Jumat, 10 Mei 2013

MAAFKANLAH AKU, RATIH





Suara televisi yang disetel cukup keras membuat Helen terbangun. Dia membuka matanya. Jam enam. Ah, siapa sih yang menyetel televisi keras-keras? Gerutu Helen sambil menyibakkan selimut. Pasti ibu, pikir Helen. Dia membuka pintu kamarnya. Benar ibunya sedang menonton televisi. Ibu menoleh ketika mendengar pintu kamar dibuka.
“Helen, coba simak berita ini. Kemarin sore ada pesawat terbang terbakar. Bukankah pesawat terbang itu yang kemarin ditumpangi Ratih dan ibunya?” ujar Ibu.
Helen mendadak memperhatikan berita ditelevisi itu. Seorang penyiar wanita yang cantik masih membacakan berita seputar terbakarnya pesawat terbang itu. Kemarin sore terjadi kecelakaan pesawat yang menyebabkan pesawat terbang itu terbakar hebat. Diduga akibat mesin pesawat yang meledak yang menyebabkan terbakarnya pesawat terbang itu, beberapa saat setelah pesawat mendarat dibandara. Para penumpangnya berusaha menyelamatkan diri, berhamburan keluar pesawat. Sebagian ada yang berhasil menyelamatkan diri walaupun mengalami cedera dan luka-luka. Namun ada juga sebagian penumpang yang terjebak didalam pesawat dan  terbakar bersama pesawat itu. Helen mendadak menggigil ngeri.
“Benar. Pesawat itu adalah pesawat yang ditumpangi Ratih dan ibunya kemarin menuju Medan.” Kata Helen. “Oh, bagaimanakan nasib Ratih dan ibunya, bu?”
Ibu tidak menjawab. Ibu bergegas menemui ayah dikamar. Beberapa saat Helen dapat merasakan kepanikan dalam pembicaraan antara ayah dan ibu.
“Coba ayah kontak pak Harisman. Bagaimana berita Ratih dan istrinya.” Kata ibu.
Beberapa saat kemudian ayah nampak sibuk bicara melalui handphone-nya.
Sementara itu Helen seakan terlempar dalam kenangannya bersama Ratih. Ayah Ratih teman sekantor ayahnya. Namun enam bulan lalu ayah Ratih pindah tugas ke Medan. Karena tangggung dengan sekolahnya yang sebentar lagi akan  kenaikan kelas, akhirnya ayah Ratih,  bapak Harismn,  menitipkan Ratih pada ayah Helen sampai kenaikan  kelas nanti.
Sebenanya Ratih  anak yang baik. Dia juga pintar dan rajin. Selama tinggal bersama keluarganya, Ratih suka membantu pekerjaan bi Mimin didapur. Namun entah mengapa Helen tidak menyukai kehadiran Ratih dirumahnya. Walaupun dia tahu Ratih tinggal bersama mereka hanya untuk sementara waktu saja  hingga kenaikan kelas nanti. Namun kehadiran Ratih dirumahnya membuat Helen merasa terganggu walaupun Ratih tidak pernah mengganggunya. Kamar tidur mereka terpisah. Dan mereka pun memiliki kegiatan yang berbeda. Jadi tidak pernah bersama-sama. Walaupun mereka sekelas sejak kelas satu, namun sejak dulu Helen tidak akrab dengan Ratih.
Sore itu Helen terbangun dai tidur siangnya ketika mendadak dia mendengar suara barang terjatuh dengan keras menimpa lantai. Beberapa saat kemudian dia mendengar suara Ratih dan bi Mimin diruang tengah. Helen keluar kamar. Dia terbelalak melihat keramik antik koleksi ibunya yang disimpan diatas meja disudut ruangan telah pecah berantakan. Kepingan-kepingannya berserakan diatas lantai. Nampak bi Mimin dan  Ratih  sedang memunguti  pecahan-pecahan keramik itu dan memasukannya kedalam tempat sampah.
“Kenapa dengan keramik itu?” tanya  Helen dengan suara melengking. Mendadak dia menatap Ratih  dengan tatapan menuduh. Pasti anak ini yang telah  sembrono menjatuhkan keramik itu. Oh, ibu pasti marah, pikir Helen. Karena keramik itu adalah salah satu koleksi ibu
“Anu neng, bibi…….” Bi mimin tergagap.
“Pasti kamu yang telah menjatuhkan keramik itu, ya?” Helen menatap Ratih dengan marah.  ”Kamu memang tidak tahu diri. Kamu sudah menumpang tinggal disini namun kamu tidak tahu diri dan berani-beraninya kamu memecahkan  keramik koleksi ibuku.”
“Aku…….aku…..” Ratih tergagap. Dia seakan ingin menjawab namun Helen sudah memberondongnya dengan kata-kata kasar. Akhirnya Rrtih berdiri. Airmatanya berderai membasahi pipinya. Dia membalikan tubuhnya dan berlari masuk kekamarnya.
Helen hanya melihat sekilas pada pintu kamar Ratih yang tertutup. Dia merasa puas telah memarahi  Ratih.
Malamnya ibu menemau Helen dikamarnya. Ibu duduk didekat Helen yang sedang membaca.
“Helen, kamu harus meminta maaf kepada  Ratih.” Ujar ibunya. “Tadi bi mimin bicara pada ibu. Dia mengaku terus terang bukan Ratih yang telah menjatuhkan keramik itu. Namun bi mimin. Menurut bi Mimin,   tadi ketika dia sedang menyapu tanpa sengaja bi Mimin menyenggol keramik itu. Ketika bi Minim sedang membersihkan pecahan-pecahan keramik itu, Ratih datang  membantu bi Mimin mengumpulkan pecahan-pecahan keramik itu yang berserakan dilantai.  Nah, pada saat itulah engkau keluar dari kamar.  Tanpa bertanya lebih dahulu, engkau malah langsung memarahi Ratih dan menuduhnya telah memecahkan keramik itu.”  Ibu menjelaskan.
“Engkau harus meminta maaf kepada Ratih, Helen.” Kata ibu lagi.  “Ratih pasti sakit hari karena engkau telah menuduhnya dan memarahinya seperti itu.”
  Helen termangu. Dia tidak mengira seperti itu  kejadiannya. Rasa tidak sukanya  pada Ratih yg telah membuatnya tanpa berpikir lagi langsung memarahi Ratih. Terbersit perasaan sesal dihatinya, namun dia merasa malu bila harus meminta maaf kepada  Ratih.
“Helen kamu mau meminta maaf kepada Ratih, bukan? Tanya ibunya. “Engkau anak yang baik. Engkau pasti bisa bersikap sportif mau meminta maaf atas kesalahanmu.’
“Ya, bu.” . Ujar Helen mengangguk pelan.
Ibunya bangkit. “Ibu percaya kau pasti mau meminta maaf kepada Ratih.”
Namun Helen tak pernah meminta maaf kepada Ratih. Dia merasa gengsi harus meminta maaf pada Ratih. Namun  sejak kejadian sore itu, Ratih pun berubah. Dia selalu menghindari diri dari Helen.  Dia tidak pernah mau makan bersama-sama lagi walau orangtua Helen selalu mengajak Ratih makan bersama. Ratih pun selalu berangkat ke sekolah lebih dahulu  dan pulang kerumah lebih telat.  Di sekolah Ratih tidak pernah bertegur sapa lagi dengan Helen dan lebih memilih bergaul dengan teman-temannya yang lain. Helen dapat merasakan hal itu namun dia tidak  perduli.
Dua bulan kemudian ibu memberitahunya  bahwa ibunya Ratih menelepon akan menjemput Ratih dan membawanya ke Medan. Helen merasa senang Ratih akan segera pergi dari rumahnya. Lalu seminggu berikutnya ketika Helen baru  pulang sekolah,  ibu memberitahunya bahwa Ratih tadi pagi dijemput ibunya. Mereka langsung menuju bandara. Mereka akan naik pesawat terbang siang harinya ke Medan.
Ada sedikit perasaan sesal dalam hati Helen karena  dia tidak sempat bertemu dulu dengan Ratih dan mengucapkan beberapa patah kata sebagai perpisahan. Ah, kenapa Ratih dan ibunya begitu terburu-buru pergi? Helen masih memikirkan suka Ratih hingga tiba-tiba pagi ini dia dikejutkan dengan berita kecelakaan pesawat terbang yang kemarin ditumpangi Ratih. Dalam hati Helen berdo’a, semoga Ratih dan Ibunya selamat.
Ibu masuk kedalam kamarnya ketika  Helen baru selesai mandi.
“Helen, Ratih dan ibunya termasuk korban pesawat yang terbakar itu. Mayat mereka sudah berhasil kelaurkan dari dalam pesawat.” Kata ibu sambil menangis tersedu-sedu.
“Apa?” Helen terperanjat. Ketika melihat ibunya menangis, mendadak Helen merasakan kesedihan yang menghantam pesaannya. Ah, kenapa Ratih dan ibunya harus pergi secepat ini? Mendadak Helen dilanda perasaan sesal yang terasa menyakitkan. Dia teringat kejadian sore itu ketika dia memaki Ratih dengan kata-kata kasar dan menuduhnya telah memecahkan keramik. Masih bisa diingatnya mata Ratih berkaca-kaca lalu dia  masuk kekamarnya sambil menangis tanpa bicara apapun. Rasa sesal terasa menyesakkan perasaaanya. Air mata Helen menitik  perlahan membasahi pipinya.
--- 0 ---

Makam Ratih berdampingan dengan makan ibunya. Ayah Ratih nampak tegar mengikuti pemakaman. Teman-teman sekerja ayah Ratih silih berganti menyalami Ratih dan menyampaikan ucapan duka cita, begitu juga dengan kedua orangtua Helen.
“Mari kita  pulang.” Kata ayah Helen.
Helen masih berjongkok didepan makam Ratih. Airmatanya tak berhenti mengalir membasahi kedua belah pipinya. Dia ingin mengucapkan kata-kata yang selama ini belum sempat diucapkannya kepada Ratih atas kesalahannya telah memarahi dan menuduh Ratih.
“Maafkan aku, Ratih. Maafkanlah  atas  semua kesalahanku padamu.”
Ketika Helen  mengikuti kedua orangtuanya meninggalkan pemakaman, Helen menengadah menatap langit. Dia seakan melihat Ratih bergaun putih duduk diawan melambaikan tangannya dan tersenyum kepadanya.   Airmata Helen berkaca-kaca. Ya Allah,  berilah sahabatku  tempat yang sebaik-baiknya disisiMu. Amin.
--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar