Suara
televisi yang disetel cukup keras membuat Helen terbangun. Dia membuka matanya.
Jam enam. Ah, siapa sih yang menyetel televisi keras-keras? Gerutu Helen sambil
menyibakkan selimut. Pasti ibu, pikir Helen. Dia membuka pintu kamarnya. Benar
ibunya sedang menonton televisi. Ibu menoleh ketika mendengar pintu kamar
dibuka.
“Helen,
coba simak berita ini. Kemarin sore ada pesawat terbang terbakar. Bukankah
pesawat terbang itu yang kemarin ditumpangi Ratih dan ibunya?” ujar Ibu.
Helen
mendadak memperhatikan berita ditelevisi itu. Seorang penyiar wanita yang
cantik masih membacakan berita seputar terbakarnya pesawat terbang itu. Kemarin
sore terjadi kecelakaan pesawat yang menyebabkan pesawat terbang itu terbakar
hebat. Diduga akibat mesin pesawat yang meledak yang menyebabkan terbakarnya
pesawat terbang itu, beberapa saat setelah pesawat mendarat dibandara. Para penumpangnya berusaha menyelamatkan diri,
berhamburan keluar pesawat. Sebagian ada yang berhasil menyelamatkan diri walaupun
mengalami cedera dan luka-luka. Namun ada juga sebagian penumpang yang terjebak
didalam pesawat dan terbakar bersama
pesawat itu. Helen mendadak menggigil ngeri.
“Benar.
Pesawat itu adalah pesawat yang ditumpangi Ratih dan ibunya kemarin menuju Medan.” Kata Helen. “Oh,
bagaimanakan nasib Ratih dan ibunya, bu?”
Ibu
tidak menjawab. Ibu bergegas menemui ayah dikamar. Beberapa saat Helen dapat
merasakan kepanikan dalam pembicaraan antara ayah dan ibu.
“Coba
ayah kontak pak Harisman. Bagaimana berita Ratih dan istrinya.” Kata ibu.
Beberapa
saat kemudian ayah nampak sibuk bicara melalui handphone-nya.
Sementara
itu Helen seakan terlempar dalam kenangannya bersama Ratih. Ayah Ratih teman
sekantor ayahnya. Namun enam bulan lalu ayah Ratih pindah tugas ke Medan. Karena tangggung
dengan sekolahnya yang sebentar lagi akan kenaikan kelas, akhirnya ayah Ratih, bapak Harismn, menitipkan Ratih pada ayah Helen sampai kenaikan
kelas nanti.
Sebenanya Ratih anak yang baik. Dia juga pintar dan rajin.
Selama tinggal bersama keluarganya, Ratih suka membantu pekerjaan bi Mimin
didapur. Namun entah mengapa Helen tidak menyukai kehadiran Ratih dirumahnya.
Walaupun dia tahu Ratih tinggal bersama mereka hanya untuk sementara waktu saja hingga kenaikan kelas nanti. Namun kehadiran Ratih
dirumahnya membuat Helen merasa terganggu walaupun Ratih tidak pernah mengganggunya.
Kamar tidur mereka terpisah. Dan mereka pun memiliki kegiatan yang berbeda. Jadi
tidak pernah bersama-sama. Walaupun mereka sekelas sejak kelas satu, namun
sejak dulu Helen tidak akrab dengan Ratih.
Sore itu Helen terbangun dai tidur siangnya ketika
mendadak dia mendengar suara barang terjatuh dengan keras menimpa lantai.
Beberapa saat kemudian dia mendengar suara Ratih dan bi Mimin diruang tengah.
Helen keluar kamar. Dia terbelalak melihat keramik antik koleksi ibunya yang
disimpan diatas meja disudut ruangan telah pecah berantakan.
Kepingan-kepingannya berserakan diatas lantai. Nampak bi Mimin dan Ratih sedang memunguti pecahan-pecahan keramik itu dan memasukannya
kedalam tempat sampah.
“Kenapa dengan keramik itu?” tanya Helen dengan suara melengking. Mendadak dia
menatap Ratih dengan tatapan menuduh.
Pasti anak ini yang telah sembrono
menjatuhkan keramik itu. Oh, ibu pasti marah, pikir Helen. Karena keramik itu
adalah salah satu koleksi ibu
“Anu neng, bibi…….” Bi mimin tergagap.
“Pasti kamu yang telah menjatuhkan keramik itu, ya?”
Helen menatap Ratih dengan marah. ”Kamu
memang tidak tahu diri. Kamu sudah menumpang tinggal disini namun kamu tidak
tahu diri dan berani-beraninya kamu memecahkan
keramik koleksi ibuku.”
“Aku…….aku…..” Ratih tergagap. Dia seakan ingin menjawab
namun Helen sudah memberondongnya dengan kata-kata kasar. Akhirnya Rrtih
berdiri. Airmatanya berderai membasahi pipinya. Dia membalikan tubuhnya dan
berlari masuk kekamarnya.
Helen hanya melihat sekilas pada pintu kamar Ratih yang
tertutup. Dia merasa puas telah memarahi
Ratih.
Malamnya ibu menemau Helen dikamarnya. Ibu duduk didekat
Helen yang sedang membaca.
“Helen, kamu harus meminta maaf kepada Ratih.” Ujar ibunya. “Tadi bi mimin bicara
pada ibu. Dia mengaku terus terang bukan Ratih yang telah menjatuhkan keramik
itu. Namun bi mimin. Menurut bi Mimin, tadi ketika dia sedang menyapu tanpa sengaja bi
Mimin menyenggol keramik itu. Ketika bi Minim sedang membersihkan
pecahan-pecahan keramik itu, Ratih datang
membantu bi Mimin mengumpulkan pecahan-pecahan keramik itu yang
berserakan dilantai. Nah, pada saat itulah
engkau keluar dari kamar. Tanpa bertanya
lebih dahulu, engkau malah langsung memarahi Ratih dan menuduhnya telah
memecahkan keramik itu.” Ibu menjelaskan.
“Engkau harus meminta maaf kepada Ratih, Helen.” Kata ibu
lagi. “Ratih pasti sakit hari karena engkau
telah menuduhnya dan memarahinya seperti itu.”
Helen termangu. Dia tidak mengira seperti itu kejadiannya. Rasa tidak sukanya pada Ratih yg telah membuatnya tanpa berpikir
lagi langsung memarahi Ratih. Terbersit perasaan sesal dihatinya, namun dia
merasa malu bila harus meminta maaf kepada Ratih.
“Helen kamu mau meminta maaf kepada Ratih, bukan? Tanya
ibunya. “Engkau anak yang baik. Engkau pasti bisa bersikap sportif mau meminta
maaf atas kesalahanmu.’
“Ya, bu.” . Ujar Helen mengangguk pelan.
Ibunya bangkit. “Ibu percaya kau pasti mau meminta maaf
kepada Ratih.”
Namun Helen tak pernah meminta maaf kepada Ratih. Dia merasa
gengsi harus meminta maaf pada Ratih. Namun
sejak kejadian sore itu, Ratih pun berubah. Dia selalu menghindari diri
dari Helen. Dia tidak pernah mau makan
bersama-sama lagi walau orangtua Helen selalu mengajak Ratih makan bersama. Ratih
pun selalu berangkat ke sekolah lebih dahulu
dan pulang kerumah lebih telat.
Di sekolah Ratih tidak pernah bertegur sapa lagi dengan Helen dan lebih
memilih bergaul dengan teman-temannya yang lain. Helen dapat merasakan hal itu
namun dia tidak perduli.
Dua bulan kemudian ibu memberitahunya bahwa ibunya Ratih menelepon akan menjemput Ratih
dan membawanya ke Medan.
Helen merasa senang Ratih akan segera pergi dari rumahnya. Lalu seminggu berikutnya
ketika Helen baru pulang sekolah, ibu memberitahunya bahwa Ratih tadi pagi
dijemput ibunya. Mereka langsung menuju bandara. Mereka akan naik pesawat terbang
siang harinya ke Medan.
Ada
sedikit perasaan sesal dalam hati Helen karena dia tidak sempat bertemu dulu dengan Ratih dan
mengucapkan beberapa patah kata sebagai perpisahan. Ah, kenapa Ratih dan ibunya
begitu terburu-buru pergi? Helen masih memikirkan suka Ratih hingga tiba-tiba
pagi ini dia dikejutkan dengan berita kecelakaan pesawat terbang yang kemarin
ditumpangi Ratih. Dalam hati Helen berdo’a, semoga Ratih dan Ibunya selamat.
Ibu masuk kedalam kamarnya ketika Helen baru selesai mandi.
“Helen, Ratih dan ibunya termasuk korban pesawat yang
terbakar itu. Mayat mereka sudah berhasil kelaurkan dari dalam pesawat.” Kata
ibu sambil menangis tersedu-sedu.
“Apa?” Helen terperanjat. Ketika melihat ibunya menangis,
mendadak Helen merasakan kesedihan yang menghantam pesaannya. Ah, kenapa Ratih dan
ibunya harus pergi secepat ini? Mendadak Helen dilanda perasaan sesal yang terasa
menyakitkan. Dia teringat kejadian sore itu ketika dia memaki Ratih dengan
kata-kata kasar dan menuduhnya telah memecahkan keramik. Masih bisa diingatnya
mata Ratih berkaca-kaca lalu dia masuk
kekamarnya sambil menangis tanpa bicara apapun. Rasa sesal terasa menyesakkan
perasaaanya. Air mata Helen menitik perlahan membasahi pipinya.
--- 0 ---
Makam Ratih berdampingan dengan makan ibunya. Ayah Ratih
nampak tegar mengikuti pemakaman. Teman-teman sekerja ayah Ratih silih berganti
menyalami Ratih dan menyampaikan ucapan duka cita, begitu juga dengan kedua
orangtua Helen.
“Mari kita pulang.”
Kata ayah Helen.
Helen masih berjongkok didepan makam Ratih. Airmatanya
tak berhenti mengalir membasahi kedua belah pipinya. Dia ingin mengucapkan kata-kata
yang selama ini belum sempat diucapkannya kepada Ratih atas kesalahannya telah
memarahi dan menuduh Ratih.
“Maafkan aku, Ratih. Maafkanlah atas semua kesalahanku padamu.”
Ketika Helen mengikuti
kedua orangtuanya meninggalkan pemakaman, Helen menengadah menatap langit. Dia
seakan melihat Ratih bergaun putih duduk diawan melambaikan tangannya dan
tersenyum kepadanya. Airmata Helen
berkaca-kaca. Ya Allah, berilah
sahabatku tempat yang sebaik-baiknya
disisiMu. Amin.
---
0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar