Anjar tinggal berdua
dengan ibunya yang sudah tua dan
sakit-sakitan. Semakin hari keadaan ibunya semakin parah. Anjar merasa bingung melihat keadaan ibunya. Dia sudah
berusaha mencari obat kesana kemari untuk mengobati ibunya namun ibunya tidak juga
kunjung sembuh. Suatu malam Anjar bermimpi melihat sebatang pohong pisang. Buah
pisang itu warnanya kuning berkilauan seperti emas. Dalam mimpinya, Anjar
memetik pisang emas itu dan memberikannya kepada ibunya. Ibunya memakannya dan
ternyata ibunya kemudian sembuh. Tubuhnya
segar bugar kembali seperti sediakala.
Ketika terbangun, Anjar
memikirkan mimpinya itu. Aku harus mencari buah pisang emas itu, pikir Anjar.
Anjar lalu menceritakan mimpinya itu kepada ibunya.
“Oh, itu hanyalah mimpi,
anakku. Jangan dipikirkan.” Kata ibunya dengan suara lemah.
“Tapi saya yakin mimpi itu
sebuah pertanda baik untuk kesembuhan ibu.” Kata Anjar. “Saya akan mencari buah
pisang emas itu sampai ketemu agar ibu segera sembuh.”
“Kemana kau akan
mencarinya, nak?”
“Kemana saja dimana pohon
pisang emas itu tumbuh dan berada.”
“Oh, kau tega meninggalkan
ibu seorang diri dirumah, nak?”
“Saya pergi karena ingin
mencari obat untuk kesembuhan ibu.” Ucap Anjar.
“Lalu dengan siapa ibu
harus tinggal bila engkau pergi?”
“Ibu, saya akan menitipkan
ibu pada Salikha. Dia pasti akan menjaga ibu selama saya pergi.”
Salikha adalah gadis
tetangga. Dia hidup seorang diri digubuknya. Kedua orangtuanya sudah lama
meninggal dunia. Salikha dan Anjar sering bekerja bersama-sama menggarap sepetak ladang peninggalan ayah Anjar. Sebagai
upahnya Anjar memberi sebagian hasil ladang kepada Salikha.
Hari itu setelah
menitipkan ibunya kepada Salikha, Anjar
segera pergi akan mencari buah pisang emas
seperti yang ada dalam mimpinya. Namun sepanjang jalan tidak ada
seorangpun yang mengetahui dimana pohon pisang emas itu tumbuh. Hingga akhirnya
setelah tiga hari lamanya menempuh perjalanan, Anjar bertemu dengan seorang
wanita pengemis tua yang sedang sakit parah. Pengemis itu duduk sambil bersandar
pada sebatang pohon yang rindang ditepi jalan. Nafasnya kelihatan
tersengal-sengal. Melihat keadaan pengemis
itu yang nampak kepayahan, Anjar teringat kepada ibunya yang sedang
sakit. Dia mendekati pengemis itu dan memberikan bekal makanan dan minumannya kepadanya.
“Terima kasih, nak. Kau
baik sekali.” Kata pengemis itu. “Hendak
pergi kemanakah engkau ini?”
Anjar menceritakan
mimpinya. “Saya hendak mencari pohon pisang emas itu karena saya yakin pisang
emas itu akan bisa menyembuhkan ibu saya.” Kata Anjar usai menceritakan
mimpinya.
“Oh, engkau seorang anak
yang sangat berbakti, nak.” Ucap pengemis itu. “Kebetulan nenek pernah mendengar tentang sebatang pohon pisang emas
itu. Lekaknya di bukit Padinding. Berjalanlah terus ke selatan. Bukit kedua
yang kau temui itulah bukit Padinding.
Di bukit itulah tumbuhnya pohon pisang emas itu.”
“Oh, terima kasih banyak,
nek.” Ujar Anjar gembira karena sekarang dia sudah mendapat tahu dimana
keberadaan pohon pisang emas itu. Dia lalu meneruskan kembali perjalanannya.
Sesuai dengan
petunjuk pengemis itu, Anjar berjalan
kearah selatan. Dia memperhatikan bukit pertama yang ditemuinya. Sebuah bukit
yang gersang. Tidak ada sebatang pepohonan pun yang tumbuh disana. Hanya sebuah
bukit kapur. Ketika melihat bukit kedua, perasaan Anjar terasa lega. Bukit itu
kelihatan hijau.
“Oh, disanalah pohon
pisang emas itu tumbuh.” Pikir Anjar dengan perasaan gembira.
Dia segera menaiki bukit
itu. Hatinya makin gembira melihat
diatas bukit itu banyak tumbuh pohon pisang. Namun mendadak Anjar merasa ngeri.
Diatas bukit itu berkeliaran banyak sekali kera. Kera kera itu berloncatan dari
satu pohon ke pohon yang lain. Mereka memakan pisang-pisang yang tumbuh pada
setiap batang pohon pisang. Ketika melihat kedatangan Anjar, kera-kera itu
mengeluarkan suara yang ribut. Anjar berusaha bersikap tenang meskipun dia
merasa ngeri melihat kera-kera yang
begitu banyak jumlahnya.
Tiba-tiba Anjar melihat
seekor kera tua tergolek didekat sebatang pohon pisang. Kakinya bengkak dan
kelihatan terluka. Kelihatannya lukanya sudah lama karena mengeluarkan bau
busuk. Anjar merasa iba melihat keadaan kera tua itu yang nampak lemah tak
berdaya dengan luka yang telah membusuk dikakinya.
“Oh, kakimu terluka.” Ucap
Anjar.
Dia berjongkok disamping
kera tua itu dan memeriksa kakinya. Lalu Anjar mencari daun-daunan disekitarnya
untuk mengobati luka dikaki kera tua itu. Anjar berhasil menemukan beberapa macam daun-daunan yang bisa dipakai untuk
mengobati luka. Dia mengunyah
daun-daunan itu, setelah lembut daun-daunan itu ditempelkan pada kaki kera yang
terluka itu. Kera itu menyeringai kesakitan ketika daun-daunan itu ditempel
pada luka dikakinya, namun tidak lama
kemudian kera itu kelihatan tenang dan menatap Anjar dengan tatapan penuh
ucapan terima kasih.
“Lukamu pasti akan segera
sembuh.” Kata Anjar pada kera tua itu.
Seekor kera yang lebih
muda mendekati mereka. Kedua kera itu bercakap-cakap dalam bahasa mereka.
Sementara Anjar memperhatikan keadaan disekelilingnya. Dia berusaha mencari
pohon pisang emas itu. Dia yakin pohon pisang emas itu akan berhasil
ditemukannya. Tiba-tiba kera muda itu pergi namun tak lama kemudian dia kembali
lagi dengan dua sisir pisang dan menyerahkannya kepada Anjar. Anjar
memperhatikan kedua sisir pisang itu. Hanya pisang biasa.
“Terima kasih kera, namun
aku sedang mencari pisang emas.” Kata Anjar pada kera itu.
Kera itu bicara lagi pada
kera tua yang masih tergolek. Tiba-tiba
kera muda itu menarik tangan Anjar dan menuntunnya pergi. Meskipin belum
mengerti maksud kera itu namun Anjar
mengikutinya. Tangannya dipegang erat kera itu. Setelah berjalan cukup jauh,
Anjar mendadak memekik girang. Dia melihat pohon pisang emas. Dari kejauhan
warna kuning buah pisang emas itu berkilauan tertimpa sinar matahari.
“Oh, buah pisang emas!” seru
Anjar gembira.
Kera itu memanjat pohon
pisang emas itu. Lalu memetik tiga sisir pisang emas dan memberikannya kepada Anjar. Dengan
gembira Anjar menerima ketiga sisir pisang emas itu.
“Oh, terima kasih, kera
yang baik.” Ucap Anjar gembira.
Bergegas Anjar pulang. Dia ingin segera memberikan pisang
emas itu kepada ibunya. Perjalanan pulang terasa lebih cepat karena Anjar
berjalan seakan tanpa berhenti, tanpa beristirahat. Tiba dirumahnya, Anjar
memberikan satu sisir pisang emas itu
kepada ibunya. Dengan lahap ibunya memakan pisang emas itu satu persatu. Anjar
menyimpan sesisir pisang emas lainnya dikamarnya. Lalu sesisir pisang emas lagi diberikan kepada Salikha yang
sudah berbaik hati merawat dan menjaga ibunya selama dia pergi.
Esok paginya Anjar melihat
ibunya sedang menanak nasi. Oh, rupanya ibunya telah sembuh dari sakitnya.
Bukan main senangnya perasaan Anjar.
“Oh, ibu telah sembut.”
Kata Anjar gembira.
Ibunya tersenyum. “Ya, ibu
telah sembuh, nak.”
Anjar teringat pada
sesisir pisang yang disimpannya dikamarnya. Dia mencari pisang itu. Mendadak Anjar tertegun. Sesisir pisang
emas itu telah berubah menjadi emas murni berbentuk pisang. Pada saat itu
Salikha masuk kegubuknya dan menemui
Anjar dengan nafas terengah-engah.
“Anjar! Anjar! Buah pisang yang kau berikan kepadaku kemarin telah
berubah menjadi emas betulan.” Kata
Salikha sambil memperlihatkan sesisir
pisang pemberian Anjar kemarin yang
sekarang telah berubah menjadi emas.
Anjar tersenyum. “Emas ini
akan membuat hidup kita berkecukupan. Jual sebagian emas itu dan uangnya kita belikan pada tanah. Aku
sudah punya rencana. Aku akan menjadi petani pisang.” Kata Anjar.
“Aku juga.” Ujar Salikha
gembira.
Malam harinya Anjar
bermimpi didatangi nenek pengemis yang pernah ditolongnya dalam perjalanan
mencari pisang emas itu.
“Anjar, kau seorang gadis
yang baik hati.” Kata nenek pengemis itu. “Kau pun sungguh berbakti kepada orangtuamu. Kau berhak mendapatkan
kebahagiaan. Kebaikan yang kau tanam pantas berbuah emas.”
Sejak saat itu Anjar dan
Salikha menjadi petani pisang. Mereka bekerja dengan giat dan sungguh-sungguh.
Pisang-pisang mereka laku dipasaran sehingga Anjar dan Salikha kemudian menjadi
petani pisang yang kaya di desa mereka. Keduanya tetap bersahabat. Dan keduanya
dikenal sangat dermawan di desa mereka, terutama menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim.
--- 0 --
Tidak ada komentar:
Posting Komentar