Jalanan yang dilaluinya
berkelak-kelok. Beberapa kali ada tikungan tajam yang membuat ban berderit
ketika berbelok. Disisi kiri terbentang pesawahan yang luas. Padi yang
menghijau terasa menyejukan pandangan. Sementara disebelah kanan hutan pinus
diperbukitan memberikan keindahan tersendiri.
Lintang mengemudikan
mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia tidak merasa harus terburu-buru sampai
dikantornya yang baru. Hari ini dia akan melapor setelah mendapat surat
perintah penugasan dikantor kecamatan.
Setelah melewati jalanan
yang berkelak-kelok akhirnya jalan yang dilaluinya lurus dan landai. Betapa
menyenangkannya ketika Lintang bisa menambah kecepatan dan mobilnya meluncur
cepat memberikan kenikmatan tersendiri baginya dalam mengemudikan mobilnya. Jarang
sekali dia berpapasan dengan mobil lain.
Lintang mengurangi
kecepatan ketika dia melihat papan nama kantor kecamatan. Dia melihat jam
tangannya. Hanya dua puluh menit perjalanan dari rumahnya. Dugaan kantor
kecamatan jauh dari rumahnya yang membuatnya terpikir untuk menyewa rumah pudar
sudah. Dia tetap bisa tinggal dirumah ibunya dan tidak perlu merasa khawatir
akan kesiangan.
Lintang memasukan mobilnya
kehalaman kantor kecamatan yang cukup luas. Dia turun dari mobilnya. Sejenak dia berdiri menatap bangunan kantor kecamatan
itu. Udara segar terasa berhembus
menerpa wajahnya. Inilah kantor kecamatan
tempatnya akan mengawali bekerja sebagai pegawai negeri.
Kecamatan Ganeas berada
didaerah perbukitan. Udaranya sejuk dan segar. Letak kantor kecamatan berada
pada tanah yang lebih tinggi dari jalanan. Pagar yang tidak terlalu tinggi
mengintari kantor kecamatan. Halamannya luas dengan rumput yang menghijau. Pagar besi bercat putih mengitari sekeliling kantor
itu. Sebuah jalan beraspal mengitari halaman kantor kecamatan dari mulai pintu
pagar sebelah kiri hingga pintu pagar sebelah kanan. Kendaraan yang masuk dari
sebelah kiri dan keluar dari pintu sebelah kanan. Sebatang pohon flamboyan yang besar dan rindang meneduhi
halaman kantor memberikan kesejukan. Disamping kantor kecamatan berdiri
puskesmas dengan bangunannya yang bertingkat dua dan dicat putih. Lintang memasuki
ruangan depan kantor kecamatan itu. Beberapa orang karyawati yang berada
diruangan depan menoleh padanya.
“Selamat siang.” Sapa Lintang.
“Selamat siang.” Sahut
seorang karyawati yang menghampirinya.
“Bisa saya bertemu dengan
bapak camat?”
“Oh, bisa. Kebetulan bapak
ada didalam. Namun sekarang sedang menerima
tamu. Ditunggu sebentar ya, Bu.” Karyawati itu mempersilahkan
Lintang duduk pada kursi yang ada
diruangan itu.
Diruangan tamu itu ada
seperangkat kursi dengan motif bunga yang lembut. Lintang
duduk menunggu. Ruangan kantor itu sederhana namun bersih. Sesaat
dia teringat pada kantornya di swasta di
Bandung sebelum dia diterima sebagai pegawai negeri dan mendapatkan surat
penempatan tugas disini. Kantornya yang dulu sebuah kantor konsultan dengan
bangunan yang cukup megah. Namun
akhirnya dia keluar dari kantor itu setelah bekerja selama hampir dua tahun karena
dia berhasil masuk menjadi pegawai negeri. Sesuai dengan harapan dan keinginan
almarhum ayahnya yang menginginkan dirinya menjadi pegawai negeri seperti
ketiga kakaknya. Iswandi, Puri, Winda.
“Mari silahkan, Bu. Bapak
sudah diberitahu ada tamu.” Suara karyawati itu mengusik Lintang.
“Oh, terima kasih.”
Lintang bangkit.
Lintang melangkah menuju
ruangan camat. Diketuknya pintu pelan
sebelum masuk. Dia mengangguk pada seorang lelaki yang sedang duduk menghadapi
mejanya, mengangguk dan sesaat kemudian
dia terpana melihat pria itu. Pria yang sedang duduk menghadapi mejanya dengan
pangkat camat didadanya itu pun sama terpana menatapnya.
“Selamat siang, Pak
Camat.” Lintang tersenyum.
“Selamat siang, Lintang.
Kejutan menerima kunjunganmu. Silahkan duduk.”
Bapak Camat bangkit dan
duduk pada sofa yang ada diruangannya. Lintang duduk dihadapannya. Tersenyum menatap pria
itu.
“Jadi atasanku sekarang
adalah teman kakakku waktu SMA dulu?”
tanya Lintang.
Wiman tersenyum
menatapnya. “Laporan dulu, apa maksud kedatanganmu kemari? Apa maksudmu
atasanmu adalah kakak kelasmu? Maksudmu, kau bekerja disini?” tanya Wiman.
Lintang tersenyum. “Yah, laporanku singkat saja. Aku
diterima sebagai pegawai negeri setelah menunggu kesempatan cukup lama dan
gagal tiga kali waktu mengikuti test.
Yang keempat kali barulah aku berhasil lulus. Dan pada surat keputusan sebagai pegawai negeri menempatkan aku disini.”
“Bagus. Selamat datang dan
selamat bekerja.”
“Aku masih harus mendapat
banyak bimbingan dari bapak camat yang tentunya jauh lebih banyak pengalamannya
dari saya. Banyak hal yang masih harus kupelajari.”
“Bila kau tekun, kau akan
mendapatkan apa yang ingin kau ketahui. Dan semua itu akan menjadi bekal
sebagai pengalaman bekerja buatmu. Pengalaman kerja itu penting karena akan
membuatmu lebih fleksibel dalam menjalankan tugas dimanapun engkau ditempatkan.”
“Terima kasih,
mudah-mudahan aku bisa melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, pak camat.”
Wiman tertawa. “Oke, bila
dalam suasana formal, kau bisa menyebut aku dengan sebutan bapak camat. Namun
dalam keadaan non formal, aku tetap
teman kakakmu.”
Lintang mengangguk.
“Aku mengucapkan selamat
kau berhasil menjadi pegawai negeri.
Sebelumnya kau bekerja dimana?”
“Disebuah perusahaan
pengembang perumahan. Aku bekerja disana hampir dua tahun. Namun setiap kali ada test penerimaan
pegawai negeri, aku selalu mengikutinya. Bapak tetap mengharapkan aku menjadi
seorang pegawai negeri seperti ketiga kakakku. Alhamdulillah, aku akhirnya
berhasil mewujudkan keinginan dan harapan bapak, namun sayang bapak tidak
sempat melihat bahwa harapan dan keinginannya sudah terkabul….”
“Maksudmu?”
“Bapak meninggal dua tahun lalu.” Mendadak Lintang merasa sedih ketika teringat pada almarhum
bapaknya yang sejak dia lulus dari perguruan tinggi sangat mengharapkan dirinya mengikuti jejak ketiga
kakaknya, Iswandi, Puri dan Winda yang
menjadi pegawai negeri. Wiman adalah teman sekelas Iswandi, kakak
sulungnya, waktu di SMA.
“Bagaimana kabar ibumu?”
tanya Wiman.
“Alhamdulillah, Ibu sehat. Selama saya bekerja di Bandung,
ibu tinggal sendirian. Namun sekarang setelah saya kembali ke Sumedang, saya
bisa menemani ibu lagi agar ibu tidak kesepian setelah satu persatu
anak-anaknya meninggalkan rumah dan memiliki kehidupan masing-masing”
“Sampaikan salam saya pada ibumu.”
“Terima kasih. Insya Allah
akan saya sampaikan. Ibu pasti senang bila mengetahui bahwa atasan saya adalah
seseorang yang sudah kenal dengan keluarga kami.”
“Kabarnya Iswandi sudah
menjadi menjadi kepala seksi.”
“Ya, dia sekarang berada
di Cilacap.”
“Mulai hari ini kau sudah
resmi berkantor disini. Kau tidak perlu khawatir ditempatkan di kecamatan. Ganeas bukan sebuah
kecamatan yang berada di pelosok atau jauh dari pusat kota. Dari pemda sumedang
pun hanya sekitar dua puluh menit jarak tempuhnya. Mengawali karier sebagai
pegawai di kecamatan akan membuatmu mendapatkan banyak pengalaman yang
berhubungan langsung dengan masyarakat. Yang akan menjadi bekal bagimu untuk
menapak kariermu nanti.”
“Ya.” Sahut Lintang. “Padahal sebelumnya
saya sudah mengira bahwa Ganeas
merupakan kecamatan yang jauh dari pusat kota
Sumedang.”
“Kau tinggal di Sumedang
tapi tidak mengenal daerahmu sendiri.”
“Karena aku dulu jarang
bepergian menjelajahi seluruh pelosok Sumedang.”
“Namun sekarang kau akan
semakin mengenal daerahmu sendiri. Aku berharap kau betah disini dan bisa
menunjukan kerja dengan baik.”
“Mudah-mudahan.” Sahut
Lintang. “Sepertinya sekarangpun merupakan awal yang baik, aku tidak mengira,
atasanku bapak camat adalah seseorang yang pernah aku kenal.”
Wiman tersenyum. “Meja dan
kursi untukmu besok sudah ada, jadi mulai besok kau sudah punya meja dan kursi.”
“Terima kasih.”
“Sekarang temani aku makan
siang, oke?”
“Baik.” Lintang tersenyum.
Perutnya sendiri terasa lapar.
Mobil dinas camat keluar
dari halaman kantor kecamatan. Mobil kijang hitam itu meluncur dijalanan beraspal yang mulus. Dikanan kiri jalan banyak tumbuh pohon-pohon
pinus. Udara terasa sejuk dan segar.
“Jalanan disini mulus,
ya?” tanya Lintang.
“Jalanan disini memang
mulus, tapi bila kau melakukan kunjungan ke beberapa desa yang masuk wilayah
kecamatan Ganeas, ada beberapa desa yang jalannya masih bebatuan, belum diaspal.” Sahut Wiman.
“Sejak dulu pihak kecamatan sudah mengajukan proposal minta bantuan aspal ke pemda. Dari
pihak pemda pun sudah memberikan jawaban akan memberikan bantuan aspal pada dua
desa yang diajukan namun sampai sekarang belum terealisasi.”
“Kalau ada tugas ke lapangan, aku ajak, ya.”
“Oke.”
Mobil memasuki halaman
sebuah rumah makan. Rumah makan itu
berdinding bilik dengan penataan yang artistik.
Suasana terasa nyaman dan sejuk. Disamping kiri, ada taman dengan tiga
buah pancuran diatas kolam yang menimbulkan bunyi gemercik air.
“Aku merasa diperlakukan
istimewa.” Kata Lintang. “Hari pertama bertugas, bapak camat sudah mengajakku
makan siang.”
Wiman tersenyum. “Aku
belum makan siang. Kebetulan ada kamu. Jadi sekalian saja makan siang
sama-sama.”
“Istrimu tidak menyiapkan
makan siang dirumah?”
Wiman tertawa. “Belum.
Belum ada istri yang menyediakan makan siang untukku.”
“Mas Wim belum menikah?
Mana mungkin bapak bupati mengangkatmu menjadi seorang camat bila mas Wim belum
memiliki seorang istri?” cetus Lintang. “Lalu bagaimana dengan kegiatan PKK?
Bukankah PKK harus dipegang oleh istri camat?”
“Ada istri sekretaris kecamatan yang menangani
kegiatan PKK untuk sementara waktu sambil menunggu aku memiliki seorang
pendamping.” Wiman tersenyum. “Soal aku
belum menikah, kejadian ini diluar dugaan aku sebagai manusia yang tidak bisa
mengelak dari takdir dan kekuasaan Yang Maha Kuasa. Aku sudah memiliki seorang
calon istri yang akan segera kunikahi. Ketika bapak bupati memanggilku dan
mengatakan aku akan mendapat tugas baru sebagai seorang camat, aku bilang siap
untuk melaksanakan tugas dimanapun. Lalu bapak bupati mengatakan bahwa untuk
menjadi seorang camat aku harus menikah dulu, aku harus memiliki pendamping
dahulu. Aku mengatakan kepada bapak bupati bahwa aku akan segera menikah,
calonku sudah ada, aku sudah siap akan
menikah. Tapi siapa yang bisa menduga apa yang akan terjadi kemudian, ternyata wanita itu bukan jodohku. Sebulan setelah aku dilantik menjadi camat, aku dan
Rani, calon istriku itu putus hubungan dan buyarlah rencana pernikahan kami
yang sudah direncanakan sejak beberapa bulan sebelumnya. Nah, bapak bupati pun tidak bisa menyalahkan
aku untuk soal yang satu itu karena semua itu diluar dugaan dan kemampuanku
sebagai manusia. Apa alasannya rencana perkawinanku dengan Rani batal, biarlah
itu menjadi rahasia kami berdua. Aku tidak ingin membicarakannya lagi. Lebih
baik aku menatap kedepan, mencari lagi wanita lain dan berharap segera bertemu
dengan jodohku.”
“Ya.” Ucap Lintang, ikut
menyesalkan apa yang terjadi. Namun dia tidak ingin bertanya lagi, yang mungkin
pembicaraan tentang wanita dimasa lalunya membuat Wiman seakan diungkit lagi
sehingga membangkitkan kembali sakit hati dan kenangan dimasa lalunya.
Wiman ketawa. “Aku
satu-satunya pejabat camat yang belum beristri.”
“Mudah-mudahan saja segera
menikah. Bagaimanapun tidak baik seorang pejabat terlalu lama hidup menyendiri.
Beban menjadi seorang pejabat, apalagi pejabat yang mendapat tugas didaerah,
pasti lebih berat dan memerlukan seorang pendamping. Aku doakan semoga mas
Wiman segera menikah.”
“Terima kasih. Mau makan
apa?” tanya Wiman.
“Apa saja deh.”
“Kalau apa saja,
pilihannya banyak. Ada ayam goreng, gepuk, sayur asem, karedok, ikan gurami bakar, sate kambing, sate ayam, dan
masih banyak lagi pilihannya………”
“Pak camat pesan apa? Jadi
itu juga yang saya pesan.” Ucap Lintang.
“Aku pesan belut goreng,
jeroan ayam, tempe
bacem, karedok pedas, sayur asem…”
“Saya dengan gepuk saja.”
“Nah, kan pesanannya beda.
Kau saja yang menulis pesanannya.”
Wiman menyerahkan daftar
menu dan kertas kosong pada Lintang. Lintang menulis pesanan. Pelayan mengambil kertas.
“Apa yang sedang kau
pikirkan? Apa kamu merasa terkejut bahwa aku belum menikah?” tanya Wiman,
membuat Lintang yang tengah
memperhatikan ikan-ikan yang berenang kian kemari didalam kolam, menoleh
padanya.
“Ya, sedikit.” Sahut
Lintang.
“Soal jodoh kan mutlak urusan yang diatas. Aku sendiri sudah berusaha
mencari jodohku agar aku bisa segera menikah. Namun mungkin belum waktunya.
Kata orang, kalau sudah waktunya nanti juga jodoh akan datang sendiri.” Wiman tersenyum.
Pelayan datang membawa
pesanan. Lintang menikmati nasi dengan
gepuk. Ada
semangkuk sayur asam yang segar. Dilihatnya Wiman makan dengan daging ayam,
jeroan ayam, tempe, sambal, lalapan. Karedok belum dicicipi Wiman padahal kelihatannya karedok itu segar
dan menggugah selera.
“Karedoknya kok belum dimakan?” tanya Lintang.
“Belum. “ sahut Wiman.
“Mau coba? Dicoba deh. Karedoknya enak
sekali. Tiap kalau aku makan disini, karedok tidak pernah ketinggalan aku pesan.”
“Boleh dicoba?” tanya Lintang.
“Silahkan.” Wiman
menyodorkan piring karedok.
Lintang mengambil beberapa sendok, dituangkan diatas
nasinya. Dia mencobanya. Pedas dan segar.
“Hm, enak dan segar.” Komentar
Lintang. Dia mengambil lagi beberapa sendok, menyisakan tinggal separuh.
Mendadak dia sadar, dengan siapa dia tengah makan.
“Maaf.” Kata Lintang.
Wiman tersenyum. “Pesan
lagi kalau masih kurang.”
“Tidak, sudah cukup. Aku
hanya mencicipi saja.”
“Habiskan saja kalau masih
mau. Biar aku pesan lagi.”
“Tidak, tidak usah.”
Wiman mengambil mengambil
karedok dan menuangkkannya diatas nasinya.
Lintang tersenyum. Dia menatap Wiman. Wiman juga
tengah menatapnya. Keduanya sama-sama tersenyum. Lintang menyambung senyuman
dalam hatinya. Dia merasa lucu dengan kejadian hari ini. Pudar sudah
bayangannya bahwa dia tidak akan lebih
dari tiga bulan betah ditempatkan
dikantornya ini.
--- 0 ---
Lintang memulai
hari-harinya dengan penuh semangat. Dia sudah mulai bisa menyesuaikan diri
dengan suasana dikantornya yang sangat berbeda dengan suasana dikantornya yang
dulu. Juga mulai bisa menyesuaikan diri untuk bekerja sebagai pelayan
masyarakat. Setiap hari dikantor kecamatan sibuk melayani beragam masyarakat
dengan segala macam keperluannya, pembuatan
kartu penduduk, pembuatan kartu keluarga, pembuatan surat ijin usaha dan
segala macam produk pelayanan pemerintah daerah. Dia sendiri ditempatkan
diseksi perekonomian. Suhara, atasannya, kepala seksi perekonomian banyak
membantunya memberikan pengarahan terkait pekerjaan yang berhubungan dengan
seksi perekonomian.
“Nampaknya gadis itu
serius naksir pak camat, bukan sekedar
suka.” ucap Tuti perlahan pada Aniek.
Lintang yang tengah menulis dibuku agendanya mendengar ucapan Tuti. Mendadak dia merasa
tertarik mendengar camat disebut. Apalagi dikaitkan dengan seorang gadis. Dia
tetap menulis, namun telinganya jadi dipasang ingin mendengarkan percakapan
Tuti dan Aniek.
“Siapa?” Tanya Aniek
sambil terus menghitung dengan kalkulator.
“Acha, perawat di puskesmas sebelah.” Ujar Tuti.
“Oh, itu sih aku sudah
lama tahu. Acha sudah lama kok naksir pak camat.” Sahut Aniek santai. “Sejak
pak Wiman kemari jadi camat disini, gadis
perawat itu memang kelihatan
sangat menyukai pak camat. Kelihatan dari sikap dan perilakunya.”
“Gadis itu cantik sekali.
Cocok dengan pak camat, ya.”
“Tapi apa pak camat tahu
ada gadis perawat yang menyukainya?” Aniek menatap Tuti serius.
“Pastinya tahu dong.
Dokter Heri Suharis, kepala puskesmas pernah aku dengar dengan nada bercanda
bilang pada pak camat bahwa ada stafnya
yang menyukainya.” Tuti tertawa pelan.
“Lalu pak camat sendiri
bagaimana tanggapannya?” Aniek menaruh pekerjaan ditepi meja.
“Biasa saja. Hanya
tersenyum. Tidak terlalu menanggapi canda dokter Heri. Namanya juga pejabat.
Pasti menjaga image dirinya. Apalagi kalau urusan asmara. Pasti sikapnya sangat
hati-hati sekali. Beliau sikapnya
tenang-tenang saja menanggapi candaan
dokter Heri itu.”
“Sebenarnya disayangkan
apabila pak camat belum menikah juga, ya.” Ucap Aniek. “Sebagai pejabat
sebaiknya pak camat segera memiliki istri, sebagai pendamping suami dalam
menjalankan tugas sehari-hari. Sekarang pun untuk urusan kegiata PKK dan Dharma
Wanita, jadinya isteri sekretaris kecamatan yang sibuk. Andai sudah ada ibu
camat, kegiatan-kegiatan itu kan
pastinya ditangani oleh ibu camat.”
Marni datang membawa photocopian suruhan Tuti, menyerahkannya pada
Tuti sehingga mengakhiri percakapan Tuti
dan Aniek. Ketiganya segera sibuk mengurus pekerjaan mereka.
Acha. Nama yang indah.
Tuti bilang gadis itu cantik sekali. Yang
mana orangnya? Ada sedikit rasa penasaran dihati
Lintang ingin mengetahui yang mana
perawat yang bernama Acha itu. Puskesmas
letaknya bersebelahan dengan kantor kecamatan. Pegawai di puskesmas itu
tidak terlalu banyak. Apakah gadis yang rambutnya sebahu ataukah yang
rambutnya ikal bergelombang?
Lintang pernah dua kali
melihat kedua pegawai puskesmas itu.
Keduanya sama cantiknya. Sepertinya
keduanya masih gadis. Barangkali salah satu dari mereka bernama Acha. Kenapa
aku jadi penasaran mendengar perbincangan Tuti dan Aniek? Pikir Lintang. Apa urusannya denganku bila ada gadis yang menyukai Wiman? Wiman masih bujangan.
Dia sudah menjadi seorang camat. Wajar apabila banyak gadis yang menyukai dan
mengharapkannya. Lintang memasukan buku
agenda kedalam tasnya. Dia melihat jam tangannya. Pukul sembilan kurang lima
belas menit. Dia mendapat tugas rapat di balai desa. Lintang menyandang tasnya.
“Saya rapat dulu di balai
desa, ya.” Kata Lintang pada Aniek yang
mejanya bersebelahan dengan mejanya.
“Ya, bu.” Sahut Aniek,
mengangkat wajahnya sebentar dari kalkulator yang sedang dipegangnya, lalu sibuk lagi dengan pekerjaannya.
Lintang berjalan menuruni
halaman kantor menuju motornya. Karena tugas yang sering membuatnya harus pergi
ke desa-desa, dia menyimpan mobilnya digarasi dan sesekali saja digunakan.
Mobil itu adalah peninggalan almarhum ayahnya yang selama ini dipakainya sejak
dia bekerja di Bandung hingga dia kembali ke Sumedang dan bekerja di Sumedang.
Untuk ke kantor dia menggunakan motor.
Motor yang dibelinya bulan lalu secara kredit untuk jangka waktu selama tiga
tahun. Dulu, dia takut naik motor. Beruntung sekarang sudah ada skutermatik
yang membuatnya tidak takut lagi naik motor karena mengemudikan motor itu jauh
lebih mudah. Dengan menggunakan motor dia bisa lebih cepat melakukan
perjalanan.
Lintang melajukan motornya perlahan keluar dari
halaman kantor kecamatan. Jalanan didepan kantor kecamatan tidak begitu ramai.
Namun harus hati-hati karena orang mengemudikan motor dan mobil seringkali
dengan kecepatan tinggi.
Bruaaakkk. Lintang tercekat. Motor yang dikendarai dua orang
wanita itu terjungkal ketika akan berbelok ke puskesmas. Sebuah mobil dari arah
belakang menyenggol motor itu. Bergegas Lintang
menghentikan motornya dan
memarkir motornya ketepi jalan. Dia mengenal kedua wanita itu adalah pegawai puskesmas.
“Toloong.” Lintang
berteriak.
Beberapa orang pegawai
kecamatan berlarian keluar. Pengendara mobil
keluar memburu pada dua wanita
itu yang tersungkur diatas aspal.
”Ada tabrakan.” Beberapa
pegawai kecamatan yang kebetulan berada
diluar kantor berteriak.
Pegawai puskesmas memapah kedua rekannya yang kecelakaan.
“Acha! Yanti!” kata
pegawai puskesmas itu.
Acha. Mendadak
Lintang teringat pada pembicaraan Tuti
dan Aniek tadi. Gadis berkulit putih
bersih yang mengemudikan motor itu, meringis kesakitan. Celana panjang
seragamnya robek pada bagian lutut. Rekannya yang seorang lagi meringis. Air
matanya keluar. Pipinya tergores aspal dan
berdarah.
“Maaf.” Kata pria pengemudi mobil itu. Dia membantu kedua
wanita yang tersungkur itu. Wajahnya nampak cemas dan khawatir. Dia ikut sibuk
membantu kedua perempuan yang tersungkur itu.
“Kita selesaikan didalam,
pak.” Kata pegawai puskesmas.
“Baik” sahut pria itu. Dia
menatap Lintang yang masih berdiri disana.
“Terima kasih, Mbak.” Ucapnya, lalu
bergegas mengikuti pegawai puskesmas
yang berjalan menuju puskemas.
Lintang hanya mengangguk
dan sesaat mengawasi lelaki itu. Lalu dia
menaiki motornya lagi menuju balai desa. Acha. Jadi gadis yang tadi yang
bernama Acha. Cantik dan nampak lembut.
Risman masih ingat raut wajahnya yang
meringis menahan sakit ketika bangkit dari aspal. Lutut dan kakinya mungkin
terluka. Celama panjang seragamnya nampak
robek pada bagian lututnya.
Lintang memasuki halaman balai desa. Sekar, Kepala desa yang baru dilantik dua bulan
lalu nampak berdiri didepan kantornya. Lintang
mengenalnya. Kepala desa wanita
itu sudah beberapa kali ke kantor kecamatan dan bercakap-cakap
dengannya.
Lintang menyukai wanita
cantik itu yang kelihatan ramah dan gesit dalam melaksanakan tugasnya. Mungkin
hal itu yang menjadi faktor dia terpilih menjadi kepala desa, mendapat
perolehan suara yang jauh lebih besar melampaui kedua rivalnya dalam pemilihan
kepala desa yang lalu. Saat Sekar mencalonkan sebagai kepala desa, Lintang
belum masuk ke kecamatan. Namun dia mendengar pembicaraan dari pegawai-pegawai
dikecamatan bahwa kepala desa wanita itu mendapatkan kemenangan dengan
perolehan suara yang paling besar, jauh melebihi perolehan suara yang didapat
kedua rivalnya.
Setelah beberapa kali
bertemu dengan Sekar, Lintang pun
mengagumi wanita ini. Walaupun penampilannya berwibawa, namun orangnya
sangat ramah. Lintang sudah mendengar keberhasilan wanita ini dalam memimpin
desanya. Dia juga beberapa kali membaca profil wanita ini dalam beberapa media
lokal. Kenyataannya, Sekar memang cukup menarik dan menyenangkan. Dan masih
melajang, diusinya yang sudah tigapuluh lima tahun.
“Selamat siang, Bu Lintang.” Sapa Sekar ramah. Senyumannya tersungging
dibibirnya.
“Selamat siang, Bu kades. Rapatnya sudah dimulai, ya?”
“Baru saja akan dimulai.
Mari masuk, bu Lintang.”
Keduanya berjalan menuju
ruang rapat.
“Barusan ada pegawai
puskesmas yang tertabrak mobil. Aduh,
saya sampai kaget.” Kata Lintang yang masih teringat kejadian yang baru saja
dilihatnya. Lintang menceritakan
kejadian itu sekilas pada Sekar.
“Siapa perawat yang
tertabrak itu?” Tanya Sekar penuh perhatian.
“Kalau tidak salah dengar,
salah satunya bernama Acha.”
“Acha? Oh, ya. Saya tahu
gadis perawat itu. Kasihan. Apanya yang terluka?”
“Kakinya.”
“Bagaimana keadaan pegawai
puskesmas yang satunya lagi?”
“Sepertinya luka keduanya tidak
terlalu parah. Hanya lecet-lecet saja.”
“Ya, mudah-mudahan saja
begitu. Mengerikan, akhir-akhir ini banyak sekali terjadi kecelakaan lalu
lintas.” Kata Sekar sambil beriringan
dengan Lintang memasuki ruangan rapat dibalai desa.
Sambil mengikuti rapat,
pikiran Lintang masih tertuju pada Acha. Kenapa aku jadi memikirkan gadis itu? Apakah karena aku
mendengar gadis itu menyukai Wiman? Lalu
apa urusannya denganku? Kenapa harus jadi pikiranku apabila ada gadis yang
menyukai Wiman? Apa aku juga menyukai Wiman? Lintang enggan menjawab pertanyaan
hatinya sendiri. Rapat yang diikutinya hanya
separuhnya masuk kedalam pikirannya
namun Lintang menulis hal-hal penting yang akan dilaporkannya kepada
kepala seksi perekonomian, atasannya langsung.
Usai rapat Lintang
bergegas keluar dari ruangan balai desa. Motornya dilajukan perlahan. Dia
menengok ke kiri dan ke kanan jalan, memastikan jalanan aman untuk dilewati.
Jangan sampai aku mengalami nasib naas seperti kedua pegawai puskesmas
tadi, pikir Lintang. Bunyi klakson
yang keras mengagetkan Lintang. Lintang melihat mobil kijang yang tadi
menyerempet kedua pegawai puskesmas itu memberi klakson beberapa kali. Lintang
masih hapal pada pria tadi. Mobil kijang itu menepi perlahan, lalu berhenti.
Lelaki itu turun dari dalam mobilnya.
“Selamat siang, bu Lintang.” Sapa pria itu sopan. Kini
wajahnya tidak lagi cemas seperti tadi.
Sesaat Lintang tertegun.
Dia tidak mengenal pria itu, baru tadi
ketika terjadi kecelakaan itu dia melihat lelaki itu namun pria itu
sudah tahu namanya. Dan dia juga tidak tahu apa maksud lelaki itu
menyapanya.
“Selamat siang.” Sahut Lintang, menunggu lelaki itu.
“Terima kasih atas
pertolongan Bu Lintang pada kedua pegawai puskesmas itu.” Ucap lelaki itu. “Urusannya
sudah beres. Saya sudah memberi
biaya untuk mengganti kerusakan pada motor itu, juga
untuk biaya perawatan luka-luka yang
dialami kedua pegawai puskesmas itu.”
“Oh begitu? Syukurlah bila
urusannya telah selesai. Saya juga tadi
kaget ketika terjadi kecelakaan
itu. Saya sedang buru-buru akan pergi ke
balai desa, “ ucap Lintang membalas keramahan lelaki itu yang kelihatan ramah.
Mendadak Lintang
teringat sesuatu. Dari siapa
pria itu tahu namanya. Rasa
penasaran itu mengelitik Lintang untuk bertanya.
“Dari siapa anda
mengetahui nama saya?” Tanya Lintang penasaran.
“Ketika tadi selesai membereskan
urusan dengan kedua pegawai puskesmas itu, saya teringat pada wanita yang pertama kali turun tangan menolong
kedua perawat itu. Saya lalu bertanya
pada orang disana, mereka menyebut nama anda. Ternyata saya bertemu anda lagi disini. Kebetulan saya memang berniat akan mampir kekantor kecamatan untuk menemui
anda dan mengucapkan terima kasih pada
anda dengan kejadian tadi.”
“Oh, saya spontan saja
melakukan hal itu.” Kata Lintang.
“Spontanitas yang membuat
saya merasa terkesan dengan sikap anda,
boleh berkenalan, bukan?” .
“Bukankah anda sudah tahu nama saya?”
“Tapi kita belum
berkenalan secara resmi.” Ucap pria itu
sambil tersenyum. Tangannya terulur mengajak bersalaman.
Lintang tersenyum. Dia
menerima jabatan tangan pria itu. Ada perasaan geli dalam hatinya lelaki itu
mencarinya. Padahal jarak dari lokasi kejadian kebalai desa ini relative cukup
jauh.
“Lintang.”
“Seta.” Ucap Pria itu. Dia menatap Lintang. “Rasanya saya
pernah bertemu dengan bu Lintang sebelumnya, namun saya lupa lagi dimana kita
pernah bertemu…”
Lintang menatap lelaki
itu. Dia sama sekali tidak ingat apakah mereka pernah bertemu sebelumnya.
“Masa? Dimana kita pernah bertemu?”
“Sebelum bekerja disini,
bu Lintang kerja dimana?”
“Saya kerja di perusahaan
swasta di Bandung…..”
“Oh, ya. Sekarang saya
ingat. Bu Lintang bekerja di perusahaan konsultan dengan pak Baskoro.” Cetus Seta tiba-tiba, seakan
baru ingat.
“Ya, benar.”
“Dikantor konsultan itu
kita pernah bertemu. Saat itu saya ada janji akan bertemu dengan pak Baskoro,
dan anda sekretaris beliau. Anda yang mengagendakan kapan saya bisa bertemu
dengan pak Baskoro karena jadwal pak Baskoro yang padat…..”
“Benar.” Sekarang Lintang
ingat pada lelaki itu. Dia memang pernah bertemu dengan Seta dua kali waktu dia
masih bekerja di kantor konsultan itu. Lintang tersenyum.
Seta melihat rumah makan tidak jauh dari tempat
mereka. “Bagaimana kalau kita makan dulu.”
Lintang berpikir sejenak.
Seta menunjukan keakrabannya padahal mereka baru kali ini bertemu dan
berkenalan. Tidak ada salahnya dia membuka perkenalan dengan lelaki itu.
“Baik.” Sahut Lintang. Dia
memarkir motornya tidak jauh dari mobil lelaki itu. Mereka berjalan bersama
menuju rumah makan itu. Rumah makan itu tidak terlalu besar namun tempatnya
nyaman dan asri.
“Mau makan apa?” Tanya
Seta. Dia menyerahkan daftar menu makanan.
Lintang memperhatikan menu
makanan satu persatu. Dia merasa Seta tengah mengawasinya. “Mas mau makan apa?”
“Sama aja dengan yang kau
pilih.” Sahut Seta, tersenyum mendengar Lintang memanggilnya dengan panggilan
mas. Lintang sendiri tersenyum menyadari dia spontanitas saja memanggil mas
pada lelaki yang baru dikenalnya itu.
Lintang memilih sop buntut
dan es jeruk. Dia memesan dua porsi.
“Sedang apa disini?” Tanya
Lintang.
“Saya mau kerumah nenek
saya. Tidak begitu jauh dari sini. Kebetulan saya ada urusan di sumedang jadi
sekalian mampir menengok nenek.”
“Oh, nenek masih ada?”
“Usianya sudah delapan
puluh lima. Sudah sepuh sekali. Sudah sering diajak oleh ibu saya untuk tinggal
bersamanya di Jogya namun nenek tidak mau. Rumah peninggalan almarhum kakek
sangat mengikat perasaannya. Nenek sekarang hanya ditemani seorang
pembantunya.”
Lintang jadi teringat pada
ibunya. Setelah ayahnya meninggal, ibunya pun tidak mau meninggalkan rumah yang
telah dihuni berpuluh-puluh tahun lamanya selama berumah tangga dengan ayahnya
hingga menuntaskan hampir seluruh tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri
dan seorang ibu. Lintang bisa memahami nenek Seta yang merasa terikat dengan
rumahnya dan tidak mau dibawa pergi oleh anaknya meninggalkan rumah yang sudah
memberinya banyak kenangan sepanjang hidupnya.
“Boleh saya tahu dimana
rumahmu, Lintang?” Tanya Seta menatap Lintang.
Lintang menatap mata yang
lembut dan bersahabat itu. Tak ada sesuatu yang mencurigakan. Dia merasakan
bahwa lelaki itu cukup baik dan bersahabat. Lintang menyebutkan alamat
rumahnya.
“Rumah saya di jalan
Kemuning nomor lima belas.” Ujar Lintang.
“Oh, saya tahu alamat rumah
ini.” Sahut Seta. “Saya sering lewat kedekat jalan itu. “Boleh bila saya
kapan-kapan mampir kerumahmu?”
“Tentu saja. Mengapa
tidak.” Lintang tersenyum. Dia mulai merasa nyaman berkenalan dengan lelaki
itu. Atau mungkin karena dia pernah bertemu dengan lelaki itu sebelumnya
sehingga dia merasa tidak canggung lagi bercakap-cakap dengan Seta. “Mas Seta sendiri orang mana?”
“Saya lahir dan besar di
Jogya. Namun ibu saya asli keturunan dari Sumedang. Tepatnya ibu saya berasal
dari Ganeas. Ayah saya orang Jogya. Saya
dengan kakak saya meneruskan
perusahaan ayah yang bergerak dibidang
kontraktor. Sudah sejak lima tahun lalu
kakak saya memindahkan usaha ke Bandung. Jadi saya juga ikut pindah ke Bandung.
Ketika saya beberapa kali bertemu pak Baskoro, dan bertemu denganmu, kami saat
itu tengah menangani sebuah proyek yang kami garap bersama-sama. Hari ini saya ada keperluan di Sumedang menangani sebuah
proyek yang baru kami menangkan dalam tender yang diadakan pemda beberapa waktu
lalu. Pulang dari pemda tadi, saya berniat mampir dulu menengok nenek. Namun
tidak disangka terjadi kejadian tadi.”
“Kecelakaan kejadian yang
tidak akan pernah kita duga sebelumnya.” Kata Lintang.
“Ya. Saya menyesalkan
kejadian tadi, namun pasti ada hikmahnya dibalik kecelakaan tadi buat saya.” Ucap Seta. Dia menatap Lintang
sambil tersenyum.
“Ya, semoga saja.” Ujar
Lintang.
“Bila tidak terjadi
kecelakaan tadi, saya tidak akan bertemu dengan kamu, Lintang.”
Lintang hanya tersenyum
mendengar ucapan Seta. Pesanan datang. Nasi putih hangat dengan sop buntut yang
mengepul panas. Keduanya menikmati sop
buntut itu.
“Enak, ya.” Kata Lintang
setelah mencicipi sop buntut.
“Ya. Aku baru tahu kalau
sop buntut dirumah makan ini enak sekali.” Ujar Seta. “Padahal sudah sering
sekali saya melewati rumah makan ini, namun baru sekarang saya mampir kemari.
Kapan-kapan kalau kerumah nenek lagi, saya akan mampir lagi kerumah makan ini.
Ibu saya mungkin belum tahu juga kalau sop buntut dirumah makan ini enak
sekali.”
“Bagaimana dengan ayahmu,
beliau masih ada?”
“Masih. Masih sehat. Namun
beliau sudah lama berhenti bekerja dan menyerahkan segala urusan perusahaan
pada saya dan kakak saya.”
“Mas Seta berapa
bersaudara?”
“Hanya dua orang. Saya dan
kakak saya, Mas Kresna. Dan kau?”
“Saya empat bersaudara.
Seorang kakak laki-laki, dua orang kakak perempuan, dan saya bungsu.”
“Bagaimana kabar ayah
ibumu?”
“Ibu masih sehat. Ayah
sudah beberapa tahun lalu meninggal dunia.”
“Oh, maaf.”
“Tidak apa-apa.” Lintang
tersenyum.
Usai makan Lintang melihat
jam tangannya. Sudah cukup lama dia
meninggalkan kantornya. Dia harus segera kembali ke kantornya. Masih ada
pekerjaan yang harus diselesaikannya.
Sebelum keluar dari rumah
makan Seta meminta nomor teleponnya. Lintang tidak keberatan, dia sendiria
meminta nomor telepon Seta. Mereka berpisah ditempat mereka bertemu tadi. Lintang
menaiki motornya. Seta memasuki mobilnya.
“Terima kasih Lintang
sudah menemani aku makan. Sampai bertemu lagi.” Kata Seta.
“Ya, sampai bertemu lagi.”
Ujar Lintang. Dia melajukan motornya menuju kantornya.
Suasana dikantornya biasa
saja ketika Lintang masuk. Tidak ada
lagi yang membicarakan kecelakaan yang terjadi tadi.
“Bagaimana kedua pegawai puskesmas yang tadi
kecelakaan?” tanya Lintang pada Tuti.
“Hanya luka-luka sedikit.”
Sahut Tuti.
“Siapa nama kedua orang
pegawai puskesmas itu?”
“Acha dan Yanti.”
“Yang mana yang bernama
Yanti? Yang rambutnya ikal, ya?”
“Benar.” Sahut Tuti.
Oh, jadi gadis yang berkulit putih tadi yang
bernama Acha, pikir Lintang. Gadis itu cukup cantik dan menarik. “Kalau yang
satunya lagi, siapa namanya?” Tanya Lintang lagi.
“Acha.” Sahut Tuti.
Mendadak dia menatap Lintang. “Gadis itu
yang menurut isue menyukai pak camat.”
“Baguslah.” Sahut Lintang.
“Agar pak camat segera memiliki isteri. Tidak bagus seorang pejabat lama-lama
membujang, kan?”
Tuti tersenyum. “Tapi pak
camat sepertinya tidak menanggapi serius bahwa ada gadis yang
menaruh perhatian kepadanya.”
“Barangkali karena pak
camat kelewat sibuk dengan pekerjaan sehingga kurang perhatian bila ada gadis
yang menaruh perhatian kepadanya.”
“Yah, mungkin juga.” Tuti
menatap Lintang serius. “Tapi kalau menurut saya, bu Lintang sangat cocok bila
bersanding dengan pak camat. Benar, bu. Saya serius. Banyak yang suka bilang
begitu.”
Lintang tersenyum.
“Pacaran sama atasan sendiri?” Lintang tertawa.
“Lho, kalau jodoh kan kita tidak tahu, bu.
Siapa tahu memang ada jodohnya antara ibu dengan pak camat.”
Kembali Lintang hanya
tersenyum. Keduanya menoleh ketika melihat camat masuk.
“Lintang, kabarnya tadi
ada kecelakaan didepan kantor kita?”
“Ya, pak. Pegawai
puskesmas. Namanya Acha dan Yanti. Motor mereka tersenggol mobil ketika akan
berbelok.”
“Mereka tidak apa-apa?”
“Sepertinya hanya
luka-luka sedikit. Nanti saya ke puskesmas menanyakan keadaan mereka.”
“Saya tadi mendengarnya sepulang dari pemda. Kamu
sendiri tidak apa-apa?”
“Tidak, pak.”
“Katanya kamu juga ikut tersungkur
ke jalan?”
“Wah itu gosip, pak. Saya
tidak apa-apa, kok.” Lintang ketawa pelan.
Wiman tersenyum. “Yah,
syukur kalau kau tidak apa-apa. Tadinya
saya serius mengira kau juga tersungkur ke tengah jalan.”
“Yang tersungkur ke jalan
salah satunya adalah Acha, pegawai di puskesmas sebelah. Kalau bapak mau
menengok, saya bisa mengantar…….” Lintang tersenyum, agak menggoda.
Seperti tahu bahwa Lintang
bermaksud menggodanya, Wiman tersenyum. Tanpa berkomentar Wiman lalu masuk
kedalam ruangannya. Tuti tersenyum sambil menatap Lintang.
“Bapak pasti sudah tahu
ada gadis yang naksir padanya.” Ucap
Tuti perlahan.
“Pasti tahu.
Laki-laki jangankan ditaksir, tidak
ditaksir pun kadang suka cari perhatian.” Ucap Lintang sambil duduk menghadapi
mejanya.
“Bapak camat sangat baik
sekali pada bu Lintang. Perhatian
sekali.” Kata Tuti lagi.
“Kakak saya, Iswandi, dulu
adalah teman sekelas pak camat.” Sahut Lintang, pura-pura tidak menanggapi
ucapan Tuti.
“Kalau saja pak camat dan
bu Lintang berjodoh, alangkah serasinya.”
Lintang tersenyum. Namun
dia tidak mengingkari, hatinya senang mendengar ucapan Tuti. Tapi bagaimana
dengan Acha? Apakah dia serius menyukai Wiman? Mendadak Lintang merasa malu
sendiri dengan pertanyaannya. Andaikan Acha serius menyukai Wiman, apakah hal itu
akan menjadi halangan antara dirinya dengan Wiman?
Lintang menghela napas
dalam. Aku terjebak oleh pikiranku sendiri. Aku harus mengakui bahwa sebenarnya
aku menyukai Wiman, namun karena ada batas antara atasan dan bawahan, aku
mencoba mengingkari perasaanku sendiri.
--- 0 ----
Lintang berjalan menuju
tempat parkir motornya. Dia akan pergi ke pemda. Dia diberi tugas oleh atasannya kepala seksi
perekonomian untuk mengikuti rapat yang
diadakan dibidang perekonomian sekretariat daerah. Lintang menoleh ke halaman
puskesmas. Seorang gadis baru keluar dari puskesmas itu dan menatap Lintang, lalu tersenyum.
Lintang ingat, gadis itu yang bernama Acha, yang mendapat kecelakaan
tempo hari.
“Selamat siang, bu.” Sapa
gadis itu.
“Siang. Bagaimana lukamu
sekarang? Sudah sembuh?” tanya Lintang sambil menghampiri gadis itu.
“Sudah agak sembuh.
Lukanya tidak seberapa. Tapi lumayan sakit juga karena tergores aspal.” Sahut
gadis itu. “Terima kasih atas pertolongan ibu tempo hari.”
“Kebetulan saja saya ada
disana ketika kecelakaan itu terjadi.” Sahut Lintang.
“Ibu pegawai baru
dikecamatan, ya? Saya belum pernah melihat ibu sebelumnya.” Kata gadis itu.
“Ya, saya baru mau sebulan
bekerja disini. Kita belum pernah kenalan, ya? Lintang.” Lintang mengulurkan
tangannya.
“Acha.” Gadis itu
menyambut uluran tangan Lintang.
Keduanya berjabatan
tangan.
“Sudah lama bekerja di
puskesmas?” Tanya Lintang. Dia melihat jam tangannya. Masih ada waktu setengah
jam lagi sebelum rapat dimulai. Namun dia masih ingin bercakap-cakap dengan
gadis ini.
“Sudah hampir tiga tahun, bu.”
“Tidak usah memanggil ibu.
Panggil saja nama saya.”
Acha tersenyum. “Masa saya
memanggil ibu dengan panggilan Lintang, saja? Kelihatannya usia ibu diatas saya
beberapa tahun. Saya memanggil mbak Lintang saja, ya.”
“Boleh.” Sahut Lintang
tersenyum.
“Sekarang mbak mau pergi
kemana?”
“Mau ke pemda.”
“Kebetulan saya pun akan
pergi ke dinas kesehatan. Kita bisa pergi bersama-sama, mbak. Kan jurusannya satu
arah.”
“Oh, baik.”
“Mbak bawa motor, ya? Saya
dibonceng aja, boleh?”
“Boleh. Kamu sekarang
tidak bawa motor, ya?”
“Masih takut, mbak. Akibat
kecelakaan tempo hari, saya masih trauma naik motor.”
“Nanti juga rasa takutmu
akan hilang dengan sendirinya dan kau akan berani lagi naik motor.”
Lintang mengambil motornya
dari tempat parkir. Acha masuk kehalaman kantor kecamatan, menghampiri
Lintang. Lintang menstarter motornya. Acha duduk dibelakang. Motor melaju
dijalanan.
“Mbak Lintang kelihatannya
dekat dengan pak camat, ya?” suara Acha menerpa telinga Lintang terbawa angin.
“Ah biasa saja. Kami sudah
kenal lama.” Sahut Lintang.
Sesaat Lintang teringat
dengan percakapan Tuti dan Aniek tempo hari. Mungkin Tuti dan Aniek benar,
gadis ini menyukai camat. Lintang tersenyum.
“Kamu suka pada pak camat,
ya?” Lintang menggoda Acha. Dia menoleh sejenak kesamping, agar
kata-katanya terdengar oleh Acha, lalu
dia menatap lagi lurus kedepan, kejalanan yang mulus dan panjang. Udara
perbukitan terasa sejuk menerpa tubuhnya.
Mendapat pertanyaan itu
Acha tertawa lepas. “Kenapa mbak Lintang bertanya begitu?” tanya Acha. Suaranya
terdengar riang dan sumringah.
“Yah, aku ingin tahu saja. Siapa tahu kamu suka pada pak
camat.”
“Pak camat sudah ada yang
punya ya, mbak?”
“Mana aku tahu. Aku tidak
pernah mengecek soal itu.” sahut Lintang tertawa. “Nanti aku tanyakan pada pak
camat ya, apa beliau sudah ada yang punya…..”
“Aduh, jangan mbak. Nanti
saya jadi malu bila mbak bilang pada pak camat saya yang menanyakan hal itu.”
Protes Acha. “Jangan, mbak. Saya nanti jadi malu.”
“Kenapa? Bila pak camat
masih belum ada yang punya, kau punya peluang untuk mendapatkan pak camat, kan?”
“Ah, mbak ini. Nanti saya
malu.”
“Tapi bagaimana engkau
tahu pak camat sudah ada yang punya atau belum bila tidak ditanyakan langsung
pada yang bersangkutan?”
“Tapi saya tidak pernah
melihat pak camat menggandeng perempuan, mbak.”
“Siapa tahu kekasihnya
atau calon istrinya masih disembunyikan.”
“Tapi kalau disembunyikan,
pasti tetap saja ada beritanya, mbak. Maklum pejabat, gosipnya kan cepat
menyebar dan diketahui orang.”
“Kamu maunya bagaimana,
pak camat belum punya pacar atau justru mengharap pak camat sudah punya calon
istri?”
“Yah, enggak tahu.” Acha
tertawa. “Mbak pertanyaannya lucu.”
Lintang hanya tersenyum.
Motornya melaju semakin kencang. Lintang mengantarkan Acha ke dinas kesehatan.
“Mbak, saya ingin berteman
dengan mbak Lintang.” kata Acha setelah turun dari motor Lintang.
Lintang tersenyum.
“Mengapa tidak? Kita sama-sama pegawai. Kita bisa berteman, bukan?”
“Saya ingin berteman
secara pribadi dengan mbak Lintang.”
“Oke. Mudah-mudahan kita
bisa berteman dengan baik, ya. Aku senang punya teman sepertimu.”
“Mbak, nanti sore
jalan-jalan, yuk.”
“Boleh. Kemana?”
“Kemana saja. Nanti sore
saya main kerumah mbak Lintang, ya.”
“Baik. Saya tunggu kamu
dirumah sore nanti.”
Mereka berpisah. Motor
Lintang melaju menuju kantor pemda. Lintang tersenyum mengingat Acha. Gadis itu
kelihatannya baik. Dia teringat pada Wiman. Bila Wiman tahu Acha menyukainya,
mungkin Wiman pun akan membuka hatinya untuk gadis itu. Tidak masalah. Kantor
mereka berdekatan. Wiman bisa lebih mudah mengenal gadis itu. Motor Lintang terus
melaju menuju pemda.
--- 0 ---
Lintang merapikan
bunga-bunga yang disusunnya dalam jambangan
bunga. Dia menambah air kedalam jambangan bunga itu. Harum bunga sedap
malam terasa harum menerpa hidungnya.
Apalagi kalau nanti malam, bunga sedap malam ini akan semakin menebarkan
keharuman yang menyegarkan.
Lintang mengangkat
wajahnya. Dia mendengar deru motor memasuki halaman rumah. Sejenak Lintang
memperhatikan orang itu yang membuka helmnya dan berjalan menaiki anak-anak
tangga menuju ke teras depan dimana Lintang sedang duduk sambil membenahi bunga-bunga didalam jambangan. Wiman
tersenyum melihat Lintang tengah asyik merapikan bunga dalam jambangan.
“Bunganya cantik-cantik.”
Komentar Wiman sambil duduk pada kursi rotan yang ada di teras.
“Ya, bunga-bunganya
cantik. Seperti gadis-gadis Sumedang, cantik-cantik.” Sahut Lintang, menoleh
sejenak pada Wiman sambil tersenyum.
“Memang. Tapi belum ada
bunga yang bisa kupetik.” Ucap Wiman.
“Jangan terlalu pemilih,
diantara sekian banyak bunga yang cantik, petik satu yang paling sesuai dengan
hati nurani. Tidak mungkin semua bunga bisa kau petik dan miliki semuanya.”
Wiman tertawa mendengar
ucapan Lintang.
“Kebetulan mas Wim kemari,
sejak tadi aku memikirkan Acha.” Kata
Lintang.
“Acha? Ada apa dengan dia?” tanya Wiman.
Lintang merapikan bunga-bunga dalam jambangan.
“Akhir-akhir ini Acha
sering mengeluh sakit pada lutut kirinya.” Ucap Lintang. “Aku sudah
menyarankannya untuk memeriksakan lututnya itu pada dokter, namun Acha tidak
mau. Dia tetap menduga rasa sakit pada lutut kirinya itu hanya rematik
saja. Bahkan akhir-akhir ini seringkali
dia menyeret kaki kirinya kalau sedang berjalan sambil menahan sakit.”
“Memang lebih baik Acha
memeriksakan diri ke dokter agar dia mengetahui dengan pasti apa yang menjadi
keluhannya pada lututnya itu. Itu lebih baik daripada menduga-duga apa
penyakitnya.” Ujar Wiman.
“Aku sudah menyarankannya
beberapa kali, namun Acha tetap tidak mau.”
Lintang tersenyum puas melihat bunga-bunga yang sudah tertata rapi dalam
jambangan. Dia meletakannya diatas meja yang baru saja diganti dengan taplak
baru berwarna krem dengan bordiran disepanjang tepinya. Dia lalu duduk pada
kursi lain didekat Wiman.
“Lin, besok ada undangan
perkawinan. Temani aku, ya.” Kata Wiman
tiba-tiba, menatap Lintang penuh harap, dan seakan khawatir ajakannya ditolak.
Lintang menatap Wiman.
Menemani bapak camat ke undangan? Aku harus mempertimbangkannya baik-baik. Apa
tidak akan jadi gosip? Kalau sudah jadi gosip nanti pasti rame, pikir Lintang. Lagi
pula risi rasanya pergi dengan Wiman. Sejenak Lintang mempertimbangkan ajakan
Wiman. Namun dia merasa tidak ada salahnya dia menemani Wiman ke undangan.
Mereka berdua masih sama-sama melajang.
“Aku sepertinya tidak
bisa………”
“Kau pasti bisa.” Tukas
Wiman. “Aku tidak mau datang sendirian.”
“Tapi biasanya kan mas
Wiman suka datang sendirian kalau pergi
ke undangan.”
“Itu dulu sebelum kau
datang kemari. Sekarang, setelah ada kau, kan lebih enak bila kemana-mana ada
yang mendampingi.” Sahut Wiman.
Lintang tersenyum menatap
Wiman. “Apa tidak akan jadi gosip?”
“Camat digosipkan dengan
stafnya tidak masalah karena masih sama-sama melajang. Kondisinya
berbeda apabila camat sudah beristri dan berselingkuh dengan stafnya.” Kata
Wiman.
Lintang tersenyum. “Yah,
bagaimana besok saja.”
“Jangan bagaimana besok.
Jawabanmu harus pasti. Jangan sampai besok aku menjemputmu tapi kau tidak mau
pergi.”
Lintang menatap Wiman.
“Ya.”
“Jadi besok kalau aku
jemput, kamu sudah siap, ya.”
“Ya.” Sahut Lintang.
Mendadak Lintang tersenyum teringat pada Acha dan pada percakapan mereka tempo hari. Apakah Wiman tahu bila Acha menyukainya? Ingin Lintang menyebut Acha lagi
pada Wiman namun hatinya mencegahnya.
--- 0 ---
Lintang sudah bisa
menduga, kebersamaannya dengan atasannya pasti akan menimbulkan gossip diantara
rekan-rekan sekantornya. Benar saja, senin pagi sepertinya semua orang sekantor
sudah tahu bahwa hari minggu kemarin pak camat datang ke undangan ditemani
Lintang. Bahkan hampir semuanya tahu Lintang mengenakan baju batik warna kuning dengan bawahan berwarna hijau muda. Gosip itu dengan cepat
merebak. Pak camat menjalin hubungan dengan stafnya, Lintang. Hanya dalam tempo
satu hari gosip itu menjadi pembicaraan utama dikantor.
Lintang baru datang dan
akan menaruh tasnya diatas meja ketika dia mendengar percakapan diruangan
sebelah.
“Ah, kan sama-sama masih melajang, tidak apa-apa.
Siapa tahu mereka ada jodoh” Terdengar suara pak Winarto.
“Kantor kita sebentar lagi
akan mengadakan hajatan, resepsi
perkawinan pak Camat dengan bu Lintang.” Suara Azis menimpali keras.
Terdengar beberapa orang
ketawa berderai. Dan berhenti, lalu sama-sama menoleh dan tersenyum ketika Aniek
keluar dari ruangan itu dan melihat Lintang sudah datang, dia menoleh memberi
isyarat pada teman-temannya. Percakapan langsung berhenti. Beberapa orang
keluar dan melewati meja Lintang.
Lintang hanya pura-pura saja. Dia menemui Lika yang sedang menghadapi
komputernya.
“Pagi-pagi sudah sibuk,
Ka. Apel dulu, yuk.”
“Pak camat kan belum
datang, mbak.”
“Mungkin hari ini apel
pagi dipimpin pak sekcam. Pak camat kan ikut apel dipemda.”
“Oh, begitu? Ya sudah, tuh
pak sekcam sudah datang.” Lika berdiri dan beranjak meninggalkan komputer.
Mereka berdua keluar
menuju halaman akan mengikuti apel.
“Mbak Lintang paling tahu
dengan kegiatan-kegiatan pak camat, ya.” Kata Lika sambil tersenyum menatap
Lintang.
“Kebetulan saja aku ingat,
senin ini kan minggu pertama. Tiap minggu pertama setiap bulan seluruh camat
dan pejabat kan apel dipemda.” Sahut Lintang pura-pura tidak mengerti arti
senyuman Lika.
--- 0 ----
Pagi-pagi Lintang melihat Acha ketika dia baru saja tiba dikantornya. Acha tengah berjalan menuju
puskesmas. Lintang menegur gadis perawat itu.
“Acha!”
Acha menoleh. Wajahnya
kelihatan pucat. Lintang merasa, ada sesuatu yang tengah terjadi pada gadis
itu. Acha tempo hari sering kirim pesan pendek kepadanya sekedar bertanya
kabarnya, namun sudah sejak dua minggu ini Acha tidak pernah lagi membalas
pesan pendek darinya.
“Kakimu masih terasa
sakit?” tanya Lintang.
Acha mengangguk. “Ya,
sakitnya bukan main.”
“Segeralah periksakan ke dokter. Aku sudah menyarankan beberapa
kali padamu.”
Acha diam. Dia menatap
Lintang. “Sudah. Aku sudah memeriksa ke dokter.”
“Bagaimana menurut
dokter?” Tanya Lintang.
“Aku belum tahu.” Sahut
Acha. Acha bergegas pergi meninggalkan
Lintang.
Lintang tertegun melihat
gadis itu. Dia segera masuk kedalam
kantornya namun dalam hati dia merasa heran melihat sikap Acha. Acha tidak
seperti biasanya bersikap begitu. Namun kesibukan pekerjaan membuat Lintang
sejenak melupakan gadis itu.
Siang hari ketika akan
pergi makan ke kantin, Lintang terkejut
mendengar yang disampaikan Aniek kepadanya. Ketika melihat Acha dari jendela, seakan tanpa sengaja Aniek
membicarakan Acha. Acha terlihat berdiri
dipinggir jalan menunggu kendaraan umum sendirian, tak lama dia masuk kedalam
kendaraan umum itu.
“Acha terkena kanker
tulang.” Ucap Aniek.
Kanker tulang. Lintang
seakan tak percaya mendengar apa yang diucapkan Aniek. Acha nampak sehat. Dia
tidak seperti orang yang sedang terkena penyakit. Apalagi kanker.
“Acha tidak pernah
memeriksakan diri walaupun sudah lama dia suka mengeluh sakit pada kaki
kanannya. Tahu-tahu penyakitnya sudah
parah. Kabarnya, tidak ada pilihan lain, kaki Acha harus diamputasi.” Kata
Aniek.
“Apa? Diamputasi? Kasihan
dia, ya Allah.”
“Ya, kasihan sekali. Dia
masih gadis. Kalau kakinya sampai diamputasi, dia berubah menjadi seorang gadis
cacat.” Ucap Aniek. “Namun Acha nampaknya tegar. Dia masih tetap menjalankan
tugasnya sehari-hari. Seakan tidak ada sesuatu pun yang berubah pada dirinya.
Dia merawat pasien, padahal dia sendiri sedang menghadapi penyakit yang sangat berat.”
Lintang ingin bertemu
dengan Acha, namun pekerjaannya tidak membuatnya ada waktu untuk
menemui gadis itu. Biar nanti aku telepon dia, pikir Lintang. Namun beberapa
kali Lintang menelepon, Acha tak pernah
mengangkat teleponya. Waktu dikirim pesan pendek pun Acha tidak
membalas.
Lintang termenung
memikirkan gadis itu. Kenapa Acha tidak mau menerima teleponnya? Kenapa Acha
tidak membalas pesan pendeknya? Apakah ada kaitannya dengan berita yang
didengarnya dari Aniek tadi? Aku harus bertemu dengan Acha. Bila benar yang
diucapkan Aniek tadi, Acha pasti sangat terpukul sekali dengan kenyataan ini,
pikir Lintang.
--- 0 ---
Tiga hari kemudian Lintang
pergi kerumah Acha. Ibu Acha dengan
wajah pucat mengatakan Acha berada dikamarnya dan meminta Lintang menemuinya
kekamarnya. Langkah Lintang berhenti
diambang pintu kamar Acha ketika dia melihat
Acha yang sedang menelungkup diatas tempat tidur dengan rambut awut-awutan.
Lintang tertegun.
Ditatapnya tubuh yang langsing itu. Tak sadar tatapannya turun pada kaki kiri
Acha yang putih mulus. Oh Tuhan. Jangan kau timpakan penyakit itu pada dia.
Merasa ada seseorang yang
hadir dikamarnya, tiba-tiba Acha membalikan tubuhnya. Lintang menahan air
matanya. Dia tak kuasa melihat mata Acha
yang basah penuh air mata. Wajah gadis itu begitu pucat dan kuyu.
“Mbak Lintang…..” bisik
Acha.
“Acha……..” Lintang duduk
ditepi tempat tidur.
“Mbak Lintang sudah
mendengarnya, bukan? Mbak sudah
mendengar bahwa kakiku akan diamputasi?” Tanya Acha lirih, tersendat menahan tangis.
Lintang mengangguk pelan.
Dia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun, walaupun kata-kata untuk menghibur
dan membesarkan perasaan Acha, bahwa hidupnya masih akan panjang, bahwa
hidupnya masih akan ada keindahan………. Bagaimana bisa dia menghibur Acha bila
Acha sudah tahu bahwa kematiannya seakan
sudah diambang pintu.
“Aku pasti akan segera
mati.” Ucap Acha lirih.
“Kau tidak boleh bicara
begitu.”
“Penyakit ganas itu sedang
menggerogoti tubuhku. Aku tak mungkin hidup lebih lama lagi.’
“Kau tidak boleh bicara
begitu, Acha. Allah pasti akan memberimu kesempatan untuk hidup.”
“Ya, Allah akan memberiku
kesempatan untuk hidup, namun kesempatan itu hanya terbatas. Aku hanya tinggal
menghitung bulan, lalu menghitung hari, kapan akhirnya malaikat akan mencabut nyawaku.”
“Acha, aku tidak ingin
engkau bicara seperti itu….”
“Aku yang tidak mau lagi
mendengarkan orang bicara hanya untuk menghiburku, membesarkan hatiku,
sementara kenyataannya perlahan-lahan nyawaku sedang diseret keliang kubur……”
Acha menangis terisak-isak.
Lintang mengelus rambut
gadis itu. Dia tidak sanggup bicara apa-apa lagi. Dia teringat pada Wiman. Dia
teringat pada percakapannya dengan Acha. Ya Tuhan, seandainya saja Engkau
memberinya kesempatan untuk merasakan bagaimana rasanya mencintai dan dicintai.
Aku harus bicara dengan Wiman, pikir Lintang.
--- 0 ---
Keadaan Acha banyak menyita pikiran Lintang. Dia bisa merasakan bagaimana perasaan Acha
dengan keadaan yang menimpa dirinya. Hatinya diliputi perasaan iba, kasihan,
trenyuh, atau apapun juga namanya perasaannya kepada gadis itu. Lintang merasa,
Acha memang menyukai Wiman. Namun mungkin perasaan itu akan segera terkubur
bersama tubuhnya bila kematian telah datang menjemputnya.
Dalam sebuah kesempatan ketika
tengah santai Lintang menceritakan Acha kepada Wiman.
“Kasihan Acha.” Ucap
Lintang.
Lintang menatap Wiman, dia
berharap mendapatkan reaksi yang istimewa dari Wiman setelah mendengar keadaan
Acha.
“Ya, kasihan dia.” Ucap
Wiman. Nyaris hanya seakan seperti tengah bergumam.
“Mas Wim, kau bisa
membantu dia sebelum……..sebelum segalanya berakhir…….”
Wiman menatap Lintang,
menunggu gadis itu melanjutkan kembali pembicaraannya.
“Aku ingin membantunya,
tetapi apa yang dapat kuperbuat untuknya?”
“Bantulah dia agar dapat
menemukan rasa percaya dirinya kembali, Wim. Berkali-kali aku mencoba namun
selalu gagal. Barangkali kau bisa melakukannya. Bantulah dia dalam menghadapi hal terburuk yang sedang
dihadapinya saat ini.”
Wiman diam mendengar
ucapan Lintang. Lintang menatap Wiman serius.
“Aku sudah lama mendengar
bahwa Acha menyukaimu. Kau pun mungkin bisa merasakan bahwa gadis itu memang menaruh perhatian
kepadamu.” Ucap Lintang perlahan. “Maaf, bukan maksudku ikut campur urusan
pribadimu, namun tidak bisakah engkau berbuat sesuatu untuknya?”
“Maksudmu?”
“Tidak bisakah engkau
memberinya kebahagiaan, memberinya perhatian disaat-saat dirinya tengah dilanda
duka. Dia membutuhkan perhatian dari orang-orang disekelilingnya, dia
membutuhkan orang-orang yang bisa
menegarkan perasaannya menghadapi musibah yang tengah dihadapinya. Dia pasti
bahagia, apalagi andaikan perhatian dan orang yang menegarkan perasaannya itu
adalah seseorang yang sudah lama disukainya, ah…. Bukan hanya hanya suka, aku
rasa. Acha nampak sungguh-sungguh
mencintaimu.”
Wiman menatap Lintang. “Acha
mencintaiku?”
Lintang membalas tatapan
Wiman. “Yah, kurasa Acha menyukaimu, dia mencintaimu.”
“Dari mana engkau
mengetahui hal itu?”
“Acha pernah bicara begitu
kepadaku.”
Lama sekali Wiman
termenung. Lintang memperhatikannya. Dia bisa memahami, pasti Wiman bingung
mempertimbangkan apa yang harus dilakukannya. Mungkin selama ini Wiman sudah
mengetahui bahwa Acha menyukainya, atau mencintainya, namun dipihak lain Wiman
sendiri mungkin tidak memikirkan gadis itu.
Wiman kelihatan menarik napas dalam. “Yah, aku akan mencoba
melakukannya.”
Lintang merasa senang
mendengar ucapan Wiman. “Aku percaya kepadamu, mas Wim, kau pasti bisa membuat
Acha bahagia.”
Lintang tidak mengerti,
kenapa suaranya berubah menjadi serak. Ada keharuan, kesedihan sekaligus
kebahagiaan yang dirasakannya ketika dia mengucapkan kata-kata itu.
--- 0 ---
Hujan turun gerimis.
Lintang tengah asyik dengan laptopnya ketika ibu memberitahunya ada tamu
untuknya. Lintang pergi ke depan. Dia tertegun melihat siapa yang datang. Seta
berdiri diteras depan rumahnya. Berdiri dengan sikap santai dan tersenyum
ketika melihat Lintang. Lintang tertegun melihat kedatangan lelaki itu.
“Halo.” Sapa Seta.
“Hal.” Balas Lintang.
“Kenapa berdiri diluar? Ayo masuk.”
Seta mengikuti Lintang
masuk keruangan tamu dan duduk pada kursi dengan sikap santai.
“Belum kembali ke
Jogya?” Tanya Lintang.
“Aku tidak tinggal di
Jogya sejak beberapa tahun lalu. Sekarang aku tinggal di Bandung. Pulang ke
Jogya sesekali saja menengok ayah dan
ibu.” Sahut Seta.
Kedatangan lelaki itu
cukup mengejutkannya. Namun Lintang
melihat keramahan dari lelaki itu. Ah, mengapa dia tidak mencoba
bersahabat dengan lelaki itu.
“Tunggu, aku bikinkan
minuman dulu, ya.”
“Terima kasih, tapi bila
kau tidak keberatan, aku malah ingin mengajakmu jalan-jalan keluar.” Ucap Seta.
“Hujan. Masih hujan.” Kata
Lintang.
“Kenapa harus terganggu
oleh hujan?” Seta tersenyum. “Makan diluar lebih enak bila tengah hujan dan
cuaca dingin begini.”
Lintang berpikir sejenak.
“Aku bilang dulu pada ibu.”
“Oh, ya. Kau tidak ingin
memperkenalkan aku pada ibumu? Aku ingin bertemu dengan ibumu.”
Lintang tersenyum
mendengar ucapan Seta. “Baik. Tunggu sebentar, ya.”
Lintang menemui ibunya
setelah meminta Wiwin, pembantunya untuk membuatkan dua cangkir teh manis. “Bu,
teman saya ingin bertemu dengan ibu.”
“Siapa?”
“Mas Seta.”
“Siapa dia? Ibu baru kali
ini mendengar kau menyebut namanya.”
“Dia kenalan lama saya,
namun baru sekarang berkunjung kemari. Ayo, bu.”
Ibunya mengikuti Lintang
keruang tamu. Dengan santun Seta menyapa dan menyalami ibu Lintang. Ibu
tersenyum ramah pada Seta. Namun ibu faham, tidak lama-lama menemani mereka dan
segera pamit masuk lagi kedalam.
“Kau hanya tinggal berdua
saja dirumah ini dengan ibumu, Lintang?”
“Tidak, ada seorang
pembantu disini.”
Wiwin datang menghidangkan
dua cangkir teh manis yang hangat dan setoples kue kering.
“Mari diminum.”
“Terima kasih.” Seta
menghirup teh manis itu, lalu menatap Lintang. “Bagaimana, mau jalan-jalan
denganku?”
Hujan
masih turun, namun tidak ada salahnya menerima ajakan Seta. Diluar pasti
menyenangkan walaupun hujan masih turun dan cuaca terasa semakin dingin.
“Ya.”
Akhirnya Lintang mengangguk.
Lintang
mengambil jaketnya dan pamitan pada ibu. Seta sudah menunggunya didalam
mobilnya ketika Lintang masuk dan duduk
disampingnya. Seta menstarter mobilnya.
Diluar hujan masih turun gerimis. Suara musik
dari tape mobil mengalun lembut.
Ketika
mobil yang dikemudikan Seta meninggalkan halaman rumah, diam-diam Lintang
memperhatikan wajah lelaki itu dari samping. Dia belum lama mengenal lelaki
ini, tapi mengapa dia tak mencoba
bersahabat dengan laki-laki ini?
Lintang
teringat dengan kesendiriannya selama ini. Sekian tahun lalu dia pernah menjalin hubungan dengan Rangga.
Semula dia mengira hubungan mereka akan terus berlanjut, namun kehadiran gadis
lain membuat hubungan mereka putus. Dia tidak ingin mengenang masa lalunya
namun bagaimanapun hubungannya dengan Rangga telah membuatnya lebih hati-hati
dalam menjalin hubungan dengan lelaki lain. Dia tidak ingin mendapatkan
kekecewaan dan sakit hati untuk yang keduakalinya.
Hingga
akhirnya dia bertemu dengan Wiman. Dia merasakan Wiman menyukainya dan diapun
menyukai lelaki itu. Namun perjalanan menuntunnya untuk mendekatkan Wiman
dengan Acha, gadis yang kelihatan lebih membutuhkan Wiman dibandingkan dengan
dirinya.
Dia
merasa bahagia ketika melihat kedekatan Wiman dengan Acha. Dia merasa bahagia
karena dia sudah bisa membuat Acha merasa bahagia. Namun disisi lain, dia
merasa apa yang telah dilakukannya untuk Acha seakan menipu dirinya sendiri.
Mengapa dia harus berkorban untuk gadis lain?
Hubungannya
dengan Wiman semakin renggang. Hubungan mereka kemudian hanyalah pada sebatas
pekerjaan. Wiman seakan menjauh dan dirinya pun semakin menjaga jarak dengan
Wiman. Pada saat yang sama, dia merasa bila Wiman kebetulan melihatnya, Wiman
seakan menatapnya dengan tuduhan bahwa dia sengaja mendekatkan dirinya dengan
Acha, hanya sekedar keterpaksaan karena kasihan dengan penyakit yang diderita
gadis itu. Lintang dapat merasakan pangangan Wiman yang menghujam setiap kali
menatapnya.
“Lintang,
aku menyukai Sumedang. Aku juga betah tinggal di Sumedang. Mau jalan-jalan
keliling-keliling?” Seta menoleh sejenak pada Lintang, membuyarkan lamunan
Lintang pada Wiman dan Acha.
Lintang tersenyum. Sudah bertahun-tahun lamanya dia
tinggal di Sumedang. Sejak dulu, dia jarang keluar rumah. Namun kali ini dia
tidak ingin mengecewakan perasaan Seta.
Apalagi mereka baru akan menjalin persahabatan. Setidaknya dia ingin memberi
kesan yang menyenangkan diawal persahabatan mereka.
“Tentu
saja.” Sahut Lintang. Dia menatap Seta. “Bila mas Seta menyukai Sumedang dan
betah tinggal di Sumedang, kenapa mas Seta tidak pindah saja ke Sumedang dan
tinggal disini.”
“Ya, hal
itu tengah kupikirkan. Namun tentu harus ada seseorang yang menemani aku di
Sumedang.” Sahut Seta, tersenyum, menoleh sejenak pada Lintang.
Lintang
jadi ikut tersenyum mendengar ucapan Seta. Dia memahami kemana arah pembicaraan
Seta. Dia menyandarkan punggungnya dan menyelonjorkan kakinya.
“Kenapa
tidak mencari seseorang yang akan menemani mas Seta di Sumedang.”
“Sudah
mencari, dan sudah mulai ketemu dengan orangnya.”
“Siapa?”
Seta
menoleh mendengar pertanyaan Lintang. “Kamu, orangnya.”
Lintang
tersenyum mendengar ucapan Seta. Barangkali lelaki ini hanya bercanda saja.
Lintang melihat kejalanan. Hujan masih turun. Orang berjalan lalu lalang
disepanjang trotoar. Penjaja makanan mulai memadati sepanjang jalan kiri dan
kanan.
Puas
berkeliling-keliling Seta mengajak Lintang makan diwarung tenda. Mereka makan ayam bakar sambil
menikmati suasana sore yang dingin dan gerimis. Juga memperhatikan keramaian
dijalan raya. Walau gerimis turun membasahi bumi namun tidak menghalangi orang
untuk turun kejalan dengan kendaraan atau berjalan kaki dengan melindungi diri
dari curahan hujan dibawah payung.
“Terus
terang saja, aku tadi kaget. Tiba-tiba mas Seta
datang kerumah.” Kata Lintang.
“Kenapa?”
“Kenapa
kita begitu mudah akrab? Bukankah kita baru saja berkenalan?”
“Kenapa
hal itu kau jadikan pikiran? Santai sajalah dan jalani apa adanya.”
“Ya.”
Lintang mengangguk.
Lintang menatap
wajah Seta. Tiba-tiba saja dia merasa bahagia, Tuhan telah mengirimkan seorang
teman kepadanya. Setidaknya kehadiran Seta telah memberikan kebahagiaan pada
dirinya. Sejak kemarin dan sore ini. Dia berharap, semoga hubungan mereka tetap
seperti ini walaupun mereka baru saja berkenalan.
“Hujan masih turun. Lebih baik kita pulang.” Kata Lintang usai makan..
“Aku
masih ingin menikmati sore ini
bersamamu.” Ucap Seta.
Wajah Lintang
mendadak bersemu merah. Seta tersenyum menatapnya.
Lintang
merasakan debaran didadanya. Sejak Rangga meninggalkannya dan menikah dengan
gadis lain, hatinya seakan tertutup untuk lelaki lain. Dia takut mendapatkan
kekecewaan dan sakit hati yang kedua kalinya. Namun menatap mata Seta yang
menatapnya dengan hangat dan penuh persahabatan, seakan ingin merengkuhnya
dalam kedamaian, ketakutan Lintang
seakan memudar seperti bongkahan es yang lumer disinari mentari. Mata
Seta yang hitam seakan berusaha menembus
relung hati Lintang yang selama ini
seakan tertutup rapat. Tubuh Lintang terasa
menggigil.
“Masih
ingin jalan-jalan?” Tanya Seta.
“Tidak, Kita
pulang saja. Kasihan ibu dirumah.” Ucap
Lintang.
“Kita
beli sesuatu untuk ibumu. Bagaimana kalau roti bakar?”
Lintang
mengangguk. Seta menuntun tangannya. Mereka menyeberang jalan menuju tukang
roti bakar. Diam-diam Lintang memperhatikan Seta ketika Seta tengah berdiri
memperhatikan jalanan sambil menunggu roti bakar pesanan mereka.
Aku
pasti mimpi, pikir Lintang. Lelaki ini terlalu cepat datang kepadaku.
Hubunganku dengan Rangga yang berjalan empat tahun kandas ditengah jalan,
bagaimana mungkin aku akan percaya kepada lelaki ini yang baru kukenal beberapa
hari? Seta menoleh, merasa Lintang tengah memperhatikannya.
“Kenapa?”
“Tidak.”
Sahut Lintang.
Seta
membayar roti bakar. Mereka berdua masuk kembali kedalam mobil Hujan sudah
berhenti. Mobil Seta meluncur pelan dijalanan.
“Pasti
ada yang tengah engkau pikirkan.” Kata Seta, menoleh sejenak pada Lintang yang
diam memperhatikan jalanan didepannya.
“Ya.”
Sahut Lintang pelan. Dia menoleh membalas tatapan Seta.
“Apa
yang tengah engkau pikirkan?”
“Mas
Seta.” Sahut Lintang. “Kenapa secepat ini engkau datang kepadaku padahal mas
Seta baru beberapa hari mengenalku.”
“Kenapa
hal itu harus kau pertanyakan? Apakah ada jaminan bahwa bila kita sudah
mengenal seseorang selama bertahun-tahun hal itu akan membuat kita lebih dekat
dengan dirinya?” Seta tersenyum. “Aku melihatmu, berkenalan, dan kemudian
kurasakan aku ingin mengenalmu lebih
jauh lagi. Mungkin engkau merasa semua ini terlalu cepat, namun aku tidak
merasa begitu. Aku serasa sudah mengenalmu bertahun-tahun lamanya, tepatnya
sejak aku makan bersamamu setelah terjadinya kejadian didepan kantormu itu.”
“Ya.”
Lintang hanya mengangguk.
“Lintang,
aku mungkin terlalu cepat bicara kepadamu, namun aku ingin engkau sebagai pendampingku selamanya.”
Ucap Seta pelan.
Lintang
tercekat mendengar ucapan lelaki itu. Dia menatap Seta sesaat seakan tak
percaya mendengar apa yang diucapkan lelaki itu.
“Lintang,
aku tidak bisa mengungkapkan bagaimana perasaanku kepadamu. Aku merasakan
perasaan yang begitu indah yang tak dapat aku lukiskan dengan
untaian kata-kata. Aku tak ingin
kehilangan engkau sedetikpun. Lintang, aku sudah bilang kepada ibuku di Jogya
bahwa aku sudah bertemu dengan seorang gadis Sumedang yang cantik. Ibu ingin
bertemu dengan engkau, Lintang..”
Lintang tak
menjawab. Pikirannya terasa melayang. Dia teringat pada ibunya sendiri. Ibu
yang sudah sangat mengharapkan dirinya segera berumah tangga agar tuntaslah
segala tugas dan kewajiban ibu kepada seluruh anak-anaknya. Kini Seta bicara
seperti itu.
Semua
itu terlalu cepat untuknya. Dia belum lama mengenal lelaki itu. Namun Seta
seakan sudah lama mengenal dirinya dan ingin segera memastikan hubungan mereka.
Lintang
menghela napas dalam. Cinta sering datang tak terduga. Mengapa dia harus menghindari cinta yang
datang terlalu cepat ini. Seta memang
belum lama dikenalnya, namun pengalaman
kebersamaan yang lama dengan Rangga
dimasa lalu ternyata bukan sebuah jaminan bahwa cinta mereka akan
berlabuh bahagia.
Lintang
menoleh menatap Seta. Dia merasakan keharuan menyesakkan perasaannya. Seta
mengulurkan sebelah tangannya dan menggenggam tangan Lintang, lembut dan erat.
Perlahan Lintang membalas genggaman tangan lelaki itu. Dia merasakan airmatanya
seolah akan menetes tak kuasa menahan
bendungan keharuan dan kebahagiaan yang tengah dirasakannya.
--- 0 ---
Lintang merasa hubungannya dengan Wiman memang terasa
semakin jauh. Seolah ada jarak yang membatasi mereka. Hubungan mereka sebatas
hubungan formal. Tidak ada lagi keakraban diantara mereka. Pembicaraan pun
formal saja. Yang berkaitan dengan urusan dinas dan pekerjaan. Namun Lintang selalu menunjukan perasaan senang setiap kali
mendengar percakapan para pegawai dikantor tentang kedekatan
Wiman dengan Acha. Pegawai dikecamatan sepertinya semuanya sudah tahu
bahwa Wiman menjalin hubungan dengan Acha. Gosip yang paling mutakhir tentang
Wiman dan Acha, mereka akan segera menikah.
Aniek yang pertama kali
membicarakan masalah perkawinan itu. Dia memergoki Wiman dan Acha ditukang
jahit.
“Mereka akan segera
menikah. Bapak camat menjahit jas dan Acha menjahit kebaya. Kebayanya warna
hijau.” Cerita Aniek bersemangat.
“Syukurlah. Mudah-mudahan
perkawinan mereka bahagia.”
“Ya.” Sahut Aniek. Dia
menatap Lintang.”Tapi…….”
“Kenapa?” Lintang menatap
Aniek.
“Aku tidak pantas
mengucapkannya, apalagi bila sampai kedengaran oleh pak camat, hanya saja kok
rasanya aku tidak tega melihat pak camat akan menikah dengan gadis yang
sebentar lagi akan dioperasi kakinya. Aduh, maaf bu, saya hanya mengucapkan apa
yang ada dalam hati saya saja.”
Lintang mengangguk.
“Mungkin bukan engkau saja yang berpikir bergitu, Niek. Mungkin yang lain juga punya pikiran seperti itu.
Namun kita kembalikan, bahwa urusan jodoh ada ditangan Tuhan. Mungkin memang
Acha adalah wanita terbaik buat pak camat. Kita kan tidak tahu. Semuanya adalah
rahasia Allah.”
Aniek menatap Lintang.
“Kenapa pak camat mencari bunga dihalaman milik orang lain, padahal dihalaman
sendiripun ada bunga yang sangat indah dan menarik.”
Lintang mengerti maksud
ucapan Aniek. Dia hanya tersenyum. “Kumbang kan merasa lebih gagah bila
beterbangan ke kebun orang lain, dari pada hanya berputar-putar dikebun
sendiri.”
“Ah, bu Lintang, ada-ada
saja.” Aniek tersenyum.
“Bu Lintang kok tidak pernah bersama-sama lagi
dengan pak Camat?” tanya Anjar yang mendengar percakapan Lintang dengan Aniek.
Dia ikut duduk diantara mereka.
Lintang tersenyum
mendengar pertanyaan itu.
“Memang kenapa?” Tanya
Lintang.
“Yah, dulu kan ibu sering
keluar bersama-sama dengan pak Camat. Kemana-mana pak camat sering mengajak
ibu, tapi sekarang kok tidak pernah kelihatan bersama-sama lagi.”
“Ah, tidak apa-apa. Dulu
sering bersama-sama karena memang tugasnya memungkin untuk bersama-sama.
Sekarang mungkin pak camat mengajak yang lain untuk mendampinginya.”
“Atau bu Lintang sekarang
sudah punya calon, ya?” Anjar tersenyum menatap Lintang.
“Doakan saja, ya.”
“Oh, jadi benar ya rumor
yang saya dengar bahwa bu Lintang akan segera menikah. Selamat ya, bu.
Mudah-mudahan bu Lintang segera naik pelaminan.”
Lintang hanya tersenyum.
“Apa benar pak camat akan
menikah dengan Acha, perawat di puskesmas samping kantor kita?” tanya Anjar
yang nampaknya belum puas ingin bercakap-cakap dengan Lintang.
“Oh, apa ada berita pak camat akan menikah
dengan bu Acha?” Tanya Lintang pura-pura.
“Yah, saya mendengar gosip
itu kemarin dari pegawai-pegawai di puskesmas.” Sahut Anjar. “Semua pegawai di
puskesmas sudah tahu Acha akan menikah dengan pak camat. Mereka bilang akan
kenduri besar antara kantor kecamatan dan kantor puskesmas.”
“Yah, mudah-mudahan saja
bukan sekedar gosip, bu.”
“Tapi kabarnya bu Acha
kakinya akan diamputasi dalam waktu dekat ini, jadi bagaimana ya, masa
istri camat kakinya satu?”
“Memang kenapa kalau istri camat kakinya hanya
tinggal satu?’
“Lho, jadi isteri camat
itu kan tugasnya berat. Istri camat kan otomatis jadi ketua tim penggerak PKK
Kecamatan. Banyak program-program dan kegiatan yang mengharuskan isteri seorang
camat terlibat secara aktif. Rasanya bagaimana ya, bila isteri camat orang cacat. Bagaimana komentar orang bila
ada istri pejabat yang kakinya cacat?”
Lintang tidak
berkomentar. Dia tidak mau terpancing
dengan obrolan pegawai-pegawai dikecamatan. Salahku juga, pikir Lintang. Aku
selama ini tidak berusaha menutupi kedekatanku dengan Wiman. Jadi sekarang
seperti bumerang bagi aku sendiri ketika Wiman dekat dengan perempuan lain.
--- 0 ---
Karena kesibukan
pekerjaannya, Lintang hampir tidak pernah memikirkan Acha lagi. Dia tidak lagi
peduli sudah sampai dimana hubungan Wiman dan Acha. Biarlah itu urusan mereka
berdua, dia tidak ingin ikut campur lagi. Hingga kemudian Lintang mendapat berita kaki kanan Acha sudah diamputasi.
Lintang terkejut mendengar
berita itu. Rasa iba dan kasihan kepada gadis itu mengusik perasaannya dan
membangkitkan lagi kenangannya bahwa dia pernah dekat dengan gadis itu. Namun
ketika Lintang akan menengok Acha
kerumahnya, Acha menolak bertemu dengannya.
Lintang tidak bisa memaksa
walaupun hatinya sedih. Dia ingin sekali bertemu dengan Acha. Hanya sekedar
bertemu. Dia ingin melihat Acha dengan setulus hatinya. Namun Acha tidak bisa
merasakan ketulusan hatinya. Dua kali Lintang kerumahnya, dua kali pula dia
gagal bertemu dengan Acha. Cukup lama Lintang menunggu hingga Acha masuk kantor
lagi. Namun berita yang diperolehnya Acha sudah jarang masuk kantor.
Kasihan Acha, pikir
Lintang. Mungkin dia sekarang merasa rendah diri dengan keadaannya saat ini.
Pasti berat buat Acha menerima keadaan dirinya yang sekarang sudah cacat. Ah,
apakah Acha mengenakan sepasang kruk yang akan membantunya berjalan? Ataukah
dia mengenakan kaki palsu agar penampilannya kelihatannya tidak jauh berubah?
Namun kejutan itu
tiba-tiba terjadi lagi. Lintang hampir tidak mempercayai apa yang disampaikan
Aniek kepadanya. Mereka tengah makan gado-gado di kantin tidak jauh dari kantor
ketika tiba-tiba Aniek nyeletuk.
“Pak camat akan menikah.”
Kata Aniek sambil menatap Lintang. “Kejutan.”
Lintang menatap Aniek
serius. “Kejutan? Kenapa dibilang kejutan? Bukankah sudah sejak tempo hari
berita pak camat akan menikah dengan Acha sudah diketahui banyak orang, bukan
hanya pegawai kecamatan tapi juga masyarakat disekitar kecamatan ini.”
Aniek menatap Lintang.
“Oh, rupanya bu Lintang belum tahu, ya?
Berita pak camat dengan Acha itu kan sudah berita basi, sudah tidak berlaku
lagi. Pak camat akan menikah bukan dengan Acha, tapi dengan bu Sekar, kades
gudangwangi.”
Kini Lintang terpana. Tak
percaya mendengar berita itu. Apa dirinya yang terlalu sibuk sehingga tidak
sempat lagi memperhatikan gossip yag beredar dikalangan sendiri.
“Apa? Dengan bu kades? Aku
tak pernah mendengar gossip tentang mereka sebelumnya. Jadi bukan dengan Acha?”
Aniek kembali menggeleng.
“Bukan.” Sahutnya. “Memang sepertinya hubungan antara pak camat dan bu kades
tidak banyak yang mengetahui. Bahkan ada kecenderungan pak camat dengan bu
Sekar sendiripun sepertinya sengaja
menutup-nutupi hubungan mereka agar tidak diketahui banyak orang. Bila bu kades
datang ke kantor kecamatan, baik sikap bu kades maupun sikap pak camat
kelhatannya sikap mereka berdua wajar-wajar saja. Keduanya tidak memperlihatkan bahwa diantara mereka ada
hubungan istimewa. Tapi orang-orang dekat mereka sudah lama tahu bahwa antara
pak camat dan bu Sekar sudah lama terjalin hubungan. Kedekatan hubungan mereka
tepatnya bahkan sejak bu Sekar
mencalonkan diri menjadi kades, pak camat yang memberikan dukungan penuh pada
bu Sekar. Tak heran bila bu Sekar menang dalam pemilihan kades itu karena
pamornya banyak dipengaruhi oleh pamor pak camat yang dalam acara-acara tidak
resmi sering menemaninya berkunjung ke
masyarakat hingga ke pelosok dusun-dusun.”
“Lalu apa artinya hubungan
pak camat dengan Acha selama ini?”
“Banyak yang bilang pak
camat hanya sekedar kasihan kepada Acha karena pak camat tahu Acha menyukainya
dan kondisi Acha yang tengah sakit. Hubungan pak camat dengan Acha mungkin memang
benar pernah terjadi, namun hubungan itu tidak berlangsung lama. Pak camat
sekarang sudah menentukan pilihannya pada bu Sekar. Pak camat sudah mantap akan
segera menikah dengan bu Sekar. Dan mereka memang sekarang sudah sering tampil
bersama-sama. Hubungan yang sebenarnya sudah terjalin lama namun baru sekarang
berani diperlihatkan pada orang lain menjelang perkawinan mereka.”
Sejenak Lintang termangu
mendengar cerita Aniek. Banyak hal yang tidak diketahuinya tentang atasannya
dan wanita kades itu. Sudah sering dia mendengar berita Wiman sering
bersama-sama dengan Sekar. Ketika terjadi longsor di desa Gudangwangi, Wiman
datang dengan cepat membantu Sekar mengatasi keadaan didesanya yang dilanda
kepanikan ketika lebih dari duapuluh penduduk tertimbun tanah longsor dan harus
segera dievakuasi. Ketika terjadi kericuhan antara pemuda didesa itu, Wiman
yang tampil mendampingi Sekar mengatasi pertikaian didesa yang dipimpin wanita
itu sehingga kericuhan itu berakhir damai.
Begitu banyak kejadian yang didengar Lintang
yang berkaitan dengan Sekar, dan selalu Wiman hadir mendampingi wanita itu.
Mungkin dari kejadian-kejadian itu yang memupuk kebersamaan diantara Wiman dan
Sekar dan akhirnya menumbuhkan benih-benih cinta diantara mereka ketika tugas
dan emosi pribadi menyatu dan berbaur menjadi satu.
Aniek menatap Lintang yang
masih termangu. “Bu, memang sih sepertinya tidak mungkin pak camat memilih
Acha. Gadis itu cacat dan punya penyakit yang berat sekali. Sementara pak camat
masih memiliki masa depan yang panjang dan
karier yang masih lama. Bila menikah dengan bu Sekar, justru karier pak
camat akan banyak ditopang oleh bu Sekar karena , mereka berdua sama-sama
bergerak dibidang pemerintahan.”
Lintang masih termangu.
Sebenarnya memang sudah lama dia
mendengar kabar kedekatan Wiman dengan Sekar. Namun bila melihat dari sikap
keduanya yang wajar-wajar saja bila bertemu, orang sulit menduga apakah benar
ada hubungan istimewa diantara mereka. Sehingga
selama ini dia tetap menduga
bahwa Wiman masih menjalin hubungan dengan Acha. Namun kini kenyataannya
ternyata lain. Wiman akan menikah dengan Sekar.
Kasihan Acha, kata Lintang
dalam hatinya. Acha seolah dipermainkan oleh Wiman. Mungkin Acha sekarang
semakin terpukul ditinggal pergi oleh Wiman. Bukan urusanku, pikir Lintang.
Tapi aku kasihan pada Acha. Apalagi dengan keadaan dirinya yang sekarang sudah
cacat.
Setelah mendengar berita
bahwa Wiman akan menikah dengan Sekar, Lintang sering memperhatikan Acha bila
dia tengah keluar dari kantornya. Semula Acha mengenakan sepasang kruk kayu
untuk membantunya berjalan. namun kemudian Acha seakan sudah normal, berjalan
dengan sepasang kakinya. namun semua tahu, kaki kanan Acha palsu.
Perkawinan Wiman dengan
Sekar berlangsung tidak lama setelah Lintang mendengar berita itu dari Aniek. Wiman dan Sekar nampaknya sudah mempersiapkan
segalanya dengan baik. Berita mereka akan menikah tiba-tiba saja terdengar dan
perkawinan itu terjadi dalam waktu yang cepat tidak lama setelah berita
hubungan mereka mencuat dan diketahui oleh banyak orang.
Lintang menghadiri
perkawinan Wiman dan Sekar bersama dengan teman-teman sekantornya. Resepsi
perkawinan Wiman dan Sekar berlangsung cukup meriah. Ditengah-tengah resepsi
perkawinan Wiman dan Sekar, Lintang
mencoba mencari Acha diantara sekian banyaknya tamu undangan yang hadir
didalam gedung tempat berlangsungnya resepsi perkawinan Wiman dan Sekar. Namun
dia tidak berhasil menemukan sosok Acha.
Dua minggu setelah perkawinan
Wiman dengan Sekar, akhirnya Lintang bertemu Acha. Gadis itu sudah
berubah. Dia tidak lagi seperti Acha yang dulu dikenalnya. Terlalu banyak
perubahan yang terjadi pada dirinya. Kini dia hidup dengan sebuah kaki palsu
pada kaki kanannya. Dan semua itu seakan belum mengakhiri penderitaannya.
Kanker ganas itu terus menjalar menggerogoti tubuhnya. Dia dapat merasakan
kedukaan dan kesedihan yang dirasakan oleh Acha.
Lintang membayangkan
Wiman. Dia tidak menyalahkan Wiman bila lelaki itu pergi meninggalkan Acha.
Namun disisi lain naluri kewanitaannya seakan terusik. Betapa menyedihkannya
ditinggalkan dan dicampakkan begitu saja oleh lelaki yang dicintai.
--- 0 ---
Hampir setiap hari Seta menelepon Lintang. Mereka rutin saling
mengirim pesan pendek dan menghabiskan banyak waktu untuk saling berbagi cerita
ditengah-tengah rutinitas pekerjaan mereka.
Lintang merasa hubungannya dengan Seta semakin serius.
Setiap saat dia memanjatkan doa semoga Allah merestui hubungan mereka. Ketika
Seta melamarnya, bagi Lintang lamaran Seta sangat mengejutkan. Kejutan yang
manis. Mereka baru enam bulan berkenalan namun Seta sudah menganggap cukup
waktu enam bulan buat mereka untuk saling mengenal dan dia berharap mereka akan
mengakhiri hubungan mereka itu dalam
sebuah perkawinan. Dua keluarga sudah bertemu dan mereka sudah sepakat untuk
segera menentukan hari perkawinan.
Hubungannya dengan Seta
membuat Lintang lebih memikirkan dirinya sendiri. Dia tengah diliputi perasaan
bahagia dan sekaligus was-was menjelang pernikahannya yang semakin dekat. Dia
nyaris tidak pernah lagi memikirkan orang lain. Dia juga tidak pernah lagi
memikirkan Acha. Apalagi setelah Wiman menikah dan dia melihat Wiman kelihatan
bahagia bersama Sekar, Lintang tidak ingin lagi ikut campur dengan urusan orang
lain. Apalagi disaat dirinya sendiri pun tengah memiliki kebahagiaan sendiri, tengah
merajut masa depan bersama dengan lelaki yang mencintai dan menyayanginya. Apa
yang diberikan Seta kepadanya seakan karunia yang tak pernah berhenti
disyukurinya. Dia ingin menatap masa depan yang indah bersama Seta.
Lama sekali Lintang tidak
pernah melihat Acha walaupun berita mengenai Acha kerap didengarnya. Beberapa
orang temannya mengatakan Acha sekarang semakin jarang masuk kerja. Amputasi
kakinya tidak mengakhiri penderitaan gadis itu. Kanker ganas itu sudah menjalar
menggerogoti tubuhnya.
Hingga suatu hari,
tiba-tiba Acha meneleponnya. Lintang
terkejut mendapat telepon dari Acha. Sudah lama sekali dia tidak pernah berkomunikasi dengan Acha. Dalam
teleponnya, Acha mengaytkan ingin bertemu dengannya. Suaranya lirih dan sendu.
Lintang merasa tersentuh mendengar keinginan gadis itu yang ingin bertemu
dengannya. Dia tidak tega menolaknya. Akhirnya dia bilang akan menemui Acha
kerumahnya.
Sore itu Lintang menemui gadis itu dirumahnya. Acha
menyambut kedatangannya. Kelihatannya dia sudah lama menunggu kedatangan
Lintang. Wajahnya yang pucat berubah ketika melihat kedatangan Lintang. Ada
binar-binar kebahagiaan pada sepasang matanya yang sayu.
“Mbak, alangkah
menyenangkannya bila kita duduk dihutan pinus dibelakang kantor kita.” Kata
Acha. “Mbak mau menemani aku duduk kesana?”
“Kau mau kesana?” Tanya
Lintang.
“Ya, aku ingin kesana
bersama mbak Lintang.” sahut Acha.
“Ayo kita kesana.” Ajak
Lintang.
Lintang mengemudikan
mobilnya menuju bukit pinus. Mobilnya diparkir didepan kantornya. Mereka
melalui jalan setapak disamping kantor. Keduanya bergandengan tangan. Berjalan
perlahan-lahan menaiki bukit pohon pinus. Mentari sudah semakin redup. Sore
mulai menjelang.
Mereka berjalan-jalan
bersama tanpa melepaskan tangan mereka yang bergandengan. Keduanya berjalan menaiki
jalan setapak menuju ke bukit dimana tumbuh hutan pinus.
Langkah keduanya berhenti.
Acha duduk pada rumput sambil bersandar pada sebatang pohon pinus. Lintang
duduk disampingnya.
“Kita sudah berada dihutan
pinus ini.” Kata Lintang.
“Ya.” Sahut Acha. Bibirnya
tersenyum memperhatikan sungai yang berkelak-kelok mengalir dibawah hutan pinus
itu. “Sungai itu indah sekali, ya.”
“Ya.” Sahut Lintang.
“Airnya bening dan
jernih.”
“Ya.” Lintang ikut
memperhatikan sungai itu. Memperhatikan airnya yang bening dan jernih.
“Terima kasih mbak Lintang
sudah menemani aku kesini.” Ucap Acha lirih.
“Kau ingin kesini, tentu
saja aku temani.” Sahut Lintang.
Acha menatap Lintang.
“Mbak Lintang baik sekali kepadaku.”
“Aku baik pada siapapun.”
“Ya, mbak Lintang selalu
baik pada siapapun. Aku bersyukur bisa kenal dengan mbak Lintang dan bisa
merasakan kebaikan mbak Lintang yang tulus kepadaku.”
Acha menunduk, menatap
cincin bermata kecubung berwarna ungu yang menghiasi jari manisnya.
“Mbak Lintang suka tidak
dengan cincinku ini?” Tanya Acha.
“Kenapa?”
“Aku ingin tahu apa mbak
Lintang menyukai cincinku ini?”
“Ya, cincinmu bagus
sekali.”
Acha tersenyum menatap
cincinnya, lalu dikecupnya pelan. Perlahan dia membuka cincin itu dari jari
manisnya. Dia menatap Lintang. Pada saar itu Lintang baru melihat sepasang mata
Acha kelihatan berkaca-caka.
“Mbak Lintang, mungkin usiaku tidak lama lagi.”
Ucap Acha lirih, tersendat menahan tangisannya. “Sebelum aku pergi, aku ingin
memberikan kenangan ini untuk mbak Lintang. Kuberikan cincin ini kepada mbak
Lintang. Pakailah, mbak. Bila kelak aku sudah meninggal, simpanlah cincin itu
sebagai kenangan dariku bahwa satu saat dalam hidup kita, kita pernah saling
mengenal.”
Airmata Lintang berlinang.
Perasaannya terasa sesak penuh keharuan dan kesedihan mendengarkan setiap kata
yang terucap dari bibir Acha. Dia diam saja ketika Acha mengambil jari manis
tangan sebelah kiri dan mengenakan cincin itu dijarinya. Airmatanya jatuh ketika Acha menggenggam
jemarinya dengan erat dan memeluk tubuhnya. Dia merasakan tubuh Acha bergetar.
Dipeluknya tubuh gadis itu penuh keharuan.
“Terima kasih, Acha.
Kenapa engkau memberikan cincin ini kepadaku?” Tanya Lintang dengan suara
bergetar.
“Karena aku sayang pada
mbak Lintang. Mbak Lintang selama ini sangat baik dan penuh perhatian
kepadaku.” Ucap Acha lirih. Airmatanya menggenang pada sepasang matanya. Dia
melepaskan pelukannya walaupun tangannya masih menggenggam tangan Lintang erat.
“Aku tahu yang telah
dilakukan mbak Lintang kepadaku.” Acha menatap Lintang. “Apa yang pernah dilakukan
mbak Lintang untuk membahagiakan aku. Agar aku merasakan bagaimana rasanya
mencintai dan dicintai. Walaupun Kebahagiaan yang kurasakan itu hanya sesaat namun aku bisa merasakan
ketulusan mbak Lintang dalam melakukan semua itu kepadaku. Sayang lelaki yang
kucintai tidak mencintaiku dan dia bukan
jodohku.”
Lintang diam saja. Dia
tidak ingin membicarakan lagi soal Wiman dengan Acha bila membicarakan lelaki
itu akan mengoyakkan kembali luka dihati Acha karena Wiman sekarang telah
menjadi milik wanita lain.
“Aku tidak ingin menyesali
takdir yang telah ditentukan Allah pada kehidupanku.” Bisik Acha dengan suara
serak. “Aku tidak ingin menangisi nasib
dan takdirku. Namun seandainya aku bisa meminta kepada Allah, ya Allah tolong
panjangkanlah umurku agar aku bisa lebih lama lagi menikmati hidupku ini.
Berilah aku umur, jangan sekarang engkau mengambil nyawaku. Berilah aku
kesempatan untuk berbuat lebih banyak lagi dalam hidup. Beri aku kesempatan
untuk mengisi hidupku ini lebih lama
lagi……”
Airmata Acha seakan
bagaikan air bah yang mengaliri kedua belah pipinya yang putih dan cekung. “Namun
pintu kematian itu terasa semakin dekat kepadaku.” Bisik Acha tersendat
bercampur dengan tangisannya. “Setiap malam aku merasa tangan-tangan yang akan
menjemputku mengulurkan tangan-tangannya. Oh, mbak Lintang, aku merasa takut.
Aku merasa belum siap menghadapi kematian. Semua itu sungguh mengerikan bagiku.
Namun bagaimana caranya aku menolak dan menghindari kematian ini? Bantulah aku,
mbak Lintang. Bantulah aku untuk merasa siap menyongsong kematianku ini…..”
Airmata Lintang tak
terbendung lagi. Mengalir deras membasahi kedua belah pipinya. Sungguh
mengharukan melihat orang yang merasa hidupnya sudah diambang kematian,
berbicara seperti itu. Dia memeluk Acha. Dia merasakan kasih sayangnya mengalir
pada gadis itu.
Ah, seandainya saja dia
bisa menyembuhkan gadis itu. Namun untuk sekedar mengucapkan kata-kata hiburan
pun dia merasa sudah tidak sanggup lagi. Ribuan kata hiburan yang akan diucapkannya
pada gadis itu tidak akan membuatnya bisa merubah keadaan.
--- 0 ---
Acha meninggal. Akhirnya
pertahanannya tak sanggup lagi membendung kanker ganas yang telah menjalar ke
seluruh tubuhnya. Berita kematian Acha diperoleh Lintang dari Tuti yang mengirim pesan pendek ditengah malam buta. Hingga pagi datang menjelang, Lintang tidak
bisa lagi memejamkan matanya. Kematian Acha menorehkan kesedihan dalam hatinya.
Lintang merasakan
kesedihan dan duka yang mendalam dalam hatinya. Berita kematian Acha diterimanya dua minggu menjelang
perkawinannya, ketika dia tengah disibukan dengan segala hal menyambut
perkawinannya dengan Seta. Beragam kejadian terasa membayangi pikirannya. Lintang
merasa Acha sudah dekat dengannya. Dia sudah menganggap Acha sebagai adiknya
sendiri.
Pemakaman Acha
dilaksanakan esok harinya. Wiman dan Sekar datang dalam acara pemakaman itu. Keduanya
berdiri berdampingan, diam terpaku menatap tanah yang sedikit demi sedikit
menutupi liang kuburan dimana Acha terbaring ditempat peristirahatannya yang
terakhir.
Lintang datang sendirian. Kerudung
putih menutupi rambutnya. Tadi pagi dia
masih sempat mengirimkan pesan pendek pad Seta mengabarkan Acha telah
meninggal. Tidak ada jawaban dari Seta. Namun Lintang merasa, Seta pasti ikut
merasa prihatin dengan meninggalnya Acha.
Esok harinya, dikala senja
sudah mulai menjelang, Lintang masih berada dikantornya. Masih ada beberapa
orang pegawai yang tengah menyelesaikan pekerjaan mereka. Lintang keluar dari
kantornya. Dia berjalan menaiki bukit
dibelakang kantornya. Berjalan diantara pohon-pohon pinus diperbukitan yang teduh dan sejuk. Udara
sore terasa segar. Angin meniup rambutnya.
Lintang bersandar pada
sebatang pohon pinus. Matanya memperhatikan sungai yang mengalir dibawah bukit.
Sungai yang jernih dan bening. Dia teringat ketika dirinya dan Lintang disenja
yang merah pergi berdua menaiki bukit. Tak sadar mata Lintang memperhatikan
cincin yang menghiasi jari manisnya. Cincin bermata kecubung berwarna ungu itu
terasa menyentuh perasaannya.
Lintang menahan
airmatanya. Dia menengok pada bangunan disebelah kantor kecamatan. Bangunan
puskesmas yang berdiri kokoh dengan warna bangunannya yang putih bersih. Dia merasa Acha masih ada disana, tengah melayani
dan merawat pasien yang datang. Gadis itu begitu cantik dengan seragam kerjanya
yang berwarna putih dan rambutnya yang selalu diikat rapi, digulung dibagian
belakang membentuk sanggul kecil.
Airmata Lintang mengalir perlahan membasahi kedua belah pipinya. Acha memang
telah pergi namun kenangannya bersama gadis perawat yang cantik itu tak akan
pernah pudar dari ingatannya. Dia merasakan mendengar senandung pucuk-pucuk
pinus bersenandung lirih.
--- 0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar