-kambing mereka berlarian kesana kemari  ketakutan ketika melihat kedatangan singa dengan kepalanya yang berbulu lebat.
“Tolooong! Tolooooong!!” teriak Dillani dan Alyani.
Mereka meninggalkan bekal makanan mereka dan bergegas menaiki pohon. Singa itu berjalan pelan mendekati pohon. Kepalanya menengadah menatap Dillani dan Alyani. Kedua gadis itu semakin ketakutan. Mereka menjerit-jerit meminta tolong namun ditengah padang rumput yang luas itu tidak ada seorangpun yang mendengarkan teriakan mereka. Singa itu lalu duduk didekat batang pohon dan tidak juga mau beranjak pergi. Sementara Dillani dan Alyani hanya bisa menangis. Mereka tidak mau turun karena tahu singa itu akan segera memangsa mereka begitu mereka turun dari atas pohon itu. Sementara itu sore semakin menjelang. Matahari sudah semakin redup sementara singa itu masih duduk dibawah pohon.
“Singa, tolong jangan mangsa kami.” Kata Dillani akhirnya sambil menangis.
Singa itu menengadah menatap kedua gadis itu yang duduk pada dahan sambil memeluk dahan pohon. “Aku tidak akan memangsa kalian.” Kata singa itu. “Jangan takut, gadis-gadis yang cantik dan baik hati, aku tidak akan mengganggu kalian.” 
Dillani dan Alyani terkejut mendengar singa itu bisa bicara.
“Pergilah, jangan ganggu kami!” ucap Dillani memohon.
“Aku tidak akan menganggumu. Aku ingin berteman dengan kalian berdua.” Kata singa  itu.
“Berteman? Kenapa kau ingin berteman dengan kami? Kenapa kau tidak pergi kedalam hutan dan hidup disana. Didalam hutan pasti banyak sekali temanmu.” Ujar Alyani.
“Dihutan aku kesepian. Aku tidak punya teman karena tidak ada seekorpun singa yang mau berteman denganku.” Sahut singa itu.
“Kenapa?” Tanya Dillani.
“Karena aku satu-satunya singa yang tidak mau makan daging mentah.”
“Astaga! Kau seekor singa namun kau tidak suka daging mentah?” Tanya Alyani keheranan.
“Ya, aku hanya mau makan daging kalau daging itu sudah dimasak.” Kata singa itu.
“Kau seperti manusia saja.” Kata Dillani.
“Turunlah, aku berjanji tidak akan memangsa kalian.” Kata singa itu lagi.
“Benarkah?” Tanya Dillani dan Alyani bersamaan.
“Ya, aku berjanji.” Kata singa itu.
Dillani dan Alyani percaya pada janji singa itu. Mereka segera turun dari atas pohon. Singa itu mengaum pelan. Dillani dan Alyani menjerit ketakutan sambil berpelukan.
“Jangan takut, aku hanya mengaum saja.” Kata singa itu sambil berdiri.
“Aumanmu sangat menakutkan kami.” Kata Dillani.
“Kalian terlalu lama duduk diatas pohon itu sehingga aku merasa kesal karena sejak tadi aku tidak bisa mengaum karena aku khawatir aumanku akan menakutkan kalian.” Ujar singa itu.
Dillani dan Alyani mencari kambing-kambing mereka yang berpencaran. Singa itu mengaum dengan keras dan panjang. Mendadak kambing-kambing gembalaan Dillani dan Alyani berdatangan dan berlarian menghampiri kedua gadis itu. Oh, bukan main gembiranya Dillani dan Alyani melihat kambing-kambing mereka telah kembali. Keduanya lalu beranjak akan pulang karena hari sudah malam.
“Tunggu!” kata singa.
Dillani dan Alyani menoleh pada singa itu.
“Kenapa kalian tidak mengajak aku pulang kerumah kalian?” Tanya singa itu.
“Apa? Kamu mau ikut dengan kami?” Tanya Dillani dan Alyani.
“Sekarang sudah musim dingin, aku sangat menderita sekali karena aku tidak punya tempat tinggal dan dan tidak punya teman.” Kata singa  itu.  
Dillani dan Alyani menatap singa itu.  Ketakutan mereka telah sirna. Sekarang mereka  merasa kasihan kepada singa itu yang kelihatannya sungguh-sungguh sangat kesepian.
“Baiklah,” kata Dillani. “Kau bisa ikut dengan kami kerumah kami. Tapi rumah kami sangat sederhana dan kami tidak bisa memberimu makan yang berlebihan.”
“Tidak apa-apa.” Ujar singa itu gembira melihat kebaikan kedua gadis itu. “Yang penting aku punya teman dan dan punya tempat menginap selama musim dingin ini.”
Kedua gadis itu lalu pulang kerumah mengiringi kambing-kambing  diikuti oleh singa  yang berjalan dibelakang mereka. Musim dingin  memang telah tiba. Cuaca sangat dingin sekali. Dipondok  mereka meskipun sederhana namun suasananya menyenangkan. Api selalu menyala diatas tungku dan ibu selalu berusaha menyediakan makanan yang cukup untuk mereka. Ibu mereka sangat terkejut dan ketakutan ketika melihat Dillani dan Alyani pulang membawa seekor singa berbulu lebat.  Namun setelah Dillani dan Alyani  menjelaskan bahwa singa itu baik dan tidak jahat  barulah ibu mereka tenang dan  menerima singa itu  tinggal sementara waktu dipondok  mereka. Ibu tersenyum geli ketika Dillani berkata bahwa singa itu tidak suka daging mentah.
“Singa itu seperti manusia saja.” Kata ibu. “Baiklah, nanti ibu akan membuat daging kambing panggang untuk singa itu.”
Ternyata singa itu benar-benar menyenangkan. Dillani dan Alyani membersihkan bulu-bulu singa itu dan menyikatnya sehingga bersih dan berkilau. Singa itu mengaum pelan karena senang. Malam itu mereka semua  berkumpul diruang tengah. Api pada tungku  menyala terang. Beberapa kali Alyani menambah kayu bakar agar api didalam tungku  tetap menyala.   Diluar angin berhembus kencang. Udara sangat dingin sekali. Tapi didalam rumah udara terasa hangat karena Dillani dan Alyani bergantian mengangsur dan menambah kayu bakar  agar api didalam tungku tetap menyala. Kedua gadis itu bermain-main dengan singa itu sementara ibu sibuk menyiapkan makanan untuk makan malam mereka.
“Nah, daging kambing panggang sudah matang.” Kata ibu sambil masuk keruang tengah dimana Dillani, Alyani dan singa tengah bermain-main. “Ayo kita makan dulu.”
“Mana bagian untuk singa teman kita, bu?”  Tanya Dillani.
“Jangan khawatir,” ibu tersenyum. “Paha kambing itu untuk singa temanmu.”
“Oh, terima kasih, bu. Singa temanku ini pasti kenyang mendapat bagian paha yang besar ini.”
Singa itu mengaum senang dan segera melahap paha kambing panggang itu. Semuanya makan dengan gembira. Usai makan mereka bercakap-cakap hingga waktu tidur tiba. Dillani dan Alyani menyiapkan tempat tidur untuk singa. Mereka mengambil selimut tebal dan menutup tubuh singa itu dengan selimut agar tidak kedinginan. Kembali singa itu mengaum senang.
Selama beberapa hari singa itu tinggal bersama Dillani dan keluarganya. Suatu malam Dillani tidak bisa tidur. Dia keluar dari kamar tidurnya. Bukan main terkejutnya ketika dia tidak melihat singa itu ditempatnya. Dillani menyibakkan selimut. Dia melihat kulit singa itu teronggok. Namun hanya kulit singa saja. Dillani merasa heran. Dia bergegas menyembunyikan kulit singa itu dan bersembunyi dibelakang meja. Tidak lama kemudian  masuklah seorang  pemuda yang tampan rupawan keruangan itu. Pemuda itu menyibakkan selimut seakan mencari-cari sesuatu.
“Apakah engkau mencari ini?” Dillani keluar dari tempat persembunyiannya.
Pemuda itu menoleh, melihat pada kulit singa ditangan Dillani. Sebelum sempat dia menjawab, Dillani sudah melemparkan kulit singa itu kedalam tungku api. Dengan cepat api membakar kulit singa itu sehingga tidak bersisa. Pemuda itu mencium punggung tangan Dillani.
“Terima kasih, Dillani yang baik. Engkau telah menyelamatkan aku.” Kata pemuda itu dengan lembut. “Namaku Fanani. Aku seorang pangeran yang tengah mendapat hukuman karena  aku pernah berbuat kesalahan. Aku berubah menjadi seekor singa. Aku akan berubah wujud menjadi manusia lagi bila aku sudah bertemu dengan seorang gadis yang baik hati, mencintaiku  dan memperhatikan aku dengan sebaik-baiknya.”
Dillani merasa malu mendengar ucapan pangeran Fanani.
“Dillani, apakah engkau mencintai aku?” Tanya pangeran Fanani.
Dillani hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu.  Tidak lama kemudian pangeran Fanani  mempersunting Dillani. Mereka hidup bahagia. Sementara Alyani dan ibunya dibawa serta ke istana.

--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar