Jumat, 10 Mei 2013

RIMA DAN PENGEMIS






Rima, anak perempuan berusia sepuluh tahun, seorang  anak yang baik dan ramah. Dia tinggal bersama dengan kedua orangtuanya. Orangtua Rima membuka sebuah warung nasi. Warung nasi itu terletak dipinggir jalan. Namun meskipun berada dipinggir jalan, hanya sedikit orang  yang makan diwarung nasi milik orangtua Rima karena warung itu hanyalah sebuah warung kecil saja. Sementara diseberang jalan yang berhadapan dengan warung nasi orang tua Rima, ada warung nasi lain yang lebih besar dan lebih bagus milik Ibu Sarjo. Meskipun demikian, namun Rima tetap rajin bekerja membantu kedua orangtuanya bekerja diwarung nasi itu. Setiap  pulang sekolah Rima membantu orangtuanya bekerja menjaga warung nasi.  
Suatu hari Rima sedang menjaga warung nasi seperti biasa, sementara kedua orangtuanya sedang beristirahat setelah bekerja seharian. Saat itulah Rima melihat seorang pengemis yang kakinya penuh dengan  borok  dan kudis lewat didepan warung nasi milik ibu Sarjo.  Pengemis itu berhenti didepan warung nasi Ibu Sarjo dan meminta makan kepada Ibu Sarjo yang kebetulan sedang berada didalam warungnya. Namun bukan main kagetnya perasaan Rima ketika melihat Ibu Sarjo mengusir dan memaki-maki pengemis itu.
“Enak saja minta-minta!” teriak ibu Sarjo dengan marah. “Kamu pikir warung ini disediakan untuk memberikan makan pengemis sepertimu?!”
Pengemis itu tidak  menjauh dari warung Ibu Sarjo lalu menoleh pada warung nasi orangtua Rima. Beberapa saat lamanya pengemis itu menatap kedalam warung nasi milik orangtua Rima. Rima merasa kasihan melihat keadaan pengemis itu. Dia bergegas keluar.
“Kakek, tunggu. Jangan pergi dulu. Saya akan membungkuskan nasi untuk kakek.” Kata Rima ketika melihat pengemis itu beranjak akan pergi.
Bergegas Rima   membungkus  nasi dengan lauk pakunya lalu segera  diberikannya pada pengekis itu.
“Oh, terima kasih, nak. Kau sungguh baik sekali.” Kata pengemis itu sambil menerima bungkusan nasi dari tangan Rima. Pengemis itu duduk dibawah sebatang pohon asam yang tumbuh didepan warung nasi milik orang tua Rima. Namun pada saat itu Ibu Sarjo  keluar dalam warungnya dan berteriak pada  pengemis tua itu.
“Hei, pengemis! Pergilah menjauh! Jangan kau duduk disana! Nanti pengunjung warungku merasa mual melihat kakimu yang borok dan penuh dengan kudis!” teriak ibu Sarjo.
Pengemis itu bergegas pergi menjauh. Sementara Rima menatap pengemis itu dengan perasaan kasihan namun dia tidak bicara apa-apa melihat kelakuan ibu Sarjo.
Esok harinya Rima melihat  pengemis itu datang lagi. Namun kali ini pengemis itu langsung  berdiri didepan warung nasi orang tua Rima. Kembali Rima merasa iba melihat pengemis itu. Seperti  kemarin Rima kembali membungkuskan nasi dengan lauk pauknya dan diberikannya pada  pengemis itu.  
Demikianlah hari hari berikutnya hampir setiap hari pengemis itu selalu datang pada saat Rima yang sedang menjaga warung nasi. Dan Rima selalu saja  merasa iba melihat keadaan pengemis itu. Setiap kali  pengemis itu datang, Rima segera membungkuskan nasi dan lauk pauknya. Hal itu berlangsung lebih dari sebulan dan kedua orangtuanya tidak mengetahui apa yang telah dilakukan Rima.
Suatu hari Rima menjaga warung nasi  seperti biasanya. Namun hingga saatnya  warung mau tutup, Rima tidak melihat kedatangan pengemis itu.  Demikian pula keesokan harinya dan  hari-hari berikutnya.  Pengemis  itu tidak  pernah kelihatan lagi.
Dua minggu kemudian, tiba-tiba saja pengemis itu muncul didepan warung nasi orang tua Rima. Nampaknya luka-kuka dikakinya telah sembuh. Rima kaget dan senang melihat pengemis it. Dia segera membungkuskan nasi dan lauk pauknya seperti biasanya. Namun berbeda dengan hari-hari yang lalu, kali ini pengemis itu menolak pemberian Rima.
“Kau memang seorang  anak perempuan yang baik dan welas asih kepada sesamu.” Kata pengemis itu. “Siapakah namamu, nak?”
“Rima, kek.” Sahut Rima.
Pengemis itu mengeluarkan  sehelai kain berwarna abu-abu dari dalam tas kainnya yang tergantung dibahunya.
“Nak, kakek tidak punya apaun untuk membalas kebaikanmu selama ini,  namun  kakek punya sehelai kain ini yang akan kakek berikan kepadamu sebagai balasan atas kebaikanmu selama ini kepada kakek.  Bila engkau menginginkan sesuatu,  kibaskanlah kain ini tiga kali.  Apa yang kau minta akan terkabul. Namun kau hanya bisa mengajukan satu permintaan saja. Ingat nak, hanya satu  permintaan saja, sehingga kau  harus memikirkan baik-baik apa yang kau inginkan.”
 Rima termangu-mangu menerima kain itu. Pada saat itulah mendadak  kakek pengemis itu menghilang dari pandangan. Rima mengedarkan tatapannya kesekelilingnya. Namun dia tidak melihat kakek pengemis itu.
Malam harinya menjelang tidur Rima   termenung menatap kain abu-abu pemberian kakek  pengemis itu. Rima menyimpan kain itu   didalam lemari pakaiannya, namun  dia selalu teringat pada ucapan kakek itu bahwa dia bisa mengajukan satu permintaan dan permintaan itu akan terkabu. Berkali-kali Rima memikirkan apakah yang diinginkannya. Dia menginginkan perhiasan emas, berlian, baju bagus, sepatu bagus, dan aneka macam barang-barang yang selama ini tak pernah dimilikinya. Namun Rima menahan keinginannya itu. Dia harus memikirkan  permintaan yang benar-benar bermanfaat.  Akhirnya Rima tahu apa yang akan dimintanya.
“Jadikan warung nasi  orangtuaku menjadi sebuah rumah makan yang besar dan bagus  sehingga akan lebih banyak orang yang datang berkunjung kerumah makan itu.”  kata Rima sambil mengibaskan kain itu sebanyak tiga kali. Setelah itu Rima tidur dan tidak ingat lagi pada apa yang sudah dilakukannya. Dia tertidur lelap.
Esiook harinya ketika bangun tidur, Rima kaget  ketika  melihat  warung nasi orantuanya  telah berubah menjadi sebuah rumah makan  yang besar. Bangunan rumah makan itu besar dan kokor. Terdiri dari dua lantai. Rima melihat kedua  orangtuanya sedang sibuk melayani pengujung  yang memesan makanan.  
“Rima, cepat bantu ayah dan ibu. Sepagi ini sudah banyak sekali pembeli ke warung kita.”  Teriak ibunya ketika melihat Rima yang berdiri termangu melihat kesibukan kedua orangtuanya.
“Bukan warung.” Kata ayahnya, “Warung kita sudah  berubah menjadi rumah makan. Ayo Rima, cepat bantu ayah dan ibu. Kamu yang mengantarkan pesanan ke meja-meja pengunjung.”
Rima tersadar. Bergegas dia membantu kedua orangtuanya. Sehari itu Rima bekerja keras membantu kedua orangtuanya melayani  pembeli yang terus berdatangan. Malam harinya barulah rumah makan itu tutup.
“Kita  harus mencari beberapa orang pelayan untuk membantu mengurus rumah makan ini.” Kata ibunya.
“Ya, benar.” Sahut ayah. “Tapi tunggu dulu, ada yang ingin ayah tanyakan kepadamu, Rima. Kenapa warung kita bisa berubah menjadi sebuah rumah makan yang besar?”
Rima menceritakan pengalamannya  bertemu dengan pengemis tua itu. Lalu dia menceritakan tentang sehelai kain abu-abu pemberian pengemis tua itu.
“Kakek itu pastilah bukan seorang pengemis.” Kata ayah setelah Rima selesai bercerita. “Pastilah dia seorang yang sakti. Sekarang mana kain itu, ayah ingin melihatnya.”
Rima mencari kain itu didalam lemari pakaiannya, namun kain itu tidak berhasil ditemukannya. Kain itu telah menghilang. Rima menceritakan hal itu kepada ayahnya.
“Tidak apa-apa, mungkin kain itu sudah kembali kepada pemiliknya semula, kakek pengemis itu. Namun  apa yang diucapkan oleh kakek itu sudah menjadi  kenyataan. Permintaanmu agar warung nasi kita berubah menjadi sebuah rumah makan yang besar dan bagus telah dikabulkan. Kau memang seorang anak yang baik, Rima. Ayah   dan ibu bangga memiliki anak sepertimu.“ kata ayahnya.
Esok harinya  orangtuanya mencari beberapa orang pelayan untuk membantu pekerjaan dirumah makan itu. Dua hari kemudian dirumah makan itu sudah ada lima orang pelayan yang membantu bekerja. Sepulang sekolah Rima tetap  ikut bekerja membantu orangtuanya. Dia bertugas sebagai kasir.
Keberadaan rumah makan milik orangtua Rima yang laris itu telah membuat warung nasi ibu Sarjo tidak laku. Warung  nasi milik ibu Sarjo selalu sepi karena pengunjung lebih senang makan dirumah makan milik orangtua Rima, karena masakannya yang enak dan harganya yang murah. Rumah makan itu tidak pernah sepi dari pengunjung. Tidak lama kemudian Rima melihat warung nasi ibu Sarjo ditutup. Pada pintu warung nasi milik ibu Sarjo dipasang tulisan ‘TUTUP”.

--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar