Jumat, 10 Mei 2013

Nyanyian Puteri Nawangsari





Raja  Purbaya hanya memiliki puteri tunggal.  Namanya Puteri Nawangsari.  Ibunda Puteri Nawangsari   telah lama meninggal dunia sehingga puteri Nawangsari  sering merasa kesepian. Meskipun ayahnya sangat menyayanginya, namun kesibukan sang raja dalam mengurus negara sering menyita waktu sehingga tidak memiliki cukup banyak waktu untuk memperhatikan puteri Nawangsari.
Itulah sebabnya Puteri Nawangsari   sering merasa kesepian. Dia sering menghabiskan waktunya ditaman didepan kamarnya dan duduk menyendiri disana sambil bersenandung. Suara Puteri Nawangsari   sungguh merdu sekali. Bila Puteri Nawangsari  sedang bernyanyi, semua burung-burung berhenti berkicau dan bertengger diatas dahan untuk mendengarkan nyanyian Puteri Nawangsari. Sementara Puteri Nawangsari   sendiri seakan tidak menyadari bila suaranya sungguh merdu bagaikan buluh perindu.
Pada suatu hari, kerajaan  mereka diserang musuh. Raja Purbaya mati ditangan Pangeran Rangga Permana,  putra mahkota kerajaan Martalaya, musuh yang menghancurkan kerajaan Raja Purbaya. Puteri Nawangsari   merasa sedih melihat ayahnya telah menjadi mayat. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis dan bersembunyi di reruntuhan gudang belakang istana yang sudah dihancurkan musuh.
Ketika malam tiba, diam-diam Puteri Nawangsari   keluar dari tempat persembunyiannya. Puteri Nawangsari  berlari  masuk kedalam hutan dan bersembunyi disana. Dia merasa sedih sekali melihat kerajaan ayahnya telah hancur dan dikuasai musuh.
Puteri Nawangsari   terus masuk kedalam hutan hingga akhirnya dia tiba di sebuah gubuk yang sangat sederhana. Puteri Nawangsari   yang sudah kelelahan dan merasa lapar, segera masuk kedalam gubuk itu. Dia melihat seorang nenek tua sedang meramu daun-daunan.
“Siapakah engkau?” tanya nenek itu dengan suara lirih.
Puteri Nawangsari   menceritakan siapa dirinya dengan sesungguhnya. Nenek itu mendengarkan dengan seksama. Ditatapnya wajah Puteri Nawangsari   dengan perasaan iba.
“Kau senasib dengan aku.” Kata nenek itu dengan suara tersendat. “Aku juga dahulu adalah seorang puteri raja. Kerajaan ayahku dihancurkan musuh. Akulah satu-satunya anggota keluarga kerajaan yang berhasil menyelamatkan diri. Seluruh keluargaku dibunuh oleh musuh ayahku.” 
“Oh, benarkah begitu, nek?” Puteri Nawangsari  terperangah tak percaya.
Nenek itu mengangguk. “Dan musuh yang menghancurkan kerajaanku adalah Raja Saradipa, raja kerajaan Martalaya.”
“Apa? Raja Saradipa  adalah ayah pangeran Rangga Permana.”
“Ya, musuh kita ternyata sama dan nasib kita pun sama.” Nenek itu menganggukan kepalanya. Ditatapnya wajah Puteri Nawangsari, namun tiba-tiba nenek itu memekik keras. “Tidak! Kau tidak boleh bernasib sama seperti aku! Kau tidak boleh menyia-nyiakan hidupmu. Dulu, ketika kerajaanku diserang, usiaku sama denganmu. Dan aku berhasil menyelamatkan diri. Hidupku selamat tapi sia-sia. Tak ada yang kukerjakan dihutan ini selain meramu obat-obatan dan sesekali menolong penduduk desa yang sakit. Tidak, kau tidak boleh sama dengan aku.”
Puteri Nawangsari  mendengarkan kata-kata si nenek dengan penuh perhatian. Dia tidak memahami apa maksud si nenek.
“Sekarang kau tinggalah bersama aku. Aku punya rencana untukmu.” Kata si nenek dengan suara bersemangat.
Beberapa hari lamanya Puteri Nawangsari  tinggal bersama nenek itu. Suatu malam, nenek itu menemui Puteri Nawangsari  dikamarnya.
“Aku mendengar suaramu sungguh merdu sekali. Pergilah menyamar kekerajaan Martalaya. Melamarlah untuk menjadi pelayan diistana. Bila ada kesempatan, bernyanyilah. Usahakan agar Pangeran Rangga Permana mendengarkan nyanyianmu. Dia akan terpikat kepadamu. Usahakan agar Pangeran Rangga Permana mengawinimu. Setelah itu, kita bisa membalas dendam kematian ayah kita dan juga kehancuran kerajaan kita.”
Puteri Nawangsari  merasa keberatan dengan saran nenek itu namun dia tidak berani membantah karena nenek itu sudah menolongnya dari kesulitan. Esok harinya Puteri Nawangsari  pergi ke istana Martalaya. Beruntung, dia diterima sebagai pelayan istana. Tugasnya adalah menghantarkan buah-buahan dan makanan ringan setiap pagi dan sore kekamar Pangeran Rangga Permana. Selama beberapa waktu Puteri Nawangsari  menjalankan pekerjaan itu. Seperti saran si nenek, pada waktu luang Puteri Nawangsari  duduk ditaman dan bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Karena suasana hati Puteri Nawangsari  sedang sedih, lagu-lagu yang dinyanyikannya terasa menyentuh kalbu dan menimbulkan perasaan haru.
Pada suatu hari Pangeran Rangga Permana  sedang duduk dikamarnya. Dia merasa tertarik mendengar suara seseorang yang sedang bernyanyi. Pangeran rangga Permana  mendekati jendela. Ditaman istana, dia melihat pelayan cantik yang setiap hari mengantarkan buah-buahan dan makanan kekamarnya sedang duduk dibangku taman sambil bernyanyi.
Pangeran Rangga Permana  tak kuasa menahan perasaannya. Dia pergi ketaman istana dan menemui Puteri Nawangsari. Pangeran Rangga Permana  bersembunyi dibalik sebuah pohon besar mendengarkan nyanyian Puteri Nawangsari. Ketika Puteri Nawangsari selesai bernyanyi, Pangeran Rangga Permana  keluar dari tempat persembunyiannya dan bertepuk tangan.
“Suaramu merdu  sekali, Nawang.” Puji sang pangeran. “Kau lihat, burung-burungpun berhenti berkicau ketika kau sedang bernyanyi.”
Puteri Nawangsari  hanya tersenyum malu mendengar pujian Pangeran Rangga Permana. Sejak hari itu, hubungan sang pangeran menjadi akrab dengan Puteri Nawangsari. Bahkan raja dan permaisuri pun tidak melarang hubungan sang pangeran dengan Nawangsari  karena raja dan permaisuripun sangat senang mendengarkan suara Nawangsari yang merdu. Bahkan tidak lama kemudian  Pangeran Rangga Permana menikah dengan Nawangsari. Pesta perkawinan mereka diselenggarakan dengan meriah. Tidak ada seorangpun dikerajaan Martalaya yang mengetahui bahwa Nawangsari adalah puteri Raja Purbaya dari kerajaan Sidayu yang sudah mereka hancurkan.
Suatu hari Puteri Nawangsari  sedang memetik bunga ditaman istana ketika tiba-tiba nenek dihutan itu datang.
“Sekarang sudah tiba saatnya untuk membalas dendam, Nawangsari.”  Kata nenek itu mengejutkan Puteri Nawangsari  yang tidak mengira dengan kedatangannya. “Bila malam tiba, ketika suamimu sudah lelap tertidur, bunuhlah dia. Lalu kau diam-diam menyelinap kedalam kamar raja dan permaisuri. Bunuh pula mereka. Setelah itu kau kaburlah diam-diam. Aku akan menunggumu diluar pintu istana. Kita berdua akan menyelamatkan diri setelah membalas dendam.”
Puteri Nawangsari  menatap si nenek dengan bingung. Dia mengelus perutnya. Dia sedang hamil tiga bulan. Oh, tidak mungkin dia membunuh suaminya yang sebentar lagi akan menjadi ayah dari bayi yang dikandungnya. Namun lagi-lagi Puteri Nawangsari  tidak sanggup untuk membantah nenek itu. Dia hanya diam saja ketika nenek itu menyelipkan tiga buah belati dibalik gaunnya.
Malam itu Puteri Nawangsari  merasa gelisah sekali. Dia tak sanggup memejamkan matanya. Dilihatnya suaminya telah tertidur. Puteri Nawangsari  memperhatikan suaminya. Perasaannya campur aduk. Dia membenci Pangeran Rangga Permana  karena telah membunuh ayahnya dan menghancurkan kerajaannya. Namun setelah dia menjalankan perintah si nenek dan kemudian rencana mereka berhasil sesuai dengan keinginan si nenek sang pangeran mengawininya, rasanya dia tidak mungkin membunuh laki-laki yang telah menjadi suaminya. Lagi pula dia sangat mencintai dan menyayangi Pangeran Rangga Permana seperti halnya sang pangeran pun mencintai dan menyayangi dirinya. Namun untuk membantah si nenek pun dia tidak berani. Puteri Nawangsari  mengambil belati yang disembunyikan dibawah bantalnya. Diangkatnya belati itu diatas dada suaminya, namun tangannya terasa bergetar. Berkali-kali Puteri Nawangsari  mencoba namun selalu saja dia tak kuasa untuk melakukannya. Akhirnya belati itu terjatuh kelantai menimbulkan bunyi yang nyarin. Pangeran Rangga Permana  terbangun. Dia heran melihat sebuah belati tergeletak diatas lantai. Dipungutnya belati itu.
“Ada apa, Nawang?” Tanya Pangeran Rangga Permana.
Puteri Nawangsari  tak sanggup berbohong. Dia menceritakan segalanya kepada suaminya. Dia juga menceritakan siapa dirinya sebenarnya. Pangeran Rangga Permana  mendengarkan dengan seksama. “Sebenarnya kau punya kesempatan untuk membunuh aku. Tidurku barusan lelap sekali. Kenapa engkau tidak membunuhku?” Tanya Pangeran Rangga Permana.
“Bagaimana mungkin aku dapat membunuhmu? Engkau adalah suamiku dan calon ayah dari bayi yang sedang kukandung ini.” Sahut Puteri Nawangsari sambil menangis.
Pangeran Rangga Permana memeluknya dengan penuh haru. Pangeran lalu pergi kekamar ayah dan ibunya menceritakan apa yang baru saja terjadi. Raja Saradipa dan permaisuri merasa terkejut. Mereka lalu menyuruh ponggawa menangkap si nenek yang sedang menunggu Puteri Nawangsari  didepan pintu gerbang. Tak lama kemudian si nenek berhasil ditangkap dan dimasukan kedalam penjara.
Sementara Puteri Nawangsari, setelah melahirkan putranya dia merasa gelisah tak menentu. Meskipun suaminya sangat mencintainya, namun dia selalu dibebani perasaan berdosa kepada ayahnya karena dia menikah dengan orang yang telah membunuh ayahnya. Akhirnya Puteri Nawangsari terganggu jiwanya. Dia sering menjerit-jerit setiap malam. Pangeran Rangga Permana  berusaha menyembuhkan istrinya. Namun akhirnya Puteri Nawangsari  meninggal karena tekanan jiwa. Pangeran  Rangga Permana  merasa menyesal dengan perbuatannya dan kekejaman leluhurnya. Nenek itu dibebaskan. Ketika diangkat menjadi raja, pangeran Rangga Permana  memerintah dengan adil dan bijaksana. Dia tak pernah lagi memerangi kerajaan lain karena perang menimbulkan penderitaan. Hingga akhir hayatnya, Pangeran Rangga Permana  tidak menikah lagi karena cintanya hanya untuk Puteri Nawangsari.

--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar