Listi menyibakkan gorden kamar. Udara
hangat sinar mentari pagi terasa menembus kaca kamarnya. Dia mengambil jam
tangannya diatas meja disamping tempat tidur. Jam tujuh lewat sepuluh menit. Nyenyak
benar tidurnya semalam. Kertas-kertas berserakan diatas karpet bekas semalam.
Dia tengah rajin membuat surat lamaran kerja keberbagai perusahaan. Berharap
ada salah satu lamarannya yang diterima. Bekerja diperusahaan merupakan
cita-citanya setelah dia lulus dari perguruan tinggi. Walaupun ayahnya tidak
menghendakinya bekerja. Ayah berharap dia meneruskan usaha ayahnya mengelola
rumah makan yang sudah dirintis ayah dan ibunya sejak puluhan tahun lalu. Itu
keinginan ayah. Keinginannya sendiri berbeda dengan keinginan ayahnya. Dia
sudah menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi dan baru sebulan lalu
diwisuda menjadi sarjana ekonomi. Dia punya cita-cita dan angan-angan sendiri
dengan masa depannya.
Sejak
diwisuda sebulan lalu, dia
kembali pulang kerumahnya di Sumedang
dan menikmati hari-harinya sebagai seorang penganggur. Setelah pulang
kembali ke Sumedang banyak waktu lagi bercakap-cakap dengan kedua orangtuanya. Dari
percakapan biasa hingga
percakapan-percakapan penting. Dia ingin
menikmati masa-masa menganggurnya sebelum disibukan dengan urusan pekerjaan
bila nanti ada lamarannya yang diterima. Namun keadaan sekarang sudah berbeda
dengan dulu. Ayah dan ibu sudah menganggapnya dewasa dan
sudah siap untuk meneruskan usaha ayah dan ibunya mengelola rumah makan mereka.
“Rumah Makan Listi”. Ayah tetap tidak mengijinkannya bekerja dikantoran
seperti keinginannya. Ayah tetap ingin
dia meneruskan usaha ayahnya mengelola rumah makan.
Semalam hal itu kembali menjadi topik
pembicaraan diantara mereka. Dirinya, ayahnya dan ibunya.
“Kamu anak papa satu-satunya. Bila bukan engkau lantas siapa
lagi yang akan meneruskan mengelola rumah makan ini?” Ayahnya seakan ingin
memberinya pengertian.
“Papa, minatku bukan pada mengurus rumah
makan.” Sahut Listi. “Aku ingin bekerja dikantoran seperti teman-temanku yang
lain. Aku ingin bekerja disebuah perusahaan bonafide. Aku ingin menjadi seorang
wanita karier. Itu sudah cita-citaku
sejak dulu…”
“Listi, kamu pikir bila engkau mengurus rumah makan hal itu bukan sebuah pekerjaan?” potong ibunya
yang mulai kesal dengan kekeraskepalaan anaknya. “Kau justru akan disebut sebagai seorang wanita pengusaha. Pengusaha
rumah makan…”
“Ma, aku ingin benar-benar bekerja di
kantoran. Aku ingin mengenakan seragam kantor
atau mengenakan busana sebagaimana layaknya wanita yang bekerja
dikantoran.” Sahut Listi. “Bila aku bekerja dirumah makan, aku tidak perlu
berdandan setiap hari. Penampilanku biasa-biasa saja. Malahan lama-lama
penampilanku akan seperti layaknya seorang
koki…..”
“Penampilan saja kau permasalahkan!”
cetus ayahnya tak mengerti dengan jalan pikiran anaknya. Sekian puluh tahun
lalu dengan susah payah dia merintis usaha rumah makan. Dari sebuah rumah makan
sederhana hingga berkembang menjadi
sebuah rumah makan yang cukup besar.
Rumah makan yang dirintisnya dengan susah payah kini cukup dikenal dan banyak
pengunjung setiap hainya. Dengan harapan
kelak anak semata wayangnya ini akan meneruskan usahanya. Namun kini Listi
begitu keras kepala tak perduli dengan perjuangannya selama ini.
“Listi, dengan mengurus rumah makan pun
kau tetap akan bisa tampil gaya,
berdandan, seperti engkau sekarang ini…” ucap ibunya. Dia jadi tersenyum
sendiri dengan alasan anaknya. Menurutnya alasan itu sangat sepele.
“Ma, pokoknya tetap akan beda bila aku
bekerja dikantoran dengan aku bekerja dirumah makan. Titik.” Kata Listi
bersikukuh.
“Listi, alasanmu sungguh tidak masuk
akal. Kau hanya terbuai dengan masalah penampilan saja. Engkau tidak berpikir
luas, betapa engkau seharusnya bersyukur ayahmu sudah menyediakan sebuah
pekerjaan untukmu sehingga engkau tidak usah pergi kesana kemari mencari dan
melamar pekerjaan. ….” Ayahnya mulai
jengkel dengan anaknya. Suaranya mulai meninggi.
“Papa, aku sudah sering berkhayal, alangkah
menyenangkannya bila aku sudah bekerja, aku mengenakan seragam yang modis,
memakai sepatu hak tinggi, menjinjing tas yang serasi, dan aku berdandan
seperti layaknya wanita karier.” Kata Listi. “Disamping itu, dengan bekerja
dikantoran aku bisa mengembangkan kemampuanku secara oftimal. Aku lebih bisa
mengembangkan diri. Bekerja di kantoran sudah lama menjadi cita-citaku. Aku
punya obsesi sendiri dengan masa depanku.”
“Listi, papa pikir pikiranmu masih
terlalu kekanak-kanakan.” Ayahnya mulai mengaum. “Rumah makan ini adalah masa
depanmu yang sudah papa persiapkan jauh-jauh hari, puluhan tahun lalu, bahkan disaat usiamu masih kecil.”
“Aku bisa mencari masa depanku sendiri.
Papa sudah menyekolahkan aku. Papa sudah memberiku bekal pendidikan yang baik.
Dengan bekal pendidikan itu aku bisa mendapatkan pekerjaan dan merintis masa
depanku sendiri.”
“Dengar nak, kau anak papa satu-satunya,
atau rumah makan ini papa wariskan pada anak orang lain saja?” Ancam ayahnya.
“Tentu mama tidak setuju.” Tukas ibunya
cepat, khawatir suaminya bukan sekedar mengancam melihat kekeraskepalaan
anaknya. “Kenapa kita harus mewariskan
rumah makan ini pada anak orang lain bila kita sendiri masih punya anak?”
“Mama dengar sendiri dia tidak mau
meneruskan usaha rumah makan ini, kenapa kita harus memaksa anak kita bila dia
tidak mau? Coba kalau dulu papa menikah lagi dan punya anak lain, tentu anak
itu yang akan mewarisi rumah makan ini.” Sahut ayahnya, tersenyum pada ibunya.
“Tentu saja tak akan mama ijinkan papa
menikah lagi.” Tukas ibunya serius. Dia lalu menoleh pada Listi, tersenyum menatap anaknya yang keras kepala. “Kau pasti tidak mau papa mencari anak orang
lain untuk mendapatkan warisan rumah makan ini, kan?”
“Kenapa harus secepat ini aku
menggantikan papa dan mama mengelola rumah makan ini? Aku masih bisa meneruskan
usaha ini nanti, sepuluh tahun lagi atau lima belas tahun lagi. Untuk saat ini
biar aku mencari pengalaman dulu bekerja ditempat lain.”
“Bila engkau tidak belajar dari sekarang,
kau nanti tidak akan bisa mendadak mengelola rumah makan ini begitu saja. Segalanya
membutuhkan pengalaman dan belajar.” Ayahnya tidak mengaum lagi. Ayah tahu,
Listi belum memahami maksud dan tujuan baik kedua orangtuanya. Anak itu masih
perlu diberi pengertian.
“Lalu bagaimana dengan ijasah sarjanaku?
Aku hampir lima tahun kuliah di Bandung. Aku belajar keras agar aku bisa segera
menjadi seorang sarjana seperti harapan papa dan mama. Namun kini ketika aku
sudah selesai, aku tidak sempat memetik hasilnya.”
“Kau sudah memetik hasilnya, Listi. Di
kantor lain kau hanya sebagai staf. Tapi dirumah makan ayahmu ini engkau
langsung menjadi pimpinannya.” Ibunya tersenyum.
“Memang benar dirumah makan aku sebagai pimpinan
tapi bukan jabatan bergengsi. Aku tidak
punya kursi dan meja. Aku tidak memakai seragam. Dan stafku adalah tukang masak
dan pelayan rumah makan.” Listi
bersungut kesal. “Papa, jangan kandaskan cita-citaku. Sudah lama aku berkhayal
ingin bekerja dikantoran, punya meja dan kursi yang nyaman, setiap hari duduk
menghadapi computer…..”
“Bila kau ingin punya kursi dan meja,
semua itu gampang dan bisa diatur.” Kata ayah akhirnya, dengan nafas lega. “Kau
bisa memasang kursi dan meja seperti
halnya dikantoran disalah satu ruangan
disamping rumah makan dan kau duduk disana seperti layaknya seorang pemimpin
perusahaan.”
“Papa, aku tidak bercanda.”
“Papa juga tidak bercanda. Papa heran
dengan pikiranmu. Kursi dan meja saja kau persoalkan.”
Untuk masalah rumah makan Listi tidak mau berdebat lagi walaupun dalam
hatinya dia tetap berniat akan melamar pekerjaan ke perusahaan yang
diidamkannya. Pembicaraan diantara dirinya dan kedua orangtuanya berlanjut pada
hal lain. Mengenai hubungannya dengan Donie. Ayah dan ibu sudah mendesaknya agar hubungannya dengan Donie segera diresmikan sebagai suami istri
karena sekarang dia sudah menyelesaikan pendidikannya. Kedua orangtuanya
melihat hubungannya dengan Donie sudah cukup lama. Namun dia enggan bicara terbuka pada kedua orangtuanya
bila hubungannya dengan Donie saat ini terasa mengambang. Dia ragu bila hati Donie
masih kepadanya. Dia pernah memergoki Donie
tengah bersama dengan gadis lain. Hatinya sakit. Dan dia merasa semakin
sakit ketika Donie mengakui memang dirinya
tengah dekat dengan gadis itu. Bagaimana mungkin dia akan mengajak Donie bicara mengenai kelanjutan hubungan mereka
bila hati Donie saat ini bercabang dua.
Suara ketukan dipintu membuyarkan lamunan
Listi. Pintu terbuka. Yulia masuk. Rambutnya yang dicat kemerahan diikat
menjadi satu. Penampilannya selalu cantik, modis dan gaya.
“Halo sayang. Baru bangun?” Yulia masuk
dan duduk ditepi tempat tidur memperhatikan Listi yang masih bergulung selimut.
Yulia memperhatikan kertas-kertas yang berserakan diatas karpet. “Astaga. Masih
sibuk dengan urusan lamaran pekerjaan, ya?”
“Ya. Semalam aku membuat lagi beberapa
buah surat lamaran kerja. Aku tetap ingin bekerja dikantoran walau papa tetap
menginginkan aku meneruskan usaha rumah makan.” Sahut Listi masih agak
mengantuk. Waktu subuh dia bangun, shalat, lalu meneruskan tidurnya lagi
yang belum puas.
“Tidak usah jadi dilema. Jalani saja.
Kupikir kau juga jangan terlalu ngotot ingin bekerja dikantoran bila usaha
rumah makan ini lebih menjanjikan masa depan yang lebih baik buatmu. Jangan berpikir muluk bahwa
dengan bekerja dikantoran masa depanmu akan lebih terjamin. Jika aku menjadi
kamu, aku akan menuruti keinginan orangtua. Kenapa harus berpikir mencari
pekerjaan dikantoran bila ternyata sudah ada usaha yang pasti didepan mata.
Lebih baik kita realistis. Jaman sekarang mendapatan pekerjaan bukan hal yang
gampang walaupun kita sudah mengantongi ijazah sarjana. Jaman sekarang masih
banyak sarjana yang menganggur. Bila didepan mata kita sudah ada sebuah
kesempatan, kenapa kita tidak mengambil kesempatan itu saja?”
Listi hanya menguap mendengar ucapan
Yulia. Yulia mungkin benar, namun dia ingin merasakan bagaimana berkompetisi
untuk mendapatkan pekerjaan. Dia
menyibakkan selimut yang menutup kedua kakinya.
“Aku mandi dulu.” Kata Listi. “Nanti antar
aku ke kantor pos, ya. Aku tetap akan mengirimkan surat-surat lamaranku ke
beberapa perusahaan.”
“Oke.” Sahut Yulia. “Kau boleh mencoba
bagaimana susahnya mendapatkan pekerjaan. Bila usahamu berhasil, bisa bekerja
dikantoran, mungkin hokimu ada disana. Namun bila gagal, setidaknya engkau
sudah mencobanya dan sudah bisa merasakan betapa susahnya mendapatkan pekerjaan
dijaman sekarang ini.”
Listi mengeluarkan motornya. Selama
kuliah di Bandung dia tidak membawa motornya dan lebih menikmati naik angkutan
umum kesana kemari. Motor hanya dipakainya bila dia tengah pulang di Sumedang.
Sekarang setelah berada dirumah kembali, dia mulai menggunakan motornya itu
lagi pergi kesana kemari.
Menikmati kembali suasana Sumedang kota
kelahiran terasa sangat menyenangkan. Sumedang yang dikenal dengan sebutan kota
tahu sudah mengalami banyak perubahan namun mereka masih tetap merasa seperti suasana beberapa
tahun lalu ketika keduanya baru lulus
SMA. Motor yang dikendarai Listi melaju dijalanan yang tidak terlalu padat
dengan arus lalu lintas. Rasanya Sumedang masih tetap seperti Sumedang
empat tahun lalu ketika mereka baru
lulus SMA.
Yulia yang duduk dibelakangnya tidak
berhenti mengoceh, mengomentari suasana Sumedang. Setelah mengeposkan
surat-suratnya ke kantor pos, mereka berkeliling-keliling. Sinar mentari terasa
menghangatkan tubuh mereka. Mereka
melintas didepan sekolah mereka sewaktu SMA. Pohon beringin tua yang dulu
banyak berjejer disepanjang jalan didepan sekolah sudah tidak ada lagi. Listi
menghentikan motornya. Keduanya menatap pada bangunan sekolah mereka yang kini
sudah berubah dibanding empat tahun lalu ketika mereka baru lulus. Bangunan sekolah itu sekarang sudah
berlantai dua. Lapangan basket sudah ditata lebih baik lagi dibandingkan dengan
saat mereka masih sekolah disana dulu. Kini disisi kiri lapangan basket sudah
ada taman sekolah yang indah dan asri. Namun perubahan yang paling terasa, kini
tidak ada lagi pohon-pohon beringin tua yang berjejer disepanjang jalan didepan
sekolah yang membuat sekolah dahulu terasa rimbun dan teduh. Suasana rimbun dan
teduh itu kini tinggal kenangan.
“Kemana beringin-beringin disepanjang
jalan didepan sekolah kita?” tanya Yulia. “Kemana pohon-pohon beringin tua yang
membuat suasana sekolah kita dulu terasa nyaman dan sejuk?”
“Semuanya sudah habis ditebang.” Kata Listi.
“Diganti dengan pohon-pohon akasia.”
“Aku ingin sepanjang jalan di Sumedang
tetap rimbun dan teduh seperti dulu ketika dimasa kita masih SMP dan SMA. Kita
bisa menikmati keteduhan itu disepanjang jalan.”
“Sulit mempertahankan sebuah wajah
kota karena pembangunan terus menerus
terjadi bahkan pada Sumedang kota kecil ini sekalipun.” Sahut Listi. “Banyak
pengusaha yang menanamkan modalnya dalam berbagai macam usaha di Sumedang. Kau
lihat, kini di Sumedang sudah berdiri beberapa buah supermarket. Bandingkan
dengan dulu, banyak warga Sumedang yang berbelanja ke Bandung karena di
Sumedang masih kurangnya pusat-pusat perbelanjaan yang memenuhi selera
konsumen. Selain itu banyak tempat-tempat usaha lain yang berdiri. Banyak rumah
makan-rumah makan baru yang bermunculan. Banyak warung internet hampir disetiap
sudut kota. Banyak toko-toko baru. Selain itu, pelebaran jalan sudah dilakukan
beberapa kali untuk mengantisipasi kepadatan lalu lintas di Sumedang yang
semakin padat. Salah satu konsekwensi dari pelebaran jalan adalah dengan melakukan penebangan pada
pohon-pohon disepanjang jalan. Selain untuk pelebaran jalan, penebangan pohon
dilakukan karena sekarang sepanjang jalan kiri dan kanan dibuat trotoar. Wajah Sumedang tanpa disadari terus menerus
mengalami perubahan.”
“Rasanya baru kemarin kita melewati masa
remaja kita disekolah kita ini.” Yulia menghela napas dalam seakan meresapi
suasana disekitar sekolahnya dulu.
“Ya.” Listi mengangguk. “Rasanya memang seperti baru kemarin kita bersekolah
disini dan menikmati masa remaja kita yang penuh dengan beragam kenangan.”
“Lihat bangku ditaman itu. Bangku itu
masih ada disana. Dulu kita sering duduk disana makan baso sambil menonton yang
latihan basket.” Seru Yulia.
Ponsel Listi berbunyi. Winda menelepon.
“Lis, kamu dimana? Aku sekarang dirumahmu,
tapi kata ibumu kau dan Yulia tadi keluar.”
“Baru dari kantor pos.” sahut Listi.
“Sekarang sedang nangkring depan sekolahan kita. Bernostalgia.”
“Aku menyusul kesana sekarang.”
“Tidak usah kemari, kita sekarang sudah
mau pulang.”
“Oke, aku tunggu.”
“Maksudku, kita pulang kerumah Yulia.
Jadi kau tunggu kita disana, oke?”
“Oke.”
Winda sedang duduk santai diteras depan
ketika Listi dan Yulia tiba dirumah Yulia.
Persahabatan diantara mereka bertiga sudah terjalin sejak
masa SMA dulu. Mereka berusaha mempertahankan persahabatan itu. Jangan ada iri
dengki diantara mereka. Jangan ada saling membicarakan kejelekan mereka
diantara mereka. Jangan ada saling menjatuhkan diantara mereka. Itu komitmen
mereka bertiga ketika dulu semasa SMA mereka sekelas dan mulai menjalin
persahabatan. Sebenarnya dulu mereka berempat. Hani, salah seorang lagi sudah
tidak pernah bersama dengan mereka lagi. Tiga bulan menjelang kelulusan mereka
dari SMA. Hani tidak bisa memegang komitmen diantara mereka. Dia sering
membicarakan ketiganya pada teman-teman sekelas mereka yang lain. Menceritakan
apa yang mereka kerjakan dan menyampaikan sisi-sisi negative ketiga temannya. Ketika
ketiganya mengetahui Hani sering membicarakan kejelekan mereka pada teman-teman
yang lain, secara perlahan mereka menjauh dari Hani. Hingga akhirnya mereka
hanya bertiga. Hingga sekarang. Dikampus mereka memiliki teman-teman
masing-masing. Namun diluar kampus mereka tetap menjaga kekompakan mereka
bertiga. Bukan perkara mudah, namun kenyataannya persahabatan itu masih bisa
bertahan hingga mereka bertiga bisa menyelesaikan pendidikan di perguruan
tinggi dalam waktu bersamaan dan diwisuda dalam waktu yang sama.
Ketika Listi dan Yulia datang, Winda tengah duduk dikursi
rotan diteras depan.
“Coba kemari. Aku mau memperlihatkan sesuatu pada kalian.” Yulia mengajak Listi dan
Winda masuk kedalam garasi. Didalam garasi ada sebuah mobil sedan berwarna
merah jambu. Sebuah mobil sedan keluaran belasan tahun lalu namun catnya
kelihatan mengkilap sehingga seperti
mobil baru.
“Seminggu setelah
diwisuda aku mendapat hadiah sebuah
mobil sedan dari ayahku.” Kata Yulia dengan nada senang. “Bukan mobil baru.
Mobil bekas keluaran lima belas tahun lalu.
Sudah termasuk mobil kuno. Namun aku tetap gembira mendapat hadiah mobil dari ayahku.
Sudah lama aku ingin memiliki mobil sendiri, tidak harus
rebutan dengan mobil yang suka dipakai ayah dan ibuku. Mobil sedan ini semula berwarna putih namun aku memasukannya
ke bengkel dan merubah catnya menjadi berwarna merah jambu. Dengan warna merah
jambu, aku masih bisa tampil gaya dengan mobil kunoku ini, kan?” Yulia Ketawa. Dia senang ketika memamerkan mobilnya yang baru selesai
dicat pada Laras dan Winda. Penampilan Yulia sendiri sehari-hari jauh dari
sederhana. Semarak dengan warna. Ramai dengan asesoris. Hobinya belanja dan
berdandan.
“Memang mobilmu kelihatan
lebih gaya dengan warna merah jambu.”
Komentar Winda. “Tapi akan kelihatan
semakin gaya bila mobil itu membawa kita
jalan-jalan.”
“Jalan-jalan? Kemana? Oke. Mumpung kita masih menganggur,
mengapa kita tidak memanfaatkan kebersamaan kita ini sebelum kita nanti punya
kesibukan masing-masing yang membuat kita kesulitan untuk kumpul bersama.” Sahut Yulia. Dia menatap Listi dan Winda.
“Kemana kita akan jalan-jalan? Kau punya ide liburan kemana?”
“Bagaimana kalau ke Bali?” Tanya Winda.
“Bali? Naik mobil? Apa tidak terlalu
jauh? Aku tidak akan sanggup menyetir sejauh itu…….”
“Kita
menyetir bergantian?” tukas Winda.
“Bagaimana kalau ke Jogja saja?” usul
Listi.
“Jogja? Kita sudah dua kali liburan
bertiga ke Jogja. Bosan. Bagaimana kalau ke Puncak saja?” usul Yulia.
“Puncak? Kita sudah pernah berlibur
bersama ke Puncak. Lagi pula bila kita ke Jakarta, kita selalu melewati Puncak. Aku lebih setuju kita
berlibur ke Jogja. Tidak apa kita sudah dua kali liburan bersama ke Jogja.
Liburan di Jogja tidak pernah bosan.” Kata Winda.
“Oke, aku juga setuju.” Sahut Yulia
akhirnya.
Mereka sepakat berlibur ke Jogja. Liburan
bersama ke Jogja untuk ketiga kalinya. Sewaktu kuliah, mereka sudah dua kali
liburan bersama ke Jogya. Bukan hanya sekedar berlibur, namun menikmati
persahabatan mereka yang sudah terjalin sekian lamanya. Kebersamaan itu masih
milik mereka seperti ketika semasa SMA dulu. Sambil menunggu lamaran pekerjaan, lebih baik mereka
menikmati masa menganggur dengan berlibur bersama. Mumpung masih ada waktu
untuk bersama-sama. Sebelum mereka bertiga
akan segera disibukan dengan dunia baru mereka. Dunia kerja.
Bagi Listi, liburan ini sekaligus untuk
melepaskan dirinya sementara waktu dari persoalan yang tengah
dipikirkannya. Persoalan dengan ayahnya yang
tidak mengijinkannya bekerja ditempat lain dan juga persoalannya dengan Donie, lelaki yang
sudah hampir dua tahun mengisi hatinya.
Dia membutuhkan tempat untuk sementara waktu yang bisa membuatnya untuk beberapa saat
melupakan persoalannya dan menikmati hidupnya tanpa memikirkan persoalan
apapun. Ajakan Yulia dan Winda disambutnya dengan suka cita.
--- 0 ---
Sejak berangkat dari Sumedang mereka bergantian menyetir
mobil. Perjalanan yang mengasyikan, melelahkan juga mendebarkan karena Yulia
belum lama mengenal mobilnya dan dia masih kurang faham dengan mesin mobilnya.
Mobil mogok beberapa kali ditengah jalan. Beruntung Winda cukup hapal soal mesin karena terbiasa
menggunakan mobil ayahnya dan bisa sedikit mengotak-atik mesin. Ketika mesin
mobil sudah lancar tidak ada masalah lagi, ditengah perjalanan mereka menyadari
ada yang tidak beres lagi dengan mobil merah jambu Yulia. Beruntung kali itu
mobil mogok didepan sebuah bengkel.
Pemilik bengkel menghampiri mereka.
“Wah, kipasnya tidak jalan, neng.” Kata pemilik bengkel itu
usai memeriksa mobil mogok itu.
“Jadi bagaimana?” Tanya Yulia yang kelihatan sabar menghadapi
kerewelan mobil hadiah ayahnya yang sudah dianggap soulmatenya, yang sejak
dimilikinya setia menemaninya kesana kemari dan membuatnya lebih gaya daripada naik turun angkot.
“Rupanya harus diganti kipasnya.”
Dengan cekatan pemilik bengkel itu membongkar kipas mobil
dan memeriksanya.
“Lihat, kipasnya
sudah tidak jalan. Harus diganti.” Kata pemilik bengkel itu memperlihatkan
kipas yang sudah tidak berfungsi lagi kepada Yulia, Winda dan Listi yang
memperhatikan dengan seksama pemilik bengkel yang tengah bekerja itu.
“Kalau memang sudah
tidak berfungsi lagi, ya tolong diganti saja, pak. Kemana harus membeli kipas
itu?” Tanya Yulia yang kelihatan pasrah.
“Disini juga ada.” Lelaki itu masuk kedalam bengkelnya dan
kembali dengan sebuah kipas baru.
Sesaat Yulia dan pemilik bengkel itu tawar menawar harga.
Setelah harga disepakati barulah pemilik bengkel itu mengganti kipas dengan
yang baru. Bukan main senang ketika mereka sudah bisa melanjutkan kembali
perjalanan. Namun baru empat jam menempuh perjalanan, ketika Winda yang tengah
kebagian giliran menyetir mobil,
tiba-tiba dia melihat asap mengepul
keluar dari kap mobil.
“Astaga kenapa lagi?” tanya Winda, Yulia dan Listi hampir
bersamaan.
Mereka terkejut melihat asap yang mengepul pada kap. Winda
bergegas menepikan mobil kepinggir jalan. Ketiganya bergegas turun dari dalam
mobil. Winda membuka kap mobil. Mobil mengepul panas.
“Aduh, kenapa lagi nih?” tanya Yulia. Dia tidak berani
menyentuh apapun. Hanya menatap bingung dan bengong.
“Aku juga tidak tahu.” Sahut Winda tidak kalah bingungnya.
“Inilah resikonya bila perempuan semua yang melakukan perjalanan. Kita jadi
kebingungan sendiri bila tidak membawa laki-laki.”
“Bawa laki-laki juga percuma kalau dia tidak tahu mesin.”
Tukas Yulia.
Seorang pengendara motor yang lewat memperhatikan ketiga perempuan itu yang
tengah berdiri berjejer didepan mobil
dengan kap terbuka yang mengeluarkan asap yang mengepul. Dia menghentikan motornya dan menghampiri mereka.
Lelaki itu turun dari motornya diikuti temannya yang diboncengnya.
“Ada apa, mbak?” tanya lelaki itu. Dia memperhatikan kap
yang mengepul.
“Mobil saya, mas. Tidak tahu kenapa. Tiba-tiba saja keluar
asap.” Sahut Winda.
“Coba saya
periksa.” Kata lelaki itu sambil
memperhatikan radiator yang mengepul panas.
“Mungkin radiatornya bocor, mbak.”
“Lalu bagaimana?” tanya Yulia. Dia menatap lelaki itu.
“Mas bisa bantu?”
“Saya coba lihat dulu
kenapa.” Kata lelaki itu. Lalu dia membuka tutup radiator. Asap semakin banyak
yang keluar. Air yang mendidih muncrat keluar. Serentak Yulia, Winda dan Listi
mundur dengan kaget, takut terkena cipratan air panas yang keluar dari tutup
radiator.
Yulia kelihatan cemas. Dia memperhatikan asap
yang masih mengepul. “Jangan-jangan mobilku bakal meledak, nih.”
Kata Yulia khawatir.
“Jangan khawatir.” Kata Winda. “Sudah biasa dalam perjalanan
kita mendapatkan sedikit kesulitan seperti ini.”
Lelaki itu memeriksa radiator. “Radiatornya bocor. Harus
ditambal dulu.”
“Lama tidak?” tanya
Yulia. Dia melihat jam tangannya. Perjalanan mereka masih jauh. Dia khawatir
kemalaman tiba di Jogya.
“Paling satu jam-an. Kalau bocor terpaksa harus ditambal
dulu, neng.”
Yulia mengangguk. Tidak ada jalan lain kecuali membiarkan
lelaki itu membongkar radiator dan percaya lelaki itu akan bisa menolongnya
memperbaiki kerusakan itu. Sepertinya lelaki itu sudah biasa menangani
mobil-mobil yang mogok dijalan.
“Benar mbak, radiatornya bocor. Lihat.” Lelaki itu
memperlihatkan radiator yang bocor. Air menetes pada bagian yang bocor.
“Harus ditambal dulu.”
“Mas bisa?” tanya Yulia.
“Bisa.” Sahut lelaki itu.
“Mas kerja dimana?” tanya Winda.
Tanpa menoleh, sambil terus bekerja lelaki itu menjawab,
“Saya kerja di bengkel. Saya sudah biasa memperbaiki kerusakan-kerusakan pada
mobil yang punya masalah ditengah perjalanan, mbak. Apalagi dihari-hari libur
panjang biasanya banyak mobil yang
mendapatkan masalah ditengah jalan, ketika tengah menghadapi antrean
kendaraan.”
Sambil menunggu
lelaki itu yang bekerja dibantu temannya yang beberapa kali bolak balik dengan
motornya lalu kembali lagi membantu lelaki itu, Listi, Yulia dan Winda duduk beristirahat dipinggir jalan. Dibawah sebatang pohon yang
rindang. Mereka mengeluarkan bekal makanan dan minuman dari dalam mobil dan
menggelar sehelai tikar dibawah pohon. Winda membuka bungkusan bebek panggang
yang sengaja dipesannya untuk bekal diperjalanan. Listi membawa gepuk dan nasi
timbel. Yulia membawa ayam goreng.
“Sambil menunggu mobil kita makan saja dulu.” Kata Yulia.
“Perutku rasanya lapar sekali. Stres juga aku dengan mobilku ini.”
“Tidak usah dipikirkan.” Sahut Winda. “Yang penting
segalanya beres walaupun ada sedikit hambatan.”
Mereka makan sambil sesekali memperhatikan kendaraan yang
lalu lalang. Angin berembus sepoi-sepoi. Terasa segar sekali. Perlahan
ketegangan yang mereka rasakan mulai mengendur. Mereka mulai merasa tenang lagi
dan percaya segala sesuatunya akhirnya akan beres juga.
“Aku jadi malu pada kalian. Aku membangga-banggakan mobilku ini namun ternyata perjalanan kita terganggu.” Kata
Yulia. “Aku selama ini hanya tahu memakai mobil saja. Aku tidak pernah belajar
mengutak-atik mesin mobil dan segala macam tetek bengeknya.”
“Sekarang kau jadi punya pengalaman dan jadi lebih
mengetahui soal mesin mobilmu. Mudah-mudahan ini terakhir kali mobilmu mendapat
masalah. Setelah ini perjalanan kita akan lancar hingga kita tiba di Jogya.”
Hibur Listi.
“Pengalaman mengajari kita banyak hal.” Sambung Winda. Dia
tersenyum menatap Yulia. “Lain kali
minta babe membelikan mobil baru.” Usul Winda.
“Nanti kalau aku kawin, aku akan minta dibelikan mobil
baru.” Yulia ketawa. Dia kelihatan
santai lagi, tidak setegang tadi lagi.
“Ayah pernah bilang, bila aku
kawin akan membelikan aku mobil baru.”
“Kalau begitu cepat-cepat kawin.” Kata Winda dan Laras
bersamaan sambil mereka ketawa.
“Tentu saja aku mau kawin.
Tapi nanti. Dua atau tiga tahun lagi.
Ayah bilang begitu karena sudah
tidak sabar ingin melihat si bungsu segera menikah. Maklum ayah sudah ingin segera punya cucu dari aku.”
Yulia ketawa.
“Pasti ayahmu punya maksud bicara begitu.” Laras menoleh
pada Winda sambil tersenyum. “Mungkin ayahmu ingin kau menerima Wisnu dan segera
menikah dengannya.”
“Tidak. Aku tak akan bisa menikah dengan Wisnu. Dia selalu
meledek aku sebagai boneka dan Miss Shopping. Ayahku tidak tahu itu. Dan
mengira bahwa aku dan Wisnu baik-baik saja.”
“Soal sepele. Mungkin Wisnu hanya sekedar bercanda mengatakan
itu padamu.”
“Tidak. Kukira Wisnu serius. Dia selalu berulangkali
mengatakan hal itu padaku. Dia lebih suka pada gadis yang berpenampilan
sederhana dan yang bisa hidup hemat..”
“Kalau begitu kau ikuti kemauannya, berubahlah.”
“Kenapa aku harus mengikuti kemauannya?” Yulia menoleh pada
Listi. “Masa muda hanya sekali. Kurasa aku hanya satu periode mengalami
masa-masa seperti ini. Bila aku sudah tua, aku mungkin sudah akan jauh berubah
dari aku sekarang ini dan aku sudah tidak tertarik lagi dengan hal-hal yang
kulakukan sekarang disaat aku masih muda.”
“Wisnu laki-laki tampan dan menarik. Dia juga baik hati.”
“Ya. Namun dia sangat
senang mengkritik aku……...”
“Bila kritikannya dengan tujuan agar engkau lebih baik lagi, kenapa tidak?”
Yulia menghela napas. “Tapi bila terlalu sering memberikan
kritikan membuat aku merasa tidak tenang bila tengah didekatnya, aku merasa dia
seakan memperhatikan aku terus dari ujung kepala hingga ujung kaki, penampilanku,
apapun yang kukenakan, naju, asesoris, aku jadi tidak nyaman bila tengah
bersamanya.”
“Yulia, tidak ada manusia yang sempurna. Mungkin itu
kekurangan Wisnu. Menurutku hal itu hanyalah hal sepele yang tidak perlu engkau
permasalahkan. Cobalah engkau melihat
Wisnu sudah bekerja disebuah perusahaan yang cukup bonafide. Dia sudah memiliki
masa depan yang bagus. Dan dia berasal dari keluarga baik-baik. Ayahnya adalah
sahabat ayahmu. Seharusnya hal-hal seperti itu yang engkau pikirkan dan engkau
pertimbangkan.” Tukas Winda.
“Aku masih punya banyak kesempatan untuk mengenal laki-laki
lain.” sahut Yulia. “Kurasa setelah ayah
mengenalkan aku dengan Wisnu, ayah terlalu tergesa-gesa berharap perkenalan itu
akan berlanjut pada hubungan yang serius. Tidak, aku tidak mau dipaksa.”
“Ayahmu sangat
mencintaimu, Yulia. Kau anak bungsu. Ayahmu
pasti ingin melihatmu bahagia dan menikah seperti ketiga kakak
perempuanmu.”
“Aku pasti menikah tapi tidak sekarang ini.”
“Usia kita sekarang sudah
duapuluh empat tahun…..”
“Ah, masih muda. Kita baru lulus kuliah. Dan kurasa aku
tidak perlu seperti orang yang takut
ketinggalan kereta sehingga harus
tergesa-gesa menikah. Aku masih ingin
menikmati masa mudaku. Jaman sekarang sudah lazim menunda dulu pernikahan. Aku
perhatikan sekarang makin banyak wanita yang diusia lebih tigapuluh tahun
bahkan sudah mencapai usia empatpuluh tahun belum menikah. Jaman kan sudah
berubah. Perempuan jaman sekarang cenderung menikmati dulu kehidupan lajangnya
sebelum menikah. Walaupun banyak juga yang menikah diusia muda. Menurutku sih,
semua itu tergantung soal jodoh. Urusan jodoh kan Allah yang menentukan. Bila
sudah waktunya, jodoh itu akan datang dengan sendirinya.”
Lelaki itu selesai menambal
radiator dan memasangnya lagi pada tempat semula. Dia menghampiri Yulia.
“Mbak, sudah selesai.” Kata lelaki itu.
“Dijamin tidak akan bocor lagi sampai ke Jogya?” tanya Yulia
yang langsung bangkit akan memeriksa mobilnya.
“Insya Allah, mbak. Tidak akan bocor lagi. Jangan lupa
sebelum menggunakan mobil memeriksa air
dan menambahnya bila sudah kurang.” Kata lelaki itu.
Yulia sempat tawar
menawar upah jasa dengan lelaki itu. Yulia merasa lelaki itu terlalu mahal
minta upahnya. Akhirnya lelaki itu menurunkan harganya sedikit. Setelah Yulia membayar upah jasa pada lelaki itu, mereka melanjutkan
kembali perjalanan. Winda tetap yang menyetir mobil. Setelah radiator
ditambal, perjalanan ke Jogya
berlangsung lancar. Lega rasanya ketika mobil sudah masuk kota Jogya.
--- 0 ---
“Akhirnya kita tiba
juga di Jogja! Senangnya!” Suara Winda terdengar lega.
Listi ikut merasa
lega. Perjalanan panjang dari Sumedang akhirnya berakhir ditempat tujuan. Mobil yang dikemudikan Yulia meluncur
dijalanan kota Yogyakarta. Listi yang duduk disamping Yulia segera mengambil
ponselnya. Dia harus segera memberitahu ibunya bahwa dirinya dan kedua temannya
sudah tiba di Jogja dengan selamat.
“Ma, aku sudah sampai di Jogja. Sekarang sedang mencari hotel.” Listi memberitahu ibunya.
“Mama semalaman cemas.” Suara ibunya terdengar lega. “Kalian
melakukan perjalanan bertiga perempuan semua. Dijalan tidak ada apa-apa, kan?
Mama khawatir kalian tidak istirahat
dijalan karena ingin segera sampai. Tapi Yulia tidak ngebut, kan?”
“Kita bertiga bergantian menyetir mobil. Kalau Yulia terus yang nyetir kasihan dia. Kita beberapa kali istirahat. Makan. Shalat. Menikmati pemandangan
disepanjang jalan. Yang jelas sekarang
sudah sampai di Jogya.”
“Tidak usah kau bilang bahwa sepanjang
jalan kita mendapat kesulitan, mobil mogok beberapa kali, radiator bocor, kipas
tidak jalan….” Winda yang duduk dibelakang bergegas mengingatkan Listi, yang
suka panjang lebar bila bercerita pada ibunya.
“Lusa aku pulang lagi ke Sumedang dengan membawa oleh-oleh
bakpia dan yangko kesukaan mama, ya.
Salam sama papa ya, ma.” Listi mengakhiri
telepon singkatnya. Dia menutup ponsel, lalu menoleh pada Winda sambil
tersenyum. “Jangan khawatir, cerita itu
akan kusimpan hingga aku pulang ke Sumedang nanti, sebagai pelengkap
cerita dari photo-photo liburan kita.
Mama nanti pasti ingin mendengar ceritaku.”
Yulia berkeliling-keliling memperhatikan jalanan sambil mencari-cari hotel yang akan mereka tuju. Hotel yang
sama seperti ketika mereka libur bersama
untuk kedua kalinya ke Jogja hampir tiga tahun lalu. Yogyakarta masih tetap menjadi tempat liburan yang
menarik buat mereka. Kali ini untuk ketiga kalinya mereka liburan bertiga ke
Yogyakarta. Namun liburan bersama kali ini mungkin yang lebih berkesan. Mereka bertiga baru menyelesaikan pendidikan mereka dan diwisuda sama-sama. Alangkah indahnya
kebersamaan diantara mereka yang sudah terjalin sekian tahun lamanya sejak
mereka masih di SMA.
“Kamu masih ingat dihotel mana dulu kita menginap?” Tanya
Listi ketika Yulia masih
berkeliling-keliling sambil mengamati
jalanan.
“Tentu saja aku masih ingat, hanya aku lupa lagi jalannya
kesana.” Yulia memperhatikan nama-nama jalan yang dilewatinya. “Nah, sekarang
aku ingat. Kita masuk lewat jalan sini.”
Yulia membelokan mobilnya kesebelah kanan, menerobos jalanan
yang dipadati kendaraan. Mobilnya merayap. Yulia memperhatikan hotel-hotel
disepanjang jalan.
“Nah, itu dia hotelnya!” kata Yulia sambil menunjuk hotel yang tidak begitu jauh didepannya.
Disebelah kiri jalan.
“Yah, benar. Aku sekarang ingat, itu hotel tempat kita menginap ketika
liburan bersama tiga tahun lalu. Asyik.
Aku sudah tidak sabar ingin segera mandi. Badanku gerah rasanya.” Kata Winda gembira.
Mobil meluncur menuju hotel.
Yulia memasukan mobil kehalaman
hotel yang teduh dan sejuk dengan pepohonan yang rimbun. Pelataran parkirnya
cukup luas. Beberapa buah mobil sudah mengisi tempat parkir.
“Nah, akhirnya kita
sampai di hotel.” Kata Yulia lega.
“Biar aku saja yang mendaftar kamar untuk kita, kalian bawa
barang-barang kita semuanya masuk kedalam.” Kata Winda. Dia turun lebih dulu
dan segera masuk ke lobi hotel.
Sambil menunggu Winda yang tengah mengurus kamar untuk
mereka, Listi dan Yulia menurunkan barang-barang bawaan mereka dari dalam bagasi. Mereka membawa
barang-barang bawaan mereka kedalam lobi hotel. Winda baru selesai mendaftar.
“Kita istirahat dulu. Mandi. Nanti malam kita keluar lagi.”
Kata Winda dengan kunci kamar ditangannya. Dia tersenyum melihat kelelahan diwajah
Yulia dan Listi. Kondisi yang sama dengan dirinya. “Kita memang cape melakukan
perjalanan panjang dari Sumedang, tapi ngapain kita liburan kalau cuma tidur saja
dikamar.”
“Tentu saja nanti malam kita keluar dan berkeliling mencari
makan malam. Aku ingin makan malam dengan gudeg.” Kata Yulia. Kurang pas rasanya jika ke Yogyakarta tidak
mencicipi gudeg yang merupakan makanan khas kota ini. Tidak sulit mencari gudeg
karena hampir disetiap penjuru kota
dapat ditemukan para penjual gudeg dengan ciri khas masing-masing. Dari
pagi sampai malam.
Mereka mencari kamar dilantai dua dengan kedua tangan
masing-masing menjinjing tas-tas mereka.
Kamar itu berisi tiga buah tempat tidur. Winda meminta kamar yang
menyediakan tiga buah tempat tidur. Winda membuka kunci kamar. Menyalakan lampu
dan menaruh tas-tasnya disudut kamar.
“Lega rasanya sudah ketemu kasur.” Kata Yulia sambil
membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur yang dekat jendela. Tubuhnya terasa
penat. Pikirannya juga terasa bekerja terus sepanjang perjalanan, dilanda
kekhawatiran mobilnya akan bermasalah lagi. Sesaat kemudian dia bangun lagi dan menyibakkan gorden melihat kolam renang dibawahnya. Airnya biru
dan jernih. “Segar rasanya bila aku bisa
nyebur kedalam kolam itu.”
“Waktu liburan yang lalu, kita sempat berenang dikolam itu.”
Kata Listi. “Sekarang masih berani berenang lagi?” Listi tertawa. Tiga tahun
lalu rasanya mereka masih muda remaja. Kini usia mereka sudah bertambah. Malu
bila berenang lagi seperti dulu.
Winda meringis. “Aku sudah lama tidak pernah berenang lagi.”
“Siapa yang akan mandi duluan?” tanya Yulia. Dia sudah ingin segera mandi, menggosok tubuhnya
dengan sabun dan berkeramas. Rambutnya terasa lengket.
“Aku duluan deh. Kamu tentu yang terakhir, Yulia. Mandimu
lama banget. Seperti puteri raja saja.”
Winda mengeluarkan handuk,
perlengkapan mandi dan baju ganti dari
dalam tasnya walaupun dikamar mandi sudah tersedia beragam perlengkapan mandi.
“Oke.” Sahut Yulia. “Sampai sekarang aku belum bisa mandi
cepat-cepat, apalagi sekedar kecipak-kecipak lalu keluar lagi……”
“Pokoknya aturan tidak tertulis, kalau kita sedang bersama, selalu
kau yang mandi paling akhir. Aku dan Listi tidak mau lagi terus menerus
menggedor pintu kamar mandi menyuruh kau cepat keluar seperti pengalaman yang lalu waktu kita tengah libur bersama.” Tukas Winda sambil
masuk kekamar mandi.
Sambil menunggu giliran mandi, Listi menyalakan televisi.
Dia tersenyum melihat salah satu saluran di televisi yang tengah menyiarkan pertunjukan
drama. “Drama. Aku jadi ingat dulu kita bertiga pernah ikut pementasan drama di sekolah wakatu ada perlombaan drama
antar kelas. Kelas kita juara pertama. Saat itu akting kita dinilai bagus. Kenapa
tidak ada diantara kita yang meneruskan bakat akting dan menjadi bintang film?”
“Aku pernah ikutan casting.” Sahut Yulia. “Tapi tidak lolos.
Ternyata akting itu tidak mudah. Dulu waktu di SMA kita bagus berakting karena ada motivasi
dibelakangnya.”
“Ya.” Listi tersenyum. “Sainganmu soal cowok, Pebby, ikutan
jadi pemain drama dikelasnya. Kau tidak mau kalah oleh dia. Aku dan Winda hanya
mendukungmu saja agar penampilan kelas kita yang terbagus. Itu
yang membuat kita termotivasi untuk melakukan acting sebaik-baiknya. Malah
habis-habisan sampai kita disorakin oleh seluruh penonton.”
Listi dan Yulia tertawa geli. Teringat waktu SMA dulu. Ketika
di SMA, mereka berempat, dengan Hani, sangat aktif dengan segala macam kegiatan di sekolah.
mereka senang melakukan banyak kegiatan. Ketika ada perlombaan drama antar kelas,
mereka juga tidak mau ketinggalan ikut tampil. Dan berhasil menjadi juara.
“Kenapa dulu urusan cowok pun selalu menjadi motivasi untuk
bersaing?” tanya Yulia.
“Karena usia kita masih muda. Diusia kita saat itu yang
masih remaja, selalu ada keinginan
dalam diri untuk bersikap kompetitif dalam hal sekecil apapun. Namin bila kita
semakin bertambah dewasa, kita akan
semakin bijak menyikapi segala permasalahan dan tidak selalu harus merasa
tersaingi oleh orang yang kita anggap saingan kita dalam suatu hal.”
“Yah, mungkin kau benar. Sewaktu kuliah, beberapa kali aku
terlibat cinta dengan lelaki yang memiliki perempuan lain yang menyukainya. Aku
tahu perempuan itu menyukai lelaki yang menjadi pacarku. Namun kenyataannya aku
menanggapinya biasa-biasa saja. Aku tidak merasa takut direbut atau merasa ada
perempuan lain yang mencoba menyaingi lelaki yang kusukai.”
Winda keluar dari kamar mandi, Listi segera masuk. Segar
rasanya ketika tubuh yang penat dan berkeringat diguyur air hangat. Tubuh
rasanya kembali terasa segar. Listi keluar, Yulia langsung masuk. Dia belum bisa mandi cepat. Hampir setengah
jam berada dikamar mandi, keluar lagi dengan rambut yang basah dan wajah yang
segar.
“Pulang berlibur aku
berharap ada lamaranku yang diterima.” Kata Winda sambil mengenakan baju dan
berdandan. “Aku ingin bekerja diswasta. Itu cita-citaku. Aku sengaja mengambil jurusan
ekonomi agar aku bisa lebih fleksible bekerja diperusahaan. Aku sudah
mengirimkan lamaran kebeberapa
perusahaan. Moga ada salah satu lamaranku yang diterima.”
“Aku juga ingin kerja diswasta. Aku ingin kerja di bank.
Kemarin aku sudah mengirimkan lamaran pada beberapa bank swasta. Tapi aku juga mengirim lamaran
kebeberapa perusahaan. Namanya juga usaha, kirim aja lamaran
sebanyak-banyaknya, sambil menunggu mana yang mendapat tanggapan dan menerima
aku.” Kata Listi.
“Bagaimana dengan rumah makan ayahmu? Kau anak satu-satunya,
pastinya kelak rumah makan itu akan berpindah ketanganmu.” Ujar Yulia.
“Papa sudah beberapa kali mengatakan hal itu kepadaku. Namun
aku juga punya cita-cita sendiri. Kupikir aku lebih baik memiliki pekerjaan
sendiri. Soal rumah makan kelak akan berpindah padaku, kupikir itu urusan
nanti. Yang kupikirkan adalah masa sekarang.” Sahut Listi.
“Dan kau? Mestinya kau kerja di salon atau butik. Minatmu
pada urusan kecantikan dan mode pasti akan banyak menunjang pekerjaanmu bila
engkau bekerja di salon atau di butik.” Winda tersenyum pada Yulia yang tengah mengoleskan handbody pada
tangan dan kakinya.
Yulia tertawa. “Kerja di salon atau di butik pasti asyik
juga. Tapi tante Indri, adik ayah, bilang akan membantu aku mendapatkan pekerjaan
diperusahaan salah seorang kenalannya. Kupikir tawaran tante Indri sangat menarik dan
aku tidak ingin menyia-nyiakannya.”
“Konon kata orang soal pekerjaan juga jodoh-jodohan. Kalau
memang pekerjaan itu jodoh kita, tidak akan kemana-mana.” Kata Winda.
“Siapa tahu meneruskan usaha rumah makan orangtuamu adalah jodohmu dibidang pekerjaan, Listi. Jadi engkau
tidak usah susah payah lagi mencari pekerjaan.”
Malam itu mereka jalan-jalan ke Malioboro sambil mencari
makan. Mereka makan lesehan dengan ayam bakar. Juga memesan gudeg. Seperti
biasanya Malioboro selalu ramai. Pedagang-pedangan menggelar dagangannya sepanjang
jalan. Beragam macam barang yang dijajakan. Menikmati suasana malam di
Malioboro selalu mengesankan. Sebagai tempat
wisata belanja, kawasan Malioboro selalu menjadi pilihan yang tak ingin dilewatkan dengan
segala aneka cendera mata dengan harga murah. Sudah dua kali mereka libur
bersama ke Yogya, jalan-jalan di Malioboro selalu yang paling mengasyikan. Malioboro
merupakan kawasan wisata belanja yang lengkap. Mulai dari pasar tradisional,
pedagang kaki lima sampai pusat perbelanjaan modern ada disana. Aneka pilihan
suvenir ditawarkan oleh para pedagang kaki lima yang memenuhi sepanjang jalan
Malioboro. Dipertokoan juga banyak dijual batik dengan motif dan desain unik.
Harga yang ditawarkan pun bervariasi, mulai dari yang murah hingga berkelas. Menjelang
malam mereka pulang kembali ke hotel
dengan membawa beragam bungkusan belanjaan.
Walaupun lelah, namun
kantuk belum juga datang. Listi
membaringkan tubuhnya sambil sesekali memperhatikan siaran televisi. Yulia asyik dengan kegiatan rutinnya menjelang tidur. Membersihkan
sisa-sisa make-up diwajahnya, lalu mengoleskan cream malam.
“Bila kita rutin merawat wajah kita setiap hari, kita
bisa mencegah penuaan dini tanpa harus
repot dengan segala macam vitamin dan suplemen untuk mencegah penuaan dini.”
Kata Yulia memberi teori. “Kita hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk
mengurus wajah kita sebelum tidur namun hasilnya dapat kita rasakan
setelah kita tua nanti.”
Winda membuka bungkusan keripik paru yang tadi dibelinya.
“Aku sering merasa bersyukur, selama ini kita sudah cukup
lama bersama-sama.” Kata Winda sambil menikmati keripik paru yang gurih dan
renyah dan menawarkannya pada Yulia yang sudah selesai dengan acara ritualnya
mengurus wajah. “Kita sekolah di SMA sama-sama, kuliah sama-sama walaupun
berbeda jurusan. Kebersamaan diantara kita ini patut kita syukuri. Persahabatan
kita bisa bertahan hingga beberapa tahun lamanya. Aku kadang suka berpikir,
siapa tahu nanti kita akan menikah bersamaan waktunya.”
“Hm, enak.” Komentar Yulia. Dia ketawa. “Maksudku keripik
paru ini. Wah, rasanya aku sudah tidak
sabar ingin segera mengenakan pakaian pengantin dan bergandengan dengan
pengantin lelakiku. Pikiranmu mungkin saja menjadi kenyataan, siapa yang tahu
jodoh kita datang bersamaan waktunya dan kita menikah dalam waktu yang hampir
bersamaan.”
“Benar. Aku suka berpikir begitu. Tapi ngomong-ngmong, bagaimana
bila kita menikah bersamaan waktunya?” Usul Winda.
“Bersamaan? Bagaimana mungkin! Jodoh kita tidak kita tahu
apakah datangnya akan bersamaan.” Listi tertawa. Dia ikut menikmati keripik paru yang gurih dan renyah itu. “Bagaimana
bila jodohmu yang datang lebih dulu? Atau jodoh Yulia yang datang lebih
dulu? Tentu kau atau Yulia tidak harus
menunggu aku agar kita bisa kawin bareng.”
“Tapi bila jodoh kita datang bersamaan, kita bisa menikah
berbarengan.” Sahut Winda kalem, seakan menganggap hal itu sesuatu hal yang
mudah terjadi. “Dan kita pilih bulan
desember untuk bulan perkawinan kita
itu. Desember merah jambu.”
“Desember merah jambu?”
“Yah, desember merah jambu sebagai warna romantis perkawinan
kita bila kita ternyata benar bisa menikah dalam waktu sama, misalkan sama-sama
menikah di bulan desember.”
“Asyik bila kita bisa menikah bersamaan waktunya. Tapi
ngomong-ngomong, siapa diantara kita yang sekarang sudah punya calon suami?”
Tanya Listi.
Yulia dan Winda langsung tersenyum.
“Mungkin engkau yang kelihatannya sudah punya calon suami.”
Kata Winda. “Hubunganmu dengan Donie sudah serius sekali.”
Listi mengangkat bahu. Dia tidak bisa memastikan akan
menikah dengan Donie. Hubungan mereka seolah berjalan lancar. Namun tidak ada
yang tahu bahwa dirinya gamang dengan kelanjutan hubungan mereka. Donie memang
baik dan kelihatan mencintainya, namun Donie belum juga menunjukan sikap yang
serius akan membawa hubungan mereka kearah perkawinan. Beberapa kali Listi
mencoba memancing pembicaraan kearah sana, namun Donie selalu berusaha
mengalihkan pembicaraan sehingga membuat Listi merasa bahwa Donie belum siap
diajak bicara mengenai soal perkawinan mereka.
“Aku malah berpikir, kau yang kelihatannya sudah menemukan
lelaki yang serius, Win.” Kata Listi.
Winda hanya tersenyum. “Aku sudah putus dengan pak Agung
empat bulan lalu.” Sahut Winda.
“Masa?” Yulia dan Listi menatap Winda hampir tak percaya.
Mereka tahu bagaimana Winda dan Agung kelihatan saling mencintai dan saling
menyayangi walaupun ada jarak usia yang cukup jauh diantara Winda dan Agung,
namun perbedaan usia dua puluh delapan
tahun itu dulu seakan bukan masalah buat Winda dan Agung. Winda
kelihatan menemukan kenyamanan bersama dengan lelaki yang usianya cukup jauh
darinya.
“Kenapa putus?” tanya Yulia. “Kau baru sekarang cerita sudah
putus dengan pak Agung.”
“Aku memang tidak ingin cerita soal putusnya hubunganku
dengan pak Agung. Biarlah cerita itu menjadi milik kami berdua.” Sahut Winda.
“Aku memang sedih hubunganku dengan pak Agung yang walaupun berjalan hanya enam
bulan ternyata harus putus, namun mungkin ini adalah keputusan yang terbaik untuk
kami berdua. Kukira aku tidak mungkin meneruskan hubunganku dengan pak Agung.
Usia kami berbeda dua puluh delapan tahun.
Sejak awal berhubungan aku sudah ragu
dengan hubungan kami karena pak Agung
tidak mengharapkan memiliki anak bila kelak kami menikah karena pak Agung sudah memiliki tiga orang anak dari perkawinannya terdahulu. Dan
ketiga anaknya sudah dewasa. Hubungan
itu membuat aku sering merasa ragu
karena aku sendiri sudah pasti akan
menginginkan anak yang lahir dari rahimku sendiri bila kelak aku menikah. Enam
bulan aku menjalin hubungan dengan pak Agung
hingga menjelang saat aku akan
menyelesaikan kuliah, aku mengambil
keputusan untuk berpisah saja. Aku tidak
akan bisa mengikuti keinginan pak Agung. Dan pak Agung juga tidak memahami perasaanku.
Kupikir lebih baik kami berpisah dan
mencari yang lain.”
“Tapi, bukankah engkau mencintai pak Agung?” ucap Yulia.
“Ya.” Sahut Winda. “Terus terang saja, aku memang mencintai
pak Agung. Namun cinta saja tidak cukup untuk membangun sebuah perkawinan. Apa
yang akan aku harapkan dari perkawinan dengan pak Agung bila sebelum pernikahan
itu terjadi pak Agung sudah mengatakan terus terang tidak menginginkan memiliki
anak dari aku?”
Mendadak airmata Winda menggenang. “Terus terang aku merasa
sedih. Namun kemudian aku memahami kenapa pak Agung memiliki keinginan seperti
itu? Ternyata trauma perkawinan istrinya berselingkuh dan meninggalkan dirinya
bersama dengan ketiga anaknya yang saat itu masih kecil-kecil, sangat membekas
dalam hatinya. Dia takut bila kelak menikah dengan aku, dia akan mengalami
kejadian yang sama seperti dengan istrinya terdahulu. Kukira ketakutan itu
terlalu berlebihan, namun kemudian aku mencoba memahami, terlalu berat
perjuangan pak Agung ketika membesarkan ketiga anaknya yang saat itu masih
kecil-kecil dan ditinggalkan pergi oleh istrinya yang lari dan berselingkuh
dengan lelaki lain. Trauma itu terlalu membekas dalam dirinya. Bahkan pada saat
ketiga anaknya sudah dewasa dan menyelesaikan pendidikan mereka dengan baik,
trauma yang pernah dirasakan pak Agung tetap membekas dalam hatinya.” Winda
menghapus airmatanya.
“Mudah-mudahan engkau segera mendapatkan lelaki lain yang
lebih baik, Win.” Ucap Listi. Kesedihan yang dirasakan Winda, dapat dirasakan
oleh dirinya sendiri. Listi menoleh pada Yulia. “Lalu, bagaimana usaha ayahmu
yang ingin menjodohkanmu dengan Wisnu? Barangkali kau yang akan menikah lebih
dulu, Yul. Tampaknya orangtuamu sudah siap untuk segera menikahkan engkau
dengan lelaki pilihan orangtuamu itu….”
Yulia tertawa. “Tidak semudah itu. Memang urusan kawin
semudah membalikan telapak tangan?” sahutnya. “Sampai sekarang aku masih menentang keinginan ayahku yang ingin menjodohkan aku dengan Wisnu. Aku tidak
mau dijodohkan dengan Wisnu lelaki anak sahabat ayahku, karena menurutku
sekarang sudah tidak jaman lagi dijodoh-jodohkan orangtua.”
“Tapi kadang aku suka bingung dengan sikapmu, Yul.” Kata
Winda. “Aku kira kau masih bingung mempertimbangkan keinginan orangtuamu itu. Antara ya dan tidak. Kau seakan masih plin plan untuk memutuskan.
Walaupun seakan menentang keinginan orangtuamu, namun kau tidak pernah menutup diri pada Wisnu. Kau mau
berjalan bersamanya. Kau tidak menutup diri dari Wisnu.”
“Mungkin kau yang bakal duluan menikah, Yul.” Kata Listi mengganggu
Yulia. “Siapa tahu besok lusa sepulang dari liburan di Jogya kau akan berubah
pikiran dan mempertimbangkan keinginan ayahmu. Wisnu sudah jelas tengah
menunggumu dan engkau sudah selesai kuliah. Soal pekerjaan tidak usah terlalu kau
pikirkan, sambil jalan aja.”
“Siapa tahu. Seperti dugaanku.” Winda ketawa.
Yulia ketawa. “Aku memang bingung. Aku tidak bisa
mati-matian menentang keinginan ayahku karena buktinya aku tidak bisa
menyodorkan seorang lelaki yang akan menjadi suamiku pada ayahku. Jadi untuk
sementara aku menerima kehadiran Wisnu walaupun aku menentang keinginan ayahku
yang ingin menjodohkan aku dengan Wisnu.”
“Siapa tahu pilihan ayahmu itu adalah yang terbaik, Yul.”
Kata Winda bijak.
“Kita simpan
pembicaraan kita soal pernikahan ini hingga nanti kita semua memiliki calon
suami dan kita bicarakan lagi sama-sama, oke?” Yulia ketawa. Dia tidak mau lagi
membicarakan Wisnu.
“Sudah jam dua belas. Lebih baik kita segera tidur. Besok
kita bisa bangun lebih pagi dan jalan-jalan dulu disekeliling hotel.” Winda
membaringkan tubuhnya dan menarik selimut. “Lampunya dimatikan. Aku tidak akan
bisa tidur kalau lampu masih menyala.”
“Aku tidak biasa tidur dalam gelap.” Sahut Yulia.
“Aku tidak akan bisa tidur kalau lampu menyala.” Kata Listi.
Akhirnya Yulia menarik selimut ketika Listi mematikan lampu.
Kenyataannya Yulia bisa tidur dengan nyeyak sampai pagi.
--- 0 ---
Pagi-pagi sebelum mandi mereka jalan-jalan disekitar hotel.
Kesibukan sudah mulai terasa ketika mereka melangkah keluar hotel. Udara pagi
terasa dingin. Namun beberapa orang pedagang kain dan baju sudah kelihatan mulai menggelar dagangannya
didepan hotel. Beberapa pedagang lain pun
berdatangan. Meskipun pedangang-pedagang itu menawarkan dagangannya,
namun Listi, Yulia dan Winda memilih jalan-jalan menikmati udara pagi dan
suasana pagi hari di kota Jogya. Mereka berjalan-jalan diseputar hotel. Setelah cukup puas
berjalan-jalan, mereka kembali lagi ke hotel, mandi dan sarapan pagi di hotel.
Yulia sarapan paling lahap. Dia tidak akan kenyang hanya dengan makan bubur
ayam semangkuk. Dia masih menambah sarapan paginya dengan menghabiskan beberapa
lembar roti dengan selai stroberi dan
selai nanas. Juga secangkir kopi.
“Heran, makanmu selalu lahap namun kau tetap langsing.”
Komentar Winda.
“Olahraga, dong.” Sahut Yulia. “Dengan berolahraga setiap
hari, minimal setengah jam, kita akan tetap bisa mempertahankan bentuk tubuh
yang ideal walaupun kita makan lahap setiap hari.”
Hari terasa cerah. Siang bermandikan cahaya matahari. Esoknya
mereka berkunjung ke candi Borobudur. Mengunjungi candi Borobudur tidak pernah
mereka lewatkan setiap kali berlibur bersama ke Yogyakarta. Candi berusia
ribuan tahun yang merupakan peninggalan kerajaan-kerajaan besar zaman dahulu
yang dibangun pada abad ke-sembilan oleh Dinasti Syailendra itu berdiri megah dan tetap menarik untuk
dikunjungi tiap kali berkunjung ke Yogyakarta.
Selesai mengunjungi candi Borobudur, mereka melanjutkan
perjalanan mengunjungi candi Prambahan.
Bukan hanya candi Borobudur dan candi Prambanan saja yang menarik hati mereka
untuk kembali berlibur di Jogja namun
banyak hal membuat mereka
selalu ingin kembali ke kota ini. Selain tempat wisata
yang menarik, Yogya terkenal juga dengan kulinernya, gudeg, wingko babat, gudek kendilnya yang nikmat, angkringan,
wedang ronde, bakpia pathuk, dan masih banyak lagi. Pulang dari candi Borobudur
dan candi Prambanan mereka
berkeliling-keliling kota Yogya, makan siang lalu kembali ke hotel dan tidur.
Malamnya selesai makan malam lesehan, lalu mencari
yang jualan kopi joss. Mereka ingin mencoba kopi joss. Listi yang mengajak Winda dan Yulia untuk mencari
kopi joss itu karena penasaran dengan cerita yang pernah didengarnya tentang
kopi joss ini. Listi termasuk penikmat
kopi. Tiap pagi setiap harinya suatu keharusan dia minum secangkir kopi. Minum kopi membuat tubuh dan pikirannya
terasa lebih segar. Dia yang mengajak Yulia dan Winda untuk menikmati secangkir kopi joss yang bisa
ditemukan didaerah Malioboro. Pasalnya hanya di kota Yogya bisa ditemukan
racikan kopi yang dicampur arang yang masih membara. Kenikmatan kopi joss
terletak pada bara arang yang membuat kopi menjadi lebih matang, lebih panas
sehingga aroma dan rasa kopi menjadi lebih keluar. Konon kopi joss ini lahir
secara tidak sengaja. Konon cerita bermula ketika seorang mahasiswa yang sedang
stress menghadapi ujian, nongkrong di warung kopi, lalu iseng-iseng memasukan
sepotong bara kedalam kopi. Hasilnya, kopi menjadi lebih menggigit. Yang lebih
seru lagi adalah suasana kongkow di kopi joss. Kopi joss yang baru dibuka malam
hari ini, mampu membuat betah
berlama-lama disana. Hanya sekedar ngobrol ngalor ngidul atau berdiskusi
seriuspun layak dilakukan walaupun tempatnya hanya berupa lesehan tikar di
pinggir jalan saja. yang datang tampak tiada habisnya.
Untuk dapat tempat duduk harus sabar mengantri. Mungkin
karena suasana santai dan keakraban yang tercipta dari pengunjung menyebabkan
orang kangen kembali kesana. Juga ada hiburan suguhan live musik dari pengamen
jalanan. Pengamen jalanan itu menambah semarak suasana. Penampilan sederhana tidak mengurangi kebiasaan mereka untuk menghibur.
Sambil menikmati kopinya, sempat terpikir oleh Listi andai dia juga memiliki kedai minum kopi di
Sumedang, tempat nongkrong dan berdiskusi. Itu cita-citanya bila kelak rumah
makan ayahnya sudah berpindah tangan kepadanya. Namun itu masih lama. Sekarang
ayah dan ibunya masih segar bugar. Masih sanggup mengelola rumah makan yang
sudah puluhan tahun dirintis ayahnya hingga bisa berkembang seperti sekarang.
--- 0 ---
Yogyakarta yang ramah dan selalu menyambut kedatangan
wisatawan dengan ciri khasnya. Keramahan itu pula yang diperlihatkan tukang
becak ketika menawari mereka untuk berkeliling berbelanja menjelang pulang
kembali ke Sumedang. Mereka akan membeli oleh-oleh untuk dibawa pulang. Mereka
ingin menikmati suasana terakhir di kota gudeg itu dengan menumpang becak.
“Kita duduk bertiga saja dalam satu becak.” Usul Listi.
“Jangan sadis begitu!” protes Winda. “Kau pikir tubuhmu
langsing?”
“Aku cukup langsing.” Sahut Listi.
“Tapi kita bertiga duduk dalam satu becak kebangetan amat!”
kata Winda. Dia menoleh pada Yulia. “Kau satu becak dengan Listi, biar aku yang
sendirian.”
“Oke.” Sahut Listi dan Yulia.
Listi dan Yulia naik
keatas becak. Tukang becak mulai
mengayuh becaknya. Mereka cukup mengatakan akan membeli oleh-oleh, tukang becak
itu sudah tahu kemana penumpangnya harus dibawa. Mereka berkeliling-keliling.
Winda yang menumpang becak sendirian, mengikuti dari belakang.
Tukang becak membawa mereka ke toko makanan oleh-oleh khas
Yogya. Mereka memborong bakpia, wingko babat, yangko, keripik paru. Selesai belanja makanan, mereka kembali ke
hotel dan keluar lagi dengan mobil. Mereka menuju toko batik. Kembali mereka diasyikan dengan memilih batik
untuk dibawa pulang. Mereka akan pulang besok pagi. Dua hari jalan-jalan di
Yogya sudah cukup untuk berlibur bersama.
“Mama pasti senang dikirim oleh-oleh bakpia dan yangko ini.”
Kata Listi.
“Aku akan membelikan batik
untuk seluruh keluargaku.” Kata Yulia.
Liburan ke Jogya membeli batk sepertinya sebuah keharusan. Melihat-lihat
parade batik khas Yogya dalam pajangan
toko-toko yang berderet disepanjang Malioboro atau diantara keramaian area
pasar Bringhardjo. Keasyikan belanja batik terasa mengasyikan dengan tawaran harga bervariasi yang
terjangkau saku. Memasuki pasar Bringhardjo
terlihat berbagai blus, tas, sprei, aksesori rambut seperti jepit dan
berbagai perlengkapan lainnya. Semuanya tampak menarik perhatian dengan
berbagai motif dan warna.
Telepon Listi berbunyi. Ibunya meneleponnya.
“Halo, ma.”
“Listi, segera pulang ke Sumedang sekarang juga.” Suara
ibunya terdengar khawatir. “Kamu sekarang masih dimana?”
“Masih di Jogya, ma.”
“Segera pulang, ya.”
“Ada apa, ma?”
“Papa sakit.”
“Papa sakit? Sakit apa?”
“Pokoknya kamu harus segera pulang sekarang juga. Semua
menunggumu.”
Telepon ditutup. Listi menatap ponselnya dengan bingung. Ada
apa dengan ayahnya? Parahkah sakit ayahnya? Kenapa
ibunya seakan panik?
Listi menatap Yulia. “Mama menelepon, menyuruh aku segera
pulang. Mama bilang, papa jatuh sakit.” Mendadak Listi menjadi merasa tidak
enak perasaannya. Kedua temannya memandangnya.
“Tentu saja kita pulang sama-sama.” Ucap Yulia dan Winda
bersamaan.
“Ibumu bilang apa?” Tanya Yulia.
“Mama tidak bilang apa-apa lagi. Tapi aku harus segera
pulang. Terus terang, perasaanku jadi tidak enak. Mungkin ada sesuatu hal yang
terjadi dirumah….” Listi menghela napas dalam. Dia tidak bisa menduga, apa yang
terjadi dirumahnya. Namun perasaanya sungguh tidak enak.
Winda mengurus pembayaran biaya penginapan. Yulia dan Listi mengatur barang-barang didalam bagasi. Bagasi itu
kini penuh dengan oleh-oleh dan belanjaan mereka.
“Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja.” kata Yulia mencoba
menghibur Listi yang kelihatan gelisah setelah mendapat telepon dari ibunya.
“Ya, mudah-mudahan saja begitu walau perasaanku memang jadi
tidak enak.” Sahut Listi.
Yulia dan Winda mereka berdua bergantian menyetir mobil. Berbeda dengan saat
keberangkatan mereka ke Yogya, kini suasana terasa berbeda. Listi lebih banyak diam. Dia duduk dibelakang
sendirian. Dia merasa perasaannya tidak enak. Winda dan Yulia tidak lagi meminta Listi bergantian menyetir seperti saat keberangkatan
mereka ke Jogya. Listi kelihatan bingung. Perasaannya seperti tidak tenang
setelah ibunya meneleponnya. Sepanjang
perjalanan beberapa kali ibu dan bibi Atiek, adik ayahnya meneleponnya,
mengeceknya sudah sampai dimana. Semuanya seakan ingin Listi segera tiba di
Sumedang.
Tiba di Sumedang hari
sudah malam. Ketika sampai dirumahnya Listi melihat didepan rumah kursi-kursi
didalam rumah dikeluarkan dan dijejerkan
dihalaman rumah. Banyak orang yang berada dirumahnya. Semuanya serentak
memperhatikan kedatangannya. Perasaan Listi mengatakan ada sesuatu yang
terjadi.
Dia terus melangkah masuk kedalam rumah. Tatapannya terhujam pada
sesosok tubuh yang tertutup kain. Ini pasti mimpi, pikir Listi. Ibunya dan seluruh keluarganya menyambutnya
dengan tangisan. Ayahnya sudah terbujur
kaku. Ayahnya meninggal. Serangan jantung. Tiga jam lalu. Setelah kemarin sempat dirawat dirumah sakit. Namun nyawanya
tidak tertolong lagi.
Listi terhenyak. Dia
tidak percaya ayahnya meninggalkannya secepat ini. Ketika dia akan berangkat ke
Jogya, ayah masih memberinya tambahan uang saku. Dia sudah membelikan beragam
oleh-oleh buat ayahnya. Kini ayahnya
sudah tiada lagi. Ya Allah, kenapa Engkau secepat ini mengambil ayahku
dariku? Aku belum sempat membalas budi baiknya dan jasa-jasanya kepadaku selama
ini. Listi tak kuasa menahan tangisannya. Dia kehilangan seseorang yang paling
disayanginya didunia ini. Terlalu banyak kenangannya bersama ayahnya selama
ini. Dia menangis tersedu-sedu. Winda dan Yulia memeluknya erat, berusaha
menghiburnya walaupun tak banyak kata yang terucap dari mulut mereka. Keduanya
juga terkejut dengan meninggalnya ayah Listi yang begitu tiba-tiba.
--- 0 ---
Usai pemakaman Listi mengurung diri didalam kamarnya. Dia
masih tak percaya ayahnya sudah
meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Photo wisudanya baru selesai dicetak
dan dipajang diruang tengah, dirinya
diapit ayah dan ibunya. Ayahnya tersenyum lebar. Kelihatan sangat bahagia.
Tubuhnya yang tinggi besar dan berkulit putih bersih kelihatan sehat. Namun
serangan jantung itu telah merenggut ayahnya dari sisinya.
Kini ayah sudah tiada lagi. Tidak ada lagi suara besar dan
berat yang kerap menyapanya dan mengajaknya bercakap-cakap sambil menonton
televise. Tidak ada lagi suara ayahnya yang mengajaknya jalan-jalan disore hari
mengendarai mobil yang dikemudikan ayanya berkeliling Sumedang. Tidak ada lagi
ayah, teman sekealigus guru baginya.
Kini rumah terasa sunyi dan sepi. Tidak ada lagi sosok yang
selalu menyambut kedatangannya setiap kali dia pulang kerumah. Betapa
berbedanya suasana ketika ayah masih ada dan setelah ayah tiada lagi. Seringkali dia termenung didepan kamarnya,
memperhatikan halaman rumah yang teduh dan rimbun. Pohon-pohon besar yang
tumbuh dihalaman rumah akan selalu mengingatkannya pada sosok ayahnya karena
ayah yang menanam pohon-pohon itu. Dia menatap daun-daun tua yang rontok dan
berserakan dihalaman. Airmatanya mengalir perlahan membasahi kedua belah
pipinya.
Diluar kamarnya
terdengar kesibukan seisi rumah mempersiapkan acara tahlilan selama tujuh hari
lamanya. Dia mengurung dirinya dikamarnya. Membaringkan tubuhnya sambil
menatapi photo ayahnya diatas meja disamping tempat tidurnya. Airmatanya
sesekali masih mengalir membasahi kedua belah pipinya. Betapa sedih perasaannya
setiap kali dia mengenang ayahnya. Dia masih ingat dengan ucapan ayahnya, tiga
hari menjelang dia diwisuda.
“Listi, sekarang engkau sudah menyelesaikan sekolahmu. Kau
sekarang sudah menjadi seorang sarjana. Ada satu permintaan papa kepadamu.”
Kata ayahnya.
“Apa, pa?”
“Papa ingin melihat engkau segera menjadi pengantin.”
Listi tertawa mendengar ucapan ayahnya. “Pengantin? Tentu
saja aku juga ingin segera menjadi pengantin.”
“Bagaimana hubunganmu dengan Donie? Papa pikir kau dan Donie
segera meresmikan hubungan kalian.”
“Ya, pa.” sahut Listi pendek.
Bagaimana dia akan menjelaskan pada ayahnya bahwa
hubungannya dengan Donie masih membingungkannya. Memang benar selama setahun
ini mereka menjalin hubungan. Hubungan yang cukup serius. Namun hingga sekarang
Donie belum menunjukan bahwa dia akan segera meminangnya. Donie selalu berkilah
bahwa dia masih ingin mantap dulu dengan pekerjaannya. setelah lulus menjadi
sarjana teknik, Donie diterima bekerja pada sebuah perusahaan kontraktor. Dia
kelihatan sangat menikmati pekerjaannya. namun untuk segera menikah nampaknya
Donie masih ragu. Dan dia tidak mungkin memaksa Donie untuk sebuah pernikahan
bila Donie sendiri merasa masih belum
siap untuk sebuah perkawinan.
“Papa ingin melihatmu menjadi pengantin. Papa sudah tua.
Papa sudah ingin menimang cucu.”
“Cucu papa pasti lucu-lucu.”
“Ya, pasti lucu-lucu seperti ketika engkau masih kecil dulu.
Dulu engkau bocah yang paling lucu sedunia. Betapa bangganya papa ketika engkau
lahir dulu. Papa setiap hari menggendongmu dan memamerkanmu pada semua
tetangga-tetangga kita.”
Keduanya tertawa tergelak. Betapa indahnya kenangan bersama
ayahnya. Terlalu banyak kenangan yang terukir dan tersimpan dalam hatinya
bersama ayahnya. Betapa ayah adalah sosok yang paling dekat dengan dirinya.
Yang selalu menempati hatinya. Hingga kini mereka tidak akan pernah lagi
memiliki waktu untuk duduk berdua dan berbagi cerita. Airmata Listi kembali
mengalir. Harapan ayahnya yang ingin melihatnya menjadi pengantin belum sempat
terwujud.
Sore itu Donie datang. Dia memeluk Listi dan menunjukkan
simpatinya yang mendalam dengan kesedihan Listi.
“Maafkan aku, Lis. Aku baru sekarang bisa menemuimu.” Kata Donie.
“Tidak apa-apa, Don. Terima kasih.”
“Aku harap engkau tabah, Lis.”
“Ya.” Listi mengangguk. Airmatanya mengalir pelan. Dia
teringat pada harapan ayahnya. Dia menatap Donie. Haruskah dia ceritakan
percakapannya dengan ayahnya beberapa waktu lalu sebelum ayahnya meninggal.
“Don……”
“Ya.”
“Sebelum papa meninggal, papa sempat berbicara mengenai hubungan kita…..” Listi menunggu sesaat.
Donie menatapnya. Menunggu Listi melanjutkan ucapannya.
“Papa mengharapkan kita segera menikah….” Ucap Listi lirih.
Donie hanya diam saja. Listi menatapnya. Berharap Donie akan
menyambut ucapannya. Namun Donie masih tetap diam. Seakan tengah berpikir.
“Bagaimana, Don?”
Donie belum juga memberikan jawaban. Listi menghela napas dalam. Jadi aku yang
harus mengambil keputusan, pikir Listi. Bila Donie tidak serius dengan hubungan
ini, tidak ada gunanya aku tetap berharap pada Donie. Lebih baik aku mencari
lelaki lain yang lebih serius menjalin hubungan denganku.
“Lis, aku masih merasa nyaman bila hubungan kita berjalan
apa adanya seperti ini.” Sahut Donie. “Engkau baru lulus. Usiamu baru duapuluh
empat tahun. Kau pernah bilang padaku ingin mencari pekerjaan dulu. Aku dukung
keinginanmu. Bila kita memang berjodoh, pasti nanti kita akan menikah juga.
Namun bukan saat sekarang ini…”
“Aku menyampaikan keinginan papa kepadaku sebelum beliau
meninggal.” Kata Listi. “Aku memahami keinginan papa. Papa melihat hubungan
kita selama ini cukup serius dan kita berdua sudah cukup dewasa untuk membina
sebuah rumah tangga.”
“Lis, memang usia kita sudah cukup untuk membina sebuah
rumah tangga. Kau sudah dua puluh empat tahun, aku sendiri sudah duapuluh enam
tahun. Namun kondisi jaman sekarang sudah berubah. Usia kita masih terbilang
cukup muda untuk berumah tangga. Kita masih memiliki banyak kesempatan yang
dapat kita kerjakan sebelum kita menikah, sebagai persiapan dan bekal untuk
kita berumah tangga.”
“Ya.” Akhirnya Listi mengangguk.
Listi mencoba
menerima alasan Donie yang cukup rasional. Namun didalam hatinya dia tetap
merasa bimbang dengan hubungannya dengan Donie. Dia teringat dengan hubungan
Donie dengan wanita lain yang kemudian diakui Donie bahwa dirinya memang
memiliki hubungan dengan wanita itu. Dan kepada lelaki itu dia masih mencoba
untuk menaruh kepercayaan untuk masa depannya? Listi merasa sedih, namun dia
sendiri merasa tidak sanggup mengambil sebuah keputusan untuk memutuskan
hubungannya dengan Donie walaupun masih ada kemarahan yang tersisa dalam
hatinya dengan pengkhianatan Donie. Dia masih memiliki harapan hubungan mereka
akan pulih lagi seperti sediakala. Dia masih memiliki harapan bahwa Donie akan
kembali mencintainya dengan utuh seperti dulu ketika pertama kali mereka
menjalin hubungan. Dia berharap Donie akan membuat perasaannya kembali nyaman seperti yang dulu selalu dilakukan
Donie kepadanya.
--- 0 ---
Rumah tinggalnya berada dibelakang rumah makan. Selama
seminggu semenjak ayahnya meninggal, rumah makan tutup untuk sementara. Seminggu
kemudian barulah rumah makan buka kembali.
Mak Dinah yang selama
ini menjadi juru masak bersama pegawai
lainnya kembali menjalankan pekerjaan
rutin mereka sehari-hari seminggu kemudian ketika rumah makan buka lagi.
Seakan tidak ada yang berubah dengan rumah makan yang didirikan ayahnya hampir
duapuluh tahun lalu itu. Pengunjung masih banyak yang datang kerumah makan dan menikmati beragam
menu yang merupakan andalan rumah makan mereka. Rumah makan tidak pernah sepi
dari pengunjung. Semuanya seakan tidak
ada yang berubah dari hari-hari biasanya.
Dua minggu setelah ayahnya meninggal, ibunya masuk kekamarnya. Listi tengah asyik
dengan laptopnya. Dia sibuk mencari informasi lowongan pekerjaan lewat
internet. Walaupun perasaannya masih
terasa sedih dengan kepergian ayahnya namun
kehidupannya sendiri harus terus berjalan. Dia kembali disibukan dengan urusan
mencari pekerjaan. Dari beberapa buah lamaran yang dikirimkannya keberbagai
perusahaan, belum ada satupun yang memberikan balasan. Dia harus sabar menunggu
hingga nanti ada satu atau dua perusahaan yang memberikan balasan, atau tidak ada
satupun yang membalas sama sekali. Namun dia harus tetap berusaha. Ayahnya dulu
selalu mengajarkannya untuk tetap menjaga semangat dan jangan pernah merasa
putus asa walaupun banyak mendapatkan kegagalan. Seperti kata pepatah,
kegagalan adalah sukses yang tertunda.
Ibu duduk didekatnya, menatap Listi yang tengah serius
dengan laptopnya.
“Listi, mama perlu bicara denganmu.” Kata ibunya.
Listi menoleh. “Apa, ma?”
“Listi, rumah makan itu adalah peninggalan papa. Sebelum papa meninggal, papa sudah
membicarakan mengenai kelanjutan rumah makan ini. Mulai sekarang rumah makan warisan ayahmu itu menjadi kewajibanmu untuk mengurus dan mengelolanya.”
Listi menghela napas dalam. Dia sudah merasa, akhirnya
ibunya akan membicarakan mengenai rumah makan itu. Namun saat ini dia belum
tertarik untuk mengurus rumah makan. Dia masih ingin menekuni dunianya sendiri.
Dia baru lulus menjadi seorang sarjana. Banyak hal menarik didunia luar yang
ingin diketahuinya. Bila dia mengurus rumah makan sekarang ini, waktunya hanya
akan tersita untuk mengurus rumah makan saja dan dia tidak akan memiliki
kesempatan untuk melihat dunia luar.
“Tapi ma, untuk saat
ini aku ingin kerja dikantoran. Aku
ingin mencari pengalaman. Aku sudah mengirimkan lamaran pada beberapa perusahaan. Aku sedang menunggu
lamaran,,,” sahut Listi.
Sejak semula dia tidak tertarik ikut mengelola rumah makan
yang didirikan ayah dan ibunya sejak dia masih kecil. Dia melihat ayah dan
ibunya asyik mengurus rumah makan dan memberikan mereka kehidupan yang baik
dari hasil mengelola rumah makan, namun dia merasa usaha rumah makan bukan
minatnya. Dia merasa tidak memiliki
bakat usaha. Dia juga selama ini tidak
suka memasak. Dia hampir dikatakan sangat jarang masuk kedapur membantu ibunya
memasak. Dia sibuk menikmati kehidupannya sendiri yang berbeda dengan kehidupan
usaha ayahnya. Dia sudah punya cita-cita dan keinginan
sendiri. Dia ingin bekerja dikantoran. Memanfaatkan ijazah sarjana ekonominya. Dan menikmati kehidupan sebagai seorang wanita
kerja kantoran. Bukan seseorang yang harus bergelut dengan dunia dapur dan
dunia masak memasak.
“Lupakan semua itu.” Ucap ibunya. “Kau tidak perlu melamar
pekerjaan. Kau sudah memiliki warisan usaha dari ayahmu. Rumah makan itu adalah
warisan ayahmu yang paling berharga. Engkau yang berkewajiban untuk melanjutkan
usaha ayahmu. Rumah makan ini sudah berkembang. Engkau pasti bisa meneruskan
usaha ayahmu mengelola rumah makan ini. Engkau yang menggaji orang bukan engkau yang digaji
oleh orang lain” ucap ibunya.
“Ma…”
“Listi, mama memahami, kau pasti punya keinginan dan
cita-cita. Namun kau juga harus menyadari, bila bukan engkau yang meneruskan
usaha yang telah susah payah dirintis ayahmu, siapa lagi? Engkau anak
satu-satunya mama dan papa. Kau harus menyadari bahwa ditanganmu kelangsungan
usaha rumah makan ini.”
“Aku tidak tertarik mengelola rumah makan. Aku ingin kerja
dikantoran. Aku ingin kerja diperusahaan. Setiap hari tampil modis, memakai
blazer yang kusukai, memakai sepatu hak
tinggi, dan berdandan seperti halnya wanita yang bekerja dikantoran…..”
“Tertarik atau tidak, tapi rumah makan ini sudah menunggumu
sebagai pengganti ayahmu.” Tukas ibunya.
“Mama bisa mengurus rumah makan ini…”
“Listi, usia mama
tahun depan tujuh puluh tahun. Mama sudah ingin segera beristirahat. Sudah
lebih dari empatpuluh tahun mama dan papa merintis dan mengelola rumah makan
ini. Mama sudah cape. Mama sudah ingin segera beristirahat. Kau pasti bisa
memahami.”
Listi diam. Dia
menatap ibunya. Ya, ibunya tahun depan berusia tujuhpuluh tahun. Tidak
dapat dipungkiri, ibunya sudah semakin sepuh. Dan pastinya sudah merasa lelah
hampir sepanjang hidupnya sejak menikah dengan ayahnya ibunya sibuk mengurus
usaha rumah makan hingga bisa berkembang seperti sekarang ini. Laras menghela
napas dalam. Dia akhirnya mengangguk walaupun dalam hatinya dia merasa
terpaksa.
“Ya, ma. Aku akan mencobanya walaupun cita-citaku bukan
kesini. Aku punya cita-cita lain….”
Ibunya tersenyum. “Mama percaya kepadamu. Kau pasti akan
bisa menjalankan warisan papamu ini dengan sebaik-baiknya. Bahkan mungkin
ditanganmu usaha rumah makan ini akan jauh lebih berkembang lagi.”
Lisri hanya mengangguk. Ibunya seakan tidak memberinya
kesempatan untuk mempertimbangkan. Tidak ada pilihan lain. Dia harus menanggalkan cita-citanya ingin kerja
dikantoran dan mulai sibuk mengurus rumah makan peninggalan ayahnya.
--- 0 ---
“Apa yang harus aku kerjakan?” tanya Listi seakan
kebingungan.
Listi masuk kedapur
dan melihat kesibukan semua pegawai yang tengah mengolah beragam masakan. Ada
lima pegawai yang bertugas belanja dan
memasak di rumah makan itu. Mak Dinah adalah juru masak rumah makan. Dia yang
mengatur menu dan menentukan beragam jenis masakan. Sementara yang empat orang
lagi membantu mak Dinah. Selain mereka
ada empat orang pelayan lain yang melayani pengunjung.
Sesaat Listi hanya memperhatikan kesibukan didapur. Begitu
banyak pekerjaan dan dia tidak tahu dia harus membantu yang mana. Siti tengah
menggoreng ayam sambil sibuk mengurus pekerjaan lain. Nenah mengiris-iris kentang. Abdul membersihkan ikan. Gingin mencuci piring dan peralatan dapur. Ini
kali pertama Listi masuk dapur rumah makan setelah pembicaraan dengan ibunya.
Masuk ke dapur untuk ikut terlibat dalam pekerjaan. Walaupun sebelumnya dia
sudah biasa keluar masuk dapur. Bahkan seringkali dia makan disana, berkumpul
bersama pegawai lainnya. Tapi kondisinya berbeda dengan saat ini.
Mak Dinah yang tengah sibuk memotong-motong daging menoleh
pada Listi. Ibu Listi sudah bicara pada mak
Dinah bahwa rumah makan sekarang sudah diserahkan pada Listi. Mak Dinah faham,
mengapa secepat ini rumah makan diserahkan kepada Listi. Bila tidak sekarang,
Listi tidak akan pernah peduli dengan rumah makan ini. Dia harus segera diberi
tanggung jawab.
“Banyak. Kalau sudah masuk dapur, banyak pekerjaan yang bisa
dikerjakan. Membantu memotong-motong daging, memotong sayuran, menyiapkan
bumbu, dan beragam pekerjaan lain. Tinggal pilih saja mau mengerjakan yang
mana.” Sahut Mak Dinah sambil tertawa dan bergurau menggoda Listi. Mak Dinah
tahu, Listi paling tidak suka masuk kedapur dan tidak mau belajar memasak
padahal ibunya sudah sering kali mengingatkannya bahwa perempuan tetap harus
bisa memasak.
“Apa aku harus terlibat dengan semua pekerjaan?” tanya Listi. Dia langsung meringis melihat
begitu banyak pekerjaan didapur.
Mak Dinah tersenyum. “Tentu saja tidak perlu semua pekerjaan
neng Listi ikut mengerjakan, namun neng
Listi tetap harus tahu dengan segala macam pekerjaan di dapur.”
Listi membutuhkan waktu hampir sebulan mempertimbangkan
permintaan ibunya sebelum dia masuk kedapur rumah makan. Selama sebulan itu dia
tetap asyik dengan kesibukannya sendiri memasukan
lamaran pekerjaannya kebeberapa perusahaan dan instansi. Dia berharap ibunya akan berubah pikiran bila dirinya
diterima bekerja ditempat yang
diinginkannya. Namun sambil menunggu ada salah satu lamarannya yang mendapat
jawaban, dia tidak bisa mengabaikan pembicaraan dengan ibunya.
Listi melihat kesibukan para pegawai rumah makan memasak beragam macam masakan yang menjadi
menu andalan rumah makannya. Ternyata banyak yang harus dipelajarinya. Kini dia
tahu, betapa tidak mudahnya mengelola sebuah rumah makan. Apalagi untuk menarik
banyak langganan agar merasa puas dengan menu yang disajikan sehingga akan
datang dan datang lagi kerumah makan mereka.
“Aku bantu mengiris kentang saja, ya.” Listi duduk didekat
Nenah. Dia mengambil pisau dan sebutir kentang yang sudah dikupas kulitnya. Dia
mulai mengiris. Nenah memperhatikannya.
“Jangan terlalu tebal, kalau digoreng tidak akan renyah.”
Kata Nenah.
“Oke.” Sahut Listi. Dia membuat irisan kentang yang lebih
tipis. “Cukup?”
“Masih kurang tipis. Seperti ini.” Nenah memperlihatkan
kentang yang telah diiris-irisnya. Yang tipis dengan ketipisan yang hampir
merata.
“Oke.” Sahut Listi. Dia mengiris-iris lagi kentang setipis
yang dicontohkan oleh Nenah. “Sudah oke?”
“Ya. Sudah oke.” Nenah tersenyum.
Ibunya masuk kedapur dan tersenyum melihat Listi yang tekun
mengiris-iris kentang. “Nah, anak mama sekarang sudah mau masuk dapur.” Ujar
ibunya.
Listi menoleh, lalu tersenyum. “Tapi aku tidak harus tiap
hari terlibat dengan pekerjaan didapur kan, ma? Aku kan bos-nya. Masa aku harus
ikut kegiatan masak memasak.”
“Listi, walaupun kau bos-nya, namun kau tetap harus bisa
memasak. Keahlian memasak tetap harus dimiliki orang yang memiliki usaha rumah
makan.” Ujar ibunya.
Walaupun semula keras kepala tidak mau mengurus rumah makan,
namun akhirnya Listi mau terlibat dengan usaha yang sudah dirintis ayah ibunya
sekian puluh tahun lalu dengan susah payah. Dia mempelajari segalanya. Sampai
segala macam tetek bengek urusan dapur. Perlahan dia mulai menyukai apa yang
ditanganinya sehari-hari.
Dia mulai memahami bahwa rumah makan mereka harus tetap
memberikan pelayanan yang memuaskan bila tidak ingin ditinggalkan konsumennya. Persaingan
bisnis rumah makan di Sumedang dari waktu ke waktu semakin bertambah jumlahnya
walaupun dia tidak khawatir dengan persaingan bisnis itu
karena masing-masing sudah punya langganan tetap.
Hari demi hari dijalaninya walaupun pada awalnya dia melakoninya dengan perasaan
terpaksa. Tanpa disadarinya, perlahan penampilannya pun mulai berubah. Dia
bukan lagi gadis yang hampir setiap saat berdandan dan sering memperhatikan
wajahnya di cermin. Dulu dia selalu cemas dengan jerawat yang tiba-tiba muncul diwajahnya.
Dulu dia setiap saat sibuk mengurus rambutnya. Dulu dia selalu pergi ke salon
hanya sekedar untuk mengurus kuku-kukunya.
Dulu dia sudah biasa berlama-lama berada dikamar mandi untuk melakukan luluran disekujur tubuhnya. Dulu pun
dia sudah biasa menjaga penampilannya dalam berbusana.
Kini semua itu seakan mulai ditinggalkannya. Semua
kebiasaannya ketika masih bersahabat dengan Yulia dan Winda mulai berkurang dan
akhirnya nyaris tak pernah lagi dilakukannya seiring dengan kesibukannya berkutat mengurus
rumah makan, mengecek masakan dan segala macam rutinitasnya sehari-hari.
Warisan ayahnya membuatnya hidupnya jadi berubah. Dia bukan lagi gadis
yang seakan selalu merasa masih muda remaja. Namun tanggung jawab itu seakan
mendorongnya menjadi lebih dewasa. Tidak
hanya memikirkan kepentingan dan urusannya sendiri. Dia lebih terbuka melihat
urusan dan kepentingan lain selain hanya memikirkan urusan dan kepentingan
dirinya sendiri. Perlahan, sifat egoisnya mulai berkurang dan dia belajar
banyak dari pengalaman sehari-hari. Juga dalam hubungannya sdengan semua
pegawai rumah makan yang menjadi salah satu kunci keberhasilan rumah makan
orangtuanya.
Disisi lain, ditengah kesibukannya mengurus rumah makan
warisan ayahnya yang sudah dilepaskan sama sekali oleh ibunya dan diserahkan
sepenuhnya kepadanya, dia pun melihat ada
yang berubah pada ibunya. Kepergian ayahnya
nampaknya sangat memukul perasaan ibunya. Ibu tidak pernah melamun atau
meratapi kepergian ayahnya walaupun Listi sering memergoki ibunya tengah menangis
dikamarnya. Yang terlihat oleh Listi, ibunya seakan sudah kehilangan kehilangan semangatnya. Mungkin karena faktor usia ibunya yang sudah
semakin sepuh. Mungkin karena kepergian ayahnya yang membuat ibunya kehilangan
semangatnya.
Listi tidak ingin
bertanya. Dia memahami perasaan ibunya. Ibunya memang sudah tua. Ibunya
melahirkan dirinya ketika usianya sudah empatpuluh lima tahun setelah lebih dari lima belas tahun
menunggu datangnya buah hati. Dia sering menyadari bagaimana ayah dan ibunya
teramat sangat memperhatikan dirinya. Buah hati yang sudah sangat lama
dinantikannya. Diusianya yang baru duapuluh empat tahun, ibunya dan ayahnya
sudah sepuh. Namun dia bahagia memiliki ayah dan ibu yang sangat menyayangi
dirinya. Kini ayahnya telah tiada. Dia
melihat ibunya seakan ingin ikut beristirahat dan menyerahkan sepenuhnya
pengelolaan rumah makan warisan ayahya kepadanya.
“Belajar. Bila engkau tidak mau belajar mengurus rumah
makan, selamanya engkau tidak akan bisa.” Kata ibunya berkali-kali diawal mula
dia mulai memegang usaha rumah makan itu dan masih tetap suka uring-uringan
karena tidak mau mengurus rumah makan.
Listi iri melihat banyak pegawai wanita yang makan siang
dirumah makannya. Kehidupan mereka kelihatannya sangat menyenangkan. Kerja dikantoran berkutat dengan
pekerjaan yang ditunjang oleh perlengkapan kantor yang modern, penampilan
yang modis, dandanan yang menarik dan memiliki pergaulan yang luas. Dia ingin
seperti mereka. Namun rumah makan ini seakan telah membatasi langkahnya.
Pergaulannya sehari-hari hanya dengan pegawai rumah makan didapur. Dia merasa
terpasung oleh pekerjaannya. sementara fantasinya ketika dia lulus kuliah
sangat indah. Dia akan memiliki kehidupan yang menyenangkan sebagai seorang
wanita karier yang bekerja diperkantoran.
Namun akhirnya perasaan Listi berangsur berubah. Akhirnya dia merasa kasihan melihat kesungguhan ibunya yang sudah ingin
segera beristirahat dan mempercayainya bahwa dia bisa mengelola rumah makan
menggantikan ayah dan ibunya.
Dia sendiri merasa tidak
terlalu sulit melanjutkan usaha ayah ibunya mengelola rumah makan ini.
Mereka sudah memiliki juru masak-juru masak
dan pembantu-pembantu yang sudah terlatih bekerja selama bertahun-tahun lamanya. Bahkan mak
Dinah merupakan juru masak yang sudah bekerja bersama mereka sejak awal mula
rumah makan ini didirikan. Ketika rumah makan ini masih berupa sebuah warung
nasi sederhana yag terus berkembang dan mengalami perubahan fisik dalam
bangunannya. Ayahnya terus melakukan perombakan hingga sekarang rumah makan itu
sudah berupa banguna yang cukup besar dan nyaman dengan halaman parkir yang cukup
luas.
Awalnya Listi merasa
canggung melakukan pekerjaannya. apalagi pikirannya masih bercabang-cabang. Dia
belum sepenuhnya bisa konsentrasi mengurus rumah makan itu. Dia teringat pada lamaran kerjanya yang
ditujukan pada beberapa buah perusahaan. Bila ada panggilan tes dan wawancara
bergegas dia pergi. Dan dari beberapa tes dan wawancara yang diikutinya, tidak
ada satupun yang lolos. Namun Listi tidak berkecil hati. Sambil menunggu ada
lamarannya yang diterima, dia kembali disibukan dengan mengurus rumah makannya.
Lebih dari setahun dia menunggu. Tidak ada satupun lamaran kerjanya ke perusahaan
yang mendapat balasan. Betapa susahnya mendapatkan pekerjaan dikantoran. Sementara itu waktunya semakin banyak tercurah
untuk mengurus rumah makan. Hingga akhirnya Listi sadar, inilah jalan hidupnya.
Perlahan dia mulai melupakan lamaran kerjanya. Dia menatap masa
depannya dengan rumah makan yang kini sudah ada dalam genggamannya. Ayahnya
sudah mewariskan rumah makan ini untuknya. Kenapa dia harus mencari pekerjaan
lagi ditempat lain? Dirumah makan ini
dia yang menjadi pimpinannya. Dia yang menggaji sejumlah pegawai namun ditempat
lain dia yang digaji.
Listi sadar, dia
melakukan semua itu bukan karena dia menyukai pekerjaannya. namun karena dia
mencintai ayahnya yang sudah susah payah merintis usaha rumah makan ini. Dia
merasa harus bisa meneruskan usaha ayahnya.
Bila tengah sendirian, dia sering membuka album photo dan menatap wajah ayahnya yang berwibawa. Listi sadar, dia sangat mencintai
ayahnya. Tanpa sepengetahuan Listi,
seringkali ibunya memperhatikannya diam-diam, tersenyum menatapnya dan berkata
dalam hatinya, semuanya ibu lakukan untuk kebaikanmu, nak, agar engkau memiliki
tanggung jawab dan mau meneruskan usaha warisan orangtuamu ini. Suatu saat
engkau pasti akan merasa bahagia dengan keputusan orangtuamu ini karena
orangtuamu memberikan semua ini kepadamu dengan penuh cinta dan kasih sayang
walaupun awalnya engkau menolak semua ini.
--- 0 ---
“Aku tidak kerja dikantoran.” Kata Listi. Dia menelepon Winda diwaktu senggangnya. Sambil
duduk dikursi kerjanya dan matanya menatap layar televisi yang tengah
menyiarkan berita. “Mama menginginkan
aku mengurus rumah makan peninggalan papa ini. Dan aku tidak bisa menolak.
Awalnya aku melakoninya dengan perasaan terpaksa. Namun kini aku sadar, rumah
makan ini adalah pekerjaan dan masa depanku.”
“Sudah kuduga, pasti akhirnya engkau tetap akan meneruskan
usaha orangtuamu itu, apalagi setelah ayahmu tidak ada lagi, tidak ada ahli
waris lain selain engkau.” Komentar Winda. “Aku malah senang kau sekarang sudah
bisa meneruskan usaha orangtuamu. Kau
bisa menjadi seorang pengusaha rumah makan yang sukses.”
“Minatku bukan pada mengurus rumah makan. Aku ingin kerja
dikantoran.” Tukas Listi. Dia selalu teringat ketika menjelang kelulusannya,
dia selalu membayangkan akan mengenakan beragam busana
kerja setiap hari ke kantor. Dia merasa
akan tampil modis dengan busana kerjanya nanti. Tidak seperti sekarang. Tidak
berpengaruh pakaian apapun yang dikenakannya karena yang diurusnya hanya
seputar dapur, rumah makan dan pengunjung.
“Kita tidak bisa menduga bagaimana masa depan kita, Listi.
Mungkin kita mendapatkan apa yang kita dapatkan yang berbeda dengan cita-cita yang kita miliki.” Ujar Winda. “Aku
sendiri tidak menduga bila aku diterima
menjadi pegawai negeri dan bekerja di pemda Sumedang di kota kelahiranku
sendiri. Kau tahu, tidak mudah untuk lolos menjadi pegawai negeri. Ada ribuan
saingan setiap kali pendaftaran dibuka. Namun rupanya Allah telah menunjukan
bahwa jalanku memang disinil. Menjadi pegawai dikota kelahiranku sendiri. Sesuatu
hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, karena aku selama ini selalu
memiliki cita-cita aku ingin bekerja diperusahaan dikota-kota besar dengan gaji
yang besar. Namun kini aku bahagia dengan apa yang sudah kudapatkan. Akupun
berharap engkaupun bahagia dengan apa yang kini sedang engkau jalani, Listi.”
“Ya. Aku mencoba menjalani. Dan ternyata aku tetap menemukan
banyak kegembiraan dengan pekerjaan mengurus rumah makan ini. Aku membayangkan
semangat ayahku ketika pertamakali ayah mendirikan rumah makan ini. Berawal
dari sebuah rumah makan sederana, hingga selama dua puluh tahun kemudian ayahku
berhasil membuat rumah makan yang memiliki bangunan yang cukup bagus dengan
jumlah pengunjung yang selalu bertambah setiap hari. Baru aku sadari, pekerjaan apapun selalu
membutuhkan ketekutan, keuletan dan kerja keras. Aku tidak ingin menyia-nyiakan
kepercayaan ayahku yang sudah menyerahkan pengelolaan rumah makan ini sebelum
ayah meninggal.” Listi merasakan keharuan menyesakan perasaannya.
“Yah, akhirnya engkau menyadari bahwa ayahmu menginginkan
engkau meneruskan usaha rumah makan ini bukan tanpa dasar. Ayahmu sangat
mencintai dan menyayangimu. Disaat sarjana lain berebutan mencari pekerjaan,
orangtuamu sudah menyediakan sebuah pekerjaan untukmu. Ijasah sarjanamu tidak
sia-sia. Dengan berbekal ijasah sarjana, engkau akan lebih professional dalam
mengelola dan meneruskan usaha rumah makan yang telah dirintis oleh ayahmu. Tidak
harus selalu, yang disebut bekerja itu adalah orang yang duduk dibelakang meja,
kan?”
“Yulia bagaimana?” tanya Listi. Sudah cukup lama Yulia tidak
pernah meneleponnya dan dia selalu kelupaan
tiap kali akan menelepon Yulia.
“Yulia sudah bekerja pada perusahaan pengembangan perumahan.
Dia jadi sekreataris direktur. Dia pintar dan penampilannya modis. Cocok
sebagai sekretaris.”
“Kapan-kapan kita berkumpul lagi dan berbagi cerita seperti
dulu.” Kata Listi.
“Tentu.” Sahut Winda. “Dan kita tidak perlu repot mencari
tempat kongkow. Dirumah makan Listi saja.”
--- 0 ---
Listi tidak suka
memasak. Sejak dulu dia tidak suka dengan pekerjaan masak memasak dan tidak
pernah berniat untuk belajar masak memasak. Namun kini akhirnya bidang masak memasak yang harus ditekuninya.
Dia berusaha menjalankan usaha warisan
ayahnya dengan sepenuh hati. Dia melihat bahwa dia harus bertanggung jawab
dengan kelangsungan usaha rumah makan ini. Untuk itu dia mau belajar. Belajar
memasak. Sesuatu hal yang tak pernah disentuh dan dipelajarinya selama ini. Dia
tahu bagaimana masakan yang enak dan lezat, namun dia tidak pernah tahu
bagaimana caranya untuk mengolah beragam bahan sehingga menjadi masakan yang
enak seperti itu.
Listi banyak belajar pada Mak Dinah. Mak Dinah dengan senang
hati mengajari Listi memasak beragam masakan yang menjadi menu
andalan rumah makan mereka. Dia tidak keberatan bila waktunya kini lebih sibuk,
menyelesaikan pekerjaan rutinnya
sehari-hari, sambil melayani beragam pertanyaan Listi. Mak Dinah seakan ikut
merasa senang akhirnya Listi yang selama ini tak pernah mau tahu dengan
urusan rumah makan, kini tumbuh tanggung jawabnya dan terlibat secara langsung
dengan usaha peninggalan ayahnya ini.
“Bibi senang, neng Listi akhirnya mau juga ikut mengurus rumah makan
ini.” Kata Mak Dinah.
“Habis gimana, Bi. Aku tidak bisa mengelak.” Sahut Listi.
“Usaha rumah makan ini tetap harus berjalan. Bibi masih
ingat, bagaimana ayahmu dulu diawal mendirikan rumah makan ini berusaha agar
rumah makan ini tetap bertahan ditengah-tengah makin banyaknya rumah makan lain
yang berdiri.”
Ibunya mulai mengurangi ikut terlibat secara langsung dengan
kegiatan didapur. Listi yang
menggantikan tugas ibunya, mengecek setiap masakan dan mulai memikirkan menu
lain yang bisa dijadikan andalan rumah makannya. Dan dia terjun langsung dengan
kesibukan didapur. Dia sudah tidak pernah lagi memperhatikan penampilan
dirinya. Dia asyik dengan beragam ilmu-ilmu baru yang kini diperolehnya dalam
bidang masak memasak yang tak pernah didapatkannya selama dibangku sekolah.
Memasak itu ternyata mengasyikan. Dan sungguh menggembirakan ketika berhasil
menyajikan suatu masakan yang disukai oleh pengunjung rumah makan. Sekarang
Listi faham, bagaimana ibu-ibu rumah tangga yang gemar memasak selalu bicara
dengan penuh rasa bangga bila berhasil menjerat cinta suami dan anak-anaknya
lewat masakannya.
“Nanti bila sudah menikah, jerat cinta suamimu dengan
masakan. Masakan yang pas dengan selera suamimu akan membuatmu semakin
dicintai.” mak Dinah menasehati.
“Oke.” Sahut Listi.
Selain kegembiraan-kegembiraan yang diperolehnya tanpa
pernah diduga sebelumnya dalam bidang masak memasak, kini dia pun memiliki sebuah hobi baru yang sebelumnya tidak pernah
terpikirkan akan menjadi kesenangan buatnya. Dia senang mengoleksi celemek. Celemek
dengan beragam motif dan warna. Setiap
hari dia ganti celemek. Semula dia mengoleksi celemek untuk menghindari
kejenuhan karena sekarang dia harus mau terjun ke dapur. Namun kini mengoleksi
celemek merupakan hobi lain yang didapatkannya selain kegemarannya dalam bidang
masak memasak.
--- 0 ---
“Win, aku ingin ketemu kamu.” Listi menelepon Winda. Dia
tersenyum sambil menatap selembaran ditangannya. Sudah lama dia tidak pernah
berkomunikasi lagi dengan Winda. Mereka seakan disibukan dengan urusan
masing-masing.
“Oh, tentu saja. kapan kita bisa bertemu?” sahut Winda.
“Kamu datang kerumah makanku, ya. Sambil makan siang, kita
ngobrol.” Undang Listi.
“Oke.” Sahut Winda.
Jam dua belas Winda datang. Penampilannya sudah beda dengan
dulu. Kini dia mengenakan seragam pemerintah daerah. Kelihatan makin anggun.
“Win, aku ingin engkau bantu aku mempromosikan rumah makanku
ini.” Kata Listi menyambut kedatangan Winda.
“Tentu saja.” sahut Winda. “Bagaimana caranya?”
“Aku ingin engkau membantu menyebarkan selebaran ini pada
pegawai-pegawai di instansi-instansi dan dikantor-kantor lainnya di pemda.”
Listi menyerahkan setumpuk selebaran yang sudah dipersiapkan.
“Datanglah ke rumah makan kami. Makan berempat gratis satu.
Makan berdelapan gratis dua.” Winda membaca isi selebaran itu. Dia tersenyum
menatap Listi. “Bila yang datang sepuluh orang, berapa orang yang gratis?”
“Tiga orang.”
“Bila dua belas orang?”
“Ya tiga orang. Perhitungannya kan kelipatan dari empat
orang itu. Pokoknya kasir sudah aku beri pelatihan bagaimana penghitungannya.”
“Oke.” Winda tersenyum. “Aku akan membantumu.”
“Selama sebulan ini engkau makan siang gratis dirumah
makanku ini.”
“Wah, tidak usah. Aku ikhlas membantumu.”
“Aku juga ikhlas engkau makan siang gratis selama sebulan
ini dirumah makanku.” Listi mengeluarkan kupon makan gratis dan merobeknya
sebanyak tiga puluh satu lembar. “Nih, tiap kali engkau makan siang, serahkan
lembaran kupon ini pada pelayan yang melayanimu.”
“Oke, terima kasih.”
“Jangan lupa mempromosikan dan mengajak semua kenalanmu
untuk makan siang dirumah makanku ini. Rumah makan ini kan letaknya sangat
strategis, berada dijalan yang dekat dengan kantor pemda dan kantor-kantor
lainnya. Dan mudah dijangkau dari arah manapun.”
“Oke. Mudah-mudahan rumah makanmu semakin laris.”
Listi tidak menunggu lama. Dia memasang selebaran itu dikaca
rumah makannya. Namun Winda pun serius membantunya mempromosikan rumah makannya
dilingkungan tempat kerjanya. Esoknya serombongan pegawai pemda datang makan
siang dirumah makannya. Disusul dengan rombongan lainnya. Usahanya
mempromosikan rumah makannya seperti itu berjalan cukup efektif. Empat orang
gratis satu. Jadi empat orang itu
patungan membayar makanan untuk
tiga orang karena porsi yang satu dianggap gratis.
--- 0 ---
Hari-hari selanjutnya kesibukan Listi bertambah. Upaya
promosi rumah makannya menunjukan hasil yang bagus. Menjelang makan siang rumah makan hampir setiap hari didatangi
rombongan pegawai dari dinas instansi yang akan makan siang. Bukan hanya
rombongan, namun yang datang seorang dua orang pun banyak yang
makan siang dirumah makan itu.
“Listi, rumah makan kita bisa merugi.” Protes ibunya ketika
mengetahui Listi mempromosikan rumah makan dengan cara seperti itu.
“Tidak, ma. Aku sudah memperhitungkannya. Rumah makan kita
malah untung karena banyak yang datang secara rombongan.” Sahut Listi santai.
Dia tengah asyik dengan laptopnya. Sesibuk apapun dia mengurus rumah makan, dia
masih tetap meluangkan waktunya untuk membuat cerita anak-anak, hobi yang
sempat ditinggalkannya ketika dia sibuk menyelesaikan pendidikannya.
“Kau senang mengurus rumah makan, nak?” ibunya tersenyum
menatapnya.
“Ya, ma. Aku sekarang senang. Aku ingin membuat mama
bahagia. Juga membuat papau tersenyum melihat aku bisa meneruskan usaha papa
ini.”
“Sejak semula mama dan papa percaya kau pasti bisa mengelola
rumah makan ini dengan baik.”
Listi hanya tersenyum.
Setelah ayah meninggal, ibu seakan tidak terkendali makan
terus. Makin lama tubuhnya makin gemuk. Lima tahun setelah ayah meninggal, dia
nyaris tidak percaya melihat betapa gemuk ibunya. Ibu lebih banyak menghabiskan
waktunya duduk membaca dan menonton, televisi, tentu saja sambil mengemil
makanan ringan, beragam kue dan roti yang seakan tidak pernah membuatnya merasa
kenyang.
Dia tidak bisa mencegah ibunya. Yang terpikir olehnya adalah
ibu tetap sehat dan bahagia. Walaupun akhirnya tubuh ibunya melar melampaui
tubuh ibunya saat ayah masih ada. Dengan tinggi tubuhnya yang seratus limapuluh
lima centimeter dan bobot tubuh yang mencapai Sembilan puluh kilogram, ibu
kelihatan sangat gemuk sekali. Tak sadar dia sering menatap photo ibunya ketika
masih muda, cantik dan langsing dengan senyumannya yang sungguh menawan.
Kecantikan itu kini masih tersisa, terbayang pada wajahnya yang membulat.
--- 0 ---
Donie menjadi semakin sulit untuk dihubungi. Ponselnya sering
tidak aktif. Mungkin dia memakai nomor yang lain dan tidak memberitahunya.
Listi sering merasa kesal namun dia tidak bisa memaksa Donie untuk tetap
menjaga hubungan mereka. Dia sadar, Donie seakan semakin menjauh darinya.
Seakan semakin sulit untuk menyediakan waktu lagi untuknya. Sempat Listi
berpikir dan menduga, apakah karena pembicaraannya tempo hari yang membuat
Donie sekarang menjauh? Sesekali pesan pendeknya masuk ke ponsel Donie namun
Donie hanya menjawab sekedarnya. Bahkan kadangkala sama sekali tidak membalas
pesan pendeknya.
“Don, kau sudah lama tidak kerumah.” Kata Listi ketika
akhirnya dia berhasil menghubungi Donie.
“Aku sedang sibuk, Lis. Kapan-kapan saja aku kerumahmu.”
Sahut Donie, seakan tidak bersemangat menerima teleponnya.
“Kita harus bicara, Don. Bukankah kita masih berhubungan?”
kata Listi akhirnya, setelah tidak sabar lagi menunggu.
Hening sesaat. “Ya, kita harus bicara, Lis. Lusa aku akan
pulang ke Sumedang. Aku akan kerumahmu.”
Lusa yang dijanjikan Donie akhirnya datang juga. Listi
menunggu dan merasa lega ketika dari jendela kamarnya dia melihat Donie
melangkah memasuki halaman rumahnya. Dia membukakan pintu seperti halnya dia
membukakan sebuah harapan lain dalam hatinya, berharap hubungan mereka akan
tetap berjalan seperti biasanya.
Donie duduk dihadapannya dengan wajah serius, menatapnya
sama seriusnya.
“Lis, aku sungguh minta maaf, hubungan kita putus.” Ucap
Donie.
Listi terhenyak. Seakan tidak percaya Donie mengucapkan
kalimat itu. Hubungan mereka putus. Kenapa harus putus? Apa kesalahannya?
Selama ini dia sangat mencintai Donie. Dia selalu berharap dan berangan
hubungan mereka akan berakhir bahagia dipelaminan. Selama ini dia selalu
menahan perasaannya bila ada ketidakcocokan dengan Donie dan menganggap semua
itu hanyalah kerikil-kerikil kecil yang tidak perlu melukai kakinya. Dia
menatap Donie sambil menahan airmatanya.
“Putus? Mengapa?” tanya Listi lirih.
“Lis, kau sudah ingin menikah sementara aku masih
konsentrasi dengan pekerjaanku.” Kata Donie. “Aku tak ingin engkau menungguku.”
Listi menatap Donie dengan perasaan bingung.
“Aku tidak mendesakmu untuk sebuah perkawinan.” Sahut Listi
lirih.
“Aku khawatir engkau akan kecewa denganku karena aku tidak
bisa memenuhi harapan dan keinginan ayahmu yang sudah ingin melihat engkau
segera menikah.” Kata Donie.
“Papa memang menginginkan kita segera menikah, namun papa
tidak memaksa kita….”
“Lis, aku merasa terbebani dengan harapan dan keinginan
ayahmu. Aku tidak ingin membuat engkau lebih kecewa lagi dengan menungguku.”
Listi akhirnya diam. Tidak ada gunanya melanjutkan
percakapan ini. Donie akan memiliki seribu satu alasan untuk mengelak dari
sebuah perkawinan yang diharapkan ayahnya. Donie masih ingin menikmati
kehidupan lajangnya dan belum ingin terikat dengan sebuah perkawinan.
“Ya, Don. Aku mengerti.” Ucap Listi akhirnya.
Donie pulang dengan diiringi tatapan Listi yang penuh
airmata. Dia merasa sakit hati. Dua
tahun dia menunggu namun ternyata akhirnya seperti ini. Apa salahku padamu?
Tanya Listi. Aku selama ini selalu baik kepadamu. Namun kini akhirnya kata
putus yang engkau berikan kepadaku.
Dalam kekalutan perasaannya dan kesedihannya, dia terus
mengunyah. Menikmati beragam camilan yang membuatnya bisa melupakan
kesedihannya. Hingga akhirnya Kiki, pegawai kasir menegurnya, seakan kaget.
““Astaga, teteh semakin gemuk! Berapa kilo timbangannya
sekarang?”
Ucapan Kiki seakan menyadarkannya. Ketika dia menimbang
tubuhnya, dia terbelalak seakan tak percaya. Dia sudah bertambah lima kilogram
dalam waktu dua bulan ini. Ini sungguh luar biasa buatnya. Selama ini dia
selalu menjaga berat badannya agar tidak berlebihan. Gemuk membuatnya merasa
tidak sehat, tidak nyaman dan tidak segar.
Dikamarnya tak sadar Listi
memperhatikan kotak-kotak cokelat dan kue kering yang terletak diatas
meja. Semua makanan itu yang membuat aku gemuk, pikir Listi. Namun pada saat
yang sama dia sadar, ada sebab lain yang membuat dia seakan tidak berhenti
mengunyah. Kekecewaan dan kesedihannya dengan putus hubungannya dengan Donie.
Kenapa aku harus melarikan kekecewaan dan kesedihanku pada makanan? Pikir
Listi. Kenapa aku begitu rapuh oleh cinta? Kenapa aku tidak bisa tegar?
Bukankah kepergian papa yang justru sangat memukul perasaanku ternyata masih
sanggup membuat aku tetap bisa tegar dan meneruskan usaha papa? Kenapa justru
aku tidak kuat menghadapi hubunganku yang putus dengan Donie? Apa yang sudah
diberikan Donie kepadaku selama ini? Bukankah dia sering mengecewakan aku
dengan sikap-sikapnya? Kenapa justru aku tidak kuat menghadapi putusnya
hubunganku dengan Donie?
Listi menghela napas dalam. Jauh dalam hatinya dia tidak
siap menerima keputusan Donie yang memutuskan hubungan mereka secara tiba-tiba.
Dia selalu berpikir bahwa kebersamaan
mereka selama beberapa tahun ini akan membawa
hubungan mereka berakhir dipelaminan seperti halnya harapan ayahnya
dahulu sebelum ayah meninggal. Namun dia keliru. Waktu yang cukup lama bukan
sebuah jaminan akan kelanggengan hubungan mereka.
Listi memperhatikan tubuhnya pada cermin besar yang
memantulkan seluruh tubuhnya. Aku sudah
gemuk sekali. Bagaimana mungkin akan ada
lelaki yang tertarik kepadanya dengan tubuh gemuk, tidak segar dan yang seoleh tidak
peduli dengan penampilannya. Aku harus merubah pola makan dan mengatur lagi
kegiatanku, pikir Listi. Kapan terakhir dia berolah raga? Dia sudah tidak ingat
lagi. Jogging di pagi hari yang merupakan olahraga favoritnya entah kapan
terakhir kali dilakukannya. aku akan jogging lagi, pikir Listi. Aku harus menyayangi diriku, tubuhku. Aku masih
muda. Aku tidak mau menyia-nyiakan masa mudaku dalam timbunan lemak ditubuhku.
Esok paginya Listi bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah
shalat subuh dia langsung mengenakan pakaian olahraganya dan segera berlari
dijalanan disekitar rumahnya bolak balin beberapa kali. Setengah jam
kemudian dia kembali dengan keringat membanjiri seluruh tubuhnya. Nafasnya agak
tersengal. Dia sudah lama tidak pernah berolahraga lagi. Tubuhnya masih perlu
menyesuaikan diri lagi. Listi mengambil segelas air putih dan meminumnya dengan
nikmat. Dia beristirahat sebentar sebelum masuk kamar mandi. Setelah mandi dan
berdandan, dia mengecek kedapur dan rumah makan. Aku akan mengatur pola baru
untuk hari-hariku, pikir Listi.
--- 0 ---
Diluar hujan turun dengan derasnya. Listi tengah duduk
menghadapi mejanya sambil sesekali memperhatikan titik-titik air hujan yang
jatuh dari atap genting. Waktu
kecil Listi senang memperhatikan titik-titik air hujan
bila musim hujan tiba. Titik-titik air hujan itu bagaikan ribuan jarum yang
dicurahkan dari langit. Semula dia mengira bahwa langit sedang menangis. Dia
bertanya pada ibunya, bu mengapa langit menangis? Ibunya tersenyum.
“Langit bukan sedang menangis. Namun di Indonesia, kita
memiliki dua musim, musim hujan dan musim kemarau. Bila musim kemarau semua
tanah menjadi kering. Nah, dimusim hujan, langit mencurahkan airnya dan
membasahi kembali tanah yang kering kerontang. Begitulah seterusnya, dalam
setahun dinegeri kita silih berganti antara musim hujan dan musim kemarau.”
Ucap ibunya.
Hingga beranjak dewasa kebiasaannya yang senang memperhatikan
hujan tetap tidak bisa hilang. Dia
senang bila musim hujan tiba. Selalu menimbulkan romansa tersendiri dalam
jiwanya. Dia suka duduk didepan jendela menatap keluar. Memperhatikan
titik-titik air hujan dengan asyiknya. Mendengarkan bunyi curah hujan yang
menimpa genting. Memperhatikan rerumputan yang basah. Dia seakan tak pernah
bosan dengan kebiasaannya itu. Bahkan sekarangpun ketika dia merasa seakan
dikejar-kejar dengan kesibukan sehari-harinya, dia masih suka menyempatkan diri
memperhatikan hujan.
Listi mengambil kotak
cokelat dan mulai mengunyah sambil menonton televisi. Makan cokelat terasa
menenangkan perasaannya. Apalagi dikala perasaannya tengah sedih seperti ini.
Sepanjang hari dia berusaha menyembunyikan kesedihannya dari siapapun. Namun
dikala tengah sendirian dikamarnya, kembali perasaan itu mengusiknya. Dia tidak
melarikan diri pada makanan. Namun yang
terasa olehnya, makanan seperti cokelat ini banyak membantu menenangkan
perasaannya. Seakan bisa melarikannya dari persoalannya.
Ponselnya berbunyi. Sengaja distel pelan. Listi baru
masuk kedalam kamarnya dengan beragam bungkusan camilan yang akan menemaninya
dikamarnya sambil nonton film kesukaannya. Dia menatap ponselnya. Donie menelepon. Sesaat Listi memperhatikan nama Donie yang muncul pada layar ponselnya. Hubungan
mereka sudah berakhir enam bulan lalu. Mereka sudah tidak pernah lagi
berkomunikasi. Dia mengira Donie sudah bahagia dengan wanita lain. Sesaat Listi
merasa bimbang. Namun akhirnya dia mengangkat ponselnya. Dia tidak mengingkari,
dia bahagia Donie menghubunginya lagi. Dia masih menyukai lelaki itu dan masih
menyimpan kenangannya yang dulu terasa indah bersama Donie.
“Halo.” Sapa Listi pelan. Dia menjaga suaranya agar tidak
kedengaran terlalu antusias menerima telepon Donie.
“Halo,
Lis. Apa kabar?” Suara Donie terdengar
gembira.
“Kabarku
baik.” Sahut Listi.
“Dari
kemarin aku sudah ingin meneleponmu.”
Kata Donie. “Bagaimana dengan pekerjaanmu? Sudah ada lamaranmu yang diterima?”
“Belum.
Aku masih tetap kerja mengurus rumah makan.”
“Sesuai
dengan keinginan ayahmu. Ya sudah, lebih baik engkau menjalani apa yang ada
saja. daripada engkau susah payah mencari pekerjaan ditempat lain yang belum
tentu kondisinya lebih baik dari yang tengah engkau kerjakan saat ini.”
“Ya. Aku
juga berpikir begitu.” Sahut Listi. “Ada apa, Don? Tumben engkau menelepon aku
lagi?”
“Aku
ingat terus sama kamu.” Sahut Donie sambil tertawa. “Lis, minggu depan aku
pulang ke Sumedang. Kita jalan-jalan, yuk.”
“Jalan-jalan?
Kemana?”
“Kamu
masih ingat dulu kita selalu jogging dipagi hari, lalu makan bubur ayam dan
menikmati kebersamaan kita.”
“Tapi
itu dulu.”
“Lalu
kenapa bila sekarang kita melakukan hal-hal yang dulu pernah kita lakukan
bersama-sama?” tukas Donie.
Listi
tersenyum. “Ya. Aku tunggu.”
“Oke,
minggu depan aku pulang ke Sumedang.”
Sabtu
sore Donie sudah berada dirumah Listi. Listi menyambutnya dengan gembira.
Kebersamaan
itu kembali menjadi milik mereka. Listi kembali merasakan kebahagiaan yang
sempat hilang bersama Donie. Dia berharap hubungan mereka yang sempat putus
akan membuat hubungan mereka semakin dewasa. Selalu ada waktu dan kesempatan
untuk saling memperbaiki diri, untuk saling intropeksi diri, untuk lebih saling
mengenal diri mereka masing-masing.
Namun
kembali Listi seakan tersadarkan. Betapa sebenarnya dia terlalu bodoh bila dia
tetap berharap bahwa hubungannya dengan Donie akan berjalan mulus seperti yang
diharapkannya. Cinta ternyata penuh ujian dan membutuhkan ketabahan hati untuk
menjalaninya.
Diawal
mereka bersama lagi, Donie sempat bercerita sedikit mengenai hubungannya dengan
Mira, wanita yang pernah hadir diantara mereka. Donie bercerita bahwa
hubungannya dengan Mira sudah putus. Sebenarnya Listi tidak ingin
tahu cerita apapun tentang Donie dengan wanita lain. Semua itu bukan
urusannya. Namun Donie yang bercerita
sendiri. Seakan memaksanya untuk tahu apa yang tengah terjadi dengan dirinya.
“Don,
aku tidak ingin tahu tentang wanita lain. Aku hanya ingin kita berbicara
tentang diri kita sendiri, tentang engkau dan aku saja.” kata Listi.
“Ya.
Tapi aku ingin engkau percaya kepadaku.”
“Aku
percaya kepadamu. Tidak usah engkau ragu dengan hal itu.” Listi tersenyum
lembut.
Suatu
saat Donie meneleponnya.
“Lis, aku mendapat undangan. Salah seorang
temanku menikah. Kau mau menemani aku?”
“Kapan?”
“Hari
minggu lusa.”
“Ya.”
“Oke,
nanti aku jemput, ya.” Suara Donie terdengar gembira.
Listi sendiri tidak ada niat untuk menghentikan
komunikasi diantara mereka walaupun Donie sudah
memutuskan hubungan mereka. Mereka sudah sangat lama sekali saling
mengenal. Ibunya beberapa kali menanyakan Donie. Namun dia enggan memberikan
penjelasan.
Hari
minggu Listi sudah siap berdandan. Dia menunggu Donie. Jam sebelas dia
menelepon Donie namun teleponnya tidak
diangkat. Hingga jam dua belas siang Donie belum juga datang menjemputnya dan teleponnya tidak
diangkat. Listi merasa sudah terlanjur berjanji akan menemani Donie. Jam satu
dia pergi ke rumah Donie. Donie baru
saja keluar dari dalam rumahnya. Dia kelihatan terkejut melihat kedatangan
Listi.
“Don,
kita jadi berangkat?”
Donie kelihatan gugup. “Maafkan aku, Lis. Aku sudah
janji akan menjemput Vini.”
Listi
tertegun. Dia bergegas pergi tanpa menoleh lagi. Itulah terakhir kali dia
bertemu Donie. Dia sudah tidak ingin bertemu lelaki itu lagi. Sudah cukup
selama ini dia bersabar dalam menghadapi lelaki itu. Dia tidak ingin semakin
terluka oleh Donie walaupun dia mencintai lelaki itu.
--- 0 ---
Sudah saatnya aku membenahi rumah makan ini agar lebih
nyaman, pikir Listi. Hari sudah malam. Hanya tinggal tiga orang yang tengah
makan. Dia mengedarkan tatapannya
kesekeliling rumah makan. Dia lalu masuk kedalam ruangan pribadinya. Sebuah
ruangan kecil disamping kiri. Dia duduk menghadapi mejanya. Dia mengambil selembar
kertas dan mencorat-coret sketsa. Lalu
dia tersenyum puas dengan hasil coretannya. Dia sudah memperhitungkan biaya
yang harus dikeluarkannya untuk melakukan pembenahan itu.
Esok paginya dia memanggil Agus, salah satu pegawainya.
“Gus, kita akan membenahi interior rumah makan. Kita akan
membuat kolam hias dengan air mancur ditengah-tengah
ruangan agar suasana terasa lebih sejuk. Lalu kita buat bilik-bilik untuk duduk
lesehan. Sementara untuk yang ingin duduk dimeja, kita memasang meja dibagian
belakang rumah makan.” Kata Listi. Dia menyerahkan coretan sketsa yang
dibuatnya semalam.
“Ya.” Agus mengangguk sambil mengamati sketsa yang diberikan
Listi.
“Kamu hubungi pekerja dan mulai bekerja tanpa harus
mengganggu pengunjung. Sambil membenahi bagian dalam rumah makan ini, untuk
sementara pengunjung rumah makan bisa
dilayani diruangan sebelah. Kita tata dulu sebelumnya sehingga ketika renovasi
ini tengah berlangsung, tidak akan mengganggu langganan kita.”
“Baik.” Sahut Agus. “Apa kita memerlukan seorang pemborong
untuk melakukan pembenahan ini?”
“Tidak perlu.” Sahut Listi. “Aku kenal Rizki. Satu alumni
denganku di SMA. Dia seorang arsitek yang baru lulus. Waktu kuliah dulu dia
pernah sambil kerja pada sebuah perusahaan konsultan. Aku akan menghubungi dia.
Mungkin dia bisa mengerjakan pekerjaan ini dan tidak memasang tarif terlalu
mahal.”
“Baik. Soal pekerja?”
“Nanti setelah aku bicara dengan Rizki, kau bisa
membicarakan mengenai pekerja dengan Rizki. Mungkin dia sudah tahu siapa orang
yang bisa diambil untuk membantu pekerjaan ini.”
“Baik.” Sahut Agus.
Dua hari kemudian Listi menghubungi Rizki. Dia mendapat
telepon rumah Rizki dari buku alumni SMA. Ketika Listi menelepon, Rizki tidak
ada, tapi adik perempuannya memberinya nomor ponsel Rizki. Empat hari kemudian
setelah itu Rizki datang kerumah makan.
Dia tersenyum melihat Listi. Mereka dulu hanya selintas saling kenal.
“Kenapa kau ingat aku? Ada pekerjaan apa?” tanya Rizki.
“Dimana kau kerja?” tanya Listi.
“Aku masih menganggur.”
“Kalau begitu, sambil menunggu panggilan lamaran, bantu aku dulu membenahi
rumah makan ini.”
“Oke. Kau boss disini sekarang?”
“Aku senang mendapat panggilan boss.” Listi tertawa.
“Apa yang kau inginkan dengan penataan rumah makan ini.”
Listi mengambil sketsa yang telah dibuatnya. Dia memberikan
penjelasan pada Rizki apa yang diinginkannya. Rizki mengangguk.
“Oke. Aku mengerti.”
Dua hari kemudian
bagian dalam rumah makan itu sudah dibenahi. Untuk sementara waktu
pengunjung yang datang dilayani pada ruangan disamping ruangan yang sedang
diperbaiki itu. Pengunjung yang datang tidak sebanyak seperti hari-hari
biasanya, namun setiap hari rumah makan tidak pernah sepi dari pengunjung. Renovasi
yang dilakukan pada bagian dalam rumah makan tidak mengganggu pengunjung karena
pengunjung masuk melalui pintu samping.
Tiga bulan kemudian pekerjaan sudah rampung. Listi puas
dengan hasilnya. Kini pengunjung bisa memilih ingin makan dimana. Bisa makan
sambil duduk lesehan. Atau bisa juga duduk dikursi menghadapi meja makan. Dia
membuat sepuluh buah bilik untuk duduk lesehan, lima buah pada sebelah kiri dan
lima buah bilik lagi pada sebelah kanan. Diantara bilik-bilik itu ada kolam
empat persegi panjang yang memanjang. Lengkap dengan air mancur dan ikan-ikan
mas yang berenang kian kemari didalam kolam. Sementara yang memilih duduk, meja-meja ditata pada bagian
depan dekat pintu masuk rumah makan.
Suasana terasa jauh berbeda dengan semula. Didalam ruangan
kini terasa lebih sejuk. Waktu terasa begitu cepat berlalu. Tidak terasa setahun
lewat dia mengurus rumah makan warisan
ayahnya. Hari-harinya yang sibuk dan rutin seakan tidak disadarinya waktu terus
berjalan. Dia melihat rumah makan ayahnya sudah bisa mengimbangi persaingan pada bisnis serupa yang semakin banyak
bermunculan di Sumedang.
--- 0 ---
Waktu sudah menunjukan pukul delapan malam. Beberapa
pengunjung rumah makan masih menikmati makanan mereka. Listi menghampiri Kiki.
Dia menanyakan pemasukan hari itu ketika tiba-tiba beberapa buah lampu mobil
masuk kehalaman rumah makan dan serombongan orang, lelaki semua masuk kedalam
rumah makan, langsung menempati semua meja dan tempat lesehan.
“Kita kedatangan tamu banyak sekali, Ki.” Kata Listi, sesaat
memperhatikan rombongan yang baru datang itu.
Pelayan langsung sibuk melayani serombongan tamu itu. Suara
canda dan tawa rombongan tamu membuat suasana didalam rumah makan menjadi
ramai. Hampir semua makanan yang sudah tersaji diatas meja langsung tersikat
habis sambil menunggu pesanan makanan lainnya diantar. Beberapa orang lelaki
mengambil minuman dingin dari dalam lemari pendingin, meminta puluhan bungkus
rokok pada Kiki dan mengambil banyak makanan ringan yang pada rak-rak. Listi
hanya duduk mengawasi. Kiki sibuk melayani permintaan rombongan yang baru
datang itu. Hampir semua pelayan mondar mandir memenuhi pesanan mereka. Suasana
sungguh sibuk dan ramai.
Listi masuk kedalam ruangannya. Dia merasa lega, rumah
makannya semakin laku setelah dibenahi. Mungkin mereka menginformasikan dari
mulut ke mulut, pikir Listi. Dia menyalakan televise dan menonton sebuah
sinetron sambil membuka-buka majalah wanita yang tadi dibelinya. Mendadak dia
mendengar teriakan Kiki dan keributan didalam rumah makan. Suasana mendadak
gaduh. Teriakan Kiki nyaris tenggelam oleh suara gaduh dari pengunjung rumah
makan. Bergegas Listi keluar dari ruangannya. Dia mendadak bengong melihat Kiki
tengah berdiri panik memburu keluar.
“Hei! Bayar dulu! Kalian semua belum membayar semua
makanan!” teriak Kiki berkali-kali. Namun kemudian dia mengerut ketakutan
ketika seorang lelaki bertampang sangar menghampirinya.
“Kami supporter sepakbola. Harap catat semua makanan yang
sudah kami makan dan nanti ada pengusaha yang akan membayar semua makanan itu.”
Kata lelaki itu.
“Pengusaha mana?” tanya Kiki.
Namun lelaki itu sudah bergegas pergi meninggalkan Kiki dan
masuk kedalam sebuah mobil. Enam buah mobil yang mengangkut rombongan itu kabur
seketika. Kiki berteriak-teriak namun tidak ada yang mendengarkan.
“Ada apa?” tanya Listi. Perasaannya mendadak menjadi tidak
enak. Rombongan lelaki itu telah makan tanpa mau bayar.
“Mereka kabur.” Sahut Kiki dengan wajah kesal. “Begitu
banyak makanan yang mereka makan dan mereka pesan. Namun tidak sepeserpun yang
mereka bayar. Mereka menyerobot rumah makan kita.”
Listi merasa marah, namun dia tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. serombongan orang itu sudah pergi.
“Mereka mengakunya supporter sepak bola. Mereka baru pulang
dari Bandung menyaksikan pertandingan sepakbola.” Kata salah seorang lelaki
dengan istrinya yang baru akan membayar makanan. Listi tahu sepasang suami
istri itu kedatangannya hampir bersamaan dengan kedatangan serombongan orang
itu.
“Barangkali kesebelasan mereka kalah sehingga mereka
melampiaskan kekesalannya dengan menyerobot rumah makan. Kejadian seperti ini
sudah sering terjadi.” Kata lelaki itu lagi. Dia membayar makanan lalu pergi
bersama istrinya.
Listi ingin menangis. Rumah makannya menderita kerugian yang
sangat besar. Hampir semua makanan yang sudah terhidang diatas meja ludes habis.
Belum lagi makanan ringan, rokok dan minuman dingin yang memenuhi lemari es kini sudah kosong
melompong.
Kiki menangis. Dia kesal bercampur dengan ketakutan.
“Baru kali ini rumah makan kita mengalami kejadian seperti
ini.” Kata mak Dinah. Semua pegawai rumah makan berkumpul didalam rumah makan.
Listi terduduk dengan perasaan lemas. Dia menatap semuanya.
“Ibuku jangan diberitahu dengan kejadian ini. Kita ikhlaskan apa yang terjadi
malam ini.”
Semuanya mengangguk. Mereka
masih duduk berkumpul ditengah-tengah ruangan sambil membicarakan kejadian
tadi. Listi termenung sambil mendengarkan semuanya berbicara membicarakan
kejadian tadi. Bagi Listi kejadian malam ini sebagai teguran buat dirinya, barangkali dia lupa
dengan nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya. Kejadian malam ini
membuatnya ingat dengan masalah sedekah yang barangkali selama ini sudah
terabaikan olehnya karena kesibukannya mengurus rumah makan.
--- 0 ---
Kejadian penjarahan dirumah makannya malam kemarin membuat
Listi shock. Padahal dia baru saja
merasa lega karena sudah selesai membenahi bagian dalam rumah makannya. Tidak
diduga dia akan mendapatkan kejadian yang cukup mengejutkan itu semalam. Namun
dia tidak ingin kejadian itu membuatnya
menjadi tidak bersemangat mengurus rumah makan. Esok paginya, dia sudah bangun dan langsung ikut membersihkan
dan membereskan ruangan rumah makan yang
semalam terasa berantakan karena ulah tamu yang tidak bertanggung jawab. Adang
yang tengah membersihkan ruangan mencegah Listi membantunya bekerja.
“Jangan dibantu, Teh. Biar saya saja yang mengerjakan
pekerjaan ini. Ini sudah tugas saya.” Kata Adang buru-buru.
“Tidak apa-apa sekali-sekali aku ikut bekerja membereskan
ruangan.” Sahut Listi sambil terus bekerja. Setelah itu dia pergi ke dapur. Mak
Dinah dan pegawai lain tengah sibuk bekerja. Tanpa banyak bicara Listi ikut
bekerja bersama mereka. Jam Sembilan keadaan dirumah makan sudah seperti
semula, seolah tidak ada kejadian yang mengejutkan tadi malam. Listi mandi dan
berdandan. Dia keluar lagi dan duduk diruangannya seperti biasa. Hatinya sakit
dan sedih. Dia ingin menangis. Namun aku tidak boleh cengeng hanya karena
peristiwa semalam, pikir Listi. Aku harus tegar. Papa sudah mempercayakan rumah
makan ini kepadaku. Papa pasti tahu aku bisa meneruskan usaha papa ini. Listi
menoleh pada dinding. Photo ayahnya terpajang disalah satu dinding. Listi
tersenyum walaupun hatinya ingin
menangis.
Kejadian penjarahan di “Rumah Makan Listi” itu menjadi
berita pada beberapa surat kabar lokal. Beberapa wartawan datang mewawancarai
Listi. Namun Listi menanggapinya dengan sikap tenang dan biasa saja. Dia tidak
ingin membesar-besarkan kejadian itu. Dia yakin rejekinya akan datang kembali.
Dia sudah mengikhlaskan semua makanan yang dijarah tamu tidak bertanggung jawab itu. Baginya
lebih baik memikirkan apa yang akan dilakukannya kemudian daripada menyesali
kejadian yang sudah terjadi itu.
Winda berkali-kali menengoknya, mengira Listi sedih
berkepanjangan.
“Jangan khawatir.” Sahut Listi. “Aku semakin terpacu untuk
membuat rumah makan ini semakin maju.”
“Aku percaya padamu.” Sahut Winda. “Kau sekarang semakin
kelihatan penuh tanggung jawab. Aku senang melihatnya. Lupakan bekerja di
kantoran. Kau lihat aku, aku kerja dikantoran, punya gaji, namun ada kalanya
aku juga jenuh dengan rutinitas
sehari-hari.”
Namun ternyata ada hikmahnya dengan munculnya berita
dibeberapa surat kabar dan sikap Listi sebagai pemilik rumah makan yang tidak
emosional menanggapi kejadian dirumah makannya. Seperti sebuah promosi
terselubung, pengunjung yang datang kerumah makan tidak pernah berhenti dari
siang hingga malam hari menjelang tutup. Pelayanan semakin ditingkatkan. Listi
tidak ingin mengecewakan langganannya. Dia selalu berpesan kepada semua
pegawainya agar menjaga keramahan dalam melayani semua pengunjung. Kini didekat
setiap meja, ditempat lesehan dan pada beberapa sudut ruangan disediakan air
kendi. Air itu gratis dinikmati setiap pengunjung. Listi berharap siapapun yang
berkunjung kerumah makannya mendapatkan kesegaran dan kenyamanan seperti halnya
air dari kendi itu.
--- 0 ---
Dikala senggang, Winda sering mampir kerumah makan sekedar
minum kopi sambil ngobrol seperti kebiasaan ketika mereka masih tinggal
sekost-an di Bandung. Dan Winda selalu punya cerita untuk diceritakan pada
Listi.
“Lis, mungkin aku sudah punya guratan tangan nasib bahwa
nasibku selalu dipertemukan dengan lelaki yang usianya jauh lebih tua dari
aku…..” kata Winda.
“Maksudmu, pak Agung kembali lagi kepadamu?” tanya Listi.
“Tidak. Aku sudah tidak pernah berhubungan lagi dengan pak
Agung. Beberapa bulan lalu aku mendengar dia sudah menikah. Syukurlah. Aku ikut merasa bahagia
bila dia sudah menemukan wanita lain. kasihan, dia sudah terlalu lama menduda.
Dia pasti sudah lama mengharapkan memiliki seorang pendamping lagi…..”
“Lalu?”
“Aku bertemu lelaki lain. Tiga bulan lalu aku sempat dekat dengan seorang lelaki. Usianya duapuluh tahun diatas
aku. Kupikir kami tidak menjalin hubungan, namun kenyataannya aku dan pak Hari
selama beberapa bulan sempat dekat.”
“Astaga. Selalu kau
menjalin cinta dengan lelaki yang usianya jauh diatasmu. Kau seperti pacaran dengan
bapakmu saja.”
“Ya. Aku pikir pak Hari mencintaiku. Dia sangat memanjakan
aku. Dan aku juga mencintainya.”
“Lalu?”
“Aku mungkin tengah linglung ketika aku berkenalan dan dekat
dengan pak Hari. Dia begitu mempesona aku. Aku merasa sangat tertarik
kepadanya. Dan aku rasa pak Hari pun kelihatan sungguh-sungguh mencintai dan
menyayangi aku. Tapi kurasa hubunganku
dengan pak Hari akan membuatku banyak
ngebatin……” Winda menghela napas dalam.
“Kenapa?”
“Dia masih punya istri. Dan aku ingin dijadikannya sebagai
istri keduanya.”
“Astaga.”
“Dia memiliki dua anak
yang tengah beranjak remaja. Dan aku pun menyadari bahwa ketertarikanku pada
pak Hari mungkin karena terdorong oleh
kerinduanku pada figur ayah yang hanya sebentar kurasakan dalam hidupku. Ayahku
meninggal ketika aku berusia enam tahun. Aku memiliki kenangan yang sedikit
sekali tentang ayahku. Lalu ibuku menyusul lima tahun kemudian. Aku hidup
bersama dengan tanteku. Dan aku harus berjuang sendiri mengatasi kerinduanku
pada ayah dan ibu. Aku harus belajar dengan baik dan segera menyelesaikan
sekolahku agar aku bisa segera mendapatkan pekerjaan. Ketika aku bertemu pak
Hari, melihat sikapnya yang sangat menyayangi dan memanjakan aku, aku seakan menemukan
kasih sayang ayah kepadaku. Mungkin itu yang membuatku terdorong untuk
menerimanya. Namun kemudian aku menyadari, aku tidak mungkin akan bahagia
bersamanya bila dia tidak menginginkan anak dariku. Aku masih muda. Aku ingin
hamil dan memiliki anak. Aku ingin punya keturunan. Aku ingin hidupku normal.”
“Winda, aku mengerti….aku mengerti….” Ucap Listi terharu
ketika melihat mata Winda yang basah, lalu Winda menangis pelan.
Cerita Winda sempat membuat Listi berpikir, Winda sudah
menemukan seseorang walaupun usianya jauh lebih tua dari dirinya. Daripada aku
jadi perawan tua, apa tidak sebaiknya aku juga bercinta dengan seorang duda
yang umurnya sama dengan bapakku? Listi hanya tersenyum dengan pikirannya yang
kacau.
--- 0 ---
Listi bergegas keluar dari dalam mobilnya. Dia memburu rumah
makan yang dikerumuni banyak orang. Perasaannya mendadak menjadi tidak enak.
Dia melihat asap mengepul ke udara dari bagian dapur. Dia baru pulang
berbelanja ke supermarket membeli beberapa keperluan pribadinya. Tidak ada firasat
apapun namun saat berbelanja tadi dia merasa perasaannya mendadak menjadi tidak
nyaman.
“Ada apa?” teriak Listi.
“Tabung gas meledak.” Sahut
Agus. “Ceu Nenah….Ceu Nenah
meninggal…..”
Listi merasa lututnya lemas. Nenah yang sudah hampir sepuluh
tahun lamanya bekerja dirumah makan mereka. Dia sangat senang kepada perempuan
berusia tiga puluh lima tahun itu. Nenah sangat rajin dan dia sudah menjadi
juru masak andalan rumah makan mereka bila Mak Dinah sedang sakit. Selama ini
Nenah yang selalu menggantikan tugas-tugas mak Dinah.
“Saya sudah beberapa kali menghubungi ponsel teteh, namun
tidak nyambung terus.”
Listi tidak menjawab. Dia tidak membawa ponselnya ketika
pergi tadi. Listi masuk kebagian dapur yang telah disiram air oleh petugas
pemadam kebakaran. Dia melihat bagian dapur yang telah porak poranda. Bukan
musibah itu yang membuatnya merasa sangat berduka. Namun kematian salah seorang
pegawai rumah makan yang sudah dianggapnya sebagai bagian dari keluarganya sendiri.
Dia tidak kuasa menahan tangisnya. Apalagi ketika masuk kerumah, dia melihat
mak Dinah dan ibunya tengah duduk sambil berurai airmata.
Listi duduk didekat ibunya. Tiba-tiba saja dia merasa yang
paling bertanggungjawab dengan apa yang terjadi. Walaupun pada mulanya dia
tidak ingin bekerja meneruskan usaha
orangtuanya ini, namun kini ketika selama hampir setahun rumah makan ini
sudah beralih ketangannya, dia merasa
dirinya yang harus paling bertanggung
jawab dengan apapun yang terjadi dengan rumah makannya ini.
“Mama tidak usah cemas. Biar saya yang mengurus semua ini.”
Kata Listi.
“Ya, mama percaya kepadamu.” Sahut ibunya. “Lalu Nenah
bagaimana?”
“Saya akan segera ke rumah sakit. Saya akan mengurus
semuanya.”
Sehari itu pikiran dan tenaga Listi seakan terkuras mengurus
segalanya. Dia mengatur semua pegawai rumah makan untuk membereskan bekas-bekas
ledakan. Lalu segera pergi kerumah sakit mengurus jenazah Nenah, menghubungi
pihak keluarga Nenah dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk pemakaman Nenah keesokan
harinya. Kesedihan dan keharuan terasa mengaduk perasannya melihat kedua anak
Nenah yang menangis-nangis memanggil ibunya. Suami Nenah terpekur melihat jasad
istrinya yang terbujur kaku sudah tertutup kain kafan.
Malam itu Listi menangis. Dia merasa kelelahan dan
pikirannya seakan penuh dengan beban yang terasa berat membebani pikiran dan
perasaannya. Dia teringat pada almarhum ayahnya. Rumah makan itu baru selesai dibenahi. Tidak sedikit uang yang
dikeluarkannya untuk melakukan pembenahan didalam rumah makan itu sehingga
sesuai dengan keinginan dan seleranya. Namun baru dua bulan dia menikmati hasilnya,
kini sudah menunggu pekerjaan lain yang
lebih besar. Kerusakan yang paling fatal memang pada bagian dapur. Namun bagian
dalam rumah makan itupun mengalami kerusakan walaupun tidak separah bagian
dapur. Sementara rumah makan ini tetap harus buka dan harus melayani pembeli.
Listi memanggil Agus. Agus datang dengan wajah lelah. Dia
yang paling sibuk mengurus segalanya. Selama ini Agus sudah menjadi orang
kepercayaan Listi dalam mengurus segala macam urusan rumah makan.
“Gus, kita harus bekerja keras.” Kata Listi. “Kita harus
bekerja keras lagi. Rumah makan harus
tetap buka dan memberikan pelayanan. Kita membuat dapur darurat untuk sementara
waktu sambil menunggu perbaikan pada rumah makan ini. Bagian dalam harus ddibenahi
lagi. Teteh yakin walaupun rumah makan kita sedang dalam kondisi begini,
namun pelanggan pasti akan tetap datang
kemari.”
“Ya. Saya juga berpikir begitu.” Sahut Agus.
“Kejadian ini musibah sekaligus ujian buat teteh.”
Agus menghela napas dalam. “Ya, benar. Kejadian ini musibah
sekaligus ujian buat teteh, buat kita semua.”
“Ya, buat kita semua.” Air mata Listi menitik.
Agus menatap Listi.
“Saya akan berusaha membantu teteh semampu saya.”
“Aku percaya kepadamu. Kau selama ini sudah sangat membantu
aku.”
Seminggu kemudian Listi pergi ke bank. Dia mencoba
mengajukan pinjaman dana untuk memperbaiki rumah makannya. Dengan jaminan tanah dan bangunan rumah makan, dia berhasil
mendapatkan pinjaman dari bank. Kini Listi sudah tidak memikirkan lagi
pekerjaan apapun. Mengurus rumah makan peninggalan ayahnya ini adalah
pekerjaannya. Tanggung jawabnya telah total untuk mengurus rumah makan warisan
ayahnya ini.
Listi menghubungi
Rizki lagi. Dia menceritakan musibah yang menimpa rumah makannya. Rizki
kelihatan prihatin sekali. Dia masih ingat bagaimana mereka berdua bekerja sama
dengan penuh kesungguhan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan konsep yang
mereka inginkan. Namun belum lama Listi menikmati hasil kerja itu, musibah
sudah keburu datang memporakporandakan karya yang telah dibuatnya dengan susah
payah. Namun Rizki kali ini tidak bisa
membantunya. Dia sudah mendapatkan pekerjaan
di Jakarta, pada sebuah perusahaan konsultan.
“Jangan khawatir, aku punya teman yang bisa membantumu.”
Kata Rizki menghibur Listi.
“Oh, ya? Siapa? Aku senang
bila kau bisa menunjukan temanmu itu yang akan membantuku mengatasi
masalah yang tengah kuhadapi ini.” Ucap Listi lega.
“Namanya Krisna. Dia teman kuliahku dulu. Sejak masih kuliah
dia sudah bekerja pada perusahaan
konsultan milik ayahnya. Sekarang setelah dia lulus beberapa tahun lalu, dia tinggal di Sumedang memegang salah satu usaha
konsultan ayahnya. Kau bisa lebih mudah berhubungan dengannya.”
“Oke. Aku minta nomor teleponnya.” Ujar Listi. Tapi sesaat
kemudian dia merasa ragu. “Rizki, jangan-jangan kalau berhubungan dengan yang
sudah punya perusahaan konsultan sendiri, aku harus membayar mahal.”
Rizki tertawa. “Nanti aku akan hubungi Krisna lebih dulu dan
memberitahunya bahwa ada salah seorang temanku yang membutuhkan jasanya.
Setelah itu kau nanti coba hubungi dia. Jangan khawatir, untuk urusan biaya kau bisa nego harga denganmu.”
“Oke.” Sahut Listi.
--- 0 ---
Listi menelepon Krisna dua hari setelah menelepon Rizki. Suara
Krisna terdengar akrab walaupun mereka
belum pernah bertemu.
“Ya, Rizki kemarin malam sudah menelepon saya.” Sahut
Krisna.
“Bagaimana kalau bapak datang kerumah makan saya agar kita
bisa berbicara dengan leluasa.” Kata Listi.
Krisna tertawa. “Jangan panggil saya bapak. Panggil saja
saya Krisna.”
“Oke.”
Krisna datang sore
itu. Listi sudah duduk menunggunya disalah satu meja dirumah makan sambil
menikmati kue dan secangkir teh. Ketika Krisna datang menghampiri, Listi
menjadi bingung. Lelaki itu penampilannya sangat simpatik. Kalem dan terkesan
tidak banyak bicara.
“Silahkan duduk.” Kata Listi.
“Terima kasih.” Krisna duduk didekat Listi.
“Bagaimana?” Kedua-duanya
melontarkan pertanyaan itu hampir bersamaan. Lalu keduanya sama-sama
diam. Dan tersenyum.
“Maksud saya, kapan pekerjaan akan dimulai? Saya ingin
secepatnya.”
“Baik.” Sahut Krisna.
Beberapa saat kemudian Listi dan Krisna sudah terlibat dalam
pembicaraan yang serius. Listi
memberikan penjelasan mendetail
dengan apa yang diinginkannya. Krisna
memahami keinginan Listi. Listi menginginkan bagian depan rumah makan
dibangun untuk beberapa fungsi. Sebagai rumah makan namun juga bisa dipakai
sebagai tempat resepsi. Dia melihat kebutuhan akan sebuah tempat resepsi
semakin meningkat.
“Oke.” Sahut Krisna.
“Ngomong-ngomong, aku ingin kerja sekalian.” Ucap Listi.
“Apa lagi?”
“Kau lihat lahan disamping rumah makan ini, masih cukup luas
untuk dibuat sebuah tempat usaha lagi.”
Listi mengajak Krisna melihat lahan disamping rumah makan.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Krisna.
“Aku ingin membuat sebuah kedai kopi. Sebagai alternatif
usaha lain selain rumah makan ini.” Kata
Listi. “Setelah aku menjalankan usaha
rumah makan ini, terpikir olehku untuk melakukan perubahan. Aku melihat jaman selalu berubah. Kebutuhan manusia akan tempat makan
bukan lagi sekedar untuk mengisi perut.”
“Ya.” Sahut Krisna.
“Aku melihat
anak-anak muda banyak yang mencari tempat untuk duduk minum kopi sambil
berkumpul, sekedar mengobrol ataupun untuk berdiskusi. Aku melihat saat ini banyak kalangan yang
membutuhkan tempat yang menyediakan makanan dan minuman untuk duduk berkumpul.
Bukan sekedar untuk mengobrol ringan, namun juga untuk kebutuhan yang lebih
serius. Bukan sekedar untuk tempat minum
dan bersantai. Namun bisa dijadikan tempat untuk berdiskusi sambil menikmati
secangkir kopi dan makanan ringan.
Banyak remaja yang mencari tempat untuk berkumpul. Sekedar untuk minum kopi
atau juga untuk berdiskusi.” Kata Listi. “Aku
memutuskan untuk membuat perubahan dengan gaya rumah makan yang
dikelolanya. Lahan disamping rumah makan masih cukup luas. Aku ingin membangun
sebuah kedai kopi dengan penataan yang berbeda dengan
rumah makan. Kedai kopi dengan bentuk yang artistik.”
“Oke. Aku bisa menangkap keinginanmu.” Kata Krisna. Krisna
mengukur-ngukur luas lahan.
“Aku akan membuat rancangan kedai kopi seperti yang kau
inginkan. Bila sudah digambar nanti akan kelihatan mana yang cocok dan mana
yang kurang sesuai dengan keinginanmu.”
“Oke.” Sahut Listi.
Keduanya kembali ketempat duduk tadi. Dua jam lamanya mereka berdiskusi kemblali hingga akhirnya mereka mencapai kesepakatan. Tugas
Krisna bukan hanya melakukan perbaikan dan renovasi pada rumah makan. Namun
Listi sekalian meminta Krisna membangun sebuah kedai kopi pada lahan tanah disamping rumah makan.
“Aku sudah memikirkan dan mempertimbangkan mendirikan kedai
kopi ini sebelum musibah itu terjadi pada rumah makan itu.” Kata Listi. “Aku ingin membuka usaha lain selain
mengelola rumah makan peninggalan ayah ini.”
“Kau cukup kreatif.” Komentar Krisna.
“Terima kasih.” Sahut Listi. Tersenyum. “Padahal sebelumnya
aku mati-matian tidak mau meneruskan usaha rumah makan ini. Aku ingin bekerja
di kantoran. Aku sempat berdebat lama dengan papa. Namun setelah papa meninggal,
pikiranku menjadi berubah. Aku merasa bertanggungjawab untuk meneruskan usaha
rumah makan yang sudah hampir duapuluh tahun dikelola papa.”
“Kau sebenarnya cocok menjadi pengusaha rumah makan. Aku
melihat kau penuh tanggung jawab dan sangat kreatif.”
“Terima kasih. Aku juga sudah tidak ingin lagi bekerja di
tempat lain.” sahut Listi. “Ternyata mengelola bisnis rumah makan sangat
menyita pikiranku dan membuat aku tetap harus kreatif bila aku menginginkan
rumah makan ini dapat bertahan ditengah-tengah persaingan bisnis rumah makan
yang sekarang semakin ramai di Sumedang ini.”
“Ya.” Sahut Krisna. “Bisnis rumah makan semakin hari semakin
bertambah banyak pesaingnya. Banyak rumah makan-rumah makan baru yang
bermunculan dengan menu-menu andalan mereka untuk menarik banyak langganan.
Namun kau tidak perlu khawatir. Aku yakin bila rumah makanmu ini selalu
memuaskan selera konsumen, konsumen akan tetap datang lagi makan dirumah
makannya.”
Bekerja sama dengan Krisna sangat menyenangkan. Krisna
orangnya santai namun serius bila sudah bekerja. Dan Krisna bisa menangkap
keinginan-keinginan Listi. Krisna ternyata bisa menerapkan ide-idenya dengan
baik. Setiap hari memantau pekerjaan itu sangat menyita waktu dan pikirannya,
namun Listi menikmati semuanya itu. Dia setiap hari memantau perbaikan dan renovasi yang tengah dikerjakan. Enam bulan lamanya
perbaikan dapur dan renovasi dilakukan. Akhirnya Listi bisa tersenyum puas
melihat rumah makannya sudah selesai direnovasi dan sebuah kedai kopi berdiri
disamping rumah makan itu.
Listi menyadari,
pendirian kedai kopi itu yang semula dijadikan alternatif usaha
lain buatnya, kini membuatnya merasa
semakin mantap bahwa mengelola bisnis rumah makan sudah menjadi jalan
hidupnya. Rumah makan dan kedai kopi
itu diberi nama sama ‘Rumah Makan Listi” dan “Kedai Kopi Listi’
--- 0 ---
Malam itu Listi
membuka album-album photo lama. Dia tersenyum melihat photo ayahnya dan
dirinya ketika dia masih berusia lima tahun. Rambutnya yang panjang diikat menjadi
satu dengan hiasan pita yang besar. Mereka diphoto didepan rumah kakeknya.
Rumah dengan arsitektur kuno. Rumah itu sekarang masih ada dan ditempati oleh
salah seorang adik ayahnya. Kenangan-kenangannya bersama ayahnya sangat banyak.
Semuanya kini terukir indah dalam hatinya. Betapa berartinya kehadiraan ayahnya
justru setelah ayahnya kini tidak ada lagi.
Ayah, aku sudah mengikuti keinginanmu. Aku sudah bekerja keras
meneruskan usahamu mengelola rumah makan warisanmu ini. Andai engkau masih ada, mungkin engkau akan
tersenyum melihat aku ternyata bisa menjalankan warisanmu ini.
Pintu kamar terbuka. Ibunya masuk. Ibu menatap album photo ditangan Listi.
Dengan langkah yang berat karena menahan beban bobot tubuhnya yang semakin
gemuk, ibu duduk disamping Listi.
“Waktumu hanya untuk mengurus rumah makan. Kapan engkau
mulai memikirkan dirimu sendiri.” Kata ibunya.
Listi menghela napas
dalam. Dia seakan sudah kehilangan pergaulannya. Pengkhianatan Donie seakan
membuatnya kehilangan semangatnya untuk memulai lagi membina hubungan dengan
lelaki lain.
“Mama khawatir engkau patah hati setelah hubunganmu berakhir
dengan Donie.” Ucap ibunya.
“Oh, mama jangan berpikir bergitu. Dalam menjalani sebuah
hubungan sudah menjadi sebuah resiko bila hubungan itu putus ditengah jalan.”
“Sayang sekali, padahal mama sudah setuju bila engkau
menikah dengan Toni.”
“Mama tidak usah memikirkan Donie lagi. Dia sudah menjadi
masa lalu bagiku. Aku sudah tidak ingin mengingatnya lagi. Aku ingin menatap
masa depanku dengan lelaki lain dan
tidak menoleh lagi kebelakang.”
“Apakah sudah ada lelaki itu?”
Listi tersenyum. “Bila sudah ada, aku pasti akan segera
memberitahu mama.”
“Mama hanya berdoa semoga gusti Allah memberikan yang
terbaik untukmu.”
“Amien.” Sahut Listi. “Ma, jangan lupa besok kita meresmikan
rumah makan dan warung kopi. Tidak banyak yang diundang. Hanya sekitar duapuluh
lima orang saja.”
Ibunya mengangguk lalu keluar kamar.
--- 0 ---
Listi tersenyum ceria
menyambut kedatangan tamu-tamunya yang mulai berdatangan memenuhi kedai kopinya
dan menempati setiap meja didalam ruangan. Buket-buket bunga mawar merah
muda dan putih yang ditata dengan indahnya menghiasi semua meja. Hari ini
syukuran pembukaan kedai kopinya. Hanya
sekitar duapuluh lima orang yang
diundangnya, sebatas kenalan-kenalan dekatnya saja. Termasuk Yulia, Winda dan Krisna.
“Selamat. Semoga sukses.” Kenalan-kenalannya bergantian memberikan selamat kepada Listi.
“Kita seperti sedang reuni.”
Ucap Winda. Dikecupnya keduabelah pipi Listi.
“Betul, kita seakan reuni lagi.” Sambung Yulia ceria
“Masih sempat ke
salon?” goda Yulia yang melihat penampilan Listi lebih sederhana dibanding dulu.
“Ke salon? Mana sempat? Setiap hari aku sibuk mengurus
masakan dan mengelola rumah makan ini.” Sahut Listi.
“Mengurus rumah makan bukan berarti harus seperti koki.”
Komentar Yulia.
Listi memperhatikan
Yulia yang kelihatan semakin cantik dan menarik. Dari ujung kepala sampai ujung
rambut penampilannya bak seorang model. Rambut Yulia masih tetap berwarna
kemerahan. Dipoles lebih trendi. Penampilannya semakin cantik dan modis. Sejak
dulu Yulia selalu tampil lebih gaya dibanding. Listi dan Winda
banyak belajar dari Yulia bagaimana membuat penampilan mereka lebih
menarik. Mereka berdua mengikuti Yulia mengenal salon dan menikmati beragam
fasilitas perawatan salon dari mulai rambut sampai kaki.
“Kau pastinya masih tetap langganan salon…” komentar Listi.
“Tentu dong. Itu sudah kewajiban.” Yulia tertawa renyah.
“Sesibuk apapun aku dengan urusan pekerjaan, aku masih tetap merawat diri. Nah,
kau. Kenapa kesibukan mengurus rumah makan harus dijadikan alasan jadi tidak
sempat mengurus diri sendiri?”
Sebelum sibuk dengan rumah makannya, Listi masih selalu menyempatkan dirinya merawat
kecantikannya di salon. Namun ketika pikiran dan tenaganya seakan tercurah
mengurus rumah makan, dia nyaris tidak pernah lagi pergi ke salon. Tak sadar Listi
menunduk memperhatikan kuku-kuku tangannya yang dirawat
sekedarnya dan sekilas dia memperhatikan kuku-kuku tangan Yulia yang
indah terawat, dibandingkan dengan kukunya sendiri. Kapan-kapan aku akan
menyempatkan diri lagi memperhatikan penampilanku seperti dulu.
“Yah, nanti aku akan menyempatkan diri merawat diriku
seperti dulu lagi.” Sahut Listi.
“Harus. Kau belum kawin. Bila tidak merawat diri, bisa-bisa
kau tampil lebih tua sebelum waktunya.” Yulia tertawa.
Winda menoleh pada
Yulia. “Apalagi nona kita yang satu ini, sibuk melancong kesana kemari…”
“Perjalanan dinas.” Potong Yulia sambil ketawa senang.
“Menemani bos, urusan pekerjaan sekaligus menikmati jalan-jalan.”
“Maklum sekretaris.” Winda tersenyum. “Bosmu cakep juga. Aku
pernah melihatnya ketika kekantormu dulu. Bisa dong kau kenalkan pada kita.
Keturunan Pakistan, ya?”
“Bukan. Masih ada darah Mesir. Dari ayahnya. Ibunya asli
orang priangan.”
“Masih bujangan?” Tanya Listi.
Yulia hanya tersenyum
mendengar pertanyaan itu.
“Duda keren.” Sahut Winda.
“Ngomong-ngomong,
kapan diantara kita bertiga yang akan lebih dulu menikah?” Yulia menatap Listi.
“Kau? Barangkali kau yang akan duluan?”
“Aku maunya begitu.” Sahut Listi. “Tapi jodohku belum datang
juga. Kali kamu, Win yang akan duluan.”
“Mudah-mudahan.” Sahut Winda dengan wajah gembira.
“Coba kita berkaca, apa wajah kita sudah berkeriput
sekarang?” Winda menarik tangan Yulia
dan Listi kehadapan cermin besar yang ada diruangan itu. Mereka bertiga berkaca
bersama dan sama-sama tertawa. Mereka kini sudah lebih dewasa dari tujuh tahun
lalu.
“Tidak usah risau dengan keriput.” Tukas Yulia sambil duduk
lagi. “Orang tetap bisa tampil cantik dan segar bila terus menerus melakukan
perawatan dan menjaga kecantikan. Nah, aku sudah mulai redup tidak? Aku tidak
khawatir dengan pertambahan usia. Aku masih rajin olah raga, makan buah-buahan
dan sayuran, berpikir positif dan selalu oftimis. Ini caraku untuk menjaga agar
aku tidak kelihatan tua walaupun usia semakin hari semakin bertambah dan
jodohku belum datang juga.”
“Listi, kedai
kopimu nyaman sekali. Bisa aku manfaatkan untuk berdiskusi dengan
teman-temanku. Kita kadang suka kesulitan mencari tempat yang nyaman untuk
sekedar berdiskusi ringan sambil ngopi.” Kata Winda.
“Tentu,” Listi tersenyum.
“Kedai kopi ini justru sebagai tempat
minum sambil berdiskusi. Aku senang bila kau menjadikan Kedai kopi ini sebagai tempat diskusi dengan
teman-temanmu.”
“Oh, ya. Jangan lupa segera menikah. Kau sudah berhasil meneruskan
usaha ayahmu mengelola rumah makan ini. Sudah saatnya engkau memikirkan dirimu
sendiri.” Atiek, adik ayahnya menghampiri Listi.
“Ya, tante. Itu pasti. Aku harus menikah dan punya anak.”
Sahut Listi.
“Nah, calonnya sudah ada, ya?” Atiek menatap Listi gembira dan penuh harapan.
“Belum, tante. Nanti aku kabari bila aku sudah punya calon.”
Listi mengajak Yulia
dan Winda menemui ibunya. Ibunya duduk dikursi seperti biasanya.
“Selamat siang, tante.” Sapa Yulia dan Winda bersamaan.
“Halo.” Sahut ibunya Listi. “Syukurlah kalian datang kemari.
Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kabar kalian semua?”
“Yulia sekarang bekerja diperusahaan pengembang perumahan. Winda sudah menjadi seorang pegawai negeri di
pemda.”
“Kalian sudah menikah?”
Mendapat pertanyaan itu Yulia dan Winda langsung tersenyum.
“Belum, tante. Belum ada yang berminat.”
“Kalian semua hanya memikirkan urusan karier saja.”
“Tidak juga, tante.” Sahut Winda. “Kami
sudah lama ingin menikah namun jodoh kami belum datang juga.”
Ketika sudah jauh dari ibunya, Yulia
berkata pada Listi. “Lis, mamamu jadi
gemuk begitu? Dulu seingatku mamamu tidak segemuk seperti sekarang.”
“Sejak ayah meninggal, hobi mama ngemil
seakan tidak terkendali.” Sahut Listi. “Kalian lihat sendiri tadi, mama sibuk
mengunyah. Bertoples-toples kue dan makanan ringan didekatnya.”
“Mungkin mamamu mengalihkan
kesedihannya pada makanan.” Ucap Winda.
“Bagaimanapun aku bersyukur masih bisa mengurus mama.” Ucap
Listi. “Aku sedih melihat keadaan mama yang semakin gemuk dari hari ke
hari. Namun aku tetap bersyukur kepada
Allah yang masih memberiku kesempatan
untuk merawat mama seperti halnya dulu mama sudah merawat aku dengan
sebaik-baiknya.”
“Mamamu pasti ingin menyaksikan engkau menikah dulu, Laras.”
Ucap Winda.
“Inilah masalahku.” Ucap Listi. “Sudah lama mama dan semua
keluargaku menginginkan aku segera menikah. Masa aku akan melajang terus. Namun
apa mau dikata bila jodohku belum datang juga?”
“Kau tidak sendirian.” Tukas Winda. “Aku juga belum.
Bagaimanapun keluargaku mendesakku untuk segera berumah tangga namun aku tidak
ingin hanya karena sudah merasa terdesak oleh keinginan orangtua dan terdesak
oleh umur yang makin menua membuat aku seakan tergesa-gesa untuk menikah. Yah,
aku tidak mau begitu.”
Ketika tengah duduk bertiga, mendadak Listi sadar. Dia
melupakan seseorang. Diedarkannya pandangannya. Dia lega. Krsna masih ada
dikedai kopi, tengah duduk sendirian disalah satu meja. Listi bergegas
menghampiri.
“Halo, Kris. Maaf aku baru sekarang menyapamu.”
“Tidak apa.” Krisna tersenyum. “Kau kelihatan asyik dengan
kedua temanmu.”
“Ayo kukenalkan pada mereka.” Listi menoleh pada Yulia dan
Winda dan melambaikan tangannya pada mereka. Keduanya menghampiri.
“Yul, Win, kenalkan ini Krisna, yang menggarap pembuatan
kedai kopi ini. Pokoknya dari awal hingga tuntas dia yang mengerjakan.”
“Oh, asyiknya.” Komentar Winda, sekedar berkomentar. Dia
tersenyum menatap Listi. “Walau kedai kopi sudah rampung, namun silaturahmi
harus tetap terjalin.”
“Ya, tentu saja.” sahut Yulia tersenyum menggoda Listi. “Mungkin
dari kerjasama yang baik segalanya berawal….”
“Astaga! Kalian bicara apa sih?” seru Listi. Namun dalam
hati dia senang digoda begitu.
Krisna hanya tersenyum. Sikapnya tetap santai.
--- 0 ---
Malam itu Yulia menelepon. Suaranya tersendat-sendat seakan
menahan tangis. “Listi…..aku ingin minum kopi…”
“Minum kopi? Datang saja kemari. Jangan sambil menangis
begitu.”
“Kau tidak tahu, aku sekarang sedang bingung.” Ucap Yulia
lirih.
“Sekarang kau dimana? Di Bandung?”
“Di Sumedang. Aku baru datang. Aku sengaja pulang ke
Sumedang. Aku….aku sedang punya persoalan. Aku ingin punya teman bicara.”
“Datang aja ke kedai kopi, ya. Begitu kau datang, aku sudah ada disana.”
Yulia datang dua puluh menit kemudian. Dia langsung bercerita.
Akhirnya dia menerima Wisnu, lelaki yang sudah lama ingin dijodohkan ayahnya
dengannya. Walaupun Yulia seringkali merasa kesal dengan komentar-komentar
Wisnu yang selalu mengkritiknya, namun akhirnya dia mencoba menjalani hubungan
mereka untuk menyenangkan perasaan orangtuanya. Yulia mencoba kelihatan
bahagia. Namun kenyataannya dia tetap tidak bisa merasa bahagia disamping
Wisnu.
“Aku tidak mencintai Wisnu, namun aku tidak bisa menolaknya.
Dia sudah sangat memikat hati seluruh keluargaku, juga kedua orangtuaku.” Kata
Yulia.
“Lalu, kenapa engkau seperti bersedih?”
“Aku seperti hidup dijaman Siti Nurbaya lagi ketika masalah
jodoh diatur orangtua. Dijaman modern sekarang ini aku ternyata aku masih
mengalami kehidupan cara tradisional yang sungguh terasa memalukan untuk
kujalani.”
“Siapa tahu pilihan orangtuamu tepat untukmu.” Hibur Listi.
“Kau tidak tahu, aku sering merasa kesal menghadapi
sifatnya. Wisnu sering mengkritik aku. Mengkritik penampilanku. Mengkritik hobiku yang senang pergi ke salon, spa, melakukan beragam
perawatan, menjaga penampilanku. Dia ingin aku lebih sederhana seperti yang
diinginkannya. Dan aku tidak bisa mengikuti keinginannya. Aku punya kesenangan
sendiri yang tak ingin diusik oleh
Wisnu.”
Ketika Yulia sudah pergi, Listi masih termenung dimejanya
sambil menikmati secangkir kopi lagi. Secangkir kopi yang pertama sudah habis. Kini tinggal aku sendiri yang belum memiliki
tambatan hati, pikir Listi. Kapankah pangeranku akan datang dan meminang aku?
--- 0 ---
Waktu menunjukan pukul lima sore lewat beberapa menit.
Diluar hujan turun dengan derasnya. Cuaca terasa dingin sekali. Listi masuk
kedalam kedai kopi. Hampir setiap hari warung kopi selalu penuh dengan pengunjung. Terutama
menjelang sore, banyak anak-anak muda yang duduk berkumpul. Hanya sekedar minum
kopi sambil mengobrol ringan. Atau sambil berdiskusi. Mereka berdua atau
bertiga. Duduk berkumpul dalam satu meja sambil menghadapi laptop masing-masing.
Kebanyakan mereka mahasiswa yang tengah
menyelesaikan tugas bersama sambil berdiskusi.
Semula hanya satu dua orang saja yang datang berkunjung ke kedai
kopinya. Namun kemudian makin banyak
anak-anak muda yang kebanyakan mahasiswa yang memanfaatkan tempat itu untuk
berkumpul dan berdiskusi. Mereka membawa laptop dan berada didalam kedai kopi sampai malam menjelang tutup. Makin lama yang
datang ke kedai kopinya bukan hanya
kalangan remaja. Banyak pegawai yang menjadikan kedai untuk berkumpul dengan rekan-tekan mereka.
Listi sendiri seakan terpengaruh dengan suasana di kedai
kopinya. Dia tidak ingin terus menerus disibukkan dengan urusan rumah makan.
Keberadaan kedai kopi ini membuatnya
bisa menikmati hal lain. Kesenangannya menulis cerita anak-anak tumbuh lagi.
Dikala senggang, dia kembali menulis cerita anak-anak seperti yang sudah sering
dilakukannya dulu sejak dia masih duduk dibangku SMP. Bila kedai kopi tidah begitu penuh dan dia sendiri sudah
santai, terutama sore dan malam hari, dia sering duduk disana. Asyik dengan
laptopnya ditemani secangkir kopi dan sepiring kecil makanan ringan. Sendirian saja. Sambil bekerja, dia mulai mengamati kegemaran
pengunjung kedai kopinya. Rata-rata pengunjung yang kebanyakan anak muda sangat
menggemari jus. Aku harus membuat variasi jus agar pengunjung tidak bosan,
pikir Listi. Minuman jus memang selalu jadi favorit pengunjung. Apalagi kalau
dinikmati siang hari. Sebelumnya kedai kopinya hanya menyediakan jus mangga,
tomat, melon dan jambu. Namun kini Listi meminta pegawai kedai kopi untuk
menambah variasi jus.
“Kedai kopi kita semakin bertambah pengunjungnya. Mereka
bukan hanya sekedar minum kopi dan makanan ringan. Mereka perlu variasi
tambahan makanan dan minuman.” Kata Listi pada Kiki yang kini bertugas sebagai
manajer di kedai kopi.
“Oke.” Sahut Kiki. “Kita bisa mencampur beraneka macam
buah-buahan dan memberi nama yang agak aneh-aneh pada jus-jus itu seperti yang
biasa kita lihat di kafe-kafe lain.”
“Aneh-aneh?”
“Ya. Anak muda jaman sekarang lebih suka minuman dan makanan
dengan nama aneh-aneh dan berbau kebarat-baratan padahal olahan minuman dan
makanan itu asli dari kita sendiri.” Sahut Kiki. “Barangkali teteh kau punya ide?”
.
“Ya. Kita sajikan minuman dan makanan dengan nama khas kedai
kopi kita.” Listi tersenyum. “Jangan beri nama yang berbau kebarat-baratan.
Kita bikin dengan nama diambil dari bahasa kita sendiri.”
Besoknya ‘Kedai Kopi Listi’ sudah menambah menu baru dalam
daftar menu. Kedai kopi itu kini menyediakan lebih banyak aneka jus. Jus jarimon merupakan jus yang terbuat dari jambu,
stroberi, dan lemon,. Sendangkan jus jabingmon adalah campuran buah jambu, belimbing dan
lemon. Lain dagi dengan jus rici lemon yang dibuat dari stroberi, leci dan lemon.
Selain itu penyajian pun disesuaikan dengan pesanan. Mulai jus blend alias jus
campuran atau jus solid alias jus biasa.
Selera pengunjung yang beragam mendorong Listi merubah
konsep kedai kopinya. Pilihan menu tak
hanya kopi dan kudapan, juga aneka masakan berat. Dulu, sesuai dengan namanya kedai kopi awalnya hanya tempat ngopi sambil mengobrol
ditemani makanan ringan. Daftar menu pun
didominasi aneka minuman berbahan dasar kopi. Listi memperhatikan, saat ini
kedai kopi yang murni hanya menyediakan
kopi bisa dihitung dengan jari. Mayoritas konsepnya sudah berubah kedai kopi plus resto. Alasannyan untuk memenuhi selera
pengunjung yang berbeda-beda. Sehingga makin lengkap menu tersedia, makin betah
pengunjung dibuatnya.
Minuman yang bisa dipesan tak hanya kopi, juga the, soft
drink, jus hingga es krim. Camilan pendamping nya pun lebih bervariasi. Yang
tadinya hanya kacang atau keripik, kini dilengkap aneka cake, pizza, sup,
hingga chicken wing. Cukup meneguk
secangkir kopi dan ngemil kudapan berat itu pun
sudah mengenyangkan.
Perubahan itu sebagai langkah penganekaragam menu. Pasalnya
pengunjung terkadang ada yang hanya
berniat ngopi sambil ngemil, tapi ada juga yang ingin makan berat.
Diantara sekian banyak pengunjung tetap kedai kopinya, ada
seorang yang rutin datang ke kedai kopinya. Dalam seminggu, kadang tiga kali
nongkrong dikedai kopinya. Krisna. Sore itu Listi tak sengaja memperhatikan Krisna.
Sudah beberapa kali dia memergoki Krisna duduk dikedai kopi, asyik dengan laptopnya dan minumannya. Seakan
tak peduli dengan pengunjung lain yang kebanyakan anak-anak muda yang berkumpul
dengan teman-temannya. Dia kadang datang dengan beberapa teman kantornya. Atau
kadangkala sendirian. Pernah ada seorang
gadis yang menemaninya duduk dikedai kopie. Namun hanya sekali itu saja. Hari-hari
berikutnya bila Krisna datang lagi ke kedai
kopi, dia selalu duduk sendirian
menghadapi laptopnya dengan secangkir kopi yang biasanya tidak kurang dari
secangkir kopi yang dipesannya. Krisna seakan
menikmati kesendiriannya dan tidak terusik dengan obrolan-obrolan anak muda
didekatnya.
Diluar hujan masih turun dengan derasnya. Listi duduk santai
dengan laptopnya. Dia duduk disudut ruangan ketika Krisna masuk kedalam kedai kopi dan mengambil tempat
duduk tidak jauh darinya.
“Halo.” Sapa Krisna sambil lalu.
“Hai.” Sahut Listi, menoleh sejenak, tersenyum dan kembali
mengalihkan perhatiannya pada internet. Seperti biasanya, mereka hanya bertegur
sapa sekedarnya dan asyik dengan kesibukan masing-masing.
Krisna menaruh laptopnya diatas meja, membuka dan
menyalakannya, lalu dia beranjak akan memesan kopi. Krisna kembali. Sesaat
kemudian dia sudah asyik menghadapi laptopnya.
Krisna masih tetap
asyik dengan laptopnya ketika seorang perempuan berambut sebahu masuk kedalam kedai
kopi dan menghampiri meja Krisna. Wajah
gadis itu cantik namun kelihatan tengah kesal.
“Rupanya kau disini. Tadi aku mencarimu kerumah.” Kata
perempuan itu, suaranya terdengar
berupaya keras agar terdengar sabar.
Krisna hanya menoleh
sekilas pada perempuan itu lalu kembali asyik dengan laptopnya.
“Hai.” Sapa Krisna sekedarnya.
“Kenapa engkau jadi senang duduk-duduk disini?” tanya
perempuan itu. Dia duduk dihadapan Krisna, memperhatikan cangkir kopi yang
tinggal separuh, piring berisi makanan, lalu menatap Krisna lagi.
“Kenapa bila aku senang duduk disini?” Krisna balik bertanya seakan tidak mengacuhkan
kehadiran gadis itu.
“Kukira ada seseorang yang membuatmu merasa betah tinggal
disini. Mungkin kau sudah ada janji bertemu dengan seseorang disini?” sahut
perempuan itu.
Kini Krisna mengalihkan perhatiannya dari laptopnya. Dia
mengangkat wajahnya dan menatap gadis itu.
“Agni, sudah berulangkali aku bilang kepadamu, aku tidak
suka dengan sifatmu yang selalu pencemburu seperti itu. Selalu curiga aku
bersama dengan siapa, aku dengan siapa. Kenapa sih pikiranmu tidak bisa jernih
sedikit dan menghilangkan cemburu dan curiga yang tidak pernah ada manfaatnya
untukmu.”
Wajah perempuan yang dipanggil Agni itu sedikit merengut mendengar ucapan Krisna. “Mas
Krisna, aku tidak cemburu…”
“Kau selalu saja cemburu, Agni. Lama-lama aku bosan dengan
sifatmu ini yang selalu penuh cemburu dan curiga. Hubungan kita jadi tidak
tenang. Aku jadi sering merasa tidak nyaman bila tengah bersamamu. Kurasa
engkau bisa memahami sendiri dengan ketidaksukaanku ini.” Ucap Krisna dengan
suara tegas.
Listi tidak berani menoleh pada mereka walaupun telinganya dapat
mendengarkan pembicaraan mereka. Bukan urusanku, pikir Listi. Dia asyik dengan
laptopnya. Membaca berita dalam internet. Dia tersenyum girang, rumah makan dan
kedai kopi-nya sudah ada di internet.
“Hore!” Tak sadar Listi memekik riang.
Beberapa orang menoleh kepadanya. Juga Krisna dan Agni.
“Ada apa, teh?” tanya seorang pemuda yang tengah lewat
didekat meja Listi.
“Rumah makan dan kedai kopi ini sekarang sudah ada di
internet.” Sahut Listi.
“Wah, asyik dong.” Ucap pemuda itu. Dia sesaat ikut
memperhatikan internet. Lalu kembali ke mejanya dan asyik kembali dengan
teman-temannya.
--- 0 ---
Ketika Listi tengah asyik dengan laptopnya, kembali Krisna datang ke kedai kopi dengan membawa laptopnya. Dia mengambil meja
didekat meja yang ditempati Listi. Listi menyadari kedatangan Krisna, namun dia
merasa tidak perlu memperhatikan lebih lama lagi. Biasanya mereka hanya
bertegur sapa sekedarnya saja. Bila ada hal-hal penting, baru mereka
bercakap-akap.
Setelah membuka laptopnya, Krisna meninggalkan mejanya untuk memesan secangkir
kopi dan makanan. Seperti yang biasa dilakukannya bila tengah duduk di kedai
kopinya ini. Tak lama dia kembali lagi
duduk menghadapi mejanya dan mulai asyik dengan laptopnya.
Tiba-tiba Listi menyadari, Krisna tengah memperhatikannya.
Listi menoleh. Krisna tersenyum.
“Kedai kopi ini sudah
ada di internet, ya.” Kata Krisna.
Listi menoleh. Tersenyum. “Ya. Rumah makan dan kafe
‘Listi’.” Sahut Listi.
Pada saat itu pintu terbuka. Agni masuk dan menghampiri Krisna.
Melihat Krina duduk dimeja yang
berdekatan dengan meja Listi, sesaat gadis itu menatap pada Listi dengan
tatapan curiga.
“Sekarang aku tahu, kenapa engkau sangat suka datang
kemari.” Sindir gadis itu sambil duduk dihadapan lelaki itu, tepat didekat
Listi yang pura-pura tidak mengetahui kedatangan gadis itu.
Krisna kelihatan kesal mendengar ucapan gadis itu. “Agni,
aku sedang sibuk. Banyak pekerjaan yang harus segera aku selesaikan. Tolong
jangan ganggu aku.”
“Aku tidak mengganggumu. Aku ingin menemanimu disini.”
“Aku terganggu dengan kehadiranmu. Kau tak pernah berhenti
bicara sehingga membuat aku tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaanku.”
“Mas Krisna, kau mengusir aku?”
“Aku tidak mengusirmu, namun sudah berulangkali aku bilang
kepadamu, tolong jangan terus menerus menguntit aku. Beri aku kesempatan untuk
memiliki waktuku sendiri.”
Listi tidak ingin menguping pembicaraan orang, namun
percakapan Krisna dan Anggi tetap bisa didengarnya. Dia merasa tidak enak
hati namun dia juga tidak mau beranjak
meninggalkan tempatnya.
Ketika Anggi sudah pergi, Krisna tersenyum menatap Listi.
“Aku minta maaf.” Katanya, seakan menyadari Listi mendengarkan pembicaraannya
dengan gadis itu.
“Tidak apa-apa.” Sahut Listi. Dia menoleh dan tersenyum.
“Pacar, ya?”
“Yah, begitulah.” Sahut lelaki itu. Dia menatap Listi. “Aku
jadi malu. Kau pasti tadi mendengarkan pembicaraanku dengan Agni.” Kata Krisna.
“Dia pasti sangat mencintaimu.”
Krisna tersenyum. “Mencintai namun juga seakan ingin
membelenggu aku. Dia selalu saja pencemburu. Dia tidak bisa melihat aku bergaul
dengan wanita lain. aku tidak bisa selalu diawasi dan dicurigai.”
Sejak saat itu Listi seringkali jadi malu dengan dirinya
sendiri. Dia selalu ingin melongok kedalam kafe untuk melihat barangkali Krisna
datang lagi. Krisna menjadi pengunjung tetap. Mereka mulai sering
berkomunikasi. Listi merasa hubungannya semakin dekat dengan Krisna. Walaupun begitu Listi tidak bisa berharap
terlalu banyak, dia tahu Krisna masih menjalin hubungan dengan Agni walaupun
hubungan itu kerap diwarnai dengan pertengkaran diantara mereka.
--- 0 ---
Mereka
berdua menjadi semakin rutin bertemu di kedai kopi itu. Pertemuan demi
pertemuan, walaupun tidak setiap hari, membuat mereka berdua semakin akrab. Listi tidak mengingkari, dia merasa senang
dengan sikap Krisna yang bersahaja.
“Kemana
Anggi? Aku tak pernah melihatnya datang kemari lagi.” Kata Listi.
“Kami
sudah putus.” Sahut Krisna.
“Putus?
Mengapa? Hubungan kalian pasti sudah cukup lama.”
“Aku
tidak mau memaksakan diri menjalani sebuah hubungan yang kurasa sudah tidak
sehat lagi. Agni terlalu pencemburu. Dan aku seakan terbelenggu bila dia terus
menerus mengawasi aku, kemana aku pergi, dengan siapa aku pergi.”
“Apa dia
terlalu posesif?”
“Ya.
Sangat posesif. Dia seakan tidak mau memberi aku ruang untuk bergaul dengan
orang lain. Aku tidak bisa dibelenggu seperti itu. Pekerjaan menuntutku bertemu
dengan banyak orang dan dengan orang yang berbeda-beda.”
Listi
merasa apa yang terjadi dengan hubungan Krisna dan Anggi bukan urusannya. Namun
dia tidak mengingkari, dia merasa senang kini Krisna tidak terikat dengan
perempuan lain. Dia merasa lebih leluasa bercakap-cakap dengan Krisna. Hingga
siang itu dia mendapat telepon dari Krisna.
“Lis,
nonton film, yuk.”
“Nonton?” Sudah lama dia tidak pernah lagi nonton film
di bioskop. Namun ajakan Krisna seakan menggugahnya. Mengapa dia tidak mencoba
bersahabat lebih dekat dengan Krisna dan menjalani kebersamaan diantara mereka.
Bukankah Krisna sudah tidak memiliki lagi kekasih, seperti halnya juga dengan dirinya?
“Oke.”
Sahut Listi.
Krisna
menjemputnya malam itu. Mereka berjalan kaki ke bioskop yang tidak terlalu jauh
dari rumah Listi. Filmnya drama
percintaan. Namun bukan film itu yang membuat Listi terkesan. Dia mulai
merasakan betapa menyenangkannya berdekatan dengan Krisna.
“Mengapa kita tidak lebih dekat lagi?” tanya Krisna usai
nonton film.
Listi sesaat merasa bingung dengan ucapan Krisna.
“Kita berteman?” tanya Listi.
Krisna tersenyum. “Aku tidak ingin menjadikanmu seorang
teman. Temanku sudah banyak. Aku ingin engkau menjadi kekasihku.”
Listi menatap Krisna. Dia melihat tatapan lelaki itu yang
lembut dan seakan merengkuhnya dalam sebuah kedamaian.
“Aku….aku….tentu saja aku mau.” Sahut Listi perlahan.
--- 0 ---
Hari-hari selanjutnya terasa menyenangkan. Krisna sangat
senang bersepeda dipagi hari. Dan selalu mengajak Listi bersepeda
berkeliling-keliling selama sejam. Bersepeda dipagi hari ternyata sangat
menyenangkan. Berolahraga dipagi hari membuat tubuh terasa segar dan
bersemangat menyambut hari-hari. Namun selain itu, Listi menemukan kembali
kegembiraannya. Ada seseorang lagi yang menemani hari-harinya. Memberinya
perhatian. Memberinya sentuhan kebahagiaan yang selama ini terasa kosong
mengisi jiwanya.
Pulang bersepeda mereka nongkrong makan bubur ayam ditempat
langganan Krisna. Mang Obed, pedagang bubur ayam itu sudah puluhan tahun
berjualan bubur dan tetap mangkal ditempat yang sama sejak mulai berdagang.
“Mang Obed langganan ayahku. Dulu ayah setelah jogging
selalu menyempatkan makan bubur ayam di Mang Obed. Sekarang aku juga sudah jadi
langganan bubur ayam Mang Obed.” Kata
Krisna.
Mang Obed lelaki tua yang ramah. Sambil menikmati bubur,
Listi bercakap-cakap dengan Mang Obed.
“Mang Obed sudah lama sekali berdagang bubur, apa ada yang
meneruskan usaha bubur ayam Mang Obed?’ tanya Listi.
“Kebetulan ada dua anak saya, yang laki dan yang perempuan.
Mereka jualan bubur ayam juga seperti saya.” Kata Mang Obed sambil melayani
pembeli. “Sejak dulu Mang Obed hanya jualan bubur. Alhamdulillah dari usaha
jualan bubur ayam ini mang Obed sudah bisa menyekolahkan ke empat anak mang
Obed hingga tamat SMA dan bisa memberi mereka modal untuk punya usaha sendiri.
Dua anak mang Obed meneruskan usaha mang
Mang Obed jualan bubur, sementara dua yang lainnya ada yang membuka bengkel dan
ada yang punya usaha pembuatan tahu.”
“Mang Obed hebat, punya anak semuanya sudah mandiri.” Kata
Listi.
“Mang Obed hanya orang kecil, neng. Mang Obed tidak bisa
mewariskan harta pada anak-anak mang Obed. Jadi mang Obed hanya membekali
mereka usaha agar mereka bisa hidup mandiri.”
“Apa yang sudah dilakukan Mang Obed untuk anak-anak mang
Obed sudah benar.” kata Listi.
Dia jadi teringat
dengan dirinya sendiri yang meneruskan usaha ayahnya. Mang Obed hanyalah
pedagang bubur ayam, namun dia sudah menanamkan kemandirian kepada keempat
anaknya. Mungkin itu pula dulu yang ingin ditanamkan papa padaku, pikir Listi.
Krisna menoleh padanya, seakan bisa menangkap jalan pikiran
Listi.
“Aku juga bekerja meneruskan usaha ayahku.” Kata Krisna
sambil tersenyum.
“Kenapa dulu aku picik menentang keinginan papa?” tanya
Listi. “Papa sudah susah payah menyediakan sebuah usaha untukku, namun aku
begitu keras kepala menentang keinginan dan harapan papa. Sayang papa keburu
meninggal sehingga papa tidak tahu bahwa aku sekarang sudah menuruti nasehatnya
dan menjalankan usahanya dengan
sebaik-baiknya.”
“Ibumu masih ada.” Ucap Krisna. “Ibumu melihat engkau sungguh-sungguh
dan penuh tanggungjawab menjalankan usaha ayahmu. Ibumu pantas merasa bangga
kepadamu melihat apa yang telah engkau lakukan dalam mengurus rumah makan
warisan ayahmu.”
“Apakah aku membanggakan ibuku?” tanya Listi. Dia menatap
Krisna.
“Tentu saja.” sahut Krisna. Dia tersenyum menatap Listi.
“Ibumu pasti merasa bangga kepadamu.”
--- 0 ---
Winda senang nongkrong di kedai kopi. Berdua bersama
temannya atau kadang datang bersama
teman-teman sekantornya sambil menyelesaikan pekerjaan kantor disana.
Walaupun Listi tahu Winda sering datang ke kedai kopinya, namun dia jarang
menemui Winda disana kecuali bila Winda memanggilnya. Dia tahu Winda memilih
kedai kopinya untuk bekerja bersama dengan teman-temannya karena suasananya
yang nyaman. Dan dia tidak ingin
mengganggu kesibukan Winda bersama dengan teman-teman sekantornya.
Sore itu Winda mengirim pesan pendek mengajaknya bertemu di
kedai kopi. Ketika Listi masuk ke kedai kopi, Winda sudah menunggunya. Winda
kelihatan cantik dan modis. Mengenakan celana panjang hitam dan blazer abu-abu.
Rambutnya yang sebahu dibiarkan terurai.
“Sudah lama tidak ngobrol sambil ngopi denganmu.” Sambut
Winda ketika Listi datang dan duduk dihadapannya.
“Ada cerita apa?” tanya Listi.
“Aku sudah bertemu lelaki lain.” kata Winda.
“Oh, ya? Kekasihmu yang mirip bapakmu kemana?’
Winda tersenyum. “Sudah putus.” Sahutnya.
“Karena kau mendapat pengganti yang lebih muda?”
“Tidak juga. Karena aku tidak akan bisa menjalani kehidupan
berumah tangga dengan lelaki berumur yang hanya ingin menjadikan aku sebagai
yang kedua walaupun dia sudah berjanji akan memberikan aku kebahagiaan. Aku tak
ingin percaya. Bagaimana bisa aku mendapatkan kebahagiaan bila aku hanya
dijadikan yang kedua saja dalam hidupnya?” Winda tersenyum. Dia menatap Listi.
“Aku sudah bertemu seseorang yang lain. Dia biasa dipanggil dengan sebutan Zul. Nama lengkapnya Zulkarnaen. Zul teman
sekerja aku di kantor namun berbeda bagian. Semula kami hanya berteman saja. Kemudian kami sering bersama-sama, tugas kantor maupun
urusan pribadi. Makin lama aku makin menyadari
menemukan banyak kecocokan dengannya.”
“Aku merasa lebih menemukan banyak kecocokan dengan Zul
dibandingkan bila aku melanjutkan
hubunganku dengan pak Hari. Setidaknya hubunganku dengan Zul normal dan
tidak membuat kepalaku pusing.” Cerita Winda.
“Maksudmu?” tanya Listi.
“Aku merasakan Zul
sangat tulus mencintaiku. Dia tahu aku sudah lama tidak memiliki ayah dan ibu.
Dia tahu aku sudah berhubungan dengan lelaki yang usianya duapuluh tahun
diatasku. Zul memahami perasaanku. Dia memahami kesedihanku. Dia sering
menghibur aku. Semula kurasa kebersamaanku dengan Zul hanya sekedar berteman
saja. Hingga kemudian aku menyadari Zul sangat tulus dalam mencintaiku dan
memperlakukan aku dengan kasih sayang. Akhirnya aku tahu, Zul adalah lelaki
yang kuinginkan. Aku memutuskan hubunganku dengan pak Hari dan aku bahagia
ketika Zul menungguku untuk mempertimbangkan keputusanku tanpa mendesak dan
memaksa aku.”
“Aku ikut bahagia mendengarnya, Winda. Kuharap engkau
mendapatkan kebahagiaan yang selama ini engkau cari dan engkau dambakan.” Listi
memeluk Winda.
--- 0 ---
Hari-hari selanjutnya berjalan apa adanya. Namun bagi Listi
hubungannya dengan Krisna terasa penuh makna. Ditengah kesibukannya mengurus
rumah makan, dia seakan menemukan seorang teman yang bisa dijadikannya sebagai
orang yang bisa diajak bicara, tempat dia berdiskusi. Krisna anak sulung dari
tiga bersaudara. Kedua adik perempuannya, Maya dan Vina masih kuliah. Krisna
pernah memperkenalkan kedua adiknya kedapa Listi dan mereka berlibur bersama. Listi
juga pernah diajak berkunjung kerumah orang tua Krisna. Ayah dan ibunya
menyambutnya dengan baik. Listi berharap hubungannya dengan Krisna berjalan
lancar dan mulus.
Sore itu Listi tengah bersama Krisna ketika mendadak Donie
masuk kedalam kedai kopi. Listi tahu, Donie kerap darang ke kedai kopi dimalam
minggu. Sudah dua kali malam mingu Listi melihat Donie ada dikedai kopinya
bersama dengan temannya. Namun dia tidak
pernah menemui Donie atau pun Donie menemuinya. Dia menganggap Donie tidak
lebih dari pengunjung kedai kopinya saja.
“Halo, Lis.” Sapa Donie.
“Hai.” Sahut Listi.
Listi hanya tersenyum pada Donie. Dia merasa tidak perlu
menyambut kedatangan Donie dengan sambutan istimewa. Diantara mereka sudah
tidak ada hubungan apa-apa lagi. Dia tetap mendampingi Krisna tanpa terpengaruh dengan kedatangan Donie. Dia juga
tidak perduli dengan tatapan Donie. Sudah cukup selama ini dia bersabar
menghadapi Donie. Dia kini sudah menemukan lelaki lain yang lebih tulus dalam
mencintainya. Krisna pernah sakit hati dan kecewa oleh wanita lain. mungkin
Krisna akan lebih bisa menjaga perasaannya.
Listi berusaha tidak memperhatikan kehadiran Donie. Namun
kali ini Listi melihat sikap Donie terasa lain. Tiba-tiba Donie keluar. Listi
memperhatikannya beberapa saat. Mendadak dia tercengang. Donie naik keatas
motornya yang diparkir didepan kedai kopi. Tatapan mata Donie lurus pada Listi dan Krisna yang tengah duduk
santai berhadapan dimeja yang merapat pada dinding kaca bagian depan kedai
kopi. Perasaan listi mendadak tidak enak
melihat cara Donie menatap dirinya dan Krisna. Dia belum sempat berpikir apapun
ketika mendadak suara motor Donie meraung-raung dengan kencang dan tanpa diduga
Donie menancap gas dengan kencang dan motornya menerjang dinding kaca kedai kopi.
“Doniiiie!!! Kau sudah gila!!!” Listi terjungkal kebelakang menghindari tubrukan motor Donie yang
menerjang dinding kaca kedai kopi dan menabrak mejanya. Krisna yang tidak menduga akan ada motor yang datang
menerjang, terjungkal bersama kursi yang didudukinya.
Suasana didalam kedai kopi mendadak panik. Pengunjung yang
tidak terlalu banyak, yang duduk tidak jauh dari Listi berhamburan menghindari
pecahan kaca. Suasana menjadi kacau. Pecahan kaca berserakan dilantai. Sebagian pengunjung secara spontan menolong
Krisna yang terjungkal dan berusaha menangkap Donie yang tersungkur bersama
motornya yang masih meraung-raung. Keributan tidak bisa dielakkan lagi. Donie
nyaris habis babak belur dihajar pengunjung bila Listi tidak berusaha
melerainya dan menjelaskan pada pengunjung bahwa lelaki gila itu adalah
temannya.
“Apa maksudmu? Tindakanmu sungguh membahayakan.” Bentak
Listi.
“Aku tidak suka melihat kau bersama lelaki lain.” sahut
Donie berang.
“Kau gila. Diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa
lagi. Dan tindakanmu itu bisa membahayakan jiwa aku dan Krisna. Kau bisa
dilaporkan ke polisi dengan tindakanmu ini.”
Seru Listi.
“Kita laporkan saja ke polisi.” Kata salah seorang
pengunjung.
“Tidak.” Sahut Listi. Berusaha menahan kekesalan
perasaaannya dengan ulah Donie. “Dia temanku. Dia sedang dalam keadaan mabuk.
Saya minta maaf dengan kejadian ini.”
Listi mencoba menenangkan keadaaan. Dia meminta maaf kepada
beberapa pengunjung atas kejadian yang tidak menyenangkan yang terjadi hari
itu. Beberapa orang pengunjung kembali
ketempatnya walaupun suasana sudah tidak senyaman sebelum kejadian itu.
Dengan kesal Listi menyeret tangan Donie dan menyuruhnya
duduk berhadapan dengannya.
“Apa tujuanmu, Don? Aku sama sekali tidak mengerti.”
“Aku tidak suka kau bersama dengan Krisna.”
“Apa urusanmu?” bentak Listi.
“Dulu dia yang mengambil gadisku, sekarang dia mengambil gadisku
lagi.”
“Kau gila, Krisna tidak mengambilku darimu. Kita sudah lama
putus.”
“Tidak. Aku tidak pernah mengucapkan kata putus denganmu.”
“Aku tidak peduli lagi denganmu. Selama ini kau tak
pernah bisa menghargai aku. Bagaimana
mungkin aku bisa mengharapkan engkau?”
Kali ini Listi tidak bisa lagi menahan kemarahannya pada
Donie. Dia memaki tindakan lelaki itu. Pertengkaran tidak bisa dihindarkan lagi
diantara keduanya. Krisna mencoba menengahi dan menyuruh Listi membiarkan Donie
pulang.
“Aku bisa melaporkan tindakanmu ini pada polisi
namun kali ini aku masih mau memaafkanmu.
Syaratnya, jangan datang ke kedai kopi ini lagi.” Kata Listi. Suaranya tegas
dan marah.
Tanpa bicara, Donie segera pergi diiringi sumpah serapah
beberapa pegawai rumah makan dan kedai kopi karena tindakan Donie membuat
tambahan pekerjaan buat mereka. Harus memperbaiki kerusakan dan membereskan
kedai kopi yang porak poranda karena ulah gila lelaki itu.
Sambil menunggu pengunjung yang masih berada di kedai kopi
keluar, Listi meminta pegawainya untuk membereskan kedai kopi dan memasang tanda tutup pada pintu kaca kedai
kopi. Dia tidak berniat melaporkan Donie pada polisi. Dia bisa menyelesaikan
masalah itu dengan Donie. Satu persatu pengunjung pergi meninggalkan kedai kopi
dan membicarakan kejadian itu dengan rekan-rekannya. Listi berharap kejadian
itu tidak membuat nama kedai kopi menjadi tercemar.
“Aku tak mengerti.” Kata Listi ketika Donie sudah pergi. Dia
menatap Krisna dengan tatapan tak mengerti.
Krisna tengah duduk sambil meringis melihat beberapa buah
luka ditangannya terkena serpihan kaca.
“Kenapa ini terjadi?
Apa yang sebenarnya terjadi diantaramu dengan Donie?” tanya Listi. Dia
mengambil obat luka dan mengobati luka-luka
pada tangan Krisna yang terkena pecahan kaca.
“Dia menuduh aku mengambil gadisnya padahal kenyataannya
gadisku yang direbut Donie.” Sahut Krisna. “dan aku sama sekali tidak tahu
bahwa kau pernah menjalin hubungan dengan Donie. Lalu kenapa sekarang dia marah
melihat aku bersamamu? Bukankah hubungan
kalian sudah putus?”
“Aku tidak mengerti
dengan jalan pikiran dia.” Kata Listi. “Dulu ketika kami masih menjalin
hubungan, aku dengan sungguh-sungguh mencintainya dan menjalani hubungan dengan
serius. Namun kini ketika aku sudah menemukan seseorang lain, dia tidak ingin
melihat aku bersama orang lain. Kris, aku menyesalkan kejadian ini. Aku sungguh
tidak menduga Donie akan melakukan tindakan nekad seperti itu. Maafkan dengan
tindakan Donie yang berlebihan.”
Krisna tersenyum. “Tindakan Donie memang konyol dan
membahayakan. Tapi kurasa kita perlu memaafkan dia. Anggap saja kejadian tadi
sebagai selingan dalam hidup kita. Aku
pernah merasakan menjalin hubungan dengan orang yang posesif. Aku seakan
terbelenggu oleh cintanya. Aku bisa memahami tindakan Donie yang mungkin tidak
ingin kehilanganmu.”
Kejadian itu nyatanya membuat hubungan Listi dengan Krisna
semakin dekat. Kejadian yang tidak diduga itu membuat Listi merasa takut bila
Donie akan datang lagi. Namun berulangkali Krisna menyakinkan Listi bahwa dia
yang akan membela Listi bila Donie berani datang lagi. Namun meskipun bicara
begitu, Krisna kelihatan sangat mengkhawatirkan keselamatan Listi. Namun Listi
meyakinkan Krisna bahwa dia baik-baik saja dan tidak usah risau dengan Donie
akan melakukan tindakan yang seperti itu lagi. Listi menemui ibunya Donie dan
menjelaskan bahwa diantara dirinya dan Donie sudah tidak ada hubungan apa-apa
lagi. Dia mohon Donie tidak mengganggu
hubungannya lagi, apakah dengan Krisna maupun dengan siapapun. Bukan main malunya ibunya
Donie mendengar penjelasan Listi dan berjanji akan membicarakan hal itu kepada
Donie.
“Kenapa Donie melakukan tindakan seperti itu?” keluh ibunya.
“Tante sangat menyesalkan kejadian itu. Dan tante berterima kasih nak Listi
tidak memperpanjang kejadian ini dengan lapor pada polisi. Mudah-mudahan Donie
tidak melakukan tindakan konyol seperti itu lagi.”
--- 0 ---
Donie tidak pernah muncul lagi ke kedai kopi. Mungkin dia
sudah menyadari kekonyolan kelakuannya. Listi merasa lega. Sebelumnya dia
selalu waswas Donie akan muncul lagi dan melakukan tindakan konyol lagi. Dua
bulan berlalu Donie tidak pernah kelihatan batang hidungnya lagi. Listi
bernafas lega. Dia berharap hubungannya dengan Krisna akan tenang tanpa gangguan
apapun. Hingga kemudian tanpa diduga, tiba-tiba Anggi datang menemui Listi. Saat itu Listi tengah duduk
sendirian di kedai kopi sambil menulis cerita anak-anak, hobi yang sudah lama
ditinggalkannya dan kini sedang berusaha ditekuninya lagi disela-sela waktu
luangnya.
“Aku tidak tahu sudah sejauh mana hubunganmu dengan Krisna,
namun bagaimanapun antara aku dan Krisna sudah bertunangan.”
“Bertunangan?” LIsti tertegun. Krisna tidak pernah
mengatakan hal itu kepadanya. “Krisna tidak pernah cerita kepadaku bahwa dia
pernah bertunangan denganmu. Dan kukira sekarang kalian sudah tidak punya
hubungan lagi.”
Anggi mengeluarkan sebuah cincin emas putih dengan sebutir
berlian. “Ini buktinya. Krisna
memberikan cincin ini setahun lalu.” Anggi memperlihatkan cincin itu kepada
Listi. Listi tertegun. Bila benar Krisna pernah bertunangan dengan Anggi, dia
tidak ingin mengganggu hubungan Krisna dengan Anggi.
“Anggi, aku tidak tahu bila Krisna sudah bertunangan
denganmu.”
“Karena itu, tolong jauhi Krisna, Listi.”
“Anggi, aku dan Krisna sudah menjalin hubungan. Apa yang
terjadi antara kau dan Krisna, itu adalah masa lalu kalian. Sementara antara
aku dan Krisna adalah masa sekarang dan masa depan….”
“Listi, seorang perempuan terhormat sepertimu pasti tidak
ingin disebut sebagai perebut tunangan orang, bukan?” Anggi menatap Listi
tajam. “Hubunganmu dengan Krisna belum banyak diketahui orang, sementara semua
keluarga aku dan keluarga Krisna sudah tahu bahwa aku dan Krisna sudah
bertunangan.”
Listi tertegun. Dia melihat kesungguhan pada setiap kata
yang diucapkan Anggi dan dari cara Anggi menatapnya. Listi mengangguk. Dia tidak
pernah lagi datang ke kedai kopi walaupun dia tahu Krisna masih rutin datang
kesana. Dia tidak ingin mengganggu hubungan Krisna dengan Anggi. Hingga
kemudian Krisna meneleponnya. Krisna ingin bertemu dengannya. Semula Listi
merasa ragu. Namun dia tidak mengingkari, dia ingin mendapat kejelasan dari
Krisna.
“Ada apa?” tanya Krisna.
“Anggi datang kemari.” Kata Listi.
“Ada apa dia menemuimu?”
“Anggi memperlihatkan cincin pertunangan kalian. Dia
mengatakan bahwa dirinya sudah bertunangan denganmu. Oh, aku sama sekali tidak
tahu hal itu, Krisna. Aku tidak berniat mengganggu hubungan kalian. Aku tidak
berniat merebutmu dari Anggi.”
“Listi, kau tidak merebut aku dari Anggi atau dari wanita
manapun juga. Mengenai cincin yang diperlihatakna Anggi kepadamu, memang benar
aku membelikan cincin itu kepada anggi setahun lalu. Itu terjadi lebih setahun
lalu ketika beberap bulan aku menjalin hubungan dengan Anggi. Saat itu Anggi
meminta aku hadiah ulangtahun, dan dia ingin diberikan cincin. Dia sendiri yang
mengajan aku ke toko perhiasan dan memilih sendiri cincin yang diinginkannya.
Aku tidak keberatan membelikan cincin itu sebagai hadiah ulangtahunnya. Kupikir
Anggi juga masih ingat bahwa saat itu aku bilang bahwa cincin itu sebagai
hadiah ulang tahun untuknya, bukan sebagai pertanda apa-apa diantara kami. Aku
tidak mengerti apa tujuannya hingga dia menemuimu dan memperlihatkan cincin itu
kepadamu dan mengatakan bahwa itu cincin pertunangan kami. Itu sama sekali
tidak benar. kau percaya kepadaku?’
Listi mengangguk. “Ya, aku percaya kepadamu. Namun lebih
baik engkau bicara juga dengan Anggi.”
“Ya, aku pasti akan bicara dengan Aggi. Kau tidak usah
khawatir, aku pasti akan menyelesaiakan
persoalan ini.”
Krisna menggenggam tangan Listi, seakan ingin meyakinkan
perasaan gadis itu. Listi membalas genggaman tangan Krisna dan tersenyum. Dia
percaya pada Krisna akan bisa menyelesaikan masalahnya dengan Anggi.
“Aku percaya kepadamu.” Ucap Listi lirih.
--- 0 ---
“Listi, aku sekarang jadi bingung sendiri.” Yulia mengajak
Listi duduk dimeja sudut di kedai kopi.
Wajahnya kelihatan lelah. Dia sengaja pulang ke Sumedang dan minta cuti dua
hari untuk beristirahat di Sumedang.
“Kenapa?”
“Aku merasa terjebak dengan situasi ini.” Kata Yulia. “Aku
sudah lama kenal dengan mas Fahri…..” Mendadak Yulia tersenyum menatap Listi.
Dia bicara sedikit malu. “Aku memanggilnya pak Fahri bila tengah berada
dikantor, tapi merubah panggilan menjadi mas Fahri bila tengah berduaan.”
“Tidak apa-apa. Terdengar lebih romantis.” Komentar Listi. “Lalu
apa maksudmu dengan merasa terjebak dalam situasi?”
“Kau tahu, aku masih menjalin hubungan dengan Wisnu. Ayah
sudah tidak memaksakan lagi kehendaknya ketika tahu aku dan Wisnu masih belum
juga menemukan kepastian dengan hubungan kami yang sudah berjalan
bertahun-tahun lamanya ini. Kini aku memiliki lelaki lain dalam hatiku. Mas
Fahri sangat baik dan sayang kepadaku. Dia sudah lama menduda dan memiliki dua
orang anak. Yang sulung berusia delapan tahun, yang bungsu enam tahun. Keduanya
perempuan. Cantik dan lucu. Aku sayang pada keduanya. Yang sulung bernama
Mayang dan yang bungsu bernama Salsa.
Keduanya cantik. Rambutnya ikal panjang. Wajah keduanya molek, mirip almarhumah
ibunya……”
“Hubunganmu dengan mas Fahri sendiri bagaimana?” potong
Listi memotong ucapan Yulia yang sering berkepanjang tidak perlu.
“Oh, ya. Hubunganku dengan mas Fahri tentu saja baik-baik
saja. maksudku, mas Fahri sangat perhatian kepadaku. Dan dia berharap hubungan
kami akan berlanjut dalam hubungan yang serius.”
“Fahri tahu kau sudah menjalin hubungan dengan Wisnu.”
“Ya, dia tahu. Namun dia juga tahu bahwa hubunganku dengan
Wisnu sulit untuk diharapkan akan terus berlanjut karena dia melihat aku tidak
cocok dengan Wisnu.” Yulia menghela napas dalam. “Mas Fahri tahu Wisnu cenderung emosional dan egois dalam memiliki
aku. Hubunganku dengan Wisnu sudah putus
sambung beberapa kali. Namun Wisnu seakan tidak mau berubah dan tidak memahami
bahwa ada sifatnya yang membuat aku sering merasa kesal menghadapinya. Wisnu
selalu mengkritik aku yang terlalu
peduli dengan penampilan. Kau tahu, sejak dulu salon, spa atau tempat-tempat
perawatan kecantikan adalah tempat tongkrongan aku. Gaya hidup seperti itu
membuat Wisnu merasa gerah.”
“Kenapa engkau tidak mau berubah bila kau ingin menghargai
Wisnu dan tahu bahwa dia tidak suka dengan segala kebiasaanmu itu?” tanya
Listi.
“Kenapa aku harus mengikuti keinginannya? Aku tidak mau
dikekang dan diatur.”
“Itu masalahnya. Kau tidak cocok dengan Wisnu.” Ucap Listi.
Dia memperhatikan Yulia. Dari ujung kepala hingga ujung kaki,
penampilan Yulia semarak seperti seorang model.
“Kita masih
menyembunyikan hubungan kita ini. Aku malu dengan rekan-rekan dikantor.” Kata
Yulia.
“Bercinta dengan atasan sendiri memang tidak seperti
bercinta dengan yang berbeda kantor.”
Kata Listi. Dia melihat wajah Yulia yang sumringah.
Melihat hubungan Yulia dengan Fahri, Winda teringat dengan
hubungannya dulu dengan Agung ketika Agung tidak menginginkan anak bila mereka
menikah.
“Tidak, mas Fahri tetap menginginkan anak bila kami kelak
menikah. Sekarang mas Fahri sudah memiliki dua anak yang beranjak besar. Dia
menginginkan punya anak dari aku dua atau tiga lagi.” Ucap Yulia.
--- 0 ---
“Aku punya cerita untukmu.”
Winda memeluk Listi dengan wajah gembira. Listi baru keluar dari
kamar mandi. Dia hampir terjungkal ketika Winda menubruknya sambil memeluknya.
Handuk yang melilit tubuhnya hampir terlepas.
“Cerita apa? Kau gila. Aku hampir telanjang.” Seru Listi
sambil memperbaiki handuk yang melilit tubuhnya yang hampir terlepas.
“Lihat.” Winda memperlihatkan cincin dijari manisnya. Sebuah
cincin emas yang kelihatan manis menghiasi jari manisnya.
“Kau bertunangan?” tanya Listi.
“Ya.” Winda tersenyum sumringah. “Aku bertunangan dengan
Zul. Akhirnya, ternyata aku dengan Zul.
Bukan dengan lelaki lain.”
“Oh, syukurlah.”
Sahut Listi. Dia mengeluarkan baju dari dalam lemari. “Tunggu aku
berpakaian dulu.”
Listi masuk kembali kekamar mandi dan mengenakan pakaiannya.
Lalu keluar lagi. Winda duduk disofa tengah memperhatikan cincin dijari
manisnya sambil tersenyum.
“Bagaimana ceritanya?”
tanya Listi. “Kau tidak pernah lagi cerita pada aku.”
“Akhirnya Zul yang menunjukan keseriusannya kepadaku. Dia
tidak membutuhkan banyak kata untuk mengungkapkan bahwa dia mencintaiku.” Ucap
Winda. “Dia langsung melamar aku dan mengajak aku bertunangan. Aku belum akan
bilang kepadamu bahwa aku dan Zul sudah menentukan tanggal dan bulan pernikahan
kami. Insya Allah akhir tahun ini.”
“Akhir tahun ini? Astaga. Kejutan. Begitu cepatnya engkau
mengambil keputusan.”
“Ini keputusan berdua, antara aku dan Zul.” Winda tersenyum.
“Aku sudah tidak sabar menunggu hari bahagia itu. Aku ingin engkau berdoa untuk
kebahagiaanku.”
“Tentu saja.” Listi
memeluk Winda. “Akhirnya engkau yang duluan menjadi pengantin.”
Mendadak Listi teringat dengan percakapan mereka ketika
berlibur ke Jogya. “Yah, akhirnya engkau yang menikah lebih dulu dibanding aku
dengan Yulia. Dan sekarang aku bisa menebak. Engkau sudah menentukan bulan
pernikahanmu. Pasti desember.”
“Yah, desember. Aku selalu berkhayal menikah dibulan
desember. Desember merah jambu. Karena aku ingin nanti diresepsi pernikahanku,
didominasi warna merah jambu.”
“Oh, akhirnya doa dan harapanmu terkabul, Winda. Bukankah
engkau yang dulu bilang ingin menikah di bulan desember?”
“Ya, salah satu doaku terkabul. Tapi saat itu aku berharap
kita bertiga menikah dalam waktu bersamaan. Di bulan desember.”
“Tapi kenyataannya hanya engkau yang berhasil akan menikah
di bulan desember. Sementara aku dan Yulia masih belum ada kepastian.”
“Desember masih empat bulan lagi. Masih banyak kemungkinan
yang akan terjadi.”
“Ya. Masih banyak kemungkinan yang mungkin bakal terjadi.”
Ucap Listi.
--- 0 ---
“Listi! Aku punya berita!!!
Yulia nyaris memekik ketika meneleponnya. Listi sedikit
menjauhkan ponselnya ketika Yulia tiba-tiba memekik memekakkan telinganya.
“Ada apa?” tanya Listi.
“Aku mau menikah!”
“Menikah? Kau akan menikah? Selamat!”
“Kau tidak tahu bagaimana gembiranya perasaanku saat ini.”
“Tentu saja aku bisa merasakan bagaimana gembiranya
perasaanmu saat ini. Akhirnya kau bertemu dengan lelaki yang akan menjadi
suamimu. Tapi siapa dia?”
“Mas Fahri.”
“Atasanmu yang cakep itu?”
“Dia bukan hanya cakep. Tapi dia juga baik dan
sungguh-sungguh mencintai aku.” Sahut Yulia. “Listi, aku akan menemuimu. Aku
sekarang ada di Sumedang. Aku tidak mengganggumu bila datang kerumah makanmu?”
“Menggangguku? Aku bahkan senang kau mau datang. Aku tunggu di kedai kopi, ya. Aku
akan menyuguhimu kopi yang paling nikmat dari kedai kopiku.”
“Terima kasih. Aku akan segera datang.” Sahut Yulia ceria.
Sesaat Listi melihat
ada yang berubah dalam penampilan Yulia ketika sahabatnya yang satu ini
sudah tiba di kedai kopinya. Kedai kopi masih kosong. Yulia tersenyum ceria.
Penampilannya tidak lagi semeriah seperti biasanya. Dia mengenakan blus putih
dengan celana jeans. Hanya mengenakan giwang kecil dan sederhana serta cincin
putih dijari tangan kirinya. Jauh berbeda dengan keseharian Yulia dulu.
“Setiap malam aku berdoa. Alhamdulillah Allah menjawab
doa-doaku.” Kata Yulia ketika sudah duduk berhadapan dengan Listi di kedai
kopi, menikmati secangkir kopi, sepiring kecil brownies dengan music
instrumental yang lembut. Listi duduk memperhatikan Yulia.
“Aku menemukan menemukan jawaban dari doa-doaku ketika mas Fahri melamarku. Keluargaku mendukung aku untuk memilih mas Fahri daripada meneruskan
hubungan dengan Wisnu yang selama ini hubungan kami beberapa kali putus sambung. Papa
sendiri sudah kesal melihat hubunganku dengan Wisnu yang belum juga
menunjukan kepastian.”
“Oh, syukurlah.”
“Namun hubunganku dengan Wisnu walaupun berakhir kandas membuat aku
berubah.” Kata Yulia. Dia tersenyum
menatap Listi. “Lis, aku sekarang mulai menyadari, mungkin selama ini
penampilanku seakan mahal sehingga dulu Wisnu sering mengkritik aku. Aku yang selama ini selalu ingin menjaga penampilan
dan selalu sibuk mengurus penampilan, lama kelamaan membuat aku sadar bahwa
menjadi menarik bukan hanya dari penampilan luar saja. Seseorang akan lebih menarik lagi bila dia
juga memiliki kepribadian yang menarik.”
“Walaupun hubunganmu dengan Wisnu tidak sampai ke pelaminan,
namun kau memiliki hikmah sempat menjalin hubungan dengan dia.”
“Ya.” Sahut Yulia. “Walaupun aku kesal sering dikritik
Wisnu, namun terus terang
kritikan-kritikannya suka aku pikirkan. Sekarang aku menyadari bahwa apa yang kulakoni
selama ini bukan membuat aku menjadi semakin menarik namun aku merasa seakan
selalu dituntut oleh diriku sendiri agar
aku selalu tampil menarik. Hingga
akhirnya membuat aku seakan menjadi sebuah model yang seakan selalu
dituntut untuk tampil menarik. Baju-baju yang trendi. Sepatu. Tas. Make-up.
Asesoris. Semua itu adalah seakan menjadi bagian sehari-hari yang sudah tidak
bisa lagi terpisahkan dari diriku. Ternyata ketika aku berpikir untuk tampil
lebih sederhana, aku justru menemukan kenyamanan dengan penampilanku. Dan
nyatanya aku tetap bisa tampil menarik walaupun dengan penampilan yang
sederhana seperti sekarang ini. Yang paling utama adala rasa percaya diri bahwa
aku memang bisa tampil menarik dengan tampilan sederhana sekalipun.”
“Yah, kau benar. Aku melihatmu sekarang malah kelihatan jauh
lebih menarik daripada penampilanmu biasanya. Sekarang engkau kelihatan lebih
anggun.” Komentar Listi.
“Lis, mungkin Wisnu yakin aku bukan wanita yang cocok
untuknya. Dia sekarang sudah menemukan wanita lain. mungkin sebentar lagi
mereka akan menikah. Setelah kami tidak berhubungan lagi, dalam suatu
kesempatan aku bertemu dengan Wisnu. Dia tengah bersama dengan gadis itu. Wisnu
memperkenalkannya kepadaku. Nama gadis itu Ismi, perempuan cantik dan
berpenampilan sederhana. Aku melihat, bersama Ismi, Wisnu seakan menemukan
ketentraman dan kenyamanan. Namun aku sendiri bahagia bersama mas Fahri.”
“Oh, syukurlah bila hubunganmu dengan Wisnu tetap baik
walaupun kalian sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi.” Listi mendadak
teringat pada ulah Donie beberapa waktu lalu yang menerjang kedai kopinya
dengan motornya karena terbakar cemburu melihat dirinya tengah bersama dengan
Krisna. Setidaknya Yulia dengan Wisnu jauh lebih baik dibandingkan dengan
dirinya dan Donie.
“Alangkah menyenangkannya ketika aku tampil lebih sederhana. Ternyata kesederhanaan
itu juga membuat aku menemukan belahan jiwaku….” Yulia tersenyum.
“Maksudmu?”
“Mas Fahri, atasanku itu yang terbiasa melihat aku tampil seperti seorang model, menjadi berani
mendekatiku justru ketika melihat aku tampil lebih sederhana.”
“Astaga. Begitu banyak yang kau dapatkan setelah engkau
berubah.”
“Ya. Mas Fahri merasa
melihat aku sebagai sosok seorang wanita
dewasa. Bukan sebagai perempuan yang selalu sibuk berkaca dan memperhatikan
penampilan diri dari ujung rambut hingga
ujung kaki. Ketika aku tampil lebih
sederhana, mas Fahri justru jadi berani
mengajak aku pada acara-acara yang harus
dihadirinya.”
Yulia mengucek-ngucek cangkir kopinya. “Listi, aku selama ini selalu ingin tampil
sempurna.” Ucap Yulia. “Namun ternyata dalam hidup memang tidak ada yang
sempurna. Terlalu peduli dengan penampilan juga membuat aku seakan terkucil
diantara rekan-rekanku. Aku dianggap tidak berisi. Namun ketika aku sudah
merubah penampilanku, rekan-rekanku menganggap aku sekarang lebih pintar…”
Yulia tersenyum. “Mas Fahri bilang, setelah aku banyak menghabiskan waktu untuk
membaca dan menyerap berita, aku kelihatan lebih punya wawasan……”
“Ya.” Listi tersenyum menatap Yulia. “Jadi kapan rencana
pernikahanmu?”
“Desember. Mas Fahri ingin kami menikah di bulan desember
mendatang. Soal tanggalnya, masih aku rahasiakan kepadamu. Kejutan.”
“Oke.” Sahut Listi. Dia menatap Yulia. “Kau akan menikah di
bulan desember. Winda juga akan menikah di bulan desember. Kalian berdiskusi
dulu?”
“Tidak. Kebetulan saja aku dan Winda memilih bulan yang
sama.” Yulia menatap Listi. “Yah, benar. kebetulan saja aku dan Winda akan
menikah di bulan yang sama desember, walaupun waktu kita berlibur bersama di
Jogya dulu Winda pernah bilang ingin kita bertiga menikah dibulan yang sama,
berbarengan, bulan desember.”
“Ya.”
“Jadi sekarang hanya tinggal engkau yang belum memiliki
kepastian.” Yulia menatap Listi. “Siapa tahu engkau juga akan menikah di bulan
desember.”
Listi menyandarkan punggungnya. Dia teringat pada Krisna.
Namun hingga sekarang Krisna belum membicarakan masalah pernikahan mereka
walaupun hubungan mereka semakin hari semakin serius. Haruskah dia yang memulai
lebih dahulu membicarakan tentang pernikahan mereka?
--- 0 ---
“Kris,
Winda dan Yulia, kedua sahabatku yang pernah kukenalkan kepadamu tempo hari
ketika pembukaan kedai kopiku itu, akan segera menikah.” Kata Listi. “Aku
bersyukur mereka akan segera menikah. Lucunya, mereka memilih bulan yang sama
untuk pernikahan mereka. Mereka akan menikah di bulan desember.”
“Menarik sekali.” Krisna berkomentar.
Listi
menatap Krisna. Dia berharap Krisna akan bisa menangkap maksudnya dirinya membicarakan
mengenai pernikahan Winda dan Yulia. Namun Krisna kelihatannya hanya
tenang-tenang saja.
“Winda
menyebut bulan desember dimana dia akan menikah dengan sebutan desember merah jambu.” Listi
menatap Krisna. Dia ingin melihat reaksi Krisna dengan pembicaraannya mengenai
kedua temannya.
“Menarik
sekali. Desember merah jambu. Kenapa Winda bilang begitu?”
“Dia
sudah lama menginginkan menikah di bulan desember dan akan menentukan tempat
resepsinya nanti penuh nuansa merah jambu.”
“Dan
kita? Kita kapan akan meresmikan
hubungan kita ini?” Krisna tersenyum menatap Listi. Listi terkejut mendengar
pertanyaan itu.
“Kau?
Sudah terpikir mengenai pernikahan kita?” tanya Listi.
Krisna
tersenyum. “Tentu saja. Aku dan kau sudah sama-sama dewasa. Apa artinya
hubungan kita bila tidak mengarah pada hal serius. Sejak awal aku menjalin
hubungan denganmu, aku tidak berpikir untuk main-main. Aku ingin kita menjalani
hubungan kita dengan serius.”
“Aku
juga berpikir begitu.” Sahut Listi.
“Lis, aku sudah banyak bicara mengenai
hubungan kita dengan orangtuaku. Orangtuaku menyerahkan sepenuhnya kepada aku.
Mereka berdua menilai aku sudah dewasa untuk menentukan keputusanku. Hanya saja
mereka tetap akan mendukung setiap keputusanku bila memang itu yang terbaik
untukku. Lis, kupikir sudah saatnya kita
segera meresmikan hubungan kita ini.” Krisna tersenyum menatap Listi.
Listi
menatap Krisna dengan perasaan berdebar. “Lalu bagaimana dengan Anggi?” tanya Listi
tiba-tiba, tercetus begitu saja tanpa disadarinya.
“Anggi?
Dia sudah menjadi masa lalu bagiku. Kita jangan menyebut nama dia lagi.” Tukas
Krisna.
Listi
menatap Krisna.
“Aku
sudah bicara dengan Anggi. Aku meminta dia agar tidak mengganggu hubungan kita
lagi. Aku sudah punya pilihan sendiri. Aku sudah memilihmu.”
“Kris…..”
Listi merasakan keharuan terasa menyesakkan perasaannya.
“Masing-masing
dari kita memiliki masa lalu, kurasa lebih baik kita tidak mengungkit-ungkit
lagi masa lalu kita. Kita jalani kehidupan kita sekarang dan masa depan dengan
kondisi saat ini. Aku ingin engkau tenang dan nyaman bersamaku seperti halnya
aku pun mengharapkan aku tenang dan nyaman
bersamamu.” Tatapan mata Krisna terasa teduh dan lembut.
“Ya.”
Listi mengangguk. “Aku akan berusaha tidak membicarakan masa lalumu lagi, juga
tidak ingin mengingat masa laluku lagi…..”
Krisna
mengangguk dan tersenyum. “Lis, orangtuaku akan segera menemui ibumu. Kita
lebih baik segera menikah.” Kata Krisna dengan wajah serius.
“Kapan
engkau rencanakan untuk pernikahan kita?” Listi menatap Krisna dengan sedikit
rasa waswas dihatinya dengan apa yang diucapkan Krisna.
“Mengapa
kita tidak memilih bulan desember sebagai bulan pernikahan kita?” tanya Krisna.
“Desember?
Kau ingin kita menikah di bulan desember? Seperti Winda dan Yulia?” tanya Listi
tak percaya.
Krisna
tersenyum. “Kenapa? Apa engkau tidak setuju bila kita menikah di bulan
desember?”
“Krisna…aku….aku…..bahagia
sekali.” Sahut Listi tersendat-sendat.
Airmatanya
seakan ingin meloncat keluar. Dia tidak sanggup menahan kebahagiaan dalam
dadanya, berbaur dengan kesedihannya mengenang ayahnya yang tidak sempat melihatnya
bersama dengan seorang lelaki yang akan menggantikan posisi orangtuanya kelak
dalam menjaga dan melindunginya.
Malam
itu Listi menelepon Winda dan Yulia bergantian. Ceritanya begitu bergemuruh,
segemuruh kebahagiaannya yang terasa memenuhi setiap sudut hatinya.
“Aku
akan menikah! Aku juga akan menikah
seperti kalian!” seru Listi penuh dengan kegembiraan.
--- 0 ---
Akhirnya aku akan jadi pengantin, pikir Listi. Dia teringat
pada almarhum ayahnya. Sayang ayah tidak sempat menyaksikannya menjadi
pengantin. Begitu banyak yang harus dipersiapkannya untuk menyambut hari
bahagianya. Dia mencoba mandiri. Banyak hal yang dilakukannya sendiri. Selama
ini dia sudah biasa mandiri. Untuk tempat resepsi dia sudah memilih akan diselenggarakan
dirumah makan. Untuk sementara rumah makan tutup selama seminggu karena akan
dipakai sebagai tempat resepsi. Beragam hidangan yang akan disajikan untuk para tamu undangan pun
sudah ditentukan. Warung kopi pun
disulap untuk menampung sebagian para
tamu undangan.
Malam itu sepulang dari menghubungi perias pengantin, Listi
memergoki mak Dinah masuk kekamar ibunya. Dia mencoba memperhatikan dari balik
pintu kamar ibunya. Mak Dinah memeluk ibunya sambil menangis.
“Syukur Alhamdulillah, akhirnya datang juga jodohnya.” Suara
mak Dinah tersendat-sendat menahan tangis.
“Ya, mak. Alhamdulillah, gusti Allah mengabulkan doa-doa dan
harapan kita selama ini.” Sahut ibunya berurai airmata.
“Pasti dia cantik sekali mengenakan baju pengantinnya nanti.”
“Ya.” Sahut ibunya. “Aku teringat pada ayahnya. Betapa
inginnya ayahnya melihatnya menjadi pengantin. Kini keinginannya itu sudah
terkabul namun sayang ayahnya tidak sempat menyaksikannya.”
Kedua perempuan itu menangis bersama-sama. Tangisan bahagia
dan sedih. Listi yang mengintip dari balik pintu tak kuasa menahan airmatanya.
Bergegas dia masuk kedalam kamarnya dan menangis. Dia sendiri teringat pada
ayahnya. Alangkah sempurna kebahagiaannya bila ayahnya masih ada dan
menyaksikannya menjadi pengantin seperti keinginan ayahnya dulu sebelum
meninggal.
--- 0 ---
Pagi-pagi Krisna meneleponnya. Listi terbangun mendengar
ponselnya berbunyi.
“Halo. Masih tidur, ya.”
Sapa Krisna.
Listi melihat jam tangannya diatas meja. Jam lima lewat seperempat menit. “Sudah bangun dari tadi.” Sahut Listi.
“Semalam aku meneleponmu dua kali namun kau tidak
mengangkatnya. Mungkin kau sudah tidur.”
“Aku tidak mendengar ponselku bunyi, mungkin aku ketiduran.”
“Kau pasti kecapean. Kau mengerjakan segalanya sendirian.”
Tegur Krisna.
“Bila aku bisa
mengerjakannya sendiri mengapa aku harus menyuruh orang lain. Aku senang
mengerjakannya. Biar lebih puas karena aku bisa bicara langsung apa yang
kuinginkan” sahut Listi. “Hari ini aku akan mengambil pesanan cindera mata.
Kurasa semuanya berjalan lancar.”
“Kau harus menjaga kesehatanmu, Listi. Aku ingin pengantin
wanitaku tampil cantik dan segar dihari perkawinan kita nanti.”
Listi tersenyum. “Pagi-pagi aku masih sempat berolahraga, makan
buah-buahan dan sayuran, minum vitamin, tidur yang cukup dan berusaha pikiranku
tetap tenang.”
“Oke. Aku percaya kepadamu. Kau memang bisa menangani
semuanya.”
--- 0 ---
Malam itu ibunya masuk kedalam kamarnya. Ibunya menatapnya
dengan penuh haru.
“Ada apa, ma? Semuanya lancar dan sudah beres.” Ucap Listi
sambil tersenyum.
“Mama percaya kepadamu, kau bisa menangani semuanya.” Sahut
ibunya sambil duduk ditepi tempat tidur. Tangannya membawa sebuah kotak beledu
hitam. “Listi, mama mau memberikan ini kepadamu.”
“Apa, ma?” Listi duduk disamping ibunya. Ibunya membuka
kotak beledu hitam itu. Seuntai kalung berlian tergeletak didalamnya.
“Listi, kalung
berlian ini merupakan perhiasan turun temurun. Dulu nenekmu mendapatkan kalung
berlian ini dari ibunya. Kemudian nenekmu memberikan kalung berlian ini ketika mama menjadi pengantin. Almarhumah nenek
berpesan, bila engkau menikah kelak, kalung ini harus diberikan kepadamu.”
“Terima kasih, ma.” Sahut Listi gembira. Sudah lama dia
menginginkan kalung berlian itu, kini ibunya memberikannya kepadanya.
Ibunya memasangkan kalung itu dilehernya. Listi melihat
bayangan dirinya pada cermin sambil memperhatikan kalung berlian itu yang
melingkari lehernya. Dia tersenyum menatap ibunya.
“Ma, doakan perkawinanku bahagia.”
“Tentu. Semua orang mendoakan semoga perkawinanmu bahagia.
Semoga engkau dan Krisna saling mencintai dan saling menyayangi dalam susah dan
senang.” Ibunya tersenyum. Matanya basah oleh air mata.
--- 0 ---
Listi baru selesai mandi ketika Winda datang masuk
kekamarnya. Sudah beberapa minggu Winda
tidak main kerumahnya. Wajah Winda begitu berseri. Dia pasti punya cerita baru
yang akan disampaikan kepadanya.
“Listi, aku belum memberitahumu, aku akan menikah tanggal
enam desember.” Kata Winda. Wajahnya berseri penuh kegembiraan. Suaranya meluap
penuh kegembiraan.
Listi menatap Winda. “Yah, kau hanya pernah cerita akan
menikah di bulan desember. Tanggal enam desember?” Listi melihat kalender.
“Persiapanmu pasti sudah beres, kan?”
“Belum. Soal tempat resepsi. Aku berubah pikiran. Tadinya
aku akan menikah dirumah saja. Namun kemudian aku berpikir, lebih baik aku
melaksanakan resepsi pernikahan digedung….bukan, maksudku bukan di gedung. Aku
ingin menyelenggarakan resepsi pernikahanku di rumah makanmu. Zul sudah setuju
memilih rumah makanmu sebagai tempat resepsi.”
“Dengan senang hati.” Kata Listi. “Kau orang pertama yang
menyewa rumah makanku sebagai tempat resepsi. Ingat, aku hanya menyediakan
tempat. Masalah dekorasi dan segala macam pernak-perniknya, itu urusan wedding
organizer.”
“Ya. Aku hanya menyewa tempat saja padamu.” Ucap Winda.
“Aku juga punya
berita untukmu.” Listi tersenyum. “Aku akan menikah tanggal empat belas
desember.”
“Astaga, aku sungguh gembira mendengarnya.” Winda menubruk
dan memeluk Listi hingga keduanya terjungkal kebelakang. “Sungguh menakjubkan,
akhirnya kita bisa menikah dibulan yang sama. Ini benar-benar sebuah kejutan.”
Ponsel Listi berbunyi.
Yulia menelepon. “Listi, aku perlu
bicara denganmu.”
“Ada apa?”
“Listi, aku akan menikah tanggal duapuluh desember. Aku
sudah memutuskan akan menyewa rumah makanmu sebagai tempat resepsiku.” Kata
Yulia.
“Dengan senang hati. Aku akan mempersiapan segalanya. Kau adalah
orang kedua yang menyewa rumah makanku
sebagai tempat resepsi. Ingat, aku hanya menyediakan tempat. Masalah dekorasi
dan segala macam pernak-perniknya, itu urusan wedding organizer.”
“Oke. Aku hanya
menyewa tempat saja padamu. Aku tidak memakai jasa wedding organizer. Semua
panitia yang terlibat dalam acara pernikahanku
adalah keluarga besarku.” Ucap Yulia.
“Aku juga punya
berita untukmu.” Listi tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya pada Winda
yang tengah memperhatikannya. “Aku akan menikah tanggal empat belas desember.”
“Tanggal empatbelas desember? Jadi kau lebih dulu menikah
dari aku? Aduh, aku sungguh gembira
mendengarnya.” Yulia memekik gembira. Andai Yulia ada didekatnya, pasti dia
sudah menubruk dan memeluk Listi seperti yang dilakukan Winda tadi. “Sungguh menakjubkan. Ini kejadian yang
sungguh mengejutkan namun sekaligus menyenangkan buat kita semua, kau, aku dan
Winda. Akhirnya kita bisa menikah dibulan yang sama. Ini benar-benar sebuah
kejutan yang manis buat kita bertiga.”
“Winda sekarang
sedang berada dikamarku. Dia baru saja memberitahu aku, dia akan menikah
tanggal enam desember.”
“Enam desember?” Seru Yulia. “Aku ingin bicara dengan
Winda.”
Listi menyerahkan ponselnya pada Winda.
“Benar, aku akan menikah tanggal enam desember.” Kata Winda.
“Ya, ya, aku masih ingat dengan obrolan kita ketika liburan bersama di Jogja
dulu, kita ingin menikah bersama-sama waktunya. Kini keinginan kita terkabul.”
Winda dan Yulia bercakap-cakap sebentar hingga kemudian
Winda menyerahkan kembali ponsel pada Listi.
“Listi, betapa indahnya Allah memberikan rencana-Nya kepada
kita semua. Sekian lama kita diuji kesabaran soal jodoh,dibeli liku-liku dengan
urusan laki-laki, kini Allah memberikan kebahagiaan kepada kita nyaris
bersamaan waktunya.”
“Ya, kita patut mensyukuri semua ini. Biarlah kita menjalani
takdir-Nya ini dengan penuh rasa syukur dan senantiasa mengucapkan
Alhamdulillah.” Listi tersenyum.
“Beritahu aku, kau akan mengenakan kebaya apa saat resepsi.”
“Aku pilih kebaya warna hijau.”
“Aku pilih kebaya warna merah jambu.” Ujar Yulia. “Coba
tanya Winda, dia mengenakan kebaya warna apa?”
Listi menoleh pada Winda. “Yulia tanya kau akan mengenakan kebaya
warna apa saat resepsi nanti? Pasti pilihanmu warna merah jambu seperti warna
pilihan Yulia……”
“Aku pilih kebaya warna biru yang penuh dihiasi dengan
payet-payet yang indah……” sahut Winda. “Apapun warna kebaya yang akan kita kenakan nanti,
namun yang jelas kita semua memiliki desember merah jambu yang sama.”
Mereka sudah tidak sabar menunggu hari bahagia itu segera tiba.
--- 0 ---
Tanggal
enam desember merupakan hari yang indah buat Winda. Listi dan Yulia sudah terlibat
dalam kesibukan sejak dua hari sebelumnya. Listi sendiri menyiapkan rumah
makannya dibagian depan untuk tempat resepsi pernikahan Winda. Pengunjung masih
bisa menikmati makan dirumah makan dibagian belakang rumah makan. Bagian depan
rumah makan yang luas itu ditata sedemikian rupa. Seperti keinginan Winda,
dekorasi untuk resepsinya didominasi warna merah jambu.
Winda
kelihatan bahagia walaupun dia juga tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.
Kedua orangtuanya sudah tidak bisa lagi menyaksikannya duduk dipelaminan.
Keluarga dari pihak ayah dan ibunya berkumpul semua dan seakan menegarkan hati
Winda bahwa dirinya masih memiliki keluarga yang mencintai dan
memperhatikannya.
Winda
kelihatan cantik dan anggun dalam balutan busana pengantinnya yang begitu
indah. Zul kelihatan tenang dan bahagia. Sehari itu milik Winda dan Zul.
“Tanggal
empat belas desember kau yang akan jadi pengantin.” Kata Winda.
“Pasti
kau masih berbulan madu saat aku menikah nanti.” Kata Listi.
“Jangan
khawatir, aku akan tetap datang menghadiri pernikahanmu.”
“Tentu
saja. Kita akan tetap bisa saling menghadiri pernikahan kita masing-masing.”
Sahut Yulia. “Tanggal empat belas desember aku pasti sudah disibukan dengan
persiapan pernikahanku, namun aku tetap akan mendampingimu seperti halnya
sekarang kita mendampingi Winda sejak kemarin.” kata Yulia.
“Saat
kau menikah tanggal duapuluh desember, aku masih sedang bulan madu.” Kata
Listi. “Tapi aku dan Winda pun akan tetap mendampingimu seperti halnya sekarang
aku dan engkau mendampingi Winda.”
“Aku
sudah tidak sabar menunggu saat itu tiba.” Yulia berdesah panjang.
--- 0 ---
Listi menatap
keluar jendela. Diluar hujan masih turun dengan derasnya. Hujan bulan desember.
Desember kali ini terasa sangat indah sekali. Desember seakan berwarna merah jambu. Persahabatan
mereka terasa indah. Mereka bertiga menikah dibulan yang sama. Sungguh
pengalaman hidup yang sangat mengesankan. Dalam sebulan rumah makannya dipakai
resepsi tiga kali pernikahan. Listi teringat pada ayahnya. Papa, aku sungguh
berterima kasih kepadamu, engkau sudah mempersiapkan masa depan dan
kebahagiaanku dengan sebaik-baiknya. Air mata Listi terjatuh ketika teringat
pada almarhum ayahnya.
Ponselnya berbunyi. Nama Yulia muncul pada layar
ponselnya. Listi tersenyum. Kebahagiaan
itu kini sedang milik mereka.
“Listi,
aku sedang bersiap akan berangkat ke Bali. Bulan madu sambil menikmati liburan
akhir tahun.” Suara Yulia terdengar ceria.
Dia
memang selalu ceria. Kesedihan hanya hinggap sebentar saja mengusik hatinya
lalu keceriaan kembali menjadi miliknya. Seringkali Listi merasa iri dengan
kebiasaan Yulia yang begitu pandai mengatur suasana hatinya agar tetap bergembira
walaupun sebagai manusia dia tidak pernah terlepas dari beraqgam masalah dan
kesulitan.
“Kuberi
cerita nanti bila aku sudah pulang berbulan madu.” Kata Yulia.
“Oke.”
Sahut Listi kalem.
Bali.Yulia
bulan madu ke Bali. Ah, kenapa aku tidak memikirkan soal bulan madu? Kenapa aku
tidak membuat rencana bersama Krisna untuk mengisi saat pertama menjadi suami
istri dengan berbulan madu seperti Yulia? Kenapa baru sekarang aku ingat bahwa
aku dan Krisna seharusnya mengambil waktu seminggu atau lebih untuk menikmati
hidup hanya berdua tanpa terganggu oleh hal-hal lain sebelum kami memulai lagi
kesibukan rutin seperti hari-hari biasanya? Listi mendadak menjadi bersemangat. Dia juga akan
berbulan madu. Ke Bali.
Ponselnya
berbunyi lagi. Nama Winda muncul pada layar ponselnya.
“Listi, aku akan ke Bali.” Winda tertawa
ceria. Seceria Yulia tadi. “Bulan madu. Aku ingin menikmati indahnya menjadi
pengantin hanya berdua saja dengan mas Zul.”
“Selamat
menikmati bulan madu.” Sahut Listi kalem.
“Ngomong-ngomong
kau bulan madu kemana?”
“Masih
aku pikirkan, yang jelas sama romantisnya dengan bulan madumu dan bulan madu
Yulia.” Listi tersenyum.
“Oh ya ,
tadi Yulia menelepon, dia bilang sedang akan berangkat ke Bali. Berbulan madu ditempat
yang sama dengan aku.” Winda tertawa.
“Aku
tahu.” Sahut Listi.
“Oke,
dimanapun engkau menghabiskan waktumu bersama Krisna, aku doakan semoga
hari-hari kalian menyenangkan, sama menyenangkannya seperti hari-hariku dan
hari-hari Yulia.” Winda menutup telepon.
Masih
seperti dulu selalu memiliki pikiran dan keinginan yang sama yang kerap terjadi
secara kebetulan, pikir Listi. Dia menoleh
pada Krisna yang baru keluar dari
kamar mandi. Wajah suaminya segar. Listi tersenyum mesra menatap suaminya.
“Sayang,
kita berangkat ke Bali sekarang juga. Kita berbulan madu di Bali.”
--- 0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar