Raja Ongkojaya merasa
bahagia dan bangga. Sejak dia menjadi raja menggantikan kedudukan ayahandanya,
dia melihat kehidupan rakyatnya semakin makmur dan sejahtera. Setiap musim
panen tiba, rakyat berlomba-lomba mempersembahkan hasil panen kepada raja.
Untuk menghibur rakyatnya, raja sering menyelenggarakan berbagai macam atraksi
dan hiburan di alun-alun kerajaan yang selalu dibanjiri rakyat yang ingin menonton keramaian dengan wajah-wajah gembira. Raja tak pernah melihat wajah rakyatnya yang
bersedih. Semua kelihatan penuh suka cita dan kegembiraan. Bahkan dalam setiap perayaan menyambut ulang tahun
kerajaan, rakyat berpawai dengan
menampilkan berbagai macam hasil pertanian, perkebunan dan lain sebagainya.
Padi hasil panen, berbagai macam
buah-buahan dan hasil-hasil
pertanian lainnya yang terbaik,
diusung diatas tandu dan dipamerkan dihadapan raja yang duduk dipanggung
kehormatan.
“Rakyatku hidup makmur dan
bahagia.” Kata raja Ongkojaya kepada perdana menteri. “Aku merasa bahagia dan
puas. Pembangunan dikerajaan ini sudah tercapai dengan baik.”
“Ya, Tuanku.” Sahut
perdana menteri. “Tuanku bisa
menyaksikan sendiri berbagai macam hasil pertanian dan perkebunan serta
produk-produk lain di kerajaan kita, dipamerkan dihadapan baginda oleh seluruh
rakyat. Semua itu menunjukan bahwa
kehidupan rakyat makmur dan
sejahtera.”
“Kau benar, paman perdana
menteri.” Ujar Raja. “Aku merasa bangga sekali dengan semua ini. Tidak ada yang
lebih membahagiakan bagi seorang raja kecuali melihat rakyatnya hidup bahagia
dan sejahtera. Mereka tidak kekurangan
sandang, pangan dan hidup layak.”
Pada suatu hari raja
menyamar menjadi rakyat biasa. Raja mengenakan pakaian yang sederhana dan berjalan memasuki sebuah perkampungan.
Setelah cukup lama berjalan, akhirnya raja tiba didepan sebuah rumah panggung
berdinding bilik. Raja melihat seorang anak perempuan berusia sekitar sebelas
tahun sedang menimba air dari sebuah sumur disamping rumahnya.
Anak itu kelihatan susah payah berusaha menarik ember yang penuh berisi
air. Ketika melihat ada raja lewat, anak itu berteriak memanggilnya.
“Oh, Tuan! Tolonglah saya!
Ember ini terlalu berat.” Teriak anak itu.
Bergegas raja menghampiri
anak itu dan membantunya menimba air.
“Berbahaya kau mengerjakan
pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.” Tegur raja sambil
mengambil tali ember itu dri tangan anak itu. “Lain kali minta tolonglah pada
orang dewasa dirumahmu. Apakah dirumahmu tidak ada orang dewasa yang bisa kau
mintai tolong?” tanya raja sambil menuangkan ari dalam ember kedalam bak air.
“Semua orang dewasa di
kampung kami pergi kesawah dan ladang. Seperti anak-anak kecil lainnya, akupun
tinggal sendirian dirumah. Menunggui rumah. Sore hari barulah orangtua kami
pulang dari sawah dan ladang.” Kata anak itu. Dia melihat kedalam bak air yang
belum terisi penuh.
“Tuan, tolong bak air itu diisi sampai penuh, ya. Aku
memerlukan air untuk mencuci dan menyiram tanaman.” Pinta anak itu.
“Oh ya, baiklah.” Sahut
raja sambil tersenyum.
Raja lalu menimba air dan
mengisi bak air. Anak itu duduk ditangga
dekat sumur dan memperhatikan raja.
“Penduduk dikampung kami
harus bekeja keras setiap hari.” Kata anak itu dengan sura lantang. “Tapi hasil
yang kami peroleh bukan untuk dimakan oleh kami sendiri tapi untuk
dipersembahkan kepada raja dan para pejabat kerajaan.”
“Oh, ya?” Raja melirik
anak itu sekilas, lalu menimba air lagi.
“Ya.” Sahut anak itu.
“Raja mengira kehidupan rakyatnya sudah makmur dan sejahtera padahal kebanyakan
dari rakyat hanya inigin menyenangkan perasaan raja saja.”
“Apa maksudmu?” tanya raja
sambil terus menimba air, mengisi bak air sampai penuh.
“Hasil-hasil pertanian
kami yang terbagus dikirim ke istana untuk raja, sementara kami terpaksa memakan sisanya. Bahkan seringkali
ketika beras-beras terbaik dikirim keistana, kami hanya makan singkong dan ubi
sebagai pengganti nasi. Raja tidak tahu bahwa tidak setiap panen hasil panen
kami selalu bagus. Seringkali hasil panen tidak seberapa namun kami tetap harus
mengirim apa yang kami hasilkan kepada
raja.”
“Kenapa bisa sampai
terjadi demikian?” tanya raja. Wajahnya
memerah mendengar kata-kata anak itu.
“Raja kami terkenal baik
dan bijaksana. Rajapun sangat menyayangi rakyat kecil. Namun kebaikan raja
malah membuat rakyat merasa malu bila tidak bisa menyenangkan perasaan raja
dengan memberikan apa saja yang dimiliki oleh rakyat. Dikampung kami hampIr
semua penduduk hidup dari hasil pertanian dan bercocok tanam. Namun karena
hampir semua penduduk adalah rakyat
miskin, sawah dan ladang yang mereka miliki tidak seberapa luasnya.
Begitu pula dengan kedua orangtuaku. Sawah dan ladang milik orangtuaku tidak seberapa luasnya. Hasil yang
diperoleh dari sawah ladang kami tidak seberapa, namun dari hasil yang sedikit
itu setiap panen tiba orangtuaku selalu
memilih yang terbaik untuk dipersembahkan kepada raja dan menyisakan sedikit
untuk kami makan.”
Setelah bak terisi penuh
lalu raja duduk pada sebuah batu besar
didekat tangga dimana anak perempuan itu duduk.
“Siapkah namamu?” Tanya
Raja.
“Sekar.” Sahut gadis itu.
“Raja memang baik namun
rakyat menjadi malu karena kebaikan raja, begitukah maksudmu, Sekar?” tanya
raja.
“Ya.” Sekar mengangguk. “Seandainya raja adalah orang
jahat dan bengis, rakyat pasti tidak akan mau memberikan apapun kepada raja.
Justru karena raja sudah terkenal sangat baik bahkan orang miskinpun merasa
malu bila tidak bisa memberi apa-apa kepada raja.”
Sekar tersenyum menatap raja. “Lalu tuan sendiri, apa yang biasanya tuan berikan kepada raja?”
Raja termangu sesaat. “Aku
tidak pernah memberikan apapun kepada raja.”
“Kenapa?” Tanya Sekar.
“Bukankah raja sangat baik pada rakyatnya dan sudah sepantasnya rakyat membalas
kebaikan raja dengan memberi hadiah-hadiah.”
“Aku hanya orang miskin
dan aku tidak memiliki apa-apa yang bisa kuberikan kepada raja. Raja memang
baik pada semua rakyatnya namun aku ingin raja juga tahu bahwa tidak semua
rakyatnya hidup berkecukupan. Banyak diantara rakyat yang hidup miskin namun
dalam kemiskinan mereka tetap berusaha ingin menyenangkan perasaan raja dengan
memberi hadiah-hadiah kepada raja. Suatu saat aku akan menghadap raja dan
menceritakan apa yang baru saja aku dengar darimu. Aku ingin mata raja melihat
bagaimana sesungguhnya kehidupan rakyatnya.”
“Oh, bagus sekali kalau
tuan bisa menghadap raja. Mudah-mudahan raja pun tahu sudah berbulan-bulan
lamanya aku dan kedua orangtuaku hanya makan
singkong rebus karena panen padi
kami yang hasilnya tidak seberapa sudah
kami persembahkan kepada raja.”
Sekar bangkit dari tempat
duduknya lalu masuk kedalam rumah panggungnya. Tidak lama kemudan Sekar kembali lagi keluar dengan membawa nampan
berisi dua cangkir teh hangat dan sepiring singkong rebus serta beberapa buah
gula merah.
“Mari dimakan singkong
rebusnya, tuan. Sangat enak dimakan dengan gula merah ini.” kata Sekar sambil menyodokan piring singkong dan gula
merah kehadapan raja.
“Terima kasih, tapi kalau
singkong ini kumakan nanti kau kehabisan.” Ujar raja.
“Kami masih memiliki
singkong. Kalau singkong rebus ini habis ibuku nanti akan merebusnya lagi.
Jangan khawatir. Meskipun kami miskin namun kami selalu menghormati tamu dengan
menyuguhi makanan dan minuman seadanya.”
“Oh, kau gadis kecil yang
baik budi.” Ujar raja.
Sekar tersenyum dan kembali mempersilahkan raja
menikmati singkong rebus dan gula merah. Raja mengambil sepotong singkong dan
gula merah. Oh, ternyata singkong dan
gula itu enak sekali dimakan sama-sama. Raja merasa malu, setelah mengisi bak
sampai penuh raja merasa capek karena tidak biasa bekerja seperti itu. Ternyata
singkong dan gula merah itu membuat raja
merasa lapar dan menghabiskan beberapa potong singkong dan gula merah.
“Singkong dan gula merah ini enak sekali.” Kata raja. Dia minum teh
hangat. Terasa makin nikmat.
Sekar tersenyum “Hanya makanan kampung yang sederhana
saja, tuan.” Ujar Sekar.
Esok harinya raja
mengumunkan bahwa mulai saat itu rakyat tidak boleh lagi mengirim apapun ke
istana. Apapun hasil yang diperoleh
rakyat digunakan untuk
kepentingan mereka sendiri. Apakah untuk dinikmati sendiri atau untuk diperjualbelikan. Dengan demikian
rakyat tidak akan terbebani dengan keharusan
memberikan hadiah kepada raja. Rakyat
menyambut gembira keputusan raja.
Seminggu kemudian berlalu,
Sekar sedang duduk sendirian didepan rumah panggungnya ketika tiba-tiba dia melihat
dua ekor kuda berhenti didepan rumah panggungnya. Seekor kuda menarik sebuah gerobak. Dua penunggang
kuda yang mengenakan pakaian seperti
pegawai istana turun dari kuda dan menemui anak itu.
“Apakah kau yang bernama
Sekar?” Tanya salah seorang penunggang kuda itu.
“Ya.” Sahut Sekar.
“Kami mengantarkan hadiah
dari raja untukmu.” Kata penunggang kuda itu.
“Hadiah dari raja?” tanya
Sekar tak mengerti.
“Ya, kami diminta
mengantarkan semua ini untukmu?”
“Apakah tuan tidak salah?”
“Tidak. Kamulah gadis
kecil yang dimaksud oleh raja.” Sahut pegawai itu.
Mereka lalu memasukan
semua hadiah pemberian raja kedalam rumah Sekar. Bermacam-macam makanan, aneka
rasa minuman, pakaian serta dua buah
boneka yang indah. Sekar memekik gembira ketika menerima hadiah itu. Terutama dua buah boneka cantik yang tak
pernah dimilikinya.
“Bagaimana raja bisa tahu
kepada saya?” tanya Sekar gembira.
Pegawai itu hanya
tersenyum, lalu mereka pergi.
Sekar mendekap kedua bonekanya. Dia berdoa semoga
suatu saat nanti dia bisa bertemu dengan
raja agar dia bisa mengucapkan terima kasih atas semua hadiah pemberian raja.
--- 0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar