Mona mendorong pintu. Suasana didalam gedung olah raga sudah ramai. Linda,
Osi, Roro, Indri, Asti, serta dua orang pemain cadangan, Ning dan Lela,
teman-teman sekelasnya dari kelas dua IPS empat
yang akan ikut pertandingan voly sudah hadir lengkap. Dari kelas dua IPS satu, Mesi dan teman-temannya
sudah hadir pula. Belum lagi penonton dari kelas lain
menambah gemuruh suasana didalam gedung.
Hari ini pertandingan final voly
antar kelas disekolah mereka. Kelas dua IPS satu berhadapan dengan kelas
dua IPS empat.
“Kekuatan tim bola voli kita tidak kalah dari kelas IPS satu.” Kata Osi,
pemain andalan IPS empat. “Tapi kita tidak bisa menganggap sepele kekuatan
mereka. Terutama kekuatan ada pada Mesi dan Nunuk. Meskipun gembrot, Nunuk jago
smes. Dia bisa membuat bola pecah berantakan dengan smes geledeknya.”
“Ah, tak perlu takut.” Tukas Mona sambil melepaskan jaketnya. “Aku yakin
kita akan berhasil mengalahkan mereka. Nih, aku bagi minuman penambah energi dulu. Biar tambah semangat.”
Mona membagi-bagikan botol minuman energy drink yang langsung jadi rebutan.
Osi mengambil dua botol namun Indri
mengambil satu dari tangan Osi.
”Yang lain tidak kebagian, tahu?!”
gerutu Indri.
“Dapat sponsor dari mana?” tanya Roro yang ikut berebut dengan yang lainnya
mengambil botol minuman dari tangan Mona.
”Banyak tanya, ambil saja.” sahut Mona.
Surya meniup peluit panjang. Pertandingan akan segera dimulai. Mona, Linda,
Osi, Roro, Indri dan Asti segera masuk kelapangan dengan penuh semangat. Ning
dan Lela menunggu dipinggir lapangan
dengan teman-teman sekelas mereka yang nyaris hadir lengkap untuk memberikan
dukungan pada teman-teman mereka yang akan bertanding. Dari kelas dua IPS satu, Mesi, Dina, Nunuk,
Hesti, Sari dan Indah maju kelapangan. Tepuk tangan bergemuruh menghadapi dua
kelas yang berhadapan di final.
Surya meniup peluit panjang. Pertandingan dimulai.
Dina yang pertama serve. Bola melayang melewat net. Roro menerima bola,
memberi umpan pada Asti yang jago smes. Asti melompat tinggi. Sebuah pukulan
keras dilancarkan Asti. Bola menukik keras. Dengan gesit Nunuk menerima bola.
Bola berhasil diselamatkan. Bola melambung tinggi kearah Mesi. Mesi memberi
umpan pada Sari yang berada didepan net. Sari melancarkan smes keras. Indri
tunggang langgang berusaha mengambil bola namun bola jatuh ditempat kosong.
Tepuk tangan bergemuruh. Terutama dari
kelas IPS Satu. Mereka bersorak sorai gembira. Tidak menyangka pemain volly
cewek kelas mereka bisa tampil seperti pemain profesional.
Dina kembali melakukan serve. Bola melayang. Linda menerima bola. Memberi umpan pada Osi. Osi
mengoper pada Asti. Dengan sekali pukul Asti
melancarkan smes namun Indah
dengan tangkas menerima bola, tubuhnya tergelincir, namun bola berhasil
diselamatkan. Nunuk menerima bola memberi
umpan pada Mesi. Mesi meneruskan pada
Dina. Dina memukul bola kedaerah lawan,
namun Osi berhasil menerima bola. Bola
melayang pada Mona. Mona memberi umpan
pada Asti. Sambil berteriak keras Asti
melancarkan smes keras kedaerah lawan. Bola tak dapat dijangkau. Jatuh
ditempat yang kosong. Tepuk tangan kembali bergemuruh.
Bola berpindah. Roro melakukan serve. Bola melayang tinggi namun
tidak berhasil melampaui net. Bola kembali berpindah. Sari melakukan serve. Bola melayang tinggi namun
kembali bola tidak berhasil melampaui net. Penonton bersorak sambil bertepuk tangan.
Bola kembali berpindah. Osi
melakukan serve keras. Dina
menerima bola dengan lincah. Bola
melayang kedaerah lawan. Mona menerima
bola. Diumpan pada Linda. Linda mengoper pada Asti yang langsung melancarkan
smes keras. Pukulannya keras dan kencang.
Bola tidak dapat ditahan lawan. Kelas IPS empat bersorak gembira.
Osi kembali melakukan serve.
Sayang tidak berhasil melampaui net.
Bola berpindah. Nunuk melakukan serve. Roro menerima bola. Bola melambung
keluar lapangan. Osi mengejar sekuat tenaga. Dia berhasil mengembalikan bola ke
lapangan. Indri menerima bola, memberi umpan pada Linda. Linda berusaha melakukan smes tapi Nunuk yang berada didepan net langsung melakukan blok. Bola berpindah
ke kelas IPS satu.
Perolehan angka kelas dua IPS satu
melesat. Mengumpulkan sembilan
angka dengan smes menggeledek. Ucapan Osi terbukti. Nunuk dan Mesi tidak
bisa dianggap sepele. Kedua pemain itu kadang meloncat bersamaan, melakukan
smes keras yang sulit ditahan. Kelas dua IPS empat baru memperoleh dua angka dengan susah payah. Kelas dua IPS satu bersemangat mengalahkan dua IPS empat. Bola
agak sulit pun mereka ambil dengan keras. Dua tiga pemain melompat keatas
dengan bersamaan. Tiap kali smes masuk, pendukung kelas dua IPS satu bertepuk
tangan disertai bunyi terompet panjang. Ketua kelas dua IPS empat, Andi, minta istirahat ketika kedudukan 9 - 4. Angka 9 untuk kelas IPS satu.
“Mesi dan Nunuk memang jago tapi ini
bukan pemainan satu set. Mereka semangat di set pertama tapi bisa kewalahan di
set berikutnya. Kita kewalahan di set
pertama tapi bisa menang pada set kedua.
Bikin mereka kecapean di set pertama. Bikin mereka kehabisan tenaga di set pertama. Kita simpan tenaga di
set pertama. Baru di set kedua kita
keluarkan tenaga kita habis-habisan.
Itu kesempatan bagi kita.” Kata Andi
menyemangati rekan-rekan wanitanya. Sudah dua minggu dia tidak kenal lelah
melatih teman-teman ceweknya. Hasilnya tidak percuma. Kelas mereka bisa masuk
final. Jelas Andi merasa bangga. Apalagi Linda, kekasih hati ikut bertanding.
Surya kembali meniup peluit berbunyi panjang. Pemain kembali masuk
kelapangan. Masih dengan semangat yang sama seperti ketika awal bertanding
tadi. Kelas IPS satu yang mendapat serve pertama. Hesti melakukan serve yang bagus sekali. Bola
dengan bagus melambung melampaui net. Roro menerima bola dan memberi umpan pada
Indri. Indri menerima bola. Bola melambung pada Mona yang berada didepan net.
Mona melakukan smes keras. Dengan gesit Nunuk mengambil bola. Smes keras Mona
berhasil ditahan pihak lawan. Bola melambung tinggi keluar lapangan.
Terpontang-panting Sari berlari mengambil bola. Bola berhasil dikembalikan
kelapangan. Indah mengambil bola sekaligus memberi umpan pada Nunuk. Seperti
kesetanan Nunuk melakukan smes keras. Bola jatuh ditempat kosong, Roro tak
sanggup menahan smes keras Nunuk. Dia tergelincir, tubuhnya berguling-guling
ditengah lapangan. Angka bertambah untuk kubu IPS Satu. Kompanyon IPS Satu
bersorak sorai gembira. Permainan terasa semakin memanas, ditimpali dengan
sorak sorai penonton yang riuh bergemuruh menyoraki setiap pemain.
Hesti kembali melakukan serve. Bola
melayang melampaui net. Osi mengambil bola dan berhasil mengembalikannya
kedaerah lawan. Mesi mengangkat bola yang langsung diterima Nunuk. Hempasan bola dari Nunuk diterima Linda.
Linda memberi umpan pada Osi. Osi
meloncat tinggi melakukan smes keras. Dina dengan gesit mengambil bola.
Bola melambung tinggi. Sari dan Indah bersama-sama meloncat mengambil bola.
Indah melakukan smes keras namun Mona
berhasil mengambil bola meskipun dengan susah payah sampai serodotan dilantai.
Roro mengangkat bola, Indri menerima
sekaligus memberi umpan pada Asti yang
berada didepan net. Asti berusaha memblok namun Mesi dengan lincah menahan bola. Bola melambung. Indah memberi umpan
pada Nunuk. Kembali Nunuk melakukan smesh keras. Bola jatuh dengan cepat
didaerah lawan. Indri memekik kesal karena gagal mengambil bola.
Tepuk tangan bergemuruh. Pertandingan antara kedua kelas ini tidak kalah menariknya dari pertandingan
pemain-pemain volley profesional. Pak Sugiono guru sejarah yang turut menyaksikan pertandingan itu
sampai ikut bertepuk tangan berkali-kali menyaksikan kelincahan para pemain
dilapangan.
Dengan susah payah kelas dua IPS empat
berusaha melawan kelas dua IPS satu
namun akhirnya mereka terpaksa harus mau mengakui kehebatan kelas dua
IPS satu. Peluit panjang Surya seakan mengukuhkan kemenangan kelas dua IPS
satu. Dua set langsung dimenangkan kelas
dua IPS satu. Suporter kelas dua IPS satu
bersorak sorai gembira. Suporter kelas dua IPS empat tidak mau kalah, mereka ramai-ramai meniup
terompet menimpali kekalahan mereka.
“Sebenarnya tim kelas kita sudah bagus tapi kelas IPS satu memang kelihatan
lebih kompak dan mereka ulet. Bayangkan, bola yang melenceng keluar lapanganpun
mereka kejar sampai pontang-panting. Gaya mereka sudah seperti pemain voly
profesional saja.” Kata Andi memberi
hiburan pada teman-teman ceweknya yang nampak
agak kecewa dengan kekalahan mereka. Wajah-wajah
kemerahan berkeringat, kecapaian.
“Permainanmu bagus sekali, Mon. Kau memang hebat. Kau bisa menjadi pemain
profesional, lho.” Kata Mesi ketika semua pemain saling berjabatan tangan.
Mona tersenyum menerima jabatan tangan Mesi. Dia tidak boleh memperlihatkan perasaannya
yang sesungguhnya pada Mesi dihadapan
teman-temannya meskipun semua temannya sudah tahu bagaimana bencinya dia pada
Mesi.
Ketika sedang membenahi tasnya, tanpa sengaja mata Mona menoleh kesuatu
arah. Mendadak Mona merasa hatinya panas
membara dilanda perasaan cemburu. Dia
melihat Trisna melenggang santai kearah Mesi dan menyalami gadis itu serta teman-temannya. Mungkin dimata orang
lain sikap Trisna kepada Mesi wajar-wajar saja. Namun dimata Mona sikap Trisna terlihat begitu mesra kepada Mesi. Apalagi ketika
melihat mereka saling menatap dengan senyuman yang tersungging dibibir
masing-masing. Seolah sengaja ingin memperlihatkan kemesraan mereka didepan
orang lain. Terasa ada yang bergolak dalam dadanya. Cemburu itu seakan membakar
perasaannya. Mona berpaling. Dia tidak mau menyaksikan kedua manusia itu. Cemburu itu terasa semakin menyakitkan karena
hadir pada saat dirinya sedang dilanda kekecewaan dengan kekalahannya.
“Sudahlah Mon, ini kan hanya
pertandingan persahabatan antar kelas. Kekalahan kita jangan terlalu
diambil hati.” Andi sang ketua kelas mencoba menghibur.
“Oh, kau tidak tahu, aku sudah cape-capek latihan tapi ternyata Mesi yang
menang.” sahut Mona pura-pura menggerutu.
Andi maklum kenapa wajah Mona nampak kusut.
Jadi bukan karena kelasnya kalah tapi karena Mesi yang menang.
Seandainya kekalahan ini dengan kelas lain, bukan dengan kelas Mesi, mungkin kekecewaan Mona
tidak akan nampak separah ini. Dengan penuh simpatik Andi memeluk bahu Mona.
“Sudahlah, Mon, aku mengerti……..”
Mendadak Mona meradang.
“Ngapain meluk-meluk segala?”
damprat Mona. “Kau pikir aku ini apamu?”
“Lho?” Andi gelagapan. “Aku simpatik padamu….”
“Simpatik engak usah sambil meluk-meluk segala. Kau kira aku suka
dipeluk-peluk kamu? Memangnya aku cewek gampangan?”
Andi bengong melihat Mona negeloyor pergi sambil menyandang tasnya.
“Ada apa?” tanya Yusak melihat Mona merengut pergi.
Andi mengangkat bahu. “Mana kutahu. Maksudku mau menghibur tapi dia malah marah-marah
begitu.”
“Kau sih menghibur sambil peluk-peluk segala, mana mau dia diperlakukan
begitu.” Yusak menyeringai. Dia sudah pernah mengalami didamprat Mona. Dan
mafhum bila sekarang Mona menyalak pada Andi.
Andi ikut menyeringai. Dengan Mona
harus serba hati-hati. Soal apapun bisa
jadi ribut kalau berurusan dengan Mona.
Mona melangkah menuju kantin disamping gedung olah raga. Disana
teman-temannya sudah duduk sambil makan baso. Mona memesan baso tanpa banyak
cakap sementara yang lain masih ramai berceloteh membahas pertandingan tadi.
Mona asyik dengan pikirannya sendiri. Bukan main masygul perasaannya. Kenapa pemuda yang ditaksirnya malah
kelihatan akrab dan dekat dengan Mesi?
Kalau saja Trisna dekat dengan
cewek lain, mungkin hatinya tidak akan sesakit ini. Sudah lama Mona tahu bahwa
diantara Trisna dan Mesi sejak lama sudah menjalin persahabatan. Namun sayang
Mona baru mengetahui kedekatan Trisna dengan Mesi justru setelah dirinya kenal
dan merasa jatuh cinta kepada Trisna. Cintanya tak bisa ditarik lagi. Bahkan
semakin terul;ur seperti benang pada layang-layang yang sedang melayang-layang diudara. Dia merasa sudah terlanjur menyukai Trisna.
“Kelas dua IPS satu sering latiha voly. Berbeda dengan kita yang
mendadak latihan karena akan menghadapi pertandingan saja.” kata Roro yang duduk disamping Mona. Roro bicara begitu mengira
Mona duduk bengong saja karena masih memikirkan kekalahan kelas mereka. Roro tidak tahu apa yang sedang dipikirkan
oleh Mona.
”Mesi dan Nunuk memang bagus permainannya.” kata Indri. ”Nunuk pernah
ikutan klub voly waktu SMP, tidak tahu
kenapa dia sekarang keluar dari kllub itu padahal bila dia terus berada dibawah
naungan klub voly, dia bisa menjadi pemain voly profesional.”
Semua diam, tidak ada lagi yang membahas soal pertandingan tadi. Roro dan Osi keduanya berdesah kepedasan
menikmati baso. Mona mencoba menikmati
basonya. Namun bayang-bayang Mesi dan Trisna terasa sangat mengganggu
pikirannya. Kenapa harus Mesi yang dekat dengan Trisna? Pertanyaan itu berkali-kali
mengganggu pikirannya. Di sekolah mereka
banyak gadis cantik dan menarik. Banyak pilihan namun kenapa Trisna justru
memilih Mesi, gadis yang seayah dengan
dirinya? Pikir Mona. Dia mencoba menikmati basonya. Dia mengambil mangkok
sambal dan menuangkan dua sendok sambal kedalam mangkok basonya.
“Iih… Mona! Nanti kamu sakit perut!” tegur Indri melihat Mona menuangkan
cabe begitu banyak.
“Tidak apa-apa. Aku kuat, kok.” Sahut Mona.
Sesaat Mona melupakan apa yang barusan dipikirkannya dan menikmati baso
yang pedas menggugah selera. Namun
bayangan Trisna dan Mesi seolah enggan beranjak dari pikirannya. Baso yang
panas dan pedas sama seperti perasaannya saat ini.
Mona mengajak Indri pulang jalan
kaki. Indri menurut saja apa maunya Mona karena tahu Mona sedang ruwet
perasaannya. Dan Indri tahu apa yang menjadi sebab namun dia tidak mengusik
perasaan Mona. Dibiarkan saja.
Mereka berjalan berdua menelusuri
trotoar. Sepanjang jalan Indri mengoceh namun tak satupun kata-katanya yang
didengar Mona. Pikiran Mona masih pada pertandingan voly tadi.
Bukan pada kekalahannya namun bayangan Mesi selalu melekat dalam
benaknya setiap saat.
Entah kapan dia bisa menerima Mesi
sebagai bagian dari hidupnya. Ayah mereka
sama. Darah yang mengalir dalam tubuh mereka sama. Namun mereka lahir dari rahim yang berbeda.
Hal itu yang membuat Mona tetap tidak bisa menerima Mesi menjadi bagian dari
kehidupannya. Mona selalu menganggap
Mesi sebagai gangguan bagi hidupnya yang semestinya indah andaikan tanpa
kehadiran Mesi dan ibunya dalam kehidupannya.
Bagi Mona, Mesi dan ibunya telah
merampas kebahagiaan dan ketentraman hidupnya. Mona tidak mau peduli dengan
teori poligami yang menurut ulama sah dan diperbolehkan oleh agama. Yang
disesalinya kenapa poligami yang tidak diharamkan oleh agama itu justru
dilakukan oleh ayahnya. Mona sering merasa iri melihat teman-temannya yang
memiliki ayahnya seutuhnya tanpa harus berbagi dengan keluarga lain. Lagi pula
Mona sering merasa minder dan malu ketika orang tahu bahwa ayahnya memiliki dua
istri.
Seringkali Mona menyesali diri dan menyalahkan ayahnya walaupun latar
belakang kenapa ayahnya sampai melakukan poligami sudah pernah diceritakan oleh
ibunya kepadanya berulang kali, namun Mona tetap tidak bisa menerima poligami
yang dilakukan ayahnya. Sering dia merasa benci kepada ayahnya dan maunya
menumpahkan emosinya kepada ayahnya yang tega menyakiti perasaan ibunya.
Menurut Mona, dalam berpoligami
apapun alasannya pasti ada pihak yang tersakiti dan merasa terdholimi. Dan
biasanya selalu istri pertama yang tersakiti dan terdholimi. Dalam kasusnya, jelas ibunyalah sebagai pihak
yang tersakiti dan didholimi. Itu pendapat dan kesimpulan Mona. Jadi Mona
merasa berhak untuk membenci Mesi dengan ibunya. Juga membenci ayahnya yang
menjadi penyebab penderitaan ibunya dan
dirinya.
Dari penuturan cerita ibunya, Mona
tahu Harisman, ayahnya menikah lagi
setelah sepuluh tahun usia
perkawinan mereka namun ibunya belum juga memberikan anak. Cerita klise yang
sering terjadi pada pasangan suami isteri lainnya yang terlambat mendapatkan
keturunan. Ketika Harisman menikah lagi
dengan Teja, beberapa bulan kemudian ibunya,
Mirta, hamil. Tiga bulan kemudian Teja, isteri kedua ayahnya, juga hamil. Jadi ketika mereka lahir, usia Mona
dan Mesi hanya selisih tiga bulan.
Meskipun Harisman selalu berusaha memberikan kasih sayang yang cukup
kepadanya, Mona tetap menganggap Mesi sebagai ganjalan dalam hidupnya. Andai
saja Mesi tidak ada, andai saja ayahnya tidak menikah lagi dengan Teja, andai saja tidak ada poligami dalam
keluarganya, barangkali kasih sayang dan perhatian ayahnya hanya tercurah untuk
dirinya dan ibunya saja. Jadi Mesi dan
Teja telah membuat cinta dan kasih sayang ayahnya terbagi dua. Sesuatu
hal yang sangat dibenci Mona. Mona benci pada ayahnya namun dia lebih benci lagi kepada Mesi. Dan nasib
seakan selalu membuat mereka selalu bersama-sama.
Sejak masih duduk ditaman kanak-kanak
hingga sekarang di sekolah menengah atas, dia dan Mesi selalu saja
bersekolah di sekolah yang sama. Karena ayahnya selalu mendaftarkan mereka di
sekolah yang sama meskipun sejak kecil Mona selalu protes tidak mau satu
sekolah dengan Mesi.
“Mesi saudaramu. Kau harus bisa menerima Mesi dan hidup damai sebagai saudara dengannya,
Mona.” Sudah berulangkali Mirta mengingatkan Mona. Seakan tak bosan-bosannya
menyadarkan anaknya bahwa hubungan darah
antara Mona dengan Mesi tidak bisa dihapus begitu saja, seperti
menghapus tulisan pinsil pada kertas.
Ketika dia masih duduk dibangku sekolah dasar. Mona berkeras tidak mau
pergi ke sekolah setelah dia tahu
dirinya sekelas dengan Mesi. Meskipun Mirta
sudah berusaha membujuknya agar mau
pergi ke sekolah, namun Mona tetap keras kepala tidak mau pergi.
Akhirnya Harisman mendatangi pihak sekolah, menghadap ibu kepala sekolah
meminta agar Mona dan Mesi tidak disatukan dalam kelas yang sama. Seminggu
kemudian Mesi pindah ke kelas lain. Barulah Mona mau masuk sekolah. Setelah
itu, meskipun mereka bersekolah di sekolah yang sama, namun Harisman selalu meminta kepada kepala sekolah agar
mereka dipisahkan pada kelas berbeda.
Mona tidak banyak protes lagi. Apalagi meskipun satu sekolah mereka
memiliki kegiatan yang berbeda. Mereka jarang bertemu. Kalaupun kebetulan
bertemu mereka hanya bertegur sapa seperlunya saja. Biasanya Mesi yang menyapa
duluan. Mesi memang ramah pada siapapun. Apalagi pada Mona, saudaranya sendiri.
Mesi seakan selalu ingin berusaha mendobrak dinding keras dan tinggi yang
seakan sengaja dibangun Mona untuk membatasi mereka berdua.
Hal lain yang masih dianggap
mengganggu, adalah bila Mona melihat Mesi memakai sepatu atau tas baru, timbul
syak wasangka dan curiga dihatinya bahwa ayahnya telah membeda-bedakan dirinya
dengan Mesi.
”Tidak, Mona.” ujar Harisman menanggapi protes Mona. ”Ayah tidak pernah
membedakan-bedakan kalian. Apa yang ayah berikan kepadamu, diusahakan selalu
sama dengan yang ayah berikan kepada Mesi.”
”Tapi Mesi memakai tas dan sepatu yang berbeda denganku.” ujar Mona.
Akhirnya, setiap kali ayah membelikan peralatan sekolah, atau apapun untuk
Mesi, selalu sama dengan yang dibelikan pada Mona. Dan terbukti, Mona tidak
pernah protes lagi.
Namun kini setelah sama-sama beranjak dewasa, nampaknya Mona akan menemui
masalah lain dengan Mesi. Mengapa dia harus jatuh cinta pada Trisna yang
merupakan sahabat Mesi? Ah, benarkan mereka hanya bersahabat saja? Benarkah
diantara mereka tidak ada hubungan lain yang lebih istimewa dari sekedar
persahabatan semata? Seringkali Mona merasa terbakar cemburu. Akhirnya dia jadi suka menyalahkan dirinya sendiri mengapa
dia harus jatuh cinta pada pemuda yang sudah jelas memiliki kedekatan dengan Mesi?
Seharusnya sejak awal dirinya menyadari apabila dia bertahan menyukai
Trisna, akan ada hal yang akan cukup
mengganggu hubungannya dengan Trisna. Gangguan itu adalah Mesi. Baginya Mesi
seperti duri dalam daging. Harus dicabut dan dibuang agar tidak menusuk semakin
dalam kedalam dagingnya, sehingga menimbulkan luka dan borok. Namun ternyata tidak mudah mengenyahkan Mesi dari kehidupan
Trisna. Sepertinya mereka memang sudah tercipta untuk bersama-sama. Dengan
dasar hubungan apapun. Walau dengan dasar
hubungan pertemanan saja sekalipun.
“Mon! Lihat itu Mesi dan Trisna!”
Mendadak Indri memegang tangan Mona. Mata Indri tertuju pada satu arah. Mona
mengikuti arah tatapan mata Indri.
Sesuatu terasa menikam perasaannya. Mata Mona sesaat terpaku kearah kedai
kopi “Tempo Doeloe”. Kedai kopi itu sering dijadikan tempat mangkal anak-anak
muda. Untuk sekedar nongkrong
ataupun ngobrol ngalor ngidul di sore
hari ataupun malam hari, terutama dimalam minggu. Sambil menikmati secangkir
kopi panas. Kopi khas kedai kopi “Tempo Doeloe”. Kopi dadakan yang baru
digiling. Bukan kopi instant yang siap seduh. Ditemani aneka kue khas buatan
kedai kopi ”Tempo Doeloe.” untuk menemani minum kopi.
Pada salah satu meja yang ada
dihalaman bangunan kuno itu, Mona
melihat Mesi dan Trisna sedang duduk
disana. Keduanya nampak duduk santai sambil bercakap-cakap. Mona tidak berhenti melangkah walaupun matanya
melihat terus pada mereka berdua sebelum akhirnya dia berpaling. Kembali cemburu itu terasa mengganggu perasaannya. Jadi tadi Trisna memang sengaja datang ke gedung
olahraga, bukan sekedar untukmenonton pertandingan voly, namun juga untuk menjemput Mesi? Ah, begitu besarkah perhatian
Trisna kepada Mesi?
Lagi-lagi Mona menyalahkan dirinya sendiri. Kenapa dia harus menyukai pemuda yang menjadi teman dekat Mesi? Kenapa
dia tidak bisa berpaling dari Trisna? Kecemburuannya melihat Trisna berdua dengan gadis lain terasa semakin
menyakitkan perasaannya karena gadis itu adalah Mesi. Andai saja gadis yang
bersama Trisna itu bukan Mesi mungkin hatinya tidak akan sesakit ini. Belum puas juga Mesi mengambil apapun dari
dirinya. Ayahnya. Sepanjang usianya,
hatinya diliputi rasa cemburu karena harus berbagi kasih sayang ayahnya dengan Mesi. Belum cukup
jugakah pengorbanannya selama ini? Dan sekarang Mesi berusaha mendapatkan
Trisna, pemuda yang disukainya. Mona
merasa semakin benci pada Mesi. Dia menoleh kembali kearah kedai kopi. Dia
melihat wajah Mesia yang lembut sedang tersenyum mendengarkan sesuatu yang
diucapkan Trisna kepadanya. Dalam pandangan Mona, sikap Mesi dan Trisna itu
seolah sebuah kemesraan yang ingin dipertontonkan pada orang-orang yang tengah
lalu lalang disepanjang trotoar. Mona merasakan hatinya semakin membara oleh cemburu. Oh, inikah konsekwensi
sebuah cinta?
“Kau tak perlu bersedih” Hibur Indri ketika melihat perubahan pada raut
wajah Mona. “Trisna
sudah jelas ada hubungan dengan Mesi. Aku sudah lama tahu antara Mesi
dengan Trisna memang sangat dekat, bahkan sejak mereka duduk dibangku SMP. Hak mu
bila kau memang menyukai Trisna namun aku
menyarankan kau tak perlu mempertahankan
menyukai Trisna dengan tujuan untuk mendapatkannya. Percuma. Akan sia-sia saja. Kalaupun kau tetap bertahan ingin mendapatkan
Trisna, aku yakin hanya akan membuatmu
semakin sakit hati.”
Indri menggandeng tangan Mona. “Aku sahabatmu, Mon. Aku tidak ingin melihat
engkau merasakan kekecewaan apalagi
kalah sampai hatimu terluka. Lupakanlah Trisna
dan carilah pemuda lain. Jangan
tunggu sampai Trisna melukai hatimu. Aku
merasa yakin, Trisna tidak akan meninggalkan Mesi untuk menjalin hubungan
denganmu. Ada hal-hal yang membuat Trisna sungguh-sungguh menyayangi dan akan
selalu melindungi Mesi. Sesuatu hal yang kita tidak tahu apa. Namun aku
melihatnya seakan memang seperti itu. Aku bisa melihat bagaimana cara Trisna
memperlakukan Mesi, seolah dia selalu bersikap menjaga dan melindungi Mesi.”
Mona diam saja dengan perasaan masygul. Indri mungkin tulus menyarankan
seperti itu. Memang gampang bicara untuk melupakan Trisna. Namun Indri
tidak tahu betapa sukanya dia pada Trisna . Dia pun bisa merasakan Trisna
pun menyayanginya. Ah, mudah-mudahan bukan hanya perasaannya saja. Mudah-mudahan memang benar-benar Trisna
menyukai dan menyayanginya. Bahkan baru dua hari lalu Trisna masih
berkunjung kerumah, mengirim novel kesayangannya, mengajak jajan berdua …… Masa Trisna hanya pura-pura
menyukainya. Mona yakin Trisna tulus kapadanya.
Akan tetapi cinta? Ah, kapan Trisna pernah mengungkapkan cinta kepadanya? Namun
meskipun Trisna belum pernah mengungkapkan cinta kepadanya, rasanya Mona tidak
percaya apabila sikap Trisna yang baik dan manis kepadanya hanyalah sebuah
kebohongan dan kepura-puraan saja. Untuk apa Trisna melakukan hal itu
kepadanya? Namun kini matanya melihat
sendiri Trisna bersama gadis lain. Dan gadis itu adalah Mesi. Betapa panas
hatinya. Seakan dipanggang diatas bara api. Padahal mimpi-mimpinya dengan
Trisna selama ini begitu manis. Dan yang
membuat impiannya kini seakan berakhir adalah Mesi. Makin benci saja dia
pada gadis itu.
Ingin rasanya Mona melabrak Mesi.
Namun oh, tidak. Walaupun dadanya
serasa sudah panas oleh bara cemburu namun
sekuat tenaga Mona mencoba
menahan perasaannya. Tidak! Pikir Mona. Aku lebih baik menahan diri. Walaupun
aku ingin mencakar Mesi namun aku tidak
akan melakukan perbuatan-perbuatan yang sekiranya akan membuat orangtuaku malu.
Tidak mungkin aku menjadi tontonan orang-orang. Berkelahi dengan saudara
seayahku sendiri.
“Sudahlah! Lupakan saja Trisna. Cari pemuda lain, oke?” Indri berusaha menghibur perasaan Mona.
Mona diam saja. Pikirannya masih
terbelenggu oleh emosinya. Kalau saja
gadis yang bersama Trisna itu adalah
gadis lain, dia akan berusaha bersabar. Tapi kalau Mesi, oh, dia tak sudi harus
mengalah pada Mesi. Cukup ibunya yang mengalah dalam persaingan mendapatkan cinta ayah
mereka. Dia tidak ingin sejarah
terulang. Dia tidak ingin seperti ibunya, mengalah dan berbagi kasih dengan
yang lain. Sudah cukup selama ini dia
hidup menderita karena ulah ibunya Mesi yang telah merebut ayahnya dari ibunya.
Dia akan berusaha mendapatkan Trisna. Keterlaluan. Seakan tak puas-puasnya Mesi
mengganggu perasaannya. Ada-ada saja yang dilakukannya untuk memancing
emosinya. Sekarang dia malah menyabet Trisna
yang sudah lama ditaksirnya.
Mona sudah jatuh cinta kepada Trisna sejak awal dirinya masuk SMA. Dimata
Mona Trisna bukan hanya ganteng namun
juga dia adalah sosok pemuda yang menawan, kalem dan dewasa. Kakak kelasnya itu dikenal sebagai pemain
tenis handal. Pernah ada pertandingan tenis antar sekolah. Trisna termasuk
pemain dari sekolah mereka. Dan Mona
hadir sebagai suporter sekolahnya
bersama dengan yang lain. Usai pertandingan Trisna seolah sadar ada seorang
supporter yang kelewat bersemangat bertepuk tangan. Begitu sering gadis itu
bertepuk tangan dan bersorak. Kemeriahan yang dipertontonka gadis itu mencuri
perhatian Trisna walaupun dia sedang konsentrasi bertanding. Usai pertandingan,
ketika memperhatikan Mona, Trisna seolah teringat bahwa gadis cantik itu satu
sekolahan dengannya. Pasti adik kelasnya. Namun dia belum tahu siapa namanya.
Trisna ingat, dia pernah beberapa kali
berpapasan dengan gadis itu. Dia mendekati Mona dengan penuh simpatik dan
mereka berkenalan. Bukan main senangnya perasaan Mona ketika Trisna
mendekatinya. Pada saat itu juga Mona merasa sudah jatuh cinta pada Trisna.
Dengan baju olahraganya dan keringat diwajahnya, Trisna nampak semakin
mempesona. Dan sejak perkenalan dilapangan tenis itu pula Trisna mulai memperhatikan Mona. Disekolah,
setiap kali berpapasan, Trisna selalu menyapa Mona dengan ramah. Atau kalau
kebetulan saat istirahat jajan sama-sama di kantin, Trisna selalu duduk di meja
yang sama dengan Mona.
Mona mengagumi Trisna setengah mati.
Pada pemuda lain barangkali Mona akan memerlukan proses lama untuk sampai pada
tahap jatuh cinta. Biasanya Mona begitu. Tidak begitu kenal langsung jatuh
cinta. Mona selalu membutuhkan waktu
yang cukup lama dan proses yang tidak
sebentar sebelum mengakui dalam hati
bahwa dirinya menyukai pemuda itu. Namun pada Trisna Mona seolah memakai proses jaman sekarang
yang serban instant. Begitu kenal
langsung sambung. Mereka saling bertukar nomor handphone. Kedekatan itu terasa
semakin indah ketika mereka mulai saling kirim pesan pendek lewat telepon
genggam mereka. Mulanya hanya sekedar saling menanyakan kabar dan
saling bercerita tentang kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang mereka
ikuti disekolah. Lama kelamaan bahasa
dalam sms mereka terasa semakin menunjukan kedekatan diantara mereka berdua. Tak pernah Mona merasa curiga atau punya prasangka apabila sikap Trisna akan sama pada
semua gadis yang dikenalnya. Pikir Mona, hanya kepadanya saja sikap Trisna baik
dan perhatian.
Perasaan Mona terasa bungah, seperti ada taman bunga didalam dadanya yang
harum semerbak dengan aneka bunga yang indah. Dia sudah bisa menduga sejak awal
berkenalan bahwa Trisna menaruh perhatian kepadanya. Mona tidak ingin
menyia-nyiakan kesempatan itu. Sejak
saat itu tiap hari selalu ada sms diantara mereka. Bersahut-sahutan. Terutama
menjelang mau tidur setelah selesai belajar. Kedekatan mereka berlanjut dengan
kunjungan-kunjungan Trisna kerumahnya yang selalu disambut Mona tanpa menyembunyikan kegembiraannya tiap kali
melihat pemuda itu muncul dirumahnya. Mona sering bertanya soal pelajaran,
pengetahuan umum, maupun berita-berita terkini yang biasanya selalu dijawab dan
dijelaskan Trisna dengan bahasanya yang lugas. Sambil mendengarkan Trisna
bicara, Mona senang memperhatikannya dan diam-diam tersenyum dalam hati. Mona
ingin belajar main tennis. Dengan senang hati Trisna mau mengajari Mona
berlatih tennis. Mereka punya jadwal seminggu dua kali main tenis. Karena lebih
asyik bermain tenis dengan Trisna, Mona enggan latihan bermain voly lagi dengan teman-teman
sekelasnya. Padahal pada mulanya justru Mona yang mengajak teman-temannya
latihan voly seminggu dua kali di gedung olahraga yang letaknya tidak jauh dari
sekolah mereka. Namun setelah kenal dengan Trisna dan dilatih main tenis oleh
Trisna, Mona merasa main tenis lebih mengasyikan karena bisa memiliki waktu lebih banyak bersama-sama
dengan Trisna. Pulangpun bisa berdua, tidak rame-rame seperti usai latihan
volly.
“Kok tak pernah ikutan main voly lagi.” Kata Osi ketika istirahat. Mereka
makan baso tahu di kantin sekolah.
“Entahlah.” Sahut Mona santai. “Aku sekarang sedang demam tenis.”
“Ya, memang enakan main
tenis. Apalagi kalau yang melatihnya adalah
Trisna.” Kata Osi dengan nada
biasa-biasa saja.
“Kok tahu?” Mona menatap Osi,
menangkap senyuman dibibir Osi.
“Tahu, dong. Gosipmu dengan Trisna sudah menyebar kemana-mana lho.” Ujar
Osi.
“Ah, masa?” Mona tersenyum. Senang
benar perasaannya mendengar dirinya digosipkan dengan Trisna. Disekolah mereka
Trisna termasuk dalam daftar cowok populer karena aktifitasnya. Jadi Mona
merasa bangga juga bisa digosipkan
dengan Trisna.
Mona baru ikut latihan voly lagi ketika sekolah mereka mengadakan
pertandingan voly antar kelas dari mulai kelas satu sampai kelas tiga. Mona
merasa memiliki tanggung jawab pada kelasnya. Pertandingan voly antar kelas
merupakan kegiatan rutin setiap tahun. Mona tahu, dikelasnya Mesi menjadi
pemain voly andalan. Tentu saja Mona tidak ingin kalah dari Mesi. Maka dia pun
rajin berlatih voly lagi dan untuk beberapa waktu berhenti main tenis dengan
Trisna.
Namun yang mencemaskan Mona setelah
dia kenal dengan Trisna, dia mulai
sering mendengar bahwa ternyata Trisna
dekat juga dengan Mesi.
Memang sudah sejak lama Mona mendengar desas-desus kedekatan antara Trisna dengan Mesi. Namun
Mona tidak langsung percaya. Walaupun ada perasaan kecewa mendengar gosip
itu dan dilanda cemburu, namun tak menghalangi Mona untuk terus menempeli
Trisna. Dia akan terus berusaha mendapatkan Trisna. Meskipun
harus bersaing dengan saudara seayahnya. Mesi boleh saja sama-sama menyukai
Trisna, namun belum tentu Trisna memilih
dia. Siapa tahu kedekatan dan kemesraan Mesi dengan Trisna hanya sebatas isue
saja. Siapa tahu kenyataannya tidak seperti itu. Selama belum melihat dengan
mata kepala sendiri, pantang bagi Mona untuk menelan bulat-bulat isue yang
didengarnya. Bahkan gosip lain sempat pula didengar Mona, Mesi banyak pacarnya.
Mungkin pula bukan pacar, tapi banyak yang naksir Mesi. Kalau itu Mona percaya.
Meskipun dia membenci Mesi namun Mona mengakui kalau saudara seayahnya itu
memang cantik dan menarik. Jadi pantas bila banyak penggemarnya. Kulit Mesi putih bersih. Malah bisa disebut
kulitnya mulus. Kalaupun ada sedikit noda bekas jerawat dipipinya, namun noda
itu tidak lama akan menghilang kembali dari wajah mulus Mesi. Bentuk tubuhnya
tinggi semampai seperti orang yang rajin senam. Mengenakan pakaian apapun,
warna apapun, model apapun, selalu nampak serasi dipakai Mesi.
Seandainya banyak pemuda yang naksir
dan jatuh cinta pada Mesi memang sudah
sepantasnya dan seolah sudah dari sananya begitu. Pantas memang apabila banyak pemuda dengan berbagai macam tipe yang naksir
dan jatuh cinta pada Mesi karena gadis itu
baik dan ramah pada siapapun. Tidak pernah pilih-pilih orang. Selama
orang itu baik semua mendapatkan kebaikan dan keramahan yang sama, tanpa
pandang bulu. Kecantikan dan kebaikannya seakan berpadu menjadi satu,
memancarkan aura tersendiri baginya dalam memikat pergaulan. Sikapnya yang
manis dan ramah pada setiap orang disertai
senyumannya yang tulus dan tatapan matanya yang lembut
adalah pemikat yang membuatnya banyak yang naksir dan jatuh cinta.
Mesi orangnya lembut dan anggun. Perasaannya
gampang tersentuh. Dia juga sangat perhatian pada orang-orang disekelilingnya.
Sikapnya seakan tidak tegaan apabila melihat orang lain menderita kesusahan. Sikap
Mesi yang hangat dan penuh kasih sayang pada orang lain, selalu membuat Mesi
menerima dan menghibur orang yang tengah dirundung duka, bahkan mencarikan jalan ke luar dari masalah yang
tengah dihadapi orang itu.
Tapi seringkali terjadi, akhirnya malah menimbulkan masalah tersendiri buat
Mesi kalau orang itu berjenis kelamin kelamin lelaki. Sebagian terbesar justru
jadi jatuh cinta pada Mesi dan makin membutuhkan Mesi. Bukan sebagai
sahabat atau teman tempat curahan hati,
namun lebih jauh ingin memiliki Mesi sebagai pacar. Dan karena Mesi tidak
merasa tega bila harus memutuskan, yang berarti akan menimbulkan penderitaan
bagi orang itu, masalahnya jadi panjang, melibat etrus seperti benang
panjang yang dibelit-belit. Orang itu
makin berusaha menempeli Mesi dengan segala cara seakan bertanding
dengan yang lain, sama-sama berusaha mendapatkan Mesi. Urusan malah namlak
semakin rumit seperti sinetron yang panjang ceritanya. Belum lagi
pecinta-pecinta baru bermunculan, meskipun Mesi sendiri kelihatan tidak
repot menghadapi semuanya. Dia tetap ramah dan baik. Tetap memberikan perhatian
yang tulus pada siapapun yang datang mendekat padanya. Orang yang tidak kenal dengan sifat Mesi yang
seperti itu, spontanitas akan mencap
gadis itu suka obral cinta. Tak bisa
jual mahal. Tak bisa tahan harga. Namun
Mesi tetap berseri dengan wajah cantiknya.
Dia tidak merasa terbebani dengan banyaknya yang naksir dan berharap
menjadi pacarnya.
Namun Mona justru merasa sebal juga
kesal dengan sikap Mesi yang seperti itu. Dimata Mona, justru sikap Mesi
itu kelewat berlebihan. Seakan dibuat-buat. Tidak tulus. Hanya sekedar cari muka.
Hanya sekedar cari sandiwara dalam pergaulan. Menurut perasaan Mona, Mesi
memang sengaja bersikap kelewat baik, hal itu
dibuat-buat, tidak tulus. Tidak mungkin ada manusia yang kelewat baik hati pada siapapun. Malah
menurut Mona sikap Mesi itu seolah mengumbar umpan pada setiap lelaki. Mesi seakan
berbaik hati kepada semua lelaki yang berusaha mendekatinya. Seakan
semuanya mendapat lampu hijau untuk mendekatinya dan mendapatkan hati serta
cintanya. Dimata Mona, hal seperti itu sangat tabu dilakukan oleh seorang gadis
yang berasal dari keluarga baik-baik. Bagi Mona, Mesi terkesan murahan, tidak
berkelas, tidak elite dan sungguh kampungan sekaligus memalukan. Bukan main
mualnya perasaan Mona tiap kali melihat Mesi sedang asyik beramah tamah dengan banyak
teman lelaki disekolah mereka. Setiap kali bertemu dengan siapapun, Mesi selalu
terlihat akrab dan hangat. Semua mendapatkan porsi yang sama.
“Menyebalkan.” Gerutu Mona pada Indri ketika suatu saat melihat Mesi sedang
ngobrol didepan perpustakaan dengan anak kelas tiga yang berambut cepak. “Kalau
sekedar cari gandengan dan gaetan, ya
mudah saja. Asalkan kita jual murah, apa sih susahnya. Aku juga
kalau mau obral cinta dan rayuan sana sini seperti Mesi, seluruh lelaki
disekolah kita ini bisa aku gandeng.
Bahkan laki-laki yang sedingin gunung es sekalipun bisa aku taklukan. Tapi gengsi dong. Ngapain aku harus melakukan
hal murahan seperti Mesi. Perempuan itu kan dinilai dari harga dirinya. Dari
kehormatannya. Bukan dari apa yang diberikannya pada setiap lelaki.”
Indri mafhum dengan gerutuan Mona. Kalau sudah benci, apapun yang skelihatan
selalu nampak salah dan jelek. Namun i kata-kata Mona barangkali ada benarnya. Mona sendiri sebenarnya tergolong gadis yang
cantik dan menarik. Bentuk tubuhnya tinggi
berisi, kencang sintal. Wajahnya molek.
Bisa sumringah. Bisa serius. Tergantung
situasi dan kondisi yang sedang dihadapinya.
Juga tergantung perasaannya. Bila sedang bungah hatinya, senyumnya
mengembang dibibirnya, bisa diberikan cukup royal dan diobral pada siapapun
yang dikenalnya. Tapi bila perasaannya sedang kusut seperti benang diacak-acak
ayam, jangan harap mendapatkan senyumannya meskipun hanya seulas.
Hal lain yang menjadi penilaian orang, Mona
memang rada tinggi hati. Rada
sombong. Rada judes. Dia pun tidak bisa dan tidak mau bergaul dengan sembarangan orang. Dia
rada pilih-pilih pergaulan. Yang namanya laki-laki pemabuk, perokok, jangan
harap bisa berteman dengan Mona.
Dan Mona pun mudah curiga jika lelaki bermulut manis padanya. Dia selalu
curiga, pasti lelaki itu ada maunya.
Pasti mau nipu. Pasti bakal membohongi. Meskipun kenyataannya belum tentu
begitu. Tapi watak suudzonnya memang begitu kental. Susah hilang. Meskipun
ibunya sudah berulang kali menasehatinya bahwa tidak baik gampang suudzon pada
orang. Agama sudah jelas melarang orang bersuudzon, berburuk sangka pada orang
lain. Pernah ada yang menduga Mona melihat orang berdasarkan kasta. Dugaan itu
merebak jadi isue hangat di sekolah. Yang berkasta paria jangan harap bisa bergaul
dengan Mona.
Ketika mendengar gosip itu Mona
langsung membantahnya. Dia tidak melihat orang berdasarkan kasta. Menurut Mona,
dari kalangan manapun bisa bergaul dan dekat dengannya. Namun Mona mengakui kalau
dia memang agak memilih-milih dalam berteman.
”Iya, itu artinya kau sedikitnya mengakui bahwa kau memang terlalu pemilih
dalam berteman.” ucap Ibunya ketika Mona membahas soal itu dengan ibunya. ”Dan itu sama saja artinya bahwa kau melihat orang berdasarkan kasta,
apakah dia kasta brahmana, ksatria atau kasta yang paling rendah di India,
kasta paria.”
“Ah Mam, fellingku kan kuat. Aku bisa merasakan apakah orang itu berniat
baik atau buruk kepadaku.” Tukas Mona membantah nasehat ibunya.
“Felling kita belum tentu benar. Perasaan kita seringkali keliru, bukan?
Kau tidak bisa mengandalkan perasaan terus karena seringkali perasaan kita
keliru. Dugaan kita keliru dalam menebak maksud orang. Dalamnya laut bisa
diduga, hati orang siapa yang tahu.”
“Ah, Mam. Itu kan cuma peribahasa.”
Sebenarnya sifat seperti Mona begini biasa. Artinya tidak hanya milik Mona saja. Yang lain juga banyak yang memiliki sifat begini. Hanya Mona memiliki sifat
seperti itu kelihatan menonjol. Diperlihatkan pada setiap orang, seolah Mona
berkata pada setiap orang, inilah sifatku yang sesungguhnya.
Satu hal lagi, Mona kadangkala kelewat ekstrem dalam menjaga dirinya dari
laki-laki. Dia tidak bisa sembarangan digoda apalagi diisengin. Amarahnya bisa
mendadak meledak. Bisa berkobar-kobar seperti api pada tumpukan kayu bakar. Dan
tak mudah untuk dipadamkan. Akan menyimpan dendam dalam sanubarinya. Awalnya
memang masih ada yang berani menggoda Mona. Namun setelah Mona sering melakukan
perlawanan nyaris tak ada lagi yang berani menggoda Mona meskipun hanya sekedar
iseng.
Karena merasa dirinya jual mahal, jelas Mona menilai Mesi kelewat murahan.
Dalam penilaiannya Mesi tidak bisa tahan
harga. Bagi Mona perilaku Mesi jelas sangat memalukan. Apalagi bila dikaitkan
diantara mereka masih ada hubungan darah. Bagi Mona kelakuan Mesi itu sungguh
mencoreng nama baik keluarga. Dimata Mona, sifat Mesi yang seperti itu seolah
tidak punya wibawa dan kharisma. Dia tidak pantas menjadi anak ayahku, pikir
Mona, separuh menggerutu dalam hatinya. Seharusnya ayah bisa menilai bahwa
perilaku Mesi sungguh telah mencoreng nama baik keluarga.
Namun Mesi sendiri tidak pernah tahu apa yang ada dalam pikiran Mona. Mesi
juga tidak tahu bila Mona menilai
dirinya sampai sejauh itu. Sifat Mesi yang peramah dan penuh kasih sayang pada
sesama pasti tidak akan difahami Mona yang angkuh dan menilai bahwa setiap
manusia itu tidak sama, ada yang disebut kasta antara sesama manusia walaupun
Mona sudah berulangkali membantah tuduhan ekstrem itu. Bagi Mesi, walaupun
dimata Mona dirinya boleh disebut murahan,
tidak punya harga diri, tiba berwibawa, tidak berkharisma, dan lain
sebagainya sebutan, namun Mesi sendiri tetap meyakini, keramahan dan sikapnya
yang penuh kasih sayang pada sesama adalah amal ibadah yang dijalankannya dalam perilakunya
sehari-hari. Andaikan Mesi tahu pun bagaimana pandangan dan penilaian Mona
terhadapnya, namun tak akan membuat Mesi berubah karena sifat Mesi yang peramah
dan penuh kasih sayang sudah menjadi sifatnya sejak kecil. Jangankan kepada
manusia, bahkan pada seekor kucing atau burung pun Mesi selalu menunjukan
perhatian dan kasih sayangnya yang tulus.
Sifat seseorang konon suka ada memiliki kemiripan dengan moyangnya. Sifat
Mesi mirip neneknya, ibu dari ayahnya. Penyabar dan lembut hati. Sementara Mona
sifatnya agak mirip kakeknya, ayah dari
ayahnya yang memiliki temperamen cenderung tinggi, cepat dongkol, cepat
emosional dan gampang tersinggung. Konon kakeknya dulu seorang juragan
perkebunan tembakau yang cukup luas diwilayah Sumedang dan banyak bergaul dengan orang-orang Belanda
dan menak-menak Sumedang sehingga sifatnya agak ke-belanda-belandaan dan
ke-bangsawan-bangsawanan. Itu penilaian sebagian besar orang. Sifat Mona ini bukannya tidak disadari oleh
kedua orangtuanya namun yang namanya sudah sifat, sudah watak, agak susah untuk
merubahnya. Harus kesadaran sendiri dari yang bersangkutan untuk mau berubah.
“Jangan marah dengan ucapanku tadi, ya.” Mendadak suara Indri menyadarkan
Mona yang sedang larut dalam lamunannya padahal mereka sedang berjalan
menelusuri trotoar. Jalan raya nampak lengang tidak terlalu banyak kendaraan
yang lalu lalang.
Mona tersenyum kecut. Dia paling tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Apapun
yang sedang dirasakannya, selalu nampak terpancar diwajahnya. Sedih,
marah, kesal, ahagia. Apapun perasaan yang tengah dirasakannya, secara spontan
memancara dari wajahnya.
“Dari tadi aku bicara terus namun kau seolah tidak mendengarkan
kata-kataku.” Ujar Indri. “Jangan terlalu dipikirkan kata-kataku tadi. Kalau
kau serius ingin mendapatkan Trisna, pasti akan ada jalannya untuk
mendapatkannya. Siapa tahu memang antara Mesi dengan Trisna tidak seserius
seperti gossip selama ini.”
Indri berhenti didepan rumahnya. Tak terasa mereka sudah sampai didepan
rumah Indri. “Mau mampir dulu?”
“Tidak. Kapan-kapan saja.” Sahut Mona lesu.
Indri tersenyum menatap wajah Mona yang seperti kurang darah. “Hati-hati ya
dijalan. Jangan berjalan sambil melamun.”
Mona hanya tersenyum tipis. Dia meneruskan langkahnya. Rumahnya sudah tidak
jauh lagi. Ah, nasibku, pikir Mona. Aku berjalan sendirian semantara Mesi duduk
berdua dengan Trisna disana. Apa yang sedang mereka percakapkan? Mengapa mereka
bicara sambil saling menatap dengan mesra? Mengapa Trisna tak pernah bersikap
mesra kepadaku? Sepanjang jalan Mona
sibuk berbicara dengan hatinya sendiri. Tak urung akhirnya tiba juga dia
dirumahnya.
--- 0 ---
Hujan gerimis sejak pagi. Matahari seolah enggan menampakan diri. Cuaca terasa
dingin. Minggu yang kelabu. Mesi tidak keluar rumah padahal rencananya hari
minggu ini dia akan pergi ke toko buku
yang baru seminggu dibuka. Menurut Ana, teman sekelasnya yang sudah mengunjungi
toko buku itu, banyak novel-novel terjemahan terbaru dari
pengarang-pengarang luar negeri. Mesi senang mengoleksi novel. Namun gerimis
yang turun sejak pagi membuat Mesi enggan keluar rumah.
Selesai membersihkan rumah dan beres-beres, dia duduk-duduk diruang tengah,
menyalakan televisi dan membuka-buka
majalah yang tergeletak dibawah meja. Dihalaman masakan, matanya melihat menu
bubur seafood. Nikmatnya makan bubur panas dicuaca dingin begini, pikirnya. Dia
melihat bahan-bahan yang dibutuhkan. Kebetulan masih tersisa udang di lemari
es. Sesaat kemudian dia sudah astyik di dapur membuat bubur. Sambil menunggu
bubur matang, dia membersihkan udang, mengiris jahe, cabai merah dan daun
bawang. Tak lama bubur seafoofnya sudah
siap disantap. Mesi membawa mangkok buburnya keruang tengah. Televisi masih
menyala menyajikan acara travelling. Telepon ngenggamnya berbunyi. Trisna
menelepon.
”Hei, sedang apa?” Sapa Trisna kalem.
”Baru selesai membuat bubur seafood., ada udang, pakai irisan jahe, daun
bawang dan cabai merah.” sahut Mesi sama kalemnya.
”Jadi kepingin mencicipi. Kedengarannya enak. Masih ada untukku?”
”Aku bikin untuk lima porsi.”
”Aku kerumahmu, ya.”
”Diluar masih hujan.”
”Hanya gerimis.” sahut Trisna sambil menutup telepon.
Mesi mengaduk-aduk buburnya. Memang
enak rasanya. Apalagi bikian sendiri. Dia menunggu Trsna. Tidak bisa menolak bila
Trisna ingin kerumahnya. Selama ini Trisna sudah biasa kerumahnya. Namun sudah
beberapa waktu ini Mesi selalu berusaha menghindari Trisna. Disekolahpun dia
berusaha tidak bertemu Trisna. Pernah beberapa kali Trisna mengirim pesan pendek akan kerumahnya, namun dia selalu
punya alasan agar Trisna tidak jadi kerumahnya. Penghindarannya rupanya sangat
dirasakan Trisna,.
Trisna muncul dua puluh menit kemudian setelah menelepon. Trisna paling senang duduk di teras depan. Ada
kursi rotan disana dengan bantalan motif bambu. Tiap kali kerumahnya, Trisna memilih duduk disana.
”Nih, buburnya.” Mesi menaruh mangkok bubur diatas meja dihadapan Trisna. Bubur itu masih mengepul hangat.
”Wah, kelihatannya lezat nih.” ucap Trisna. Dia mencicipi sesendok. ”Hem, benar-benar enak. Terasa lebih enak karena
kamu yang membuatnya.”
“Mona menyukaimu.” Kata Mesi mengabaikan ucapan Trisna.
“Mona tahu aku dekat denganmu.” Sahut Trisna santai seakan tidak
mengacuhkan mata Mesi yang seolah tersenyum menggodanya. “Dan Mona juga tahu
aku baik kepadanya karena dia adalah saudaramu.”
“Kau jangan pura-pura tidak mengerti. Mona bukan sekedar menyukaimu, namun
dia juga mencintaimu.”
Trisna tersenyum. “Dia lebih pantas menjadi iparku daripada menjadi
kekasihku.”
Mesi menahan senyumnya. Dia tidak bisa memungkiri, ada perasaan senang yang
menyelinap dalam hatinya ketika melihat cara Trisna tersenyum seperti itu
sambil menatapnya. Ada sesuatu yang tak
pernah disembunyikan Trisna darinya. Namun bayangan Mona terasa mengusiknya. Tak ingin dia menyakiti perasaan
Mona. Dia menyayangi Mona sepenuh hati. Tidak,
ditepisnya perasaannya. Tidak, aku tidak akan menyakiti perasaan Mona. Andaikan
aku pun menyukai Trisna, biarlah akan kukubur perasaan ini. Aku tak mau
bersaing dengan Mona untuk mendapatkan Trisna walaupun peluangku untuk
mendapatkan Trisna jauh lebih besar. Biarlah Trisna untuk Mona. Aku yakin
Trisna akan bahagia bersama Mona. Dan yang jelas, Mona akan lebih berbahagia
bila dia bersama Trisna tanpa terganggu dengan kehadiranku. Bukankah cinta tak
selalu harus saling memiliki? Persahabatanpun bisa terjalin lebih indah.
Biarlah kedekatanku dengan Trisna hanya sebatas persahabatan saja. Biarlah
cinta itu menjadi milik Mona dan Trisna. Mesi berbicara kepada
dirinya sendiri.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Trisna mengusik lamunan Mesi. Bubur didalam
mangkok sudah hampir habis.
“Aku sedang berpikir, apa yang suka kau lakukan bersama Mona bila kalian
sedang bersama-sama.” Ucap Mesi. Namun mendadak dia tersadar, dia sudah
mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya yang semestinya bila dia konsekwen
dengan keputusannya, dia tidak boleh mengucapkan hal itu pada Trisna.
Trisna tersenyum. “Mona baik. Dia juga perhatian. Aku ingin suatu saat Mona
bisa hidup akur dan damai denganmu.”
“Jangan ikut campur urusanku dngan Mona. Dia pasti marah.” Tukas Mesi
serius.
“Aku yakin suatu saat Mona akan bisa menerimamu sebagai saudaranya. Sebagai
bagian dari hidupnya. Mungkin kedekatanku dengan Mona bisa menjadi pembuka
jalan antara dirimu dengan Mona. Maksudku, kalian akan bisa menjadi lebih dekat
bila aku ada diantara kalian bedua.”
“Tris, jalani hubungan kalian dengan sebaik-baiknya tanpa harus terganggu
dengan kehadiranku. Aku ingin engkau bahagia bersama Mona. Jangan pikirkan aku.
Jalanilah hubunganmu dengan Mona seindah-indahnya yang bisa kalian ciptakan.
Aku mendoakan kalian berdua bahagia.”
“Kau keliru bila mengira kedekatanku dengan Mona dengan tujuan untuk
menjalin hubungan. Aku menyayangi Mona karena dia adalah saudaramu, saudara
gadis yang kucintai sejak dulu.” Trisna
menaruh mangkok bubur yang telah kosong, meminum segelas tehh hangat.
“Kita hanya bersahabat saja.”
“Aku menganggapmu sahabat sekaligus kekasihku.”
“Kau mempermainkan Mona.”
“Tidak, suatu saat Mona akan tahu bahwa aku menyayangi dirinya sebagai
saudara. Aku ingin Mona bisa berubah dan mau menerimamu sebagai saudaranya.”
“Tris, jangan campuri urusan keluargaku terlalu jauh.”
“Aku sayang padamu, Mes. Aku bisa merasakan selama ini engkau sering
menahan perasaan dengan perlakuan Mona kepadamu. Aku merasakan engkau sudah
cukup menderita dengan sikap Mona yang tak pernah mau menerimamu sebagai
saudaranya. Aku ingin kalian bisa hidup damai sebagai saudara.”
”Terima kasih atas perhatian dan itikad baikmu, namun aku tidak membutuhkan pertolonganmu, sahabat.”
Mesi tersenyum menatap Trisna. “Aku yakin suatu saat Allah akan merubah keadaan
dikeluargaku ini. Hidup adalah sebuah
proses. Kita menjalani proses itu. Cepat ataupun lambat, Insya Allah hubunganku dengan Mona akan menjadi baik. Aku
selalu berdoa kepada Allah semoga hati Mona dibukakan untukku.”
Mendadak mata Mesi membasah. Dia menahan tangisnya. Dia merasa terharu melihat perhatian Trisna yang
begitu besar kepadanya. Trisna memiliki itikad baik seperti itu sebagai bentuk
perhatian Trisna kepada dirinya. Namun apabila Trisna melakukan hal itu, ikut
campur dengan urusan keluarga mereka, dia yakin Mona akan menjadi marah dan tersinggung.
Mesi tahu, tak ada seorangpun yang bisa memaksa Mona untuk melakukan ini itu.
Harus Mona sendiri yang memiliki kesadaran sendiri.
“Maafkan aku, Mes. Aku tidak bermaksud ikut campur.” Ujar Trisna ketika
melihat mata Mesi membasah.
“Tidak apa-apa. Aku malah terharu, ternyata perhatianmu masih begitu besar padaku walaupun kita sudah
jarang bersama-sama.”
“Kita akan selalu bersama.” Tukar Trisna. “Sampai kapanpun kau kan tetap
sahabatku.”
Mesi tersenyum menatap Trisna. Ada senandung lembut mengalun didadanya. Terasa manis dan
indah. Dan terasa sunyi bila Trisna
sedang tidak bersamanya.
”Terima kasih buburnya, ya. Kalau sudah berjauhan denganmu, aku pasti
kangen ingin menikmati bubur buatanmu lagi.”
”Kau.....akan pergi?” tanya Mesi
terkejut.
Trisna tersenyum. ”Yah, mungkin tahun depan aku akan melanjutkan sekolah.
Aku mungkin kuliah di kota yang jauh dari Sumedang.”
Mendadak Mesi membayangkan andaikan saat itu telah terjadi. Andaikan Trisna
sudah berada jauh darinya. Andaikan mereka tidak bisa lagi bertemu kapanpun
mereka menginginkannya. Benar, dia juga pasti akan merindukan saat-saat seperti
ketika mereka masih bersama-sama. Mendadak Mesi merasa sentimentil dengan
perasaaannya. Dia tahu, Trisna pun akan merasakan perasaan yang sama dengan
dirinya. Merajut kebersamaan bukanlah sebuah kesempatan yang bisa diciptakan
dengan mudah. Kesempatan itu ada karena mereka berada dalam jarak yang dekat.
Andai jarak telah memisahkan mereka, tak mungkin mereka akan bisa dengan mudah
untuk selalu bersama-sama. Mendadak Mesi memikirkan andai saat-saat itu telah
terjadi. Kebersamaan mereka saat ini adala suatu anugerah yang terindah yang
tercipta untuk mereka berdua. Yang seharusnya
tidak disia-siakannya begitu saja.
Ketika Trisna pamitan pulang, mendadak Mesi merasa berat untuk melepaskan
Trisna. Dia melambaikan tangannya dengan penuh perasaan. Seolah perpisahan itu
telah diambang mata, sebentar lagi akan segera terjadi perpisahan itu......
--- 0---
Mona merasa lesu. Lemas. Lunglai. Pusing lagi. Tidak sanggup membayangkan
Trisna berkencan dengan Mesi. Pikirannya dipenuhi fantasi menyakitkan tentang
mereka berdua melakukan berbagai hal bersama. Naik sepeda berdua, jalan-jalan
ke perkebunan teh (Mona pernah mendengar Trisna gemar olah raga bersepeda),
jalan-jalan berduaan, atau sekedar duduk-duduk dirumah Mesi yang teduh dengan
pepohonan, sambil menikmati teh hangat dan kue-kue buatan Mesi yang enak.
Apapun yang mereka lakukan berduaan tentu sangat indah bagi Mesi dan Trisna.
Namun terasa menyakitkan buat Mona. Apalagi bila dibayang-bayangkan seperti itu,
malah terasa semakin menyakitkan buat Mona walaupun yang dibayangkannya itu
belum tentu benar terjadi.
Mona tidur-tiduran. Tubuhnya terasa lemas.
Tenaganya seolah menghilang entah kemana. Mirta cemas bukan main anaknya tidak mau keluar
kamar, tidak mau makan. Hanya membawa segelas minuman. Pintu kamarnya
diketuk-ketuk, tidak mau dibuka. Akhirnya didorong. Ternyata tidak dikunci.
Mona duduk melamun didepan jendela kamarnya, menatap kosong keluar kamar.
Caranya melamun sungguh mengkahwatirkan. Mirta
menatap cemas melihat kelakuan anaknya. Tidak biasanya Mona bengong
seperti itu menatap keluar kamar.
“Kenapa, Mon? Kau tidak mau makan.”
“Tidak lapar, Ma.”
“Tapi kamu harus makan, nanti sakit.”
“Biarlah sakit, Ma. Tiga hari juga pasti
akan sembuh lagi.”
“Oh, kau tidak boleh bicara begitu, nak. Kau tidak boleh sengaja sakit,
kecuali kalau sakit itu tiba-tiba menyerangmu.” tukas Mirta.
Mona berdesah pendek. Mirta duduk
disampingnya. Dia hapal, sesuatu tengah mengusik perasaan puterinya.
“Berantem lagi dengan Mesi?” Mirta mencoba menebak.
Mona menggeleng.
“Syukurlah, kalian sudah sama-sama dewasa. Sudah tidak pantas berantem
seperti anak kecil.”
“Keadaannya malah lebih gawat, Mam.” sahut Mona pelan.
“Oh.” Mirta terperanjat kaget. Wajah
Mona serius sekali. Mendadak perasaannya cemas. Berbagai macam dugaan dan
prasangka seketika bermunculan dibenaknya. Namun dia tidak mau menduga-duga
kelewat jauh. “Apa maksudmu keadaan lebih gawat? Apa maksudmu, Mon?”
“Mesi mengambil pemuda yang
kusukai.”
“Siapa?”
“Trisna.”
“Apa maksudmu Mesi mengambil Trisna? Apakah mereka menjalin hubungan?
Apakah kau sudah yakin dengan hal itu?”
“Mereka akrab dan suka bersama-sama.”
“Akrab dan suka bersama-sama bukan
berarti mereka menjalin hubungan, kan? Siapa tahu Trisna dan Mesi hanya
berteman biasa. Wajar saja apabila mereka nampak akrab karena mereka satu
sekolahan. Sama denganmu,”
“Mereka suka sama-sama kemana-mana, makan berdua, dikantin, bahkan waktu
ada pertandingan volley kemarin, Trisna lah yang melatih Mesi dan
teman-temannya.” Ucap Mona tanpa menyembunyikan kecemburuannya.
Mirta menghela napas. “”Kalau memang Trisna dekat dengan Mesi, apalagi
sampai menjalin hubungan, kau tak perlu kecewa berkepanjangan. Percayalah
pemuda yang baik bukan Trisna saja. Pemuda yang menarik bukan Trisna saja. Kalau kau membuka diri dalam pergaulan dan
berkenalan dengan pemuda-pemuda lain, kau akan bisa melihat dan membandingkan.
Semakin banyak kau mengenal pemuda lain, akan semakin terbuka matamu dalam
melihat dan menilai pemuda yang kau kenal. Yang baik belum tentu setia. Yang
sopan belum tentu jujur hatinya. Yang menarik penampilannya belum tentu menarik
pula pribadinya. Kau masih muda belia, masih banyak kesempatan bagimu untuk
memilih pemuda lain. Kau cantik dan
menarik, pasti banyak pemuda yang tertarik kepadamu.”
“Mam, kalaupun banyak yang tertarik padaku percuma saja kalau aku sendiri tidak tertarik pada mereka.” Tukas Mona serius.
“Mama tidak tahu, aku ini kan susah jatuh hati.”
Mirta tersenyum. “Apa Trisna tahu kalau kau jatuh hati
kepadanya?” tanya Mirta.
“Mungkin.” Mona menghela napas dalam. “Trisna
baik kepadaku. Dia perhatian. Tapi apakah itu bisa dijadikan pertanda bahwa
Trisna menyukai aku?”
Mirta tersenyum.
“Mon, mama berharap mudah-mudahan Trisna pun menyukaimu dan bisa merasakan
peraanmu kepadanya. Namun Mon, cinta
seperti juga kehidupan lain, selalu hadir dengan dua sisi yang berbeda. Mama
berharap engkau bahagia. Andaikan cintamu pada Trisna bersambut, kau siap
merasakan manisnya cinta. Namun kau pun
harus menyiapkan diri andai apa yang terjadi tidak sesuai dengan yang kau
harapkan. Mama tidak ingin melihatmu kecewa, namun andaikan engkau mendapatkan
kekecewaan dari apa yang engkau haapkan
bersama Trisna, kau sudah harus siap. Seperti sebuah kepingan mata uang, sisinya
selalu berbeda. Demikian juga kekecewaan dan kebahagiaan, bagaikan sekeping
mata uang dengan sisi yang berbeda. Namun, apapun yang terjadi, pasti akan
selalu ada hikmahnya untukmu.”
Mona mengangguk pelan.
--- 0 ---
Mona merasakan ibunya duduk disamping tempat tidurnya. Tangan ibunya
mengelus pipinya lembut.
“Belum tidur, Mona?”
“Belum, Ma.”
“Lampunya sudah kau matikan.”
Mona tidak menjawab. Dia merasakan airmatanya mengalir perlahan menuruni
pipinya. Mirta menekan tombol lampu. Lampu
menyala. Mirta melihat mata Mona yang
basah. Perasaannya sebagai seorang ibu merasa trenyuh. Dia sangat menyayangi
Mona. Mona adalah belahan jiwanya, buah hatinya, puteri semata wayangnya. Dia
tidak ingin buah hatinya terluka dan sedih seperti ini. Namun dia harus bijak
menyikapi perseteruan antara Mona dengan Mesi. Jangan sampai menyulutkan api
diantara mereka yang akan menimbulkan konflik dalam keluarga mereka.
“Mama tahu, kau sedang kecewa. Trisna
memang pemuda yang baik. Mama pun senang padanya. Tapi pada saat yang
sama Trisna pun menyukai Mesi. Kita
tidak bisa menyalahkan Trisna. Dia punya hak untuk memilih gadis yang
disukainya. Awalnya mungkin Trisna
memang menyukaimu, tapi belakangan dia pun menemukan hal-hal lain yang
disukainya pada Mesi hingga akhirnya dia memilih Mesi.” Ucap ibunya lembut.
“Mesi keterlaluan, dia kan tahu bila aku sudah lama naksir Trisna. Mestinya
dia tidak malah bersaing dengan aku untuk mendapatkan Trisna.” Keluh Mona
dengan perasaan sakit.
Mirta tersenyum. “Barangkali kau
yang merasa bersaing dengan Mesi untuk mendapatkan Trisna sementara Mesi sendiri mungkin sama sekali
tidak menganggap begitu. Mama yakin Mesi tidak seburuk itu kepadamu…..”
“Ah, kenapa mama malah membela Mesi?” tanya Mona tak senang “Mama bukannya
membela anak sendiri, malah membela anak orang lain.”
“Mesi bukan orang lain, Mona.” Tukas Mirta. “Dia saudaramu. Dia anak
ayahmu. Dan mama punya kewajiban untuk menyayangi Mesi seperti pada anak mama
sendiri.”
Mirta menarik napas dalam. Pandangannya seakan menerawang. “Sudah lebih tujuh
belas tahun lamanya mama dan ibu Teja
hidup berdampingan sebagai madu.
Bukan sebuah kehidupan yang mudah. Apalagi diawal-awal mama harus menerima
kanyataan ayahmu memiliki istri lain selain mama. Kau bisa membayangkan
bagaimana mama harus belajar menerima kenyataan ketika harus berbagi cinta
dengan wanita lain. Batin mama berontak. Mama merasa didholimi. Mama merasa dicampakkan
oleh papamu. Tapi mama kemudian sadar bahwa masalah jodoh, kematian, rejeki
adalah urusan Allah. Mama akhirnya rela dimadu.”
Mirta membelai rambut Mona yang terbaring disampingnya. “Sepuluh tahun
perkawinan mama dengan papa, mama tidak kunjung hamil juga padahal sudah
berbagai macam cara dan pengobatan yang dilakukan mama dan papa, namun belum
juga membuahkan hasil. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar menunggu
datangnya buah hati dalam perkawinan mama dan Ayah, Tapi mama dan papa berusaha sabar dan tawakal hingga akhirnya
ayahmu menikah lagi dengan ibu Teja.
Awalnya mama menolak. Wanita mana yang mau dimadu. Tapi akhirnya mama pasrah dan berusaha
menerima. Siapa sangka empat bulan kemudian setelah pernikahan papa dengan ibu
Teja, mama kemudian hamil, Mona, betapa bahagianya perasaan mama ketika tahu
sedang mengandung. Mama benar-benar menganggap kehamilan mama sebagai anugerah yang tidak terhingga dari Allah.
Sepuluh tahun lamanya siang malam mama berdoa agar diberi keturunan, akhirnya
Allah Yang Maha Pengasih mengabulkan doa mama. Dua bulan kemudian Mama
mendengar ibu Teja pun hamil. Jadi papa akan memiliki dua anak sekaligus dalam waktu
yang berdekatan. Andai mama harus cerita,
betapa repotnya papa mengurus dua istri yang sedang sama-sama hamil.
Namanya juga orang yang sedang hamil, baik mama maupun Ibu Teja, sama-sama
menuntut perhatian berlebih pada papamu.
Tapi papa memang sabar. Tidak pernah papa menunjukan kejengkelan dengan
kerepotan mengurus dua istri yang sedang sama-sama hamil. Papamu sangat sabar
sekali. Mama melahirkanmu lebih dulu, dua bulan kemudian Mesi pun lahir. Saat
itu, mama melihat papa adalah seorang ayah yang sangat berbahagia, dalam tempo
dua bulan memiliki dua putri sekaligus yang sama-sama cantiknya dan lucunya. Mungkin saat itu papa
adalah orang yang paling berbahagia didunia ini.”
Mirta tersenyum. Sejenak Mona membayangkan saat itu, ketika ayahnya
mendapatkan kebahagiaan memiliki dua puteri sekaligus dalam tempo waktu yang
berdekatan. Kedua bayinya cantik dan lucu. Ayah memangku
kedua bayinya dengan penuh rasa sayang. Keduanya dipeluk dengan rasa
bangga. Kalau tidak lahir Mesi, pasti
hanya aku saja yang dipeluk ayah dan dipamerkan pada setiap orang, pikir Mona.
“Tugas dan Kewajiban papamu tidak ringan, Mona.” Tutur Mirta
lagi lembut. “Papa sangat
menyadari hal itu. Sejak kelahiran kalian yang tentunya membutuhkan biaya yang
tidak sedikit, papa bekerja lebih keras,
lebih tekun. Perkebunan kopi yang dikelola papamu semakin sungguh-sungguh
diurus dengan penuh ketekunan sehingga hasil produksinya dapat
semakin meningkat. Dulu papa melanjutkan kakekmu mengurus perkebunan
kopi. Namun papa kemudian bukan hanya mengurus perkebunan kop. Usaha papa
sedikit demi sedikit semakin maju sehingga papa memiliki pabrik kecil-kecilan
yang memproduksi kopi bubuk.”
“Itu yang harus kau sadari, bahwa papa adalah seorang ayah yang sangat
bertanggung jawab.” Lanjut Mirta. “Semua itu papa lakukan untuk memenuhi
kewajibannya sebagai seorang ayah yang memiliki dua keluarga. Mama tidak
membenci papa walaupun apa yang pernah papa lakukan dengan menikahi wanita lain
pernah membuat perasaan mama sakit hati, terluka dan merasa didholimi. Namun
perjalanan waktu kemudian seolah
membukakan mata mama bahwa papa selalu berusaha berlaku adil pada kedua istrinya, juga kepada kedua anak
gadisnya. Namun mama selalu merasa papa bahkan sebenarnya selalu cenderung
mendahulukan kepentingan mama dalam
kondisi apapun. Mama bisa merasakan hal itu walaupun papa selalu mengelak dan mengatakan bahwa papa tetap
ingin bersikap adil pada kedua istrinya.
Mama juga dapat merasakan, ibu Teja cenderung mengalah apabila dalam saat yang
hampir bersamaan mama dan ibu Teja
sama-sama sedang membutuhkan papa.”
Mona menguap. Kata-kata ibunya tak ada satu kalimat pun yang masuk kedalam
telinganya. Dia mulai memikirkan Trisna lagi.
Oh Tuhan, mengapa Trisna tidak menelepon? Mengapa Trisna tidak mengirim pesan pendek? Apakah kami sekarang
berpacaran? Atau apa? Bagaimana mungkin Linda bisa dengan mudah berpindah dari
satu hubungan ke hubungan lain dan aku bahkan tidak bisa memulai hal paling
sederhana, mungkin Linda lebih pandai dalam membina hubungan? Mungkin Linda
tidak meminta belas kasihan karena dia memiliki rasa percaya diri yang tinggi?
Mungkin Linda didukung oleh kegemarannya membaca buku pengembangan pribadi,
atau karena suka mengikuti seminar mengenai bagaimana menjadi pribadi yang
menarik, atau seminar alangkah
bahagianya menjadi diri sendiri, menggali potensi yang dimiliki diri sendiri
dan mengambangkan potensi diri sendiri. Sayang aku tidak pernah mengikuti
seminar-seminar semacam itu. Atau lebih baik aku memulai dengan membaca buku
tentang pengembangan pribadi. Lain kali kalau Indri mengajak aku ke toko buku,
aku akan mencari buku-buku sejenis pengembangan pribadi agar aku bisa tahu
bagaimana caranya untuk mendapatkan seorang pacar yang baik hati dan setia.
Mona merasa gelisah sendiri. Pada saat hatinya sedang berbunga-bunga, dia
sibuk bertanya dalam hatinya. Bagaimana sebenarnya hubungannya dengan Trisna?
Sepertinya tetap tidak ada kepastian, tidak ada kejelasan. Tiba-tiba Mona menyadari, dia menantikan Trisna menelepon,
atau mengirim pesan pendek, atau datang kerumah, dan segala
pengharapan-pengharapan lainnya yang
sebenarnya hanyalah berdasarkan fantasinya semata. Karena dia menyukai pemuda
itu. Jadinya berkhayal, dan berharap, dan berfantasi.
Oh Tuhan, nasibku, pikir Mona. Sekalinya aku jatuh cinta namun ternyata
beginilah rasanya. Aku jadi banyak membuang-buang waktu untuk melamun, untuk
berkhayal, untuk berfantasi. Banyak waktuku yang terbuang percuma. Kalau saja
aku tidak duduk melamun sejak dua jam lalu, mungkin aku sudah selesai membaca
sebuah novel. Atau tamat menonton
sinetron. Walaupun tidak menarik perhatianku namun setidaknya menonton sinetron
jauh lebih baik daripada hanya duduk melamun, bengong tidak menentu, memikirkan
Trisna yang sekarang malah terasa menjengkelkan perasaanku. Mona
mendadak sedih dengan nasib dirinya.
Oh Tuhan, mengapa aku sangat tidak menarik? Mona berkata dalam hatinya. Tidak
percaya rasanya, dia meyakinkan dirinya dengan apa yang sudah dilakukannya,
bahwa selama lebih dari dua jam dia menantikan
telepon dari Trisna, atau sekedar pesan pendek. Sungguh mengerikan apa yang
sudah kulakukan ini, pikir Mona. Membuang-buang waktu, bukan hanya hari ini
saja, namun sudah tidak terhitung hari sejak aku kenal Trisna, dalam sehari
berapa jam yang kubuang hanya untuk memelototi telepon genggam siapa tahu tiba-tiba berdering, ada panggilan
masuk dari Trisna. Mengapa Trisna tidak pernah menelepon lagi? Mengapa? Apa
yang salah denganku? Mengapa Trisna meminta nomor teleponku jika dia tidak
hendak menelepon? Atau apakah sebaiknya aku saja yang menelepon Trisna? Mona
sibuk sendiri dengan pikirannya. Ada rasa ingin menelepon namun juga tidak
ingin terus menerus memulai walaupun akhirnya dia menelepon Trisna juga. Namun
oh, telepon Trisna sedang tidak aktif. Mona agak kecewa. Ah, kenapa Trisna mematikan teleponnya? Apakah
karena dia sedang bersama dengan Mesi sehingga khawatir Mesi akan marah dan
cemburu bila pada saat mereka sedang bersama tiba-tiba ada telepon masuk. Apalagi
cewek. Mona merasa kecewa. Tentunya
Trisna lebih menjaga perasaan Mesi. Jadi dia lebih berat pada Mesi daripada kepadaku, pikir Mona.
--- 0 ---
Trisna merasakan kegalauan dalam perasaannya. Dia mencintai Mesi namun
tidak ingin menyakiti perasaan Mona. Sore itu Trisna menunggu Mesi sepulang les
komputer. Dengan sabar ditunggunya hingga les itu bubar. Ketika dilihatnya
Mesi, bergegas Trisna menghampiri. Gadis
itu tersenyum ramah seperti biasanya ketika melihat Trisna. Mesi tidak menolak
ketika Trisna akan mengantarnya pulang. Malah kelihatan senang. Motor Trisna
melaju menembus jalanan yang masih basah bekas hujan.
“Enaknya makan roti bakar, beli yuk.” Ajak Mesi.
Tentu saja Trisna tidak menolak. Mereka mampir membeli roti bakar. Biasanya
ditukang roti bakar langganan mereka selalu penuh, sampai antri. Untung ketika mereka kesana hanya ada
beberapa orang saja yang sedang memesan. Jadi mereka bisa dilayani lebih cepat dan
bisa segera membawa roti bakar pulang kerumah.
“Duduk dulu, ya. Aku bikinkan minuman hangat untukmu.” Kata Mesi.
“Terima kasih. Kau baik, Mes.” Ujar Trisna. Dia duduk pada kursi rotan diteras depan. Trisna
paling senang duduk diteras depan.
Ruangan terbuka itu cukup luas dan dari sana bisa melihat langsung ke taman dan
kejalanan.
Tidak lama Mesi kembali dengan dua cangkir berisi kopi susu yang mengepul
hangat.
“Ada apa nih sampai menjemput segala.”
Tanya Mesi. Dia duduk dihadapan Trisna dan mulai menikmati roti bakar.
Trisna mengambil roti bakar
sepotong, memakannya. Mengambil sepotong lagi. Baru meminum kopi susu yang
dihidangkan Mesi. Mesi membiarkannya saja. Dicuaca sedingin ini memang enak
makan roti bakar hangat ditemani secangkir kopi susu.
“Aku jadi merasa tertekan.” Kata Trisna terus terang. Wajahnya
sungguh-sungguh.
Mesi tersenyum.
“Kau nampak bahagia.” Kata Trisna.
“Ya, aku senang melihat kau bersama-sama dengan Mona.”
“Aku tidak bisa, Mes…..”
“Tidak bisa apa?”
“Aku tidak bisa mencintai Mona seperti yang kau minta. Aku bisa dekat
dengan Mona. Aku bisa merasakan ada rasa sayang kepadanya. Namun aku tetap
tidak bisa memaksakan perasaanku untuk mencintainya seperti yang kau inginkan.
Itu tidak mungkin. Aku mendadak merasa menjadi orang bodoh hanya karena aku
ingin menyenangkan perasaanmu saja. Inikah imbalan yang harus kuberikan
kepadamu dengan persahabatan kita selama ini?”
Mesi merasakan kesungguhan dalam ucapan Trisna. Dia menatap mata Trisna.
“Aku juga tidak bisa mencintaimu
karena aku tidak mau menyakiti perasaan Mona.” Ucap Mesi pelan, beberapa saat
kemudian.
“Kenapa kau tidak bisa berpura-pura tidak tahu bahwa Mona menyukai aku?”
“Bagaimanapun Mona adalah saudara seayah denganku. Aku saudaranya. Aku
tidak ingin menyakiti perasaannya. Apalagi bila urusannya adalah soal pemuda.
Lebih baik aku mencari pemuda lain.”
“Bahkan seandainya kau mencintai aku sekalipun?” Trisna menatap Mesi
sungguh-sungguh.
“Ya.” Mesi mengangguk. “Bahkan seandainya aku mencintaimu pun sekalipun.
Aku tetap akan mencari pemuda lain dimana aku bisa lepas bebas dalam
mengungkapkan perasaan cintaku kepada dirinya tanpa dibebani perasaan bersalah
dan berdosa karena aku sudah menyakiti perasaan saudaraku sendiri.”
“Kalau aku bisa menjalin hubungan dengan Mona, apakah hal itu akan
membahagiakanmu?’ Tanya Trisna beberapa saat kemudian.
Mesi tersenyum. Ada air mata disudut matanya. “Ya, andai kau bisa
membahagiakan Mona, aku akan merasa bahagia sekali.” Ujarnya.
Trisna melihat kilauan bening disudut mata Mesi. Perasaannya terasa
tersentuh. Dia dapat merasakan bahwa Mesi mencintainya. Kebersamaan mereka yang
sudah terjalin sejak sekolah di SMP dulu telah merentangkan sebuah benang merah
diantara mereka.
“Aku akan menyayangi Mona seperti yang kau minta. Andai saja hal itu bisa
membuatmu bahagia.” Ujar Trisna.
Mesi menatap Trisna. Tiba-tiba saja dia tidak bisa menahan tangisnya.
Airmatanya mengalir begitu saja. Trisna memeluknya bahunya sambil tersenyum.
“Jangan menangis. Bukankah engkau yang ingin aku menjalin hubungan dengan
gadis lain? Dan gadis yang kau pilih adalah Mona. Ya, aku akan mengikuti
keinginanmu. Aku akan belajar mencintai Mona. Aku ingin engkau bahagia, Mesi.”
Mesi menahan tangisnya walaupun
airmatanya seakan berdesakan memaksa ingin keluar. Sekuat tenaga ditahannya
agar tidak sampai menangis. Dia tahu, apa yang diucapkan Trisna hanya
sekedar sindiran saja. Dan kenyataannya, jauh dalam hati kecilnya, dia
merasakan hatinya pedih seperti disayat sembilu andaikan Trisna menjalin kasih
dengan gadis manapun, bahkan dengan Mona sekalipun. Betapa susahnya aku harus
berpura-pura seperti ini, kata Mesi dalam hatinya sambil menahan tangisnya. Aku memainkan sebuah sandiwara yang terasa
menyakitkan perasaanku. Dia menatap Trisna. Trisna pun tengah menatapnya. Dari
tatapan matanya Mesi tahu, Trisna ingin mengucapkan sesuatu kepadanya. Entah
apa.
--- 0 ---
Mona merasa hatinya berbunga. Dia kini semakin yakin dan percaya bahwa
Trisna mencintainya. Betapa senangnya dicintai, pikir Mona. Hidupku terasa
lebih penuh arti ketika memiliki seseorang yang dicintai dan mencintai. Namun
ada hal yang tak luput dari perhatian Mona. Mungkin perasaan kewanitaanku yang
kelewat peka, pikir Mona. Dia merasa Trisna tidak sepenuhnya mencintainya. Dia
merasa ada sikap-sikap Trisna yang seakan dipaksakan. Apalagi bila mereka
sedang berdua. Trisna nampak tidak bahagia bersamanya. Kalaupun tertawa dan
tersenyum, namun semua itu seakan dipaksakan. Tidak keluar dari hati yang
tulus. Mona merasa sedih, dia hanya menginginkan ketulusan Trisna kepadanya.
Bukan paksaan. Bukan kepura-puraan. Semua itu tidak akan ada artinya walau
mereka bersama-sama setiap waktu. Namun Mona tidak pernah mengungkapkan
perasaannya itu kepada Trisna. Dia khawatir Trisna marah dan tersinggung. Lebih
baik aku menahan diri, pikir Mona. Aku tidak ingin membuat Trisna marah dan tersinggung yang akhirnya
akan membuat kedekatanku dengan Trisna akan menjadi berantakan. Bersikap sabar akan jauh lebih baik bagiku,
pikir Mona.
Namun pikiran itu kadang hanya sesaat saja. Sesaat kemudian pikirannya
sudah berubah lagi. Lama kelamaan Mona mulai kesal dengan sikap Trisna.
Sepertinya Trisna tidak akan bisa dijadikan pegangan untuk menjadi belahan
jiwanya, yang sanggup memberinya ketentraman batin dan ketenangan hati. Trisna
baik pada semua orang. Apalagi pada kaum hawa. Dia selalu memperlakukan semua
teman-teman perempuannya dengan baik dan lemah lembut. Gadis yang jadi pacarnya
pasti akan sering dilanda perasaan cemburu melihat sikap Trisna bila tidak
faham dengan sifat pemuda yang satu ini.
Dia bukan untukku, pikir Mona. Aku bisa sakit jantung kalau menjadi pacar
Trisna. Kemanapun melangkah, Trisna seakan akrab dengan semua gadis yang
berjumpa dengannya.
Selama aku menjalin hubungan dengan Trisna, aku akan merasakan hidupku jtidak
bahagia, kata Mona dalam hati. Aku seakan memaksakan diriku menjalin hubungan dengan Trisna. Mungkin
sebenarnya Trisna memang tidak mencintaiku. Dia tidak pernag\h mencintai aku.
Kalau Trisna mencintaiku, dia pasti akan
selalu menjaga perasaanku, dia pasti menjada agar hatiku tidak kecewa, dia
tidak akan berani menyakiti perasaanku, dan
akan selalu menjaga sikap dan ucapannya agar membuatku merasa senang dan nyaman.
Aku tidak tahan melihat Trisna menjalin hubungan dengan aku namun dipihak lain
dia tidak membatasi pergaulannya dengan banyak gadis. Trisna memang baik namun apabila
dia sebagai kekasihku, aku meragukan kesetiaannya. Kesetiaannya rapuh. Tidak bisa dipegang. Tidak,
Mona menggeleng. Aku tak mungkin
menjalin hubungan dengan pemuda seperti Trisna. Sikap Trisna
tidak bisa ditebak. Apakah dia
bisa serius dengan seorang gadis. Atau barangkali Trisna menyayangi semua gadis
yang dekat dengannya. Mona terombang-ambing dengan perasaannya sendiri. Hingga suatu hari dia mendengar sesuatu yang
terasa mengganggu perasaanya. Dia mendengar Trisna tengah menjalin kedekatan
yang nampaknya cukup serius dengan gadis lain di sekolah mereka. Gadis itu
bernama Sundari.
Berita Trisna dengan Sundari membuat
Mona merasa terganggu. Sundari baru-baru ini terpilih menjadi ketua OSIS. Sundari
termasuk gadis populer di sekolah.
Apalagi setelah dia menjadi ketua OSIS. Tidak ada siswa siswi yang tidak kenal
namanya. Sundari naksir Trisna. Sering
meminta Trisna ikut dalam berbagai macam kegiatan di sekolah. Trisna sendirinampaknya
senang bergaul dengan Sundari. Mulanya
hanya menemani Sundari namun lama kelamaan Trisna seolah menikmati kebersamaan
dengan Sundari. Dimana ada Sundari pastilah disitu ada
Trisna yang menemani. Trisna mulai jarang latihan tenis dengan Mona. Kalaupun
Mona mengajak, Trisna selalu sudah punya alasan untuk menolak. Mona tahu
Sundarilah yang menjadi sebab kenapa Trisna menjadi selalu tidak punya waktu
untuknya.
Mulanya memang cuma selentingan biasa. Awalnya Mona menganggap hanya isue
belaka. Namun berita kedekatan Trisna dengan Sundari semakin santer masuk ke
telinganya. Lama kelamaan telinga Mona terasa semakin panas. Lebih-lebih
hatinya. Seperti tusukan daging yang dibakar. Sudah matang menjadi sate. Dan
Mona yakin, tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Tidak mungkin ada gosip
seperti itu kalau memang tidak ada fakta, baik sedikit ataupun banyak yang memungkinkan memunculkan isue itu
sehingga berkembang menjadi santer dan
menjadi berita.
Sundari termasuk siswi yang cukup populer. Dia aktif dalam
berbagai macam kegiatan sekolah. Dari mulai ikutan vokal grup sampai tim
basket. Dalam bidang pendidikan dia selalu masuk rangking tiga besar
dikelasnya. Yang paling menonjol adalah keaktifannya dalam berbagai organisasi
pemuda. Sundari nyaris selalu hadir dalam kapasitas sebagai ketua atau
bendahara atau sebagai sekretaris. Wajahnya tidak tergolong cantik, namun dia
cukup menarik. Kulitnya hitam manis. Mimik wajahnya cukup serius. Gaya bicaranya tegas dan menunjukan
kepintarannya. Banyak yang bilang gaya
Sundari mirip gaya seorang pemimpin. Karena itulah mungkin yang membuat Sundari terpilih menjadi ketua OSIS. Perawakannya
kecil. Gerak-geriknya terkesan gesit.
Entah sudah berapa kali Mona mendengar kabar tentang kedekatan Trisna dengan
Sundari. Dan kenyataan itu cukup menghantam perasaan Mona. Dia merasa sakit
hati dan merasa dikhianati.
Beberapa pesan pendeknya pada Trisna akhir-akhir ini memang sering tidak
terbalas. Mona mulai menaruh perasaan curiga bahwa ada apa-apa dengan Trisna.
Namun dia tidak mau terlalu jauh berprasangka. Siapa tahu Trisna sedang sibuk.
Dia kan sebentar lagi mau ujian. Pasti dia sedang sibuk belajar atau ikut
beragam les sebagai persiapan untuk
menghadapi ujian kelulusan SMA. Juga ujian menghadapi masuk ke perguruan tinggi.
Dan lain-lain. Selalu Mona berpikir positif. Tidak suudzon. Tidak mau
berprasangka buruk. Namun ketika gosip kedekatan Trisna dengan Sundari semakin lama semakin deras masuk
ketelinganya, barulah perasaan Mona terusik. Memang ada gadis lain dihati Trisna
yang telah memikat pemuda itu sehingga berpaling darinya. Perasaannya terasa
sakit. Namun dia perlu bukti. Bukan sekedar berita. Kedekatan Trisna dengan
Sundari memang akhirnya terbukti. Mona
mendengar sendiri dari Trisna, dia mengaku bahwa dirinya memang dekat dengan
Sundari walaupun Trisna pada mulanya
membantah dirinya menjalin hubungan dengan Sundari .
“Kami hanya berteman dekat saja. Tidak ada hubungan apa-apa, kok.” Kata
Trisna.
Namun Mona tahu, Trisna berbohong.
Mata Trisna tidak bisa menyembunyikan bahwa Sundari adalah seseorang yang istimewa dihatinya.
Mona menyadari bahwa hubungannya dengan Trisna tidak lagi seperti dulu. Rasanya
perasaan Mona seakan ditikam oleh belati tajam. Tapi aku tidak boleh mati,
pikir Mona. Tidak. Cintaku dengan Trisna bisa jadi hanya sebagian kecil dari
perjalanan cinta dalam hidupku yang masih panjang dan lama, pikir Mona.
Mona mencoba bersikap dewasa. Usia mereka masih muda. Masih banyak
kemungkinan yang akan terjadi. Trisna masih akan bertemu dengan banyak gadis
lain. Bukan hanya dengan dirinya atau Sundari, namun juga dengan gadis-gadis
lain. Aku tidak boleh terlalu serius memandang hubunganku dengan Trisna.
Perjalananku masih panjang. Bahkan akupun masih tidak menutup kemungkinan masih akan bertemu dengan pemuda-pemuda lain.
Bukan hanya Trisna. Namun masih akan banyak pemuda-pemuda lain yang akan aku
temui dalam perjalananku nanti. Aku tidak boleh menutup diri. Trisna hanya
sebagian kecil dari perjalanan hidupku, pikir Mona mencoba menghibur
perasaannya agar tidak terlalu kecewa dengan kenyataan ini bahwa perhatian
Trisna sudah berpaling pada gadis lain.
Dengan mantap Mona akhirnya memilih mundur teratur. Aku pasti tidak akan
tahan bila bersama-sama dengan Trisna terus.
Jauh dalam hatinya, kesadaran itu
perlahan disadarinya. Trisna tidak mencintainya. Mona dapat merasakan
kepura-puraan, sandiwara yang dilakukan Trisna kepadanya. Mungkin benar Trisna
menyayanginya, namun hanya sebatas sayang biasa saja. Sayang antara teman. Tidak memiliki arti
lebih. Sementara cinta dihatinya kepada Trisna begitu menggebu. Membludak
seakan tak terbendung. Hingga akhirnya Mona merasa dia harus mengambil
keputusan. Dia tidak ingin cintanya tergantung.
Mona jengkel, tiap kali Trisna sudah
janji dengannya sering batal karena Trisna mendadak berubah pikiran. Mengganti
dengan acara lain. Mona merasa Trisna memang tidak bisa menjaga perasaannya.
Apabila Trisna mencintainya, pasti Trisna akan selalu berusaha untuk menjaga
perasaannya agar tidak tersinggung, tidak jengkel, tidak marah. Aku yang bodoh,
pikir Mona. Tak mungkin aku terus-terusan
berharap Trisna akan mencintaiku karena aku seolah memaksa Trisna untuk
mencintaiku sementara cinta tak bisa dipaksakan dan tak mungkin akan dapat tumbuh pada suatu tempat
yang bukan tempatnya. Jadi ringkasnya, cintaku kepada Trisna hanya bertepuk
sebelah tangan saja, pikir Mona mencoba berbesar hati.
Jadi artinya Trisna memang bukanlah untukkku dan aku pun bukan bukan pula untuk Trisna, pikir Mona. Aku harus mengambil keputusan. Mau terus
dengan Trisna namun dengan catatan: aku harus mau ngebatin menjalani hubungan. Atau
aku melepaskan diri dari Trisna. Pasti sedikitnya aku akan merasa sakit karena
selama ini aku sudah terlalu berharap
banyak pada Trisna namun sakit itu mungkin hanya sebentar karena aku kemudian
akan merasa nafasku menjadi lega, bebas dan plong. Jadi yang mana
yang akan aku pilih? Mona menarik napas panjang. Aku pilih meninggalkan Trisna.
Ucapnya dalam hati.
Mona merasa mantap dengan keputusannya. Dia lalu pergi kerumah Osi.
Bercakap-cakap dengan Osi, istilahnya mencurahkan isi hatinya, pastilah akan
membuat perasaannya lebih nyaman. Dulu Mona senang menulis dalam buku harian
bila dia sedang merasa gundah. Atau gelisah. Namun kebiasaan itu sudah lama
ditinggalkan. Bukan karena tidak punya waktu lagi untuk menulis dalam buku harian, namun Mona sering menganggap
buku hariannya kemudian jadi terasa lucu dan menggelikan ketika masa-masa
gundah dan gelisahnya telah berlalu, kemudian dia membaca kembali apa yang
ditulisnya. Kalimat-kalimat yang ditulisnya dalam buku hariannya, menjadi
seolah norak dan cengeng.
Tiba didepan gerbang rumah Osi, mendadak Mona tertegun. Dia melihat ada motor Trisna dihalaman rumah Osi. Ada
apa Trisna kerumah Osi? Pikir Mona. Mona berjalan mengendap-endap, lewat jalan samping. Disamping rumah Osi ada sebuah teras.
Biasanya Osi suka mengajak teman-temannya duduk disana. Langkah Mona terhenti.
Dia mendengar suara orang sedang bercakap-cakap. Jelas sekali itu adalah suara Trisna
dan Osi. Mona mencoba mendengarkan
percakapan mereka.
”Cobalah kau memahami perasaan Mona, Tris.” terdengar suara Osi. ”Kasihan Mona
bila kau seolah memberinya harapan namun
sebenarnya hatimu pada Mesi.”
”Aku tidak berniat mempermainkan Mona. Aku menyayangi dia.” suara Trisna.
”Kau menyayangi mona, benarkah?”
”Ya.”
”Lalu?”
”Namun rasa sayangku pada Mona hanya sebatas rasa sayang kepada saudara
saja. Mona saudara Mesi. Mereka seayah. Sementara perasaanku sendiri pada Mesi
lebih dari perasaan seorang sahabat.”
”Jadi benar kau mencintai Mesi?”
”Ya.”
Mona menggigit bibirnya. Hatinya sakit mendengar pengakuan dari mulut Trisna.
Jadi benar Trisna memang mencintai Mesi dan kedekatan mereka selama ini
bukanlah kedekatan sebatas persahabatan saja. Dan Trisna memang benar menyayangi
aku, namun rasa sayangnya bukanlah diartikan rasa sayang seorang pemuda kepada
seorang gadis, namun tidak lebih dari rasa sayang kepada saudara karena aku
saudara Mesi. Mona menggigit bibirnya.
Dia tidak tahu, bagaimana perasaannya kini mendengarkan pengakuan Trisna.
Pengakuan yang sejujurnya dari seorang pemuda yang selama ini dicintainya. Mona
ingin menangis. Namun menangis untuk apa? Untuk cintanya yang sia-sia selama
ini? Untuk pengharapannya kepada Trisna selama ini? Mona mengeraskan perasaannya.
Aku harus menerima kenyataan ini. Cinta Trisna bukan untukku, dan aku tidak mau
rapuh hanya karena cintaku yang sia-sia selama ini kepada Trisna. Mona berusaha
menelan kembali air matanya yang hampir
meloncat keluar.
”Lalu apa yang akan kau lakukan pada Mona? Dia sahabatku. Aku bisa memahami
perasaannya bahwa dia sungguh-sungguh menyukaimu.”
”Nanti aku akan memberikan penjelasan pada Mona. Dia pasti mengerti.”
”Ya, mudah-mudahan saja.”
”Aku pulang dulu, ya.”
Mona bergegas bersembunyi dibalik tembok ketika mendengar langkah kaki
mendekat, Trisna berjalan akan melewatinya.
Ketika motor Trisna sudah berlalu, Mona menemui Osi yang masih duduk
diteras samping. Osi nampak duduk santai walaupun tatapan matanya seakan
menerawang sedang memikirkan sesuatu. Wajahnya nampak serius sekali.
”Si!” sapa Mona.
”Hei, Mon.” Osi menoleh, kelihatan keget melihat Mona tiba-tiba muncul.
”Tadi kulihat Trisna , ngapain dia kemari?” tanya Mona.
”Jangan cemburu, Trisna kan teman Risman, belahan jiwaku. Aku hanya ngobrol
saja kok.”
”Ngobrolin aku, ya?”
”Jangan marah, diantaranya, ya.”
’Ngobrolin apa?”
Osi tersenyum
Mona duduk didekat Osi. ”Aku mendengar sebagian pembicaraan kalian. Trisna
tidak perlu menemui aku untuk membicarakan bagainana sesungguhnya perasaannya kepadaku. Aku faham, kok. Trisna memang untuk Mesi.”
”Mon, aku berharap kau tidak menjadi kecewa dan sakit hati.”
”Tidak, aku menerima kenyataan ini. Malah aku bodoh mencintai pemuda yang tidak mencintaiku.”
”Kau tidak bodoh, Mon. Mencintai
adalah sebuah proses pembelajaran bagi diri kita bagaimana kita mensyukuri
perasaan yang kita miliki, bahwa kita ternyata bisa mencintai orang lain. Terlepas apakah cinta kita
terbalas atau tidak, namun manusiawi apabila kita mencintai seseorang. Cinta
adalah sebuah anugerah yang harus kita syukuri. Bersyukur kita masih bisa
mencintai orang lain daripada kita sama sekali tidak pernah merasakan bahkan
tidak pernah tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang. Cinta
adalah sebuah proses alamiah yang pasti selalu hadir dalam hati manusia. Bukan
hanya kita anak muda, bahkan orang yang
sudah berumur pun masih mungkin merasakan cinta.”
Mona mengangguk.
Osi tersenyum. ”Jadi kau tidak akan kecewa dan murung, kan?”
Mona tersenyum ”Murung akan membuatku jadi tua. Aku kan masih muda. Aku tak mau merugikan diri sendiri bersikap murung hanya karena Trisna.”
---- 0 ----
“Aku memang menyukaimu, Tris, namun sekarang
aku sudah tahu kau tak pernah mencintaiku. Aku bodoh selama ini berharap
padamu.” Kata Mona ketika sore itu Trisna datang kerumahnya.
Trisna menatapmya. ”Osi bercerita
sesuatu kepadamu?”
”Bukan Osi. Aku sendiri yang sudah mengetahui bahwa selama ini kau dekat
padaku bukan untuk urusan cinta. Kau menjalin persahabatan dengan Mesi, namun
memang hatimu untuk Mesi.” Mona ingin menangis ketika mengucapkan kata-kata
itu.
”Aku menyesali apa yang terjadi diantara kita, Mon. Aku sungguh
menyayangimu, aku ingin dekat denganmu, namun.......”
Mona menggeleng. Dia tidak ingin mendengar Trisna memberikan penjelasan.
Dia juga tidak ingin menatap Trisna yang menatapnya dengan sendu. Mona tidak mau tersentuh oleh hal sepele
semacam itu. Dia tidak mau lagi percaya pada Trisna. Trisna sudah dicoret dalam
buku hatinya. Mona ingin memulai lembaran baru tanpa Trisna.
Usai percakapan itu, terasa
menyedihkan bagi Mona. Entah bagi Trisna. Mona menangis beberapa waktu lamanya.
Dia mengurung diri dikamarnya. Dibiarkannya pikirannya melayang kemana-mana,
terbang kemana dia suka. Setelah perasaannya terasa longgar dan lega, barulah dia mencuci muka dan keluar
kamar dengan perasaan lega karena dia merasa sudah mengambil keputusan yang
terbaik untuk dirinya. Mona menelepon
Osi. Dia bicara tentang keputusannya akan melupakan Trisna. Osi menyambut
gembira.
”Pasti itu keputusan yang terbaik yang akan membuatmu terbebas dari
pengaruh bayang-bayang Trisna.” kata Osi mendukung dengan penuh kegembiraan.
”Aku sekarang siap-siap mau latihan
voly. Kalau kau mau ikut, datanglah ke tempat latihan, ya.”
”Ya, aku akan datang. Aku sudah kangen ingin bermain voly lagi.” sahut
Mona.
Sore itu Mona latihan voly lagi
bersama teman-teman sekelasnya.
Kehadirannya disambut gembira teman-teman sekelasnya yang hoby main
voly.
“Sudah bosan latihan tenis, Mon?” tanya Indri.
Mona tidak menjawab. Dia masuk kelapangan dengan penuh semangat dan mulai
bermain-main dengan bola. Semua maklum. Mona tidak latihan tenis lagi karena Trisna sekarang sibuk terus
berdua dengan Sundari. Dan tidak ada yang mengungkit nama Trisna lagi karena hal itu pasti akan membuat Mona kesal. Mona
juga merasa tidak perlu memberikan penjelasan pada teman-temannya. Sudah bukan
urusannya lagi apakah Trisna bersama Mesi, atau Sundari, atau siapapun juga.
Semuanya bermain voly dengan gembira. Semangat Mona bangkit lagi. Dia
merasa kegembiraannya pulih kembali. Berkumpul dengan teman-teman yang memiliki
kesukaan yang sama, mengembalikan kegembiraannya kembali. Dia merasa voly lebih
menyatu dengan jiwanya. Dalam voly ada unsur kekompakan dan kerjasama. Kalau
mereka telah lulus SMA nanti, dia pasti akan kangen dengan saat-saat seperti
ini bersama teman-temannya yang telah bersama-sama dengannya selama di SMA.
Sejak percakapan mereka yang terakhir, Mona pernah berberapa kali berpapasan dengan Trisna. Namun Mona sudah
tidak ingin peduli lagi. Bagi Mona
Trisna seperti buku usang yang tak ingin dibacanya lagi.
--- 0 ---
Buku-buku itu disusunnya didalam dus bekas minuman mineral. Ada puluhan
buku yang diterimanya sumbangan dari teman-temannya. Lima dus buku itu
dimasukan kedalam mobil.
”Pulangnya jangan terlalu malam,
ya.” pesan Teja pada Mesi.
”Ya, ma.” sahut Mesi. ”Aku hanya mengirimkan buku-buku ini ke sanggar. Biar
nanti Mimi dan Tuti yang membereskannya.”
Diantar Jono, sopir yang biasa mengantar ibunya, Mesi pergi ke sanggar buku
yang baru tiga bulan lalu didirikannya. Sanggar itu terletak di desa kelahiran
ibunya. Kakek dan neneknya masih ada dan tinggal disana. Kakek memiliki sebuah
kolam yang terletak dipinggir jalan. Ketika kakek mulai mewariskan sebagian
sawah, kebun, termasuk kolam kepada ketiga puterinya, kolam itu termasuk yang
diwariskan kepada ibunya. Kakek memiliki tiga puteri. Ibunya adalah anak
sulung. Kedua adik ibunya, Neni dan Hesti, tinggal di Bandung.
Ketika Teja bercerita pada Mesi bahwa kolam itu sekarang milik mereka, Mesi
memiliki ide. Sudah lama dia ingin
memiliki sanggar buku. Dia memiliki koleksi buku yang sangat banyak. Buku-buku
itu tersusun rapi dalam lemari diperpustakaan kecilnya. Setelah selesai dibaca,
buku-buku itu hanya mengisi lemari buku saja dan tak pernah dibacanya lagi.
Bahkan ada sebagian yang rusak dimakan
rayap. Mesi berpikir, andai dia memiliki
sanggar buku, buku-buku yang dimilikinya
akan berguna bagi orang lain.
Bila iedul fitri, biasanya Mesi menghabiskan beberapa hari di desa kakek
neneknya tinggal. Iedul fitri adalah saat-saat keluarga kakek nenek, puteri-puteri dan keenam cucunya berkumpul
bersama. Bibi Neti memiliki tiga anak, Roni, Vien dan Raya. Sementara bibi
Hesti memiliki dua puteri, Sinta dan Santi.
Bersama saudara-saudara sepupunya, bila sedang berlibur dirumah kakek neneknya, Mesi berjalan-jalan menelusuri
jalan di pedesaan, pergi ke pesawahan, makan di kebun, menyusuri sungai atai
menangkap ikan di kolam. Pada saat itu, Mesi sering melihat, masih banyak
anak-anak di desanya yang tidak melanjutkan sekolah karena orangtuanya sudah
tidak sanggup lagi membiayai sekolah mereka dan menuntut anak-anak itu untuk
bekerja disaah membantu orangtua. Anak–anak itu yang membuatnya ingin
mendirikan sanggar buku didesanya. Sanggar buku yang didirikannya akan
memberikan manfaat bagi anak-anak itu
yang masih ingin belajar dan menambah pengetahuan.
Mesi kenal dengan Mimi, yang rumahnya tidak jauh dari rumah kakeknya. Mimi lulusan diploma satu
dari perguruan tinggi keguruan. Mimi sudah
dua tahun menjadi guru di sebulah sekolah dasar Ketika Mesi
mengungkapkan pada Mimi keinginannya untuk mendirikan sanggar buku. Dengan
antusias Mimi menyambut baik gagasan Mesi.
”Aku bersedia membantu mengelola sanggar buku itu, Mesi.” kara Mimi. ”Waktuku masih cukup banyak
sepulang mengajar.”
”Ya, tapi aku tidak bisa memberimu gaji, kecuali honor sekedarnya.” kata
Mesi.
Mimi tersenyum. ”Tidak usah kau pikirkan. Aku jadi tenaga sukarela saja. Dengan keberadaan sanggar buku sudah
membuatku merasa bahagia. Aku seorang guru,. Aku ingin mengajar anak-anak,
bukan hanya ilmu pengetahuan, namun juga menambah wawasan mereka. Buku akan
membuka cakrawala dan menambah wawasan buat mereka. Beruntung dengan anak-anak
didesa kita yang masih bisa mengenyam pendidikan dngan baik, dari mulai sekolah
dasar sampai perguruan tinggi. Namun didesa kita ini masih banyak anak-anak
yang terpaksa berhenti bersekolah.
Orangtua mereka sudah tidak sanggup lagi membayar biaya pendidikan sekolah
mereka karena banyaknya biaya yang harus mereka penuhi. Jadi orangtua memilih
anak-anaknya berhenti bersekolah dan anak-anak itu membantu orang
tua mereka bekerja menggarap sawah.”
”Sebenarnya anak-anak itu masih ingin melanjutkan sekolah ke SMA. ” kata
Mimi. ”Bahkan mereka memiliki cita-cita yang tinggi, ingin jadi insinyur, ingin
jadi dokter, ingin jadi guru, ingin jadi perawat, ingin jadi bidan, ingin kerja
dikantoran dan beragam pekerjaan yang mereka ketahui. Sayangnya, sepertinya
terdapat berbagai rintangan yang akan menghalangi mereka mencapai cita-citanya
itu, jangankan untuk mencapai pendidikan tinggi di fakulas kedokteran atau
keguruan, untuk menuntaskan pendidikan dasar sembilan tahun saja dibutuhkan
perjuangan yang sangat berat. Anak-anak
di desa kita masih cukup beruntung. Anak-anak dari desa lain, tetangga
desa kita yang kondisinya masih
memprihatinkan, yang keluarganya lebih jauh dan masih langka kendaraan, keadaan
mereka lebih memprihatinkan. Andaikan
orangtua masih bersemangat untuk meneruskan sekolah anaknya, namun
semangat itu menjadi pupus karena letak SMP sangat jauh dari desa mereka.
Mereka kasihan bila anaknya harus berjalan jauh ke sekolah.”
”Di dusun yang jauh, sejumlah anak yang melanjutkan seklah ke SMP negeri terdekat saja harus berangkat sejak pukul empat subuh agar dapat sampai ke sekolah mereka
pukul tujuh.” kata Mimi melanjutkan. ”Biasanya
anak-anak itu diantar oleh orangtua mereka memakai obor untuk penerang jalan. Kondisi
tersebut ternyata berlangsung sejak belasan tahun. Lalu, jarak tidak satu-satunya masalah. Momok lain
bagi orangtua, lagi-lagi tidak lepas dari persoalan biaya pendidikan. Kepala
SMP memang telah mengatakan bahwa biaya
sekolah sudah dibebaskan. Terlebih lagi
dengan adanya dana bantuan operasional sekolah atau yang dikenal dengan BOS. Tidak
ada lagi sumbangan awal masuk dan iuran
bulanan. Sejumlah buku pelajaran juga telah dipinjamkan oleh sekolah. Sementara
sebagian buku teks tertentu yang belum diadakan oleh sekolah tidak dipaksakan
kepada murid untuk membelinya. Akan tetapi, para orangtua tetap berpandangan
tidak mungkin sekolah tanpa biaya. Kalaupun iuran sekolah gratis, kan masih butuh sepatu, seragam, alat tulis
dan buku pelajaran. Kebanyakan orangtua mereka hanya bekerja sebagia buruh
tani, penggarap lahan orang lain atau menggarap kebun sendiri yang hasilnya kemudian
dijual kepada tengkulak. Dengan kondisi
tersebut, tak heran jika banyak anak-anak lulusan sekolah dasar yang tidak
melanjuttkan ke jenjang berikutya.”
”Jadi bagaimana ketika mereka putus sekolah?” tanya Mesi penuh perhatian.
”Anak laki-laki yang putus sekolah biasanya bekerja membantu orangtua mereka
di ladang atau dibawa oleh kerabat untuk menjadi kuli di kota. Adapun anak-anak
perempuan kerap merantau ke kota, untulk bekerja sebagai pembantu. Piihan lain
setelah agak dewasa menjadi tenaga kerja diluar negeri. Tak jarang perempuan
menikah diusia yang sangat muda, pada usia belaksan tahun. Adakalanya mereka menikah di
usia lima belas atau tujuh belas tahun.”
Mesi termenung. Untuk menyelesaikan
permasalah wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun nampaknya perlu upaya
ekstra keras disertai pemahaman terhadap kondisi ekonomi, kultur, serta sosial
masyarakat. Dengan upaya itu, kelak harapan anak-anak menjadi dokter, tidak
hanya mimpi belaka, tetapi bebar-benar suatu kenyataan...... Mudah-mudahan
saja, pikir Mesi. Mesi merasa prihatin. Dia melihat mimi memiliki dedikasi yang tinggi
sebagai seoang pengajar.
”Jadi, Ceu Mimi bersedia membantu aku mengelola sanggar buku itu?”
”Tentu saja.” sahut Mimi serius. ”Aku akan mengajak Irni, sepupuku, untuk
membantu aku mengelola sanggar buku itu.”
Mesi membicarakan mengenai gagasannya itu kepada ayah dan ibunya. Kedua
orangtuanya setuju dengan keinginan Mesi
dan mendukung sepenuhnya. Diatas kolam itu didirikan sebuah pondok kecil berdinding bilik dengan pagar kayu
sekelilingnya. Lantainya dari kayu.
Rak-rak buku menempel pada ketiga sisi dinding. Pada dinding yang satu, sebuah
jendela besar menghadap kekolam, membiarkan angin pedesanan leluasa keluar
masuk.
Seminggu setelah pondok itu rampung, Mesi mengangkut hampir semua buku-buku,
majalan yang sudah tidak pernah dibacanya diangkut ke sanggar itu. Tiga hari
Mesi, Mimi dan Irni membereskan buku-buku itu, menyusun, memberi nomor dan
label pada buku-buku itu, lalu menyusun diatas rak berdasarkan lebel dan
sanggar itu siap dibuka untuk umum. Mimi yang memberitahu pada orang didesa
bahwa didesa mereka sudah berdiri sanggar buku. Siapapun boleh masuk menjadi
anggota dan membaca, atau meminjam buku disana.
Hari pertama dibuka, hanya beberapa anak yang masuk dan melihat-lihat
sanggar buku itu. Anak-anak yang sudah mengetahu keberadaan sanggar buku itu
saling bercerita kepada teman-teman mereka.
Sebulan kemudian Mesi mendapat laporan bahwa pengunjung sanggar itu semakin
bertambah banyak. bukan hanya anak-anak,
namun juga remaja-remaja di desa mereka banyak yang rutin mengunjungi sanggar
buku itu. Mesi gembira mendapat laporan itu. Dia menceritakan hal itu pada
teman-temannya disekolah. Beberapa temannya merasa tertarik dengan apa yang
dilakukan Mesi dan menyumbangkan buku-buku bekas dan majalah-majalah bekas
untuk menambah koleksi di sanggar itu.
Mesi merasa menemukan kegembiraan dengan sanggar buku itu. Seminggu sekali
dia rutin mengunjungi sanggarnya, tiap hari minggu pagi atau sore. Pikirannya jadi tidak terpokus pada satu hal
yang sering mengganggunya. Dia sedang berusaha melupakan Trisna. Dia merasa apa
yang telah dilakukannya kepada Trisna sudah semestinya. Dia dapat merasakan cinta Mona kepada Trisna
nampak sungguh-sungguh sementara selama ini antara dirinya dengan Trisna hanya
persahabatan saja. Bukankah persahabatan jauh lebih manis daripada mereka
menjalin cinta, lalu ternyata putus dan mereka akhirnya akan menjadi saling
tidak kenal?
Mesi berusaha menghibur hatinya. Kebersamaannya dengan Trisna sudah
terjalin sejak mereka duduk dibangku sekolah menengah pertama. Lintang, adik
Trisna, teman sebangkunya.
Persahabatannya dengan Lintang membuatnya akrab pula dengan Trisna karena
mereka sering bertemu, disekolah atau dirumah Lintang ketika dia sedang bermain
ke rumah Lintang.
Tapi yang membuat mereka dekat adalah ketika Trisna menolongnya yang
terjauh dari motor. Motor yang dikendari Lusi yang baru belajar naik motor,
tersenggol pengendara motor lain. Mesi tersungkur jatuh ke aspal. Beberapa orang menolong. Trisna
yang kebetulan lewat di lokasi kejadian, mengantar Mesi dan Lusi kerumah sakit.
Motor Lusi diantarkan Hendra, teman Trisna kebengkel. Dari sanalah awal
kedekatan Mesi dengan Trisna. Namun sampai sejauh itu kedekatan mereka selalu diartikan
Mesi hanyalah sebatas kedekatan sebagai teman, sebagai sahabat atau apapun juga
namanya. Tidak lebih. Kalau sayang, ya jelas sayang. Kalau cinta, Mesi merasa
masih membutuhkan waktu untuk lebih menjajagi lagi perasaan mereka.
Itu dari pihak Mesi. Tidak tahu dari pihak Trisna. Mungkin malah Trisna
tidak memiliki perasaan apapun juga
kepadanya. Tidak sayang, apalagi cinta. Dan selama ini Mesi tidak pernah mengusik soal perasaan mereka. Trisna juga tidak pernah.
Jadi selama ini mereka menjalin persahabatan berjalan apa adanya. Seperti air
yang mengalir. Hingga kemudian setelah masuk sekolah menengah atas, Mona hadir
diantara mereka. Mesi dapat merasakan, Mona nampak serius menyukai Trisna. Mona
seolah tidak menyembunyikan perasaannya bahwa dirinya mencintai Trisna.
Mesi menghapus airmata disudut matanya. Rasanya akhir-akhir ini seolah ada
sesuatu yang hilang dari dalam hidupnya yang semula terasa indah. Perhatian
Trisna. Kehadiran Trisna. Perhatian-perhatian Trisna selama ini kepadanya. Kini
semuanya seakan telah sirna. Tak ada lagi apapun yang dulu pernah diberikan
Trisna untuknya.
Tidak. Aku tidak boleh bersedih, pikir Mesi. Dengan gadis manapun Trisna
menjalin hubungan sudah bukan urusannya lagi. Salahnya sendiri, bukankah dia
sendiri yang menghendaki Trisna mencari gadis lain? Bukankah dia sendiri yang menyarankan Trisna
menjalin hubungan dengan Mona?
Mendadak Mesi merasa benci dengan dirinya sendiri. Kenapa harus pura-pura?
Kenapa harus membohongi dirinya sendiri? Bukankah sebenarnya dia mencintai
Trisna? Bukankah jauh dalam hatinya dia tidak ingin kehilangan Trisna? Bukankah
kebersamaan mereka selama ini bukan hanya sekedar sebuah persahabatan tanpa
arti? Bukankah selama rentang waktu sekian tahun lamanya mereka bersama telah
melahirkan sebuah perasaan lain yang jauh lebih indah daripada sekedar
pershabatan?
Sesekali Mesi membuka album photonya. Dia melihat photo-photo mereka berdua
ketika sedang jalan-jalan ke Maribaya beberapa bulan setelah Mesi diterima di
SMA yang sama dengan Trisna. Mesi masih ingat, mereka naik motor berdua di hari
minggu yang cerah. Saat itu terasa indah. Kini saat-saat indah itu sudah
berlalu. Trisna sudah bukan miliknya lagi. Airmata Mesi mengalir. Jujur, dia
menyesal dengan apa yang telah diucapkannya kepada Trisna yang akhirnya membuat
Trisna pergi darinya dan bersama dengan gadis lain. Mesi menatap wajahnya
dicermin, menatap pipinya yang basah oleh airmata. Mesi bertanya dalam hati, apakah Trisna tahu bahwa
dirinya mencintainya?
Sanggar buku itu telah sanggup membuat
Mesi melupakan kesedihannya. Dia bisa menemukan kegembiraan ketika menyaksikan
sanggar bukunya diminati anak-anak dan remaja di desanya. Dia ikut berkumpul
bersama mereka, berdiskusi, memberikan
kebahagiaan tersendiri buat Mesi. Betapa masih banyak hal yang bisa
dilakukannya untuk kebahagiaan orang lain selalin memikirkan urusannya sedniri.
Dia ingin mengisi hidupnya dengan lebih penuh arti. Bukan hanya untuk dirinya,
namun juga untuk orang lain.
--- 0 ---
Kedatangan Trisna dimalam minggu itu membuat jelas membuat Mesi terpana.
Tak percaya. Rasanya tak percaya melihat
Trisna akan muncul lagi dirumahnya setelah sekian lamanya menghilang. Hanya
beritanya saja yang kerap terdengar. Padahal sore tadi airmatanya mengalir
karena teringat pada sahabat terkasihnya ini.
“Mes, jangan usir aku. Aku masih sahabatmu, kan?”
Mesi merasa trenyuh melihat mata Trisna yang menatapnya seperti itu.
“Ada apa?” Tanya Mesi.
Trisna duduk dikursi rotan yang ada diteras. Masih dikursi yang sama
seperti kebiasaannya beberapa waktu lalu apabila kerumahnya.
“Aku kangen sama kamu, Mes. Kau tega menyiksa aku.”
Mesi tersenyum. “Kenapa?”
“Mona sudah tidak mau lagi padaku.”
Mesi diam saja.
“Aku dekat dengan Mona. Tapi aku juga tetap berteman dengan yang lain. Mona
tidak suka dan marah.”
Mesi masih tetap diam.
“Aku seperti Arjuna mencari cinta. Kucari cinta kepada setiap gadis yang
kukenal. Namun aku sadar bahwa cintaku ada dimana dan pada siapa.”
Mesi bertahan diam.
“Arjuna itu sudah lama tahu bahwa cinta
yang sesungguhnya ada pada seorang gadis yang sudah lama menjadi
sahabatnya, yang selama ini selalu bersama-sama dengannya, menjadi temannya
dalam suka dan duka. Kedudukan gadis itu tetap tak tergantikan oleh gadis
siapapun.”
Trisna menatap Mesi.
“Kau pasti mengira aku sedang bercanda. Aku serius, Mes. Percayalah padaku.
Percayalah padaku, Mes. Kau sudah lama kenal aku. Tidak mungkin aku berdusta
kepadamu.”
Mesi tetap diam. Dia tidak tahu harus bicara apa. Dia sudah lama mengenal
Trisna. Sudah hapal dengan sifatnya. Mendadak saja Mesi ingin menangis.
Bukankah selama ini diapun merasakan kehilangan indahnya dan kehangatan
persahabatannya dengan Trisna. Trisna mungkin bisa bercanda sesuka hati dia
dengan gadis manapun. Namun Mesi tahu, Trisna sungguh-sungguh menyayangi
dirinya. Air mata Mesi meloncat.
“Percayalah padaku, Mes. Aku ingin kita tetap bersama selamanya. Dua bulan
lagi aku sudah akan keluar dari SMA. Aku ingin meneruskan sekolahku ke Jogja.
Namun sebelumnya aku ingin memiliki seorang gadis yang akan selalu membuatku
rindu untuk pulang ke Sumedang.” Ujar Trisna sungguh-sungguh.
Mesi menghapus airmatanya. Dia tersenyum menatap Trisna. Perasaannya terasa
tersentuh mendengar kesungguhan dalam nada suara Trisna. “Aku percaya kepadamu,
Tris.”
Trisna menggenggam tangan Mesi dan berucap sungguh-sungguh. “Terima kasih.
Berilah aku kepercayaan bahwa aku sungguh-sungguh menyayangimu. Aku ingin masa
depanku kelak bersamamu, Mes. Jalan menuju masa depan itu pastilah penuh dengan
tantangan namun bila kau bersamaku aku bisa menghadapi semua itu dengan penuh
ketabahan.”
Mesi menggangguk. Bibirnya tersenyum.
--- 0 ---
Mesi merasa dia harus bicara jujur kepada Mona. Apapun yang akan terjadi,
Mona harus mengetahui bahwa dirinya sekarang menjalin hubungan dengan Trisna. Bukan sekedar pertemanan.
Persahabatan. Namun hubungan dua anak manusia yang sama-sama saling mencintai.
Mesi menemukan kesempatan itu. Dia
sengaja menunggu Mona sepulang sekolah. Dia melihat Mona pulang berjalan
sendirian.
“Mona!” sapa Mesi.
Mona menoleh. “Hai!” sahutnya. Suaranya kedengaran lesu.
“Mon, aku mau bicara denganmu.”
“Tentang apa?”
Keduanya berjalan melintasi halaman sekolah. Disudut halaman sekolah ada
taman berumput hijau. Taman hijau, asri,
teduh dan sejuk. Beberapa pohon palem tumbuh disana. Rumpun-rumpun bougenvil merambat
pada tiang-tiang kayu. Mesi
mengajak Mona duduk pada sebuah bangku
kayu yang ada disana.
“Ada apa, nih?” Tanya Mona.
“Mon, jangan marah ya. Aku mau bicara sesuatu kepadamu.” Ujar Mesi.
Mona menunggu apa yang akan diucapkan Mesi.
“Ini tentang aku dan Trisna.” Ucap Mesi pelan.
Mona diam saja. Menunggu apa kelanjutan yang akan dibicarakan Mesi.
“Trisna ada rencana kuliah di Jogja. Semalam dia kerumahku.”
“Lalu?”
Mesi menatap Mona. “Maafkan aku Mon, semalam Trisna meminta kepastian kepadaku.
Selama ini hubunganku dengan Trisna memang seolah hanya persahabatan saja.
Namun tadi malam Trisna bicara serius. Dia ingin kepastianku mengenai hubungan
kami sebelum keberangkatanya ke Jogja.” Mesi terdiam sesaat. “Dia ingin antara
aku dan dirinya bukan lagi hanya sekedar persahabatan. Trisna ingin hubungan
kami katakanlah sebagai sepasang kekasih. Maafkan aku Mona, itu yang diinginkan
dari Trisna dengan hubungan kami sekarang.”
Mona tersenyum. Dia mengerti. “Lalu, apa jawabanmu?”
Mesi menetap Mona. “Aku menerimanya.”
“Kau mencintai Trisna?”
Mesi tersenyum tipis. “Jujur saja, ya. Aku memang mencintai Trisna.”
“Kau pantas menerima Trisna. Cinta Trisna memang untukmu. Percayalah, aku
tidak apa-apa. Aku malah senang bila kau bersama-sama lagi dengan Trisna dalam
keadaan yang berbeda dengan dulu. Bukan sekedar persahabatan. Namun dalam
jalinan lain yang kuharap lebih indah dan lebih bermakna dari sebelumnya.” ucap
Mona berbesar hati. Tidak ada gurat kesedihan diwajahnya. Biasa saja. Seolah
pembicaraan Mesi bukan sesuatu hal yang
mempengaruhi perasaannya.
“Aku menyesali kenapa kita terlibat dengan orang yang sama.” Ujar Mesi
lirih.
“Tidak usah disesali. Aku merasakan hikmah dari kedekatanku beberapa waktu lalu dengan Trisna. Hatiku
terbuka. Aku ingin mendapatkan pemuda yang mencintaiku. Kau sudah mendapatkan pemuda yang seperti
itu. Cinta Trisna yang sesungguhnya adalah memang untukmu.”
Mesi memegang tangan Mona. Seolah
ingin menyalurkan perasaan sayang dihatinya yang selama ini terbentur oleh
dinding tebal dan tinggi yang dibangun Mona untuk menghalangi kasih sayang
diantara mereka berdua.
“Kau pun pasti akan mendapatkan pemuda yang setulus hati mencintaimu.
Percayalah.” ucap Mesi lirih.
“Ya, mudah-mudahan saja.” Mona tersenyum. “Dunia tidak selebar daun kelor.
Kau mungkin lebih dahulu mendapatkan hal itu dari aku, Mes. Namun aku yakin
suatu saat aku pun akan mendapatkannya.”
Mesi memeluk Mona. “Pasti.” Ujarnya.
Tanpa mereka sadari, sepasang mata dari tadi mempehatikan mereka berdua
yang sedang bercakap-cakap. Mata Trisna. Dia tahu Mesi bisa menyelesaikan
masalah. Antara dirinya, Mesi dan Mona. Ketika melihat kedua gadis itu berpelukan,
Trisna meringis. Dia merasa senang sekaligus merasakan ada sesuatu yang terasa
menggelitik perasaannya. Sebelum Mesi dan Mona melihatnya, bergegas Trisna
pergi dan memacu motornya keluar sekolah.
--- 0 ---
Mona berjalan dengan Osi menyusuri
jalanan trotoar. Tadi sepulang sekolah Indri mengajaknya ke toko buku, namun
Mona merasa malas. Menemani Indri ke toko buku tidak akan cukup waktu satu jam
saja. Indri selalu keasyikan bila sudah berada di toko buku. Memilih buku-buku
dan novel-novel yang disukainya. Jadi Mona memilih pulang dengan Osi. Osi
mengajaknya makan baso diwarung baso Mas Bejo tidak jauh dari sekolah. Baso Mas
Bejo menjadi tongkrongan favorit anak-anak sekolah mereka karena basonya yang
besar sebesar bola tenis. Osi sedang berceloteh tentang film yang kemarin
ditontonnya ketika tiba-tiba sebuah motor berhenti disampingnya.
“Halo, Mon!”
Mona menoleh. Dia melihat Bono Cakrasasmita tersenyum ramah kepadanya.
“Hai!” sahut Mona tak acuh. Dia mempercepat langkahnya.
“Mau kemana sih kok buru-buru amat?”
“Mau makan baso diwarung
baso Mas Bejo.” Sahut Osi riang. “Kau mau ikut?”
“Boleh, kalau diajak Mona.” Sahut Bono kalem.
Mona hanya tersenyum seulas. “Kapan-kapan aku ajak kamu, ya. Kebetulan
sekarang aku mau makan baso sambil diskusi dengan Osi. Jadi acaranya hanya
untuk kita berdua.”
Bono tersenyum menggoda. “Diskusi apaan sih? Masa diskusi ditempat tukang
baso, sih?”
“Lho, belum tahu, ya? Jaman sekarang sedang tren orang diskusi ditempat
baso, dikantin, dikafe. Dan semua itu sah-sah saja, tidak ada yang melarang.”
“Oke, kapan-kapan kita makan baso bareng-bareng, ya. Sambil diskusi. Daaah
Mona……” Motor Bono melesat pergi.
Osi menyenggol tangan Bono. “Kenapa sih kau tak pernah bisa ramah pada
Bono? Padahal dia itu pemuda baik dan sopan.”
Mona tidak menyahut. Sudah lama Bono
menyukai Mona. Sayang Mona tidak
suka dengan lelaki manja. Apalagi yang suka pamer kekayaan orang tua. Ayah
Bono, Cakrasasmita, adalah pemilik
perusahaan bus. Bus
pariwisata dan bus umum jumlahnya menurut Osi hampir lima puluh buah. Berjejer di
kandang bus milik ayahnya yang luasnya dua kali lipat dari luas rumah yang ditempati keluarga. Rumah ayah Bono yang
besar dan luas berdiri megah disamping kandang busnya. Pihak sekolah sering
mengucapkan terima kasih pada ayah Bono.
Kalau ada acara darmawisata, pihak sekolah tidak pernah pusing untuk urusan
bus. Langsung saja menghubungi perusahaan bus milik ayah Bono. Pihak perusahaan
tidak pernah bertele-tele, langsung kasih diskon sekian persen.
Bono sebenarnya menarik. Malah tergolong ganteng dan gagah. Tubuhnya tinggi
tegap. Seperti umumnya orang yang rajin berolahraga. Namun dimata Mona Bono terkesan manja sehingga Mona merasa tidak
suka pada pemuda yangsemacam itu. Bono
tidak mata keranjang. Boro-boro mata keranjang. Dia malah terkesan pemalu
menghadapi cewek. Sikapnya selalu baik dan
sopan pada siapapun. Gaya
bicaranya lemah lembut. Tidak kasar. Tapi itulah. Kalau sudah tidak suka
Mona tidak mau memaksakan diri. Meskipun Bono baik . Kalau Bono memaksakan diri
menyukai Mona, Mona malah curiga
jangan-jangan sebenarnya Bono ada
maunya. Kalau tidak ada maunya kenapa Bono selalu sabar menghadapi Mona.
Meskipun Mona selalu memasang tampang judes pada Bono. Menurut Mona hal ini
tidak lazim pada diri pemuda karena
biasanya pemuda pasti tidak tahan menghadapi cewek yang galak dan judes.
“Bono naksir kamu, Mon.” kata Osi setelah mereka duduk di warung baso Mas
Bejo menunggu pesanan.
“Wah.” Mona tertawa. “Enggak ah. Dia bukan tipe idamanku.”
“Tapi dia pemuda yang baik, Mon.” Kata Osi serius.
“Si, tiap cowok pasti berusaha
menjaga sikap baiknya bila menghadapi cewek yang sedang diincarnya. Justru kita
cewek yang perlu hati-hati dan waspada jangan sampai ketipu.”
“Ih, kamu kok selalu berprasangka buruk begitu pada tiap cowok yang
suka sama kamu?”
“Aku hanya ingin berhati-hati agar tidak mengalami kekecewaan seperti yang
pernah dialami Indri ketika dia
menghadapi Yudit.” Sahut Mona. “Aku selalu mengambil pelajaran dari pengalaman
yang pernah dialami orang lain.”
“Kau mungkin benar. Mon. Namun percayalah, tiap orang tidak akan memiliki
pengalaman yang sama. Janganlah pengalaman pahit Indri yang pernah disakiti
Yudith kau jadikan ukuran. Siapa tahu bila kau jalani, kau akan mengalami
pengalaman yang indah dan mengesankan bersama Bono.”
“Kita lihat saja bagaimana nanti, Si. Yang jelas untuk saat ini aku tidak
mau terburu-buru menanggapi Bono.”
Osi tersenyum. “Sebenarnya kau baik, Mon. Aku berdoa semoga kisah cintamu
indah. Namun janganlah pengalaman Indri yang pernah harus menelan kekecewaan dan sakit hati
bersama Yudit ketika dia mengkhianati dan membohongi Indri menjadikanmu menjadi takut pada cowok. Kau
lihat, Indri mungkin memang sakit hati dan kecewa oleh Yudith, namun sekarang
dia menjalin cinta dengan Bayu. Tidak ada kata patah hati bagi Indri. Selalu
ada harapan bisa menjalin hubungan yang lebih baik dengan pemuda lain.”
Mona ikut tersenyum. “Mungkin Yudit hanya sebuah ujian kecil bagi Indri
sebelum dia menemukan cowok yang lebih baik untuknya,
ya.”
“Yah, begitulah kira-kira.”
--- 0 ---
Mona ingin seperti yang lain. Mengapa Linda, Indri, nampak selalu mudah
menjalin hubungan dengan pemuda. Bahkan mereka memiliki banyak persediaan
teman-teman pemuda. Apa sekedar teman, atau kenalan, atau bahkan bisa dijadikan
pacar. Mereka seakan diberikan banyak kemudahan untuk memulai dan menentukan
bagaimana kelanjutan dari perkenalan itu. Aku juga bisa seperti mereka, pikir
Mona. Mungkin awalnya susah, namun aku pasti bisa bila aku mau mencobanya. Mona
mulai memastikan bahwa banyak cara untuk memenangkan hati seorang pemuda sekarang ini.
Bukan hanya melalui kecantikan, ataupun
melalui penampilan yang menarik, atau melalui makanan ataupun melalui kepribadian yang
menarik, namun ada cara lain yang bisa dilakukannya, yah misalnya dengan
kemampuan berpura-pura tidak terlalu tertarik pada pemuda itu.
Mona mulai mencoba. Sudah berhari-hari dia berusaha tidak mempedulikan Bono
sama sekali dan berpura-pura tidak melihat walaupun dari kejauhan dia sudah
melihat Bono. Hari sabtu, Mona sadar, bagaikan sebuah keajaiban, bahwa
itu berhasil. Bono sedang menunggunya pulang sekolah.
”Halo, Mon. Pulang bareng, yuk.”
Dalam aliran deras rasa suka cita dan rasa sayang, Mona menatap Bono dengan
mata berbinar dan ingin menjawab dan mengatakan,
ya. Namun mendadak Indri muncul,
memanggil dan melambaikan tangannya kearahnya.
”Mona!!!”
Tanpa bicara sepatah katapun Mona ngeloyor pergi. Meninggalkan Bono yang masih duduk disadel
motornya.
”Bono menunggumu, ya?” tanya Indri begitu Mona mendekat.
”Ya, nampaknya sih begitu.” sahut Mona santai.
”Perkembangan yang bagus.” kata Indri. ”Namun kau jangan dulu merasa
tertarik kepadanya. Biarkan saja dulu sampai Bono nampak sungguh-sungguh ingin
dekat denganmu.”
”Nanti dia terbang lagi. Malahan nanti susah lagi menangkapnya.” tukas
Mona.
”Tidak! Kalau Bono sudah mantap
memilihmu, dia tidak akan terbang lagi. Kau tinggal mengelus-elusnya dengan
penuh rasa sayang.” kata Indri dengan nada tegas.
”Aku ragu dengan teorimu.”
”Buktikan saja dulu.”
”Kalau ternyata teorimu salah dan Bono malah terbang lagi?”
Indri menghela napas. ”Mon, kau belum pernah bercinta. Aku sudah beberapa
kali bercinta. Percayalah padaku, teoriku tidak akan meleset.”
--- 0 ---
Mona masih termangu-mangu didepan
jendela kamarnya. Dia membaringkan tubuhnya. Matanya menatap
langit-langit kamar. Ada dua ekor cecak
yang saling berkejaran. Bahkan seperti sepasang cecak itu pun aku tidak bisa,
pikir Mona. Mereka bisa bermain-main berpasangan. Tidak ada cecak lain diantara
mereka. Sementara aku manusia, kalah
oleh cecak. Aku tak berdaya ada manusia lain diantara aku dan Trisna. Mona merasa
letih. Dia memejamkan matanya. Mona gampang tidur. Tiap kali kepalanya menempel
pada bantal, matanya langsung terpejam. Sekarang pun tak lama kemudian dia
sudah terrtidur pulas.
Entah berapa lama tidur. Begitu terbangun, Mona merasa lebih segar. Namun
dia masih merasa bosan. Matanya melihat pada kelender duduk diatas meja kecil
didekat tempat tidurnya. Ulang tahunnya tinggal dua minggu lagi. Setahun lagi
telah berlalu, pikir Mona. Dan selama periode itu semua orang, kecuali dirinya,
telah memiliki pacar. Mona merasa sedih memikirkan nasibnya.
Ketiga sahabatnya, Indri, Osi dan Linda telah memiliki pacar. Osi bangga
dengan Risman belahan jiwanya. Indri nampak serius menjalin cinta dengan Bayu
walaupun beberapa bulan lalu Indri nampak terpukul ketika kisah cintanya dengan
Yudith, pemuda yang nampak sungguh-sungguh dicintainya, mengkhianatinya. Yudith
memutuskan hubungan dengan Indri dan menjalin cinta dengan gadis lain, Maya, teman
seangkatan mereka yang kelasnya bersebelahan dengan kelas mereka. Mau tak mau
Indri sering melihat bekas kekasihnya itu nampak selalu bersama-sama dengan
Maya, pacar baru Yudit itu. Namun Indri nampak tegar. Apalagi setelah dia
memiliki Bayu. Sementa Linda walaupun hubungannya dengan Vendra baru seumur jagung namun mereka nampak
bahagia, serasi, mesra dan selalu memiliki waktu untuk selalu bersama-sama.
Mona merasa dirinya tidak menarik. Ah, tidak. Bukan tidak menarik. Beberapa
pemuda terang-terangan menyukainya, namun dia malah memperhatikan Trisna terus
yang sudah jelas Trisna punya teman dekat wanita lain. Nasibku, pikir Mona.
Kenapa aku harus menyukai lelaki yang sama dengan Mesi? Apakah ini takdirku? Mona teringat pada Bono. Namun dia teringat
pada saran Indri agar dia jangan dulu cepat merasa tertarik kepada Bono.
Barangkali Indri benar, pikir Mona. Ya, aku memang masih membutuhkan waktu
untuk menguji keseriusan Bono kepadaku jangan sampai aku mengalami kecewa yang
kedua kalinya. Indri pasti lebih berpengalaman daripada aku walaupun pengalaman
Indri tidak bisa diterapkan kepadaku. Namun setidaknya aku bisa menerima saran
dan nasehat Indri sambil memperhatikan perkemabangan yang terjadi, pikir Mona.
Mona bangkit dari tempat tidurnya. Dia berdiri didepan cermin dan terus
menerus mengamati wajahnya di cermin. Kalau merengut malah nampak jelek.
Coba tersenyum. Tak sadar Mona tersenyum
pada cermin didepannya. Dia melihat wajahnya nampak segar. Ah, kenapa aku tak
memikirkan ulangtahunku saja yang ketujuh belas yang tinggal dua minggu lagi?
Pikir Mona. Sia-sia hidupku bila harus kuhabiskan hanya untuk memikirkan
Trisna.
Mona punya ide tentang ulang tahunnya. Dia akan mengundang sahabat-sahabatnya.
Osi, Linda dan Indri. Hanya mereka bertiga
saja yang akan diundang. Mereka akan makan minum dirumah. Atau bisa
memesan tempat diretoran dipinggiran kota agar acara ulangtahunnya terasa lebih
berkesan. Mona ingat ada rumah makan khas sunda yang baru berdiri
dipinggiran kota. Rumah makan itu
terletak diperbukitan, ada kolam ikan dibawahnya. Ada air terjun buatan yang
menuruni perbukitan. Cuacanya sejuk dan nyaman. Ya, disana saja aku merayakan
ulangtahunku, pikir Mona. Daripada
repot-repot menyiapkan makan dan minum dirumah, aku bisa pesan tempat untuk
empat orang. Disana bisa sambil menikmati udara perbukitan yang sejuk. Bahkan kalau tidak salah disana ada villa-villa yang
bisa disewakan. Ah asyik, coba ibu mengijinkan aku merayakan ulangtahun disana.
Aku bisa menyewa villa untuk semalam dan merayakan ulangtahunku disana.
Yang pertama ditelepon Mona adalah Osi. Dia menceritakan rencana
ulangtahunnya yang disambut Osi dengan antusias. Lima belas menit Mona bicara.
Dia baru akan masuk kekamar mandi ketika telepon genggamnya berbunyi. Osi yang
menelepon. Dengan bijak Osi berkata. “Mon, ini ulang tahunmu yang ketujuh
belas. Dan sebaiknya memang kau hanya mengundang teman-teman dekatmu saja.”
“Ya, aku hanya mencatat kau, Linda dan Indri saja. Kita berempat saja.”
Sahut Mona. “Sehari sebelum ulangtahunku pada tanggal sepuluh, jadi artinya
pada tanggal sembilan, kau antar aku kerumah makan itu untuk memesan tempat dan
menu makanan.”
“Oke.” Sahut Osi. ”Tapi apa tidak terlalu dekat waktunya? Bagaimana kalau
tanggal delapan saja kita kesana memesan tempat?”
”Oke.” sahut Mona setuju.
“Kalau ibuku mengijinkan, aku sebenarnya kepingin kita menyewa sebuah villa
untuk semalam. Jadi kita merayakan ulangtahunku di villa itu.”
“Oh, ide yang sangat bagus sekali. Aku tahu villa yang bisa disewa. Nanti aku cari tahu berapa tarifnya menyewa
villa itu semalam.” Ujar Osi. “Tapi Mon…..”
”Apa?”
“Dan Risman bagaimana?”
“Kupikir seperti yang kita bicarakan, aku hanya mengundang
sahabat-sahabatku saja…….” Suara Mona
terputus. Mendadak dia sadar jika dia mengucapkan sahabat-sahabat, berarti
sekaligus mengundang pacar mereka. Osi pasti ingin datang ditemani pacarnya,
biar ada yang menemani juga sekaligus pamer pacar pada teman-temannya, pamer
kemesraan atau apapun namanya yang bisa diperyontonkan kepada orang lain
bersama pacarnya.
“Oh, maksudmu aku harus memasukan
Risman kedalam daftar? Tentu saja Risman–mu diundang tapi bagaimana dengan yang lain? Maksudku kalau
kalau kau datang dengan belahan jiwamu, berati Indri dan Linda juga…….”
Baru selesai mandi, Mona mendapat telepon dari Linda. “Aku mendapat telepon
dari Osi. Senang kau punya rencana merayakan ulang tahun bersama kita semua. Tentu saja aku pasti akan
datang bersama Vendra. Aku sudah menyiapkan kado untukmu.”
Tidak lama Indri menelepon. “Linda menelepon tentang ulang tahunmu. Linda
mendapat telepon dari Osi yang mengabarkan mengenai rencana ulang tahunmu. Tentu
saja aku akan datang. Bayu senang diajak datang menghadiri ulang tahunmu. Kita
akan merayakannya bersama-sama. Ini ulangtahunmu yang ketujuh belas. Semestinya lebih banyak lagi yang kau
undang.”
”Oh, aku hanya ingin merayakannya diantara kita-kita saja. Tidak mau
mengundang lebih banyak orang lagi.”
Mona mengeluarkan motornya. Ngebut. Seolah-olah dia tidak takut kecelakaan.
Motornya melintasi jalanan Sumedang yang kelabu dan licin didera hujan deras
menuju kerumah Osi. Dia merasa perlu bicara dengan Osi agar Osi tidak memberitahu banyak orang lain lagi
mengenai rencana ulangtahunnya. Mona tidak mau banyak orang diperayaan ulang
tahunnya yang ketujuh belas. Semangat
Mona bisa hilang dan dia akan merasakan
dirinya pusing dikelilingi gadis-gadis lain yang sibuk membanggakan pacarnya.
Sementara dia yang punya hajat berdiri didepan kue ulang tahunnya tanpa seorang
pacar yang mendampinginya. Yang bisa dibanggakannya kepada teman-temannya, kepada orang tuanya, kepada
saudara-saudaranya. Pacarku masih disembunyikan Tuhan disuatu tempat. Suatu
saat dia akan datang mencariku. Dia akan menggandeng tanganku dan membawaku ke
suatu tempat yang indah, indah sekali. Dan semua orang akan melihat alangkah
serasinya aku dengan pacarku. Mereka akan bilang bahwa terlambat punya pacar
justru sangat baik bagiku ketika pacarku jauh lebih menarik, lebih setia, lebih
baik dari pacar-pacar temanku. Ooh......
”Ya, ya.” ujar Osi ketika Mona bicara padanya. ”Tentu saja aku tidak akan
memberitahu siapapun lagi mengenai rencana ulangtahunmu. Kau memerlukan ketenangan
batin pada perayaan ulang tahunmu yang ketujuh belas ini. Kau perlu merenungkan
arti usia tujuh belas buatmu, bukan?”
Malamnya Mona sedang belajar. Dia paling suka pelajaran sejarah. Menghapal
sambil membaca, sambil tidur-tiduran. Telepon genggamnya berbunyi. Mona melihat
Mesi yang menelepon. Kening Mona agak berkerut. Ada apa Mesi menelepon? Sejenak
Mona ragu namun diangkat juga telepon
dari Mesi.
“Ada apa?” Mona berusaha menjaga nada suaranya agar tidak ketus.
“Ibu Mirta menelepon ibuku. Mengenai rencana ulangtahunmu.” Kata Mesi.
Oh, mama sudah bilang rupanya kepada Ibu Teja. Lalu Mesi harus diundang? Lho, apa mama tidak
tahu kalau nanti hanya pesta ulangtahunku dengan teman-teman dekatku saja? Ah,
kenapa sih mama tidak bilang-bilang dulu padaku?
“Yah, rencananya sih mau dirayakan kecil-kecilan. Yah, hanya perayaan
kecil-kecilan saja, kok.” Sahut Mona kalem. Jangan harap aku akan mengundangmu.
Kedatanganmu malah membuatku akan merasa tidak bahagia ditengah-tengah hari
bahagiaku.
“Mon, kau tak perlu repot menyiapkan kue ulang tahunmu. Aku akan
membuatkannya untukmu. Kau maunya ukuran
yang sebesar apa? Yang ukuran sedang atau yang agak besar? Persegi empat atau
bundar? Warna hiasannya apa? Putih? Cokelat? Atau merah muda?” Mesi nyeroscos
riang dan tulus.
Sejenak Mona tertegun.
“Oh, kau bisa bikin kue ulang tahun, ya?” tanya Mona sesaat kemudian, tidak
menduga hal itu yang akan dibicarakan Mesi kepadanya.
“Aku pernah membuat beberapa kali. Kue ulang tahun itu adalah hadiah dariku
untukmu.”
“Oh, terima kasih.”
“Kau maunya yang bagaimana?”
“Aku sebenarnya sudah mau memesan, tapi bila kau mau membuatkannya untukku,
yah tidak apa-apa, malah aku terima kasih.” Ujar Mona tidak tahu apa yang harus
diucapkannya kepada Mesi yang nampak tulus ingin berpartisipasi dengan ulang
tahunnya yang baru tahap rencana saja.
“Oke, tanggal sembilan jam lima sore kue ulang tahunmu Insya Allah sudah
aku antarkan kerumahmu. Atau paling telat jam sembilan pada tanggal sepuluh kue
ulang tahun sudah ada dirumahmu. Rencananya kau akan merayakan ulangtahunmu
tepat pada tanggal sepuluh, kan?”
“Yah, kira-kira begitulah.”
Agak ragu, kata Mona kemudian, “Mes, maaf. Aku hanya akan merayakan
ulangtahunku bersama ketiga sahabatku saja. Aku tidak akan mengundang banyak
orang.”
“Oh, begitu?” sahut Mesi ringan. “Tidak apa-apa. Ini ulang tahunmu yang
ketujuh belas. Kata orang, usia tujuh belas adalah usia yang paling indah.
Benar tidak?” Mesi tertawa renyah. “Apapun rencanamu, mudah-mudahan kau
mendapatkan kebahagiaan dengan ulang tahunmu yang ketujuh belas ini.”
“Mes, apa kau juga mau datang?” tanya Mona merasa sedikit tidak enak hati
pada Mesi yang sudah terlanjur tahu dirinya akan merayakan ulang tahunnya.
“Kalau kau berencana merayakan ulang tahunmu hanya dengan sahabat-sahabatmu
saja, tentu aku tidak boleh mengganggu acara kalian. Tidak apa-apa, aku hanya
ingin memberikan kado berupa kue ulang tahun kepadamu.”
Mona merasa tidak bisa berkata apa-apa. Bukan hanya masalah kue itu, namun
Mesi seolah ingin membuat acara ulang tahunnya menjadi nampak lebih berkesan.
Begitu baik niatnya sehingga mau menyiapkan kue ulang tahun untuknya. Sejenak
Mona merasa perasaannya tersentuh oleh kebaikan dan perhatian Mesi. Namun
kemudian timbul syak wasangka dan rasa curiga dibenaknya, kenapa Mesi nampak selalu
begitu baik kepadanya? Kenapa Mesi nampak begitu perhatian? Kenapa? Kenapa?
Apakah ini salah satu upaya Mesi agar dirinya
mau
tulus ikhlas merestui hubungan Mesi dengan Trisna?
“Mon, aku tidak akan mengganggu acaramu bersama sahabat-sahabatmu, ya. Aku
ikut merasa bahagia bila kau juga bahagia. Oke. Selamat ulang tahun. Semoga
panjang umur dan diberi banyak kebahagiaan.”
Mona berucap pelan. “Terima kasih, Mes.”
Sambil menaruh telepon genggamnya diatas meja kecil disamping tempat
tidurnya, sejenak Mona berpikir, benarkan Mesi tulus dengan semua itu? Atau
sebagai kedok agar dia tidak terus menerus membenci Mesi karena hubungannya dengan Trisna? Yah, bisa saja terjadi, pikir
Mona. Tapi aku tidak akan tertipu dengan caramu. Mona sejenak memikirkan Mesi.
Pasti ini upaya Mesi yang tak pernah bosan-bosannya mendekati aku dengan cara
apapun.
Tanpa sepengetahuan Mona, diam-diam ibunya mengintipnya dari celah pintu
kamar yang separuh terbuka. Mirta merasa kasihan melihat puteri semata
wayangnya mukanya ditekuk seperti itu. Sejarah seakan berulang. Mencintai
lelaki yang sama. Walaupun jelas Mirta tidak ingin hal itu terjadi pada Mona.
Apalagi gadis yang dianggap saingan Mona adalah saudaranya sendiri. Dunia
seolah sempit. Seolah tidak ada pemuda lain lagi. Mona atau Mesi harus ada yang
mau mengalah andai salah satunya cintanya lebih kuat kepada Trisna. Mirta belum
tahu sampai sejauh mana kedekatan Mesi dengan Trisna, namun dia dapat merasakan
bahwa Mona nampak serius mencintai Trisna. Meskipun tidak berniat ikut campur,
namun dalam hati Mirta berdoa semoga Allah memberikan jalan yang terbaik untuk
mereka berdua jangan sampai rebutan pemuda. Dunia tidak sempit. Andai Mona dan
Mesi mau membuka mata, masih banyak pemuda lain yang mungkin jauh lebih menarik
daripada Trisna. Namun itulah cinta. Mirta tidak mau menyalahkan Mona andai
Mona saat ini menganggap Trisna merupakan pemuda yang paling heibat diseluruh
dunia. Mirta menarik napas dalam. Dia hanya berharap anaknya tidak menjadi
cinta buta.
--- 0 ---
Pesta ulang tahunnya hanya dihadiri tujuh orang. Ketiga sahabatnya membawa
belahan jiwa mereka masing-masing. Kecuali dirinya. Namun Mona nampak gembira.
Berkumpul bersama ketiga sahabatnya dirumah makan dibukit yang permai. Mona urung menyewa villa karena Ibu melarang dengan keras.
“Tidak.” Kata ibunya ketika Mona meminta ijin ingin menyewa sebuah villa
untuk merayakan ulangtahunnya bersama dengan teman-temannya. “Mama tidak akan mengijinkan kau menyewa villa.
Banyak resiko yang bisa terjadi bila kau merayakan ulang tahunmu di villa. Mama
akan memesan makanan dan minuman untuk
ulangtahunmu dengan teman-temanmu itu. Acaranya jam lima sore. Jam tujuh malam
kalian sudah harus bubar.”
”Tapi ma, ulangtahunku tidak akan dirayakan dirumah. Aku sudah berencana
merayakannya diluar bersama dengan
teman-temanku.”
”Tapi tidak di villa.” sahut ibunya tegas.
”Ya, kalau mama tidak mengijinkan di
villa, tidak apa-apa.” sahut Mona. ”Ada sebuah rumah makan yang baru tiga bulan
lalu dibuka. Lokasinya diperbukitan. Suasananya enak dan nyaman.”
”Rumah makan ”Permai”?”
”Ya.”
”Baiklah. Kau boleh merayakan
ulangtahunmu disana. Sekalian pesan tempat, makanan dan minuman. Acaranya jam
lima sore. Jam tujuh malam kalian sudah harus bubar.”
”Ya, ma.” Seperti ulang tahun anak kecil saja, Mona menggerutu dalam hati.
Namun dia tidak membantah. Dia sedang tidak ingin berdebat dengan ibunya.
Walaupun itu adalah kebiasaannya selama ini.
Agak sedikit kecewa namun akhirnya Mona memahami kekhawatiran ibunya. Tidak
apa, yang penting aku bisa merayakan ulang tahunku yang ketujuh belas ini.
Mesi sungguh-sungguh memperlihatkan kebaikan hati dan ketulusannya. Jam
sembilan kue ulang tahun yang berhias dengan lilin angka tujuh belas, sudah ada di rumah Mona. Mesi
sendiri yang mengantarkannya.
”Selamat ulang tahun, Mon. Semoga kau panjang umur dan diberi banyak
kebahagiaan.” ucap Mesi tulus.
”Terima kasih.” sahut Mona pendek.
”Kue ulangtahunnya bagus sekali.” cetus Mona spontan. Ada boneka mungil
bergaun merah diatas kue ulangtahunnya yang berbentuk rumah. Atapnya terbuat
dari kepingan-kepingan cokelat. Ada halaman berumput hijau. Ada sumur
disamping rumah yang seolah rumah kayu
itu. Sebuah kue ulangtahun yang cantik sekali.
”Aku sengaja membuatkan sebuah kue ulangtahun yang spesial untukmu.” sahut Mesi tersenyum.
Ada sedikit rasa sesal dihati Mona bahwa dia sudah bilang kepada Mesi tidak
bisa mengundangnya menghadiri perayaan ulangtahunnya. Padahal Mesi sudah
menunjukan perhatian yang besar kepadanya.
”Mes, kalau kau mau datang ke
perayaan ulangtahunku........” ucap Mona.
Mesi tersenyum. ”Kau sudah berencana akan merayakannya hanya bersama kawan-kawan dekatmu saja. Itu
adalah pestamu, Mon. Aku tidak akan mengganggu acaramu. Aku sudah merasa
bahagia bisa memberikan kado kue ulangtahun ini kepadamu.” Ucapan Mesi
kedengaran begitu tulus.
Sore itu Mona merayakan ulang tahunnya yang ketujuh belas. Dia berusaha
bergembira walaupun hanya dirinya saja yang tidak memiliki pacar. Usai meniup
lilin diatas kue ulang tahun, Osi menghibur Mona yang merayakan ulang tahun
ketujuh belas tanpa pacar.
”Oh, kau tidak perlu bersedih saat ini masih belum punya pacar. Suatu saat nanti
pangeranmu pasti akan dating menjemputmu dan membawamu ke istana.” Hibur Osi.
--- 0 ---
Mona merasa sangat kesal. Uring-uringan sendiri. Dilewatkannya malam tahun
baru sendirian didalam kamarnya. Tidak
ada keharusan melewatkan malam tahun baru dengan teman-teman, atau keluarga
atau menghadiri acara perayaan malam tahun baru bersama-sama dengan orang lain,
misal dihotel, namun diam sendirian dikamarnya jelas terasa menyiksa perasaan Mona,
dia bisa mendengarkan bunyi terompet diluar sana, dijalanan. Bunyi kendaraan
bermotor terus bergemuruh seolah semua orang keluar rumah dan tumplek
dijalanan. Semua saluran televisi
berlomba-lomba menyiarkan acara malam
pergantian tahun dengan meriah. Semua
orang nampak gembira merayakan malam pergantian tahun baru kecuali aku sendiri,
pikir Mona.
Mona merasa tersiksa sendiri. Dia tidak menelepon Osi karena Osi jelas
bersama Risman. Mona tidak menelepon siapapun. Oh, sungguh tersiksa hidup tanpa pacar. Diusianya sekarang ini. Mona teringat pada Mesi. Sedang
apa dia sekarang? Apakah Trisna ada menemani Mesi melewatkan malam pergantian
tahun baru bersama-sama? Mona tidak ingin membuat perasaaannya makin sakit
memikirkan berbagai macam kebahagiaan yang mungkin tengah dirasakan Mesi dan Trisna. Bayangan-bayangan itu hanya
akan membuatnya merasa tersiksa dan
sakit hati. Aku harus lebih memikirkan diriku sendiri, pikir Mona. Bukan
memikirkan orang lain. Bukan memikirkan urusan orang lain. Atau kebahagiaan
orang lain. Tapi yang harus aku pikirkan adalah diriku sendiri. Kebahagiaanku
sendiri, pikir Mona.
Akhirnya Mona duduk sendirian
menonton televisi sambil mengunyah
sepotong cokelat. Tidak, aku tidak boleh
nampak menderita hanya karena aku tidak punya pacar sementara yang lain punya,
pikir Mona. Telepon genggamnya berbunyi.
Sengaja distel pelan. Linda menelepon.
”Halo, Mon! Kau mau ikutan dengan aku dan Vendra jalan-jalan ke jalan raya
bergabung dengan yang lain rame-rame meniup terompet?”
”Tidak.” sahut Mona tegas. Aku akan tetap kesepian dalam suasana yang hiruk
pikuk sekalipun. Jadi lebih baik memilih sendirian saja, pikir Mona.
“Ada Osi didepan.” kata Ibu.
Mona beranjak keluar. Ada yang aneh. Osi nampak sedih. Dia menarik tangan
Mona, mengajaknya masuk kekamarnya.
”Ada apa?” tanya Mona.
Osi duduk diatas karpet, langsung menangis. Dalam sekejap dia sudah bersimbah air mata. Mona perlu beberapa waktu
untuk memahami masalahnya sementara Osi menangis lebih keras lagi.
“Ada apa?” Tanya Mona kalem.
“Aku……aku baru saja putus dengan Risman. Tadi jam sembilan lewat lima belas
menit. Segalanya begitu mendadak. Aku nyaris tak percaya. Putus menjelang malam
tahun baru. Begitu cepat semua ini terjadi
dan menimpaku. Padahal malam tahun baru kemarin kami masih meniup terompet
bersama-sama. Ini sungguh tidak masuk akal. Putus cinta ditengah-tengah
kemesraan. Oh, mungkin aku yang terlalu emosional. Mungkin aku yang terlalu
pencemburu. Mungkin semua ini aku yang salah.” Osi bercerita dengan suara tersendat.
Mona tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya diliputi perasaan haru menyaksikan
sahabatnya yang baru saja putus cinta.
“Kau kan tahu, Mon. Aku sangat, sangat, oh sangat mencintai Risman.” Ujar Osi tersedu. “Dialah pemberi semangat dalam hidupku.”
“Ya, aku tahu.” Ucap Mona pelan.
“Mungkin lebih baik seperti dirimu saja tidak punya pacar. Kalau kau punya pacar, kau harus bersiap-siap andai
pacarmu mengkhianati, atau menyakiti perasaanmu, atau memutuskan hubungan.”
Mona tidak bisa berpikir. Mana yang lebih baik. Tidak punya pacar seperti
dirinya dan dilanda depresi karena orang lain punya pacar. Atau mendingan
seperti Osi, pernah mengalami manisnya masa berpacaran walaupun kemudian
merasakan kesedihan ketika harus putus cinta. Serius, Mona tidak bisa memilih
mana yang paling baik.
“Untuk saat ini aku akan menutup pintu hatiku untuk semua cowok.” Kata Osi
dengan suara tegar. “Mungkin ini lebih baik bagiku, sehingga aku bisa berpikir jernih. Dan merenungkan
kembali apa yang terjadi dalam hubunganku dengan Risman. Kenapa semua ini bisa
terjadi?”
“Ya, mungkin itu lebih baik buatmu.” Mona mengangguk setuju.
Akhirnya Mona mengibur Osi, menyuguhinya dengan minuman dingin dan kue-kue
cokelat, brownies dan membiarkannya melihat-lihat album photonya.
“Siapa ini?’ Tanya Osi ketika
melihat seorang pemuda tengah memeluk
bahu Mona dengan latar perkebunan teh di
Puncak yang separuh berkabut.
“Sepupuku.” Sahut Mona. “Kenapa?”
“Wajahnya kok mirip Risman, ya?’
“Ah, masa sih?’ Mona mencoba
memperhatikan Fadil. Mona tidak tahu dimana letak kemiripannya antara Risman
dan Fadil. Namun Mona tidak berkomentar.
“Siapa sih namanya?”
“Fadil.”
“Mon, kenalin aku dengan dia dong.”
Mona menatap Osi serius. “Si, kau baru putus dengan Risman, bagaimana
mungkin kau bisa secepat itu melupakan dia?”
“Oh, ya.” Sahut Osi. Bibirnya tersenyum. “Kupikir bila aku bisa kenalan
dengan sepupumu ini aku bisa melupakan Risman. Memangnya hanya dia saja yang
bisa cepat mendapatkan gandengan.”
“Oh, kau keterlaluan mau menjadikan sepupuku pelarian kekecewaanmu oleh
Risman. Fadil sudah bertunangan. Tunangannya mahasiswi kedokteran.”
”Kita jalan-jalan, yuk. Aku bawa
motor.” ajak Osi.
Mereka tidak bisa ngebut. Jalanan penuh dengan orang-orang yang tengah
bergembira merayakan malam tahun
baru. Mona dan Osi ikut larut dalam
kegembiraan. Mereka membeli terompet dan meniupnya bersama-sama dengan yang
lain. Wajah Osi nampak gembira. Dia seakan sudah melupakan kesedihan yang baru
saja melandanya. Mona ikut merasa lega. Dia dapat merasakan bahwa tadi Osi
benar-benar sangat berduka kehilangan belahan jiwanya dalam keadaan yang
tak terduga. Mona membiarkan Osi
menikmati kegembiraannya. Mereka membeli makanan dan minuman. Malam tahun baru
yang meriah. Pulangnya mereka mengambil jalan yang berbeda. Lewat kedepan jalan sekolah yang sepi.
Mona terperanjat. Motor yang dikemudikan
Osi nyelonong masuk ke selokan. Dua orang lelaki yang bertubuh kekar
menghadang mereka. Kedua gadis itu langsung menciut. Firasat mereka langsung
mengatakan bahwa sesuatu yang buruk akan menimpa mereka.
“Mana uang?” Tanya seorang lelaki berkumis baplang dengan kedua ujungnya
melengkung mirip pikulan sate.
“Apa?” Tanya Osi bengong, tak mengerti.
“Bego! Mana uangmu?” bentak lelaki yang satu lagi. Tubuhnya lebih kekar
dari lelaki berkumis.
“Aku tidak bawa uang.” Sahut Osi gemetaran. Tak terbayang dalam pikirannya
malam ini akan mengalami nasih naas seperti ini. Disergap oleh perampok. Nyali
Osi sudah menciut. Nyawanya seperti dalam sebuah peribahasa, seakan sebuah
telur diujung tanduk.
“Bohong! Malam-malam berkeliaran. Mau diperkosa, ya?” Tanya lelaki berkumis
tebal.
Mendengar pertanyaan itu, kontan Mona dan Osi menangis sambil berangkulan.
Ketakutan mereka sudah sampai diubun-ubun kepala. Mendadak Mona teringat pada
aneka pemberitaan di media tentang kasus perkosaan sekaligus pembunuhan.
Diperkosa lalu dibunuh. Tak kuasa menahan takutnya, Mona memeluk Osi kencang.
Ya Allah, lindungilah hamba-Mu yang lemah ini.
“Oh, dasar anak monyet.” Gerutu yang seorang dengan suara jengkel.
“Motornya saja kita ambil.” Ujar
yang berkumis.
Dengan kasar lelaki itu menarik tangan Osi dan mengambil motor. Osi hanya
terpaku tak berdaya ketika motornya dirampas. Motor
distarter lelaki itu. Gasnya meraung-raung
keras.
“Jangan coba-coba berteriak!” Ancam lelaki itu dengan nada bengis. “Sekali kau berani berteriak, kau akan
diperkosa. Mengerti?”
Osi dan Mona hanya diam terpaku dengan kaki gemetaran. Mereka tak bisa
berbuat apa-apa. Bahkan untuk lari pun kaki mereka seakan terasa berat untuk
bergerak. Mereka hanya bisa berdoa, memohon Allah Yang Maha Kuasa menyelamatkan
hidup mereka dan melindungi mereka dari segala marabahaya dan kejahatan yang
akan menimpa. Osi teringat pada tasbih yang selalu dibawanya kemanapun dia
pergi. Dirogohnya saku celana panjangnya. Secara demontratif dan penuh kesungguhan serta
keyakinan dia mulai berdizikir, menyebut nama Allah, membaca Asmaul Husna.
Kedua lelaki itu tidak memperhatikannya. Mereka sibuk akan segera melarikan diri.
Lelaki yang satu lagi baru saja akan naik dibelakang motor itu ketika
tiba-tiba sebuah mobil datang. Lampunya yang menyorot terang membuat keberanian
Mona dan Osi bangkit. Kedua lelaki itu mendadak
panik. Yang memegang kemudi langsung tancap gas. Osi dan Mona tidak menyia-nyiakan kesempatan
itu. Mona mengambil batu sebesar kepala monyet yang kebetulan tergeletak
didekatnya. Dilemparkannya batu itu sekuat tenaga kearah kedua lelaki itu. Kena
kepala lelaki yang memegang kemudi. Motor mendadak oleng.
Osi berlari kencang mengejar motor yang tidak melaju kencang. Dia menarik baju lelaki yang duduk
dibelakang. Berhasil. Lelaki itu terjungkal.
Mobil itu berhenti tidak jauh dari tempat mereka. Lampunya masih menyala
terang.
“Mona. Ada apa?” Dalam kegelapan malam, hanya dterangi lampu mobil, Mona
melihat Bono. Diikuti tiga lelaki lain yang keluar dari dalam mobilnya.
“Aku mau diperkosa.” Sahut Mona.
Lega rasanya ketika melihat kedatangan Bono.
“Oh my God! Kurang ajar!” Tanpa
banyak bicara lagi Bono dan tiga lelaki yang datang bersamanya
mengejar motor yang tersungkur kedalam selokan.
Seperti dalam film kungfu Bono dan ketiga lelaki itu menerjang pengendara
motor. Keduanya terjungkal. Bono dan
ketiga laki-laki itu ternyata jago kungfu. Osi dan Mona bengong. Menyaksikan
pertandingan itu. Mereka seakan sedang main film. Dalam keadaan
gawat, datang pertolongan. Jangan-jangan aku bakal jadian dengan Bono nih setelah kejadian ini, pikir Mona. Kan seperti dalam film drama. Setelah
ceweknya ditolong oleh cowok yang sudah
lama naksir dia, cerita akan berlanjut dengan luluhnya perasaan sang gadis
setelah dibela oleh cowok itu. Jadi, mulai malam ini aku harus sudah mulai mempertimbangkan
Bono, pikir Mona serius.
Mona dan Osi menyaksikan kedua penjahat itu diringkus. Bono mendekati Mona. Wajah dan tubuhnya bersimbah
peluh. Sirnalah kesan manja yang menjadi capnya selama ini,
yang membuat Mona merasa tidak suka pada Bono karena menurutnya, pemuda manja hanya akan merepotkan saja. Malam ini Bono tampil seperti seorang pahlawan seperti dalam
film-film action.
“Itu motormu?” tanya Bono pada Mona.
“Ya.” sahut Mona. Belum pernah dia membalas tatapan Bono
semesra malam ini. Ketika matanya bertatapan dengan mata Bono, dia merasakan kedamaian menyelinap
dalam hatinya. Mona merasakan dadanya berdebar lembut. Aku pasti tidak akan
bisa melupakan kejadian malam ini sebagai kenangan terindah dalam hidupku
bersama Bono, pikir Mona.
“Motormu biar dibawa pulang kerumahmu oleh sepupuku. Kalian ikut aku naik
mobil.” Kata Bono.
“Lalu penjahat itu?”
“Mereka ikut kita.” ujar Bono. ”Kau dan Osi duduk didepan bersamaku.
Mereka duduk dibangku belakang, dijaga
kedua sepupuku. Kita serahkan kedua
penjahat itu ke kantor polisi.”
Dalam mobil hardtop itu, Mona duduk ditengah, diantara Bono dan Osi. Bibir Osi masih terus berkomat-kamit berdoa. Gusti Allah
telah menunjukan kebesaran-Nya, memberikan pertolongan dan keselamatan kepada
dirinya dan Mona melalui Bono dan
saudara-saudaranya. Sekarang dia sibuk mengucapkan rasa syukur kehadirat-Nya.
Begitu nyata Allah memberikan pertolongan kepada umat-Nya yang selalu mengingat
dan menyebut nama-Nya. Dalam hati Osi berjanji, dia akan lebih tekun lagi dalam
beribadah kepada Allah.
“Bon, terima kasih, kau sudah menyelamatkan nyawaku. Kehormatanku.” Kata Mona
terbata-bata. Keangkuhannya terasa luluh. Mencair seperti lilin yang kena api.
Dia mendadak merasa dekat pada Bono. Malam ini belum pernah dia merasakan begitu dekat dengan Bono padahal
mereka sudah lama kenal. “Kau kau tak datang menolongku, mungkin aku dan Osi sudah diperkosa.”
“Oh, jangan berkata seperti itu, Mon Itu adalah kemungkinan terburuk yang
baru akan terjadi menimpa kita andaikan Bono tidak datang pada saat yang
tepat.” Sela Osi.
“Sudahlah, semuanya sudah berlalu.” Bono
menepuk-nepuk paha Mona dengan
tangan kirinya sebanyak tiga
kali, lalu dengan sopan tangan itu kembali memegang kemudi. Dalam keadaan
biasa, tangan yang berani menepuk-nepuk pahanya tanpa permisi akan langsung dipukulnya. Namun malam ini
Bono telah menyelamatkannya bukan saja
kehormatannya namun juga nyawanya. Sudah kelewat sering dia membaca perempuan
diperkosa lalu dibunuh. Jadi Mona hanya menghityung tepukan tangan Bono
dipahanya, diberi ijin tidak lebih dari tiga tepukan.
Di kantor polisi Mona dan Osi tidak bisa langsung pulang. Mereka diperiksa.
Diberi sejumlah pertanyaan. Setiap pertanyaan
dan jawaban diketik oleh polisi yang memeriksa mereka. Bono setia
menemani mereka hingga acara pemeriksaan usai.
Motor lebih dahulu diantar pulang oleh salah seorang saudara Bono. Tidak
lama kemudian ayah dan ibunya datang
kekantor polisi dengan waajah cemas.
Usai pemeriksaan, mereka boleh pulang.
Polisi sempat memberi pesan pada Mona dan Osi agar lain kali jangan suka
keluyuran malam hari. Ayah berulang kali mengucapkan terima kasih pada Bono
yang sudah jadi pahlawan bagi puterinya. Ibu memeluk dan mencium pipi Bono kiri kanan
saking berterima kasihnya. Bono hanya tersipu. Dia ingat ibunya yang sering
memperlakukannya seperti itu.
“Nak Bono, mainlah kerumah. Ibu
sungguh sangat berterima kasih nak Bono
telah menyelamatkan Mona dan Osi.”
Wajah Bono sumringah dengan keramahan ibunda Mona.
Dia buru-buru bilang bahwa suatu saat nanti dia pasti akan main kerumah.
”Bon, terima kasih, ya.” kata Osi.
”Ya.” Bono menepuk bahu Osi lembut untuk menenangkan Osi yang masih nampak
pucat.
”Aku juga merasa perlu mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudaramu.”
ujar Osi, tersenyum pada Bono.
”Yah, nanti akan aku sampaikan.” sahut Bono kalem.
”Ehm, siapa sih namanya? Yang pakai jaket hitam itu?”
”Oh, Indra. Nanti aku sampaikan ucapan terima kasihmu itu.”
”Sebaiknya aku mengucapkannya sendiri.”
Bono memanggil Indra. Mona memperhatikan Osi. Betapa pandainya Osi memulai
sebuah perkenalan dengan seorang pemuda, pikir Mona. Entah apa yang
dipercakapkan antara Osi dan Indra. Indra nampak terkesan dan tertawa lebar.
”Oke, nanti kau kutelpon, ya.” kata Indra.
Osi tersenyum dan melambaikan tangannya sesaat sebelum melangkah keluar
dari kantor polisi. Osi diantar pulang
Mona dan orangtuanya. Kepada
orangtuanya, ayah Mona memberi penjelasan singkat tentang kajadian yang
baru saja terjadi menimpa Osi dan Mona. Kedua orangtua Osi kaget bukan
kepalang.
“Sudah kubilang berulang kali, jangan keluyuran naik motor malam hari.
Belum percaya juga kau dengan kata-kata bapakmu. Kejadian malam ini adalah
bukti akibat kebandelanmu.” Bentak ibunya. Osi mengerut ketakutan. Dia tidak membantah ketika disuruh
masuk kekamar.
Mona dan kedua orangtuanya pamit. Dalam hati Mona berjanji dia tidak akan
keluyuran lagi malam hari tanpa ada lelaki yang mengawal.
--- 0 ---
Setiap peristiwa selalu ada hikmahnya. Peristiwa dimalam tahun baru itu
telah mengubah cerita Bono dan Mona.
Juga mengubah sikap dan pandangan Mona
pada Bono. Sudah dua minggu Mona tak
pernah ingat lagi pada Trisna. Kadang memang ingat tapi cuma sekilas. Tiba-tiba
saja Mona teringat pada perhatian Bono selama ini. Bono selama ini memang baik,
perhatian kepadanya, namun entah kenapa perhatiannya selama ini justru hanya
tercurah kepada Trisna saja? Padahal jelas, memperhatikan Trisna malah membuat
dirinya merasa ngebatin sendiri. Trisna memang baik, namun Trisna seolah
tidak pernah merasa bahwa dirinya menyukainya. Trisna malah lebih perhatian pada Mesi. Selalu memiliki
waktu untuk selalu bersama-sama dengan mesi
dan tidak memiliki waktu
untuknya. Perasaan Mona terasa sakit seperti disayat belati tajam.
Seakan belati itu menorehkan luka yang dalam dan memanjang. Berdarah dan terasa
pedih dan perih.
Mona baru sekarang menyadari, selama ini dia jadi merasa tersiksa sendiri.
Cintanya seakan berat sebelah. Tidak seimbang antara cintanya kepada Trisna dan
cinta Trisna kepada dirinya. Timbangan
cinta lebih berat berada pada dirinya. Jadinya Mona merasa
ngebatin sendiri. Dalam keadaaan seperti ini Bono tiba-tiba saja terasa lebih
bermakna. Padahal selama ini kehadiran Bono selalu dianggap angin lalu saja
olehnya. Tak pernah dia mau memperhatikan lebih dari lima menit tiap kali
melihat Bono. Namun sekarang segalanya terasa berubah. Apapun yang melekat pada
Bono seakan-akan mengesankan, menarik dan membuatnya mau memikirkan pemuda itu.
Mona mendadak merasa kangen dan selalu
ingin berkhayal sejenak tentang Bono. Oh, bukan sejenak, tapi tanpa terasa bisa
habis dua jam duduk melamun tidak ada kerjaan hanya memikirkan pemuda yang satu
ini. Bono seolah telah mencuri hatinya. Tak ada lagi yang menyita pikirannya
kecuali Bono. Bono. Bono. Nama itu selalu bergema lembut dalam hatinya.
Mona suka senyum-senyum sendiri. Wajah Bono tak pernah lepas dari pelupuk
matanya. Bono yang pendiam, Bono yang baik, Bono yang…… pokoknya yang terpikir
tentang Bono adalah yang baik-baik semua. Penampilan Bono yang terkesan lembut,
kini tak lagi menyebalkan. Sesuatu hal yang dulu sempat tidak disukainya dari
Bono. Sikap Bono yang terkesan lemah lembut dan sopan pun kini mulai disukainya
bila dibandingkan dengan sikap teman-teman laki-laki yang cenderung kasar dan
seenaknya. Pokoknya penilaiannya semuanya berubah.
Sehari setelah kejadian dimalam itu, Mona menunggu Bono usai sekolah.
Ketika Bono melewati kelasnya, Mona yang bersembunyi didalam kelasnya bergegas
keluar. Dia memanggil pemuda itu.
“Bono!”
Bono menoleh. Seperti terkejut ada yang memanggilnya karena suasana sekolah
saat itu sudah mulai sepi. Soal isue di sekolah mereka ada makhluk halus yang
sering melakukan penampakan dalam wujud wanita cantik sudah lama didengar Bono meskipun dia sendiri
belum pernah melihatnya sendiri. Namun bibirnya langsung menyunggingkan senyum
ketika melihat raut wajah Mona yang muncul dari dalam kelas.
“Bono!” panggil Mona sekali lagi ketika dia sudah dekat dengan Bono.
“Hai! Belum pulang?”
“Aku sengaja menunggumu.”
“Oh ya? Ada apa?”
“Aku mau mengucapkan terima kasih sekali lagi kepadamu atas pertolonganmu
kemarin malam.” Mona tersenyum malu-malu. “Kau sudah menyelamatkan aku. Tanpa
kedatanganmu pada saat yang tepat, entah bagaimana dengan nasib aku dan Osi.”
“Sudahlah, aku juga jadi kepikiran
terus.” ucap Bono kalem. ”Aku senang karena aku yang telah menolongmu.
Peristiwa kemarin membuatku bisa dekat denganmu, kan?!.”
Mona tersenyum mendengar ucapan Bono. Dia
mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam tasnya.
“Bon, ibuku titip ini untukmu.” Mona mengangsurkan bungkusan kecil itu
kepada Bono.
“Apa itu?”
“Buka aja, deh. Kau pasti suka.”
Bona membuka bungkusan yang diberikan Mona. Dia melihat beberapa batang
cokelat.
“Oh, cokelat.” Bono ketawa renyah.
“Kenapa? Kau tidak suka diberi cokelat? Ibuku memberimu cokelat atas
usulku.”
“Oh begitu? Aku suka dengan cokelat. Pasti enak sekali cokelat pemberian
ibumu ini.” Ujar Bono. “Tapi cokelat ini terlalu banyak bila kumakan sendiri.
Gigiku bisa sakit. Bagaimana kalau kita makan cokelat ini bersama-sama?”
“Oke. Kapan? Sekarang?”
“Jangan sekarang. Perutku masih kenyang. Bagaimana kalau aku nanti sore
kerumahmu? Kan lebih asyik makan cokelat sambil duduk santai dirumah, sambil
ngobrol.” Bono tersenyum.
Asyik. Mona nyaris melonjak girang. “Iya deh. Kutunggu. Jangan lupa, ya.”
Bono tersenyum. “Sekarang mau kalau kuantar pulang?”
“Tentu saja.” Sahut Mona ceria.
Sore itu Bono menepati janjinya. Dia datang kerumah. Mona yang sudah
menunggunya sejak tadi melonjak girang ketika melihat kedatangan Bono.
“Siapa?” Tanya Mirta ketika melihat Mona mengintip dari balik gorden kamar.
“Bono.” Sahut Mona.
Mirta tersenyum. Namun tidak berkomentar apa-apa. Mona malah merasa senang
ibunya tidak banyak tanya.
“Cokelatnya enak.” Kata Bono ketika mereka sudah duduk berdua sambil makan
cokelat. Mereka duduk diteras samping dekat kolam. Bono senang melihat
ikan-ikan yang mondar-mandir berenang dikolam mungil dekat teras.
“Ibuku ngasih cokelat ini buatmu tapi aku ikut memakannya. Tidak apa-apa,
kan?”
“Tidak apa. Kalau kumakan sendiri kebanyakan. Dimakan berdua denganmu malah
cokelatnya terasa lebih enak.” Ujar Bono. Mona tersenyum.
“Mon, hari minggu jalan-jalan, yuk. Kau pernah ke kebun cokelat?”
“Kebun cokelat? Maksudmu kebun tempat ditanamnya buah-buah cokelat?
Dimana?”
“Ke kebun cokelat ayahku. Sebelum kau bisa menikmati cokelat yang lezat ini,
prosesnya berawal dari buah cokelat yang dipetik petani dari kebun.”
Mona merasa girang. Bukan karena akan pergi ke kebun cokelat namun ajakan
Bono seolah membuka kesempatan bagi mereka berdua untuk bisa lebih dekat.
“Hari minggu pagi kau kujemput, ya.”
“Oke.”
Mereka ngobrol kesana kemari. Sering diselingi dengan tawa dan canda
mereka. Mona merasa Bono sangat menyenangkan juga. Tak terasa waktu sudah hampir
dua jam mereka duduk bersama. Bono melihat jam tangannya.
“Pulang dulu, Mon.”
Mona mengantar Bono sampai depan pintu pagar halaman.
“Hati-hati, ya. Jangan ngebut.” Spontan kata itu neluncur dari bibir Mona.
Mona memang suka bilang begitu kalau mengantar teman-temannya kalau mau
pulang. Kalau dulu ia memang biasa bilang ‘hati-hati, “atau jangan ngebut” pada
teman-teman lain, kini memang ada penghayatan mengatakan itu kepada Bono.
Seperti dibebani rasa sayang. Dan Bono merasa bangga. Senyumnya mengembang.
Lalu tangannya melambai. Dibalas Mona dengan penuh perasaan.
“Kenapa enggak pernah latihan volly lagi?” tanya Osi ketika mereka berkemas
memasukan buku kedalam tas usai pelajaran.
“Aku sekarang main tenis lagi.” Sahut Mona santai. Dia menyandang tasnya
bersiap akan pulang.
“Oh, sudah baikan dengan Trisna
rupanya, ya? Wah asyik dong!” ucap Osi spontan.
“Bukan dengan dia, kok.” Kilah Mona sambil tersenyum tanpa menyembunyikan
sumringah diwajahnya.
Osi menatap Mona. Menangkap sumringah diwajah Mona. Osi jadi curiga. Dia
menangkap ada binar-binar ceria diwajah Mona. Dia ikut merasa senang. Namun
siapakah gerangan sang pangeran yang telah membuat Mona nampak sedang bahagia
seolah sedang jatuh cinta?
“Bukan Trisna? Siapa? Kasih tahu,
dong. Masa sama sobat berahasia.” Bujuk Osi.
Mona tersenyum. Wajahnya cerah seperti sinar mentari pagi hari.
“Ada deh.”
“Masa sama sahabat sendiri tidak mau
ngasih tahu. Siapa sih?” bujuk Osi penasaran.
“Dengan Bono.” Sahut Mona.
“Oh.” Osi agak terpana sesaat. Lalu
tersenyum. “Oh, syukurlah kau sudah bisa melepaskan Trisna. Memang percuma kau
bertahan menyukainya. Trisna kemarin-kemarin sempat lengket saja dengan Sundari. Kemana-mana
selalu berdua. Bahkan tiap hari pun selalu pulang sama-sama. Namun akhir-akhir
ini Trisna malah selalu kelihatan sama-sama lagi dengan Mesi. Seperti dulu sebelum Trisna jalan denganmu.”
Mona mendengarkan dengan biasa-biasa saja. Tak ada pengaruhnya Trisna mau
bareng dengan siapapun. Berita, gosip, isue apapun yang menyangkut Trisna sudah
tidak ada setrumnya lagi buatnya.
“Pulangnya bareng ya. Mon. Antar aku ke toko buku.”
“Aduh sorry, Si. Aku sudah janjian dengan Bono mau pulang bareng. Maaf,
ya.”
Osi tersenyum memaklumi. “Tidak apa. Aku pulang duluan, ya.”
--- 0 ---
Mona pernah mendengar Bono hobby naik motor besar dan kadang suka ikutan
rally. Sekarang Mona merasakan enak
benar naik motor besar namun juga
diselingi perasaan ngeri ketika dijalanan besar berkali-kali Bono menyalip truk
dan bus.
“Eh, hati-hati jangan ngebut, dong!” teriak Mona berkali-kali didekat
telinga Bono yang tertutup helm.
“Oke.” Sahut Bono.
Mona berpegangan erat pada pinggang Bono. Entah sudah berapa kali sepanjang
jalan Mona mengoceh terus. Bono berusaha memahami kakhawatiran Mona. Dia agak
melambatkan laju motornya. Namun ketika Mona sedang terbuai menikmati panorama
yang dilewati mereka, kembali Bono melajukan mootornya dengan kencang. Akhirnya
Mona berusaha percaya bahwa Bono adalah seorang pengendara motor yang baik. Dia
pasti sudah memperhitungkan laju kendaraannya. Dan akan berusaha menjaga
keselamatan mereka berdua.
“Kebunnya mana? Masih jauh?”
Motor Bono mendadak berhenti ketika ban terantuk batu besar. Kepala Mona terantuk kepala Bono. Keduanya mengenakan helm
sehingga ketika terantuk menimbulkan suara benturan.
“Hati-hati, dong!” gerutu Mona.
“Kepalamu kan pakai helm. Mana sakit terantuk segitu.” Tukas Bono. “Mon,
coba kau lihat dikiri dan kananmu. Pohon-pohon yang sarat dengan buah-buah
kecil berwarna merah itu adalah pohon kopi.”
“Oh.” Mona baru menyadari bahwa mereka sudah memasuki perkebunan cokelat.
“Sebentar lagi kita sampai.” Kata Bono.
“Dulu perkebunan cokelat ini milik
orang Belanda. Namun ketika datang orang Jepang, perkebunan ini dikuasai oleh
pribumi. Kakekku membeli sebagian lahan perkebunan ini. Bisnis kakekku berawal
dari kebun cokelat ini.” Kata Bono.
Mona tidak berkomentar. Dia pernah mendengar isue, nenek buyut Bono dinikahi
orang Belanda pemilik perkebunan. Darah Belanda dari kakek buyutnya itu telah
mewariskan wajah-wajah kesinyo-sinyoan pada keturunannya, termasuk pada Bono.
Yang berwajah putih agak bule dengan rambut agak kemerahan. Asli, bukan karena
dicat dengan pewarna rambut yang trend dikalangan remaja.
Jalanan yang mereka lewati mulai menanjak dan motor sulit melaju kencang
karena jalanan dipenuhi oleh bebatuan dan kerikil. Namun Mona menikmati perjalanan itu dan tiba
diperkebunan cokelat milik keluarga Bono. Mona turun dari motor, membuka helm
dan menghirup udara yang segar dan sejuk.
“Kita jalan kesana, yuk.” Ajak Bono
sambil menuntun tangan Mona.
Mona menurut saja. Dia melihat beberapa pekerja sedang sibuk bekerja memetik
buah-buah cokelat dengan pisau. Rupanya saat ini sedang panen cokelat. Mona
takjub melihat buah-buah cokelat berwarna merah yang bergelantungan. Hampir
semua pohon sarat dengan buah-buah cokelat.
“Bono, baru kali ini aku datang ke perkebunan cokelat. Oh, aku senang
sekali kau mengajak aku kemari.
Seringkah engkau kemari?”
“Kalau sedang ingin menikmati udara kebun baru aku kemari.”
Mona melangkahkan kakinya memasuki kebun cokelat itu tanpa melepaskan
tangannya dari pegangan Bono. Dibawah
pohon banyak berserakan daun-daun
cokelat kering. Daun-daun kering itu dibiarkan saja. Mona tahu diperkebunan
daun-daun kering seperti itu memang suka dibiarkan saja karena untuk menjaga kelembaban tanah, juga untuk
menambah pupuk organik.
Mona senang melihat buah-buah
cokelat yang bergelantungan. Buahnya
besar dan gemuk berwarna
kemerahan. Mona juga melihat pohon-pohon kelapa tumbuh disana. Menurut Bono, kelapa selain mendatangkan
hasil sampingan juga berfungsi sebagai pelindung tanaman cokelat.
“Semua orang tahu yang namanya cokelat itu enak rasanya.” kata Bono. ”Dan cokelat juga banyak kegunaannya. Dari
bubuk cokelat untuk membuat kue, sampai permen cokelat dan cokelat pengoles
roti. Padahal, cokelat sebelum bisa dimakan telah melalui perjalanan yang panjang.
Sosok pohonnya tidak semua orang tahu. Bentuk buahnyapun bermacam-macam. Nah
seperti ini, agak bulat, namun yang
disana ada pula yang agak panjang.
Warnanya ada yang merah ada pula yang hijau.”
Bono menunjuk beberapa buah
cokelat disekitarnya.
”Bon, pekerjanya banyak, ya?”
”Ya, mereka sudah biasa datang kemari setiap kali buah cokelat siap
dipetik.” ujar Bono.
Mona melihat buah cokelat yang telah
dipetik dari pohon dikumpulkan dipinggir kebun disisi jalan. Buah-buah cokelat
bertumpuk. Dua buah mobil bak terbuka menunggu dipinggir jalan. Menurut Bono
buah-buah cokelat itu sudah dibeli oleh
pedagang yang rutin setiap masa panen mengangkut cokelat dari setiap
petani cokelat. Mereka beristirahat disebuah rumah panggung. Salah seorang
pekerja memetik buah kelapa muda dan menyuguhkanya pada Mona. Segarnya minum
air kelapa muda setelah lelah berjalan-jalan mengelilingi kebun cokelat.
”Kapan-kapan kalau kau kemari lagi, aku ajak lagi, ya?” kata Mona.
”Oke.” sahut Bono tersenyum. ”Nampaknya kau sangat menikmati suasana diperkebunan.”
”Yah, begitulah kira-kira.” sahut Mona. Karena ada kau disampingku, ucap
Mona menambahkan.
Mona asyik memperhatikan kesibukan pekerja-pekerja di perkebunan. Rasanya
dia masih betah ketika Bono mengajak
pulang. ”Pulang, yuk. Kita mampir dulu ke warung dibawah. Ada sate kambing,
tapi disana juga ada menu istimewa. Sate tutut dan sate buntel.”
“Apa? Sate tutut?” Mona merasa jijik. Meskipun Mona tahu tutut adalah keong sawah yang biasa
dikonsumsi oleh masyarakat pedesaan namun
dia merasa mual untuk memakannya.
“Coba dulu, deh. Aku tidak akan mengajakmu makan sate tutut kalau kau tidak
akan ketagihan.” Ujar Bono sambil melajukan motornya menuruni jalanan yang
berbatu. ”Sate buntel juga enak rasanya.
Sate kambing tapi memakai bumbu khas, pakai telur, dan bentuknya buntel makanya
dinamai sate buntel.”
Mona memperhatikan jalanan yang berbatu dan menurun. Angin yang sejuk dan
segar terasa meniup wajahnya. Ketika sudah sampai dijalan raya, mendadak Mona
mengernyitkan keningnya. Dia melihat Mesi berdiri dipinggir jalan. Sendirian,
sedang menunggu angkutan umum.
”Lho, itu Mesi!” kata Bono. Motornya
langsung menepi menghampiri Mesi.
”Halo Mes, mau kemana?” sapa Bono.
”Ke sanggar buku.” sahut Mesi. Dia melihat pada Mona yang duduk dibelakang
Bono. ”Dari mana kalian?”
”Jalan-jalan ke kebun cokelat.” sahut Mona. Dia merasa heran bertemu Mesi
ditempat ini. ”Kamu mau pergi kemana, Mes?”
”Ke sanggar buku. Aku sedang menunggu angkutan pedesaan. Harus dua kali
naik kendaraan kesana.”
”Sanggar buku apa? Kau punya sanggar buku?” tanya Mona.
”Ya.” sahut Mesi. ”Ayah tidak cerita kepadamu bahwa aku mendirikan sanggar
buku di desa ibuku?”
”Tidak.” Mona menggeleng.
”Dimana sanggar buku itu? Jauh tidak dari sini? Kalau tidak terlalu jauh,
kuantar saja. Kau duduk dibelakang Mona. Kamu setuju, Mon?”
”Ya, tidak apa-apa. Ayo diantar, mumpung ada ojeg.” sahut Mona.
”Tidak terlalu jauh, tapi.......” Mesi seperti ragu. ”Nanti ditangkap
polisi kalau ketahuan naik motor bertiga.”
”Kalau ada polisi, kau turun lagi.” tukas Bona ringan.
Mesi duduk dibelakang Mona. Motor
melaju menembus jalanan pedesaan, melewati persawahan. Tidak lama Mesi menunjuk
sanggar bukunya. Mona dan Mesi turun
dari motor. Sementara Bono melajukan motornya hingga didepan pondok itu.
Ada jalan memanjang untuk menuju sanggar buku itu. Namun Mona merasa ngeri
karena dikiri dan kanannya adalah kolam. Khawatir motor oleng, mereka bertiga
bisa sama-sama terjatuh kedalam kolam.
”Inilah sanggar buku itu.” kata Mesi, mengajak Mona masuk.
Ruangannya tidak terlalu luas. Namun nyaman. Mona tertegun melihat
anak-anak yang sedang duduk dilantai. Mereka asyik membaca. Seorang gadis
menemui Mesi. Mesi memperkanalkannya kepada Mona dan Bono.
”Kenalkan. Namanya Mimi. Dia yang
mendapat tugas menjaga dan mengelola sanggar buku ini.” kata Mesi.
”Aku tidak tahu kau memiliki sanggar buku, mes.” kata Mona.
”Sanggar ini baru didirikan beberapa bulan lalu. Aku memang sudah lama
memiliki keinginan mendirikan sebuah
sanggar buku, namun baru sekarang kesampaian. Tadinya tempat ini hanyalah
berupa kolam ikan, milik kakek dari ibuku. Ketika kakek mewariskan kolam ini
kepada ibuku, aku menyampaikan kepada ibuku keinginanku untuk mendirikan
sanggar buku. Ibu setuju. Ibu mendukung keinginanku dan membangun pondok bilik
ini sebagai sanggar buku. Pondok ini tidak terlalu besar, namun cukup nyaman
untuk menjadi sebuah sanggar buku. Aku tahu anak-anak didesaku masih kekurangan
bahan bacaan. Dengan adanya sanggar buku ini, aku sedikitnya bisa mewujudkan
keinginan untuk mendapatkan buku-buku bacaan.”
Mona memperhatikan anak-anak yang duduk-duduk dengan buku-buku ditangan
mereka. Suasana terasa tenang, karena ada peraturan yang ditempel didinding
bahwa setiap pengunjng harus menjaga ketenangan dan tidak membuat suara yang gaduh
diruangan. Penampilan anak-anak itu seperti anak-anak pedesaan pada umumnya.
”Apakah anak-anak ini semuanya masih
sekolah?” tanya Bono.
”Sebagian masih bersekolah, namun sebagian lagi ada yang suduh putus
sekolah.” sahut Mesi. ”Mereka terpaksa berhenti bersekolah karena orangtuanya
sudah tidak punya biaya lagi untuk menyekolahkan mereka. Mereka terpaksa
berhenti bersekolah dan membantu orangtuanya bekerja disawah. Sore hari
mereka mengaji di surau atau di mesjid.
Dan sore hari yang lainnya, mereka sering datang kemari untuk membaca buku-buku
yang mereka minati.”
Mona menatap anak-anak itu. Ada perasaan haru yang menyelinap dalam hatinya
melihat ketekunan anak-anak itu, melihat perhatian Mesi kepada mereka. Mesi
sudah melakukan sebuah perbuatan yang mulia. Dia sudah berbuat sesuatu untuk
anak-anak itu.
”Kondisi itu yang membuatku ingin
agar anak-anak itu tetap bisa belajar.” ucap Mesi dengan suara lirih. ”Dengan
membaca, anak-anak itu akan tetap bisa menambah ilmu pengetahuan walaupun
mereka sudah tidak duduk lagi di bangku sekolah formal. Mimi adalah seorang
guru bantu. Usai mengajar, dia menghabiskan waktunya disini. Anak-anak banyak
belajar pada Mimi. Selain Mimi, ada seorang lagi yaitu Irni, yang membantu
mengelola sanggar buku ini. Mimi dan Irni bertugas bergantian, apabila Irni
jaga pagi, maka Mimi kebagian siang. Begitu sebaliknya.”
Kecintaan Mesi pada buku telah menggerakkanya mendirikan sanggar buku ini. Mona melihatkeakraban antara Mesi dengan
anak-anak desa itu. Bagaimana anak-anak itu dengan antusias membaca buku-buku
yang ada disana.
”Mes, kau begitu peduli pada sekelilingmu.” ucap Mona spontan.
Mesi tersenyum. ”Apa yang kulakukan hanyalah hal kecil.”
”Kecil bagimu namun begitu besar artinya bagi anak-anak itu.”
”Aku berharap, mudah-mudahan apa yang kulakukan ini akan memberikan manfaat
bagi anak-anak didesaku, agar mereka tidak putus asa dalam memandang masa
depan, walaupun sebagian dari mereka harus menerima kenyataan pahit ketika
tidak bisa lagi melanjutkan sekolah ke sekolah yang lebih tinggi.”
”Kau sudah berbuat sesuatu yang berguna bagi mereka, Mes. Mudah-mudahan
Allah memberikan rakhmat dan hidayahNya kepadamu.” kata Bono. ”Aku kagum dengan
apa yang telah kau lakukan. Masih sedikit remaja-remaja yang peduli dengan
lingkungannya seperti apa yang telah kau lakukan ini.”
Mesi hanya tersenyum mendengar ucapan Bono.
Mona dan Bono pamitan pulang.
”Kapan-kapan kemari lagi ya, Mon.” kata Mesi.
Mona tersenyum. ”Insya Allah, aku
akan kemari lagi.” ucapnya.
Motor melaju meninggalkan sanggar itu. Tidak ada yang bicara. Mona dan Bono
sama-sama asyik dengan pikirannya sendiri.
”Jadi semakin lapar, nih. Kita makan dulu kewarung sate, ya.” kata Bono.
Mona hanya mengangguk setuju.
Warung itu tidak terlalu besar. Berdinding bilik namun bersih dan rapi.
Suasana teduh dan nyaman. Beberapa orang sedang makan disana. Akhirnya Mona
mengikuti Bono memasuki warung sate tutut itu. Bono memesan sate tutut.
“Jangan banyak-banyak. Aku tidak mau makan sate tutut. Aku minum saja.”
“Ya, ya.” Sahut Bono. ”Sate buntel
mau mencoba?”
”Boleh. Pesan dua tusuk saja.”
Bono memesan sate tutut dan sate buntel.
“Kamu sering kemari, ya? Pekerja-pekerja disini sepertinya sudah kenal
denganmu.” tanya Mona sambil menunggu pesanan.
“Ya, habis motor-motoran biasanya aku suka kemari. Biasanya hari minggu.”
Tidak lama pesanan sate tutut dan sate buntel datang. Bumbunya tercium
harum menggugah selera.
“Makan, yuk.” Ajak Bono. Dia mengambil nasi dan mulai menikmati sate tutut.
“Enak.” Komentar Bono. Dalam sekejap dia sudah menghabiskan sepuluh tusuk
sate tutut.
Melihat Bono menyantap sate tutut dengan nikmatnya, Mona mencoba mengambil
satu tusuk. Lho, ternyata enak. Mona mengambil tusuk sate tutut yang kedua. Tak
terasa sudah lima tusuk yang dihabiskannya. Tubuhnya lelah setelah naik motor
menaiki dan menuruni perbukitan. Perutnya
lapar sekali. Bukan main nikmatnya makan nasi hangat dengan sate tutut
yang memakai bumbu kacang yang lezat dan gurih.
”Dicoba sate buntelnya.” Bono menyodorkan piring sate buntel.
Mona mengambil satu tusuk. Dicobanya. Ternyata sama enaknya. Terasa bumbu
lengkuas, jahe, kunyit, kencur, kemiri dan pada daging kambing, tertutup oleh
adonan telur.
Usai makan Mona meminum satu gelas penuh teh hangat yang terasa memulihkan
kembali kesegaran tubuhnya. Mona mengelap mulutnya. Dia menatap Bono agak
sedikit malu.
“Enak?” tanya Bono.
Mona mengangguk. “Enak. Sate tututnya enak sekali. Sate buntel juga enak. Kapan-kapan kita kemari lagi, ya?”
“Boleh.” Sahut Bono. “Kalau kita kemari lagi porsi sate tutut ditambah, ya.”
Mona tersenyum.
Perjalanan menuju rumah terasa lebih santai. Mona menikmati enaknya naik motor. Merasakan angin yang bertiup
menghembus tubuhnya. Tak terasa mereka sudah sampai dirumah.
“Tidurku malam ini pasti nyenyak.” Ujar Mona ketika turun dari motor Bono.
“Sebelum tidur jangan lupa mandi dulu.” Ujar Bono bergurau.
Mona ketawa. “Nanti malam aku pasti mimpi makan sate tutut dan sate buntel denganmu.”
--- 0 ---
Bono senang main tenis. Seminggu dua kali dia suka latihan tenis. Hal itu mengingatkan Mona kepada
Trisna. Namun cepat-cepat Mona meralat, jelas dengan Bono kedekatan ini terasa
lebih manis karena Bono nampak serius mencintainya walaupun masih membutuhkan
waktu untuk membuktikan keseriusan cinta Bono kepadanya. Demi menjaga kedekatan dengan Bono, Mona
berhenti main volley dan ganti main tenis dengan Bono. Seminggu tiga kali Bono
menjemputnya.
Banyak sekali perubahan Mona sejak saat itu. Ia banyak tersenyum. Sikapnya
lebih manis dan lebih pengertian. Lebih perhatian kepada sesama. Perangai Mona memang sangat mudah bertolak
belakang. Perubahannya bisa berbalik sekali. Maklumlah. Kali saja itu karena
sentuhan cinta. Cinta telah membuat Mona bisa berubah.
Pada Bono, Mona bisa bercerita banyak, bercerita segala macam, dari yang
ringan sampai yang serius, semua diceritakan
meskipun Bono sendiri tidak ingin tahu banyak. Namun karena tidak ingin
mengecewakan Mona, Bono selalu menjadi pendengar yang setia dan serius
mendengarkan cerita Mona atau membaca pesan pendek-pesan pendek yang dikirim Mona.
Mona merubah sikapnya selama ini
kepada Bono. Tak ada lagi sikap tinggi hati. Tak ada lagi
tampang judes. Tak ada lagi acara menghindar. Malah bila dari kejauhan
dia melihat Bono, Mona sengaja menunggu hingga Bono mendekat. Bertegur sapa. Beramah
tamah. Saling menanyakan kabar masing-masing. Saling bertanya kemana saja kok
tidak pernah kelihatan. Padahal mereka tidak berjumpa baru sehari.
Perlahan, Mona menikmati perubahan itu. Dia merasa Bono bisa menjadi
seorang teman yang menyenangkan. Lagi pula Bono seakan tulus memberikan
perhatian kepadanya. Tidak dibuat-buat. Tidak menyebalkan. Sikapnya seakan
wajar tanpa basa basi.
“Kau harus berubah pada Bono, Mona.
Perlakukan dia dengan baik.” Nasehat ibunya ketika Mona bercerita bagaimana
sikap dia sebelumnya kepada Bono.
Mona mengangguk. Tanpa diminta oleh ibunya pun dia memang
sudah berjanji akan merubah sikapnya
kepada Bono. Dia berusaha mencari apa kesalahan Bono kepadanya selama ini
sehingga dia pernah merasa tidak suka kepada Bono. Tidak ada. Tidak berhasil
ditemukannya. Satu hal yang membuatnya pernah menghindari pemuda itu adalah
karena dia menilai Bono pemuda manja. Kesan Bono tidak maskulin. Tidak
gentlement, menurut istilah Roro. Rasanya cuma itu. Tidak ada yang lain.
Padahal kenyataannya Bono belum tentu manja. Kesan Bono memang pendiam, tidak
banyak tingkah, senang memperhatikan penampilan sehingga kelihatan selalu rapi
dengan pakaian yang pasti harganya tidak murah. Mungkin Bono memang senang
memiliki sesuatu yang berkualitas. Karena kebetulan orangtuanya punya uang
untuk membelinya. Jadi, bisa saja dugaannya selama ini terhadap Bono keliru.
Yang aneh lagi, sekarang Mona suka melamun dan berkhayal indah tentang
Bono. Wajah Bono tak pernah lepas dari pelupuk matanya. Mona
masih ingat wajah Bono yang bersimbah
peluh seusai kungfu dengan kedua penjahat malam itu. Bono telah mempertaruhkan nyawanya demi
menyelamatkan jiwanya. Mona merasakan keharuan yang terasa menyesakan
perasaaanya. Tanpa diminta oleh ibunya pun dia berjanji akan lebih baik memperlakukan Bono. Lagi pula apa salahnya Bono bila menyukainya?
Kenapa dia harus membalas rasa suka Bono
dengan kebenciannya hatinya karena dia tidak suka kelakuan Bono yang suka pamer kekayaan. Perilaku sepert itu pasti bisa dirubah apalagi bila usia Bono
makin dewasa.
Mona menikmati perubahan itu. Demikian juga Bono, kelihatannya dia senang
Mona sudah berubah. Komunikasi diantara mereka berjalan lancar. Sikap Mona
selalu manis, mengimbangi kemanisan yang diberikan Bono kepadanya sejak dulu.
Mona baru menyadari sekarang, ternyata memang Bono itu baik dan penyabar.
Bono mulai sering datang
kerumah. Bono juga jago main tenis. Dengan
senang hati Bono mengajari Mona main tenis ketika Mona memintanya. Kebersamaan
itu membuat mereka terasa semakin dekat satu sama lainnya.
Pulang main tenis mereka makan bakso, minum es teler atau sekedar jalan-jalan
keliling kota. Bila kebetulan mereka selesai tenis mendekati waktu magrib, Bono
selalu mengajak Mona mampir di mesjid dekat lapangan tenis.
“Mending shalat dulu
disini, Mon. Daripada pulang kerumah waktu magrib hampir habis.” Kata
Bono.
Dengan senang hati Mona menerima
ajakan Bono. Lagi pula, bila hari telah lewat senja, Bono biasanya mengantarnya
sampai kerumah. Semakin banyak waktu bagi mereka untuk merajut kasih.
Ada warung istimewa tempat mereka selalu melewati makan bersama. Kursi yang
selalu sama. Mula-mula masih pesan sendiri-sendiri. Lalu pesannya mulai sama.
Lalu satu porsi dibagi berdua. Dan mereka berdua sangat menikmati saat-saat
seperti itu sebagai saat-saat manis yang mereka jalani berdua.
Lagu-lagu romatis pun mulai jadi koleksi
Mona. Lirik-lirik lagu terdengar mulai
berarti banyak bagi dirinya. Kalau tadinya mendengarkan lagu itu hanya sambil
lalu, namun sekarang setelah direka-reka,
dan tiba-tiba saja menjadi terasa ada hubungannya dengan mereka. Sering Mona
merasa lirik lagu itu memang dirilis untuk dirinya dan Bono. Dunia terasa
indah.
--- 0 ---
Kemanisan itu tak berlangsung lama. Keindahan itu terusik oleh sebuah
berita yang cukup menyengat perasaan Mona yang gampang dilanda cemburu. Mona
mendengar ada anak kelas satu yang naksir Bono. Sering kirim cokelat dan kue
kesukaan Bono. Bukan main panasnya perasaan Mona. Tapi Mona tahu, Bono tidak
terlalu suka dengan makanan-makanan yang manis sebangsa cokelat atau kue-kue.
Jadi pasti kiriman Astrid tidak akan dimakan Bono. Paling diberikan pada
kucingnya, pikir Mona menghibur diri. Namun tetap saja perasaan Mona terasa
panas. Apalagi Osi sering memanan-manasinya walaupun Mona tak pernah menggubris ocehannya
.
Bono menunggunya pulang bersama. Mona
tidak bisa menahan perasaannya walaupun dia sudah berusaha ingin tetap bersikap
wajar. Namun mulutnya tetap saja cemberut.
”Hei. kenapa kau ini?” sapa Bono riang
Sapaan Bono tak didengarnya.
Mona tetap melangkah tidak menggubris
Bono. Bono mengikuti Mona dengan motornya.
”Kenapa sih kau ini? Kalau tidak mau pulang bareng, ya sudah, aku pulang
duluan, ya. Bye...’
Tanpa menoleh lagi Bono segera menancap gas, melesat pergi meninggalkan Mona yang masih berdiri dijalanan
didepan sekolah.
Mona terperangah. Tidak menduga Bono tega meninggalkannya begitu saja
dipinggir jalan. Air mata Mona nyaris meloncat. Dia terpaksa berjalan sendirian menelusuri jalan troroar. Sambil menikmati keteduhan jalanan
yang dinaungi dedaunan dari pohon-pohon
yang rindang, Mona memikirkan Bono. Dia
menyesali mengapa harus terjadi pertengkaran diantara mereka. Mengapa kedamaian
diantara mereka tidak berlangsung lama.
Besoknya Mona berharap Bono akan berbaikan lagi dengannya. Namun Mona tidak
berjumpa dengan Bono. Sehari. Dua hari. Di hari ketiga Mona melihat Bono. Mona berharap Bono akan melupakan pertengkaran
kecil mereka beberapa hari lalu. Namun ketika melihatnya, Bono hanya diam tanpa
senyum. Ketika langkah mereka semakin dekat, Bono berbelok arah. Mona tertegun.
Padahal dia sudah siap akan memulai menyapa Bono. Namun semua itu urung karena
Bono tidak jadi berpapasan dengannya.
Dirumah Mona tak bisa menahan tangisnya. Mona kesal dia berubah menjadi begitu cengeng.
Namun airmatanya sekana tak terbendung lagi, mendesak keluar seperti air tanggul yang jebol. Mona merasa nelangsa.
Namun dia juga sadar, airmatanya tidak akan bisa membuat Mono kembali lagi kepadanya.
Kalau hubungan ini tidak bisa pulih
kembali, mungkin aku harus melupakan Bono,
pikir Mona. Aku tidak boleh rapuh. Aku
harus kuat. Aku harus tegar. Ini bukan pengalaman pertama aku sakit hati oleh cowok, pikir Mona berusaha tegar. Lagi
pula kalau apa yang terjadi antara aku dengan Bono, bukan Bono yang memulai berbuat salah, tetapi aku yang mulai mencari gara-gara. Jadi aku
yang salah. Pikiran Mona makin mantap. Dia akan melupakan Bono dan akan
menghapus nama Bono dari hatinya.
Namun manusia kadang memang suka cepat
lagi berubah pikiran, pikir Mona. Seperti aku, kata Mona dalam hati. Dia
merasa kalau dirinya pelan-pelan teringat lagi pada Bono. Pada sikap Bono. Pada
kebaikan Bono. Sehingga timbul rasa kangen dihatinya untuk bernostalgia kembali
dengan Bono. Namun sesaat kemudian ketika teringat pertengkaran mereka, rasa kangen itu mendadak hilang kembali, tenggelam entah
kemana.
Mona membutuhkan waktu untuk berpikir lagi. Kadang dia ingin mengirim sebuah
pesan pendek pada Bono walaupun hanya
satu pesan pendek. Namun keinginan itu ditahannya. Lalu terlupakan. Ingat lagi.
Lalu menghilang lagi. Menurutnya percuma
dia menghubungi Bono karena mungkin saja
Bono masih marah kepadanya.
Ditatapnya telepon genggamnya beberapa
saat lalu disimpannya lagi. Tak lama
kemudian diambilnya lagi. Perasaannya terusik ingin segera memijit tombol-tombol
telepon genggamnya, mengirim pesan
pendek, walaupun hanya satu pesan
pendek, namun akan membuka komunikasi
lagi antara dirinya dengan Bono. Namun sesaat kemudian dia berpikir lagi, bahwa hal itu tak perlu dilakukannya.
Lalu disimpan lagi telepon genggamnya. Pikirannya seakan dihanyutkan waktu
kemarin ketika Bono dan dirinya masih suka saling mengirim pesan pendek. Pesan pendek
mereka nampak berkesan. Perasaan Mona kembali tersentuh. Kebaikan-kebaikan Bono
kini mulai diingat lagi. Kenapa aku jadi
plin plan begini? Pikir Mona. Sesaat ingin
melupakan Bono. Namun sesaat kemudian dia teringat lagi pada Bono. Mona merasa
Bono sulit untuk dilupakan.
”Mon, antar mama mengambil kerudung kerumah Ibu Sentot, yuk.” Ajak ibunya ketika melihat Mona sedang duduk
bengon diteras depan. Tidak ada sesuatupun yang dikerjakan Mona. Memang ada buku pelajaran yang ditelakkan
diatas meja. Namun buku itu hanya terbuka saja, tidak disentuh Mona.
”Ya, Ma.” Mona mengangguk. Daripada bengong
terus memikirkan nasib dirinya, lebih baik menyegarkan diri jalan-jalan
keluar menemani ibunya.
Rumah Bu Sentot di jalan Alamanda.
Mona tertegun ketika dia melihat Bono ada disana, duduk diteras depan sambil menekan-nekan tombol telepon genggamnya. Mona merasa tidak mungkin
dia untuk mundur lagi karena Bono seolah mendapat firasat, mendadak dia mengangkat wajahnya dan mata mereka beradu pandang.
”Nah, Mas Bono rupanya ada disini, Mona.” ujar Mirta riang. Mona
suka malu, ibunya selalu menyebut
Bono dengan panggilan Mas Bono. Meskipun Bono nampaknya senang dipanggil begitu.
Bono menyalami tangan ibunya. Wajahnya sumringah. Lalu menoleh pada Mona.
”Halo, Mon.”
”Hai.” sahut Mona. Senang benar hatinya disapa Bono. Mona tidak bisa
menyembunyikan sumringah diwajahnya.
”Kok jadi jarang main kerumah? Kenapa?” tanya Mirta.
”Belum sempat main lagi sama Mona, tante. Sedang sibuk membuat proposal.”
sahut Bono santai.
”Oh, ya? Proposal apa?” tanya ibu penuh minat.
”Akan ada kegiatan rally
motor, tante. Saya ditunjuk jadi
ketuanya. Untuk kelancaran kegiatan itu
perlu didukung modal. Jadi saya membuat dan ikut mengirim proposal ke beberapa instansi dan perusahaan mencari
dana untuk membiayai kegiatan itu.”
Bono bercerita tentang kegiatan itu. Mirta
mendengarkan dengan penuh perhatian. Semangat sekali Bono bercerita, seolah
ingin obrolannya didengar Mona. Dan kenyataannya Mona memang ikut mendengarkan
cerita Bono. Oh, sibuk rupanya yang membuat
Bono tidak pernah kerumah lagi, pikir Mona.
”Nanti kau nonton rally motor ya, Mon.”” kata Bono mengakhiri ceritanya.
”Tentu saja.” sahut Mona spontan.
Mirta tersenyum menatap Mona dan Bono bergantian.
--- 0 ---
Bono mengirim sebuah pesan pendek. Mengajak makan di warung istimewa tempat mereka beberapa kali
melewati makan bersama. Perasaan Mona terasa bahagia emndapat pesan pendek dari
Bono. Dia membalas pesan pendek itu dengan suka cita. Akhirnya Bono mengajaknya berbaikan kembali.
Lain kali aku harus bisa mengabaikan berita-berita tidak sedap yang menyangkut
Bono. Jangan sampai gara-gara berita sekecil itu malah membuat hubunganku
dengan Bono menjadi rusak.
Mona terkenang kembali saat-saat mereka berduaan dihari-hari lalu. Makan
diwarung yang terasa istimewa karena Bono
selalu memiih warung itu sebagai tempat makan mereka. Kursi yang selalu sama. Didekat
jendela yang menghadap keluar. Mulanya makanan
yang mereka pesan masih berbeda. Bono pesan apa. Mona pesannya lain
lagi. Lalu kemudian pesanan mulai sama.
Akhirnya Bono mengajak Mona makan satu porsi berdua agar mereka bisa merasa
lebih dekat. Mona sangat menikmati saat-saat seperti itiu. Saat-saat manis yang
terasa indah untuk dikenang dan tak
mungkin dengan mudah akan dapat dilupakan.
Hari itu Bono datang menjemput dengan motor trailnya. Wajahnya cerah.
Rambutnya yang agak kemerahan bergelompang, agak kusut oleh helmnya.
Disela-sela makan, Mona mendengar lagu yang dinyanyikan penyanyi bernama Astrid.
Mendadak Mona merasa seperti diingatkan
oleh nama penyanyinya yang memiliki kesamaan dengan nama anak kelas satu yang
suka mengirim Bono cokelat. Walaupun
berita itu belum tentu benar karena tidak pernah ada yang melihat Bono menerima
kiriman cokelat dari Astrid.
”Bon, siapa sih Astrid itu?” tanya Mona
seolah sambil lalu, agar tidak kentara bahwa nama itu pernah membuatnya merasa
gelisah dilanda perasaan cemburu.
”Astrid? Oh, kau kenal dia, ya?” sahut Bono seakan tidak terpengaruh dengan
pertanyaan Mona.
”Tidak.” sahut Mona. ”Aku hanya
pernah mendengar namanya saja.”
”Dia masih saudara sepupuku. Ibunya Astrid adalah adik sepupu ayahku.”
”Oh.” Entah mengapa Mona merasa lega
mendengar penjelasan Bono.
”Dia sering kirim cokelat dan kue padamu, ya?” Ih, aku kampungan, pikir
Mona. Norak. Kenapa aku harus menanyakan itu kepada Bono.
Namun sudah terlanjur terucap, tak mungkin ditarik lagi.
”Haaa.....” Bono tertawa berderai, seakan geli mendengar pertanyaan Mona.
”Rupanya kau cemburu, ya kalau Astrid mengirim cokelat dan kue padaku?
Haaa..... memang benar pernah sekali Astrid mengirim cokelat dan kue. Nanti
kalau dia kirim lagi aku berikan kepadamu.”
”Oh, jangan.” sahut Mona spontan. ”Nanti Astrid marah kalau kirimannya
malah kau kirimkan lagi padaku.”
”Kapan-kapan kau akan kukenalkan pada Astrid, ya. Dia baik, kok. Kau pasti akan menyukainya. Tapi dia sifatnya
agak manja. Jadi kau harus dewasa bila kenal dengannya. Kalau
sama-sama manja dan kekanak-kanakan, kalian pasti ribut.”
Mona berguman
”Astrid agak manja padaku, namun itu wajar saja. Aku dan dia sudah
bersama-sama sejak kecil. Astrid memang belum punya pacar namun itu bukan
berarti Astrid mengharapkan aku untuk
menjadi pacarnya” Bono tersenyum, menatap Mona penuh pengertian.
Mona tersenyum menatap Bono.
”Percayalah padaku, Mon. Aku sudah susah-susah mendapatkanmu masa sekarang
cepat-cepat akan dilepas lagi.”
”Kau pernah berpikir akan melepaskan aku?” tanya Mona.
”Mon, dalam hidup selalu banyak hal dan kemungkinan yang bisa terjadi.
Setiap orang selalu berharap segalanya sesuai dengan harapan, namun kita juga
harus bersiap diri apabila
yang kita harapkan tidak sesuai dengan rencana kita, bukan?”
”Ya.” Mona mengangguk.
”Tapi itu kan masih lama.” kata Bono ketika melihat raut wajah Mona berubah. ”Kau tak perlu membebani pikiranmu dengan memikirkan segala kemungkinan
negatif yang akan terjadi dimasa datang. Nikmati saja apa
yang kita sedang alami saat ini dengan begitu
kita lebih santai dan lebih menyenangkan dalam menjalani kehidupan,
bukan?”
Bono menepuk punggung tangan Mona lembut,
menenangkan Mona. Mona tersenyum
”Percayalah padaku, Mon. Aku berusaha tidak akan membuatmu merasa kecewa.”
Mona tersenyum mendengar ucapan
Bono.
Bono mengantar Mona sampai depan rumah.
“Masuk dulu, yuk.” Ajak Mona. Benar-benar berharap Bono mau mampir dan
duduk lama-lama dirumahnya seperti dulu.
Bono tersenyum. “Kapan-kapan saja, ya.”
Mona ingin bertanya, Bono buru-buru mau kemana? Namun pertanyaan itu yang
hampir terlontar dari bibirnya sempat diremnya. Dia tidak boleh terlalu ingin tahu banyak urusan
Bono. Bono bisa menjadi jengkel. Lalu
marah. Dan hubungan mereka nanti akan ada konflik lagi.
Mona tersenyum manis. “Iya, deh. Kapan-kapan main lagi kerumah, ya.”
Bono mengangguk. Ketika Bono mau berlalu, Mona melambaikan tangannya. Dia
tidak bisa menyembunyikan kemesraannya. Rasanya sudah lama sekali tidak pernah
bertemu Bono. Rasanya sudah lama sekali dia menyimpan rasa kangennya kepada
Bono. Bono membalas lambaian tangannya. Mona merasa lega. Ketegangannya dengan
Bono sudah berakhir. Siap untuk memulai
lagi lembaran baru yang indah dan melupakan apa yang pernah terjadi diantara
mereka.
Mona menyalahkan dirinya sendiri karena dia buru-buru masuk kedalam rumah. Harusnya dia tetap berdiri sampaimotor Bono lenyap dari pandangan. Apa
ini rada angkuh? Bukankah ia ingin melihat, mengantar dan bukankah Bono juga
berharap begitu? Ya, tapi tak apa, pikir
Mona sambil masuk kedalam rumahnya. Mona
membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur, memajamkan mata, namun tak bisa
tidur. Lagi pula sudah hampir jam empat. Lebih baik aku mandi, pikir Mona. Justru dia harus bisa menguasai apa yang
sama-sama diharap. Kan ini baru permulaan. Pasang harga sedikit. Ah, tidak.
Mona tidak merasa bukan pasang harga. Ia memang lagi bingung saja. Bingung
dalam arti tak bisa menguasai sepenuhnya keinginannya. Dia merasa gugup.
--- 0 ---
Ditengah-tengah kebahagiaannya merasakan indahnya cintanya dengan Bono,
Mona tetap tidak bisa menciptakan kebahagiaan dengan ayahnya sendiri. Selalu
saja ada ganjalan diantara mereka. Mona tahu bahwa hubungan Mesi dengan ayahnya
baik-baik saja. Mesi sangat dekat dengan ayahnya. Namun hal itu tidak membuat
perasaan Mona tergerak untuk melakukan hal yang sama dengan ayahnya. Ayahnya
pasti sedih dengan sikapnya yang tidak juga menunjukan kedewasaannya. Namun
pikir Mona, mau apa lagi, bukan salahnya bila dia membenci ayahnya. Namun
sesuatu hal ternyata sanggup merubah sikapnya kepada ayahnya.
Ayah sakit. Mona merasa sikapnya beberapa hari lalu yang membuat ayah
sakit. Mendadak Mona menyesali sikapnya. Seharusnya dia tidak sekeras itu pada ayahnya. Kenapa dia tidak pernah bisa
menerima dengan lapang dada permaduan yang sebenarnyanya telah cukup lama
dijalani ayahnya, seumur dengan dirinya. Tak ada masalah yang berarti. Kedua
istrinya bisa hidup rukun. Tak pernah berantem ataupun gontok-gontokan. Mereka
berdua hidup damai dan rukun. Bahkan ibunya selalu bilang dirinya ikhlas dimadu sebagai salah satu bentuk ibadahnya
kepada Alllah. Sebelum menikah lagi, ayah sudah meminta ijinya dan dia sudah
mengijinkan. Ayak tak berdosa. Ibu tidak merasa dikhianati. Tapi kenapa dia
yang tak pernah mau bisa menerima permaduan
ini? Rasa bencinya kepada Mesi dan ibunya seakan tak pernah ada
habisnya. Seakan tak akan pernah padam sampai kapanpun. Kebencian yang terus
menerus dipupuknya dalam hatinya, disiraminya setiap hari dengan seperti
sebatang pohon yang semakin lama semakin tumbuh subur sejak dirinya cukup dewasa untuk mengetahui apa arti dua keluarga yang dimiliki ayahnya.
Ibu menatapnya. “Mama tidak senang kau bersikap seperti itu, Mona. Kenapa
sih kau selalu sentimen kepada Mesi? Dia selalu baik kepadamu. Mesi selalu
memperlakukanmu dengan lembut dan sabar. Tapi kenapa kau tak pernah bisa
merubah sifat dan tingkah lakumu yang
tidak menyenangkan itu? Mama kecewa dan malu dengan sikapmu. Kasihan papa. Papa
selalu berusaha untuk menyatukan kalian berdua. Mesi sudah berusaha
mendekatimu, namun kau selalu saja mengelak dan menghindarinya. Begitu kerasnya
hatimu itu. Tidakkah kau berfikir bahwa sebenarnya sungguh menyenangkan bagimu
memiliki seorang saudara seperti Mesi yang bisa menjadi teman berbagi suka dan
duka bagimu selain mama dan papa karena
kau hanya anak tunggal. Mesi pun pasti ingin dekat denganmu karena dirinya pun
hanya anak tunggal sepertimu. Kalian bisa bersatu sebagai saudara dan menjalani
hidup dengan indah dan penuh kedamaian.”
Sekarang ayah sakit. Sikap Mona pasti menjadi salah satu penyebab sakitnya.
Mau tak mau pasti ayahnya suka memikirkan sikapnya yang tak pernah bersahabat
pada ayahnya. Padahal selama ini ayah selalu berusaha menjadi seorang ayah yang
baik, penuh tanggung jawab pada kedua keluarganya. Juga kepada Mona dan
Mesi. Sore itu Mona menjenguk ayah
dirumah sakit. Dia akan ikut menjaga ayahnya. Selama tiga hari ayah terbaring
dirumah sakit, hanya ibunya, ibu Teja dan Mesi saja yang bergantian secara
bergilir menjagai ayah. Aku tidak tahu berterima kasih kepada orangtua,
terutama kepada ayah, pikir Mona menyadari kesalahannya.
Mona melihat ayahnya terbaring sakit. Perasaannya tersentuh melihat wajah
ayahnya yang pucat. Ayahnya jarang sakit. Kalau sakit paling cuma sekedar flu
dan batuk. Tapi sekarang kelihatan
parah. Tangan ayahnya diinfus. Mona ngeri melihat selang infus ditangan
ayahnya. Dia berjanji dalam hatinya akan mencoba merobah sikapnya. Pikiran Mona
melantur kemana-mana kalau ayahnya mati karena jengkel dengan kelakuannya, dia
akan menanggung dosa seumur hidup. Airmata Mona berlinang. Dia mengasihi
ayahnya. Namun karena egonya telah mengalahkan rasa kasih sayangnya kepada ayahnya.
Ketika ayah sedang tertidur lelap, Mona keluar kamar. Ada sebuah bangku tidak jauh dari kamar. Mona duduk disitu. Dia
menangis, menggukguk. Mesi duduk disampingnya. Memelu bahunya. Mata Mesi juga
membasah. Diluar, pada sebuah bangku, Mona menangis menggukguk. Mesi
memeluknya. Mata Mesi juga basah.
“Jangan bersedih, Mon. Ayah pasti sembuh.” Ujar Mesi lembut,
menghiburnya.
Mona menatap Mesi. Dia melihat wajah Mesi yang sendu. Sesuatu terasa
menyentuh perasaannya. Selama ini dia merasa tak pernah memiliki saudara.
Selama ini dia merasa hanya dirinya satu-satunya anak ayahnya. Selama ini dia
nyaris tak pernah menganggap Mesi sebagai saudaranya. Bahkan Mesi selalu
dianggap duri yang menusuk dalam
dagingnya. Kini, ketika menatap wajah Mesi, Mona seolah tersadarkan, di dunia
ini dia memiliki seseorang yang membuat hidupnya akan terasa jauh lebih berarti dan lebih
bermakna, seorang saudara, dia memiliki seseorang yang bisa menjadi tempat
berbagi suka dan duka dengannya.
“Lebih baik kau pulang, Mon. Biar
aku yang menjaga ayah.” Kata Mesi.
Mona menggeleng, Biar aku disini saja menjaga ayah. Selama tiga hari ini
hanya kau, ibu Teja dan mama yang menjaga ayah. Malam ini biar aku yang akan
menjaga ayah..”
“Kau belum makan. Aku membawa roti, mau?”
Perutnya baru terasa lapar. Mona menerima roti yang diberikan Mesi.
Roti isi sosis.
Sambil memakan roti pemberian Mesi, mendadak Mona teringat pada ucapan
ibunya beberapa waktu lalu. Matanya terasa perih. Airmatanya hampir jatuh
mengingat ucapan ibunya.
“Papa sangat sayang padamu, Mona.”
Ucap ibunya saat itu. “Coba kau masih ingat tidak, siapa yang suka
menggendongmu sewaktu kecil dulu? Siapa yang suka mengajakmu bermain-main
dihalaman ketika kau kecil dulu? Siapa yang telaten mengajarmu belajar naik
sepeda ketika kau kecil dulu? Semua itu adalah papa. Ketika kau menginjak
besar, siapa yang suka membantumu mengerjakan pekerjaan rumah? Waktu kau menangis kehilangan bonekamu, siapa
yang paling sibuk mencarikan kalau bukan papa? Ingatlah selalu kebaikan papamu
yang sudah tidak terhitung banyaknya, Mona. Andai kau menghitung-hitung
sekalipun, kau tetap tidak akan bisa menghitung semua kebaikan papamu kepadamu.
Ketika kau sakit dan terpaksa dibawa kerumah sakit, papa yang paling kelihatan
bingung dan sedih. Siang malam
papa menjagamu dan terus berdoa agar kau
bisa segera sembuh. Kini setelah kau besar, yang kau perlihatkan pada ayahmu
hanyalah kebencianmu saja. Namun papa
tetap papamu. Betapapun kau membencinya, papa tetap menunjukan kasih sayang dan
perhatiannya padamu. Tak pernah
papa terpancing emosi dan membalas
kebencianmu dengan kebencian pula. Kau tetap anak papa, buah hati papa.
Papa tetap mencintai dan menyayangimu.”
Mona kembali menangis sesenggukan. Roti yang sedang dikunyahnya tersangkut
ditenggorokan sehingga dia terbatuk-batuk. Bergegas Mesi menyodorkan botol air
minum.
“Kau pasti sedih memikirkan papa. Aku juga sama. Papa adalah ayah kita
berdua, Mon.” ucap Mesi lirih.
Ucapan Mesi malah membuat Mona kembali menangis.
“Kau bisa pulang, Mon. Istirahatlah.” Kata Mesi pengertian. “Biar Trisna
yang mengantarmu pulang.”
“Tidak! Aku tidak mau.” Sahut Mona spontan. Mana mau dia diantar pulang
oleh Trisna.
Trisna mendekat. “Aku antar pulang, Mon.”
Tidak bisa menolak akhirnya Mona mau diantar pulang oleh Trisna. Namun
sepanjang jalan Mona merengut saja dan
ingin segera sampai dirumah. Didesaknya Trisna agar ngebut. Trisna mafhum. Motornya
ditancap, dilarikan sekencang-kencangnya. Angin malam menerpa wajah Mona. Dia lega
ketika akhirnya tiba didepan rumahnya.
”Nah, sudah sampai.” kata Trisna, seakan
ikutmerasa lega sudah mengantar
Mona hingga tiba dirumahnya.
”Terima kasih.” ucap Mona, buru-buru mau masuk kerumahnya.
”Mon.” panggil Trisna.
Mona berhenti melangkah. Dia menatap Trisna.
”Aku senang melihat kau bersama-sama dengan Bono. Dia baik. Dan dia tulus
menyayangimu.” ucap Trusna serius.
Mona tidak menanggapi. Dia hanya menatap Trisna biasa-biasa saja.
”Aku berdoa semoga kau bahagia bersama Bono.”
Mona tersenyum seulas, lalu bergegas masuk kedalam rumahnya.
Trisna mungkin tulus mengucapkan semua itu namun dia tidak ingin
menanggapinya. Trisna memang sudah tidak ada daya tarik apapun bagi dirinya
namun Mona masih ingat bahwa dia dulu pernah mengharapkan Trisna. Sekarang
setelah dia memiliki Bono, Trisna tidak ada artinya apap-apa lagi baginya.
Trisna adalah lembaran buku lama yang sudah usang dan tak akan pernah dibukanya
lagi.
--- 0 ---
Mona mulai belajar mencintai ayahnya. Dia mulai belajar memahami, betapa
sebenarnya posisi ayahnya sangat berat. Ayah harus bekerja dua kali lebih keras untuk memenuhi kebutuhan dua
keluarga. Betapa berat beban pekerjaan ayahnya untuk bisa berlaku adil.
Tiba-biba Mona sadar, mengapa dia tidak mencoba memandang sudut yang
menyenangkan dari dua keluarga yang dimiliki ayahnya. Mengapa dia tidak mencoba
belajar berbagi kasih dengan Mesi yang jelas dia pun pasti sama menderitanya
dengan dirinya kalau saja mereka memandang keadaan keluarga mereka dari sudut
yang tidak menyenangkan.
Selama ini dia sering merasa iri melihat keharmonisan Mesi dengan ayahnya.
Dia tidak melihat, betapa semua itu bukan dilakukan tanpa sengaja. Keharmonisan
itu tidak terjalin begitu saja. Ada upaya dari diri Mesi dan ayahnya untuk
menciptakan keharmonisan itu. Mesi bisa menjalin keharmonisan dengan
ayahnya karena Mesi selalu menempatkan ayahnya pada posisi yang
terhormat, sebagai kepala keluarga, sementara dirinya terus memupuk rasa benci
pada ayahnya dan tak pernah berhenti menuduh ayahnya sebagai sumber penderitaan
ibunya padahal ibunya telah lama memaafkan ayahnya dan menerima kenyataan
dimadu. Sekarang Mona sadar, dia pun bisa menjalin keharmonisan dengan ayahnya
andai saja dia mau melakukannya. Ayahnya sudah berupaya sejak dulu untuk
menciptakan keharmonisan dengan dirinya seperti yang dilakukan ayahnya kepada
Mesi. Namun selama ini dia selalu menutup pintu hatinya kepada ayahnya. Dia
tidak mau membuka pintu hatinya kepada ayahnya dan hanya memupuk kebencian demi
kebencian kepada ayahnya. Mungkin baru sekarang Tuhan membukakan pintu hatinya
kepada ayahnya.
Ketika ayahnya sakit, Mona menunggu ayahnya. Dia ingin meminta maaf atas
segala kesalahan dirinya. Malam-malam
Mona melihat ayahnya terbangun. Mona duduk disamping ayahnya dengan mata berlinang.
”Maafkan aku, ayah.”
“Tidak apa-apa, Mona. Ayah selalu memaafkanmu.” Ayah tersenyum.
”Selama ini sikapku sering membuat ayah kecewa.......”
Ayah mengelus kepala Mona. ”Ayah
memahami gejolak perasaanmu. Kau memang
berhak membenci ayah tapi ayah selalu berdoa agar kau dibukakan hatimu untuk
mau menerima ayah apa adanya. Ayah menyayangimu, juga menyayangi Mesi. Kalian
berdua tetap darah daging ayah. Andaikan ayah disuruh memilih mana yang paling ayah sayangi antara kau dan
Mesi, jelas ayah tidak akan bisa memilih. Kalian berdua adalah darah daging
ayah, jiwa ayah, semangat ayah. Ayah bangga pada kalian berdua. Kau punya
kelebihan dan kekurangan, Mesi pun sama memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan dan kekurangan kalian tetap menjadi bagian dari diri ayah karena
darah yang mengalir pada kalian berdua adalah darah daging ayah. Salinglah
mencintai karena bila ayah dan ibu kalian sudah tidak ada lagi kau hanya
memiliki seorang saudara yaitu Mesi.
Demikian pula Mesi, dia hanya memiliki kamu, Mona.”
Mona menghapus airmatanya. Kata-kata ayahnya terasa menyentuh perasaannya.
“Ayah mencintai kalian berdua, Mesi. Bila ayah diminta memilih, mana yang
lebih baik bagi ayah, apakah dirimu
ataukah Mesi, ayah tidak akan bisa memilih.” Suara ayah tersendat,
membuat airmata Mona semakin deras mengalir. ”Karena cinta dan kasih sayang
ayah kepada kalian berdua sama besarnya. Sama berat timbanganhya. Ayah berharap
kalian berdua bisa saling menerima, saling menyayangi karena kalian adalah dua
bersaudara, anak ayah, meski lahir dari
ibu yang berbeda.”
Seminggu ayah dirawat dirumah sakit ketika dokter mengijinkan pulang Mona
ikut menjemput ayahnya. Bersama Mesi, Mona menggandeng tangan ayah menuju mobil yang akan membawa
pulang. Mona berjanji akan bersikap lebih baik.
Jangan sampai suatu saat nanti dia menyesali perbuatannya. Ayah seolah merasakan perubahan sikap Mona
kepadanya. Berkali-kali ayah tersenyum walaupun mukanya masih nampak pucat.
”Terima kasih ya, Mon.”
--- 0 ---
“Liburanmu kali ini akan kita isi dengan umroh bersama, Mon.” kata ayah.
Mona menatap ayahnya. “Umroh? Ke Mekah?”
“Tentu saja ke Mekah. Memangnya umroh kemana?’ sahut ayahnya sambil
tersenyum lebar. “Bagaimana? Senang, kan?”
“Tentu saja.” Sahut Mona ragu.
Ayahnya seakan menangkap keraguan
dimata Mona. Hariman tersenyum. “Masih
banyak waktu untuk belajar mempelajari bacaan-bacaan doa. Melakukan umroh pasti
akan memberikan pengalaman yang berharga untukmu.”
Mona tersenyum. Namun senyumnya agak memudar ketika ayah melanjutkan kembali kata-katanya. “Kita
berlima yang akan berangkat. Mesi dan ibunya ikut serta.”
“Dengan Mesi?”
Apakah perjalanan ini akan menyenangkan? Pikir Mona.
Ini kali pertama dia akan melakukan perjalanan bersama-sama dengan Mesi.
Pernah dulu letika mereka masih duduk
dibangku sekolah dasar, ayah merencanakan akan jalan-jalan ke Bali. Mesi dan
ibunya diajak ikut serta. Namun karena Mona tidak mau akhirnya acara wisata itu
batal. Jadinya malah membuat Mona semakin kesal karena liburannya jadi
dihabiskan dirumah saja karena ayah marah dengan sikap Mona yang keras kepala.
Bila sampai dia mengulang lagi kejadian dulu, tidak menutup kemungkinan ayah akan kembali marah. Lagi pula bukankah
waktu dirumah sakit, ketika sedang sama-sama menjaga ayah, Mona telah melihat
sebuah hikmah ketika dia melihat perhatian Mesi kepada ayah yang begitu besar pada saat dirinya justru selalu bersikap
memusuhi ayah. Bukankah saat itu Mona seolah telah disadarkan bahwa Mesi adalah
saudaranya yang baik dan diapun telah berjanji akan menerima Mesi? Mona
menghela napas. Mesi tulus menyayangi dirinya. Dia tidak ingin menyia-nyiakan ketulusan Mesi
kepadanya.
“Kenapa bareng dengan Mesi?” tanya
Mona.
“Lho, memang kenapa kalau barengan dengan Mesi?” ujar Mirta. “Bukankah menyenangkan melakukan perjalanan
bersama-sama? Apalagi umroh. Pasti lebih menyenangkan apabila kita melakukannya
bersama-sama sekeluarga. Mudah-mudahan Allah memberikan rakhmat dan hidayah-Nya
kepada kita semua, kepada keluarga kita.”
Mona menggerutu dalam hati, tidak
berani terus-terusan memperlihatkan sikapnya
yang mendadak ingin
uring-uringan. Kesal tidak juntrungan.
Ibunya menatap Mona serius. “Ingatlah sewaktu papa terbaring sakit dirumah
sakit. Bukankah dari sakitnya papa itu kau bisa mengambil hikmah yang besar?
Bagaimana kau melihat perhatian Mesi kepada papa pada saat kau selalu bersikap
memusuhi papa?”
Mona menatap ibunya. Mendadak hatinya
merasa malu namun dia merasa enggan mengakuinya walaupun kepalanya
mengangguk pelan. “Ya.” Ujarnya lirih.
“Ya, apa?” tanya ibunya.
“Ya, aku mendapat hikmah yang besar pada saat papa sakit.”
“Hikmah apa yang kau rasakan?”
Mona menatap ibunya. “Mama benar, Mesi adalah saudaraku yang baik.
Seharusnya memang aku sejak dulu bisa menerima dia sebagai saudaraku.”
Ibunya tersenyum senang sambil memeluknya. “Mama percaya padamu. Kau bisa
berubah dan bersikap dewasa.”
Mona tersenyum tipis. Ibunya memeluknya semakin erat. “Mama percaya Mesi
tulus menyayangi dirimu. Jangan sia-siakan semua itu. Allah telah memberimu
seorang saudara yang baik yang siapa tahu suatu saat kelak engkau akan sangat
membutuhkan kehadirannya.”
--- 0 ---
“Aku akan berangkat umroh liburan
ini.” Kata Mona pada Indri. Mereka duduk dibangku taman kota yang
dinaungi payung besar sambil makan baso
tahu dan es campur. Orang-orang lalu
lalang didepan mereka. Udara terasa panas.
“Oh, ya? Syukurlah. Bersama siapa?”
“Sekeluarga.”
“Mesi ikut?”
“Tentu saja.”
Indri tersenyum menatap Mona. “Nampaknya hubunganmu dengan Mesi sekarang
sudah baik, ya?”
Mona tersenyum. “Yah, kira-kira begitulah.”
“Sebenarnya poligami yang dilakukan ayahmu masih jauh lebih baik bila
dibandingkan dengan poligami yang dilakukan ayahku.” Ujar Indri. Dia menaruh
piring baso tahu yang telah habis dan mengucek-ngucek es campurnya.
“Ayahmu
berpoligami juga?” Mona menatap Indri tak percaya.
“Ya.”
Indri mengangguk pelan. “Hal ini sudah terjadi sejak lima tahun lalu. Ayahku
menikah lagi.”
Mona
tertegun. Dia baru tahu sekarang kalau
ayah Indri berpoligami seperti ayahnya.
Sudah sejak kelas satu dia berteman baik dengan Indri, namun tak pernah
diketahuinya bila ayah Indri berpoligami. Lagi pula selama ini Indri tidak
pernah bercerita tentang keluarganya, apalagi tentang ayahnya yang berpoligami.
Indri selalu nampak kalem dan tenang. Sudah beberapa kali Mona main kerumah
Indri dan bertemu dengan ibunya Indri. Dia melihat sebuah kehidupan keluarga
yang wajar. Ibunya Indri baik dan ramah. Tak pernah disangkanya bila ternyata
wanita cantik itu hidup dimadu seperti ibu. Ona tidak pernah menangkap ada
gurat kesedihan diraut wajah cantik itu. Tak pernah kelihatan ada duka pada
wajah yang selalu nampak berseri itu. Betapa pandainya ibunya Indri
menyembunyikan perasaannya.
Mendadak
wajah Indri menjadi muram. “Ayahmu melakukan poligami sebelum kau lahir sementara ayahku melakukan poligami setelah aku dan ketiga
adikku besar.” Ucap Indri lirih. Matanya berkaca-kaca.
“Aku baru
duduk dibangku SMP kelas satu ketika pertama kali aku mengetahui ayahku telah menikah lagi dengan seorang
janda beranak dua. Anaknya yang sulung seusia dengan aku. Kedua anak tirinya
perempuan. Dari perkawinan itu ayah tidak memiliki lagi putera namun kedua anak
tirinya sepenuhnya menjadi tanggungan ayah. Aku merasakan ayah lebih
cenderung kepada istri keduanya karena
istri mudanya itu banyak membantu usaha ayah sehingga lebih berkembang
dibandingkan dulu. Terus terang kondisiku jauh lebih menderita bila
dibandingkan dengan situasi yang kau
alami. Mon, aku melihat ayahmu tidak lebih cenderung kepada salah satu dari dua
keluarga yang dimilikinya. Sementara situasi yang kualami terasa jauh lebih
menyakitkan. Ibuku sudah lama sakit-sakitan, mungkin karena alsan itulah atau mungkin masih banyak alasan lain yang membuat
ayahku menikah lagi. Ibuku pernah menuntut cerai karena tidak mau dimadu namun
ayahku tidak mau menceraikan ibuku. Menurut ayah, apa jadinya dengan kehidupan
ibu dan anak-anak jika mereka bercerai karena
ibuku hanyalah seorang ibu rumah
tangga saja yang tidak memiliki keahlian apapun untuk mencari nafkah andaikan ibuku bercerai dengan
ayah. Jadi dengan kesadaran bahwa ini adalah suratan takdir, akhirnya ibuku
bertahan dan merelakan ayah berpoligami. Kenyataan ini sangat menyakitkan bagi
ibuku, juga bagi aku dan adik-adikku
yang mulai memahami bahwa cinta, kasih sayang dan perhatian ayah akan terbagi,
tidak utuh lagi untuk kami sekeluarga. Namun apa lagi yang harus kulakukan
karena akupun tak bisa merubah keadaan ini.”
Indri
menghapus air matanya. “Aku ceritakan hal ini kepadamu agar matamu terbuka,
engkau masih harus lebih bersyukur andaikan engkau mau membandingkan kehidupanmu
dengan kehidupan yang kualami. Kita sama-sama merasakan menderita memiliki ayah
yang berpoligami namun bagaimanapun dalam pandanganku kehidupanmu masih jauh lebih baik dari aku.”
“Secara
pribadi aku menolak poligami karena aku sudah merasakan sendiri bagaimana
kehidupan poligami itu.” Kata Indri lagi. “Poligami yang kupandang dari sudut
pandang aku berkaca dari pengalamanku sendiri, bagaimanapun dalam
berpoligami selalu ada pihak yang
teraniaya dan didholimi. Bagaimana poligami
berdampak pada kejiwaan anak-anaknya.
Poligamipun membuat perilaku anak bisa berubah secara drastis.
Sisi, adikku nomor dua semula adalah
anak yang paling penurut dan paling manja kepada ayah. Ketika usianya semakin
bertambah, ketika dia sudah semakin memahami posisi ayah yang berdiri diantara
dua keluarga, dia berubah menjadi anak yang sangat membenci ayah dan selalu
menganggap ayah sebagai sumber penderitaan ibuku, dirinya, kakak dan
adiknya. Dia selalu menganggap perkawinan ayah dengan istrinya yang
kedua telah menimbulkan sederetan penderitaan. Belum lagi dengan beban perasaan
malu yang seringkali membebaninya ketika dia sedang berada ditengah-tengah
teman-temannya yang memiliki keluarga yang utuh. Sisi, atau mungkin kita juga
masih memiliki penilaian bahwa berpoligami masih belum bisa diterima dan
dianggap sebagai sebuah kewajaran dalam kehidupan berumah tangga. Sisi, kita
bahkan mungkin sebagian masyarakat kita masih
memiliki anggapan bahwa keluarga yang bahagia adalah sebuah keluarga yang hanya terdiri dari seorang ayah, seorang ibu ibu dengan anak-anaknya.”
Mona
menitikan airmatanya. Dipeluknya Indri.
Dia dapat merasakan bagaimana perasaan Indri. Dia dapat merasakan kesedihan
yang memancar dari sepasang mata Indri yang nampak berkaca-kaca ketika bertutur
tentang kisah dirinya. Dia seakan mengetahui didalam batin sahabatnya ini ada hati yang
retak yang mungkin sulit untuk pulih kembali.
Indri
tersenyum. “Kau bisa mengambil hikmah
dari apa yang terjadi dalam kehidupanku. Kau masih harus bersyukur bahwa walaupun
ayahmu berpoligami namun ayahmu masih
tetap memperhatikanmu walaupun kau harus berbagi dengan Mesi. Namun Mesi adalah
darah daging ayahmu. Mesi adalah saudara
seayah denganmu. Sementara yang terjadi padaku, ayahku lebih cenderung kepada
kedua anaknya yang bukan darah dagingnya sendiri. Mereka anak tirinya. Namun
ayah seolah menganggap keduanya anak kandungnya. Sementara keempat anak
kandungnya sendiri terlantar. Ini fakta. Aku selalu belajar untuk menerima dan
memendam rasa kecewa ketika kurasakan ayah tidak bisa bersikap adil.”
Mona
menghapus airmatanya. “Ya, aku bersimpatik denganmu, Indri.” Ujar Mona. “Kau
gadis yang hebat, Indri. Kau seorang gadis yang kuat dan tabah. Kau
jauh lebih kuat dari aku. Oh, tidak. Aku tidak bisa membandingkan aku dengan drimu. Aku malah rapuh. Aku lemah. Selama ini
yang kulakukan hanyalah keluh kesah saja. Tak pernah aku berpikir, masih banyak kebahagiaan dan
kesenangan lain yang kurasakan andai aku tidak selalu berpikir buruk pada
ayahku. Yang kulihat melulu
rasa kecewaku karena ibuku berbagi suami dengan wanita lain. Dan itu
karena ayahku kawin lagi.”
Indri
tersenyum.
“Masa
depan kita masih panjang. Mungkin ibu kita harus menderita merasakan cinta yang
terbagi namun siapa tahu kehidupan kita jauh lebih baik. Siapa tahu
suatu saat nanti kita akan mendapatkan seorang suami yang hanya memiliki satu cinta, cinta
untuk kita saja.”
“Bagaimana dengan dirimu, apakah engkau
membenci ayahmu seperti Sisi yang
membenci ayahmu?” tanya Mona.
Indri
menggeleng. “Tidak, aku tidak membenci ayahku. Aku sudah cukup dewasa untuk
menyikapi permasalahan yang terjadi dalam keluargaku. Awal mulanya aku memang
tidak bisa menerima dengan apa yang telah dilakukan ayahku. Yang kunilai
mengkhianati ibuku dan membuat kemelut dalam keluarga kami. Namun aku mencoba
menerima kenyataan ini. Andaikan aku membenci ayahku, memberontak dan prustasi
aku akan menambah deretan masalah yang sudah ada sementara masa depanku masih panjang. Masih banyak yang
bisa kuraih untuk masa depanku. Aku mencoba berfikir jernih. Jauh lebih baik
ayahku menikahi wanita itu daripada ayahku berzinah dengan wanita itu.
Setidaknya perkawinan itu telah mencegah ayahku dari berbuat dosa.”
Mona
terdiam. Ayahnya menikah lagi karena ingin memiliki keturunan setelah sepuluh
tahun berumah tangga dengan ibunya belum juga dikarunia anak. Andaikan dari
perkawinan dengan ibunya ayahnya langsung mendapatkan anak mungkin ayahnya tidak berfikir untuk
melakukan poligami. Mona melihat ayahnya sangat menyayangi ibunya. Namun
ternyata rasa sayang dan cinta ayah kepada ibunya tak sanggup menahan ayahnya
untuk tidak berpaling poada wanita lain manakala ayah memiliki kepentingan lain
dalam hidupnya.
“Indri,
kau hebat, kau jauh lebih tabah dari aku.”
Indri
tersenyum. “Aku memang harus tabah. Kalau aku tidak tabah dan menyadari bahwa ini
sudah suratan nasib yang mau tak mau
harus kuterima, apa lagi yang bisa
kulakukan. Aku juga memiliki tiga orang adik. Aku harus bisa menjadi sumber
kekuatan bagi adik-adikku. Aku harus bisa memberi contoh kepada mereka bahwa
hidup adalah sebuah perjuangan. Sepahit apapun kehidupan yang kami jalani, kami
harus tetap melangkah. Kami harus tetap memikirkan masa depan kami. Menyongsong
kehidupan yang jauh lebih baik dari kehidupan kami sekarang. Apakah itu ada atau tidak ada ayah berkumpul
bersama-sama kami namun kami harus tetap
melangkah. Kami harus memikirkan masa depan kami nanti. Kalau aku selalu
berfikir negatif, penderitaan ini pasti akan terasa lebih menyakitkan. Bukankah
kalau kita mendapakan luka pada tubuh kita luka itu akan terasa lebih sakit,
lebih pedih, lebih berdenyut, apabila kita terus menerus memperhatikan luka
itu, tidak mengobatinya dan tidak bisa mengalihkan pikiran kita pada hal-hal lain? Seperti itulah kita-kira apa yang
kulakukan untuk memupus kesedihan dan penderitaan yang kurasakan dengan
kehidupanku. Aku belajar, aku mengisi waktu dengan kegiatan-kegiatan yang berguna untuk masa depanku. Selalu
kutanamkan dalam hatiku, aku tidak boleh menyerah dengan kondisi yang kualami ini. Ayah memang berpoligami yang
menimbulkan rasa sakit dalam hatiku namun aku tetap harus bersyukur bahwa aku masih memiliki ayah. Ada banyak
anak, ribuan, jutaan bahkan mungkin tidak terhitung jumlahnya, anak-anak yang
menderita karena tidak punya ayah, kehilangan ayah bahkan yang tidak mengenal
sosok ayahnya sama sekali. Semua itu adalah cerita-cerita kehidupan yang bukan
hanya kita lihat dalam sebuah sinetron
namun memang nyata ada dalam kehidupan sehari-hari.
Aku tetap ingin berpikir jernih. Aku tetap ingin menjaga semangatku, juga semangat
adik-adikku. Aku dan adik-adikku adalah masa depan keluarga, juga yang menjadi
tumpuan harapan ibuku selama ini. Bila aku rapuh, gagal dan prustasi, bagaimana
jadinya aku bisa memberikan semangat kepada ketiga adikku agar mereka kuat dan mau
terus melangkah. Selalu kutekankah pada ketiga adikku agar mereka rajin belajar
dan bisa mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Dengan bekal ilmu pengetahuan yang cukup mereka akan bisa menggenggam masa depan mereka yang lebih
baik. Selalu kutekankan pada ketiga adikku, andaikan ayah sudah tidak bersama
kita lagi namun kita tetap masih memiliki ibu yang harus kita jaga dan kita kasihi. Untunglah
ketiga adikku memahami apa yang menjadi harapanku pada mereka. Sisi memang
nampak terpukul ketika pertama kali mengetahui ayah menikah lagi, namun setelah
lewat setahun dia mulai rajin sekolah
lagi, mau belajar lagi dan nilai-nilai pelajarannya yang sempat anjlok mulai membaik lagi. Juga kedua adikku yang
lain, Doni dan Saskia. Mereka melihat aku justru sebagai sumber semangat mereka.
Diusiaku sekarang, aku memang sudah
menanggung beban yang cukup berat, namun aku berusaha menjalani semua ini
dengan penuh ketabahan. Kubuka pikiranku, dunia
ini luas dan lebar. Masih banyak kesempatan
yang mungkin masih bisa kuraih andai aku
dan ketiga adikku berpegangan tangan dengan erat dan melangkah bersama-saam
menuju masa depan kami.”
“Aku
simpatik dengan nasibmu. Kau tak pernah bercerita tentang hal ini sebelumnya
kepadaku.”
“Mon, apa
yang menyakitkan saat ini mungkin suatu saat akan memberikan hikmah yang besar
buat hidup kita kelak. Aku selalu berdoa dan berharap semoga Allah kelak
memberiku jodoh seorang lelaki yang seutuhnya
hanya mencintaiku.”
Mona
menatap Indri. “Aku pun berharap begitu.
Mendapatkan seseorang yang cintanya hanyalah untukku. Mungkinkah?”
“Mengapa
tidak?”
--- 0 ---
Semula
Mona menganggap sebatas angin lalu. Namun lama kelamaan hatinya terasa panas
juga mendengarnya. Mona mendengar bahwa
Bono membicarakan dirinya. Bahwa yang membuat Bono tidak bisa sungguh-sungguh
mencintai Mona karena orangtua Bono
tidak menyetujui hubungannya mereka gara-gara ayahnya punya dua isteri. Ayah
Bono, Cakrasasmita, sangat menentang poligami.
Mona
merasa tersinggung mendengar desas-desus itu. Dia pertama kali mendengar tentang hal itu dari Linda, yang nampaknya merasa enggan
menyampaikannya lagi kepada Mona karena tahu Mona akan marah dan tersinggung. Rasa marah dan tersinggung itu
langsung memancar pada raut wajah Mona usai Linda bercerita.
”Aku
mendengarnya dari Yusron. Teman sekelas Bono.” kata Lina. ”Aku tadinya tidak
akan menyampaikan hal ini kepadamu, Mon. Namun daripada kau dbohongi Bono yang
nampaknya tulus mencintaimu padahal
sebenarnya dia menyembunyikan konflik keluarganya yangmenentang hubungan kalian.”
”Aku
berterima kasih kau sudah menyampaikan semua itu kepadaku.” kata Mona. ”Aku
sedang jadi tahu, ternyata Bono hanya memaksakan diri menjalin hubungan
denganku.”
Aku harus
punya harga diri, pikir Mona. Jangan sampai keluarga Bono melecehkan aku karena
ayahku punya dua isteri. Memangnya aku
ini apa? Pikir Mona. Mana mau aku harga diri dan kehormatanku diinjak-injak
Bono dan keluarganya. Enak saja keluarganya memvonis tidak setuju kepadaku.
Hanya karena bapakku memiliki dua isteri. Apa karena hal itu keluarga Bono bisa
seenaknya memperlakukan aku? Mona jadi uring-uringan sendiri. Ketika tanpa
sengaja bertemu Bono dijalan sepulang sekolah,
Mona tak bisa menahan emosinya.
Tanpa basa-basi, dia langsung memarahi Bono.
”Kalau
mau putus, ya putus saja. Tak perlu kau dan keluargamu menghina aku sedemikian rupa seolah aku ini adalah
manusia yang tidak ada artinya dimata keluargamu.” kata Mona separuh berteriak
karena kesal.
”Ada apa,
nih?” tanya Bono yang nampak belum mengerti utara selatan tibur barat apa yang menjadi sebab Mona nampak marah seperti
itu.
”Kau! Kau
yang menjadi sebab aku merasa marah dan tersinggung seperti ini.” sahut mona
marah. Dia kelas melihat raut wajah Bono yang nampak tidak mengerti mengapa dia
marah. Kenapa Bono harus berpura-pura? Padalah kerahannya sudah sampai
diubun-ubun kepalanya. Ubun-ubunnya terasa panas mengepul.
”Serius,
Mon. Aku tidak mengerti apa yang terjadi.”
kata Bono.
”Pura-pura,
kau!” bentak Mona.
”Lho,
kenapa aku harus pura-pura kalau memang
kenyataannya aku tidak tahu apa-apa.”
”Kau
bilang pada teman-temanmu bhawa
keluargamu tidak seatuju dengan hubungan
kita karena ayahku berpoligami. Karena ayahku memiliki dua isteri. Itu yang aku
dengar dari teman-temanmu.”
”Teman-temanku
yang mana? Kenapa sih kau tiap kali
mendengar pembicaraan orang selalu saja terpancing emosi?”
”Lho, apa
yang diucapkan keluargamu tidak setuju kepadaku, jelas membuatku marah dan tersinggung. Apa
memang gadis yang berasal dari keluarga yang tidak berpoligami jauh lebih baik
daripada gadis yang ayahnya berpoligami?”
”Keluargaku
tidak pernah mengeluarkan penyataan semacam itu. Siapa yang bicara begitu
kepadamu?”
”Temanku
bilang, Yusron yang bicara begitu pada teman-teman sekelasmu. Aku malu.”
”Brengsek!”
gerutu Bono. ”Kau harus waspada. Dia sejak dulu naksir kamu. Dia hanya
mengada-ada agar kau marah kepadaku.”
Sesaat
Mona terdiam.
”Jadi......”
”Jadi
apa?”
”Jadi sebenarnya bagaimana? Apakah semua itu tidak
benar?” tanya Mona.
”Kau
lebih percaya kepada siapa? Kepadaku atau kepada Yusron?”
Mona
terdiam. ”Tentu aku lebih percaya kepadamu.”
ujar Mona.
”Percayalah
kepadaku atau pacarai Yusrin kalau kau lebih percaya kepada dia.” Kata Bono.
Mendengar
ucapan Bono, Mona merasa panas lagi hatinya.
”Tutup
mulutmu!” Bentak mona marah. ”Pacaranlah denganku dan
perlakukan aku dengan baik atau tinggalkan aku sendirian.”
”Memangnya
kau sendiri bagaimana? Mulanya kau selalu mengabaikan aku seolah-olah tidak tertarik
kepadaku, lalu kau berubah menjadi
burung merpati seolah jinak mendekatiku dan melirikku, dan sekarang
ketika kau mendengar berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya, kau berubah galak seperti macan.”
Mona dan
Bono saling menatap dan terpaku. Lalu tiba-tiba Bono menstarter motornya dan meninggalkan Mona. Mona terpaku menatap
kepergian Bono. Dia berharap Bono akan berhenti dan menunggunya. Namun sia-sia
saja. Motor Bono berbelok dan menghilang dari pandangan. Mona merasa sedih. Dia
memanggil seorang tukan becak yang lewat. Dengan wajah murung, Mona duduk
didalam becak. Tanpa diketahui Mona, ketika becaknya lewat, Bono yang
bersembunyi dibalik tikungan, memperhatikan punggung gadis itu dari belakang
becak.
--- 0 ---
“Mon,
lihat! Itu Bono!”
Mona
melihat pada arah yang ditunjuk Mesi. Diantara anggota rombongan yang tergabung
dengan biro perjalanan umroh dan haji PT Samudra, dia melihat Bono bersama
dengan kedua orang tua dan tiga kakaknya, ketiganya laki-laki. Tepat pada saat itu Bono pun
tengah melihatnya. Setengah ragu Mona tersenyum seraya melambaikan tangannya.
Rasanya canggung mengajak senyum duluan pada Bono. Maunya jaga gengsi. Tapi apa
boleh buat, harus ada salah seorang yang mengalah. Tidak mungkin dia bertahan
seperti Bono sama-sama menahan diri untuk mengajak senyum dan berbaikan lagi.
Ternyata Bono membalas senyumannya. Malah melenggang santai mendekati Mona dan
Mesi.
“Hai!”
sapa Bono. “Berangkat umroh juga, ya? Sama-sama dong!”
Mona
merasakan tatapan Bono yang bersahabat. Tidak ada wajah kaku yang seolah
menyimpan benci.
Pemuda tinggi ganteng yang pada saat itu pun sedang berdiri mematung
menatapnya adalah Bono. Beberapa saat mereka hanya berpandangan. Mendadak Mona
ingat dengan pertengkaran mereka. Dia sudah menyakiti pemuda itu. Oh, masih ingatkah Bono dengan pertengkaran
mereka? Masihkah Bono menyimpan dendam dihatinya kepada dirinya? Mona masih
ingat, saat itu wajah Bono kelihatan
marah dan tersinggung meskipun tidak satu patah katapun yang terucap dari
bibirnya. Bono tidak membalas dengan mengeluarkan kata-kata lain kepada Mona.
Bono hanya diam. Namun Mona tahu, Bono marah dan tersinggung. Mungkin juga
sakit hati. Dan dendam. Perasaan Mona terasa bergetar. Malu rasanya ketika
melihat cara pemuda itu menatapnya.
Bibir Bono menyunggingkan seulas senyum. Dengan mengenakan baju koko
putih dan celana warna krem serta kopiah putih,
Bono kelihatan menarik
sekali.
“Hai!” Mona melambaikan tangannya.
Bono tersenyum, sebelum melangkah mendekati Mona.
“Aku tidak mengira akan bertemu dengan kau disini.” Kata Mona sambil
menyalami Bono. “Aku tidak tahu kau
akan umroh juga.”
“Aku sudah mendengar kau akan berangkat umroh.” Ujar Bono.
“Kau tidak cerita akan berangkat umroh, Bon.”
“Ayahku yang mendadak merencanakan keberangkatan ini. Aku juga diberitahu
mendadak, menjelang keberangkatan. Membuat paspor pun serba mendadak.”
“Dengan siapa kemari?”
“Kedua orang tuaku dan tiga kakakku.”
Hilang sirna rasa permusuhan diantara mereka. Dia senang Bono wajar
memperlakukan dirinya. Tidak kelihatan bahwa Bono menyimpan sakit hati atau dendam kepadanya. Tidak kelihatan Bono masih ingat dengan
pertengkaran mereka.
Aku berjanji akan bersikap baik pada Bono, kata Mona dalam
hati. Dan tidak akan mudah terpancing
gosip.
“Bon, maafkan aku, ya.”
Bono tersenyum. Kelihatan tulus. “Minta maaf untuk apa?”
Mona menatap Bono malu. “Atas kekasaran sikap dan kata-kataku kepadamu
dulu.”
Bono tersenyum. “Aku sudah memaafkan
kamu, Mon. Kau tak perlu khawatir. Tapi aku perlu memberi nasehat kepadamu.
Mulutmu jelek sekali. Kalau sedang emosi, mulutmu luar biasa jeleknya. Seperti
bukan anak sekolahan. Seperti bukan anak dari keluarga baik-baik. Berubahlah.
Kau kelihatan manis dan menawan bila mulutmu baik.”
Mona merasa trenyuh dinasehati seperti itu.
Ditatapnya Bono dengan malu-malu. “Bon, kenapa kau baik kepadaku? Kenapa
kau tak menggubris kekasaranku kepadamu?”
Lama sekali Bono menatapnya. Mulutnya berkata pelan. “Aku sangat sayang
kepadamu, Mon. Hanya saja engkau selalu tak percaya kalau aku sangat
menyayangimu.”
Mentari
seakan menghangatkan seluruh tubuhnya. Mona ingin menangis. Tapi dia hanya
menatap Bono dengan terharu. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya yang terasa panas
dan basah. Ya Allah, terima kasih. Aku percaya Bono menyayangiku.
--- 0 ---
Mesi menelepon akan main kerumahnya.
”Oke.” sahut Mona.”Kutunggu, ya.”
Mona sedang tidur-tiduran ketika Mesi datang. Mesi langsung masuk kekamar
Mona.
”Aku membuatkan cake pisang untukmu.” kata Mesi sambil menaruh dus berisi
cake pisang diatas meja belajar Mona. ”Dicoba, ya. Kau pastiu suka.”
”Hm, baunya harum. Pasti enak rasanya.” Ujar Mona. Dia keluar kamar
mengambil pisau. Mesi memotong-motong cake itu. Mona mengambil sepotong dan
menggigitnya.
”Kau pintar membuat cake. Rasanya enak dan lembut.” puji Mona.
“Aku sudah mencoba membuat resep itu tiga
kali. Baru setelah ketiga kali membuat cake pisang itu aku berhasil mendapatkan hasil yang enak.
Kalau kau suka, nanti aku buatkan lagi.” Ucap Mesi.
Diluar kamar, Mirta mendengarkan obrolan kedua gadis itu. Mirta senang Mesi sekarang sering datang
berkunjung. Wanita itu melihat Mona sudah berubah sikapnya terhadap Mesi. Didalam hatinya wanita itu bersyukur anak gadisnya sudah
berubah, sudah bisa menerima kehadiran Mesi dalam hidupnya. Semoga hati Mona
terbuka untuk selamanya. Dia dapat merasakan selama ini Mesi selalu
berusaha membuka hati Mona agar mau
menerima kehadirannya. Nampaknya baru
sekarang hati Mona terbuka untuk menerima Mesi.
Mona mengajak Mesi bercakap-cakap dikamarnya seperti kebiasaannya bila
teman-temannya berkunjung. Dikamarnya mereka bisa lebih leluasa. Pintu yang
menghadap ketaman samping sengaja dibuka agar udara segar bisa masuk.
“Kamarmu menyenangkan” komentar Mesi. “Kau pandai menata kamarmu hingga
tidak saja berfungsi sebagai kamar tidur namun juga menjadi sebuah ruang baca
yang nyaman.”
“Oh, ayah yang memiliki ide ini pada mulanya. Dari pada ayah menyediakan
dua ruangan untukku, kamar tidur dan ruangan baca, lebih baik kedua ruangan ini
dijadikan satu. Tadinya pintu yang
menghadap ke taman samping ini juga tidak ada, tapi ayah membuatnya
dengan maksud agar udara segar dari taman tidak hanya lewat jendela saja tapi
sekali-sekali bisa masuk melalui pintu ini kalau aku membukanya.”
“Ya, ayah memang pandai menata ruangan. Dirumah pun ayah yang mengatur
letak perabotan rumah hingga ruangan terasa lebih nyaman.” Ucap Mesi. Dia
memperhatikan isi lemari buku yang dipenuhi dengan novel-novel yang rapi
berderet didalam lemari kaca.
“Rupanya kau juga senang membaca, Mona.” Kata Mesi.
“Ya, aku memang hobi membaca sejak masih di sekolah dasar. Buku-buku
koleksiku sudah banyak, namun sayang ada sebagian yang hilang. Sebagian
dipinjam teman tapi tidak dikembalikan lagi. Padahal buku-buku itu adalah
sebagian dari koleksi bukuku.”
“Aku juga senang membaca sejak kecil.” Ujar Mesi. “Namun hobiku bukan hanya membaca. Aku juga suka
menari, juga senang membuat kue.”
“Kau pasti sangat pandai mengisi waktumu dengan hal-hal yang berguna.”
Ujar Mona.
Mesi tersenyum. “Apa yang kita lakukan dan kita pelajari saat ini pasti
akan berguna untuk hidup kita esok hari.”
Mesi kelihatan cantik mengenakan blouse ungu muda dengan jeans. Ponselnya
berbunyi pelan. Ada sms masuk. Mesi
membaca sms itu. Bibirnya tersenyum kecil.
“Dari siapa?” Tanya Mona mendadak ingin tahu.
“Trisna.” Sahut Mesi terus terang.
“Dia mengucapkan selamat aku dan kau akan berangkat umroh bersama-sama.”
Mona hanya tersenyum. Nama Trisna sudah tidak ada pengaruhnya lagi baginya.
Walaupun Mesi yang menyebut nama itu.
“Kapan kau mengajak Trisna kemari?” Tanya Mona.
“Boleh aku mengajak Trisna kemari?” Tanya Mesi. Bibirnya tersenyum.
Mona tersenyum. “Kau harus mengenalkan calon iparku itu kepadaku, kan?”
Mesi tersenyum. “Iya, nanti aku akan mengajak Trisna kemari. Dia pasti
senang bisa bertemu denganmu.”
Mona hanya tersenyum biasa-biasa saja. Tidak ada setrum apa-apa lagi.
Semuanya telah berlalu. Dia tidak menyesali apa yang telah terjadi antara
dirinya dengan Trisna. Hidup manusia kadangkala seperti sebuah cerita. Suatu
saat apa yang telah terjadi dimasa lalu akan jadi kenangan atau jadi
pengalaman.
Mona menoleh pada cermin besar dikamarnya.
Mona melihat bayangan dirinya dan Mesi pada cermin itu. Ya, dia dan Mesi memiliki beberapa persamaan
yang menunjukan mereka masih saudara. Postur tubuh mereka hampir sama. Kulit
merekapun sama, putih susu. Mata ayah yang bulat melekat padanya, tapi dagu
ayah mirip dagu Mesi. Mona jadi tersenyum dalam hati.
“Kenapa?” Tanya Mesi ketika melihat Mona tersenyum menatap bayangan mereka
dicermin.
“Aku sedang berfikir, kadang aku melihat bayangan ayah pada diriku, tapi
aku juga kadang melihat kau pun memiliki kemiripan dengan ayah.”
Mesi tersenyum. “Ya, Allah menciptakan kita pasti membawa sifat-sifat atau
ciri-ciri dari orang tua kita. Aku juga suka berfikir begitu. Kadang aku mirip
dengan ibuku, tapi seringkali kudapati ciri-ciri
ayah pada wajahku.”
“Dagumu paling mirip dengan dagu ayah, Mesi.” Kata Mona. “Eh, apa benar
dagu ayah dulu yang membuat banyak wanita tergila-gila pada ayah. Kalau begitu
kau harus hati-hati Mesi, jangan-jagan yang membuat kau digilai banyak laki-laki
karena dagumu yang terbelah itu.”
Mesi tertawa mendengar kata-kata Mona. “Ada-ada saja kau ini.”
Mesi memberikan sebuah bungkusan lain kepada Mona.
“Aku membelikanmu hadiah.” Kata
Mesi.
“Hadiah apa?”
Mona membuka bungkusan yang diberikan Mesi. Dia berseru riang. “Oh, Mesi.
Mukena yang bagus sekali. Ada rendanya, bagus sekali. Aku malu. Selama ini
sholatku masih bolong-bolong.”
“Aku membelikan itu karena aku tidak tahu apa yang bisa kuberikan kepadamu.”
Ujar Mesi. “Kau sudah memiliki segalanya yang kau inginkan.”
“Kau keliru. Kehidupanku biasa saja. Aku tidak selalu memiliki apapun yang
aku inginkan. Justru sekarang setelah aku dekat denganmu aku
memiliki sesuatu yang selama ini tak
pernah kumiliki.” Mona menatap Mesi.
Mesi membalas tatapan Mona. “Apa
itu?”
Mona beranjak menuju jendela. Dia melihat keluar kamar. Hujan baru saja
berhenti. Udara terasa sejuk dan segar. Mona melihat pelangi melengkung indah dilangit dengan
warna warni indah bagaikan sebuah lukisan dilangit yang biru.
“Seorang saudara.” Ujar Mona perlahan.
“Ya, baru sekarang setelah aku dekat denganmu aku merasa memiliki saudara yang
selama ini kudambakan. Selama ini hidupku selalu terasa sunyi dan sepi. Aku
punya sahabat yang baik, Indri, Helen, Osi. Tapi jelas berbeda antara memiliki
sahabat dan memiliki saudara. Mesi, aku sekarang sadar, mengapa aku tidak bisa
menerima dirimu sebagai bagian dari diriku? Mengapa aku menutup mata dari
sesuatu yang aku dambakan selama ini yang sebenarnya sudah lama diberikan Allah
kepadaku. Selama ini aku sering merasa sunyi dan kesepian padahal hanya tiga
bulan setelah aku lahir di dunia ini, Allah telah memberikan saudara yang
selama ini aku dambakan.”
Mesi berdiri disamping Mona.
“Maafkan aku, Mesi.”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Mona. Allah memberi kesempatan kepada kita
untuk mensyukuri apapun yang diberikan oleh Allah untuk mengisi hidup
kita. Awalnya kita enggan bersyukur dan tidak menyadari rakhmat dan karunia
yang diberikan Allah ke[ada kita, namun
dengan perjalanan waktu dan liku-liku kehidupan
Allah membukakan mata kita. Dari
dulu aku mencintai dan menyayangimu, Mona. Aku tak pernah merasa kau saudara
tiriku. Kita memang lahir dari ibu yang berbeda, Mona. Namun ayah kita sama.
Bapak Hariman Ginanjar. Darah yang
mengalir dalam tubuh kita juga sama. Namun mengapa kita tidak bisa bersatu?
Kau anak tunggal bapak dan ibu Mirta,
aku juga anak tunggal bapak dan ibuku.
Kalau kau pernah merasakan kesepian dalam hidupku, aku pun mengalami hal yang sama sepertimu. Setiap
hari kalau aku tidak ada kegiatan, aku
sering termenung dan teringat kepadamu. Sejak kecil kalau aku punya makanan,
aku selalu ingin membagi dua makanan itu denganmu. Bertahun-tahun lamanya hidup
rukun dan akur denganmu adalah impianku. Dan aku bersyukur, sekarang Allah telah
membukakan mata hati kita semua untuk
melihat kepincangan dalam hubungan kita
ini menjadi suatu ikatan persaudaraan
yang kuat. Aku bahagia sekali, Mona. Tak pernah kurasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya.
Langit diatas sana seakan mendadak menjadi
begitu cerah dan aku melihat duniaku makin luas dengan seorang saudara yang
cantik dan baik sepertimu. Aku bahagia sekali, Mona, memiliki seorang kakak dan
saudara sepertimu.”
Mona tersenyum. Matanya bertatapan dengan Mesi. Keduanya sama-sama mengulum
senyum.
Mona melihat kembali kepada pelangi yang samar-samar masih nampak,
melengkung indah di cakrawala. “Lihatlah pelangi itu, Mesi!”
Mesi mengikuti pandangan Mona, menatap pelangi yang melengkung indah dengan
warna-warna yang menarik.
“Pelangi itu kelihatan begitu indah.” Ujar Mona. “Pelangi itu bagaikan
sebuah lukisan indah yang menghiasi langit yang biru. Demikian pula
persaudaraan kita. Seperti sebuah pelangi. Hidup akan terasa lebih indah
bila penuh dengan warna dibandingkan
apabila kita hanya sendirian saja yang membuat hidup kita terasa sepi sendiri.”
Mesi mengangguk, namun tidak berkata apa-apa.
Ketika Mesi pamitan akan pulang, Mona teringat sesuatu.
”Tunggu, jangan pulang dulu.” kata Mona.
”Ada apa?” tanya Mesi.
Mona mengajak Mesi ke gudang. Dia mengumpulkan buku-buku yang sudah tidak
pernah dibacanya lagi, menumpuk di gudang tertutup debu tebal.
”Aku ingin menyumbangkan buku-buku ini untuk sanggarmu.” kata Mona.
”Terima kasih.” sahut Mesi.
Mereka berdua memasukan buku-buku itu kedalam karung. Mesi memilih
buku-buku mana yang akan dibawanya dan
menyisihkan buku-buku yang tidak akan dibaca oleh anak-anak didesa. Mesi sudah bisa berbuat untuk orang lain,
pikir Mona. Apa yang dilakukan Mesi sangat berguna bagi anak-anak di desa itu.
Mereka yangsudah kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di bangku
sekolah, tapi tak putus semangat untuk tetap menambah ilmu pengetahuan dengan
jalan membaca. Dengan membaca mereka tetap akan memiliki ilmu pengetahuan.
Mereka anak-anak yang kurang beruntung. Tentu masih banyak anak-anak lain
yang kurang beruntung bisa mengenyam
pendidikan formal.
”Buku-buku yang tidak dibutuhkan, biar dijual ke tukang loak saja.” kata
Mona.
Akhirnya terkumpul dua karung.
”Besok buku-buku itu aku ambil, ya.” kata Mesi. ”Aku tidak mungkin
membawanya sekarang.”
”Oke.” sahut Mona.
Setelah Mesi pulang, Mona berdiri didepan jendela kamarnya. Tatapannya
melayang keluar, pada rerumputan yang basah terkena siraman air hujan, pada
kelopak-kelopak mawar merahnya yang basah dan sebagiannya berserakan
direrumputan. Dia mencoba merenungkan kehidupannya dengan kehidupan Mesi yang
selama ini selalu dicoba dikotak-kotakannya, ketika hatinya tetap tidak bisa
menerima Mesi sebagai sebuah bagian yang
tidak terpisahkan dari kehidupannya.
Sebenarnya kehidupanku masih jauh lebih baik, pikir Mona. Dia teringat
dengan cerita Indri yang juga ayahnya
berpoligami. Mona dapat merasakan dari cerita Indri, bagaimana Indri
nampak menderita bersama dengan
ibunya karena ayahnya lebih
cenderung memprioritaskan keluarga dari
istri mudanya. Mona belajar dari Indri, betapa dia harus mensyukuri apa yang
telah diberikan Allah kepadanya. Bahwa kebahagiaannya memiliki orangtua yang
masih tetap memperhatikannya meskipun harus berbagi.
Mona melihat burung-burung kecil berlindung dibalik dedaunan yang rimbun.
Cicit mereka terasa menyentuh perasaannya. Udara terasa dingin. Angin bertiup
cukup kencang. Ingin rasanya Mona memanggil anak-anak burung itu dan
mengajaknya masuk kedalam kamarnya yang hangat. Mona kembali hanyut dalam
lamunannya. Dia merenungkan dirinya. Juga merenungkan cerita Indri yang terasa
menyentuh perasaannya. Poligami bagaimanapun adilnya tetap akan memberikan
dampak pada kejiwaan anak-anaknya. Bagaimana poligami membuat perilaku anak
berubah. Bagaimana poligami membuat seorang anak jadi demikian membenci ayahnya yang dianggap menjadi sumber
penderitaan ibunya, dirinya dan saudara-saudaranya. Poligami membuat sederetan
penderitaan, belum lagi timbulnya perasaaan malu ketika berada ditengah-tengah
masyarakat pada saat poligami masih dianggap sebagai sebuah penyimpangan dalam
sebuah keluarga yang normal.
Mona mencoba mempelajari kehidupan
permaduan orangtuanya. Dilihat dari sisi ibunya maupun dari sisi ibu Teja,
tetap saja tidak ada pihak yang merasa diuntungkan dan memiliki kehidupan yang
lebih nyaman dibandingkan dengan yang lainnya. Posisi manapun yang ditempati
seorang wanita dalam sebuah permaduan tetap tidak menyenangkan, tidak merasa
posisi mereka jauh lebih baik. Selalu ada perasaan yang dikorbankan. Selalu ada
ketidaknyamanan yang sangat mengganggu perasaan mereka yang sesungguhnya,
apakah posisinya sebagai istri pertama ataupun sebagai madu.
Mona belajar dari ibunya betapa berat menjadi isteri pertama ketika dirinya
seolah dipaksa menerima kenyataan harus berbagi cinta dengan wanita lain. Namun
ibu Teja, sebagai isteri keduapun tidak mudah. Bagaimana dirinya harus sering
mengalah untuk tetap menjaga keharmonisan keluarga mereka. Bagaimana dia harus
sering menahan perasaan, bagaimana dia tidak bisa mengambil waktu, apalagi merampas waktu suaminya pada
saat dia sedang membutuhkan suaminya.
Namun kehidupan terus berjalan. Kenyataannya kehidupan poligami dalam
keluarga mereka tetap berjalan walaupun mungkin kadangkala diisi dengan perasaan
tertekan dari salah satu pihak yang pada saat tertentu harus mau mengalah.
Poligami tetap menjadi bagian dari kehidupan mereka, menjadi sebuah kenyataan
hidup yang tetap harus bisa diterima dan dijalani.
Mona kini menyadari, posisi ayahnya
pun bukanlah sebuah posisi yang mudah, ketika tanggung jawabnya dituntut untuk
bersikap adil kepada kedua keluarga yang dimilkinya. Adil yang tetap terasa
tidak adil ketika masing-masing pihak menuntut ingin diperlakukan sama dan
seimbang. Namun selalu saja ayah merasa bagaimana pun dia ingin memperlakukan
dengan adil menurut perasaan dan pertimbangannya, tetap saja tak bisa
dilaksanakan.
Seharusnya aku mau berubah menjadi lebih bijak dan dewasa, pikir Mona. Dia
ingin belajar menahan egonya. Dia ingin belajar tidak
mengumbar ego dan emosinya. Belajar agar tidak egois dengan
ingin memiliki ayahnya seutuhnya.
Belajar tidak bersikap memonopoli ayahnya. Faktanya, ayahnya bukan hanya
miliknya seorang. Ada Mesi. Ada ibu Teja. Ada keluarga lain yang jelas
membutuhkan ayahnya ditengah-tengah mereka seperti halnya dirinyapun selalu mengharapkan ayahnya hadir
ditengah-tengah dirinya dan ibunya. Dan selama ini Mesi dan ibunya seolah
bersikap mengalah bila dalam waktu bersamaan Mona menginginkan ayahnya ada
bersamanya.
Ini adalah kenyataan, ayahnya memiliki keluarga lain selain keluarganya.
Ada keluarga lain yang menuntut untuk mendapatkan perhatian dari ayahnya. Mona tidak tahu
apakah ibunya jujur atau hanya sekedar untuk menghibur diri, untuk menutupi
diri agar kesedihan hatinya tidak kelihatan oleh orang lain. Namun sampai
sejauh mana ibunya bisa menutupi keadaan hatinya yang sesungguhnya. Sebagai
seorang wanita yang dimadu, tidak mudah bagi Mirta menjalankan peranan itu.
Bukan hanya dilingkungan keluarga tapi juga ketika tengah berada dilingkungan
masyarakat bahwa dirinya bukan sebagai
sosok ibu rumah tangga yang utuh dalam menjalankan peranannya sebagai seorang
istri dan ibu rumah tangga namun sebagai wanita yang harus berbagi dengan
wanita lain. Tak ada pilihan yang menyenangkan dari posisi manapun yang dilihat
Mona. Setiap posisi seakan memiliki
beban dan rasa sakit tersendiri. Semuanya memerlukan ketabahan hati.
Namun sekarang Mona bisa mengambil hikmah. Dalam kehidupan berpoligami bagaimana untuk menyatukan dua keluarga yang
memiliki latar belakang yang berbeda.
Poligami ketika berhasil mampu menciptakan suatu keluarga yang harmonis
dimana antara dua keluarga yang
disatukan mampu menciptakan keserasian dan keselarasan. Dibanding Indri, bagi
Mona situasinya lebih menguntungkan dimana bentuk perhatian, kasih sayang dan
materi dari kedua orangtuanya tidak berkurang meskipun ayahnya jelas memiliki
dua keluarga yang menuntut perhatian dan tanggung jawab sama besarnya.
Sekian lama Mona merasa dirinya terbelenggu oleh emosi dan egonya. Sering
dia merasakan sisi kosong dalam
hidupnya. Dia menyadari ada yang kurang dalam hidupnya. Matanya sekarang seakan
terbuka ketika dia melhat bahwa sikap
Mesi selama ini selalu menunjukan kasih sayang kepada dirinya, tak pernah Mesi
menunjukan sikap bahwa Mona adalah orang lain. Mesi sejak kecil selalu bersikap
mengalah, menunjukan kedewasaan dirinya, bahkan dia seolah selalu menunjukan
bahwa andaikan mereka bersatu, mereka bisa saling memberikan kasih sayang.
Mungkin ini adalah hikmah yang bisa diambilnya. Dia mulai menyadari bahwa
pada akhirnya manusia menyadari bahwa
akhir dari semua yang mereka lakoni mestinya adalah perjalanan mencari ridho
Allah, perjalanan dalam mendapatkan ridho dan kasih sayang Allah….. Kedengkian,
iri, buruk sangka semua adalah sifat-sifat manusia yang biasa ada dalam hati
siapapun. Mona banyak belajar betapa
membentuk pribadi yang baik itu tidak mudah. Bagaimana dia harus memerangi
emosi-emosi dirinya. Bagaimana dia harus mengendalikan segala letupan-letupan
emosi dan nafsu dirinya. Walaupun usianya terus bertambah namun kenyataannya
kedewasaan itu bukan sesuatu hal yang mudah untuk dilakukan.
Dari diri Mesi pun Mona bisa belajar mengambil sebuah pelajaran ketika dia
mencoba menempatkan dirinya andaikan dia menjadi Mesi. Mesi nampak bahagia
memiliki ayah dan ibu yang sungguh sangat menyayanginya namun dibalik
kebahagiaan itu selalu ada sesuatu hal yang terasa pincang. Kepincangan itu
karena dia tetap tidak bisa menjadi bagian dari keluarga ayahnya seutuhnya.
Betapa ada batas pemisah antara dirinya dengan keluarga ayahnya yang lain,
sesuatu hal yang tetap tak bisa
ditembusnya meskipun sudah belasan tahun mereka sudah menjadi bagian dalam sebuah keluarga. Mesi melihat dan dapat
merasakan ayahnya sudah berusaha untuk merangkul mereka dalam sebuah pelukan
hangat ayah mereka, namun Mona tetap menolak
untuk bersatu. Mona tak ingin mereka menjadi satu keluarga. Mona
merasa ayah adalah mutlak milik dirinya. Kebaikan dan perhatian Mesi
selama ini tak pernah ditanggapi Mona bahkan Mona seakan kesal dengan semua
yang dilakukan Mesi. Mendadak air mata Mona mengalir merenungkan semua itu.
Betapa berat beban perasaan Mesi selama ini dalam upayanya meraih hatinya. Mesi
memiliki keahlian membuat kue. Dia berjualan kue. Mengerjakan dibantu beberapa
orang pembantu. Kehidupan prihatin menuntut Mesi bersikap dewasa. Dia tidak
banyak menuntut, lebih banyak bersikap menerima apa adanya. Mesi belajar untuk
mandiri.
Mesi juga belajar dari kehidupan yang dijalani ibunya, sebagai isteri kedua. Bukan sesuatu hal yang
mudah bagi Teja menjalani semua itu. Meskipun dia sudah menyadari, banyak resiko
yang akan ditanggungnya. Sejak awal dia menerima Harisman sebagai suaminya.
Kehidupan yang dijalani ibunya telah membuat perasaan Mesi lebih peka dibanding
anak-anak lainnya yang memiliki kehidupan berkeluarga yang normal, dalam
pengertian, memiliki satu ayah dan satu ibu. Mesi belajar bagaimana ibunya
sering menahan perasaan dengan berbagai kecaman yang ditudingkan oleh
lingkungannya. Dari apa yang dilihatnya
sejak kecil yang membuat perasaan Mesi nampak leboh sensitif, lebih pela.
Mungkin karena kondisi yang tercipta sejak
masa kecilnya itu yang telah membentuk kepribadian Mesi nampak halus dan mudah
tersentuh.
--- 0 ---
Akhirnya
hari keberangkatan mereka tiba juga. Didalam pesawat Mona duduk berdampingan
dengan Mesi. Sejak keberangkatan Mesi sangat perhatian pada Mona dan selalu
berusaha membuat Mona merasa nyaman bersamanya. Sikapnya nampak tulus, tidak
dibuat-buat, apalagi dipaksakan. Dalam hati Mona mengakui, Mesi memang sangat
baik. Dia seorang saudara yang baik. Mesi pun sangat rapi dan teratur. Dari
cara berpakaian, makan dan sikapnya sangat rapih dan santun. Kadang Mona merasa
terkesan dengan sikap Mesi. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang seringkali
bersikap seenaknya dan serampangan.
Selama perjalanan Mesi selalu berusaha menjaga sikap dan ucapannya agar
tidak ada yang menyinggung perasaan Mona. Mona dapat merasakan kehati-hatian
sikap Mesi kepadanya. Dari sejak keberangkatan mereka dari Sumedang, Mona melihat betapa damainya hubungan antara
ibunya dan ibu Teja. Tidak nampak ada permusuhan, persaingan untuk mendapatkan cinta
dan kasih sayang suaminya, tidak ada kebencian, ataupun sikap ego ketika
keduanya bersama-sama. Yang ada
adalah keharmonisan antara dua wanita
yang nampak berusaha saling menjaga sikap, saling menghormati, saling
menghargai. Semestinya sejak dulu aku belajar dari mama dan Ibu Teja, pikir
Mona. Mengapa aku tidak bisa membuka hatiku pada Mesi walaupun Mesi sudah
sering mengetuk pintu hatinya agar mau dibuka, dan tatapan Mesi seolah berkata,
”Bukalah pintu hatimu untukku, Mona.
Perjalanan yang semula diragukan Mona akan
menyenangkan, ternyata senang juga melihat sikap Mesi kepadanya. Mengapa
dia tidak mencoba menerima Mesi sebagai bagian dari hidupnya? Mengapa dia tidak
belajar mencintai Mesi seperti halnya yang telah dilakukan Mesi bertahun-tahun
lamanya bahkan hampir disepanjang hidupnya. Tanpa kenal lelah selalu berusaha
merengkuhnya. Dia ingat sejak kecil Mesi selalu mendekatinya, membagi makanan
yang dimilikinya, sementara dirinya, jangankan untuk berbagi, menoleh pun dia
tidak sudi. Padahal apa yang salah dari Mesi? Gadis itu begitu manis dan
lembut. Wajah cantiknya selalu menyiratkan ketulusan dari tatapan matanya,
senyumannya, sikapnya dan gerak-geriknya. Gadis itu yang disangkanya telah
merebut kasih sayang dan perhatian ayahnya, padahal memang sebenarnya Mesi
berhak mendapatkan semua itu. Dia berusaha memadamkan kebanggaan dihati ayahnya
karena memiliki Mesi. Padahal ayah mana
yang tidak merasa bangga memiliki seorang putri seperti Mesi. Bahkan
Trisna pun, laki-laki yang dicintainya, terang-terangan memuji
Mesi. Ah, mengapa gadis itu seakan tidak ada cacat dimata orang lain? Mona sadar,
Mesi seorang gadis yang pandai membawakan dirinya. Dia selalu memperlihatkan
hal-hal positif yang menyenangkan orang lain dari dalam dirinya dan pandai
menyembunyikan kekurangannya. Andai aku bisa seperti Mesi, tentu aku pun bisa
menjadi seorang gadis yang menyenangkan, pikir Mona.
--- 0 ---
Selama dalam pesawat Mona tertidur. Entah berapa lama dia tidur.
Ketika membuka matanya dan menoleh
keluar jendela, dia melihat warna kecoklatan mendominasi pemandangan
dibawahnya. Gurun yang luas dan bukit-bukit
tandus. Pikiran Mona melayang pada cerita-cerita yang pernah dibacanya tentang peziarah-peziarah di Timur Tengah
yang melintasi gurun sambil menuntun unta-unta mereka. Sebentar lagi pesawat akan segera tiba
ditempat tujuan. Ya Allah, aku datang kerumah-Mu, bisiknya dalam hati. Semoga
Engkau memberkahi kedatanganku ini.
Akhirnya pesawat mendarat dengan mulus di Bandara King Abdul Aziz yang
hampir bersamaan waktunya dengan adzan magrib. Beberapa saat lamanya pesawat
berputar-putar diatas landasan. Turun dari pesawat rombongan dibawa dengan bis
menuju ke terminal. Cukup lama mereka antri menunggu pemeriksaan paspor dan
visa. Setelah selesai pemeriksaan paspor dan visa, dua buah bis telah menunggu
rombongan jemaah dari PT Samudra yang
akan membawa rombongan ke Madinah.
“Alhamdulilah, akhirnya sampai juga
kita ketanah suci.” Ucap Mesi lagi
ketika bis telah melaju diatas jalanan kota Jeddah yang mulus.
“Ya, akupun merasa seperti mimpi rasanya. “ sahut Mona.
Mona melayangkan tatapannya keluar
jendela, Mesi melihat kejalanan yang dilalui bis. Pemandangan disepanjang jalan
kota Jeddah diwaktu malam kelihatan indah diterangi lampu. Menurut Ahmad, salah seorang pemandu yang berada
dalam bis yang ditumpangi Mona dan Mesi, makam Siti Hawa berada di kota Jeddah
ini. Oleh karena makam beliau inilah maka kota ini disebut Jeddah yang
dalam bahasa arab Jiddah, artinya nenek perempuan.
Mona termangu-mangu menatap keluar jendela. Dia melihat pohon kurma
berderet disepanjang jalan, kelompok pepohonan yang dari kejauhan mirip pohon
kelapa sawit.
“Itu pasti pohon kurma, ya? Kan pohonnya mirip pohon kelapa sawit.”
“Ya.” Sahut Mesi. “Pemandangnya indah, ya?”
Sambil memperhatikan jalanan, Mona kembali hanyut dalam lamunannya. Selama
ini dia tak pernah berpikir akan pergi ke tanah suci diusianya saat ini. Dia tak dapat membayangkan, bacaan dan doa
apa yang akan diucapkannya ditanah suci. Bacaan shalat pun masih sering
menimbulkan keraguan dihatinya, apakah
sudah benar doa dan bacaan shalat yang diucapkannya? Begitu pula dengan membaca
kita suci Al Qur’an. Waktu dia masuk duduk di sekolah dasar, seminggu dua kali
setiap sore ibunya memanggilkan guru ngaji kerumah. Namun dia sering merasa
malas bila guru ngaji datang kerumah. Sekarang dia merasa menyesal, andai dulu
dia tekun belajar membaca Al Qur’an, barangkali dia sekarang sudah lancar
membaca Al Qur’an. Untunglah ibunya bijak. Ibu membelikan kaset-kaset penuntun
bacaan Al Qur’an. Dari kaset-kasei itu kemarin Mona mempelajari kembali membaca kitab suci.
Ternyata ketika mempelajari itu dilakukan dengan senang hati, pelajaran membaca
Al Qur’an yang semula terasa berat, jadi terasa menyenangkan. Mona
mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Dan berjanji akan menjadikan membaca Al
Qur’an sebagai kebiasannya setiap hari. Aku bangga menjadi seorang muslim,
pikir Mona.
--- 0---
Hari telah larut malam ketika rombongan jemaah tiba di kota Madinah. Kota
yang termasuk haramain, dua kota suci
disamping kota Mekkah. Ketika bis melintas mesjid Nabawi, mata Mona terpaku
menatap mesjid yang nampak gemerlap diterangi ribuan cahaya lampu yang
berkilauan. Hotel Bapaqih Palace tempat mereka menginap selama berada di Madinah, berada diseberang jalan
mesjid Nabawi. Rifa dan Ninuk, karyawati
PT. Samudera segera
membagi-bagikan kunci kamar hotel kepada anggota rombongan. Rifa dan Ninuk selalu paling sibuk mengurus jemaah sejak
keberangkatan dari Bandung hingga kedatangan mereka ke tanah suci ini. Mona dan
Mesi mendapat kamar dilantai tiga. Mirta dan Teja sekamar dilantai dua.
Sementara Harisman sekamar dengan Ahmad, pemandu rombongan di kamar lantai
empat.
“Sekarang kita istirahat dulu. Nanti
shubuh aku bangunkan. Kita datang lebih awal agar bisa shalat tahajud di
mesjid Nabawi.” Mesi meletakan tasnya disamping tempat ditidur.
“Aku capek sekali. Habis mandi aku mau langsung tidur.” Kata Mona.
“Sama aku juga capek.” Ujar Mesi. Dia mengeluarkan barang-barangnya dari
dalam tasnya. “Sebaiknya kita mandi
dulu. Kau mau mandi duluan?”
“Kamu saja duluan, aku mau tidur-tiduran dulu sebentar. Uh, penat rasanya.”
Ucap Mona. Dia membaringkan tubuhnya
diatas tempat tidur. Tangannya meraba selimut yang berbulu lembut dan
halus yang membuatnya ingin tidur.
Mesi mengambil bajunya dari dalam koper. Sebuah baju model terusan panjang berwarna ungu muda. Cukup lama dia
mandi. Keluar dari kamar mandi wajahnya
nampak segar.
“Enak benar berendam di air
hangat. Tubuhku jadi segar lagi.”
Katanya sambil membuka bungkus rambutnya. Rambutnya yang panjang hitam
tergerai.
“Rambutmu bagus sekali.” Puji Mona. “Sayang rambut seindah itu ditutup
kerudung terus sehingga orang tidak bisa melihat keindahan rambutmu. Kau nampak
lebih cantik dengan rambut terurai begitu.”
Mesi tersenyum. “Aku malah merasa lebih cantik dengan mengenakan jilbab.”
Ujarnya. “Awal mau mengenakan jilbab aku juga sering memperhatikan rambutku
ini. Memang rasanya sayang ditutup. Namun setelah mengenakan jilbab aku malah
merasa lebih nyaman menutup rambutku. Soal keindahan rambutku, biarlah orang
merasa penasaran dengan keindahan rambutku yang tersembunyi dibalik jilbabku.”
Mona tersenyum mendengar ucapan Mesi.
--- 0 ---
Langit masih gelap. Mona dan Mesi
keluar dari dalam hotel. Mereka berjalan kaki menuju masjid Nabawi yang berada
tidak jauh dari hotel. Udara kota Madinah di bulan desember terasa dingin.
Angin bertiup cukup kencang. Mona dan
Mesi sudah mengenakan mukena. Dibalik mukena mereka masih mengenakan sweater
untuk menahan rasa dingin yang cukup menggigit. Mereka juga mengenakan kaus
kaki tebal. Orang-orang mulai
berdatangan menuju mesjid. Menurut
Ahmad, meskipun bukan musim haji, Madinah dan Mekkah tetap banyak dikunjungi
kaum muslimin dari berbagai negara untuk mengerjakan umroh, meskipun memang tidak sepadat ketika
musim haji besar.
Keduanya memasuki mesjid Nabawi. Mona mengagumi kemegahan meshid itu. Mereka
mengambil tempat dekat tiang, duduk pada
karpet merah yanga menutupi lantai masjid. Waktu untuk melaksanakan shalat
shubuh masih cukup lama sehingga masih banyak waktu untuk melaksanakan shalat
tahajud. Mesi langsung mendirikan shalt tahajud. Mona mengikuti Mesi melaksanakan shalat tahajud. Mona tahu bahwa
mengerjakan shalat malam adalag sunat. Namun hingga usianya sekarang, berapa
kali dia pernah mengerjakan shalat malam. Banyak waktunya yang disia-siakannya
begitu saja. Semua gara-gara satu penyakit, pikir Mona. Penyakit malas. Malas
bangun malam. Malas berwudhu. Malas mengingat Allah. Aku ingin berubah. Ya
Allah, bantulah aku agar aku bisa menjadi seorang muslim yang baik.
Setelah selesai keduanya duduk berdikir, sambil menunggu
shalat shubuh tiba. Orang-orang semakin banyak yang memasuki masjid menjelang
berkumandangnya adzan shubuh. Orang-orang seperti tidak ingin kehilangan kesempatan
melaksanakan shalat shubuh berjamaah dimesjid ini, pikir Mona, yang
konsentrasinya buyar memperhatikan orang-orang yang terus berdatangan memasuki
masjid dan mulai memadati mesjid. Orang-orang sepertinya tidak ingin kehilangan
kesempatan untuk melaksanakan ibadah di mesjid, pikir Mona yang konsentrasinya
buyar memperhatikan kaum muslimin yang terus berdatanagn memasuki mesjid dan
semakin memadati mesjid. Bahkan tidak
sedikit kaum ibu yang menuntun anaknya yang masih kecil dan menggendong bayi
mereka. Mereka semua seolah haus dan dahaga untuk melaksanakan ibadah kepada Allah. Mereka seolah takut kehilangan satu
kesempatan shalat berjamaan di mesjid
ini. Mata Mona tidak berhenti memperhatikan orang-orang disekitarnya. Sementara
aku, pikir Mona, separuh meringis, betapa sulitnya aku mendirikan shalat, begitu banyak waktuku yang terbuang percuma tanpa kusadari bahwa
waktu adalah sesuatu yang sangatberharga yang diberikan Allah kepada umat-Nya.
Kenapa aku tidak mencoba memulai dari sekarang untuk berubah? Pikir Mona. Aku
masih memiliki banyak waktu dan
kesempatan untuk berubah, memperbaiki diri dan memanfaatkan setiap waktu yang kumiliki untuk melakukan hal-hal
yang berguna.
Setelah selesai melaksanakan shalat shubuh
Mona dan Mesi keluar dari mesjid.
“Kita kembali dulu ke hotel untuk makan pagi, ya.” kata Mesi.
Hari masih pagi namun Madinah mulai ramai. Pedagang sudah menggelar
dagangannya. Wanita-wanita berkulit hitam dengan jubah hitam dan cadar
hitam yang menutupi bagian hidung hingga
leher sibuk menjajakan dagangannya kepada jemaah yang baru pulang dari mesjid.
Didepan hotel pun banyak pedagang yang mengelar dagangannya. Suasana ramai. Matahari bersinar cerah namun
udara Madinah terasa sejuk dan segar.
Ketika mereka masuk kedalam restoran, yang terletak dilantai pertama hotel,
sudah banyak anggota jemaah dari biro perjalanan PT. Samudera yang tengah makan pagi. Sebagian
lagi masih parasmanan mengambil makanan. Makanan yang disajikan adalah masakan indonesia.
Menurut Rifa, makanan untuk mereka selama di Madinan dan Mekkah dipesan dari
katering milik orang Indonesia yang telah lama bermukim di Madinah dan memiliki
usaha menyediakan jasa katering bagi biro-biro perjalanan umroh dan haji yang
selalu ramai sepanjang tahun.
“Kita sudah diberi banyak kenikmatan oleh Allah dan nikmat itu akan semakin
bertambah pada saat kita tengah menghadap kepada-Nya, mensyukuri apa yang
telah diberikan-Nya kepada kita dan
memuji nama-Nya dengan hati tulus dan ikhlas.” kata Mesi setelah mereka duduk berhadapan dimeja
makan. Di meja lain, ayah dan ibu-ibu mereka pun sedang makan. Pagi.
“Kau pasti rajin berdoa, ya?” ujar
Mona.
Mesi tersenyum. “Berdoa itu laksana samudera yang bisa mencapai setiap
sudut pantai kebutuhan manusia. Dengan berdoa sudah mencakup apapun yang kita
inginkan, baik yang kita ucapkan maupun yang kita pendam dalam hati.”
Mesi bangkit dari tempat duduknya
dan mengambil buah-buahan. Dia kembali dengan dua piring kecil masing-masing
berisi anggur dan buah pir.
“Anggur ini manis sekali.” Kata Mesi sambil menyodorkan salah satu piring
kehadapan Mona.
Mona mengambil sebutir anggur. Benar, anggur ini manis sekali namun yang terasa
lebih manis lagi adalah sikap Mesi kepadanya. Ah Mes, kenapa baru sekarang
kusadari manisnya memiliki saudara sepertimu? Mengapa selama ini aku sulit
membuka pintu hatiku untukmu, Mes?
Padahal engkau bisa menjadi
seorang saudara yang baik bagiku sekaligus
sahabatku. Mona teringat dengan hari-harinya selama ini yang sering
merasa kesepian meskipun dia memiliki beberapa sahabat yang baik dan perhatian.
Namun kehadiran sahabat tetap tidak bisa mengisi ruang kosong dalam hatinya
dengan kehadiran seseorang yang memiliki
hubungan batin dengan dirinya. Andaikan sejak dulu dia menoleh kepada Mesi, merengkuhnya
dalam sebuah ikatan persaudaraan mungkin
Mesi tidak saja sebagai saudara namun juga bisa menjadi teman sekaligus
sahabatnya yang baik, yang bisa menjadi tempat berbagi dikala suka dan duka.
Setelah selesai makan pagi pemandu mengumpulkan anggota jemaah rombongan
untuk berangkat bersama-sama berziarah ke makam Rasululloh saw, sahabat Abu
Bakar Ashhiddiq dan Umar Ibnu Khathab ra yang terletak dimesjid Nabawi. Didepan
makan Rasululloh saw yang dibatasi dinding untuk jemaah wanita, dipenuhi
peziarah. Mereka melaksanakan shalat sunat dua rakaat disana. Setelah selesai
berziarah rombongan kembali ke hotel.
Setelah selesai makan pagi, Ahmad mengumpulkan rombongan jemaah.
“Kita sekarang berangkat bersama-sama berziarah ke makam Rassululloh saw.
Juga berziarah ke makam sahabat nabi Abu Bakar Ashhiddiq dan Umar bin Khattab ra yang terletak di
mesjid Nabawi.”
Didepan makam Rasululloh saw yang dibatasi dinding untuk jemaah wanita,
tempat itu dipenuhi peziarah. Anggota jemaah melaksanakan shalat sunat dua
rakaat g disana. Setelah selesai berziarah rombongan jemaah pulang kembali ke
hotel.
Mesi mengajak Mona jalan-jalan ke pasar yang letaknya tidak jauh dari
hotel. Keduanya bergandengan tangan menelusuri jalanan menuju pasar, keluar
masuk toko melihat barang-barang yang dijual disana.
“Mari teteh, ceuceu, mangga kalebet. Mangga ditingalan heula
barang-barangnya, acuk, kurudung, gamis, seueur rupina, seueur modelna,
sadayana sarae, lalucu. Mangga kalebet heula.” Seorang pedagang tersenyum ramah
pada Mesi dan Mona ketika keduany baru akan melangkah memasuki sebuah toko
pakaian.
“Eh, dia bisa bahasa sunda.” kata Mona. Jauh-jauh pergi ketanah Arab ternyata
ketemu juga dengan orang yang bisa bicara bahasa sunda.
“Banyak orang
sunda yang berdagang disini, ada yang dari Garut, dari Tasikmalaya dan kota-kota
lainnya ditanah air.” Kata pedagang itu sambil tersenyum lebar. “Saya sendiri
berasal dari Garut. Sudah lima tahun saya bermukim di Madinah, berdagang
pakaian disini.”
“Wah, boleh menawar, dong! Kan masih saudara sadulur.
Sama-sama dari Pasundan. Saya dari Sumedang.” Kata Mesi riang.
“Boleh.” Kata pedagang itu ramah. “Dilihat-lihat dulu
kedalam, ceuceu, teteh. Masih banyak barang-barang yang bagus didalam. Mangga.
Mangga.”
Mona dan Mesi melihat-lihat baju-baju panjang dengan
segala macam model. Mesi memilih baju gamis hitam dengan sulaman dibagian
depan. Benar saja, pedagang itu tidak terlalu rewel ketika Mesi menawar baju gamis yang
disukainya itu.
“Mes, aku jadi ingat Osi, Linda dan Indri.” Kata Mona.
“Mereka pasti akan menagih oleh-oleh nanti. Antar aku mencari oleh-oleh buat
mereka, ya.”
“Oke.” Sahut Mesi. “Banyak barang yang bisa kau jadikan
oleh-oleh untuk mereka nanti. Tapi apa tidak sebaiknya kau tidak belanja yang banyak-banyak dulu untuk oleh-oleh. Kita masih beberapa
hari lagi berada di Madinah. Lalu selama seminggu kita akan berada di
Mekkah. Kalau kau berbelanja sekarang, nanti kau akan berat sendiri harus membawa barang-barangmu selama perjalanan.
Bagaimana kalau nanti saja di Mekkah, disan banyak barang yang bisa kau pilih
untuk kau jadikan oleh-oleh untuk ketiga sahabatmu itu.”
“Oke.” Ucap Mona, setuju dengan
saran Mesi. “Kita jalan-jalan saja dulu,
ya. Aku malas mau kembali ke hotel sekarang. Mau ngapain kita disana, paling
tidur-tiduran.”
“Ya, kita jalan-jalan sana.”
Keduanya bergandengan tangan, memasuki satu toko ke toko yang lain.
Walaupun tidak berbelanja namun asyik juga cuci mata melihat beragam barang
yang dijual disetiap toko yang mereka masuki. Barang apapun yang mereka cari, tersedia
dihampir semua toko. Mona tertarik melihat aneka macam karpet dengan aneka
warna dan motif. Nanti aku beli satu untuk dikamarku, pikir Mona.
--- 0 ---
Dihari kedua di kota Madinah setelah sarapan pagi mereka berziarah kebeberapa tempat bersejarah
yang ada di kota Madinah. Pertama mereka dibawa ke medan Uhud.
“Uhud adalah nama gunung terbesar di Madinah. Letaknya lima kilometer dari
Madinah. Dilembah gunung ini pernah terjadi peperangan dahsyat antara kaum
muslimin melawan kaum musyrikin Mekah.” Nizar menjelaskan.
Dari medan Uhud rombongan dibawa ke
Khondak, mesjid Quba, mesjid Qiblatain dan mesjid Khomsah dan melaksanakan
shalat sunat di mesjid-mesjid itu. Setiap kali sedang menuju suatu tempat,
Ahmad yang telah sepuluh kali datang ke
tanah suci ini, menceritakan sejarah tempat yang akan mereka kunjungi. Setelah
selesai berziarah rombongan kembali lagi ke hotel. Tapi Mona dan Mesi hanya sebentar masuk kekamar, mereka
lalu kembali lagi jalan-halan keliling kota sambil menunggu waktu shalat tiba.
Keduanya sedang makan dirumah makan
yang terletak dilantai pertama hotel. Menu makanan yang disajikan selalu
bervariasi, namun masih tetap menu masakan Indonesia. Mesi senang ketika
melihat sayur lodeh diantara hidangan yang disajikan.
“Mon, kamu pernah merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta?” Tanya Mesi.
“Tentu saja pernah.” Sahut Mona.
“Apa yang kau rasakan bila kau tengah jatuh cinta?” Tanya Mesi lagi.
Mona menatap Mesi. “Apa maksudmu
bertanya soal iti?”
“Mon, bila kita sedang jatuh cinta, kita pasti ingin selalu bertemu dengan
orang yang kita cintai, kan?” Mesi tersenyum menatap Mona.
“Iya dong, kan namanya juga sedang jatuh cinta.” Mona mengangguk sambil
tersenyum walaupun dia belum faham kemana arah pembicaraan Mesi.
“Lalu kalau sudah sering bertemu, kita ingin selalu berdekatan dengan orang
yang kita cintai, kan?”
Mona mengangguk.
“Nah, begitu pula hubungan kita dengan Allah. Kecintaan kita kepada Allah
tidak akan tumbuh bila kita belum mengenal-Nya. Seandainya kira sering bertemu
dengan Allah, lama-lama kita akan jatuh cinta kepada-Nya. Setelah kita
mencintai Allah, kita pasti ingin sering bertemu dengan-Nya dan dekat
dengan-Nya. Mon, bila kita telah mencintai sang Maha Pencipya, kita akan dapat
melakukan segala perintah-Nya demi kepatuhan Kepada-Nya. Kita tidak akan
merasakan sebagai beban atau sebagai
sebuah keterpaksaan, melainkan suatu kenikmatan yang indah. Sebab bagi orang
yang sedang jatuh cinta mengerjakan perintah kekasihnya tidak akan terasa berat sedikitpun.”
Mesi sabar dan santun. Pembawaannya
tenang. Suaranya lemah lembut. Sikapnya dewasa. Lama lama Mona merasa semakin simpatik pada adik tirinya
ini.
Tanah suci membuat Mona tak
henti-hentinya memanjatkan puji dan
syukur kepada Allah yang telah memberinya nikmat bisa datang ketanah suci
ini. Dia juga mengucapkan syukur kehadlirat Illah Rabbi yang telah memberikan
rejeki yang cukup kepada ayahnya sehingga ayahnya mampu membawa anak istrinya
ke tanah suci ini. Mona merasa terharu. Selama ini ayahnya sudah bekerja keras untuk
menghidupi kedua keluarganya. Sekarang sebagian rejeki itu dipergunakan untuk
membawa kedua keluarganya melaksanakan ibadah umroh. Ayahnya mencintai kedua keluarganya. Tidak
ada yang dibedakan. Namun selama ini Mona seakan selalu ingin membenci
ayahnya. Airmata Mona menitik perlahan. Kenapa aku selama ini selalu berprasangka
buruk kepada ayah? Pikir Mona. Padahal ayah adalah seorang ayah yang baik,
seorang ayah yang mencintai anak, isteri dan keluarganya.
--- 0 ---
Dua hari mereka berada di Madinah. Pada hari ketiga setelah selesai shalat
jum’at di mesjid Nabawi rombongan jemaah berangkat meninggalkan Madinah menuju ke Mekkah. Di perjalanan mereka mengambil miqot
umroh di Bihr Ali dengan berihrom niat umroh. Labbaika Allohima ‘Umratan. Aku
sambut panggilan-Mu ya Allah untuk berumroh.
Hari sudah malam ketika rombongan tiba di Mekkah. Mereka singgah sebentar
di hotel White Flower Hotel yang letaknya tidak jauh dari Madjidil Harram untuk
menyimpan bagasi dikamar masing-masing. Kemudian segera berangkat menuju
masjidil Harram untuk mengerjakan ibadah umroh.
Mona merasakan perasaannya bergetar ketika kakinya melangkah memasuki
masijidil Harram. Matanya terpaku menatap Ka’bah yang nampak begitu kokoh dan
agung. Inilah Baitullah itu, yang selama ini hanya bisa kulihat dalam gambar,
pikir Mona takjub. Dia menatap Ka’bah lekat. Ada perasaan haru, bahagia dan
entah perasaan apalagi yang bergalau menjadi satu dalam hatinya. Tak percaya
rasanya dia sekarang biasa melihat langsung Ka’bah yang dirindukan dan
dikunjungi kaum muslimin dan muslimat dari seluruh pelosok dunia. Mona menahan
debaran dihatinya. Mendadak dia merasa dirinya begitu kecil tiada arti. Ya
Allah, aku datang kerumahMu. Aku
memenuhi panggilan-Mu.”
“Kita akan segera memulai thawaf, mengelilingi Ka’bah tujuh putaran.” Kata
Mesi seperti biasanya memberi lagi penjelasan pada Mona setelah mendengar
penjelasan dari pemandu.
Mona mengangguk. Dia sudah terbiasa mendengarkan Mesi menerangkan kembali
apa yang didengarnya dari pemandu. Mesi
mirip seorang guru pada anak didiknya saja kepadanya, tapi Mona mulai menyukai
cara Mesi memperlakukan dirinya.
Mona melangkahkan kakinya disamping Mesi menuju kearah Ka’bah. Semakin lama
semakin disadarinya, ada kenikmatan
dalam hatinya mengerjakan ibadah kepada Allah. Alangkah nikmatnya berada di
rumah-Mu ini Ya Allah, berkumpul bersama umat muslim sedunia memenuhi
panggilan-Mu, mengerjakan thawaf, rukuk dan bersujud kepada-Mu, ucap Mona dalam
hati.
Tempat mulai thawaf
adalah garis lurus berwarna coklat dimuka
Hajar Aswad. Ketika akan memulai thawaf, Mona mengikuti Mesi mengangkat tangan
kearah Hajar Aswad dan mengecupnya sambil mengucapkan ‘Bismillahi wallohu
akbar.” Dengan nama Allah dan Allah maha besar. Setelah itu
mereka mulai mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran. Mona dan Mesi
bergandengan tangan sementara tangan
yang lain memegang buku panduan
berdoa.
Setelah selesai melaksanakan thawaf mereka lalu berangkat menuju bukit Shafa untuk mengerjakan sa’i, berjalan
tujuh kali diantara bukit Shafa dan bukit Marwah. Perjalanan dimulai dari bukit
Shafa dan berakhir di bukit Marwah. Seperti saat melaksanakan thawaf tadi, pada
saat mengerjakan sa’i pun Mona dan Mesi mengerjakannya bersama-sama.
“Mes, kita mencoba mengecup Hajar Aswad, yuk.” Ajak Mona setelah mereka
selesai melaksanakan tahallul, memotong tiga lembar rambut. Ayah yang memotong
rambut mereka. Setelah tahallul, selesailah pelaksanaan ibadah umroh mereka.
“Ayo.” Sahut Mesi. Bergandengan tangan mereka menuju kearah Kabah. Jumlah orang-orang yang tengah thawaf
sudah mulai berkurang. Mudah-mudahan mereka bisa mengecup batu hitam dari surga
itu. Namun meskipun jumlah jemaah yang melaksanakan umroh tidak sebanyak di
musim haji besar, Mona dan Mesi tetap saja harus berdesak-desakan dengan jemaah
lain agar bisa mencapai Hajar Aswad.
Entah berapa lama Mona dan Mesi berada terhimpit ditengah-tengah jemaah lain. Beberapal kali
mereka hampir mencapai Hajar Aswad dan tiga kali pula tubuh mereka terdesak
kebelakang menjauhi Hajar Aswad. Mesi yang berada dibelakang Mona, terus
mendorong tubuh Mona agar mendekati Hajar Aswad. Mona sudah mulai pening. Dia
tidak tahan berada dalam desakan orang-orang, tubuhnya terhimpit tubuh
orang-orang berwajah Arab yang rata-rata berpostur tubuh tinggi besar. Nafasnya
terasa sesak. Namun Mona merasa tubuh Mesi terus mendorongnya sedikit demi
sedikit semakin mendekati hajar aswad.
Tiba-tiba saja tangan Mona berhasil menyentuh batu putih yang mengelilingi
Hajar Aswad. Mona merasakan Mesi mendorong tubuhnya semakin kuat dan tiba-tiba
saja seorang wanita Arab mengenakan pakaian serba hitam mendorong kepala Mona kearah Hajar
Aswad. Mona merasakan kepalanya terdorong
dengan kuat. Bibirnya mengecup Hajar Aswad. Setengah sadar Mona melihat
Mesi pun berhasil mengecup batu itu. Sesaat kemudian Mesi menarik tangan Mona,
keluar dari desakan orang-orang yang masih berusaha mencapai batu hitam itu.
“Kita sudah berhasil mengecup Hajar Aswad, Mon. Padahal untuk bisa mengecup
batu hitam itu sangat sulit sekali.” Kata Mesi terengah-engah ketika mereka
berdua telah kelaur dari himpitan orang-orang.
“Aku merasa kepalaku tiba-tiba ada yang mendorong pada Hajar Aswad. Tiba-tiba
saja aku sudah mengecup Hajar Aswad.” Ucap Mona.
“Kita beruntung bisa mengecup Hajar Aswad. Penasaran rasanya kalau datang
ke tanah suci tidak mengecup Hajar Aswad.” Kata Mesi lagi.
Keduanya berjalan menuju tempat air zam-zam dan minum air zam-zam. Mereka
berdua terduduk beberapa saat sambil memandang kearah Kabah. Masih banyak
jemaah yang tengah melaksanakan thawaf.
“Kita shalat sunat barengan di dekat Hijr Ismail, yuk.” Ajak Mesi beberapa
saat kemudian setelah merasa cukup beristirahat. Mona mengangguk, mengikuti Mesi.
Mona dan Mesi berjalan menuju Hijr
Ismail didekat Kabah dan melaksanakan shalat sunat. Mereka berdiri didekat Hijr Ismail.
Setelah selesai shalat sunah Mona dan Mesi berjalan keluar dari masjidil
Harram. Langit begitu kelam dan bersih. Udara malam terasa sejuk. Malam itu
Mona dan Mesi berjalan pulang menuju hotel. Perasaan mereka terasa damai dan
sejuk.
Ketika tiba di hotel mereka langsung masuk kedalam restoran untuk makan
malam. Hanya beberapa orang angota
jemaah yang sudah kembali ke hotel. Bahkan ayah dan ibu mereka belum kelihatan.
Mona dan Mesi makan dengan lahap. Keduanya merasa lelah dan lapar.
--- 0 ---
Masjidil Harram penuh dengan jemaah yang akan menunaikan shalat dhuhur.
Mona melangkah sendirian menuju Masjidil Harram. Mesi sudah berangkat lebih
dulu. Mona yang memintanya pergi duluan karena dia baru selesai mandi. Kasihan
bila Mesi harus menunggunya lama.
Didalam mesjid, Mona mencari tempat yang masih kosong. Dia duduk menunggu
shalat. Tanpa sengaja dia menoleh kesebelah kiri, dia melihat Mesi, duduk tidak jauh darinya
sedang khusyu membaca Al-Qur’an. Wajah gadis itu begitu teduh. Belum pernah
Mona menatap Mesi selama ini. Wajah gadis itu yang putih bersih kelihatan
lembut. Matanya dengan bulu-bulu mata yang hitam terpaku pada kitab suci yang
terbuka dipangkuannya. Mona merasakan desiran aneh dalam dadanya. Gadis yang
duduk tidak jauh darinya adalah adiknya. Ya, meskipun usianya hanya berbeda dua
bulan dengannya namun Mesi tetap adiknya, baik dilihat dari usia maupun dari
status ibu-ibu mereka sebagai istri-istri ayah mereka. Entah karena merasa ada
yang sedang memperhatikannya, tiba-tiba Mesi mengangkat wajahnya, menoleh dan
beradu pandang dengan Mona.
”Duduk disini, Mon.” Mesi melambaikan tangannya. ”Disini masih kosong.”
Mona pindah kesamping Mesi. “Apa
yang sedang kau baca?” tanya Mona.
“Aku sedang membaca surat Al Balad.” Sahut Mesi. “Hampir tiap hari aku selalu
berusaha meluangkan waktu agar bisa membaca surat Al Balad.”
“Kau pintar membaca Qur’an. Suaramu merdu, pasti indah sekali bila kau
sedang melantunkan ayat-ayat suci dengan suara keras.”
Mesi tersenyum. “Aku masih belajar membaca Al Qur’an, Mona. Sama sepertimu.
Aku belajar setiap hari sehingga lama-lama aku mulai lancar membaca Al Qur’an.”
Mesi memperbaiki mukenanya. “Kesempatan kita berada di tanah suci ini
sebaiknya kita pergunakan dengan sebaik-baiknya. Kita beruntung, Mona, diusia
kita yang relatif masih muda kita sudah diberi kesempatan oleh Allah untuk
mengunjungi rumah-Nya. Pergunakan waktu dengan sebaik-baiknya, semata-mata
untuk mengingat-Nya.”
Mona hanya mengangguk. Kemarin ketika baru datang ke Mekah, dia langsung
pergi ketoko-toko, membeli oleh-oleh untuk saudara-saudara dan teman-temannya.
Dia bahkan cepat-cepat pergi setelah usai shalat sementara ibunya masih berdiam
di mesjid.
“Kalau kau merasa menderita dengan permaduan ini, jangan kau mengira bahwa
aku lebih bahagia dari dirimu, Mona.” Ujar Mesi. Mereka baru pulang
melaksanakan shalat dhuhur. Keduanya berjalan santai menuju hotel sambil
menikmati keramaian suasana Mekkah.
“Aku sebagai anak dari seorang istri muda, sering harus menahan perasaan
dengan status ibuku sebagai istri muda ayah. Orang kan tidak tahu latar
belakang perkawinan ayah dan ibu. Yang mereka tahu hanyalah ibuku yang
berstatus istri muda. Masyarakat kadang tidak bijaksana dalam menilai status
perkawinan seseorang. Terlepas apakah benar tidak ibuku merebut ayah dari
ibumu, namun tetap saja orang menilai ibuku sebagai tukang merebut suami orang.
Hatiku sering sakit dengan kenyataan ini. Namun aku selalu menyadarkan diriku
bahwa memang kehidupan seperti ini yang harus kujalani. Aku tetap harus
bersyukur bahwa aku masih memiliki seorang ayah yang sangat mencintai dan
menyayangiku. Aku tak pernah menuntut lebih pada ayah karena aku cukup sadar
dengan posisi ibuku yang hanya seorang istri muda. Namun ayah tetaplah seorang
ayah. Beliau tetap mengisi jiwaku dengan kehadiran dan perhatiannya. Aku
memahami bila kau merasa tersaingi olehku, tapi pada saat yang sama ayah benar-benar
bijaksana, bagaimana membagi kasih sayang antara kepadamu dan kepadaku yang
sama-sama darah dagingnya.”
Mona mengangguk. Apa yang diucapkan Mesi semakin membuatnya sadar, dalam sebuah permaduan, tidak ada posisi yang
lebih menguntungkan dan lebih menyenangkan. Dua keluarga tetap memiliki beban
masing-masing. Selama ini dia selalu merasa hidup Mesi lebih menyenangkan.
Namun andaikan posisi itu ditukar, dia menjadi Mesi, barangkali dia akan
menyadari bahwa menjadi Mesi kehidupan yang ditanggungnya lebih sulit dari pada
menempati posisi menjadi dirinya.
--- 0 ---
Mereka berada di Mekkah selama enam hari. Selama berada di Mekkah selain
memanfaatkan waktu untuk beribadah di Masjidil Harram, mereka juga berziarah ke
Jamarat, Padang Arafah, Jabal Rohmah, Masjid Namiroh Mudzdalifah, Mina, Jabal
Tsaur dan beberapa tempat bersejarah lainnya di kota Mekkah. Mona melangkah menuju masjid akan melaksanakan
thawaf wadha. Dia melihat seseorang sedang memperhatikannya. Bono tersenyum
menatapnya. Mona membalas senyumannya.
Bono mendekatinya. “Mon, kau kamu kelihatan lain sekarang.”
“Apanya yang lain?”
“Kamu kelihatan lebih cantik dan anggun dengan pakaian muslim. Sungguh. Aku
serius.”
“Terima kasih.” Kata Mona.
Bono tersenyum. “Pulang ke tanah air nanti, kau jangan membuka lagi
kerudungmu itu. Teruskan dipakai.”
Mona hanya tersenyum. “Ya, aku akan mencobanya.” ujarnya pelan.
Di hari terakhir di Mekkah mereka melaksanakan thawaf wada. Selesai
mengerjakan thawaf wada, ditempat yang lurus kearah pintu multazam, Mona dan
Mesi berdoa dengan khusyu.
Usai mengerjakan thawaf wadha, rombongan bersiap-siap akan berangkat menuju
Jeddah. Sebagian rombongan tinggal di hotel, berkemas-kemas dengan barang
bawaan mereka. Sebagian anggota rombongan
yang lain berkeliling di tempat perbelanjaan membeli oleh-oleh untuk
sanak saudara ditanah air. Dari Jeddah rombongan akan meneruskan perjalanan
menuju Jordania.
Di Jeddah mereka hanya beristirahat sebentar saja sambil menunggu waktu
keberangkatan pesawat yang akan membawa mereka ke Jordania. Sore itu rombongan
dibawa jalan-jalan melihat laut merah. Laut merah yang tercatat dalam sejarah Islam. Mona terkecoh.
Dia mengira yang disebut dengan laut merah adalah air laut itu berwarna merah sehingga dinamai
laut merah. Ternyata seperti air laut biasa. Asin. Bahkan Mona sempat menjilat
tangannya yang dicelupkan kedalam air laut. Setelah puas menikmati keindahan
laut merah, rombongan dibawa berkunjung ke
Ballad, sebuah pusat perbelanjaan
yang megah di kota Jeddah.
Jadwal keberangkatan pesawat ke Jordania sekitar pukul sebelas malam.
Dengan pesawat Royal Jordanian rombongan terbang menuju Jordania. Untuk
kesekian kalinya Mona menikmati perjalanan dengan menumpang pesawat.
Setelah hampir dua jam terbang dari Jedah akhirnya pesawat Royal Jordanian
mendarat di bandara Queen Alia Jordan,. Nma bandara itu diambil dari nama istri
Raja Jordanian yaitu Raja Husein.
Lokasi Jordania berbatasan dengan Saudi Arabia, Iraq, Syria dan Lebanon.
Kota Amman menyambut kedatangan mereka dengan hujan gerimis dan udara
dingin. Dari
Queen Alia Airport
mereka dibawa ke Middle East Hotel dengan bis.
Di hotel itu mereka hanya singgah sebentar untuk menyimpan bagasi dan air
zam-zam yang dibawa dari Mekkah. Mereka hanya membawa beberapa potong pakaian saja.
Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju Palestina yang berbatasan dengan
Jordanian.
Disebelah kiri dan sebelah kanan jalan
sepanjang jalan dari kota Amman menuju ke perbatasan Palestina
pemandangan didominasi oleh pertanian. Lalu lintas di kota ini tidak begitu
ramai. Mobil-mobil lain yang berpapasan dengan bus yang mereka tumpangi
kira-kira hanya sepuluh menit sekali. Udara
terasa segar.
“Bagus, ya pemandangannya.” Mesi
yang duduk dekat jendela tak puas-puasnya memandang
keluar jendela yang buram oleh udara yang lembab dan dingin. Perkebunan anggur di kiri kanan jalan merupakan pemandangan yang indah
sekali. Pemandangan perkebunan anggur
kemudian berganti dengan
pemandangan padang rumput yang tak kalah menawannya. Mona sangat menikmati setiap pemandangan yang
dilihatnya.
Ketika hampir mendekati jembatan sungai Jordan, Mona melihat parit-parit
dan bukit-bukit bekas tempat pertahanan
ketika dulu terjadi perang Teluk.
Nizar, seorang wartawan yang pernah meliput perang Teluk bercerita. Pertama
kali menginjak tanah Palestina ketika dirinya sebagai wartawan melakukan tugas
jurnalistik meliput krisis teluk. Keadaan saat itu cukup gawat. Ancaman Iraq
akan melepaskan rudal ke Israel dan
membebaskan Al Quds dari genggaman Yahudi, membuat tentara dan rakyat Israel amat
siaga. Perbatasan-perbatasan dijaga ketat. Terutama di sepanjang sungai Jordan,
karena Jordania dianggap salah satu negara pendukung Iraq. Bukit-bukit
disekitar jembatan King, dibentuk sedemikian rupa, menjadi parit-parit
pertahanan yang sulit ditembus lawan serta dilengkap berbagai peralatan perang
modern, mulai tank, hingga senjata penangkis serangan udara.
“Memasuki kawasan pendudukan Israel memerlukan perjuangan tersendiri.”
Kenang Nizar. “Dulu di pos imigrasi
Jordania tidak ada kesulitan apa-apa. Sehelai kertas berisi data-data pribadi
dan visa reentri ke Jordan, diperiksa sepintas, lalu segera di cap. Sebuah mini
bus dipanggil dan diperintahkan mengantarkan kami ke perbatasam. Dugaan akan
mengalami hambatan dan kesulitan,
ternyata meleset. Pemeriksaan berlangsung cepat. Pemberian bisa masuk ditempat
juga, tidak bertele-tele. Kami hanya
disuruh menghabiskan atau membuang sisa
makanan dan minuman yang dibawa dari
Amman. Serdadu Israel penjaga perbatasan nampak ramah tamah.“
Nizar melanjutkan kembali ceritanya. Begitu mudahnya dirinya bersama dua
wartawan lain keluyuran di Jerusalem Timur dan Yerusalem Barat, ke Hebron,
Betlehem, bahkan Tel Aviv, Haifa, kemudian Nazareth dan bermalam di Tiberias
ditepi sungai Galilea. Menengok dataran tinggi Golan, sebelum masuk lagi ke
Jericho, untuk diantar keperbatasan sungai Jordan.
Bagi pemerintah Israel prinsip ramah kepada orang asing, terutama
wisatawan, sangat dipegang teguh. Sekalipun dalam suasana menjelang perang.
“Kami yang oleh serdadu-serdadu Israel selalu dianggap orang Thailand tak
mendapat kesulitan apa-apa. Selama berada didaerah pendudukan yang ganas itu.“ cerita Nizar
lagi. “Termasuk ketika terlibat intifada didekat pasar tua Yerusalem. Banyak anak-anak
Palestina yang ditembak dan ditangkap dan banyak pula pemuda pemudi Yahudi
yang ikut terseret oleh serdadu dan
polisi Israel. Kami bertiga dibiarkan
saja. Ditanyapun tidak. Padahal posisi kami sangat jelas berada di
kelompok anak-anak Palestina yang bersemangat melemparkan batu kepada orang-orang
Yahudi.”
Akhirnya bus tiba di jembatan sungai Jordan yang berada di perbatasan negara Jordanian dengan
Palestina. Penjagaan di perbatasan sungai Jordan ini ketat sekali karena daerah
itu dikuasai oleh Israel. Beberapa buah bis yang berisi orang-orang Palestina
antri menunggu gliran untuk memasuki kawasan itu dimulut jembatan sungai Jordan
yang dinamakan King Husein Bridge oleh orang Jordania, sementara orang
Israel menyebutnya Allenby Bridge.
Menurut guide, meskipun warga Palestina itu akan memasuki daerahnya sendiri
tetapi mereka harus melalui serangkaian pemeriksaan yang sungguh ketat yang
dilakukan oleh polisi dan petugas imigrasi Israel.
Semula Nizar mengira masuk ke
Palestina tentu lebih mudah karena perdamaian sudah berjalan. Perkiraan itu
meleset. Proses pemeriksaan barang dan pemeriksaan surat-surat di perbatasan
sungai Jordan, ternyata lebih lama dibandingkan dulu. Penyebabnya mungkin
pengunjung yang membludak. Sementara beberapa bus lagi sudah antri menunggu
diujung jembatan wilayah pendudukan Israel menunggu masuk ke pintu gerbang yang
masih dijaga ketat oleh pihak polisi dan petugas imigrasi Israel.
Pemuda pemudi sukarelawan Israel memeriksa setiap pendatang yang memasuki
daerah itu dengan teliti. Termasuk para
turis yang datang dari Indonesia. Cukup lama mereka tertahan di ruang imigrasi,
terutama ketika pemeriksanaan paspor dan barang-barang di loket pemeriksaan
karena antri bercampur dengan warga Palestina dan warga Israel sendiri yang
baru datang.
Setelah cukup lelah antri dan menunggu
akhirnya mereka bisa meneruskan perjalanan lagi. Sebuah bis telah menunggu
mereka diluar pos pemeriksaan yang akan membawa mereka ke kota Jerusalem.
Jerusalem tetap aman bagi wisatawan, Nampaknya pemerintah Palestina menyediakan
pintu belakang untuk wisatawan kalau pintu depannya sedang kacau. Mereka pintar,
yang penting devisa tetap masuk kendati suasana perang selalu berkecamuk.
Ketika bis sudah mulai maju, barulah Mona melihat ada bendera Israel
berkibar diatas bukit. Mona sempat mengambil beberapa buah photo kearah bukit yang ada bendera Israel yang tengah berkibar itu.
Rasanya seperti mimpi berada di negara yang
selalu diberitakan bergejolak.
Selama ini Mona hanya mengetahui segala
macam pemberitaan tentang tanah Palestina beserta warganya yang seakan tak
henti berada dalam tekanan Israel hanya dari berita di koran dan berita di
televisi saja. Sekarang dia
berada ditanah yang terus dipersengketakan itu. Suatu saat aku akan
bercerita kepada anak cucuku tentang pengalaman perjalanankuini, pikir Mona.
Aku akan menyimpan photo-photoku ketika sedang berada di Palestina. Akan
kuperlihatkan kepada anak cucuku bahwa aku pernah menginjak tanah yang penuh
sejarah ini. Mona tersenyum dalam lamunannya yang sudah jauh melompat ke depan,
ke masa yang entah kapan akan dialaminya. Namun dia merasa tidak salah apabila
dia menyimpan photonya ketika sedang berada di Palestina karena sejarah negara ini akan terus tertulis
sepanjang masa, terutama masalah tanah yang terus dipersengkatan antara warga
Palestina dan Israel yang entah kapan akan berakhir.
Hari telah senja ketika rombongan tiba di Jerusalem. Udara terasa dingin
namun sejuk. Mona mengenakan syal yang dililitkan dilehernya. Mesi mengenakan jaket tebal yang
dibelinya ketika jalan-jalan di Madinah. Mereka makan di Victory Restorant.
Udara yang dingin membuat Mona dan Mesi kelaparan. Makanan yang disajikan enak
dan lezat.
Usai makan rombongan beristirahat di The Holy Land Hotel. Rencananya sore
itu itu mereka akan dibawa ke mesjidil Aqsho sesuai dengan jadwal rencana
semula. Namun karena anggota rombongan banyak yang minta ditangguhkan karena
sudah merasa lelah dengan perjalanan panjang tadi akhirnya rombongan masuk ke
hotel dan beristirahat.
“Wah ternyata asyik, ya. Akhirnya
aku bisa datang ke Palestina, menginjak
tanah yang selama ini hanya kucaba dalam berita-berita di koran dan kulihat di
televisi.” Kata Mona senang.
“Ya, Palestina sebuah negara yang akan tetap membuat catatan sejarah
sepanjang masa.” Sahut Mesi sambil mengambil
buku dan pulpen yang ada di meja
hotel. Seperti biasa Mesi menyimpan buku dan pulpen yang selalu tersedia
disetiap kamar hotel tempat mereka menginap. Mesi senang mengumpulkan
barang-barang seperti itu karena buku atau notes itu selalu memakai logo hotel.
Barang-barang itu disimpannya sebagai
kenang-kenangan.
“Pasti kamu banyak tahu tentang sejarah dari berbagai belahan dunia. Kamu
kan rajin membaca berita-berita koran dan memiliki minat pada sejarah dunia.”
Mesi hanya tersenyum. “Aku memang senang membaca, termasuk sejarah dunia,
tapi yang kuketahui masih sedikit. Aku masih harus banyak membaca lagi.”
Makan malam di hotel terasa menggembirakan bagi Mona dan Mesi. Udara yang
dingin membuat mereka merasa lapar dan
makan dengan lahap.
“Jangan-jangan berat badanku naik, nih.” Kata Mona.
“Aku juga. Rasanya pipiku menjadi tembem dan bulat” sahut Mesi.
Usai makan malam, banyak anggota rombongan yang meninggalkan ruang makan
dan duduk-duduk di lobby hotel. Sebagian lagi pergi ke toko kecil di sudut
hotel yang menjual aneka macam cindera mata.
Pagi-pagi setelah sarapan pagi
rombongan melanjutkan perjalanan ke Hebron. Bis datang menjemput rombongan ke
hotel. Setelah keluar dari wilayah perkotaan, pemandangan di kiri dan kanan
jalan sepanjang jalan banyak ditumbuh pohon-pohon cemara. Pemandangan pohon
cemara habis, berganti dengan pemandangan perkebunan zaitun dan tin.
“Didalam Al-Qu’ran ada disebut nama buah zaitun dan tin.” Kata Mesi.
“Menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksud dengan tin itu adalah tempat
tinggal nabi Nuh, yaitu Damaskus yang banyak tumbuh pohon tin dan ‘zaitun’
ialah Baitul Maqdis atau Jerusalem yang banyak tumbuh zaitun.”
Mona menghapus kaca yang buram. Cuaca
diluar semakin kelabu dan berkabut. Pasti dingin sekali. Namun Mona
senang dengan cuaca yang dingin seperti ini karena tidak pernah terjadi di Indonesia yang hanya
mengenal dua musim, musim hujan dan musim kemarau.
Ketika hampir mendekati Hebron, Mona melihat banyak bangunan-bangunan yang
hanya tinggal reruntuhan belaka. Menurut Nizar, disekitar tempat itu sekiltar
lima tahun lalu sering terjadi intifada. Warga Palestina melempari rumah-rumah
dengan batu-batu untuk menyerang warga
Yahudi. Kota itu adalah kota panas dan penuh
kemelut. Kenangan suram dan kelabu bagi warga Palestina. Yang akan
tercatat dalam sejarah bangsa mereka sepanjang masa. Bahkan andai kelak
perdamaian di Palestina telah tercipta
sekalipun, namun catatan kelam sejarah bangsa itu akan tetap diingat oleh
keturunan orang-orang Palestina.
Mona melihat beberapa orang berjalan kaki dipinggir jalan. Anak-anak kecil
berjaket tebal dengan ransel menggantung dipunggungnya berjalan kaki pula.
Mungkin mereka akan berangkat ke sekolah, pikir Mona.
“Orang-orang itu adalah warga Palestina, juga anak-anak kecil itu.” Kata
Nizar menjelaskan menjelaskan seolah bisa membaca apa yang sedang ada dalam
pikiran Mona. “Mereka memilih lebih baik berjalan kaki daripada naik kendaraan
umum kerena hampir seluruh kendaraan umum yang ada milik warga Yahudi.”
“Kasihan anak-anak itu.” Cetus Mesi. “Barangkali jarak yang harus mereka
tempuh ke sekolahnya cukup jauh. Tentu melelahkan bila harus pulang pergi
sejauh itu dengan berjalan kaki.
“Ya.” Mona mengiyakan.
Anak-anak yang tengah berjalan dalam cuaca yang begitu dingin terasa
menyentuh perasaannya. Dia beruntung
hidup di Indonesia, tepatnya di Sumedang, kota kecil yang tenang. Di Sumedang
tidak ada peperangan. Tidak ada ancaman bom. Tidak ada teror yang menakutkan.
Kehidupan berjalan damai dan normal. Tidak ada ketakutan. Dia bisa hidup nyaman
dan tenang dilingkungan rumahnya maupun dilingkungan manapun dia berada.
Sesuatu hal yang patut disyukurinya. Apalagi sekarang setelah dia melihat
bagaimana kehidupan di negara Palestina yang setiap saat diliputi ketakutan akan peperangan,
ancaman bom, pembunuhan, kematian dan teror-teror lain yang menakutkan. Bahkan
anak-anak kecil pun yang semestinya menikmati kehidupan masa kecil yang ceria dan indah, yang semestinya bisa
bermain-main sepanjang hari dengan penuh kegembiraan, hal semacam itu tak bisa
dinikmati oleh anak-anak Palestina.
Sekecil itu mereka sudah
dihadapkan oleh ketakutan akan ancaman peperangan, teror bom, pembunuhan dan
kematian.
Akhirnya bis tiba di Hebron setelah beberapa kali terhenti karena diperiksa
oleh tentara Israel yang sedang patroli disepanjang jalan. Hujan gerimis dan
cuaca yang begitu dingin menyambut
mereka etika mereka keluar dari dalam bis.
Untuk mencapai Hebron mereka masih harus berjalan kaki beberapa ratus
meter. Sambil berlindung dibawah payung yang dipegangi Mesi, Mona hanya melihat
satu dua orang saja yang berada diluar rumah. Di cuaca sedingin ini orang
pastinya lebih suka menghangatkan tubuhnya didalam rumah. Atau mungkin pula
karena situasi kota ini yang kurang begituaman yang membuat mereka merasa lebih
nyaman berada diluar rumah.
Setelah melewati pemeriksaan oleh tentara Yahudi merka memasuki mesjid
tempat berkumpulnya makam para nabi, menurut Nizar, makam-makam yang akan
mereka ziarahi diantaranya adalah makan
nabi Ibrohin as dan istrinya Siti Sarah, nabi Ishak dan istrinya Rifka, nabi
Yakub dan istrinya Leah dan juga makam nabi Yusuf. Keempat makam nabi tersebut berada didalam
mesjid Hebron.
Menurut Nizar, Hebron lima tahun lalu adalah kota tua yang panas oleh
intifada. Mesjid Al-Khalil dijaga ketat sekelilingnya. Yang mau masuk diluar
waktu shalat fardhu, diseleksi dengan ketat. Hanya wisatawan muslim yang
memperoleh dispensasi. Hebron lima tahun lalu walaupun dijaga ketat tentara
Yahudi adalah masjid yang luas dan nyaman. Menurut Nizar, dirinya saat itu
leluasa berziarah ke makam para nabi yang ada disana. Sayang, Hebron sekarang
dikuasai Yahudi. Untuk memasuki mesjid itu orang harus melakukan penjagaan
ketat tentara Yahudi. Bahkan ternyata tidak seluruh makam dapat mereka ziarahi.
Yang dapat diziarahi oleh kaum muslimin hanya makam nabi Ishak dan istrinya
saja. Makam Nabi Ibrohim dan Siti Sarah
terkurung rapat dibagian mesjid yang telah dipenggal dua. Sedangkan makam nabi
Yakub dan nabi Yusuf tidak dapat
diziarahi karena berada dibagian mesjid yang dijadikan Sinagoge oleh orang Yahudi.
Pemenggalan mesjid terjadi setelah peristiwa penembakan jemaah mesjid Hebron
oleh ekstrimis Yahudi Baruch Goldstein. Peristiwa teror kejam itu selain
merenggut nyawa puluhan kaum muslimin juga merenggut mesjid bersejarah yang
sejak berabad-abad silam merupakan milik berharga kaum muslimin.
Nizar melanjutkan keterangannya, memang dalam pandangan hidup kaum Yahudi
terutama yang supra-ortodok semacam mendiang Rabbi Meir Kahane dan Rabbi
Levinger, Hebron dianggap tanah suci nomor dua setelah Jerusalem. Mesjid
Al-Khalil juga dianggap cikal bakal
sinagoge agung Yahudi masa kini. Persis seperti masjid Al-Aqsa yang menurut
mereka berdiri diatas bekas sinagoge atau kuil Sulaiman dan kelak akan menjadi kuil Sulaiman lagi.
Dari Hebron mereka melanjutkan perjalanan menuju kota Betlehem tempat
kelahiran nabi Isa as. Meskipun natal telah berlalu dan tahun baru telah lewat
seminggu lalu, namun Betlehem masih begitu ramai dengan pengunjung yang datang
berziarah. Wisatawan muslim seperti mereka nampak menonjol ditengah-tengah
pengunjung berwajah bule dan berambut pirang.
Betlehem nampak cerah dengan sinar mentari yang hangat dan segar. Di
Betlehem, tidak ada serdadu Israel. Tapi
sebelum keluar dan masuk Betlehem, rombongan harus melalui pemeriksaan ketat
tentara Israel. Mereka memasuki gua
tempat nabi Isa dilahirkan. Diantara gua itu sekarang dibangun sebuah gereja
besar, The Basilica of The Nativity. Untuk memasuki gua itu pengunjung harus
membungkukkan badannya dan barulah didalamnya bisa menjelajahi setiap ruangan
dengan leluasa. Setelah berkeliling didalam tempat itu akhirnya mereka keluar
lagi dan menuju rumah makan untuk makan siang.
Dari Betlehem mereka berangkat mengunjungi masjid al-Aqsho, kiblat pertama
dan tempat suci setelah masjid al-Harram
di Mekkah dan mesjid Nabawi di Madinah. Posisi mesjid al-Aqsho begitu penting
bagi umat Islam karena disinilah terjadinya peristiwa Isra Mi’raj nabi Muhammad
saw, tempat turunnya wahyu dan tempat shalat para nabi.
Kembali mereka harus melewati pemeriksaan tentara Israel sebelum memasuki
wilayah mesjid al-Aqsho. Suatu kondisi yang sungguh jauh berbeda dengan
kebebasan mutlak yang diberikan penguasa Islam dulu kepada pemeluk agama Yahudi
dan Nasrani untuk beribadah dengan tenang di rumah ibadah mereka masing-masing.
“Coba bandingkan keadaan disini dengan keadaan ditanah air kita.” Kata
Cakrawinata, ayah Bono yang berjalan tidak jauh dari Mona sehingga Mona bisa
mendengar kata-katanya. “Disini alangkah
sulitnya mengerjakan shalat. Kita harus melewati pemeriksaan dan penjagaan
ketat tentara Israel. Di Indonesia mesjid manapun yang akan kita masuki pintu
masjid selalu terbuka siang malam. Tak ada seorangpun yang berani melarang kita
memasuki mesjid. Tapi justru dinegeri kita yang aman itu kita sering merasa
malas pergi ke mesjid.”
Beberapa anggota rombongan tersenyum menanggapi ucapan Cakrawinata. Mona
melirik Bono. Bono pun tersenyum tipis mendengar ucapan ayahnya.
Di halaman mesjid al Aqsho mereka berphoto bersama untuk kenang-kenangan.
Entah kapan mereka bisa datang lagi memasuki mesjid al Aqsho. Menurut Nizar, Yahudi
terus menerus melakukan usaha untuk merobohkan mesjid itu seperti pernah
terjadi beberapa dekade yang lalu. Nizar memperlihatkan dinding mesjid yang
bolong-bolong bekas peluru dan juga
peluru-peluru yang yang berhasil dikeluarkan dari dinding itu dan disimpan
didalam mesjid sebagai bukti kebiadaban orang yahudi.
Mona serius mendengarkan keterangan dari pemandu. Baginya Jerusalem dengan
kisahnya sungguh sangat menarik dan menyentuh perasaaannya. Sebagai muslim dia
merasa sedih ketika mendengar bagaimana nasib warga Palestina yang tak
henti-hentinya berada dibawah ancaman orang israel yang ingin menghancurkan
bangsa mereka.
Jerusalem ditaklukan kaum muslimin pada tahun ke-17 Hijriah, bertepatan
dengan tahun 638 masehi. Kemudian kurang lebih selama tiga belas abad kaum
muslimin menguasainya dan kemudian kurang lebih satu abad lamanya lepas dari
kaum muslimin ketika kaum salib berhasil
merebutnya setelah mereka berhasil menguasai sebagian dari Palestina dan
menguasai Jerusalem. Komitmen Islam ketika berkuasa atas Jerusalem adalah bahwa
the holy land, kota suci ini diurus untuk kepentingan Allah, Tuhan semesta
alam. Kota ini menjadi lambang persaudaraan antara umat manusia, toleransi
agama-agama, simbol kesucian dengan terpeliharanya semua tempat-tempat suci
dari agama yahudi, nasrani dan islam. Ketentraman dan kebahagiaan yang diciptakan
penguasa-penguasa islam itu merupakan mata rantai sejarah yang indah, diukir
oleh tokoh-tokoh agung seperti Umar bin Khayttab ra dan Shalahuddin al Ayyubi.
Sayang ketentraman itu kini dirusak oleh sikap bangsa Yahudi.
Menurut Nizar, beberapa tahun lalu ketika dia datang ke kawasan ini,
tentara Israel hanya berjaga disepanjang benteng kota lama. Di pintu-pintu
masuk yang delapan di mesjid Al Aqsho yaitu the golden gate, the new gate, St.
Stephen’s gate atau juga disebuh Lion’s gate, the zion gate dan Jaffa gate,
paling dekat hanya sekitar gerbang Harod yang menuju ke pemukiman kaum muslimin
sebelum masuk gerbang Al Aqsho. Namun sekarang tentara Israel bersenjata
lengkap sudah berada di halaman Kubah Sakhra. Sudah jauh masuk dari gerbang
Herod, di pintu masuk ke kawasan Al Aqsho yang oleh Yahudi dinamakan gunung kuil yang dulu dijaga
hanya oleh orang palestina saja. Selain itu beberapa tentara Yahudi bebas
berkeliaran mauk ke pelataran kubah sakhra yang dulu hanya diperbolehkan bagi
kaum muslimin saja.
Ketika pulang mereka mengambil jalan
yang berbeda dengan ketika memasuki kawasan itu. Untuk mencapai bis, mereka kembali
harus berjalan kaki karena bis diparkir diluar kawasan itu. Kawasan
tempat berdirinya mesjid Al Aqsho ini luas sekali. Sebagian lahan taman
ditumbuhi pohon-pohon pinus dan cemara. Pemandangannya indah sekali. Apalagi
dalam cuaca yang dingin seperti ini,
bagi Mona menimbulkan romantisme tersendiri dalam hatinya.
Pulang dari masjidil Aqsho rombongan
dibawa menuju ke toko cindera mata, yang kebetulan pemiliknya, Mister
Jamal, adalah seorang muslim. Pemilik
toko menyambut mereka dengan ramah.
Aneka macam cindera mata unik dan menarik bagi kaum musim dan kristen diletakan
ditempat terpisah. Mona memilih-milih piring kecil dari keramik yang
bertuliskan surat-surat pendek dalam Al Qur’an,
al–Fatihah, al-Falaq, an-Naas dan beberapa surat pendek lainnya.
Sore itu mereka kembali ke hotel dengan perasaan puas karena tujuan utama
mereka datang ke Jerusalem untuk mengunjungi mesjid al Aqsho telah tercapai
dengan selamat.
Dari jerusalem mereka kembali ke Jordania melalui kota Jericho. Sebelum ke
Amman, rombongan dibawa untuk melihat
Dead Sea. Sebelum menuju laut mati, bis
melaju berkeliling kota Amman, ibukota Jordania. Bangunan bertingkat
maupun perumahannya kelihatannya tidak terlalu padat, tampaknya ini berkaitan
dengan jumlah penduduknya.
“Disini cat tembok kurang laku, ya.” Kata Bono. “Semua rumah tidak ada yang
dicat.”
Mona baru sadar betapa rumah dan gedung semuanya berwarna abu-abu, alias
warna murni dari batu beton. Di tengah kota yang dipadati gedung dan perumahan
itu, tersentuh warna hijau disana sini dan panggung pertunjukan terbuka Roman
Theatre yang dibangun 1.700 tahun yang lalu. Inilah salah satu dari sekian
banyak jejak peninggalan Romawi yang terdapat di Jordania.
Seperti halnya ketika mereka akan memasuki Palestina, ketika akan keluar
dari kota Jericho dan memasuki perbatasan, mereka pun harus melalui pemeriksaan
tentara Israel terhadap masing-masing kendaraan dan penumpangnya yang dating
dari Jericho yang berlangsung cukup lama. Antri dengan mobil-mobil lain.
Sepanjang perjalanan menuju Dead Sea, pemandangan didominasi oleh lapangan
yang membentang luas. Sepanjang jalan
lapangan itu dikelilingi dengan pagar
kawat. Menurut pemandu disepanjang pagar kawat itu diletakan ranjau-ranjau
oleh tentara Israel. Lapangan itu adalah tempat latihan tempur tentara Israel.
Mona melihat ada beberapa buah tank ditengah-tengah lapangan itu.
Akhirnya bis tiba juga di Dead Sea. Pemandu menjelaskan laut mati
sebenarnya sebuah danau tempat bermuara sungai Jordan. Tetapi air dari danau
itu memiliki keunikan sendiri yaitu bahwa kadar garamnya sangat tinggi, lebih
tinggi dari pada rata-rata kadar garam didalam air laut biasa. Sehingga kalau
seseorang memasuki airnya, dia akan terapung karena berat jenis airnya cukup
tinggi. Tetapi kemudian oleh penguasa Jordania sebagai pengekspor garam dunia,
diolah menjadi garam. Karena kadar garam air laut mati terlampau tinggi, maka
airnya tidak dapat digunakan untuk kepentingan air irigasi, juga untuk tempat
kehidupan binatang yang bisa hidup pada air berkadar garam biasa seperti halnya
air laut. Hal lainnya yang unik dari laut mati adalah bahwa permukaan airnya
berada sekita empat ratus meter dibawah permukaan air Laut Tengah, jadi sangat
rendah sekali. Dead Sea juga sebuah laut
dengan ciri khas airnya yang berminyak dan mengandung khasiat yang tinggi untuk
kesehatan dan perawatan kulit. Orang Jordania mengolah kandungan mineral dari
laut mati ini menjadi bermacam-macam produk
untuk kesehatan dan perawatan kulit.
Pemandangan Jerusalem juga bisa
dilihat dari seberang laut mati. Menurut Nizar, laut mati ini memang dimiliki oleh dua negara, Palestina
dan Jordania. Dalam perjalanan tadi, disuatu lokasi terdapat satu tugu yang bertuliskan “sea
level”. Tugu itu memberi tanda bahwa pemukaan tanahnya sama dengan permukaan
laut. Laut mati itu ternyata terletak 400 meter dibawah garis permukaan laut.
Menurut pemandu, inilah permukaan bumi yang paling rendah di dunia yang bisa
ditempati manusia.
Disekitar objek wisata laut mati itu ada beberapa fasilitas pariwisata
seperti akomodasi, kolam renang air tawar dan fasilitas-fasilitas rekreasi
lainnya. Ketika rombongan tiba disana, ada beberapa rombongan turis lain yang
sedang menikmati objek wisata itu. Dari penampilan dan raut wajahnya, Mona
menebak mereka adalah orang Asia. Mungkin dari Malaysia, Brunei atau mungkin
juga sama seperti dirinya dari Indonesia juga.
Ombak yang berbuih dari Dead Sea memancing rasa ingin tahu Mona untuk
melangkah ke tepi laut itu, untuk
menyentuh airnya yang konon mengandung kadar garam tertinggi di dunia dan
membuat berat jenisnya jadi lebih tinggi dari manusia. Dari putaran video
didalam bis tentang pariwisata negara ini, memperlihatkan manusia yang berenang di Dead Sea tidak
tenggelam. Rasanya tak percaya dalam
filma itu dipertontonkan tanpa pelampung
orang berbaring santai, tidak tenggelam sambil membaca Koran, sementara sebuah
baki yang diatasnya ada gelas minuman dan piring makanan terapung. Tanpa
pelampung kita bisa bersantai seperti ini di laut mati dijamin tak akan
ternggelam. Keajaiban laut mati. Ketika meluncur di jalan bebas hambatan
sepanjang 50 kilometer dari kota Amman, di kanan kiri menyaksikan pemandangan
alam penuh variasi. Mulai dari gurun yang gersang tandus sampai lembah lembah
yang ditumbuhi aneka tumbuhan.
Di air yang jernih itu, dasarnya yang terdiri dari koral dan pasir nampak
dari permukaan. Tak tampak ada biota
laut yang hidup. Mungkin karena kadar garamnya yang sangat tinggi itu.
Yang banyak ditemukan adalah susukan kristal garam dalam aneka bentuk. Tugu
yang menandakan garis permukaan laut nol
meter. Pemandangan daerah jerusalem bisa
dilihat dari seberang seberang laut mati. Laut yang luasnya sembilan ratus dua
puluh kilometer persegi ini memang
dimiliki oleh dua negara, Palestina dan Jordania. Di suatu lokasi, terdapat satu tugu yang bertuliskan “Sea
Level”. Tugu ini memberi tanda bahwa permukaan tanahnya sama dengan permukaan
laut.
Sedangkan untuk menuju laut mati, mobil masih terus menuruni bukit. Laut
mati itu hanya terletak empat ratus meter dibawah garis permukaan laut. Kalau laut
jawa itu bagian terdalamnya hanya dua ratus
meter berarti manusia kini berada jauh dibawah dasar laut jawa. Konon
inilah permukaan bumi paling rendah di dunia yang bisa ditempati manusia.
Disekitar situ ada fasilitas akomodasi, kolam renang air tawar dan
fasilitas-fasilitas rekreasi lainnya. Tapi disana suasana sepi-sepi saja
mungkin karena sedang tidak musim wisatawan.
Air yang bening dan riak kecil yang membelai, menggoda Mona untuk
menyentuhnya. Terlihat beberapa orang wisatawan sedang berenang-renang di air
yang konon mengandung kadar garam tertinggi di dunia dan membuat berat jenisnya
jadi lebih tinggi dari manusia. Manusia memang tidak bisa tenggelam di laut
mati. Begitu tangan Mona menyentuh air,
diseputarnya langsung terjadi reaksi kimia, menciptakan sejenis selaput lendir
yang mengelilingi tangan. Rupanya karena
ada benda asing yang bergabung terjadi
senyawa kimia yang membuat airnya terganggu. Di air sejernih itu sampai-sampai
dasarnya yang terdiri dari koral dan pasir tampak dari permukaan, tak tampak
ada biota laut yang hidup. Mungkin karena kadar garamnnya yang sangat tinggi
itu. Yang banyak ditemukan justru susunan kristal garam dalam aneka
bentuk. Banyak kosmetik yang memiliki
kandungan mineral yang berasal dari laut mati yang dijual di toko cendera mata.
Dari Dead Sea rombongan meneruskan
perjalanan menuju makam batu nabi Musa dan makam nabi Syuaib di lembah Jordan.
Negara Jordania banyak menyimpan berbagai peninggalan bersejarah dari jaman Romawi.
Mereka juga dibawa mengunjungi Hercules Temple. Menurut pemandu bekas lokasi
pembuatan film Hercules
yang kini tinggal reruntuhannya dan sepasang tiang batu besar raksasa
yang menjulang tinggi. Mereka juga dibawa melihat panggung pertunjukan terbuka, Roman Theatre yang dibangun 1.700 tahun yang
lalu. Roman Theatre ini merupakan salah satu dari sekian banyak jejak
peninggalan Romawi yang terdapat di Jordania. Jordania, negara di Timur Tengah
ini menawarkan aneka keajaiban dunia yang bernilai sangat tinggi. Roman Theatre
terletak di pusat kota yang dikelilingi kehijauan, rumah dan gedung bertingkat.
Memasuki makam nabi Syuaib yang
tersirat adalah keagungannya. Kawasan yang luasnya sekitar 5.000 meter persegi
itu terdiri dari beberapa bangunan. Ada tempat berwudhu di sebelah kiri dan
mesjid seluas 40 meter persegi disebelah kanan. Persis disisi mesjid itu ada
ruangan lain, lokasi makam. Rupanya
lokasi makam itu terdiri dari 3 ruangan. Semacam ruang tamu, ruang sembahyang
dan ruangan khusus dengan pintu berterali yang terkunci, tempat nabi Syuaib
dimakamkan. Pengunjung hanya bisa melongok makamnya yang berupa keranda dengan
penutup kain warna hijau. Keranda itu panjangnya tiga meter dan lebarnya hampir
satu meter, Jaman dahulu manusia memang lebih tinggi dibanding sekarang. Makam
nabi Hud yang ada di Yaman, panjangnya
16 meter.
Begitu keluar dari kompleks makam, Mona melihat tong besar berwarna
hijau dengan sederet kran serta beberapa gelas. Seorang pria tampak sedang meminum air dari
tempat itu. Tiba-tiba saja Mona merasa haus. Dia minum air itu. Begitu air jernih itu mengalir ke
tenggorokannya, baru disadarinya kalau
airnya sedingin es. Nikmat sekali. Seakan kepuasan rohani yang baru diterima
makin mengendap, sampai menjalar ke sudut-sudut kalbu.
Mona bersyukur dia bisa melacak kebesaran sejarah masa lalu. Pengalaman ini
sungguh akan sangat berkesan baginya. Mesi
nampak serius mencatat setiap perjalanan.
”Nanti aku ingin menuliskan pengalaman selama perjalanan ini dan dikirim ke
media.” kata Mesi.
Sayangnya mereka tidak sempat melongok
kedahsyatan Petra, salah satu objek wisata lain yang dimiliki Jordania, kota
kuno Jerash yang merefleksikan kejayaan Romawi berikut lokasi
penyembahan dewa dari segala dewa, Zeus.
Konon di Petra ada bukit batu yang dipahat dijadikan istana. Sungguh luar
biasa. Sayang Petra terlalu jauh dan waktu yang mereka miliki tidak
memungkinkan bagi mereka untuk mengunjungi Petra.
Rombongan kemudian dibawa mampir ke toko cendera mata. Toko Holy Land
Ceramics yang menjual aneka macam barang pecah belah dari keramik. Selain itu disana
juga dijajakan aneka macam kosmetik yang menggunakan bahan dasar lumpur laut
mati. Ibu-ibu memborong beberapa produk kosmetika itu, sebagian
untuk oleh-oleh teman-teman mereka.
Konon menurut penjualnya kosmetika itu
akan membuat kulit wajah kencang dan muda kembali. Anggota rombongan kaum hawa
langsung tertarik mendengarkan
penjelasan seperti itu dan langsung
memilih produk kosmetika yang akan mereka beli.
Sementara Mona dan Mesi lebih tertarik meliha aneka macam hiasan dari
keramik. Setelah memiih-milih hiasan mana yang akan dibeli, akhirnya Mona
membeli beberapa piring kecil hiasan. Beberapa anggota rombongan
umroh lain ada yang membeli botol
berisi pasir laut mati maupun mangkuk kecil bertuliskan Jordan, petra, dll. Mitra
membeli satu set gelas berikut nampannya. Juga beberapa buah kristal
buah-buahan seperti kristal berbentuk anggur, buah pear, apel dan aneka bentuk buah-buahan lainnya. Kristal-kristal buah-buahan
itu diletakan didalam mangkuk yang juga terbuat dari kristal, sehingga nampak
indah berkilauan.
Sekitar 10 meter dari toko keramik, ada satu toko cendera mata lain yang
menjual gelang dan kalung perak, karpet hiasan dinding, hingga segala barang
bertuliskan Jordan. Ditoko lain Mirta
membeli karpet hiasan dinding yang menarik. Anggota rombongan lain
pun memilih aneka macam cendera mata untuk dibawa pulang. Setelah
selesai acara itu barulah rombongan dibawa ke Middle East Hotel tempat mereka
menitipkan bagasi selama berada di Palesrtina.
Setelah mendapat kunci kamar Mona segera merebahkan tubuhnya. Tubuhnya
terasa letih dan lelah. Membayangkan kesegaran mandi dengan air hangat membuat
Mona bergegas masuk duluan kekamar mandi. Usai mandi, dia bersama Mesi mendapat
telepon bahwa makan malam telah siap di restoran yang terletak di lantai dasar
hotel itu.
Sejak chek out dari hotel di Amman itu Mona dan Mesi sama semangatnya.
Mereka akan meneruskan perjalanan ke Mesir.
Didalam pesawat Royal Jordanian yang membawa mereka ke Mesir, Mona dan
Mesi bercakap-cakap gembira. Ketika waktu makan tiba, perut mereka terasa
lapar. Setelah makan tak sadar Mona tertidur pulas.
“Kita akan segera sampai.” Mona merasakan Mesi menggoyang-goyangkan
tangannya. Mona membuka matanya dan menoleh keluar jendela. Pemandangan yang
didominasi warna kecoklatan seperti yang dilihatnya ketika akan tiba di Jeddah
dulu. Sebentar lagi pesawat akan
mendarat di bandara Kairo.
Pemeriksaan paspor berlangsung relatif cepat. Mona bersyukur mereka akan
segera tiba di hotel.
Ketika didalam bis yang membawa mereka menuju hotel, Mona memperhatikan suasana di sepanjang jalan
Kairo yang ramai dan padat dengan arus
lalu lintas. Cuaca Kairo terasa dingin bahkan angin pun bertiup
cukup keras. Kairo adalah ibukoa sebuah negeri tua yang penuh warna sejarah. Popularitas Mesir sudah dikenal sejak hampir
delapan ribu tahun lampau. Kisah-kisah para nabi yang pernah singgah, tinggal
dan mencatat sejarah di Mesir. Sosok Fir’aun
penguasa Mesir yang paling
termashur dinyatakan dalam al Qur’an
sebagai orang yang telah
menobatkan diri menjadi Tuhan.
Bis yang membawa rombongan ternyata tidak segera menuju hotel tapi singgah
dulu ke sebuah rumah makan. Mereka disambut dengan musik dan lagu-lagu Mesir
yang cukup meriah. Barangkali itu salah satu suguhan sebagai daya tarik wisata
yang disuguhkan dari restorant itu dalam menyambut kedatangan wisatawan yang berkunjung
untuk bersantap di restorant itu, terutama wisatawan yang datang dari negara
lain. Anggota rombongan tertawa senang disambut dengan kemeriahan
seperti itu. Makanan yang disajikan khas
masakan timur tengah.
“Kapan lagi kita menikmati makanan Mesir, Mon. Jadi makan aja yang enak.”
Kata Bono mengganggunya melihat Mona tidak makan selahap biasanya.
”Ya.” sahut Mona.
Selain untuk menikmati objek wisaya yang menarik makanan khas daerah yang
dikunjungi pun termasuk salah satu daya tarik pariwisata.
Dari rumah makan itu mereka langsung dibawa ke Europe Cairo Hotel. Setelah
mendapat kunci kamar, Mona dan Mesi langsung masuk kedalam lift menuju kamar
mereka.
Esok harinya di Giza tempat berdirinya Pyramid dan Sphinx, Mona tidak ikut
dalam rombongan yang masuk kedalam Phiramid itu. Dia hanya berjalan–jalan
disekitar dekat bis. Suatu saat dulu dia pernah bergitu terkesan ketika melihat
photo Phiramid yang dibawa salah seorang temannya yang pulang tour dari Mesir.
Dia pun begitu ingin menyaksikan Phiramid dari dekat. Sekarang Phiramid
itu berdiri didepan matanya. Mona sempat
berphoto berdua dengan Mesi dengan latar belakang Phiramid yang menjulang tinggi.
Dibalik Phiramid itu tersimpan
sebuah sejarah panjang yang menghubungkannya dengan sosok Firaun. Kerucut
sebesar bukit yang dijadikan pemakaman jasad serta harta benda Firaun ita
adalah hasil karya Firaun yang dimodali tetesan keringat, darah dan airmata
rakyat jelata, terutama Bani Israil yang datang ke Mesir mengikuti keluarga
Yakub tatkala Yusup menduduki jabatan menteri keuangan.
Mesir memang kaya dengan sejarah. Dari buku yang pernah dibacanya, Mona
mengetahui penguasa Mesir lainnya yang juga terkenal yaitu Cleopatra.
Kecantikan ratu yang hidup sekitar lima puluh tahun sebelum masehi itu membuat
Julius Caesar, kaisar Romawi, mabuk kepayang. Kisah cinta mereka menjadi
legenda.
Piramid itu sekarang telah kosong
karena mummi-mummi yang dulu disimpan didalam Piramid telah dipindahkan ke
museum Mesir nasional di Kairo.
Sebelum mengunjungi piramid rombongan
dibawa terlebih dahulu
mengunjungi musem nasional Mesir di Kairo. Didalam museum itu
mummi-miummi itu diletakan didalam ruangan khusus, terpisah dari benda-benda
purbakala peninggalan kerajaan Mesir kuno ketika masih dikuasai oleh raja-raja
Mesir jaman dulu. Selain mummi-mummi itu yang merupakan objek paling terkenal yang disimpan di musem itu,
Mona sempat berkeliling didalam museum itu melihat beraneka macam benda
purbakala peninggalan kerajaan Mesir seperti kereta kerajaan millik raja
Fir’aun, mahkota emas yang dulu dipakai oleh raja-raja Firaun, perhiasan-perhiasan milik raja dan juga
patung-patung binatang yang digunakan
sebagai benda berhala yang dipuja raja-raja mesir jaman dulu. Disamping
benda-benda purbakala, museum nasional
Mesir pun masih dilengkapi dengan aneka macam patung batu raja-raja
Mesir yang pernah berkuasa tempo dulu.
Mona mencatat meskipun mayoritas rakyat Mesir menganut agama Islam namun
nampaknya orientasi pemerintah Mesir justru ke masa lampau. Ke masa sebelum
Islam. Orientasi mereka adalah Firaun. Hal ini kelihatan jika membandingkan
perhatian terhadap segala macam yang berkaitan antara Firaun dengan segala
sesuatu yang berkaitan dengan Islam. Pyramid yaitu makan Firaun dan tempat
meyimpan segala macam harta benda Firaun, ditata sedemikian rupa sehingga
menjadi tujuan utama wisata dunia. Bahkan
konon menjadi sumber devisa non migas nomor satu.
Mummi Fir’aun dan segala peralatan perawatan mayat jaman Fir’aun disimpan
disebuah musieum besar bertaraf
internasional, museum nasional Mesir.
Di Mesir peninggalan sejarah Islam pun cukup banyak. Rombongan dibawa
melihat Benteng Salahuddn al Ayubi, Mesjid Sayyidah Zainab, yang diambil dari
nama puteri rasulullah yang terletak
ditengah—tengah kota. Mereka juga mengunjungi perguruan tinggi Al Azhar yang dibangun pada
jaman Dinasti Fatimiyah di abad sepuluh, sebuah
perguruan tinggi terkemuka di mancanegara. Mereka meneruskan perjalanan
ke komplek makam Imam as-Syaffi’i,
seorang tokoh sufi besar.
Dua hari mereka berada di Mesir. Sebelum meninggalkan negeri ini Mona
sempat masuk kedalam toko yang ada di
hotel. Di toko cendera mata Mona membeli
tiga buah kaligrafi ayat kursi yang ditulis diatas daun papyrus, yang konon
dijaman dulu dijadikan sebagai alat tulis oleh bangsa Mesir dan kini menjadi
salah satu daya tarik cendera mata
negeri itu. Dia juga membeli pembatas
buku dari daun papyrus yang ditulisi hurup mesir. Cantik dan antik.
Sementara di toko lain dia membeli tiga
buah tas kulit.
Dari Mesir rombongan kembali lagi ke Jordanian karena mereka akan
menggunakan pesawat Royal Jordanian ke Indonesia. Rombongan menginap
semalam di Alia Queen Hotel, hotel yang
berada dibandara Queen Alia Jordan.
Menurut jadwal, keberangkatan rombongan ke Indonesia sekitar pukul sebelas
malam har sehingga mereka masih memiliki waktu untuk tinggal di Jordania. Pagi-pagi setelah
selesai sarapan pagi rombongan
dijemput Mister Muhamad, seorang guide dari Jordanian untuk melakukan tour ke beberapa tempat yang
belum sempat mereka kunjungi sebelum rombongan
pergi ke Mesir beberapa hari lalu. Jordania, negara di Timur Tengah ini
menawarkan aneka keajaiban dunia yang bernilai sangat tinggi.
Tempat yang dikunjungi adalah gua
Kahfi yang terletak dipinggiran kota Amman. Gundukan bukit itu pun menyimpan
cerita penuh misteri. Cerita di jaman
kekuasaan Romawi. Bukit yang menyimpan
gua Kahfi, areal ini tetap dilestarikan. Gua Kahfi adalah tempat tujuh manusia yang tertidur selama 350
tahun. Tengkorak dua dari tujuh manusia ini bisa diintip dari celah kuburan
yang berada didalam gua. Ashaabul
Kahfi, penghuni gua ini dalam al Qur’an tertuang dalam surat al-Kahfi, tentang tujuh pemuda
beriman yang dikejar-kejar oleh penguasa dzalim. Ketujuh pemuda itu tertidur
selama tiga ratus tahun lamanya didalam
gua ditemani seekor anjing yang setia mengikuti mereka dan menjaga mereka
dimulut gua. Mona sempat mengambil photo tulang belulang tujuh pemuda itu yang
diletakan didalam sebuah makam batu yang memiliki lubang kecil berlampu
sehingga pengunjung bisa melihat tulang
belulang ketujuh pemuda itu yang berserakan didalamnya. Mona
memotret tulang belulang anjing setia yang menunggui ketujuh pemuda
dipintu gua. Tulang belulang anjing itu diletakan didalam sebual lemari kaca
didalam gua itu.
Dari Ashaabul Kahfi perjalanan dilanjutkan
dengan mengunjungi lembah Nebo
tempat dimana terletak rumah nabi Syuaib dan berdirinya gapura tongkat nabi
Musa. Bis yang membawa mereka melaju menaiki bukit melintasi pemandangan di
sepanjang lembah Nebo yang indah dan
permai. Rumah nabi Syuaib terletak di
puncak bukit. Meskipun telah dibangun beratus-ratus tahun lampau, namun
bangunan itu masih nampak kokoh dan kuat. Rumah nabi Syuaib sekarang dijadikan
tempat peribatan umat kristiani. Lantai rumah nabi Syuaib dihiasi dengan relief
yang indah yang menunjukan bahwa peradaban telah cukup tinggi pada masa itu.
Diluar rumah nabi Syuaib terletak sebuah gapura tongkat nabi Musa yang
terbuat dari besi dengan hiasan ular besar yang melingkari gapura itu dengan
lembah yang menjadi latar belakangnya. Konon
lembah itu dahulu kala merupakan tempat
Nabi Musa as menggembalakan kambing-kambingnya. Pulang dari bukit Nebo, selesailah rangkaian
perjalanan mereka. Rombongan dibawa kembali ke hotel untuk beristirahat. Menurut
jadwal, nanti malam mereka akan pulang kembali ketanah air.
Setelah makan malam Mona memperhatikan Mesi yang sedang membereskan
barang-barangnya. Mesi rapih dan teliti.
Dia sepertinya tidak bisa melihat barang-barangnya tergeletak begitu saja.
“Oh, aku ingin segera tiba di Sumedang.” Kata Mona.
“Sama. Aku juga sudah ingin segera pulang.” Sahut Mesi sambil tetap asyik
dengan pekerjaannya. Dia merapikan
bajunya didalam tas kopernya dan barang-barang yang dibelinya yang bisa diselipkan didalam kopernya.
“Rasanya perjalanan ini lama sekali.
Padahal hanya tiga minggu.”
“Tiga minggu yang berkesan. Aku ingin menuliskan perjalanan ini dalam
bentuk artikel. Akan kukirim kemajalah remaja.”
“Baguslah. Pengalaman ini bisa kau tulis menjadi sebuah tulisan yang
menarik.” Ucap Mona. “Sudah ada tulisanmu yang dimuat dimajalah?”
“Ada beberapa. Cerpen dan cerita bersambung.”
“Oh ya? Aku tidak pernah membaca tulisanmu. Apa judul cerita yang pernah
dimuat dimajalah?”
“Aku sudah lupa judul-judulnya, tapi sudah lebih dari dua puluh cerita
pendek yang dimuat dan sebuah cerita bersambung.”
“Wah, sudah banyak juga, ya. Rupanya kau punya bakat menulis, Mes. Mengapa
engkau tidak mengembangkan bakatmu? Siapa tahu suatu saat kau bisa menjadi
pengarang terkenal.”
Mesi tersenyum. “Ya, semula aku menulis untuk mengisi waktu luang. Namun
ketika tulisanku dimuat beberapa kali, aku berpikir mengapa aku tidak terus
menulis. Siapa tahu suatu saat pekerjaan menulis menjadi profesiku.”
“Aku mendukung. Mudah-mudahan kau bisa menjadi pengarang terkenal, Mes.
Alangkah bangganya papa bila suatu saat kau dikenal sebagai seorang pengarang.”
“Papa juga sangat bangga kepadamu. Papa berharap suatu saat kau bisa
membantu usaha papa memajukan perusahaan.”
Mona tersenyum. “Perusahaan itu suatu saat akan menjadi milik kita berdua.
Kau dan aku harus bekerja sama agar suatu saat nanti ketika kita bersama-sama
mengelola perusahaan, perusahaan itu akan
lebih berkembang lagi.”
Mesi menatap Mona. “Mengapa tidak dari dulu kita bisa seakrab ini ya, Mon?
Sudah lama sekali aku mendambakan bisa bercakap-cakap seperti ini denganmu.
Bisa berbagi cerita denganmu.”
Mona menelentangkan badannya. Dia menatap langit-langit kamar. “Ya, mengapa
baru sekarang kita bisa sedekat ini?”
Keduanya merasa mengantuk sekali. Keduanya terlelap. Tak ada lagi yang
bicara. Pesawat yang mereka tumpangi sedang terbang menuju ke tanah air. Tak
terasa air mata mona menitik ketika melirik mesi yang duduk tenang
disampingnya.
“Sebenarnya kau itu baik, Mes.” Kata Mona sejujurnya. “Kau baik dan ramah
pada siapapun.
Mesi tersenyum mendengar ucapan Mona.
“Terima kasih atas pujianmu namun aku tetap selalu merasa diriku memiliki
banyak kekurangan dan kelemahan.” Ujar Mesi sambil tersenyum. “Sama seperti orang lain, kadangkala dalam
hati aku pun memiliki rasa iri, dengki, rendah diri, kurang percaya diri dan
sifat-sifat lain yang juga dimiliki oleh
manusia lainnya. Namun aku selalu
berusaha meredam semua perasaan-perasaan negatif itu agar tidak sampai muncul
kepermukaan dan seolah memperlihatkan bahwa itulah tabiatku. Aku selalu
berusaha agar orang lain tidak sampai tahu bahwa aku pun memiliki sifat-sifat
negatig seperti irim dengki, rendah diri dan sifat-sifat negatif lainnya
dihadapan orang lain. Aku berusaha menekan sifat-sifat buruk seperti itu dan
berkaca, betapa lebih indahnya hidupnya andai aku bisa menjadi seorang manusia
yang lebih baik lagi. Aku terus belajar dan berusaha memperbaiki diri. Ternyata dengan cara seperti itu hidupku
terasa lebih tenang. Aku tidak pernah ingin membandingkan diriku dengan
kehidupan orang lain yang aku lihat seakan lebih baik dariku. Aku selalu
berusaha bersyukur menerima apapun yang diberikan Allah untuk mengisi hidupku
dan tidak menyesali apapun yang tidak diberikan Allah kepadaku.
Mesi memeluk Mona tulus. “Aku sangat
sayang kepadamu, Mona. Dari dulu pun aku sangat sayang kepadamu. Namun engkau seolah
membangun sebuah dinding yang sangat tinggi dan tebal
diantara kita. Begitu tinggi dan tebalnya dinding itu sehingga aku tak
bisa melompatinya untuk menyentuh dan
merengkuhmu. Tanganku didak kuasa merobohkan cinding itu yang sengaja kau
bangun untuk menjadi pembatas sekaligus
pemisah diantara kita.”
“Kita bersaudara, Mona.” Kata Mesi lirih. “Kau adalah kakaku karena engkau
lahir dari istri pertama ayah. Walaupun aku lahir lebih dahulu beberapa bulan
darimu, tapi kau tetap kuanggap sebagai kakakku. Ayah kita sama walaupun kita lahir dari ibu yang berbeda. Aku menyayangimu
seperti layaknya kepada saudara kandung.
Tak pernah kulihat ada perbedaan diantara kira hanya karena kita lagir dari ibu
yang berbeda. Namun selama ini engkau selalu membuat jarak denganku. Engkau
selalu bersikap membenci dan memusuhiku. Kau selalu menghindariku setiap kali
aku ingin dekat denganmu dan menjalani kehidupan sebagaimana layaknya dua bersaudara.”
Mata Mesi berlinang. Perlahan airmatanya
menuruni kedua belah pipinya. Sasanya serak dan tersendat. ”Bukalah pintu hatimu untukku, Mona. Biarkan
aku masuk kedalam hatimu dan merasakan betapa indahnya tali persaudaraan diantara
kita. Biarkaan aku merasakan aliran
darah dalam tubuh kita adalah aliran darah yang sama.”
Mona membiarkan airmatanya ikut
mengalir. Dia memeluk Mesi. Ya Allah,
mengapa selama ini aku selalu menutup pintu
hatiku untuk Mesi? Bukankah dia pun sama menderitanya dengan aku
dengan permaduan ini namun Mesi selalu memandang permaduan ini dari sudut yang
positif. Dia tidak pernah menyalahkan siapapun. Dia tidak pernah menganggap
permaduan yang dilakukan ayah sebagai sebuah dosa dan aib. Mesi tidak terus menerus membebani hatinya dengan
kekecewaan yang makin lama justru makin menumpuk dan merusak jiwa. Dia
memandang hidup ini dengan jiwa yang lapang dan hati yang luas. Dia bisa
menerima apa yang tidak disukainya dan memandang dari sudut yang paling
menyenangkan. Dia mencintai dan menerima ayahnya apapun keadaannya. Dia tetap
menempatkan dirinya sebagai seorang anak yang baik dan berbakti, yang takut
kepada Allah bahwa berbuat tidak baik kepada orangtua adalah durhaka dan
termasuk dosa besar yang tidak akan diampuni Allah.
Tiba-tiba saja Mona sadar, betapa banyaknya yang bisa dipelajarinya dari
Mesi, saudara yang selama ini disia-siakannya. Saudara yang selalu mengulurkan
kedua belah tangannya dengan penuh kasih sayang kepadanya, namun tak pernah
dipedulikannya. Betapa banyaknya yang telah dilakukan Mesi selama ini hanya
untuk membuka dan mendobrak pintu dihatinya
yang selalu tertutup rapat untuk Mesi.
Namun Mesi seolah tak pernah menyerah. Mesi benar, dia seolah membangun
dinding yang tinggi dan tebal yang
menjadi penghalang diantara mereka. Sekarang disadarinya, hanya dirinya sendiri
yang bisa merobohkan dinding itu dan membiarkan Mesi melompat dan masuk kedalam
ruangan kosong dihatinya.
Mona merasa hatinya dibalut perasaan haru dan sedih. Dia memeluk Mesi
semakin erat. Mesi, aku berjanji akan menyayangimu dengan tulus. Telah
kurobohkan dinding tinggi dan tebal itu agar engkau bisa masuk dan memeluk aku.
Bukan untuk sehari, namun untuk selamanya. Betapa indahnya andai aku memiliki
saudara yang bisa bergandengan tangan dengan aku melwati kehidupan ini. Hal
itukini telah aku miliki. Seharusnya aku
bisa menjaganya dengan sebaik-baiknya.
Malam itu pesawat Royal Jordan melesat ke udara akan membawa mereka kembali
ketanah air. Bunyi mesin pesawat terdengar bergemuruh ketika pesawat
meninggalkan landasan. Mona memejamkan matanya rapat. Jantungnya terasa
berdebar. Mulutnya komat kamit membaca doa memohon keselamatan kepada Allah
agar mereka semua bisa tiba dengan selamat di tanah air. Dia merasakan hatinya tentram dan bahagia.
--- 0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar