Senin, 09 Juli 2018

Adelia






Hari masih pagi, diluar langit masih terlihat gelap. Pajar belum menyingsing namun kesibukan didapur istana sudah mulai terasa. Adelia tengah sibuk membantu ibunya seperti biasanya. Ayah Adelia dulu adalah seorang pegawai di istana. Ibunya adalah salah seorang tukang masak di istana. Adelia sudah lama tinggal di istana dan membantu pekerjaan ibunya menyiapkan makanan dan beraneka macam kue setiap hari untuk keluarga kerajaan. Karena keahliannya membuat kue, dia sering diminta oleh putera puteri raja untuk membuatkan beraneka macam kue-kue lezat yang disukai putera-puteri raja. Kue-kue buatan Adelia  disukai oleh putera-puteri raja karena Adelia  sangat kreatif sekali dalam membuat kue. Kue apapun yang dibuatnya selalu memiliki rasa  yang khas yang tidak dimiliki oleh pembuat kue lainnya sehingga  Adelia menjadi pembuat kue kesayangan keluarga raja.
Adelia  sungguh sangat beruntung bisa menjadi pembuat kue untuk keluarga kerajaan. Tidak setiap juru masak dan orang yang memiliki keahlian membuat kue bisa menjadi juru masak diistana. Apalagi juru masak bagi keluarga kerajaan.
Namun ternyata Adelia  tidak memanfaatkan keberuntungannya itu. Karena merasa dirinya sangat disayang oleh keluarga kerajaan, akhirnya Adelia  malah sering bermalas-malasan. Bila dia diminta untuk membuatkan kue karena diistana akan diadakan suatu acara, Adelia  sering menyuruh orang lain yang membuatnya. Tentu saja kue buatan Adelia  sangat berbeda rasanya dengan kue buatan orang lain.
Mala  berbeda dengan Adelia. Dia juga pandai memasak dan membuat kue. Namun Mala  hanyalah juru masak didapur kecil dibagian belakang istana. Setiap hari dia menyiapkan masakan dan kue-kue untuk para pegawai istana, termasuk tukang kebun dan tukang sapu dilingkungan istana. Dulu ibunya yang mengerjakan semua pekerjaan ini, namun setelah ibunya merasa cukup tua, pekerjaan itu diserahkan kepada Mala. 
Pada suatu hari Puteri Yulia, salah seorang puteri raja masuk kedapur untuk para pegawai istana. Yulia baru selesai bermain-main  ditaman sehingga dia merasa lapar dan haus sekali. Puteri Yulia melihat Mala sedang sibuk bekerja menyiapkan berbagai macam masakan dan kue-kue. Puteri Yulia mengambil sepotong kue. Hm. Enak sekali.
“Kue buatanmu sungguh enak sekali, Mala.” Puji Puteri Yulia. “Kau pintar sekali membuat kue. Apakah semua kue ini buatanmu?”
“Ya, Tuan Puteri.”
“Kue sebanyak ini engkau sendiri yang mengerjakannya?’
“Ya, setiap hari saya bangun pukul empat shubuh. Setelah mandi saya segera pergi ke pasar untuk berbelanja seluruh kebutuhan. Pulang dari pasar saya langsung mengolah bahan-bahan makanan dan memasak untuk sarapan para pegawai istana. Setelah memasak saya membuat kue-kue ini. Setiap hari saya memasak dan membuat kue tiga kali sehari.”
“Oh, Mala, pekerjaanmu sungguh berat.” Cetus Puteri Yulia.
Mala tersenyum. “Memang terasa berat  kalau pekerjaan dianggap beban, Tuan Puteri. Tapi saya mengerjakannya dengan senang hati dan tidak menganggap sebagai beban. Saya telah menekuni pekerjaan ini bertahun-tahun lamanya dan saya senang dengan pekerjaan saya ini.”
“Kau seorang gadis yang tekun dan mau bekerja keras, Karisa.” Kata Puteri Yulia. “Sudah saatnya engkau naik pangkat, Mala. Aku akan mengusulkan pada ibuku agar engkau menjadi juru masak untuk keluarga kerajaan. Kau tidak perlu mengerjakan pekerjaanmu sendirian. Ada beberapa orang pelayan lain yang akan membantu pekerjaanmu namun tanggung jawab dan pengawasan semua makanan merupakan tanggung jawabmu. Sementara Adelia  yang pemalas  akan menggantikanmu disini. Dia nanti bisa bekerja dengan dibantu oleh pelayan-pelayan yang lain.”
Ya, Adelia yang sebenarnya sudah beruntung menjadi juru masak bagi keluarga raja, tidak memanfaatkan keberuntungannya. Dia lebih senang bermalas-malasan dan menyuruh orang lain yang mengerjakan pekerjaan yang semestinya menjadi tugasnya. Sementara Mala karena kerja keras dan ketekunannya akhirnya mendapat posisi yang baik di istana. Dia menjadi juru masak kesayangan keluarga kerajaan.

Panen Mangga





Matahari bersinar lembut. Pagi yang indah dan segar. Selesai mandi Arin bergegas pergi kedapur. Hari ini rencananya mereka akan pergi ke kebun memetik mangga. Musim kemarau adalah musim panen mangga. Ayah sudah berada didalam mobil tuanya, sebuah mobil bak terbuka. Dibelakang mobil ada karung-karung kosong yang diikat menjadi satu. Karung-karung itu nantinya akan diisi dengan hasil panen mangga dan segera dijual. Biasanya ada orang yang akan menampung hasil panen mangga dan menjualnya ke pasar.
“Cepatlah, kau selalu saja terlambat!” seru Ninda, kakaknya yang sudah lebih dahulu naik kebelakang mobil dan duduk pada tumpukan karung.
“Aku ambil bekal makanan dulu.” Sahut Arin.
“Tidak usah, aku sudah membawa bekal untuk kita semua.” Seru Santi, kakaknya yang kedua. “Ayolah cepat, ayah sudah lama menunggu kita, terutama menunggu kau yang selalu saja paling telat.”
“Cepatlah, jangan ribut terus. Ayo semua naik kebelakang mobil.” Seru ayah dari balik kemudi.
Ibu yang baru datang dari arah dapur segera naik mobil dan duduk disamping ayah. Ninda, Santi dan Arin duduk bertiga dibelakang mobil. Mobil melaju menuju kebun. Angin pagi yang segar menerpa wajahnya dan meniup rambutnya. Mobil melaju semakin cepat melintasi jalanan beraspal. Dikiri kanan jalan sawah membentang luas. Tak lama mobil sudah tiba dikebun. Ayah menepikan mobilnya kepinggir jalan. Dikebun sudah ada beberapa orang pekerja yang tengah sibuk memetik mangga.
Ninda, Santi dan Arin segera meloncat turun. Seorang lelaki mengambil karung dari belakang mobil. Ninda, Santi dan Arin berlarian menuju ke kebun mangga. Mereka merasa senang melihat pohon-pohon mangga di kebun hampir semuanya sarat dengan buah-buah yang hampir matang. Bahkan banyak yang sudah matang. Ditanah, mangga-mangga yang telah dipetik dimasukan kedalam keranjang dan sebagian lagi dimasukan kedalam karung.
“Apakah kita boleh memetik mangga, Bu?” tanya Ninda.
Mereka perlu bertanya dulu apakah mereka boleh memetik mangga karena siapa tahu ayah telah menjual seluruh mangga yang ada pada seluruh pohon yang ada dikebun pada pembeli.
“Tentu saja boleh.” Sahut Ibu. “Kita juga ingin membawa mangga yang telah masak kerumah dan menikmatinya bersama-sama.”
Bukan main senangnya perasaan ketiga gadis itu. Ninda lebih dulu naik keatas pohon. Dia bisa  memanjat pohon walaupun sudah pernah beberapa kali jatuh terpeleset.
“Hati-hati, Ninda. Jangan terlalu tinggi kau memanjat pohon. Petiklah mangga yang paling bawah saja. Banyak yang sudah matang diranting yang paling bawah.” Seru ibu khawatir.
“Ya, Bu.” Sahut Ninda. Dia menginjak dahan yang paling bawah dan mulai memetik mangga yang sudah matang. “Tangkaplah ini!”
Santi menengadah. Dia mencoba menangkap mangga yang dijatuhkan Ninda. Namun tangannya tidak bisa menangkap mangga itu hingga terjatuh ketanah.
“Ah, sayang sekali. Mangganya menjadi pecah.” Seru Santi.
Ninda menjatuhkan lagi sebuah mangga. Arin mencoba menangkapnya. Namun tangkapannya pun meleset. Mangga itu terjatuh ketanah. Mangga yang sudah matang itu hancur sebagian. Namun Ninda tetap saja menjatuh-jatuhkan mangga yang dipetiknya sementara Santi dan Arin bergantian mencoba menangkap mangga itu. Ada yang berhasil ditangkap ada juga yang jatuh ketanah. Namun mereka semuanya merasa gembira dan berteriak-teriak satu sama lainnya.
Tidak terlalu banyak mangga yang dipetik Ninda karena ayah melarangnya memetik mangga lebih banyak lagi ketika melihat mangga-mangga yang dipetiknya berjatuhan ditanah dan menjadi rusak.
“Kalau mangganya rusak seperti itu, nanti tidak bisa dimakan lagi. Kamu turun, Ninda. Tidak baik anak perempuan memanjat pohon seperti anak laki-laki.” Seru ayah menegur anak sulungnya.
Ninda agak merengut karena dia sangat suka memanjat pohon walaupun tidak berani memanjat kedahan yang lebih tinggi.
Ibu membuka bekal makanan yang mereka bawa dari rumah. Ninda menggelar tikar. Mereka semua duduk pada tikar dan menikmati bekal yang mereka bawa. Nasi yang masih hangat yang dibungkus dengan daun pisan. Ikan asin, pepes ikan, tempe bacem, pepes tahu, sambal terasi, lalapan serta kerupuk udang yang semuanya disiapkan ibu tadi pagi. Mereka semua makan dengan lahap. Makan dikebun, apalagi setelah merasa lelah, selalu menyenangkan dan membuat makan terasa lahap. Selesai makan ibu membuka wadah yang berisi agar-agar. Sementara Ninda dan Santi mengupas mangga yang telah matang.
Selesai makan ayah terlibat pembicaraan yang serius dengan pembeli buah, seorang lelaki bertopi bundar. Lelaki itu adalah Paman Hendra, yang selama ini sering menampung hasil pertanian dan hasil kebun ayah. Ayah menerima sejumlah uang dari paman Hendra. Sementara seorang pegawai mengangkut beberapa buah karung berisi mangga dan menaruhnya dibelakang mobil ayah.
“Karung-karung mangga itu akan kita bawa pulang, Bu?” tanya Santi.
“Ya.” Sahut ibu. “Semua mangga yang berada dikebun ini sudah dijual pada Paman Hendra namun kita juga mendapat bagian beberapa karung mangga yang bisa kita bawa pulang. Kita akan membagikan mangga-mangga itu sebagian untuk tetangga-tetangga kita, sebagian untuk saudara-saudara kita, dan sisanya tentu saja untuk kita.”
Menjelang sore mereka pulang. Ninda, Santi dan Arin duduk kembali dibagian belakang mobil bak terbuka. Kali ini dibelakang mobil ada beberapa karung berisi mangga. Angin sore terasa panas. Rasanya mereka ingin segera tiba dirumah dan mandi. Tubuh mereka terasa sangat gerah sekali setelah seharian bermain dikebun. Malam nanti mereka akan kembali menikmati mangga yang manis dan segar.

Pondok Bunga di Lereng Bukit





Permaisuri raja sudah berbulan-bulan lamanya menderita sakit. Kepalanya sering terasa pusing. Tubuhnya sering terasa lemas tak bertenaga. Tabib-tabib istana sudah berusaha mengobati sang permaisuri namun sakit permaisuri tak kunjung sembuh juga. Raja merasa sangat gundah gulana. Raja sangat mencintai permaisuri dan merasa khawatir dengan kondisi kesehatan istrinya itu. Raja memiliki seorang putera mahkota yang bernama pangeran Andi yang akan segera dipersiapkan untuk menggantikan dirinya menjadi raja. Namun sayangnya sang pangeran belum juga memiliki seorang istri yang akan mendampinginya apabila kelak diangkat menjadi raja. Raja dan permaisuri sudah sering mengingatkan  pangeran Andi agar segera memiliki istri namun rupanya pangeran Andi belum juga menemukan gadis yang cocok dengannya.
Suatu hari permaisuri sangat ingin berjalan-jalan keluar istana menghirup udara pegunungan.
“Mungkin aku tengah merasa jenuh dengan keadaan di istana. Aku ingin berjalan-jalan keluar istana melihat pemandangan diluar istana. Aku ingin berjalan-jalan ke pegunungan dan menghirup udara segar pegunungan.” Kata permaisuri kepada raja.
Raja segera memerintahkan dua orang pengawal dan dua orang dayang untuk menemani sang permaisuri berjalan-jalan.
Kereta kuda yang ditarik dua ekor kuda hitam berpacu meninggalkan istana. Udara sangat cerah. Langit biru bersih. Sepanjang perjalanan dengan tatapan sayu akibat sakit yang dideritanya, permaisuri melayangkan tatapannya keluar jendela kereta. Kereta berpacu dengan cepat makin lama semakin jauh meninggalkan istana. Pemandangan yang dilihat permaisuri sepanjang jalan tak ada satupun yang menarik perhatiannya. Kereta kuda terus berlari melintasi perkampungan, hutan, lembah dan perbukitan yang hijau. Ketika telah tiba diperbukitan, sang permaisuri terlihat mulai tertarik dengan pemandangan disekitar perbukitan yang hijau dan indah penuh bunga-bunga beraneka warna yang tengah bermekaran. Rumput-rumput menghijau terhampar bagaikan hamparan permadani yang luas sekali. Bunga-bunga beraneka jenis dan warna menghiasi perbukitan, terlihat indah dengan warna-warnanya yang cerah diantara hijaunya perbukitan dan sejuknya udara perbukitan.
Tatapan sang permaisuri tiba-tiba tertambat pada sebuah pondok kayu yang berada dilereng bukit.
“Ah, pondok kepunyaan siapakah itu?” seru permaisuri pada salah seorang dayangnya. “Pondok kayu yang sangat indah sekali. Penuh dengan bunga-bunga indah yang bermekaran.”
“Ya, betul. Pondok yang indah sekali.” Ucap salah seorang dayang yang ikut merasa tertarik melihat keindahan pondok kayu itu.
Permaisuri meminta kusir menghentikan laju kereta. Kereta berhenti. Tatapan mata permaisuri terlihat sangat senang melihat pondok kayu itu yang penuh dengan bunga-bunga yang tengah bermekaran. Pondok kayu itu terdiri dari dua tingkat. Ada beberapa jendela tinggi pada pondok kayu itu. Pada masing-masing jendela, dibawahnya ditaruh pot-pot bunga berwarna-warni, terlihat sangat indah sekali.
“Aku ingin tahu pondok milik siapakah itu. Coba kita kesana.” Kata permaisuri.
Kereta kuda melaju lagi menaiki bukit dan tak lama kemudian kereta kuda itu sudah tiba didepan pondok kayu itu. Permaisuri keluar dari kereta kuda. Dia merasa senang melihat pondok kayu yang terlihat asri dan terawat dengan baik. Pastinya pemiliknya sangat telaten merawat pondoknya. Udara pegunungan yang sejuk dan segar membuat permaisuri merasa tubuhnya terasa lebih segar. Dia memanggil Mirna, salah seorang dayangnya.
“Mirna, cobalah kau ketuk pintu pondok itu. Siapakah pemiliknya. Apakah bisa aku menyewa pondok ini untuk beristirahat selama beberapa hari? Aku merasa kerasan bila aku tinggal di pondok ini.” Ucap permaisuri.
Mirna segera mengetuk pintu pondok itu. Tak lama kemudian keluarlah seorang gadis yang cantik membukakan pintu pondok. Rambutnya hitam panjang tebal dan dikepang menjadi satu dibelakang. Kulitnya kuning langsat bersinar, terlihat sehat.  Pakaiannya sederhana seperti biasanya gadis desa pegunungan, berupa rok panjang terbuat dari kain sederhana. Gadis cantik itu  terlihat sangat keheranan melihat ada orang asing yang mengetuk pintu pondoknya.
“Oh, darimanakah nyonya ini?” Tanya gadis itu.
“Kami dari istana….” Kata Mirna. Namun belum juga  Mirna menyelesaikan ucapannya, gadis itu sudah berjongkok dan member hormat dengan raut wajah ketakutan.
“Berdirilah.” Kata Mirna sambil tersenyum. “Kami membawa ibunda permaisuri. Ibunda permaisuri  merasa tertarik melihat pondok ini. Siapakah pemilik pondok ini?”
“Hamba sendiri pemilik pondok ini, Nyonya.” Sahut gadis itu.
“Baiklah. Siapakah namamu?”
“Melani, Nyonya.”
Mirna kembali lagi ke kereta menemui permaisuri dan melaporkan sudah bertemu dengan pemilik pondok itu yang ternyata pemiliknya adalah seorang gadis muda. Permaisuri berkenan turun dan menemui gadis pemilik pondok itu.
“Oh, tuanku Yang Mulia. Maafkanlah hamba sama sekali tidak tahu apabila tuanku berkenan singgah ke pondok hamba yang sederhana ini.” Melani menekuk lututnya memberi hormat pada permaisuri raja yang baru kali ini dilihatnya.
Permaisuri tersenyum lembut. Dia merasa terkesan dengan kecantikan dan kesantunan gadis pegunungan itu.
“Bangunlah. Aku merasa tertarik melihat pondokmu ini yang sangat cantik penuh dengan bunga-bunga yang sangat cantik. Apakah boleh apabila aku tinggal dan menyewa pondokmu untuk beberapa hari?” Tanya permaisuri.
“Tentu saja, Yang Mulia. Silahkan Yang Mulia tinggal disini, tidak usah menyewa apabila Yang Mulia berkenan ingin tinggal disini.” Kata Melani. “Mari masuk Yang Mulia. Namun hamba mohon maaf apabila keadaan di pondok hamba ini segalanya teramat sangat sederhana.”
Permaisuri diiringi kedua dayangnya masuk kedalam pondok itu. Melani segera menyajikan minuman teh hangat yang diberi irisan jeruk dan gula. Rasa teh hangat itu asam manis. Dia pun menyajikan beberapa buah roti lengkap dengan selai stroberi dan keju.
“Mari silahkan dinikmati makanan dan minuman pedesaan ini, Yang Mulia.” Ucap Melani. Bukan hanya menyuguhi permaisuri, Melani juga menyuguhi makanan dan minuman yang sama buat pengawal, dayang dan kusir yang ikut duduk di pondok kayunya.
“Oh, kau gadis yang cekatan.” Kata permaisuri sambil menikmati minuman. Ah, terasa segar sekali. Permaisuri meminum  minumannya sampai habis. Terasa nikmat sekali. Permaisuri merasa tubuhnya mendadak terasa sangat segar sekali. Lalu permaisuri mengambil sepotong roti dan keju.
“Hem, roti ini sangat enak sekali. Lembut dan harum. Dan keju ini rasanya enak sekali. Dimana kau membeli roti dan keju ini, Melani?” Tanya permasuri.
“Hamba membuatnya sendiri, Yang Mulia.” Sahut Melani sambil tersenyum malu.
“Ah, rupanya kau memang gadis yang rajin sekali, Melani.” Permasuri tersenyum.
Sambil menghidangkan makanan dan minuman pada permasuri dan pengiringnya, Melani sibuk naik turun tangga dilantai atas membenahi kamar-kamar yang akan ditempati permaisuri dan para pengiringnya. Tak lama Melani telah selesai dengan pekerjaannya.
“Yang Mulia, silahkan berisitirahat dikamar yang telah hamba sediakan dilantai atas. Barangkali Yang Mulia merasa lelah dan ingin beristirahat.” Kata Melani.
“Terima kasih, Melani. Betul, aku ingin beristirahat dulu.” Sahut permaisuri sambil beranjak mengikuti Melani menaiki tangga kayu menuju kamar dilantai atas. Mirna mengikuti permaisuri sambil membawa segala kebutuhan permaisuri yang dibawa dari istana.
Melani membukakan pintu kamar. Permaisuri merasa senang melihat kamar itu. Didalam kamar berlantai kayu itu hanya ada sebuah dipan sederhana dan sebuah meja kecil dengan kursi kayu. Melani menunjukan kamar mandi yang berada dikamar itu pada permaisuri. Permaisuri merasa senang melihat kamar mandi kecil yang bersih itu.  Jendela kamar  yang tinggi ditutup oleh gorden sederhana dengan motif bunga. Permaisuri membuka jendela. Udara segar pegunungan bertiup masuk kedalam kamar. Permaisuri melihat dibawah jendela ada tempat berbentuk kotak persegi panjang dimana diletakan pot-pot bunga kecil berjejer rapi.
“Selamat beristirahat, Yang Mulia.” Kata Melani sambil menutup pintu kamar.
Melani menyediakan dua kamar lagi dilantai bawah untuk ditempati pengawal dan dayang istana. Setelah itu Melani menyibukan diri di dapur memasak untuk makan malam nanti. Sore hari, permaisuri baru keluar kamar. Permaisuri  terlihat lebih segar. Permaisuri turun dari lantai atas dan melihat Melani tengah sibuk menyiapkan masakan untuk makan malam.
“Ah, kami merepotkanmu, Melani.” Kata permaisuri ketika melihat kesibukan Melani didapur. Sayur mayur segar dan buah-buahan bertumpuk didapur. Dari dalam kuali yang mengepul panas, tercium aroma daging sapi yang tengah dimasak.
“Sama sekali tidak, Yang Mulia. Saya merasa mendapat kehormatan dengan kedatangan Yang Mulia ke pondok saya ini.” Sahut Melani sambil membuka pembakaran roti dan mengeluarkan roti yang telah matang. Bau harum roti mengisi dapur kecil itu.
“Mirna dan Lena, kedua dayangku, akan membantumu.” Kata permaisuri sambil memanggil kedua dayangnya yang segera saja ikut sibuk didapur membantu Melani. Sementara kedua pengawal dan kusir kereta tengah berjalan-jalan diluar pondok menikmati pemandangan pegunungan di sore hari yang sejuk.
Malam pun tiba. Udara pegunungan di malam hari terasa sangat dingin sekali. Permaisuri membungkus dirinya dengan mantel tebal. Pengawal sibuk menyalakan perapian ditungku perapian diruangan tengah agar udara didalam pondok itu terasa hangat. Sementara Melani bersama Mirna dan Lena sibuk menyiapkan makan malam. Makan malam terasa nikmat sekali. Sop daging sapi yang panas berisi potongan wortel dan kentang. Daging sapi saus kecap. Sayur jamur dan brokoli. Roti-roti yang baru keluar dari pembakaran. Sayur mayur segar dan buah-buahan menemani makan malam itu. Permaisuri makan dengan lahap sekali. Sudah lama sekali permaisuri tidak pernah lagi makan selahap ini.
Esok paginya permaisuri merasa tubuhnya terasa semakin segar. Semalam tidurnya terasa nyeyak sekali. Dia lalu berjalan-jalan disekitar pondok itu. Kakinya menginjak rumput-rumput lembut yang menutupi tanah. Ketika permaisuri kembali ke pondok itu, dia merasa tubuhnya terasa jauh lebih segar. Ah, rasanya aku kini telah sembuh, pikir permaisuri.
Empat hari lamanya permaisuri tinggal di pondok kayu itu. Dia memberi uang pada Melani untuk membeli segala macam kebutuhan selama dia tinggal di pondok itu termasuk juga untuk segala macam makanan dan minuman yang disediakan Melani untuk dirinya dan pengiringnya.
“Aku merasa sangat kerasan tinggal di pondokmu ini, Melani. Masakanmu pun sangat lezat sekali. Keju buatanmu sangat lezat sekali. Aku baru melihat sendiri bagaimana caranya membuat keju. Kau gadis yang serba bisa, Melani.”
Hari kelima, tiba-tiba datang seseorang yang menunggang kuda dan dipacu dengan cepat. Kuda itu lalu berhenti didepan pondok kayu itu. Penunggangnya lalu turun dan mengetuk pintu pondok   itu. Melani membukakan pintu pondok itu.
“Maaf, apakah ibuku tinggal disini?” Tanya pemuda itu.
“Ibumu?” Melani melongo.
“Oh, anakku. Kau kemari akan menjemput ibu? Sayangnya ibu masih merasa kerasan tinggal disini dan belum ingin pulang kembali ke istana.” Permaisuri muncul dari dalam pondok dan bicara pada pemuda itu.
“Ya, Bu. Ayah meminta saya untuk menjemput ibu.” Kata pemuda itu sambil mencium tangan permaisuri. Oh, rupanya pemuda itu adalah pangeran mahkota yang akan menjemput ibundanya.
“Pulanglah dan ajaklah ayahmu kemari. Kita sekeluarga akan beristirahat disini selama beberapa hari lagi.” Kata permaisuri.
Pangeran Andi kembali ke istana. Esoknya pangeran Andi kembali bersama ayahanda raja. Ternyata raja pun merasa kerasan melihat pondok itu. Akhirnya raja dan pengeran Andi ikut menginap selama beberapa hari di pondok kayu itu dan menikmati kesegaran udara pegunungan.
Setelah tinggal lebih dari seminggu, akhirnya permaisuri pamitan dan mengucapkan banyak terima kasih karena Melani telah melayani dirinya, raja, pangeran Andi serta para pengiring dengan baik. Permaisuri menghadiahi perhiasan berupa seuntai kalung mutiara yang indah  dan uang pada Melani sebagai ucapan terima kasih. Akhirnya permaisuri beserta rombongan pulang kembali ke istana dalam keadaan sehat. Beberapa waktu kemudian pangeran Andi datang kembali ke pondok kayu itu akan  menjemput Melani dan membawanya ke istana. Rupanya pangeran Andi dan Melani telah saling jatuh cinta selama pertemuan di pondok kayu itu. Akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia. Sesekali raja, permaisuri, pangeran Andi dan Melani menghabiskan waktu senggang di pondok kayu itu yang telah menjadi tempat istirahat keluarga kerajaan.

foto diambil dari google

Miranda dan Pangeran Roma






Pangeran Roma baru kembali ke istana setelah berkelana selama setahun lamanya. Ayahnya menyuruhnya segera pulang  untuk mempersiapkan rencana pernikahannya dengan puteri Hera. Pangeran Roma sudah lama dijodohkan dengan puteri Hera namun pangeran Roma tidak menyukai gadis pilihan orangtuanya. Namun walaupun dia tidak mencintai puteri Hera,  dia tidak berani menolak karena tidak ingin mengecewakan ayah dan ibunya.
Pagi itu pangeran Roma baru bangun dari tidurnya. Dia membuka jendela kamarnya. Sinar mentari yang hangat  menyinari kamar tidurnya. Pangeran Roma melihat ke taman istana.  Matanya melihat seorang gadis tengah asyik menyiram bunga ditaman. Gadis itu mengenakan gaun panjang yang sederhana. Rambutnya yang hitam bergelombang diikat menjadi satu dengan sebuah pita berwarna hijau. Wajahnya cantik sekali. Pangeran Roma tertegun. Baru sekarang dia melihat gadis itu. Pada saat itu Messy, pelayan istana masuk kekamarnya dengan membawa baki berisi sarapan pagi untuk pangeran Roma.
“Siapakah gadis yang tengah  menyiram  bunga itu?” tanya pangeran Roma pada Messy. Matanya seakan tak berkedip menyaksikan gadis cantik  itu yang tengah asyik menyiram bunga sambil bersenandung lembut dan tidak menyadari dirinya tengah diperhatikan oleh pangeran Roma.
Messy melihat keluar. “Namanya Miranda, tuan.” Katanya.
“Gadis itu cantik sekali. Aku baru sekarang melihatnya. Apakah dia pelayan istana?”
“Ya, tuan. Dia baru sebulan bekerja di istana. dia mendapat tugas menyiram bunga di taman.”
“Suaranya sepertinya merdu sekali. Aku bisa mendengarkan senandungnya.”
“Ya, tuan. Suaranya merdu sekali. Tapi sayang, kedua matanya buta.”
“Apa? Buta?” tanya sang pangeran Roma terkejut.
“Ya, tuan. Dia buta sejak kecil.”
“Tapi dia sangat cekatan sekali mengurus bunga-bunga ditaman. Dia tidak kelihatan seperti orang buta.”
“Ya, tuan. Dia  memang rajin dan cekatan. Dan dia sudah terbiasa sejak kecil mengurus bunga. Ayahnya dulu adalah tukang bunga yang sering mendapat tugas untuk menghias istana dengan bunga-bunga bila ada pesta-pesta atau perayaan-perayaan di istana.” kata Messy. Ketika pangeran Roma tidak bicara lagi, bergegas Messy keluar kamar dan menutup pintu kamar.
Pangeran Roma lalu keluar dan menuju  taman istana. Beberapa saat dia berdiri dibelakang gadis itu. Seakan menyadari ada seseorang dibelakangnya, Miranda menoleh. Matanya seakan menatap sang pangeran. Namun pangeran tahu Miranda tidak bisa melihatnya.
“Selamat pagi, Miranda.” Sapa pangeran Roma lembut.
“Selamat pagi, tuan.” Sahut Miranda. Dia tersenyum  simpul. Cantik sekali. Sang pangeran merasa senang melihat senyuman Miranda yang tulus dan lembut.
“Kau tahu, siapakah aku ini?” tanya sang pangeran.
“Tidak, tuan. Saya tidak bisa melihat.” Sahut Miranda jujur.
“Kau bisa menebak siapakah aku ini?”
“Tidak.  Tapi aku akan mencoba menebak. Apakah tuan tinggal di istana ini?” tanya Miranda.
“Ya.” Sahut pangeran Roma sambil tersenyum.
“Apakah tuan salah seorang pegawai di istana ini?”
“Tidak.”
“Apakah tuan masih ada hubungan kerabat dengan pihak istana?”
“Ya.”
Mendadak Miranda mundur dengan wajah ketakutan. “Oh, tuan. Maafkan hamba. Tolong jangan ganggu hamba. Hamba sedang bekerja. Bila tuan mengajak hamba  bercakap-cakap dan ketahuan oleh kepala pegawai istana, saya pasti  dipecat.”
“Tidak, Miranda. Kau tak usah takut. Aku tidak akan mengganggumu dan tak akan ada orang yang bisa memecatmu.” Ucap pangeran Roma menenangkan Miranda yang ketakutan.
“Oh tuan,  jangan sok berani. Tuan belum tahu bagaimana galaknya kepala pegawai istana kepada pegawai yang melanggar aturan.”
“Mirandai, bagaimanapun galaknya kepala pegawai istana, dia tidak akan berani memecatmu karena kau sedang bercakap-cakap dengan pangeran Roma. Aku nanti akan menghukum  kepala pegawai istana itu bila dia berani memecatmu.”
“Apa? Pangeran Roma?” Mendadak wajah Miranda bersemu merah. Dia sudah mendengar nama pangeran Roma. Akhirnya dia bisa mengetahui dengan siapa dia berbicara.  Karena matanya buta, dia tidak bisa mengetahui dengan siapa dia bicara.  Siasatnya berhasil. “Untuk apa tuan menemui saya dan mengajak saya bercakap-cakap?”
“Miranda, kau bekerja cekatan sekali. Aku baru kali ini melihatmu. Tadi aku memperhatikanmu tengah menyiram bunga. Aku senang melihatmu berada dilingkungan istanaku.”
“Benarkah, tuan?” tanya Miranda dengan wajah senang.
“Ya.” Sahut pangeran sambil tersenyum.
Sejak saat itu hampir setiap hari Miranda bertemu dengan pangeran Roma. Pangeran Roma selalu menemui Miranda setiap kali Miranda tengah menyiram bunga.  Miranda merasa senang sekali karena pangeran Roma sangat baik kepadanya. Karena hampir setiap hari bertemu, akhirnya  Miranda  jatuh cinta pada sang pangeran. Namun perasaan cintanya itu dipendamnya baik-baik. Dia menyadari dirinya hanyalah seorang pelayan istana dan kedua matanya buta. Tidak mungkin pangeran jatuh cinta kepadanya.
Suatu hari Miranda menyiram bunga dengan perasaan sedih. Sudah seminggu pangeran Roma tidak pernah menemuinya lagi ditaman. Tadi pagi dia mendengar percakapan antara pelayan bahwa tidak lama lagi pangeran Roma akan melangsungkan pernikahannya dengan puteri Hera. Oh, bukan main terkejut dan sedihnya perasaan Miranda. Ternyata selama ini cintanya bertepuk sebelah tangan saja kepada pangeran Roma. Pangeran Roma sudah akan menikah dengan wanita lain, seorang puteri yang pastinya serasi sebagai pendamping pangeran Roma.
Miranda merasa sedih sekali. Akhirnya dia memutuskan pergi dari istana tanpa pamit pada siapapun. Dia lari kedalam hutan dan menangis dengan perasaan sedih. Selama ini hidupnya seakan selalu menderita. Dia tidak bisa melihat apapun yang kata orang sangat indah. Dia tidak bisa melihat matahari meskipun dia dapat merasakan hangatnya sinar mentari. Dia tidak bisa melihat keindahan bunga-bunga yang disiramnya setiap hari meskipun tangannya bisa meraba kelembutan bunga-bunga itu.
Ketika tengah menangis, mendadak sebuah suara menyapanya lembut.
“Miranda, janganlah menangis.  Apakah yang membuatmu bersedih seperti itu?”
Miranda mengangkat wajahnya. “Siapakah engkau?”
“Aku adalah peri hutan ini, Miranda. Janganlah takut, aku akan menolongmu.”
Miranda menceritakan kesedihannya. Peri itu merasa iba mendengar cerita Miranda.
“Miranda, didepanmu ada sebuah telaga. Basuhlah wajahmu dengan air telaga itu.”
Miranda mengikuti perintah peri itu. Dia berjalan kedepan. Lalu berjongkok. Benar saja, tangannya menyentuh air yang sejuk dan dingin dari sebuah telaga. Dia segera membasuh wajahnya dengan air telaga itu. Mendadak dia bisa melihat keadaan disekelilingnya. Juga peri hutan yang baik hati itu yang tengah tersenyum melihatnya.
“Aku bisa melihat. Aku bisa melihat.” Ucap Miranda gembira.
Peri itu tersenyum. “Ya, Miranda. Sekarang kau bisa melihat. Penglihatan itu sebagai hadiah karena kesabaran dan ketabahanmu dalam menjalani hidupmu. Selamat tinggal Miranda, semoga engkau mendapatkan kebahagiaan.” Peri itu lalu pergi.
Miranda segera mencari jalan keluar dari dalam hutan itu. Ketika tengah berjalan, mendadak dia  mendengar suara derap kuda. Tidak lama kemudian seorang penunggang kuda tiba dihadapannya.  Ternyata pangeran Roma yang datang.
“Miranda, mengapa engkau pergi dari istana? Aku mencarimu kesana kemari. Ternyata engkau ada disini.” Kata pangeran Roma yang kelihatan gembira ketika melihat Miranda.
Miranda hanya diam. Dia menatap wajah pangeran Roma. Perasaannya kembali sedih. Ketika matanya masih buta dia sudah jatuh cinta pada pangeran Roma. Apalagi sekarang setelah dia bisa melihat. Pangeran Roma ternyata sangat tampan sekali.
Pangeran Roma turun dari kudanya dan memegang kedua tangan Miranda.
“Miranda, aku tidak jadi menikah dengan puteri Hera.” Kata pangeran Roma. “Aku mencintaimu, Miranda. Walaupun ayah dan ibu semula kecewa dengan batalnya pernikahanku dengan Hera, namun akhirnya ayah dan ibu menghormati pilihanku. Aku hanya ingin menikah denganmu.”
“Apakah engkau tidak malu dengan keadaan mataku yang buta?” tanya Miranda lirih.
“Tidak, Miranda. Aku mencintaimu dengan setulus hati. Aku ingin menikah denganmu.”
Miranda merasa terharu mendengar ucapan pangeran Roma. Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ternyata pangeran Roma pun mencintainya seperti dirinya mencintai pangeran Roma. Bukan main bahagianya perasaan Miranda.  “Pangeran, aku sekarang bisa melihat.”
Miranda menceritakan pertemuannya dengan Peri tadi di hutan.
“Benarkah? Coba tebak, aku sekarang memakai baju apa?” tanya pangeran Roma.
Miranda tersenyum memperhatikan baju pangeran Roma. “Bajumu warnanya cokelat.”
“Dan sepatuku berwana apa?” pangeran Roma menguji lagi.
“Hitam.” Sahut Miranda.
“Kudaku bulunya berwarna apa?”
“Putih.”
“Oh Miranda, engkau benar-benar bisa melihat. Aku sangat senang sekali.” Ucap pangeran Roma gembira.
Pangeran Roma lalu mengajak Miranda pulang ke istana. Tidak lama kemudian dilangsungkan pernikahan pangeran Roma dengan Miranda. Keduanya hidup bahagia dan saling mencintai.
--- 0 ---