Jumat, 10 Mei 2013

SEKAR DAN RAJA ONGKOJAYA






Raja Ongkojaya merasa bahagia dan bangga. Sejak dia menjadi raja menggantikan kedudukan ayahandanya, dia melihat kehidupan rakyatnya semakin makmur dan sejahtera. Setiap musim panen tiba, rakyat berlomba-lomba mempersembahkan hasil panen kepada raja. Untuk menghibur rakyatnya, raja sering menyelenggarakan berbagai macam atraksi dan hiburan di alun-alun kerajaan yang selalu dibanjiri  rakyat yang ingin menonton keramaian  dengan wajah-wajah gembira.  Raja tak pernah melihat wajah rakyatnya yang bersedih. Semua kelihatan penuh suka cita dan kegembiraan. Bahkan dalam  setiap perayaan menyambut ulang tahun kerajaan, rakyat  berpawai dengan menampilkan berbagai macam hasil pertanian, perkebunan dan lain sebagainya. Padi hasil panen, berbagai macam  buah-buahan dan hasil-hasil  pertanian lainnya yang terbaik,   diusung diatas tandu dan dipamerkan dihadapan raja yang duduk dipanggung kehormatan. 
“Rakyatku hidup makmur dan bahagia.” Kata raja Ongkojaya kepada perdana menteri. “Aku merasa bahagia dan puas. Pembangunan dikerajaan ini sudah tercapai dengan baik.”
“Ya, Tuanku.” Sahut perdana menteri.  “Tuanku bisa menyaksikan sendiri berbagai macam hasil pertanian dan perkebunan serta produk-produk lain di kerajaan kita, dipamerkan dihadapan baginda oleh seluruh rakyat.  Semua itu menunjukan bahwa kehidupan rakyat  makmur dan sejahtera.” 
“Kau benar, paman perdana menteri.” Ujar Raja. “Aku merasa bangga sekali dengan semua ini. Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang raja kecuali melihat rakyatnya hidup bahagia dan  sejahtera. Mereka tidak kekurangan sandang, pangan dan hidup layak.”

Pada suatu hari raja menyamar menjadi rakyat biasa. Raja mengenakan pakaian yang sederhana  dan berjalan memasuki sebuah perkampungan. Setelah cukup lama berjalan, akhirnya raja tiba didepan sebuah rumah panggung berdinding bilik. Raja melihat seorang anak perempuan berusia sekitar sebelas tahun sedang menimba air dari sebuah sumur disamping  rumahnya.  Anak itu kelihatan susah payah berusaha menarik ember yang penuh berisi air. Ketika melihat ada raja lewat, anak itu berteriak memanggilnya.
“Oh, Tuan! Tolonglah  saya!  Ember ini terlalu berat.” Teriak anak itu.
Bergegas raja menghampiri anak itu dan membantunya menimba air.
“Berbahaya kau mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.” Tegur raja sambil mengambil tali ember itu dri tangan anak itu. “Lain kali minta tolonglah pada orang dewasa dirumahmu. Apakah dirumahmu tidak ada orang dewasa yang bisa kau mintai tolong?” tanya raja sambil menuangkan ari dalam ember kedalam bak air.
“Semua orang dewasa di kampung kami pergi kesawah dan ladang. Seperti anak-anak kecil lainnya, akupun tinggal sendirian dirumah. Menunggui rumah. Sore hari barulah orangtua kami pulang dari sawah dan ladang.” Kata anak itu. Dia melihat kedalam bak air yang belum terisi penuh.
“Tuan, tolong bak  air itu diisi sampai penuh, ya. Aku memerlukan air untuk mencuci dan menyiram tanaman.” Pinta anak itu.
“Oh ya, baiklah.” Sahut raja sambil tersenyum.
Raja lalu menimba air dan mengisi bak air.  Anak itu duduk ditangga dekat sumur dan memperhatikan raja.
“Penduduk dikampung kami harus bekeja keras setiap hari.” Kata anak itu dengan sura lantang. “Tapi hasil yang kami peroleh bukan untuk dimakan oleh kami sendiri tapi untuk dipersembahkan kepada raja dan para pejabat kerajaan.”
“Oh, ya?” Raja melirik anak itu sekilas, lalu menimba air lagi.
“Ya.” Sahut anak itu. “Raja mengira kehidupan rakyatnya sudah makmur dan sejahtera padahal kebanyakan dari rakyat hanya inigin menyenangkan perasaan raja saja.”
“Apa maksudmu?” tanya raja sambil terus menimba air, mengisi bak air sampai penuh.
“Hasil-hasil pertanian kami yang terbagus dikirim ke istana untuk raja, sementara kami  terpaksa memakan sisanya. Bahkan seringkali ketika beras-beras terbaik dikirim keistana, kami hanya makan singkong dan ubi sebagai pengganti nasi. Raja tidak tahu bahwa tidak setiap panen hasil panen kami selalu bagus. Seringkali hasil panen tidak seberapa namun kami tetap harus mengirim apa yang kami hasilkan kepada  raja.”
“Kenapa bisa sampai terjadi demikian?” tanya raja. Wajahnya  memerah mendengar kata-kata anak itu.
“Raja kami terkenal baik dan bijaksana. Rajapun sangat menyayangi rakyat kecil. Namun kebaikan raja malah membuat rakyat merasa malu bila tidak bisa menyenangkan perasaan raja dengan memberikan apa saja yang dimiliki oleh rakyat. Dikampung kami hampIr semua penduduk hidup dari hasil pertanian dan bercocok tanam. Namun karena hampir semua penduduk adalah rakyat  miskin, sawah dan ladang yang mereka miliki tidak seberapa luasnya. Begitu pula dengan kedua orangtuaku. Sawah dan ladang milik  orangtuaku tidak seberapa luasnya. Hasil yang diperoleh dari sawah ladang kami tidak seberapa, namun dari hasil yang sedikit itu setiap panen tiba  orangtuaku selalu memilih yang terbaik untuk dipersembahkan kepada raja dan menyisakan sedikit untuk kami makan.”

Setelah bak terisi penuh lalu  raja duduk pada sebuah batu besar didekat tangga dimana anak perempuan itu duduk.
“Siapkah namamu?” Tanya Raja.
“Sekar.” Sahut gadis itu.
“Raja memang baik namun rakyat menjadi malu karena kebaikan raja, begitukah maksudmu, Sekar?” tanya raja.
“Ya.” Sekar  mengangguk. “Seandainya raja adalah orang jahat dan bengis, rakyat pasti tidak akan mau memberikan apapun kepada raja. Justru karena raja sudah terkenal sangat baik bahkan orang miskinpun merasa malu bila tidak bisa memberi apa-apa kepada raja.”
Sekar  tersenyum menatap raja. “Lalu tuan  sendiri, apa yang biasanya tuan  berikan kepada raja?”
Raja termangu sesaat. “Aku tidak pernah memberikan apapun kepada raja.”
“Kenapa?” Tanya Sekar. “Bukankah raja sangat baik pada rakyatnya dan sudah sepantasnya rakyat membalas kebaikan raja dengan memberi hadiah-hadiah.”
“Aku hanya orang miskin dan aku tidak memiliki apa-apa yang bisa kuberikan kepada raja. Raja memang baik pada semua rakyatnya namun aku ingin raja juga tahu bahwa tidak semua rakyatnya hidup berkecukupan. Banyak diantara rakyat yang hidup miskin namun dalam kemiskinan mereka tetap berusaha ingin menyenangkan perasaan raja dengan memberi hadiah-hadiah kepada raja. Suatu saat aku akan menghadap raja dan menceritakan apa yang baru saja aku dengar darimu. Aku ingin mata raja melihat bagaimana sesungguhnya kehidupan rakyatnya.”
“Oh, bagus sekali kalau tuan bisa menghadap raja. Mudah-mudahan raja pun tahu sudah berbulan-bulan lamanya aku dan kedua orangtuaku hanya makan   singkong rebus  karena panen padi kami yang hasilnya tidak seberapa  sudah kami persembahkan kepada raja.”
Sekar bangkit dari tempat duduknya lalu masuk kedalam rumah panggungnya. Tidak lama kemudan Sekar  kembali lagi keluar dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan sepiring singkong rebus serta beberapa buah gula merah.
“Mari dimakan singkong rebusnya, tuan. Sangat enak dimakan dengan gula merah ini.” kata Sekar  sambil menyodokan piring singkong dan gula merah kehadapan raja.
“Terima kasih, tapi kalau singkong ini kumakan  nanti  kau kehabisan.” Ujar raja.
“Kami masih memiliki singkong. Kalau singkong rebus ini habis ibuku nanti akan merebusnya lagi. Jangan khawatir. Meskipun kami miskin namun kami selalu menghormati tamu dengan menyuguhi makanan dan minuman seadanya.”
“Oh, kau gadis kecil yang baik budi.” Ujar raja.
Sekar  tersenyum dan kembali mempersilahkan raja menikmati singkong rebus dan gula merah. Raja mengambil sepotong singkong dan gula merah. Oh, ternyata  singkong dan gula itu enak sekali dimakan sama-sama. Raja merasa malu, setelah mengisi bak sampai penuh raja merasa capek karena tidak biasa bekerja seperti itu. Ternyata singkong dan gula merah itu membuat raja  merasa lapar dan menghabiskan beberapa potong singkong dan gula merah.
“Singkong  dan gula merah ini  enak sekali.” Kata raja. Dia minum teh hangat. Terasa makin nikmat.
Sekar   tersenyum “Hanya makanan kampung yang sederhana saja, tuan.” Ujar Sekar.
Esok harinya raja mengumunkan bahwa mulai saat itu rakyat tidak boleh lagi mengirim apapun ke istana. Apapun hasil yang diperoleh  rakyat  digunakan untuk kepentingan mereka sendiri. Apakah untuk dinikmati sendiri atau  untuk diperjualbelikan. Dengan demikian rakyat tidak akan terbebani dengan keharusan  memberikan hadiah kepada raja. Rakyat  menyambut gembira keputusan raja.
Seminggu kemudian berlalu, Sekar sedang duduk sendirian didepan rumah panggungnya ketika tiba-tiba dia melihat dua ekor kuda berhenti didepan rumah panggungnya. Seekor kuda  menarik sebuah gerobak. Dua penunggang kuda  yang mengenakan pakaian seperti pegawai  istana turun dari  kuda dan menemui anak itu.
“Apakah kau yang bernama Sekar?” Tanya salah seorang penunggang kuda itu.
“Ya.” Sahut Sekar.
“Kami mengantarkan hadiah dari raja untukmu.” Kata penunggang kuda itu.
“Hadiah dari raja?” tanya Sekar  tak  mengerti.
“Ya, kami diminta mengantarkan semua ini untukmu?”
“Apakah tuan tidak salah?”
“Tidak. Kamulah gadis kecil yang dimaksud oleh raja.” Sahut pegawai itu.
Mereka lalu memasukan semua hadiah pemberian raja kedalam rumah Sekar. Bermacam-macam makanan, aneka rasa  minuman, pakaian serta dua buah boneka yang indah. Sekar  memekik  gembira ketika menerima hadiah  itu. Terutama dua buah boneka cantik yang tak pernah dimilikinya.
“Bagaimana raja bisa tahu kepada saya?” tanya Sekar gembira.
Pegawai itu hanya tersenyum, lalu mereka  pergi.
Sekar  mendekap kedua bonekanya. Dia berdoa semoga suatu saat nanti dia bisa bertemu  dengan raja agar dia bisa mengucapkan terima kasih atas semua hadiah pemberian raja. 

--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar