Dillani
dan Alyani dua gadis yang cantik jelita dan baik budi. Dillani, kakaknya
sementara Alyani adalah adiknya. Mereka tinggal bersama ibu mereka yang sudah
lama menjanda. Pondok mereka berada di
tepi hutan. Pondok mereka terbuat dari
kayu. Meskipun kehidupan mereka
sederhana, namun Dillani dan Alyani selalu riang gembira. Setiap hari mereka
berdua pergi kepadang rumput untuk
menggembalakan beberapa ekor kambing yang merupakan warisan dari ayah mereka yang
telah lama meninggal dunia. Sore hari, barulah mereka pulang menggiring kembali
domba-domba mereka pulang ke kandang. Dillani dan Alyani sangat menjaga dengan
baik kambing-kambing peninggalan ayah mereka. Kambing-kambing itu sekarang
sudah beranak pinak. Sebagian sudah mereka jual dan sebagian lagi mereka perah
susunya dan susu kambing itu mereka
jual. Dengan demikian Dillani dan Alyani bisa hidup dengan peninggalan ayah
mereka. Sementara ibu mereka yang sudah tua hanya diam dirumah dan mengurus
rumah.
Suatu
hari ketika Dillani dan Alyani
tengah duduk beristirahat dibawah
sebatang pohon rindang sambil menikmati makan siang bekal mereka, sementara
kambing-kambing gembalaan mereka sedang merumput, tiba-tiba munculah seekor singa.
Dillan dan Alyani menjerit ketakutan melihat singa itu. Mereka tahu singa itu
adalah binatang buas. Mereka takut singa itu akan memangsa kambing-kambing
gembalaan mereka. Sementara itu kambing-kambing mereka berlarian kesana
kemari ketakutan ketika melihat
kedatangan singa dengan kepalanya yang berbulu lebat.
“Tolooong!
Tolooooong!!” teriak Dillani dan Alyani.
Mereka
meninggalkan bekal makanan mereka dan bergegas menaiki pohon. Singa itu
berjalan pelan mendekati pohon. Kepalanya menengadah menatap Dillani dan
Alyani. Kedua gadis itu semakin ketakutan. Mereka menjerit-jerit meminta tolong
namun ditengah padang rumput yang luas itu tidak ada seorangpun yang
mendengarkan teriakan mereka. Singa itu lalu duduk didekat batang pohon dan
tidak juga mau beranjak pergi. Sementara Dillani dan Alyani hanya bisa
menangis. Mereka tidak mau turun karena tahu singa itu akan segera memangsa
mereka begitu mereka turun dari atas pohon itu. Sementara itu sore semakin
menjelang. Matahari sudah semakin redup sementara singa itu masih duduk dibawah
pohon.
“Singa,
tolong jangan mangsa kami.” Kata Dillani akhirnya sambil menangis.
Singa
itu menengadah menatap kedua gadis itu yang duduk pada dahan sambil memeluk
dahan pohon. “Aku tidak akan memangsa kalian.” Kata singa itu. “Jangan takut,
gadis-gadis yang cantik dan baik hati, aku tidak akan mengganggu kalian.”
Dillani
dan Alyani terkejut mendengar singa itu bisa bicara.
“Pergilah,
jangan ganggu kami!” ucap Dillani memohon.
“Aku
tidak akan menganggumu. Aku ingin berteman dengan kalian berdua.” Kata singa itu.
“Berteman?
Kenapa kau ingin berteman dengan kami? Kenapa kau tidak pergi kedalam hutan dan
hidup disana. Didalam hutan pasti banyak sekali temanmu.” Ujar Alyani.
“Dihutan
aku kesepian. Aku tidak punya teman karena tidak ada seekorpun singa yang mau
berteman denganku.” Sahut singa itu.
“Kenapa?”
Tanya Dillani.
“Karena
aku satu-satunya singa yang tidak mau makan daging mentah.”
“Astaga!
Kau seekor singa namun kau tidak suka daging mentah?” Tanya Alyani keheranan.
“Ya,
aku hanya mau makan daging kalau daging itu sudah dimasak.” Kata singa itu.
“Kau
seperti manusia saja.” Kata Dillani.
“Turunlah,
aku berjanji tidak akan memangsa kalian.” Kata singa itu lagi.
“Benarkah?”
Tanya Dillani dan Alyani bersamaan.
“Ya,
aku berjanji.” Kata singa itu.
Dillani
dan Alyani percaya pada janji singa itu. Mereka segera turun dari atas pohon.
Singa itu mengaum pelan. Dillani dan Alyani menjerit ketakutan sambil
berpelukan.
“Jangan
takut, aku hanya mengaum saja.” Kata singa itu sambil berdiri.
“Aumanmu
sangat menakutkan kami.” Kata Dillani.
“Kalian
terlalu lama duduk diatas pohon itu sehingga aku merasa kesal karena sejak tadi
aku tidak bisa mengaum karena aku khawatir aumanku akan menakutkan kalian.”
Ujar singa itu.
Dillani
dan Alyani mencari kambing-kambing mereka yang berpencaran. Singa itu mengaum
dengan keras dan panjang. Mendadak kambing-kambing gembalaan Dillani dan Alyani
berdatangan dan berlarian menghampiri kedua gadis itu. Oh, bukan main
gembiranya Dillani dan Alyani melihat kambing-kambing mereka telah kembali.
Keduanya lalu beranjak akan pulang karena hari sudah malam.
“Tunggu!”
kata singa.
Dillani
dan Alyani menoleh pada singa itu.
“Kenapa
kalian tidak mengajak aku pulang kerumah kalian?” Tanya singa itu.
“Apa?
Kamu mau ikut dengan kami?” Tanya Dillani dan Alyani.
“Sekarang
sudah musim dingin, aku sangat menderita sekali karena aku tidak punya tempat
tinggal dan dan tidak punya teman.” Kata singa
itu.
Dillani
dan Alyani menatap singa itu. Ketakutan
mereka telah sirna. Sekarang mereka
merasa kasihan kepada singa itu yang kelihatannya sungguh-sungguh sangat
kesepian.
“Baiklah,”
kata Dillani. “Kau bisa ikut dengan kami kerumah kami. Tapi rumah kami sangat
sederhana dan kami tidak bisa memberimu makan yang berlebihan.”
“Tidak
apa-apa.” Ujar singa itu gembira melihat kebaikan kedua gadis itu. “Yang
penting aku punya teman dan dan punya tempat menginap selama musim dingin ini.”
Kedua
gadis itu lalu pulang kerumah mengiringi kambing-kambing diikuti oleh singa yang berjalan dibelakang mereka. Musim dingin memang telah tiba. Cuaca sangat dingin sekali.
Dipondok mereka meskipun sederhana namun
suasananya menyenangkan. Api selalu menyala diatas tungku dan ibu selalu
berusaha menyediakan makanan yang cukup untuk mereka. Ibu mereka sangat
terkejut dan ketakutan ketika melihat Dillani dan Alyani pulang membawa seekor
singa berbulu lebat. Namun setelah Dillani
dan Alyani menjelaskan bahwa singa itu
baik dan tidak jahat barulah ibu mereka
tenang dan menerima singa itu tinggal sementara waktu dipondok mereka. Ibu tersenyum geli ketika Dillani
berkata bahwa singa itu tidak suka daging mentah.
“Singa
itu seperti manusia saja.” Kata ibu. “Baiklah, nanti ibu akan membuat daging
kambing panggang untuk singa itu.”
Ternyata
singa itu benar-benar menyenangkan. Dillani dan Alyani membersihkan bulu-bulu
singa itu dan menyikatnya sehingga bersih dan berkilau. Singa itu mengaum pelan
karena senang. Malam itu mereka semua berkumpul diruang tengah. Api pada tungku menyala terang. Beberapa kali Alyani menambah
kayu bakar agar api didalam tungku tetap
menyala. Diluar angin berhembus kencang. Udara sangat
dingin sekali. Tapi didalam rumah udara terasa hangat karena Dillani dan Alyani
bergantian mengangsur dan menambah kayu bakar agar api didalam tungku tetap menyala. Kedua
gadis itu bermain-main dengan singa itu sementara ibu sibuk menyiapkan makanan
untuk makan malam mereka.
“Nah,
daging kambing panggang sudah matang.” Kata ibu sambil masuk keruang tengah
dimana Dillani, Alyani dan singa tengah bermain-main. “Ayo kita makan dulu.”
“Mana
bagian untuk singa teman kita, bu?”
Tanya Dillani.
“Jangan
khawatir,” ibu tersenyum. “Paha kambing itu untuk singa temanmu.”
“Oh,
terima kasih, bu. Singa temanku ini pasti kenyang mendapat bagian paha yang
besar ini.”
Singa
itu mengaum senang dan segera melahap paha kambing panggang itu. Semuanya makan
dengan gembira. Usai makan mereka bercakap-cakap hingga waktu tidur tiba.
Dillani dan Alyani menyiapkan tempat tidur untuk singa. Mereka mengambil
selimut tebal dan menutup tubuh singa itu dengan selimut agar tidak kedinginan.
Kembali singa itu mengaum senang.
Selama
beberapa hari singa itu tinggal bersama Dillani dan keluarganya. Suatu malam
Dillani tidak bisa tidur. Dia keluar dari kamar tidurnya. Bukan main
terkejutnya ketika dia tidak melihat singa itu ditempatnya. Dillani menyibakkan
selimut. Dia melihat kulit singa itu teronggok. Namun hanya kulit singa saja.
Dillani merasa heran. Dia bergegas menyembunyikan kulit singa itu dan
bersembunyi dibelakang meja. Tidak lama kemudian masuklah seorang pemuda yang tampan rupawan keruangan itu.
Pemuda itu menyibakkan selimut seakan mencari-cari sesuatu.
“Apakah
engkau mencari ini?” Dillani keluar dari tempat persembunyiannya.
Pemuda
itu menoleh, melihat pada kulit singa ditangan Dillani. Sebelum sempat dia
menjawab, Dillani sudah melemparkan kulit singa itu kedalam tungku api. Dengan
cepat api membakar kulit singa itu sehingga tidak bersisa. Pemuda itu mencium
punggung tangan Dillani.
“Terima
kasih, Dillani yang baik. Engkau telah menyelamatkan aku.” Kata pemuda itu dengan
lembut. “Namaku Fanani. Aku seorang pangeran yang tengah mendapat hukuman
karena aku pernah berbuat kesalahan. Aku
berubah menjadi seekor singa. Aku akan berubah wujud menjadi manusia lagi bila
aku sudah bertemu dengan seorang gadis yang baik hati, mencintaiku dan memperhatikan aku dengan sebaik-baiknya.”
Dillani
merasa malu mendengar ucapan pangeran Fanani.
“Dillani,
apakah engkau mencintai aku?” Tanya pangeran Fanani.
Dillani
hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Tidak lama kemudian pangeran Fanani mempersunting Dillani. Mereka hidup bahagia.
Sementara Alyani dan ibunya dibawa serta ke istana.
--- 0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar