“Isti, kalau nanti
pulang sekalian mampir kerumah ibu Amri,
ya, mengantarkan barang-barang pesanan
Bu Amri kerumahnya. Syaiful tadi sudah
minta ijin pulang duluan. Rupanya ibunya sakit lagi. Dia akan membawa ibunya ke
dokter.” Kata Ibu Hesti sambil
menunjukan dua kantong plastik besar disudut belakang toko.
“Ya, bu.” Sahut Isti. Dia
tengah sibuk menghitung uang dan memilah-milah uang kertas dan uang recehan.
Lalu disusunnya didalam laci. Sekarang
sudah senin lagi. Tiap hari senin ibu Amri rutin menelepon toko memesan
sejumlah barang dan tiap senin pula
Syaiful bertugas mengantarkan
belanjaan pesanan kerumah ibu Amri.
Hari ini dia lebih sibuk
dari hari kemarin. Banyak pembeli yang datang berbelanja. Isti memeriksa
barang-barang yang pada rak. Dia tadi sudah menyuruh Syaiful untuk mengambil
beberapa macam persediaan barang digudang dan mengisi rak-rak yang kosong.
Sudah beberapa waktu
lamanya pembeli ke toko kelontong ini semakin berkurang. Berdirinya sebuah
supermarket yang besar dan megah yang menyediakan segala macam kebutuhan lebih
lengkap, beberapa kilo meter dari tempat mereka, membuat beberapa toko kecil sepi pembeli.
Toko-toko kelontong kecil kehilangan langganannya. Pembeli lebih suka pergi ke
supermarket menikmati beragam barang yang
lebih lengkap dengan suasana didalamnya yang jauh lebih nyaman, sejuk dan
bersih. Toko kelontong ibu Amri yang merupakan satu-satunya toko kelontong yang
ada diwilayah ini, juga terkena dampaknya dengan keberadaan supermarket itu.
“Langganan toko kita
semakin berkurang saja dari hari ke
hari.” Kata ibu Hesti beberapa waktu lalu, tidak lama setelah keberadaan
supermarket itu dan ibu Hesti mulai menyadari jumlah pembeli dari hari ke hari
semakin berkurang. Langganan-langganan toko pun mulai beralih belanja ke
supermarket itu.
“Tapi saya yakin, tidak
akan semua pelanggan meninggalkan toko ini, bu.” Ucap Isti. “Pasti masih banyak
penduduk disekitar sini yang akan datang kemari
untuk membeli kebutuhan-kebutuhan mereka sehari-hari. Saya tidak
khawatir, bu. Untuk pergi ke supermarket, mereka harus menempuh jarak yang
lebih jauh. Sementara toko ini adalah satu-satunya toko yang ada diwilayah
ini.”
Ibu Hesti tersenyum sambil
mengangguk mendengar ucapan Isti. “Ya, mungkin kau benar, Isti. Ibu juga
sebenarnya tidak terlalu khawatir. Hanya saja ibu mengungkapkan perasaan ibu
dengan langganan-langganan kita yang mulai jarang belanja ditoko ini
lagi. Yah, rejeki sudah ada yang mengaturnya. Ibu juga tidak khawatir dengan
soal itu.”
Isti bukan sekedar
membesarkan dan menghibur perasaan ibu Hesti. Namun keyakinan hatinya pasti
masih banyak orang terutama penduduk disekitar tempat ini yang masih
membutuhkan keberadaan toko kelontong
seperti milik ibu Hesti ini. Apalagi toko kelontong ibu Hesti hanya
satu-satunya toko kelontong yang ada disana.
Wilayah tempat tinggal
mereka yang berada dipinggiran kota, disisi kiri kanan jalan masih didominasi
dengan pesawahan dan ladang. Jalan aspal yang panjang dan mulus belum banyak
menarik orang untuk membangun rumah dan tempat usaha diwilayah ini. Namun
suasana sepi dan tenang seperti ini yang disukai Isti. Jumlah penduduknya masih
terbatas. Antara rumah yang satu dengan rumah yang lain masih memiliki jarak.
Tidak berdempetan seperti rumah-rumah dikota.
Denyut kehidupan tidak sesibuk seperti diperkotaan. Dan yang lebih
penting lagi, setiap hari Isti bisa menghirup udara segar sepuasnya. Dia bisa
merasakan betapa indahnya panorama disekitarnya, panorama alam yang masih
murni, belum banyak tersentuh oleh tangan-tangan manusia.
Isti mencintai Ganeas yang
tenang. Udaranya sejuk dan segar. Tanahnya
menyerupai perbukitan. Isti betah
tinggal ditempat kelahirannya. Dan dia mencintai tempat tinggalnya yang
berada diwilayah pinggiran kota. Tak
pernah ada kejadian istimewa yang dialaminya selama dia lahir dan besar disini.
Segalanya berjalan biasa-biasa saja. Dia
menikmati semua itu. Dulu ayahnya membangun rumah diwilayah ini karena ayah
menyukai suasananya yang sejuk. Terletak diperbukitan dengan hawa udaranya yang
masih segar. Ayah membeli sebidang tanah dan membangun sebuah rumah yang cukup
nyaman untuk mereka tempati sekeluarga.
Isti betah tinggal disana. Dan dia juga betah karena tempatnya bekerja tidak terlalu jauh dari rumahnya.
Di toko kelontong ibu Hesti
dia sudah bekerja hampir dua tahun. Dia menyenangi dan menikmati pekerjaannya
walaupun semula bekerja di toko bukanlah cita-citanya. Namun ketika sudah dijalani, dia menemukan
bahwa bekerja tidak selalu harus sesuai dengan ijazah yang dimilikinya. Di toko
kelontong ini dia belajar banyak hal yang semula tidak pernah dipelajari dan
diketahuinya.
Ketika supermarket dan
beberapa minimarket mulai berdiri
beberapa kilo meter dari tempat mereka, dan melihat antusias warga mulai
tersedot untuk berbelanja disana, Isti tidak ingin kehilangan banyak langganan. Untuk membuat suasana baru didalam
toko itu, Isti mengusulkan pada ibu
Hesti agar penataan barang-barang yang ada pada toko kelontong dirubah mengikuti
perkembangan keinginan konsumen yang ingin melayani sendiri bila berbelanja ke
toko kelontong sehingga menyerupai sebuah minimarket. Pembeli lebih santai
dalam berbelanja dan memilih sendiri barang-barang yang akan mereka beli pada
rak-rak yang ditata sedemikian rupa. Suasana belanja yang begitu lebih disukai
oleh konsumen.
Ibu Hesti setuju dengan
usulnya. Mereka berembuk dan membuat rencana. Dibutuhkan rak-rak baru untuk
menyimpan beragam barang sesuai dengan konsep yang diusulkan Isti. Ibu Hesti
memesan rak-rak itu pada seorang tukang langganannya. Pesanan bisa dipesan
lebih cepat. Dan tukang bekerja dengan cepat memenuhi pesanan ibu Hesti.
Sementara Isti ikut mengatur letak beragam
barang dagangan sehingga
pengunjung toko merasa nyaman
berbelanja dan mendapatkan barang-barang yang dibutuhkannya dengan mudah. Dia
tahu, kenyamanan ditoko merupakan salah satu daya tarik sehingga pembeli mau
datang terus berbelanja ke toko kelontong itu.
Empat bulan kemudian, toko kelontong milik ibu
Hesti sudah berubah. Menyerupai sebuah swalayan. Bahkan kini barang-barang yang
dijual lebih beragam. Ditoko kelontong itu disediakan juga sayuran dan
buah-buahan segar. Pada dinding kaca depan, Isti mengusulkan agar ditulis nama
toko kelontong itu dengan hurup besar dan mencolok agar bisa terbaca oleh
orang-orang yang lewat didepan toko itu. Ibu Hesti setuju.
Mereka memilih nama apa
yang tepat untuk nama toko kelontong itu. Akhirnya Isti mengusulkan untuk
memberi nama toko “Hesti”. Ditulis dengan cat merah dengan hurup-hurup besar
yang bisa dibaca setiap orang yang lewat didepan toko itu dan pengunjung begitu
masuk kehalaman toko itu. Diteras depan, disudut kiri dan kanan, Isti sengaja
menaruh beberapa buah pot besar berisi suplir yang hijau dan rimbun. Pot-pot suplir itu memberikan sentuhan sejuk
dan teduh pada toko.
Isti ikut merasa senang
dengan perubahan pada toko kelontong milik ibu Hesti. Ibu Hesti juga senang.
Dia memuji Isti sangat kreatif. Ibu Hesti tidak memiliki anak. Dia hidup
sendirian. Setelah suaminya meninggal lima tahun lalu, ibu Hesti hanya
sendirian mengurus toko kelontongnya. Hingga kemudian Isti menjadi salah
seorang pegawainya. Dan Isti merasa senang bisa bekerja pada wanita itu dan
sesekali menemaninya bila ibu Hesti menginginkan dia menemaninya, hanya sekedar
duduk-duduk beristirahat melepas lelah setelah bekerja seharian sambil minum
secangkir kopi dan beberapa potong kue sambil bercakap-cakap.
Di toko kelontong itu, Isti
bukan hanya bertugas sebagai kasir, yang
sesekali bergantian dengan ibu Hesti, namun dia juga mengurusi banyak hal.
Mengecek kebersihan toko, mengurus barang-barang yang masuk, mengecek
persediaan barang digudang, juga memeriksa barang-barang yang paling laku
terjual sehingga bisa menambah pesanan jumlah barang itu. Isti yakin,
keberadaan toko kelontong ibu Hesti masih tetap dibutuhkan warga ditengah persaingan
usaha dengan berdirinya supermarket
besar yang jauh lebih lengkap.
Ketika sudah selesai dengan
urusan menata toko, untuk menjaga agar pembeli menjadi langganan tetap toko
mereka dan menarik pembeli lain menjadi langganan, Isti kembali mengusulkan pada ibu Hesti agar
toko mereka menyediakan juga jasa
layanan antar pesanan. Kembali ibu Hesti setuju dengan saran Isti.
Saran Isti setelah
dijalankan cukup membuahkan hasil.
Beberapa pelanggan senang memesan barang dan menunggu pesanan diantar kerumah.
Tentu saja hal ini membuat isti lebih repot karena tugasnya menjadi bertambah.
Kini dia juga yang bertugas harus melayani pesanan barang dari pelanggan, yang datang
secara langsung ke toko atau melalui telepon, dan kemudian dia juga yang mengecek barang yang harus dan
sudah siap diantar pada pelanggan.
Untuk urusan mengantar
barang ke pelanggan, dia dan Syaiful bertugas bergantian. Bila Syaiful tengah
melakukan pekerjaan lain, dia yang pergi kerumah pelanggan, dan ibu Hesti yang
menjaga toko. Namun bila Syaiful tidak sedang melakukan pekerjaan, biasanya
Syaiful yang pergi mengantarkan barang. Walaupun sibuk dan melelahkan namun
Isti senang bekerja ditoko kelontong
ini. Dia juga senang karena toko
tempatnya bekerja itu menunjukan
perkembangan yang bagus dibandingkan awal dia bekerja di toko itu.
Bu Hesti sangat senang pada
Isti yang sudah sangat banyak membantunya. Untuk membantu kelancaran pekerjaan,
sebuah mobil pick-up tua peninggalan almarhum suami ibu Hesti dijadikan sebagai
kendaraan untuk mengantar pesanan. Untuk urusan menyetir, Isti sangat berterima
kasih kepada ayahnya yang semasa masih hidup telah mengajarkan Isti agar bisa
menyetir mobil. Kini Isti bisa merasakan manfaatnya. Dia cukup lincah
mengemudikan mobil pick-up tua itu untuk mengantarkan barang-barang pesanan
kerumah pelanggan-pelanggan toko ibu Hesti.
Isti menutup buku catatan
penerimaan dan pengeluaran barang. Dilihatnya jam tangannya. Sudah pukul lima. Sudah
waktunya toko tutup. Toko buka dari hari senin sampai sabtu. Hari minggu tutup.
Tiap pukul lima toko tutup. Buka lagi
besok pagi pukul delapan.
“Bu, saya pulang.” Kata
Isti pada ibu Hesti yang sedang memeriksa bon-bon pengiriman barang.
“Ya.” Ibu Hesti mengangkat
wajahnya. “Jangan lupa kerumah ibu Amri.” Ibu Hesti mengingatkan.
“Ya, bu. Mobil saya bawa
pulang, bu.”
“Ya.”
Rumah Bu Amri tidak terlalu
jauh dari toko. Selama ini Bu Amri adalah langganan tetap toko ibu Hesti. Seminggu
sekali setiap hari senin pagi Bu Amri selalu memesan barang-barang yang
dibutuhkannya lewat telepon. Wanita itu sangat senang ketika beberapa waktu
lalu Isti mempromosikan bahwa toko kelontong menerima pesanan barang yang dikirim
kerumah. Ibu Amri menjadi langganan pertama yang mendaftar. Dan selanjutnya
seminggu sekali setiap hari senin ibu Amri rutin menelepon toko kelontong ibu
Hesti memesan sejumlah barang yang dibutuhkannya untuk selama seminggu.
Isti memasukan mobil
pick-up kehalaman rumah. Dia mengambil dua kantong belanjaan, lalu melangkah
menuju teras. Rumah terasa sunyi dan sepi. Isti tahu, ibu Amri hanya tinggal
bersama dengan seorang pembantunya. Isti memijit bel yang menempel pada dinding
dekat pintu. Tak lama pintu terbuka. Seorang wanita separuh baya yang
membukakan pintu.
Isti tersenyum menatap
wanita itu. “Bu, saya mengantarkan pesanan ibu.” Kata Isti.
“Oh, Isti. Terima kasih.
Kemana Syaiful? Biasanya dia yang suka mengantar pesanan ibu.” Sambut ibu Amri
ketika melihat kedatangan Asti dengan dua kantong besar ditangannya.
“Syaiful sudah pulang.
Ibunya sakit.” Sahut Isti. Dia menyerahkan kedua kantong plastik itu pada bu
Amri.
“Masuk dulu, Isti.”
“Terima kasih, bu. Sudah
sore.” Sahut Isti. Dia melihat hujan mulai turun.
“Oh hujan.” Cetus bu Amri. “Kau bawa payung?” Ibu
Amri melihat mobil pick-up dihalaman.
“Saya bawa mobil dibawa
pulang, bu.” Sahut Isti.
“Kapan-kapan mampir lagi
kemari, ya.” Ucap Ibu Amri. “Bukan mengantar barang pesanan ibu, sesekali main
kemari. Ibu senang bila punya teman ngobrol.”
“Ya, bu.” Isti tersenyum.
Ibu Amri tinggal dirumahnya
yang cukup besar dengan halaman yang luas itu hanya ditemani oleh seorang
pembantunya. Dia sudah lama menjanda.
Suaminya sudah lama meninggal. Kelima anaknya sudah tidak lagi tinggal
bersamanya. Satu persatu melanjutkan sekolahnya diperguruan tinggi dikota lain,
lalu ada yang menikah dan bekerja dikota lain. Isti bisa merasakan kesepian yang dirasakan ibu Amri. Tinggal
disebuah rumah yang besar dan hanya ditemani seorang pembantu pasti membuat ibu
Amri sering merasa kesepian. Apalagi bila dia tengah rindu pada anak cucunya
yang datang hanya sesekali saja untuk menjenguknya.
Tiba dirumahnya Isti
melihat ibunya tengah menyiapkan masakan untuk makan malam. Winda, adiknya
belum pulang. Sementara Aldi, adik bungsunya tengah menonton televisi. Ada
siaran sepak bola yang disiarkan langsung. Suara Aldi gembira berteriak-teriak
ketika bola berhasil masuk gawang.
“Winda belum pulang?” Tanya
Isti pada Aldi.
“Belum. Dia sekarang punya pacar jadi asyik pacaran.” Sahut Aldi tanpa menoleh pada
kakaknya.
“Siapa pacar Winda?”
“Kakak kelasnya. Tidak tahu
siapa namanya. Tapi aku sudah pernah lihat photonya didompet.” Aldi tertawa.
Dia senang mengganggu dan menggoda Winda. Kakaknya suka marah bila merasa
terganggu.
“Mungkin hanya sekedar
berteman.” Ibu menengahi pembicaraan Isti dan Aldi.
“Tapi dia sudah pantas
punya pacar, bu. Dia sekarang sudah kelas satu SMA. Wajar bila dia punya teman
khusus.” Isti tersenyum.
“Ibu ingin dia konsentrasi
belajar dulu.”
“Tidak apa-apa belajar sambil
pacaran. Siapa tahu dengan memiliki pacar akan memotivasi dirinya untuk lebih
giat lagi belajar.”
“Lalu bagaimana dengan
dirimu?” ibu tersenyum menatapnya.
Isti hanya tersenyum. Lalu
masuk kedalam kamarnya. Dia dapat merasakan harapan dibalik pertanyaan ibunya.
Ibunya sudah ingin melihatnya segera menikah. Memiliki suami dan keluarga
sendiri. Usianya sekarang sudah dua puluh enam tahun. Dia sudah pantas untuk
berumah tangga. Namun jodohnya belum juga menampakan diri.
Mungkin aku yang terlalu
tertutup, pikir Isti. Mungkin aku yang tidak memberikan kesempatan kepada
lelaki yang ingin mengenalku untuk mendekatiku dan menjalin hubungan denganku.
Namun pikiran itu ditepisnya. Dia merasa selama ini sikapnya wajar saja dalam
menghadapi siapapun.
Semenjak hubungannya dengan
Andi berakhir tiga tahun lalu, dia tidak pernah menjalin lagi hubungan dengan
lelaki manapun. Hubungannya dengan Andi yang berjalan selama dua tahun, yang
dirajutnya dengan penuh harapan bahwa hubungan mereka akan berakhir
dipelaminan, kandas ketika Andi berpaling pada perempuan lain. Enam bulan
setelah hubungan mereka berakhir, Andi menikah dengan perempuan itu. Betapa
sakit hatinya. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia mengenal cinta dan untuk
pertama kali pula dia merasakan betapa sakitnya dikhianati dan ditinggalkan.
Hubungannya dengan Andi
adalah lembaran masa lalunya yang sudah ingin dilupakannya. Namun goresan pahit
itu masih dapat dirasakannya hingga kini. Namun Isti tidak mau dia patah hati.
Putus cinta adalah hal biasa. Resiko dari sebuah hubungan.
Mungkin karena pikiranku
masih konsentrasi mengurus keluargaku sepeninggal ayahku sehingga aku merasa
tidak punya waktu untuk memikirkan diriku sendiri. Namun pikiran itupun
ditepisnya. Ibunya selalu mengingatkannya bahwa dia sudah cukup umur untuk
berumah tangga dan ibu tidak pernah membebaninya dengan kesulitan-kesulitan
kehidupan mereka sehari-hari. Ibu selalu mengingatkannya bahwa hidup harus
dijalani dengan sewajarnya karena Allah sudah mengatur setiap detik dari hidup
mereka. Kesulitan-kesulitan hidup bukan untuk didramatisir seolah sebuah beban
karena pada saat itu Allah pasti telah menyediakan banyak jalan untuk mengatasi
setiap kesulitan yang mereka hadapi. Dalam kesulitan selalu ada kemudahan dan
kelonggaran. Ibu benar. Isti meyakini hal itu.
Dengan uang pensiun ayahnya
mereka bisa hidup sederhana. Tidak berlebihan, namun juga selalu berusaha agar
tidak sampai kekurangan. Dengan berusaha merasa cukup, selama ini keluarga
mereka cukup bahagia. Namun meskipun begitu, dia memutuskan untuk bekerja dan memberikan
nafkah tambahan dari gajinya untuk membiayai beragam kebutuhan mereka
sehari-hari.
Sebagai anak sulung dia
merasa memiliki tanggung jawab untuk menggantikan peran ayahnya dalam mencari
nafkah setelah ayah meninggal dunia. Winda dan Aldi masih membutuhkan banyak
biaya untuk sekolah mereka. Dia tidak merasa dengan bekerja dan berusaha
membantu ibunya sebagai sebuah beban buat dirinya. Dia menikmati dan
mensyukurinya bahwa dia masih bisa mencari nafkah untuk membantu keuangan
ibunya.
Sumedang tetap menjadi
bagian dalam kehidupannya. Dia tidak ingin pergi meninggalkan Sumedang untuk
bekerja dikota lain walaupun sahabat-sahabatnya semasa sekolah di SMA tiap kali
pulang ke Sumedang selalu berbagi cerita betapa menyenangkannya tinggal dikota
lain. Hela nyaman melanjutkan sekolah di
perguruan tinggi di Bandung hingga akhirnya setelah lulus mendapatkan pekerjaan
di Bandung dan setelah menikah ikut dengan suaminya ke Kalimantan. Dina masih
sempat berbagi cerita bahwa dia mendapatkan pekerjaan di Jakarta atas bantuan
teman ayahnya. Lalu Riska bercerita tentang kota Semarang dimana dia berkumpul
lagi dengan ayah ibu dan adiknya. Sebelumnya Riska tinggal di Sumedang bersama
dengan kakek dan neneknya.
Diantara mereka berempat,
hanya dirinya yang tetap tinggal di Sumedang. Bukan dia tidak ingin pergi
meninggalkan Sumedang dan mencari kehidupan lain di kota lain seperti ketiga
sahabatnya semasa SMA namun akhirnya nasib juga yang membawanya pulang kembali
ke Sumedang setelah dia menyelesaikan pendidikannya di diploma satu pada sebuah
lembaga pendidikan sekretaris di Bandung.
Setelah lulus menyelesaikan
diploma satu sekretaris, dia sibuk mencari pekerjaan kesana kemari. Setahun
lebih dia berusaha mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan ijazah yang
dimilikinya, ketika usahanya sia-sia, dia menemukan peluang bekerja ditoko
kelontong milik ibu Hesti, kenalan baik
ibunya. Dia mengubur keinginannya untuk mendapatkan pekerjaan diluar kota yang
sesuai dengan angan-angannya. Bekerja ditempat asalnya membuatnya lebih nyaman
karena dia bisa tetap tinggal bersama dengan ibunya dan kedua adiknya.
Ganeas sebuah kecamatan
sederhana. Terletak didaerah perbukitan dengan pohon-pohon besar dan rimbun sepanjang jalan. Udaranya sejuk dan
segar. Ganeas tetap nyaman untuknya. Tidak
pernah ada kejadian luar biasa diwilayahnya. Segalanya berjalan biasa-biasa saja. Dia merasa
betah tinggal disini. Bila sewaktu-waktu dia merasakan ada kejenuhan dengan rutinitas yang dialaminya
sehari-hari, dia mengajak kedua adiknya
jalan-jalan keliling kota, jajan dan membeli kebutuhan-kebutuhan kedua adiknya.
Hanya itu caranya untuk menyenangkan dan menghibur kedua adiknya. Pulangnya,
dia membawakan roti dan buah-buahan untuk ibunya yang selalu enggan
meninggalkan rumah semenjak kedua kakinya menderita lumpuh.
Ayahnya meninggal ketika dia masih duduk dibangku SMA
kelas tiga, menjelang ujian akhir. Ayah meninggalkan sebuah rumah yang cukup
nyaman untuk ditinggalinya bersama ibu dan kedua adiknya, Winda dan Aldi. Rumah itu memiliki halaman yang
cukup luas. Ada sebuah pohon beringin dihalamannya, yang ditanam ayahnya ketika
rumah itu selesai dibangun. Ketika rumah itu dibangun, saat itu dia masih duduk
dibangku sekolah dasar. Kini pohon beringin itu telah tumbuh tinggi dan
rindang. Memberikan keteduhan dan kesejukan pada rumahnya.
Isti menyukai rumahnya. Dia
menyukai bentuk rumahnya. Dia juga menyukai perabotan yang ditata oleh ayah dan
ibunya. Semua yang ada didalam rumahnya disukainya dan memberinya kenangan
indah ketika ayahnya masih ada dan
ibunya masih sehat, masih muda dan masih bisa berjalan. Kini ayahnya telah
meninggal dunia, sebagai seorang pensiunan pegawai negerinya. Dua tahun lalu
ibunya lumpuh. Sebagai anak sulung, Isti merasa berkewajiban untuk menggantikan
peran ayah dan ibunya bagi Winda dan
Aldi.
Rumah peninggalan ayah
masih tetap nyaman meskipun waktu akhirnya membuat beberapa bagian rumahnya
mulai keropos dimakan usia. Isti menyukai model rumahnya, dengan atap yang
tinggi dan tujuh buah lantai tangga menaiki teras depan rumah. Ibu tidak pernah mempermasalahkan rumah
mereka yang sudah semakin tua dan mulai keropos dimakan usia, walaupun sesekali ibu membicarakan bagian-bagian
rumah yang sudah harus diperbaiki.
Winda dan Aldi sama sekali tidak
peduli dengan keadaan rumah. Mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Winda tengah menikmati masa remajanya. Dia aktif disekolahnya. Aldi tengah
berangkat remaja. Dia mulai senang mengikuti kegiatan-kegiatan olahraga
disekolahnya, basket dan yudo. Sesekali
dia juga aktif dengan kegiatan karang taruna.
Hanya Isti yang selalu
memperhatikan keadaan dan kondisi rumah. Isti ingin rumah peninggalan ayahnya
tetap nyaman dan aman untuk ditinggali. Dia punya angan-angan sendiri apa yang
ingin dilakukannya dengan rumah itu. Dia ingin merawat rumah peninggalan
ayahnya itu dengan sebaik-baiknya. Tak ada jalan lain kecuali menyisihkan sebagian gajinya setiap bulan,
ditabung. Kelak, bila uangnya sudah cukup terkumpul, dia akan memperbaiki
beberapa bagian rumah yang sudah harus diperbaiki. Dia ingin menjaga keaslian
bentuk rumah itu dan tidak ingin mengubahnya menjadi lebih modern.
Isti tengah makan sendirian
diruang makan ketika Winda pulang. Sejak tadi dia sudah cemas menunggu Winda
pulang. Ibunya sudah beberapa kali menanyakan Winda.
“Darimana dulu, Win, jam
segini baru pulang.” Isti melihat jam di dinding. Pukul tujuh.
“Aku ikut les, kak.” Ucap
Winda. “Aku perlu ikut les tambahan. Bahasa Inggris dan matematika. Ada lembaga
pendidikan baru tidak jauh dari sekolah. Banyak teman-temanku yang mendaftar
jadi peserta. Aku juga ikut karena aku rasa aku perlu mendapatkan pelajaran
tambahan.”
Winda duduk dihadapan Isti.
Dia mengambil perkedel dan mengunyahnya. “Mbak, aku minta maaf tidak
memberitahu mbak Is dulu mengenai hal ini. Tiap kali mau bicara pada Mbak Isti soal
ini, aku selalu lupa terus. Aku sudah seminggu mengikuti les ini. Menyenangkan
juga karena banyak teman-temanku yang mengikuti les tambahan ini. Pembayarannya nanti setiap setelah sebulan les
mengikuti les.”
“Kalau kau pikir les
tambahan itu memang kau perlukan, tidak apa-apa. Mbak Is mendukung
kegiatan-kegiatan yang kau ikuti selama kegiatan-kegiatan itu positif dan
berguna untukmu.” Ucap Isti. “Tapi lain kali bila engkau akan mengikuti
kegiatan apapun yang memerlukan biaya, kau perlu memberitahu ibu atau mbak Is
terlebih dahulu agar biayanya bisa kita pikirkan. Bagaimana bila ibu atau mbak
Is sedang tidak punya uang sementara kegiatan yang sudah engkau ikuti tentu
harus dibayar, kan?”
“Tapi mbak Is tidak marah
aku sekarang ikut les tanpa memberitahu dulu pada ibu dan mbak Is?”
“Mengapa harus marah? Aku
senang kau memiliki motivasi yang bagus untuk menambah ilmu pengetahuanmu. Soal
uang pembayaran les kan masih sebulan lagi, mudah-mudahan uangnya ada pada saat
kau harus membayarnya.”
“Terima kasih, mbak Is.”
Winda bangkit, lalu masuk kekamarnya.
Isti meneruskan makannya.
Kepalanya terasa pusing memikirkan biaya tambahan lagi bulan ini untuk membayar
uang les. Sebenarnya didalam hati dia agak kesal pada Winda yang tidak
membicarakan dulu hal ini dengannya. Namun bila diomeli, Winda akan berbalik
menjadi marah. Isti tidak ingin
mempermasalahkan hal itu. Mungkin dia akan mengatur lagi biaya apa yang akan
dikurangi agar uang les Winda dapat terbayar. Namun lain kali dia akan menegur
Winda agar dia belajar memahami keadaan keluarga mereka.
Dia ingin Winda dewasa. Namun
kedewasaan itu tidak akan bisa dipaksakan. Kedewasaan akan tumbuh dengan
sendirinya dan berproses dengan pengalaman hidup. Isti tidak tega mengusik
Winda pada saat-saat ini.
Hari-hari Winda tengah
diisi dengan keceriaan masa remajanya yang indah dan penuh dengan dinamika.
Isti memaklumi karena dia sendiripun
pernah mengalami masa-masa remaja, masa-masa yang penuh keceriaan dan
canda tawa. Dan akhirnya proses kehidupan juga yang menuntunnya agar dia bisa
bersikap dewasa. Terutama semenjak ayahnya meninggal dunia. Dia seakan
tersadarkan dengan realita kehidupan. Ibunya yang lumpuh, Winda dan Aldi yang
membutuhkan biaya untuk kelanjutan pendidikan mereka. Kebutuhan sehari-hari
yang harus terpenuhi dan kehidupan pribadinya sendiri yang tetap menjadi bagian
yang tetap dipikirkannya.
--- 0 ---
Diluar hujan turun gerimis.
Seorang lelaki masuk kedalam toko. Didalam toko hanya ada tiga orang pengunjung
yang sedang berkeliling-keliling mengambil barang pada rak-rak dengan keranjang
ditangan. Isti memperhatikan ketika lelaki itu mendorong pintu kaca dan masuk
kedalam toko. Isti sudah hapal pada lelaki itu.
Lelaki itu sering datang ke toko dan ketika membayar belanjaannya,
sesekali lelaki itu mengajaknya ngobrol yang disambut Isti dengan sekedarnya
saja. Lelaki itu selalu belanja
sendirian.
Lama-lama Isti kenal dengan
lelaki itu karena sudah menjadi langganan toko. Namanya Iskandar. Usianya
sekitar tigapuluh tahun. Orangnya
kalem. Pernah beberapa waktu lalu ketika
sore-sore Isti pulang kerja dan tengah berjalan pulang, mobil lelaki itu lewat
dan dia menawarinya mengantar pulang. Isti tidak menolak. Sambil menyetir
menuju rumah Isti, lelaki itu banyak bertanya. Dan Isti tidak keberatan
menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Sejak saat itu Isti merasa sudah kenal baik dengan Iskandar.
Iskandar mengaku bekerja pada instansi
pemerintah. Isti percaya karena lelaki itu selalu memakai seragam. Iskandar
bilang bahwa dia tahu pada ayah
Isti yang pernah bekerja sebagai staf
pada salah satu instansi.
Isti terkesan dengan
kebaikan dan keramahan lelaki itu. Walaupun dia mencoba menjaga jarak ketika
dia sudah mengetahui bahwa Iskandar sudah memiliki istri dan dua orang anak.
Namun pendekatan lelaki itu yang cukup sering membuat Isti merasa bahwa lelaki
itu menyukainya walaupun dia sendiri tidak ingin menyukai lelaki itu yang sudah
jelas telah memiliki anak dan istri.
Ibu Hesti juga rupanya
memperhatikan Iskandar yang sering belanja ditokonya. Ibu Hesti merasa bahwa
lelaki itu bukan sekedar belanja, namun juga karena ingin bertemu dengan Isti.
Bila Iskandar tengah membayar belanjaannya dan mengajak Isti bercakap-cakap,
ibu Hesti sering memperhatikan diam-diam.
Ibu Hesti memberi peringatan pada Isi agar dia tidak terlalu
dekat dengan Iskandar walaupun lelaki itu adalah pelanggan toko.
“Jaga jarak dengan lelaki
itu, Isti.” Kata ibu Hesti ketika toko
tengah sepi dan Isti duduk membaca sebuah majalah. Saat itu Iskandar baru saja
keluar dari toko.
“Ya, bu.” Sahut Isti. Dia
melihat keluar. Mobil Iskandar tengah mundur, keluar dari halaman toko.
“Dia sudah punya istri dan
anak.” Kata ibu Hesti lagi.
Isti tersenyum melihat
perhatian ibu Hesti. “Ya, bu. Dia juga pernah cerita tentang keluarganya.”
“Istrinya suka ke toko buku
diseberang toko kita itu. Apa mungkin istrinya sudah tahu dan merasa curiga
suaminya sering belanja ke toko ini?”
Isti tidak bicara. Dia
tidak merasa telah mengganggu suami orang jadi untuk apa dia berpikir yang
tidak-tidak. Mungkin saja istri Iskandar sedang belanja ke toko buku itu dan
sama sekali tidak tahu bahwa suaminya sering belanja ke toko kelontong ini. Namun
dia memahami kecurigaan ibu Hesti yang mungkin semata-mata karena
mengkhawatirkannya.
Keberadaan toko buku itu
yang tepat berada diseberang toko kelontong ini cukup menyenangkan buat isti.
Keberadaan toko buku itu memberi suasana baru disekitar tempat itu. Apalagi
tidak lama kemudian disamping toko buku itu berdiri pula sebuah cafe. Café ‘Melinda’. Café itu sering menjadi
tempat berkumpul anak muda disore hari
dan malam hari karena ada musik karaoke. Sesekali Isti suka masuk ke café itu.
Mengobrol bersama Meta dan Hani, kedua temannya, sambil menikmati kopi hangat
dan brownies buatan kafe. Meta dan Hani masih menganggur. Keduanya sangat ingin
sekali bekerja seperti dirinya. Namun belum ada lowongan pekerjaan untuk
mereka.
“Nah, itu istrinya!” kata
ibu Hesti tiba-tiba.
Isti melihat keluar.
Seorang wanita baru keluar dari dalam toko buku diseberang jalan.
“Ibu lihat dia sering
sekali ke toko buku itu. Dan bila pulang, sering dia berdiri lama-lama didepan
toko buku itu sambil melihat kearah sini. Menatap lama-lama. Ibu merasa, dia
sudah tahu suaminya sering belanja kesini dan ingin tahu padamu.”
Ucapan ibu Hesti sepertinya
benar. Isti melihat wanita itu masih berdiri tegak didepan toko buku dan tengah
menatap kearah toko. Seakan ada yang ingin diperhatikannya. Tatapan matanya
seakan menembus dinding kaca toko yang bening.
“Ibu tidak usah khawatir,
saya tidak akan mengganggu suami orang.” Ucap Isti.
Ibu Hesti mengangguk. “Ibu
percaya padamu.” Ibu Hesti masuk kedalam. Isti kembali sibuk dengan
pekerjaannya. Dia tidak mau memikirkan hal itu.
“Bisa memesan barang
diantar kerumah?” Sebuah suara menyapanya.
Isti mengangkat wajahnya.
Perempuan yang tadi diseberang jalan itu. Istri Iskandar.
“Tentu, bisa.” Sahut Isti
wajar. Dia mengambil buku catatan. “Dimana alamat rumah ibu? Ibu bisa memesan
lewat telepon. Pembayaran bisa dibayar dimuka atau ketika barang diantar. Untuk
barang yang dipesan, minimal sepuluh macam. Tidak ada tambahan biaya untuk ongkos
kirim barang.”
Perempuan itu menyebut alamat
rumahnya. Matanya menatap Isti dalam. Isti dapat merasakannya, namun dia tidak
mempedulikannya. Dia mencatat alamat perempuan itu.
“Nama ibu?”
“Dina.”
Isti menutup buku.
Tersenyum menatap Dina. “Terima kasih sudah menjadi langganan toko kami. Semoga
pelayanan yang diberikan toko kami memuaskan ibu.”
“Ya. Saya selama ini selalu
repot untuk sekedar belanja beberapa macam kebutuhan.” Ucap Dina dengan
suaranya yang halus. “Suami saya yang sering berbelanja kemari. Lalu saya
mendengar bahwa toko ini menyediakan jasa pesanan barang diantar kerumah. Saya
tertarik. Jasa itu akan lebih meringankan sehingga tidak perlu datang sendiri
ke toko.”
“Terima kasih, semoga ibu
puas kami pun puas.”
Ketika perempuan itu keluar
dari dalam toko, Isti menghela napas dalam.
“Tolong dihitung, mbak?”
sebuah teguran menyentakan Isti dari lamunannya.
Iskandar sudah selesai
belanja. Dia menaruh keranjang belanjaannya diatas meja. Isti segera menekan
mesin hitung mencatat belanjaan lelaki itu.
“Sibuk terus, ya.” Kata
Iskandar.
Isti hanya tersenyum tanpa
mengangkat wajahnya. Dia menyebut jumlah belanjaan yang harus dibayar lelaki
itu. Iskandar menyerahkan uang. Isti memberikan kembalian.
“Aku punya dua karcis, mau
nonton film denganku?” Tanya Iskandar.
Isti tersenyum. Berusaha tetap
ramah. “Sudah lama saya tidak pernah nonton film di bioskop.”
“Tidak apa-apa. Tapi sayang
juga bila karcis itu tidak digunakan.”
“Pak Is bisa mencari kawan
lain.”
“Aku senang bila kau yang
menemani.”
Isti hanya tersenyum. Dia tidak ingin menanggapi. Seorang pembeli
menghampirinya. Isti segera melayani
pembeli itu, menghitung belanjaannya. Iskandar menatap Isti, lalu keluar dari
toko. Ketika Isti selesai melayani pembeli, dia melihat keluar. Iskandar masih
ada didalam mobilnya, tengah memperhatikannya. Ketika melihat Isti menoleh
padanya, Iskandar tersenyum dan memundurkan mobilnya. Sesaat kemudian mobil itu
telah meninggalkan toko. Isti hanya menghela napas dalam.
--- 0 ---
“Kenapa kita tidak seperti
yang lain, ya?” Tanya Winda.
Diluar hujan turun dengan
derasnya. Mereka berdua baru selesai makan malam dan masih duduk menghadapi meja makan. Suara
air hujan begitu keras menimpa genting.
Udara terasa dingin.
“Kenapa?” Tanya Isti. Dia
menumpuk piring-piring kotor bekas makan.
“Kenapa kita tidak memiliki
banyak uang sehingga aku bisa membeli barang-barang yang aku inginkan dan aku juga bisa jalan-jalan ketempat-tempat
yang aku sukai….”
“Kau membandingkan dirimu
dengan siapa?” Tanya Isti.
“Aku tidak membandingkan
diriku dengan siapapun. Namun aku melihat, alangkah menyenangkannya bila masih
memiliki orangtua yang lengkap. Aku melihat mereka kelihatan lebih bahagia, ada ayah disisi mereka.”
“Itulah bedanya.” Ucap Isti
menatap adiknya. Dia tidak ingin Winda selalu mengeluhkan keadaan mereka dan
membandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain.
“Mereka masih memiliki ayah
sementara ayah kita sudah meninggal.” Kata Isti lagi. “Namun kenapa engkau
harus menyesali hal ini? Bukankah kita pernah memiliki masa-masa yang manis dan
indah ketika ayah masih ada dan menemani hari-hari kita. Engkau mencoba
membandingkan dirimu dengan beberapa temanmu yang engkau nilai lebih bahagia
darimu. Mereka bisa mendapatkan apapun yang mereka inginkan karena mereka masih
memiliki ayah yang bisa mencari nafkah sementara kita sudah tidak memiliki
ayah. Namun bukan berarti kita tidak bahagia, Winda. Kita memang sangat
kehilangan ayah, namun kita masih memiliki ibu. Ibu yang mencintai kita dengan
segala keterbatasannya. Ibu yang tetap mencurahkan kasih sayang dan
perhatiannya kepada kita. Kita masih bisa bahagia walau sudah tidak ada lagi
ayah disisi kita.”
Winda diam mendengar ucapan
kakaknya.
“Aku memahami perasaanmu,
Winda. Namun aku tidak ingin engkau cengeng dan mengeluhkan keadaan serta
kondisimu yang pastinya berbeda dengan teman-temanmu yang kau jadikan sebagai
perbandingan.”
“Maafkan aku, kak.” Ucap
Winda pelan, seakan baru disadarinya
bahwa ucapannya telah memancing emosi kakaknya.
Isti berusaha tersenyum.
“Aku tidak ingin engkau menyesali hidupmu, Winda. Aku ingin engkau tetap
bersyukur dengan apapun yang diberikan Allah untuk mengisi hidupmu dan tidak
menyesali apapun yang tidak diberikan Allah kepadamu. Jangan membandingkan
dirimu dengan orang lain. Kebahagiaan mereka belum tentu akan membahagiakan
kamu bila kamu memilikinya. Sebaliknya, kebahagiaan yang engkau miliki pastilah
tidak sama dengan kebahagiaan mereka.”
“Ya, kak.” Winda
mengangguk. Dia bangkit dan pergi keruang tengah, menonton siaran televisi.
Winda selalu ingin menghindari perdebatan dengan kakaknya. Dia bisa merasakan
bagaimana besarnya tanggungjawab Isti sebagai anak sulung.
Isti menghela napas
panjang. Dia mengambil piring kotor kebelakang dan mencucinya. Dia memahami
adiknya. Winda tengah beranjak remaja. Sebagai satu-satunya kakaknya, dirinya
adalah tempat curahan hati Winda bila
Winda tengah menghadapi sesuatu. Dan dia tidak bisa mengelak dari
tanggungjawabnya sebagai anak sulung. Bukan hanya kepada Winda, namun juga
kepada Aldi, adiknya bungsunya yang sekarang sudah duduk dibangku SMP kelas
dua. Namun menghadapi Winda baginya terasa jauh lebih berat bila dibandingkan dengan menghadapi Aldi.
Diusianya yang masih
remaja, Aldi bahkan jauh lebih dewasa dibandingkan dengan Winda. Aldi seakan
memahami dengan kondisi keluarga mereka. Bahkan Aldi memahami bagaimana peran
dan tanggungjawab Isti sebagai kakak sulung mereka. Namun Isti tidak bisa
menyalahkan Winda bila dia lebih manja dibanding dengan Aldi. Isti masih bisa
mengenang, bagaimana dekatnya Winda kepada ayahnya dahulu semasa ayah masih
ada. Ketika ayah meninggal, Winda seakan shock. Dia seakan telah kehilangan
figur yang selama ini begitu dekat dengannya, memperhatikan dan memanjakannya.
--- 0 ---
Isti memasukan mobil
pick-up kehalaman rumah ibu Amri. Rumput hijau terasa basah ketika diinjak
kakinya. Semalam hujan turun deras sekali. Sisa-sisa hujan semalam masih
kelihatan pada rumput dan tanah yang masih basah. Isti menurunkan tiga buah kantong plastik dari
belakang mobil. Rumah ibu Amri terasa sepi. Isti menekan bel. Cukup lama dia
menunggu hingga akhirnya pintu depan terbuka. Isti tertegun. Lelaki itu
menatapnya, lalu melihat pada kantong plastik ditangannya.
“Maaf, saya mau bertemu ibu
Amri.” Kata Isti.
Dia agak heran, tidak
biasanya ada orang lain dirumah ibu Amri yang membukakan pintu bila dia
mengantarkan belanjaan kerumah ini. Selama ini tiap kali dia mengantarkan
pesanan, selalu ibu Amri sendiri yang membukakan pintu.
“Oh, ibu sedang keluar.
Silahkan masuk.” Ucap lelaki itu.
Postur tubuhnya tinggi
berisi. Wajahnya kalem dan tampan. Penampilannya tenang. Isti merasa malu
ketika bertemu pandang dengan lelaki itu. Dia tidak tahu siapa dia. Dan tidak
bisa menduga dia siapa.
“Saya mengantarkan
barang-barang pesanan ibu Amri.” Ucap Isti. Dia menyerahkan ketiga kantong
plastik itu kepada lelaki itu.
“Oh, ya. Terima kasih.
Berapa semuanya?” Lelaki itu menerima ketiga
kantong plastik besar dari Isti.
“Sudah dibayar, kok.”
“Oh, begitu. Terima kasih.”
“Permisi.” Ucap Isti.
Bergegas Isti pergi. Dia merasa lelaki itu masih
memperhatikannya. Cepat-cepat dimasukinya pick-up tua itu. Distarter. Tidak
hidup. Sesaat Isti merasa bingung. Sudah
sering dia mengalami kejadian seperti ini, pick-up tua ini tidak hidup ketika
distarter. Namun dia berharap kali ini janganlah pick-up tua itu mogok disini.
Didepan rumah ibu Amri. Pada saat ada orang lain yang tengah mengawasinya. Isti
merasa malu. Dia tahu lelaki yang
dirumah ibu Amri itu masih berdiri disana mengawasinya. Benar saja. Lelaki itu
tengah berdiri memperhatikannya. Isti menarik napas dalam. Lelaki itu keluar
dari rumah, melangkah dengan langkah ringan menghampirinya.
“Kenapa?” Tanya lelaki itu.
“Tidak tahu. Mogok.” Sahut
Isti.
“Coba saya lihat.”
Isti keluar dari dalam
mobil. Lelaki itu masuk kedalam mobil. Menstarter. Tidak hidup. Dia turun lagi.
Membuka kap mobil. Memeriksa mesin. Lalu mengutak-atik mesin. Isti diam saja
memperhatikannya. Lelaki itu masuk lagi kedalam mobil. Menstarter. Tak lama
mobil hidup lagi.
“Nah, sekarang sudah hidup
lagi.” Kata lelaki itu sambil tersenyum, menoleh pada Isti.
“Terima kasih.”
Isti masuk kedalam mobil.
Dia melajukan mobilnya. Dari kaca spion dia mencoba melihat apa lelaki itu
masih berdiri ditempatnya tadi. Sesaat Isti merasa kecewa. Lelaki itu telah
masuk kedalam rumah. Rupanya dia tidak memperhatikan aku, pikir Isti. Siapa
dia? Pikirnya lagi. Apakah dia putera
ibu Amri? Yang nomor berapa? Sepengetahuannya ibu Amri memiliki lima orang
putera. Entah berapa jumlah anak lelakinya dan anak perempuannya. Isti tidak
pernah mengecek soal itu karena dia merasa itu bukan urusan penting. Namun
sekarang dia merasa tergelitik ingin tahu. Atau mungkin dia bukan salah satu
putera ibu Amri, pikir Isti. Siapa tahu dia adalah salah seorang keponankannya
yang tengah berkunjung, atau salah seorang keluarganya yang lain yang kebetulan
tengah mampir kerumah ibu Amri. Mendadak Isti merasa malu sendiri. Siapapun
dia, kenapa menjadi pikirannya? Mobilnya masuk kehalaman rumah. Dia melihat
Winda tengah duduk sendirian diteras depan.
“Hai.” Sapa Isti pada
adiknya.
“Hai.” Sahut Winda. Raut
wajahnya kelihatan lesu.
Isti memperhatikan Winda.
Dia melihat raut wajah Winda yang muram. “Kenapa?” Tanya Isti.
“Tidak apa-apa.”
“Ada masalah disekolah?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa seperti
melamun?”
“Aku tidak melamun, aku
hanya ingin duduk saja disini.”
Isti tidak bertanya lagi.
Dia masuk dan menaruh kantong plastik yang dibawanya diatas meja. Dia melihat
masakan masih mengepul panas diatas meja. Ibunya datang dengan kursi rodanya.
“Sudah makan, Is? Ibu memasak
rendang kesukaanmu.” Kata ibu.
“Terima kasih, bu.”
Perut Isti terasa lapar.
Biasanya dia mandi dulu, baru makan. Namun kali ini perutnya terasa lapar
sekali. Diambilnya piring. Lalu dia mengambil nasi dan mengambil rendang kesukaannya. Walaupun dalam keadaan lumpuh,
namun ibu tetap selalu memasak sendiri untuk mereka sekeluarga. Ibu tidak ingin
keterbatasan geraknya saat ini menjadi
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan yang paling disukainya semenjak dulu.
Semasa ayah masih ada, ibu tak pernah sekalipun menyerahkan urusan memasak pada
pembantu atau membeli masakan diwarung. Ibu selalu memasak sendiri. Hingga
kini. Walaupun ibu sekarang lumpuh.
“Winda bilang dia ingin
merayakan hari ulang tahunnya dan mengundang kawan-kawannya.” Kata ibu yang
tetap duduk dikursi rodanya menemani Isti yang sedang makan.
“Kapan dia bilang begitu?”
“Tadi, ketika engkau belum
pulang.”
Isti mengunyah makanannya.
Ulang tahun. Dia baru ingat, dua minggu lagi Winda akan berulang tahun.
Tahun-tahun lalu tidak pernah ada perayaan istimewa untuk menyambut hari
ulangtahun Winda dan Winda sendiripun tidak pernah membicarakan soal hari
ulangtahunnya. Hari itu terlewati begitu saja tanpa ada apapun. Namun kini
kelihatannya berbeda. Winda menginginkan sesuatu yang istimewa untuk menyambut
hari ulangtahunnya yang ketujuh belas tahun.
Isti menambah nasi.
Perutnya memang terasa lapar. Namun sambil makan, pikirannya tertuju pada apa
yang tengah dibicarakan ibunya. Untuk merayakan ulang tahun pasti membutuhkan
biaya. Berapa orang kawan Winda yang akan diundang? Duapuluh? Tiga puluh? Empat
puluh? Bila hanya mengundang empat puluh orang, mungkin tidak terlalu besar
biaya yang dibutuhkan.
“Rayakan saja bila itu
kemauannya.” Kata Isti.
Ibunya menatapnya. “Ibu
pikir hanya membuang-buang uang saja.” Kata ibunya beberapa saat kemudian.
“Buat perayaan ulang tahun yang sederhana saja.”
“Sesederhana apapun pasti
tetap membutuhkan uang.”
Isti menatap ibunya. Dia
memahami apa maksud ibunya. Namun disisi lain dia tidak ingin mengecewakan
Winda. Dia tahu, Winda pasti sangat menginginkan ulangtahunnya sekarang lebih
istimewa. Dirayakan. Sebagai kenangan seumur hidup karena ulangtahun
ketujuhbelas memiliki arti yang sangat istimewa buat dirinya.
“Bu, aku tidak ingin
mengecewakan perasaan Winda. Biarlah dia menikmati masa remajanya seindah
mungkin.”
“Tapi, Is…..”
“Ibu tidak usah khawatir
dengan biaya untuk mengadakan pesta kecil-kecilan. Saya masih memiliki cukup
tabungan. Bila Winda hanya mengundang teman-temannya sekitar duapuluh orang,
saya masih bisa membiayainya, bu.”
Ibu menghela napas dalam
sambil memperhatikan anak sulungnya.
“Isti, kau terlalu
memikirkan adik-adikmu sehingga engkau tidak memikirkan dirimu sendiri.” Ucap
ibu dengan suara lirih.
Isti tersenyum. Dia
mendorong piring, lalu mencuci tangannya. “Semuanya saya pikirkan, bu. Tidak
ada yang lebih penting. Semuanya juga penting. Dan saya menjalani semuanya.”
“Isti, bila ayahmu masih
ada, alangkah bangganya ayahmu memiliki seorang anak perempuan sepertimu. Kau
bukan saja cantik, tapi engkau seorang anak yang berbakti, seorang kakak yang
penuh kasih sayang dan penuh tanggung jawab. Kau sudah menggantikan peran ayah
dan ibu. Ibu sungguh bangga kepadamu.”
Isti kembali tersenyum. Dia
ingin perasaan ibunya tenang. “Terima
kasih, bu. Simpanlah kebanggaan ibu kepada saya itu didalam hati. Dan
jadikanlah kebanggaan ibu kepada saya sebagai doa seorang ibu kepada anaknya.”
Ibu menatap anak sulungnya
lalu mengangguk dengan mata basah.
Malam itu Isti menemui
Winda dikamarnya. “Winda, berapa orang rencananya teman-temanmu yang akan
diundang?”
Winda yang tengah
tidur-tiduran ditempat tidur, menoleh dengan cepat pada kakaknya. “Apa, kak?”
Dia bangun dan duduk ditepi tempat tidur.
“Ibu sudah cerita, kau
ingin merayakan hari ulangtahunmu yang ketujuh belas. Kakak setuju. Hanya saja
kakak harap dirayakan secara sederhana saja, ya.” Ujar Isti.
Winda seakan melonjak. Dia
memeluk Isti. “Terima kasih, kak. Aku hanya mengundang teman-temanku sekitar
empat puluh lima orang saja. Boleh, ya.”
“Empat puluh lima?”
“Ya. Mereka semuanya
teman-teman sekelasku. Ada beberapa orang temanku yang tidak sekelas yang akan
kuundang. Jadi mungkin sekitar limapuluh orang, kak.”
“Winda, kakak setuju kau
merayakan ulangtahunmu dengan mengundang teman-temanmu. Namun kau harus memilih
lagi mana teman-temanmu yang benar-benar dekat denganmu untuk kau undang.
Limapuluh orang terlalu banyak. Semakin banyak yang engkau undang, semakin
besar biaya yang dibutuhkan untuk menjamu teman-temanmu. Pilihlah lagi mana yang akan engkau undang, jangan
lebih dari duapuluh orang.”
“Tapi aku jadi tidak enak dengan yang lainnya bila hanya
sebagian saja yang diundang dan sebagian lagi
tidak diundang.” Protes Winda.
Isti berpikir sesaat. “Kalau begitu, hanya teman-teman sekelasmu
saja yang diundang. Ini keputusan Mbak Is. Kau boleh memilih, bila kau ingin
ulangtahunmu dirayakan, hanya mengundang duapuluh orang saja atau hanya
teman-teman sekelasmu saja. Namun bila engkau ingin mengundang lebih banyak
lagi teman-temanmu, berarti perayaan ulangtahunmu dibatalkan.”
Winda menatap kakaknya.
Lalu mengangguk. “Ya, aku hanya akan mengundang teman-teman sekelasku saja.”
Ucapnya.
“Ya.” Ucap Isti. Dia menatap Winda. “Lalu apa
lagi yang harus disiapkan untuk perayaan ulangtahunmu dua minggu lagi itu? Baju
baru yang akan engkau kenakan nanti? Kue ulang tahun? Menu makanan? Apalagi?”
“Kakak yang mengatur
semuanya itu. Aku sudah senang bila aku
bisa merayakan ulangtahunku dengan mengundang teman-temanku.” Sahut
Winda. “Tapi untuk tempatnya, kurasa tidak perlu didalam rumah. Aku ingin
semuanya duduk-duduk dihalaman. Mudah-mudahan tidak hujan. Aku akan memasang
kursi dan meja dihalaman dan menatanya agar suasananya berbeda dengan ulangtahunku
yang ke Sembilan, untuk pertama kalinya hari ulangtahunku dirayakan dengan
mengundang teman-teman sekelasku. Waktu
itu ayah masih ada……” Suara Winda mendadak serak.
Isti menatap adiknya.
Perasaannya juga mendadak terharu. Yah, kapan terakhir kali mereka berkumpul
bersama didalam rumah sambil merayakan ulangtahun salah seorang dikeluarga
mereka? Winda benar, terakhir kali ayah mereka berkumpul bersama ketika Winda
merayakan ulangtahunnya yang kesembilan.
--- 0 ----
“Isti, rasanya ibu tidak
salah memperingatkanmu untuk menjaga jarak dengan lelaki itu.” Kata ibu Hesti.
Toko tengah sepi.
Pengunjung terakhir baru saja keluar dari dalam toko dengan memborong
buah-buahan.
“Apa, bu?” Isti mengangkat
wajahnya dari mesin hitung. Dia menatap ibu Hesti yang berdiri didekatnya
“Iskandar. Ibu mendengar
bahwa istrinya itu dulu pernah berselingkuh dengan lelaki lain.” Kata ibu
Hesti. “Kejadian itu membuat perkawinan mereka pernah goncang akibat perselingkuhan itu. Mereka tidak bercerai
namun sejak kejadian itu Iskandar menjadi berubah. Dia tidak percaya lagi pada istrinya.
Dia sudah kehilanga kepercayaannya sebagai suami kepada istrinya karena
dikhianati. Bahkan dia sengaja seakan ingin membalas sakit hati
karena pernah dikhianati istrinya dengan cara yang sama, berselingkuh dengan
perempuan lain…...”
Isti menghela napas dalam.
Lalu dia tersenyum menatap ibu Hesti. “Bu, saya tidak akan mau berselingkuh
dengan suami orang.”
“Ibu juga pasti akan
berusaha mencegahmu bila ada laki-laki yang
akan mempermainkanmu.” Sahut ibu Hesti. “Jangan merugikan diri sendiri dengan
melakukan perbuatan yang hanya akan membuat penyesalan seumur hidupmu. Ibu
menilai engkau seorang gadis yang baik. Ibu ingin engkau mendapatkan suami yang
baik dan bertanggung jawab. Bukan lelaki yang sekedar datang untuk singgah saja
lalu meninggalkanmu begitu saja.”
“Terima kasih atas
perhatian ibu pada saya.” Ucap Isti.
“Yah, ibu tahu engkau
seorang gadis yang baik. Ibu tidak ingin engkau diganggu dan dipermainkan
seorang laki-laki. Ibu berharap engkau mendapatkan jodoh seorang lelaki yang
baik, Isti.”
“Ya, bu.” Sahut Isti.
Mendadak dia teringat dengan rencananya sore itu. “Bu, boleh saya pinjam mobil,
sore ini saya bawa untuk dipakai besok?” Besok hari minggu. Toko libur sehari.
“Mau kemana?”
“Minggu depan Winda akan
berulang tahun. Besok saya akan mengajak
Winda membeli baju untuk ulangtahunnya nanti.”
“Boleh.” Sahut ibu Hesti.
“Winda sekarang sudah gadis remaja, ya.?”
“Ya, bu.”
“Dia cantik sepertimu.”
“Terima kasih.”
“Nah, kau sudah harus
segera menikah, nanti kesusul oleh adikmu.”
Isti hanya tersenyum.
Hari minggu Isti
menjalankan mobil pick-up itu menuju kota. Jalanan yang panjang dan lurus
terasa lengang. Sawah yang menghijau dikiri kanan jalan terasa menyejukan
pandangan. Hujan turun gerimis. Winda duduk disampingnya dengan gembira. Isti
senang melihat kegembiraan diwajah adiknya.
“Pilih baju yang bisa
engkau pakai lagi setelah engkau pakai dipesta ulangtahunmu.” Kata Isti.
“Ya.” Winda menggangguk.
Ditoko kelima yang mereka
kunjungi, barulah Winda menemukan gaun yang cocok dengan keinginannya untuk
dikenakan dihari ulangtahunnya nanti. Sebuah gaun berwarna cokelat dengan renda
pada bagian dadanya.
“Halo, Isti. Belanja, ya?”
Sebuah sapaan menegurnya. Isti menoleh.
Iskandar tersenyum. Tangannya dimasukan kedalam saku jaketnya.
“Iya, pak. Mengantar adik
saya.” Sahut Isti.
Isti teringat pada cerita
yang disampaikan ibu Hesti kepadanya mengenai lelaki itu dan perselingkuhan istrinya.
Mendadak Isti ingin menghindar dari lelaki itu. Dia tidak ingin mencari masalah
dengan suami orang. Terlalu sering dia mendengar cerita bagaimana sebuah
perkawinan menjadi berantakan karena hadirnya orang ketiga dalam perkawinan
mereka. Dan dia tidak ingin menjadi orang ketiga dalam perkawinan orang lain.
“Ini adikmu, ya?” Iskandar
menoleh menatap Winda. Tersenyum pada gadis cantik dengan rambut sebahu yang
bergelombang. “Siapa namanya?”
“Winda.” Sahut Winda sambil
menerima uluran tangan lelaki itu.
“Senang bertemu kau
disini.” Ucap Iskandar, menoleh lagi pada Isti. “Belanja apa?”
Iskandar melihat pada
kantong belanjaan ditangan Winda.
“Adikku akan berulang tahun
minggu depan……” sahut Isti. “Aku mencarikannya baju yang akan dikenakannya
nanti…..”
“Minggu depan? Ulang tahun
yang keberapa, non?”
“Tujuh belas.”
“Hei, kau sudah mau tujuh
belas tahun? Kukira kau masih anak SMP.” Iskandar tertawa. “Bila aku diundang,
aku pasti akan datang…”
“Hanya teman-teman sekelas
yang diundang.” Sahut Winda. “Tapi kalau Oom
mau datang, tentu saja aku senang.” Winda menoleh sesaat pada Isti,
apakah kakakknya keberatan dia menyebut ‘oom’ pada Iskandar. Namun Isti rupanya
tidak mendengarkan itu.
“Iya, nanti aku akan datang kerumahmu.” Kata Iskandar.
Isti dan Winda bertukar
pandang. Isti sepertinya keberatan bila Winda mengundang lelaki itu. Namun dia
tidak bicara apa-apa. Sudah terlanjur Winda mengundang Iskandar.
“Terima kasih.” Winda
tersenyum.
“Minum dulu, yuk.” Ajak
Iskandar.
Isti tersenyum. Dia
berusaha menjaga sikapnya agar tetap sopan. “Terima kasih, pak Is. Kami sedang
buru-buru. Lagi pulang sebenar lagi hujan sepertinya akan turun. Mari.”
Bergegas Isti menarik tangan Winda. Winda mengikutinya dengan heran.
“Kenapa? Lelaki itu
kelihatan baik dan ramah.”
Isti menghela napas dalam.
“Dia langganan toko. Tapi tidak baik menerima ajakan lelaki yang sudah beristri
walaupun hanya sekedar minum. Bila dilihat oleh orang lain akan menimbulkan
gossip dan sangkaan yang bukan-bukan.” Ucap Isti.
Winda tersenyum. “Kak Isti
terlalu hati-hati dalam menghadapi lelaki.” Cetusnya.
Isti tidak menjawab. Dia
melajukan mobil pick-up menembus jalanan yang padat dengan kendaraan.
“Kenapa mbak Isti belum
menikah juga?”
“Jodohku belum datang.”
“Bagaimana jodoh mbak Isti
akan datang bila sikap kak Isti selalu dingin dalam menghadapi lelaki?”
Isti menoleh sekilas pada
adiknya. “Menurutmu kakak dingin pada lelaki?”
Winda tertawa pelan. “Yah,
aku menilai begitu. Mbak Is sangat
berbeda dengan mbak Melly yang selalu
terbuka dan akrab dengan semua lelaki. Padahal dalam soal kecantikan dan
penampilan, mbak Isti jauh lebih cantik
dan lebih menarik bila dibandingkan dengan mbak
Melly.”
Melly, tetangga mereka.
Usianya hanya terpaut dua tahun dibawah Isti. Gadis cantik itu banyak sekali
teman prianya. Sering berganti-ganti. Namun Isti tidak tertarik mengikuti cara
Melly. Pergaulannya kelihatannya terlalu bebas.
“Tidak baik
membanding-bandingkan orang, mbak Isti dengan mbak Melly jelas berbeda.”
“Tapi sikap mbak Melly yang terbuka dan akrab dengan semua
lelaki justru membuat lelaki merasa senang dan lebih mudah dalam mendekati mbak
Melly. Tapi kalau mendekati mbak Is,
sepertinya laki-laki merasa segan karena sikap mbak Isti yang dingin.”
Isti hanya tersenyum. “Itu
kan hanya penilaian dan pandanganmu saja.” Ujarnya. “Sebetulnya mbak Is tidak seperti dugaanmu. Mungkin jodoh mbak Is saja yang belum datang hingga engkau
menilai begitu. Nanti juga jodoh mbak is pasti akan datang.”
“Yah, mudah-mudahan saja.
Aku senang bila mbak Is segera menikah dan punya suami yang baik.”
“Doakan, ya.”
“Tentu.”
Isti dan Winda bertukar
pandang dan sama-sama tersenyum. Mobil pick-up meluncur meninggalkan keramaian
kota dan pulang menuju rumah. Hujan turun dengan derasnya. Jalanan basah
diguyur hujan.
“Sepertinya aku harus
membatalkan keinginanku yang ingin merayakan ulangtahunku dihalaman.” Kata
Winda sambil memperhatikan hujan diluar yang begitu deras.
Fantasinya seakan nyata,
alangkah menyenangkannya merayakan ulangtahunnya dihalaman rumah yang ditata
sedemikian rupa dengan kursi-kursi dan
meja-meja yang diatasnya ditaruh beragam makanan. Namun keadaan cuaca sepertinya
tidak mendukungnya untuk mewujudkan fantasinya.
“Ya.” Sahut Isti. “Tidak
mungkin melaksanakan perayaan ulangtahun diluar dimusim hujan. Atur saja kursi
dan meja didalam rumah agar suasananya seperti yang kau inginkan.”
Isti melihat café didepan
toko kelontong ibu Hesti tidak penuh seperti biasanya. Café itu buka setiap
hari. Toko kelontong ibu Hesti terlihat sepi. Tulisan ‘Tutup’ dibalik pintu
kaca terbaca dengan jelas dari depan café itu.
“Minum, yuk.” Ajak Isti.
Café itu selain menyediakan
beragam minuman, juga beragam roti dan kue. Tanpa menunggu jawaban Winda mobil
pick-up membelok memasuki halaman café yang dipasangi paving block warna hijau
dan merah.
“Aku pernah beberapa kali
berkaraoke disini bersama Lenny dan Maya.” Kata Winda.
“Boleh, asal jangan terlalu sering.” Ucap Isti.
Mereka masuk kedalam kafe.
Isti dan Winda duduk didekat jendela.
Mereka memesan makanan dan minuman. Dari jendela kaca Isti melihat toko
kelontong ibu Hesti yang tutup. Musik
mengalun merdu. Dari ruangan sebelah terdengar orang tengah berkaraoke. Pada
saat itu seseorang masuk kedalam kafe. Isti tertegun. Lelaki yang dilihatnya
dirumah ibu Amri. Keduanya bertemu pandang dan sama-sama tersenyum. Jantung
Isti berdegup kencang.
“Halo, Isti. Apa kabar?”
sapa lelaki itu.
“Baik.”
“Boleh duduk bersama disini
bersama kalian?”
“Kenapa tidak? Silahkan.” Isti memberi tempat pada
lelaki itu. Dia menarik kursi yang berhadapan dengan Isti.
“Terima kasih sudah mengantar
pesanan belanjaan ibuku kemarin kerumah.”
Kata lelaki itu.
Ibuku? Jadi lelaki ini
putera ibu Amri? “Ibu Amri? Ibu Amri……ibumu?”
“Ya. Dengan adanya jasa
pesan belanjaan dan dikirim kerumah, sangat membantu dan memberikan kemudahan
buat yang sangat membutuhkan seperti ibuku. Ibu cerita, dengan adanya jasa
layanan antar itu membuat ibu tidak usah repot-repot pergi keluar rumah untuk
berbelanja kebutuhan sehari-hari.” Lelaki itu tersenyum menatap Isti. “Kau mungkin tidak pernah melihatku sebelumnya
sehingga kau tidak tahu kepadaku.?”
“Ya.” Sahut Isti. “Aku
bahkan kenal dengan ibu Amri setelah aku
bekerja ditoko ibu Hesti.”
“Kenapa kita tidak
berkenalan?”
“Kau sudah tahu namaku,
kan?”
“Ya. Ibuku yang bilang
bahwa namamu Isti.” Lelaki itu tersenyum. “Namaku Bastian. Ini adikmu?” Bastian
menoleh pada Winda yang tengah menikmati ice cream dan seakan tidak
memperhatikan pembicaraan kakaknya dengan lelaki itu.
“Ya. Ayo Winda, kenalan
dengan kak Bastian.”
Winda mengulurkan tangannya
pada Bastian.
“Kalian habis pulang dari
mana hujan-hujan begini?”
“Winda akan berulangtahun
minggu depan. Aku habis mengantarnya membeli baju ulang tahunnya……”
“Ulang tahun keberapa?”
“Tujuh belas.” Sahut Winda,
tersenyum malu-malu.
“Tujuh belas? Kukira kau
masih empat belas tahun.” Gurau Bastian. “Aku diundang tidak?”
Sesaat Winda menoleh dulu
pada Isti sebelum menjawab pertanyaan Bastian. “Kalau kak Bastian mau datang
kerumah, aku pasti senang sekali…..” ucap Winda.
“Ya, aku nanti akan datang
kerumahmu.” Bastian tersenyum pada Isti.
Mereka makan dan minum sambil bercakap-cakap.
Ketika hujan telah reda, Isti memutuskan untuk segera pulang.
“Jangan lupa kerumahku
nanti dihari ulangtahunku ya, kak.” Winda mengingatkan Bastian.
“Oke.” Bastian tersenyum
dan melambaikan tangannya pada Isti dan Winda yang sudah masuk kedalam mobil
pick-up. Sementara dia sendiri memasuki mobilnya sedan warna hijau.
“Kak Bastian sepertinya
baik ya, kak.” Kata Winda memecah keheningan. Mobil pick-up meluncur menembus
jalanan yang sepi.
“Ya.”
“Kak Bastian sepertinya
menyukai kak Is.”
“Kami baru dua kali
bertemu.”
“Dua kali pertemuan yang
mengesankan. Aku berdoa, semoga kak Bastian menyukai mbak Isti.”
Isti hanya tersenyum. Dari
kaca spion dia melihat mobil Bastian melaju tidak jauh dibelakang mobil pick-up
yang dikemudikannya. Isti kembali tersenyum. Beberapa waktu lamanya mobil
mereka beriringan hingga akhirnya mobil Bastian berbelok memasuki halaman rumah
ibu Amri. Isti berharap Bastian memenuhi ucapannya akan datang keperayaan
ulangtahun Winda.
--- 0 ---
Pagi-pagi Dina menelepon
memesan sejumlah barang. Isti yang menerima telepon dan mencatat pesanan
perempuan itu. Isti memasukan barang-barang pesanan Dina namun dia merasa enggan bila dia yang harus mengantarkan belanjaan pesanan Dina kerumahnya. Dia berpikir,
bagaimana kalau Iskandar sedang ada
dirumahnya dan melihatnya datang mengantarkan belanjaan pesanan istrinya.
Akhirnya Isti menyuruh Syaiful yang
mengantarkan barang-barang itu. Ketika Syaiful kembali, dia menghampiri Isti.
“Mbak, ibu pemilik rumah
menanyakan mbak, kenapa bukan mbak yang mengantar barang kerumahnya?” ujar
Syaiful.
“Kau jawab apa?” Tanya Isti
sambil menghitung uang dan merapikannya
didalam laci.
“Aku bilang, aku yang
bertugas mengantar barang keseluruh langganan. Mbak Isti sedang sibuk ditoko.”
Isti tersenyum. “Yah, kau
benar. Jawab saja begitu. Lagi pula untuk apa harus mbak yang mengantarkan
pesanan kerumahnya. Mbak kan sibuk disini melayani pembeli.”
Syaiful menatap Isti. “Ibu
itu seperti penasaran ingin tahu banyak tentang mbak Isti. Dia nanya, apa mbak
sudah punya suami?”
“Kau jawab aku.”
“Aku jawab, belum menikah.”
“Lalu?”
“Dia tidak bertanya apa-apa
lagi.” Ucap Syaiful. “Kalau tidak salah, suami ibu itu yang sering belanja
kemari, ya?”
“Kamu tahu?”
“Tahu, bapak itu kan
langganan toko ini. Sering belanja kemari. Sendirian. Tapi mungkin sekarang
setelah istrinya memesan barang diantar kerumah, suaminya tidak akan kemari
lagi.”
Syaiful keliru. Iskandar
masih tetap sering belanja ke toko walaupun hanya sekedar membeli sebungkus
rokok. Namun Isti sudah tidak ada waktu lagi untuk melayani lelaki itu bila
mengajaknya bercakap-cakap seusai dia belanja, sambil membayar belanjaannya. Beberapa
kali Iskandar masih berusaha membujuk Isti mengajak nonton film, bercerita
tentang bintang film kesayangannya. Namun Isti tidak tertarik dengan semua yang
diucapkan Iskandar. Baginya, lelaki itu sungguh norak.
--- 0 ---
Isti mengetuk pintu. Sudah
sering dia pergi kerumah ibu Amri mengantarkan pesanan barang namun kali ini
terasa berbeda dari biasanya. Dia merasa
perasaannya berdebar. Mungkin karena ada
seseorang yang lain dirumah ibu Amri yang membuat perasaannya terasa berdebar.
Dia menunggu sebentar. Tidak lama kemudian pintu depan dibuka. Dia tersenyum
melihat Bastian membukakan pintu.
“Hai. Ayo masuk.” Sapa
Bastian ramah.
“Saya mau mengantarkan
pesanan ibu.” Ucap Isti.
Isti menyerahkan dua
kantong plastik pada Bastian.
“Ibu ada dibelakang. Ayo
masuk dulu.” Ajak Bastian. Dia membuka pintu lebih lebar lagi. Isti merasa
tidak ada salahnya masuk dulu. Selama ini ibu Amri selalu mengajaknya untuk
masuk dulu bila dia mengantarkan pesanan. Namun dia sekalu menolak dengan
halus. Namun kali ini. Isti melangkah masuk.
“Siapa?” Ibu Amri keluar.
Melihat Isti didekat pintu. “Oh, Isti.
Ayo masuk dulu.”
“Terima kasih, bu.”
Ibu Amri menoleh pada
Bastian. “Ini putera bungsu ibu yang bekerja di Surabaya. Dia sedang cuti
selama dua minggu dan ingin menemani ibu. Ayo kenalan dulu.”
“Sudah kenalan kok, bu.”
Bastian menyahut sambil tersenyum.
“Oh, kapan kalian bertemu?”
“Tempo hari waktu ibu
sedang keluar, Isti datang kemari mengantarkan pesanan."
“Oh, ya.” Ucap ibu Amri.
Sebelum bertemu dengan
Bastian, Isti sudah dapat merasakan kebaikan ibu Amri kepadanya. Kini setelah
dia berkenalan dengan puteranya, Isti merasa ibu Amri semakin baik kepadanya.
Isti merasa malu sekaligus senang. Dia asyik mendengarkan ibu Amri yang berceloteh
bercerita tentang kelima puteranya, juga tentang putera bungsunya. Banyak
kegembiraan sekaligus kebanggaan didalam nada bicaranya. Sementara Bastian hanya tersenyum
mendengarkan celotehan ibunya.
“Jangan semuanya
diceritakan pada Isti, bu. Saya jadi malu dan tidak punya lagi bahan untuk saya
ceritakan pada Isti bila semuanya sudah ibu ceritakan pada Isti.” Bastian
mengomentari ketika ibunya masih asyik berceloteh.
Ibu Amri tersenyum. “Kau
tidak tahu, betapa bangganya ibu kepadamu, Bas.” Ibu Amri menoleh pada Isti.
“Kelak bila kau sudah punya anak, apa yang kini ibu rasakan akan bisa engkau
rasakan. Betapa bangga dan senangnya memiliki anak, Isti.”
Isti tersenyum mendengar
ucapan ibu Amri.
Ketika akan pulang, Bastian
menawarkan untuk mengantarkan Isti kerumahnya. Dalam hati Isti bersyukur, dia
tidak membawa pick-up sehingga Bastian bisa mengantarkannya pulang. Isti merasa
heran, belum pernah dia begitu cepat akrab dengan seorang lelaki yang baru
dikenalnya. Bastian bercerita tentang pengalamannya selama bertugas di
Surabaya.
--- 0 ---
Akhirnya tiba juga hari
yang ditunggu itu. Hari minggu yang cerah. Semula Winda ingin merayakan
ulangtahunnya dimalam hari. Namun Isti mencegahnya. Dia memutuskan bila Winda
ingin merayakan ulangtahunnya, tetap harus dilaksanakan disiang hari. Akhirnya
Winda mengikuti saran kakaknya. Dia tahu, maksud kakaknya baik. Bila ulangtahun
dirayakan malam hari, kasihan teman-temannya yang rumahnya jauh.
Isti ikut merasakan
kebahagiaan yang tengah dirasakan Winda. Kemarin sore dia
mengambil kue ulangtahun yang dipesannya dari ibu Linda. Kue ulang tahun
berwarna merah muda dan putih dengan lilin angka tujuh belas berwarna merah dan
boneka bocah perempuan yang cantik.
Bastian datang ketika
teman-teman Winda sudah mulai berdatangan dan memenuhi ruangan tamu dan ruangan
tengah. Isti senang melihat kedatangan lelaki itu. Winda tersenyum girang
ketika Bastian memberinya sebuah kado dengan
pita berwarna hijau yang melilit bungkus kado.
“Terima kasih datang ke
ulangtahun adikku.” Kata Isti.
“Besok aku pulang kembali
ke Surabaya.” Sahut Bastian. Dia menoleh menatap Isti.
Isti menatap Bastian.
Dia merasa berat mendengar lelaki itu
akan pulang kembali ke Surabaya. Dua minggu rasanya terlalu singkat
baginya. Kehadiran lelaki itu telah
memberikan sentuhan dalam perasaannya. Sesaat Isti termangu. Bastian
menatapnya.
“Aku minta nomor ponselmu.
Nanti aku akan meneleponmu.” Ucap Bastian.
“Ya.”
Isti menyerahkan nomor ponselnya
pada Bastian. Mereka saling memberi
nomor telepon masing-masing.
“Kau terlalu memikirkan adik-adikmu, Isti,
sehingga engkau seakan mengesampingkan urusanmu sendiri.” Ucap Bastian. Dia
menghadiri ulang tahun Winda. Besok pagi dia akan pulang.
Isti terdiam. Sudah sering
dia mendengar ibunya mengucapkan kata-kata semacam itu kepadanya. Dan kini
Bastian mengucapkan kalimat yang sama kepadanya. Benarkah dia terlalu
memikirkan adik-adiknya sehingga tidak memikirkan urusannya sendiri.
“Aku memang memikirkan
adik-adikku, memikirkan masa depan mereka, namun aku juga tetap memikirkan
urusanku sendiri.”
“Kau kelihatan lebih
memberikan prioritas untuk adik-adikmu daripada memikirkan urusanmu sendiri.”
Tukas Bastian.
Isti menghela napas. “Kau
mungkin benar, namun kau tidak bisa merasakan apa yang kurasakan. Tanggung
jawab. Itu yang membuat aku mau tidak mau selalu memikirkan adik-adikku,
memikirkan masa depan mereka, memikirkan pendidikan mereka, memikirkan masa
depan mereka.” Ucapnya.
Isti menatap Bastian. “Dan hal itu tidak akan kau
rasakan karena engkau tidak memiliki adik. Kau hidup dalam keadaan yang berbeda
dengan aku. Kau lahir sebagai anak
bungsu. Keempat kakakmu mungkin memperlakukan engkau seperti aku memperlakukan
kedua adikku.”
Bastian terdiam. Dia
menatap Isti.
“Isti, aku sangat bangga
melihatmu. Yah, aku sangat bangga melihat tanggung jawab dan perhatian yang
engkau berikan untuk kedua adikmu, untuk ibumu.”
Isti menunduk. “Hidupku
mungkin terasa berat. Namun aku ikhlas menjalani semua ini. Aku ingin ayahku
yang telah tiada merasa tenang, juga ibuku yang masih bisa menyaksikan kami
bertiga merasa tenang bila melihat aku bisa mengantarkan adik-adikku hingga
mereka bisa hidup mandiri.”
Bastian mengangguk. “Yah,
aku faham dengan keadaanmu, Isti. Aku faham dan aku merasa bangga.” Ucapnya.
“Besok aku pulang ke Surabaya. Aku akan menghubungimu. Nanti aku akan
meneleponmu.”
“Ya.” Isti menatap Bastian.
“Tidakkah disana sudah ada yang menunggumu?”
Bastian tersenyum. “Belum.
Belum ada. Aku sudah menemukannya disini.” Kembali Bastian tersenyum.
Tiba-tiba Isti tertegun.
Dia melihat Iskandar datang. Kelihatan tampil rapi dari biasanya. Iskandar berbicara
pada Winda dan memberikan sesuatu, kado kecil. Winda kelihatan senang menerima
pemberian kado itu. Sesaat kemudian Winda menoleh pada Isti, dan bersama dengan
Iskandar menghampiri Isti. Isti
menyambut kedatangan lelaki itu. Iskandar melihat pada Bastian yang tengah duduk didekat Isti.
“Terima kasih sudah datang
kemari.” Kata Isti.
“Aku sudah janji akan
datang pada Winda, jadi pasti datang.” Ucap Iskandar.
Winda datang menghampiri
mereka. “Oom, terima kasih atas kadonya.”
Iskandar mengangguk.
“Selamat ulang tahun, Win.”
“Terima kasih.” Winda pergi
meninggalkan Iskandar dan bergabung lagi dengan teman-temannya. Suara canda dan
tawa mereka ramai berderai. Sebagian duduk didalam rumah, sebagian lagi duduk
berkumpul diluar. Hujan tidak turun walaupun cuaca tidak cerah seperti
biasanya.
“Mas Bas, kenalkan ini pak
Is.” Isti memperkenalkan Iskandar pada Bastian. Kedua lelaki itu berjabat
tangan.
Isti tidak tahu, apa yang
harus dilakukannya. Percakapannya dengan Bastian terhenti karena kehadiran
Iskandar. Merasa bahwa kehadirannya kurang tepat dengan kehadiran Bastian,
akhirnya iskandar berdiri dan pamit.
“Saya tidak lama, Is.
Permisi.”
“Terima kasih sudah datang
kemari, pak Is.”
Iskandar pergi. Bastian
memperhatikan lelaki itu sesaat.
“Siapa dia?” Tanya Bastian.
“Langganan toko.”
“Oh, ya. Toko tempatmu
bekerja pasti banyak sekali memiliki langganan.”
“Istrinya juga langganan
toko ibu Hesti. Minggu lalu ketika aku
mengantar Winda membeli baju, kami bertemu. Aku memberitahunya Winda akan
berulang tahun. Dia bilang akan datang. Kupikir hanya sekedar basa-basi dia
mengatakan akan datang. Namun ternyata benar. Kupikir bukan sesuatu hal yang
istimewa.“
Bastian tidak berkomentar.
Mereka berdua memperhatikan Winda yang tengah bergembira bersama dengan
teman-temannya. Isti merasa bersyukur, akhirnya keinginan Winda bisa terwujud.
Ibu hanya duduk didalam rumah. Sementara Aldi ikut bergembira bersama kedua sahabatnya
yang sengaja diajaknya hadir diperayaan ulang tahun Winda.
“Kita tadi sedang bicara
apa?” Tanya Isti, mendadak teringat pembicaraan mereka terpotong dengan
kedatangan Iskandar.
Bastian menoleh, tersenyum
pada Isti. “Kau tadi bertanya apa padaku?”
Isti tersenyum. “Tidakkah
disana sudah ada yang menunggumu?”
Bastian tersenyum, sekarang
ingat dengan pertanyaan Isti tadi. “Belum. Belum ada.” Sahut Bastian. “Aku
sudah menemukannya disini.”
Kembali Bastian tersenyum.
Isti juga tersenyum.
Pesta ulang tahun telah
usai. Satu persatu teman Winda pulang. Tinggal sisa-sisa bekas perayaan ulang
tahun yang harus dibereskan. Piring dan gelas yang berserakan. Sisa-sisa
makanan yang berceceran. Lantai yang kotor. Isti merasa lega. Namun ketika dia
masuk ke kamar Winda, mendadak Isti tertegun. Dia melihat wajah Winda muram. Isti menangkap sekilas ada mendung dan kekecewaan
diraut wajah Winda.
“Kenapa?” Tanya Isti. Dia
duduk ditepi tempat tidur memperhatikan adiknya yang tengah berganti pakaian.
Winda tidak segera
menjawab. Dia menatap wajahnya pada cermin.
“Dia tidak datang.” Ucap
Winda pelan.
“Dia siapa?” Tanya Isti
heran.
“Fahri.” Sahut Winda dengan
suara lirih dan tidak menyembunyikan kesedihan dalam nada suaranya yang tengah
kecewa. “Aku sangat mengharapkan dia datang menghadiri pesta ulang tahunku. Ini
perayaan yang sangat istimewa buatku. Namun dia tidak datang. Aku sungguh
sangat kecewa, padahal kemarin aku mengundangnya. Dan aku bilang, bahwa aku
sangat ingin dia datang keperayaan hari ulangtahunku ini.”
Fahri, pemuda yang sudah
beberapa bulan ini sangat dekat dengan Winda. Dia sering datang kerumah. Isti
menduga bahwa Winda menjalin hubungan dengan pemuda itu. Isti menyukai anak
muda itu. Sikap Fahri baik dan sopan. Dan Isti dapat merasakan bahwa adiknya
mencintai pemuda itu. Mungkin hanya sekedar cinta monyet. Namun bagaimanapun,
perasaan Winda pada pemuda itu adalah sebuah proses kematangan Winda dalam
menjalin hubungan dengan lawan jenisnya.
Isti berharap hubungan
mereka baik-baik saja. Hubungan yang belum bisa dipastikan merupakan sebuah
hubungan yang serius, namun juga tidak sekedar main-main karena Isti melihat
kesungguhan Winda pada pemuda itu. Namun kini ceritanya ternyata berbeda dengan
dugaannya.
Fahri yang selama ini sudah
sering datang kerumah, justru tidak datang diperayaan ulang tahun Winda. Pada
saat Winda merasa sangat mengharapkan kehadiran pemuda itu. Winda pasti seperti
gadis lain yang sudah memiliki pacar, ingin memperkenalkan pacarnya pada
beberapa teman dekatnya. Namun Fahri justru tidak muncul. Winda pasti merasa
sangat kecewa sekali. Isti dapat merasakan kekecewaan yang dirasakan adiknya.
Namun dia tidak ingin Winda terlalu tenggelam dalam kekecewaaanya.
“Winda, mbak Is memahami,
pasti engkau merasa sedih dan kecewa Fahri tidak datang keperayaan ulang
tahunmu.” Ucap Isti pelan, berusaha menghibur adiknya yang terduduk sambil
menunduk menyembunyikan sepasang matanya yang mulai basah dilanda perasaan
kecewa.
“Kamu sudah serius menjalin
hubungan dengan Fahri, Win?” Tanya Isti.
“Kami masih berteman. Tapi
aku mulai menyukai Fahri. Aku mengira dia juga memiliki perasaan yang sama
denganku, namun kenyataannya……” Winda terisak. “Fahri tidak peduli kepadaku…..”
“Fahri tidak peduli
kepadamu, lalu kenapa engkau harus menangisinya?” Tanya Isti. “Kau merugikan
dirimu sendiri mengharapkan seorang pemuda yang tidak menaruh perhatian
kepadamu.”
Winda terisak.
“Aku ingin engkau menjadi
seorang gadis yang manis, bukan gadis yang cengeng, Winda. Kau harus tegar.
Kenapa mengharapkan Fahri datang kepestamu bila dia sama sekali tidak menaruh
perhatian kepadamu. Bukankah engkau memiliki banyak teman lelaki? Kenapa engkau
tidak memilih salah satu dari mereka dan melupakah Fahri?”
Winda menatap kakaknya,
lalu mengangguk.
“Kakak memperhatikan, tadi
ada beberapa teman priamu yang kelihatannya cukup menarik.”
“Mereka rata-rata sudah
punya pacar. Mereka datang kemari bersama pacarnya.”
“Pasti ada salah satu
diantara mereka yang belum punya pacar.”
“Tidak ada. Semuanya sudah
punya pacar.”
Isti tersenyum. “Lupakan
Fahri dan engkau pasti akan segera menemukan gantinya seorang pemuda yang lebih
baik dan lebih menarik dari Fahri.”
--- 0 ---
Dina datang ke toko sore
itu. Isti sudah hampir selesai menghitung uang. Dia melihat sekilas pada Dina
yang berjalan berkeliling-keliling diantara rak-rak. Dina hanya tiga kali
memesan belanjaan lewat telepon. Kemudian tidak pernah lagi. Baru sekarang Isti
melihat Dina datang lagi ke toko. Toko sedang sepi. Hanya ada dua orang yang
tengah belanja.
“Tolong dihitung, mbak.”
Dina menghampiri Isti, menaruh keranjang belanjaannya diatas meja.
Isti segera menghitung
belanjaan perempuan itu. Dia dapat merasakan Dina tengah menatapnya. Selesai
menghitung Isti menyebutnya jumlah belanjaan perempuan itu. Dina mengeluarkan
dompetnya dan menyerahkan uang. Isti memberikan kembalian. Dina mengambil
kantong plastik belanjaannya. Dia tidak segera beranjak pergi. Dia menatap Isti dalam. Isti membalas tatapan
perempuan itu. Dia merasa, ada sesuatu hal yang akan disampaikan perempuan itu
kepadanya.
“Isti, maaf, aku ingin
bicara sesuatu hal padamu.” Ucap Dina dengan suaa perlahan.
“Ya? Ada apa, mbak?”
“Isti, daerah kita ini
merupakan daerah kecil. Kejadian apapun pasti akan dengan cepat menyebar dan
diketahui masyarakat.” Ucap Dina. Matanya menatap Isti dalam.
Isti menatap Dina. Belum
memahami apa yang ingin diucapkan perempuan itu.
“Isti, aku percaya kamu
seorang wanita yang baik. Tolong jauhi suami saya.” Ucap Dina dengan suara lirih.
Sejenak Isti tertegun
mendengar ucapan Dina. Kemudian Isti menghela napas dalam. Entah gossip apa
yang sudah sampai ke telinga wanita ini.
“Saya tidak tahu dan tidak mengerti,
berita apa yang sudah sampai ke telingan mbak. Saya tidak ada hubungan apapun
dengan suami mbak.”
“Suami saya sering belanja
kemari?”
“Ya, benar. Pak Iskandar
sering belanja kemari, namun itu sesuatu hal yang wajar. Saya sendiri tidak
pernah memperhatikan siapa saja yang datang dan keluar dari toko ini. Toko ini memiliki
cukup banyak pembeli dan saya tidak pernah memperhatikannya satu persatu. Apalagi bila saya tengah sibuk
melayani cukup banyak pembeli.”
“Ya, saya mengerti.” Ucap
Dina. “Namun saya mendengar suami saya
datang kerumahmu. Dan banyak orang yang tahu dan membicarakan hal ini kepada
saya.”
Isti terdiam. Dia tidak tahu harus bilang apa pada Dina.
“Pak Iskandar datang ke
perayaan ulangtahun Winda, adik saya……..”
“Isti, mungkin suami saya
menyukaimu namun saya yakin engkau bisa mencari lelaki lain yang belum terikat
dengan perempuan lain. Kau cantik dan masih muda. Pasti banyak lelaki lain yang
menyukaimu.”
Isti menatap Dina. “Saya
tidak akan mengganggu suami mbak, atau pun suami-suami perempuan lain. Mbak
jangan khawatir, saya tidak akan menyakiti hati perempuan lain.”
Dina mengangguk. “Aku
percaya kepadamu. Terima kasih, Isti.”
Iskandar masih tetap sering
belanja ke toko walaupun hanya sekedar membeli sebungkus rokok. Namun Isti
sudah tidak ada waktu lagi untuk melayani lelaki itu bila mengajaknya
bercakap-cakap seusai dia belanja, sambil membayar belanjaannya. Sejak Dina
berbicara padanya tempo hari, Isti sudah kehilangan rasa simpatiknya pada
lelaki itu.
Lama kelamaan Iskandar
semakin jarang muncul lagi ditoko dan akhirnya tak pernah lagi belanja ditoko.
Tidak lama kemudian, Dina berhenti
menjadi langganan toko ibu Hesti. Isti tidak pernah melihatnya lagi. Belakangan
Isti baru tahu bahwa mereka sudah pindah ke kota.
--- 0 ---
“Mbak, aku ingin
mengenalkan temanku.” Kata Winda. Dia baru pulang dari les komputer. Senyumannya berseri, membuat wajahnya
kelihatan semakin cantik. Rambutnya yang panjang bergelombang diikat sebagian,
sementara anak-anak rambut jatuh dikeningnya.
“Siapa?” Tanya Isti yang
tengah membereskan meja makan, menyiapkan makan malam. Ibu Hesti mengirim pepes
ikan mas. Dibelakang rumahnya ada sebuah kolam. Bila sedang ada waktu senggang,
ibu Hesti sering menangkap ikan dan membuat pepes ikan.
“Ayo kemari. Dia menunggu
didepan. Aku sudah bilang padanya, aku ingin dia berkenalan dengan kakakku yang
cantik dan baik hati ini.” Winda menarik tangannya. Isti mengikutinya. Diruangan
depan duduk seorang pemuda. Penampilannya rapi.
“Pandu, ini kakakku, mbak
Isti. Mbak, ini temanku, namanya Pandu. Dia jago karate dan aktif juga main
musik. Dia pintar menabuh drum.”
Isti tersenyum menjabat
tangan anak muda. Isti tersenyum melihat
kegembiraan diwajah Winda.
Ketika Pandu pulang, Winda
masih asyik berceloteh tentang Pandu. Tak
sedikitpun lagi kelihatan Winda masih
ingat pada Fahri.
Isti bersyukur, Winda sudah
mendapatkan lagi kebahagiaan. Kekecewaan itu tidak terlalu lama singgah dihati
adiknya, kini dia sudah menemukan penggantinya. Dia sendiri tengah merasakan
kebahagiaan seperti yang tengah dirasakan Winda. Tadi pagi Bastian
meneleponnya, dia akan pulang kembali dua minggu lagi.
“Isti, aku tahu ini terlalu
cepat untuk kita. Namun aku meyakini, waktu bukan sebuah jaminan untuk sebuah
hubungan. Aku bertemu denganmu dan menyukaimu. Biarlah nanti waktu yang akan
mengatur semuanya. Aku akan segera melamarmu. Minggu depan aku pulang. Ibu
sudah kuberitahu rencanaku ini.” Kata Bastian.
Bukan hanya bagi Bastian,
buat dirinya pun semua ini berjalan terlalu cepat. Namun inilah jalan yang diberikan Allah
untuknya.
Isti memberitahukan rencana
Bastian itu kepada ibunya dengan perasaan bahagia. Kebahagiaan yang sudah lama
dinanti-nantikannya. Dari atas kursi
rodanya, ibunya memeluknya dengan
airmata yang mengalir membasahi kedua belah pipinya. Kebahagiaan seorang ibu
ketika anak gadisnya akhirnya akan melangkah menuju ke jenjang perkawinan.
“Isti, alangkah bahagianya
perasaan ibu mendengar semua ini.” Ucap ibunya tersendat menahan tangis.
“Selama ini hanya doa-doa yang ibu panjatkan, semoga engkau segera bertemu
dengan jodohmu. Kini doa dan harapan ibu akan segera terkabul.”
“Ya, ibu.” Isti memeluk
ibunya dengan perasaan bahagia. Ibunya membalas pelukannya sambil menangis.
Isti merasakan tubuh ibunya gemetar.
--- 0 ---
Isti baru selesai shalat
isya ketika ibunya masuk kedalam kamarnya. Isti melipat mukena dan menaruhnya
diatas kursi. Ibu menatap Isti. Isti merasa ada sesuatu hal yang ingin
disampaikan ibunya kepadanya. Sepasang mata tua itu seakan tengah menyiratkan
kebingungan dan kegalauan.
“Ada apa, bu?” Tanya Isti.
Dia mendorong kursi roda ibunya ketengah kamarnya.
Ibu memegang tangan Isti.
Begitu erat. Matanyanya mendadak membasah seakan menahan tangis. Isti tertegun
melihat mata ibunya yang basah.
“Kenapa, bu? Ada apa?”
Tanya Isti lembut.
Ibu menarik kepala Isti dan
mencium kedua belah pipinya dengan lembut. “Duduklah, nak. Ada hal yang ingin
ibu sampaikan kepadamu. Sebelum engkau melangkah memasuki jenjang kehidupan
perkawinan ada hal yang harus engkau ketahui. Sesuatu hal yang selama ini ayah
dan ibu simpan sebagai rahasia yang kami simpan sebaik mungkin. Ayah dan ibu
sudah sepakat akan menyampaikan hal ini kepadamu bila engkau sudah akan
menikah. Ibu akan menjalankan amanat almarhum ayahmu.” Ucap ibunya pelan.
Isti menatap ibunya dengan bingung. “Apa, bu?”
Isti duduk ditepi tempat
tidur menatap ibunya, menunggu apa yang akan disampaikan ibunya kepadanya.
“Isti, anakku, maafkan ibu
bila apa yang akan ibu sampaikan kepadamu ini akan sangat mengejutkanmu.” Ucap
ibunya pelan. Matanya basah. Bibirnya bergetar menahan tangis dan gejolak
perasaannya.
Isti hanya diam menatap
ibunya.
“Isti, rahasia ini
tersimpan rapat sepanjang usiamu hingga sekarang.” Ucap ibunya lagi. Kedua
tangannya memegang kedua tangan Isti dengan erat, seakan tak ingin
dilepaskannya. “Isti, engkau sebenarnya bukanlah anak kandung ayah dan ibu..……”
Mata Isti seakan terbelalak
tak percaya mendengar ucapan yang meluncur dari mulut ibunya. Dia tidak percaya
dengan apa yang baru saja terucap dari mulut ibunya. Tidak mungkin. Sudah
duapuluh tujuh tahun dia hidup bersama ayah ibu dan kedua adiknya, Winda dan
Aldi. Tidak mungkin dirinya bukan anak kandung ayah dan ibunya.
Ibunya menangis dan
melanjutkan ucapannya dengan bibir bergetar.
“Saat itu ayah dan ibu sudah tujuh tahun
lamanya berumah tangga, namun kami belum juga dikarunia anak.” Ucap ibunya
seakan berbisik, seakan mengumpulkan tenaga dan kekuatan untuk menyampaikan hal
itu pada Isti. “Setelah menunggu cukup
lama dan belum juga dikaruniai anak, akhirnya kami memutuskan untuk mengangkat
seorang anak………”
“Saat itu engkau masih bayi
yang masih berusia sebulan ketika ayah dan ibu mengambilmu dari rumah sakit dan
mengangkatmu sebagai anak……….”
“Engkau adalah cahaya dalam
perkawinan ayah dan ibu……”
“Betapa menyenangkannya
ketika engkau hadir diantara ayah dan ibu……..”
“Sulit buat ibu untuk
bercerita bagaimana menyenangkannya hari-hari ayah dan ibu ketika mengasuhmu
dari mulai bayi hingga engkau tumbuh besar……”
“Ketika engkau sudah
berumur sepuluh tahun, akhirnya ibu hamil dan melahirkan Winda, lalu tiga tahun kemudian disusul dengan kelahiran Aldi.”
Isti menatap ibunya seakan
tak percaya. Semua kata yang terucap dari mulut ibunya dengan tersendat-sendat,
berbaur dengan isak tangis ibunya, seakan lagu sedih yang tak dipercayainya
sebagai sebuah kenyataan hidup.
Bagaimana mungkin dia akan
percaya dengan ucapan ibunya. Selama ini dia merasakan betapa tulusnya kasih
sayang ayah dan ibunya kepadanya.
“Isti, namun engkau dapat
merasakan sendiri kasih sayang ayah dan
ibu kepadamu tidak berbeda dengan kasih sayang kami kepada Winda dan Aldi.”
Isti hanya terisak pelan.
Pengakuan ibunya sangat mengejutkan perasaannya. Semua itu seakan sebuah mimpi.
Dia teringat pada almarhum ayahnya. Dia teringat pada kasih sayangnya selama
ini kepada kedua adiknya. Sulit dipercaya bila Winda dan Aldi bukanlah adik
kandungnya.
“Isti, ibu baru sekarang
menceritakan semua ini karena buat ibu terasa berat sekali harus menyampaikan
hal ini kepadamu.” Ibu menangis terisak-isak. Airmata seakan tidak berhenti
mengalir membasahi kedua belah pipinya yang keriput.
“Dulu ayah dan ibu berencana, bila engkau sudah akan
menikah barulah ayah dan ibu akan menceritakan hal ini kepadamu.” Kata ibunya
lagi. “Namun ternyata ayah telah mendahului kita. Ketika engkau mengatakan
bahwa Bastian akan segera melamarmu, perasaan ibu diliputi kebingungan. Ibu
teringat dengan rencana ayah dan ibu dahulu yang akan menceritakan semua ini
kepadamu, namun rasanya ibu tidak sanggup untuk menyampaikannya kepadamu. Namun
sebelum ayah meninggal, kembali ayah berpesan pada ibu, bila engkau sudah akan
menikah, ibu harus menyampaikan hal ini kepadamu. Ibu menjalankan amanat ayahmu
walaupun perasaan dan lidah ibu terasa berat sekali.”
Ibu memeluk Isti sambil
menangis. “Isti, hanya Allah yang tahu bagaimana tulusnya kasih sayang ayah dan
ibu kepadamu. Oh, anakku, janganlah engkau meragukan kasih sayang ayah dan ibu
walaupun kini engkau sudah tahu bahwa ayah dan ibu bukanlah orangtua
kandungmu.”
Isti ikut menangis. “Ibu,
kenapa ibu tidak menyimpan cerita ini untuk selamanya? Mengapa ibu tidak membiarkan
saya untuk tidak tahu sama sekali bahwa ayah dan ibu bukanlah orangtua kandung
saya?”
“Isti, itu yang ingin ibu
lakukan, nak. Namun ayah berpesan, bagaimanapun engkau harus mengetahui hal
ini. Ibu menjalankan amanat ayahmu, untuk menyampaikan hal ini bila engkau
sudah akan menikah.”
“Ibu…..” Isti menatap
ibunya dengan airmata berlinang. “Tidakkah pengakuan ini yang begitu tiba-tiba
akan membuat segalanya menjadi berubah? Tidakkah ibu menduga semua ini akan
membuat semua rencana menjadi berantakan? Tidakkah ibu menduga bahwa Mas Bas
mungkin akan meninggalkan aku setelah dia mengetahui bahwa aku hanyalah anak
angkat dari ayah dan ibu?”
“Isti, tidak tahukah engkau
betapa bingungnya ibu untuk menyampaikan hal ini kepadamu?” sergah ibunya.
“Bila ibu menuruti kata hati dan perasaan ibu kepadamu, ibu ingin engkau tidak
tahu hal ini selama-lamanya. Sepanjang hidupmu. Namun ayahmu tidak ingin suatu
saat engkau mengetahui hal ini dari orang lain. Ayah tetap ingin engkau
mengetahui hal ini. Ibu hanya menjalankan
amanat ayahmu, Isti, amanat yang terasa
sangat berat sekali buat ibu.”
Isti mengurung dirinya
didalam kamarnya dengan perasaan sedih. Airmatanya deras membasahi kedua belah
pipinya. Dia harus bicara kepada
Bastian. Masih belum terlambat bila Bastian akan mengurungkan perkawinannya
dengannya bila Bastian mengetahui bahwa dirinya bukanlah anak kandung
orangtuanya.
Malam itu Isti menelepon
Bastian. Hampir sejam lamanya dia berbicara pada Bastian menceritakan apa yang
didengarnya dari ibunya.
“Belum terlambat bila mas
Bas akan mengurungkan niat mas Bas melamar saya……” ucap Isti lirih, menahan
tangisnya.
Bastian diam beberapa saat.
Dia perlu waktu untuk berpikir. Isti menutup telepon. Dia tidak ingin memaksa
Bastian untuk tetap melamarnya. Apapun juga keputusan Bastian akan diterimanya.
Dia menunggu. Telepon genggamnya tergeletak disamping bantal. Dia menunggu
Bastian meneleponnya, memberinya keputusan. Bahkan keputusan yang paling pahit sekalipun akan diterimanya.
Dengan perasaan tabah. Setabah ketika ibunya mengatakan kenyataan yang
sesungguhnya bahwa dirinya bukan anak kandung ayah dan ibu yang selama ini
sudah menjadi orangtuanya.
Dua jam kemudian Bastian
meneleponnya. Ketika Isti masih terjaga dengan airmata yang masih mengalir
dipipinya dan mata yang seakan tak berkedip menatap langit-langit kamar dengan
perasaan galau yang bercampur baur dengan kesedihan dan kebingungannya.
Suara Bastian tidak
berubah. Tenang seperti biasanya.
“Isti, sayang. Aku akan
tetap melamarmu. Tidak akan ada yang berubah dariku kepadamu. Aku mencintaimu.
Cinta itu sudah cukup buatku untuk melangkah bersamamu….” Ucap Bastian.
Isti memejamkan matanya
mendengarkan setiap kata yang terucap dari mulut Bastian.
“Isti, tadi aku sudah
menelepon ibu, menceritakan semua ini.” Ucap Bastian lagi. “Ibu menyerahkan
semua keputusan kepada aku karena aku yang akan menjalani perkawinan ini. Ibu
tidak mempermasalahkan hal itu. Ibu tetap menganggapmu sebagai puteri kedua
orangtuamu.”
Isti hanya menangis
mendengar ucapan Bastian. Namun hatinya menjadi tegar. Tak ada lagi keraguan
dihatinya untuk melangkah menuju kehidupan perkawinan yang sudah lama
didambakannya.
Dia tidak ingin mencari
tahu siapa orangtua kandungnya. Selama hidupnya dia sudah bersama-sama dengan
keluarganya yang sekarang. Ayah, ibu, Winda dan Aldi adalah keluarganya yang
sesungguhnya. Dia tidak ingin mencari tahu lembaran masa silam yang tidak
pernah diketahuinya.
Kasih sayangnya selama ini
kepada ayah dan ibunya adalah murni kasih sayang seorang anak kepada
orangtuanya seperti halnya kasih sayang yang tulus yang dirasakan yang
diberikan ayah dan ibunya selama ini,
semenjak kecil hingga diusianya sekarang ini. Kasih sayangnya kepada Winda dan
Aldi adalah kasih sayang yang murni dan tulus dari seorang kakak kepada
adik-adiknya seperti halnya dia pun dapat merasakan kasih sayang yang tulus
juga dari Winda dan Aldi.
Ayah, ibu, Winda dan Aldi
adalah bagian dari hidupnya. Ayah, ibu, dirinya, Winda dan Aldi sudah terikat
dalam sebuah tali kasih sayang yang tak akan terputuskan lagi. Mereka sudah
bersama dan bersatu dalam ikatan sebuah keluarga untuk waktu yang sangat lama.
Hanya kematian yang akhirnya memisahkan dirinya, ibunya, Winda dan Aldi dengan
ayahnya. Mungkin begitu pula bila kelak dirinya, ibunya, Winda dan Aldi harus
berpisah, hanya kematian yang akan memisahkan mereka namun tidak akan bisa
menghapuskan kasih sayang dan ketulusan cinta mereka sampai kapanpun.
Malam itu Isti menemui
ibunya kekamarnya. Ibunya tengah duduk termenung diatas kursi rodanya. Wajahnya
begitu sendu, menyimpan kesedihan dalam hatinya. Jendela kamarnya terbuka.
Angin malam berhembus masuk, menyibakkan gorden kamar.
Isti menutup jendela kamar.
Dia bersimpuh dipangkuan ibunya. Ibunya menunduk. Tangan ibunya yang keriput
mengelus kepalanya. Tak ada kata-kata yang terucap. Keduanya membisu sambil
bertangisan. Namun pelukan hangat Isti dan ibunya sudah mengungkapkan
segalanya. Tak ada yang berubah diantara mereka. Mereka tetap anak dan ibu yang
sesungguhnya. Untuk selamanya.
Esok paginya perasaan Isti
terasa lebih lapang. Hidup menuntut ketabahan dan kesabaran hati. Sebelum
berangkat bekerja Isti menyempatkan dulu melihat-lihat keadaan rumahnya dibagian
depan, samping dan belakang. Sudah cukup lama dia memperhatikan beberapa bagian
rumah yang sudah semakin keropos dan
berniat akan memperbaikinya sebelum keadaan rumah semakin rusak dan akan lebih
besar lagi membutuhkan biaya untuk memperbaikinya.
Rumah ini adalah
peninggalan ayahnya yang harus dirawat dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Uang tabungannya sudah mencukupi untuk
melakukan perbaikan pada beberapa bagian rumah.
Sudah saatnya dia memperbaiki rumahnya menjelang hari perkawinannya. Besok dia akan memanggil tukang untuk memperbaiki
bagian-bagian rumah yang harus diperbaiki.
--- 0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar