Minggu, 12 Mei 2013

Isti





“Isti, kalau nanti pulang  sekalian mampir kerumah ibu Amri, ya, mengantarkan  barang-barang pesanan Bu Amri  kerumahnya. Syaiful tadi sudah minta ijin pulang duluan. Rupanya ibunya sakit lagi. Dia akan membawa ibunya ke dokter.” Kata Ibu Hesti sambil  menunjukan dua kantong plastik besar disudut belakang toko.
“Ya, bu.” Sahut Isti. Dia tengah sibuk menghitung uang dan memilah-milah uang kertas dan uang recehan. Lalu disusunnya  didalam laci. Sekarang sudah senin lagi. Tiap hari senin ibu Amri rutin menelepon toko memesan sejumlah barang dan tiap senin pula  Syaiful bertugas  mengantarkan belanjaan pesanan kerumah ibu Amri.
Hari ini dia lebih sibuk dari hari kemarin. Banyak pembeli yang datang berbelanja. Isti memeriksa barang-barang yang pada rak. Dia tadi sudah menyuruh Syaiful untuk mengambil beberapa macam persediaan barang digudang dan mengisi rak-rak yang kosong.
Sudah beberapa waktu lamanya pembeli ke toko kelontong ini semakin berkurang. Berdirinya sebuah supermarket yang besar dan megah yang menyediakan segala macam kebutuhan lebih lengkap, beberapa kilo meter dari tempat mereka,  membuat beberapa toko kecil sepi pembeli. Toko-toko kelontong kecil kehilangan langganannya. Pembeli lebih suka pergi ke supermarket  menikmati beragam barang yang lebih lengkap dengan suasana didalamnya yang jauh lebih nyaman, sejuk dan bersih. Toko kelontong ibu Amri yang merupakan satu-satunya toko kelontong yang ada diwilayah ini, juga terkena dampaknya dengan  keberadaan supermarket itu.
“Langganan toko kita semakin  berkurang saja dari hari ke hari.” Kata ibu Hesti beberapa waktu lalu, tidak lama setelah keberadaan supermarket itu dan ibu Hesti mulai menyadari jumlah pembeli dari hari ke hari semakin berkurang. Langganan-langganan toko pun mulai beralih belanja ke supermarket itu.
“Tapi saya yakin, tidak akan semua pelanggan meninggalkan toko ini, bu.” Ucap Isti. “Pasti masih banyak penduduk disekitar sini yang akan datang kemari  untuk membeli kebutuhan-kebutuhan mereka sehari-hari. Saya tidak khawatir, bu. Untuk pergi ke supermarket, mereka harus menempuh jarak yang lebih jauh. Sementara toko ini adalah satu-satunya toko yang ada diwilayah ini.”
Ibu Hesti tersenyum sambil mengangguk mendengar ucapan Isti. “Ya, mungkin kau benar, Isti. Ibu juga sebenarnya tidak terlalu khawatir. Hanya saja ibu mengungkapkan perasaan ibu dengan  langganan-langganan  kita yang mulai jarang belanja ditoko ini lagi. Yah, rejeki sudah ada yang mengaturnya. Ibu juga tidak khawatir dengan soal itu.”
Isti bukan sekedar membesarkan dan menghibur perasaan ibu Hesti. Namun keyakinan hatinya pasti masih banyak orang terutama penduduk disekitar tempat ini yang masih membutuhkan keberadaan toko kelontong  seperti milik ibu Hesti ini. Apalagi toko kelontong ibu Hesti hanya satu-satunya toko kelontong yang ada disana.
Wilayah tempat tinggal mereka yang berada dipinggiran kota, disisi kiri kanan jalan masih didominasi dengan pesawahan dan ladang. Jalan aspal yang panjang dan mulus belum banyak menarik orang untuk membangun rumah dan tempat usaha diwilayah ini. Namun suasana sepi dan tenang seperti ini yang disukai Isti. Jumlah penduduknya masih terbatas. Antara rumah yang satu dengan rumah yang lain masih memiliki jarak. Tidak berdempetan seperti rumah-rumah dikota.  Denyut kehidupan tidak sesibuk seperti diperkotaan. Dan yang lebih penting lagi, setiap hari Isti bisa menghirup udara segar sepuasnya. Dia bisa merasakan betapa indahnya panorama disekitarnya, panorama alam yang masih murni, belum banyak tersentuh oleh tangan-tangan manusia.
Isti mencintai Ganeas yang tenang. Udaranya sejuk dan segar. Tanahnya  menyerupai perbukitan. Isti betah  tinggal ditempat kelahirannya. Dan dia mencintai tempat tinggalnya yang berada  diwilayah pinggiran kota. Tak pernah ada kejadian istimewa yang dialaminya selama dia lahir dan besar disini.  Segalanya berjalan biasa-biasa saja. Dia menikmati semua itu. Dulu ayahnya membangun rumah diwilayah ini karena ayah menyukai suasananya yang sejuk. Terletak diperbukitan dengan hawa udaranya yang masih segar. Ayah membeli sebidang tanah dan membangun sebuah rumah yang cukup nyaman untuk mereka  tempati sekeluarga. Isti betah tinggal disana. Dan dia juga betah karena tempatnya bekerja  tidak terlalu jauh dari rumahnya.
Di toko kelontong ibu Hesti dia sudah bekerja hampir dua tahun. Dia menyenangi dan menikmati pekerjaannya walaupun semula bekerja di toko bukanlah cita-citanya.  Namun ketika sudah dijalani, dia menemukan bahwa bekerja tidak selalu harus sesuai dengan ijazah yang dimilikinya. Di toko kelontong ini dia belajar banyak hal yang semula tidak pernah dipelajari dan diketahuinya.
Ketika supermarket dan beberapa minimarket mulai  berdiri beberapa kilo meter dari tempat mereka, dan melihat antusias warga mulai tersedot untuk berbelanja disana, Isti tidak ingin kehilangan banyak  langganan. Untuk membuat suasana baru didalam toko itu,  Isti mengusulkan pada ibu Hesti agar penataan barang-barang yang ada pada toko kelontong dirubah mengikuti perkembangan keinginan konsumen yang ingin melayani sendiri bila berbelanja ke toko kelontong sehingga menyerupai sebuah minimarket. Pembeli lebih santai dalam berbelanja dan memilih sendiri barang-barang yang akan mereka beli pada rak-rak yang ditata sedemikian rupa. Suasana belanja yang begitu lebih disukai oleh konsumen.  
Ibu Hesti setuju dengan usulnya. Mereka berembuk dan membuat rencana. Dibutuhkan rak-rak baru untuk menyimpan beragam barang sesuai dengan konsep yang diusulkan Isti. Ibu Hesti memesan rak-rak itu pada seorang tukang langganannya. Pesanan bisa dipesan lebih cepat. Dan tukang bekerja dengan cepat memenuhi pesanan ibu Hesti. Sementara Isti ikut mengatur letak beragam  barang dagangan sehingga  pengunjung toko  merasa nyaman berbelanja dan mendapatkan barang-barang yang dibutuhkannya dengan mudah. Dia tahu, kenyamanan ditoko merupakan salah satu daya tarik sehingga pembeli mau datang terus berbelanja ke toko kelontong itu. 
Empat  bulan kemudian, toko kelontong milik ibu Hesti sudah berubah. Menyerupai sebuah swalayan. Bahkan kini barang-barang yang dijual lebih beragam. Ditoko kelontong itu disediakan juga sayuran dan buah-buahan segar. Pada dinding kaca depan, Isti mengusulkan agar ditulis nama toko kelontong itu dengan hurup besar dan mencolok agar bisa terbaca oleh orang-orang yang lewat didepan toko itu. Ibu Hesti setuju.
Mereka memilih nama apa yang tepat untuk nama toko kelontong itu. Akhirnya Isti mengusulkan untuk memberi nama toko “Hesti”. Ditulis dengan cat merah dengan hurup-hurup besar yang bisa dibaca setiap orang yang lewat didepan toko itu dan pengunjung begitu masuk kehalaman toko itu. Diteras depan, disudut kiri dan kanan, Isti sengaja menaruh beberapa buah pot besar berisi suplir yang hijau dan rimbun.  Pot-pot suplir itu memberikan sentuhan sejuk dan teduh pada toko.
Isti ikut merasa senang dengan perubahan pada toko kelontong milik ibu Hesti. Ibu Hesti juga senang. Dia memuji Isti sangat kreatif. Ibu Hesti tidak memiliki anak. Dia hidup sendirian. Setelah suaminya meninggal lima tahun lalu, ibu Hesti hanya sendirian mengurus toko kelontongnya. Hingga kemudian Isti menjadi salah seorang pegawainya. Dan Isti merasa senang bisa bekerja pada wanita itu dan sesekali menemaninya bila ibu Hesti menginginkan dia menemaninya, hanya sekedar duduk-duduk beristirahat melepas lelah setelah bekerja seharian sambil minum secangkir kopi dan beberapa potong kue sambil bercakap-cakap.
Di toko kelontong itu, Isti bukan hanya  bertugas sebagai kasir, yang sesekali bergantian dengan ibu Hesti, namun dia juga mengurusi banyak hal. Mengecek kebersihan toko, mengurus barang-barang yang masuk, mengecek persediaan barang digudang, juga memeriksa barang-barang yang paling laku terjual sehingga bisa menambah pesanan jumlah barang itu. Isti yakin, keberadaan toko kelontong ibu Hesti masih tetap dibutuhkan warga ditengah persaingan usaha dengan berdirinya  supermarket besar yang jauh lebih lengkap.
Ketika sudah selesai dengan urusan menata toko, untuk menjaga agar pembeli menjadi langganan tetap toko mereka dan menarik pembeli lain menjadi langganan,  Isti kembali mengusulkan pada ibu Hesti agar toko mereka  menyediakan juga jasa layanan antar pesanan. Kembali ibu Hesti setuju dengan saran Isti.
Saran Isti setelah dijalankan  cukup membuahkan hasil. Beberapa pelanggan senang memesan barang dan menunggu pesanan diantar kerumah. Tentu saja hal ini membuat isti lebih repot karena tugasnya menjadi bertambah. Kini dia juga yang bertugas harus  melayani  pesanan barang dari pelanggan, yang datang secara langsung ke toko atau melalui telepon, dan kemudian dia  juga yang mengecek barang yang harus dan sudah siap diantar pada pelanggan.
Untuk urusan mengantar barang ke pelanggan, dia dan Syaiful bertugas bergantian. Bila Syaiful tengah melakukan pekerjaan lain, dia yang pergi kerumah pelanggan, dan ibu Hesti yang menjaga toko. Namun bila Syaiful tidak sedang melakukan pekerjaan, biasanya Syaiful yang pergi mengantarkan barang. Walaupun sibuk dan melelahkan namun Isti  senang bekerja ditoko kelontong ini. Dia juga senang karena  toko tempatnya bekerja  itu menunjukan perkembangan yang bagus dibandingkan awal dia bekerja di toko itu. 
Bu Hesti sangat senang pada Isti yang sudah sangat banyak membantunya. Untuk membantu kelancaran pekerjaan, sebuah mobil pick-up tua peninggalan almarhum suami ibu Hesti dijadikan sebagai kendaraan untuk mengantar pesanan. Untuk urusan menyetir, Isti sangat berterima kasih kepada ayahnya yang semasa masih hidup telah mengajarkan Isti agar bisa menyetir mobil. Kini Isti bisa merasakan manfaatnya. Dia cukup lincah mengemudikan mobil pick-up tua itu untuk mengantarkan barang-barang pesanan kerumah pelanggan-pelanggan toko ibu Hesti. 
Isti menutup buku catatan penerimaan dan pengeluaran barang. Dilihatnya jam tangannya. Sudah pukul lima. Sudah waktunya toko tutup. Toko buka dari hari senin sampai sabtu. Hari minggu tutup. Tiap pukul lima toko tutup. Buka lagi  besok  pagi pukul delapan.
“Bu, saya pulang.” Kata Isti pada ibu Hesti yang sedang memeriksa  bon-bon pengiriman barang.
“Ya.” Ibu Hesti mengangkat wajahnya. “Jangan lupa kerumah ibu Amri.” Ibu Hesti mengingatkan.
“Ya, bu. Mobil saya bawa pulang, bu.”
“Ya.”
Rumah Bu Amri tidak terlalu jauh dari toko. Selama ini Bu Amri adalah langganan tetap toko ibu Hesti. Seminggu sekali setiap hari senin pagi Bu Amri selalu memesan barang-barang yang dibutuhkannya lewat telepon. Wanita itu sangat senang ketika beberapa waktu lalu Isti mempromosikan bahwa toko kelontong menerima pesanan barang yang dikirim kerumah. Ibu Amri  menjadi langganan  pertama yang mendaftar. Dan selanjutnya seminggu sekali setiap hari senin ibu Amri rutin menelepon toko kelontong ibu Hesti memesan sejumlah barang yang dibutuhkannya untuk selama seminggu.
Isti memasukan mobil pick-up kehalaman rumah. Dia mengambil dua kantong belanjaan, lalu melangkah menuju teras. Rumah terasa sunyi dan sepi. Isti tahu, ibu Amri hanya tinggal bersama dengan seorang pembantunya. Isti memijit bel yang menempel pada dinding dekat pintu. Tak lama pintu terbuka. Seorang wanita separuh baya yang membukakan pintu.
Isti tersenyum menatap wanita itu. “Bu, saya mengantarkan pesanan ibu.” Kata Isti.
“Oh, Isti. Terima kasih. Kemana Syaiful? Biasanya dia yang suka mengantar pesanan ibu.” Sambut ibu Amri ketika melihat kedatangan Asti dengan dua kantong besar ditangannya.
“Syaiful sudah pulang. Ibunya sakit.” Sahut Isti. Dia menyerahkan kedua kantong plastik itu pada bu Amri. 
“Masuk dulu, Isti.”
“Terima kasih, bu. Sudah sore.” Sahut Isti. Dia melihat hujan mulai turun.
“Oh  hujan.” Cetus bu Amri. “Kau bawa payung?” Ibu Amri melihat mobil pick-up dihalaman.
“Saya bawa mobil dibawa pulang, bu.” Sahut Isti.
“Kapan-kapan mampir lagi kemari, ya.” Ucap Ibu Amri. “Bukan mengantar barang pesanan ibu, sesekali main kemari. Ibu senang bila punya teman ngobrol.”
“Ya, bu.” Isti tersenyum.
Ibu Amri tinggal dirumahnya yang cukup besar dengan halaman yang luas itu hanya ditemani oleh seorang pembantunya.  Dia sudah lama menjanda. Suaminya sudah lama meninggal. Kelima anaknya sudah tidak lagi tinggal bersamanya. Satu persatu melanjutkan sekolahnya diperguruan tinggi dikota lain, lalu ada yang menikah dan bekerja dikota lain. Isti bisa merasakan  kesepian yang dirasakan ibu Amri. Tinggal disebuah rumah yang besar dan hanya ditemani seorang pembantu pasti membuat ibu Amri sering merasa kesepian. Apalagi bila dia tengah rindu pada anak cucunya yang datang hanya sesekali saja untuk menjenguknya.
Tiba dirumahnya Isti melihat ibunya tengah menyiapkan masakan untuk makan malam. Winda, adiknya belum pulang. Sementara Aldi, adik bungsunya tengah menonton televisi. Ada siaran sepak bola yang disiarkan langsung. Suara Aldi gembira berteriak-teriak ketika bola berhasil masuk gawang.
“Winda belum pulang?” Tanya Isti pada Aldi.
“Belum. Dia sekarang  punya pacar jadi  asyik pacaran.” Sahut Aldi tanpa menoleh pada kakaknya.
“Siapa pacar Winda?”
“Kakak kelasnya. Tidak tahu siapa namanya. Tapi aku sudah pernah lihat photonya didompet.” Aldi tertawa. Dia senang mengganggu dan menggoda Winda. Kakaknya suka marah bila merasa terganggu. 
“Mungkin hanya sekedar berteman.” Ibu menengahi pembicaraan Isti dan Aldi.
“Tapi dia sudah pantas punya pacar, bu. Dia sekarang sudah kelas satu SMA. Wajar bila dia punya teman khusus.” Isti tersenyum.
“Ibu ingin dia konsentrasi belajar dulu.”
“Tidak apa-apa belajar sambil pacaran. Siapa tahu dengan memiliki pacar akan memotivasi dirinya untuk lebih giat lagi belajar.”
“Lalu bagaimana dengan dirimu?” ibu tersenyum menatapnya.
Isti hanya tersenyum. Lalu masuk kedalam kamarnya. Dia dapat merasakan harapan dibalik pertanyaan ibunya. Ibunya sudah ingin melihatnya segera menikah. Memiliki suami dan keluarga sendiri. Usianya sekarang sudah dua puluh enam tahun. Dia sudah pantas untuk berumah tangga. Namun jodohnya belum juga menampakan diri.
Mungkin aku yang terlalu tertutup, pikir Isti. Mungkin aku yang tidak memberikan kesempatan kepada lelaki yang ingin mengenalku untuk mendekatiku dan menjalin hubungan denganku. Namun pikiran itu ditepisnya. Dia merasa selama ini sikapnya wajar saja dalam menghadapi siapapun.
Semenjak hubungannya dengan Andi berakhir tiga tahun lalu, dia tidak pernah menjalin lagi hubungan dengan lelaki manapun. Hubungannya dengan Andi yang berjalan selama dua tahun, yang dirajutnya dengan penuh harapan bahwa hubungan mereka akan berakhir dipelaminan, kandas ketika Andi berpaling pada perempuan lain. Enam bulan setelah hubungan mereka berakhir, Andi menikah dengan perempuan itu. Betapa sakit hatinya. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia mengenal cinta dan untuk pertama kali pula dia merasakan betapa sakitnya dikhianati dan ditinggalkan.
Hubungannya dengan Andi adalah lembaran masa lalunya yang sudah ingin dilupakannya. Namun goresan pahit itu masih dapat dirasakannya hingga kini. Namun Isti tidak mau dia patah hati. Putus cinta adalah hal biasa. Resiko dari sebuah hubungan.
Mungkin karena pikiranku masih konsentrasi mengurus keluargaku sepeninggal ayahku sehingga aku merasa tidak punya waktu untuk memikirkan diriku sendiri. Namun pikiran itupun ditepisnya. Ibunya selalu mengingatkannya bahwa dia sudah cukup umur untuk berumah tangga dan ibu tidak pernah membebaninya dengan kesulitan-kesulitan kehidupan mereka sehari-hari. Ibu selalu mengingatkannya bahwa hidup harus dijalani dengan sewajarnya karena Allah sudah mengatur setiap detik dari hidup mereka. Kesulitan-kesulitan hidup bukan untuk didramatisir seolah sebuah beban karena pada saat itu Allah pasti telah menyediakan banyak jalan untuk mengatasi setiap kesulitan yang mereka hadapi. Dalam kesulitan selalu ada kemudahan dan kelonggaran. Ibu benar. Isti meyakini hal itu.
Dengan uang pensiun ayahnya mereka bisa hidup sederhana. Tidak berlebihan, namun juga selalu berusaha agar tidak sampai kekurangan. Dengan berusaha merasa cukup, selama ini keluarga mereka cukup bahagia. Namun meskipun begitu,  dia memutuskan untuk bekerja dan memberikan nafkah tambahan dari gajinya untuk membiayai beragam kebutuhan mereka sehari-hari.
Sebagai anak sulung dia merasa memiliki tanggung jawab untuk menggantikan peran ayahnya dalam mencari nafkah setelah ayah meninggal dunia. Winda dan Aldi masih membutuhkan banyak biaya untuk sekolah mereka. Dia tidak merasa dengan bekerja dan berusaha membantu ibunya sebagai sebuah beban buat dirinya. Dia menikmati dan mensyukurinya bahwa dia masih bisa mencari nafkah untuk membantu keuangan ibunya.
Sumedang tetap menjadi bagian dalam kehidupannya. Dia tidak ingin pergi meninggalkan Sumedang untuk bekerja dikota lain walaupun sahabat-sahabatnya semasa sekolah di SMA tiap kali pulang ke Sumedang selalu berbagi cerita betapa menyenangkannya tinggal dikota lain. Hela  nyaman melanjutkan sekolah di perguruan tinggi di Bandung hingga akhirnya setelah lulus mendapatkan pekerjaan di Bandung dan setelah menikah ikut dengan suaminya ke Kalimantan. Dina masih sempat berbagi cerita bahwa dia mendapatkan pekerjaan di Jakarta atas bantuan teman ayahnya. Lalu Riska bercerita tentang kota Semarang dimana dia berkumpul lagi dengan ayah ibu dan adiknya. Sebelumnya Riska tinggal di Sumedang bersama dengan kakek dan neneknya.
Diantara mereka berempat, hanya dirinya yang tetap tinggal di Sumedang. Bukan dia tidak ingin pergi meninggalkan Sumedang dan mencari kehidupan lain di kota lain seperti ketiga sahabatnya semasa SMA namun akhirnya nasib juga yang membawanya pulang kembali ke Sumedang setelah dia menyelesaikan pendidikannya di diploma satu pada sebuah lembaga pendidikan sekretaris di Bandung.
Setelah lulus menyelesaikan diploma satu sekretaris, dia sibuk mencari pekerjaan kesana kemari. Setahun lebih dia berusaha mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan ijazah yang dimilikinya, ketika usahanya sia-sia, dia menemukan peluang bekerja ditoko kelontong  milik ibu Hesti, kenalan baik ibunya. Dia mengubur keinginannya untuk mendapatkan pekerjaan diluar kota yang sesuai dengan angan-angannya. Bekerja ditempat asalnya membuatnya lebih nyaman karena dia bisa tetap tinggal bersama dengan ibunya dan kedua adiknya.
Ganeas sebuah kecamatan sederhana. Terletak didaerah perbukitan dengan pohon-pohon besar dan  rimbun sepanjang jalan. Udaranya sejuk dan segar. Ganeas  tetap nyaman untuknya. Tidak pernah ada kejadian luar biasa diwilayahnya.   Segalanya berjalan biasa-biasa saja. Dia  merasa  betah tinggal disini. Bila sewaktu-waktu dia merasakan  ada kejenuhan dengan rutinitas yang dialaminya sehari-hari,  dia mengajak kedua adiknya jalan-jalan keliling kota, jajan dan membeli kebutuhan-kebutuhan kedua adiknya. Hanya itu caranya untuk menyenangkan dan menghibur kedua adiknya. Pulangnya, dia membawakan roti dan buah-buahan untuk ibunya yang selalu enggan meninggalkan rumah semenjak kedua kakinya menderita lumpuh.
Ayahnya  meninggal ketika dia masih duduk dibangku SMA kelas tiga, menjelang ujian akhir. Ayah meninggalkan sebuah rumah yang cukup nyaman untuk ditinggalinya bersama ibu dan kedua adiknya, Winda  dan Aldi. Rumah itu memiliki halaman yang cukup luas. Ada sebuah pohon beringin dihalamannya, yang ditanam ayahnya ketika rumah itu selesai dibangun. Ketika rumah itu dibangun, saat itu dia masih duduk dibangku sekolah dasar. Kini pohon beringin itu telah tumbuh tinggi dan rindang. Memberikan keteduhan dan kesejukan pada rumahnya.
Isti menyukai rumahnya. Dia menyukai bentuk rumahnya. Dia juga menyukai perabotan yang ditata oleh ayah dan ibunya. Semua yang ada didalam rumahnya disukainya dan memberinya kenangan indah ketika ayahnya masih ada  dan ibunya masih sehat, masih muda dan masih bisa berjalan. Kini ayahnya telah meninggal dunia, sebagai seorang pensiunan pegawai negerinya. Dua tahun lalu ibunya lumpuh. Sebagai anak sulung, Isti merasa berkewajiban untuk menggantikan peran ayah dan ibunya bagi Winda  dan Aldi.
Rumah peninggalan ayah masih tetap nyaman meskipun waktu akhirnya membuat beberapa bagian rumahnya mulai keropos dimakan usia. Isti menyukai model rumahnya, dengan atap yang tinggi dan tujuh buah lantai tangga menaiki teras depan rumah.  Ibu tidak pernah mempermasalahkan rumah mereka yang sudah semakin tua dan mulai keropos dimakan usia,  walaupun sesekali ibu membicarakan bagian-bagian rumah yang sudah harus diperbaiki.
Winda dan Aldi sama sekali tidak peduli dengan keadaan rumah. Mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Winda tengah menikmati masa remajanya. Dia aktif disekolahnya. Aldi tengah berangkat remaja. Dia mulai senang mengikuti kegiatan-kegiatan olahraga disekolahnya, basket dan yudo.  Sesekali dia juga aktif dengan kegiatan karang taruna.  
Hanya Isti yang selalu memperhatikan keadaan dan kondisi rumah. Isti ingin rumah peninggalan ayahnya tetap nyaman dan aman untuk ditinggali. Dia punya angan-angan sendiri apa yang ingin dilakukannya dengan rumah itu. Dia ingin merawat rumah peninggalan ayahnya itu dengan sebaik-baiknya. Tak ada jalan lain kecuali  menyisihkan sebagian gajinya setiap bulan, ditabung. Kelak, bila uangnya sudah cukup terkumpul, dia akan memperbaiki beberapa bagian rumah yang sudah harus diperbaiki. Dia ingin menjaga keaslian bentuk rumah itu dan tidak ingin mengubahnya menjadi lebih modern.
Isti tengah makan sendirian diruang makan ketika Winda pulang. Sejak tadi dia sudah cemas menunggu Winda pulang. Ibunya sudah beberapa kali menanyakan Winda.
“Darimana dulu, Win, jam segini baru pulang.” Isti melihat jam di dinding. Pukul tujuh.
“Aku ikut les, kak.” Ucap Winda. “Aku perlu ikut les tambahan. Bahasa Inggris dan matematika. Ada lembaga pendidikan baru tidak jauh dari sekolah. Banyak teman-temanku yang mendaftar jadi peserta. Aku juga ikut karena aku rasa aku perlu mendapatkan pelajaran tambahan.”
Winda duduk dihadapan Isti. Dia mengambil perkedel dan mengunyahnya. “Mbak, aku minta maaf tidak memberitahu mbak Is dulu mengenai hal  ini. Tiap kali mau bicara pada Mbak Isti soal ini, aku selalu lupa terus. Aku sudah seminggu mengikuti les ini. Menyenangkan juga karena banyak teman-temanku yang mengikuti les tambahan ini.  Pembayarannya nanti setiap setelah sebulan les mengikuti les.”
“Kalau kau pikir les tambahan itu memang kau perlukan, tidak apa-apa. Mbak Is mendukung kegiatan-kegiatan yang kau ikuti selama kegiatan-kegiatan itu positif dan berguna untukmu.” Ucap Isti. “Tapi lain kali bila engkau akan mengikuti kegiatan apapun yang memerlukan biaya, kau perlu memberitahu ibu atau mbak Is terlebih dahulu agar biayanya bisa kita pikirkan. Bagaimana bila ibu atau mbak Is sedang tidak punya uang sementara kegiatan yang sudah engkau ikuti tentu harus dibayar, kan?”
“Tapi mbak Is tidak marah aku sekarang ikut les tanpa memberitahu dulu pada ibu dan mbak Is?”
“Mengapa harus marah? Aku senang kau memiliki motivasi yang bagus untuk menambah ilmu pengetahuanmu. Soal uang pembayaran les kan masih sebulan lagi, mudah-mudahan uangnya ada pada saat kau harus membayarnya.”
“Terima kasih, mbak Is.” Winda bangkit, lalu masuk kekamarnya.
Isti meneruskan makannya. Kepalanya terasa pusing memikirkan biaya tambahan lagi bulan ini untuk membayar uang les. Sebenarnya didalam hati dia agak kesal pada Winda yang tidak membicarakan dulu hal ini dengannya. Namun bila diomeli, Winda akan berbalik menjadi marah. Isti  tidak ingin mempermasalahkan hal itu. Mungkin dia akan mengatur lagi biaya apa yang akan dikurangi agar uang les Winda dapat terbayar. Namun lain kali dia akan menegur Winda agar dia belajar memahami keadaan keluarga mereka.
Dia ingin Winda dewasa. Namun kedewasaan itu tidak akan bisa dipaksakan. Kedewasaan akan tumbuh dengan sendirinya dan berproses dengan pengalaman hidup. Isti tidak tega mengusik Winda pada saat-saat ini.
Hari-hari Winda tengah diisi dengan keceriaan masa remajanya yang indah dan penuh dengan dinamika. Isti memaklumi karena dia sendiripun  pernah mengalami masa-masa remaja, masa-masa yang penuh keceriaan dan canda tawa. Dan akhirnya proses kehidupan juga yang menuntunnya agar dia bisa bersikap dewasa. Terutama semenjak ayahnya meninggal dunia. Dia seakan tersadarkan dengan realita kehidupan. Ibunya yang lumpuh, Winda dan Aldi yang membutuhkan biaya untuk kelanjutan pendidikan mereka. Kebutuhan sehari-hari yang harus terpenuhi dan kehidupan pribadinya sendiri yang tetap menjadi bagian yang tetap dipikirkannya.

--- 0 ---

Diluar hujan turun gerimis. Seorang lelaki masuk kedalam toko. Didalam toko hanya ada tiga orang pengunjung yang sedang berkeliling-keliling mengambil barang pada rak-rak dengan keranjang ditangan. Isti memperhatikan ketika lelaki itu mendorong pintu kaca dan masuk kedalam toko. Isti sudah hapal pada lelaki itu.  Lelaki itu sering datang ke toko dan ketika membayar belanjaannya, sesekali lelaki itu mengajaknya ngobrol yang disambut Isti dengan sekedarnya saja. Lelaki itu selalu  belanja sendirian.
Lama-lama Isti kenal dengan lelaki itu karena sudah menjadi langganan toko. Namanya Iskandar. Usianya sekitar tigapuluh tahun.  Orangnya kalem.  Pernah beberapa waktu lalu ketika sore-sore Isti pulang kerja dan tengah berjalan pulang, mobil lelaki itu lewat dan dia menawarinya mengantar pulang. Isti tidak menolak. Sambil menyetir menuju rumah Isti, lelaki itu banyak bertanya. Dan Isti tidak keberatan menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Sejak saat itu Isti  merasa sudah kenal baik dengan Iskandar. Iskandar  mengaku bekerja pada instansi pemerintah. Isti percaya karena lelaki itu selalu memakai seragam. Iskandar bilang bahwa dia  tahu pada ayah Isti  yang pernah bekerja sebagai staf pada salah satu instansi.
Isti terkesan dengan kebaikan dan keramahan lelaki itu. Walaupun dia mencoba menjaga jarak ketika dia sudah mengetahui bahwa Iskandar sudah memiliki istri dan dua orang anak. Namun pendekatan lelaki itu yang cukup sering membuat Isti merasa bahwa lelaki itu menyukainya walaupun dia sendiri tidak ingin menyukai lelaki itu yang sudah jelas telah memiliki anak dan istri. 
Ibu Hesti juga rupanya memperhatikan Iskandar yang sering belanja ditokonya. Ibu Hesti merasa bahwa lelaki itu bukan sekedar belanja, namun juga karena ingin bertemu dengan Isti. Bila Iskandar tengah membayar belanjaannya dan mengajak Isti bercakap-cakap, ibu Hesti sering memperhatikan diam-diam.
Ibu Hesti memberi  peringatan pada Isi agar dia tidak terlalu dekat dengan Iskandar walaupun lelaki itu adalah pelanggan toko.
“Jaga jarak dengan lelaki itu,  Isti.” Kata ibu Hesti ketika toko tengah sepi dan Isti duduk membaca sebuah majalah. Saat itu Iskandar baru saja keluar dari toko.
“Ya, bu.” Sahut Isti. Dia melihat keluar. Mobil Iskandar tengah mundur, keluar dari halaman toko.
“Dia sudah punya istri dan anak.” Kata ibu Hesti lagi.
Isti tersenyum melihat perhatian ibu Hesti. “Ya, bu. Dia juga pernah cerita tentang keluarganya.”
“Istrinya suka ke toko buku diseberang toko kita itu. Apa mungkin istrinya sudah tahu dan merasa curiga suaminya sering belanja ke toko ini?”
Isti tidak bicara. Dia tidak merasa telah mengganggu suami orang jadi untuk apa dia berpikir yang tidak-tidak. Mungkin saja istri Iskandar sedang belanja ke toko buku itu dan sama sekali tidak tahu bahwa suaminya sering belanja ke toko kelontong ini. Namun dia memahami kecurigaan ibu Hesti yang mungkin semata-mata karena mengkhawatirkannya.
Keberadaan toko buku itu yang tepat berada diseberang toko kelontong ini cukup menyenangkan buat isti. Keberadaan toko buku itu memberi suasana baru disekitar tempat itu. Apalagi tidak lama kemudian disamping toko buku itu berdiri pula sebuah  cafe. Café ‘Melinda’. Café itu sering menjadi tempat berkumpul  anak muda disore hari dan malam hari karena ada musik karaoke.  Sesekali Isti suka masuk ke café itu. Mengobrol bersama Meta dan Hani, kedua temannya, sambil menikmati kopi hangat dan brownies buatan kafe. Meta dan Hani masih menganggur. Keduanya sangat ingin sekali bekerja seperti dirinya. Namun belum ada lowongan pekerjaan untuk mereka.    
“Nah, itu istrinya!” kata ibu Hesti tiba-tiba.
Isti melihat keluar. Seorang wanita baru keluar dari dalam toko buku diseberang jalan.
“Ibu lihat dia sering sekali ke toko buku itu. Dan bila pulang, sering dia berdiri lama-lama didepan toko buku itu sambil melihat kearah sini. Menatap lama-lama. Ibu merasa, dia sudah tahu suaminya sering belanja kesini dan ingin tahu padamu.”
Ucapan ibu Hesti sepertinya benar. Isti melihat wanita itu masih berdiri tegak didepan toko buku dan tengah menatap kearah toko. Seakan ada yang ingin diperhatikannya. Tatapan matanya seakan menembus dinding kaca toko yang bening.  
“Ibu tidak usah khawatir, saya tidak akan mengganggu suami orang.” Ucap Isti.
Ibu Hesti mengangguk. “Ibu percaya padamu.” Ibu Hesti masuk kedalam. Isti kembali sibuk dengan pekerjaannya. Dia tidak mau memikirkan hal itu.
“Bisa memesan barang diantar kerumah?” Sebuah suara menyapanya.
Isti mengangkat wajahnya. Perempuan yang tadi diseberang jalan itu. Istri Iskandar.
“Tentu, bisa.” Sahut Isti wajar. Dia mengambil buku catatan. “Dimana alamat rumah ibu? Ibu bisa memesan lewat telepon. Pembayaran bisa dibayar dimuka atau ketika barang diantar. Untuk barang yang dipesan, minimal sepuluh macam. Tidak ada tambahan biaya untuk ongkos kirim  barang.”
Perempuan itu menyebut alamat rumahnya. Matanya menatap Isti dalam. Isti dapat merasakannya, namun dia tidak mempedulikannya. Dia mencatat alamat perempuan itu.
“Nama ibu?”
“Dina.”
Isti menutup buku. Tersenyum menatap Dina. “Terima kasih sudah menjadi langganan toko kami. Semoga pelayanan yang diberikan toko kami memuaskan ibu.”
“Ya. Saya selama ini selalu repot untuk sekedar belanja beberapa macam kebutuhan.” Ucap Dina dengan suaranya yang halus. “Suami saya yang sering berbelanja kemari. Lalu saya mendengar bahwa toko ini menyediakan jasa pesanan barang diantar kerumah. Saya tertarik. Jasa itu akan lebih meringankan sehingga tidak perlu datang sendiri ke toko.”
“Terima kasih, semoga ibu puas kami pun puas.”
Ketika perempuan itu keluar dari dalam toko, Isti menghela napas dalam.
“Tolong dihitung, mbak?” sebuah teguran menyentakan Isti dari lamunannya.
Iskandar sudah selesai belanja. Dia menaruh keranjang belanjaannya diatas meja. Isti segera menekan mesin hitung mencatat belanjaan lelaki itu.
“Sibuk terus, ya.” Kata Iskandar.
Isti hanya tersenyum tanpa mengangkat wajahnya. Dia menyebut jumlah belanjaan yang harus dibayar lelaki itu. Iskandar menyerahkan uang. Isti memberikan kembalian.
“Aku punya dua karcis, mau nonton film denganku?” Tanya Iskandar.
Isti tersenyum. Berusaha tetap ramah. “Sudah lama saya tidak pernah nonton film di bioskop.”
“Tidak apa-apa. Tapi sayang juga bila karcis itu tidak digunakan.”
“Pak Is bisa mencari kawan lain.”
“Aku senang bila kau yang menemani.”
Isti hanya tersenyum. Dia  tidak ingin menanggapi. Seorang pembeli menghampirinya. Isti segera  melayani pembeli itu, menghitung belanjaannya. Iskandar menatap Isti, lalu keluar dari toko. Ketika Isti selesai melayani pembeli, dia melihat keluar. Iskandar masih ada didalam mobilnya, tengah memperhatikannya. Ketika melihat Isti menoleh padanya, Iskandar tersenyum dan memundurkan mobilnya. Sesaat kemudian mobil itu telah meninggalkan toko. Isti hanya menghela napas dalam.

--- 0 ---


“Kenapa kita tidak seperti yang lain, ya?” Tanya  Winda.
Diluar hujan turun dengan derasnya. Mereka berdua baru selesai makan malam  dan masih duduk menghadapi meja makan. Suara air hujan  begitu keras menimpa genting. Udara terasa dingin.
“Kenapa?” Tanya Isti. Dia menumpuk piring-piring kotor bekas makan.
“Kenapa kita tidak memiliki banyak uang sehingga aku bisa membeli barang-barang yang aku inginkan dan  aku juga bisa jalan-jalan ketempat-tempat yang aku sukai….”
“Kau membandingkan dirimu dengan siapa?” Tanya Isti.
“Aku tidak membandingkan diriku dengan siapapun. Namun aku melihat, alangkah menyenangkannya bila masih memiliki orangtua yang lengkap. Aku melihat mereka kelihatan  lebih bahagia, ada ayah disisi mereka.”
“Itulah bedanya.” Ucap Isti menatap adiknya. Dia tidak ingin Winda selalu mengeluhkan keadaan mereka dan membandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain.
“Mereka masih memiliki ayah sementara ayah kita sudah meninggal.” Kata Isti lagi. “Namun kenapa engkau harus menyesali hal ini? Bukankah kita pernah memiliki masa-masa yang manis dan indah ketika ayah masih ada dan menemani hari-hari kita. Engkau mencoba membandingkan dirimu dengan beberapa temanmu yang engkau nilai lebih bahagia darimu. Mereka bisa mendapatkan apapun yang mereka inginkan karena mereka masih memiliki ayah yang bisa mencari nafkah sementara kita sudah tidak memiliki ayah. Namun bukan berarti kita tidak bahagia, Winda. Kita memang sangat kehilangan ayah, namun kita masih memiliki ibu. Ibu yang mencintai kita dengan segala keterbatasannya. Ibu yang tetap mencurahkan kasih sayang dan perhatiannya kepada kita. Kita masih bisa bahagia walau sudah tidak ada lagi ayah disisi kita.”
Winda diam mendengar ucapan kakaknya.
“Aku memahami perasaanmu, Winda. Namun aku tidak ingin engkau cengeng dan mengeluhkan keadaan serta kondisimu yang pastinya berbeda dengan teman-temanmu yang kau jadikan sebagai perbandingan.”
“Maafkan aku, kak.” Ucap Winda pelan,  seakan baru disadarinya bahwa ucapannya telah memancing emosi kakaknya.
Isti berusaha tersenyum. “Aku tidak ingin engkau menyesali hidupmu, Winda. Aku ingin engkau tetap bersyukur dengan apapun yang diberikan Allah untuk mengisi hidupmu dan tidak menyesali apapun yang tidak diberikan Allah kepadamu. Jangan membandingkan dirimu dengan orang lain. Kebahagiaan mereka belum tentu akan membahagiakan kamu bila kamu memilikinya. Sebaliknya, kebahagiaan yang engkau miliki pastilah tidak sama dengan kebahagiaan mereka.”
“Ya, kak.” Winda mengangguk. Dia bangkit dan pergi keruang tengah, menonton siaran televisi. Winda selalu ingin menghindari perdebatan dengan kakaknya. Dia bisa merasakan bagaimana besarnya tanggungjawab Isti sebagai anak sulung.
Isti menghela napas panjang. Dia mengambil piring kotor kebelakang dan mencucinya. Dia memahami adiknya. Winda tengah beranjak remaja. Sebagai satu-satunya kakaknya, dirinya adalah tempat curahan hati Winda  bila Winda tengah menghadapi sesuatu. Dan dia tidak bisa mengelak dari tanggungjawabnya sebagai anak sulung. Bukan hanya kepada Winda, namun juga kepada Aldi, adiknya bungsunya yang sekarang sudah duduk dibangku SMP kelas dua. Namun menghadapi Winda baginya terasa jauh lebih berat bila  dibandingkan dengan menghadapi Aldi.
Diusianya yang masih remaja, Aldi bahkan jauh lebih dewasa dibandingkan dengan Winda. Aldi seakan memahami dengan kondisi keluarga mereka. Bahkan Aldi memahami bagaimana peran dan tanggungjawab Isti sebagai kakak sulung mereka. Namun Isti tidak bisa menyalahkan Winda bila dia lebih manja dibanding dengan Aldi. Isti masih bisa mengenang, bagaimana dekatnya Winda kepada ayahnya dahulu semasa ayah masih ada. Ketika ayah meninggal, Winda seakan shock. Dia seakan telah kehilangan figur yang selama ini begitu dekat dengannya, memperhatikan dan memanjakannya.

--- 0 ---

Isti memasukan mobil pick-up kehalaman rumah ibu Amri. Rumput hijau terasa basah ketika diinjak kakinya. Semalam hujan turun deras sekali. Sisa-sisa hujan semalam masih kelihatan pada rumput dan tanah yang masih basah. Isti  menurunkan tiga buah kantong plastik dari belakang mobil. Rumah ibu Amri terasa sepi. Isti menekan bel. Cukup lama dia menunggu hingga akhirnya pintu depan terbuka. Isti tertegun. Lelaki itu menatapnya, lalu melihat pada kantong plastik ditangannya.
“Maaf, saya mau bertemu ibu Amri.” Kata  Isti.
Dia agak heran, tidak biasanya ada orang lain dirumah ibu Amri yang membukakan pintu bila dia mengantarkan belanjaan kerumah ini. Selama ini tiap kali dia mengantarkan pesanan, selalu ibu Amri sendiri yang membukakan pintu.
“Oh, ibu sedang keluar. Silahkan masuk.” Ucap lelaki itu.
Postur tubuhnya tinggi berisi. Wajahnya kalem dan tampan. Penampilannya tenang. Isti merasa malu ketika bertemu pandang dengan lelaki itu. Dia tidak tahu siapa dia. Dan tidak bisa menduga dia siapa.
“Saya mengantarkan barang-barang pesanan ibu Amri.” Ucap Isti. Dia menyerahkan ketiga kantong plastik itu kepada lelaki itu.
“Oh, ya. Terima kasih. Berapa semuanya?” Lelaki itu menerima ketiga  kantong plastik besar dari Isti.
“Sudah dibayar, kok.”
“Oh, begitu. Terima kasih.”
“Permisi.” Ucap Isti.
Bergegas Isti  pergi. Dia merasa lelaki itu masih memperhatikannya. Cepat-cepat dimasukinya pick-up tua itu. Distarter. Tidak hidup. Sesaat Isti merasa bingung.  Sudah sering dia mengalami kejadian seperti ini, pick-up tua ini tidak hidup ketika distarter. Namun dia berharap kali ini janganlah pick-up tua itu mogok disini. Didepan rumah ibu Amri. Pada saat ada orang lain yang tengah mengawasinya. Isti merasa malu. Dia  tahu lelaki yang dirumah ibu Amri itu masih berdiri disana mengawasinya. Benar saja. Lelaki itu tengah berdiri memperhatikannya. Isti menarik napas dalam. Lelaki itu keluar dari rumah, melangkah dengan langkah ringan menghampirinya.
“Kenapa?” Tanya lelaki itu.
“Tidak tahu. Mogok.” Sahut Isti.
“Coba saya lihat.”
Isti keluar dari dalam mobil. Lelaki itu masuk kedalam mobil. Menstarter. Tidak hidup. Dia turun lagi. Membuka kap mobil. Memeriksa mesin. Lalu mengutak-atik mesin. Isti diam saja memperhatikannya. Lelaki itu masuk lagi kedalam mobil. Menstarter. Tak lama mobil hidup lagi.
“Nah, sekarang sudah hidup lagi.” Kata lelaki itu sambil tersenyum, menoleh pada Isti.
“Terima kasih.”
Isti masuk kedalam mobil. Dia melajukan mobilnya. Dari kaca spion dia mencoba melihat apa lelaki itu masih berdiri ditempatnya tadi. Sesaat Isti merasa kecewa. Lelaki itu telah masuk kedalam rumah. Rupanya dia tidak memperhatikan aku, pikir Isti. Siapa dia? Pikirnya lagi.  Apakah dia putera ibu Amri? Yang nomor berapa? Sepengetahuannya ibu Amri memiliki lima orang putera. Entah berapa jumlah anak lelakinya dan anak perempuannya. Isti tidak pernah mengecek soal itu karena dia merasa itu bukan urusan penting. Namun sekarang dia merasa tergelitik ingin tahu. Atau mungkin dia bukan salah satu putera ibu Amri, pikir Isti. Siapa tahu dia adalah salah seorang keponankannya yang tengah berkunjung, atau salah seorang keluarganya yang lain yang kebetulan tengah mampir kerumah ibu Amri. Mendadak Isti merasa malu sendiri. Siapapun dia, kenapa menjadi pikirannya? Mobilnya masuk kehalaman rumah. Dia melihat Winda tengah duduk sendirian diteras depan.
“Hai.” Sapa Isti pada adiknya.
“Hai.” Sahut Winda. Raut wajahnya kelihatan lesu.
Isti memperhatikan Winda. Dia melihat raut wajah Winda yang muram. “Kenapa?” Tanya Isti.
“Tidak apa-apa.”
“Ada masalah disekolah?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa seperti melamun?”
“Aku tidak melamun, aku hanya ingin duduk saja disini.”
Isti tidak bertanya lagi. Dia masuk dan menaruh kantong plastik yang dibawanya diatas meja. Dia melihat masakan masih mengepul panas diatas meja. Ibunya datang dengan kursi rodanya.
“Sudah makan, Is? Ibu memasak rendang  kesukaanmu.” Kata ibu.
“Terima kasih, bu.”
Perut Isti terasa lapar. Biasanya dia mandi dulu, baru makan. Namun kali ini perutnya terasa lapar sekali. Diambilnya piring. Lalu dia mengambil nasi dan mengambil rendang  kesukaannya. Walaupun dalam keadaan lumpuh, namun ibu tetap selalu memasak sendiri untuk mereka sekeluarga. Ibu tidak ingin keterbatasan geraknya saat ini  menjadi hambatan baginya untuk melakukan kegiatan yang paling disukainya semenjak dulu. Semasa ayah masih ada, ibu tak pernah sekalipun menyerahkan urusan memasak pada pembantu atau membeli masakan diwarung. Ibu selalu memasak sendiri. Hingga kini. Walaupun ibu sekarang lumpuh.
“Winda bilang dia ingin merayakan hari ulang tahunnya dan mengundang kawan-kawannya.” Kata ibu yang tetap duduk dikursi rodanya menemani Isti yang sedang makan.
“Kapan dia bilang begitu?”
“Tadi, ketika engkau belum pulang.”
Isti mengunyah makanannya. Ulang tahun. Dia baru ingat, dua minggu lagi Winda akan berulang tahun. Tahun-tahun lalu tidak pernah ada perayaan istimewa untuk menyambut hari ulangtahun Winda dan Winda sendiripun tidak pernah membicarakan soal hari ulangtahunnya. Hari itu terlewati begitu saja tanpa ada apapun. Namun kini kelihatannya berbeda. Winda menginginkan sesuatu yang istimewa untuk menyambut hari ulangtahunnya yang ketujuh belas tahun.
Isti menambah nasi. Perutnya memang terasa lapar. Namun sambil makan, pikirannya tertuju pada apa yang tengah dibicarakan ibunya. Untuk merayakan ulang tahun pasti membutuhkan biaya. Berapa orang kawan Winda yang akan diundang? Duapuluh? Tiga puluh? Empat puluh? Bila hanya mengundang empat puluh orang, mungkin tidak terlalu besar biaya yang dibutuhkan.
“Rayakan saja bila itu kemauannya.” Kata Isti.
Ibunya menatapnya. “Ibu pikir hanya membuang-buang uang saja.” Kata ibunya beberapa saat kemudian.
“Buat  perayaan ulang tahun yang sederhana saja.”
“Sesederhana apapun pasti tetap membutuhkan uang.”
Isti menatap ibunya. Dia memahami apa maksud ibunya. Namun disisi lain dia tidak ingin mengecewakan Winda. Dia tahu, Winda pasti sangat menginginkan ulangtahunnya sekarang lebih istimewa. Dirayakan. Sebagai kenangan seumur hidup karena ulangtahun ketujuhbelas memiliki arti yang sangat istimewa buat dirinya.
“Bu, aku tidak ingin mengecewakan perasaan Winda. Biarlah dia menikmati masa remajanya seindah mungkin.”
“Tapi, Is…..”
“Ibu tidak usah khawatir dengan biaya untuk mengadakan pesta kecil-kecilan. Saya masih memiliki cukup tabungan. Bila Winda hanya mengundang teman-temannya sekitar duapuluh orang, saya masih bisa membiayainya, bu.”
Ibu menghela napas dalam sambil memperhatikan anak sulungnya.
“Isti, kau terlalu memikirkan adik-adikmu sehingga engkau tidak memikirkan dirimu sendiri.” Ucap ibu dengan suara lirih.
Isti tersenyum. Dia mendorong piring, lalu mencuci tangannya. “Semuanya saya pikirkan, bu. Tidak ada yang lebih penting. Semuanya juga penting. Dan saya menjalani semuanya.”
“Isti, bila ayahmu masih ada,  alangkah bangganya ayahmu  memiliki seorang anak perempuan sepertimu. Kau bukan saja cantik, tapi engkau seorang anak yang berbakti, seorang kakak yang penuh kasih sayang dan penuh tanggung jawab. Kau sudah menggantikan peran ayah dan ibu. Ibu sungguh bangga kepadamu.”
Isti kembali tersenyum. Dia ingin perasaan ibunya tenang.  “Terima kasih, bu. Simpanlah kebanggaan ibu kepada saya itu didalam hati. Dan jadikanlah kebanggaan ibu kepada saya sebagai doa seorang ibu kepada anaknya.”
Ibu menatap anak sulungnya lalu mengangguk dengan mata basah.
Malam itu Isti menemui Winda dikamarnya. “Winda, berapa orang rencananya teman-temanmu yang akan diundang?”
Winda yang tengah tidur-tiduran ditempat tidur, menoleh dengan cepat pada kakaknya. “Apa, kak?” Dia bangun dan duduk ditepi tempat tidur.
“Ibu sudah cerita, kau ingin merayakan hari ulangtahunmu yang ketujuh belas. Kakak setuju. Hanya saja kakak harap dirayakan secara sederhana saja, ya.” Ujar Isti.
Winda seakan melonjak. Dia memeluk Isti. “Terima kasih, kak. Aku hanya mengundang teman-temanku sekitar empat puluh lima orang saja. Boleh, ya.”
“Empat puluh lima?”
“Ya. Mereka semuanya teman-teman sekelasku. Ada beberapa orang temanku yang tidak sekelas yang akan kuundang. Jadi mungkin sekitar limapuluh orang, kak.”
“Winda, kakak setuju kau merayakan ulangtahunmu dengan mengundang teman-temanmu. Namun kau harus memilih lagi mana teman-temanmu yang benar-benar dekat denganmu untuk kau undang. Limapuluh orang terlalu banyak. Semakin banyak yang engkau undang, semakin besar biaya yang dibutuhkan untuk menjamu teman-temanmu. Pilihlah  lagi mana yang akan engkau undang, jangan lebih dari  duapuluh orang.”
“Tapi aku  jadi tidak enak dengan yang lainnya bila hanya sebagian saja yang diundang dan sebagian lagi  tidak diundang.” Protes Winda.
Isti berpikir sesaat.  “Kalau begitu, hanya teman-teman sekelasmu saja yang diundang. Ini keputusan Mbak Is. Kau boleh memilih, bila kau ingin ulangtahunmu dirayakan, hanya mengundang duapuluh orang saja atau hanya teman-teman sekelasmu saja. Namun bila engkau ingin mengundang lebih banyak lagi teman-temanmu, berarti perayaan ulangtahunmu dibatalkan.”
Winda menatap kakaknya. Lalu mengangguk. “Ya, aku hanya akan mengundang teman-teman sekelasku saja.” Ucapnya.
 “Ya.” Ucap Isti. Dia menatap Winda. “Lalu apa lagi yang harus disiapkan untuk perayaan ulangtahunmu dua minggu lagi itu? Baju baru yang akan engkau kenakan nanti? Kue ulang tahun? Menu makanan? Apalagi?”
“Kakak yang mengatur semuanya itu. Aku sudah senang bila aku  bisa merayakan ulangtahunku dengan mengundang teman-temanku.” Sahut Winda. “Tapi untuk tempatnya, kurasa tidak perlu didalam rumah. Aku ingin semuanya duduk-duduk dihalaman. Mudah-mudahan tidak hujan. Aku akan memasang kursi dan meja dihalaman dan menatanya  agar suasananya berbeda dengan ulangtahunku yang ke Sembilan, untuk pertama kalinya hari ulangtahunku dirayakan dengan mengundang teman-teman sekelasku.  Waktu itu ayah masih ada……” Suara Winda mendadak serak.
Isti menatap adiknya. Perasaannya juga mendadak terharu. Yah, kapan terakhir kali mereka berkumpul bersama didalam rumah sambil merayakan ulangtahun salah seorang dikeluarga mereka? Winda benar, terakhir kali ayah mereka berkumpul bersama ketika Winda merayakan ulangtahunnya yang kesembilan.

--- 0 ----


“Isti, rasanya ibu tidak salah memperingatkanmu untuk menjaga jarak dengan lelaki itu.” Kata ibu Hesti.
Toko tengah sepi. Pengunjung terakhir baru saja keluar dari dalam toko dengan memborong buah-buahan.
“Apa, bu?” Isti mengangkat wajahnya dari mesin hitung. Dia menatap ibu Hesti yang berdiri didekatnya
“Iskandar. Ibu mendengar bahwa istrinya itu dulu pernah berselingkuh dengan lelaki lain.” Kata ibu Hesti. “Kejadian itu membuat perkawinan mereka pernah goncang akibat  perselingkuhan itu. Mereka tidak bercerai namun sejak kejadian itu Iskandar menjadi  berubah. Dia tidak percaya lagi pada istrinya. Dia sudah kehilanga kepercayaannya sebagai suami kepada istrinya karena dikhianati.  Bahkan dia  sengaja seakan ingin membalas sakit hati karena pernah dikhianati istrinya dengan cara yang sama, berselingkuh dengan perempuan lain…...”
Isti menghela napas dalam. Lalu dia tersenyum menatap ibu Hesti. “Bu, saya tidak akan mau berselingkuh dengan suami orang.”
“Ibu juga pasti akan berusaha mencegahmu bila  ada laki-laki yang akan mempermainkanmu.” Sahut ibu Hesti. “Jangan merugikan diri sendiri dengan melakukan perbuatan yang hanya akan membuat penyesalan seumur hidupmu. Ibu menilai engkau seorang gadis yang baik. Ibu ingin engkau mendapatkan suami yang baik dan bertanggung jawab. Bukan lelaki yang sekedar datang untuk singgah saja lalu meninggalkanmu begitu saja.”
“Terima kasih atas perhatian ibu pada saya.” Ucap Isti.
“Yah, ibu tahu engkau seorang gadis yang baik. Ibu tidak ingin engkau diganggu dan dipermainkan seorang laki-laki. Ibu berharap engkau mendapatkan jodoh seorang lelaki yang baik, Isti.”
“Ya, bu.” Sahut Isti. Mendadak dia teringat dengan rencananya sore itu. “Bu, boleh saya pinjam mobil, sore ini saya bawa untuk dipakai besok?” Besok hari minggu. Toko libur sehari.
“Mau kemana?”
“Minggu depan Winda akan berulang tahun. Besok saya  akan mengajak Winda membeli baju untuk ulangtahunnya nanti.”
“Boleh.” Sahut ibu Hesti. “Winda sekarang sudah gadis remaja, ya.?”
“Ya, bu.”
“Dia cantik sepertimu.”
“Terima kasih.”
“Nah, kau sudah harus segera menikah, nanti kesusul oleh adikmu.”
Isti hanya tersenyum.
Hari minggu Isti menjalankan mobil pick-up itu menuju kota. Jalanan yang panjang dan lurus terasa lengang. Sawah yang menghijau dikiri kanan jalan terasa menyejukan pandangan. Hujan turun gerimis. Winda duduk disampingnya dengan gembira. Isti senang melihat kegembiraan diwajah adiknya.
“Pilih baju yang bisa engkau pakai lagi setelah engkau pakai dipesta ulangtahunmu.” Kata Isti.
“Ya.” Winda menggangguk.
Ditoko kelima yang mereka kunjungi, barulah Winda menemukan gaun yang cocok dengan keinginannya untuk dikenakan dihari ulangtahunnya nanti. Sebuah gaun berwarna cokelat dengan renda pada bagian dadanya.
“Halo, Isti. Belanja, ya?”
 Sebuah sapaan menegurnya. Isti menoleh. Iskandar tersenyum. Tangannya dimasukan kedalam saku jaketnya.
“Iya, pak. Mengantar adik saya.” Sahut Isti.
Isti teringat pada cerita yang disampaikan ibu Hesti kepadanya mengenai lelaki itu dan perselingkuhan istrinya. Mendadak Isti ingin menghindar dari lelaki itu. Dia tidak ingin mencari masalah dengan suami orang. Terlalu sering dia mendengar cerita bagaimana sebuah perkawinan menjadi berantakan karena hadirnya orang ketiga dalam perkawinan mereka. Dan dia tidak ingin menjadi orang ketiga dalam perkawinan orang lain.
“Ini adikmu, ya?” Iskandar menoleh menatap Winda. Tersenyum pada gadis cantik dengan rambut sebahu yang bergelombang.  “Siapa namanya?”
“Winda.” Sahut Winda sambil menerima uluran tangan lelaki itu.
“Senang bertemu kau disini.” Ucap Iskandar, menoleh lagi pada Isti. “Belanja apa?”
Iskandar melihat pada kantong belanjaan ditangan Winda.
“Adikku akan berulang tahun minggu depan……” sahut Isti. “Aku mencarikannya baju yang akan dikenakannya nanti…..”
“Minggu depan? Ulang tahun yang keberapa, non?”
“Tujuh belas.”
“Hei, kau sudah mau tujuh belas tahun? Kukira kau masih anak SMP.” Iskandar tertawa. “Bila aku diundang, aku pasti akan datang…”
“Hanya teman-teman sekelas yang diundang.” Sahut Winda. “Tapi kalau Oom  mau datang, tentu saja aku senang.” Winda menoleh sesaat pada Isti, apakah kakakknya keberatan dia menyebut ‘oom’ pada Iskandar. Namun Isti rupanya tidak mendengarkan itu.
“Iya,  nanti aku  akan datang kerumahmu.” Kata Iskandar.
Isti dan Winda bertukar pandang. Isti sepertinya keberatan bila Winda mengundang lelaki itu. Namun dia tidak bicara apa-apa. Sudah terlanjur Winda mengundang Iskandar.
“Terima kasih.”  Winda  tersenyum.
“Minum dulu, yuk.” Ajak Iskandar.
Isti tersenyum. Dia berusaha menjaga sikapnya agar tetap sopan. “Terima kasih, pak Is. Kami sedang buru-buru. Lagi pulang sebenar lagi hujan sepertinya akan turun. Mari.” Bergegas Isti menarik tangan Winda. Winda mengikutinya dengan heran.
“Kenapa? Lelaki itu kelihatan baik dan ramah.”
Isti menghela napas dalam. “Dia langganan toko. Tapi tidak baik menerima ajakan lelaki yang sudah beristri walaupun hanya sekedar minum. Bila dilihat oleh orang lain akan menimbulkan gossip dan sangkaan yang bukan-bukan.” Ucap Isti.
Winda tersenyum. “Kak Isti terlalu hati-hati dalam menghadapi lelaki.” Cetusnya.
Isti tidak menjawab. Dia melajukan mobil pick-up menembus jalanan yang padat dengan kendaraan.  
“Kenapa mbak Isti belum menikah juga?”
“Jodohku belum datang.”
“Bagaimana jodoh mbak Isti akan datang bila sikap kak Isti selalu dingin dalam menghadapi lelaki?”
Isti menoleh sekilas pada adiknya. “Menurutmu kakak dingin pada lelaki?”
Winda tertawa pelan. “Yah, aku menilai begitu. Mbak Is  sangat berbeda dengan mbak  Melly yang selalu terbuka dan akrab dengan semua lelaki. Padahal dalam soal kecantikan dan penampilan, mbak  Isti jauh lebih cantik dan lebih menarik bila dibandingkan dengan mbak  Melly.”
Melly, tetangga mereka. Usianya hanya terpaut dua tahun dibawah Isti. Gadis cantik itu banyak sekali teman prianya. Sering berganti-ganti. Namun Isti tidak tertarik mengikuti cara Melly. Pergaulannya kelihatannya terlalu bebas.
“Tidak baik membanding-bandingkan orang, mbak Isti  dengan mbak  Melly jelas berbeda.”
“Tapi sikap mbak  Melly yang terbuka dan akrab dengan semua lelaki justru membuat lelaki merasa senang dan lebih mudah dalam mendekati mbak Melly. Tapi kalau mendekati mbak  Is, sepertinya laki-laki merasa segan karena sikap mbak  Isti yang dingin.”
Isti hanya tersenyum. “Itu kan hanya penilaian dan pandanganmu saja.” Ujarnya. “Sebetulnya mbak  Is tidak seperti dugaanmu. Mungkin jodoh mbak  Is saja yang belum datang hingga engkau menilai begitu. Nanti juga jodoh mbak is  pasti akan datang.”
“Yah, mudah-mudahan saja. Aku senang bila mbak Is segera menikah dan punya suami yang baik.”
“Doakan, ya.”
“Tentu.”
Isti dan Winda bertukar pandang dan sama-sama tersenyum. Mobil pick-up meluncur meninggalkan keramaian kota dan pulang menuju rumah. Hujan turun dengan derasnya. Jalanan basah diguyur hujan.
“Sepertinya aku harus membatalkan keinginanku yang ingin merayakan ulangtahunku dihalaman.” Kata Winda sambil memperhatikan hujan diluar yang begitu deras.
Fantasinya seakan nyata, alangkah menyenangkannya merayakan ulangtahunnya dihalaman rumah yang ditata sedemikian rupa dengan kursi-kursi  dan meja-meja yang diatasnya ditaruh beragam makanan. Namun keadaan cuaca sepertinya tidak mendukungnya untuk mewujudkan fantasinya.
“Ya.” Sahut Isti. “Tidak mungkin melaksanakan perayaan ulangtahun diluar dimusim hujan. Atur saja kursi dan meja didalam rumah agar suasananya seperti yang kau inginkan.”
Isti melihat café didepan toko kelontong ibu Hesti tidak penuh seperti biasanya. Café itu buka setiap hari. Toko kelontong ibu Hesti terlihat sepi. Tulisan ‘Tutup’ dibalik pintu kaca terbaca dengan jelas dari depan café itu.
“Minum, yuk.” Ajak Isti.
Café itu selain menyediakan beragam minuman, juga beragam roti dan kue. Tanpa menunggu jawaban Winda mobil pick-up membelok memasuki halaman café yang dipasangi paving block warna hijau dan merah.
“Aku pernah beberapa kali berkaraoke disini bersama Lenny dan Maya.” Kata Winda.
“Boleh, asal jangan  terlalu sering.” Ucap Isti.
Mereka masuk kedalam kafe. Isti dan Winda duduk didekat jendela.    Mereka memesan makanan dan minuman. Dari jendela kaca Isti melihat toko kelontong ibu Hesti  yang tutup. Musik mengalun merdu. Dari ruangan sebelah terdengar orang tengah berkaraoke. Pada saat itu seseorang masuk kedalam kafe. Isti tertegun. Lelaki yang dilihatnya dirumah ibu Amri. Keduanya bertemu pandang dan sama-sama tersenyum. Jantung Isti berdegup kencang.
“Halo, Isti. Apa kabar?” sapa lelaki itu.
“Baik.”
“Boleh duduk bersama disini bersama kalian?”
“Kenapa  tidak? Silahkan.” Isti memberi tempat pada lelaki itu. Dia menarik kursi yang berhadapan dengan Isti.
“Terima kasih sudah mengantar pesanan belanjaan ibuku  kemarin kerumah.” Kata lelaki itu.
Ibuku? Jadi lelaki ini putera ibu Amri? “Ibu Amri? Ibu Amri……ibumu?”
“Ya. Dengan adanya jasa pesan belanjaan dan dikirim kerumah, sangat membantu dan memberikan kemudahan buat yang sangat membutuhkan seperti ibuku. Ibu cerita, dengan adanya jasa layanan antar itu membuat ibu tidak usah repot-repot pergi keluar rumah untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari.” Lelaki itu tersenyum menatap Isti. “Kau  mungkin tidak pernah melihatku sebelumnya sehingga kau tidak tahu kepadaku.?”
“Ya.” Sahut Isti. “Aku bahkan  kenal dengan ibu Amri setelah aku bekerja ditoko ibu Hesti.”
“Kenapa kita tidak berkenalan?”
“Kau sudah tahu namaku, kan?”
“Ya. Ibuku yang bilang bahwa namamu Isti.” Lelaki itu tersenyum. “Namaku Bastian. Ini adikmu?” Bastian menoleh pada Winda yang tengah menikmati ice cream dan seakan tidak memperhatikan pembicaraan kakaknya dengan lelaki itu.
“Ya. Ayo Winda, kenalan dengan kak Bastian.”
Winda mengulurkan tangannya pada Bastian.
“Kalian habis pulang dari mana hujan-hujan begini?”
“Winda akan berulangtahun minggu depan. Aku habis mengantarnya membeli baju ulang tahunnya……”
“Ulang tahun keberapa?”
“Tujuh belas.” Sahut Winda, tersenyum malu-malu.
“Tujuh belas? Kukira kau masih empat belas tahun.” Gurau Bastian. “Aku diundang tidak?”
Sesaat Winda menoleh dulu pada Isti sebelum menjawab pertanyaan Bastian. “Kalau kak Bastian mau datang kerumah, aku pasti senang sekali…..” ucap Winda.
“Ya, aku nanti akan datang kerumahmu.” Bastian tersenyum pada Isti.
 Mereka makan dan minum sambil bercakap-cakap. Ketika hujan telah reda, Isti memutuskan untuk segera  pulang.
“Jangan lupa kerumahku nanti dihari ulangtahunku ya, kak.” Winda mengingatkan Bastian.
“Oke.” Bastian tersenyum dan melambaikan tangannya pada Isti dan Winda yang sudah masuk kedalam mobil pick-up. Sementara dia sendiri memasuki mobilnya sedan warna hijau.
“Kak Bastian sepertinya baik ya, kak.” Kata Winda memecah keheningan. Mobil pick-up meluncur menembus jalanan yang sepi.
“Ya.”
“Kak Bastian sepertinya menyukai kak Is.”
“Kami baru dua kali bertemu.”
“Dua kali pertemuan yang mengesankan. Aku berdoa, semoga kak Bastian menyukai mbak  Isti.”
Isti hanya tersenyum. Dari kaca spion dia melihat mobil Bastian melaju tidak jauh dibelakang mobil pick-up yang dikemudikannya. Isti kembali tersenyum. Beberapa waktu lamanya mobil mereka beriringan hingga akhirnya mobil Bastian berbelok memasuki halaman rumah ibu Amri. Isti berharap Bastian memenuhi ucapannya akan datang keperayaan ulangtahun Winda.

--- 0 ---


Pagi-pagi Dina menelepon memesan sejumlah barang. Isti yang menerima telepon dan mencatat pesanan perempuan itu. Isti memasukan barang-barang pesanan Dina namun dia  merasa enggan  bila dia yang harus mengantarkan belanjaan  pesanan Dina kerumahnya. Dia berpikir, bagaimana kalau Iskandar sedang  ada dirumahnya dan melihatnya datang mengantarkan belanjaan pesanan istrinya. Akhirnya Isti  menyuruh Syaiful yang mengantarkan barang-barang itu. Ketika Syaiful kembali, dia menghampiri Isti.
“Mbak, ibu pemilik rumah menanyakan mbak, kenapa bukan mbak yang mengantar barang kerumahnya?” ujar Syaiful.
“Kau jawab apa?” Tanya Isti sambil menghitung uang  dan merapikannya didalam laci.
“Aku bilang, aku yang bertugas mengantar barang keseluruh langganan. Mbak Isti sedang sibuk ditoko.”
Isti tersenyum. “Yah, kau benar. Jawab saja begitu. Lagi pula untuk apa harus mbak yang mengantarkan pesanan kerumahnya. Mbak kan sibuk disini melayani pembeli.”
Syaiful menatap Isti. “Ibu itu seperti penasaran ingin tahu banyak tentang mbak Isti. Dia nanya, apa mbak sudah punya suami?”
“Kau jawab aku.”
“Aku jawab, belum menikah.”
“Lalu?”
“Dia tidak bertanya apa-apa lagi.” Ucap Syaiful. “Kalau tidak salah, suami ibu itu yang sering belanja kemari, ya?”
“Kamu tahu?”
“Tahu, bapak itu kan langganan toko ini. Sering belanja kemari. Sendirian. Tapi mungkin sekarang setelah istrinya memesan barang diantar kerumah, suaminya tidak akan kemari lagi.”
Syaiful keliru. Iskandar masih tetap sering belanja ke toko walaupun hanya sekedar membeli sebungkus rokok. Namun Isti sudah tidak ada waktu lagi untuk melayani lelaki itu bila mengajaknya bercakap-cakap seusai dia belanja, sambil membayar belanjaannya. Beberapa kali Iskandar masih berusaha membujuk Isti mengajak nonton film, bercerita tentang bintang film kesayangannya. Namun Isti tidak tertarik dengan semua yang diucapkan Iskandar. Baginya, lelaki itu sungguh norak.

--- 0 ---


Isti mengetuk pintu. Sudah sering dia pergi kerumah ibu Amri mengantarkan pesanan barang namun kali ini terasa berbeda  dari biasanya. Dia merasa perasaannya berdebar.  Mungkin karena ada seseorang yang lain dirumah ibu Amri yang membuat perasaannya terasa berdebar. Dia menunggu sebentar. Tidak lama kemudian pintu depan dibuka. Dia tersenyum melihat Bastian membukakan pintu.
“Hai. Ayo masuk.” Sapa Bastian ramah.
“Saya mau mengantarkan pesanan ibu.” Ucap Isti.
Isti menyerahkan dua kantong plastik pada Bastian.
“Ibu ada dibelakang. Ayo masuk dulu.” Ajak Bastian. Dia membuka pintu lebih lebar lagi. Isti merasa tidak ada salahnya masuk dulu. Selama ini ibu Amri selalu mengajaknya untuk masuk dulu bila dia mengantarkan pesanan. Namun dia sekalu menolak dengan halus. Namun kali ini. Isti melangkah masuk.
“Siapa?” Ibu Amri keluar. Melihat Isti didekat pintu.  “Oh, Isti. Ayo masuk dulu.”
“Terima kasih, bu.”
Ibu Amri menoleh pada Bastian. “Ini putera bungsu ibu yang bekerja di Surabaya. Dia sedang cuti selama dua minggu dan ingin menemani ibu. Ayo kenalan dulu.”
“Sudah kenalan kok, bu.” Bastian menyahut sambil tersenyum.
“Oh, kapan kalian bertemu?”
“Tempo hari waktu ibu sedang keluar, Isti datang kemari mengantarkan pesanan."
“Oh, ya.” Ucap ibu Amri.
Sebelum bertemu dengan Bastian, Isti sudah dapat merasakan kebaikan ibu Amri kepadanya. Kini setelah dia berkenalan dengan puteranya, Isti merasa ibu Amri semakin baik kepadanya. Isti merasa malu sekaligus senang. Dia asyik mendengarkan ibu Amri yang berceloteh bercerita tentang kelima puteranya, juga tentang putera bungsunya. Banyak kegembiraan sekaligus kebanggaan didalam nada bicaranya.  Sementara Bastian hanya tersenyum mendengarkan celotehan ibunya.
“Jangan semuanya diceritakan pada Isti, bu. Saya jadi malu dan tidak punya lagi bahan untuk saya ceritakan pada Isti bila semuanya sudah ibu ceritakan pada Isti.” Bastian mengomentari ketika ibunya masih asyik berceloteh.
Ibu Amri tersenyum. “Kau tidak tahu, betapa bangganya ibu kepadamu, Bas.” Ibu Amri menoleh pada Isti. “Kelak bila kau sudah punya anak, apa yang kini ibu rasakan akan bisa engkau rasakan. Betapa bangga dan senangnya memiliki anak, Isti.”
Isti tersenyum mendengar ucapan ibu Amri.
Ketika akan pulang, Bastian menawarkan untuk mengantarkan Isti kerumahnya. Dalam hati Isti bersyukur, dia tidak membawa pick-up sehingga Bastian bisa mengantarkannya pulang. Isti merasa heran, belum pernah dia begitu cepat akrab dengan seorang lelaki yang baru dikenalnya. Bastian bercerita tentang pengalamannya selama bertugas di Surabaya.

--- 0 ---


Akhirnya tiba juga hari yang ditunggu itu. Hari minggu yang cerah. Semula Winda ingin merayakan ulangtahunnya dimalam hari. Namun Isti mencegahnya. Dia memutuskan bila Winda ingin merayakan ulangtahunnya, tetap harus dilaksanakan disiang hari. Akhirnya Winda mengikuti saran kakaknya. Dia tahu, maksud kakaknya baik. Bila ulangtahun dirayakan malam hari, kasihan teman-temannya yang rumahnya jauh.
Isti ikut merasakan kebahagiaan yang tengah dirasakan Winda. Kemarin  sore dia  mengambil kue ulangtahun yang dipesannya dari ibu Linda. Kue ulang tahun berwarna merah muda dan putih dengan lilin angka tujuh belas berwarna merah dan boneka bocah perempuan yang cantik.
Bastian datang ketika teman-teman Winda sudah mulai berdatangan dan memenuhi ruangan tamu dan ruangan tengah. Isti senang melihat kedatangan lelaki itu. Winda tersenyum girang ketika Bastian memberinya sebuah  kado dengan pita berwarna hijau yang melilit bungkus kado.
“Terima kasih datang ke ulangtahun adikku.” Kata Isti.
“Besok aku pulang kembali ke Surabaya.” Sahut Bastian. Dia menoleh menatap Isti.
Isti menatap Bastian. Dia  merasa berat mendengar lelaki itu akan pulang kembali ke Surabaya. Dua minggu rasanya terlalu singkat baginya.  Kehadiran lelaki itu telah memberikan sentuhan dalam perasaannya. Sesaat Isti termangu. Bastian menatapnya.
“Aku minta nomor ponselmu. Nanti aku akan meneleponmu.” Ucap Bastian.
“Ya.”
Isti menyerahkan nomor ponselnya pada Bastian. Mereka saling memberi  nomor telepon masing-masing.
 “Kau terlalu memikirkan adik-adikmu, Isti, sehingga engkau seakan mengesampingkan urusanmu sendiri.” Ucap Bastian. Dia menghadiri ulang tahun Winda. Besok pagi dia akan pulang.
Isti terdiam. Sudah sering dia mendengar ibunya mengucapkan kata-kata semacam itu kepadanya. Dan kini Bastian mengucapkan kalimat yang sama kepadanya. Benarkah dia terlalu memikirkan adik-adiknya sehingga tidak memikirkan urusannya sendiri.
“Aku memang memikirkan adik-adikku, memikirkan masa depan mereka, namun aku juga tetap memikirkan urusanku sendiri.”
“Kau kelihatan lebih memberikan prioritas untuk adik-adikmu daripada memikirkan urusanmu sendiri.” Tukas Bastian.
Isti menghela napas. “Kau mungkin benar, namun kau tidak bisa merasakan apa yang kurasakan. Tanggung jawab. Itu yang membuat aku mau tidak mau selalu memikirkan adik-adikku, memikirkan masa depan mereka, memikirkan pendidikan mereka, memikirkan masa depan mereka.” Ucapnya.
Isti  menatap Bastian. “Dan hal itu tidak akan kau rasakan karena engkau tidak memiliki adik. Kau hidup dalam keadaan yang berbeda dengan aku. Kau lahir sebagai anak  bungsu. Keempat kakakmu mungkin memperlakukan engkau seperti aku memperlakukan kedua adikku.”
Bastian terdiam. Dia menatap Isti.
“Isti, aku sangat bangga melihatmu. Yah, aku sangat bangga melihat tanggung jawab dan perhatian yang engkau berikan untuk kedua adikmu, untuk ibumu.”
Isti menunduk. “Hidupku mungkin terasa berat. Namun aku ikhlas menjalani semua ini. Aku ingin ayahku yang telah tiada merasa tenang, juga ibuku yang masih bisa menyaksikan kami bertiga merasa tenang bila melihat aku bisa mengantarkan adik-adikku hingga mereka bisa hidup mandiri.”
Bastian mengangguk. “Yah, aku faham dengan keadaanmu, Isti. Aku faham dan aku merasa bangga.” Ucapnya. “Besok aku pulang ke Surabaya. Aku akan menghubungimu. Nanti aku akan meneleponmu.”
“Ya.” Isti menatap Bastian. “Tidakkah disana sudah ada yang menunggumu?”
Bastian tersenyum. “Belum. Belum ada. Aku sudah menemukannya disini.” Kembali Bastian tersenyum.
Tiba-tiba Isti tertegun. Dia melihat Iskandar datang. Kelihatan tampil rapi dari biasanya. Iskandar berbicara pada Winda dan memberikan sesuatu, kado kecil. Winda kelihatan senang menerima pemberian kado itu. Sesaat kemudian Winda menoleh pada Isti, dan bersama dengan Iskandar menghampiri Isti. Isti  menyambut kedatangan lelaki itu. Iskandar melihat pada  Bastian yang tengah duduk didekat Isti.
“Terima kasih sudah datang kemari.” Kata Isti.
“Aku sudah janji akan datang pada Winda, jadi pasti datang.” Ucap Iskandar.
Winda datang menghampiri mereka. “Oom, terima kasih atas kadonya.”
Iskandar mengangguk. “Selamat ulang tahun, Win.”
“Terima kasih.” Winda pergi meninggalkan Iskandar dan bergabung lagi dengan teman-temannya. Suara canda dan tawa mereka ramai berderai. Sebagian duduk didalam rumah, sebagian lagi duduk berkumpul diluar. Hujan tidak turun walaupun cuaca tidak cerah seperti biasanya.
“Mas Bas, kenalkan ini pak Is.” Isti memperkenalkan Iskandar pada Bastian. Kedua lelaki itu berjabat tangan.
Isti tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Percakapannya dengan Bastian terhenti karena kehadiran Iskandar. Merasa bahwa kehadirannya kurang tepat dengan kehadiran Bastian, akhirnya iskandar berdiri dan pamit.
“Saya tidak lama, Is. Permisi.”
“Terima kasih sudah datang kemari, pak Is.”
Iskandar pergi. Bastian memperhatikan lelaki itu sesaat.
“Siapa dia?” Tanya Bastian.
“Langganan toko.”
“Oh, ya. Toko tempatmu bekerja pasti banyak sekali memiliki langganan.”
“Istrinya juga langganan toko ibu Hesti. Minggu lalu  ketika aku mengantar Winda membeli baju, kami bertemu. Aku memberitahunya Winda akan berulang tahun. Dia bilang akan datang. Kupikir hanya sekedar basa-basi dia mengatakan akan datang. Namun ternyata benar. Kupikir bukan sesuatu hal yang istimewa.“
Bastian tidak berkomentar. Mereka berdua memperhatikan Winda yang tengah bergembira bersama dengan teman-temannya. Isti merasa bersyukur, akhirnya keinginan Winda bisa terwujud. Ibu hanya duduk didalam rumah. Sementara Aldi ikut bergembira bersama kedua sahabatnya yang sengaja diajaknya hadir diperayaan ulang tahun Winda.
“Kita tadi sedang bicara apa?” Tanya Isti, mendadak teringat pembicaraan mereka terpotong dengan kedatangan Iskandar.
Bastian menoleh, tersenyum pada Isti. “Kau tadi bertanya apa padaku?”
Isti tersenyum. “Tidakkah disana sudah ada yang menunggumu?”
Bastian tersenyum, sekarang ingat dengan pertanyaan Isti tadi. “Belum. Belum ada.” Sahut Bastian. “Aku sudah menemukannya disini.”
Kembali Bastian tersenyum. Isti juga tersenyum.
Pesta ulang tahun telah usai. Satu persatu teman Winda pulang. Tinggal sisa-sisa bekas perayaan ulang tahun yang harus dibereskan. Piring dan gelas yang berserakan. Sisa-sisa makanan yang berceceran. Lantai yang kotor. Isti merasa lega. Namun ketika dia masuk ke kamar Winda, mendadak Isti tertegun. Dia melihat wajah Winda muram. Isti  menangkap sekilas ada mendung dan kekecewaan diraut wajah Winda.
“Kenapa?” Tanya Isti. Dia duduk ditepi tempat tidur memperhatikan adiknya yang tengah berganti pakaian.
Winda tidak segera menjawab. Dia menatap wajahnya pada cermin.
“Dia tidak datang.” Ucap Winda pelan.
“Dia siapa?” Tanya Isti heran.
“Fahri.” Sahut Winda dengan suara lirih dan tidak menyembunyikan kesedihan dalam nada suaranya yang tengah kecewa. “Aku sangat mengharapkan dia datang menghadiri pesta ulang tahunku. Ini perayaan yang sangat istimewa buatku. Namun dia tidak datang. Aku sungguh sangat kecewa, padahal kemarin aku mengundangnya. Dan aku bilang, bahwa aku sangat ingin dia datang keperayaan hari ulangtahunku ini.”
Fahri, pemuda yang sudah beberapa bulan ini sangat dekat dengan Winda. Dia sering datang kerumah. Isti menduga bahwa Winda menjalin hubungan dengan pemuda itu. Isti menyukai anak muda itu. Sikap Fahri baik dan sopan. Dan Isti dapat merasakan bahwa adiknya mencintai pemuda itu. Mungkin hanya sekedar cinta monyet. Namun bagaimanapun, perasaan Winda pada pemuda itu adalah sebuah proses kematangan Winda dalam menjalin hubungan dengan lawan jenisnya.
Isti berharap hubungan mereka baik-baik saja. Hubungan yang belum bisa dipastikan merupakan sebuah hubungan yang serius, namun juga tidak sekedar main-main karena Isti melihat kesungguhan Winda pada pemuda itu. Namun kini ceritanya ternyata berbeda dengan dugaannya.  
Fahri yang selama ini sudah sering datang kerumah, justru tidak datang diperayaan ulang tahun Winda. Pada saat Winda merasa sangat mengharapkan kehadiran pemuda itu. Winda pasti seperti gadis lain yang sudah memiliki pacar, ingin memperkenalkan pacarnya pada beberapa teman dekatnya. Namun Fahri justru tidak muncul. Winda pasti merasa sangat kecewa sekali. Isti dapat merasakan kekecewaan yang dirasakan adiknya. Namun dia tidak ingin Winda terlalu tenggelam dalam kekecewaaanya.
“Winda, mbak Is memahami, pasti engkau merasa sedih dan kecewa Fahri tidak datang keperayaan ulang tahunmu.” Ucap Isti pelan, berusaha menghibur adiknya yang terduduk sambil menunduk menyembunyikan sepasang matanya yang mulai basah dilanda perasaan kecewa.
“Kamu sudah serius menjalin hubungan dengan Fahri, Win?” Tanya Isti.
“Kami masih berteman. Tapi aku mulai menyukai Fahri. Aku mengira dia juga memiliki perasaan yang sama denganku, namun kenyataannya……” Winda terisak. “Fahri tidak peduli kepadaku…..”
“Fahri tidak peduli kepadamu, lalu kenapa engkau harus menangisinya?” Tanya Isti. “Kau merugikan dirimu sendiri mengharapkan seorang pemuda yang tidak menaruh perhatian kepadamu.”
Winda terisak.
“Aku ingin engkau menjadi seorang gadis yang manis, bukan gadis yang cengeng, Winda. Kau harus tegar. Kenapa mengharapkan Fahri datang kepestamu bila dia sama sekali tidak menaruh perhatian kepadamu. Bukankah engkau memiliki banyak teman lelaki? Kenapa engkau tidak memilih salah satu dari mereka dan melupakah Fahri?”
Winda menatap kakaknya, lalu mengangguk.
“Kakak memperhatikan, tadi ada beberapa teman priamu yang kelihatannya cukup menarik.”
“Mereka rata-rata sudah punya pacar. Mereka datang kemari bersama pacarnya.”
“Pasti ada salah satu diantara mereka yang belum punya pacar.”
“Tidak ada. Semuanya sudah punya pacar.”
Isti tersenyum. “Lupakan Fahri dan engkau pasti akan segera menemukan gantinya seorang pemuda yang lebih baik dan lebih menarik dari Fahri.”

--- 0 ---

Dina datang ke toko sore itu. Isti sudah hampir selesai menghitung uang. Dia melihat sekilas pada Dina yang berjalan berkeliling-keliling diantara rak-rak. Dina hanya tiga kali memesan belanjaan lewat telepon. Kemudian tidak pernah lagi. Baru sekarang Isti melihat Dina datang lagi ke toko. Toko sedang sepi. Hanya ada dua orang yang tengah belanja.
“Tolong dihitung, mbak.” Dina menghampiri Isti, menaruh keranjang belanjaannya diatas meja.
Isti segera menghitung belanjaan perempuan itu. Dia dapat merasakan Dina tengah menatapnya. Selesai menghitung Isti menyebutnya jumlah belanjaan perempuan itu. Dina mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan uang. Isti memberikan kembalian. Dina mengambil kantong plastik belanjaannya. Dia tidak segera beranjak pergi.  Dia menatap Isti dalam. Isti membalas tatapan perempuan itu. Dia merasa, ada sesuatu hal yang akan disampaikan perempuan itu kepadanya.
“Isti, maaf, aku ingin bicara sesuatu hal padamu.” Ucap Dina dengan suaa perlahan.
“Ya? Ada apa, mbak?”
“Isti, daerah kita ini merupakan daerah kecil. Kejadian apapun pasti akan dengan cepat menyebar dan diketahui masyarakat.”  Ucap  Dina. Matanya menatap Isti dalam.
Isti menatap Dina. Belum memahami apa yang ingin diucapkan perempuan itu.
“Isti, aku percaya kamu seorang wanita yang baik. Tolong jauhi suami saya.” Ucap Dina dengan  suara lirih.
Sejenak Isti tertegun mendengar ucapan Dina. Kemudian Isti menghela napas dalam. Entah gossip apa yang  sudah sampai ke telinga wanita ini.  “Saya tidak tahu dan tidak mengerti, berita apa yang sudah sampai ke telingan mbak. Saya tidak ada hubungan apapun dengan suami mbak.”
“Suami saya sering belanja kemari?”
“Ya, benar. Pak Iskandar sering belanja kemari, namun itu sesuatu hal yang wajar. Saya sendiri tidak pernah memperhatikan siapa saja yang datang dan keluar dari toko ini. Toko ini memiliki cukup banyak pembeli dan saya tidak pernah memperhatikannya  satu persatu. Apalagi bila saya tengah sibuk melayani cukup banyak pembeli.”
“Ya, saya mengerti.” Ucap Dina. “Namun saya  mendengar suami saya datang kerumahmu. Dan banyak orang yang tahu dan membicarakan hal ini kepada saya.”
Isti terdiam.  Dia tidak tahu harus bilang apa pada Dina.
“Pak Iskandar datang ke perayaan ulangtahun Winda, adik saya……..”
“Isti, mungkin suami saya menyukaimu namun saya yakin engkau bisa mencari lelaki lain yang belum terikat dengan perempuan lain. Kau cantik dan masih muda. Pasti banyak lelaki lain yang menyukaimu.”
Isti menatap Dina. “Saya tidak akan mengganggu suami mbak, atau pun suami-suami perempuan lain. Mbak jangan khawatir, saya tidak akan menyakiti hati perempuan lain.”
Dina mengangguk. “Aku percaya kepadamu. Terima kasih, Isti.”
Iskandar masih tetap sering belanja ke toko walaupun hanya sekedar membeli sebungkus rokok. Namun Isti sudah tidak ada waktu lagi untuk melayani lelaki itu bila mengajaknya bercakap-cakap seusai dia belanja, sambil membayar belanjaannya. Sejak Dina berbicara padanya tempo hari, Isti sudah kehilangan rasa simpatiknya pada lelaki itu.  
Lama kelamaan Iskandar semakin jarang muncul lagi ditoko dan akhirnya tak pernah lagi belanja ditoko. Tidak lama kemudian,  Dina berhenti menjadi langganan toko ibu Hesti. Isti tidak pernah melihatnya lagi. Belakangan Isti baru tahu bahwa mereka sudah pindah ke kota.

--- 0 ---

“Mbak, aku ingin mengenalkan temanku.” Kata Winda. Dia baru pulang dari les komputer.  Senyumannya berseri, membuat wajahnya kelihatan semakin cantik. Rambutnya yang panjang bergelombang diikat sebagian, sementara anak-anak rambut jatuh dikeningnya.
“Siapa?” Tanya Isti yang tengah membereskan meja makan, menyiapkan makan malam. Ibu Hesti mengirim pepes ikan mas. Dibelakang rumahnya ada sebuah kolam. Bila sedang ada waktu senggang, ibu Hesti sering menangkap ikan dan membuat pepes ikan.
“Ayo kemari. Dia menunggu didepan. Aku sudah bilang padanya, aku ingin dia berkenalan dengan kakakku yang cantik dan baik hati ini.” Winda menarik tangannya. Isti mengikutinya. Diruangan depan duduk seorang pemuda. Penampilannya rapi.   
“Pandu, ini kakakku, mbak Isti. Mbak, ini temanku, namanya Pandu. Dia jago karate dan aktif juga main musik. Dia pintar menabuh drum.”
Isti tersenyum menjabat tangan anak muda.  Isti tersenyum melihat kegembiraan diwajah Winda.
Ketika Pandu pulang, Winda masih asyik  berceloteh tentang Pandu. Tak sedikitpun lagi kelihatan  Winda masih ingat pada  Fahri.
Isti bersyukur, Winda sudah mendapatkan lagi kebahagiaan. Kekecewaan itu tidak terlalu lama singgah dihati adiknya, kini dia sudah menemukan penggantinya. Dia sendiri tengah merasakan kebahagiaan seperti yang tengah dirasakan Winda. Tadi pagi Bastian meneleponnya, dia akan pulang kembali dua minggu lagi.
“Isti, aku tahu ini terlalu cepat untuk kita. Namun aku meyakini, waktu bukan sebuah jaminan untuk sebuah hubungan. Aku bertemu denganmu dan menyukaimu. Biarlah nanti waktu yang akan mengatur semuanya. Aku akan segera melamarmu. Minggu depan aku pulang. Ibu sudah kuberitahu rencanaku ini.” Kata Bastian.
Bukan hanya bagi Bastian, buat dirinya pun semua ini berjalan  terlalu cepat.  Namun inilah jalan yang diberikan Allah untuknya.
Isti memberitahukan rencana Bastian itu kepada ibunya dengan perasaan bahagia. Kebahagiaan yang sudah lama dinanti-nantikannya.  Dari atas kursi rodanya, ibunya  memeluknya dengan airmata yang mengalir membasahi kedua belah pipinya. Kebahagiaan seorang ibu ketika anak gadisnya akhirnya akan melangkah menuju ke jenjang perkawinan.
“Isti, alangkah bahagianya perasaan ibu mendengar semua ini.” Ucap ibunya tersendat menahan tangis. “Selama ini hanya doa-doa yang ibu panjatkan, semoga engkau segera bertemu dengan jodohmu. Kini doa dan harapan ibu akan segera terkabul.”
“Ya, ibu.” Isti memeluk ibunya dengan perasaan bahagia. Ibunya membalas pelukannya sambil menangis. Isti merasakan tubuh ibunya gemetar.

--- 0 ---

Isti baru selesai shalat isya ketika ibunya masuk kedalam kamarnya. Isti melipat mukena dan menaruhnya diatas kursi. Ibu menatap Isti. Isti merasa ada sesuatu hal yang ingin disampaikan ibunya kepadanya. Sepasang mata tua itu seakan tengah menyiratkan kebingungan dan kegalauan.
“Ada apa, bu?” Tanya Isti. Dia mendorong kursi roda ibunya ketengah kamarnya.
Ibu memegang tangan Isti. Begitu erat. Matanyanya mendadak membasah seakan menahan tangis. Isti tertegun melihat mata ibunya yang basah.
“Kenapa, bu? Ada apa?” Tanya Isti lembut.
Ibu menarik kepala Isti dan mencium kedua belah pipinya dengan lembut. “Duduklah, nak. Ada hal yang ingin ibu sampaikan kepadamu. Sebelum engkau melangkah memasuki jenjang kehidupan perkawinan ada hal yang harus engkau ketahui. Sesuatu hal yang selama ini ayah dan ibu simpan sebagai rahasia yang kami simpan sebaik mungkin. Ayah dan ibu sudah sepakat akan menyampaikan hal ini kepadamu bila engkau sudah akan menikah. Ibu akan menjalankan amanat almarhum ayahmu.” Ucap ibunya pelan.
Isti menatap ibunya dengan  bingung. “Apa, bu?”
Isti duduk ditepi tempat tidur menatap ibunya, menunggu apa yang akan disampaikan ibunya kepadanya.
“Isti, anakku, maafkan ibu bila apa yang akan ibu sampaikan kepadamu ini akan sangat mengejutkanmu.” Ucap ibunya pelan. Matanya basah. Bibirnya bergetar menahan tangis dan gejolak perasaannya.
Isti hanya diam menatap ibunya.
“Isti, rahasia ini tersimpan rapat sepanjang usiamu hingga sekarang.” Ucap ibunya lagi. Kedua tangannya memegang kedua tangan Isti dengan erat, seakan tak ingin dilepaskannya. “Isti, engkau sebenarnya bukanlah anak kandung ayah dan ibu..……”
Mata Isti seakan terbelalak tak percaya mendengar ucapan yang meluncur dari mulut ibunya. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja terucap dari mulut ibunya. Tidak mungkin. Sudah duapuluh tujuh tahun dia hidup bersama ayah ibu dan kedua adiknya, Winda dan Aldi. Tidak mungkin dirinya bukan anak kandung ayah dan ibunya.
Ibunya menangis dan melanjutkan ucapannya dengan bibir bergetar.
 “Saat itu ayah dan ibu sudah tujuh tahun lamanya berumah tangga, namun kami belum juga dikarunia anak.” Ucap ibunya seakan berbisik, seakan mengumpulkan tenaga dan kekuatan untuk menyampaikan hal itu pada Isti.  “Setelah menunggu cukup lama dan belum juga dikaruniai anak, akhirnya kami memutuskan untuk mengangkat seorang anak………”
“Saat itu engkau masih bayi yang masih berusia sebulan ketika ayah dan ibu mengambilmu dari rumah sakit dan mengangkatmu sebagai anak……….”
“Engkau adalah cahaya dalam perkawinan ayah dan ibu……”
“Betapa menyenangkannya ketika engkau hadir diantara ayah dan ibu……..”
“Sulit buat ibu untuk bercerita bagaimana menyenangkannya hari-hari ayah dan ibu ketika mengasuhmu dari mulai bayi hingga engkau tumbuh besar……”
“Ketika engkau sudah berumur sepuluh tahun, akhirnya ibu hamil dan melahirkan  Winda, lalu tiga tahun  kemudian disusul dengan kelahiran  Aldi.”
Isti menatap ibunya seakan tak percaya. Semua kata yang terucap dari mulut ibunya dengan tersendat-sendat, berbaur dengan isak tangis ibunya, seakan lagu sedih yang tak dipercayainya sebagai sebuah kenyataan hidup.
Bagaimana mungkin dia akan percaya dengan ucapan ibunya. Selama ini dia merasakan betapa tulusnya kasih sayang ayah dan ibunya kepadanya.
“Isti, namun engkau dapat merasakan sendiri  kasih sayang ayah dan ibu kepadamu tidak berbeda dengan kasih sayang kami kepada Winda dan Aldi.”
Isti hanya terisak pelan. Pengakuan ibunya sangat mengejutkan perasaannya. Semua itu seakan sebuah mimpi. Dia teringat pada almarhum ayahnya. Dia teringat pada kasih sayangnya selama ini kepada kedua adiknya. Sulit dipercaya bila Winda dan Aldi bukanlah adik kandungnya.
“Isti, ibu baru sekarang menceritakan semua ini karena buat ibu terasa berat sekali harus menyampaikan hal ini kepadamu.” Ibu menangis terisak-isak. Airmata seakan tidak berhenti mengalir membasahi kedua belah pipinya yang keriput.
“Dulu  ayah dan ibu berencana, bila engkau sudah akan menikah barulah ayah dan ibu akan menceritakan hal ini kepadamu.” Kata ibunya lagi. “Namun ternyata ayah telah mendahului kita. Ketika engkau mengatakan bahwa Bastian akan segera melamarmu, perasaan ibu diliputi kebingungan. Ibu teringat dengan rencana ayah dan ibu dahulu yang akan menceritakan semua ini kepadamu, namun rasanya ibu tidak sanggup untuk menyampaikannya kepadamu. Namun sebelum ayah meninggal, kembali ayah berpesan pada ibu, bila engkau sudah akan menikah, ibu harus menyampaikan hal ini kepadamu. Ibu menjalankan amanat ayahmu walaupun perasaan dan lidah ibu terasa berat sekali.”
Ibu memeluk Isti sambil menangis. “Isti, hanya Allah yang tahu bagaimana tulusnya kasih sayang ayah dan ibu kepadamu. Oh, anakku, janganlah engkau meragukan kasih sayang ayah dan ibu walaupun kini engkau sudah tahu bahwa ayah dan ibu bukanlah orangtua kandungmu.”
Isti ikut menangis. “Ibu, kenapa ibu tidak menyimpan cerita ini untuk selamanya? Mengapa ibu tidak membiarkan saya untuk tidak tahu sama sekali bahwa ayah dan ibu bukanlah orangtua kandung saya?”
“Isti, itu yang ingin ibu lakukan, nak. Namun ayah berpesan, bagaimanapun engkau harus mengetahui hal ini. Ibu menjalankan amanat ayahmu, untuk menyampaikan hal ini bila engkau sudah akan menikah.”
“Ibu…..” Isti menatap ibunya dengan airmata berlinang. “Tidakkah pengakuan ini yang begitu tiba-tiba akan membuat segalanya menjadi berubah? Tidakkah ibu menduga semua ini akan membuat semua rencana menjadi berantakan? Tidakkah ibu menduga bahwa Mas Bas mungkin akan meninggalkan aku setelah dia mengetahui bahwa aku hanyalah anak angkat dari ayah dan ibu?”
“Isti, tidak tahukah engkau betapa bingungnya ibu untuk menyampaikan hal ini kepadamu?” sergah ibunya. “Bila ibu menuruti kata hati dan perasaan ibu kepadamu, ibu ingin engkau tidak tahu hal ini selama-lamanya. Sepanjang hidupmu. Namun ayahmu tidak ingin suatu saat engkau mengetahui hal ini dari orang lain. Ayah tetap ingin engkau mengetahui hal ini. Ibu hanya  menjalankan amanat ayahmu, Isti,  amanat yang terasa sangat berat sekali buat ibu.”
Isti mengurung dirinya didalam kamarnya dengan perasaan sedih. Airmatanya deras membasahi kedua belah pipinya.  Dia harus bicara kepada Bastian. Masih belum terlambat bila Bastian akan mengurungkan perkawinannya dengannya bila Bastian mengetahui bahwa dirinya bukanlah anak kandung orangtuanya.
Malam itu Isti menelepon Bastian. Hampir sejam lamanya dia berbicara pada Bastian menceritakan apa yang didengarnya dari ibunya.
“Belum terlambat bila mas Bas akan mengurungkan niat mas Bas melamar saya……” ucap Isti lirih, menahan tangisnya.
Bastian diam beberapa saat. Dia perlu waktu untuk berpikir. Isti menutup telepon. Dia tidak ingin memaksa Bastian untuk tetap melamarnya. Apapun juga keputusan Bastian akan diterimanya. Dia menunggu. Telepon genggamnya tergeletak disamping bantal. Dia menunggu Bastian meneleponnya, memberinya keputusan. Bahkan keputusan  yang paling pahit sekalipun akan diterimanya. Dengan perasaan tabah. Setabah ketika ibunya mengatakan kenyataan yang sesungguhnya bahwa dirinya bukan anak kandung ayah dan ibu yang selama ini sudah menjadi orangtuanya.
Dua jam kemudian Bastian meneleponnya. Ketika Isti masih terjaga dengan airmata yang masih mengalir dipipinya dan mata yang seakan tak berkedip menatap langit-langit kamar dengan perasaan galau yang bercampur baur dengan kesedihan dan kebingungannya.
Suara Bastian tidak berubah. Tenang seperti biasanya.  
“Isti, sayang. Aku akan tetap melamarmu. Tidak akan ada yang berubah dariku kepadamu. Aku mencintaimu. Cinta itu sudah cukup buatku untuk melangkah bersamamu….” Ucap Bastian.
Isti memejamkan matanya mendengarkan setiap kata yang terucap dari mulut Bastian.
“Isti, tadi aku sudah menelepon ibu, menceritakan semua ini.” Ucap Bastian lagi. “Ibu menyerahkan semua keputusan kepada aku karena aku yang akan menjalani perkawinan ini. Ibu tidak mempermasalahkan hal itu. Ibu tetap menganggapmu sebagai puteri kedua orangtuamu.”
Isti hanya menangis mendengar ucapan Bastian. Namun hatinya menjadi tegar. Tak ada lagi keraguan dihatinya untuk melangkah menuju kehidupan perkawinan yang sudah lama didambakannya.
Dia tidak ingin mencari tahu siapa orangtua kandungnya. Selama hidupnya dia sudah bersama-sama dengan keluarganya yang sekarang. Ayah, ibu, Winda dan Aldi adalah keluarganya yang sesungguhnya. Dia tidak ingin mencari tahu lembaran masa silam yang tidak pernah diketahuinya.
Kasih sayangnya selama ini kepada ayah dan ibunya adalah murni kasih sayang seorang anak kepada orangtuanya seperti halnya kasih sayang yang tulus yang dirasakan yang diberikan  ayah dan ibunya selama ini, semenjak kecil hingga diusianya sekarang ini. Kasih sayangnya kepada Winda dan Aldi adalah kasih sayang yang murni dan tulus dari seorang kakak kepada adik-adiknya seperti halnya dia pun dapat merasakan kasih sayang yang tulus juga dari Winda dan Aldi.  
Ayah, ibu, Winda dan Aldi adalah bagian dari hidupnya. Ayah, ibu, dirinya, Winda dan Aldi sudah terikat dalam sebuah tali kasih sayang yang tak akan terputuskan lagi. Mereka sudah bersama dan bersatu dalam ikatan sebuah keluarga untuk waktu yang sangat lama. Hanya kematian yang akhirnya memisahkan dirinya, ibunya, Winda dan Aldi dengan ayahnya. Mungkin begitu pula bila kelak dirinya, ibunya, Winda dan Aldi harus berpisah, hanya kematian yang akan memisahkan mereka namun tidak akan bisa menghapuskan kasih sayang dan ketulusan cinta mereka sampai kapanpun.
Malam itu Isti menemui ibunya kekamarnya. Ibunya tengah duduk termenung diatas kursi rodanya. Wajahnya begitu sendu, menyimpan kesedihan dalam hatinya. Jendela kamarnya terbuka. Angin malam berhembus masuk, menyibakkan gorden kamar.
Isti menutup jendela kamar. Dia bersimpuh dipangkuan ibunya. Ibunya menunduk. Tangan ibunya yang keriput mengelus kepalanya. Tak ada kata-kata yang terucap. Keduanya membisu sambil bertangisan. Namun pelukan hangat Isti dan ibunya sudah mengungkapkan segalanya. Tak ada yang berubah diantara mereka. Mereka tetap anak dan ibu yang sesungguhnya. Untuk selamanya.  
Esok paginya perasaan Isti terasa lebih lapang. Hidup menuntut ketabahan dan kesabaran hati. Sebelum berangkat bekerja Isti menyempatkan dulu melihat-lihat keadaan rumahnya dibagian depan, samping dan belakang. Sudah cukup lama dia memperhatikan beberapa bagian rumah yang  sudah semakin keropos dan berniat akan memperbaikinya sebelum keadaan rumah semakin rusak dan akan lebih besar lagi membutuhkan biaya untuk memperbaikinya.
Rumah ini adalah peninggalan ayahnya yang harus dirawat dan dipelihara dengan sebaik-baiknya.  Uang tabungannya sudah mencukupi untuk melakukan perbaikan pada beberapa bagian rumah.  Sudah saatnya dia memperbaiki rumahnya menjelang hari perkawinannya.  Besok dia akan memanggil tukang untuk memperbaiki  bagian-bagian rumah yang  harus diperbaiki.  

--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar