Minggu, 12 Mei 2013

Luna




Pagi-pagi  telepon berbunyi nyaring. Ibu  memberitahu bahwa Luna kemarin sore meninggal. Hanyut dibawa air sungai yang deras. Mayatnya baru kemarin sore ditemukan. Aku terhenyak mendengar berita itu. Luna, gadis yang selama ini telah kuanggap saudaraku sendiri, yang selalu menemani hari-hariku ketika aku masih tinggal bersama ibuku di Sumedang, kini telah pergi. Aku harus segera pulang ke Sumedang.
“Luna meninggal.” Kataku pada mas Wiem suamiku.
Mas Wiem menatapku seolah tak percaya.  “Apa? Meninggal? Kenapa?”
“Hanyut kebawa air sungai.” Sahutku. “Aku akan pulang ke Sumedang hari ini.”
“Ya, aku menyusul nanti  siang. Aku  tidak bisa bolos kerja,  masih banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan hari ini. Sampaikan permohonan maafku pada ibu.” Kata  mas Wiem.
“Ya.” Sahutku.
Aku bergegas menyiapkan sarapan pagi, mandi dan berkemas akan ke Sumedang. Sepanjang  perjalanan, aku dibuai ingatanku kepada Luna. Aku teringat pada bunga-bunga yang indah bermekaran disekeliling rumah ibuku di Sumedang. Luna yang merawat bunga-bunga dan  tanaman-tanaman itu.  Karena ketelatenannya membuat rumah selalu kelihatan segar.  Namun kini  yang merawat bunga-bunga itu  telah pergi. 
Terakhir kali  aku melihat Luna pada hari perkawinanku enam bulan lalu. Aku melihat Luna sehat dan tampak bahagia. Tak kusangka, ternyata itulah pertemuanku yang terakhir dengan dirinya yang sudah kuanggap saudaraku sendiri. Mataku terasa basah.  Aku merasa  kehilangan seorang saudara sekaligus sahabat baikku yang telah kukenal sejak aku masih kanak-kanak.
Ketika pertama kali Luna diajak kerumahku oleh Bi Ifah, pembantu yang telah lama bekerja dikeluargaku. Aku memandang sosok gadis kecil itu dengan perasaan iba. Luna usianya empat tahun dibawahku. Wajahnya manis. Kulitnya kuning bersih. Tubuhnya kecil dan kurus. Yang membuatku merasa iba, kedua matanya buta sejak lahir. Luna adalah keponakan Bi Ifah. Kedua orangtuanya telah lama meninggal dunia.
Bi Ifah kerap  bercerita tentang Luna kepada orangtuaku.  Ketika Luna berusia sepuluh tahun dia diajak oleh ayah ibuku untuk tinggal bersama kami. Selama ini Luna tinggal dengan neneknya di desa. Ayahku yang mengharapkan Luna tinggal bersama kami. Menurut ayah, lebih baik Luna disekolahkan di SLB. Dengan bersekolah Luna bisa melakukan banyak hal daripada diam saja dirumah tanpa mengerjakan apa-apa. Lagi pula dengan tinggal bersama kami, beban neneknya yang telah tua akan  berkurang.
Namun ketika hal itu disampaikan pada Luna, gadis kecil itu menolak. Luna mau tinggal bersama kami namun  dia tidak mau bersekolah. Aku tak mengerti kenapa Luna tidak mau sekolah sepertiku. Dengan bersekolah di SLB, Luna akan bisa menulis dan membaca. Dia pun akan dilatih mengerjakan berbagai macam keterampilan yang akan dibutuhkannya setelah dewasa nanti. Dia bisa menjadi anak yang pintar dan mandiri seperti anak-anak normal lainnya. Namun Luna tak bisa dipaksa. Dia tetap tidak mau bersekolah dan memilih membantu-bantu pekerjaan dirumah.  
Tak banyak yang bisa kami harapkan dari Luna untuk membantu pekerjaan-pekerjaan rumah. Ibuku merasa tak tega melihatnya ikut membantu pekerjaan rumah sedangkan untuk berjalan kesana-kemaripun Luna harus berjalan dibantu sebuah tongkat sambil meraba-raba. Rumahku cukup besar dengan halaman yang luas. Disekeliling rumah kami penuh dengan aneka macam tumbuhan dan pot-pot bunga koleksi ibuku. Ide itu datang dari ibuku. Beliau melihat pekerjaan merawat bunga tidak terlalu rumit bagi seorang gadis seperti Luna. Ternyata dengan senang  hati Luna menerima pekerjaan itu. Setiap pagi Luna memeriksa pot-pot bunga dan memotong daun-daunnya yang mengering. Dia pun membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh disela-sela tanaman. Pekerjaannya teliti sekali.
Aku senang Luna memiliki kegiatan. Sore-sore ketika kami sudah mandi, aku suka mengajak Luna duduk-duduk diteras samping sambil membacakan cerita-cerita menarik dari buku-buku cerita. Koleksi buku bacaanku banyak. Aku senang bisa membacakan cerita buat Luna. Sambil membaca, aku sesekali memperhatikan ekspresi wajahnya. Wajah gadis kecil itu kelihatan penuh minat  pada cerita-cerita yang kubacakan untuknya. Cerita beragam yang sengaja kupilihkan untuk Luna. Disamping cerita wayang, Luna pun menyukai cerita manis tentang seorang gadis yang baik hati yang diusia dewasanya bertemu dengan pangeran impiannya yang membawanya kedalam sebuah kehidupan perkawinan yang bahagia.
“Mbak  Noni pintar.” kata Luna suatu saat begitu aku selesai membacakan sebuah cerita untuknya. “Mbak Noni pandai bercerita. Cerita-ceritanya semuanya menarik dan mengesankan.”
“Aku  membaca buku.” sahutku. “Aku memiliki banyak buku bacaan menarik.”
“Alangkah senangnya memiliki sepasang mata yang sehat dan normal.” bisik Luna lirih.
Aku  memeluknya erat. Rasa iba pada gadis  itu membuatku merasa sayang sekali padanya. Aku ingin Luna tidak menyesali keadaan dirinya. Aku ingin Luna bersyukur kepada Tuhan bahwa Dia, Yang Maha Pengasih, masih memberikan karunia lain untuk dirinya.
Sore-sore ketika baru selesai tidur siang, aku sering terjaga mendengar seseorang bersenandung diluar kamarku dekat taman diteras samping. Suaranya lembut dan merdu. Aku senang mendengar suara Luna. Dia sering menyanyikan lagu-lagu yang diputar ditelevisi ataupun di radio dan bisa menghafalnya dengan baik.
“Suaramu bagus, Luna.”  pujiku suatu hari.
Sudah cukup lama aku berdiri dibelakangnya memperhatikannya menyirami bunga-bunga yang berjejer diteras samping sambil bersenandung lembut menyanyikan sebuah lagu yang sering kusenandungkan. Luna menghentikan pekerjaannya. Dia menoleh kearahku dan tersenyum.
“Kau pasti sudah tahu aku berdiri disini sejak tadi.” kataku sambil melangkah mendekatinya.
“Aku menyanyikan lagu itu karena tahu Mbak Noni suka lagu itu.” sahut Luna manis.
Ketika  menginjak remaja aku menjadi agak jarang bergaul dengan Luna. Luna masih setia dengan pekerjaannya sementara itu kegiatanku mulai beragam. Pulang sekolah, aku ikut les Bahasa Inggris, latihan basket, main tenis ataupun kerumah teman belajar bersama. Disamping itu aku juga memiliki Pengkuh  yang sering bersama-sama denganku. Pengkuh  senang pada Luna. Dia suka mengajak Luna bercakap-cakap. Aku memperhatikan Luna seakan-akan malu bila didekati Pengkuh  atau diajak bercakap-cakap. Tapi lama kelamaan Luna bisa diajak bergaul dan akrab dengan Pengkuh. Aku senang Pengkuh  bisa dekat dengan seluruh anggota keluargaku.
Suatu  hari Pengkuh  datang membawa sebuah bungkusan yang dibungkus  kertas kado warna merah dengan motif bunga mawar yang cantik.
“Aku membelikan ini untuk Luna.” kata Pengkuh.
“Apa itu?”
“Tape kecil dan beberapa buah kaset. Mudah-mudahan Luna menyukainya.” Kata Pengkuh.
“Oh Pengkuh, kau baik sekali. Luna pasti senang menerima pemberianmu ini.” Ucapku  gembira melihat kebaikan Pengkuh.
“Katakan saja benda itu dari kita berdua.” kata  Pengkuh sambil tersenyum.
Ketika malam harinya aku memberikan kado itu pada Luna, Luna menerimanya dengan wajah haru.
“Dari Pengkuh.” kataku jujur meskipun Pengkuh  ingin aku mengatakan kado itu dari kami berdua.
“Mas Pengkuh baik. Dia kasihan padaku karena aku buta.” bisik Luna penuh haru.
“Seperti aku, Pengkuh  juga sayang sama kamu, Luna.”
Kaset-kaset yang dibelikan Pengkuh  adalah  lagu-lagu pop sentimentil.  Sering aku mendengar Luna mengulangi lagu-lagu itu dengan penuh penghayatan bila dia sedang duduk diteras samping yang menghadap ke kebun. Aku memperhatikannya dengan seksama. Luna tidak sekedar menyanyi. Dia begitu menghayati setiap lagu yang dinyanyikannya dengan penuh perasaan. Aku merasakan perasaan Luna ada dalam lagu itu. Hanyut dalam syair yang dilantunkannya. Aku merasakan Luna tengah jatuh cinta. Jatuh cinta. Ah, Luna sudah berusia lima belas tahun. Wajar bila dia sudah merasakan cinta dalam hatinya karena perasaannya pasti tidak jauh berbeda dengan perasaan gadis-gadis lain seusianya. Tapi pada siapa dia jatuh cinta? Luna jarang keluar rumah. Aku tidak melihat Luna punya kenalan seorang pemuda.
“Rupanya Luna sedang jatuh cinta.” kataku pada Bi Ifah didapur. Bi Ifah menghentikan pekerjaannya yang tengah memotong-motong wortel untuk sup.
“Kenapa Mbak Noni berkata begitu?” tanya Bi Ifah pelan.
“Aku bisa merasakannya.” sahutku.
Bi Ifah tidak menyahut. Namun rupanya ucapanku meninggalkan kesan dihatinya. Sebelum meninggalkan dapur aku melihat Bi Ifah seperti melamun.
Luna hampir kulupakan ketika aku sibuk mempersiapkan ujian SMA-ku yang akan kuhadapi. Pengkuh puln  mulai jarang datang kerumah karena dia pun harus pula mempersiapkan ujian kelulusan SMA seperti aku.
“Kenapa Mas Pengkuh   jarang datang kemari?” tanya Luna tiba-tiba disuatu malam ketika kami sedang makan malam berdua.
“Dia sibuk menghapal untuk persiapan ujian akhir SMA.” sahutku. “Sama sepertiku, dia pun mulai membatasi kegiatan-kegiatannya agar lebih konsentrasi pada ujian yang akan kami hadapi.”
“Oh.” Luna bergumam pelan.
Aku merasakan Luna masih ingin mengucapkan sesuatu. Dia mengunyah makanannya begitu pelan-pelan dan seakan tengah melamun. “Kenapa Luna?”
“Tidak apa-apa.” Luna menyahut lirih.
Hubunganku dengan Pengkuh  putus ketika kami sudah mulai kuliah disemester kedua. Hatiku sedih karena aku mencintainya. Tapi aku tak mau memaksakan diri. Pengkuh  telah menemukan gadis lain dan melupakan aku. Air mataku jatuh berhamburan. Kuceritakan kesedihanku pada Luna. Luna memelukku erat. Dia ikut menangis bersamaku. Wajahnya mengerut penuh kepedihan.
“Mbak Noni harus tabah. Mbak Noni jangan bersedih,.” hibur Luna. “Siapa tahu nanti ada lelaki lain yang lebih baik, yang lebih mencintai Mbak Noni.”
Aku memerlukan waktu hampir tiga  tahun lebih untuk memperoleh seorang pengganti Pengkuh. Barangkali perasaanku yang keterlaluan. Begitu sulitnya aku melupakan seorang lelaki seperti Pengkuh, yang walaupun  penuh perhatian namun sudah jelas tega mengkhianati cintaku.  Atau mungkin karena sifatku yang sulit jatuh cinta dan membuka hatiku pada seorang lelaki.
Pertemuanku dengan mas Wiem  kusyukuri sebagai karunia-Nya. Setelah bertemu dengan mas Wiem, aku malah  bersyukur putus dengan Pengkuh  karena ternyata Tuhan mempertemukanku dengan lelaki lain yang lebih baik, yang lebih menyayangiku.  Malah aku menyesal dulu menangis berkepanjangan. Sayang airmataku kubuang percuma untuk menangisi lelaki yang sudah jelas mengkhianatiku.
Luna kuberitahu perihal hubunganku dengan mas Wiem.  Luna senang aku sudah memperoleh seorang pengganti Pengkuh. Dia berharap, bila aku telah lulus dan bekerja nanti aku akan menikah dengan mas Wiem.
“Do’akan aku, Luna.” kataku haru.
“Kudo’akan.” sahut Luna lembut. “Aku selalu berdo’a semoga mbak Nonio selalu  bahagia.”
Mas Wiem  selalu  baik dan manis pada Luna dan menganggapnya sebagai bagian dari keluargaku juga. Dia mengajak Luna bercakap-cakap tentang segala hal. Waktu kuliah mas Wiem  aktif sebagai anggota pencinta alam dan klub olah raga. Dia sering naik gunung atau ikut olah raga arus jeram. Pengalamannya itu suka diceritakan pada Luna yang mendengarkan ceritanya dengan penuh minat.
Mas Wiem  pintar melukiskan keindahan alam yang pernah dilihatnya. Gunung yang tinggi dan curam yang kubayangkan sebagai sebuah tempat yang mengerikan bila melihat kebawah, menjadi sebuah tempat yang sungguh mempesonakan ketika mas Wiem  menceritakan keindahan tempat yang pernah dikunjunginya. Aku tak dapat membayangkan alangkah takutnya menaiki perahu yang meluncur diair deras, tapi ketika mendengarkan cerita mas Wiem, hasratku tergugah. Rasanya ingin juga aku mencoba olah raga itu. Makanya aku tidak merasa heran bila Luna suka mengulang-ulang cerita yang pernah didengarnya dari mas Wiem  itu bila kami sedang duduk-duduk santai diwaktu sengggang. Luna kelihatan begitu terkesan sekali.
Akhirnya aku menikah juga dengan mas Wiem beberapa bulan  setelah aku selesai kuliah dan bekerja pada sebuah bank swasta di Sumedang.
“Aku mendengar semua orang mengatakan engkau cantik, Mbak Noni.” kata Luna pelan ditelingaku dihari perkawinanku.
Aku telah selesai dirias. Kuhadapkan wajahku memandang wajah Luna. Aku merasakan keharuan yang mendalam. Luna tidak melihat dandananku yang  jauh berbeda dari hari-hari biasanya.
“Do’akan agar aku bahagia bersama Mas Wiem, Luna.” bisikku ditelinganya.
Luna mengangguk-anggukan kepalanya pelan. Kedua tangannya kurasakan membelai kedua sisi  pipiku. Untuk pertamakalinya dalam hidupku aku merasakan usapan tangan Luna diwajahku. Begitu damai kurasakan ketika jari jemarinya yang kurus menelusuri wajahku pelan-pelan dari mulai dahi hingga ujung daguku.
“Kulitmu begitu halus dan lembut, Mbak Noni. Aku yakin kau memang cantik sekali seperti kata orang-orang,” bisik Luna,. “Ah, alangkah inginnya aku bisa memandang wajahmu walaupun hanya sekejap saja.”
Aku  tak bisa berkata apa-apa lagi. Tenggorokanku terasa sakit menahan haru. Ah Luna, seandainya saja engkau bisa melihat, bisikku dalam hati.
Usai pernikahan aku harus mengikuti Mas Wiem  pindah ke Cianjur dan  terpaksa aku keluar dari pekerjaanku karena aku tidak mau berpisah dengan suamiku walaupun aku menyukai pekerjaanku. Enam bulan sudah aku menikah bersama mas Wiem dan menikmati kehidupanku sebagai seorang ibu rumah tangga hingga akhirnya ibu meneleponku memberitahu Luna meninggal.
 Tiba di Sumedang, ibu menyambutku dengan ceritanya. Dua bulan setelah pernikahanku,  Luna pulang kembali ke desa dan tinggal bersama neneknya. Luna mengatakan  dirinya  sering merasa kesepian setelah aku menikah. Luna tidak punya teman bercakap-cakap lagi seperti dulu. Akhirnya dia memilih pulang kedesa dan menemani neneknya yang telah semakin tua. Namun baru empat bulan didesa, tiba-tiba datang berita dari desa bahwa Luna meninggal.  Luna hanyut dibawa arus sungai yang deras. Mayatnya ditemukan dua hari kemudian. Mengambang dan tersangkut pada akar-akar pohon besar yang tumbuh dipinggir sungai. Ayah dan ibuku pergi ke desa dan  mengantarkan hingga keperistirahatan Luna yang terakhir.
Esok harinya aku  datang sendirian ke desa dimana Luna tinggal. Sebuah desa yang tenang dan begitu teduh. Rumah nenek Luna terletak tidak jauh dari sungai. Aku sempat melihat sungai dimana Luna hanyut  hingga membawanya kepada kematiannya. Aku merasa ngeri ketika  melihat arus sungai yang begitu deras. Aku membayangkan tubuh Luna hanyut timbul tenggelam dibawa arus sungai yang begitu kejam menelan nyawa gadis malang itu. Tak kuduga, Luna akan mengalami nasib setragis itu. Aku teringat dengan cerita-cerita manis romantis yang ketika kecil dulu sering kubacakan untuk Luna.
Bi Ifah masih ada dirumahnya. Ibu mengijinkannya untuk  tetap tinggal di desa hingga selesai mengurus pemakaman Luna dan segala sesuatunya.  
“Mbak Noni......” BI ifah menyambutku dengar isak tangisnya.
Mataku pun berkaca-kaca. Aku merasakan kesedihan yang mendalam menguasai perasaanku. Aku ingat, betapa baiknya Luna padaku. Betapa sayangnya Luna padaku. Sayang, Tuhan memanggilnya begitu cepat.
“Kasihan anak itu.” Kata  Bi Ifah sambil menangis.
“Ya.” sahutku.
“Akhir-akhir ini Luna sering sekali melamun.” Bi Ifah menuturkan. “Dia sering menghabiskan waktunya duduk-duduk ditepi sungai. Neneknya sering mengingatkannya agar berhati-hati.”
Bi Ifah menghapus airmata disudut matanya. “Luna suka duduk-duduk ditepi sungai tanpa melakukan apa-apa. Hingga suatu  hari dia tergelincir dan masuk kedalam sungai. Saat itu air sungai sedang deras. Luna terbawa hanyut. Penduduk yang berusaha menolong tak dapat menyelamatkannya. Mayat Luna ditemukan dua hari kemudian.”
Aku mengigit bibir menahan tangis. Rasanya tak percaya semua itu terjadi pada Luna.
“Mbak Noni, ada sesuatu hal yang ingin bibi ceritakan pada mbak Noni. Mengenai hal lain dari Luna sebelum dia meninggal.”  kata bi Ifah tiba-tiba. Matanya yang basah menatapku dalam. “Luna selalu merasa berdosa kepada Mbak Noni. “
Aku membalas tatapan Bi Ifah tak mengerti.
“Luna merasa berdosa pada Mbak Noni karena dia selalu saja mencintai lelaki yang sama dengan yang dicintai Mbak Noni. Dulu ketika Mas Pengkuh  menjadi kekasih mbak Noni, sering datang kerumah, Luna selalu merasa gelisah. Ketika Mas Pengkuh  memberinya kado berisi tape dan kaset-kaset, Luna merasa Mas Pengkuh  mencintainya. Dia mengira Mas Pengkuh  memberikan semua itu karena mencintainya. Ah, Bi Ifah tak bisa menjelaskan kepadanya. Bi Ifah hanya mengatkan kalau Mas Pengkuh milik Mbak Noni. Ketika Mbak Noni putus dengan Mas Pengkuh, Luna ikut menangis dikamarnya seakan-akan dirinya sendiri yang putus cinta. Lalu kemudian datang Mas Wiem. Kembali Luna mencintai Mas Wiem. Luna begitu terpikat dengan calon suami Mbak Noni. Lagi-lagi kebaikan hati Mas Wiem  disalah-artikan oleh Luna. Ketika akhirnya Mas Wiem  menikah dengan Mbak Noni, Luna merasa kecewa dan patah hati. Dia jadi sering merasa gelisah dan selalu melamun.”
Bi Ifah menghapus airmatanya. “Maafkan Bibi, Mbak Noni. Seharusnya semua ini tidak bibi ceritakan kepada Mbak Noni,. Tapi  Bibi tak bisa menutupi semua ini. Perasaan Luna normal seperti gadis lainnya. Hanya sayangnya dia selalu menempatkan cintanya pada tempat yang salah.”
Aku merasakan haru biru dalam hatiku.  Kubayangkan cinta yang tumbuh dalam hatiku. Kubayangkan cinta yang tumbuh dalam hati Luna. Aku sadar cinta bisa tumbuh dalam hati siapa saja.  Aku tak bisa menyalahkan Luna.   Apa yang tumbuh dalam hatinya wajar dan normal.  Ah Luna, tak kukira bila selama ini engkau selalu mencintai lelaki yang sama denganku.
Dipemakaman Luna aku tak sanggup menahan airmataku. Kesedihan yang dirasakan Luna ketika kasihnya tak sampai, tiba-tiba  menyelinap masuk kedalam hatiku. Aku bisa merasakan ada luka didalam hati yang putih itu. Kubayangkan alangkah pedih dan perihnya luka itu ketika tak ada seorangpun yang membalutnya. Airmataku mengalir semakin deras. Aku merasa Luna ada didekatku. Ikut menangis bersamaku.
--- 000 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar