Rabu, 16 Maret 2022

Kesempatan menjadi petani baru bisa dilaksanakan setelah pensiun

 


Menjadi petani merupakan pekerjaan yang tak pernah terbayang dalam benak saya walaupun saya merupakan keturunan petani. Dari Aki Nini hingga buyut saya keatas merupakan petani. Sementara ayah saya adalah seorang pegawai negeri, demikian juga saya. Menjadi seorang pegawai negeri hal yang patut saya syukuri. Bukan hal yang mudah buat saya untuk menjadi seorang pegawai negeri, apalagi saya  memulainya dari seorang tenaga kontrak di pemda. Dan masa penantian saya untuk menjadi pegawai negeri sipil tidaklah sebentar. Butuh belasan tahun saya menunggu hingga akhirnya saya menjadi seorang pegawai negeri.  Disini saya tidak akan membicarakan mengenai pekerjaan menjadi pegawai negeri. Namun saya ingin bercerita apabila saya kelak menjadi petani setelah saya pensiun.




Menjadi petani, pekerjaan yang sepanjang hidup Aki Nini dan buyut serta leluhur saya merupakan pekerjaan utama mereka. Ayah saya total menjadi pegawai negeri. Bahkan setelah pensiun pun ayah saya menikmat masa pensiunnya, sama sekali tidak turun menjadi petani. Artinya sawah yang dimilikinya digarap oleh penggarap sawah sementara ayah saya menerima bagi hasil dari panen. Begitulah ayah saya.





Kembali pada saya. Masa pensiun tinggal beberapa tahun lagi. Rasanya saya juga sudah ingin segera menikmati masa pensiun saya. Namun apa yang akan saya kerjakan apabila saya telah pensiun nanti? Menjadi petani. Hanya itu yang ada dalam benak saya. Menjadi petani meneruskan pekerjaan yang sudah dirintis oleh Aki Nini serta buyut saya. Bicara memang mudah. Namun kenyataannya menjadi petani itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Namun kembali saya ingat, pekerjaan apa yang mudah dan tidak ada kesulitannya? Setiap pekerjaan pasti ada kesulitan dan ada tantangannya. Apalagi menjadi petani. Pekerjan yang sangat sulit buat saya.





Saya ambil contoh hal sederhana. Bertanam disekitar rumah. Entah sudah berapa puluh kali saya mencoba bercocok tanam, dalam polybag ataupun dalam pot (karena lahan rumah saya cukup sempit). Rasanya saya sudah cukup benar melakukan pekerjaan saya. Saya menyiapkan tanah yang cukup baik, juga membeli tanah dari penjual tanaman untuk mendapatkan hasil yang baik. Saya menyiapkan pot dan polybag secukupnya. Saya juga membeli beragam bibit tanaman secara online. Dan mulailah saya bercocok tanam. Saat itu rasanya saya sudah merasa setengah menjadi petani.  Tentu saja pakaian yang saya kenakan pun menyesuaikan seperti petani diluar negeri. Celana panjang dan kemeja. Lengkap dengan dudukuy, ciri khas petani Indonesia. 

Dihari libur selama dua hari itu saya tekun mengerjakan pekerjaan saya. Akhirnya selesai juga  saya menanam benih pada pot dan polybag. Jumlahnya cukup banyak. Puluhan pot dan polybag. Saya menatap senang pada jejeran pot dan polybag. Tentu saya tak lupa menyiraminya. Saat menanam itu saat musim hujan. Jadinya saya cukup terbantu dengan curah hujan sehingga saya tidak perlu menyiram tanaman saya setiap hari. Saya merasa rileks dan tentunya dengan harapan yang cukup tinggi bahwa semua tanaman saya akan tumbuh dengan baik dan nanti 3 atau 4 bulan lagi saya akan panen, panen cabe rawit, cabe merah, paria, tomat, terong, waluh dan beragam sayuran lagi. Saat itulah saya pasti akan merasa menjadi seorang petani sukses, sukses menanam di pot dan polybag.

Namun ternyata khayalan dan harapan saya ketinggian. Karena kesibukan yang lain sebenarnya saya nyaris tidak betul-betul mengurus semua tanaman saya. 3 bulan lewat, 4 bulan lewat, baru saya ingat dengan tanaman saya. Dan saya meringis. Ternyata tak ada satupun tanaman saya yang  tumbuh. Ah, sedihnya.

Namun saya tidak patah semangat. Saya kembali menanam dihari libur. Dan kembali setelah selesai saya lupa lagi. 3 kali begitu dan begitu terus. Akhirnya saya punya kesimpulan bahwa apapun memang harus diurus. Termasuk juga bertanam. Itu adalah cerita saya bertanam di pot dan di polybag. Maksud saya pengalaman itu akan menjadi perbandingan bila kelak saya menjadi petani, turun ke sawah dan bertanam padi.

Andaikan saja misal, tanah sawah yang saya miliki itu luasnya 50 bata. 50 bata kira-kira luasnya ; 50 X 14 meter = 700 meter persegi (Maaf bila saya salah berhitung). Bayangkan apabila saya menggarap sepetak sawah dengan luas 700 meter persegi, betapa beratnya pekerjaan itu karena bertanam dipot dan di polybag juga tidak mudah. Apalagi bila saya memilii beberapa petak sawah. Misalkan 5 petak sawah dengan luas yang berbeda-beda. Dan saya mengerjakannya sendirian tanpa bantuan orang lain, atau bantuan buruh tani. Kembali saya meringis dengan bayangan saya itu.

Tapi itu pemikiran dan dugaan saya saja. Karena kenyataannya, bagi petani, tanah garapan kecil atau luas, mereka tetap bisa menggarapnya dengan baik karena bertani sudah menyatu dengan jiwa  mereka. Mereka, para petani tulen itu, tetap tekun menggarap tanah garapan mereka, bertanam padi. Sudah tidak ada keluhan lagi punggung terbakar teriknya panas matahari ditengah hari,  atau diguyur hujan saat tengah bekerja disawah. Semua dilakoni dengan tekun dan ikhlas. Apapun hasil panen nanti, apakah panen akan  baik atau tidak. Mereka tetap tekun bekerja.  Apakah saya juga  akan bisa seperti  itu? Hanya waktu yang akan bisa membuktikannya kelak. Yang jelas, jiwa petani sudah saya rasakan, tertanam dalam jiwa saya. Minimal itu akan menjadi bekal saya kelak bila saya benar-benar terjun jadi petani.













 


Lotek langganan. Bumbunya ledok dan loteknya mantaf...



Lotek langganan yang bumbunya sangat ledok

Bagi orang Sunda lotek merupakan makanan khas Sunda yang sudah tidak asing lagi. Lotek dengan bumbu kacang, cabe rawit, gula merah, terasi, cikur, bawang putih, diulek halus, lalu dicampur dengan rebusan sayuran yang terdiri dari kangkung, waluh, toge, genjer dan rebusan sayuran segar lainnya. Kadang kala, lotek ditambah dengan kerupuk yang ditumbuk bersama dengan sayuran atau jug ditambah dengan lontong. Rasanya jelas enak dan penggemar lotek sepertinya tidak pernah berkurang, dimana ada tukang lotek, disitu ada pembeli yang setia menunggu penjual loteknya mengulek bumbu lotek.

Salah satu penjual lotek langganan saya tempat mangkalnya di Kaum, dekat Alun-alun Sumedang. Bumbu loteknya sangat ledok dan lezat. Hampir setiap kali saya kesana selalu saja antri menunggu. Banyak pembeli yang makan ditempat, ada meja dan bangku disana. Namun banyak juga yang membeli untuk dibawa pulang.

Jaman terus berubah. Banyak makanan-makanan baru yang dibuat dan didikreasikan, namun keberadaan lotek sepertinya tidak tergerus oleh jaman dan oleh keberadaan beragam makanan modern. Bagi saya lotek adalah makanan khas Sunda yang enak. Bisa dimakan langsung, bisa juga sebagai teman nasi. Dan lotek pesanan saya biasanya cabe rawitnya segenggam karena saya penggemar lotek pedas manis.