Jumat, 10 Mei 2013

SENANDUNG PUCUK-PUCUK PINUS





Jalanan yang dilaluinya berkelak-kelok. Beberapa kali ada tikungan tajam yang membuat ban berderit ketika berbelok. Disisi kiri terbentang pesawahan yang luas. Padi yang menghijau terasa menyejukan pandangan. Sementara disebelah kanan hutan pinus diperbukitan memberikan keindahan tersendiri.
Lintang mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia tidak merasa harus terburu-buru sampai dikantornya yang baru. Hari ini dia akan melapor setelah mendapat surat perintah penugasan dikantor kecamatan.
Setelah melewati jalanan yang berkelak-kelok akhirnya jalan yang dilaluinya lurus dan landai. Betapa menyenangkannya ketika Lintang bisa menambah kecepatan dan mobilnya meluncur cepat memberikan kenikmatan tersendiri baginya dalam mengemudikan mobilnya. Jarang sekali dia berpapasan dengan mobil lain.
Lintang mengurangi kecepatan ketika dia melihat papan nama kantor kecamatan. Dia melihat jam tangannya. Hanya dua puluh  menit  perjalanan dari rumahnya. Dugaan kantor kecamatan jauh dari rumahnya yang membuatnya terpikir untuk menyewa rumah pudar sudah. Dia tetap bisa tinggal dirumah ibunya dan tidak perlu merasa khawatir akan kesiangan.
Lintang memasukan mobilnya kehalaman kantor kecamatan yang cukup luas. Dia turun dari mobilnya.   Sejenak dia   berdiri menatap bangunan kantor kecamatan itu.  Udara segar terasa berhembus menerpa wajahnya. Inilah kantor kecamatan  tempatnya akan mengawali bekerja sebagai pegawai negeri.
Kecamatan Ganeas   berada didaerah perbukitan. Udaranya sejuk dan segar. Letak kantor kecamatan berada pada tanah yang lebih tinggi dari jalanan. Pagar yang tidak terlalu tinggi mengintari kantor kecamatan. Halamannya luas dengan rumput yang menghijau.  Pagar besi bercat putih mengitari sekeliling kantor itu. Sebuah jalan beraspal mengitari halaman kantor kecamatan dari mulai pintu pagar sebelah kiri hingga pintu pagar sebelah kanan. Kendaraan yang masuk dari sebelah kiri dan keluar dari pintu sebelah kanan. Sebatang pohon  flamboyan yang besar dan rindang meneduhi halaman kantor memberikan kesejukan. Disamping kantor kecamatan berdiri puskesmas dengan bangunannya yang bertingkat dua dan dicat putih. Lintang   memasuki  ruangan depan kantor kecamatan itu. Beberapa orang karyawati yang berada diruangan depan menoleh padanya.
“Selamat siang.” Sapa  Lintang.
“Selamat siang.” Sahut seorang karyawati yang  menghampirinya.
“Bisa saya bertemu dengan bapak camat?”
“Oh, bisa. Kebetulan bapak ada didalam. Namun sekarang sedang menerima  tamu. Ditunggu sebentar ya, Bu.” Karyawati itu mempersilahkan Lintang   duduk pada kursi yang ada diruangan itu. 
Diruangan tamu itu ada seperangkat kursi dengan motif bunga yang lembut.  Lintang  duduk menunggu. Ruangan kantor itu sederhana namun bersih. Sesaat dia  teringat pada kantornya di swasta di Bandung sebelum dia diterima sebagai pegawai negeri dan mendapatkan surat penempatan tugas disini. Kantornya yang dulu sebuah kantor konsultan dengan bangunan yang  cukup megah. Namun akhirnya dia keluar dari kantor itu setelah bekerja selama hampir dua tahun karena dia berhasil masuk menjadi pegawai negeri. Sesuai dengan harapan dan keinginan almarhum ayahnya yang menginginkan dirinya menjadi pegawai negeri seperti ketiga kakaknya. Iswandi, Puri, Winda.
“Mari silahkan, Bu. Bapak sudah diberitahu ada tamu.” Suara karyawati itu mengusik  Lintang.
“Oh, terima kasih.” Lintang  bangkit.
Lintang melangkah menuju ruangan camat. Diketuknya  pintu pelan sebelum masuk. Dia mengangguk pada seorang lelaki yang sedang duduk menghadapi mejanya,  mengangguk dan sesaat kemudian dia terpana melihat pria itu. Pria yang sedang duduk menghadapi mejanya dengan pangkat camat didadanya itu pun sama terpana menatapnya.
“Selamat siang, Pak Camat.”  Lintang   tersenyum.
“Selamat siang, Lintang. Kejutan menerima kunjunganmu. Silahkan duduk.”
Bapak Camat bangkit dan duduk pada sofa yang ada diruangannya. Lintang    duduk dihadapannya. Tersenyum menatap pria itu.
“Jadi atasanku sekarang adalah teman kakakku waktu SMA  dulu?” tanya Lintang.
Wiman tersenyum menatapnya. “Laporan dulu, apa maksud kedatanganmu kemari? Apa maksudmu atasanmu adalah kakak kelasmu? Maksudmu, kau bekerja disini?”  tanya Wiman.
Lintang  tersenyum. “Yah, laporanku singkat saja. Aku diterima sebagai pegawai negeri setelah menunggu kesempatan cukup lama dan gagal  tiga kali waktu mengikuti test. Yang  keempat kali barulah aku  berhasil lulus.  Dan pada surat keputusan sebagai  pegawai negeri menempatkan aku disini.”
“Bagus. Selamat datang dan selamat bekerja.”
“Aku masih harus mendapat banyak bimbingan dari bapak camat yang tentunya jauh lebih banyak pengalamannya dari saya. Banyak hal yang masih harus kupelajari.”
“Bila kau tekun, kau akan mendapatkan apa yang ingin kau ketahui. Dan semua itu akan menjadi bekal sebagai pengalaman bekerja buatmu. Pengalaman kerja itu penting karena akan membuatmu lebih fleksibel dalam menjalankan tugas dimanapun engkau ditempatkan.”
“Terima kasih, mudah-mudahan aku bisa melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, pak camat.”
Wiman tertawa. “Oke, bila dalam suasana formal, kau bisa menyebut aku dengan sebutan bapak camat. Namun dalam keadaan non formal, aku tetap  teman kakakmu.”
Lintang    mengangguk.
“Aku mengucapkan selamat kau  berhasil menjadi pegawai negeri. Sebelumnya kau bekerja dimana?”
“Disebuah perusahaan pengembang perumahan. Aku bekerja disana hampir dua  tahun. Namun setiap kali ada test penerimaan pegawai negeri, aku selalu mengikutinya. Bapak tetap mengharapkan aku menjadi seorang pegawai negeri seperti ketiga kakakku. Alhamdulillah, aku akhirnya berhasil mewujudkan keinginan dan harapan bapak, namun sayang bapak tidak sempat melihat bahwa harapan dan keinginannya sudah terkabul….”
“Maksudmu?”
“Bapak meninggal  dua tahun lalu.” Mendadak Lintang   merasa sedih ketika teringat pada almarhum bapaknya yang sejak dia lulus dari perguruan tinggi sangat  mengharapkan dirinya mengikuti jejak ketiga kakaknya,  Iswandi, Puri dan Winda yang menjadi pegawai negeri. Wiman adalah teman sekelas Iswandi, kakak sulungnya,  waktu di SMA.
“Bagaimana kabar ibumu?” tanya Wiman.
“Alhamdulillah,  Ibu sehat. Selama saya bekerja di Bandung, ibu tinggal sendirian. Namun sekarang setelah saya kembali ke Sumedang, saya bisa menemani ibu lagi agar ibu tidak kesepian setelah satu persatu anak-anaknya meninggalkan rumah dan memiliki kehidupan masing-masing”
 “Sampaikan salam saya pada ibumu.”
“Terima kasih. Insya Allah akan saya sampaikan. Ibu pasti senang bila mengetahui bahwa atasan saya adalah seseorang yang sudah kenal dengan keluarga kami.”
“Kabarnya Iswandi sudah menjadi menjadi kepala seksi.”
“Ya, dia sekarang berada di Cilacap.”
“Mulai hari ini kau sudah resmi berkantor disini. Kau tidak perlu khawatir  ditempatkan di kecamatan. Ganeas bukan sebuah kecamatan yang berada di pelosok atau jauh dari pusat kota. Dari pemda sumedang pun hanya sekitar dua puluh menit jarak tempuhnya. Mengawali karier sebagai pegawai di kecamatan akan membuatmu mendapatkan banyak pengalaman yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Yang akan menjadi bekal bagimu untuk menapak kariermu nanti.”
 “Ya.” Sahut Lintang. “Padahal sebelumnya saya  sudah mengira bahwa Ganeas merupakan kecamatan yang jauh dari pusat kota Sumedang.”
“Kau tinggal di Sumedang tapi tidak mengenal daerahmu sendiri.”
“Karena aku dulu jarang bepergian menjelajahi seluruh pelosok Sumedang.”
“Namun sekarang kau akan semakin mengenal daerahmu sendiri. Aku berharap kau betah disini dan bisa menunjukan kerja dengan baik.”
“Mudah-mudahan.” Sahut Lintang. “Sepertinya sekarangpun merupakan awal yang baik, aku tidak mengira, atasanku bapak camat  adalah seseorang  yang pernah aku kenal.”
Wiman tersenyum. “Meja dan kursi untukmu besok sudah ada, jadi mulai besok kau sudah punya   meja dan kursi.”
“Terima kasih.”
“Sekarang temani aku makan siang, oke?”
“Baik.” Lintang tersenyum. Perutnya sendiri terasa lapar.
Mobil dinas camat keluar dari halaman kantor kecamatan. Mobil kijang hitam itu meluncur  dijalanan beraspal yang mulus.  Dikanan kiri jalan banyak tumbuh pohon-pohon pinus. Udara terasa sejuk dan segar.
“Jalanan disini mulus, ya?” tanya Lintang.
“Jalanan disini memang mulus, tapi bila kau melakukan kunjungan ke beberapa desa yang masuk wilayah kecamatan Ganeas, ada beberapa desa yang jalannya  masih bebatuan, belum diaspal.”  Sahut Wiman.  “Sejak dulu pihak kecamatan sudah mengajukan  proposal minta bantuan aspal ke pemda. Dari pihak pemda pun sudah memberikan jawaban akan memberikan bantuan aspal pada dua desa yang diajukan namun sampai sekarang belum terealisasi.”
“Kalau ada  tugas ke lapangan, aku ajak, ya.”
“Oke.”
Mobil memasuki halaman sebuah rumah makan.  Rumah makan itu berdinding bilik dengan penataan yang artistik.  Suasana terasa nyaman dan sejuk. Disamping kiri, ada taman dengan tiga buah pancuran diatas kolam yang menimbulkan bunyi gemercik air.
“Aku merasa diperlakukan istimewa.” Kata Lintang. “Hari pertama bertugas, bapak camat sudah mengajakku makan siang.”
Wiman tersenyum. “Aku belum makan siang. Kebetulan ada kamu. Jadi sekalian saja makan siang sama-sama.”
“Istrimu tidak menyiapkan makan siang dirumah?”
Wiman tertawa. “Belum. Belum ada istri yang menyediakan makan siang untukku.”
“Mas Wim belum menikah? Mana mungkin bapak bupati mengangkatmu menjadi seorang camat bila mas Wim belum memiliki seorang istri?” cetus Lintang. “Lalu bagaimana dengan kegiatan PKK? Bukankah PKK harus dipegang oleh istri camat?”
 “Ada istri sekretaris kecamatan yang menangani kegiatan PKK untuk sementara waktu sambil menunggu aku memiliki seorang pendamping.”  Wiman tersenyum. “Soal aku belum menikah, kejadian ini diluar dugaan aku sebagai manusia yang tidak bisa mengelak dari takdir dan kekuasaan Yang Maha Kuasa. Aku sudah memiliki seorang calon istri yang akan segera kunikahi. Ketika bapak bupati memanggilku dan mengatakan aku akan mendapat tugas baru sebagai seorang camat, aku bilang siap untuk melaksanakan tugas dimanapun. Lalu bapak bupati mengatakan bahwa untuk menjadi seorang camat aku harus menikah dulu, aku harus memiliki pendamping dahulu. Aku mengatakan kepada bapak bupati bahwa aku akan segera menikah, calonku sudah ada,  aku sudah siap akan menikah. Tapi siapa yang bisa menduga apa yang akan terjadi kemudian,  ternyata wanita  itu bukan jodohku. Sebulan  setelah aku dilantik menjadi camat, aku dan Rani, calon istriku itu putus hubungan dan buyarlah rencana pernikahan kami yang sudah direncanakan sejak beberapa bulan sebelumnya.  Nah, bapak bupati pun tidak bisa menyalahkan aku untuk soal yang satu itu karena semua itu diluar dugaan dan kemampuanku sebagai manusia. Apa alasannya rencana perkawinanku dengan Rani batal, biarlah itu menjadi rahasia kami berdua. Aku tidak ingin membicarakannya lagi. Lebih baik aku menatap kedepan, mencari lagi wanita lain dan berharap segera bertemu dengan jodohku.”
“Ya.” Ucap Lintang, ikut menyesalkan apa yang terjadi. Namun dia tidak ingin bertanya lagi, yang mungkin pembicaraan tentang wanita dimasa lalunya membuat Wiman seakan diungkit lagi sehingga membangkitkan kembali sakit hati dan kenangan dimasa lalunya.
Wiman ketawa. “Aku satu-satunya pejabat camat yang belum beristri.”
“Mudah-mudahan saja segera menikah. Bagaimanapun tidak baik seorang pejabat terlalu lama hidup menyendiri. Beban menjadi seorang pejabat, apalagi pejabat yang mendapat tugas didaerah, pasti lebih berat dan memerlukan seorang pendamping. Aku doakan semoga mas Wiman segera menikah.”
“Terima kasih. Mau makan apa?” tanya Wiman.
 “Apa saja deh.”
“Kalau apa saja, pilihannya banyak. Ada ayam goreng, gepuk, sayur asem, karedok, ikan  gurami bakar, sate kambing, sate ayam, dan masih banyak lagi pilihannya………”
“Pak camat pesan apa? Jadi itu juga yang saya pesan.” Ucap Lintang.
“Aku pesan belut goreng, jeroan ayam, tempe bacem, karedok pedas, sayur asem…”
“Saya dengan gepuk saja.”
“Nah, kan pesanannya beda. Kau saja yang menulis pesanannya.”
Wiman menyerahkan daftar menu dan kertas kosong pada Lintang. Lintang menulis  pesanan. Pelayan  mengambil kertas.
“Apa yang sedang kau pikirkan? Apa kamu merasa terkejut bahwa aku belum menikah?” tanya Wiman, membuat Lintang  yang tengah memperhatikan ikan-ikan yang berenang kian kemari didalam kolam, menoleh padanya.
“Ya, sedikit.” Sahut Lintang. 
“Soal jodoh kan mutlak urusan  yang diatas. Aku sendiri sudah berusaha mencari jodohku agar aku bisa segera menikah. Namun mungkin belum waktunya. Kata orang, kalau sudah waktunya nanti juga jodoh akan datang sendiri.” Wiman tersenyum.
Pelayan datang membawa pesanan. Lintang   menikmati nasi dengan gepuk. Ada semangkuk sayur asam yang segar. Dilihatnya Wiman makan dengan daging ayam, jeroan ayam, tempe, sambal, lalapan. Karedok belum dicicipi  Wiman padahal kelihatannya karedok itu segar dan menggugah selera.
“Karedoknya kok belum  dimakan?” tanya  Lintang.
“Belum. “ sahut Wiman. “Mau coba? Dicoba deh.  Karedoknya enak sekali. Tiap kalau aku makan disini, karedok tidak pernah ketinggalan aku  pesan.”
“Boleh dicoba?” tanya Lintang.
“Silahkan.” Wiman menyodorkan piring karedok.
Lintang   mengambil beberapa sendok, dituangkan diatas nasinya. Dia mencobanya. Pedas dan segar.
“Hm, enak dan segar.” Komentar Lintang. Dia mengambil lagi beberapa sendok, menyisakan tinggal separuh. Mendadak dia sadar, dengan siapa dia tengah makan.
“Maaf.” Kata Lintang.
Wiman tersenyum. “Pesan lagi kalau masih kurang.”
“Tidak, sudah cukup. Aku hanya mencicipi saja.”
“Habiskan saja kalau masih mau. Biar aku pesan lagi.”
“Tidak, tidak usah.”
Wiman mengambil mengambil karedok dan menuangkkannya diatas nasinya.
Lintang  tersenyum. Dia menatap Wiman. Wiman juga tengah menatapnya. Keduanya sama-sama tersenyum. Lintang menyambung senyuman dalam hatinya. Dia merasa lucu dengan kejadian hari ini. Pudar sudah bayangannya bahwa dia tidak akan  lebih dari tiga bulan betah  ditempatkan dikantornya ini.

--- 0 ---

Lintang memulai hari-harinya dengan penuh semangat. Dia sudah mulai bisa menyesuaikan diri dengan suasana dikantornya yang sangat berbeda dengan suasana dikantornya yang dulu. Juga mulai bisa menyesuaikan diri untuk bekerja sebagai pelayan masyarakat. Setiap hari dikantor kecamatan sibuk melayani beragam masyarakat dengan segala macam keperluannya, pembuatan  kartu penduduk, pembuatan kartu keluarga, pembuatan surat ijin usaha dan segala macam produk pelayanan pemerintah daerah. Dia sendiri ditempatkan diseksi perekonomian. Suhara, atasannya, kepala seksi perekonomian banyak membantunya memberikan pengarahan terkait pekerjaan yang berhubungan dengan seksi perekonomian. 
“Nampaknya gadis itu serius naksir  pak camat, bukan sekedar suka.” ucap Tuti perlahan pada Aniek.
Lintang   yang tengah menulis dibuku agendanya  mendengar ucapan Tuti. Mendadak dia merasa tertarik mendengar camat disebut. Apalagi dikaitkan dengan seorang gadis. Dia tetap menulis, namun telinganya jadi dipasang ingin mendengarkan percakapan Tuti dan Aniek.  
“Siapa?” Tanya Aniek sambil terus menghitung dengan kalkulator.
“Acha, perawat  di puskesmas sebelah.” Ujar Tuti.
“Oh, itu sih aku sudah lama tahu. Acha sudah lama kok naksir pak camat.” Sahut Aniek santai. “Sejak pak Wiman kemari jadi camat disini, gadis  perawat itu memang  kelihatan sangat menyukai pak camat. Kelihatan dari sikap dan perilakunya.”
“Gadis itu cantik sekali. Cocok dengan pak  camat, ya.”
“Tapi apa pak camat tahu ada gadis perawat yang menyukainya?” Aniek menatap Tuti serius.
“Pastinya tahu dong. Dokter Heri Suharis, kepala puskesmas pernah aku dengar dengan nada bercanda bilang pada  pak camat bahwa ada stafnya yang menyukainya.” Tuti tertawa pelan.
“Lalu pak camat sendiri bagaimana tanggapannya?” Aniek menaruh pekerjaan ditepi meja.
“Biasa saja. Hanya tersenyum. Tidak terlalu menanggapi canda dokter Heri. Namanya juga pejabat. Pasti menjaga image dirinya. Apalagi kalau urusan asmara. Pasti sikapnya sangat hati-hati sekali.  Beliau sikapnya tenang-tenang saja menanggapi candaan  dokter  Heri itu.”
“Sebenarnya disayangkan apabila pak camat belum menikah juga, ya.” Ucap Aniek. “Sebagai pejabat sebaiknya pak camat segera memiliki istri, sebagai pendamping suami dalam menjalankan tugas sehari-hari. Sekarang pun untuk urusan kegiata PKK dan Dharma Wanita, jadinya isteri sekretaris kecamatan yang sibuk. Andai sudah ada ibu camat, kegiatan-kegiatan itu  kan pastinya ditangani oleh   ibu camat.”
Marni datang membawa  photocopian suruhan Tuti, menyerahkannya pada Tuti sehingga mengakhiri percakapan  Tuti dan Aniek. Ketiganya segera sibuk mengurus pekerjaan mereka.
Acha. Nama yang indah. Tuti bilang gadis itu cantik sekali. Yang  mana orangnya?  Ada sedikit rasa penasaran dihati Lintang  ingin mengetahui yang mana perawat yang bernama Acha itu. Puskesmas  letaknya bersebelahan dengan kantor kecamatan. Pegawai di puskesmas itu tidak terlalu   banyak. Apakah  gadis yang rambutnya sebahu ataukah yang rambutnya ikal bergelombang? 
Lintang pernah dua kali melihat kedua pegawai  puskesmas itu. Keduanya sama cantiknya.  Sepertinya keduanya masih gadis. Barangkali salah satu dari mereka bernama Acha. Kenapa aku jadi penasaran mendengar perbincangan Tuti dan Aniek? Pikir Lintang.  Apa urusannya denganku bila ada gadis  yang menyukai Wiman? Wiman masih bujangan. Dia sudah menjadi seorang camat. Wajar apabila banyak gadis yang menyukai dan mengharapkannya. Lintang  memasukan buku agenda kedalam tasnya. Dia melihat jam tangannya. Pukul sembilan kurang lima belas menit. Dia mendapat tugas rapat di balai desa. Lintang   menyandang tasnya.
“Saya rapat dulu di balai desa, ya.” Kata Lintang   pada Aniek yang mejanya bersebelahan dengan mejanya.
“Ya, bu.” Sahut Aniek, mengangkat wajahnya sebentar dari kalkulator yang sedang dipegangnya, lalu  sibuk lagi dengan pekerjaannya.
Lintang berjalan menuruni halaman kantor menuju motornya. Karena tugas yang sering membuatnya harus pergi ke desa-desa, dia menyimpan mobilnya digarasi dan sesekali saja digunakan. Mobil itu adalah peninggalan almarhum ayahnya yang selama ini dipakainya sejak dia bekerja di Bandung hingga dia kembali ke Sumedang dan bekerja di Sumedang. Untuk ke kantor dia menggunakan  motor. Motor yang dibelinya bulan lalu secara kredit untuk jangka waktu selama tiga tahun. Dulu, dia takut naik motor. Beruntung sekarang sudah ada skutermatik yang membuatnya tidak takut lagi naik motor karena mengemudikan motor itu jauh lebih mudah. Dengan menggunakan motor dia bisa lebih cepat melakukan perjalanan. 
Lintang  melajukan motornya perlahan keluar dari halaman kantor kecamatan. Jalanan didepan kantor kecamatan tidak begitu ramai. Namun harus hati-hati karena orang mengemudikan motor dan mobil seringkali dengan kecepatan tinggi.
Bruaaakkk. Lintang   tercekat. Motor yang dikendarai dua orang wanita itu terjungkal ketika akan berbelok ke puskesmas. Sebuah mobil dari arah belakang menyenggol motor itu. Bergegas Lintang  menghentikan motornya dan   memarkir motornya ketepi jalan. Dia mengenal  kedua wanita itu adalah  pegawai puskesmas.
“Toloong.”  Lintang   berteriak.
Beberapa orang pegawai kecamatan berlarian keluar. Pengendara mobil  keluar  memburu pada dua wanita itu yang tersungkur diatas aspal.
”Ada tabrakan.” Beberapa pegawai  kecamatan yang kebetulan berada diluar kantor berteriak.
Pegawai  puskesmas memapah kedua rekannya yang  kecelakaan.
“Acha! Yanti!” kata pegawai puskesmas  itu.
Acha. Mendadak Lintang  teringat pada pembicaraan Tuti dan Aniek tadi. Gadis berkulit  putih bersih yang mengemudikan motor itu, meringis kesakitan. Celana panjang seragamnya robek pada bagian lutut. Rekannya yang seorang lagi meringis. Air matanya keluar. Pipinya tergores aspal dan  berdarah.
“Maaf.” Kata  pria pengemudi mobil itu. Dia membantu kedua wanita yang tersungkur itu. Wajahnya nampak cemas dan khawatir. Dia ikut sibuk membantu kedua perempuan yang tersungkur itu. 
“Kita selesaikan didalam, pak.” Kata pegawai puskesmas.
“Baik” sahut pria itu. Dia menatap Lintang yang masih berdiri disana.  “Terima kasih, Mbak.” Ucapnya, lalu  bergegas mengikuti pegawai puskesmas  yang berjalan menuju  puskemas.
Lintang hanya mengangguk dan sesaat mengawasi lelaki itu. Lalu dia    menaiki motornya lagi menuju balai desa. Acha. Jadi gadis yang tadi yang bernama Acha.  Cantik dan nampak lembut. Risman  masih ingat raut wajahnya yang meringis menahan sakit ketika bangkit dari aspal. Lutut dan kakinya mungkin terluka. Celama panjang seragamnya nampak   robek pada bagian lututnya.
Lintang   memasuki halaman balai desa. Sekar,   Kepala desa yang baru dilantik dua bulan lalu nampak berdiri didepan kantornya. Lintang   mengenalnya. Kepala desa wanita  itu sudah beberapa kali  ke  kantor kecamatan dan bercakap-cakap dengannya.
Lintang menyukai wanita cantik itu yang kelihatan ramah dan gesit dalam melaksanakan tugasnya. Mungkin hal itu yang menjadi faktor dia terpilih menjadi kepala desa, mendapat perolehan suara yang jauh lebih besar melampaui kedua rivalnya dalam pemilihan kepala desa yang lalu. Saat Sekar mencalonkan sebagai kepala desa, Lintang belum masuk ke kecamatan. Namun dia mendengar pembicaraan dari pegawai-pegawai dikecamatan bahwa kepala desa wanita itu mendapatkan kemenangan dengan perolehan suara yang paling besar, jauh melebihi perolehan suara yang didapat kedua rivalnya.
Setelah beberapa kali bertemu dengan Sekar, Lintang pun  mengagumi wanita ini. Walaupun penampilannya berwibawa, namun orangnya sangat ramah. Lintang sudah mendengar keberhasilan wanita ini dalam memimpin desanya. Dia juga beberapa kali membaca profil wanita ini dalam beberapa media lokal. Kenyataannya, Sekar memang cukup menarik dan menyenangkan. Dan masih melajang, diusinya yang sudah tigapuluh lima tahun. 
“Selamat  siang, Bu Lintang.”  Sapa Sekar ramah. Senyumannya tersungging dibibirnya.
 “Selamat siang, Bu  kades. Rapatnya sudah dimulai, ya?”
“Baru saja akan dimulai. Mari masuk,  bu Lintang.”
Keduanya berjalan menuju ruang rapat.
“Barusan ada pegawai puskesmas  yang tertabrak mobil. Aduh, saya sampai kaget.” Kata Lintang yang masih teringat kejadian yang baru saja dilihatnya. Lintang    menceritakan kejadian itu sekilas pada Sekar.
“Siapa perawat yang tertabrak itu?” Tanya Sekar penuh perhatian.
“Kalau tidak salah dengar, salah satunya bernama Acha.”
“Acha? Oh, ya. Saya tahu gadis perawat itu. Kasihan. Apanya yang terluka?”
“Kakinya.”
“Bagaimana keadaan pegawai puskesmas yang satunya lagi?”
“Sepertinya luka keduanya tidak terlalu parah. Hanya lecet-lecet saja.”
“Ya, mudah-mudahan saja begitu. Mengerikan, akhir-akhir ini banyak sekali terjadi kecelakaan lalu lintas.” Kata Sekar sambil  beriringan dengan Lintang memasuki ruangan rapat dibalai desa.
Sambil mengikuti rapat, pikiran Lintang masih tertuju pada Acha. Kenapa aku jadi  memikirkan gadis itu? Apakah karena aku mendengar gadis itu menyukai Wiman? Lalu  apa urusannya denganku? Kenapa harus jadi pikiranku apabila ada gadis yang menyukai Wiman? Apa aku juga menyukai Wiman? Lintang enggan menjawab pertanyaan hatinya sendiri. Rapat yang diikutinya hanya  separuhnya masuk kedalam pikirannya  namun Lintang menulis hal-hal penting yang akan dilaporkannya kepada kepala seksi perekonomian, atasannya langsung.
Usai rapat Lintang bergegas keluar dari ruangan balai desa. Motornya dilajukan perlahan. Dia menengok ke kiri dan ke kanan jalan, memastikan jalanan aman untuk dilewati. Jangan sampai aku mengalami nasib naas seperti kedua pegawai  puskesmas   tadi, pikir Lintang. Bunyi klakson  yang keras mengagetkan Lintang. Lintang melihat mobil kijang yang tadi menyerempet kedua pegawai puskesmas itu memberi klakson beberapa kali. Lintang masih hapal pada pria tadi. Mobil kijang itu menepi perlahan, lalu berhenti. Lelaki itu turun dari dalam mobilnya. 
“Selamat  siang, bu Lintang.” Sapa pria itu sopan. Kini wajahnya tidak lagi cemas seperti tadi.
Sesaat Lintang tertegun. Dia tidak mengenal  pria itu, baru tadi ketika terjadi kecelakaan itu dia melihat lelaki itu namun pria  itu  sudah tahu namanya. Dan dia juga tidak tahu apa maksud lelaki itu menyapanya.
“Selamat siang.”  Sahut Lintang, menunggu lelaki itu.
“Terima kasih atas pertolongan Bu Lintang pada kedua pegawai puskesmas itu.” Ucap lelaki itu. “Urusannya sudah  beres. Saya sudah memberi biaya  untuk  mengganti kerusakan pada motor itu, juga untuk biaya perawatan luka-luka   yang dialami kedua pegawai puskesmas  itu.”
“Oh begitu? Syukurlah bila urusannya telah selesai. Saya juga tadi    kaget   ketika terjadi kecelakaan itu. Saya sedang buru-buru  akan pergi ke balai desa, “ ucap Lintang membalas keramahan lelaki itu yang kelihatan ramah.
Mendadak Lintang teringat  sesuatu. Dari  siapa  pria itu tahu   namanya. Rasa penasaran itu mengelitik Lintang untuk bertanya.
“Dari siapa anda mengetahui nama saya?” Tanya Lintang penasaran.
“Ketika tadi selesai  membereskan  urusan dengan kedua pegawai puskesmas itu, saya teringat  pada wanita yang pertama kali turun tangan menolong kedua perawat itu.   Saya lalu bertanya pada orang disana, mereka menyebut nama anda. Ternyata saya  bertemu anda lagi disini.  Kebetulan saya memang berniat  akan mampir kekantor kecamatan untuk menemui anda dan mengucapkan terima kasih pada  anda dengan kejadian tadi.”
“Oh, saya spontan saja melakukan  hal itu.” Kata Lintang.
“Spontanitas yang membuat saya merasa terkesan dengan sikap  anda, boleh berkenalan, bukan?” .
“Bukankah anda sudah  tahu nama saya?”
“Tapi kita belum berkenalan secara resmi.”  Ucap pria itu sambil tersenyum. Tangannya terulur mengajak bersalaman.
Lintang tersenyum. Dia menerima jabatan tangan pria itu. Ada perasaan geli dalam hatinya lelaki itu mencarinya. Padahal jarak dari lokasi kejadian kebalai desa ini relative cukup jauh.
“Lintang.”
“Seta.” Ucap Pria  itu. Dia menatap Lintang. “Rasanya saya pernah bertemu dengan bu Lintang sebelumnya, namun saya lupa lagi dimana kita pernah bertemu…”
Lintang menatap lelaki itu. Dia sama sekali tidak ingat apakah mereka pernah bertemu sebelumnya. “Masa? Dimana kita pernah bertemu?”
“Sebelum bekerja disini, bu Lintang kerja dimana?”
“Saya kerja di perusahaan swasta di Bandung…..”
“Oh, ya. Sekarang saya ingat. Bu Lintang bekerja di perusahaan konsultan dengan  pak Baskoro.” Cetus Seta tiba-tiba, seakan baru ingat.
“Ya, benar.”
“Dikantor konsultan itu kita pernah bertemu. Saat itu saya ada janji akan bertemu dengan pak Baskoro, dan anda sekretaris beliau. Anda yang mengagendakan kapan saya bisa bertemu dengan pak Baskoro karena jadwal pak Baskoro yang padat…..”
“Benar.” Sekarang Lintang ingat pada lelaki itu. Dia memang pernah bertemu dengan Seta dua kali waktu dia masih bekerja di kantor konsultan itu. Lintang tersenyum.  
Seta  melihat rumah makan tidak jauh dari tempat mereka. “Bagaimana kalau kita makan dulu.”
Lintang berpikir sejenak. Seta menunjukan keakrabannya padahal mereka baru kali ini bertemu dan berkenalan. Tidak ada salahnya dia membuka perkenalan dengan lelaki itu.
“Baik.” Sahut Lintang. Dia memarkir motornya tidak jauh dari mobil lelaki itu. Mereka berjalan bersama menuju rumah makan itu. Rumah makan itu tidak terlalu besar namun tempatnya nyaman dan asri.
“Mau makan apa?” Tanya Seta. Dia menyerahkan daftar menu makanan.
Lintang memperhatikan menu makanan satu persatu. Dia merasa Seta tengah mengawasinya. “Mas mau makan apa?”
“Sama aja dengan yang kau pilih.” Sahut Seta, tersenyum mendengar Lintang memanggilnya dengan panggilan mas. Lintang sendiri tersenyum menyadari dia spontanitas saja memanggil mas pada lelaki yang baru dikenalnya itu.
Lintang memilih sop buntut dan es jeruk. Dia memesan dua porsi.
“Sedang apa disini?” Tanya Lintang.
“Saya mau kerumah nenek saya. Tidak begitu jauh dari sini. Kebetulan saya ada urusan di sumedang jadi sekalian mampir menengok nenek.”
“Oh, nenek masih ada?”
“Usianya sudah delapan puluh lima. Sudah sepuh sekali. Sudah sering diajak oleh ibu saya untuk tinggal bersamanya di Jogya namun nenek tidak mau. Rumah peninggalan almarhum kakek sangat mengikat perasaannya. Nenek sekarang hanya ditemani seorang pembantunya.”
Lintang jadi teringat pada ibunya. Setelah ayahnya meninggal, ibunya pun tidak mau meninggalkan rumah yang telah dihuni berpuluh-puluh tahun lamanya selama berumah tangga dengan ayahnya hingga menuntaskan hampir seluruh tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri dan seorang ibu. Lintang bisa memahami nenek Seta yang merasa terikat dengan rumahnya dan tidak mau dibawa pergi oleh anaknya meninggalkan rumah yang sudah memberinya banyak kenangan sepanjang hidupnya.   
“Boleh saya tahu dimana rumahmu, Lintang?” Tanya Seta menatap Lintang.
Lintang menatap mata yang lembut dan bersahabat itu. Tak ada sesuatu yang mencurigakan. Dia merasakan bahwa lelaki itu cukup baik dan bersahabat. Lintang menyebutkan alamat rumahnya.
“Rumah saya di jalan Kemuning nomor lima belas.” Ujar Lintang.
“Oh, saya tahu alamat rumah ini.” Sahut Seta. “Saya sering lewat kedekat jalan itu. “Boleh bila saya kapan-kapan mampir kerumahmu?”
“Tentu saja. Mengapa tidak.” Lintang tersenyum. Dia mulai merasa nyaman berkenalan dengan lelaki itu. Atau mungkin karena dia pernah bertemu dengan lelaki itu sebelumnya sehingga dia merasa tidak canggung lagi bercakap-cakap dengan Seta.  “Mas Seta sendiri orang mana?”
“Saya lahir dan besar di Jogya. Namun ibu saya asli keturunan dari Sumedang. Tepatnya ibu saya berasal dari Ganeas. Ayah saya orang Jogya.  Saya dengan kakak  saya meneruskan perusahaan  ayah yang bergerak dibidang kontraktor. Sudah sejak lima  tahun lalu kakak saya memindahkan usaha ke Bandung. Jadi saya juga ikut pindah ke Bandung. Ketika saya beberapa kali bertemu pak Baskoro, dan bertemu denganmu, kami saat itu tengah menangani sebuah proyek yang kami garap bersama-sama.  Hari ini saya  ada keperluan di Sumedang menangani sebuah proyek yang baru kami menangkan dalam tender yang diadakan pemda beberapa waktu lalu. Pulang dari pemda tadi, saya berniat mampir dulu menengok nenek. Namun tidak disangka terjadi kejadian tadi.”
“Kecelakaan kejadian yang tidak akan pernah kita duga sebelumnya.” Kata Lintang.
“Ya. Saya menyesalkan kejadian tadi, namun pasti ada hikmahnya dibalik kecelakaan tadi  buat saya.” Ucap Seta. Dia menatap Lintang sambil tersenyum.
“Ya, semoga saja.” Ujar Lintang.  
“Bila tidak terjadi kecelakaan tadi, saya tidak akan bertemu dengan kamu, Lintang.”
Lintang hanya tersenyum mendengar ucapan Seta. Pesanan datang. Nasi putih hangat dengan sop buntut yang mengepul panas.  Keduanya menikmati sop buntut itu.
“Enak, ya.” Kata Lintang setelah mencicipi sop buntut.
“Ya. Aku baru tahu kalau sop buntut dirumah makan ini enak sekali.” Ujar Seta. “Padahal sudah sering sekali saya melewati rumah makan ini, namun baru sekarang saya mampir kemari. Kapan-kapan kalau kerumah nenek lagi, saya akan mampir lagi kerumah makan ini. Ibu saya mungkin belum tahu juga kalau sop buntut dirumah makan ini enak sekali.”
“Bagaimana dengan ayahmu, beliau masih ada?”
“Masih. Masih sehat. Namun beliau sudah lama berhenti bekerja dan menyerahkan segala urusan perusahaan pada saya dan kakak saya.”
“Mas Seta berapa bersaudara?”
“Hanya dua orang. Saya dan kakak saya, Mas Kresna. Dan kau?”
“Saya empat bersaudara. Seorang kakak laki-laki, dua orang kakak perempuan, dan saya  bungsu.”
“Bagaimana kabar ayah ibumu?”
“Ibu masih sehat. Ayah sudah beberapa tahun lalu meninggal dunia.”
“Oh, maaf.”
“Tidak apa-apa.” Lintang tersenyum.
Usai makan Lintang melihat jam tangannya.  Sudah cukup lama dia meninggalkan kantornya. Dia harus segera kembali ke kantornya. Masih ada pekerjaan yang harus diselesaikannya.
Sebelum keluar dari rumah makan Seta meminta nomor teleponnya. Lintang tidak keberatan, dia sendiria meminta nomor telepon Seta. Mereka berpisah ditempat mereka bertemu tadi. Lintang menaiki motornya. Seta memasuki mobilnya.
“Terima kasih Lintang sudah menemani aku makan. Sampai bertemu lagi.” Kata Seta.
“Ya, sampai bertemu lagi.” Ujar Lintang. Dia melajukan motornya menuju kantornya.
Suasana dikantornya biasa saja ketika Lintang masuk.  Tidak ada lagi yang membicarakan kecelakaan yang terjadi tadi.
“Bagaimana  kedua pegawai puskesmas yang tadi kecelakaan?” tanya Lintang pada Tuti.
“Hanya luka-luka sedikit.” Sahut Tuti.
“Siapa nama kedua orang pegawai puskesmas itu?”
“Acha dan Yanti.”
“Yang mana yang bernama Yanti? Yang rambutnya ikal, ya?”
“Benar.” Sahut Tuti.
Oh,  jadi gadis yang berkulit putih tadi yang bernama Acha, pikir Lintang. Gadis itu cukup cantik dan menarik. “Kalau yang satunya lagi, siapa namanya?” Tanya Lintang lagi.
“Acha.” Sahut Tuti. Mendadak dia menatap Lintang. “Gadis itu  yang menurut isue menyukai pak camat.”
“Baguslah.” Sahut Lintang. “Agar pak camat segera memiliki isteri. Tidak bagus seorang pejabat lama-lama membujang, kan?”
Tuti tersenyum. “Tapi pak camat sepertinya  tidak  menanggapi serius bahwa ada gadis yang menaruh perhatian kepadanya.”
“Barangkali karena pak camat kelewat sibuk dengan pekerjaan sehingga kurang perhatian bila ada gadis yang menaruh perhatian kepadanya.”
“Yah, mungkin juga.” Tuti menatap Lintang serius. “Tapi kalau menurut saya, bu Lintang sangat cocok bila bersanding dengan pak camat. Benar, bu. Saya serius. Banyak yang suka bilang begitu.”
Lintang tersenyum. “Pacaran sama atasan sendiri?” Lintang tertawa.
“Lho, kalau jodoh kan kita tidak tahu, bu. Siapa tahu memang ada jodohnya antara ibu dengan  pak camat.”
Kembali Lintang hanya tersenyum. Keduanya menoleh ketika melihat camat masuk.
“Lintang, kabarnya tadi ada kecelakaan didepan kantor kita?”
“Ya, pak. Pegawai puskesmas. Namanya Acha dan Yanti. Motor mereka tersenggol mobil ketika akan berbelok.”
“Mereka tidak apa-apa?”
“Sepertinya hanya luka-luka sedikit. Nanti saya ke puskesmas menanyakan keadaan mereka.”
“Saya  tadi mendengarnya sepulang dari pemda. Kamu sendiri tidak apa-apa?”
“Tidak, pak.”
“Katanya kamu juga ikut tersungkur ke jalan?”
“Wah itu gosip, pak. Saya tidak apa-apa, kok.” Lintang ketawa pelan.
Wiman tersenyum. “Yah, syukur kalau kau  tidak apa-apa. Tadinya saya serius mengira kau juga tersungkur ke tengah jalan.”
“Yang tersungkur ke jalan salah satunya adalah Acha, pegawai di puskesmas sebelah. Kalau bapak mau menengok, saya bisa mengantar…….” Lintang tersenyum, agak menggoda.
Seperti tahu bahwa Lintang bermaksud menggodanya, Wiman tersenyum. Tanpa berkomentar Wiman lalu masuk kedalam ruangannya. Tuti tersenyum sambil menatap Lintang.
“Bapak pasti sudah tahu ada gadis yang  naksir padanya.” Ucap Tuti perlahan.
“Pasti tahu. Laki-laki  jangankan ditaksir, tidak ditaksir pun kadang suka cari perhatian.” Ucap Lintang sambil duduk menghadapi mejanya.
“Bapak camat sangat baik sekali pada  bu Lintang. Perhatian sekali.” Kata Tuti lagi.
“Kakak saya, Iswandi, dulu adalah teman sekelas pak camat.” Sahut Lintang, pura-pura tidak menanggapi ucapan Tuti.
“Kalau saja pak camat dan bu Lintang berjodoh, alangkah serasinya.”
Lintang tersenyum. Namun dia tidak mengingkari, hatinya senang mendengar ucapan Tuti. Tapi bagaimana dengan Acha? Apakah dia serius menyukai Wiman? Mendadak Lintang merasa malu sendiri dengan pertanyaannya. Andaikan Acha serius menyukai Wiman, apakah hal itu akan menjadi halangan antara dirinya dengan Wiman?
Lintang menghela napas dalam. Aku terjebak oleh pikiranku sendiri. Aku harus mengakui bahwa sebenarnya aku menyukai Wiman, namun karena ada batas antara atasan dan bawahan, aku mencoba mengingkari perasaanku sendiri.

--- 0 ----

Lintang berjalan menuju tempat parkir motornya. Dia akan pergi ke pemda. Dia diberi  tugas oleh atasannya kepala seksi perekonomian  untuk mengikuti rapat yang diadakan dibidang perekonomian sekretariat daerah. Lintang menoleh ke  halaman  puskesmas. Seorang gadis baru keluar dari puskesmas itu dan  menatap Lintang, lalu  tersenyum.  Lintang ingat, gadis itu yang bernama Acha, yang mendapat kecelakaan tempo hari.
“Selamat siang, bu.” Sapa gadis itu.
“Siang. Bagaimana lukamu sekarang? Sudah sembuh?” tanya Lintang sambil menghampiri gadis itu.
“Sudah agak sembuh. Lukanya tidak seberapa. Tapi lumayan sakit juga karena tergores aspal.” Sahut gadis itu. “Terima kasih atas pertolongan ibu tempo hari.”
“Kebetulan saja saya ada disana ketika kecelakaan itu terjadi.” Sahut Lintang.
“Ibu pegawai baru dikecamatan, ya? Saya belum pernah melihat ibu sebelumnya.” Kata gadis itu.
“Ya, saya baru mau sebulan bekerja disini. Kita belum pernah kenalan, ya? Lintang.” Lintang mengulurkan tangannya.
“Acha.” Gadis itu menyambut uluran  tangan Lintang.
Keduanya berjabatan tangan.
“Sudah lama bekerja di puskesmas?” Tanya Lintang. Dia melihat jam tangannya. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum rapat dimulai. Namun dia masih ingin bercakap-cakap dengan gadis ini.
“Sudah hampir tiga  tahun, bu.”
“Tidak usah memanggil ibu. Panggil saja nama saya.”
Acha tersenyum. “Masa saya memanggil ibu dengan panggilan Lintang, saja? Kelihatannya usia ibu diatas saya beberapa tahun. Saya memanggil mbak Lintang saja, ya.”
“Boleh.” Sahut Lintang tersenyum.
“Sekarang mbak mau pergi kemana?”
“Mau ke pemda.”
“Kebetulan saya pun akan pergi ke dinas kesehatan. Kita bisa pergi bersama-sama, mbak. Kan jurusannya satu arah.”
“Oh, baik.”
“Mbak bawa motor, ya? Saya dibonceng aja, boleh?”
“Boleh. Kamu sekarang tidak bawa motor, ya?”
“Masih takut, mbak. Akibat kecelakaan tempo hari, saya masih trauma naik motor.”
“Nanti juga rasa takutmu akan hilang dengan sendirinya dan kau akan berani lagi naik motor.”
Lintang mengambil motornya dari tempat parkir.  Acha  masuk kehalaman kantor kecamatan, menghampiri Lintang. Lintang menstarter motornya. Acha duduk dibelakang. Motor melaju dijalanan.
“Mbak Lintang kelihatannya dekat dengan pak camat, ya?” suara Acha menerpa telinga Lintang  terbawa angin.
“Ah biasa saja. Kami sudah kenal lama.” Sahut Lintang.
Sesaat Lintang teringat dengan percakapan Tuti dan Aniek tempo hari. Mungkin Tuti dan Aniek benar, gadis ini menyukai camat. Lintang tersenyum.
“Kamu suka pada pak camat, ya?” Lintang menggoda Acha. Dia menoleh sejenak kesamping, agar kata-katanya  terdengar oleh Acha, lalu dia menatap lagi lurus kedepan, kejalanan yang mulus dan panjang. Udara perbukitan terasa sejuk menerpa tubuhnya.
Mendapat pertanyaan itu Acha tertawa lepas. “Kenapa mbak Lintang bertanya begitu?” tanya Acha. Suaranya terdengar riang dan sumringah.
“Yah, aku ingin  tahu saja. Siapa tahu kamu suka pada pak camat.”
“Pak camat sudah ada yang punya ya, mbak?”
“Mana aku tahu. Aku tidak pernah mengecek soal itu.” sahut Lintang tertawa. “Nanti aku tanyakan pada pak camat ya, apa beliau sudah ada yang punya…..”
“Aduh, jangan mbak. Nanti saya jadi malu bila mbak bilang pada pak camat saya yang menanyakan hal itu.” Protes Acha. “Jangan, mbak. Saya nanti jadi malu.”
“Kenapa? Bila pak camat masih belum ada yang punya, kau punya peluang untuk mendapatkan pak camat, kan?”
“Ah, mbak ini. Nanti saya malu.”
“Tapi bagaimana engkau tahu pak camat sudah ada yang punya atau belum bila tidak ditanyakan langsung pada yang bersangkutan?”
“Tapi saya tidak pernah melihat pak camat menggandeng perempuan, mbak.”
“Siapa tahu kekasihnya atau calon istrinya masih disembunyikan.”
“Tapi kalau disembunyikan, pasti tetap saja ada beritanya, mbak. Maklum pejabat, gosipnya kan cepat menyebar dan diketahui orang.”
“Kamu maunya bagaimana, pak camat belum punya pacar atau justru mengharap pak camat sudah punya calon istri?”
“Yah, enggak tahu.” Acha tertawa. “Mbak pertanyaannya lucu.”
Lintang hanya tersenyum. Motornya melaju semakin kencang. Lintang mengantarkan Acha ke dinas kesehatan.
“Mbak, saya ingin berteman dengan mbak Lintang.” kata Acha setelah turun dari motor Lintang.
Lintang tersenyum. “Mengapa tidak? Kita sama-sama pegawai. Kita bisa berteman, bukan?”
“Saya ingin berteman secara pribadi dengan mbak Lintang.”
“Oke. Mudah-mudahan kita bisa berteman dengan baik, ya. Aku senang punya teman sepertimu.”
“Mbak, nanti sore jalan-jalan, yuk.”
“Boleh. Kemana?”
“Kemana saja. Nanti sore saya main kerumah mbak Lintang, ya.”
“Baik. Saya tunggu kamu dirumah sore nanti.”
Mereka berpisah. Motor Lintang melaju menuju kantor pemda. Lintang tersenyum mengingat Acha. Gadis itu kelihatannya baik. Dia teringat pada Wiman. Bila Wiman tahu Acha menyukainya, mungkin Wiman pun akan membuka hatinya untuk gadis itu. Tidak masalah. Kantor mereka berdekatan. Wiman bisa lebih mudah mengenal gadis itu. Motor Lintang terus melaju menuju pemda.

--- 0 ---

Lintang merapikan bunga-bunga yang disusunnya dalam jambangan  bunga. Dia menambah air kedalam jambangan bunga itu. Harum bunga sedap malam terasa  harum menerpa hidungnya. Apalagi kalau nanti malam, bunga sedap malam ini akan semakin menebarkan keharuman yang menyegarkan.
Lintang mengangkat wajahnya. Dia mendengar deru motor memasuki halaman rumah. Sejenak Lintang memperhatikan orang itu yang membuka helmnya dan berjalan menaiki anak-anak tangga menuju ke teras depan dimana Lintang sedang duduk sambil membenahi  bunga-bunga didalam jambangan. Wiman tersenyum melihat Lintang tengah asyik merapikan bunga dalam jambangan.
“Bunganya cantik-cantik.” Komentar Wiman sambil duduk pada kursi rotan yang ada di teras.
“Ya, bunga-bunganya cantik. Seperti gadis-gadis Sumedang, cantik-cantik.” Sahut Lintang, menoleh sejenak pada Wiman sambil tersenyum.
“Memang. Tapi belum ada bunga yang bisa kupetik.” Ucap Wiman.
“Jangan terlalu pemilih, diantara sekian banyak bunga yang cantik, petik satu yang paling sesuai dengan hati nurani. Tidak mungkin semua bunga bisa kau petik dan miliki semuanya.”
Wiman tertawa mendengar ucapan Lintang.
“Kebetulan mas Wim kemari, sejak tadi aku memikirkan Acha.”  Kata Lintang.
“Acha? Ada apa dengan dia?” tanya Wiman.
Lintang  merapikan bunga-bunga dalam jambangan.
“Akhir-akhir ini Acha sering mengeluh sakit pada lutut kirinya.” Ucap Lintang. “Aku sudah menyarankannya untuk memeriksakan lututnya itu pada dokter, namun Acha tidak mau. Dia tetap menduga rasa sakit pada lutut kirinya itu hanya rematik saja.  Bahkan akhir-akhir ini seringkali dia menyeret kaki kirinya kalau sedang berjalan sambil menahan sakit.”
“Memang lebih baik Acha memeriksakan diri ke dokter agar dia mengetahui dengan pasti apa yang menjadi keluhannya pada lututnya itu. Itu lebih baik daripada menduga-duga apa penyakitnya.” Ujar Wiman.
“Aku sudah menyarankannya beberapa kali, namun Acha tetap tidak mau.”
Lintang  tersenyum puas melihat  bunga-bunga yang sudah tertata rapi dalam jambangan. Dia meletakannya diatas meja yang baru saja diganti dengan taplak baru berwarna krem dengan bordiran disepanjang tepinya. Dia lalu duduk pada kursi lain didekat Wiman.
“Lin, besok ada undangan perkawinan. Temani aku, ya.”  Kata Wiman tiba-tiba, menatap Lintang penuh harap, dan seakan khawatir  ajakannya ditolak.
Lintang menatap Wiman. Menemani bapak camat ke undangan? Aku harus mempertimbangkannya baik-baik. Apa tidak akan jadi gosip? Kalau sudah jadi gosip nanti pasti rame, pikir Lintang. Lagi pula risi rasanya pergi dengan Wiman. Sejenak Lintang mempertimbangkan ajakan Wiman. Namun dia merasa tidak ada salahnya dia menemani Wiman ke undangan. Mereka berdua masih sama-sama melajang.
“Aku sepertinya tidak bisa………”
“Kau pasti bisa.” Tukas Wiman. “Aku tidak mau datang sendirian.”
“Tapi biasanya kan mas Wiman  suka datang sendirian kalau pergi ke  undangan.”
“Itu dulu sebelum kau datang kemari. Sekarang, setelah ada kau, kan lebih enak bila kemana-mana ada yang mendampingi.”  Sahut Wiman.
Lintang tersenyum menatap Wiman. “Apa tidak akan jadi gosip?”
“Camat digosipkan dengan stafnya  tidak masalah  karena masih sama-sama melajang. Kondisinya berbeda apabila camat sudah beristri dan berselingkuh dengan stafnya.” Kata Wiman.
Lintang tersenyum. “Yah, bagaimana besok saja.”
“Jangan bagaimana besok. Jawabanmu harus pasti. Jangan sampai besok aku menjemputmu tapi kau tidak mau pergi.”
Lintang menatap Wiman. “Ya.”
“Jadi besok kalau aku jemput, kamu sudah siap, ya.”
“Ya.” Sahut Lintang. Mendadak Lintang tersenyum teringat pada Acha dan pada  percakapan mereka tempo  hari. Apakah Wiman tahu bila Acha  menyukainya? Ingin Lintang menyebut Acha lagi pada Wiman namun hatinya mencegahnya.


--- 0 ---

Lintang sudah bisa menduga, kebersamaannya dengan atasannya pasti akan menimbulkan gossip diantara rekan-rekan sekantornya. Benar saja, senin pagi sepertinya semua orang sekantor sudah tahu bahwa hari minggu kemarin pak camat datang ke undangan ditemani Lintang. Bahkan hampir semuanya tahu Lintang mengenakan baju  batik warna kuning dengan bawahan  berwarna hijau muda. Gosip itu dengan cepat merebak. Pak camat menjalin hubungan dengan stafnya, Lintang. Hanya dalam tempo satu hari gosip itu menjadi pembicaraan utama dikantor.
Lintang baru datang dan akan menaruh tasnya diatas meja ketika dia mendengar percakapan diruangan sebelah. 
“Ah, kan  sama-sama masih melajang, tidak apa-apa. Siapa tahu mereka ada jodoh” Terdengar suara pak Winarto.  
“Kantor kita sebentar lagi akan mengadakan hajatan,  resepsi perkawinan pak Camat dengan bu Lintang.” Suara Azis menimpali keras.
Terdengar beberapa orang ketawa berderai. Dan berhenti, lalu sama-sama menoleh dan tersenyum ketika Aniek keluar dari ruangan itu dan melihat Lintang sudah datang, dia menoleh memberi isyarat pada teman-temannya. Percakapan langsung berhenti. Beberapa orang keluar dan melewati meja Lintang.  Lintang hanya pura-pura saja. Dia menemui Lika yang sedang menghadapi komputernya. 
“Pagi-pagi sudah sibuk, Ka. Apel dulu, yuk.”
“Pak camat kan belum datang, mbak.”
“Mungkin hari ini apel pagi dipimpin pak sekcam. Pak camat kan ikut apel dipemda.”
“Oh, begitu? Ya sudah, tuh pak sekcam sudah datang.” Lika berdiri dan beranjak  meninggalkan komputer.
Mereka berdua keluar menuju halaman akan mengikuti apel.
“Mbak Lintang paling tahu dengan kegiatan-kegiatan pak camat, ya.” Kata Lika sambil tersenyum menatap Lintang.
“Kebetulan saja aku ingat, senin ini kan minggu pertama. Tiap minggu pertama setiap bulan seluruh camat dan pejabat kan apel dipemda.” Sahut Lintang pura-pura tidak mengerti arti senyuman Lika.

--- 0 ----

Pagi-pagi Lintang melihat  Acha ketika dia baru saja  tiba dikantornya. Acha tengah berjalan menuju puskesmas.  Lintang  menegur gadis perawat itu.
“Acha!”
Acha menoleh. Wajahnya kelihatan pucat. Lintang merasa, ada sesuatu yang tengah terjadi pada gadis itu. Acha tempo hari sering kirim pesan pendek kepadanya sekedar bertanya kabarnya, namun sudah sejak dua minggu ini Acha tidak pernah lagi membalas pesan pendek darinya.
“Kakimu masih terasa sakit?” tanya Lintang.
Acha mengangguk. “Ya, sakitnya bukan main.”
“Segeralah periksakan  ke dokter. Aku sudah menyarankan beberapa kali padamu.”
Acha diam. Dia menatap Lintang. “Sudah. Aku sudah memeriksa ke dokter.”
“Bagaimana menurut dokter?” Tanya Lintang.
“Aku belum tahu.” Sahut Acha.  Acha bergegas pergi meninggalkan Lintang.
Lintang tertegun melihat gadis itu. Dia  segera masuk kedalam kantornya namun dalam hati dia merasa heran melihat sikap Acha. Acha tidak seperti biasanya bersikap begitu. Namun kesibukan pekerjaan membuat Lintang sejenak melupakan gadis itu.
Siang hari ketika akan pergi  makan ke kantin, Lintang terkejut mendengar yang disampaikan Aniek kepadanya.  Ketika melihat Acha  dari jendela, seakan tanpa sengaja Aniek membicarakan Acha.  Acha terlihat berdiri dipinggir jalan menunggu kendaraan umum sendirian, tak lama dia masuk kedalam kendaraan umum itu.
“Acha terkena kanker tulang.” Ucap Aniek.
Kanker tulang. Lintang seakan tak percaya mendengar apa yang diucapkan Aniek. Acha nampak sehat. Dia tidak seperti orang yang sedang terkena penyakit. Apalagi kanker. 
“Acha tidak pernah memeriksakan diri walaupun sudah lama dia suka mengeluh sakit pada kaki kanannya. Tahu-tahu penyakitnya  sudah parah. Kabarnya, tidak ada pilihan lain, kaki Acha harus diamputasi.” Kata Aniek.
“Apa? Diamputasi? Kasihan dia, ya Allah.”
“Ya, kasihan sekali. Dia masih gadis. Kalau kakinya sampai diamputasi, dia berubah menjadi seorang gadis cacat.” Ucap Aniek. “Namun Acha nampaknya tegar. Dia masih tetap menjalankan tugasnya sehari-hari. Seakan tidak ada sesuatu pun yang berubah pada dirinya. Dia merawat pasien, padahal dia sendiri sedang menghadapi penyakit  yang sangat berat.” 
Lintang ingin bertemu dengan Acha,  namun  pekerjaannya tidak membuatnya ada waktu untuk menemui gadis itu. Biar nanti aku telepon dia, pikir Lintang. Namun beberapa kali Lintang menelepon, Acha tak pernah  mengangkat teleponya. Waktu dikirim pesan pendek pun Acha tidak membalas.
Lintang termenung memikirkan gadis itu. Kenapa Acha tidak mau menerima teleponnya? Kenapa Acha tidak membalas pesan pendeknya? Apakah ada kaitannya dengan berita yang didengarnya dari Aniek tadi? Aku harus bertemu dengan Acha. Bila benar yang diucapkan Aniek tadi, Acha pasti sangat terpukul sekali dengan kenyataan ini, pikir Lintang.

--- 0 ---

Tiga hari kemudian Lintang pergi kerumah Acha. Ibu Acha  dengan wajah pucat mengatakan Acha berada dikamarnya dan meminta Lintang menemuinya kekamarnya. Langkah Lintang  berhenti diambang pintu kamar Acha  ketika dia melihat Acha yang sedang menelungkup diatas tempat tidur dengan rambut awut-awutan.
Lintang tertegun. Ditatapnya tubuh yang langsing itu. Tak sadar tatapannya turun pada kaki kiri Acha yang putih mulus. Oh Tuhan. Jangan kau timpakan penyakit  itu pada dia.
Merasa ada seseorang yang hadir dikamarnya, tiba-tiba Acha membalikan tubuhnya. Lintang menahan air matanya. Dia tak kuasa melihat mata Acha  yang basah penuh air mata. Wajah gadis itu begitu pucat dan kuyu.
“Mbak Lintang…..” bisik Acha.
“Acha……..” Lintang duduk ditepi tempat tidur.
“Mbak Lintang sudah mendengarnya, bukan? Mbak  sudah mendengar bahwa kakiku akan diamputasi?” Tanya  Acha lirih, tersendat menahan tangis.
Lintang mengangguk pelan. Dia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun, walaupun kata-kata untuk menghibur dan membesarkan perasaan Acha, bahwa hidupnya masih akan panjang, bahwa hidupnya masih akan ada keindahan………. Bagaimana bisa dia menghibur Acha bila Acha sudah tahu bahwa  kematiannya seakan sudah diambang pintu.
“Aku pasti akan segera mati.” Ucap Acha lirih.
“Kau tidak boleh bicara begitu.”
“Penyakit ganas itu sedang menggerogoti tubuhku. Aku tak mungkin hidup lebih lama lagi.’
“Kau tidak boleh bicara begitu, Acha. Allah pasti akan memberimu kesempatan untuk hidup.”
“Ya, Allah akan memberiku kesempatan untuk hidup, namun kesempatan itu hanya terbatas. Aku hanya tinggal menghitung bulan, lalu menghitung hari, kapan akhirnya  malaikat akan mencabut nyawaku.”
“Acha, aku tidak ingin engkau bicara seperti itu….”
“Aku yang tidak mau lagi mendengarkan orang bicara hanya untuk menghiburku, membesarkan hatiku, sementara kenyataannya perlahan-lahan nyawaku sedang diseret keliang kubur……” Acha menangis terisak-isak.
Lintang mengelus rambut gadis itu. Dia tidak sanggup bicara apa-apa lagi. Dia teringat pada Wiman. Dia teringat pada percakapannya dengan Acha. Ya Tuhan, seandainya saja Engkau memberinya kesempatan untuk merasakan bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Aku harus bicara dengan Wiman, pikir Lintang.

--- 0 ---

Keadaan Acha banyak  menyita pikiran Lintang.  Dia bisa merasakan bagaimana perasaan Acha dengan keadaan yang menimpa dirinya. Hatinya diliputi perasaan iba, kasihan, trenyuh, atau apapun juga namanya perasaannya kepada gadis itu. Lintang merasa, Acha memang menyukai Wiman. Namun mungkin perasaan itu akan segera terkubur bersama tubuhnya bila kematian telah datang menjemputnya.
Dalam sebuah kesempatan ketika tengah santai Lintang menceritakan Acha kepada Wiman.
“Kasihan Acha.” Ucap Lintang.
Lintang menatap Wiman, dia berharap mendapatkan reaksi yang istimewa dari Wiman setelah mendengar keadaan Acha.
“Ya, kasihan dia.” Ucap Wiman. Nyaris hanya seakan seperti tengah bergumam.
“Mas Wim, kau bisa membantu dia sebelum……..sebelum segalanya berakhir…….”
Wiman menatap Lintang, menunggu gadis itu melanjutkan kembali pembicaraannya.
“Aku ingin membantunya, tetapi apa yang dapat kuperbuat untuknya?”
“Bantulah dia agar dapat menemukan rasa percaya dirinya kembali, Wim. Berkali-kali aku mencoba namun selalu gagal. Barangkali kau bisa melakukannya. Bantulah dia  dalam menghadapi hal terburuk yang sedang dihadapinya saat ini.”
Wiman diam mendengar ucapan Lintang. Lintang menatap Wiman serius.
“Aku sudah lama mendengar bahwa Acha menyukaimu. Kau pun mungkin bisa merasakan  bahwa gadis itu memang menaruh perhatian kepadamu.” Ucap Lintang perlahan. “Maaf, bukan maksudku ikut campur urusan pribadimu, namun tidak bisakah engkau berbuat sesuatu untuknya?”
“Maksudmu?”
“Tidak bisakah engkau memberinya kebahagiaan, memberinya perhatian disaat-saat dirinya tengah dilanda duka. Dia membutuhkan perhatian dari orang-orang disekelilingnya, dia membutuhkan orang-orang  yang bisa menegarkan perasaannya menghadapi musibah yang tengah dihadapinya. Dia pasti bahagia, apalagi andaikan perhatian dan orang yang menegarkan perasaannya itu adalah seseorang yang sudah lama disukainya, ah…. Bukan hanya hanya suka, aku rasa. Acha  nampak sungguh-sungguh mencintaimu.”
Wiman menatap Lintang. “Acha mencintaiku?”
Lintang membalas tatapan Wiman. “Yah, kurasa Acha menyukaimu, dia mencintaimu.”
“Dari mana engkau mengetahui hal itu?”
“Acha pernah bicara begitu kepadaku.”
Lama sekali Wiman termenung. Lintang memperhatikannya. Dia bisa memahami, pasti Wiman bingung mempertimbangkan apa yang harus dilakukannya. Mungkin selama ini Wiman sudah mengetahui bahwa Acha menyukainya, atau mencintainya, namun dipihak lain Wiman sendiri mungkin tidak memikirkan gadis itu.
Wiman  kelihatan  menarik napas dalam. “Yah, aku akan mencoba melakukannya.”
Lintang merasa senang mendengar ucapan Wiman. “Aku percaya kepadamu, mas Wim, kau pasti bisa membuat Acha bahagia.”
Lintang tidak mengerti, kenapa suaranya berubah menjadi serak. Ada keharuan, kesedihan sekaligus kebahagiaan yang dirasakannya ketika dia mengucapkan kata-kata itu.

--- 0 ---

Hujan turun gerimis. Lintang tengah asyik dengan laptopnya ketika ibu memberitahunya ada tamu untuknya. Lintang pergi ke depan. Dia tertegun melihat siapa yang datang. Seta berdiri diteras depan rumahnya. Berdiri dengan sikap santai dan tersenyum ketika melihat Lintang. Lintang tertegun melihat kedatangan lelaki itu.
“Halo.” Sapa Seta.
“Hal.” Balas Lintang. “Kenapa berdiri diluar? Ayo masuk.”
Seta mengikuti Lintang masuk keruangan tamu dan duduk pada kursi dengan sikap santai. 
“Belum kembali ke Jogya?”  Tanya Lintang.
“Aku tidak tinggal di Jogya sejak beberapa tahun lalu. Sekarang aku tinggal di Bandung. Pulang ke Jogya sesekali saja  menengok ayah dan ibu.” Sahut Seta.
Kedatangan lelaki itu cukup mengejutkannya. Namun Lintang  melihat keramahan dari lelaki itu. Ah, mengapa dia tidak mencoba bersahabat dengan lelaki itu.
“Tunggu, aku bikinkan minuman dulu, ya.”
“Terima kasih, tapi bila kau tidak keberatan, aku malah ingin mengajakmu jalan-jalan keluar.” Ucap Seta.
“Hujan. Masih hujan.” Kata Lintang.
“Kenapa harus terganggu oleh hujan?” Seta tersenyum. “Makan diluar lebih enak bila tengah hujan dan cuaca dingin begini.”
Lintang berpikir sejenak. “Aku bilang dulu pada ibu.”
“Oh, ya. Kau tidak ingin memperkenalkan aku pada ibumu? Aku ingin bertemu dengan ibumu.”
Lintang tersenyum mendengar ucapan Seta. “Baik. Tunggu sebentar, ya.”
Lintang menemui ibunya setelah meminta Wiwin, pembantunya untuk membuatkan dua cangkir teh manis. “Bu, teman saya ingin bertemu dengan ibu.”
“Siapa?”
“Mas Seta.”
“Siapa dia? Ibu baru kali ini mendengar kau menyebut namanya.”
“Dia kenalan lama saya, namun baru sekarang berkunjung kemari. Ayo, bu.”
Ibunya mengikuti Lintang keruang tamu. Dengan santun Seta menyapa dan menyalami ibu Lintang. Ibu tersenyum ramah pada Seta. Namun ibu faham, tidak lama-lama menemani mereka dan segera pamit masuk lagi kedalam.
“Kau hanya tinggal berdua saja dirumah ini dengan ibumu, Lintang?”
“Tidak, ada seorang pembantu disini.”
Wiwin datang menghidangkan dua cangkir teh manis yang hangat dan setoples kue kering.
“Mari diminum.”
“Terima kasih.” Seta menghirup teh manis itu, lalu menatap Lintang. “Bagaimana, mau jalan-jalan denganku?”
Hujan masih turun, namun tidak ada salahnya menerima ajakan Seta. Diluar pasti menyenangkan walaupun hujan masih turun dan cuaca terasa semakin dingin.
“Ya.” Akhirnya Lintang mengangguk.
Lintang mengambil jaketnya dan pamitan pada ibu. Seta sudah menunggunya didalam mobilnya ketika Lintang  masuk dan duduk disampingnya. Seta  menstarter mobilnya. Diluar hujan masih turun gerimis. Suara musik  dari tape mobil mengalun lembut.
Ketika mobil yang dikemudikan Seta meninggalkan halaman rumah, diam-diam Lintang memperhatikan wajah lelaki itu dari samping. Dia belum lama mengenal lelaki ini, tapi  mengapa dia tak mencoba bersahabat dengan laki-laki ini?
Lintang teringat dengan kesendiriannya selama ini. Sekian tahun lalu  dia pernah menjalin hubungan dengan Rangga. Semula dia mengira hubungan mereka akan terus berlanjut, namun kehadiran gadis lain membuat hubungan mereka putus. Dia tidak ingin mengenang masa lalunya namun bagaimanapun hubungannya dengan Rangga telah membuatnya lebih hati-hati dalam menjalin hubungan dengan lelaki lain. Dia tidak ingin mendapatkan kekecewaan dan sakit hati untuk yang keduakalinya.
Hingga akhirnya dia bertemu dengan Wiman. Dia merasakan Wiman menyukainya dan diapun menyukai lelaki itu. Namun perjalanan menuntunnya untuk mendekatkan Wiman dengan Acha, gadis yang kelihatan lebih membutuhkan Wiman dibandingkan dengan dirinya.
Dia merasa bahagia ketika melihat kedekatan Wiman dengan Acha. Dia merasa bahagia karena dia sudah bisa membuat Acha merasa bahagia. Namun disisi lain, dia merasa apa yang telah dilakukannya untuk Acha seakan menipu dirinya sendiri. Mengapa dia harus berkorban untuk gadis lain?
Hubungannya dengan Wiman semakin renggang. Hubungan mereka kemudian hanyalah pada sebatas pekerjaan. Wiman seakan menjauh dan dirinya pun semakin menjaga jarak dengan Wiman. Pada saat yang sama, dia merasa bila Wiman kebetulan melihatnya, Wiman seakan menatapnya dengan tuduhan bahwa dia sengaja mendekatkan dirinya dengan Acha, hanya sekedar keterpaksaan karena kasihan dengan penyakit yang diderita gadis itu. Lintang dapat merasakan pangangan Wiman yang menghujam setiap kali menatapnya.
“Lintang, aku menyukai Sumedang. Aku juga betah tinggal di Sumedang. Mau jalan-jalan keliling-keliling?” Seta menoleh sejenak pada Lintang, membuyarkan lamunan Lintang pada Wiman dan Acha.  
Lintang  tersenyum. Sudah bertahun-tahun lamanya dia tinggal di Sumedang. Sejak dulu, dia jarang keluar rumah. Namun kali ini dia tidak  ingin mengecewakan perasaan Seta. Apalagi mereka baru akan menjalin persahabatan. Setidaknya dia ingin memberi kesan yang menyenangkan diawal persahabatan mereka.
“Tentu saja.” Sahut Lintang. Dia menatap Seta. “Bila mas Seta menyukai Sumedang dan betah tinggal di Sumedang, kenapa mas Seta tidak pindah saja ke Sumedang dan tinggal disini.”
“Ya, hal itu tengah kupikirkan. Namun tentu harus ada seseorang yang menemani aku di Sumedang.” Sahut Seta, tersenyum, menoleh sejenak pada Lintang.
Lintang jadi ikut tersenyum mendengar ucapan Seta. Dia memahami kemana arah pembicaraan Seta. Dia menyandarkan punggungnya dan menyelonjorkan kakinya.
“Kenapa tidak mencari seseorang yang akan menemani mas Seta di Sumedang.”
“Sudah mencari, dan sudah mulai ketemu dengan orangnya.”
“Siapa?”
Seta menoleh mendengar pertanyaan Lintang. “Kamu, orangnya.”
Lintang tersenyum mendengar ucapan Seta. Barangkali lelaki ini hanya bercanda saja. Lintang melihat kejalanan. Hujan masih turun. Orang berjalan lalu lalang disepanjang trotoar. Penjaja makanan mulai memadati sepanjang jalan kiri dan kanan.
Puas berkeliling-keliling Seta    mengajak Lintang  makan diwarung  tenda. Mereka makan ayam bakar sambil menikmati suasana sore yang dingin dan gerimis. Juga memperhatikan keramaian dijalan raya. Walau gerimis turun membasahi bumi namun tidak menghalangi orang untuk turun kejalan dengan kendaraan atau berjalan kaki dengan melindungi diri dari curahan hujan dibawah  payung.   
“Terus terang saja, aku tadi kaget. Tiba-tiba mas Seta  datang kerumah.” Kata Lintang.
“Kenapa?”
“Kenapa kita begitu mudah akrab? Bukankah kita baru saja berkenalan?”
“Kenapa hal itu kau jadikan pikiran? Santai sajalah dan jalani apa adanya.”
“Ya.” Lintang mengangguk.
Lintang menatap wajah Seta. Tiba-tiba saja dia merasa bahagia, Tuhan telah mengirimkan seorang teman kepadanya. Setidaknya kehadiran Seta telah memberikan kebahagiaan pada dirinya. Sejak kemarin dan sore ini. Dia berharap, semoga hubungan mereka tetap seperti ini walaupun mereka baru saja berkenalan.
 “Hujan masih turun. Lebih baik  kita pulang.” Kata Lintang usai makan..
“Aku masih ingin menikmati  sore ini bersamamu.” Ucap Seta.
Wajah Lintang  mendadak bersemu merah. Seta   tersenyum menatapnya.
Lintang merasakan debaran didadanya. Sejak Rangga meninggalkannya dan menikah dengan gadis lain, hatinya seakan tertutup untuk lelaki lain. Dia takut mendapatkan kekecewaan dan sakit hati yang kedua kalinya. Namun menatap mata Seta yang menatapnya dengan hangat dan penuh persahabatan, seakan ingin merengkuhnya dalam kedamaian, ketakutan Lintang  seakan memudar seperti bongkahan es yang lumer disinari mentari. Mata Seta  yang hitam seakan berusaha menembus relung hati Lintang  yang selama ini seakan tertutup rapat. Tubuh Lintang   terasa  menggigil.
“Masih ingin jalan-jalan?” Tanya Seta.
“Tidak,  Kita  pulang saja. Kasihan ibu dirumah.”  Ucap  Lintang.
“Kita beli sesuatu untuk ibumu. Bagaimana kalau roti bakar?”
Lintang mengangguk. Seta menuntun tangannya. Mereka menyeberang jalan menuju tukang roti bakar. Diam-diam Lintang memperhatikan Seta ketika Seta tengah berdiri memperhatikan jalanan sambil menunggu roti bakar pesanan mereka.
Aku pasti mimpi, pikir Lintang. Lelaki ini terlalu cepat datang kepadaku. Hubunganku dengan Rangga yang berjalan empat tahun kandas ditengah jalan, bagaimana mungkin aku akan percaya kepada lelaki ini yang baru kukenal beberapa hari? Seta menoleh, merasa Lintang tengah memperhatikannya.
“Kenapa?”
“Tidak.” Sahut Lintang.
Seta membayar roti bakar. Mereka berdua masuk kembali kedalam mobil Hujan sudah berhenti. Mobil Seta meluncur pelan dijalanan.
“Pasti ada yang tengah engkau pikirkan.” Kata Seta, menoleh sejenak pada Lintang yang diam memperhatikan jalanan didepannya.
“Ya.” Sahut Lintang pelan. Dia menoleh membalas tatapan Seta.
“Apa yang tengah engkau pikirkan?”
“Mas Seta.” Sahut Lintang. “Kenapa secepat ini engkau datang kepadaku padahal mas Seta baru beberapa hari mengenalku.”
“Kenapa hal itu harus kau pertanyakan? Apakah ada jaminan bahwa bila kita sudah mengenal seseorang selama bertahun-tahun hal itu akan membuat kita lebih dekat dengan dirinya?” Seta tersenyum. “Aku melihatmu, berkenalan, dan kemudian kurasakan aku ingin  mengenalmu lebih jauh lagi. Mungkin engkau merasa semua ini terlalu cepat, namun aku tidak merasa begitu. Aku serasa sudah mengenalmu bertahun-tahun lamanya, tepatnya sejak aku makan bersamamu setelah terjadinya kejadian didepan kantormu itu.”
“Ya.” Lintang hanya mengangguk.
“Lintang, aku mungkin terlalu cepat bicara kepadamu, namun aku  ingin engkau sebagai pendampingku selamanya.” Ucap Seta pelan.
Lintang tercekat mendengar ucapan lelaki itu. Dia menatap Seta sesaat seakan tak percaya mendengar apa yang diucapkan lelaki itu.
“Lintang, aku tidak bisa mengungkapkan bagaimana perasaanku kepadamu. Aku merasakan perasaan yang  begitu  indah yang tak dapat aku lukiskan dengan untaian kata-kata.  Aku tak ingin kehilangan engkau sedetikpun. Lintang, aku sudah bilang kepada ibuku di Jogya bahwa aku sudah bertemu dengan seorang gadis Sumedang yang cantik. Ibu ingin bertemu dengan engkau, Lintang..”
Lintang   tak menjawab. Pikirannya terasa melayang. Dia teringat pada ibunya sendiri. Ibu yang sudah sangat mengharapkan dirinya segera berumah tangga agar tuntaslah segala tugas dan kewajiban ibu kepada seluruh anak-anaknya. Kini Seta bicara seperti itu.
Semua itu terlalu cepat untuknya. Dia belum lama mengenal lelaki itu. Namun Seta seakan sudah lama mengenal dirinya dan ingin segera  memastikan hubungan mereka.
Lintang menghela napas dalam. Cinta sering datang tak terduga.  Mengapa dia harus menghindari cinta yang datang terlalu cepat ini.  Seta memang belum lama dikenalnya, namun pengalaman  kebersamaan yang lama dengan Rangga  dimasa lalu ternyata bukan sebuah jaminan bahwa cinta mereka akan berlabuh bahagia.
Lintang menoleh menatap Seta. Dia merasakan keharuan menyesakkan perasaannya. Seta mengulurkan sebelah tangannya dan menggenggam tangan Lintang, lembut dan erat. Perlahan Lintang membalas genggaman tangan lelaki itu. Dia merasakan airmatanya seolah  akan menetes tak kuasa menahan bendungan keharuan dan kebahagiaan yang tengah dirasakannya.

--- 0 ---
Lintang merasa  hubungannya dengan Wiman memang terasa semakin jauh. Seolah ada jarak yang membatasi mereka. Hubungan mereka sebatas hubungan formal. Tidak ada lagi keakraban diantara mereka. Pembicaraan pun formal saja. Yang berkaitan dengan urusan dinas dan pekerjaan. Namun Lintang  selalu menunjukan perasaan senang setiap kali mendengar percakapan para pegawai dikantor tentang  kedekatan  Wiman dengan Acha. Pegawai dikecamatan sepertinya semuanya sudah tahu bahwa Wiman menjalin hubungan dengan Acha. Gosip yang paling mutakhir tentang Wiman dan Acha, mereka akan segera menikah.
Aniek yang pertama kali membicarakan masalah perkawinan itu. Dia memergoki Wiman dan Acha ditukang jahit.
“Mereka akan segera menikah. Bapak camat menjahit jas dan Acha menjahit kebaya. Kebayanya warna hijau.” Cerita Aniek bersemangat.
“Syukurlah. Mudah-mudahan perkawinan mereka bahagia.”
“Ya.” Sahut Aniek. Dia menatap Lintang.”Tapi…….”
“Kenapa?” Lintang menatap Aniek.
“Aku tidak pantas mengucapkannya, apalagi bila sampai kedengaran oleh pak camat, hanya saja kok rasanya aku tidak tega melihat pak camat akan menikah dengan gadis yang sebentar lagi akan dioperasi kakinya. Aduh, maaf bu, saya hanya mengucapkan apa yang ada dalam hati saya saja.”
Lintang mengangguk. “Mungkin bukan engkau saja yang berpikir bergitu, Niek. Mungkin  yang lain juga punya pikiran seperti itu. Namun kita kembalikan, bahwa urusan jodoh ada ditangan Tuhan. Mungkin memang Acha adalah wanita terbaik buat pak camat. Kita kan tidak tahu. Semuanya adalah rahasia Allah.”
Aniek menatap Lintang. “Kenapa pak camat mencari bunga dihalaman milik orang lain, padahal dihalaman sendiripun ada bunga yang sangat indah dan menarik.”
Lintang mengerti maksud ucapan Aniek. Dia hanya tersenyum. “Kumbang kan merasa lebih gagah bila beterbangan ke kebun orang lain, dari pada hanya berputar-putar dikebun sendiri.”
“Ah, bu Lintang, ada-ada saja.” Aniek tersenyum.
 “Bu Lintang kok tidak pernah bersama-sama lagi dengan pak Camat?” tanya Anjar yang mendengar percakapan Lintang dengan Aniek. Dia ikut duduk diantara mereka.
Lintang tersenyum mendengar pertanyaan itu.
“Memang kenapa?” Tanya Lintang.
“Yah, dulu kan ibu sering keluar bersama-sama dengan pak Camat. Kemana-mana pak camat sering mengajak ibu, tapi sekarang kok tidak pernah kelihatan bersama-sama lagi.”
“Ah, tidak apa-apa. Dulu sering bersama-sama karena memang tugasnya memungkin untuk bersama-sama. Sekarang mungkin pak camat mengajak yang lain untuk mendampinginya.”
“Atau bu Lintang sekarang sudah punya calon, ya?” Anjar tersenyum menatap Lintang.
“Doakan saja, ya.”
“Oh, jadi benar ya rumor yang saya dengar bahwa bu Lintang akan segera menikah. Selamat ya, bu. Mudah-mudahan bu Lintang segera naik pelaminan.”
Lintang hanya tersenyum.
“Apa benar pak camat akan menikah dengan Acha, perawat di puskesmas samping kantor kita?” tanya Anjar yang nampaknya belum puas ingin bercakap-cakap dengan Lintang.
 “Oh, apa ada berita pak camat akan menikah dengan bu Acha?” Tanya Lintang pura-pura.
“Yah, saya mendengar gosip itu kemarin dari pegawai-pegawai di puskesmas.” Sahut Anjar. “Semua pegawai di puskesmas sudah tahu Acha akan menikah dengan pak camat. Mereka bilang akan kenduri besar antara kantor kecamatan dan kantor puskesmas.”
“Yah, mudah-mudahan saja bukan sekedar gosip, bu.”
“Tapi kabarnya bu Acha kakinya akan diamputasi dalam waktu dekat ini, jadi bagaimana ya, masa istri  camat kakinya satu?”
“Memang  kenapa kalau istri camat kakinya hanya tinggal satu?’
“Lho, jadi isteri camat itu kan tugasnya berat. Istri camat kan otomatis jadi ketua tim penggerak PKK Kecamatan. Banyak program-program dan kegiatan yang mengharuskan isteri seorang camat terlibat secara aktif. Rasanya bagaimana ya, bila isteri camat  orang cacat. Bagaimana komentar orang bila ada istri pejabat yang kakinya cacat?”
Lintang tidak berkomentar.  Dia tidak mau terpancing dengan obrolan pegawai-pegawai dikecamatan. Salahku juga, pikir Lintang. Aku selama ini tidak berusaha menutupi kedekatanku dengan Wiman. Jadi sekarang seperti bumerang bagi aku sendiri ketika Wiman dekat dengan perempuan lain.

--- 0 ---

Karena kesibukan pekerjaannya, Lintang hampir tidak pernah memikirkan Acha lagi. Dia tidak lagi peduli sudah sampai dimana hubungan Wiman dan Acha. Biarlah itu urusan mereka berdua, dia tidak ingin ikut campur lagi. Hingga kemudian  Lintang mendapat berita kaki kanan  Acha sudah diamputasi.
Lintang terkejut mendengar berita itu. Rasa iba dan kasihan kepada gadis itu mengusik perasaannya dan membangkitkan lagi kenangannya bahwa dia pernah dekat dengan gadis itu. Namun ketika Lintang akan  menengok Acha kerumahnya, Acha menolak bertemu dengannya.
Lintang tidak bisa memaksa walaupun hatinya sedih. Dia ingin sekali bertemu dengan Acha. Hanya sekedar bertemu. Dia ingin melihat Acha dengan setulus hatinya. Namun Acha tidak bisa merasakan ketulusan hatinya. Dua kali Lintang kerumahnya, dua kali pula dia gagal bertemu dengan Acha. Cukup lama Lintang menunggu hingga Acha masuk kantor lagi. Namun berita yang diperolehnya Acha sudah jarang masuk kantor.
Kasihan Acha, pikir Lintang. Mungkin dia sekarang merasa rendah diri dengan keadaannya saat ini. Pasti berat buat Acha menerima keadaan dirinya yang sekarang sudah cacat. Ah, apakah Acha mengenakan sepasang kruk yang akan membantunya berjalan? Ataukah dia mengenakan kaki palsu agar penampilannya kelihatannya tidak jauh berubah?
Namun kejutan itu tiba-tiba terjadi lagi. Lintang hampir tidak mempercayai apa yang disampaikan Aniek kepadanya. Mereka tengah makan gado-gado di kantin tidak jauh dari kantor ketika tiba-tiba Aniek nyeletuk.
“Pak camat akan menikah.” Kata Aniek sambil menatap Lintang. “Kejutan.”
Lintang menatap Aniek serius. “Kejutan? Kenapa dibilang kejutan? Bukankah sudah sejak tempo hari berita pak camat akan menikah dengan Acha sudah diketahui banyak orang, bukan hanya pegawai kecamatan tapi juga masyarakat disekitar kecamatan ini.”
Aniek menatap Lintang. “Oh, rupanya bu Lintang  belum tahu, ya? Berita pak camat dengan Acha itu kan sudah berita basi, sudah tidak berlaku lagi. Pak camat akan menikah bukan dengan Acha, tapi dengan bu Sekar, kades gudangwangi.”
Kini Lintang terpana. Tak percaya mendengar berita itu. Apa dirinya yang terlalu sibuk sehingga tidak sempat lagi memperhatikan gossip yag beredar dikalangan sendiri.
“Apa? Dengan bu kades? Aku tak pernah mendengar gossip tentang mereka sebelumnya. Jadi bukan dengan Acha?”
Aniek kembali menggeleng. “Bukan.” Sahutnya. “Memang sepertinya hubungan antara pak camat dan bu kades tidak banyak yang mengetahui. Bahkan ada kecenderungan pak camat dengan bu Sekar sendiripun sepertinya  sengaja menutup-nutupi hubungan mereka agar tidak diketahui banyak orang. Bila bu kades datang ke kantor kecamatan, baik sikap bu kades maupun sikap pak camat kelhatannya sikap mereka berdua wajar-wajar saja. Keduanya  tidak memperlihatkan bahwa diantara mereka ada hubungan istimewa. Tapi orang-orang dekat mereka sudah lama tahu bahwa antara pak camat dan bu Sekar sudah lama terjalin hubungan. Kedekatan hubungan mereka tepatnya bahkan  sejak bu Sekar mencalonkan diri menjadi kades, pak camat yang memberikan dukungan penuh pada bu Sekar. Tak heran bila bu Sekar menang dalam pemilihan kades itu karena pamornya banyak dipengaruhi oleh pamor pak camat yang dalam acara-acara tidak resmi sering menemaninya  berkunjung ke masyarakat hingga ke pelosok  dusun-dusun.”
“Lalu apa artinya hubungan pak camat dengan Acha selama ini?”
“Banyak yang bilang pak camat hanya sekedar kasihan kepada Acha karena pak camat tahu Acha menyukainya dan kondisi Acha yang tengah sakit. Hubungan pak camat dengan Acha mungkin memang benar pernah terjadi, namun hubungan itu tidak berlangsung lama. Pak camat sekarang sudah menentukan pilihannya pada bu Sekar. Pak camat sudah mantap akan segera menikah dengan bu Sekar. Dan mereka memang sekarang sudah sering tampil bersama-sama. Hubungan yang sebenarnya sudah terjalin lama namun baru sekarang berani diperlihatkan pada orang lain menjelang perkawinan mereka.”
Sejenak Lintang termangu mendengar cerita Aniek. Banyak hal yang tidak diketahuinya tentang atasannya dan wanita kades itu. Sudah sering dia mendengar berita Wiman sering bersama-sama dengan Sekar. Ketika terjadi longsor di desa Gudangwangi, Wiman datang dengan cepat membantu Sekar mengatasi keadaan didesanya yang dilanda kepanikan ketika lebih dari duapuluh penduduk tertimbun tanah longsor dan harus segera dievakuasi. Ketika terjadi kericuhan antara pemuda didesa itu, Wiman yang tampil mendampingi Sekar mengatasi pertikaian didesa yang dipimpin wanita itu sehingga kericuhan itu berakhir damai.
 Begitu banyak kejadian yang didengar Lintang yang berkaitan dengan Sekar, dan selalu Wiman hadir mendampingi wanita itu. Mungkin dari kejadian-kejadian itu yang memupuk kebersamaan diantara Wiman dan Sekar dan akhirnya menumbuhkan benih-benih cinta diantara mereka ketika tugas dan emosi pribadi menyatu dan berbaur menjadi satu.
Aniek menatap Lintang yang masih termangu. “Bu, memang sih sepertinya tidak mungkin pak camat memilih Acha. Gadis itu cacat dan punya penyakit yang berat sekali. Sementara pak camat masih memiliki masa depan yang panjang dan  karier yang masih lama. Bila menikah dengan bu Sekar, justru karier pak camat akan banyak ditopang oleh bu Sekar karena , mereka berdua sama-sama bergerak dibidang pemerintahan.”
Lintang masih termangu. Sebenarnya memang  sudah  lama  dia mendengar kabar kedekatan Wiman dengan Sekar. Namun bila melihat dari sikap keduanya yang wajar-wajar saja bila bertemu, orang sulit menduga apakah benar ada hubungan istimewa diantara mereka. Sehingga  selama  ini dia tetap menduga bahwa Wiman masih menjalin hubungan dengan Acha. Namun kini kenyataannya ternyata lain. Wiman akan menikah dengan Sekar.
Kasihan Acha, kata Lintang dalam hatinya. Acha seolah dipermainkan oleh Wiman. Mungkin Acha sekarang semakin terpukul ditinggal pergi oleh Wiman. Bukan urusanku, pikir Lintang. Tapi aku kasihan pada Acha. Apalagi dengan keadaan dirinya yang sekarang sudah cacat.
Setelah mendengar berita bahwa Wiman akan menikah dengan Sekar, Lintang sering memperhatikan Acha bila dia tengah keluar dari kantornya. Semula Acha mengenakan sepasang kruk kayu untuk membantunya berjalan. namun kemudian Acha seakan sudah normal, berjalan dengan sepasang kakinya. namun semua tahu, kaki kanan Acha palsu.
Perkawinan Wiman dengan Sekar berlangsung tidak lama setelah Lintang mendengar berita itu dari Aniek.  Wiman dan Sekar nampaknya sudah mempersiapkan segalanya dengan baik. Berita mereka akan menikah tiba-tiba saja terdengar dan perkawinan itu terjadi dalam waktu yang cepat tidak lama setelah berita hubungan mereka mencuat dan diketahui oleh banyak orang.
Lintang menghadiri perkawinan Wiman dan Sekar bersama dengan teman-teman sekantornya. Resepsi perkawinan Wiman dan Sekar berlangsung cukup meriah. Ditengah-tengah resepsi perkawinan Wiman dan Sekar, Lintang  mencoba mencari Acha diantara sekian banyaknya tamu undangan yang hadir didalam gedung tempat berlangsungnya resepsi perkawinan Wiman dan Sekar. Namun dia tidak berhasil menemukan sosok Acha.
Dua minggu setelah perkawinan  Wiman dengan Sekar,  akhirnya Lintang bertemu Acha. Gadis itu sudah berubah. Dia tidak lagi seperti Acha yang dulu dikenalnya. Terlalu banyak perubahan yang terjadi pada dirinya. Kini dia hidup dengan sebuah kaki palsu pada kaki kanannya. Dan semua itu seakan belum mengakhiri penderitaannya. Kanker ganas itu terus menjalar menggerogoti tubuhnya. Dia dapat merasakan kedukaan dan kesedihan yang dirasakan oleh Acha.
Lintang membayangkan Wiman. Dia tidak menyalahkan Wiman bila lelaki itu pergi meninggalkan Acha. Namun disisi lain naluri kewanitaannya seakan terusik. Betapa menyedihkannya ditinggalkan dan dicampakkan begitu saja oleh lelaki yang dicintai.

--- 0 ---

Hampir setiap hari Seta  menelepon Lintang. Mereka rutin saling mengirim pesan pendek dan menghabiskan banyak waktu untuk saling berbagi cerita ditengah-tengah rutinitas pekerjaan mereka.
Lintang merasa  hubungannya dengan Seta semakin serius. Setiap saat dia memanjatkan doa semoga Allah merestui hubungan mereka. Ketika Seta melamarnya, bagi Lintang lamaran Seta sangat mengejutkan. Kejutan yang manis. Mereka baru enam bulan berkenalan namun Seta sudah menganggap cukup waktu enam bulan buat mereka untuk saling mengenal dan dia berharap mereka akan mengakhiri hubungan mereka itu  dalam sebuah perkawinan. Dua keluarga sudah bertemu dan mereka sudah sepakat untuk segera menentukan hari perkawinan.  
Hubungannya dengan Seta membuat Lintang lebih memikirkan dirinya sendiri. Dia tengah diliputi perasaan bahagia dan sekaligus was-was menjelang pernikahannya yang semakin dekat. Dia nyaris tidak pernah lagi memikirkan orang lain. Dia juga tidak pernah lagi memikirkan Acha. Apalagi setelah Wiman menikah dan dia melihat Wiman kelihatan bahagia bersama Sekar, Lintang tidak ingin lagi ikut campur dengan urusan orang lain. Apalagi disaat dirinya sendiri pun  tengah memiliki kebahagiaan sendiri, tengah merajut masa depan bersama dengan lelaki yang mencintai dan menyayanginya. Apa yang diberikan Seta kepadanya seakan karunia yang tak pernah berhenti disyukurinya. Dia ingin menatap masa depan yang indah bersama Seta.
Lama sekali Lintang tidak pernah melihat Acha walaupun berita mengenai Acha kerap didengarnya. Beberapa orang temannya mengatakan Acha sekarang semakin jarang masuk kerja. Amputasi kakinya tidak mengakhiri penderitaan gadis itu. Kanker ganas itu sudah menjalar menggerogoti tubuhnya.
Hingga suatu hari, tiba-tiba  Acha meneleponnya. Lintang terkejut mendapat telepon dari Acha. Sudah lama sekali dia tidak  pernah berkomunikasi dengan Acha. Dalam teleponnya, Acha mengaytkan ingin bertemu dengannya. Suaranya lirih dan sendu. Lintang merasa tersentuh mendengar keinginan gadis itu yang ingin bertemu dengannya. Dia tidak tega menolaknya. Akhirnya dia bilang akan menemui Acha kerumahnya.
Sore itu  Lintang menemui gadis itu dirumahnya. Acha menyambut kedatangannya. Kelihatannya dia sudah lama menunggu kedatangan Lintang. Wajahnya yang pucat berubah ketika melihat kedatangan Lintang. Ada binar-binar kebahagiaan pada sepasang matanya yang sayu.
“Mbak, alangkah menyenangkannya bila kita duduk dihutan pinus dibelakang kantor kita.” Kata Acha. “Mbak mau menemani aku duduk kesana?”
“Kau mau kesana?” Tanya Lintang.
“Ya, aku ingin kesana bersama mbak Lintang.” sahut Acha.
“Ayo kita kesana.” Ajak Lintang.
Lintang mengemudikan mobilnya menuju bukit pinus. Mobilnya diparkir didepan kantornya. Mereka melalui jalan setapak disamping kantor. Keduanya bergandengan tangan. Berjalan perlahan-lahan menaiki bukit pohon pinus. Mentari sudah semakin redup. Sore mulai menjelang.
Mereka berjalan-jalan bersama tanpa melepaskan tangan mereka yang bergandengan. Keduanya berjalan menaiki jalan setapak menuju ke bukit dimana tumbuh hutan pinus.
Langkah keduanya berhenti. Acha duduk pada rumput sambil bersandar pada sebatang pohon pinus. Lintang duduk disampingnya.
“Kita sudah berada dihutan pinus ini.” Kata Lintang.
“Ya.” Sahut Acha. Bibirnya tersenyum memperhatikan sungai yang berkelak-kelok mengalir dibawah hutan pinus itu. “Sungai itu indah sekali, ya.”
“Ya.” Sahut Lintang.
“Airnya bening dan jernih.”
“Ya.” Lintang ikut memperhatikan sungai itu. Memperhatikan airnya yang bening dan jernih.
“Terima kasih mbak Lintang sudah menemani aku kesini.” Ucap Acha lirih.
“Kau ingin kesini, tentu saja aku temani.” Sahut Lintang.
Acha menatap Lintang. “Mbak Lintang baik sekali kepadaku.”
“Aku baik pada siapapun.”
“Ya, mbak Lintang selalu baik pada siapapun. Aku bersyukur bisa kenal dengan mbak Lintang dan bisa merasakan kebaikan mbak Lintang yang tulus kepadaku.” 
Acha menunduk, menatap cincin bermata kecubung berwarna ungu yang menghiasi jari manisnya.
“Mbak Lintang suka tidak dengan cincinku ini?” Tanya Acha.
“Kenapa?”
“Aku ingin tahu apa mbak Lintang menyukai cincinku ini?”
“Ya, cincinmu bagus sekali.”
Acha tersenyum menatap cincinnya, lalu dikecupnya pelan. Perlahan dia membuka cincin itu dari jari manisnya. Dia menatap Lintang. Pada saar itu Lintang baru melihat sepasang mata Acha kelihatan berkaca-caka.
 “Mbak Lintang, mungkin usiaku tidak lama lagi.” Ucap Acha lirih, tersendat menahan tangisannya. “Sebelum aku pergi, aku ingin memberikan kenangan ini untuk mbak Lintang. Kuberikan cincin ini kepada mbak Lintang. Pakailah, mbak. Bila kelak aku sudah meninggal, simpanlah cincin itu sebagai kenangan dariku bahwa satu saat dalam hidup kita, kita pernah saling mengenal.”
Airmata Lintang berlinang. Perasaannya terasa sesak penuh keharuan dan kesedihan mendengarkan setiap kata yang terucap dari bibir Acha. Dia diam saja ketika Acha mengambil jari manis tangan sebelah kiri dan mengenakan cincin itu dijarinya.  Airmatanya jatuh ketika Acha menggenggam jemarinya dengan erat dan memeluk tubuhnya. Dia merasakan tubuh Acha bergetar. Dipeluknya tubuh gadis itu penuh keharuan.
“Terima kasih, Acha. Kenapa engkau memberikan cincin ini kepadaku?” Tanya Lintang dengan suara bergetar.
“Karena aku sayang pada mbak Lintang. Mbak Lintang selama ini sangat baik dan penuh perhatian kepadaku.” Ucap Acha lirih. Airmatanya menggenang pada sepasang matanya. Dia melepaskan pelukannya walaupun tangannya masih menggenggam tangan Lintang erat.
“Aku tahu yang telah dilakukan mbak Lintang kepadaku.” Acha menatap Lintang. “Apa yang pernah dilakukan mbak Lintang untuk membahagiakan aku. Agar aku merasakan bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Walaupun Kebahagiaan yang kurasakan itu  hanya sesaat namun aku bisa merasakan ketulusan mbak Lintang dalam melakukan semua itu kepadaku. Sayang lelaki yang kucintai  tidak mencintaiku dan dia bukan jodohku.”
Lintang diam saja. Dia tidak ingin membicarakan lagi soal Wiman dengan Acha bila membicarakan lelaki itu akan mengoyakkan kembali luka dihati Acha karena Wiman sekarang telah menjadi milik wanita lain.
“Aku tidak ingin menyesali takdir yang telah ditentukan Allah pada kehidupanku.” Bisik Acha dengan suara serak.  “Aku tidak ingin menangisi nasib dan takdirku. Namun seandainya aku bisa meminta kepada Allah, ya Allah tolong panjangkanlah umurku agar aku bisa lebih lama lagi menikmati hidupku ini. Berilah aku umur, jangan sekarang engkau mengambil nyawaku. Berilah aku kesempatan untuk berbuat lebih banyak lagi dalam hidup. Beri aku kesempatan untuk  mengisi hidupku ini lebih lama lagi……”
Airmata Acha seakan bagaikan air bah yang mengaliri kedua belah pipinya yang putih dan cekung. “Namun pintu kematian itu terasa semakin dekat kepadaku.” Bisik Acha tersendat bercampur dengan tangisannya. “Setiap malam aku merasa tangan-tangan yang akan menjemputku mengulurkan tangan-tangannya. Oh, mbak Lintang, aku merasa takut. Aku merasa belum siap menghadapi kematian. Semua itu sungguh mengerikan bagiku. Namun bagaimana caranya aku menolak dan menghindari kematian ini? Bantulah aku, mbak Lintang. Bantulah aku untuk merasa siap menyongsong kematianku ini…..”
Airmata Lintang tak terbendung lagi. Mengalir deras membasahi kedua belah pipinya. Sungguh mengharukan melihat orang yang merasa hidupnya sudah diambang kematian, berbicara seperti itu. Dia memeluk Acha. Dia merasakan kasih sayangnya mengalir pada gadis itu.
Ah, seandainya saja dia bisa menyembuhkan gadis itu. Namun untuk sekedar mengucapkan kata-kata hiburan pun dia merasa sudah tidak sanggup lagi. Ribuan kata hiburan yang akan diucapkannya pada gadis itu tidak akan membuatnya bisa merubah keadaan.

--- 0 ---

Acha meninggal. Akhirnya pertahanannya tak sanggup lagi membendung kanker ganas yang telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Berita kematian Acha diperoleh  Lintang dari Tuti yang mengirim  pesan pendek ditengah malam buta.  Hingga pagi datang menjelang, Lintang tidak bisa lagi memejamkan matanya. Kematian Acha menorehkan kesedihan dalam hatinya.
Lintang merasakan kesedihan dan duka yang mendalam dalam hatinya. Berita kematian Acha  diterimanya dua minggu menjelang perkawinannya, ketika dia tengah disibukan dengan segala hal menyambut perkawinannya dengan Seta. Beragam kejadian terasa membayangi pikirannya. Lintang merasa Acha sudah dekat dengannya. Dia sudah menganggap Acha sebagai adiknya sendiri.
Pemakaman Acha dilaksanakan esok harinya. Wiman dan Sekar datang dalam acara pemakaman itu. Keduanya berdiri berdampingan, diam terpaku menatap tanah yang sedikit demi sedikit menutupi liang kuburan dimana Acha terbaring ditempat peristirahatannya yang terakhir.
Lintang datang sendirian. Kerudung putih menutupi rambutnya.  Tadi pagi dia masih sempat mengirimkan pesan pendek pad Seta mengabarkan Acha telah meninggal. Tidak ada jawaban dari Seta. Namun Lintang merasa, Seta pasti ikut merasa prihatin dengan meninggalnya Acha.
Esok harinya, dikala senja sudah mulai menjelang, Lintang masih berada dikantornya. Masih ada beberapa orang pegawai yang tengah menyelesaikan pekerjaan mereka. Lintang keluar dari kantornya. Dia berjalan  menaiki bukit dibelakang kantornya. Berjalan diantara pohon-pohon  pinus diperbukitan yang teduh dan sejuk. Udara sore terasa segar. Angin meniup rambutnya.
Lintang bersandar pada sebatang pohon pinus. Matanya memperhatikan sungai yang mengalir dibawah bukit. Sungai yang jernih dan bening. Dia teringat ketika dirinya dan Lintang disenja yang merah pergi berdua menaiki bukit. Tak sadar mata Lintang memperhatikan cincin yang menghiasi jari manisnya. Cincin bermata kecubung berwarna ungu itu terasa menyentuh perasaannya.
Lintang menahan airmatanya. Dia menengok pada bangunan disebelah kantor kecamatan. Bangunan puskesmas yang berdiri kokoh dengan warna bangunannya yang putih bersih.  Dia merasa Acha masih ada disana, tengah melayani dan merawat pasien yang datang. Gadis itu begitu cantik dengan seragam kerjanya yang berwarna putih dan rambutnya yang selalu diikat rapi, digulung dibagian belakang membentuk sanggul kecil.
Airmata Lintang  mengalir perlahan  membasahi kedua belah pipinya. Acha memang telah pergi namun kenangannya bersama gadis perawat yang cantik itu tak akan pernah pudar dari ingatannya. Dia merasakan mendengar senandung pucuk-pucuk pinus bersenandung lirih.

--- 0 ---



Tidak ada komentar:

Posting Komentar