Rabu, 06 Juli 2022

Memulai bertani dimasa menjelang pensiun.

 


Bagi sebagian orang bertani merupakan pekerjaan yang menyenangkan. Pekerjaan yang sekaligus untuk menyalurkan hobi. Namun bagaimana apabila suatu hari berkebun atau bertani bukan lagi sekedar hobi, namun dijadikan pekerjaan dimasa tua bila telah pensiun. Untuk menambah penghasilan. Atau bahan bisa juga dijadikan sumber penghasilan utama. Segalanya bisa saja. Namun untuk menjadi petani tidak semudah teorinya. Itu yang saya alami.

Bertani kedengarannya seperti sebuah kata yang  mudah dibayangkan namun ternyata tidak mudah dalam pelaksanaannya.

Bila ingin bertani, tanah dan lahan harus ada. Milik sendiri atau menyewa. Milik sendiri jelas akan lebih mudah. Baik tanah ada. Jadi langkah pertama ingin menjadi petani sudah terbuka. Tanah milik sendiri siap untuk digarap. Tapi pikiran masih mempertimbangkan, pertanian apa yang akan dilakoni.

Saya lahir dari keluarga petani. Aki Nini Buyut saya semuanya petani tulen. Kebetulan dari ayah saya, lalu saya bekerja dikantoran. Jadi artinya bagi saya walaupun pekerjaan petani adalah pemandangan sehari-hari, namun saya sendiri bukan petani. Terpikir jadi petani justru setelah menjelang pensiun karena memiliki lahan yang bisa digarap.

Karena turun temurun dari keluarga petani padi, jadi petani padi itu juga yang melintas dalam pikiran saya. Mengapa tidak? Saya sudah siap menjadi petani padi. Dan mulailah saya banyak bertanya  pada para penggarap padi yang sudah sejak jaman Aki Nini saya hingga orangtua saya mereka bekerja menggarap sawah turun temurun ini. Ditambah dengan membuka Google dan membaca masalah pertanian padi. Yang akhirnya cukup membuat saya jadi meringis. Apakah saya akan sanggup mengerjakaan semua pekerjaan itu yang ternyata tidak gampang. Namun kembali, pekerjaan apa yang mudah? Bukankah semua pekerjaan itu akan mudah bila sudah terbiasa dilakoni? Baik, saya tetap banyak bertanya seputar masalah pertanian. Siapa tahu saya akan sanggup mengerjakan semua pekerjaan itu.

Untuk menggarap sawah dan menanam padi membutuhkan banyak sekali proses dan pekerjaan yang harus dikerjakan. Sawah harus dibajak dulu, baik dengan traktor, atau kerbau, atau sapi atau juga dengan dicangkul. Membayangkannya saja saya sudah merasa pegal-pegal dan linu. Lalu membersihkan sawah dari rumpur liar.

Selesai dibajak, sawah dialiri air supaya gembur. Bila sumber air ada berarti pekerjaan lancar. Namun bila sumber air jauh, terpaksa mencari jalar agar aliran air bisa sampai mengaliri sawah yang kita garap.

Selesai digarap, sawah yang tergenang air harus dibiarkan dulu sekitar 2 mingguan.

Selesai urusan lahan, pekerjaan masih dilanjut dengan pemilihan benih padi. Benih padi yang bagus akan mempengaruhi keberhasilan panen nanti.

Setelah memperoleh bibit yang bagus dilakukan persemaian. Persemaian adalah tempat untuk memproses benih menjadi bibit yang siap ditanam.  Persemaian dilakukan sekitar 25 haria sebelum masa tanam. Setelah persemaian siap, barulah dipindahkan ke lahan utama dan mulai menanam padi di sawah.

Setelah selesai menanam padi, pekerjaan masih lanjut dengan perawatan padi. Mulai dari penyiangan dua minggu sekali, kemudian pengairan sesuai kebutuhan supaya tanaman tetap mendapat air dan tidak kering. Lalu dilakukan pemupukan dari mulai usia satu mingg berlanjut hingga usia 30 hari. Setelah itu apakah pekerjaan selesai? Oh ternyata belum.

Pekerjaan lain masih menunggu. Padi yang kita tanam rawan terserang hama. Hama yang sering menyerang padi adalah belalang, tikus, wereng. Untuk mencegahnya harus digunaan pestisida. Dan seperti yang sudah dilakukan petani sejak jaman dulu, untuk mencegah datangnya burung, digunakan orang-orangan sawah. Baju-baju bekas yang sudah rombeng jangan dibuang. Bisa digunakan untuk membuat orang-orangan.

Akhirnya saat panen pun tiba. Impian semua petani. Bila padi sudah menguning dan merunduk,  terasa keras dan berisi, telah berusia 35 hari, sebagian daun kering, gabah rontok dengan remasan tangan, itulah sebagian ciri-ciri padi sudah siap dipanen.

Cara memanen padi masih banyak yang menggunakan cara tradisional, dengan menggunakan ani-ani, sabit atau juga menggunakan mesin. Setelah selesai dipanen, hasil panen dijemur selama 2 hingga 3 hari. Setelah kering gabah disimpan ditempat yang kering.

Itulah hasil saya bertanya dan bercakap-cakap dengan penggarap sawah saya yang sudah berpengalaman bertani padi selama berpuluh-puluh tahun yang selama ini menggarap sawah sejak Aki Nini saya masih ada hingga akhirnya sawah itu diwariskan pada saya. Dan juga hasil membaca di Google, mengingat jaman sekarang apabila kita ingin bertanya apapun yang ingin kita ketahui, cukup klik Google dan hasilnya langsung bisa dibaca.

Yang jadi pertanyaan saya kemudian, apakah saya akan sanggup mengerjakan semua pekerjaan itu dari awal hingga akhir?

Ternyata saya menyerah sebelum sempat mencoba. Butuh waktu bertahun-tahun lamanya bagi saya bila ingin terjun langsung menggarap sawah. Lebih baik untuk saat ini saya serahkan dan percayakan dulu pada ahlinya, para penggarap sawah yang sudah berpengalaman berpuluh-puluh tahun lamanya menggarap sawah. Mereka sudah banyak berkerja sejak jaman Aki dan Nini masih ada. Artinya sejak usia muda para penggarap sawah itu sudah bekerja disawah.

Kelak saya juga akan mencoba menggarap sawah saya sendiri. Tapi bukan sekarang. Saya masih harus banyak belajar teori dan belajar melihat dulu bagaimana para pengarap sawah itu bekerja disawah. Kelak, mungkin saya juga akan bisa menggarap sawah sendiri. 

 







 

Rabu, 16 Maret 2022

Kesempatan menjadi petani baru bisa dilaksanakan setelah pensiun

 


Menjadi petani merupakan pekerjaan yang tak pernah terbayang dalam benak saya walaupun saya merupakan keturunan petani. Dari Aki Nini hingga buyut saya keatas merupakan petani. Sementara ayah saya adalah seorang pegawai negeri, demikian juga saya. Menjadi seorang pegawai negeri hal yang patut saya syukuri. Bukan hal yang mudah buat saya untuk menjadi seorang pegawai negeri, apalagi saya  memulainya dari seorang tenaga kontrak di pemda. Dan masa penantian saya untuk menjadi pegawai negeri sipil tidaklah sebentar. Butuh belasan tahun saya menunggu hingga akhirnya saya menjadi seorang pegawai negeri.  Disini saya tidak akan membicarakan mengenai pekerjaan menjadi pegawai negeri. Namun saya ingin bercerita apabila saya kelak menjadi petani setelah saya pensiun.




Menjadi petani, pekerjaan yang sepanjang hidup Aki Nini dan buyut serta leluhur saya merupakan pekerjaan utama mereka. Ayah saya total menjadi pegawai negeri. Bahkan setelah pensiun pun ayah saya menikmat masa pensiunnya, sama sekali tidak turun menjadi petani. Artinya sawah yang dimilikinya digarap oleh penggarap sawah sementara ayah saya menerima bagi hasil dari panen. Begitulah ayah saya.





Kembali pada saya. Masa pensiun tinggal beberapa tahun lagi. Rasanya saya juga sudah ingin segera menikmati masa pensiun saya. Namun apa yang akan saya kerjakan apabila saya telah pensiun nanti? Menjadi petani. Hanya itu yang ada dalam benak saya. Menjadi petani meneruskan pekerjaan yang sudah dirintis oleh Aki Nini serta buyut saya. Bicara memang mudah. Namun kenyataannya menjadi petani itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Namun kembali saya ingat, pekerjaan apa yang mudah dan tidak ada kesulitannya? Setiap pekerjaan pasti ada kesulitan dan ada tantangannya. Apalagi menjadi petani. Pekerjan yang sangat sulit buat saya.





Saya ambil contoh hal sederhana. Bertanam disekitar rumah. Entah sudah berapa puluh kali saya mencoba bercocok tanam, dalam polybag ataupun dalam pot (karena lahan rumah saya cukup sempit). Rasanya saya sudah cukup benar melakukan pekerjaan saya. Saya menyiapkan tanah yang cukup baik, juga membeli tanah dari penjual tanaman untuk mendapatkan hasil yang baik. Saya menyiapkan pot dan polybag secukupnya. Saya juga membeli beragam bibit tanaman secara online. Dan mulailah saya bercocok tanam. Saat itu rasanya saya sudah merasa setengah menjadi petani.  Tentu saja pakaian yang saya kenakan pun menyesuaikan seperti petani diluar negeri. Celana panjang dan kemeja. Lengkap dengan dudukuy, ciri khas petani Indonesia. 

Dihari libur selama dua hari itu saya tekun mengerjakan pekerjaan saya. Akhirnya selesai juga  saya menanam benih pada pot dan polybag. Jumlahnya cukup banyak. Puluhan pot dan polybag. Saya menatap senang pada jejeran pot dan polybag. Tentu saya tak lupa menyiraminya. Saat menanam itu saat musim hujan. Jadinya saya cukup terbantu dengan curah hujan sehingga saya tidak perlu menyiram tanaman saya setiap hari. Saya merasa rileks dan tentunya dengan harapan yang cukup tinggi bahwa semua tanaman saya akan tumbuh dengan baik dan nanti 3 atau 4 bulan lagi saya akan panen, panen cabe rawit, cabe merah, paria, tomat, terong, waluh dan beragam sayuran lagi. Saat itulah saya pasti akan merasa menjadi seorang petani sukses, sukses menanam di pot dan polybag.

Namun ternyata khayalan dan harapan saya ketinggian. Karena kesibukan yang lain sebenarnya saya nyaris tidak betul-betul mengurus semua tanaman saya. 3 bulan lewat, 4 bulan lewat, baru saya ingat dengan tanaman saya. Dan saya meringis. Ternyata tak ada satupun tanaman saya yang  tumbuh. Ah, sedihnya.

Namun saya tidak patah semangat. Saya kembali menanam dihari libur. Dan kembali setelah selesai saya lupa lagi. 3 kali begitu dan begitu terus. Akhirnya saya punya kesimpulan bahwa apapun memang harus diurus. Termasuk juga bertanam. Itu adalah cerita saya bertanam di pot dan di polybag. Maksud saya pengalaman itu akan menjadi perbandingan bila kelak saya menjadi petani, turun ke sawah dan bertanam padi.

Andaikan saja misal, tanah sawah yang saya miliki itu luasnya 50 bata. 50 bata kira-kira luasnya ; 50 X 14 meter = 700 meter persegi (Maaf bila saya salah berhitung). Bayangkan apabila saya menggarap sepetak sawah dengan luas 700 meter persegi, betapa beratnya pekerjaan itu karena bertanam dipot dan di polybag juga tidak mudah. Apalagi bila saya memilii beberapa petak sawah. Misalkan 5 petak sawah dengan luas yang berbeda-beda. Dan saya mengerjakannya sendirian tanpa bantuan orang lain, atau bantuan buruh tani. Kembali saya meringis dengan bayangan saya itu.

Tapi itu pemikiran dan dugaan saya saja. Karena kenyataannya, bagi petani, tanah garapan kecil atau luas, mereka tetap bisa menggarapnya dengan baik karena bertani sudah menyatu dengan jiwa  mereka. Mereka, para petani tulen itu, tetap tekun menggarap tanah garapan mereka, bertanam padi. Sudah tidak ada keluhan lagi punggung terbakar teriknya panas matahari ditengah hari,  atau diguyur hujan saat tengah bekerja disawah. Semua dilakoni dengan tekun dan ikhlas. Apapun hasil panen nanti, apakah panen akan  baik atau tidak. Mereka tetap tekun bekerja.  Apakah saya juga  akan bisa seperti  itu? Hanya waktu yang akan bisa membuktikannya kelak. Yang jelas, jiwa petani sudah saya rasakan, tertanam dalam jiwa saya. Minimal itu akan menjadi bekal saya kelak bila saya benar-benar terjun jadi petani.













 


Lotek langganan. Bumbunya ledok dan loteknya mantaf...



Lotek langganan yang bumbunya sangat ledok

Bagi orang Sunda lotek merupakan makanan khas Sunda yang sudah tidak asing lagi. Lotek dengan bumbu kacang, cabe rawit, gula merah, terasi, cikur, bawang putih, diulek halus, lalu dicampur dengan rebusan sayuran yang terdiri dari kangkung, waluh, toge, genjer dan rebusan sayuran segar lainnya. Kadang kala, lotek ditambah dengan kerupuk yang ditumbuk bersama dengan sayuran atau jug ditambah dengan lontong. Rasanya jelas enak dan penggemar lotek sepertinya tidak pernah berkurang, dimana ada tukang lotek, disitu ada pembeli yang setia menunggu penjual loteknya mengulek bumbu lotek.

Salah satu penjual lotek langganan saya tempat mangkalnya di Kaum, dekat Alun-alun Sumedang. Bumbu loteknya sangat ledok dan lezat. Hampir setiap kali saya kesana selalu saja antri menunggu. Banyak pembeli yang makan ditempat, ada meja dan bangku disana. Namun banyak juga yang membeli untuk dibawa pulang.

Jaman terus berubah. Banyak makanan-makanan baru yang dibuat dan didikreasikan, namun keberadaan lotek sepertinya tidak tergerus oleh jaman dan oleh keberadaan beragam makanan modern. Bagi saya lotek adalah makanan khas Sunda yang enak. Bisa dimakan langsung, bisa juga sebagai teman nasi. Dan lotek pesanan saya biasanya cabe rawitnya segenggam karena saya penggemar lotek pedas manis.

 


Senin, 14 Februari 2022

Ceritaku tentang sambal.

 

Sumber foto : Google


Sambal. Salah satu menu masakan yang nyaris selalu ada diatas meja makan. Sambal terasi, sambal goang, sambal oncom,  sambal kelewek, sambal kemiri, sambal tomat,  adalah beberapa jenis sambal yang kerap saya buat sebagai pelengkap hidangan diatas meja makan.

Kegemaran makan sambal sudah berlangsung sejak lama dikeluarga saya. Seingat saya, Aki Nini, Buyut, Bapa dan Mamah semuanya penggemar sambal. Seingat saya, Bapa tiap kali akan makan apabila terlihat diatas meja makan tidak ada sambal, selalu meminta Mamah membuatkaan sambal dadakan dahulu. Sambal ulek. Sambal terasi atau sambal goang. Sambal goang dikeluarga saya terdiri dari cabe rawit yang banyak, garam, gula pasir, sedikit penyedap, bawang merah, tomat. Diulek kasar.

Saat ada sambal, selera  makan pun langsung tergugah. Sambal membuat suasana makan bersama terasa lebih ceria. Rasa pedas sambal membuat tubuh menjadi terasa hangat berkeringat. Tak terasa nasi pun ditambah lagi dan usai makan   perut kenyang, tubuh terasa segar. Nikmatnya.

Kebiasaan membuat sambal, sambal ulek, menurun pada saya. Rasa-rasanya persediaan cengek alias cabe rawit termasuk bumbu pokok dapur yang harus selalu tersedia didapur.

Saat saya tengah makan sambil menikmati sambal, kadang suka terpikir bagaimana sejarah sambal, siapa pembuat sambal pertama, kenapa begitu banyak jenis sambal dan lain sebagainya yang terkait dengan sambal.

Untungnya saya sekarang hidup ditengah-tengah gaya hidup internet. Artinya untuk mendapatkan informasi cukup nyalakan internet dan klik google. Maka tararaaaaa..... segala macam informasi yang saya butuhkan pun langsung ada. Terima kasih internet dan google.

Saya jadi teringat jaman dulu, jaman ketika saya masih sekolah, apabila membutuhkan informasi harus pergi ke perpustakaan sekolah. Diantara deretan rak-rak buku yang berisi ratusan buku, dengan teliti, saya dan juga beberapa teman saya yang sama-sama sedang mencari informasi, harus mencari satu persatu buku disana yang memuat informasi yang saya butuhkan.

Butuh waktu berjam-jam di perpustakaan untuk mendapatkan buku yang saya butuhkan. Lalu apabila berhasil mendapatkan buku yang saya cari, saya akan menulis pada buku kecil catatan saya informasi yang saya butuhkan. Untuk menulis juga pastinya tidak serampangan. Ditulis dengan rapi agar hasilnya enak dibaca. Itulah secuil kisan saya dimasa sekolah dulu terkait buku dan perpustakaan. Jaman telah jauh berubah. Masih adakah anak-anak jaman sekarang yang rajin pergi ke perpustakaan dan memiliki buku catatan yang selalu dibawa kemana-mana?  Pastinya ada. Dan banyak. Walaupun jaman sudah modern dan kebutuhhan mendapatkan informasi cukup klik pada ponsel pintar, tapi pastinya masih ada satu dua tiga bahkan tak terhitung anak-anak muda yang masih menikmati  cara-cara jaman dulu.

Kembali ke soal sambal topik saya diblog kali ini, saya klik google dengan kata kunci ‘Sambal’. Tararaaaaa...... beragam tulisan tentang sambal memenuhi rasa ingin tahu saya. Jadilah beberapa jam saya membaca beragam tulisan tentang sambal. Sejarah sambal, asal usul sambal, jenis-jenis sambal dan beragam tulisan menarik lainnya tentang sambal.

Dan nyatanya saya ternyata adalah bagian dari jutaan orang “Penggemar Sambal’. Sungguh menggembirakan. Sambal menjadi bagian dari masakan sehari-hari.  


 
Sumber Foto : Google


 

 

Minggu, 13 Februari 2022

Menunggu bedug magrib....

Ayam bakar geprek bumbu petis...

Dendeng manis alias kere manis....

Saat musim tanam padi telah usai. Dikehijauan sawah...

Membuat sumur bor baru...



Membuat sumur bor baru telah menjadi keputusan saya yang menempati rumah peninggalan orangtua saya. Mengingat selama bertahun-tahun lamanya air dari sumur lama selalu mengeluarkan bau tak sedap, khawatir kena rembesan atau tercemar oleh hal-hal yang membahayakan kesehatan mengingat air adalah termasuk kebutuhan utama sehari-hari.

Apabila musim kemarau tiba, siap-siap saja air sumur akan kering. Bila sumur sudah kering, butuh waktu berjam-jam untuk membuat sumur terisi air lagi. Itu juga harus dipancing dengan memasukan air kelubang pompa sehingga air bisa keluar lagi setelah dipancing.

Apabila keluarga tengah berkumpul dan menginap, air suur yang tidak keluar akan membuat sekeluarga menahan diri tidak mandi dulu, menjaga persediaan air didalam gentong untuk berwudhu. Dan hal seperti itu telah lama berlangsung selama bertahun-tahun. Merepotkan. Karena kebutuhan air adalah kebutuhan yang seringkali tak bisa ditunda.

Akhirnya saya mengambil keputusan, harus membuat sumur bor baru lagi. Setelah dipertimbangkan lagi, tentu dengan memikirkan berapa biayanya untuk membuat sumur bor baru, akhirnya saya pergi menemui tukang sumur bor. Setelah bercakap-cakap, termasuk menentukan biayanya, akhirnya disepakati besoknya pekerjaan pengeboran sumur akan dimulai. Namun sorenya, salah seorang pekerja pengeboran sumur datang dengan membawa seorang pawang air. Menurut pekerja bor itu, dia tidak berani membuat sumur bor sembarangan bila tidak dibantu dengan jasa tukang pawang air. Karena pawang air itu yang bisa menentukan dimana ada air yang mengalir dan apakah airnya banyak atau tidak.

Berhubung kondisi sekeliling rumah sudah ditembok semua, saya mencoba menunjukan sepetak tanah yang masih tersisa yang belum ditembok disamping rumah. Namun ditolak oleh pawang air itu. Pawang air itu keluar rumah dan menunjuk pada lantai semen diluar rumah. Disini, katanya.

Akhirnya saya setuju. Untuk pawang air menggunakan biaya tambahan karena jasa pawang air diluar jasa pengeboran sumur. Tak apalah. Yang penting pekerjaan pengeboran sumur bisa berjalan lancar dan air mengalir bagus.

Besoknya pagi-pagi para pekerja sumur bor datang, ada lima orang, dengan membawa peralatan yang diangkut oleh mobil pick-up. Pekerjaan pembuatan sumur bor itu pun dimulai. Suara gemuruh mesin bor membuat suasana rumah terasa ramai dan berisik. Begitu pula mungkin tetangga-tetangga terdekat ikut terganggu dengan keberisikan suara mesin bor itu.

Saya memperhatikan para pekerja yang tengah bekerja itu. Mereka membongkar lantai dan menggalinya. Air dari sumur lama dialirkan kedalam cekungan tembok yang mereka buat itu. Berhubung mesin bor itu tinggi, akhirnya kanopi yang menutupi diatas dibongkar dulu sehingga mesin bor bisa dipasang dengan leluasa.

Butuh dua hari lamanya para pekerja itu mengerjakan pengeboran sumur. Saya lupa berapa kedalaman sumur bor itu. Antara 18 meter – 25 meter. Dihari kedua, salah seorang pekerja memperlihatkan air yang mengalir dari pipa yang telah dipasang. Kecil dan keruh. Kata pekerja itu, air yang keluar besarnya akan seperti itu. Tidak besar dan tidak deras. Walaupun memakai mesin pompa yang bagus namun kemampuan air yang bisa disedot hanya sebesar itu. Ya, sudahlah.

Setelah selesai pengerjaan sumur bor itu dan para pekerja telah membereskan peralatan mesin dan pulang, barulah saya membersihkan kotoran-kotoran lumpur bekas pengeboran yang berceceran disekeliling rumah. Air yang mengalir dari sumur bor baru masih kotor dan berlumpur. Besarnya hanya sebesar kelingking. Tidak mengalir deras seperti dalam bayangan saya  sebelumnya. Tidak apa-apa. Mungkin karena dibawahnya air belum terisi penuh. Mungkin nanti juga air akan memancar deras. Selesai membersihkan lantai yang penuh lumpur, saya masih menggunakan air dari sumur bor baru itu untuk menyiram tanaman. Air yang mengalir masih kotor dan berlumpur.

Selesai menyiram, saya mengisi ember dan jolang ditempat cucian. Airnya masih tetap keruh dan berlumpur. Berjam-jam lamanya air yang mengalir masih tetap keruh dan berlumpur. Akhirnya saat akan mandi saya menutup sumur bor baru dan kembali menggunakan sumur lama untuk mandi dan memasak.

Besoknya dan selama seminggu kedepan, tiap kali menggunakan air dari sumur bor baru, airnya masih tetap keruh dan berlumpur. Menambah pekerjaan lagi, karena ember dan jolang jadi kotor dan harus dibersihkan dari lumpur yang melekat. Juga lantai kamar mandi dan lantai tempat mencuci pakaian jadi kotor. Tidak apa-apa. Menambah kegiatan berkeringat.

Sebulan kemudian, air dari sumur bor baru itu sama sekali tidak mengalir. Entah kenapa. Suara mesinnya terdengar keras. Seperti tengah bekerja keras menyedot air. Kasihan mendengarnya. Ditutup. Diganti sumur lama. Besoknya dipakai lagi sumur bor baru. Masih tetap tidak mengeluarkan air. Cape sendiri gonta ganti mesin, mesin baru dan mesin lama, akhirnya saya kembali menggunakan sumur lama lagi yang airnya memang mengalir deras. Dan ternyata air sumur lama sekarang bersih, jernih dan sama sekali tidak berbau. Entah apa sebabnya. Apa mungkin karena sudah bercampur dengan air dari sumur bor baru. Entahlah.

Akhirnya selama dua bulan lebih saya terus menggunakan air dari sumur lama yang jernih, bersih dan tidak ada lagi bau-bau yang mengganggu. Sumur bor baru dibiarkan saja.

Hingga kemudia musim hujan tiba. Saya mencoba menggunakan sumur bor baru. Ternyata airnya mengalir. Tapi tetap kecil dan tidak deras. Dan tetap masih terlihat agak keruh. Namun baru sejam dipakai, airnya sudah tidak mengalir lagi. Kosong. Terpaksa ganti lagi dengan sumur lama. Capek rasanya. Namun saya tidak mau membuang-buang uang membuat sumur bor baru tapi tidak terpakai. Akhirnya saya terus gonta-ganti memakai antara sumur lama dan sumur bor baru. Hingga akhirnya puncak musim hujan tiba. Hampir setiap hari hujan turun dengan derasnya. Saya bertahan menggunakan air dari sumur bor baru walaupun airnya tidak mengalir deras. Dan ternyata sepanjang musim hujan itu air tetap mengalir dari sumur baru itu. Makin lama makin deras dan makin jernih. Air dari sumur lama akhirnya hanya dipakai sesekali saja.    

 


Menikmati kue putu saat udara dingin...

Membuat sumur bor baru...

Gepuk empuk dan cepat membuatnya... 💖💖💖

Kesibukan di dapur semalam membuat ketupat...

Segarnya suasana di pesawahan...

Nila panggang bumbu kecap...

Saat pandemi, dirumah saja. Sambil menyelesaikan pekerjaan kantor, lomba...

Memasak dirumah Eyang....

Saat pandemi corona, dirumah saja sambil belajar alat musik...

Makan surabi panas saat dinginnya hujan...

Cerita hari ini...

Tukang bubur langganan, cita-citanya naik haji... Mantap...

Diluar hujan deras, masak telur bumbu cabe...

Ramadhan Minggu pertama. Berkumpul dirumah Eyang. Buka bersama....

Musim hujan telah tiba, makan yang dibakar dan dipanggang..

New normal. Segera pulih negeriku...

Hiburan dimasa pandemi. Lomba nyanyi di video. Beberapa video yang terpi...

Mumpung musim hujan mencari bibit tanaman...

Daging domba pilihannya tetap di sate. Bakar sate...

Menjemur padi...

Simple life....

Mau bakar sate? Tapi arangnya susah menyala...

Akhir pekan panggang ikan dari kolam depan rumah didesa....

Melihat sawah yang telah tumbuh dan akan mulai menguning. Musim panen ak...

Panen padi masih tradisional, tapi hasilnya melimpah...

Panen Raya... hasil panen tahun ini Alhamdulillah...

Matahari dimusim kemarau yang panas membuat jemuran dendeng sapi cepat k...

Menyapu depan rumah sambil menunggu tukang baso lewat...

Menemani Eyang makan...

Di musim kemarau sawah dilanda kekeringan... Tak ada air yang mengairi s...

Selama pandemi dirumah saja, banyak berdo'a, makan bergizi,nikmati keind...

Hujannya tidak deras, tapi lama. Masak udang saus tiram.

Berkunjung kerumah tetangga...

Makan daging domba itu paling enak ya di sate....

Pagi-pagi jalan-jalan menelusuri jalan desa dikampungku yang subur dan s...

Yang lain liburan ke Swiss, kita mah liburannya di desa....

Rumah desa dikaki Gunung Tampomas...

Ngangon domba sebelum sawah ditanami padi lagi...

Objek wisata ditengah sawah...

Bertani dikaki Gunung Tampomas...

Memandangi hamparan sawah yang menghijau. Berharap panen segera tiba...

Buka bersama dirumah Eyang. Menunggu bedug magrib sambil siapin makanan...

Hiburan dimasa pandemi. Lomba nyanyi di video. Beberapa video yang terpi...

Kenangan saat masih memproduksi Batik Sumedang yang dikenal dengan Batik...

Senin, 07 Februari 2022

Sungai


 

Sungai tidak mengalir lurus melintasi padang, melainkan mengitari bukit dan gunung dan melalui lembah, kadang-kadang airnya terjun kebawah, tapi selalu sampai ditempat tujuan (Sinha Moca)