Senin, 04 Januari 2016

Melati Di Kaki Bukit






Melati Di Kaki Bukit

Pondok bambu terbuat dari kayu-kayu yang sudah tua. Namun pondok itu terlihat terawat dengan baik. Lantainya bersih disapu dan dipel tiap hari. Halamannya pun terawat dengan baik. Tumbuhan dan bunga-bunga terpelihara dengan baik. Windi, pemilik pondok itu seorang gadis yang rajin. Pondok itu satu-satunya peninggalan kedua orangtuanya yang sudah meninggal sekian tahun lalu. Untuk menyambung hidupnya, Windi meneruskan usaha orangtuanya membuat beberapa macam makanan diantaranya membuat wajit. Wajit buatan ibunya dulu sangat laku. Wajit yang terbuat dari santan, beras ketan dan gula merah itu yang digodok lalu setelah kental dan mengeras dibungkus dengan kertas warna warni. Setiap hari Windi mengerjakan semua pekerjaannya sendirian. Pagi hari, beberapa orang akan mengambil wajitnnya dan menjualnya.
Pagi itu Windi baru selesai membuat wajit ketika pintu pondoknya ada yang mengetuk.
“Windi! Windi!” suara Mak Ifah, penjual keliling kampung yang biasa mengambil wajitnya terdengar memanggilnya berkali-kali.
Windi membuka pintu. Mak Ifah menurunkan gendongannya, bakul yang diikat dengan sehelai selendang yang diikatkan dibahunya. Lalu diatas bakul itu ada nampan yang berisi dagangannya.
“Masuk, Mak. Aku baru selesai mandi.” Kata Windi sambil mengambil wajitnya yang sudah siap didagangkan.
Mak Ifah membayar wajit itu. “Hari ini cuacanya mendung. Mudah-mudahan tidak keburu hujan.” Kata Mak Ifah sambil menggendong kembali bakul dan nyirunya.
“Ya, sekarang sudah musim hujan, Mak. Jangan lupa membawa payung.” Kata Windi.
“Ini payung lipat selalu ada didalam bakul.” Kata Mak Ifah. Lalu dia menuruni bukit dan mulai berkeliling menjajakan dagangannya.
Mak Ifah, penjual gendongan hanya berkeliling seputar desa mereka. Macam-macam yang dijualnya. Sayur mayur, ikan, makanan kering, dan beragam jajanan. Setiap pagi mak Ifah berkeliling disekitar rumah-rumah penduduk di desa. Beberapa orang sudah menjadi langganannnya. Diusianya yang sudah semakin tua Mak Ifah masih sanggup berjalan jauh naik turun didaerah perbukitan didesa mereka. Kehadiran Mak Ifah sering ditunggu oleh beberapa orang langganannya. Dan wajit buatan Windi menjadi salah satu makanan yang sering ditunggu pelanggannya.
Siang itu Windi sudah sibuk seperti biasanya didapur pondoknya. Api menyala didalam tungku. Diatasnya sebuah katel besar mengepul panas berisi adonan wajit yang tengah diolah Windi.
Meskipun diluar hujan turun rintik-rintik namun udara didalam dapur terasa panas oleh api yang menyala didalam tungku. Windi menambah beberapa potong kayu bakar untuk menjaga nyala api. Tangannya dengan cekatan mengaduk-aduk adonan wajit yang makin lama semakin kental. Tak lama kemudian adonan wajitnya telah matang. Windi mengangkat katel besar dan menempatkannya diatas potongan kayu bulat yang berfungsi sebagai tempat menyimpan katel. Windi lalu menanak nasi dan menyiapkan lauk pauknya berupa ikan peda yang dibungkus dengan daun pisang lalu dimasukan kedalam timbunan abu didalam tungku.
Sambil menunggu nasinya matang, dia keluar rumah memetik leunca yang tumbuh dibelakang pondoknya. Hujan masih turun rintik-rintik. Udara terasa dingin sekali. Apalagi didaerah perbukitan seperti ini. Tak lama Windi kembali masuk kedalam dapur pondoknya dan menaruh leunca yang baru dipetiknya dipiring kaleng kecil. Dia mengambil cowet kecil yang terbuat dari tanah liat dan mulai membuat sambal. Ketika nasinya telah matang dan ikan peda yang diperam didalam abu pun telah matang, Windi mulai makan. Dia menikmati rejekinya hari ini. Makanannya selalu sederhana setiap hari namun ini adalah rejeki yang selalu disyukurinya. Dia merasa nikmat sekali. Selesai makan diakhiri dengan minum secangkir teh panas hangat. Diluar hujan turun dengan derasnya. Langit terlihat mendung pertanda hujan masih akan turun lama. 
Selesai makan pekerjaannya belum selesai. Dia harus membungkus wajitnya dan besok pagi telah siap dijajakan kembali.
Tok. Tok. Tok. Sebuah ketukan dipintu dapur membuatnya menghentikan pekerjaannya.
Windi membuka pintu. Dia melihat seorang gadis kecil yang kelihatannya menggigil kedinginan berdiri didepan pintu dapur.
“Ah, siapa kamu?” tanya Windi. Dia tidak mengenal gadis kecil itu. Beberapa orang gadis kecil yang tinggal disekitar pondoknya dikenalnya dengan baik karena beberapa orang dari mereka kerap bermain-main diseputar pondoknya dan memetik bunga-bunga yang tumbuh disekitar pondoknya.
“Aku...aku lapar sekali.” Sahut gadis kecil itu dengan gigi gemeretuk menahan dingin.
Windi merasa iba melihat gadis itu sehingga dia tidak bertanya lagi.”Masuklah.” kata Windi sambil membuka pintu pondok menyuruh gadis kecil itu masuk. Dengan tubuh menggigil kedinginan, gadis itu masuk dan duduk pada bangku kayu didekat pintu. Tubuhnya basah kuyup.
“Sebentar, aku rasanya masih punya baju kecil bekas aku dulu.” Kata Windi. Dia mengambil baju lama didalam kamarnya dan kembali dengan baju berbunga-bunga kecil baju bekas ketika dia masih kecil.
“Gantilah bajumu. Kau pasti kedinginan.” Kata Windi sambil menyerahan baju itu kepada gadis kecil itu.
“Terima kasih, Kakak.” Gadis itu mengganti bajunya. Ternyata baju itu pas ditubuh gadis kecil itu.
“Kau pasti lapar, makanlah seadanya.” Windi menyediakan makan buat gadis kecil itu. Untunglah masih ada nasi yang tersisa dan ikan peda. Gadis itu makan dengan lahap. Windi merasa kasihan melihat gadis itu yang kelihatannya sangat kelaparan sekali. Dia memberi beberapa buah wajit yang langsung dihabiskan oleh gadis kecil itu. Diluar hujan masih turun dengan derasnya.
“Kamu dari mana? Kenapa sampai berada disini?” gadis kecil itu tidak menjawab. Dia hanya menangis sedih.
“Kenapa kamu menangis? Apakah orangtuamu memarahimu?” tanya Windi.
“Aku sudah tidak punya ayah dan ibu. Keduanya sudah lama meninggal dunia.” Kata gadis kecil itu.
“Siapakah namamu?” tanya Windi.
“Melati.”
“Lalu kamu selama ini tinggal bersama siapa?” tanya Windi.
“Ada saudara dari pihak ibuku yang merawat aku setelah kedua orangtuaku meninggal. Namun Ibu Lala, yang merawatku itu selalu memukuliku bila aku tidak bisa bekerja dengan baik.”
“Pekerjaan apa yang harus kau lakukan?”  tanya Windi.
“Membersihkan rumah, menyapu, mengepel, mencuci dan segala macam pekerjaan rumah.”
Windi termenung. Gadis sekecil itu disuruh mengerjakan beragam pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
“Jadi kau pergi dari rumah?” tanya Windi.
“Ya. Ibu Lala sudah beberapa hari tidak memberiku makan karena aku kata bu Lala tidak benar bekerja, katanya lantai masih kotor padahal setiap hari aku selalu menyapu dan mengepelnya. Baju-baju tidak bersih padahal aku selalu berusaha mencuci dengan baik.”
Windi hanya menghela nafas. Dia merasa bingung, apa yang harus dilakukannya. Pintu diketuk dari luar, Mak Ifah masuk sambil menggendong dagangannya.
“Masuk, Mak Ifah.” Kata Windi.
Mak Ifah menurunkan gendongan dagangannya. Matanya melihat pada Melati. Mak Ifah seperti terkejut melihat gadis kecil itu.
“Siapa ini? Rasanya aku pernah melihat gadis kecil ini.” Kata Mak Ifah.
“Namanya Melati.” Kata Windi. Lalu dia menceritakan obrolannya dengan Melati kepada Mak Ifah.
“Mak juga tahu Bu Lala itu. Memang bu Lala sangat galak sekali kepada gadis ini. Kalau Mak lewat depan rumahnya sering mendengar suara Bu Lala yang tengah memarahi gadis kecil ini.” Kata Mak Ifah.
“Tapi tidak baik juga bila kau tinggal disini tanpa meminta persetujuan bu Lala, Melati. Nanti setelah hujan reda, kakak akan mengantarmu pulang kerumahmu.” Kata Windi.
Melati kelihatan tidak mau namun dia tidak mengatakan sepatah katapun. Sore hari Windi mengantarkan Melati kerumahnya. Mereka menuruni bukit lalu menaiki lagi tangga-tangga batu yang jalannya menuju kerumah bu Lala. Tak lama mereka sudah sampai dirumah bu Lala. Bu Lala kelihatan gusar ketika melihat Melati yang pulang diantar Windi.
“Melati tersesat. Tadi dia kerumah saya.” Kata Windi menjelaskan.
“Kau mau kabur lagi rupanya ya? Dasar anak tak tahu diri.” Seru bu Lala.
Windi menahan perasaannya ketika melihat bu Lala memukuli Melati.
“Bu, harap jangan marah pada anak ini......”
“Kau pulanglah! Ini urusanku.” Seru bu Lala sambil menyeret Melati masuk kedalam rumahnya.
Windi pulang dengan perasaan tak menentu. Dia membayangkan Melati yang dipukuli oleh bu Lala. Hatinya terasa pedih. Namun dia meneruskan kembali langkahnya. Dia khawatir bila dia terlalu jauh ikut campur urusan orang lain akan berakibat buruk kepadanya.
Tiga hari kemudian, ketika Windi sedang membungkus wajit, Melati datang lagi kerumahnya dengan baju lusuh, wajah kumal dan letih.
“Ah, Melati. Kau kemari lagi.” Sambut Windi dengan gembira. Windi tahu anak itu kelihatan lapar sekali. Dia memberi anak itu makan. Nasi hangat, tempe goreng, dan ayam panggang. Melati makan dengan lahap sekali. Kelihatan dia sangat lapar sekali.
“Kakak baik sekali.” Kata Melati sambil tersenyum. Wajahnya kelihatan cerah kembali, tidak luyu seperti kedatangannya tadi.
Beberapa kali Melati datang kerumah Windi. Dan selalu disambut Windi dengan gembira karena dia sudah jatuh sayang pada anak kecil yang cantik itu. Namun beberapa waktu kemudian, hampir dua bulan lamanya, Melati tak pernah datang lagi kerumah Windi. Windi merasa kehilangan, dan dia merasa heran kenapa Melati tak pernah lagi berkunjung kerumahnya. Windi sudah menyisihkan uang dan membeli sebuah boneka buat Melati bila nanti dia datang lagi kerumahnya. Namun Melati tak pernah datang lagi kerumahnya. Kemudian Windi mendengar keributan itu. Melati meninggal. Dibunuh oleh bu Lala. Airmatanya mengalir tak henti-hentinya. Dia sudah sangat menyayangi gadis itu. Ada penyesalan dalam hatinya kenapa dia tidak mengambil gadis itu dan merawatnya saja.
“Bu Lala sudah ditahan oleh polisi.” Kata Mak Ifah dengan wajah murung. Beberapa kali bila dia sedang kerumah Windi, dia melihat Melati gadis kecil itu tengah berada dipondok Windi.
“Seandainya kita tahu akhirnya akan begini, Mak pasti setuju bila dulu kau mengambil Melati dan merawatnya disini.” Kata Mak Ifah sambil menghapus airmatanya.
Windi menganguk dengan perasaan sedih. Duka itu terasa menyayat hatinya. Melati, gadis kecil yang cantik itu, yang selalu makan dengan lahap, yang selalu gembira bila tengah ada dipondoknya, kini telah tidak ada lagi. Windi menanam beberapa pohon melati dihalaman di pondoknya. Bunga-bunga melati yang kecil putih bersih itu akan selalu mengingatnya pada gadis kecil bernama Melati yang sangat disayanginya namun takdir menentukan lain, kebersamaannya dengan Melati hanya se