Pagi-pagi telepon berbunyi nyaring. Ibu memberitahu bahwa Luna kemarin sore meninggal.
Hanyut dibawa air sungai yang deras. Mayatnya baru kemarin sore ditemukan. Aku
terhenyak mendengar berita itu. Luna, gadis yang selama ini telah kuanggap
saudaraku sendiri, yang selalu menemani hari-hariku ketika aku masih tinggal
bersama ibuku di Sumedang, kini telah pergi. Aku harus segera pulang ke
Sumedang.
“Luna meninggal.” Kataku pada mas Wiem
suamiku.
Mas Wiem menatapku seolah tak percaya. “Apa? Meninggal? Kenapa?”
“Hanyut kebawa air sungai.” Sahutku.
“Aku akan pulang ke Sumedang hari ini.”
“Ya, aku menyusul nanti siang. Aku
tidak bisa bolos kerja, masih
banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan hari ini. Sampaikan permohonan
maafku pada ibu.” Kata mas Wiem.
“Ya.” Sahutku.
Aku bergegas menyiapkan sarapan pagi,
mandi dan berkemas akan ke Sumedang. Sepanjang
perjalanan, aku dibuai ingatanku kepada Luna. Aku teringat pada
bunga-bunga yang indah bermekaran disekeliling rumah ibuku di Sumedang. Luna
yang merawat bunga-bunga dan
tanaman-tanaman itu. Karena
ketelatenannya membuat rumah selalu kelihatan segar. Namun kini yang merawat bunga-bunga itu telah pergi.
Terakhir kali aku melihat Luna pada hari perkawinanku enam
bulan lalu. Aku melihat Luna sehat dan tampak bahagia. Tak kusangka, ternyata itulah
pertemuanku yang terakhir dengan dirinya yang sudah kuanggap saudaraku sendiri.
Mataku terasa basah. Aku merasa kehilangan seorang saudara sekaligus sahabat
baikku yang telah kukenal sejak aku masih kanak-kanak.
Ketika pertama kali Luna diajak
kerumahku oleh Bi Ifah, pembantu yang telah lama bekerja dikeluargaku. Aku
memandang sosok gadis kecil itu dengan perasaan iba. Luna usianya empat tahun
dibawahku. Wajahnya manis. Kulitnya kuning bersih. Tubuhnya kecil dan kurus.
Yang membuatku merasa iba, kedua matanya buta sejak lahir. Luna adalah
keponakan Bi Ifah. Kedua orangtuanya telah lama meninggal dunia.
Bi Ifah kerap bercerita tentang Luna kepada orangtuaku. Ketika Luna berusia sepuluh tahun dia diajak
oleh ayah ibuku untuk tinggal bersama kami. Selama ini Luna tinggal dengan
neneknya di desa. Ayahku yang mengharapkan Luna tinggal bersama kami. Menurut
ayah, lebih baik Luna disekolahkan di SLB. Dengan bersekolah Luna bisa
melakukan banyak hal daripada diam saja dirumah tanpa mengerjakan apa-apa. Lagi
pula dengan tinggal bersama kami, beban neneknya yang telah tua akan berkurang.
Namun ketika hal itu disampaikan pada
Luna, gadis kecil itu menolak. Luna mau tinggal bersama kami namun dia tidak mau bersekolah. Aku tak mengerti
kenapa Luna tidak mau sekolah sepertiku. Dengan bersekolah di SLB, Luna akan
bisa menulis dan membaca. Dia pun akan dilatih mengerjakan berbagai macam
keterampilan yang akan dibutuhkannya setelah dewasa nanti. Dia bisa menjadi
anak yang pintar dan mandiri seperti anak-anak normal lainnya. Namun Luna tak
bisa dipaksa. Dia tetap tidak mau bersekolah dan memilih membantu-bantu
pekerjaan dirumah.
Tak banyak yang bisa kami harapkan dari
Luna untuk membantu pekerjaan-pekerjaan rumah. Ibuku merasa tak tega melihatnya
ikut membantu pekerjaan rumah sedangkan untuk berjalan kesana-kemaripun Luna
harus berjalan dibantu sebuah tongkat sambil meraba-raba. Rumahku cukup besar
dengan halaman yang luas. Disekeliling rumah kami penuh dengan aneka macam
tumbuhan dan pot-pot bunga koleksi ibuku. Ide itu datang dari ibuku. Beliau
melihat pekerjaan merawat bunga tidak terlalu rumit bagi seorang gadis seperti
Luna. Ternyata dengan senang hati Luna
menerima pekerjaan itu. Setiap pagi Luna memeriksa pot-pot bunga dan memotong
daun-daunnya yang mengering. Dia pun membersihkan rumput-rumput liar yang
tumbuh disela-sela tanaman. Pekerjaannya teliti sekali.
Aku senang Luna memiliki kegiatan.
Sore-sore ketika kami sudah mandi, aku suka mengajak Luna duduk-duduk diteras
samping sambil membacakan cerita-cerita menarik dari buku-buku cerita. Koleksi
buku bacaanku banyak. Aku senang bisa membacakan cerita buat Luna. Sambil
membaca, aku sesekali memperhatikan ekspresi wajahnya. Wajah gadis kecil itu
kelihatan penuh minat pada cerita-cerita
yang kubacakan untuknya. Cerita beragam yang sengaja kupilihkan untuk Luna.
Disamping cerita wayang, Luna pun menyukai cerita manis tentang seorang gadis
yang baik hati yang diusia dewasanya bertemu dengan pangeran impiannya yang
membawanya kedalam sebuah kehidupan perkawinan yang bahagia.
“Mbak
Noni pintar.” kata Luna suatu saat begitu aku selesai membacakan sebuah
cerita untuknya. “Mbak Noni pandai bercerita. Cerita-ceritanya semuanya menarik
dan mengesankan.”
“Aku
membaca buku.” sahutku. “Aku memiliki banyak buku bacaan menarik.”
“Alangkah senangnya memiliki sepasang
mata yang sehat dan normal.” bisik Luna lirih.
Aku
memeluknya erat. Rasa iba pada gadis itu membuatku merasa sayang sekali padanya.
Aku ingin Luna tidak menyesali keadaan dirinya. Aku ingin Luna bersyukur kepada
Tuhan bahwa Dia, Yang Maha Pengasih, masih memberikan karunia lain untuk
dirinya.
Sore-sore ketika baru selesai tidur
siang, aku sering terjaga mendengar seseorang bersenandung diluar kamarku dekat
taman diteras samping. Suaranya lembut dan merdu. Aku senang mendengar suara
Luna. Dia sering menyanyikan lagu-lagu yang diputar ditelevisi ataupun di radio
dan bisa menghafalnya dengan baik.
“Suaramu bagus, Luna.” pujiku suatu hari.
Sudah cukup lama aku berdiri
dibelakangnya memperhatikannya menyirami bunga-bunga yang berjejer diteras
samping sambil bersenandung lembut menyanyikan sebuah lagu yang sering
kusenandungkan. Luna menghentikan pekerjaannya. Dia menoleh kearahku dan
tersenyum.
“Kau pasti sudah tahu aku berdiri disini
sejak tadi.” kataku sambil melangkah mendekatinya.
“Aku menyanyikan lagu itu karena tahu
Mbak Noni suka lagu itu.” sahut Luna manis.
Ketika
menginjak remaja aku menjadi agak jarang bergaul dengan Luna. Luna masih
setia dengan pekerjaannya sementara itu kegiatanku mulai beragam. Pulang
sekolah, aku ikut les Bahasa Inggris, latihan basket, main tenis ataupun
kerumah teman belajar bersama. Disamping itu aku juga memiliki Pengkuh yang sering bersama-sama denganku. Pengkuh senang pada Luna. Dia suka mengajak Luna
bercakap-cakap. Aku memperhatikan Luna seakan-akan malu bila didekati Pengkuh atau diajak bercakap-cakap. Tapi lama kelamaan
Luna bisa diajak bergaul dan akrab dengan Pengkuh. Aku senang Pengkuh bisa dekat dengan seluruh anggota keluargaku.
Suatu
hari Pengkuh datang membawa
sebuah bungkusan yang dibungkus kertas
kado warna merah dengan motif bunga mawar yang cantik.
“Aku membelikan ini untuk Luna.” kata Pengkuh.
“Apa itu?”
“Tape kecil dan beberapa buah kaset. Mudah-mudahan
Luna menyukainya.” Kata Pengkuh.
“Oh Pengkuh, kau baik sekali. Luna pasti
senang menerima pemberianmu ini.” Ucapku
gembira melihat kebaikan Pengkuh.
“Katakan saja benda itu dari kita
berdua.” kata Pengkuh sambil tersenyum.
Ketika malam harinya aku memberikan kado
itu pada Luna, Luna menerimanya dengan wajah haru.
“Dari Pengkuh.” kataku jujur meskipun Pengkuh
ingin aku mengatakan kado itu dari kami
berdua.
“Mas Pengkuh baik. Dia kasihan padaku
karena aku buta.” bisik Luna penuh haru.
“Seperti aku, Pengkuh juga sayang sama kamu, Luna.”
Kaset-kaset yang dibelikan Pengkuh adalah lagu-lagu pop sentimentil. Sering aku mendengar Luna mengulangi
lagu-lagu itu dengan penuh penghayatan bila dia sedang duduk diteras samping
yang menghadap ke kebun. Aku memperhatikannya dengan seksama. Luna tidak
sekedar menyanyi. Dia begitu menghayati setiap lagu yang dinyanyikannya dengan
penuh perasaan. Aku merasakan perasaan Luna ada dalam lagu itu. Hanyut dalam
syair yang dilantunkannya. Aku merasakan Luna tengah jatuh cinta. Jatuh cinta.
Ah, Luna sudah berusia lima
belas tahun. Wajar bila dia sudah merasakan cinta dalam hatinya karena
perasaannya pasti tidak jauh berbeda dengan perasaan gadis-gadis lain
seusianya. Tapi pada siapa dia jatuh cinta? Luna jarang keluar rumah. Aku tidak
melihat Luna punya kenalan seorang pemuda.
“Rupanya Luna sedang jatuh cinta.”
kataku pada Bi Ifah didapur. Bi Ifah menghentikan pekerjaannya yang tengah
memotong-motong wortel untuk sup.
“Kenapa Mbak Noni berkata begitu?” tanya
Bi Ifah pelan.
“Aku bisa merasakannya.” sahutku.
Bi Ifah tidak menyahut. Namun rupanya
ucapanku meninggalkan kesan dihatinya. Sebelum meninggalkan dapur aku melihat
Bi Ifah seperti melamun.
Luna hampir kulupakan ketika aku sibuk
mempersiapkan ujian SMA-ku yang akan kuhadapi. Pengkuh puln mulai jarang datang kerumah karena dia pun
harus pula mempersiapkan ujian kelulusan SMA seperti aku.
“Kenapa Mas Pengkuh jarang datang kemari?” tanya Luna tiba-tiba
disuatu malam ketika kami sedang makan malam berdua.
“Dia sibuk menghapal untuk persiapan
ujian akhir SMA.” sahutku. “Sama sepertiku, dia pun mulai membatasi
kegiatan-kegiatannya agar lebih konsentrasi pada ujian yang akan kami hadapi.”
“Oh.” Luna bergumam pelan.
Aku merasakan Luna masih ingin
mengucapkan sesuatu. Dia mengunyah makanannya begitu pelan-pelan dan seakan
tengah melamun. “Kenapa Luna?”
“Tidak apa-apa.” Luna menyahut lirih.
Hubunganku dengan Pengkuh putus ketika kami sudah mulai kuliah
disemester kedua. Hatiku sedih karena aku mencintainya. Tapi aku tak mau
memaksakan diri. Pengkuh telah menemukan
gadis lain dan melupakan aku. Air mataku jatuh berhamburan. Kuceritakan
kesedihanku pada Luna. Luna memelukku erat. Dia ikut menangis bersamaku.
Wajahnya mengerut penuh kepedihan.
“Mbak Noni harus tabah. Mbak Noni jangan
bersedih,.” hibur Luna. “Siapa tahu nanti ada lelaki lain yang lebih baik, yang
lebih mencintai Mbak Noni.”
Aku memerlukan waktu hampir tiga tahun lebih untuk memperoleh seorang pengganti
Pengkuh. Barangkali perasaanku yang keterlaluan. Begitu sulitnya aku melupakan
seorang lelaki seperti Pengkuh, yang walaupun
penuh perhatian namun sudah jelas tega mengkhianati cintaku. Atau mungkin karena sifatku yang sulit jatuh
cinta dan membuka hatiku pada seorang lelaki.
Pertemuanku dengan mas Wiem kusyukuri sebagai karunia-Nya. Setelah bertemu
dengan mas Wiem, aku malah bersyukur
putus dengan Pengkuh karena ternyata
Tuhan mempertemukanku dengan lelaki lain yang lebih baik, yang lebih
menyayangiku. Malah aku menyesal dulu
menangis berkepanjangan. Sayang airmataku kubuang percuma untuk menangisi
lelaki yang sudah jelas mengkhianatiku.
Luna kuberitahu perihal hubunganku
dengan mas Wiem. Luna senang aku sudah
memperoleh seorang pengganti Pengkuh. Dia berharap, bila aku telah lulus dan
bekerja nanti aku akan menikah dengan mas Wiem.
“Do’akan aku, Luna.” kataku haru.
“Kudo’akan.” sahut Luna lembut. “Aku
selalu berdo’a semoga mbak Nonio selalu bahagia.”
Mas Wiem
selalu baik dan manis pada Luna
dan menganggapnya sebagai bagian dari keluargaku juga. Dia mengajak Luna
bercakap-cakap tentang segala hal. Waktu kuliah mas Wiem aktif sebagai anggota pencinta alam dan klub
olah raga. Dia sering naik gunung atau ikut olah raga arus jeram. Pengalamannya
itu suka diceritakan pada Luna yang mendengarkan ceritanya dengan penuh minat.
Mas Wiem pintar melukiskan keindahan alam yang pernah
dilihatnya. Gunung yang tinggi dan curam yang kubayangkan sebagai sebuah tempat
yang mengerikan bila melihat kebawah, menjadi sebuah tempat yang sungguh
mempesonakan ketika mas Wiem menceritakan keindahan tempat yang pernah
dikunjunginya. Aku tak dapat membayangkan alangkah takutnya menaiki perahu yang
meluncur diair deras, tapi ketika mendengarkan cerita mas Wiem, hasratku
tergugah. Rasanya ingin juga aku mencoba olah raga itu. Makanya aku tidak
merasa heran bila Luna suka mengulang-ulang cerita yang pernah didengarnya dari
mas Wiem itu bila kami sedang
duduk-duduk santai diwaktu sengggang. Luna kelihatan begitu terkesan sekali.
Akhirnya aku menikah juga dengan mas
Wiem beberapa bulan setelah aku selesai
kuliah dan bekerja pada sebuah bank swasta di Sumedang.
“Aku mendengar semua orang mengatakan
engkau cantik, Mbak Noni.” kata Luna pelan ditelingaku dihari perkawinanku.
Aku telah selesai dirias. Kuhadapkan
wajahku memandang wajah Luna. Aku merasakan keharuan yang mendalam. Luna tidak
melihat dandananku yang jauh berbeda
dari hari-hari biasanya.
“Do’akan agar aku bahagia bersama Mas Wiem,
Luna.” bisikku ditelinganya.
Luna mengangguk-anggukan kepalanya
pelan. Kedua tangannya kurasakan membelai kedua sisi pipiku. Untuk pertamakalinya dalam hidupku aku
merasakan usapan tangan Luna diwajahku. Begitu damai kurasakan ketika jari
jemarinya yang kurus menelusuri wajahku pelan-pelan dari mulai dahi hingga
ujung daguku.
“Kulitmu begitu halus dan lembut, Mbak
Noni. Aku yakin kau memang cantik sekali seperti kata orang-orang,” bisik
Luna,. “Ah, alangkah inginnya aku bisa memandang wajahmu walaupun hanya sekejap
saja.”
Aku
tak bisa berkata apa-apa lagi. Tenggorokanku terasa sakit menahan haru.
Ah Luna, seandainya saja engkau bisa melihat, bisikku dalam hati.
Usai pernikahan aku harus mengikuti Mas Wiem
pindah ke Cianjur dan terpaksa aku keluar dari pekerjaanku karena
aku tidak mau berpisah dengan suamiku walaupun aku menyukai pekerjaanku. Enam
bulan sudah aku menikah bersama mas Wiem dan menikmati kehidupanku sebagai
seorang ibu rumah tangga hingga akhirnya ibu meneleponku memberitahu Luna
meninggal.
Tiba
di Sumedang, ibu menyambutku dengan ceritanya. Dua bulan setelah pernikahanku, Luna pulang kembali ke desa dan tinggal
bersama neneknya. Luna mengatakan dirinya sering merasa kesepian setelah aku menikah.
Luna tidak punya teman bercakap-cakap lagi seperti dulu. Akhirnya dia memilih
pulang kedesa dan menemani neneknya yang telah semakin tua. Namun baru empat
bulan didesa, tiba-tiba datang berita dari desa bahwa Luna meninggal. Luna hanyut dibawa arus sungai yang deras.
Mayatnya ditemukan dua hari kemudian. Mengambang dan tersangkut pada akar-akar
pohon besar yang tumbuh dipinggir sungai. Ayah dan ibuku pergi ke desa dan mengantarkan hingga keperistirahatan Luna yang
terakhir.
Esok harinya aku datang sendirian ke desa dimana Luna tinggal.
Sebuah desa yang tenang dan begitu teduh. Rumah nenek Luna terletak tidak jauh
dari sungai. Aku sempat melihat sungai dimana Luna hanyut hingga membawanya kepada kematiannya. Aku
merasa ngeri ketika melihat arus sungai
yang begitu deras. Aku membayangkan tubuh Luna hanyut timbul tenggelam dibawa
arus sungai yang begitu kejam menelan nyawa gadis malang itu. Tak kuduga, Luna akan mengalami
nasib setragis itu. Aku teringat dengan cerita-cerita manis romantis yang
ketika kecil dulu sering kubacakan untuk Luna.
Bi Ifah masih ada dirumahnya. Ibu
mengijinkannya untuk tetap tinggal di
desa hingga selesai mengurus pemakaman Luna dan segala sesuatunya.
“Mbak Noni......” BI ifah menyambutku
dengar isak tangisnya.
Mataku pun berkaca-kaca. Aku merasakan
kesedihan yang mendalam menguasai perasaanku. Aku ingat, betapa baiknya Luna
padaku. Betapa sayangnya Luna padaku. Sayang, Tuhan memanggilnya begitu cepat.
“Kasihan anak itu.” Kata Bi Ifah sambil menangis.
“Ya.” sahutku.
“Akhir-akhir ini Luna sering sekali
melamun.” Bi Ifah menuturkan. “Dia sering menghabiskan waktunya duduk-duduk
ditepi sungai. Neneknya sering mengingatkannya agar berhati-hati.”
Bi Ifah menghapus airmata disudut
matanya. “Luna suka duduk-duduk ditepi sungai tanpa melakukan apa-apa. Hingga
suatu hari dia tergelincir dan masuk
kedalam sungai. Saat itu air sungai sedang deras. Luna terbawa hanyut. Penduduk
yang berusaha menolong tak dapat menyelamatkannya. Mayat Luna ditemukan dua
hari kemudian.”
Aku mengigit bibir menahan tangis.
Rasanya tak percaya semua itu terjadi pada Luna.
“Mbak Noni, ada sesuatu hal yang ingin
bibi ceritakan pada mbak Noni. Mengenai hal lain dari Luna sebelum dia
meninggal.” kata bi Ifah tiba-tiba.
Matanya yang basah menatapku dalam. “Luna selalu merasa berdosa kepada Mbak
Noni. “
Aku membalas tatapan Bi Ifah tak
mengerti.
“Luna merasa berdosa pada Mbak Noni
karena dia selalu saja mencintai lelaki yang sama dengan yang dicintai Mbak
Noni. Dulu ketika Mas Pengkuh menjadi
kekasih mbak Noni, sering datang kerumah, Luna selalu merasa gelisah. Ketika
Mas Pengkuh memberinya kado berisi tape
dan kaset-kaset, Luna merasa Mas Pengkuh mencintainya. Dia mengira Mas Pengkuh memberikan semua itu karena mencintainya. Ah,
Bi Ifah tak bisa menjelaskan kepadanya. Bi Ifah hanya mengatkan kalau Mas Pengkuh
milik Mbak Noni. Ketika Mbak Noni putus dengan Mas Pengkuh, Luna ikut menangis
dikamarnya seakan-akan dirinya sendiri yang putus cinta. Lalu kemudian datang
Mas Wiem. Kembali Luna mencintai Mas Wiem. Luna begitu terpikat dengan calon
suami Mbak Noni. Lagi-lagi kebaikan hati Mas Wiem disalah-artikan oleh Luna. Ketika akhirnya Mas
Wiem menikah dengan Mbak Noni, Luna
merasa kecewa dan patah hati. Dia jadi sering merasa gelisah dan selalu
melamun.”
Bi Ifah menghapus airmatanya. “Maafkan
Bibi, Mbak Noni. Seharusnya semua ini tidak bibi ceritakan kepada Mbak Noni,.
Tapi Bibi tak bisa menutupi semua ini.
Perasaan Luna normal seperti gadis lainnya. Hanya sayangnya dia selalu
menempatkan cintanya pada tempat yang salah.”
Aku merasakan haru biru dalam hatiku. Kubayangkan cinta yang tumbuh dalam hatiku.
Kubayangkan cinta yang tumbuh dalam hati Luna. Aku sadar cinta bisa tumbuh
dalam hati siapa saja. Aku tak bisa
menyalahkan Luna. Apa yang tumbuh dalam
hatinya wajar dan normal. Ah Luna, tak
kukira bila selama ini engkau selalu mencintai lelaki yang sama denganku.
Dipemakaman Luna aku tak sanggup menahan
airmataku. Kesedihan yang dirasakan Luna ketika kasihnya tak sampai, tiba-tiba menyelinap masuk kedalam hatiku. Aku bisa merasakan
ada luka didalam hati yang putih itu. Kubayangkan alangkah pedih dan perihnya
luka itu ketika tak ada seorangpun yang membalutnya. Airmataku mengalir semakin
deras. Aku merasa Luna ada didekatku. Ikut menangis bersamaku.
--- 000 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar