Minggu, 12 Mei 2013

Desember Merah Jambu






Listi menyibakkan gorden kamar. Udara hangat sinar mentari pagi terasa menembus kaca kamarnya. Dia mengambil jam tangannya diatas meja disamping tempat tidur. Jam tujuh lewat sepuluh menit. Nyenyak benar tidurnya semalam. Kertas-kertas berserakan diatas karpet bekas semalam. Dia tengah rajin membuat surat lamaran kerja keberbagai perusahaan. Berharap ada salah satu lamarannya yang diterima. Bekerja diperusahaan merupakan cita-citanya setelah dia lulus dari perguruan tinggi. Walaupun ayahnya tidak menghendakinya bekerja. Ayah berharap dia meneruskan usaha ayahnya mengelola rumah makan yang sudah dirintis ayah dan ibunya sejak puluhan tahun lalu. Itu keinginan ayah. Keinginannya sendiri berbeda dengan keinginan ayahnya. Dia sudah menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi dan baru sebulan lalu diwisuda menjadi sarjana ekonomi. Dia punya cita-cita dan angan-angan sendiri dengan masa depannya.
Sejak  diwisuda sebulan lalu, dia  kembali pulang kerumahnya di Sumedang  dan menikmati hari-harinya sebagai seorang penganggur. Setelah pulang kembali ke Sumedang banyak waktu  lagi  bercakap-cakap dengan kedua orangtuanya. Dari percakapan biasa  hingga percakapan-percakapan  penting. Dia ingin menikmati masa-masa menganggurnya sebelum disibukan dengan urusan pekerjaan bila nanti ada lamarannya yang diterima. Namun keadaan sekarang sudah berbeda dengan dulu.   Ayah dan ibu sudah menganggapnya dewasa dan sudah siap untuk meneruskan usaha ayah dan ibunya mengelola rumah makan mereka. “Rumah Makan Listi”.  Ayah tetap  tidak mengijinkannya bekerja dikantoran seperti keinginannya. Ayah  tetap ingin dia meneruskan usaha ayahnya mengelola rumah makan.
Semalam hal itu kembali menjadi topik pembicaraan diantara mereka. Dirinya, ayahnya dan ibunya.
“Kamu anak papa  satu-satunya. Bila bukan engkau lantas siapa lagi yang akan meneruskan mengelola rumah makan ini?” Ayahnya seakan ingin memberinya pengertian.
“Papa, minatku bukan pada mengurus rumah makan.” Sahut Listi. “Aku ingin bekerja dikantoran seperti teman-temanku yang lain. Aku ingin bekerja disebuah perusahaan bonafide. Aku ingin menjadi seorang wanita karier.  Itu sudah cita-citaku sejak dulu…”
“Listi,  kamu pikir bila engkau mengurus rumah makan  hal itu bukan sebuah pekerjaan?” potong ibunya yang mulai kesal dengan kekeraskepalaan anaknya. “Kau justru akan disebut  sebagai seorang wanita pengusaha. Pengusaha rumah makan…”
“Ma, aku ingin benar-benar bekerja di kantoran. Aku ingin mengenakan seragam kantor  atau mengenakan busana  sebagaimana layaknya wanita yang bekerja dikantoran.” Sahut Listi. “Bila aku bekerja dirumah makan, aku tidak perlu berdandan setiap hari. Penampilanku biasa-biasa saja. Malahan lama-lama penampilanku akan seperti layaknya  seorang koki…..”
“Penampilan saja kau permasalahkan!” cetus ayahnya tak mengerti dengan jalan pikiran anaknya. Sekian puluh tahun lalu dengan susah payah dia merintis usaha rumah makan. Dari sebuah rumah makan sederhana hingga  berkembang menjadi sebuah rumah  makan yang cukup besar. Rumah makan yang dirintisnya dengan susah payah kini cukup dikenal dan banyak pengunjung setiap hainya.  Dengan harapan kelak anak semata wayangnya ini akan meneruskan usahanya. Namun kini Listi begitu keras kepala tak perduli dengan perjuangannya selama ini.
“Listi, dengan mengurus rumah makan pun kau  tetap akan bisa tampil gaya, berdandan, seperti engkau sekarang ini…” ucap ibunya. Dia jadi tersenyum sendiri dengan alasan anaknya. Menurutnya alasan itu sangat sepele.
“Ma, pokoknya tetap akan beda bila aku bekerja dikantoran dengan aku bekerja dirumah makan. Titik.” Kata Listi bersikukuh.
“Listi, alasanmu sungguh tidak masuk akal. Kau hanya terbuai dengan masalah penampilan saja. Engkau tidak berpikir luas, betapa engkau seharusnya bersyukur ayahmu sudah menyediakan sebuah pekerjaan untukmu sehingga engkau tidak usah pergi kesana kemari mencari dan melamar pekerjaan. ….” Ayahnya  mulai jengkel dengan anaknya. Suaranya mulai meninggi.
“Papa, aku sudah sering berkhayal, alangkah menyenangkannya bila aku sudah bekerja, aku mengenakan seragam yang modis, memakai sepatu hak tinggi, menjinjing tas yang serasi, dan aku berdandan seperti layaknya wanita karier.” Kata Listi. “Disamping itu, dengan bekerja dikantoran aku bisa mengembangkan kemampuanku secara oftimal. Aku lebih bisa mengembangkan diri. Bekerja di kantoran sudah lama menjadi cita-citaku. Aku punya obsesi sendiri dengan masa depanku.” 
“Listi, papa pikir pikiranmu masih terlalu kekanak-kanakan.” Ayahnya mulai mengaum. “Rumah makan ini adalah masa depanmu yang sudah papa persiapkan jauh-jauh hari, puluhan tahun lalu,  bahkan disaat usiamu masih kecil.”
“Aku bisa mencari masa depanku sendiri. Papa sudah menyekolahkan aku. Papa sudah memberiku bekal pendidikan yang baik. Dengan bekal pendidikan itu aku bisa mendapatkan pekerjaan dan merintis masa depanku sendiri.”
“Dengar nak, kau anak papa satu-satunya, atau rumah makan ini papa wariskan pada anak orang lain saja?” Ancam ayahnya.
“Tentu mama tidak setuju.” Tukas ibunya cepat, khawatir suaminya bukan sekedar mengancam melihat kekeraskepalaan anaknya.  “Kenapa kita harus mewariskan rumah makan ini pada anak orang lain bila kita sendiri masih punya anak?”
“Mama dengar sendiri dia tidak mau meneruskan usaha rumah makan ini, kenapa kita harus memaksa anak kita bila dia tidak mau? Coba kalau dulu papa menikah lagi dan punya anak lain, tentu anak itu yang akan mewarisi rumah makan ini.” Sahut ayahnya, tersenyum pada ibunya.
“Tentu saja tak akan mama ijinkan papa menikah lagi.” Tukas ibunya serius. Dia lalu menoleh pada Listi,  tersenyum menatap anaknya yang keras kepala.  “Kau pasti tidak mau papa mencari anak orang lain untuk mendapatkan warisan rumah makan ini, kan?”
“Kenapa harus secepat ini aku menggantikan papa dan mama mengelola rumah makan ini? Aku masih bisa meneruskan usaha ini nanti, sepuluh tahun lagi atau lima belas tahun lagi. Untuk saat ini biar aku mencari pengalaman dulu bekerja ditempat lain.”
“Bila engkau tidak belajar dari sekarang, kau nanti tidak akan bisa mendadak mengelola rumah makan ini begitu saja. Segalanya membutuhkan pengalaman dan belajar.” Ayahnya tidak mengaum lagi. Ayah tahu, Listi belum memahami maksud dan tujuan baik kedua orangtuanya. Anak itu masih perlu diberi pengertian.
“Lalu bagaimana dengan ijasah sarjanaku? Aku hampir lima tahun kuliah di Bandung. Aku belajar keras agar aku bisa segera menjadi seorang sarjana seperti harapan papa dan mama. Namun kini ketika aku sudah selesai, aku tidak sempat memetik hasilnya.”
“Kau sudah memetik hasilnya, Listi. Di kantor lain kau hanya sebagai staf. Tapi dirumah makan ayahmu ini engkau langsung menjadi pimpinannya.” Ibunya tersenyum.
“Memang benar dirumah makan aku sebagai pimpinan  tapi bukan jabatan bergengsi. Aku tidak punya kursi dan meja. Aku tidak memakai seragam. Dan stafku adalah tukang masak  dan pelayan rumah makan.” Listi bersungut kesal. “Papa, jangan kandaskan cita-citaku. Sudah lama aku berkhayal ingin bekerja dikantoran, punya meja dan kursi yang nyaman, setiap hari duduk menghadapi computer…..”
“Bila kau ingin punya kursi dan meja, semua itu gampang dan bisa diatur.” Kata ayah akhirnya, dengan nafas lega. “Kau  bisa memasang kursi dan meja seperti halnya dikantoran  disalah satu ruangan disamping rumah makan dan kau duduk disana seperti layaknya seorang pemimpin perusahaan.”
“Papa, aku tidak bercanda.”
“Papa juga tidak bercanda. Papa heran dengan pikiranmu. Kursi dan meja saja kau persoalkan.”
Untuk masalah rumah makan Listi  tidak mau berdebat lagi walaupun dalam hatinya dia tetap berniat akan melamar pekerjaan ke perusahaan yang diidamkannya. Pembicaraan diantara dirinya dan kedua orangtuanya berlanjut pada hal lain. Mengenai hubungannya dengan Donie. Ayah dan ibu sudah   mendesaknya agar hubungannya dengan  Donie segera diresmikan sebagai suami istri karena sekarang dia sudah menyelesaikan pendidikannya. Kedua orangtuanya melihat hubungannya dengan Donie sudah cukup lama. Namun dia  enggan bicara terbuka pada kedua orangtuanya bila hubungannya dengan Donie  saat ini  terasa mengambang. Dia ragu bila hati Donie masih kepadanya. Dia pernah memergoki Donie  tengah bersama dengan gadis lain. Hatinya sakit. Dan dia merasa semakin sakit ketika Donie  mengakui memang dirinya tengah dekat dengan gadis itu. Bagaimana mungkin dia akan mengajak  Donie  bicara mengenai kelanjutan hubungan mereka bila hati Donie  saat ini bercabang dua.
Suara ketukan dipintu membuyarkan lamunan Listi. Pintu terbuka. Yulia masuk. Rambutnya yang dicat kemerahan diikat menjadi satu. Penampilannya selalu cantik, modis dan gaya.
“Halo sayang. Baru bangun?” Yulia masuk dan duduk ditepi tempat tidur memperhatikan Listi yang masih bergulung selimut. Yulia memperhatikan kertas-kertas yang berserakan diatas karpet. “Astaga. Masih sibuk dengan urusan lamaran pekerjaan, ya?”
“Ya. Semalam aku membuat lagi beberapa buah surat lamaran kerja. Aku tetap ingin bekerja dikantoran walau papa tetap menginginkan aku meneruskan usaha rumah makan.” Sahut Listi masih agak mengantuk. Waktu subuh dia bangun, shalat, lalu meneruskan tidurnya lagi yang  belum puas.
“Tidak usah jadi dilema. Jalani saja. Kupikir kau juga jangan terlalu ngotot ingin bekerja dikantoran bila usaha rumah makan ini lebih menjanjikan masa depan yang lebih  baik buatmu. Jangan berpikir muluk bahwa dengan bekerja dikantoran masa depanmu akan lebih terjamin. Jika aku menjadi kamu, aku akan menuruti keinginan orangtua. Kenapa harus berpikir mencari pekerjaan dikantoran bila ternyata sudah ada usaha yang pasti didepan mata. Lebih baik kita realistis. Jaman sekarang mendapatan pekerjaan bukan hal yang gampang walaupun kita sudah mengantongi ijazah sarjana. Jaman sekarang masih banyak sarjana  yang menganggur.  Bila didepan mata kita sudah ada sebuah kesempatan, kenapa kita tidak mengambil kesempatan itu saja?”
Listi hanya menguap mendengar ucapan Yulia. Yulia mungkin benar, namun dia ingin merasakan bagaimana berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan.  Dia menyibakkan selimut yang menutup kedua kakinya.  
“Aku mandi dulu.” Kata Listi. “Nanti antar aku ke kantor pos, ya. Aku tetap akan mengirimkan surat-surat lamaranku ke beberapa perusahaan.”
“Oke.” Sahut Yulia. “Kau boleh mencoba bagaimana susahnya mendapatkan pekerjaan. Bila usahamu berhasil, bisa bekerja dikantoran, mungkin hokimu ada disana. Namun bila gagal, setidaknya engkau sudah mencobanya dan sudah bisa merasakan betapa susahnya mendapatkan pekerjaan dijaman sekarang ini.”
Listi mengeluarkan motornya. Selama kuliah di Bandung dia tidak membawa motornya dan lebih menikmati naik angkutan umum kesana kemari. Motor hanya dipakainya bila dia tengah pulang di Sumedang. Sekarang setelah berada dirumah kembali, dia mulai menggunakan motornya itu lagi pergi kesana kemari.
Menikmati kembali suasana Sumedang kota kelahiran terasa sangat menyenangkan. Sumedang yang dikenal dengan sebutan kota tahu sudah mengalami banyak perubahan namun mereka  masih tetap merasa seperti suasana beberapa tahun lalu ketika keduanya  baru lulus SMA. Motor yang dikendarai Listi melaju dijalanan yang tidak terlalu padat dengan arus lalu lintas. Rasanya Sumedang masih tetap seperti Sumedang empat  tahun lalu ketika mereka baru lulus SMA.
Yulia yang duduk dibelakangnya tidak berhenti mengoceh, mengomentari suasana Sumedang. Setelah mengeposkan surat-suratnya ke kantor pos, mereka berkeliling-keliling. Sinar mentari terasa menghangatkan tubuh mereka.  Mereka melintas didepan sekolah mereka sewaktu SMA. Pohon beringin tua yang dulu banyak berjejer disepanjang jalan didepan sekolah sudah tidak ada lagi. Listi menghentikan motornya. Keduanya menatap pada bangunan sekolah mereka yang kini sudah berubah dibanding empat tahun lalu ketika mereka baru  lulus. Bangunan sekolah itu sekarang sudah berlantai dua. Lapangan basket sudah ditata lebih baik lagi dibandingkan dengan saat mereka masih sekolah disana dulu. Kini disisi kiri lapangan basket sudah ada taman sekolah yang indah dan asri. Namun perubahan yang paling terasa, kini tidak ada lagi pohon-pohon beringin tua yang berjejer disepanjang jalan didepan sekolah yang membuat sekolah dahulu terasa rimbun dan teduh. Suasana rimbun dan teduh itu kini tinggal kenangan.
“Kemana beringin-beringin disepanjang jalan didepan sekolah kita?” tanya Yulia. “Kemana pohon-pohon beringin tua yang membuat suasana sekolah kita dulu terasa nyaman dan sejuk?”
“Semuanya sudah habis ditebang.”  Kata Listi.  “Diganti dengan pohon-pohon akasia.”
“Aku ingin sepanjang jalan di Sumedang tetap rimbun dan teduh seperti dulu ketika dimasa kita masih SMP dan SMA. Kita bisa menikmati keteduhan itu disepanjang jalan.”
“Sulit mempertahankan sebuah wajah kota  karena pembangunan terus menerus terjadi bahkan pada Sumedang kota kecil ini sekalipun.” Sahut Listi. “Banyak pengusaha yang menanamkan modalnya dalam berbagai macam usaha di Sumedang. Kau lihat, kini di Sumedang sudah berdiri beberapa buah supermarket. Bandingkan dengan dulu, banyak warga Sumedang yang berbelanja ke Bandung karena di Sumedang masih kurangnya pusat-pusat perbelanjaan yang memenuhi selera konsumen. Selain itu banyak tempat-tempat usaha lain yang berdiri. Banyak rumah makan-rumah makan baru yang bermunculan. Banyak warung internet hampir disetiap sudut kota. Banyak toko-toko baru. Selain itu, pelebaran jalan sudah dilakukan beberapa kali untuk mengantisipasi kepadatan lalu lintas di Sumedang yang semakin padat. Salah satu konsekwensi dari pelebaran jalan  adalah dengan melakukan penebangan pada pohon-pohon disepanjang jalan. Selain untuk pelebaran jalan, penebangan pohon dilakukan karena sekarang sepanjang jalan kiri dan kanan dibuat trotoar.   Wajah Sumedang tanpa disadari terus menerus mengalami perubahan.”
 “Rasanya baru kemarin kita melewati masa remaja kita disekolah kita ini.” Yulia menghela napas dalam seakan meresapi suasana disekitar sekolahnya dulu. 
“Ya.” Listi mengangguk. “Rasanya  memang seperti baru kemarin kita bersekolah disini dan menikmati masa remaja kita yang penuh dengan beragam kenangan.”
“Lihat bangku ditaman itu. Bangku itu masih ada disana. Dulu kita sering duduk disana makan baso sambil menonton yang latihan basket.” Seru Yulia.
Ponsel Listi berbunyi. Winda menelepon.
“Lis, kamu dimana? Aku sekarang dirumahmu, tapi kata ibumu kau dan Yulia tadi keluar.”
“Baru dari kantor pos.” sahut Listi. “Sekarang sedang nangkring depan sekolahan kita. Bernostalgia.”
“Aku menyusul kesana sekarang.”
“Tidak usah kemari, kita sekarang sudah mau pulang.”
“Oke, aku tunggu.”
“Maksudku, kita pulang kerumah Yulia. Jadi kau tunggu kita disana, oke?”
“Oke.”
Winda sedang duduk santai diteras depan ketika Listi dan Yulia tiba dirumah Yulia.
Persahabatan diantara mereka bertiga sudah terjalin sejak masa SMA dulu. Mereka berusaha mempertahankan persahabatan itu. Jangan ada iri dengki diantara mereka. Jangan ada saling membicarakan kejelekan mereka diantara mereka. Jangan ada saling menjatuhkan diantara mereka. Itu komitmen mereka bertiga ketika dulu semasa SMA mereka sekelas dan mulai menjalin persahabatan. Sebenarnya dulu mereka berempat. Hani, salah seorang lagi sudah tidak pernah bersama dengan mereka lagi. Tiga bulan menjelang kelulusan mereka dari SMA. Hani tidak bisa memegang komitmen diantara mereka. Dia sering membicarakan ketiganya pada teman-teman sekelas mereka yang lain. Menceritakan apa yang mereka kerjakan dan menyampaikan sisi-sisi negative ketiga temannya. Ketika ketiganya mengetahui Hani sering membicarakan kejelekan mereka pada teman-teman yang lain, secara perlahan mereka menjauh dari Hani. Hingga akhirnya mereka hanya bertiga. Hingga sekarang. Dikampus mereka memiliki teman-teman masing-masing. Namun diluar kampus mereka tetap menjaga kekompakan mereka bertiga. Bukan perkara mudah, namun kenyataannya persahabatan itu masih bisa bertahan hingga mereka bertiga bisa menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi dalam waktu bersamaan dan diwisuda dalam waktu yang sama.
Ketika Listi dan Yulia datang, Winda tengah duduk dikursi rotan diteras depan.
“Coba kemari. Aku mau memperlihatkan  sesuatu pada kalian.” Yulia mengajak Listi dan Winda masuk kedalam garasi. Didalam garasi ada sebuah mobil sedan berwarna merah jambu. Sebuah mobil sedan keluaran belasan tahun lalu namun catnya kelihatan  mengkilap sehingga seperti mobil  baru.
“Seminggu  setelah diwisuda aku  mendapat hadiah sebuah mobil sedan dari ayahku.” Kata Yulia dengan nada senang. “Bukan mobil baru. Mobil bekas keluaran lima belas tahun lalu.  Sudah termasuk mobil kuno. Namun  aku  tetap  gembira mendapat hadiah mobil dari ayahku. Sudah lama  aku  ingin memiliki mobil sendiri, tidak harus rebutan dengan mobil yang suka dipakai ayah dan ibuku. Mobil sedan ini  semula berwarna putih namun aku memasukannya ke bengkel dan merubah catnya menjadi berwarna merah jambu. Dengan warna merah jambu, aku  masih bisa  tampil gaya dengan mobil kunoku ini, kan?”  Yulia Ketawa. Dia senang  ketika memamerkan mobilnya yang baru selesai dicat pada Laras dan Winda. Penampilan Yulia sendiri sehari-hari jauh dari sederhana. Semarak dengan warna. Ramai dengan asesoris. Hobinya belanja dan berdandan.
“Memang  mobilmu kelihatan lebih gaya  dengan warna merah jambu.” Komentar Winda. “Tapi akan  kelihatan semakin  gaya bila mobil itu membawa kita jalan-jalan.”
“Jalan-jalan? Kemana? Oke. Mumpung kita masih menganggur, mengapa kita tidak memanfaatkan kebersamaan kita ini sebelum kita nanti punya kesibukan masing-masing yang membuat kita kesulitan  untuk kumpul bersama.”  Sahut Yulia. Dia menatap Listi dan Winda. “Kemana kita akan jalan-jalan? Kau punya ide liburan kemana?”
“Bagaimana kalau ke Bali?” Tanya Winda.
“Bali? Naik mobil? Apa tidak terlalu jauh? Aku tidak akan sanggup menyetir sejauh itu…….”
“Kita   menyetir bergantian?” tukas Winda.
“Bagaimana kalau ke Jogja saja?” usul Listi.
“Jogja? Kita sudah dua kali liburan bertiga ke Jogja. Bosan. Bagaimana kalau ke Puncak saja?” usul Yulia.
“Puncak? Kita sudah pernah berlibur bersama ke Puncak. Lagi pula bila kita ke Jakarta, kita selalu  melewati Puncak. Aku lebih setuju kita berlibur ke Jogja. Tidak apa kita sudah dua kali liburan bersama ke Jogja. Liburan di Jogja tidak pernah bosan.” Kata Winda.
“Oke, aku juga setuju.” Sahut Yulia akhirnya.
Mereka sepakat berlibur ke Jogja. Liburan bersama ke Jogja untuk ketiga kalinya. Sewaktu kuliah, mereka sudah dua kali liburan bersama ke Jogya. Bukan hanya sekedar berlibur, namun menikmati persahabatan mereka yang sudah terjalin sekian lamanya. Kebersamaan itu masih milik mereka seperti ketika semasa SMA dulu. Sambil  menunggu lamaran pekerjaan, lebih baik mereka menikmati masa menganggur dengan berlibur bersama. Mumpung masih ada waktu untuk bersama-sama. Sebelum mereka bertiga  akan segera  disibukan dengan  dunia baru mereka. Dunia kerja. 
Bagi Listi, liburan ini sekaligus untuk melepaskan dirinya sementara waktu dari persoalan yang tengah dipikirkannya.  Persoalan dengan ayahnya yang tidak mengijinkannya bekerja ditempat lain dan  juga persoalannya dengan Donie, lelaki yang sudah hampir dua tahun mengisi hatinya.  Dia membutuhkan tempat untuk sementara waktu  yang bisa membuatnya untuk beberapa saat melupakan persoalannya dan menikmati hidupnya tanpa memikirkan persoalan apapun. Ajakan Yulia dan Winda disambutnya dengan suka cita.

--- 0 ---

Sejak berangkat dari Sumedang mereka bergantian menyetir mobil. Perjalanan yang  mengasyikan,  melelahkan juga mendebarkan karena Yulia belum lama mengenal mobilnya dan dia masih kurang faham dengan mesin mobilnya. Mobil mogok beberapa kali ditengah jalan. Beruntung Winda  cukup hapal soal mesin karena terbiasa menggunakan mobil ayahnya dan bisa sedikit mengotak-atik mesin. Ketika mesin mobil sudah lancar tidak ada masalah lagi, ditengah perjalanan mereka menyadari ada yang tidak beres lagi dengan mobil merah jambu Yulia. Beruntung kali itu mobil mogok  didepan sebuah bengkel. Pemilik bengkel menghampiri mereka.
“Wah, kipasnya tidak jalan, neng.” Kata pemilik bengkel itu usai memeriksa mobil  mogok itu.
“Jadi bagaimana?” Tanya Yulia yang kelihatan sabar menghadapi kerewelan mobil hadiah ayahnya yang sudah dianggap soulmatenya, yang sejak dimilikinya setia menemaninya kesana kemari dan membuatnya lebih  gaya daripada naik turun angkot.
“Rupanya harus diganti kipasnya.”
Dengan cekatan pemilik bengkel itu membongkar kipas mobil dan memeriksanya.
 “Lihat, kipasnya sudah tidak jalan. Harus diganti.” Kata pemilik bengkel itu memperlihatkan kipas yang sudah tidak berfungsi lagi kepada Yulia, Winda dan Listi yang memperhatikan dengan seksama pemilik bengkel yang tengah bekerja itu.
“Kalau memang  sudah tidak berfungsi lagi, ya tolong diganti saja, pak. Kemana harus membeli kipas itu?” Tanya Yulia yang kelihatan pasrah.
“Disini juga ada.” Lelaki itu masuk kedalam bengkelnya dan kembali dengan sebuah kipas baru.
Sesaat Yulia dan pemilik bengkel itu tawar menawar harga. Setelah harga disepakati barulah pemilik bengkel itu mengganti kipas dengan yang baru. Bukan main senang ketika mereka sudah bisa melanjutkan kembali perjalanan. Namun baru empat jam menempuh perjalanan, ketika Winda yang tengah kebagian giliran  menyetir mobil, tiba-tiba dia  melihat asap mengepul keluar dari  kap mobil.
“Astaga kenapa lagi?” tanya Winda, Yulia dan Listi hampir bersamaan.
Mereka terkejut melihat asap yang mengepul pada kap. Winda bergegas menepikan mobil kepinggir jalan. Ketiganya bergegas turun dari dalam mobil. Winda membuka kap mobil. Mobil mengepul panas.
“Aduh, kenapa lagi nih?” tanya Yulia. Dia tidak berani menyentuh apapun. Hanya menatap bingung dan bengong.
“Aku juga tidak tahu.” Sahut Winda tidak kalah bingungnya. “Inilah resikonya bila perempuan semua yang melakukan perjalanan. Kita jadi kebingungan sendiri bila tidak membawa laki-laki.”
“Bawa laki-laki juga percuma kalau dia tidak tahu mesin.” Tukas Yulia.
Seorang pengendara motor yang  lewat memperhatikan ketiga perempuan itu yang tengah berdiri berjejer  didepan mobil dengan kap terbuka yang mengeluarkan asap yang mengepul. Dia  menghentikan motornya dan menghampiri mereka. Lelaki itu turun dari motornya diikuti temannya yang diboncengnya.
“Ada apa, mbak?” tanya lelaki itu. Dia memperhatikan kap yang mengepul.
“Mobil saya, mas. Tidak tahu kenapa. Tiba-tiba saja keluar asap.” Sahut Winda.
 “Coba saya periksa.”  Kata lelaki itu sambil memperhatikan radiator yang mengepul panas.   “Mungkin radiatornya bocor, mbak.”
“Lalu bagaimana?” tanya Yulia. Dia menatap lelaki itu. “Mas  bisa bantu?”
“Saya coba lihat  dulu kenapa.” Kata lelaki itu. Lalu dia membuka tutup radiator. Asap semakin banyak yang keluar. Air yang mendidih muncrat keluar. Serentak Yulia, Winda dan Listi mundur dengan kaget, takut terkena cipratan air panas yang keluar dari tutup radiator.
Yulia kelihatan cemas. Dia memperhatikan  asap  yang masih  mengepul.  “Jangan-jangan mobilku bakal meledak, nih.” Kata Yulia khawatir.
“Jangan khawatir.” Kata Winda. “Sudah biasa dalam perjalanan kita mendapatkan sedikit kesulitan seperti ini.”
Lelaki itu memeriksa radiator. “Radiatornya bocor. Harus ditambal dulu.”
 “Lama tidak?” tanya Yulia. Dia melihat jam tangannya. Perjalanan mereka masih jauh. Dia khawatir kemalaman tiba di Jogya.
“Paling satu jam-an. Kalau bocor terpaksa harus ditambal dulu, neng.”
Yulia mengangguk. Tidak ada jalan lain kecuali membiarkan lelaki itu membongkar radiator dan percaya lelaki itu akan bisa menolongnya memperbaiki kerusakan itu. Sepertinya lelaki itu sudah biasa menangani mobil-mobil yang mogok dijalan.
 “Benar  mbak, radiatornya bocor. Lihat.” Lelaki itu memperlihatkan radiator yang bocor. Air menetes pada bagian yang  bocor.  “Harus ditambal dulu.”
“Mas bisa?” tanya Yulia.
“Bisa.” Sahut lelaki itu.
“Mas kerja dimana?” tanya Winda.
Tanpa menoleh, sambil terus bekerja lelaki itu menjawab, “Saya kerja di bengkel. Saya sudah biasa memperbaiki kerusakan-kerusakan pada mobil yang punya masalah ditengah perjalanan, mbak. Apalagi dihari-hari libur panjang  biasanya banyak mobil yang mendapatkan masalah ditengah jalan, ketika tengah menghadapi antrean kendaraan.”
 Sambil menunggu lelaki itu yang bekerja dibantu temannya yang beberapa kali bolak balik dengan motornya lalu kembali lagi membantu lelaki itu, Listi, Yulia dan Winda  duduk beristirahat  dipinggir jalan. Dibawah sebatang pohon yang rindang. Mereka mengeluarkan bekal makanan dan minuman dari dalam mobil dan menggelar sehelai tikar dibawah pohon. Winda membuka bungkusan bebek panggang yang sengaja dipesannya untuk bekal diperjalanan. Listi membawa gepuk dan nasi timbel. Yulia membawa ayam goreng.
“Sambil menunggu mobil kita makan saja dulu.” Kata Yulia. “Perutku rasanya lapar sekali. Stres juga aku dengan mobilku ini.”
“Tidak usah dipikirkan.” Sahut Winda. “Yang penting segalanya beres walaupun ada sedikit hambatan.”
Mereka makan sambil sesekali memperhatikan kendaraan yang lalu lalang. Angin berembus sepoi-sepoi. Terasa segar sekali. Perlahan ketegangan yang mereka rasakan mulai mengendur. Mereka mulai merasa tenang lagi dan percaya segala sesuatunya akhirnya akan beres juga.
“Aku jadi malu pada kalian. Aku  membangga-banggakan mobilku ini namun  ternyata perjalanan kita terganggu.” Kata Yulia. “Aku selama ini hanya tahu memakai mobil saja. Aku tidak pernah belajar mengutak-atik mesin mobil dan segala macam tetek bengeknya.”
 “Sekarang  kau jadi punya pengalaman dan jadi lebih mengetahui soal mesin mobilmu. Mudah-mudahan ini terakhir kali mobilmu mendapat masalah. Setelah ini perjalanan kita akan lancar hingga kita tiba di Jogya.” Hibur Listi.
“Pengalaman mengajari kita banyak hal.” Sambung Winda. Dia tersenyum menatap Yulia.  “Lain kali minta babe membelikan mobil baru.” Usul Winda.
“Nanti kalau aku kawin, aku akan minta dibelikan mobil baru.”  Yulia ketawa. Dia kelihatan santai lagi, tidak setegang tadi lagi.   “Ayah  pernah bilang, bila aku kawin akan membelikan aku mobil baru.”
“Kalau begitu cepat-cepat kawin.” Kata Winda dan Laras bersamaan sambil  mereka ketawa.
“Tentu saja aku mau kawin.  Tapi nanti. Dua atau tiga tahun lagi.  Ayah   bilang begitu karena sudah tidak sabar ingin melihat si bungsu segera menikah. Maklum ayah   sudah ingin segera punya cucu dari aku.” Yulia ketawa.
“Pasti ayahmu punya maksud bicara begitu.” Laras menoleh pada Winda sambil tersenyum. “Mungkin ayahmu ingin kau menerima Wisnu dan segera menikah dengannya.”
“Tidak. Aku tak akan bisa menikah dengan Wisnu. Dia selalu meledek aku sebagai boneka dan Miss Shopping. Ayahku tidak tahu itu. Dan mengira bahwa aku dan Wisnu baik-baik saja.”
“Soal sepele. Mungkin Wisnu hanya sekedar bercanda mengatakan itu padamu.”
“Tidak. Kukira Wisnu serius. Dia selalu berulangkali mengatakan hal itu padaku. Dia lebih suka pada gadis yang berpenampilan sederhana dan  yang bisa hidup hemat..”
“Kalau begitu kau ikuti kemauannya, berubahlah.”
“Kenapa aku harus mengikuti kemauannya?” Yulia menoleh pada Listi. “Masa muda hanya sekali. Kurasa aku hanya satu periode mengalami masa-masa seperti ini. Bila aku sudah tua, aku mungkin sudah akan jauh berubah dari aku sekarang ini dan aku sudah tidak tertarik lagi dengan hal-hal yang kulakukan sekarang disaat aku masih muda.”
“Wisnu laki-laki tampan dan menarik. Dia juga  baik hati.”
“Ya.  Namun dia sangat senang mengkritik aku……...”
“Bila kritikannya dengan tujuan  agar engkau lebih baik lagi, kenapa tidak?”
Yulia menghela napas. “Tapi bila terlalu sering memberikan kritikan membuat aku merasa tidak tenang bila tengah didekatnya, aku merasa dia seakan memperhatikan aku terus dari ujung kepala hingga ujung kaki, penampilanku, apapun yang kukenakan, naju, asesoris, aku jadi tidak nyaman bila tengah bersamanya.”
“Yulia, tidak ada manusia yang sempurna. Mungkin itu kekurangan Wisnu. Menurutku hal itu hanyalah hal sepele yang tidak perlu engkau permasalahkan. Cobalah engkau  melihat Wisnu sudah bekerja disebuah perusahaan yang cukup bonafide. Dia sudah memiliki masa depan yang bagus. Dan dia berasal dari keluarga baik-baik. Ayahnya adalah sahabat ayahmu. Seharusnya hal-hal seperti itu yang engkau pikirkan dan engkau pertimbangkan.” Tukas Winda.
“Aku masih punya banyak kesempatan untuk mengenal laki-laki lain.” sahut Yulia. “Kurasa  setelah ayah   mengenalkan aku dengan  Wisnu, ayah  terlalu tergesa-gesa berharap perkenalan itu akan berlanjut pada hubungan yang serius. Tidak, aku tidak mau dipaksa.”
“Ayahmu  sangat mencintaimu, Yulia. Kau anak bungsu. Ayahmu  pasti ingin melihatmu bahagia dan menikah seperti ketiga kakak perempuanmu.”
“Aku pasti menikah tapi tidak sekarang ini.”
“Usia kita sekarang sudah  duapuluh empat tahun…..”
“Ah, masih muda. Kita baru lulus kuliah. Dan kurasa aku tidak perlu seperti orang yang takut  ketinggalan kereta  sehingga harus tergesa-gesa  menikah. Aku masih ingin menikmati masa mudaku. Jaman sekarang sudah lazim menunda dulu pernikahan. Aku perhatikan sekarang makin banyak wanita yang diusia lebih tigapuluh tahun bahkan sudah mencapai usia empatpuluh tahun belum menikah. Jaman kan sudah berubah. Perempuan jaman sekarang cenderung menikmati dulu kehidupan lajangnya sebelum menikah. Walaupun banyak juga yang menikah diusia muda. Menurutku sih, semua itu tergantung soal jodoh. Urusan jodoh kan Allah yang menentukan. Bila sudah waktunya, jodoh itu akan datang dengan sendirinya.”
Lelaki itu  selesai menambal radiator dan memasangnya lagi pada tempat semula.  Dia menghampiri Yulia.
“Mbak, sudah selesai.” Kata lelaki  itu. 
“Dijamin tidak akan bocor lagi sampai ke Jogya?” tanya Yulia yang langsung bangkit akan memeriksa mobilnya.
“Insya Allah, mbak. Tidak akan bocor lagi. Jangan lupa sebelum menggunakan mobil  memeriksa air dan menambahnya bila sudah kurang.” Kata lelaki itu.
Yulia  sempat tawar menawar upah jasa dengan lelaki itu. Yulia merasa lelaki itu terlalu mahal minta upahnya. Akhirnya lelaki itu menurunkan harganya sedikit. Setelah  Yulia membayar  upah jasa pada lelaki itu, mereka melanjutkan kembali perjalanan. Winda tetap yang menyetir mobil. Setelah radiator ditambal,  perjalanan ke Jogya berlangsung lancar. Lega rasanya ketika mobil sudah masuk kota Jogya.

--- 0 ---

“Akhirnya kita  tiba juga di Jogja! Senangnya!” Suara Winda terdengar lega.
Listi ikut  merasa lega. Perjalanan panjang dari Sumedang akhirnya berakhir ditempat tujuan.  Mobil yang dikemudikan Yulia meluncur dijalanan kota Yogyakarta. Listi yang duduk disamping Yulia segera mengambil ponselnya. Dia harus segera memberitahu ibunya bahwa dirinya dan kedua temannya sudah tiba di Jogja dengan selamat.
“Ma, aku sudah sampai di Jogja. Sekarang sedang mencari  hotel.” Listi  memberitahu ibunya.
“Mama semalaman cemas.” Suara ibunya terdengar lega. “Kalian melakukan perjalanan bertiga perempuan semua. Dijalan tidak ada apa-apa, kan? Mama khawatir kalian  tidak istirahat dijalan karena ingin segera sampai. Tapi  Yulia tidak ngebut, kan?”
“Kita bertiga bergantian menyetir mobil.  Kalau Yulia terus yang nyetir  kasihan dia. Kita beberapa kali istirahat.  Makan. Shalat. Menikmati pemandangan disepanjang jalan.  Yang jelas sekarang sudah sampai di Jogya.”
“Tidak usah kau bilang bahwa sepanjang jalan kita mendapat kesulitan, mobil mogok beberapa kali, radiator bocor, kipas tidak jalan….” Winda yang duduk dibelakang bergegas mengingatkan Listi, yang suka panjang lebar bila bercerita pada ibunya.
“Lusa aku pulang  lagi ke Sumedang dengan membawa oleh-oleh bakpia dan yangko kesukaan  mama, ya. Salam sama papa ya, ma.” Listi  mengakhiri telepon singkatnya. Dia menutup ponsel, lalu menoleh pada Winda sambil tersenyum. “Jangan khawatir, cerita itu  akan kusimpan hingga aku pulang ke Sumedang nanti, sebagai pelengkap cerita dari  photo-photo liburan kita. Mama nanti pasti ingin mendengar ceritaku.”
Yulia berkeliling-keliling memperhatikan jalanan  sambil mencari-cari  hotel yang akan mereka tuju. Hotel yang sama  seperti ketika mereka libur bersama untuk kedua kalinya ke Jogja hampir tiga tahun lalu. Yogyakarta  masih tetap menjadi tempat liburan yang menarik buat mereka. Kali ini untuk ketiga kalinya mereka liburan bertiga ke Yogyakarta. Namun liburan bersama kali ini mungkin yang  lebih berkesan. Mereka bertiga baru  menyelesaikan pendidikan mereka  dan diwisuda sama-sama. Alangkah indahnya kebersamaan diantara mereka yang sudah terjalin sekian tahun lamanya sejak mereka masih di SMA.  
“Kamu masih   ingat dihotel mana dulu kita menginap?” Tanya Listi ketika Yulia  masih berkeliling-keliling sambil mengamati  jalanan.
“Tentu saja aku masih ingat, hanya aku lupa lagi jalannya kesana.” Yulia memperhatikan nama-nama jalan yang dilewatinya. “Nah, sekarang aku ingat. Kita masuk lewat jalan sini.”
Yulia membelokan mobilnya kesebelah kanan, menerobos jalanan yang dipadati kendaraan. Mobilnya merayap. Yulia memperhatikan hotel-hotel disepanjang jalan.
“Nah, itu dia hotelnya!” kata Yulia sambil menunjuk   hotel yang tidak begitu jauh didepannya. Disebelah kiri jalan.
“Yah, benar. Aku sekarang  ingat, itu hotel tempat kita menginap ketika liburan bersama tiga tahun lalu.  Asyik. Aku sudah tidak sabar ingin segera mandi. Badanku  gerah rasanya.” Kata Winda gembira.
Mobil meluncur menuju hotel.  Yulia  memasukan mobil kehalaman hotel yang teduh dan sejuk dengan pepohonan yang rimbun. Pelataran parkirnya cukup luas. Beberapa buah mobil sudah mengisi tempat parkir.  
“Nah, akhirnya kita  sampai di hotel.” Kata Yulia lega.
“Biar aku saja yang mendaftar kamar untuk kita, kalian bawa barang-barang kita semuanya masuk kedalam.” Kata Winda. Dia turun lebih dulu dan segera masuk ke lobi hotel.
Sambil menunggu Winda yang tengah mengurus kamar untuk mereka,  Listi  dan Yulia menurunkan barang-barang bawaan  mereka dari dalam bagasi. Mereka membawa barang-barang bawaan mereka kedalam lobi hotel. Winda baru selesai mendaftar.
“Kita istirahat dulu. Mandi. Nanti malam kita keluar lagi.” Kata Winda dengan kunci kamar ditangannya. Dia tersenyum melihat kelelahan diwajah Yulia dan Listi. Kondisi yang sama dengan dirinya. “Kita memang cape melakukan perjalanan panjang dari Sumedang, tapi ngapain kita liburan kalau cuma tidur saja dikamar.”
“Tentu saja nanti malam kita keluar dan berkeliling mencari makan malam. Aku ingin makan malam dengan gudeg.” Kata Yulia.  Kurang pas rasanya jika ke Yogyakarta tidak mencicipi gudeg yang merupakan makanan khas kota ini. Tidak sulit mencari gudeg karena hampir disetiap penjuru kota  dapat ditemukan para penjual gudeg dengan ciri khas masing-masing. Dari pagi sampai malam.
Mereka mencari kamar dilantai dua dengan kedua tangan masing-masing menjinjing tas-tas mereka.  Kamar itu berisi tiga buah tempat tidur. Winda meminta kamar yang menyediakan tiga buah tempat tidur. Winda membuka kunci kamar. Menyalakan lampu dan menaruh tas-tasnya disudut kamar.
“Lega rasanya sudah ketemu kasur.” Kata Yulia sambil membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur yang dekat jendela. Tubuhnya terasa penat. Pikirannya juga terasa bekerja terus sepanjang perjalanan, dilanda kekhawatiran mobilnya akan bermasalah lagi. Sesaat kemudian dia  bangun lagi dan menyibakkan gorden  melihat kolam renang dibawahnya. Airnya biru dan jernih.  “Segar rasanya bila aku bisa nyebur kedalam kolam itu.”
“Waktu liburan yang lalu, kita sempat berenang dikolam itu.” Kata Listi. “Sekarang masih berani berenang lagi?” Listi tertawa. Tiga tahun lalu rasanya mereka masih muda remaja. Kini usia mereka sudah bertambah. Malu bila berenang lagi seperti dulu.
Winda meringis. “Aku sudah lama tidak pernah berenang lagi.”
“Siapa yang akan mandi duluan?” tanya Yulia. Dia  sudah ingin segera mandi, menggosok tubuhnya dengan sabun dan berkeramas. Rambutnya terasa lengket.
“Aku duluan deh. Kamu tentu yang terakhir, Yulia. Mandimu lama banget. Seperti puteri raja saja.”  Winda  mengeluarkan handuk, perlengkapan mandi dan baju ganti  dari dalam tasnya walaupun dikamar mandi sudah tersedia beragam perlengkapan mandi. 
“Oke.” Sahut Yulia. “Sampai sekarang aku belum bisa mandi cepat-cepat, apalagi sekedar kecipak-kecipak lalu keluar lagi……”
“Pokoknya aturan tidak tertulis, kalau kita sedang bersama, selalu kau yang mandi paling akhir. Aku dan Listi tidak mau lagi terus menerus menggedor pintu kamar mandi menyuruh kau cepat keluar seperti pengalaman  yang lalu waktu  kita tengah libur bersama.” Tukas Winda sambil masuk kekamar mandi.
Sambil menunggu giliran mandi, Listi menyalakan televisi. Dia tersenyum melihat salah satu saluran di televisi yang tengah menyiarkan pertunjukan drama. “Drama. Aku jadi ingat dulu kita bertiga pernah ikut pementasan  drama di sekolah wakatu ada perlombaan drama antar kelas. Kelas kita juara pertama. Saat itu akting kita dinilai bagus. Kenapa tidak ada diantara kita yang meneruskan bakat akting dan menjadi bintang film?”
“Aku pernah ikutan casting.” Sahut Yulia. “Tapi tidak lolos. Ternyata akting itu tidak mudah. Dulu waktu di SMA kita  bagus berakting karena ada motivasi dibelakangnya.”
“Ya.” Listi tersenyum. “Sainganmu soal cowok, Pebby, ikutan jadi pemain drama dikelasnya. Kau tidak mau kalah oleh dia. Aku dan Winda hanya mendukungmu saja agar penampilan kelas kita yang terbagus.   Itu yang membuat kita termotivasi untuk melakukan acting sebaik-baiknya. Malah habis-habisan sampai kita disorakin oleh seluruh penonton.”
Listi dan Yulia tertawa geli. Teringat waktu SMA dulu. Ketika di SMA, mereka berempat, dengan Hani, sangat aktif  dengan segala macam kegiatan di sekolah. mereka senang melakukan banyak kegiatan. Ketika ada perlombaan drama antar kelas, mereka juga tidak mau ketinggalan ikut tampil. Dan berhasil menjadi juara.
“Kenapa dulu urusan cowok pun selalu menjadi motivasi untuk bersaing?” tanya Yulia.
“Karena usia kita masih muda. Diusia kita saat itu yang masih remaja,   selalu ada keinginan dalam diri untuk bersikap kompetitif dalam hal sekecil apapun. Namin bila kita semakin  bertambah dewasa, kita akan semakin bijak menyikapi segala permasalahan dan tidak selalu harus merasa tersaingi oleh orang yang kita anggap saingan kita dalam suatu hal.”
“Yah, mungkin kau benar. Sewaktu kuliah, beberapa kali aku terlibat cinta dengan lelaki yang memiliki perempuan lain yang menyukainya. Aku tahu perempuan itu menyukai lelaki yang menjadi pacarku. Namun kenyataannya aku menanggapinya biasa-biasa saja. Aku tidak merasa takut direbut atau merasa ada perempuan lain yang mencoba menyaingi lelaki yang kusukai.”
Winda keluar dari kamar mandi, Listi segera masuk. Segar rasanya ketika tubuh yang penat dan berkeringat diguyur air hangat. Tubuh rasanya kembali terasa segar. Listi keluar, Yulia langsung masuk.  Dia belum bisa mandi cepat. Hampir setengah jam berada dikamar mandi, keluar lagi dengan rambut yang basah dan wajah yang segar. 
 “Pulang berlibur aku berharap ada lamaranku yang diterima.” Kata Winda sambil mengenakan baju dan berdandan. “Aku ingin bekerja diswasta.   Itu cita-citaku. Aku sengaja mengambil jurusan ekonomi agar aku bisa lebih fleksible bekerja diperusahaan. Aku sudah mengirimkan  lamaran kebeberapa perusahaan. Moga ada salah satu lamaranku yang diterima.”
“Aku juga ingin kerja diswasta. Aku ingin kerja di bank. Kemarin aku sudah mengirimkan lamaran pada beberapa   bank swasta. Tapi aku juga mengirim lamaran kebeberapa perusahaan. Namanya juga usaha, kirim aja lamaran sebanyak-banyaknya, sambil menunggu mana yang mendapat tanggapan dan menerima aku.” Kata Listi.
“Bagaimana dengan rumah makan ayahmu? Kau anak satu-satunya, pastinya kelak rumah makan itu akan berpindah ketanganmu.” Ujar Yulia.
“Papa sudah beberapa kali mengatakan hal itu kepadaku. Namun aku juga punya cita-cita sendiri. Kupikir aku lebih baik memiliki pekerjaan sendiri. Soal rumah makan kelak akan berpindah padaku, kupikir itu urusan nanti. Yang kupikirkan adalah masa sekarang.” Sahut Listi.
“Dan kau? Mestinya kau kerja di salon atau butik. Minatmu pada urusan kecantikan dan mode pasti akan banyak menunjang pekerjaanmu bila engkau bekerja di salon atau di butik.” Winda tersenyum pada  Yulia yang tengah mengoleskan handbody pada tangan dan kakinya.
Yulia tertawa. “Kerja di salon atau di butik pasti asyik juga. Tapi tante Indri, adik ayah,  bilang akan membantu aku mendapatkan pekerjaan diperusahaan salah seorang kenalannya.  Kupikir tawaran tante Indri sangat menarik dan aku tidak ingin menyia-nyiakannya.”
“Konon kata orang soal pekerjaan juga jodoh-jodohan. Kalau memang pekerjaan itu jodoh kita, tidak akan kemana-mana.” Kata Winda.
“Siapa tahu meneruskan usaha rumah makan  orangtuamu adalah  jodohmu dibidang pekerjaan, Listi. Jadi engkau tidak usah susah payah lagi mencari pekerjaan.”
Malam itu mereka jalan-jalan ke Malioboro sambil mencari makan. Mereka makan lesehan dengan ayam bakar. Juga memesan gudeg. Seperti biasanya Malioboro selalu ramai. Pedagang-pedangan menggelar dagangannya sepanjang jalan. Beragam macam barang yang dijajakan. Menikmati suasana malam di Malioboro selalu mengesankan.  Sebagai tempat wisata belanja, kawasan Malioboro selalu menjadi  pilihan yang tak ingin dilewatkan dengan segala aneka cendera mata dengan harga murah. Sudah dua kali mereka libur bersama ke Yogya, jalan-jalan di Malioboro selalu yang paling mengasyikan. Malioboro merupakan kawasan wisata belanja yang lengkap. Mulai dari pasar tradisional, pedagang kaki lima sampai pusat perbelanjaan modern ada disana. Aneka pilihan suvenir ditawarkan oleh para pedagang kaki lima yang memenuhi sepanjang jalan Malioboro. Dipertokoan juga banyak dijual batik dengan motif dan desain unik. Harga yang ditawarkan pun bervariasi, mulai dari yang murah hingga berkelas. Menjelang malam mereka pulang kembali ke hotel  dengan membawa beragam bungkusan belanjaan. 
Walaupun  lelah, namun kantuk belum juga datang. Listi  membaringkan tubuhnya sambil sesekali memperhatikan siaran televisi. Yulia  asyik dengan kegiatan  rutinnya menjelang tidur. Membersihkan sisa-sisa make-up diwajahnya, lalu mengoleskan cream malam.
“Bila kita rutin merawat wajah kita setiap hari, kita bisa  mencegah penuaan dini tanpa harus repot dengan segala macam vitamin dan suplemen untuk mencegah penuaan dini.” Kata Yulia memberi teori. “Kita hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk mengurus wajah kita sebelum tidur namun hasilnya dapat kita rasakan setelah  kita tua nanti.” 
Winda membuka bungkusan keripik paru yang tadi dibelinya.
“Aku sering merasa bersyukur, selama ini kita sudah cukup lama bersama-sama.” Kata Winda sambil menikmati keripik paru yang gurih dan renyah dan menawarkannya pada Yulia yang sudah selesai dengan acara ritualnya mengurus wajah.  “Kita sekolah di  SMA sama-sama, kuliah sama-sama walaupun berbeda jurusan. Kebersamaan diantara kita ini patut kita syukuri. Persahabatan kita bisa bertahan hingga beberapa tahun lamanya. Aku kadang suka berpikir, siapa tahu nanti kita akan menikah bersamaan waktunya.”
“Hm, enak.” Komentar Yulia. Dia ketawa. “Maksudku keripik paru ini.  Wah, rasanya aku sudah tidak sabar ingin segera mengenakan pakaian pengantin dan bergandengan dengan pengantin lelakiku. Pikiranmu mungkin saja menjadi kenyataan, siapa yang tahu jodoh kita datang bersamaan waktunya dan kita menikah dalam waktu yang hampir bersamaan.”
“Benar. Aku suka berpikir begitu. Tapi ngomong-ngmong, bagaimana bila kita menikah bersamaan waktunya?” Usul Winda.
“Bersamaan? Bagaimana mungkin! Jodoh kita tidak kita tahu apakah datangnya akan bersamaan.” Listi tertawa. Dia ikut menikmati  keripik paru yang gurih dan renyah itu. “Bagaimana bila jodohmu yang datang lebih dulu? Atau jodoh Yulia yang datang lebih dulu?  Tentu kau atau Yulia tidak harus menunggu aku agar kita bisa kawin bareng.”
“Tapi bila jodoh kita datang bersamaan, kita bisa menikah berbarengan.” Sahut Winda kalem, seakan menganggap hal itu sesuatu hal yang mudah terjadi. “Dan kita  pilih bulan desember untuk bulan  perkawinan kita itu. Desember merah jambu.”
“Desember merah jambu?”
“Yah, desember merah jambu sebagai warna romantis perkawinan kita bila kita ternyata benar bisa menikah dalam waktu sama, misalkan sama-sama menikah di bulan desember.”
“Asyik bila kita bisa menikah bersamaan waktunya. Tapi ngomong-ngomong, siapa diantara kita yang sekarang sudah punya calon suami?” Tanya Listi.
Yulia dan Winda langsung tersenyum.
“Mungkin engkau yang kelihatannya sudah punya calon suami.” Kata Winda. “Hubunganmu dengan Donie sudah serius sekali.”
Listi mengangkat bahu. Dia tidak bisa memastikan akan menikah dengan Donie. Hubungan mereka seolah berjalan lancar. Namun tidak ada yang tahu bahwa dirinya gamang dengan kelanjutan hubungan mereka. Donie memang baik dan kelihatan mencintainya, namun Donie belum juga menunjukan sikap yang serius akan membawa hubungan mereka kearah perkawinan. Beberapa kali Listi mencoba memancing pembicaraan kearah sana, namun Donie selalu berusaha mengalihkan pembicaraan sehingga membuat Listi merasa bahwa Donie belum siap diajak bicara mengenai soal perkawinan mereka.
“Aku malah berpikir, kau yang kelihatannya sudah menemukan lelaki yang serius, Win.” Kata Listi.
Winda hanya tersenyum. “Aku sudah putus dengan pak Agung empat bulan lalu.” Sahut Winda.
“Masa?” Yulia dan Listi menatap Winda hampir tak percaya. Mereka tahu bagaimana Winda dan Agung kelihatan saling mencintai dan saling menyayangi walaupun ada jarak usia yang cukup jauh diantara Winda dan Agung, namun perbedaan usia dua puluh delapan  tahun itu dulu seakan bukan masalah buat Winda dan Agung. Winda kelihatan menemukan kenyamanan bersama dengan lelaki yang usianya cukup jauh darinya.
“Kenapa putus?” tanya Yulia. “Kau baru sekarang cerita sudah putus dengan pak Agung.”
“Aku memang tidak ingin cerita soal putusnya hubunganku dengan pak Agung. Biarlah cerita itu menjadi milik kami berdua.” Sahut Winda. “Aku memang sedih hubunganku dengan pak Agung yang walaupun berjalan hanya enam bulan ternyata harus putus, namun mungkin ini adalah keputusan yang terbaik untuk kami berdua. Kukira aku tidak mungkin meneruskan hubunganku dengan pak Agung. Usia kami berbeda dua puluh delapan  tahun. Sejak awal berhubungan aku  sudah ragu dengan hubungan kami  karena pak Agung tidak mengharapkan memiliki anak bila kelak kami  menikah karena pak Agung sudah memiliki tiga  orang anak dari perkawinannya terdahulu. Dan ketiga anaknya sudah dewasa.  Hubungan itu membuat aku  sering merasa ragu karena aku  sendiri sudah pasti akan menginginkan anak yang lahir dari rahimku sendiri bila kelak aku menikah. Enam bulan aku  menjalin hubungan dengan pak Agung hingga menjelang saat aku  akan menyelesaikan kuliah, aku  mengambil keputusan untuk berpisah saja. Aku  tidak akan bisa mengikuti keinginan pak Agung. Dan pak Agung juga tidak memahami perasaanku. Kupikir lebih  baik kami berpisah dan mencari yang lain.”
“Tapi, bukankah engkau mencintai pak Agung?” ucap Yulia.
“Ya.” Sahut Winda. “Terus terang saja, aku memang mencintai pak Agung. Namun cinta saja tidak cukup untuk membangun sebuah perkawinan. Apa yang akan aku harapkan dari perkawinan dengan pak Agung bila sebelum pernikahan itu terjadi pak Agung sudah mengatakan terus terang tidak menginginkan memiliki anak dari aku?”
Mendadak airmata Winda menggenang. “Terus terang aku merasa sedih. Namun kemudian aku memahami kenapa pak Agung memiliki keinginan seperti itu? Ternyata trauma perkawinan istrinya berselingkuh dan meninggalkan dirinya bersama dengan ketiga anaknya yang saat itu masih kecil-kecil, sangat membekas dalam hatinya. Dia takut bila kelak menikah dengan aku, dia akan mengalami kejadian yang sama seperti dengan istrinya terdahulu. Kukira ketakutan itu terlalu berlebihan, namun kemudian aku mencoba memahami, terlalu berat perjuangan pak Agung ketika membesarkan ketiga anaknya yang saat itu masih kecil-kecil dan ditinggalkan pergi oleh istrinya yang lari dan berselingkuh dengan lelaki lain. Trauma itu terlalu membekas dalam dirinya. Bahkan pada saat ketiga anaknya sudah dewasa dan menyelesaikan pendidikan mereka dengan baik, trauma yang pernah dirasakan pak Agung tetap membekas dalam hatinya.”   Winda menghapus airmatanya.
“Mudah-mudahan engkau segera mendapatkan lelaki lain yang lebih baik, Win.” Ucap Listi. Kesedihan yang dirasakan Winda, dapat dirasakan oleh dirinya sendiri. Listi menoleh pada Yulia. “Lalu, bagaimana usaha ayahmu yang ingin menjodohkanmu dengan Wisnu? Barangkali kau yang akan menikah lebih dulu, Yul. Tampaknya orangtuamu sudah siap untuk segera menikahkan engkau dengan lelaki pilihan orangtuamu itu….”
Yulia tertawa. “Tidak semudah itu. Memang urusan kawin semudah membalikan telapak tangan?” sahutnya. “Sampai sekarang aku  masih  menentang keinginan ayahku  yang ingin menjodohkan aku  dengan Wisnu. Aku   tidak mau dijodohkan dengan Wisnu lelaki anak sahabat ayahku, karena menurutku sekarang sudah tidak jaman lagi dijodoh-jodohkan orangtua.”
“Tapi kadang aku suka bingung dengan sikapmu, Yul.” Kata Winda. “Aku kira kau masih bingung  mempertimbangkan keinginan orangtuamu itu.  Antara ya dan tidak. Kau  seakan masih plin plan untuk memutuskan. Walaupun seakan menentang keinginan orangtuamu, namun kau  tidak pernah menutup diri pada Wisnu. Kau mau berjalan bersamanya. Kau tidak menutup diri dari Wisnu.”
“Mungkin kau yang bakal duluan menikah, Yul.” Kata Listi mengganggu Yulia. “Siapa tahu besok lusa sepulang dari liburan di Jogya kau akan berubah pikiran dan mempertimbangkan keinginan ayahmu. Wisnu sudah jelas tengah menunggumu dan engkau sudah selesai kuliah. Soal pekerjaan tidak usah terlalu kau pikirkan, sambil jalan aja.”
“Siapa tahu. Seperti dugaanku.” Winda ketawa.
Yulia ketawa. “Aku memang bingung. Aku tidak bisa mati-matian menentang keinginan ayahku karena buktinya aku tidak bisa menyodorkan seorang lelaki yang akan menjadi suamiku pada ayahku. Jadi untuk sementara aku menerima kehadiran Wisnu walaupun aku menentang keinginan ayahku yang ingin menjodohkan aku dengan Wisnu.”
“Siapa tahu pilihan ayahmu itu adalah yang terbaik, Yul.” Kata Winda bijak.  
“Kita  simpan pembicaraan kita soal pernikahan ini hingga nanti kita semua memiliki calon suami dan kita bicarakan lagi sama-sama, oke?” Yulia ketawa. Dia tidak mau lagi membicarakan Wisnu.
“Sudah jam dua belas. Lebih baik kita segera tidur. Besok kita bisa bangun lebih pagi dan jalan-jalan dulu disekeliling hotel.” Winda membaringkan tubuhnya dan menarik selimut. “Lampunya dimatikan. Aku tidak akan bisa tidur kalau lampu masih menyala.”
“Aku tidak biasa tidur dalam gelap.” Sahut Yulia.
“Aku tidak akan bisa tidur kalau lampu menyala.” Kata Listi.
Akhirnya Yulia menarik selimut ketika Listi mematikan lampu. Kenyataannya Yulia bisa tidur dengan nyeyak sampai pagi.

--- 0 ---

Pagi-pagi sebelum mandi mereka jalan-jalan disekitar hotel. Kesibukan sudah mulai terasa ketika mereka melangkah keluar hotel. Udara pagi terasa dingin. Namun beberapa orang pedagang kain dan baju  sudah kelihatan mulai menggelar dagangannya didepan hotel. Beberapa pedagang lain pun  berdatangan. Meskipun pedangang-pedagang itu menawarkan dagangannya, namun Listi, Yulia dan Winda memilih jalan-jalan menikmati udara pagi dan suasana pagi hari di kota Jogya. Mereka berjalan-jalan  diseputar hotel. Setelah cukup puas berjalan-jalan, mereka kembali lagi ke hotel, mandi dan sarapan pagi di hotel. Yulia sarapan paling lahap. Dia tidak akan kenyang hanya dengan makan bubur ayam semangkuk. Dia masih menambah sarapan paginya dengan menghabiskan beberapa lembar roti dengan selai stroberi dan  selai nanas. Juga secangkir kopi.
“Heran, makanmu selalu lahap namun kau tetap langsing.” Komentar Winda.
“Olahraga, dong.” Sahut Yulia. “Dengan berolahraga setiap hari, minimal setengah jam, kita akan tetap bisa mempertahankan bentuk tubuh yang ideal walaupun kita makan lahap setiap hari.”
Hari terasa cerah. Siang bermandikan cahaya matahari. Esoknya  mereka berkunjung ke candi Borobudur.  Mengunjungi candi Borobudur tidak pernah mereka lewatkan setiap kali berlibur bersama ke Yogyakarta. Candi berusia ribuan tahun yang merupakan peninggalan kerajaan-kerajaan besar zaman dahulu yang dibangun pada abad ke-sembilan oleh Dinasti Syailendra itu  berdiri megah dan tetap menarik untuk dikunjungi tiap kali berkunjung ke Yogyakarta.
Selesai mengunjungi candi Borobudur, mereka melanjutkan perjalanan mengunjungi  candi Prambahan. Bukan hanya candi Borobudur dan candi Prambanan saja yang menarik hati mereka untuk kembali berlibur di Jogja  namun  banyak hal membuat  mereka selalu  ingin  kembali ke kota ini. Selain tempat wisata yang menarik, Yogya terkenal juga dengan kulinernya, gudeg, wingko babat,  gudek kendilnya yang nikmat, angkringan, wedang ronde, bakpia pathuk, dan masih banyak lagi. Pulang dari candi Borobudur  dan candi Prambanan mereka berkeliling-keliling kota Yogya, makan siang lalu kembali ke hotel dan tidur.
Malamnya selesai makan malam lesehan,  lalu  mencari yang jualan kopi joss. Mereka ingin mencoba kopi joss. Listi  yang mengajak Winda dan Yulia untuk mencari kopi joss itu karena penasaran dengan cerita yang pernah didengarnya tentang kopi joss ini. Listi  termasuk penikmat kopi. Tiap pagi setiap harinya suatu  keharusan dia minum secangkir  kopi. Minum kopi membuat tubuh dan pikirannya terasa lebih segar. Dia yang mengajak Yulia dan Winda untuk  menikmati secangkir kopi joss yang bisa ditemukan didaerah Malioboro. Pasalnya hanya di kota Yogya bisa ditemukan racikan kopi yang dicampur arang yang masih membara. Kenikmatan kopi joss terletak pada bara arang yang membuat kopi menjadi lebih matang, lebih panas sehingga aroma dan rasa kopi menjadi lebih keluar. Konon kopi joss ini lahir secara tidak sengaja. Konon cerita bermula ketika seorang mahasiswa yang sedang stress menghadapi ujian, nongkrong di warung kopi, lalu iseng-iseng memasukan sepotong bara kedalam kopi. Hasilnya, kopi menjadi lebih menggigit. Yang lebih seru lagi adalah suasana kongkow di kopi joss. Kopi joss yang baru dibuka malam hari ini, mampu membuat  betah berlama-lama disana. Hanya sekedar ngobrol ngalor ngidul atau berdiskusi seriuspun layak dilakukan walaupun tempatnya hanya berupa lesehan tikar di pinggir jalan saja. yang datang tampak tiada habisnya.
Untuk dapat tempat duduk harus sabar mengantri. Mungkin karena suasana santai dan keakraban yang tercipta dari pengunjung menyebabkan orang kangen kembali kesana. Juga ada  hiburan suguhan live musik dari pengamen jalanan. Pengamen jalanan itu menambah semarak  suasana. Penampilan sederhana  tidak mengurangi  kebiasaan mereka untuk menghibur. 
Sambil menikmati kopinya, sempat terpikir oleh Listi  andai dia juga memiliki kedai minum kopi di Sumedang, tempat nongkrong dan berdiskusi. Itu cita-citanya bila kelak rumah makan ayahnya sudah berpindah tangan kepadanya. Namun itu masih lama. Sekarang ayah dan ibunya masih segar bugar. Masih sanggup mengelola rumah makan yang sudah puluhan tahun dirintis ayahnya hingga bisa berkembang seperti sekarang.


--- 0 ---


Yogyakarta yang ramah dan selalu menyambut kedatangan wisatawan dengan ciri khasnya. Keramahan itu pula yang diperlihatkan tukang becak ketika menawari mereka untuk berkeliling berbelanja menjelang pulang kembali ke Sumedang. Mereka akan membeli oleh-oleh untuk dibawa pulang. Mereka ingin menikmati suasana terakhir di kota gudeg itu dengan menumpang becak.  
“Kita duduk bertiga saja dalam satu becak.” Usul Listi.
“Jangan sadis begitu!” protes Winda. “Kau pikir tubuhmu langsing?”
“Aku cukup langsing.” Sahut Listi.
“Tapi kita bertiga duduk dalam satu becak kebangetan amat!” kata Winda. Dia menoleh pada Yulia. “Kau satu becak dengan Listi, biar aku yang sendirian.”
“Oke.” Sahut Listi  dan Yulia.
Listi  dan Yulia naik keatas becak.  Tukang becak mulai mengayuh becaknya. Mereka cukup mengatakan akan membeli oleh-oleh, tukang becak itu sudah tahu kemana penumpangnya harus dibawa. Mereka berkeliling-keliling. Winda yang menumpang becak sendirian, mengikuti dari belakang.
Tukang becak membawa mereka ke toko makanan oleh-oleh khas Yogya. Mereka memborong bakpia, wingko babat, yangko, keripik paru.  Selesai belanja makanan, mereka kembali ke hotel dan keluar lagi dengan mobil. Mereka menuju toko batik.  Kembali mereka diasyikan dengan memilih batik untuk dibawa pulang. Mereka akan pulang besok pagi. Dua hari jalan-jalan di Yogya sudah cukup untuk berlibur bersama.
“Mama pasti senang dikirim oleh-oleh bakpia dan yangko ini.” Kata Listi.
“Aku akan membelikan  batik untuk seluruh keluargaku.” Kata Yulia.
Liburan ke Jogya membeli batk sepertinya sebuah keharusan. Melihat-lihat parade batik khas Yogya  dalam pajangan toko-toko yang berderet disepanjang Malioboro atau diantara keramaian area pasar Bringhardjo.  Keasyikan belanja batik  terasa mengasyikan  dengan tawaran harga bervariasi yang terjangkau saku. Memasuki pasar Bringhardjo  terlihat berbagai blus, tas, sprei, aksesori rambut seperti jepit dan berbagai perlengkapan lainnya. Semuanya tampak menarik perhatian dengan berbagai motif dan warna.
Telepon Listi  berbunyi. Ibunya meneleponnya.
“Halo, ma.”
“Listi, segera pulang ke Sumedang sekarang juga.” Suara ibunya terdengar khawatir. “Kamu sekarang masih dimana?”
“Masih di Jogya, ma.”
“Segera pulang, ya.”
“Ada apa, ma?”
“Papa sakit.”
“Papa sakit? Sakit apa?”
“Pokoknya kamu harus segera pulang sekarang juga. Semua menunggumu.”
Telepon ditutup. Listi menatap ponselnya dengan bingung. Ada apa dengan ayahnya? Parahkah sakit ayahnya?  Kenapa  ibunya seakan panik?  
Listi menatap Yulia. “Mama menelepon, menyuruh aku segera pulang. Mama bilang, papa jatuh sakit.” Mendadak Listi menjadi merasa tidak enak perasaannya. Kedua temannya memandangnya.
“Tentu saja kita pulang sama-sama.” Ucap Yulia dan Winda bersamaan.
“Ibumu bilang apa?” Tanya Yulia.
“Mama tidak bilang apa-apa lagi. Tapi aku harus segera pulang. Terus terang, perasaanku jadi tidak enak. Mungkin ada sesuatu hal yang terjadi dirumah….” Listi menghela napas dalam. Dia tidak bisa menduga, apa yang terjadi dirumahnya. Namun perasaanya sungguh tidak enak.
Winda mengurus pembayaran  biaya penginapan.  Yulia dan Listi  mengatur barang-barang didalam bagasi. Bagasi itu kini penuh dengan oleh-oleh dan belanjaan mereka.
“Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja.” kata Yulia mencoba menghibur Listi yang kelihatan gelisah setelah mendapat telepon dari ibunya.
“Ya, mudah-mudahan saja begitu walau perasaanku memang jadi tidak enak.” Sahut Listi.  
Yulia dan Winda mereka berdua  bergantian menyetir mobil. Berbeda dengan saat keberangkatan mereka ke Yogya, kini suasana terasa berbeda. Listi  lebih banyak diam. Dia duduk dibelakang sendirian. Dia merasa perasaannya tidak enak. Winda dan Yulia  tidak lagi meminta Listi  bergantian menyetir seperti saat keberangkatan mereka ke Jogya. Listi kelihatan bingung. Perasaannya seperti tidak tenang setelah ibunya meneleponnya.  Sepanjang perjalanan beberapa kali ibu dan bibi Atiek, adik ayahnya meneleponnya, mengeceknya sudah sampai dimana. Semuanya seakan ingin Listi segera tiba di Sumedang.
Tiba  di Sumedang hari sudah malam. Ketika sampai dirumahnya Listi melihat didepan rumah kursi-kursi didalam rumah  dikeluarkan dan dijejerkan dihalaman rumah. Banyak orang yang berada dirumahnya. Semuanya serentak memperhatikan kedatangannya. Perasaan Listi mengatakan ada sesuatu yang terjadi.  
Dia terus melangkah  masuk kedalam rumah. Tatapannya terhujam pada sesosok tubuh yang tertutup kain. Ini pasti mimpi, pikir Listi.  Ibunya dan seluruh keluarganya menyambutnya dengan tangisan.  Ayahnya sudah terbujur kaku. Ayahnya meninggal. Serangan jantung. Tiga jam lalu. Setelah kemarin  sempat dirawat dirumah sakit. Namun nyawanya tidak tertolong lagi.
Listi  terhenyak. Dia tidak percaya ayahnya meninggalkannya secepat ini. Ketika dia akan berangkat ke Jogya, ayah masih memberinya tambahan uang saku. Dia sudah membelikan beragam oleh-oleh buat ayahnya. Kini ayahnya  sudah tiada lagi. Ya Allah, kenapa Engkau secepat ini mengambil ayahku dariku? Aku belum sempat membalas budi baiknya dan jasa-jasanya kepadaku selama ini. Listi tak kuasa menahan tangisannya. Dia kehilangan seseorang yang paling disayanginya didunia ini. Terlalu banyak kenangannya bersama ayahnya selama ini.  Dia menangis tersedu-sedu.  Winda dan Yulia memeluknya erat, berusaha menghiburnya walaupun tak banyak kata yang terucap dari mulut mereka. Keduanya juga terkejut dengan meninggalnya ayah Listi yang begitu tiba-tiba.

--- 0 ---

Usai pemakaman Listi mengurung diri didalam kamarnya. Dia masih  tak percaya ayahnya sudah meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Photo wisudanya baru selesai dicetak dan dipajang diruang tengah,  dirinya diapit ayah dan ibunya. Ayahnya tersenyum lebar. Kelihatan sangat bahagia. Tubuhnya yang tinggi besar dan berkulit putih bersih kelihatan sehat. Namun serangan jantung itu telah merenggut ayahnya dari sisinya.  
Kini ayah sudah tiada lagi. Tidak ada lagi suara besar dan berat yang kerap menyapanya dan mengajaknya bercakap-cakap sambil menonton televise. Tidak ada lagi suara ayahnya yang mengajaknya jalan-jalan disore hari mengendarai mobil yang dikemudikan ayanya berkeliling Sumedang. Tidak ada lagi ayah, teman sekealigus guru baginya.
Kini rumah terasa sunyi dan sepi. Tidak ada lagi sosok yang selalu menyambut kedatangannya setiap kali dia pulang kerumah. Betapa berbedanya suasana ketika ayah masih ada dan setelah ayah tiada lagi.  Seringkali dia termenung didepan kamarnya, memperhatikan halaman rumah yang teduh dan rimbun. Pohon-pohon besar yang tumbuh dihalaman rumah akan selalu mengingatkannya pada sosok ayahnya karena ayah yang menanam pohon-pohon itu. Dia menatap daun-daun tua yang rontok dan berserakan dihalaman. Airmatanya mengalir perlahan membasahi kedua belah pipinya.
 Diluar kamarnya terdengar kesibukan seisi rumah mempersiapkan acara tahlilan selama tujuh hari lamanya. Dia mengurung dirinya dikamarnya. Membaringkan tubuhnya sambil menatapi photo ayahnya diatas meja disamping tempat tidurnya. Airmatanya sesekali masih mengalir membasahi kedua belah pipinya. Betapa sedih perasaannya setiap kali dia mengenang ayahnya. Dia masih ingat dengan ucapan ayahnya, tiga hari menjelang dia diwisuda.
“Listi, sekarang engkau sudah menyelesaikan sekolahmu. Kau sekarang sudah menjadi seorang sarjana. Ada satu permintaan papa kepadamu.” Kata ayahnya.
“Apa, pa?”
“Papa ingin melihat engkau segera menjadi pengantin.”
Listi tertawa mendengar ucapan ayahnya. “Pengantin? Tentu saja aku juga ingin segera menjadi pengantin.”
“Bagaimana hubunganmu dengan Donie? Papa pikir kau dan Donie segera meresmikan hubungan kalian.”
“Ya, pa.” sahut Listi pendek.
Bagaimana dia akan menjelaskan pada ayahnya bahwa hubungannya dengan Donie masih membingungkannya. Memang benar selama setahun ini mereka menjalin hubungan. Hubungan yang cukup serius. Namun hingga sekarang Donie belum menunjukan bahwa dia akan segera meminangnya. Donie selalu berkilah bahwa dia masih ingin mantap dulu dengan pekerjaannya. setelah lulus menjadi sarjana teknik, Donie diterima bekerja pada sebuah perusahaan kontraktor. Dia kelihatan sangat menikmati pekerjaannya. namun untuk segera menikah nampaknya Donie masih ragu. Dan dia tidak mungkin memaksa Donie untuk sebuah pernikahan bila Donie sendiri  merasa masih belum siap untuk sebuah perkawinan.
“Papa ingin melihatmu menjadi pengantin. Papa sudah tua. Papa sudah ingin menimang cucu.”
“Cucu papa pasti lucu-lucu.”
“Ya, pasti lucu-lucu seperti ketika engkau masih kecil dulu. Dulu engkau bocah yang paling lucu sedunia. Betapa bangganya papa ketika engkau lahir dulu. Papa setiap hari menggendongmu dan memamerkanmu pada semua tetangga-tetangga kita.”
Keduanya tertawa tergelak. Betapa indahnya kenangan bersama ayahnya. Terlalu banyak kenangan yang terukir dan tersimpan dalam hatinya bersama ayahnya. Betapa ayah adalah sosok yang paling dekat dengan dirinya. Yang selalu menempati hatinya. Hingga kini mereka tidak akan pernah lagi memiliki waktu untuk duduk berdua dan berbagi cerita. Airmata Listi kembali mengalir. Harapan ayahnya yang ingin melihatnya menjadi pengantin belum sempat terwujud.
Sore itu Donie datang. Dia memeluk Listi dan menunjukkan simpatinya yang mendalam dengan kesedihan Listi.   
“Maafkan aku, Lis. Aku baru sekarang bisa menemuimu.” Kata Donie.
“Tidak apa-apa, Don. Terima kasih.”
“Aku harap engkau tabah, Lis.”
“Ya.” Listi mengangguk. Airmatanya mengalir pelan. Dia teringat pada harapan ayahnya. Dia menatap Donie. Haruskah dia ceritakan percakapannya dengan ayahnya beberapa waktu lalu sebelum ayahnya meninggal.
“Don……”
“Ya.”
“Sebelum papa meninggal, papa sempat berbicara mengenai  hubungan kita…..” Listi menunggu sesaat.
Donie menatapnya. Menunggu Listi melanjutkan ucapannya.
“Papa mengharapkan kita segera menikah….” Ucap Listi lirih.
Donie hanya diam saja. Listi menatapnya. Berharap Donie akan menyambut ucapannya. Namun Donie masih tetap diam. Seakan tengah berpikir.
“Bagaimana, Don?”
Donie belum juga memberikan jawaban.  Listi menghela napas dalam. Jadi aku yang harus mengambil keputusan, pikir Listi. Bila Donie tidak serius dengan hubungan ini, tidak ada gunanya aku tetap berharap pada Donie. Lebih baik aku mencari lelaki lain yang lebih serius menjalin hubungan denganku.
“Lis, aku masih merasa nyaman bila hubungan kita berjalan apa adanya seperti ini.” Sahut Donie. “Engkau baru lulus. Usiamu baru duapuluh empat tahun. Kau pernah bilang padaku ingin mencari pekerjaan dulu. Aku dukung keinginanmu. Bila kita memang berjodoh, pasti nanti kita akan menikah juga. Namun bukan saat sekarang ini…”
“Aku menyampaikan keinginan papa kepadaku sebelum beliau meninggal.” Kata Listi. “Aku memahami keinginan papa. Papa melihat hubungan kita selama ini cukup serius dan kita berdua sudah cukup dewasa untuk membina sebuah rumah tangga.”
“Lis, memang usia kita sudah cukup untuk membina sebuah rumah tangga. Kau sudah dua puluh empat tahun, aku sendiri sudah duapuluh enam tahun. Namun kondisi jaman sekarang sudah berubah. Usia kita masih terbilang cukup muda untuk berumah tangga. Kita masih memiliki banyak kesempatan yang dapat kita kerjakan sebelum kita menikah, sebagai persiapan dan bekal untuk kita berumah tangga.”
“Ya.” Akhirnya Listi mengangguk.
Listi  mencoba menerima alasan Donie yang cukup rasional. Namun didalam hatinya dia tetap merasa bimbang dengan hubungannya dengan Donie. Dia teringat dengan hubungan Donie dengan wanita lain yang kemudian diakui Donie bahwa dirinya memang memiliki hubungan dengan wanita itu. Dan kepada lelaki itu dia masih mencoba untuk menaruh kepercayaan untuk masa depannya? Listi merasa sedih, namun dia sendiri merasa tidak sanggup mengambil sebuah keputusan untuk memutuskan hubungannya dengan Donie walaupun masih ada kemarahan yang tersisa dalam hatinya dengan pengkhianatan Donie. Dia masih memiliki harapan hubungan mereka akan pulih lagi seperti sediakala. Dia masih memiliki harapan bahwa Donie akan kembali mencintainya dengan utuh seperti dulu ketika pertama kali mereka menjalin hubungan. Dia  berharap  Donie akan membuat perasaannya kembali  nyaman seperti yang dulu selalu dilakukan Donie kepadanya.

--- 0 ---
Rumah tinggalnya berada dibelakang rumah makan. Selama seminggu semenjak ayahnya meninggal, rumah makan tutup untuk sementara. Seminggu kemudian barulah rumah makan buka kembali.
 Mak Dinah yang selama ini menjadi juru masak  bersama pegawai lainnya kembali menjalankan pekerjaan  rutin mereka sehari-hari seminggu kemudian ketika rumah makan buka lagi. Seakan tidak ada yang berubah dengan rumah makan yang didirikan ayahnya hampir duapuluh tahun lalu itu. Pengunjung masih banyak yang  datang kerumah makan dan menikmati beragam menu yang merupakan andalan rumah makan mereka. Rumah makan tidak pernah sepi dari pengunjung.  Semuanya seakan tidak ada yang berubah dari hari-hari biasanya.
Dua minggu setelah ayahnya meninggal,  ibunya masuk kekamarnya. Listi tengah asyik dengan laptopnya. Dia sibuk mencari informasi lowongan pekerjaan lewat internet.  Walaupun perasaannya masih terasa sedih dengan  kepergian ayahnya namun kehidupannya sendiri harus terus berjalan. Dia kembali disibukan dengan urusan mencari pekerjaan. Dari beberapa buah lamaran yang dikirimkannya keberbagai perusahaan, belum ada satupun yang memberikan balasan. Dia harus sabar menunggu hingga nanti ada satu atau dua perusahaan yang memberikan balasan, atau tidak ada satupun yang membalas sama sekali. Namun dia harus tetap berusaha. Ayahnya dulu selalu mengajarkannya untuk tetap menjaga semangat dan jangan pernah merasa putus asa walaupun banyak mendapatkan kegagalan. Seperti kata pepatah, kegagalan adalah sukses yang tertunda.
Ibu duduk didekatnya, menatap Listi yang tengah serius dengan laptopnya.
“Listi, mama perlu bicara denganmu.” Kata ibunya.
Listi menoleh. “Apa, ma?”
“Listi, rumah makan itu adalah peninggalan  papa. Sebelum papa meninggal, papa sudah membicarakan mengenai kelanjutan rumah makan ini. Mulai  sekarang  rumah makan warisan  ayahmu itu menjadi kewajibanmu untuk  mengurus dan mengelolanya.”
Listi menghela napas dalam. Dia sudah merasa, akhirnya ibunya akan membicarakan mengenai rumah makan itu. Namun saat ini dia belum tertarik untuk mengurus rumah makan. Dia masih ingin menekuni dunianya sendiri. Dia baru lulus menjadi seorang sarjana. Banyak hal menarik didunia luar yang ingin diketahuinya. Bila dia mengurus rumah makan sekarang ini, waktunya hanya akan tersita untuk mengurus rumah makan saja dan dia tidak akan memiliki kesempatan untuk melihat dunia luar.   
“Tapi  ma, untuk saat ini aku  ingin kerja dikantoran. Aku ingin mencari pengalaman. Aku sudah mengirimkan lamaran  pada beberapa perusahaan. Aku sedang menunggu lamaran,,,” sahut Listi.  
Sejak semula dia tidak tertarik ikut mengelola rumah makan yang didirikan ayah dan ibunya sejak dia masih kecil. Dia melihat ayah dan ibunya asyik mengurus rumah makan dan memberikan mereka kehidupan yang baik dari hasil mengelola rumah makan, namun dia merasa usaha rumah makan bukan minatnya. Dia merasa tidak  memiliki bakat usaha. Dia  juga selama ini tidak suka memasak. Dia hampir dikatakan sangat jarang masuk kedapur membantu ibunya memasak. Dia sibuk menikmati kehidupannya sendiri yang berbeda dengan kehidupan usaha ayahnya.   Dia sudah punya cita-cita dan keinginan sendiri. Dia ingin bekerja dikantoran. Memanfaatkan ijazah sarjana ekonominya. Dan  menikmati kehidupan sebagai seorang wanita kerja kantoran. Bukan seseorang yang harus bergelut dengan dunia dapur dan dunia masak memasak.
“Lupakan semua itu.” Ucap ibunya. “Kau tidak perlu melamar pekerjaan. Kau sudah memiliki warisan usaha dari ayahmu. Rumah makan itu adalah warisan ayahmu yang paling berharga. Engkau yang berkewajiban untuk melanjutkan usaha ayahmu. Rumah makan ini sudah berkembang. Engkau pasti bisa meneruskan usaha ayahmu mengelola rumah makan ini.  Engkau yang menggaji orang bukan engkau yang digaji oleh orang lain” ucap ibunya.
“Ma…”
“Listi, mama memahami, kau pasti punya keinginan dan cita-cita. Namun kau juga harus menyadari, bila bukan engkau yang meneruskan usaha yang telah susah payah dirintis ayahmu, siapa lagi? Engkau anak satu-satunya mama dan papa. Kau harus menyadari bahwa ditanganmu kelangsungan usaha rumah makan ini.”
“Aku tidak tertarik mengelola rumah makan. Aku ingin kerja dikantoran. Aku ingin kerja diperusahaan. Setiap hari tampil modis, memakai blazer yang kusukai, memakai  sepatu hak tinggi, dan berdandan seperti halnya wanita yang bekerja dikantoran…..”
“Tertarik atau tidak, tapi rumah makan ini sudah menunggumu sebagai pengganti ayahmu.” Tukas ibunya.
“Mama bisa mengurus rumah makan ini…”
“Listi, usia mama  tahun depan tujuh puluh tahun. Mama sudah ingin segera beristirahat. Sudah lebih dari empatpuluh tahun mama dan papa merintis dan mengelola rumah makan ini. Mama sudah cape. Mama sudah ingin segera beristirahat. Kau pasti bisa memahami.”
Listi  diam. Dia menatap ibunya.  Ya, ibunya  tahun depan berusia tujuhpuluh tahun. Tidak dapat dipungkiri, ibunya sudah semakin sepuh. Dan pastinya sudah merasa lelah hampir sepanjang hidupnya sejak menikah dengan ayahnya ibunya sibuk mengurus usaha rumah makan hingga bisa berkembang seperti sekarang ini. Laras menghela napas dalam. Dia akhirnya mengangguk walaupun dalam hatinya dia merasa terpaksa.
“Ya, ma. Aku akan mencobanya walaupun cita-citaku bukan kesini. Aku punya cita-cita lain….”
Ibunya tersenyum. “Mama percaya kepadamu. Kau pasti akan bisa menjalankan warisan papamu ini dengan sebaik-baiknya. Bahkan mungkin ditanganmu usaha rumah makan ini akan jauh lebih berkembang lagi.”
Lisri hanya mengangguk. Ibunya seakan tidak memberinya kesempatan untuk mempertimbangkan. Tidak ada pilihan lain. Dia  harus menanggalkan cita-citanya ingin kerja dikantoran dan mulai sibuk mengurus rumah makan peninggalan ayahnya.

--- 0 ---

“Apa yang harus aku kerjakan?” tanya Listi seakan kebingungan.
Listi  masuk kedapur dan melihat kesibukan semua pegawai yang tengah mengolah beragam masakan. Ada lima pegawai yang  bertugas belanja dan memasak di rumah makan itu. Mak Dinah adalah juru masak rumah makan. Dia yang mengatur menu dan menentukan beragam jenis masakan. Sementara yang empat orang lagi membantu  mak Dinah. Selain mereka ada empat orang pelayan lain yang melayani pengunjung. 
Sesaat Listi hanya memperhatikan kesibukan didapur. Begitu banyak pekerjaan dan dia tidak tahu dia harus membantu yang mana. Siti tengah menggoreng ayam sambil sibuk mengurus pekerjaan lain.  Nenah mengiris-iris kentang. Abdul  membersihkan ikan.  Gingin mencuci piring dan peralatan dapur. Ini kali pertama Listi masuk dapur rumah makan setelah pembicaraan dengan ibunya. Masuk ke dapur untuk ikut terlibat dalam pekerjaan. Walaupun sebelumnya dia sudah biasa keluar masuk dapur. Bahkan seringkali dia makan disana, berkumpul bersama pegawai lainnya. Tapi kondisinya berbeda dengan saat ini.
Mak Dinah yang tengah sibuk memotong-motong daging menoleh pada Listi. Ibu Listi  sudah bicara pada mak Dinah bahwa rumah makan sekarang sudah diserahkan pada Listi. Mak Dinah faham, mengapa secepat ini rumah makan diserahkan kepada Listi. Bila tidak sekarang, Listi tidak akan pernah peduli dengan rumah makan ini. Dia harus segera diberi tanggung jawab.  
“Banyak. Kalau sudah masuk dapur, banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan. Membantu memotong-motong daging, memotong sayuran, menyiapkan bumbu, dan beragam pekerjaan lain. Tinggal pilih saja mau mengerjakan yang mana.” Sahut Mak Dinah sambil tertawa dan bergurau menggoda Listi. Mak Dinah tahu, Listi paling tidak suka masuk kedapur dan tidak mau belajar memasak padahal ibunya sudah sering kali mengingatkannya bahwa perempuan tetap harus bisa memasak.
“Apa aku harus terlibat dengan semua pekerjaan?”  tanya Listi. Dia langsung meringis melihat begitu banyak pekerjaan didapur.
Mak Dinah tersenyum. “Tentu saja tidak perlu semua pekerjaan neng Listi  ikut mengerjakan, namun neng Listi tetap  harus  tahu dengan segala macam pekerjaan di dapur.”
Listi membutuhkan waktu hampir sebulan mempertimbangkan permintaan ibunya sebelum dia masuk kedapur rumah makan. Selama sebulan itu dia tetap asyik dengan kesibukannya sendiri  memasukan lamaran pekerjaannya kebeberapa perusahaan dan instansi. Dia  berharap ibunya akan berubah pikiran bila dirinya  diterima bekerja ditempat yang diinginkannya. Namun sambil menunggu ada salah satu lamarannya yang mendapat jawaban, dia tidak bisa mengabaikan pembicaraan dengan  ibunya. 
Listi melihat kesibukan para pegawai rumah makan  memasak beragam macam masakan yang menjadi menu andalan rumah makannya. Ternyata banyak yang harus dipelajarinya. Kini dia tahu, betapa tidak mudahnya mengelola sebuah rumah makan. Apalagi untuk menarik banyak langganan agar merasa puas dengan menu yang disajikan sehingga akan datang dan datang lagi kerumah makan mereka.
“Aku bantu mengiris kentang saja, ya.” Listi duduk didekat Nenah. Dia mengambil pisau dan sebutir kentang yang sudah dikupas kulitnya. Dia mulai mengiris. Nenah memperhatikannya.
“Jangan terlalu tebal, kalau digoreng tidak akan renyah.” Kata Nenah.
“Oke.” Sahut Listi. Dia membuat irisan kentang yang lebih tipis. “Cukup?”
“Masih kurang tipis. Seperti ini.” Nenah memperlihatkan kentang yang telah diiris-irisnya. Yang tipis dengan ketipisan yang hampir merata.
“Oke.” Sahut Listi. Dia mengiris-iris lagi kentang setipis yang dicontohkan oleh Nenah. “Sudah oke?”
“Ya. Sudah oke.” Nenah tersenyum.
Ibunya masuk kedapur dan tersenyum melihat Listi yang tekun mengiris-iris kentang. “Nah, anak mama sekarang sudah mau masuk dapur.” Ujar ibunya.
Listi menoleh, lalu tersenyum. “Tapi aku tidak harus tiap hari terlibat dengan pekerjaan didapur kan, ma? Aku kan bos-nya. Masa aku harus ikut kegiatan masak memasak.”
“Listi, walaupun kau bos-nya, namun kau tetap harus bisa memasak. Keahlian memasak tetap harus dimiliki orang yang memiliki usaha rumah makan.” Ujar ibunya.
Walaupun semula keras kepala tidak mau mengurus rumah makan, namun akhirnya Listi mau terlibat dengan usaha yang sudah dirintis ayah ibunya sekian puluh tahun lalu dengan susah payah. Dia mempelajari segalanya. Sampai segala macam tetek bengek urusan dapur. Perlahan dia mulai menyukai apa yang ditanganinya sehari-hari.
Dia mulai memahami bahwa rumah makan mereka harus tetap memberikan pelayanan yang memuaskan bila tidak ingin ditinggalkan konsumennya. Persaingan bisnis rumah makan di Sumedang dari waktu ke waktu semakin bertambah jumlahnya walaupun  dia  tidak khawatir dengan persaingan bisnis itu karena masing-masing sudah punya langganan tetap.
Hari demi hari dijalaninya  walaupun  pada awalnya dia melakoninya dengan perasaan terpaksa. Tanpa disadarinya, perlahan penampilannya pun mulai berubah. Dia bukan lagi gadis yang hampir setiap saat berdandan dan sering memperhatikan wajahnya di cermin. Dulu dia selalu cemas dengan jerawat yang tiba-tiba muncul diwajahnya. Dulu dia setiap saat sibuk mengurus  rambutnya. Dulu dia selalu pergi ke salon hanya sekedar untuk mengurus  kuku-kukunya. Dulu dia sudah biasa berlama-lama berada dikamar mandi untuk  melakukan luluran disekujur tubuhnya. Dulu pun dia sudah biasa menjaga penampilannya dalam berbusana.
Kini semua itu seakan mulai ditinggalkannya. Semua kebiasaannya ketika masih bersahabat dengan Yulia dan Winda mulai berkurang dan akhirnya nyaris tak pernah lagi dilakukannya  seiring dengan kesibukannya berkutat mengurus rumah makan, mengecek masakan dan segala macam rutinitasnya sehari-hari.
Warisan ayahnya membuatnya  hidupnya jadi berubah. Dia bukan lagi gadis yang seakan selalu merasa masih muda remaja. Namun tanggung jawab itu seakan mendorongnya menjadi lebih  dewasa. Tidak hanya memikirkan kepentingan dan  urusannya sendiri. Dia lebih terbuka melihat urusan dan kepentingan lain selain hanya memikirkan urusan dan kepentingan dirinya sendiri. Perlahan, sifat egoisnya mulai berkurang dan dia belajar banyak dari pengalaman sehari-hari. Juga dalam hubungannya sdengan semua pegawai rumah makan yang menjadi salah satu kunci keberhasilan rumah makan orangtuanya.  
Disisi lain, ditengah kesibukannya mengurus rumah makan warisan ayahnya yang sudah dilepaskan sama sekali oleh ibunya dan diserahkan sepenuhnya kepadanya,  dia pun melihat ada yang berubah  pada ibunya. Kepergian ayahnya nampaknya sangat memukul perasaan ibunya. Ibu tidak pernah melamun atau meratapi kepergian ayahnya walaupun Listi  sering memergoki ibunya tengah menangis dikamarnya. Yang terlihat oleh Listi, ibunya seakan sudah kehilangan  kehilangan semangatnya.  Mungkin karena faktor usia ibunya yang sudah semakin sepuh. Mungkin karena kepergian ayahnya yang membuat ibunya kehilangan semangatnya.
Listi  tidak ingin bertanya. Dia memahami perasaan ibunya. Ibunya memang sudah tua. Ibunya melahirkan dirinya ketika usianya sudah empatpuluh lima  tahun setelah lebih dari lima belas tahun menunggu datangnya buah hati. Dia sering menyadari bagaimana ayah dan ibunya teramat sangat memperhatikan dirinya. Buah hati yang sudah sangat lama dinantikannya. Diusianya yang baru duapuluh empat tahun, ibunya dan ayahnya sudah sepuh. Namun dia bahagia memiliki ayah dan ibu yang sangat menyayangi dirinya.  Kini ayahnya telah tiada. Dia melihat ibunya seakan ingin ikut beristirahat dan menyerahkan sepenuhnya pengelolaan rumah makan warisan ayahya kepadanya.
“Belajar. Bila engkau tidak mau belajar mengurus rumah makan, selamanya engkau tidak akan bisa.” Kata ibunya berkali-kali diawal mula dia mulai memegang usaha rumah makan itu dan masih tetap suka uring-uringan karena tidak mau mengurus rumah makan.
Listi iri melihat banyak pegawai wanita yang makan siang dirumah makannya. Kehidupan mereka kelihatannya sangat  menyenangkan. Kerja dikantoran berkutat dengan pekerjaan yang ditunjang  oleh  perlengkapan kantor yang modern, penampilan yang modis, dandanan yang menarik dan memiliki pergaulan yang luas. Dia ingin seperti mereka. Namun rumah makan ini seakan telah membatasi langkahnya. Pergaulannya sehari-hari hanya dengan pegawai rumah makan didapur. Dia merasa terpasung oleh pekerjaannya. sementara fantasinya ketika dia lulus kuliah sangat indah. Dia akan memiliki kehidupan yang menyenangkan sebagai seorang wanita karier yang bekerja diperkantoran.
Namun akhirnya perasaan Listi berangsur berubah.  Akhirnya dia merasa kasihan   melihat kesungguhan ibunya yang sudah ingin segera beristirahat dan mempercayainya bahwa dia bisa mengelola rumah makan menggantikan ayah dan ibunya.
Dia sendiri merasa tidak  terlalu sulit melanjutkan usaha ayah ibunya mengelola rumah makan ini. Mereka sudah memiliki juru masak-juru masak  dan pembantu-pembantu yang sudah terlatih bekerja  selama bertahun-tahun lamanya. Bahkan mak Dinah merupakan juru masak yang sudah bekerja bersama mereka sejak awal mula rumah makan ini didirikan. Ketika rumah makan ini masih berupa sebuah warung nasi sederhana yag terus berkembang dan mengalami perubahan fisik dalam bangunannya. Ayahnya terus melakukan perombakan hingga sekarang rumah makan itu sudah berupa banguna yang cukup besar dan nyaman dengan halaman parkir yang cukup luas.
Awalnya Listi  merasa canggung melakukan pekerjaannya. apalagi pikirannya masih bercabang-cabang. Dia belum sepenuhnya bisa konsentrasi mengurus rumah makan itu.  Dia teringat pada lamaran kerjanya yang ditujukan pada beberapa buah perusahaan. Bila ada panggilan tes dan wawancara bergegas dia pergi. Dan dari beberapa tes dan wawancara yang diikutinya, tidak ada satupun yang lolos. Namun Listi  tidak berkecil hati. Sambil menunggu ada lamarannya yang diterima, dia kembali disibukan dengan  mengurus rumah makannya.
Lebih dari setahun dia menunggu.  Tidak ada satupun lamaran kerjanya ke perusahaan yang mendapat balasan. Betapa susahnya mendapatkan pekerjaan dikantoran.  Sementara itu waktunya semakin banyak tercurah untuk mengurus rumah makan. Hingga akhirnya Listi sadar, inilah jalan hidupnya.
Perlahan dia mulai  melupakan lamaran kerjanya. Dia menatap masa depannya dengan rumah makan yang kini sudah ada dalam genggamannya. Ayahnya sudah mewariskan rumah makan ini untuknya. Kenapa dia harus mencari pekerjaan lagi  ditempat lain? Dirumah makan ini dia yang menjadi pimpinannya. Dia yang menggaji sejumlah pegawai namun ditempat lain dia yang digaji.
Listi  sadar, dia melakukan semua itu bukan karena dia menyukai pekerjaannya. namun karena dia mencintai ayahnya yang sudah susah payah merintis usaha rumah makan ini. Dia merasa harus bisa meneruskan usaha ayahnya.  
Bila tengah sendirian, dia sering membuka album  photo dan menatap wajah ayahnya yang  berwibawa. Listi sadar, dia sangat mencintai ayahnya.  Tanpa sepengetahuan Listi, seringkali ibunya memperhatikannya diam-diam, tersenyum menatapnya dan berkata dalam hatinya, semuanya ibu lakukan untuk kebaikanmu, nak, agar engkau memiliki tanggung jawab dan mau meneruskan usaha warisan orangtuamu ini. Suatu saat engkau pasti akan merasa bahagia dengan keputusan orangtuamu ini karena orangtuamu memberikan semua ini kepadamu dengan penuh cinta dan kasih sayang walaupun awalnya engkau menolak semua ini.  

--- 0 ---

“Aku tidak kerja dikantoran.” Kata Listi. Dia  menelepon Winda diwaktu senggangnya. Sambil duduk dikursi kerjanya dan matanya menatap layar televisi yang tengah menyiarkan berita.  “Mama menginginkan aku mengurus rumah makan peninggalan papa ini. Dan aku tidak bisa menolak. Awalnya aku melakoninya dengan perasaan terpaksa. Namun kini aku sadar, rumah makan ini adalah pekerjaan dan masa depanku.”
“Sudah kuduga, pasti akhirnya engkau tetap akan meneruskan usaha orangtuamu itu, apalagi setelah ayahmu tidak ada lagi, tidak ada ahli waris lain selain engkau.” Komentar Winda. “Aku malah senang kau sekarang sudah bisa meneruskan  usaha orangtuamu. Kau bisa menjadi seorang pengusaha rumah makan yang sukses.”
“Minatku bukan pada mengurus rumah makan. Aku ingin kerja dikantoran.” Tukas Listi. Dia selalu teringat ketika menjelang kelulusannya, dia  selalu  membayangkan akan mengenakan beragam busana kerja  setiap hari ke kantor. Dia merasa akan tampil modis dengan busana kerjanya nanti. Tidak seperti sekarang. Tidak berpengaruh pakaian apapun yang dikenakannya karena yang diurusnya hanya seputar dapur, rumah makan dan pengunjung.
“Kita tidak bisa menduga bagaimana masa depan kita, Listi. Mungkin kita mendapatkan apa yang kita dapatkan yang berbeda dengan  cita-cita yang kita miliki.” Ujar Winda. “Aku sendiri tidak menduga bila aku diterima  menjadi pegawai negeri dan bekerja di pemda Sumedang di kota kelahiranku sendiri. Kau tahu, tidak mudah untuk lolos menjadi pegawai negeri. Ada ribuan saingan setiap kali pendaftaran dibuka. Namun rupanya Allah telah menunjukan bahwa jalanku memang disinil. Menjadi pegawai dikota kelahiranku sendiri. Sesuatu hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, karena aku selama ini selalu memiliki cita-cita aku ingin bekerja diperusahaan dikota-kota besar dengan gaji yang besar. Namun kini aku bahagia dengan apa yang sudah kudapatkan. Akupun berharap engkaupun bahagia dengan apa yang kini sedang engkau jalani, Listi.”
“Ya. Aku mencoba menjalani. Dan ternyata aku tetap menemukan banyak kegembiraan dengan pekerjaan mengurus rumah makan ini. Aku membayangkan semangat ayahku ketika pertamakali ayah mendirikan rumah makan ini. Berawal dari sebuah rumah makan sederana, hingga selama dua puluh tahun kemudian ayahku berhasil membuat rumah makan yang memiliki bangunan yang cukup bagus dengan jumlah pengunjung yang selalu bertambah setiap hari.  Baru aku sadari, pekerjaan apapun selalu membutuhkan ketekutan, keuletan dan kerja keras. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kepercayaan ayahku yang sudah menyerahkan pengelolaan rumah makan ini sebelum ayah meninggal.” Listi merasakan keharuan menyesakan perasaannya.
“Yah, akhirnya engkau menyadari bahwa ayahmu menginginkan engkau meneruskan usaha rumah makan ini bukan tanpa dasar. Ayahmu sangat mencintai dan menyayangimu. Disaat sarjana lain berebutan mencari pekerjaan, orangtuamu sudah menyediakan sebuah pekerjaan untukmu. Ijasah sarjanamu tidak sia-sia. Dengan berbekal ijasah sarjana, engkau akan lebih professional dalam mengelola dan meneruskan usaha rumah makan yang telah dirintis oleh ayahmu. Tidak harus selalu, yang disebut bekerja itu adalah orang yang duduk dibelakang meja, kan?”
“Yulia bagaimana?” tanya Listi. Sudah cukup lama Yulia tidak pernah meneleponnya dan dia selalu kelupaan  tiap kali akan menelepon Yulia.
“Yulia sudah bekerja pada perusahaan pengembangan perumahan. Dia jadi sekreataris direktur. Dia pintar dan penampilannya modis. Cocok sebagai sekretaris.”
“Kapan-kapan kita berkumpul lagi dan berbagi cerita seperti dulu.” Kata Listi.
“Tentu.” Sahut Winda. “Dan kita tidak perlu repot mencari tempat kongkow. Dirumah makan Listi saja.”

--- 0 ---

Listi  tidak suka memasak. Sejak dulu dia tidak suka dengan pekerjaan masak memasak dan tidak pernah berniat untuk belajar masak memasak. Namun kini akhirnya  bidang masak memasak yang harus ditekuninya. Dia berusaha menjalankan  usaha warisan ayahnya dengan sepenuh hati. Dia melihat bahwa dia harus bertanggung jawab dengan kelangsungan usaha rumah makan ini. Untuk itu dia mau belajar. Belajar memasak. Sesuatu hal yang tak pernah disentuh dan dipelajarinya selama ini. Dia tahu bagaimana masakan yang enak dan lezat, namun dia tidak pernah tahu bagaimana caranya untuk mengolah beragam bahan sehingga menjadi masakan yang enak seperti itu.
Listi banyak belajar pada Mak Dinah. Mak Dinah dengan senang hati mengajari Listi   memasak beragam masakan yang menjadi menu andalan rumah makan mereka. Dia tidak keberatan bila waktunya kini lebih sibuk,   menyelesaikan pekerjaan rutinnya sehari-hari, sambil melayani beragam pertanyaan Listi. Mak Dinah seakan ikut merasa  senang  akhirnya Listi  yang selama ini tak pernah mau tahu dengan urusan rumah makan, kini tumbuh tanggung jawabnya dan terlibat secara langsung dengan usaha peninggalan ayahnya ini.
“Bibi senang, neng Listi  akhirnya mau juga ikut mengurus rumah makan ini.” Kata Mak Dinah.
“Habis gimana, Bi. Aku tidak bisa mengelak.” Sahut Listi.
“Usaha rumah makan ini tetap harus berjalan. Bibi masih ingat, bagaimana ayahmu dulu diawal mendirikan rumah makan ini berusaha agar rumah makan ini tetap bertahan ditengah-tengah makin banyaknya rumah makan lain yang berdiri.”
Ibunya mulai mengurangi ikut terlibat secara langsung dengan kegiatan didapur. Listi  yang menggantikan tugas ibunya, mengecek setiap masakan dan mulai memikirkan menu lain yang bisa dijadikan andalan rumah makannya. Dan dia terjun langsung dengan kesibukan didapur. Dia sudah tidak pernah lagi memperhatikan penampilan dirinya. Dia asyik dengan beragam ilmu-ilmu baru yang kini diperolehnya dalam bidang masak memasak yang tak pernah didapatkannya selama dibangku sekolah. Memasak itu ternyata mengasyikan. Dan sungguh menggembirakan ketika berhasil menyajikan suatu masakan yang disukai oleh pengunjung rumah makan. Sekarang Listi faham, bagaimana ibu-ibu rumah tangga yang gemar memasak selalu bicara dengan penuh rasa bangga bila berhasil menjerat cinta suami dan anak-anaknya lewat masakannya.
“Nanti bila sudah menikah, jerat cinta suamimu dengan masakan. Masakan yang pas dengan selera suamimu akan membuatmu semakin dicintai.”  mak Dinah menasehati.
“Oke.” Sahut Listi.
Selain kegembiraan-kegembiraan yang diperolehnya tanpa pernah diduga sebelumnya dalam bidang masak memasak,  kini dia pun memiliki sebuah  hobi baru yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan akan menjadi kesenangan buatnya. Dia senang mengoleksi celemek. Celemek dengan beragam motif dan warna.  Setiap hari dia ganti celemek. Semula dia mengoleksi celemek untuk menghindari kejenuhan karena sekarang dia harus mau terjun ke dapur. Namun kini mengoleksi celemek merupakan hobi lain yang didapatkannya selain kegemarannya dalam bidang masak memasak.

--- 0 ---


“Win, aku ingin ketemu kamu.” Listi menelepon Winda. Dia tersenyum sambil menatap selembaran ditangannya. Sudah lama dia tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Winda. Mereka seakan disibukan dengan urusan masing-masing. 
“Oh, tentu saja. kapan kita bisa bertemu?” sahut Winda.
“Kamu datang kerumah makanku, ya. Sambil makan siang, kita ngobrol.” Undang Listi.
“Oke.” Sahut Winda.
Jam dua belas Winda datang. Penampilannya sudah beda dengan dulu. Kini dia mengenakan seragam pemerintah daerah. Kelihatan makin anggun.
“Win, aku ingin engkau bantu aku mempromosikan rumah makanku ini.” Kata Listi menyambut kedatangan Winda.
“Tentu saja.” sahut Winda. “Bagaimana caranya?”
“Aku ingin engkau membantu menyebarkan selebaran ini pada pegawai-pegawai di instansi-instansi dan dikantor-kantor lainnya di pemda.” Listi menyerahkan setumpuk selebaran yang sudah dipersiapkan.
“Datanglah ke rumah makan kami. Makan berempat gratis satu. Makan berdelapan gratis dua.” Winda membaca isi selebaran itu. Dia tersenyum menatap Listi. “Bila yang datang sepuluh orang, berapa orang yang gratis?”
“Tiga orang.”
“Bila dua belas orang?”
“Ya tiga orang. Perhitungannya kan kelipatan dari empat orang itu. Pokoknya kasir sudah aku beri pelatihan bagaimana penghitungannya.”
“Oke.” Winda tersenyum. “Aku akan membantumu.”
“Selama sebulan ini engkau makan siang gratis dirumah makanku ini.”
“Wah, tidak usah. Aku ikhlas membantumu.”
“Aku juga ikhlas engkau makan siang gratis selama sebulan ini dirumah makanku.” Listi mengeluarkan kupon makan gratis dan merobeknya sebanyak tiga puluh satu lembar. “Nih, tiap kali engkau makan siang, serahkan lembaran kupon ini pada pelayan yang melayanimu.”
“Oke, terima kasih.”
“Jangan lupa mempromosikan dan mengajak semua kenalanmu untuk makan siang dirumah makanku ini. Rumah makan ini kan letaknya sangat strategis, berada dijalan yang dekat dengan kantor pemda dan kantor-kantor lainnya. Dan mudah dijangkau dari arah manapun.”
“Oke. Mudah-mudahan rumah makanmu semakin laris.”
Listi tidak menunggu lama. Dia memasang selebaran itu dikaca rumah makannya. Namun Winda pun serius membantunya mempromosikan rumah makannya dilingkungan tempat kerjanya. Esoknya serombongan pegawai pemda datang makan siang dirumah makannya. Disusul dengan rombongan lainnya. Usahanya mempromosikan rumah makannya seperti itu berjalan cukup efektif. Empat orang gratis satu. Jadi empat orang itu  patungan membayar makanan  untuk tiga orang karena porsi yang satu dianggap gratis.

--- 0 ---

Hari-hari selanjutnya kesibukan Listi bertambah. Upaya promosi rumah makannya menunjukan hasil yang bagus. Menjelang makan siang  rumah makan hampir setiap hari didatangi rombongan pegawai dari dinas instansi yang akan makan siang. Bukan hanya rombongan, namun yang datang seorang dua orang pun  banyak yang  makan siang dirumah makan itu.
“Listi, rumah makan kita bisa merugi.” Protes ibunya ketika mengetahui Listi mempromosikan rumah makan dengan cara seperti itu.
“Tidak, ma. Aku sudah memperhitungkannya. Rumah makan kita malah untung karena banyak yang datang secara rombongan.” Sahut Listi santai. Dia tengah asyik dengan laptopnya. Sesibuk apapun dia mengurus rumah makan, dia masih tetap meluangkan waktunya untuk membuat cerita anak-anak, hobi yang sempat ditinggalkannya ketika dia sibuk menyelesaikan pendidikannya.
“Kau senang mengurus rumah makan, nak?” ibunya tersenyum menatapnya.
“Ya, ma. Aku sekarang senang. Aku ingin membuat mama bahagia. Juga membuat papau tersenyum melihat aku bisa meneruskan usaha papa ini.”
“Sejak semula mama dan papa percaya kau pasti bisa mengelola rumah makan ini dengan baik.”
Listi hanya tersenyum.
Setelah ayah meninggal, ibu seakan tidak terkendali makan terus. Makin lama tubuhnya makin gemuk. Lima tahun setelah ayah meninggal, dia nyaris tidak percaya melihat betapa gemuk ibunya. Ibu lebih banyak menghabiskan waktunya duduk membaca dan menonton, televisi, tentu saja sambil mengemil makanan ringan, beragam kue dan roti yang seakan tidak pernah membuatnya merasa kenyang.
Dia tidak bisa mencegah ibunya. Yang terpikir olehnya adalah ibu tetap sehat dan bahagia. Walaupun akhirnya tubuh ibunya melar melampaui tubuh ibunya saat ayah masih ada. Dengan tinggi tubuhnya yang seratus limapuluh lima centimeter dan bobot tubuh yang mencapai Sembilan puluh kilogram, ibu kelihatan sangat gemuk sekali. Tak sadar dia sering menatap photo ibunya ketika masih muda, cantik dan langsing dengan senyumannya yang sungguh menawan. Kecantikan itu kini masih tersisa, terbayang pada wajahnya yang membulat.

--- 0 ---
Donie menjadi semakin sulit untuk dihubungi. Ponselnya sering tidak aktif. Mungkin dia memakai nomor yang lain dan tidak memberitahunya. Listi sering merasa kesal namun dia tidak bisa memaksa Donie untuk tetap menjaga hubungan mereka. Dia sadar, Donie seakan semakin menjauh darinya. Seakan semakin sulit untuk menyediakan waktu lagi untuknya. Sempat Listi berpikir dan menduga, apakah karena pembicaraannya tempo hari yang membuat Donie sekarang menjauh? Sesekali pesan pendeknya masuk ke ponsel Donie namun Donie hanya menjawab sekedarnya. Bahkan kadangkala sama sekali tidak membalas pesan pendeknya.
“Don, kau sudah lama tidak kerumah.” Kata Listi ketika akhirnya dia berhasil menghubungi Donie.
“Aku sedang sibuk, Lis. Kapan-kapan saja aku kerumahmu.” Sahut Donie, seakan tidak bersemangat menerima teleponnya.
“Kita harus bicara, Don. Bukankah kita masih berhubungan?” kata Listi akhirnya, setelah tidak sabar lagi menunggu.
Hening sesaat. “Ya, kita harus bicara, Lis. Lusa aku akan pulang ke Sumedang. Aku akan kerumahmu.”
Lusa yang dijanjikan Donie akhirnya datang juga. Listi menunggu dan merasa lega ketika dari jendela kamarnya dia melihat Donie melangkah memasuki halaman rumahnya. Dia membukakan pintu seperti halnya dia membukakan sebuah harapan lain dalam hatinya, berharap hubungan mereka akan tetap berjalan seperti biasanya.
Donie duduk dihadapannya dengan wajah serius, menatapnya sama seriusnya.
“Lis, aku sungguh minta maaf, hubungan kita putus.” Ucap Donie.
Listi terhenyak. Seakan tidak percaya Donie mengucapkan kalimat itu. Hubungan mereka putus. Kenapa harus putus? Apa kesalahannya? Selama ini dia sangat mencintai Donie. Dia selalu berharap dan berangan hubungan mereka akan berakhir bahagia dipelaminan. Selama ini dia selalu menahan perasaannya bila ada ketidakcocokan dengan Donie dan menganggap semua itu hanyalah kerikil-kerikil kecil yang tidak perlu melukai kakinya. Dia menatap Donie sambil menahan airmatanya.
“Putus? Mengapa?” tanya Listi lirih.
“Lis, kau sudah ingin menikah sementara aku masih konsentrasi dengan pekerjaanku.” Kata Donie. “Aku tak ingin engkau menungguku.”
Listi menatap Donie dengan perasaan bingung.
“Aku tidak mendesakmu untuk sebuah perkawinan.” Sahut Listi lirih.
“Aku khawatir engkau akan kecewa denganku karena aku tidak bisa memenuhi harapan dan keinginan ayahmu yang sudah ingin melihat engkau segera menikah.” Kata Donie.
“Papa memang menginginkan kita segera menikah, namun papa tidak memaksa kita….”
“Lis, aku merasa terbebani dengan harapan dan keinginan ayahmu. Aku tidak ingin membuat engkau lebih kecewa lagi dengan menungguku.”
Listi akhirnya diam. Tidak ada gunanya melanjutkan percakapan ini. Donie akan memiliki seribu satu alasan untuk mengelak dari sebuah perkawinan yang diharapkan ayahnya. Donie masih ingin menikmati kehidupan lajangnya dan belum ingin terikat dengan sebuah perkawinan.
“Ya, Don. Aku mengerti.” Ucap Listi akhirnya.
Donie pulang dengan diiringi tatapan Listi yang penuh airmata.  Dia merasa sakit hati. Dua tahun dia menunggu namun ternyata akhirnya seperti ini. Apa salahku padamu? Tanya Listi. Aku selama ini selalu baik kepadamu. Namun kini akhirnya kata putus yang engkau berikan kepadaku.
Dalam kekalutan perasaannya dan kesedihannya, dia terus mengunyah. Menikmati beragam camilan yang membuatnya bisa melupakan kesedihannya. Hingga akhirnya Kiki, pegawai kasir menegurnya, seakan kaget.
““Astaga, teteh semakin gemuk! Berapa kilo timbangannya sekarang?”
Ucapan Kiki seakan menyadarkannya. Ketika dia menimbang tubuhnya, dia terbelalak seakan tak percaya. Dia sudah bertambah lima kilogram dalam waktu dua bulan ini. Ini sungguh luar biasa buatnya. Selama ini dia selalu menjaga berat badannya agar tidak berlebihan. Gemuk membuatnya merasa tidak sehat, tidak nyaman dan tidak segar.
Dikamarnya tak sadar Listi  memperhatikan kotak-kotak cokelat dan kue kering yang terletak diatas meja. Semua makanan itu yang membuat aku gemuk, pikir Listi. Namun pada saat yang sama dia sadar, ada sebab lain yang membuat dia seakan tidak berhenti mengunyah. Kekecewaan dan kesedihannya dengan putus hubungannya dengan Donie. Kenapa aku harus melarikan kekecewaan dan kesedihanku pada makanan? Pikir Listi. Kenapa aku begitu rapuh oleh cinta? Kenapa aku tidak bisa tegar? Bukankah kepergian papa yang justru sangat memukul perasaanku ternyata masih sanggup membuat aku tetap bisa tegar dan meneruskan usaha papa? Kenapa justru aku tidak kuat menghadapi hubunganku yang putus dengan Donie? Apa yang sudah diberikan Donie kepadaku selama ini? Bukankah dia sering mengecewakan aku dengan sikap-sikapnya? Kenapa justru aku tidak kuat menghadapi putusnya hubunganku dengan Donie?
Listi menghela napas dalam. Jauh dalam hatinya dia tidak siap menerima keputusan Donie yang memutuskan hubungan mereka secara tiba-tiba.  Dia selalu berpikir bahwa kebersamaan mereka selama beberapa  tahun ini   akan membawa  hubungan mereka berakhir dipelaminan seperti halnya harapan ayahnya dahulu sebelum ayah meninggal. Namun dia keliru. Waktu yang cukup lama bukan sebuah jaminan akan kelanggengan hubungan mereka.
Listi memperhatikan tubuhnya pada cermin besar yang memantulkan  seluruh tubuhnya. Aku sudah gemuk sekali. Bagaimana mungkin akan  ada lelaki yang tertarik kepadanya dengan tubuh gemuk, tidak segar dan yang seoleh tidak peduli dengan penampilannya. Aku harus merubah pola makan dan mengatur lagi kegiatanku, pikir Listi. Kapan terakhir dia berolah raga? Dia sudah tidak ingat lagi. Jogging di pagi hari yang merupakan olahraga favoritnya entah kapan terakhir kali dilakukannya. aku akan jogging lagi, pikir Listi. Aku  harus menyayangi diriku, tubuhku. Aku masih muda. Aku tidak mau menyia-nyiakan masa mudaku dalam timbunan lemak ditubuhku.
Esok paginya Listi bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah shalat subuh dia langsung mengenakan pakaian olahraganya dan segera berlari dijalanan disekitar  rumahnya  bolak balin beberapa kali. Setengah jam kemudian dia kembali dengan keringat membanjiri seluruh tubuhnya. Nafasnya agak tersengal. Dia sudah lama tidak pernah berolahraga lagi. Tubuhnya masih perlu menyesuaikan diri lagi. Listi mengambil segelas air putih dan meminumnya dengan nikmat. Dia beristirahat sebentar sebelum masuk kamar mandi. Setelah mandi dan berdandan, dia mengecek kedapur dan rumah makan. Aku akan mengatur pola baru untuk hari-hariku, pikir Listi.

--- 0 ---









Diluar hujan turun dengan derasnya. Listi tengah duduk menghadapi mejanya sambil sesekali memperhatikan titik-titik air hujan yang jatuh dari atap genting.   Waktu kecil  Listi   senang memperhatikan titik-titik air hujan bila musim hujan tiba. Titik-titik air hujan itu bagaikan ribuan jarum yang dicurahkan dari langit. Semula dia mengira bahwa langit sedang menangis. Dia bertanya pada ibunya, bu mengapa langit menangis? Ibunya tersenyum.
“Langit bukan sedang menangis. Namun di Indonesia, kita memiliki dua musim, musim hujan dan musim kemarau. Bila musim kemarau semua tanah menjadi kering. Nah, dimusim hujan, langit mencurahkan airnya dan membasahi kembali tanah yang kering kerontang. Begitulah seterusnya, dalam setahun dinegeri kita silih berganti antara musim hujan dan musim kemarau.” Ucap ibunya.
Hingga beranjak dewasa kebiasaannya yang senang memperhatikan hujan  tetap tidak bisa hilang. Dia senang bila musim hujan tiba. Selalu menimbulkan romansa tersendiri dalam jiwanya. Dia suka duduk didepan jendela menatap keluar. Memperhatikan titik-titik air hujan dengan asyiknya. Mendengarkan bunyi curah hujan yang menimpa genting. Memperhatikan rerumputan yang basah. Dia seakan tak pernah bosan dengan kebiasaannya itu. Bahkan sekarangpun ketika dia merasa seakan dikejar-kejar dengan kesibukan sehari-harinya, dia masih suka menyempatkan diri memperhatikan hujan.
Listi  mengambil kotak cokelat dan mulai mengunyah sambil menonton televisi. Makan cokelat terasa menenangkan perasaannya. Apalagi dikala perasaannya tengah sedih seperti ini. Sepanjang hari dia berusaha menyembunyikan kesedihannya dari siapapun. Namun dikala tengah sendirian dikamarnya, kembali perasaan itu mengusiknya. Dia tidak melarikan diri pada makanan. Namun yang  terasa olehnya, makanan seperti cokelat ini banyak membantu menenangkan perasaannya. Seakan bisa melarikannya dari persoalannya.
Ponselnya  berbunyi. Sengaja distel pelan. Listi baru masuk kedalam kamarnya dengan beragam bungkusan camilan yang akan menemaninya dikamarnya sambil nonton film kesukaannya. Dia menatap ponselnya.   Donie   menelepon. Sesaat Listi   memperhatikan nama Donie  yang muncul pada layar ponselnya. Hubungan mereka sudah berakhir enam bulan lalu. Mereka sudah tidak pernah lagi berkomunikasi. Dia mengira Donie sudah bahagia dengan wanita lain. Sesaat Listi merasa bimbang. Namun akhirnya dia mengangkat ponselnya. Dia tidak mengingkari, dia bahagia Donie menghubunginya lagi. Dia masih menyukai lelaki itu dan masih menyimpan kenangannya yang dulu terasa indah bersama Donie.
 “Halo.” Sapa Listi  pelan. Dia menjaga suaranya agar tidak kedengaran terlalu antusias menerima telepon Donie. 
“Halo, Lis. Apa kabar?” Suara Donie  terdengar gembira.
“Kabarku baik.” Sahut Listi.
“Dari kemarin aku sudah  ingin meneleponmu.” Kata Donie. “Bagaimana dengan pekerjaanmu? Sudah ada lamaranmu yang diterima?”
“Belum. Aku masih tetap kerja mengurus rumah makan.”
“Sesuai dengan keinginan ayahmu. Ya sudah, lebih baik engkau menjalani apa yang ada saja. daripada engkau susah payah mencari pekerjaan ditempat lain yang belum tentu kondisinya lebih baik dari yang tengah engkau kerjakan saat ini.”
“Ya. Aku juga berpikir begitu.” Sahut Listi. “Ada apa, Don? Tumben engkau menelepon aku lagi?”
“Aku ingat terus sama kamu.” Sahut Donie sambil tertawa. “Lis, minggu depan aku pulang ke Sumedang. Kita jalan-jalan, yuk.”
“Jalan-jalan? Kemana?”
“Kamu masih ingat dulu kita selalu jogging dipagi hari, lalu makan bubur ayam dan menikmati kebersamaan kita.”
“Tapi itu dulu.”
“Lalu kenapa bila sekarang kita melakukan hal-hal yang dulu pernah kita lakukan bersama-sama?” tukas Donie.
Listi tersenyum. “Ya. Aku tunggu.”
“Oke, minggu depan aku pulang ke Sumedang.”
Sabtu sore Donie sudah berada dirumah Listi. Listi menyambutnya dengan gembira.
Kebersamaan itu kembali menjadi milik mereka. Listi kembali merasakan kebahagiaan yang sempat hilang bersama Donie. Dia berharap hubungan mereka yang sempat putus akan membuat hubungan mereka semakin dewasa. Selalu ada waktu dan kesempatan untuk saling memperbaiki diri, untuk saling intropeksi diri, untuk lebih saling mengenal diri mereka masing-masing.
Namun kembali Listi seakan tersadarkan. Betapa sebenarnya dia terlalu bodoh bila dia tetap berharap bahwa hubungannya dengan Donie akan berjalan mulus seperti yang diharapkannya. Cinta ternyata penuh ujian dan membutuhkan ketabahan hati untuk menjalaninya.
Diawal mereka bersama lagi, Donie sempat bercerita sedikit mengenai hubungannya dengan Mira, wanita yang pernah hadir diantara mereka. Donie bercerita bahwa hubungannya dengan Mira sudah putus. Sebenarnya Listi  tidak ingin  tahu cerita apapun tentang Donie dengan wanita lain. Semua itu bukan urusannya. Namun Donie  yang bercerita sendiri. Seakan memaksanya untuk tahu apa yang tengah terjadi dengan dirinya.
“Don, aku tidak ingin tahu tentang wanita lain. Aku hanya ingin kita berbicara tentang diri kita sendiri, tentang engkau dan aku saja.” kata Listi.
“Ya. Tapi aku ingin engkau percaya kepadaku.”
“Aku percaya kepadamu. Tidak usah engkau ragu dengan hal itu.” Listi tersenyum lembut.
Suatu saat Donie meneleponnya.
 “Lis, aku mendapat undangan. Salah seorang temanku menikah. Kau mau menemani aku?”
“Kapan?”
“Hari minggu lusa.”
 “Ya.”
“Oke, nanti aku jemput, ya.” Suara Donie  terdengar gembira.
Listi  sendiri tidak ada niat untuk menghentikan komunikasi diantara mereka walaupun Donie  sudah  memutuskan hubungan mereka. Mereka sudah sangat lama sekali saling mengenal. Ibunya beberapa kali menanyakan Donie. Namun dia enggan memberikan penjelasan.
Hari minggu Listi sudah siap berdandan. Dia menunggu Donie. Jam sebelas dia menelepon Donie  namun teleponnya tidak diangkat.  Hingga jam dua belas siang  Donie  belum juga  datang menjemputnya dan teleponnya tidak diangkat. Listi merasa sudah terlanjur berjanji akan menemani Donie. Jam satu dia pergi ke rumah Donie. Donie  baru saja keluar dari dalam rumahnya. Dia kelihatan terkejut melihat kedatangan Listi.
“Don, kita jadi berangkat?”
Donie  kelihatan gugup. “Maafkan aku, Lis. Aku sudah janji akan menjemput Vini.”
Listi tertegun. Dia bergegas pergi tanpa menoleh lagi. Itulah terakhir kali dia bertemu Donie. Dia sudah tidak ingin bertemu lelaki itu lagi. Sudah cukup selama ini dia bersabar dalam menghadapi lelaki itu. Dia tidak ingin semakin terluka oleh Donie walaupun dia mencintai lelaki itu.

--- 0 ---
Sudah saatnya aku membenahi rumah makan ini agar lebih nyaman, pikir Listi. Hari sudah malam. Hanya tinggal tiga orang yang tengah makan.  Dia mengedarkan tatapannya kesekeliling rumah makan. Dia lalu masuk kedalam ruangan pribadinya. Sebuah ruangan kecil disamping kiri. Dia duduk menghadapi mejanya. Dia mengambil selembar kertas dan mencorat-coret  sketsa. Lalu dia tersenyum puas dengan hasil coretannya. Dia sudah memperhitungkan biaya yang harus dikeluarkannya untuk melakukan pembenahan itu.
Esok paginya dia memanggil Agus, salah satu pegawainya.
“Gus, kita akan membenahi interior rumah makan. Kita akan membuat kolam hias dengan air mancur  ditengah-tengah ruangan agar suasana terasa lebih sejuk. Lalu kita buat bilik-bilik untuk duduk lesehan. Sementara untuk yang ingin duduk dimeja, kita memasang meja dibagian belakang rumah makan.” Kata Listi. Dia menyerahkan coretan sketsa yang dibuatnya semalam.
“Ya.” Agus mengangguk sambil mengamati sketsa yang diberikan Listi.
“Kamu hubungi pekerja dan mulai bekerja tanpa harus mengganggu pengunjung. Sambil membenahi bagian dalam rumah makan ini, untuk sementara pengunjung  rumah makan bisa dilayani diruangan sebelah. Kita tata dulu sebelumnya sehingga ketika renovasi ini tengah berlangsung, tidak akan mengganggu langganan kita.”
“Baik.” Sahut Agus. “Apa kita memerlukan seorang pemborong untuk melakukan pembenahan ini?”
“Tidak perlu.” Sahut Listi. “Aku kenal Rizki. Satu alumni denganku di SMA. Dia seorang arsitek yang baru lulus. Waktu kuliah dulu dia pernah sambil kerja pada sebuah perusahaan konsultan. Aku akan menghubungi dia. Mungkin dia bisa mengerjakan pekerjaan ini dan tidak memasang tarif terlalu mahal.”
“Baik. Soal pekerja?”
“Nanti setelah aku bicara dengan Rizki, kau bisa membicarakan mengenai pekerja dengan Rizki. Mungkin dia sudah tahu siapa orang yang bisa diambil untuk membantu pekerjaan ini.”
“Baik.” Sahut Agus.
Dua hari kemudian Listi menghubungi Rizki. Dia mendapat telepon rumah Rizki dari buku alumni SMA. Ketika Listi menelepon, Rizki tidak ada, tapi adik perempuannya memberinya nomor ponsel Rizki. Empat hari kemudian setelah itu Rizki  datang kerumah makan. Dia tersenyum melihat Listi. Mereka dulu hanya selintas  saling kenal.
“Kenapa kau ingat aku? Ada pekerjaan apa?” tanya Rizki.
“Dimana kau kerja?” tanya Listi.
“Aku masih menganggur.”
“Kalau begitu, sambil menunggu  panggilan lamaran, bantu aku dulu membenahi rumah makan ini.”
“Oke. Kau boss disini sekarang?”
“Aku senang mendapat panggilan boss.” Listi tertawa.
“Apa yang kau inginkan dengan penataan rumah makan ini.”
Listi mengambil sketsa yang telah dibuatnya. Dia memberikan penjelasan pada Rizki apa yang diinginkannya. Rizki  mengangguk.
“Oke. Aku mengerti.”
Dua hari kemudian  bagian dalam rumah makan itu sudah dibenahi. Untuk sementara waktu pengunjung yang datang dilayani pada ruangan disamping ruangan yang sedang diperbaiki itu. Pengunjung yang datang tidak sebanyak seperti hari-hari biasanya, namun setiap hari rumah makan tidak pernah sepi dari pengunjung. Renovasi yang dilakukan pada bagian dalam rumah makan tidak mengganggu pengunjung karena pengunjung masuk melalui pintu samping.
Tiga bulan kemudian pekerjaan sudah rampung. Listi puas dengan hasilnya. Kini pengunjung bisa memilih ingin makan dimana. Bisa makan sambil duduk lesehan. Atau bisa juga duduk dikursi menghadapi meja makan. Dia membuat sepuluh buah bilik untuk duduk lesehan, lima buah pada sebelah kiri dan lima buah bilik lagi pada sebelah kanan. Diantara bilik-bilik itu ada kolam empat persegi panjang yang memanjang. Lengkap dengan air mancur dan ikan-ikan mas yang berenang kian kemari didalam kolam. Sementara yang  memilih duduk, meja-meja ditata pada bagian depan dekat pintu masuk rumah makan.
Suasana terasa jauh berbeda dengan semula. Didalam ruangan kini terasa lebih sejuk. Waktu terasa begitu cepat berlalu. Tidak terasa setahun lewat dia  mengurus rumah makan warisan ayahnya. Hari-harinya yang sibuk dan rutin seakan tidak disadarinya waktu terus berjalan. Dia melihat rumah makan ayahnya sudah bisa mengimbangi  persaingan pada bisnis serupa yang semakin banyak bermunculan di Sumedang.

--- 0 ---

Waktu sudah menunjukan pukul delapan malam. Beberapa pengunjung rumah makan masih menikmati makanan mereka. Listi menghampiri Kiki. Dia menanyakan pemasukan hari itu ketika tiba-tiba beberapa buah lampu mobil masuk kehalaman rumah makan dan serombongan orang, lelaki semua masuk kedalam rumah makan, langsung menempati semua meja dan tempat lesehan.
“Kita kedatangan tamu banyak sekali, Ki.” Kata Listi, sesaat memperhatikan rombongan yang baru datang itu.
Pelayan langsung sibuk melayani serombongan tamu itu. Suara canda dan tawa rombongan tamu membuat suasana didalam rumah makan menjadi ramai. Hampir semua makanan yang sudah tersaji diatas meja langsung tersikat habis sambil menunggu pesanan makanan lainnya diantar. Beberapa orang lelaki mengambil minuman dingin dari dalam lemari pendingin, meminta puluhan bungkus rokok pada Kiki dan mengambil banyak makanan ringan yang pada rak-rak. Listi hanya duduk mengawasi. Kiki sibuk melayani permintaan rombongan yang baru datang itu. Hampir semua pelayan mondar mandir memenuhi pesanan mereka. Suasana sungguh sibuk dan ramai.
Listi masuk kedalam ruangannya. Dia merasa lega, rumah makannya semakin laku setelah dibenahi. Mungkin mereka menginformasikan dari mulut ke mulut, pikir Listi. Dia menyalakan televise dan menonton sebuah sinetron sambil membuka-buka majalah wanita yang tadi dibelinya. Mendadak dia mendengar teriakan Kiki dan keributan didalam rumah makan. Suasana mendadak gaduh. Teriakan Kiki nyaris tenggelam oleh suara gaduh dari pengunjung rumah makan. Bergegas Listi keluar dari ruangannya. Dia mendadak bengong melihat Kiki tengah berdiri panik memburu keluar.
“Hei! Bayar dulu! Kalian semua belum membayar semua makanan!” teriak Kiki berkali-kali. Namun kemudian dia mengerut ketakutan ketika seorang lelaki bertampang sangar menghampirinya.
“Kami supporter sepakbola. Harap catat semua makanan yang sudah kami makan dan nanti ada pengusaha yang akan membayar semua makanan itu.” Kata lelaki itu.
“Pengusaha mana?” tanya Kiki.
Namun lelaki itu sudah bergegas pergi meninggalkan Kiki dan masuk kedalam sebuah mobil. Enam buah mobil yang mengangkut rombongan itu kabur seketika. Kiki berteriak-teriak namun tidak ada yang mendengarkan.
“Ada apa?” tanya Listi. Perasaannya mendadak menjadi tidak enak. Rombongan lelaki itu telah makan tanpa mau bayar.
“Mereka kabur.” Sahut Kiki dengan wajah kesal. “Begitu banyak makanan yang mereka makan dan mereka pesan. Namun tidak sepeserpun yang mereka bayar. Mereka menyerobot rumah makan kita.”
Listi merasa marah, namun dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. serombongan orang itu sudah pergi.
“Mereka mengakunya supporter sepak bola. Mereka baru pulang dari Bandung menyaksikan pertandingan sepakbola.” Kata salah seorang lelaki dengan istrinya yang baru akan membayar makanan. Listi tahu sepasang suami istri itu kedatangannya hampir bersamaan dengan kedatangan serombongan orang itu.
“Barangkali kesebelasan mereka kalah sehingga mereka melampiaskan kekesalannya dengan menyerobot rumah makan. Kejadian seperti ini sudah sering terjadi.” Kata lelaki itu lagi. Dia membayar makanan lalu pergi bersama istrinya.
Listi ingin menangis. Rumah makannya menderita kerugian yang sangat besar. Hampir semua makanan yang sudah terhidang diatas meja ludes habis. Belum lagi makanan ringan, rokok dan minuman dingin  yang memenuhi lemari es kini sudah kosong melompong.
Kiki menangis. Dia kesal bercampur dengan ketakutan.
“Baru kali ini rumah makan kita mengalami kejadian seperti ini.” Kata mak Dinah. Semua pegawai rumah makan berkumpul didalam rumah makan.
Listi terduduk dengan perasaan lemas. Dia menatap semuanya. “Ibuku jangan diberitahu dengan kejadian ini. Kita ikhlaskan apa yang terjadi malam ini.”
Semuanya mengangguk.  Mereka masih duduk berkumpul ditengah-tengah ruangan sambil membicarakan kejadian tadi. Listi termenung sambil mendengarkan semuanya berbicara membicarakan kejadian tadi. Bagi Listi kejadian malam ini sebagai  teguran buat dirinya, barangkali dia lupa dengan nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya. Kejadian malam ini membuatnya ingat dengan masalah sedekah yang barangkali selama ini sudah terabaikan olehnya karena kesibukannya mengurus rumah makan.

--- 0 ---

Kejadian penjarahan dirumah makannya malam kemarin membuat Listi   shock. Padahal dia baru saja merasa lega karena sudah selesai membenahi bagian dalam rumah makannya. Tidak diduga dia akan mendapatkan kejadian yang cukup mengejutkan itu semalam. Namun dia tidak ingin kejadian itu  membuatnya menjadi tidak bersemangat mengurus rumah makan. Esok paginya,  dia sudah bangun dan langsung ikut membersihkan dan membereskan  ruangan rumah makan yang semalam terasa berantakan karena ulah tamu yang tidak bertanggung jawab. Adang yang tengah membersihkan ruangan mencegah Listi membantunya bekerja.
“Jangan dibantu, Teh. Biar saya saja yang mengerjakan pekerjaan ini. Ini sudah tugas saya.” Kata Adang buru-buru.
“Tidak apa-apa sekali-sekali aku ikut bekerja membereskan ruangan.” Sahut Listi sambil terus bekerja. Setelah itu dia pergi ke dapur. Mak Dinah dan pegawai lain tengah sibuk bekerja. Tanpa banyak bicara Listi ikut bekerja bersama mereka. Jam Sembilan keadaan dirumah makan sudah seperti semula, seolah tidak ada kejadian yang mengejutkan tadi malam. Listi mandi dan berdandan. Dia keluar lagi dan duduk diruangannya seperti biasa. Hatinya sakit dan sedih. Dia ingin menangis. Namun aku tidak boleh cengeng hanya karena peristiwa semalam, pikir Listi. Aku harus tegar. Papa sudah mempercayakan rumah makan ini kepadaku. Papa pasti tahu aku bisa meneruskan usaha papa ini. Listi menoleh pada dinding. Photo ayahnya terpajang disalah satu dinding. Listi tersenyum walaupun hatinya  ingin menangis.
Kejadian penjarahan di “Rumah Makan Listi” itu menjadi berita pada beberapa surat kabar lokal. Beberapa wartawan datang mewawancarai Listi. Namun Listi menanggapinya dengan sikap tenang dan biasa saja. Dia tidak ingin membesar-besarkan kejadian itu. Dia yakin rejekinya akan datang kembali. Dia sudah mengikhlaskan semua makanan yang dijarah  tamu tidak bertanggung jawab itu. Baginya lebih baik memikirkan apa yang akan dilakukannya kemudian daripada menyesali kejadian yang sudah terjadi itu.
Winda berkali-kali menengoknya, mengira Listi sedih berkepanjangan.
“Jangan khawatir.” Sahut Listi. “Aku semakin terpacu untuk membuat rumah makan ini semakin maju.”
“Aku percaya padamu.” Sahut Winda. “Kau sekarang semakin kelihatan penuh tanggung jawab. Aku senang melihatnya. Lupakan bekerja di kantoran. Kau lihat aku, aku kerja dikantoran, punya gaji, namun ada kalanya aku juga  jenuh dengan rutinitas sehari-hari.”
Namun ternyata ada hikmahnya dengan munculnya berita dibeberapa surat kabar dan sikap Listi sebagai pemilik rumah makan yang tidak emosional menanggapi kejadian dirumah makannya. Seperti sebuah promosi terselubung, pengunjung yang datang kerumah makan tidak pernah berhenti dari siang hingga malam hari menjelang tutup. Pelayanan semakin ditingkatkan. Listi tidak ingin mengecewakan langganannya. Dia selalu berpesan kepada semua pegawainya agar menjaga keramahan dalam melayani semua pengunjung. Kini didekat setiap meja, ditempat lesehan dan pada beberapa sudut ruangan disediakan air kendi. Air itu gratis dinikmati setiap pengunjung. Listi berharap siapapun yang berkunjung kerumah makannya mendapatkan kesegaran dan kenyamanan seperti halnya air dari kendi itu.
--- 0 ---
Dikala senggang, Winda sering mampir kerumah makan sekedar minum kopi sambil ngobrol seperti kebiasaan ketika mereka masih tinggal sekost-an di Bandung. Dan Winda selalu punya cerita untuk diceritakan pada Listi.
“Lis, mungkin aku sudah punya guratan tangan nasib bahwa nasibku selalu dipertemukan dengan lelaki yang usianya jauh lebih tua dari aku…..” kata Winda.
“Maksudmu, pak Agung kembali lagi kepadamu?” tanya Listi.
“Tidak. Aku sudah tidak pernah berhubungan lagi dengan pak Agung. Beberapa bulan lalu aku mendengar dia sudah  menikah. Syukurlah. Aku ikut merasa bahagia bila dia sudah menemukan wanita lain. kasihan, dia sudah terlalu lama menduda. Dia pasti sudah lama mengharapkan memiliki seorang pendamping lagi…..”
“Lalu?”
“Aku bertemu lelaki lain. Tiga  bulan lalu  aku sempat dekat  dengan seorang lelaki. Usianya duapuluh tahun diatas aku. Kupikir kami tidak menjalin hubungan, namun kenyataannya aku dan pak Hari selama beberapa bulan sempat dekat.”
 “Astaga. Selalu kau menjalin cinta dengan lelaki yang usianya jauh diatasmu. Kau seperti pacaran dengan bapakmu saja.”
“Ya. Aku pikir pak Hari mencintaiku. Dia sangat memanjakan aku. Dan aku juga mencintainya.”
“Lalu?”
“Aku mungkin tengah linglung ketika aku berkenalan dan dekat dengan pak Hari. Dia begitu mempesona aku. Aku merasa sangat tertarik kepadanya. Dan aku rasa pak Hari pun kelihatan sungguh-sungguh mencintai dan menyayangi aku. Tapi  kurasa hubunganku dengan pak Hari  akan membuatku banyak ngebatin……” Winda menghela napas dalam.
“Kenapa?”
“Dia masih punya istri. Dan aku ingin dijadikannya sebagai istri keduanya.”
“Astaga.”
“Dia  memiliki dua anak yang tengah beranjak remaja. Dan aku pun menyadari bahwa ketertarikanku pada pak Hari  mungkin karena terdorong oleh kerinduanku pada figur ayah yang hanya sebentar kurasakan dalam hidupku. Ayahku meninggal ketika aku berusia enam tahun. Aku memiliki kenangan yang sedikit sekali tentang ayahku. Lalu ibuku menyusul lima tahun kemudian. Aku hidup bersama dengan tanteku. Dan aku harus berjuang sendiri mengatasi kerinduanku pada ayah dan ibu. Aku harus belajar dengan baik dan segera menyelesaikan sekolahku agar aku bisa segera mendapatkan pekerjaan. Ketika aku bertemu pak Hari, melihat sikapnya yang sangat menyayangi dan memanjakan aku, aku seakan menemukan kasih sayang ayah kepadaku. Mungkin itu yang membuatku terdorong untuk menerimanya. Namun kemudian aku menyadari, aku tidak mungkin akan bahagia bersamanya bila dia tidak menginginkan anak dariku. Aku masih muda. Aku ingin hamil dan memiliki anak. Aku ingin punya keturunan. Aku ingin hidupku normal.”
“Winda, aku mengerti….aku mengerti….” Ucap Listi terharu ketika melihat mata Winda yang basah, lalu Winda menangis pelan.
Cerita Winda sempat membuat Listi berpikir, Winda sudah menemukan seseorang walaupun usianya jauh lebih tua dari dirinya. Daripada aku jadi perawan tua, apa tidak sebaiknya aku juga bercinta dengan seorang duda yang umurnya sama dengan bapakku? Listi hanya tersenyum dengan pikirannya yang kacau.

--- 0 ---


Listi bergegas keluar dari dalam mobilnya. Dia memburu rumah makan yang dikerumuni banyak orang. Perasaannya mendadak menjadi tidak enak. Dia melihat asap mengepul ke udara dari bagian dapur. Dia baru pulang berbelanja ke supermarket membeli beberapa keperluan pribadinya. Tidak ada firasat apapun namun saat berbelanja tadi dia merasa perasaannya mendadak menjadi tidak nyaman.
“Ada apa?” teriak Listi.
“Tabung gas meledak.” Sahut  Agus.  “Ceu Nenah….Ceu Nenah meninggal…..”
Listi merasa lututnya lemas. Nenah yang sudah hampir sepuluh tahun lamanya bekerja dirumah makan mereka. Dia sangat senang kepada perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu. Nenah sangat rajin dan dia sudah menjadi juru masak andalan rumah makan mereka bila Mak Dinah sedang sakit. Selama ini Nenah yang selalu menggantikan tugas-tugas mak Dinah.
“Saya sudah beberapa kali menghubungi ponsel teteh, namun tidak nyambung terus.”
Listi tidak menjawab. Dia tidak membawa ponselnya ketika pergi tadi. Listi masuk kebagian dapur yang telah disiram air oleh petugas pemadam kebakaran. Dia melihat bagian dapur yang telah porak poranda. Bukan musibah itu yang membuatnya merasa sangat berduka. Namun kematian salah seorang pegawai rumah makan yang sudah dianggapnya sebagai bagian dari keluarganya sendiri. Dia tidak kuasa menahan tangisnya. Apalagi ketika masuk kerumah, dia melihat mak Dinah dan ibunya tengah duduk sambil berurai airmata.
Listi duduk didekat ibunya. Tiba-tiba saja dia merasa yang paling bertanggungjawab dengan apa yang terjadi. Walaupun pada mulanya dia tidak ingin bekerja meneruskan usaha  orangtuanya ini, namun kini ketika selama hampir setahun rumah makan ini sudah beralih ketangannya, dia  merasa dirinya yang harus paling  bertanggung jawab dengan apapun yang terjadi dengan rumah makannya ini.
“Mama tidak usah cemas. Biar saya yang mengurus semua ini.” Kata Listi.
“Ya, mama percaya kepadamu.” Sahut ibunya. “Lalu Nenah bagaimana?”
“Saya akan segera ke rumah sakit. Saya akan mengurus semuanya.”
Sehari itu pikiran dan tenaga Listi seakan terkuras mengurus segalanya. Dia mengatur semua pegawai rumah makan untuk membereskan bekas-bekas ledakan. Lalu segera pergi kerumah sakit mengurus jenazah Nenah, menghubungi pihak keluarga Nenah dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk pemakaman Nenah keesokan harinya. Kesedihan dan keharuan terasa mengaduk perasannya melihat kedua anak Nenah yang menangis-nangis memanggil ibunya. Suami Nenah terpekur melihat jasad istrinya yang terbujur kaku sudah tertutup kain kafan.
Malam itu Listi menangis. Dia merasa kelelahan dan pikirannya seakan penuh dengan beban yang terasa berat membebani pikiran dan perasaannya. Dia teringat pada almarhum ayahnya. Rumah makan  itu  baru selesai dibenahi. Tidak sedikit uang yang dikeluarkannya untuk melakukan pembenahan didalam rumah makan itu sehingga sesuai dengan keinginan dan seleranya. Namun baru dua bulan dia menikmati hasilnya,  kini sudah menunggu pekerjaan lain yang lebih besar. Kerusakan yang paling fatal memang pada bagian dapur. Namun bagian dalam rumah makan itupun mengalami kerusakan walaupun tidak separah bagian dapur. Sementara rumah makan ini tetap harus buka dan harus melayani pembeli.
Listi memanggil Agus. Agus datang dengan wajah lelah. Dia yang paling sibuk mengurus segalanya. Selama ini Agus sudah menjadi orang kepercayaan Listi dalam mengurus segala macam urusan rumah makan.
“Gus, kita harus bekerja keras.” Kata Listi. “Kita harus bekerja keras lagi.  Rumah makan harus tetap buka dan memberikan pelayanan. Kita membuat dapur darurat untuk sementara waktu sambil menunggu perbaikan pada rumah makan ini. Bagian dalam harus ddibenahi lagi. Teteh yakin walaupun rumah makan kita sedang dalam kondisi begini, namun  pelanggan pasti akan tetap datang kemari.”
“Ya. Saya juga berpikir begitu.” Sahut Agus.
“Kejadian ini musibah sekaligus ujian  buat teteh.”
Agus menghela napas dalam. “Ya, benar. Kejadian ini musibah sekaligus ujian buat teteh, buat kita semua.”
“Ya, buat kita semua.” Air mata Listi menitik. 
Agus  menatap Listi. “Saya akan berusaha membantu teteh semampu saya.”
“Aku percaya kepadamu. Kau selama ini sudah sangat membantu aku.”
Seminggu kemudian Listi pergi ke bank. Dia mencoba mengajukan pinjaman dana untuk memperbaiki rumah makannya. Dengan jaminan  tanah dan bangunan rumah makan, dia berhasil mendapatkan pinjaman dari bank. Kini Listi sudah tidak memikirkan lagi pekerjaan apapun. Mengurus rumah makan peninggalan ayahnya ini adalah pekerjaannya. Tanggung jawabnya telah total untuk mengurus rumah makan warisan ayahnya ini.
Listi  menghubungi Rizki lagi. Dia menceritakan musibah yang menimpa rumah makannya. Rizki kelihatan prihatin sekali. Dia masih ingat bagaimana mereka berdua bekerja sama dengan penuh kesungguhan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan konsep yang mereka inginkan. Namun belum lama Listi menikmati hasil kerja itu, musibah sudah keburu datang memporakporandakan karya yang telah dibuatnya dengan susah payah.  Namun Rizki kali ini tidak bisa membantunya. Dia sudah mendapatkan pekerjaan  di Jakarta, pada sebuah perusahaan konsultan.
“Jangan khawatir, aku punya teman yang bisa membantumu.” Kata Rizki menghibur Listi.
“Oh, ya? Siapa? Aku senang  bila kau bisa menunjukan temanmu itu yang akan membantuku mengatasi masalah yang tengah kuhadapi ini.” Ucap Listi lega.
“Namanya Krisna. Dia teman kuliahku dulu. Sejak masih kuliah dia sudah  bekerja pada perusahaan konsultan milik ayahnya. Sekarang setelah dia lulus beberapa tahun lalu, dia  tinggal di Sumedang memegang salah satu usaha konsultan ayahnya. Kau bisa lebih mudah berhubungan dengannya.”
“Oke. Aku minta nomor teleponnya.” Ujar Listi. Tapi sesaat kemudian dia merasa ragu. “Rizki, jangan-jangan kalau berhubungan dengan yang sudah punya perusahaan konsultan sendiri, aku harus membayar mahal.”
Rizki tertawa. “Nanti aku akan hubungi Krisna lebih dulu dan memberitahunya bahwa ada salah seorang temanku yang membutuhkan jasanya. Setelah itu kau nanti coba hubungi dia. Jangan khawatir,  untuk urusan biaya kau bisa  nego harga denganmu.”
“Oke.” Sahut Listi.

--- 0 ---

Listi menelepon Krisna dua hari setelah menelepon Rizki. Suara Krisna  terdengar akrab walaupun mereka belum pernah bertemu.
“Ya, Rizki kemarin malam sudah menelepon saya.” Sahut Krisna.
“Bagaimana kalau bapak datang kerumah makan saya agar kita bisa berbicara dengan leluasa.” Kata Listi.
Krisna tertawa. “Jangan panggil saya bapak. Panggil saja saya Krisna.”
“Oke.”
Krisna  datang sore itu. Listi sudah duduk menunggunya disalah satu meja dirumah makan sambil menikmati kue dan secangkir teh. Ketika Krisna datang menghampiri, Listi menjadi bingung. Lelaki itu penampilannya sangat simpatik. Kalem dan terkesan tidak banyak bicara.
“Silahkan duduk.” Kata Listi.
“Terima kasih.” Krisna duduk didekat Listi.
“Bagaimana?” Kedua-duanya  melontarkan pertanyaan itu hampir bersamaan. Lalu keduanya sama-sama diam. Dan tersenyum.
“Maksud saya, kapan pekerjaan akan dimulai? Saya ingin secepatnya.”
“Baik.” Sahut Krisna.
Beberapa saat kemudian Listi dan Krisna sudah terlibat dalam pembicaraan yang serius. Listi  memberikan penjelasan  mendetail dengan apa yang diinginkannya. Krisna  memahami keinginan Listi. Listi menginginkan bagian depan rumah makan dibangun untuk beberapa fungsi. Sebagai rumah makan namun juga bisa dipakai sebagai tempat resepsi. Dia melihat kebutuhan akan sebuah tempat resepsi semakin meningkat.
“Oke.” Sahut Krisna.
“Ngomong-ngomong, aku ingin kerja sekalian.” Ucap Listi.
“Apa lagi?”
“Kau lihat lahan disamping rumah makan ini, masih cukup luas untuk dibuat  sebuah tempat usaha lagi.” Listi mengajak Krisna melihat lahan disamping rumah makan.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Krisna.
“Aku ingin membuat sebuah kedai kopi. Sebagai alternatif usaha lain selain rumah makan ini.”  Kata Listi. “Setelah aku   menjalankan usaha rumah makan ini,  terpikir olehku  untuk melakukan perubahan. Aku   melihat jaman selalu  berubah. Kebutuhan manusia akan tempat makan bukan lagi sekedar untuk mengisi perut.”
“Ya.” Sahut Krisna.
“Aku   melihat anak-anak muda banyak yang mencari tempat untuk duduk minum kopi sambil berkumpul, sekedar mengobrol ataupun untuk berdiskusi. Aku  melihat saat ini banyak kalangan yang membutuhkan tempat yang menyediakan makanan dan minuman untuk duduk berkumpul. Bukan sekedar untuk mengobrol ringan, namun juga untuk kebutuhan yang lebih serius.  Bukan sekedar untuk tempat minum dan bersantai. Namun bisa dijadikan tempat untuk berdiskusi sambil menikmati secangkir  kopi dan makanan ringan. Banyak remaja yang mencari tempat untuk berkumpul. Sekedar untuk minum kopi atau juga untuk berdiskusi.” Kata Listi. “Aku  memutuskan untuk membuat perubahan dengan gaya rumah makan yang dikelolanya. Lahan disamping rumah makan masih cukup luas. Aku ingin membangun sebuah  kedai  kopi dengan penataan yang berbeda dengan rumah makan. Kedai  kopi  dengan bentuk yang artistik.”
“Oke. Aku bisa menangkap keinginanmu.” Kata Krisna. Krisna mengukur-ngukur luas lahan.
“Aku akan membuat rancangan kedai kopi seperti yang kau inginkan. Bila sudah digambar nanti akan kelihatan mana yang cocok dan mana yang kurang sesuai dengan keinginanmu.” 
“Oke.” Sahut Listi.
Keduanya kembali ketempat duduk tadi. Dua  jam lamanya mereka berdiskusi kemblali  hingga akhirnya mereka mencapai kesepakatan. Tugas Krisna bukan hanya melakukan perbaikan dan renovasi pada rumah makan. Namun Listi sekalian meminta Krisna membangun sebuah kedai kopi pada  lahan tanah disamping rumah makan.
“Aku sudah memikirkan dan mempertimbangkan mendirikan kedai kopi ini sebelum musibah itu terjadi pada rumah makan itu.” Kata Listi.  “Aku ingin membuka usaha lain selain mengelola rumah makan peninggalan ayah ini.”
“Kau cukup kreatif.” Komentar Krisna.
“Terima kasih.” Sahut Listi. Tersenyum. “Padahal sebelumnya aku mati-matian tidak mau meneruskan usaha rumah makan ini. Aku ingin bekerja di kantoran. Aku sempat berdebat lama dengan papa. Namun setelah papa meninggal, pikiranku menjadi berubah. Aku merasa bertanggungjawab untuk meneruskan usaha rumah makan yang sudah hampir duapuluh tahun dikelola papa.”
“Kau sebenarnya cocok menjadi pengusaha rumah makan. Aku melihat kau penuh tanggung jawab dan sangat kreatif.”
“Terima kasih. Aku juga sudah tidak ingin lagi bekerja di tempat lain.” sahut Listi. “Ternyata mengelola bisnis rumah makan sangat menyita pikiranku dan membuat aku tetap harus kreatif bila aku menginginkan rumah makan ini dapat bertahan ditengah-tengah persaingan bisnis rumah makan yang sekarang semakin ramai di Sumedang ini.”
“Ya.” Sahut Krisna. “Bisnis rumah makan semakin hari semakin bertambah banyak pesaingnya. Banyak rumah makan-rumah makan baru yang bermunculan dengan menu-menu andalan mereka untuk menarik banyak langganan. Namun  kau   tidak perlu  khawatir. Aku yakin bila rumah makanmu ini selalu memuaskan selera konsumen, konsumen akan tetap datang lagi makan dirumah makannya.”
Bekerja sama dengan Krisna sangat menyenangkan. Krisna orangnya santai namun serius bila sudah bekerja. Dan Krisna bisa menangkap keinginan-keinginan Listi. Krisna ternyata bisa menerapkan ide-idenya dengan baik. Setiap hari memantau pekerjaan itu sangat menyita waktu dan pikirannya, namun Listi menikmati semuanya itu. Dia setiap hari memantau perbaikan dan  renovasi yang tengah dikerjakan. Enam bulan lamanya perbaikan dapur dan renovasi dilakukan. Akhirnya Listi bisa tersenyum puas melihat rumah makannya sudah selesai direnovasi dan sebuah kedai kopi berdiri disamping rumah makan itu.
Listi menyadari,  pendirian kedai  kopi   itu yang semula dijadikan alternatif usaha lain buatnya, kini  membuatnya merasa semakin mantap bahwa mengelola bisnis rumah makan sudah menjadi jalan hidupnya.   Rumah makan dan kedai  kopi  itu diberi nama sama ‘Rumah Makan Listi” dan “Kedai  Kopi Listi’

--- 0 ---


















Malam itu Listi  membuka album-album photo lama. Dia tersenyum melihat photo ayahnya dan dirinya ketika dia masih berusia lima tahun. Rambutnya yang panjang diikat menjadi satu dengan hiasan pita yang besar. Mereka diphoto didepan rumah kakeknya. Rumah dengan arsitektur kuno. Rumah itu sekarang masih ada dan ditempati oleh salah seorang adik ayahnya. Kenangan-kenangannya bersama ayahnya sangat banyak. Semuanya kini terukir indah dalam hatinya. Betapa berartinya kehadiraan ayahnya justru setelah ayahnya kini tidak ada lagi.   Ayah, aku sudah mengikuti keinginanmu. Aku sudah bekerja keras meneruskan usahamu mengelola rumah makan warisanmu ini.  Andai engkau masih ada, mungkin engkau akan tersenyum melihat aku ternyata bisa menjalankan warisanmu ini.
Pintu kamar terbuka. Ibunya masuk.  Ibu menatap album photo ditangan Listi. Dengan langkah yang berat karena menahan beban bobot tubuhnya yang semakin gemuk, ibu duduk disamping Listi.
“Waktumu hanya untuk mengurus rumah makan. Kapan engkau mulai memikirkan dirimu sendiri.” Kata ibunya.
Listi  menghela napas dalam. Dia seakan sudah kehilangan pergaulannya.  Pengkhianatan  Donie  seakan membuatnya kehilangan semangatnya untuk memulai lagi membina hubungan dengan lelaki lain.
“Mama khawatir engkau patah hati setelah hubunganmu berakhir dengan  Donie.” Ucap ibunya.
“Oh, mama jangan berpikir bergitu. Dalam menjalani sebuah hubungan sudah menjadi sebuah resiko bila hubungan itu putus ditengah jalan.”
“Sayang sekali, padahal mama sudah setuju bila engkau menikah dengan Toni.”
“Mama tidak usah memikirkan Donie lagi. Dia sudah menjadi masa lalu bagiku. Aku sudah tidak ingin mengingatnya lagi. Aku ingin menatap masa depanku  dengan lelaki lain dan tidak menoleh lagi kebelakang.”
“Apakah sudah ada lelaki itu?”
Listi tersenyum. “Bila sudah ada, aku pasti akan segera memberitahu mama.”
“Mama hanya berdoa semoga gusti Allah memberikan yang terbaik untukmu.”
“Amien.” Sahut Listi. “Ma, jangan lupa besok kita meresmikan rumah makan dan warung kopi. Tidak banyak yang diundang. Hanya sekitar duapuluh lima orang saja.”
Ibunya mengangguk lalu keluar kamar.

--- 0 ---

Listi  tersenyum ceria menyambut kedatangan tamu-tamunya yang mulai berdatangan memenuhi kedai  kopinya  dan menempati setiap meja didalam ruangan. Buket-buket bunga mawar merah muda dan putih yang ditata dengan indahnya menghiasi semua meja. Hari ini syukuran  pembukaan kedai kopinya. Hanya sekitar duapuluh lima  orang yang diundangnya, sebatas kenalan-kenalan dekatnya saja. Termasuk Yulia,  Winda dan Krisna.
“Selamat. Semoga sukses.” Kenalan-kenalannya  bergantian memberikan selamat kepada Listi.
 “Kita seperti sedang reuni.” Ucap Winda. Dikecupnya keduabelah pipi Listi.
“Betul, kita seakan reuni lagi.” Sambung Yulia ceria
 “Masih sempat ke salon?” goda Yulia yang melihat penampilan Listi  lebih sederhana dibanding dulu.
“Ke salon? Mana sempat? Setiap hari aku sibuk mengurus masakan dan mengelola rumah makan ini.” Sahut Listi.
“Mengurus rumah makan bukan berarti harus seperti koki.” Komentar Yulia.
Listi  memperhatikan Yulia yang kelihatan semakin cantik dan menarik. Dari ujung kepala sampai ujung rambut penampilannya bak seorang model. Rambut Yulia masih tetap berwarna kemerahan. Dipoles lebih trendi. Penampilannya semakin cantik dan modis. Sejak dulu Yulia selalu tampil lebih gaya dibanding. Listi  dan Winda  banyak belajar dari Yulia bagaimana membuat penampilan mereka lebih menarik. Mereka berdua mengikuti Yulia mengenal salon dan menikmati beragam fasilitas perawatan salon dari mulai rambut sampai kaki.
“Kau pastinya masih tetap langganan salon…” komentar Listi.
“Tentu dong. Itu sudah kewajiban.” Yulia tertawa renyah. “Sesibuk apapun aku dengan urusan pekerjaan, aku masih tetap merawat diri. Nah, kau. Kenapa kesibukan mengurus rumah makan harus dijadikan alasan jadi tidak sempat mengurus diri sendiri?”
Sebelum sibuk dengan rumah makannya, Listi  masih selalu menyempatkan dirinya merawat kecantikannya di salon. Namun ketika pikiran dan tenaganya seakan tercurah mengurus rumah makan, dia nyaris tidak pernah lagi pergi ke salon. Tak sadar Listi  menunduk memperhatikan  kuku-kuku tangannya yang dirawat sekedarnya  dan sekilas dia  memperhatikan kuku-kuku tangan Yulia yang indah terawat, dibandingkan dengan kukunya sendiri. Kapan-kapan aku akan menyempatkan diri lagi memperhatikan penampilanku seperti dulu.   
“Yah, nanti aku akan menyempatkan diri merawat diriku seperti dulu lagi.” Sahut Listi.
“Harus. Kau belum kawin. Bila tidak merawat diri, bisa-bisa kau tampil lebih tua sebelum waktunya.” Yulia tertawa.
Winda  menoleh pada Yulia. “Apalagi nona kita yang satu ini, sibuk melancong kesana kemari…”
“Perjalanan dinas.” Potong Yulia sambil ketawa senang. “Menemani bos, urusan pekerjaan sekaligus menikmati jalan-jalan.”
“Maklum sekretaris.” Winda tersenyum. “Bosmu cakep juga. Aku pernah melihatnya ketika kekantormu dulu. Bisa dong kau kenalkan pada kita. Keturunan Pakistan, ya?”
“Bukan. Masih ada darah Mesir. Dari ayahnya. Ibunya asli orang priangan.”
“Masih bujangan?” Tanya Listi.
Yulia hanya  tersenyum mendengar pertanyaan itu.
“Duda keren.” Sahut Winda.
 “Ngomong-ngomong, kapan diantara kita bertiga yang akan lebih dulu menikah?” Yulia menatap Listi. “Kau? Barangkali kau yang akan duluan?”
“Aku maunya begitu.” Sahut Listi. “Tapi jodohku belum datang juga. Kali kamu, Win yang akan duluan.”
“Mudah-mudahan.” Sahut Winda dengan wajah gembira.
“Coba kita berkaca, apa wajah kita sudah berkeriput sekarang?” Winda menarik  tangan Yulia dan Listi kehadapan cermin besar yang ada diruangan itu. Mereka bertiga berkaca bersama dan sama-sama tertawa. Mereka kini sudah lebih dewasa dari tujuh tahun lalu.
“Tidak usah risau dengan keriput.” Tukas Yulia sambil duduk lagi. “Orang tetap bisa tampil cantik dan segar bila terus menerus melakukan perawatan dan menjaga kecantikan. Nah, aku sudah mulai redup tidak? Aku tidak khawatir dengan pertambahan usia. Aku masih rajin olah raga, makan buah-buahan dan sayuran, berpikir positif dan selalu oftimis. Ini caraku untuk menjaga agar aku tidak kelihatan tua walaupun usia semakin hari semakin bertambah dan jodohku belum datang juga.”
 “Listi, kedai kopimu  nyaman sekali.  Bisa aku manfaatkan untuk berdiskusi dengan teman-temanku. Kita kadang suka kesulitan mencari tempat yang nyaman untuk sekedar berdiskusi ringan sambil ngopi.” Kata Winda.
“Tentu,” Listi  tersenyum. “Kedai kopi ini  justru sebagai tempat minum sambil berdiskusi. Aku senang bila kau menjadikan  Kedai kopi   ini sebagai tempat diskusi dengan teman-temanmu.”
“Oh, ya. Jangan lupa segera menikah. Kau sudah berhasil meneruskan usaha ayahmu mengelola rumah makan ini. Sudah saatnya engkau memikirkan dirimu sendiri.” Atiek, adik ayahnya menghampiri Listi.  
“Ya, tante. Itu pasti. Aku harus menikah dan punya anak.” Sahut Listi.
“Nah, calonnya sudah ada, ya?”  Atiek menatap Listi  gembira dan penuh harapan.
“Belum, tante. Nanti aku kabari bila aku sudah punya calon.”
Listi  mengajak Yulia dan Winda menemui ibunya. Ibunya duduk dikursi seperti biasanya.
“Selamat siang, tante.” Sapa Yulia dan Winda bersamaan.
“Halo.” Sahut ibunya Listi. “Syukurlah kalian datang kemari. Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kabar kalian semua?”
“Yulia sekarang bekerja diperusahaan pengembang perumahan.  Winda sudah menjadi seorang pegawai negeri di pemda.”
“Kalian sudah menikah?”
Mendapat pertanyaan itu Yulia dan Winda langsung tersenyum. “Belum, tante. Belum ada yang berminat.”
“Kalian semua hanya memikirkan urusan karier saja.”
“Tidak juga, tante.” Sahut Winda. “Kami sudah lama ingin menikah namun jodoh kami belum datang juga.”
Ketika sudah jauh dari ibunya, Yulia berkata pada Listi. “Lis,   mamamu jadi gemuk begitu? Dulu seingatku mamamu tidak segemuk seperti sekarang.”
“Sejak ayah meninggal, hobi mama ngemil seakan tidak terkendali.” Sahut Listi. “Kalian lihat sendiri tadi, mama sibuk mengunyah. Bertoples-toples kue dan makanan ringan didekatnya.”
“Mungkin mamamu mengalihkan kesedihannya  pada makanan.” Ucap Winda.
“Bagaimanapun aku bersyukur masih bisa mengurus mama.” Ucap Listi. “Aku sedih melihat keadaan mama yang semakin gemuk dari hari ke hari.  Namun aku tetap bersyukur kepada Allah yang masih  memberiku kesempatan untuk merawat mama seperti halnya dulu mama sudah merawat aku dengan sebaik-baiknya.”
“Mamamu pasti ingin menyaksikan engkau menikah dulu, Laras.” Ucap Winda.
“Inilah masalahku.” Ucap Listi. “Sudah lama mama dan semua keluargaku menginginkan aku segera menikah. Masa aku akan melajang terus. Namun apa mau dikata bila jodohku belum datang juga?”
“Kau tidak sendirian.” Tukas Winda. “Aku juga belum. Bagaimanapun keluargaku mendesakku untuk segera berumah tangga namun aku tidak ingin hanya karena sudah merasa terdesak oleh keinginan orangtua dan terdesak oleh umur yang makin menua membuat aku seakan tergesa-gesa untuk menikah. Yah, aku tidak mau begitu.”
Ketika tengah duduk bertiga, mendadak Listi sadar. Dia melupakan seseorang. Diedarkannya pandangannya. Dia lega. Krsna masih ada dikedai kopi, tengah duduk sendirian disalah satu meja. Listi bergegas menghampiri.
“Halo, Kris. Maaf aku baru sekarang menyapamu.”
“Tidak apa.” Krisna tersenyum. “Kau kelihatan asyik dengan kedua temanmu.”
“Ayo kukenalkan pada mereka.” Listi menoleh pada Yulia dan Winda dan melambaikan tangannya pada mereka. Keduanya menghampiri.
“Yul, Win, kenalkan ini Krisna, yang menggarap pembuatan kedai kopi ini. Pokoknya dari awal hingga tuntas dia yang mengerjakan.”
“Oh, asyiknya.” Komentar Winda, sekedar berkomentar. Dia tersenyum menatap Listi. “Walau kedai kopi sudah rampung, namun silaturahmi harus tetap terjalin.”
“Ya, tentu saja.” sahut Yulia tersenyum menggoda Listi. “Mungkin dari kerjasama yang baik segalanya berawal….”
“Astaga! Kalian bicara apa sih?” seru Listi. Namun dalam hati dia senang digoda begitu.
Krisna hanya tersenyum. Sikapnya tetap santai.

--- 0 ---

Malam itu Yulia menelepon. Suaranya tersendat-sendat seakan menahan tangis. “Listi…..aku ingin minum kopi…”
“Minum kopi? Datang saja kemari. Jangan sambil menangis begitu.”
“Kau tidak tahu, aku sekarang sedang bingung.” Ucap  Yulia  lirih.
“Sekarang kau dimana? Di Bandung?”
“Di Sumedang. Aku baru datang. Aku sengaja pulang ke Sumedang. Aku….aku sedang punya persoalan. Aku ingin punya teman bicara.”
“Datang aja ke kedai kopi, ya.  Begitu kau datang, aku sudah ada disana.”
Yulia datang dua puluh menit kemudian. Dia langsung bercerita. Akhirnya dia menerima Wisnu, lelaki yang sudah lama ingin dijodohkan ayahnya dengannya. Walaupun Yulia seringkali merasa kesal dengan komentar-komentar Wisnu yang selalu mengkritiknya, namun akhirnya dia mencoba menjalani hubungan mereka untuk menyenangkan perasaan orangtuanya. Yulia mencoba kelihatan bahagia. Namun kenyataannya dia tetap tidak bisa merasa bahagia disamping Wisnu.
“Aku tidak mencintai Wisnu, namun aku tidak bisa menolaknya. Dia sudah sangat memikat hati seluruh keluargaku, juga kedua orangtuaku.” Kata Yulia.
“Lalu, kenapa engkau seperti bersedih?”
“Aku seperti hidup dijaman Siti Nurbaya lagi ketika masalah jodoh diatur orangtua. Dijaman modern sekarang ini aku ternyata aku masih mengalami kehidupan cara tradisional yang sungguh terasa memalukan untuk kujalani.”
“Siapa tahu pilihan orangtuamu tepat untukmu.” Hibur Listi.
“Kau tidak tahu, aku sering merasa kesal menghadapi sifatnya. Wisnu sering mengkritik aku. Mengkritik penampilanku. Mengkritik  hobiku yang senang  pergi ke salon, spa, melakukan beragam perawatan, menjaga penampilanku. Dia ingin aku lebih sederhana seperti yang diinginkannya. Dan aku tidak bisa mengikuti keinginannya. Aku punya kesenangan sendiri yang tak ingin  diusik oleh Wisnu.”
Ketika Yulia sudah pergi, Listi masih termenung dimejanya sambil menikmati secangkir kopi lagi. Secangkir kopi yang pertama sudah habis.  Kini tinggal aku sendiri yang belum memiliki tambatan hati, pikir Listi. Kapankah pangeranku akan datang dan meminang aku?

--- 0 ---





Waktu menunjukan pukul lima sore lewat beberapa menit. Diluar hujan turun dengan derasnya. Cuaca terasa dingin sekali.  Listi  masuk  kedalam  kedai  kopi. Hampir setiap hari warung kopi  selalu penuh dengan pengunjung. Terutama menjelang sore, banyak anak-anak muda yang duduk berkumpul. Hanya sekedar minum kopi sambil mengobrol ringan. Atau sambil berdiskusi. Mereka berdua atau bertiga. Duduk berkumpul dalam satu meja sambil menghadapi laptop masing-masing.  Kebanyakan mereka mahasiswa yang tengah menyelesaikan tugas bersama sambil berdiskusi.
Semula hanya satu dua orang saja yang datang berkunjung ke kedai  kopinya. Namun kemudian makin banyak anak-anak muda yang kebanyakan mahasiswa yang memanfaatkan tempat itu untuk berkumpul dan berdiskusi. Mereka membawa laptop dan berada didalam kedai  kopi  sampai malam menjelang tutup. Makin lama yang datang ke kedai  kopinya bukan hanya kalangan remaja. Banyak pegawai yang menjadikan kedai  untuk berkumpul dengan rekan-tekan mereka.
Listi sendiri seakan terpengaruh dengan suasana di kedai kopinya. Dia tidak ingin terus menerus disibukkan dengan urusan rumah makan. Keberadaan kedai kopi  ini membuatnya bisa menikmati hal lain. Kesenangannya menulis cerita anak-anak tumbuh lagi. Dikala senggang, dia kembali menulis cerita anak-anak seperti yang sudah sering dilakukannya dulu sejak dia masih duduk dibangku SMP. Bila kedai  kopi  tidah begitu penuh dan dia sendiri sudah santai, terutama sore dan malam hari, dia sering duduk disana. Asyik dengan laptopnya ditemani secangkir kopi dan sepiring kecil makanan ringan.  Sendirian saja.  Sambil bekerja, dia mulai mengamati kegemaran pengunjung kedai kopinya. Rata-rata pengunjung yang kebanyakan anak muda sangat menggemari jus. Aku harus membuat variasi jus agar pengunjung tidak bosan, pikir Listi. Minuman jus memang selalu jadi favorit pengunjung. Apalagi kalau dinikmati siang hari. Sebelumnya kedai kopinya hanya menyediakan jus mangga, tomat, melon dan jambu. Namun kini Listi meminta pegawai kedai kopi untuk menambah variasi jus. 
“Kedai kopi kita semakin bertambah pengunjungnya. Mereka bukan hanya sekedar minum kopi dan makanan ringan. Mereka perlu variasi tambahan makanan dan minuman.” Kata Listi pada Kiki yang kini bertugas sebagai manajer di kedai kopi.
“Oke.” Sahut Kiki. “Kita bisa mencampur beraneka macam buah-buahan dan memberi nama yang agak aneh-aneh pada jus-jus itu seperti yang biasa kita lihat di kafe-kafe lain.”
“Aneh-aneh?”
“Ya. Anak muda jaman sekarang lebih suka minuman dan makanan dengan nama aneh-aneh dan berbau kebarat-baratan padahal olahan minuman dan makanan itu asli dari kita sendiri.” Sahut Kiki. “Barangkali teteh kau punya ide?” .
“Ya. Kita sajikan minuman dan makanan dengan nama khas kedai kopi kita.” Listi tersenyum. “Jangan beri nama yang berbau kebarat-baratan. Kita bikin dengan nama diambil dari bahasa kita sendiri.”
Besoknya ‘Kedai Kopi Listi’ sudah menambah menu baru dalam daftar menu. Kedai  kopi itu  kini menyediakan lebih banyak  aneka jus. Jus jarimon  merupakan jus yang terbuat dari jambu, stroberi, dan lemon,. Sendangkan jus jabingmon  adalah campuran buah jambu, belimbing dan lemon. Lain dagi dengan jus rici lemon  yang dibuat dari stroberi, leci dan lemon. Selain itu penyajian pun disesuaikan dengan pesanan. Mulai jus blend alias jus campuran atau jus solid alias jus biasa.
Selera pengunjung yang beragam mendorong Listi merubah konsep  kedai kopinya. Pilihan menu tak hanya kopi dan kudapan, juga aneka masakan berat. Dulu, sesuai dengan  namanya  kedai kopi  awalnya hanya tempat ngopi sambil mengobrol ditemani makanan ringan.  Daftar menu pun didominasi aneka minuman berbahan dasar kopi. Listi memperhatikan, saat ini kedai kopi  yang murni hanya menyediakan kopi bisa dihitung dengan jari. Mayoritas konsepnya sudah berubah kedai kopi  plus resto. Alasannyan untuk memenuhi selera pengunjung yang berbeda-beda. Sehingga makin lengkap menu tersedia, makin betah pengunjung dibuatnya.
Minuman yang bisa dipesan tak hanya kopi, juga the, soft drink, jus hingga es krim. Camilan pendamping nya pun lebih bervariasi. Yang tadinya hanya kacang atau keripik, kini dilengkap aneka cake, pizza, sup, hingga chicken wing.  Cukup meneguk secangkir kopi dan ngemil kudapan berat itu pun  sudah mengenyangkan.
Perubahan itu sebagai langkah penganekaragam menu. Pasalnya pengunjung terkadang ada yang hanya   berniat ngopi sambil ngemil, tapi ada juga yang ingin makan berat.
Diantara sekian banyak pengunjung tetap kedai kopinya, ada seorang yang rutin datang ke kedai kopinya. Dalam seminggu, kadang tiga kali nongkrong dikedai kopinya. Krisna. Sore itu Listi tak sengaja memperhatikan Krisna. Sudah beberapa kali dia memergoki Krisna  duduk dikedai kopi,  asyik dengan laptopnya dan minumannya. Seakan tak peduli dengan pengunjung lain yang kebanyakan anak-anak muda yang berkumpul dengan teman-temannya. Dia kadang datang dengan beberapa teman kantornya. Atau kadangkala  sendirian. Pernah ada seorang gadis yang menemaninya duduk dikedai kopie. Namun hanya sekali itu saja. Hari-hari berikutnya bila Krisna  datang lagi ke kedai kopi,  dia selalu duduk sendirian menghadapi laptopnya dengan secangkir kopi yang biasanya tidak kurang dari secangkir kopi yang dipesannya. Krisna  seakan menikmati kesendiriannya dan tidak terusik dengan obrolan-obrolan anak muda didekatnya.
Diluar hujan masih turun dengan derasnya. Listi duduk santai dengan laptopnya. Dia duduk disudut ruangan ketika Krisna  masuk kedalam kedai kopi dan mengambil tempat duduk tidak jauh darinya.
“Halo.” Sapa Krisna sambil lalu.
“Hai.” Sahut Listi, menoleh sejenak, tersenyum dan kembali mengalihkan perhatiannya pada internet. Seperti biasanya, mereka hanya bertegur sapa sekedarnya dan asyik dengan kesibukan masing-masing.
Krisna menaruh laptopnya diatas meja, membuka dan menyalakannya, lalu dia beranjak akan memesan kopi. Krisna kembali. Sesaat kemudian dia sudah asyik menghadapi laptopnya.
Krisna masih  tetap asyik dengan laptopnya ketika seorang perempuan berambut sebahu masuk kedalam kedai kopi  dan menghampiri meja Krisna. Wajah gadis itu cantik namun kelihatan tengah kesal.  
“Rupanya kau disini. Tadi aku mencarimu kerumah.” Kata perempuan  itu, suaranya terdengar berupaya keras agar terdengar sabar.
Krisna  hanya menoleh sekilas pada perempuan itu lalu kembali asyik dengan laptopnya.
“Hai.” Sapa Krisna sekedarnya.
“Kenapa engkau jadi senang duduk-duduk disini?” tanya perempuan itu. Dia duduk dihadapan Krisna, memperhatikan cangkir kopi yang tinggal separuh, piring berisi makanan, lalu menatap Krisna  lagi.
“Kenapa bila aku senang duduk disini?”  Krisna  balik bertanya seakan tidak mengacuhkan kehadiran gadis itu.
“Kukira ada seseorang yang membuatmu merasa betah tinggal disini. Mungkin kau sudah ada janji bertemu dengan seseorang disini?” sahut perempuan itu.
Kini Krisna mengalihkan perhatiannya dari laptopnya. Dia mengangkat wajahnya dan menatap gadis itu.
“Agni, sudah berulangkali aku bilang kepadamu, aku tidak suka dengan sifatmu yang selalu pencemburu seperti itu. Selalu curiga aku bersama dengan siapa, aku dengan siapa. Kenapa sih pikiranmu tidak bisa jernih sedikit dan menghilangkan cemburu dan curiga yang tidak pernah ada manfaatnya untukmu.”
Wajah perempuan yang dipanggil  Agni  itu sedikit merengut mendengar ucapan Krisna. “Mas Krisna, aku tidak cemburu…”
“Kau selalu saja cemburu, Agni. Lama-lama aku bosan dengan sifatmu ini yang selalu penuh cemburu dan curiga. Hubungan kita jadi tidak tenang. Aku jadi sering merasa tidak nyaman bila tengah bersamamu. Kurasa engkau bisa memahami sendiri dengan ketidaksukaanku ini.” Ucap Krisna dengan suara tegas.
Listi tidak berani menoleh pada mereka walaupun telinganya dapat mendengarkan pembicaraan mereka. Bukan urusanku, pikir Listi. Dia asyik dengan laptopnya. Membaca berita dalam internet. Dia tersenyum girang, rumah makan dan kedai  kopi-nya sudah ada di internet.
“Hore!” Tak sadar Listi memekik riang.
Beberapa orang menoleh kepadanya. Juga Krisna dan Agni.
“Ada apa, teh?” tanya seorang pemuda yang tengah lewat didekat meja Listi.
“Rumah makan dan kedai kopi ini sekarang sudah ada di internet.” Sahut Listi.
“Wah, asyik dong.” Ucap pemuda itu. Dia sesaat ikut memperhatikan internet. Lalu kembali ke mejanya dan asyik kembali dengan teman-temannya.  

--- 0 ---


Ketika Listi tengah asyik dengan laptopnya, kembali Krisna  datang ke kedai  kopi  dengan membawa laptopnya. Dia mengambil meja didekat meja yang ditempati Listi. Listi menyadari kedatangan Krisna, namun dia merasa tidak perlu memperhatikan lebih lama lagi. Biasanya mereka hanya bertegur sapa sekedarnya saja. Bila ada hal-hal penting, baru mereka bercakap-akap.
Setelah membuka laptopnya, Krisna  meninggalkan mejanya untuk memesan secangkir kopi dan makanan. Seperti yang biasa dilakukannya bila tengah duduk di kedai kopinya  ini. Tak lama dia kembali lagi duduk menghadapi mejanya dan mulai asyik dengan laptopnya.
Tiba-tiba Listi menyadari, Krisna tengah memperhatikannya. Listi menoleh. Krisna  tersenyum.
“Kedai kopi  ini sudah ada di internet, ya.” Kata Krisna.  
Listi menoleh. Tersenyum. “Ya. Rumah makan dan kafe ‘Listi’.” Sahut Listi.
Pada saat itu pintu terbuka. Agni masuk dan menghampiri Krisna. Melihat Krina  duduk dimeja yang berdekatan dengan meja Listi, sesaat gadis itu menatap pada Listi dengan tatapan curiga.
“Sekarang aku tahu, kenapa engkau sangat suka datang kemari.” Sindir gadis itu sambil duduk dihadapan lelaki itu, tepat didekat Listi yang pura-pura tidak mengetahui kedatangan gadis itu.
Krisna kelihatan kesal mendengar ucapan gadis itu. “Agni, aku sedang sibuk. Banyak pekerjaan yang harus segera aku selesaikan. Tolong jangan ganggu aku.”
“Aku tidak mengganggumu. Aku ingin menemanimu disini.”
“Aku terganggu dengan kehadiranmu. Kau tak pernah berhenti bicara sehingga membuat aku tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaanku.”
“Mas Krisna, kau mengusir aku?”
“Aku tidak mengusirmu, namun sudah berulangkali aku bilang kepadamu, tolong jangan terus menerus menguntit aku. Beri aku kesempatan untuk memiliki waktuku sendiri.”
Listi tidak ingin menguping pembicaraan orang, namun percakapan Krisna dan Anggi tetap bisa didengarnya. Dia merasa tidak enak hati  namun dia juga tidak mau beranjak meninggalkan tempatnya.
Ketika Anggi sudah pergi, Krisna tersenyum menatap Listi. “Aku minta maaf.” Katanya, seakan menyadari Listi mendengarkan pembicaraannya dengan gadis itu.
“Tidak apa-apa.” Sahut Listi. Dia menoleh dan tersenyum. “Pacar, ya?”
“Yah, begitulah.” Sahut lelaki itu. Dia menatap Listi. “Aku jadi malu. Kau pasti tadi mendengarkan pembicaraanku dengan Agni.” Kata Krisna.
“Dia pasti sangat mencintaimu.”
Krisna tersenyum. “Mencintai namun juga seakan ingin membelenggu aku. Dia selalu saja pencemburu. Dia tidak bisa melihat aku bergaul dengan wanita lain. aku tidak bisa selalu diawasi dan dicurigai.”
Sejak saat itu Listi seringkali jadi malu dengan dirinya sendiri. Dia selalu ingin melongok kedalam kafe untuk melihat barangkali Krisna datang lagi. Krisna menjadi pengunjung tetap. Mereka mulai sering berkomunikasi. Listi merasa hubungannya semakin dekat dengan Krisna.  Walaupun begitu Listi tidak bisa berharap terlalu banyak, dia tahu Krisna masih menjalin hubungan dengan Agni walaupun hubungan itu kerap diwarnai dengan pertengkaran diantara mereka.

--- 0 ---


Mereka berdua menjadi semakin rutin bertemu di kedai kopi itu. Pertemuan demi pertemuan, walaupun tidak setiap hari, membuat mereka berdua semakin akrab.  Listi tidak mengingkari, dia merasa senang dengan sikap Krisna yang bersahaja.
“Kemana Anggi? Aku tak pernah melihatnya datang kemari lagi.” Kata Listi.
“Kami sudah putus.” Sahut Krisna.
“Putus? Mengapa? Hubungan kalian pasti sudah cukup lama.”
“Aku tidak mau memaksakan diri menjalani sebuah hubungan yang kurasa sudah tidak sehat lagi. Agni terlalu pencemburu. Dan aku seakan terbelenggu bila dia terus menerus mengawasi aku, kemana aku pergi, dengan siapa aku pergi.”
“Apa dia terlalu posesif?”
“Ya. Sangat posesif. Dia seakan tidak mau memberi aku ruang untuk bergaul dengan orang lain. Aku tidak bisa dibelenggu seperti itu. Pekerjaan menuntutku bertemu dengan banyak orang dan dengan orang yang berbeda-beda.”
Listi merasa apa yang terjadi dengan hubungan Krisna dan Anggi bukan urusannya. Namun dia tidak mengingkari, dia merasa senang kini Krisna tidak terikat dengan perempuan lain. Dia merasa lebih leluasa bercakap-cakap dengan Krisna. Hingga siang itu dia mendapat telepon dari Krisna.
“Lis, nonton film, yuk.”
“Nonton?”  Sudah lama dia tidak pernah lagi nonton film di bioskop. Namun ajakan Krisna seakan menggugahnya. Mengapa dia tidak mencoba bersahabat lebih dekat dengan Krisna dan menjalani kebersamaan diantara mereka. Bukankah Krisna sudah tidak memiliki lagi kekasih, seperti halnya juga dengan  dirinya?
“Oke.” Sahut Listi.
Krisna menjemputnya malam itu. Mereka berjalan kaki ke bioskop yang tidak terlalu jauh dari rumah Listi.  Filmnya drama percintaan. Namun bukan film itu yang membuat Listi terkesan. Dia mulai merasakan betapa menyenangkannya berdekatan dengan Krisna.
“Mengapa kita tidak lebih dekat lagi?” tanya Krisna usai nonton film. 
Listi sesaat merasa bingung dengan ucapan Krisna.
“Kita berteman?” tanya Listi.
Krisna tersenyum. “Aku tidak ingin menjadikanmu seorang teman. Temanku sudah banyak. Aku ingin engkau menjadi kekasihku.”
Listi menatap Krisna. Dia melihat tatapan lelaki itu yang lembut dan seakan merengkuhnya dalam sebuah kedamaian. 
“Aku….aku….tentu saja aku mau.” Sahut Listi perlahan.

--- 0 ---

Hari-hari selanjutnya terasa menyenangkan. Krisna sangat senang bersepeda dipagi hari. Dan selalu mengajak Listi bersepeda berkeliling-keliling selama sejam. Bersepeda dipagi hari ternyata sangat menyenangkan. Berolahraga dipagi hari membuat tubuh terasa segar dan bersemangat menyambut hari-hari. Namun selain itu, Listi menemukan kembali kegembiraannya. Ada seseorang lagi yang menemani hari-harinya. Memberinya perhatian. Memberinya sentuhan kebahagiaan yang selama ini terasa kosong mengisi jiwanya.
Pulang bersepeda mereka nongkrong makan bubur ayam ditempat langganan Krisna. Mang Obed, pedagang bubur ayam itu sudah puluhan tahun berjualan bubur dan tetap mangkal ditempat yang sama sejak mulai berdagang.
“Mang Obed langganan ayahku. Dulu ayah setelah jogging selalu menyempatkan makan bubur ayam di Mang Obed. Sekarang aku juga sudah jadi langganan bubur ayam Mang Obed.”  Kata Krisna.
Mang Obed lelaki tua yang ramah. Sambil menikmati bubur, Listi bercakap-cakap dengan Mang Obed.
“Mang Obed sudah lama sekali berdagang bubur, apa ada yang meneruskan usaha bubur ayam Mang Obed?’ tanya Listi.
“Kebetulan ada dua anak saya, yang laki dan yang perempuan. Mereka jualan bubur ayam juga seperti saya.” Kata Mang Obed sambil melayani pembeli. “Sejak dulu Mang Obed hanya jualan bubur. Alhamdulillah dari usaha jualan bubur ayam ini mang Obed sudah bisa menyekolahkan ke empat anak mang Obed hingga tamat SMA dan bisa memberi mereka modal untuk punya usaha sendiri. Dua anak mang Obed meneruskan  usaha mang Mang Obed jualan bubur, sementara dua yang lainnya ada yang membuka bengkel dan ada yang punya usaha pembuatan tahu.”
“Mang Obed hebat, punya anak semuanya sudah mandiri.” Kata Listi.
“Mang Obed hanya orang kecil, neng. Mang Obed tidak bisa mewariskan harta pada anak-anak mang Obed. Jadi mang Obed hanya membekali mereka usaha agar mereka bisa hidup mandiri.”
“Apa yang sudah dilakukan Mang Obed untuk anak-anak mang Obed sudah benar.” kata Listi.
Dia  jadi teringat dengan dirinya sendiri yang meneruskan usaha ayahnya. Mang Obed hanyalah pedagang bubur ayam, namun dia sudah menanamkan kemandirian kepada keempat anaknya. Mungkin itu pula dulu yang ingin ditanamkan papa padaku, pikir Listi.
Krisna menoleh padanya, seakan bisa menangkap jalan pikiran Listi.
“Aku juga bekerja meneruskan usaha ayahku.” Kata Krisna sambil tersenyum. 
“Kenapa dulu aku picik menentang keinginan papa?” tanya Listi. “Papa sudah susah payah menyediakan sebuah usaha untukku, namun aku begitu keras kepala menentang keinginan dan harapan papa. Sayang papa keburu meninggal sehingga papa tidak tahu bahwa aku sekarang sudah menuruti nasehatnya dan menjalankan usahanya  dengan sebaik-baiknya.”
“Ibumu masih ada.” Ucap Krisna. “Ibumu melihat engkau sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab menjalankan usaha ayahmu. Ibumu pantas merasa bangga kepadamu melihat apa yang telah engkau lakukan dalam mengurus rumah makan warisan ayahmu.”
“Apakah aku membanggakan ibuku?” tanya Listi. Dia menatap Krisna.
“Tentu saja.” sahut Krisna. Dia tersenyum menatap Listi. “Ibumu pasti merasa bangga kepadamu.”

--- 0 ---














Winda senang nongkrong di kedai kopi. Berdua bersama temannya atau kadang datang bersama  teman-teman sekantornya sambil menyelesaikan pekerjaan kantor disana. Walaupun Listi tahu Winda sering datang ke kedai kopinya, namun dia jarang menemui Winda disana kecuali bila Winda memanggilnya. Dia tahu Winda memilih kedai kopinya untuk bekerja bersama dengan teman-temannya karena suasananya yang  nyaman. Dan dia tidak ingin mengganggu kesibukan Winda bersama dengan teman-teman sekantornya.
Sore itu Winda mengirim pesan pendek mengajaknya bertemu di kedai kopi. Ketika Listi masuk ke kedai kopi, Winda sudah menunggunya. Winda kelihatan cantik dan modis. Mengenakan celana panjang hitam dan blazer abu-abu. Rambutnya yang sebahu dibiarkan terurai.
“Sudah lama tidak ngobrol sambil ngopi denganmu.” Sambut Winda ketika Listi datang dan duduk dihadapannya.
“Ada cerita apa?” tanya Listi.
“Aku sudah bertemu lelaki lain.” kata Winda.
“Oh, ya? Kekasihmu yang mirip bapakmu kemana?’
Winda tersenyum. “Sudah putus.” Sahutnya.
“Karena kau mendapat pengganti yang lebih muda?”
“Tidak juga. Karena aku tidak akan bisa menjalani kehidupan berumah tangga dengan lelaki berumur yang hanya ingin menjadikan aku sebagai yang kedua walaupun dia sudah berjanji akan memberikan aku kebahagiaan. Aku tak ingin percaya. Bagaimana bisa aku mendapatkan kebahagiaan bila aku hanya dijadikan yang kedua saja dalam hidupnya?” Winda tersenyum. Dia menatap Listi. “Aku sudah bertemu seseorang yang lain. Dia biasa dipanggil dengan sebutan  Zul. Nama lengkapnya Zulkarnaen. Zul teman sekerja aku di kantor namun berbeda bagian. Semula kami  hanya berteman saja.  Kemudian kami  sering bersama-sama, tugas kantor maupun urusan pribadi. Makin lama aku makin  menyadari  menemukan banyak kecocokan dengannya.”
“Aku merasa lebih menemukan banyak kecocokan dengan Zul dibandingkan bila aku melanjutkan  hubunganku dengan pak Hari. Setidaknya hubunganku dengan Zul normal dan tidak membuat kepalaku pusing.” Cerita Winda.
“Maksudmu?” tanya Listi.
 “Aku merasakan Zul sangat tulus mencintaiku. Dia tahu aku sudah lama tidak memiliki ayah dan ibu. Dia tahu aku sudah berhubungan dengan lelaki yang usianya duapuluh tahun diatasku. Zul memahami perasaanku. Dia memahami kesedihanku. Dia sering menghibur aku. Semula kurasa kebersamaanku dengan Zul hanya sekedar berteman saja. Hingga kemudian aku menyadari Zul sangat tulus dalam mencintaiku dan memperlakukan aku dengan kasih sayang. Akhirnya aku tahu, Zul adalah lelaki yang kuinginkan. Aku memutuskan hubunganku dengan pak Hari dan aku bahagia ketika Zul menungguku untuk mempertimbangkan keputusanku tanpa mendesak dan memaksa aku.”
“Aku ikut bahagia mendengarnya, Winda. Kuharap engkau mendapatkan kebahagiaan yang selama ini engkau cari dan engkau dambakan.” Listi memeluk Winda.   

--- 0 ---





Hari-hari selanjutnya berjalan apa adanya. Namun bagi Listi hubungannya dengan Krisna terasa penuh makna. Ditengah kesibukannya mengurus rumah makan, dia seakan menemukan seorang teman yang bisa dijadikannya sebagai orang yang bisa diajak bicara, tempat dia berdiskusi. Krisna anak sulung dari tiga bersaudara. Kedua adik perempuannya, Maya dan Vina masih kuliah. Krisna pernah memperkenalkan kedua adiknya kedapa Listi dan mereka berlibur bersama. Listi juga pernah diajak berkunjung kerumah orang tua Krisna. Ayah dan ibunya menyambutnya dengan baik. Listi berharap hubungannya dengan Krisna berjalan lancar dan mulus.
Sore itu Listi tengah bersama Krisna ketika mendadak Donie masuk kedalam kedai kopi. Listi tahu,  Donie kerap darang ke kedai kopi dimalam minggu. Sudah dua kali malam mingu Listi melihat Donie ada dikedai kopinya bersama dengan temannya.  Namun dia tidak pernah menemui Donie atau pun Donie menemuinya. Dia menganggap Donie tidak lebih dari pengunjung kedai kopinya saja.
“Halo, Lis.” Sapa Donie.
“Hai.” Sahut Listi.
Listi hanya tersenyum pada Donie. Dia merasa tidak perlu menyambut kedatangan Donie dengan sambutan istimewa. Diantara mereka sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Dia tetap mendampingi Krisna tanpa  terpengaruh dengan kedatangan Donie. Dia juga tidak perduli dengan tatapan Donie. Sudah cukup selama ini dia bersabar menghadapi Donie. Dia kini sudah menemukan lelaki lain yang lebih tulus dalam mencintainya. Krisna pernah sakit hati dan kecewa oleh wanita lain. mungkin Krisna akan lebih bisa menjaga perasaannya.
Listi berusaha tidak memperhatikan kehadiran Donie. Namun kali ini Listi melihat sikap Donie terasa lain. Tiba-tiba Donie keluar. Listi memperhatikannya beberapa saat. Mendadak dia tercengang. Donie naik keatas motornya yang diparkir didepan kedai kopi. Tatapan mata Donie  lurus pada Listi dan Krisna yang tengah duduk santai berhadapan dimeja yang merapat pada dinding kaca bagian depan kedai kopi.  Perasaan listi mendadak tidak enak melihat cara Donie menatap dirinya dan Krisna. Dia belum sempat berpikir apapun ketika mendadak suara motor Donie meraung-raung dengan kencang dan tanpa diduga Donie menancap gas  dengan kencang dan  motornya menerjang dinding kaca kedai kopi.
“Doniiiie!!! Kau sudah gila!!!” Listi terjungkal kebelakang  menghindari tubrukan motor Donie yang menerjang dinding kaca kedai kopi dan menabrak mejanya. Krisna yang  tidak menduga akan ada motor yang datang menerjang, terjungkal bersama kursi yang didudukinya.
Suasana didalam kedai kopi mendadak panik. Pengunjung yang tidak terlalu banyak, yang duduk tidak jauh dari Listi berhamburan menghindari pecahan kaca. Suasana menjadi kacau.  Pecahan kaca berserakan dilantai.  Sebagian pengunjung secara spontan menolong Krisna yang terjungkal dan berusaha menangkap Donie yang tersungkur bersama motornya yang masih meraung-raung. Keributan tidak bisa dielakkan lagi. Donie nyaris habis babak belur dihajar pengunjung bila Listi tidak berusaha melerainya dan menjelaskan pada pengunjung bahwa lelaki gila itu adalah temannya.
“Apa maksudmu? Tindakanmu sungguh membahayakan.” Bentak Listi.
“Aku tidak suka melihat kau bersama lelaki lain.” sahut Donie berang.
“Kau gila. Diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Dan tindakanmu itu bisa membahayakan jiwa aku dan Krisna. Kau bisa dilaporkan ke polisi dengan tindakanmu ini.”   Seru Listi.
“Kita laporkan saja ke polisi.” Kata salah seorang pengunjung.
“Tidak.” Sahut Listi. Berusaha menahan kekesalan perasaaannya dengan ulah Donie. “Dia temanku. Dia sedang dalam keadaan mabuk. Saya minta maaf dengan kejadian ini.”
Listi mencoba menenangkan keadaaan. Dia meminta maaf kepada beberapa pengunjung atas kejadian yang tidak menyenangkan yang terjadi hari itu.  Beberapa orang pengunjung kembali ketempatnya walaupun suasana sudah tidak senyaman sebelum kejadian itu.
Dengan kesal Listi menyeret tangan Donie dan menyuruhnya duduk berhadapan dengannya.
“Apa tujuanmu, Don? Aku sama sekali tidak mengerti.”
“Aku tidak suka kau bersama dengan Krisna.”
“Apa urusanmu?” bentak Listi.
“Dulu dia yang mengambil gadisku, sekarang dia mengambil gadisku lagi.”
“Kau gila, Krisna tidak mengambilku darimu. Kita sudah lama putus.”
“Tidak. Aku tidak pernah mengucapkan kata putus denganmu.”
“Aku tidak peduli lagi denganmu. Selama ini kau tak pernah  bisa menghargai aku. Bagaimana mungkin aku bisa mengharapkan engkau?”
Kali ini Listi tidak bisa lagi menahan kemarahannya pada Donie. Dia memaki tindakan lelaki itu. Pertengkaran tidak bisa dihindarkan lagi diantara keduanya. Krisna mencoba menengahi dan menyuruh Listi membiarkan Donie pulang.  
“Aku bisa melaporkan tindakanmu ini pada  polisi  namun kali ini  aku masih mau memaafkanmu. Syaratnya, jangan datang ke kedai kopi ini lagi.” Kata Listi. Suaranya tegas dan marah.
Tanpa bicara, Donie segera pergi diiringi sumpah serapah beberapa pegawai rumah makan dan kedai kopi karena tindakan Donie membuat tambahan pekerjaan buat mereka. Harus memperbaiki kerusakan dan membereskan kedai kopi yang porak poranda karena ulah gila lelaki itu.
Sambil menunggu pengunjung yang masih berada di kedai kopi keluar,  Listi meminta pegawainya  untuk membereskan kedai kopi dan  memasang tanda tutup pada pintu kaca kedai kopi. Dia tidak berniat melaporkan Donie pada polisi. Dia bisa menyelesaikan masalah itu dengan Donie. Satu persatu pengunjung pergi meninggalkan kedai kopi dan membicarakan kejadian itu dengan rekan-rekannya. Listi berharap kejadian itu tidak membuat nama kedai kopi menjadi tercemar.
“Aku tak mengerti.” Kata Listi ketika Donie sudah pergi. Dia menatap Krisna dengan tatapan tak mengerti.
Krisna tengah duduk sambil meringis melihat beberapa buah luka ditangannya terkena serpihan kaca.
“Kenapa ini  terjadi? Apa yang sebenarnya terjadi diantaramu dengan Donie?” tanya Listi. Dia mengambil obat luka dan mengobati luka-luka  pada tangan Krisna yang terkena pecahan kaca.
“Dia menuduh aku mengambil gadisnya padahal kenyataannya gadisku yang direbut Donie.” Sahut Krisna. “dan aku sama sekali tidak tahu bahwa kau pernah menjalin hubungan dengan Donie. Lalu kenapa sekarang dia marah melihat  aku bersamamu? Bukankah hubungan kalian sudah putus?”
 “Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran dia.” Kata Listi. “Dulu ketika kami masih menjalin hubungan, aku dengan sungguh-sungguh mencintainya dan menjalani hubungan dengan serius. Namun kini ketika aku sudah menemukan seseorang lain, dia tidak ingin melihat aku bersama orang lain. Kris, aku menyesalkan kejadian ini. Aku sungguh tidak menduga Donie akan melakukan tindakan nekad seperti itu. Maafkan dengan tindakan Donie yang berlebihan.”
Krisna tersenyum. “Tindakan Donie memang konyol dan membahayakan. Tapi kurasa kita perlu memaafkan dia. Anggap saja kejadian tadi sebagai selingan dalam hidup kita.  Aku pernah merasakan menjalin hubungan dengan orang yang posesif. Aku seakan terbelenggu oleh cintanya. Aku bisa memahami tindakan Donie yang mungkin tidak ingin kehilanganmu.”
Kejadian itu nyatanya membuat hubungan Listi dengan Krisna semakin dekat. Kejadian yang tidak diduga itu membuat Listi merasa takut bila Donie akan datang lagi. Namun berulangkali Krisna menyakinkan Listi bahwa dia yang akan membela Listi bila Donie berani datang lagi. Namun meskipun bicara begitu, Krisna kelihatan sangat mengkhawatirkan keselamatan Listi. Namun Listi meyakinkan Krisna bahwa dia baik-baik saja dan tidak usah risau dengan Donie akan melakukan tindakan yang seperti itu lagi. Listi menemui ibunya Donie dan menjelaskan bahwa diantara dirinya dan Donie sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Dia mohon Donie tidak  mengganggu hubungannya lagi, apakah dengan Krisna maupun  dengan siapapun. Bukan main malunya ibunya Donie mendengar penjelasan Listi dan berjanji akan membicarakan hal itu kepada Donie.
“Kenapa Donie melakukan tindakan seperti itu?” keluh ibunya. “Tante sangat menyesalkan kejadian itu. Dan tante berterima kasih nak Listi tidak memperpanjang kejadian ini dengan lapor pada polisi. Mudah-mudahan Donie tidak melakukan tindakan konyol seperti itu lagi.”    

--- 0 ---

Donie tidak pernah muncul lagi ke kedai kopi. Mungkin dia sudah menyadari kekonyolan kelakuannya. Listi merasa lega. Sebelumnya dia selalu waswas Donie akan muncul lagi dan melakukan tindakan konyol lagi. Dua bulan berlalu Donie tidak pernah kelihatan batang hidungnya lagi. Listi bernafas lega. Dia berharap hubungannya dengan Krisna akan tenang tanpa gangguan apapun. Hingga kemudian tanpa diduga, tiba-tiba Anggi datang  menemui Listi. Saat itu Listi tengah duduk sendirian di kedai kopi sambil menulis cerita anak-anak, hobi yang sudah lama ditinggalkannya dan kini sedang berusaha ditekuninya lagi disela-sela waktu luangnya.
“Aku tidak tahu sudah sejauh mana hubunganmu dengan Krisna, namun bagaimanapun antara aku dan Krisna sudah bertunangan.”
“Bertunangan?” LIsti tertegun. Krisna tidak pernah mengatakan hal itu kepadanya. “Krisna tidak pernah cerita kepadaku bahwa dia pernah bertunangan denganmu. Dan kukira sekarang kalian sudah tidak punya hubungan lagi.”
Anggi mengeluarkan sebuah cincin emas putih dengan sebutir berlian.  “Ini buktinya. Krisna memberikan cincin ini setahun lalu.” Anggi memperlihatkan cincin itu kepada Listi. Listi tertegun. Bila benar Krisna pernah bertunangan dengan Anggi, dia tidak ingin mengganggu hubungan Krisna dengan Anggi.
“Anggi, aku tidak tahu bila Krisna sudah bertunangan denganmu.”
“Karena itu, tolong jauhi Krisna, Listi.”
“Anggi, aku dan Krisna sudah menjalin hubungan. Apa yang terjadi antara kau dan Krisna, itu adalah masa lalu kalian. Sementara antara aku dan Krisna adalah masa sekarang dan masa depan….”
“Listi, seorang perempuan terhormat sepertimu pasti tidak ingin disebut sebagai perebut tunangan orang, bukan?” Anggi menatap Listi tajam. “Hubunganmu dengan Krisna belum banyak diketahui orang, sementara semua keluarga aku dan keluarga Krisna sudah tahu bahwa aku dan Krisna sudah bertunangan.”
Listi tertegun. Dia melihat kesungguhan pada setiap kata yang diucapkan Anggi dan dari cara Anggi menatapnya. Listi mengangguk. Dia tidak pernah lagi datang ke kedai kopi walaupun dia tahu Krisna masih rutin datang kesana. Dia tidak ingin mengganggu hubungan Krisna dengan Anggi. Hingga kemudian Krisna meneleponnya. Krisna ingin bertemu dengannya. Semula Listi merasa ragu. Namun dia tidak mengingkari, dia ingin mendapat kejelasan dari Krisna.
“Ada apa?” tanya Krisna.
“Anggi datang kemari.” Kata Listi.
“Ada apa dia menemuimu?”
“Anggi memperlihatkan cincin pertunangan kalian. Dia mengatakan bahwa dirinya sudah bertunangan denganmu. Oh, aku sama sekali tidak tahu hal itu, Krisna. Aku tidak berniat mengganggu hubungan kalian. Aku tidak berniat merebutmu dari Anggi.”
“Listi, kau tidak merebut aku dari Anggi atau dari wanita manapun juga. Mengenai cincin yang diperlihatakna Anggi kepadamu, memang benar aku membelikan cincin itu kepada anggi setahun lalu. Itu terjadi lebih setahun lalu ketika beberap bulan aku menjalin hubungan dengan Anggi. Saat itu Anggi meminta aku hadiah ulangtahun, dan dia ingin diberikan cincin. Dia sendiri yang mengajan aku ke toko perhiasan dan memilih sendiri cincin yang diinginkannya. Aku tidak keberatan membelikan cincin itu sebagai hadiah ulangtahunnya. Kupikir Anggi juga masih ingat bahwa saat itu aku bilang bahwa cincin itu sebagai hadiah ulang tahun untuknya, bukan sebagai pertanda apa-apa diantara kami. Aku tidak mengerti apa tujuannya hingga dia menemuimu dan memperlihatkan cincin itu kepadamu dan mengatakan bahwa itu cincin pertunangan kami. Itu sama sekali tidak benar. kau percaya kepadaku?’
Listi mengangguk. “Ya, aku percaya kepadamu. Namun lebih baik engkau bicara juga dengan Anggi.”
“Ya, aku pasti akan bicara dengan Aggi. Kau tidak usah khawatir, aku  pasti akan menyelesaiakan persoalan ini.”
Krisna menggenggam tangan Listi, seakan ingin meyakinkan perasaan gadis itu. Listi membalas genggaman tangan Krisna dan tersenyum. Dia percaya pada Krisna akan bisa menyelesaikan masalahnya dengan Anggi.
“Aku percaya kepadamu.” Ucap Listi lirih.

--- 0 ---
“Listi, aku sekarang jadi bingung sendiri.” Yulia mengajak Listi duduk dimeja sudut di kedai  kopi. Wajahnya kelihatan lelah. Dia sengaja pulang ke Sumedang dan minta cuti dua hari untuk beristirahat di Sumedang.
“Kenapa?”
“Aku merasa terjebak dengan situasi ini.” Kata Yulia. “Aku sudah lama kenal dengan mas Fahri…..” Mendadak Yulia tersenyum menatap Listi. Dia bicara sedikit malu. “Aku memanggilnya pak Fahri bila tengah berada dikantor, tapi merubah panggilan menjadi mas Fahri bila tengah berduaan.”
“Tidak apa-apa. Terdengar lebih romantis.” Komentar Listi. “Lalu apa maksudmu dengan merasa terjebak dalam situasi?”
“Kau tahu, aku masih menjalin hubungan dengan Wisnu. Ayah sudah tidak memaksakan lagi kehendaknya ketika tahu aku dan Wisnu masih belum juga menemukan kepastian dengan hubungan kami yang sudah berjalan bertahun-tahun lamanya ini. Kini aku memiliki lelaki lain dalam hatiku. Mas Fahri sangat baik dan sayang kepadaku. Dia sudah lama menduda dan memiliki dua orang anak. Yang sulung berusia delapan tahun, yang bungsu enam tahun. Keduanya perempuan. Cantik dan lucu. Aku sayang pada keduanya. Yang sulung bernama Mayang dan  yang bungsu bernama Salsa. Keduanya cantik. Rambutnya ikal panjang. Wajah keduanya molek, mirip almarhumah ibunya……”
“Hubunganmu dengan mas Fahri sendiri bagaimana?” potong Listi memotong ucapan Yulia yang sering berkepanjang tidak perlu.
“Oh, ya. Hubunganku dengan mas Fahri tentu saja baik-baik saja. maksudku, mas Fahri sangat perhatian kepadaku. Dan dia berharap hubungan kami akan berlanjut dalam hubungan yang serius.”
“Fahri tahu kau sudah menjalin hubungan dengan Wisnu.”
“Ya, dia tahu. Namun dia juga tahu bahwa hubunganku dengan Wisnu sulit untuk diharapkan akan terus berlanjut karena dia melihat aku tidak cocok dengan Wisnu.” Yulia menghela napas dalam. “Mas Fahri tahu Wisnu  cenderung emosional dan egois dalam memiliki aku. Hubunganku  dengan Wisnu sudah putus sambung beberapa kali. Namun Wisnu seakan tidak mau berubah dan tidak memahami bahwa ada sifatnya yang membuat aku  sering merasa kesal menghadapinya. Wisnu selalu mengkritik aku  yang terlalu peduli dengan penampilan. Kau tahu, sejak dulu salon, spa atau tempat-tempat perawatan kecantikan adalah tempat tongkrongan aku. Gaya hidup seperti itu membuat Wisnu merasa gerah.”
“Kenapa engkau tidak mau berubah bila kau ingin menghargai Wisnu dan tahu bahwa dia tidak suka dengan segala kebiasaanmu itu?” tanya Listi.
“Kenapa aku harus mengikuti keinginannya? Aku tidak mau dikekang dan diatur.”
“Itu masalahnya. Kau tidak cocok dengan Wisnu.” Ucap Listi.
Dia memperhatikan Yulia.  Dari ujung kepala hingga ujung kaki, penampilan Yulia semarak seperti seorang model.

 “Kita masih menyembunyikan hubungan kita ini. Aku malu dengan rekan-rekan dikantor.” Kata Yulia.
“Bercinta dengan atasan sendiri memang tidak seperti bercinta dengan  yang berbeda kantor.” Kata Listi. Dia melihat wajah Yulia yang sumringah.
Melihat hubungan Yulia dengan Fahri, Winda teringat dengan hubungannya dulu dengan Agung ketika Agung tidak menginginkan anak bila mereka menikah.
“Tidak, mas Fahri tetap menginginkan anak bila kami kelak menikah. Sekarang mas Fahri sudah memiliki dua anak yang beranjak besar. Dia menginginkan punya anak dari aku dua atau tiga lagi.” Ucap Yulia.

--- 0 ---

“Aku punya cerita untukmu.”
Winda memeluk Listi dengan wajah gembira. Listi baru keluar dari kamar mandi. Dia hampir terjungkal ketika Winda menubruknya sambil memeluknya. Handuk yang melilit tubuhnya hampir terlepas.
“Cerita apa? Kau gila. Aku hampir telanjang.” Seru Listi sambil memperbaiki handuk yang melilit tubuhnya yang hampir terlepas.
“Lihat.” Winda memperlihatkan cincin dijari manisnya. Sebuah cincin emas yang kelihatan manis menghiasi jari manisnya.
“Kau bertunangan?” tanya Listi.
“Ya.” Winda tersenyum sumringah. “Aku bertunangan dengan Zul. Akhirnya, ternyata  aku dengan Zul. Bukan dengan lelaki lain.”
“Oh, syukurlah.”  Sahut Listi. Dia mengeluarkan baju dari dalam lemari. “Tunggu aku berpakaian dulu.”
Listi masuk kembali kekamar mandi dan mengenakan pakaiannya. Lalu keluar lagi. Winda duduk disofa tengah memperhatikan cincin dijari manisnya sambil tersenyum.
 “Bagaimana ceritanya?” tanya Listi. “Kau   tidak pernah lagi cerita pada aku.”
“Akhirnya Zul yang menunjukan keseriusannya kepadaku. Dia tidak membutuhkan banyak kata untuk mengungkapkan bahwa dia mencintaiku.” Ucap Winda. “Dia langsung melamar aku dan mengajak aku bertunangan. Aku belum akan bilang kepadamu bahwa aku dan Zul sudah menentukan tanggal dan bulan pernikahan kami. Insya Allah akhir tahun ini.”
“Akhir tahun ini? Astaga. Kejutan. Begitu cepatnya engkau mengambil keputusan.”
“Ini keputusan berdua, antara aku dan Zul.” Winda tersenyum. “Aku sudah tidak sabar menunggu hari bahagia itu. Aku ingin engkau berdoa untuk kebahagiaanku.”
“Tentu saja.”  Listi memeluk Winda. “Akhirnya engkau yang duluan menjadi pengantin.”
Mendadak Listi teringat dengan percakapan mereka ketika berlibur ke Jogya. “Yah, akhirnya engkau yang menikah lebih dulu dibanding aku dengan Yulia. Dan sekarang aku bisa menebak. Engkau sudah menentukan bulan pernikahanmu. Pasti desember.”
“Yah, desember. Aku selalu berkhayal menikah dibulan desember. Desember merah jambu. Karena aku ingin nanti diresepsi pernikahanku, didominasi warna merah jambu.”
“Oh, akhirnya doa dan harapanmu terkabul, Winda. Bukankah engkau yang dulu bilang ingin menikah di bulan desember?”
“Ya, salah satu doaku terkabul. Tapi saat itu aku berharap kita bertiga menikah dalam waktu bersamaan. Di bulan desember.”
“Tapi kenyataannya hanya engkau yang berhasil akan menikah di bulan desember. Sementara aku dan Yulia masih belum ada kepastian.”
“Desember masih empat bulan lagi. Masih banyak kemungkinan yang akan terjadi.”
“Ya. Masih banyak kemungkinan yang mungkin bakal terjadi.” Ucap Listi.

--- 0 ---





“Listi! Aku punya berita!!!
Yulia nyaris memekik ketika meneleponnya. Listi sedikit menjauhkan ponselnya ketika Yulia tiba-tiba memekik memekakkan telinganya.
“Ada apa?” tanya Listi.
“Aku mau menikah!”
“Menikah? Kau akan menikah? Selamat!”
“Kau tidak tahu bagaimana gembiranya perasaanku saat ini.”
“Tentu saja aku bisa merasakan bagaimana gembiranya perasaanmu saat ini. Akhirnya kau bertemu dengan lelaki yang akan menjadi suamimu. Tapi siapa dia?”
“Mas Fahri.”
“Atasanmu yang cakep itu?”
“Dia bukan hanya cakep. Tapi dia juga baik dan sungguh-sungguh mencintai aku.” Sahut Yulia. “Listi, aku akan menemuimu. Aku sekarang ada di Sumedang. Aku tidak mengganggumu bila datang kerumah makanmu?”
“Menggangguku? Aku bahkan senang kau  mau datang. Aku tunggu di kedai kopi, ya. Aku akan menyuguhimu kopi yang paling nikmat dari kedai kopiku.”
“Terima kasih. Aku akan segera datang.” Sahut Yulia ceria.
Sesaat Listi melihat  ada yang berubah dalam penampilan Yulia ketika sahabatnya yang satu ini sudah tiba di kedai kopinya. Kedai kopi masih kosong. Yulia tersenyum ceria. Penampilannya tidak lagi semeriah seperti biasanya. Dia mengenakan blus putih dengan celana jeans. Hanya mengenakan giwang kecil dan sederhana serta cincin putih dijari tangan kirinya. Jauh berbeda dengan keseharian Yulia dulu.
“Setiap malam aku berdoa. Alhamdulillah Allah menjawab doa-doaku.” Kata Yulia ketika sudah duduk berhadapan dengan Listi di kedai kopi, menikmati secangkir kopi, sepiring kecil brownies dengan music instrumental yang lembut. Listi duduk memperhatikan Yulia.
“Aku menemukan  menemukan jawaban dari doa-doaku  ketika mas Fahri  melamarku. Keluargaku  mendukung aku  untuk memilih mas Fahri daripada meneruskan hubungan dengan Wisnu yang selama ini hubungan kami  beberapa kali putus sambung.  Papa  sendiri sudah kesal melihat hubunganku dengan Wisnu yang belum juga menunjukan kepastian.”
“Oh, syukurlah.”
“Namun hubunganku  dengan Wisnu walaupun berakhir kandas membuat aku  berubah.” Kata Yulia. Dia tersenyum menatap Listi. “Lis, aku sekarang mulai menyadari, mungkin selama ini penampilanku seakan mahal sehingga dulu Wisnu sering mengkritik aku. Aku  yang selama ini selalu ingin menjaga penampilan dan selalu sibuk mengurus penampilan, lama kelamaan membuat aku sadar bahwa menjadi menarik bukan hanya dari penampilan luar saja.  Seseorang akan lebih menarik lagi bila dia juga memiliki kepribadian yang menarik.”
“Walaupun hubunganmu dengan Wisnu tidak sampai ke pelaminan, namun kau memiliki hikmah sempat menjalin hubungan dengan dia.”
“Ya.” Sahut Yulia. “Walaupun aku kesal sering dikritik Wisnu, namun terus  terang kritikan-kritikannya suka aku pikirkan. Sekarang aku menyadari bahwa apa yang kulakoni  selama ini bukan membuat aku  menjadi semakin menarik namun aku merasa seakan selalu dituntut oleh diriku sendiri  agar aku selalu  tampil menarik. Hingga akhirnya  membuat aku  seakan menjadi sebuah model yang seakan selalu dituntut untuk tampil menarik. Baju-baju yang trendi. Sepatu. Tas. Make-up. Asesoris. Semua itu adalah seakan menjadi bagian sehari-hari yang sudah tidak bisa lagi terpisahkan dari diriku. Ternyata ketika aku berpikir untuk tampil lebih sederhana, aku justru menemukan kenyamanan dengan penampilanku. Dan nyatanya aku tetap bisa tampil menarik walaupun dengan penampilan yang sederhana seperti sekarang ini. Yang paling utama adala rasa percaya diri bahwa aku memang bisa tampil menarik dengan tampilan sederhana sekalipun.”
“Yah, kau benar. Aku melihatmu sekarang malah kelihatan jauh lebih menarik daripada penampilanmu biasanya. Sekarang engkau kelihatan lebih anggun.” Komentar Listi.
“Lis, mungkin Wisnu yakin aku bukan wanita yang cocok untuknya. Dia sekarang sudah menemukan wanita lain. mungkin sebentar lagi mereka akan menikah. Setelah kami tidak berhubungan lagi, dalam suatu kesempatan aku bertemu dengan Wisnu. Dia tengah bersama dengan gadis itu. Wisnu memperkenalkannya kepadaku. Nama gadis itu Ismi, perempuan cantik dan berpenampilan sederhana. Aku melihat, bersama Ismi, Wisnu seakan menemukan ketentraman dan kenyamanan. Namun aku sendiri  bahagia bersama mas Fahri.”
“Oh, syukurlah bila hubunganmu dengan Wisnu tetap baik walaupun kalian sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi.” Listi mendadak teringat pada ulah Donie beberapa waktu lalu yang menerjang kedai kopinya dengan motornya karena terbakar cemburu melihat dirinya tengah bersama dengan Krisna. Setidaknya Yulia dengan Wisnu jauh lebih baik dibandingkan dengan dirinya dan Donie.
“Alangkah menyenangkannya ketika aku  tampil lebih sederhana. Ternyata kesederhanaan itu juga membuat aku menemukan belahan jiwaku….” Yulia tersenyum.
“Maksudmu?”
“Mas Fahri, atasanku itu  yang terbiasa melihat aku  tampil seperti seorang model, menjadi berani mendekatiku  justru ketika melihat aku  tampil lebih sederhana.”
“Astaga. Begitu banyak yang kau dapatkan setelah engkau berubah.”
“Ya. Mas Fahri  merasa melihat aku  sebagai sosok seorang wanita dewasa. Bukan sebagai perempuan yang selalu sibuk berkaca dan memperhatikan penampilan diri  dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ketika aku  tampil lebih sederhana, mas  Fahri justru jadi berani mengajak aku  pada acara-acara yang harus dihadirinya.”
Yulia mengucek-ngucek cangkir kopinya.  “Listi, aku selama ini selalu ingin tampil sempurna.” Ucap Yulia. “Namun ternyata dalam hidup memang tidak ada yang sempurna. Terlalu peduli dengan penampilan juga membuat aku seakan terkucil diantara rekan-rekanku. Aku dianggap tidak berisi. Namun ketika aku sudah merubah penampilanku, rekan-rekanku menganggap aku sekarang lebih pintar…” Yulia tersenyum. “Mas Fahri bilang, setelah aku banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan menyerap berita, aku kelihatan lebih punya wawasan……”
“Ya.” Listi tersenyum menatap Yulia. “Jadi kapan rencana pernikahanmu?”
“Desember. Mas Fahri ingin kami menikah di bulan desember mendatang. Soal tanggalnya, masih aku rahasiakan kepadamu. Kejutan.”
“Oke.” Sahut Listi. Dia menatap Yulia. “Kau akan menikah di bulan desember. Winda juga akan menikah di bulan desember. Kalian berdiskusi dulu?”
“Tidak. Kebetulan saja aku dan Winda memilih bulan yang sama.” Yulia menatap Listi. “Yah, benar. kebetulan saja aku dan Winda akan menikah di bulan yang sama desember, walaupun waktu kita berlibur bersama di Jogya dulu Winda pernah bilang ingin kita bertiga menikah dibulan yang sama, berbarengan, bulan desember.”
“Ya.”
“Jadi sekarang hanya tinggal engkau yang belum memiliki kepastian.” Yulia menatap Listi. “Siapa tahu engkau juga akan menikah di bulan desember.”
Listi menyandarkan punggungnya. Dia teringat pada Krisna. Namun hingga sekarang Krisna belum membicarakan masalah pernikahan mereka walaupun hubungan mereka semakin hari semakin serius. Haruskah dia yang memulai lebih dahulu membicarakan tentang pernikahan mereka?


--- 0 ---
“Kris, Winda dan Yulia, kedua sahabatku yang pernah kukenalkan kepadamu tempo hari ketika pembukaan kedai kopiku itu, akan segera menikah.” Kata Listi. “Aku bersyukur mereka akan segera menikah. Lucunya, mereka memilih bulan yang sama untuk pernikahan mereka. Mereka akan menikah di bulan desember.”
 “Menarik sekali.”  Krisna berkomentar.
Listi menatap Krisna. Dia berharap Krisna akan bisa menangkap maksudnya dirinya membicarakan mengenai pernikahan Winda dan Yulia. Namun Krisna kelihatannya hanya tenang-tenang saja.
“Winda menyebut bulan desember dimana dia akan menikah  dengan sebutan desember merah jambu.” Listi menatap Krisna. Dia ingin melihat reaksi Krisna dengan pembicaraannya mengenai kedua temannya.
“Menarik sekali. Desember merah jambu. Kenapa Winda bilang begitu?”
“Dia sudah lama menginginkan menikah di bulan desember dan akan menentukan tempat resepsinya nanti penuh nuansa merah jambu.”
“Dan kita? Kita kapan akan  meresmikan hubungan kita ini?” Krisna tersenyum menatap Listi. Listi terkejut mendengar pertanyaan itu.
“Kau? Sudah terpikir mengenai pernikahan kita?” tanya Listi.
Krisna tersenyum. “Tentu saja. Aku dan kau sudah sama-sama dewasa. Apa artinya hubungan kita bila tidak mengarah pada hal serius. Sejak awal aku menjalin hubungan denganmu, aku tidak berpikir untuk main-main. Aku ingin kita menjalani hubungan kita dengan serius.”
“Aku juga berpikir begitu.” Sahut Listi.
 “Lis, aku sudah banyak bicara mengenai hubungan kita dengan orangtuaku. Orangtuaku menyerahkan sepenuhnya kepada aku. Mereka berdua menilai aku sudah dewasa untuk menentukan keputusanku. Hanya saja mereka tetap akan mendukung setiap keputusanku bila memang itu yang terbaik untukku. Lis, kupikir  sudah saatnya kita segera meresmikan hubungan kita ini.” Krisna tersenyum menatap Listi.
Listi menatap Krisna dengan perasaan berdebar.  “Lalu bagaimana dengan Anggi?” tanya Listi tiba-tiba, tercetus begitu saja tanpa disadarinya.
“Anggi? Dia sudah menjadi masa lalu bagiku. Kita jangan menyebut nama dia lagi.” Tukas Krisna.
Listi menatap Krisna.
“Aku sudah bicara dengan Anggi. Aku meminta dia agar tidak mengganggu hubungan kita lagi. Aku sudah punya pilihan sendiri. Aku sudah memilihmu.”
“Kris…..” Listi merasakan keharuan terasa menyesakkan perasaannya.
“Masing-masing dari kita memiliki masa lalu, kurasa lebih baik kita tidak mengungkit-ungkit lagi masa lalu kita. Kita jalani kehidupan kita sekarang dan masa depan dengan kondisi saat ini. Aku ingin engkau tenang dan nyaman bersamaku seperti halnya aku pun mengharapkan aku tenang dan nyaman  bersamamu.” Tatapan mata Krisna terasa teduh dan lembut.
“Ya.” Listi mengangguk. “Aku akan berusaha tidak membicarakan masa lalumu lagi, juga tidak ingin mengingat masa laluku lagi…..”
Krisna mengangguk dan tersenyum. “Lis, orangtuaku akan segera menemui ibumu. Kita lebih baik segera menikah.” Kata Krisna dengan wajah serius.
“Kapan engkau rencanakan untuk pernikahan kita?” Listi menatap Krisna dengan sedikit rasa waswas dihatinya dengan apa yang diucapkan Krisna.
“Mengapa kita tidak memilih bulan desember sebagai bulan pernikahan kita?” tanya Krisna.
“Desember? Kau ingin kita menikah di bulan desember? Seperti Winda dan Yulia?” tanya Listi tak percaya.
Krisna tersenyum. “Kenapa? Apa engkau tidak setuju bila kita menikah di bulan desember?”
“Krisna…aku….aku…..bahagia sekali.” Sahut Listi tersendat-sendat.
Airmatanya seakan ingin meloncat keluar. Dia tidak sanggup menahan kebahagiaan dalam dadanya, berbaur dengan kesedihannya mengenang ayahnya yang tidak sempat melihatnya bersama dengan seorang lelaki yang akan menggantikan posisi orangtuanya kelak dalam menjaga dan melindunginya.
Malam itu Listi menelepon Winda dan Yulia bergantian. Ceritanya begitu bergemuruh, segemuruh kebahagiaannya yang terasa memenuhi setiap sudut hatinya.
“Aku akan menikah! Aku juga akan  menikah seperti kalian!” seru Listi penuh dengan kegembiraan.

--- 0 ---


Akhirnya aku akan jadi pengantin, pikir Listi. Dia teringat pada almarhum ayahnya. Sayang ayah tidak sempat menyaksikannya menjadi pengantin. Begitu banyak yang harus dipersiapkannya untuk menyambut hari bahagianya. Dia mencoba mandiri. Banyak hal yang dilakukannya sendiri. Selama ini dia sudah biasa mandiri. Untuk tempat  resepsi dia sudah memilih akan diselenggarakan dirumah makan. Untuk sementara rumah makan tutup selama seminggu karena akan dipakai sebagai tempat resepsi. Beragam hidangan yang  akan disajikan untuk para tamu undangan pun sudah ditentukan. Warung kopi pun  disulap  untuk menampung sebagian para tamu undangan.
Malam itu sepulang dari menghubungi perias pengantin, Listi memergoki mak Dinah masuk kekamar ibunya. Dia mencoba memperhatikan dari balik pintu kamar ibunya. Mak Dinah memeluk  ibunya sambil menangis.
“Syukur Alhamdulillah, akhirnya datang juga jodohnya.” Suara  mak Dinah  tersendat-sendat menahan tangis.
“Ya, mak. Alhamdulillah, gusti Allah mengabulkan doa-doa dan harapan kita selama ini.” Sahut ibunya berurai airmata.
“Pasti dia cantik sekali mengenakan  baju pengantinnya nanti.”
“Ya.” Sahut ibunya. “Aku teringat pada ayahnya. Betapa inginnya ayahnya melihatnya menjadi pengantin. Kini keinginannya itu sudah terkabul namun sayang ayahnya tidak sempat menyaksikannya.”
Kedua perempuan itu menangis bersama-sama. Tangisan bahagia dan sedih. Listi yang mengintip dari balik pintu tak kuasa menahan airmatanya. Bergegas dia masuk kedalam kamarnya dan menangis. Dia sendiri teringat pada ayahnya. Alangkah sempurna kebahagiaannya bila ayahnya masih ada dan menyaksikannya menjadi pengantin seperti keinginan ayahnya dulu sebelum meninggal.

--- 0 ---


Pagi-pagi Krisna meneleponnya. Listi terbangun mendengar ponselnya berbunyi.
“Halo. Masih tidur, ya.”  Sapa Krisna.
Listi melihat jam tangannya diatas meja. Jam lima lewat  seperempat menit. “Sudah bangun dari  tadi.” Sahut Listi.
“Semalam aku meneleponmu dua kali namun kau tidak mengangkatnya. Mungkin kau sudah tidur.”
“Aku tidak mendengar ponselku bunyi, mungkin aku ketiduran.”
“Kau pasti kecapean. Kau mengerjakan segalanya sendirian.” Tegur Krisna.
“Bila  aku bisa mengerjakannya sendiri mengapa aku harus menyuruh orang lain. Aku senang mengerjakannya. Biar lebih puas karena aku bisa bicara langsung apa yang kuinginkan” sahut Listi. “Hari ini aku akan mengambil pesanan cindera mata. Kurasa semuanya berjalan lancar.”
“Kau harus menjaga kesehatanmu, Listi. Aku ingin pengantin wanitaku tampil cantik dan segar dihari perkawinan kita nanti.”
Listi tersenyum. “Pagi-pagi aku masih sempat berolahraga, makan buah-buahan dan sayuran, minum vitamin, tidur yang cukup dan berusaha pikiranku tetap tenang.”
“Oke. Aku percaya kepadamu. Kau memang bisa menangani semuanya.”

--- 0 ---


Malam itu ibunya masuk kedalam kamarnya. Ibunya menatapnya dengan penuh haru.
“Ada apa, ma? Semuanya lancar dan sudah beres.” Ucap Listi sambil tersenyum.
“Mama percaya kepadamu, kau bisa menangani semuanya.” Sahut ibunya sambil duduk ditepi tempat tidur. Tangannya membawa sebuah kotak beledu hitam. “Listi, mama mau memberikan ini kepadamu.”
“Apa, ma?” Listi duduk disamping ibunya. Ibunya membuka kotak beledu hitam itu. Seuntai kalung berlian tergeletak didalamnya.
 “Listi, kalung berlian ini merupakan perhiasan turun temurun. Dulu nenekmu mendapatkan kalung berlian ini dari ibunya. Kemudian nenekmu memberikan kalung berlian ini  ketika mama menjadi pengantin. Almarhumah nenek berpesan, bila engkau menikah kelak, kalung ini harus diberikan kepadamu.”
“Terima kasih, ma.” Sahut Listi gembira. Sudah lama dia menginginkan kalung berlian itu, kini ibunya memberikannya kepadanya.
Ibunya memasangkan kalung itu dilehernya. Listi melihat bayangan dirinya pada cermin sambil memperhatikan kalung berlian itu yang melingkari lehernya. Dia tersenyum menatap ibunya.
“Ma, doakan perkawinanku bahagia.”
“Tentu. Semua orang mendoakan semoga perkawinanmu bahagia. Semoga engkau dan Krisna saling mencintai dan saling menyayangi dalam susah dan senang.” Ibunya tersenyum. Matanya basah oleh air mata.

--- 0 ---

Listi baru selesai mandi ketika Winda datang masuk kekamarnya. Sudah  beberapa minggu Winda tidak main kerumahnya. Wajah Winda begitu berseri. Dia pasti punya cerita baru yang akan disampaikan kepadanya.
“Listi, aku belum memberitahumu, aku akan menikah tanggal enam desember.” Kata Winda. Wajahnya berseri penuh kegembiraan. Suaranya meluap penuh kegembiraan.
Listi menatap Winda. “Yah, kau hanya pernah cerita akan menikah di bulan desember. Tanggal enam desember?” Listi melihat kalender. “Persiapanmu pasti sudah beres, kan?”
“Belum. Soal tempat resepsi. Aku berubah pikiran. Tadinya aku akan menikah dirumah saja. Namun kemudian aku berpikir, lebih baik aku melaksanakan resepsi pernikahan digedung….bukan, maksudku bukan di gedung. Aku ingin menyelenggarakan resepsi pernikahanku di rumah makanmu. Zul sudah setuju memilih rumah makanmu sebagai tempat resepsi.”
“Dengan senang hati.” Kata Listi. “Kau orang pertama yang menyewa rumah makanku sebagai tempat resepsi. Ingat, aku hanya menyediakan tempat. Masalah dekorasi dan segala macam pernak-perniknya, itu urusan wedding organizer.”
“Ya. Aku hanya menyewa tempat saja padamu.” Ucap Winda.
 “Aku juga punya berita untukmu.” Listi tersenyum. “Aku akan menikah tanggal empat belas desember.”
“Astaga, aku sungguh gembira mendengarnya.” Winda menubruk dan memeluk Listi hingga keduanya terjungkal kebelakang. “Sungguh menakjubkan, akhirnya kita bisa menikah dibulan yang sama. Ini benar-benar sebuah kejutan.”
Ponsel Listi  berbunyi. Yulia menelepon. “Listi, aku  perlu bicara denganmu.”
“Ada apa?”
“Listi, aku akan menikah tanggal duapuluh desember. Aku sudah memutuskan akan menyewa rumah makanmu sebagai tempat resepsiku.” Kata Yulia.
“Dengan senang hati. Aku akan mempersiapan segalanya. Kau adalah orang kedua  yang menyewa rumah makanku sebagai tempat resepsi. Ingat, aku hanya menyediakan tempat. Masalah dekorasi dan segala macam pernak-perniknya, itu urusan wedding organizer.”
“Oke.  Aku hanya menyewa tempat saja padamu. Aku tidak memakai jasa wedding organizer. Semua panitia yang terlibat dalam acara pernikahanku  adalah keluarga besarku.” Ucap Yulia. 
 “Aku juga punya berita untukmu.” Listi tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya pada Winda yang tengah memperhatikannya. “Aku akan menikah tanggal empat belas desember.”
“Tanggal empatbelas desember? Jadi kau lebih dulu menikah dari aku? Aduh,  aku sungguh gembira mendengarnya.” Yulia memekik gembira. Andai Yulia ada didekatnya, pasti dia sudah menubruk dan memeluk Listi seperti yang dilakukan Winda tadi.  “Sungguh menakjubkan. Ini kejadian yang sungguh mengejutkan namun sekaligus menyenangkan buat kita semua, kau, aku dan Winda. Akhirnya kita bisa menikah dibulan yang sama. Ini benar-benar sebuah kejutan yang manis buat kita bertiga.”
 “Winda sekarang sedang berada dikamarku. Dia baru saja memberitahu aku, dia akan menikah tanggal enam desember.”
“Enam desember?” Seru Yulia. “Aku ingin bicara dengan Winda.”
Listi menyerahkan ponselnya pada Winda.
“Benar, aku akan menikah tanggal enam desember.” Kata Winda. “Ya, ya, aku masih ingat dengan obrolan kita ketika liburan bersama di Jogja dulu, kita ingin menikah bersama-sama waktunya. Kini keinginan kita terkabul.”
Winda dan Yulia bercakap-cakap sebentar hingga kemudian Winda menyerahkan kembali ponsel pada Listi.
“Listi, betapa indahnya Allah memberikan rencana-Nya kepada kita semua. Sekian lama kita diuji kesabaran soal jodoh,dibeli liku-liku dengan urusan laki-laki, kini Allah memberikan kebahagiaan kepada kita nyaris bersamaan waktunya.”
“Ya, kita patut mensyukuri semua ini. Biarlah kita menjalani takdir-Nya ini dengan penuh rasa syukur dan senantiasa mengucapkan Alhamdulillah.” Listi tersenyum.
“Beritahu aku, kau akan mengenakan kebaya apa saat resepsi.”
“Aku pilih kebaya warna hijau.”
“Aku pilih kebaya warna merah jambu.” Ujar Yulia. “Coba tanya Winda, dia mengenakan kebaya warna apa?”
Listi menoleh pada Winda. “Yulia tanya kau akan mengenakan kebaya warna apa saat resepsi nanti? Pasti pilihanmu warna merah jambu seperti warna pilihan Yulia……”
“Aku pilih kebaya warna biru yang penuh dihiasi dengan payet-payet yang indah……” sahut Winda. “Apapun  warna kebaya yang akan kita kenakan nanti, namun yang jelas kita semua memiliki desember merah jambu yang sama.”
Mereka sudah tidak sabar menunggu hari bahagia itu segera tiba.

--- 0 ---

Tanggal enam desember merupakan hari yang indah buat Winda. Listi dan Yulia sudah terlibat dalam kesibukan sejak dua hari sebelumnya. Listi sendiri menyiapkan rumah makannya dibagian depan untuk tempat resepsi pernikahan Winda. Pengunjung masih bisa menikmati makan dirumah makan dibagian belakang rumah makan. Bagian depan rumah makan yang luas itu ditata sedemikian rupa. Seperti keinginan Winda, dekorasi untuk resepsinya didominasi warna merah jambu.
Winda kelihatan bahagia walaupun dia juga tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Kedua orangtuanya sudah tidak bisa lagi menyaksikannya duduk dipelaminan. Keluarga dari pihak ayah dan ibunya berkumpul semua dan seakan menegarkan hati Winda bahwa dirinya masih memiliki keluarga yang mencintai dan memperhatikannya.
Winda kelihatan cantik dan anggun dalam balutan busana pengantinnya yang begitu indah. Zul kelihatan tenang dan bahagia. Sehari itu milik Winda dan Zul.
“Tanggal empat belas desember kau yang akan jadi pengantin.” Kata Winda.
“Pasti kau masih berbulan madu saat aku menikah nanti.” Kata Listi.
“Jangan khawatir, aku akan tetap datang menghadiri pernikahanmu.”
“Tentu saja. Kita akan tetap bisa saling menghadiri pernikahan kita masing-masing.” Sahut Yulia. “Tanggal empat belas desember aku pasti sudah disibukan dengan persiapan pernikahanku, namun aku tetap akan mendampingimu seperti halnya sekarang kita mendampingi Winda sejak kemarin.” kata Yulia.
“Saat kau menikah tanggal duapuluh desember, aku masih sedang bulan madu.” Kata Listi. “Tapi aku dan Winda pun akan tetap mendampingimu seperti halnya sekarang aku dan engkau mendampingi Winda.”
“Aku sudah tidak sabar menunggu saat itu tiba.” Yulia berdesah panjang.

--- 0 ---


Listi   menatap keluar jendela. Diluar hujan masih turun dengan derasnya. Hujan bulan desember. Desember kali ini terasa sangat indah sekali.  Desember seakan berwarna merah jambu. Persahabatan mereka terasa indah. Mereka bertiga menikah dibulan yang sama. Sungguh pengalaman hidup yang sangat mengesankan. Dalam sebulan rumah makannya dipakai resepsi tiga kali pernikahan. Listi teringat pada ayahnya. Papa, aku sungguh berterima kasih kepadamu, engkau sudah mempersiapkan masa depan dan kebahagiaanku dengan sebaik-baiknya. Air mata Listi terjatuh ketika teringat pada almarhum ayahnya.  
Ponselnya  berbunyi. Nama Yulia muncul pada layar ponselnya. Listi  tersenyum. Kebahagiaan itu kini sedang milik mereka.
“Listi, aku sedang bersiap akan berangkat ke Bali. Bulan madu sambil menikmati liburan akhir tahun.” Suara Yulia terdengar ceria.
Dia memang selalu ceria. Kesedihan hanya hinggap sebentar saja mengusik hatinya lalu keceriaan kembali menjadi miliknya. Seringkali Listi merasa iri dengan kebiasaan Yulia yang begitu pandai mengatur suasana hatinya agar tetap bergembira walaupun sebagai manusia dia tidak pernah terlepas dari beraqgam masalah dan kesulitan.
“Kuberi cerita nanti bila aku sudah pulang berbulan madu.” Kata Yulia.
“Oke.” Sahut Listi  kalem.
Bali.Yulia bulan madu ke Bali. Ah, kenapa aku tidak memikirkan soal bulan madu? Kenapa aku tidak membuat rencana bersama Krisna untuk mengisi saat pertama menjadi suami istri dengan berbulan madu seperti Yulia? Kenapa baru sekarang aku ingat bahwa aku dan Krisna seharusnya mengambil waktu seminggu atau lebih untuk menikmati hidup hanya berdua tanpa terganggu oleh hal-hal lain sebelum kami memulai lagi kesibukan rutin seperti hari-hari biasanya? Listi  mendadak menjadi bersemangat. Dia juga akan berbulan madu. Ke Bali.
Ponselnya berbunyi lagi. Nama Winda muncul pada layar ponselnya.
 “Listi, aku akan ke Bali.” Winda tertawa ceria. Seceria Yulia tadi. “Bulan madu. Aku ingin menikmati indahnya menjadi pengantin hanya berdua saja dengan mas Zul.”
“Selamat menikmati bulan madu.” Sahut Listi kalem.
“Ngomong-ngomong kau bulan madu kemana?”
“Masih aku pikirkan, yang jelas sama romantisnya dengan bulan madumu dan bulan madu Yulia.” Listi tersenyum.
“Oh ya , tadi Yulia menelepon, dia  bilang sedang  akan berangkat ke Bali. Berbulan madu ditempat yang sama dengan aku.” Winda tertawa.
“Aku tahu.” Sahut Listi.
“Oke, dimanapun engkau menghabiskan waktumu bersama Krisna, aku doakan semoga hari-hari kalian menyenangkan, sama menyenangkannya seperti hari-hariku dan hari-hari Yulia.” Winda menutup telepon.
Masih seperti dulu selalu memiliki pikiran dan keinginan yang sama yang kerap terjadi secara kebetulan, pikir Listi. Dia menoleh  pada Krisna  yang baru keluar dari kamar mandi. Wajah suaminya segar. Listi  tersenyum mesra menatap suaminya.
“Sayang, kita berangkat ke Bali sekarang juga. Kita berbulan madu di Bali.”

--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar