Minggu, 12 Mei 2013

Dinding






Mona mendorong pintu. Suasana didalam gedung olah raga sudah ramai. Linda, Osi, Roro, Indri, Asti, serta dua orang pemain cadangan, Ning dan Lela, teman-teman sekelasnya dari kelas dua IPS empat  yang akan ikut pertandingan voly sudah hadir lengkap. Dari  kelas dua IPS satu, Mesi dan teman-temannya sudah  hadir  pula. Belum lagi penonton dari kelas lain menambah gemuruh suasana didalam gedung.  Hari ini pertandingan  final voly antar kelas disekolah mereka. Kelas dua IPS satu berhadapan dengan kelas dua  IPS empat.
“Kekuatan tim bola voli kita tidak kalah dari kelas IPS satu.” Kata Osi, pemain andalan IPS empat. “Tapi kita tidak bisa menganggap sepele kekuatan mereka. Terutama kekuatan ada pada Mesi dan Nunuk. Meskipun gembrot, Nunuk jago smes. Dia bisa membuat bola pecah berantakan dengan smes geledeknya.”
“Ah, tak perlu takut.” Tukas Mona sambil melepaskan jaketnya. “Aku yakin kita akan berhasil mengalahkan mereka. Nih, aku bagi minuman  penambah energi dulu. Biar tambah semangat.”
Mona membagi-bagikan botol minuman energy drink yang langsung jadi rebutan.  Osi mengambil dua botol namun Indri mengambil  satu dari tangan Osi.
”Yang lain tidak kebagian, tahu?!”  gerutu Indri.
“Dapat sponsor dari mana?” tanya Roro yang ikut berebut dengan yang lainnya mengambil botol minuman dari tangan Mona.
”Banyak tanya, ambil saja.” sahut Mona.
Surya meniup peluit panjang. Pertandingan akan segera dimulai. Mona, Linda, Osi, Roro, Indri dan Asti segera masuk kelapangan dengan penuh semangat. Ning dan Lela menunggu dipinggir  lapangan dengan teman-teman sekelas mereka yang nyaris hadir lengkap untuk memberikan dukungan pada teman-teman mereka yang akan bertanding.  Dari kelas dua IPS satu, Mesi, Dina, Nunuk, Hesti, Sari dan Indah maju kelapangan. Tepuk tangan bergemuruh menghadapi dua kelas yang berhadapan di final.
Surya meniup peluit panjang. Pertandingan dimulai.
Dina yang pertama serve. Bola melayang melewat net. Roro menerima bola, memberi umpan pada Asti yang jago smes. Asti melompat tinggi. Sebuah pukulan keras dilancarkan Asti. Bola menukik keras. Dengan gesit Nunuk menerima bola. Bola berhasil diselamatkan. Bola melambung tinggi kearah Mesi. Mesi memberi umpan pada Sari yang berada didepan net. Sari melancarkan smes keras. Indri tunggang langgang berusaha mengambil bola namun bola jatuh ditempat kosong. Tepuk tangan  bergemuruh. Terutama dari kelas IPS Satu. Mereka bersorak sorai gembira. Tidak menyangka pemain volly cewek kelas mereka bisa tampil seperti pemain profesional.
Dina kembali melakukan serve. Bola melayang. Linda  menerima bola. Memberi umpan pada Osi. Osi mengoper pada Asti. Dengan sekali pukul Asti  melancarkan smes namun Indah  dengan tangkas menerima bola, tubuhnya tergelincir, namun bola berhasil diselamatkan. Nunuk  menerima bola memberi umpan pada Mesi. Mesi  meneruskan pada Dina. Dina memukul bola kedaerah  lawan, namun Osi  berhasil menerima bola. Bola melayang pada Mona. Mona  memberi umpan pada Asti. Sambil berteriak keras Asti  melancarkan smes keras kedaerah lawan. Bola tak dapat dijangkau. Jatuh ditempat yang kosong. Tepuk tangan kembali bergemuruh.
Bola  berpindah. Roro  melakukan serve. Bola melayang tinggi namun tidak berhasil melampaui net. Bola kembali berpindah. Sari  melakukan serve. Bola melayang tinggi namun kembali bola tidak berhasil melampaui net. Penonton  bersorak sambil bertepuk tangan.
Bola kembali berpindah. Osi  melakukan serve keras. Dina  menerima bola dengan lincah.  Bola melayang kedaerah lawan. Mona  menerima bola. Diumpan pada Linda. Linda mengoper pada Asti yang langsung melancarkan smes keras. Pukulannya keras dan kencang.  Bola tidak dapat ditahan lawan. Kelas IPS empat bersorak gembira.
Osi kembali  melakukan serve. Sayang  tidak berhasil melampaui net. Bola berpindah. Nunuk melakukan serve. Roro menerima bola. Bola melambung keluar lapangan. Osi mengejar sekuat tenaga. Dia berhasil mengembalikan bola ke lapangan. Indri menerima bola, memberi umpan pada Linda. Linda  berusaha melakukan smes tapi Nunuk  yang berada didepan  net langsung melakukan blok. Bola berpindah ke kelas IPS satu.
Perolehan angka kelas dua IPS satu  melesat. Mengumpulkan sembilan  angka dengan smes menggeledek. Ucapan Osi terbukti. Nunuk dan Mesi tidak bisa dianggap sepele. Kedua pemain itu kadang meloncat bersamaan, melakukan smes keras yang sulit ditahan. Kelas dua IPS empat  baru memperoleh dua angka  dengan susah payah.  Kelas dua IPS satu  bersemangat mengalahkan dua IPS empat. Bola agak sulit pun mereka ambil dengan keras. Dua tiga pemain melompat keatas dengan bersamaan. Tiap kali smes masuk, pendukung kelas dua IPS satu bertepuk tangan disertai bunyi terompet panjang. Ketua kelas dua IPS  empat, Andi, minta istirahat  ketika kedudukan 9 -  4. Angka 9 untuk kelas IPS satu.
“Mesi dan Nunuk memang  jago tapi ini bukan pemainan satu set. Mereka semangat di set pertama tapi bisa kewalahan di set berikutnya. Kita  kewalahan di set pertama tapi  bisa menang pada set kedua. Bikin mereka kecapean di set pertama. Bikin mereka kehabisan  tenaga di set pertama. Kita simpan tenaga di set pertama. Baru di set  kedua kita keluarkan  tenaga kita habis-habisan. Itu  kesempatan bagi kita.” Kata Andi menyemangati rekan-rekan wanitanya. Sudah dua minggu dia tidak kenal lelah melatih teman-teman ceweknya. Hasilnya tidak percuma. Kelas mereka bisa masuk final. Jelas Andi merasa bangga. Apalagi Linda, kekasih hati ikut bertanding.
Surya kembali meniup peluit berbunyi panjang. Pemain kembali masuk kelapangan. Masih dengan semangat yang sama seperti ketika awal bertanding tadi. Kelas IPS satu yang mendapat serve pertama.  Hesti melakukan serve yang bagus sekali. Bola dengan bagus melambung melampaui net. Roro menerima bola dan memberi umpan pada Indri. Indri menerima bola. Bola melambung pada Mona yang berada didepan net. Mona melakukan smes keras. Dengan gesit Nunuk mengambil bola. Smes keras Mona berhasil ditahan pihak lawan. Bola melambung tinggi keluar lapangan. Terpontang-panting Sari berlari mengambil bola. Bola berhasil dikembalikan kelapangan. Indah mengambil bola sekaligus memberi umpan pada Nunuk. Seperti kesetanan Nunuk melakukan smes keras. Bola jatuh ditempat kosong, Roro tak sanggup menahan smes keras Nunuk. Dia tergelincir, tubuhnya berguling-guling ditengah lapangan. Angka bertambah untuk kubu IPS Satu. Kompanyon IPS Satu bersorak sorai gembira. Permainan terasa semakin memanas, ditimpali dengan sorak sorai penonton yang riuh bergemuruh menyoraki setiap pemain.
Hesti kembali  melakukan serve. Bola melayang melampaui net. Osi mengambil bola dan berhasil mengembalikannya kedaerah lawan. Mesi mengangkat bola yang langsung diterima Nunuk.   Hempasan bola dari Nunuk diterima Linda. Linda memberi umpan pada Osi. Osi  meloncat tinggi melakukan smes keras. Dina dengan gesit mengambil bola. Bola melambung tinggi. Sari dan Indah bersama-sama meloncat mengambil bola. Indah  melakukan smes keras namun Mona berhasil mengambil bola meskipun dengan susah payah sampai serodotan dilantai. Roro mengangkat bola, Indri   menerima sekaligus memberi umpan pada  Asti yang berada didepan net. Asti berusaha memblok namun Mesi dengan lincah menahan  bola. Bola melambung. Indah memberi umpan pada Nunuk. Kembali Nunuk melakukan smesh keras. Bola jatuh dengan cepat didaerah lawan. Indri memekik kesal karena gagal mengambil bola.
Tepuk tangan bergemuruh. Pertandingan antara kedua kelas  ini tidak kalah menariknya dari pertandingan pemain-pemain volley profesional. Pak Sugiono guru sejarah  yang turut menyaksikan pertandingan itu sampai ikut bertepuk tangan berkali-kali menyaksikan kelincahan para pemain dilapangan.
Dengan susah payah kelas dua IPS empat  berusaha melawan kelas dua IPS satu  namun akhirnya mereka terpaksa harus mau mengakui kehebatan kelas dua IPS satu. Peluit panjang Surya seakan mengukuhkan kemenangan kelas dua IPS satu. Dua set langsung  dimenangkan kelas dua IPS satu. Suporter kelas dua IPS satu  bersorak sorai gembira. Suporter kelas dua IPS empat  tidak mau kalah, mereka ramai-ramai meniup terompet menimpali  kekalahan mereka.
“Sebenarnya tim kelas kita sudah bagus tapi kelas IPS satu memang kelihatan lebih kompak dan mereka ulet. Bayangkan, bola yang melenceng keluar lapanganpun mereka kejar sampai pontang-panting. Gaya mereka sudah seperti pemain voly profesional saja.” Kata Andi  memberi hiburan pada teman-teman ceweknya  yang nampak agak  kecewa  dengan kekalahan mereka. Wajah-wajah kemerahan berkeringat, kecapaian.
“Permainanmu bagus sekali, Mon. Kau memang hebat. Kau bisa menjadi pemain profesional, lho.” Kata Mesi ketika semua pemain saling  berjabatan tangan. 
Mona tersenyum  menerima jabatan  tangan Mesi. Dia tidak boleh memperlihatkan perasaannya yang sesungguhnya  pada Mesi dihadapan teman-temannya meskipun semua temannya sudah tahu bagaimana bencinya dia pada Mesi.
Ketika sedang membenahi tasnya, tanpa sengaja mata Mona menoleh kesuatu arah. Mendadak Mona merasa hatinya  panas membara  dilanda perasaan cemburu. Dia melihat Trisna melenggang santai kearah Mesi dan menyalami gadis itu serta  teman-temannya. Mungkin dimata orang lain  sikap Trisna kepada  Mesi wajar-wajar  saja. Namun dimata Mona sikap  Trisna terlihat  begitu mesra kepada Mesi. Apalagi ketika melihat mereka saling  menatap  dengan senyuman yang tersungging dibibir masing-masing. Seolah sengaja ingin memperlihatkan kemesraan mereka didepan orang lain. Terasa ada yang bergolak dalam dadanya. Cemburu itu seakan membakar perasaannya. Mona berpaling. Dia tidak mau menyaksikan kedua manusia itu.  Cemburu itu terasa semakin menyakitkan karena hadir pada saat dirinya sedang dilanda kekecewaan dengan kekalahannya.
“Sudahlah Mon, ini kan hanya  pertandingan persahabatan antar kelas. Kekalahan kita jangan terlalu diambil hati.” Andi sang ketua kelas mencoba menghibur.
“Oh, kau tidak tahu, aku sudah cape-capek latihan tapi ternyata Mesi yang menang.” sahut Mona pura-pura menggerutu.
Andi maklum kenapa wajah Mona nampak kusut.  Jadi bukan karena kelasnya kalah tapi karena Mesi yang menang. Seandainya kekalahan ini dengan kelas lain, bukan  dengan kelas Mesi, mungkin kekecewaan Mona tidak akan nampak separah ini. Dengan penuh simpatik Andi memeluk bahu Mona. “Sudahlah, Mon, aku mengerti……..”
Mendadak Mona meradang.   “Ngapain  meluk-meluk segala?” damprat Mona.  “Kau pikir aku ini apamu?”
“Lho?”  Andi gelagapan.  “Aku simpatik padamu….”
“Simpatik engak usah sambil meluk-meluk segala. Kau kira aku suka dipeluk-peluk kamu? Memangnya aku cewek gampangan?”
Andi bengong melihat Mona negeloyor pergi sambil menyandang tasnya.
“Ada apa?” tanya Yusak melihat Mona merengut pergi.
Andi mengangkat bahu. “Mana kutahu. Maksudku mau menghibur tapi dia malah marah-marah begitu.”
“Kau sih menghibur sambil  peluk-peluk segala, mana mau dia diperlakukan begitu.” Yusak menyeringai. Dia sudah pernah mengalami didamprat Mona. Dan mafhum bila sekarang Mona menyalak pada Andi.
Andi ikut menyeringai.  Dengan Mona harus serba hati-hati. Soal  apapun bisa jadi ribut kalau berurusan dengan Mona.  
Mona melangkah menuju kantin disamping gedung olah raga. Disana teman-temannya sudah duduk sambil makan baso. Mona memesan baso tanpa banyak cakap sementara yang lain masih ramai berceloteh membahas pertandingan tadi.
Mona asyik dengan pikirannya sendiri. Bukan main masygul perasaannya.  Kenapa pemuda yang ditaksirnya malah kelihatan akrab dan dekat dengan Mesi?  Kalau saja Trisna  dekat dengan cewek lain, mungkin hatinya tidak akan sesakit ini. Sudah lama Mona tahu bahwa diantara Trisna dan Mesi sejak lama sudah menjalin persahabatan. Namun sayang Mona baru mengetahui kedekatan Trisna dengan Mesi justru setelah dirinya kenal dan merasa jatuh cinta kepada Trisna. Cintanya tak bisa ditarik lagi. Bahkan semakin terul;ur seperti benang pada layang-layang yang sedang melayang-layang  diudara. Dia merasa sudah terlanjur  menyukai Trisna. 
“Kelas dua IPS  satu  sering latiha voly. Berbeda dengan kita yang mendadak latihan karena akan menghadapi pertandingan saja.” kata  Roro yang duduk  disamping Mona. Roro bicara begitu   mengira  Mona duduk bengong saja karena masih memikirkan kekalahan kelas mereka.  Roro tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Mona.
”Mesi dan Nunuk memang bagus permainannya.” kata Indri. ”Nunuk pernah ikutan  klub voly waktu SMP, tidak tahu kenapa dia sekarang keluar dari kllub itu padahal bila dia terus berada dibawah naungan klub voly, dia bisa menjadi pemain voly profesional.”
Semua diam, tidak ada lagi yang membahas soal pertandingan tadi.  Roro dan Osi keduanya berdesah kepedasan menikmati baso.  Mona mencoba menikmati basonya. Namun bayang-bayang Mesi dan Trisna terasa sangat mengganggu pikirannya. Kenapa harus Mesi yang dekat dengan Trisna? Pertanyaan itu berkali-kali mengganggu pikirannya.  Di sekolah mereka banyak gadis cantik dan menarik. Banyak pilihan namun kenapa Trisna justru memilih  Mesi, gadis yang seayah dengan dirinya? Pikir Mona. Dia mencoba menikmati basonya. Dia mengambil mangkok sambal dan menuangkan dua sendok sambal kedalam mangkok basonya.
“Iih… Mona! Nanti kamu sakit perut!” tegur Indri melihat Mona menuangkan cabe begitu banyak.
“Tidak apa-apa. Aku kuat, kok.” Sahut Mona.
Sesaat Mona melupakan apa yang barusan dipikirkannya dan menikmati baso yang pedas menggugah selera.  Namun bayangan Trisna dan Mesi seolah enggan beranjak dari pikirannya. Baso yang panas dan pedas sama seperti perasaannya saat ini.
Mona mengajak Indri pulang   jalan kaki. Indri menurut saja apa maunya Mona karena tahu Mona sedang ruwet perasaannya. Dan Indri tahu apa yang menjadi sebab namun dia tidak mengusik perasaan Mona. Dibiarkan saja.  Mereka  berjalan berdua menelusuri trotoar. Sepanjang jalan Indri mengoceh namun tak satupun kata-katanya yang didengar Mona. Pikiran Mona masih pada pertandingan voly  tadi.  Bukan pada kekalahannya namun bayangan Mesi selalu melekat dalam benaknya setiap saat.
Entah  kapan dia bisa menerima Mesi sebagai bagian dari hidupnya. Ayah mereka  sama. Darah yang mengalir dalam tubuh mereka sama.  Namun mereka lahir dari rahim yang berbeda. Hal itu yang membuat Mona tetap tidak bisa menerima Mesi menjadi bagian dari kehidupannya.  Mona selalu menganggap Mesi sebagai gangguan bagi hidupnya yang semestinya indah andaikan tanpa kehadiran Mesi dan ibunya dalam kehidupannya.
Bagi Mona, Mesi dan ibunya  telah merampas kebahagiaan dan ketentraman hidupnya. Mona tidak mau peduli dengan teori poligami yang menurut ulama sah dan diperbolehkan oleh agama. Yang disesalinya kenapa poligami yang tidak diharamkan oleh agama itu justru dilakukan oleh ayahnya. Mona sering merasa iri melihat teman-temannya yang memiliki ayahnya seutuhnya tanpa harus berbagi dengan keluarga lain. Lagi pula Mona sering merasa minder dan malu ketika orang tahu bahwa ayahnya memiliki dua istri.
Seringkali Mona menyesali diri dan menyalahkan ayahnya walaupun latar belakang kenapa ayahnya sampai melakukan poligami sudah pernah diceritakan oleh ibunya kepadanya berulang kali, namun Mona tetap tidak bisa menerima poligami yang dilakukan ayahnya. Sering dia merasa benci kepada ayahnya dan maunya menumpahkan emosinya kepada ayahnya yang tega menyakiti perasaan ibunya.
Menurut Mona,  dalam berpoligami apapun alasannya pasti ada pihak yang tersakiti dan merasa terdholimi. Dan biasanya selalu istri pertama yang tersakiti dan terdholimi.  Dalam kasusnya, jelas ibunyalah sebagai pihak yang tersakiti dan didholimi. Itu pendapat dan kesimpulan Mona. Jadi Mona merasa berhak untuk membenci Mesi dengan ibunya. Juga membenci ayahnya yang menjadi penyebab  penderitaan ibunya dan dirinya. 
Dari penuturan cerita  ibunya, Mona tahu  Harisman, ayahnya menikah lagi setelah sepuluh tahun usia  perkawinan  mereka namun ibunya  belum juga memberikan anak. Cerita klise yang sering terjadi pada pasangan suami isteri lainnya yang terlambat mendapatkan keturunan. Ketika Harisman   menikah lagi dengan  Teja, beberapa bulan kemudian ibunya, Mirta,  hamil. Tiga bulan kemudian Teja,  isteri kedua ayahnya, juga  hamil. Jadi ketika mereka lahir, usia Mona dan Mesi hanya selisih tiga bulan.
Meskipun Harisman selalu berusaha memberikan kasih sayang yang cukup kepadanya, Mona tetap menganggap Mesi sebagai ganjalan dalam hidupnya. Andai saja Mesi tidak ada, andai saja ayahnya tidak menikah lagi dengan  Teja, andai saja tidak ada poligami dalam keluarganya, barangkali kasih sayang dan perhatian ayahnya hanya tercurah untuk dirinya dan ibunya saja. Jadi Mesi dan  Teja telah membuat cinta dan kasih sayang ayahnya terbagi dua. Sesuatu hal yang sangat dibenci Mona. Mona benci pada ayahnya namun dia  lebih benci lagi kepada Mesi. Dan nasib seakan selalu membuat mereka selalu bersama-sama. 
Sejak masih duduk ditaman kanak-kanak  hingga sekarang di sekolah menengah atas, dia dan Mesi selalu saja bersekolah di sekolah yang sama. Karena ayahnya selalu mendaftarkan mereka di sekolah yang sama meskipun sejak kecil Mona selalu protes tidak mau satu sekolah dengan Mesi.
“Mesi saudaramu. Kau harus bisa menerima  Mesi dan hidup damai sebagai saudara dengannya, Mona.” Sudah berulangkali Mirta mengingatkan Mona. Seakan tak bosan-bosannya menyadarkan anaknya bahwa hubungan darah  antara Mona dengan Mesi tidak bisa dihapus begitu saja, seperti menghapus tulisan pinsil pada kertas.  
Ketika dia masih duduk dibangku sekolah dasar. Mona berkeras tidak mau pergi ke sekolah setelah  dia tahu dirinya sekelas dengan Mesi. Meskipun Mirta  sudah berusaha membujuknya agar mau  pergi ke sekolah, namun Mona tetap keras kepala tidak mau pergi. Akhirnya Harisman   mendatangi  pihak sekolah, menghadap ibu kepala sekolah meminta agar Mona dan Mesi tidak disatukan dalam kelas yang sama. Seminggu kemudian Mesi pindah ke kelas lain. Barulah Mona mau masuk sekolah. Setelah itu, meskipun mereka bersekolah di sekolah yang sama, namun Harisman   selalu meminta kepada kepala sekolah agar mereka dipisahkan pada kelas berbeda.
Mona tidak banyak protes lagi. Apalagi meskipun satu sekolah mereka memiliki kegiatan yang berbeda. Mereka jarang bertemu. Kalaupun kebetulan bertemu mereka hanya bertegur sapa seperlunya saja. Biasanya Mesi yang menyapa duluan. Mesi memang ramah pada siapapun. Apalagi pada Mona, saudaranya sendiri. Mesi seakan selalu ingin berusaha mendobrak dinding keras dan tinggi yang seakan sengaja dibangun Mona untuk membatasi mereka berdua.
Hal lain yang  masih dianggap mengganggu, adalah bila Mona melihat Mesi memakai sepatu atau tas baru, timbul syak wasangka dan curiga dihatinya bahwa ayahnya telah membeda-bedakan dirinya dengan Mesi.
”Tidak, Mona.” ujar Harisman menanggapi protes Mona. ”Ayah tidak pernah membedakan-bedakan kalian. Apa yang ayah berikan kepadamu, diusahakan selalu sama dengan yang ayah berikan kepada Mesi.”
”Tapi Mesi memakai tas dan sepatu yang berbeda denganku.” ujar Mona.
Akhirnya, setiap kali ayah membelikan peralatan sekolah, atau apapun untuk Mesi, selalu sama dengan yang dibelikan pada Mona. Dan terbukti, Mona tidak pernah protes lagi.
Namun kini setelah sama-sama beranjak dewasa, nampaknya Mona akan menemui masalah lain dengan Mesi. Mengapa dia harus jatuh cinta pada Trisna yang merupakan sahabat Mesi? Ah, benarkan mereka hanya bersahabat saja? Benarkah diantara mereka tidak ada hubungan lain yang lebih istimewa dari sekedar persahabatan semata? Seringkali Mona merasa terbakar cemburu. Akhirnya  dia   jadi suka menyalahkan dirinya sendiri mengapa dia harus jatuh cinta pada pemuda yang sudah jelas memiliki kedekatan  dengan Mesi? 
Seharusnya sejak awal dirinya menyadari apabila dia bertahan menyukai Trisna, akan ada  hal yang akan cukup mengganggu hubungannya dengan Trisna. Gangguan itu adalah Mesi. Baginya Mesi seperti duri dalam daging. Harus dicabut dan dibuang agar tidak menusuk semakin dalam kedalam dagingnya, sehingga menimbulkan luka dan  borok. Namun ternyata  tidak mudah mengenyahkan Mesi dari kehidupan Trisna. Sepertinya mereka memang sudah tercipta untuk bersama-sama. Dengan dasar hubungan apapun. Walau dengan dasar  hubungan pertemanan saja sekalipun.
“Mon! Lihat itu Mesi dan Trisna!”
Mendadak Indri memegang tangan Mona. Mata Indri tertuju pada satu arah. Mona mengikuti arah  tatapan  mata Indri.  Sesuatu terasa menikam perasaannya. Mata Mona sesaat terpaku kearah   kedai kopi “Tempo Doeloe”. Kedai kopi itu sering dijadikan tempat mangkal anak-anak muda. Untuk sekedar  nongkrong ataupun  ngobrol ngalor ngidul di sore hari ataupun malam hari, terutama dimalam minggu. Sambil menikmati secangkir kopi panas. Kopi khas  kedai  kopi “Tempo Doeloe”. Kopi dadakan yang baru digiling. Bukan kopi instant yang siap seduh. Ditemani aneka kue khas buatan kedai kopi ”Tempo Doeloe.” untuk menemani minum kopi.
 Pada salah satu meja yang ada dihalaman bangunan kuno itu,  Mona melihat Mesi dan Trisna  sedang duduk disana. Keduanya nampak duduk santai sambil bercakap-cakap.  Mona tidak berhenti melangkah walaupun matanya melihat terus pada mereka berdua sebelum akhirnya dia  berpaling. Kembali  cemburu itu terasa mengganggu perasaannya.  Jadi tadi Trisna memang sengaja datang ke gedung olahraga, bukan sekedar untukmenonton pertandingan voly, namun juga untuk  menjemput Mesi? Ah, begitu besarkah perhatian Trisna kepada Mesi?
Lagi-lagi Mona menyalahkan dirinya sendiri. Kenapa dia harus menyukai  pemuda yang menjadi teman dekat Mesi? Kenapa dia tidak bisa berpaling dari Trisna? Kecemburuannya melihat Trisna  berdua dengan gadis lain terasa semakin menyakitkan perasaannya karena gadis itu adalah Mesi. Andai saja gadis yang bersama Trisna itu bukan Mesi mungkin hatinya tidak akan sesakit ini.  Belum puas juga Mesi mengambil apapun dari dirinya. Ayahnya.  Sepanjang usianya, hatinya diliputi rasa cemburu karena harus berbagi kasih  sayang ayahnya dengan Mesi. Belum cukup jugakah pengorbanannya selama ini? Dan sekarang Mesi berusaha mendapatkan Trisna,  pemuda yang disukainya. Mona merasa semakin benci pada Mesi. Dia menoleh kembali kearah kedai kopi. Dia melihat wajah Mesia yang lembut sedang tersenyum mendengarkan sesuatu yang diucapkan Trisna kepadanya. Dalam pandangan Mona, sikap Mesi dan Trisna itu seolah sebuah kemesraan yang ingin dipertontonkan pada orang-orang yang tengah lalu lalang disepanjang trotoar. Mona merasakan hatinya semakin  membara oleh cemburu. Oh, inikah konsekwensi sebuah cinta?
“Kau tak perlu bersedih” Hibur Indri ketika melihat perubahan pada raut wajah Mona.   “Trisna  sudah jelas ada hubungan dengan Mesi. Aku sudah lama tahu antara Mesi dengan Trisna memang sangat dekat, bahkan sejak mereka duduk dibangku SMP. Hak mu bila kau memang menyukai  Trisna namun aku menyarankan  kau tak perlu mempertahankan menyukai Trisna dengan tujuan untuk mendapatkannya. Percuma. Akan sia-sia saja.  Kalaupun kau tetap bertahan ingin mendapatkan Trisna,  aku yakin hanya akan membuatmu semakin sakit hati.”
Indri menggandeng tangan Mona. “Aku sahabatmu, Mon. Aku tidak ingin melihat engkau merasakan kekecewaan  apalagi kalah sampai hatimu  terluka.  Lupakanlah  Trisna  dan carilah  pemuda lain. Jangan tunggu sampai Trisna melukai  hatimu. Aku merasa  yakin, Trisna tidak akan  meninggalkan Mesi untuk menjalin hubungan denganmu. Ada hal-hal yang membuat Trisna sungguh-sungguh menyayangi dan akan selalu melindungi Mesi. Sesuatu hal yang kita tidak tahu apa. Namun aku melihatnya seakan memang seperti itu. Aku bisa melihat bagaimana cara Trisna memperlakukan Mesi, seolah dia selalu bersikap menjaga dan melindungi Mesi.”   
Mona diam saja dengan perasaan masygul. Indri mungkin tulus menyarankan seperti itu. Memang gampang bicara untuk melupakan Trisna. Namun  Indri  tidak tahu betapa sukanya dia pada Trisna . Dia pun bisa merasakan Trisna pun menyayanginya. Ah, mudah-mudahan bukan hanya perasaannya saja.  Mudah-mudahan memang benar-benar Trisna menyukai dan menyayanginya.  Bahkan  baru dua hari lalu Trisna  masih  berkunjung kerumah, mengirim novel kesayangannya, mengajak jajan  berdua …… Masa Trisna hanya pura-pura menyukainya. Mona yakin Trisna  tulus kapadanya. Akan tetapi cinta? Ah, kapan Trisna pernah mengungkapkan cinta kepadanya? Namun meskipun Trisna belum pernah mengungkapkan cinta kepadanya, rasanya Mona tidak percaya apabila sikap Trisna yang baik dan manis kepadanya hanyalah sebuah kebohongan dan kepura-puraan saja. Untuk apa Trisna melakukan hal itu kepadanya?  Namun kini matanya melihat sendiri Trisna bersama gadis lain. Dan gadis itu adalah Mesi. Betapa panas hatinya. Seakan dipanggang diatas bara api. Padahal mimpi-mimpinya dengan Trisna selama ini begitu manis.  Dan yang membuat impiannya  kini seakan  berakhir adalah Mesi. Makin benci saja dia pada gadis itu.
Ingin rasanya Mona melabrak Mesi.  Namun oh, tidak. Walaupun  dadanya serasa sudah panas oleh bara cemburu namun  sekuat tenaga Mona  mencoba menahan perasaannya. Tidak! Pikir Mona. Aku lebih baik menahan diri. Walaupun aku ingin mencakar Mesi namun aku  tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan yang sekiranya akan membuat orangtuaku malu. Tidak mungkin aku menjadi tontonan orang-orang. Berkelahi dengan saudara seayahku sendiri.
“Sudahlah! Lupakan saja Trisna. Cari pemuda lain, oke?” Indri  berusaha menghibur perasaan Mona.
Mona diam saja. Pikirannya  masih terbelenggu oleh emosinya. Kalau  saja gadis yang bersama Trisna  itu adalah gadis lain, dia akan berusaha bersabar. Tapi kalau Mesi, oh, dia tak sudi harus mengalah pada Mesi.   Cukup  ibunya yang mengalah dalam  persaingan mendapatkan cinta ayah mereka.  Dia tidak ingin sejarah terulang. Dia tidak ingin seperti ibunya, mengalah dan berbagi kasih dengan yang  lain. Sudah cukup selama ini dia hidup menderita karena ulah ibunya Mesi yang telah merebut ayahnya dari ibunya. Dia akan berusaha mendapatkan Trisna. Keterlaluan. Seakan tak puas-puasnya Mesi mengganggu perasaannya. Ada-ada saja yang dilakukannya untuk memancing emosinya. Sekarang dia malah menyabet Trisna  yang sudah lama ditaksirnya.
Mona sudah jatuh cinta kepada Trisna sejak awal dirinya masuk SMA. Dimata Mona Trisna bukan hanya  ganteng namun juga dia adalah sosok pemuda yang menawan, kalem dan dewasa.  Kakak kelasnya itu dikenal sebagai pemain tenis handal. Pernah ada pertandingan tenis antar sekolah. Trisna termasuk pemain dari sekolah mereka.  Dan Mona hadir sebagai  suporter sekolahnya bersama dengan yang lain. Usai pertandingan Trisna seolah sadar ada seorang supporter yang kelewat bersemangat bertepuk tangan. Begitu sering gadis itu bertepuk tangan dan bersorak. Kemeriahan yang dipertontonka gadis itu mencuri perhatian Trisna walaupun dia sedang konsentrasi bertanding. Usai pertandingan, ketika memperhatikan Mona, Trisna seolah teringat bahwa gadis cantik itu satu sekolahan dengannya. Pasti adik kelasnya. Namun dia belum tahu siapa namanya. Trisna ingat, dia  pernah beberapa kali berpapasan dengan gadis itu. Dia mendekati Mona dengan penuh simpatik dan mereka berkenalan. Bukan main senangnya perasaan Mona ketika Trisna mendekatinya. Pada saat itu juga Mona merasa sudah jatuh cinta pada Trisna. Dengan baju olahraganya dan keringat diwajahnya, Trisna nampak semakin mempesona. Dan sejak perkenalan dilapangan tenis itu pula  Trisna mulai memperhatikan Mona. Disekolah, setiap kali berpapasan, Trisna selalu menyapa Mona dengan ramah. Atau kalau kebetulan saat istirahat jajan sama-sama di kantin, Trisna selalu duduk di meja yang sama dengan Mona.
Mona mengagumi Trisna  setengah mati. Pada pemuda lain barangkali Mona akan memerlukan proses lama untuk sampai pada tahap jatuh cinta. Biasanya Mona begitu. Tidak begitu kenal langsung jatuh cinta. Mona selalu  membutuhkan waktu yang cukup lama dan  proses yang tidak sebentar   sebelum mengakui dalam hati bahwa dirinya menyukai pemuda itu. Namun pada Trisna  Mona seolah memakai proses jaman sekarang yang serban instant.  Begitu kenal langsung sambung. Mereka saling bertukar nomor handphone. Kedekatan itu terasa semakin indah ketika mereka mulai saling kirim pesan pendek lewat telepon genggam mereka.  Mulanya  hanya sekedar saling menanyakan kabar dan saling bercerita tentang kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang mereka ikuti  disekolah. Lama kelamaan bahasa dalam sms mereka terasa semakin menunjukan kedekatan diantara mereka berdua.  Tak pernah Mona merasa curiga atau punya  prasangka apabila sikap Trisna akan sama pada semua gadis yang dikenalnya. Pikir Mona, hanya kepadanya saja sikap Trisna baik dan perhatian.
Perasaan Mona terasa bungah, seperti ada taman bunga didalam dadanya yang harum semerbak dengan aneka bunga yang indah. Dia sudah bisa menduga sejak awal berkenalan bahwa Trisna menaruh perhatian kepadanya. Mona tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.  Sejak saat itu tiap hari selalu ada sms diantara mereka. Bersahut-sahutan. Terutama menjelang mau tidur setelah selesai belajar. Kedekatan mereka berlanjut dengan kunjungan-kunjungan Trisna kerumahnya yang selalu disambut Mona  tanpa menyembunyikan kegembiraannya tiap kali melihat pemuda itu muncul dirumahnya. Mona sering bertanya soal pelajaran, pengetahuan umum, maupun berita-berita terkini yang biasanya selalu dijawab dan dijelaskan Trisna dengan bahasanya yang lugas. Sambil mendengarkan Trisna bicara, Mona senang memperhatikannya dan diam-diam tersenyum dalam hati. Mona ingin belajar main tennis. Dengan senang hati Trisna mau mengajari Mona berlatih tennis. Mereka punya jadwal seminggu dua kali main tenis. Karena lebih asyik bermain tenis dengan Trisna, Mona enggan latihan  bermain voly lagi dengan teman-teman sekelasnya. Padahal pada mulanya justru Mona yang mengajak teman-temannya latihan voly seminggu dua kali di gedung olahraga yang letaknya tidak jauh dari sekolah mereka. Namun setelah kenal dengan Trisna dan dilatih main tenis oleh Trisna, Mona merasa main tenis lebih mengasyikan karena bisa  memiliki waktu lebih banyak bersama-sama dengan Trisna. Pulangpun bisa berdua, tidak rame-rame seperti usai latihan volly. 
“Kok tak pernah ikutan main voly lagi.” Kata Osi ketika istirahat. Mereka makan baso tahu di kantin sekolah.
“Entahlah.” Sahut Mona santai. “Aku sekarang sedang demam tenis.” 
“Ya, memang enakan main tenis. Apalagi kalau yang melatihnya  adalah Trisna.” Kata Osi  dengan nada biasa-biasa saja.
“Kok tahu?”  Mona menatap Osi, menangkap senyuman dibibir Osi.
“Tahu, dong. Gosipmu dengan Trisna sudah menyebar kemana-mana lho.” Ujar Osi.
“Ah, masa?” Mona  tersenyum. Senang benar perasaannya mendengar dirinya digosipkan dengan Trisna. Disekolah mereka Trisna termasuk dalam daftar cowok populer karena aktifitasnya. Jadi Mona merasa bangga  juga bisa digosipkan dengan Trisna.
Mona baru ikut latihan voly lagi ketika sekolah mereka mengadakan pertandingan voly antar kelas dari mulai kelas satu sampai kelas tiga. Mona merasa memiliki tanggung jawab pada kelasnya. Pertandingan voly antar kelas merupakan kegiatan rutin setiap tahun. Mona tahu, dikelasnya Mesi menjadi pemain voly andalan. Tentu saja Mona tidak ingin kalah dari Mesi. Maka dia pun rajin berlatih voly lagi dan untuk beberapa waktu berhenti main tenis dengan Trisna.
Namun  yang mencemaskan Mona setelah dia kenal dengan Trisna,  dia mulai sering mendengar bahwa ternyata Trisna  dekat  juga  dengan Mesi.  Memang sudah sejak lama Mona mendengar desas-desus  kedekatan antara Trisna dengan Mesi. Namun Mona tidak langsung percaya. Walaupun ada perasaan kecewa mendengar gosip itu  dan dilanda cemburu, namun  tak menghalangi Mona untuk terus menempeli Trisna.  Dia akan  terus berusaha mendapatkan Trisna. Meskipun harus bersaing dengan saudara seayahnya. Mesi boleh saja sama-sama menyukai Trisna, namun  belum tentu Trisna memilih dia. Siapa tahu kedekatan dan kemesraan Mesi dengan Trisna hanya sebatas isue saja. Siapa tahu kenyataannya tidak seperti itu. Selama belum melihat dengan mata kepala sendiri, pantang bagi Mona untuk menelan bulat-bulat isue yang didengarnya. Bahkan gosip lain sempat pula didengar Mona, Mesi banyak pacarnya. Mungkin pula bukan pacar, tapi banyak yang naksir Mesi. Kalau itu Mona percaya. Meskipun dia membenci Mesi namun Mona mengakui kalau saudara seayahnya itu memang cantik dan menarik. Jadi pantas bila banyak penggemarnya.  Kulit Mesi putih bersih. Malah bisa disebut kulitnya mulus. Kalaupun ada sedikit noda bekas jerawat dipipinya, namun noda itu tidak lama akan menghilang kembali dari wajah mulus Mesi. Bentuk tubuhnya tinggi semampai seperti orang yang rajin senam. Mengenakan pakaian apapun, warna apapun, model apapun, selalu nampak serasi dipakai Mesi.
Seandainya  banyak pemuda yang naksir dan jatuh cinta pada Mesi  memang sudah sepantasnya dan seolah sudah dari sananya begitu. Pantas memang apabila banyak  pemuda dengan berbagai macam tipe yang naksir dan jatuh cinta pada Mesi karena gadis itu  baik dan ramah pada siapapun. Tidak pernah pilih-pilih orang. Selama orang itu baik semua mendapatkan kebaikan dan keramahan yang sama, tanpa pandang bulu. Kecantikan dan kebaikannya seakan berpadu menjadi satu, memancarkan aura tersendiri baginya dalam memikat pergaulan. Sikapnya yang manis dan ramah pada setiap orang disertai  senyumannya yang tulus dan tatapan matanya yang   lembut  adalah pemikat yang membuatnya banyak yang naksir dan jatuh cinta.
Mesi orangnya lembut dan  anggun. Perasaannya gampang tersentuh. Dia  juga sangat  perhatian pada orang-orang disekelilingnya. Sikapnya seakan tidak  tegaan apabila  melihat orang lain menderita kesusahan. Sikap Mesi yang hangat dan penuh kasih sayang pada orang lain, selalu membuat Mesi menerima dan menghibur orang yang tengah dirundung duka, bahkan  mencarikan jalan ke luar dari masalah yang tengah  dihadapi orang itu.  
Tapi seringkali terjadi, akhirnya malah menimbulkan masalah tersendiri buat Mesi kalau orang itu berjenis kelamin kelamin lelaki. Sebagian terbesar justru jadi  jatuh cinta pada  Mesi dan makin membutuhkan Mesi. Bukan sebagai sahabat  atau teman tempat curahan hati, namun lebih jauh ingin memiliki Mesi sebagai pacar. Dan karena Mesi tidak merasa tega bila harus memutuskan, yang berarti akan menimbulkan penderitaan bagi orang  itu, masalahnya jadi   panjang, melibat etrus seperti benang panjang yang dibelit-belit. Orang itu  makin berusaha menempeli Mesi dengan segala cara seakan bertanding dengan yang lain, sama-sama berusaha mendapatkan Mesi. Urusan malah namlak semakin rumit seperti sinetron yang panjang ceritanya.  Belum lagi  pecinta-pecinta baru bermunculan, meskipun Mesi sendiri kelihatan tidak repot menghadapi semuanya. Dia tetap ramah dan baik. Tetap memberikan perhatian yang tulus pada siapapun yang datang mendekat padanya.  Orang yang tidak kenal dengan sifat Mesi yang seperti itu, spontanitas akan  mencap gadis itu  suka obral cinta. Tak bisa jual mahal. Tak bisa tahan harga.   Namun Mesi tetap berseri dengan wajah cantiknya.  Dia tidak merasa terbebani dengan banyaknya yang naksir dan berharap menjadi pacarnya.
Namun Mona justru merasa sebal juga  kesal dengan sikap Mesi yang seperti itu. Dimata Mona, justru sikap Mesi itu kelewat berlebihan. Seakan dibuat-buat. Tidak tulus. Hanya sekedar cari muka. Hanya sekedar cari sandiwara dalam pergaulan. Menurut perasaan Mona, Mesi memang sengaja bersikap kelewat baik, hal itu  dibuat-buat, tidak tulus. Tidak mungkin ada manusia yang  kelewat baik hati pada siapapun. Malah menurut Mona sikap Mesi itu seolah mengumbar umpan pada setiap lelaki.   Mesi seakan  berbaik hati kepada semua lelaki yang berusaha mendekatinya. Seakan semuanya mendapat lampu hijau untuk mendekatinya dan mendapatkan hati serta cintanya. Dimata Mona, hal seperti itu sangat tabu dilakukan oleh seorang gadis yang berasal dari keluarga baik-baik. Bagi Mona, Mesi terkesan murahan, tidak berkelas, tidak elite dan sungguh kampungan sekaligus memalukan. Bukan main mualnya perasaan Mona tiap kali melihat Mesi sedang asyik beramah tamah dengan banyak teman lelaki disekolah mereka. Setiap kali bertemu dengan siapapun, Mesi selalu terlihat akrab dan hangat. Semua mendapatkan porsi yang sama.
“Menyebalkan.” Gerutu Mona pada Indri ketika suatu saat melihat Mesi sedang ngobrol didepan perpustakaan dengan anak kelas tiga yang berambut cepak. “Kalau sekedar cari gandengan dan gaetan, ya  mudah saja.  Asalkan  kita jual murah, apa sih susahnya.  Aku juga  kalau mau obral cinta dan rayuan sana sini seperti Mesi, seluruh lelaki disekolah kita ini bisa aku  gandeng. Bahkan laki-laki yang sedingin gunung es sekalipun bisa aku taklukan.  Tapi gengsi dong. Ngapain aku harus melakukan hal murahan seperti Mesi. Perempuan itu kan dinilai dari harga dirinya. Dari kehormatannya. Bukan dari apa yang diberikannya pada setiap lelaki.”
Indri mafhum dengan gerutuan Mona.  Kalau sudah benci, apapun yang skelihatan selalu nampak salah dan jelek. Namun i kata-kata Mona barangkali ada benarnya.  Mona sendiri sebenarnya tergolong gadis yang cantik dan menarik.  Bentuk tubuhnya tinggi berisi, kencang sintal.  Wajahnya molek. Bisa sumringah. Bisa serius.  Tergantung situasi dan kondisi yang sedang dihadapinya.  Juga tergantung perasaannya. Bila sedang bungah hatinya, senyumnya mengembang dibibirnya, bisa diberikan cukup royal dan diobral pada siapapun yang dikenalnya. Tapi bila perasaannya sedang kusut seperti benang diacak-acak ayam, jangan  harap mendapatkan  senyumannya meskipun hanya seulas.
Hal lain yang menjadi penilaian orang, Mona  memang  rada tinggi hati. Rada sombong. Rada judes. Dia pun tidak bisa dan tidak  mau bergaul dengan sembarangan orang. Dia rada pilih-pilih pergaulan. Yang namanya laki-laki pemabuk, perokok, jangan harap bisa  berteman dengan Mona.
Dan Mona pun mudah curiga jika lelaki bermulut manis padanya. Dia selalu curiga, pasti lelaki itu  ada maunya. Pasti mau nipu. Pasti bakal membohongi. Meskipun kenyataannya belum tentu begitu. Tapi watak suudzonnya memang begitu kental. Susah hilang. Meskipun ibunya sudah berulang kali menasehatinya bahwa tidak baik gampang suudzon pada orang. Agama sudah jelas melarang orang bersuudzon, berburuk sangka pada orang lain. Pernah ada yang menduga Mona melihat orang berdasarkan kasta. Dugaan itu merebak jadi isue hangat di sekolah. Yang berkasta paria jangan harap bisa bergaul dengan Mona.
Ketika mendengar  gosip itu Mona langsung membantahnya. Dia tidak melihat orang berdasarkan kasta. Menurut Mona, dari kalangan manapun bisa bergaul dan dekat dengannya. Namun Mona mengakui kalau dia memang agak memilih-milih dalam berteman.
”Iya, itu artinya kau sedikitnya mengakui bahwa kau memang terlalu pemilih dalam berteman.” ucap Ibunya ketika Mona membahas soal itu dengan ibunya.  ”Dan itu sama saja artinya  bahwa kau melihat orang berdasarkan kasta, apakah dia kasta brahmana, ksatria atau kasta yang paling rendah di India, kasta paria.” 
“Ah Mam, fellingku kan kuat. Aku bisa merasakan apakah orang itu berniat baik atau buruk kepadaku.”  Tukas  Mona membantah nasehat ibunya.
“Felling kita belum tentu benar. Perasaan kita seringkali keliru, bukan? Kau tidak bisa mengandalkan perasaan terus karena seringkali perasaan kita keliru. Dugaan kita keliru dalam menebak maksud orang. Dalamnya laut bisa diduga, hati orang siapa yang tahu.”
“Ah, Mam. Itu kan cuma peribahasa.”
Sebenarnya sifat seperti Mona begini biasa. Artinya tidak  hanya milik Mona saja.  Yang lain juga banyak yang memiliki  sifat begini. Hanya Mona memiliki sifat seperti itu kelihatan menonjol. Diperlihatkan pada setiap orang, seolah Mona berkata pada setiap orang, inilah sifatku yang sesungguhnya.
Satu hal lagi, Mona kadangkala kelewat ekstrem dalam menjaga dirinya dari laki-laki. Dia tidak bisa sembarangan digoda apalagi diisengin. Amarahnya bisa mendadak meledak. Bisa berkobar-kobar seperti api pada tumpukan kayu bakar. Dan tak mudah untuk dipadamkan. Akan menyimpan dendam dalam sanubarinya. Awalnya memang masih ada yang berani menggoda Mona. Namun setelah Mona sering melakukan perlawanan nyaris tak ada lagi yang berani menggoda Mona meskipun hanya sekedar iseng.
Karena merasa dirinya jual mahal, jelas Mona menilai Mesi kelewat murahan. Dalam penilaiannya Mesi  tidak bisa tahan harga. Bagi Mona perilaku Mesi jelas sangat memalukan. Apalagi bila dikaitkan diantara mereka masih ada hubungan darah. Bagi Mona kelakuan Mesi itu sungguh mencoreng nama baik keluarga. Dimata Mona, sifat Mesi yang seperti itu seolah tidak punya wibawa dan kharisma. Dia tidak pantas menjadi anak ayahku, pikir Mona, separuh menggerutu dalam hatinya. Seharusnya ayah bisa menilai bahwa perilaku Mesi sungguh telah mencoreng nama baik keluarga.
Namun Mesi sendiri tidak pernah tahu apa yang ada dalam pikiran Mona. Mesi juga tidak tahu  bila Mona menilai dirinya sampai sejauh itu. Sifat Mesi yang peramah dan penuh kasih sayang pada sesama pasti tidak akan difahami Mona yang angkuh dan menilai bahwa setiap manusia itu tidak sama, ada yang disebut kasta antara sesama manusia walaupun Mona sudah berulangkali membantah tuduhan ekstrem itu. Bagi Mesi, walaupun dimata Mona dirinya boleh disebut murahan,  tidak punya harga diri, tiba berwibawa, tidak berkharisma, dan lain sebagainya sebutan, namun Mesi sendiri tetap meyakini, keramahan dan sikapnya yang penuh kasih sayang pada sesama adalah amal ibadah  yang dijalankannya dalam perilakunya sehari-hari. Andaikan Mesi tahu pun bagaimana pandangan dan penilaian Mona terhadapnya, namun tak akan membuat Mesi berubah karena sifat Mesi yang peramah dan penuh kasih sayang sudah menjadi sifatnya sejak kecil. Jangankan kepada manusia, bahkan pada seekor kucing atau burung pun Mesi selalu menunjukan perhatian dan kasih sayangnya yang tulus.
Sifat seseorang konon suka ada memiliki kemiripan dengan moyangnya. Sifat Mesi mirip neneknya, ibu dari ayahnya. Penyabar dan lembut hati. Sementara Mona sifatnya agak  mirip kakeknya, ayah dari ayahnya yang memiliki temperamen cenderung tinggi, cepat dongkol, cepat emosional dan gampang tersinggung. Konon kakeknya dulu seorang juragan perkebunan tembakau yang cukup luas diwilayah Sumedang  dan banyak bergaul dengan orang-orang Belanda dan menak-menak Sumedang sehingga sifatnya agak ke-belanda-belandaan dan ke-bangsawan-bangsawanan. Itu penilaian sebagian besar orang.  Sifat Mona ini bukannya tidak disadari oleh kedua orangtuanya namun yang namanya sudah sifat, sudah watak, agak susah untuk merubahnya. Harus kesadaran sendiri dari yang bersangkutan  untuk mau berubah.  
“Jangan marah dengan ucapanku tadi, ya.” Mendadak suara Indri menyadarkan Mona yang sedang larut dalam lamunannya padahal mereka sedang berjalan menelusuri trotoar. Jalan raya nampak lengang tidak terlalu banyak kendaraan yang lalu lalang.
Mona tersenyum kecut. Dia paling tidak bisa menyembunyikan perasaannya.  Apapun  yang sedang dirasakannya, selalu nampak terpancar diwajahnya. Sedih, marah, kesal, ahagia. Apapun perasaan yang tengah dirasakannya, secara spontan memancara dari   wajahnya.
“Dari tadi aku bicara terus namun kau seolah tidak mendengarkan kata-kataku.” Ujar Indri. “Jangan terlalu dipikirkan kata-kataku tadi. Kalau kau serius ingin mendapatkan Trisna, pasti akan ada jalannya untuk mendapatkannya. Siapa tahu memang antara Mesi dengan Trisna tidak seserius seperti gossip selama ini.”
Indri berhenti didepan rumahnya. Tak terasa mereka sudah sampai didepan rumah Indri. “Mau mampir dulu?”
“Tidak. Kapan-kapan saja.” Sahut Mona lesu.
Indri tersenyum menatap wajah Mona yang seperti kurang darah. “Hati-hati ya dijalan. Jangan berjalan sambil melamun.”
Mona hanya tersenyum tipis. Dia meneruskan langkahnya. Rumahnya sudah tidak jauh lagi. Ah, nasibku, pikir Mona. Aku berjalan sendirian semantara Mesi duduk berdua dengan Trisna disana. Apa yang sedang mereka percakapkan? Mengapa mereka bicara sambil saling menatap dengan mesra? Mengapa Trisna tak pernah bersikap mesra kepadaku?  Sepanjang jalan Mona sibuk berbicara dengan hatinya sendiri. Tak urung akhirnya tiba juga dia dirumahnya.

--- 0 ---


Hujan gerimis sejak pagi. Matahari seolah enggan menampakan diri. Cuaca terasa dingin. Minggu yang kelabu. Mesi tidak keluar rumah padahal rencananya hari minggu ini  dia akan pergi ke toko buku yang baru   seminggu dibuka. Menurut  Ana, teman sekelasnya yang sudah mengunjungi toko buku itu,  banyak  novel-novel terjemahan terbaru dari pengarang-pengarang luar negeri. Mesi senang mengoleksi novel. Namun gerimis yang turun sejak pagi membuat Mesi enggan keluar rumah.
Selesai membersihkan rumah dan beres-beres, dia duduk-duduk diruang tengah, menyalakan televisi dan  membuka-buka majalah yang tergeletak dibawah meja. Dihalaman masakan, matanya melihat menu bubur seafood. Nikmatnya makan bubur panas dicuaca dingin begini, pikirnya. Dia melihat bahan-bahan yang dibutuhkan. Kebetulan masih tersisa udang di lemari es. Sesaat kemudian dia sudah astyik di dapur membuat bubur. Sambil menunggu bubur matang, dia membersihkan udang, mengiris jahe, cabai merah dan daun bawang. Tak lama bubur   seafoofnya sudah siap disantap. Mesi membawa mangkok buburnya keruang tengah. Televisi masih menyala menyajikan acara travelling. Telepon ngenggamnya berbunyi. Trisna menelepon.
”Hei, sedang apa?” Sapa Trisna kalem.
”Baru selesai membuat bubur seafood., ada udang, pakai irisan jahe, daun bawang dan cabai merah.” sahut Mesi sama kalemnya.
”Jadi kepingin mencicipi. Kedengarannya enak.  Masih ada untukku?”
”Aku bikin untuk lima porsi.”
”Aku kerumahmu, ya.”
”Diluar masih hujan.”
”Hanya gerimis.” sahut Trisna sambil menutup telepon.
Mesi  mengaduk-aduk buburnya. Memang enak rasanya. Apalagi bikian sendiri.  Dia menunggu Trsna. Tidak bisa menolak bila Trisna ingin kerumahnya. Selama ini Trisna sudah biasa kerumahnya. Namun sudah beberapa waktu ini Mesi selalu berusaha menghindari Trisna. Disekolahpun dia berusaha tidak bertemu Trisna. Pernah beberapa kali Trisna mengirim  pesan pendek akan kerumahnya, namun dia selalu punya alasan agar Trisna tidak jadi kerumahnya. Penghindarannya rupanya sangat dirasakan Trisna,.
Trisna muncul dua puluh menit kemudian setelah menelepon.  Trisna paling senang duduk di teras depan. Ada kursi rotan disana dengan bantalan motif bambu. Tiap kali kerumahnya, Trisna  memilih duduk disana.
”Nih, buburnya.” Mesi menaruh mangkok bubur diatas meja dihadapan  Trisna. Bubur itu masih mengepul hangat.
”Wah, kelihatannya lezat nih.” ucap Trisna. Dia mencicipi sesendok. ”Hem,  benar-benar enak. Terasa lebih enak karena kamu yang membuatnya.”
 “Mona menyukaimu.”  Kata Mesi mengabaikan ucapan Trisna.
“Mona tahu aku dekat denganmu.” Sahut Trisna santai seakan tidak mengacuhkan mata Mesi yang seolah tersenyum menggodanya. “Dan Mona juga tahu aku baik kepadanya karena dia adalah saudaramu.”
“Kau jangan pura-pura tidak mengerti. Mona bukan sekedar menyukaimu, namun dia juga mencintaimu.”
Trisna tersenyum. “Dia lebih pantas menjadi iparku daripada menjadi kekasihku.”
Mesi menahan senyumnya. Dia tidak bisa memungkiri, ada perasaan senang yang menyelinap dalam hatinya ketika melihat cara Trisna tersenyum seperti itu sambil menatapnya. Ada  sesuatu yang tak pernah disembunyikan Trisna darinya. Namun bayangan Mona terasa  mengusiknya. Tak ingin dia menyakiti perasaan Mona. Dia menyayangi Mona sepenuh hati.  Tidak, ditepisnya perasaannya. Tidak, aku tidak akan menyakiti perasaan Mona. Andaikan aku pun menyukai Trisna, biarlah akan kukubur perasaan ini. Aku tak mau bersaing dengan Mona untuk mendapatkan Trisna walaupun peluangku untuk mendapatkan Trisna jauh lebih besar. Biarlah Trisna untuk Mona. Aku yakin Trisna akan bahagia bersama Mona. Dan yang jelas, Mona akan lebih berbahagia bila dia bersama Trisna tanpa terganggu dengan kehadiranku. Bukankah cinta tak selalu harus saling memiliki? Persahabatanpun bisa terjalin lebih indah. Biarlah kedekatanku dengan Trisna hanya sebatas persahabatan saja. Biarlah cinta itu  menjadi  milik Mona dan Trisna. Mesi berbicara kepada dirinya sendiri.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Trisna mengusik lamunan Mesi. Bubur didalam mangkok  sudah hampir habis.
“Aku sedang berpikir, apa yang suka kau lakukan bersama Mona bila kalian sedang bersama-sama.” Ucap Mesi. Namun mendadak dia tersadar, dia sudah mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya yang semestinya bila dia konsekwen dengan keputusannya, dia tidak boleh mengucapkan hal itu pada Trisna.
Trisna tersenyum. “Mona baik. Dia juga perhatian. Aku ingin suatu saat Mona bisa hidup akur dan damai denganmu.”
“Jangan ikut campur urusanku dngan Mona. Dia pasti marah.” Tukas Mesi serius.
“Aku yakin suatu saat Mona akan bisa menerimamu sebagai saudaranya. Sebagai bagian dari hidupnya. Mungkin kedekatanku dengan Mona bisa menjadi pembuka jalan antara dirimu dengan Mona. Maksudku, kalian akan bisa menjadi lebih dekat bila aku ada diantara kalian bedua.”
“Tris, jalani hubungan kalian dengan sebaik-baiknya tanpa harus terganggu dengan kehadiranku. Aku ingin engkau bahagia bersama Mona. Jangan pikirkan aku. Jalanilah hubunganmu dengan Mona seindah-indahnya yang bisa kalian ciptakan. Aku mendoakan kalian berdua bahagia.”
“Kau keliru bila mengira kedekatanku dengan Mona dengan tujuan untuk menjalin hubungan. Aku menyayangi Mona karena dia adalah saudaramu, saudara gadis yang kucintai sejak dulu.”   Trisna menaruh mangkok bubur yang telah kosong, meminum segelas tehh hangat.
“Kita hanya bersahabat saja.”
“Aku menganggapmu sahabat sekaligus kekasihku.”
“Kau mempermainkan Mona.”
“Tidak, suatu saat Mona akan tahu bahwa aku menyayangi dirinya sebagai saudara. Aku ingin Mona bisa berubah dan mau menerimamu sebagai saudaranya.”
“Tris, jangan campuri urusan keluargaku terlalu jauh.”
“Aku sayang padamu, Mes. Aku bisa merasakan selama ini engkau sering menahan perasaan dengan perlakuan Mona kepadamu. Aku merasakan engkau sudah cukup menderita dengan sikap Mona yang tak pernah mau menerimamu sebagai saudaranya. Aku ingin kalian bisa hidup damai sebagai saudara.”
”Terima kasih atas perhatian dan itikad baikmu, namun aku  tidak membutuhkan pertolonganmu, sahabat.” Mesi tersenyum menatap Trisna. “Aku yakin suatu saat Allah akan merubah keadaan dikeluargaku ini.  Hidup adalah sebuah proses. Kita menjalani proses itu. Cepat ataupun lambat,  Insya Allah  hubunganku dengan Mona akan menjadi baik. Aku selalu berdoa kepada Allah semoga hati Mona dibukakan untukku.”
Mendadak mata Mesi membasah. Dia menahan tangisnya. Dia  merasa terharu melihat perhatian Trisna yang begitu besar kepadanya. Trisna memiliki  itikad baik seperti itu sebagai bentuk perhatian Trisna kepada dirinya. Namun apabila Trisna melakukan hal itu, ikut campur dengan urusan keluarga mereka, dia  yakin Mona akan menjadi marah dan tersinggung. Mesi tahu, tak ada seorangpun yang bisa memaksa Mona untuk melakukan ini itu. Harus Mona sendiri yang memiliki kesadaran sendiri.
“Maafkan aku, Mes. Aku tidak bermaksud ikut campur.” Ujar Trisna ketika melihat mata Mesi membasah.
“Tidak apa-apa. Aku malah terharu, ternyata perhatianmu  masih begitu besar padaku walaupun kita sudah jarang bersama-sama.”
“Kita akan selalu bersama.” Tukar Trisna. “Sampai kapanpun kau kan tetap sahabatku.”
Mesi tersenyum menatap Trisna. Ada senandung lembut  mengalun didadanya. Terasa manis dan indah.  Dan terasa sunyi bila Trisna sedang tidak bersamanya.
”Terima kasih buburnya, ya. Kalau sudah berjauhan denganmu, aku pasti kangen ingin menikmati bubur buatanmu lagi.”
”Kau.....akan  pergi?” tanya Mesi terkejut.
Trisna tersenyum. ”Yah, mungkin tahun depan aku akan melanjutkan sekolah. Aku mungkin kuliah di kota yang jauh dari Sumedang.”
Mendadak Mesi membayangkan andaikan saat itu telah terjadi. Andaikan Trisna sudah berada jauh darinya. Andaikan mereka tidak bisa lagi bertemu kapanpun mereka menginginkannya. Benar, dia juga pasti akan merindukan saat-saat seperti ketika mereka masih bersama-sama. Mendadak Mesi merasa sentimentil dengan perasaaannya. Dia tahu, Trisna pun akan merasakan perasaan yang sama dengan dirinya. Merajut kebersamaan bukanlah sebuah kesempatan yang bisa diciptakan dengan mudah. Kesempatan itu ada karena mereka berada dalam jarak yang dekat. Andai jarak telah memisahkan mereka, tak mungkin mereka akan bisa dengan mudah untuk selalu bersama-sama. Mendadak Mesi memikirkan andai saat-saat itu telah terjadi. Kebersamaan mereka saat ini adala suatu anugerah yang terindah yang tercipta  untuk mereka berdua. Yang seharusnya tidak disia-siakannya begitu saja.
Ketika Trisna pamitan pulang, mendadak Mesi merasa berat untuk melepaskan Trisna. Dia melambaikan tangannya dengan penuh perasaan. Seolah perpisahan itu telah diambang mata, sebentar lagi akan segera terjadi perpisahan itu......

--- 0---


Mona merasa lesu. Lemas. Lunglai. Pusing lagi. Tidak sanggup membayangkan Trisna berkencan dengan Mesi. Pikirannya dipenuhi fantasi menyakitkan tentang mereka berdua melakukan berbagai hal bersama. Naik sepeda berdua, jalan-jalan ke perkebunan teh (Mona pernah mendengar Trisna gemar olah raga bersepeda), jalan-jalan berduaan, atau sekedar duduk-duduk dirumah Mesi yang teduh dengan pepohonan, sambil menikmati teh hangat dan kue-kue buatan Mesi yang enak. Apapun yang mereka lakukan berduaan tentu sangat indah bagi Mesi dan Trisna. Namun   terasa  menyakitkan buat Mona.  Apalagi bila dibayang-bayangkan seperti itu, malah terasa semakin menyakitkan buat Mona walaupun yang dibayangkannya itu belum tentu benar terjadi.
Mona tidur-tiduran. Tubuhnya terasa lemas.  Tenaganya seolah menghilang entah kemana. Mirta  cemas bukan main anaknya tidak mau keluar kamar, tidak mau makan. Hanya membawa segelas minuman. Pintu kamarnya diketuk-ketuk, tidak mau dibuka. Akhirnya didorong. Ternyata tidak dikunci. Mona duduk melamun didepan jendela kamarnya, menatap kosong keluar kamar. Caranya melamun sungguh mengkahwatirkan. Mirta  menatap cemas melihat kelakuan anaknya. Tidak biasanya Mona bengong seperti itu menatap keluar kamar.
“Kenapa, Mon? Kau tidak mau makan.”
“Tidak lapar, Ma.”
“Tapi kamu harus makan, nanti sakit.”
“Biarlah sakit,  Ma. Tiga hari juga pasti akan sembuh lagi.”
“Oh, kau tidak boleh bicara begitu, nak. Kau tidak boleh sengaja sakit, kecuali kalau sakit itu tiba-tiba menyerangmu.” tukas Mirta.
Mona berdesah pendek. Mirta  duduk disampingnya. Dia hapal, sesuatu tengah mengusik perasaan puterinya.
“Berantem lagi dengan Mesi?” Mirta  mencoba  menebak.
Mona menggeleng.
“Syukurlah, kalian sudah sama-sama dewasa. Sudah tidak pantas berantem seperti anak kecil.”
“Keadaannya malah lebih gawat, Mam.” sahut Mona pelan.
“Oh.” Mirta  terperanjat kaget. Wajah Mona serius sekali. Mendadak perasaannya cemas. Berbagai macam dugaan dan prasangka seketika bermunculan dibenaknya. Namun dia tidak mau menduga-duga kelewat jauh. “Apa maksudmu keadaan lebih gawat? Apa maksudmu, Mon?”
“Mesi mengambil  pemuda yang kusukai.”
“Siapa?”
“Trisna.”
“Apa maksudmu Mesi mengambil Trisna? Apakah mereka menjalin hubungan? Apakah kau sudah yakin dengan hal itu?”
“Mereka akrab dan suka bersama-sama.”
“Akrab dan suka bersama-sama  bukan berarti mereka menjalin hubungan, kan? Siapa tahu Trisna dan Mesi hanya berteman  biasa. Wajar saja apabila  mereka nampak akrab karena mereka satu sekolahan. Sama denganmu,”
“Mereka suka sama-sama kemana-mana, makan berdua, dikantin, bahkan waktu ada pertandingan volley kemarin, Trisna lah yang melatih Mesi dan teman-temannya.” Ucap Mona tanpa menyembunyikan kecemburuannya.
Mirta menghela napas. “”Kalau memang Trisna dekat dengan Mesi, apalagi sampai menjalin hubungan, kau tak perlu kecewa berkepanjangan. Percayalah pemuda yang baik bukan Trisna saja. Pemuda yang menarik bukan Trisna saja.  Kalau kau membuka diri dalam pergaulan dan berkenalan dengan pemuda-pemuda lain, kau akan bisa melihat dan membandingkan. Semakin banyak kau mengenal pemuda lain, akan semakin terbuka matamu dalam melihat dan menilai pemuda yang kau kenal. Yang baik belum tentu setia. Yang sopan belum tentu jujur hatinya. Yang menarik penampilannya belum tentu menarik pula pribadinya. Kau masih muda belia, masih banyak kesempatan bagimu untuk memilih pemuda lain.  Kau cantik dan menarik, pasti banyak pemuda yang tertarik kepadamu.”
“Mam, kalaupun banyak yang tertarik padaku percuma saja kalau aku sendiri  tidak tertarik pada mereka.” Tukas Mona serius. “Mama tidak tahu, aku ini kan susah jatuh hati.”
Mirta  tersenyum.  “Apa Trisna tahu kalau kau jatuh hati kepadanya?” tanya Mirta.
 “Mungkin.”  Mona menghela napas dalam.   “Trisna baik kepadaku. Dia perhatian. Tapi apakah itu bisa dijadikan pertanda bahwa Trisna menyukai aku?”
Mirta  tersenyum.
“Mon, mama berharap  mudah-mudahan  Trisna pun menyukaimu dan bisa merasakan peraanmu kepadanya.  Namun Mon, cinta seperti juga kehidupan lain, selalu hadir dengan dua sisi yang berbeda. Mama berharap engkau bahagia. Andaikan cintamu pada Trisna bersambut, kau siap merasakan manisnya cinta.  Namun kau pun harus menyiapkan diri andai apa yang terjadi tidak sesuai dengan yang kau harapkan. Mama tidak ingin melihatmu kecewa, namun andaikan engkau mendapatkan kekecewaan  dari apa yang engkau haapkan bersama Trisna,  kau sudah harus siap.  Seperti sebuah kepingan mata uang, sisinya selalu berbeda. Demikian juga kekecewaan dan kebahagiaan, bagaikan sekeping mata uang dengan sisi yang berbeda. Namun, apapun yang terjadi, pasti akan selalu ada hikmahnya untukmu.”
Mona mengangguk pelan.

--- 0 ---


Mona merasakan ibunya duduk disamping tempat tidurnya. Tangan ibunya mengelus pipinya lembut.
“Belum tidur, Mona?”
“Belum, Ma.”
“Lampunya sudah kau matikan.”
Mona tidak menjawab. Dia merasakan airmatanya mengalir perlahan menuruni pipinya. Mirta  menekan tombol lampu. Lampu menyala. Mirta  melihat mata Mona yang basah. Perasaannya sebagai seorang ibu merasa trenyuh. Dia sangat menyayangi Mona. Mona adalah belahan jiwanya, buah hatinya, puteri semata wayangnya. Dia tidak ingin buah hatinya terluka dan sedih seperti ini. Namun dia harus bijak menyikapi perseteruan antara Mona dengan Mesi. Jangan sampai menyulutkan api diantara mereka yang akan menimbulkan konflik dalam keluarga mereka.
“Mama tahu, kau sedang kecewa. Trisna  memang pemuda yang baik. Mama pun senang padanya. Tapi pada saat yang sama Trisna  pun menyukai Mesi. Kita tidak bisa menyalahkan Trisna. Dia punya hak untuk memilih gadis yang disukainya. Awalnya mungkin Trisna  memang menyukaimu, tapi belakangan dia pun menemukan hal-hal lain yang disukainya pada Mesi hingga akhirnya dia memilih Mesi.” Ucap ibunya lembut.
“Mesi keterlaluan, dia kan tahu bila aku sudah lama naksir Trisna. Mestinya dia tidak malah bersaing dengan aku untuk mendapatkan Trisna.” Keluh Mona dengan perasaan sakit.
Mirta  tersenyum. “Barangkali kau yang merasa bersaing dengan Mesi untuk mendapatkan Trisna  sementara Mesi sendiri mungkin sama sekali tidak menganggap begitu. Mama yakin Mesi tidak seburuk itu kepadamu…..”
“Ah, kenapa mama malah membela Mesi?” tanya Mona tak senang “Mama bukannya membela anak sendiri, malah membela anak orang lain.”
“Mesi bukan orang lain, Mona.” Tukas Mirta. “Dia saudaramu. Dia anak ayahmu. Dan mama punya kewajiban untuk menyayangi Mesi seperti pada anak mama sendiri.”
Mirta menarik napas dalam. Pandangannya seakan menerawang. “Sudah lebih tujuh belas tahun lamanya mama dan ibu Teja  hidup berdampingan  sebagai madu. Bukan sebuah kehidupan yang mudah. Apalagi diawal-awal mama harus menerima kanyataan ayahmu memiliki istri lain selain mama. Kau bisa membayangkan bagaimana mama harus belajar menerima kenyataan ketika harus berbagi cinta dengan wanita lain. Batin mama berontak. Mama merasa didholimi. Mama merasa dicampakkan oleh papamu. Tapi mama kemudian sadar bahwa masalah jodoh, kematian, rejeki adalah urusan Allah. Mama akhirnya rela dimadu.”
Mirta membelai rambut Mona yang terbaring disampingnya. “Sepuluh tahun perkawinan mama dengan papa, mama tidak kunjung hamil juga padahal sudah berbagai macam cara dan pengobatan yang dilakukan mama dan papa, namun belum juga membuahkan hasil. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar menunggu datangnya buah hati dalam perkawinan mama dan Ayah, Tapi mama dan papa  berusaha sabar dan tawakal hingga akhirnya ayahmu menikah lagi dengan ibu  Teja. Awalnya mama menolak. Wanita mana yang mau dimadu.  Tapi akhirnya mama pasrah dan berusaha menerima. Siapa sangka empat bulan kemudian setelah pernikahan papa dengan ibu Teja, mama kemudian hamil, Mona, betapa bahagianya perasaan mama ketika tahu sedang mengandung. Mama benar-benar menganggap kehamilan mama sebagai  anugerah yang tidak terhingga dari Allah. Sepuluh tahun lamanya siang malam mama berdoa agar diberi keturunan, akhirnya Allah Yang Maha Pengasih mengabulkan doa mama. Dua bulan kemudian Mama mendengar ibu Teja  pun  hamil. Jadi papa  akan memiliki dua anak sekaligus dalam waktu yang berdekatan. Andai mama harus cerita,  betapa repotnya papa mengurus dua istri yang sedang sama-sama hamil. Namanya juga orang yang sedang hamil, baik mama maupun Ibu Teja, sama-sama menuntut  perhatian berlebih pada papamu. Tapi papa memang sabar. Tidak pernah papa menunjukan kejengkelan dengan kerepotan mengurus dua istri yang sedang sama-sama hamil. Papamu sangat sabar sekali. Mama melahirkanmu lebih dulu, dua bulan kemudian Mesi pun lahir. Saat itu, mama melihat papa adalah seorang ayah yang sangat berbahagia, dalam tempo dua bulan memiliki dua putri sekaligus yang sama-sama  cantiknya dan lucunya. Mungkin saat itu papa adalah orang yang paling berbahagia didunia ini.”
Mirta tersenyum. Sejenak Mona membayangkan saat itu, ketika ayahnya mendapatkan kebahagiaan memiliki dua puteri sekaligus dalam tempo waktu yang berdekatan.   Kedua bayinya cantik dan lucu. Ayah memangku kedua bayinya dengan penuh rasa sayang. Keduanya dipeluk dengan rasa bangga.  Kalau tidak lahir Mesi, pasti hanya aku saja yang dipeluk ayah dan dipamerkan pada setiap orang, pikir Mona.
“Tugas dan Kewajiban papamu tidak ringan, Mona.”  Tutur Mirta  lagi lembut. “Papa  sangat menyadari hal itu. Sejak kelahiran kalian yang tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit, papa  bekerja lebih keras, lebih tekun. Perkebunan kopi yang dikelola papamu semakin sungguh-sungguh diurus dengan penuh ketekunan sehingga hasil produksinya  dapat  semakin meningkat. Dulu papa melanjutkan kakekmu mengurus perkebunan kopi. Namun papa kemudian bukan hanya mengurus perkebunan kop. Usaha papa sedikit demi sedikit semakin maju sehingga papa memiliki pabrik kecil-kecilan yang memproduksi kopi bubuk.”
“Itu yang harus kau sadari, bahwa papa adalah seorang ayah yang sangat bertanggung jawab.” Lanjut Mirta. “Semua itu papa lakukan untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang ayah yang memiliki dua keluarga. Mama tidak membenci papa walaupun apa yang pernah papa lakukan dengan menikahi wanita lain pernah membuat perasaan mama sakit hati, terluka dan merasa didholimi. Namun perjalanan waktu kemudian  seolah membukakan mata mama bahwa papa selalu berusaha berlaku adil  pada kedua istrinya, juga kepada kedua anak gadisnya. Namun mama selalu merasa papa bahkan sebenarnya selalu cenderung mendahulukan  kepentingan mama dalam kondisi apapun. Mama bisa merasakan hal itu walaupun papa selalu  mengelak dan mengatakan bahwa papa tetap ingin bersikap adil pada  kedua istrinya. Mama juga dapat merasakan, ibu Teja cenderung mengalah apabila dalam saat yang hampir bersamaan mama dan ibu Teja  sama-sama sedang membutuhkan papa.”
Mona menguap. Kata-kata ibunya tak ada satu kalimat pun yang masuk kedalam telinganya. Dia mulai memikirkan Trisna lagi.  Oh Tuhan, mengapa Trisna tidak  menelepon? Mengapa Trisna tidak  mengirim pesan pendek? Apakah kami sekarang berpacaran? Atau apa? Bagaimana mungkin Linda bisa dengan mudah berpindah dari satu hubungan ke hubungan lain dan aku bahkan tidak bisa memulai hal paling sederhana, mungkin Linda lebih pandai dalam membina hubungan? Mungkin Linda tidak meminta belas kasihan karena dia memiliki rasa percaya diri yang tinggi? Mungkin Linda didukung oleh kegemarannya membaca buku pengembangan pribadi, atau karena suka mengikuti seminar mengenai bagaimana menjadi pribadi yang menarik, atau seminar  alangkah bahagianya menjadi diri sendiri, menggali potensi yang dimiliki diri sendiri dan mengambangkan potensi diri sendiri.  Sayang aku tidak pernah mengikuti seminar-seminar semacam itu. Atau lebih baik aku memulai dengan membaca buku tentang pengembangan pribadi. Lain kali kalau Indri mengajak aku ke toko buku, aku akan mencari buku-buku sejenis pengembangan pribadi agar aku bisa tahu bagaimana caranya untuk mendapatkan seorang pacar yang baik hati dan setia.
Mona merasa gelisah sendiri. Pada saat hatinya sedang berbunga-bunga, dia sibuk bertanya dalam hatinya. Bagaimana sebenarnya hubungannya dengan Trisna? Sepertinya tetap tidak ada kepastian, tidak ada kejelasan. Tiba-tiba Mona  menyadari, dia menantikan Trisna menelepon, atau mengirim pesan pendek, atau datang kerumah, dan segala pengharapan-pengharapan  lainnya yang sebenarnya hanyalah berdasarkan fantasinya semata. Karena dia menyukai pemuda itu. Jadinya berkhayal, dan berharap, dan berfantasi.
Oh Tuhan, nasibku, pikir Mona. Sekalinya aku jatuh cinta namun ternyata beginilah rasanya. Aku jadi banyak membuang-buang waktu untuk melamun, untuk berkhayal, untuk berfantasi. Banyak waktuku yang terbuang percuma. Kalau saja aku tidak duduk melamun sejak dua jam lalu, mungkin aku sudah selesai membaca sebuah novel. Atau tamat  menonton sinetron. Walaupun tidak menarik perhatianku namun setidaknya menonton sinetron jauh lebih baik daripada hanya duduk melamun, bengong tidak menentu,  memikirkan  Trisna yang sekarang malah terasa menjengkelkan perasaanku. Mona mendadak sedih dengan nasib dirinya.
Oh Tuhan, mengapa aku sangat tidak menarik? Mona berkata dalam hatinya. Tidak percaya rasanya, dia meyakinkan dirinya dengan apa yang sudah dilakukannya, bahwa selama lebih dari dua jam dia  menantikan telepon dari Trisna, atau sekedar pesan pendek. Sungguh mengerikan apa yang sudah kulakukan ini, pikir Mona. Membuang-buang waktu, bukan hanya hari ini saja, namun sudah tidak terhitung hari sejak aku kenal Trisna, dalam sehari berapa jam yang kubuang hanya untuk memelototi telepon genggam   siapa tahu tiba-tiba berdering, ada panggilan masuk dari Trisna. Mengapa Trisna tidak pernah menelepon lagi? Mengapa? Apa yang salah denganku? Mengapa Trisna meminta nomor teleponku jika dia tidak hendak menelepon? Atau apakah sebaiknya aku saja yang menelepon Trisna? Mona sibuk sendiri dengan pikirannya. Ada rasa ingin menelepon namun juga tidak ingin terus menerus memulai walaupun akhirnya dia menelepon Trisna juga. Namun oh, telepon Trisna sedang tidak aktif. Mona agak kecewa.  Ah, kenapa Trisna mematikan teleponnya? Apakah karena dia sedang bersama dengan Mesi sehingga khawatir Mesi akan marah dan cemburu bila pada saat mereka sedang bersama tiba-tiba ada telepon masuk. Apalagi  cewek. Mona merasa kecewa. Tentunya Trisna lebih menjaga perasaan Mesi. Jadi dia lebih berat  pada Mesi daripada kepadaku, pikir Mona.

--- 0 ---


Trisna merasakan kegalauan dalam perasaannya. Dia mencintai Mesi namun tidak ingin menyakiti perasaan Mona. Sore itu Trisna menunggu Mesi sepulang les komputer. Dengan sabar ditunggunya hingga les itu bubar. Ketika dilihatnya Mesi, bergegas Trisna menghampiri.  Gadis itu tersenyum ramah seperti biasanya ketika melihat Trisna. Mesi tidak menolak ketika Trisna akan mengantarnya pulang. Malah kelihatan senang. Motor Trisna melaju menembus jalanan yang masih basah bekas hujan.
“Enaknya makan roti bakar, beli yuk.” Ajak Mesi.
Tentu saja Trisna tidak menolak. Mereka mampir membeli roti bakar. Biasanya ditukang roti bakar langganan mereka selalu penuh, sampai  antri. Untung ketika mereka kesana hanya ada beberapa orang saja yang sedang memesan. Jadi mereka bisa dilayani lebih cepat dan bisa segera membawa roti bakar pulang kerumah.
“Duduk dulu, ya. Aku bikinkan minuman hangat untukmu.” Kata Mesi.
“Terima kasih. Kau baik, Mes.” Ujar Trisna.  Dia duduk pada kursi rotan diteras depan. Trisna  paling senang duduk diteras depan. Ruangan terbuka itu cukup luas dan dari sana bisa melihat langsung ke taman dan kejalanan.
Tidak lama Mesi kembali dengan dua cangkir berisi kopi susu yang mengepul hangat.
“Ada apa nih sampai menjemput segala.”  Tanya Mesi. Dia duduk dihadapan Trisna  dan mulai menikmati roti bakar.
Trisna  mengambil roti bakar sepotong, memakannya. Mengambil sepotong lagi. Baru meminum kopi susu yang dihidangkan Mesi. Mesi membiarkannya saja. Dicuaca sedingin ini memang enak makan roti bakar hangat ditemani secangkir kopi susu.
“Aku jadi merasa tertekan.” Kata Trisna terus terang. Wajahnya sungguh-sungguh.
Mesi tersenyum.
“Kau nampak bahagia.” Kata Trisna.
“Ya, aku senang melihat kau bersama-sama dengan Mona.”
“Aku tidak bisa, Mes…..”
“Tidak bisa apa?”
“Aku tidak bisa mencintai Mona seperti yang kau minta. Aku bisa dekat dengan Mona. Aku bisa merasakan ada rasa sayang kepadanya. Namun aku tetap tidak bisa memaksakan perasaanku untuk mencintainya seperti yang kau inginkan. Itu tidak mungkin. Aku mendadak merasa menjadi orang bodoh hanya karena aku ingin menyenangkan perasaanmu saja. Inikah imbalan yang harus kuberikan kepadamu dengan persahabatan kita selama ini?”
Mesi merasakan kesungguhan dalam ucapan Trisna. Dia menatap mata Trisna.
“Aku juga  tidak bisa mencintaimu karena aku tidak mau menyakiti perasaan Mona.” Ucap Mesi pelan, beberapa saat kemudian.
“Kenapa kau tidak bisa berpura-pura tidak tahu bahwa Mona menyukai aku?”
“Bagaimanapun Mona adalah saudara seayah denganku. Aku saudaranya. Aku tidak ingin menyakiti perasaannya. Apalagi bila urusannya adalah soal pemuda. Lebih baik aku mencari pemuda lain.”
“Bahkan seandainya kau mencintai aku sekalipun?” Trisna menatap Mesi sungguh-sungguh.
“Ya.” Mesi mengangguk. “Bahkan seandainya aku mencintaimu pun sekalipun. Aku tetap akan mencari pemuda lain dimana aku bisa lepas bebas dalam mengungkapkan perasaan cintaku kepada dirinya tanpa dibebani perasaan bersalah dan berdosa karena aku sudah menyakiti perasaan saudaraku sendiri.”
“Kalau aku bisa menjalin hubungan dengan Mona, apakah hal itu akan membahagiakanmu?’ Tanya Trisna beberapa saat kemudian.
Mesi tersenyum. Ada air mata disudut matanya. “Ya, andai kau bisa membahagiakan Mona, aku akan merasa bahagia sekali.” Ujarnya.
Trisna melihat kilauan bening disudut mata Mesi. Perasaannya terasa tersentuh. Dia dapat merasakan bahwa Mesi mencintainya. Kebersamaan mereka yang sudah terjalin sejak sekolah di SMP dulu telah merentangkan sebuah benang merah diantara mereka.
“Aku akan menyayangi Mona seperti yang kau minta. Andai saja hal itu bisa membuatmu bahagia.” Ujar Trisna.
Mesi menatap Trisna. Tiba-tiba saja dia tidak bisa menahan tangisnya. Airmatanya mengalir begitu saja. Trisna memeluknya bahunya sambil tersenyum.
“Jangan menangis. Bukankah engkau yang ingin aku menjalin hubungan dengan gadis lain? Dan gadis yang kau pilih adalah Mona. Ya, aku akan mengikuti keinginanmu. Aku akan belajar mencintai Mona. Aku ingin engkau bahagia, Mesi.”
Mesi  menahan tangisnya walaupun airmatanya seakan berdesakan memaksa ingin keluar. Sekuat tenaga ditahannya agar tidak sampai menangis.   Dia tahu, apa yang diucapkan Trisna hanya sekedar sindiran saja. Dan kenyataannya, jauh dalam hati kecilnya, dia merasakan hatinya pedih seperti disayat sembilu andaikan Trisna menjalin kasih dengan gadis manapun, bahkan dengan Mona sekalipun. Betapa susahnya aku harus berpura-pura seperti ini, kata Mesi dalam hatinya sambil menahan tangisnya.  Aku memainkan sebuah sandiwara yang terasa menyakitkan perasaanku. Dia menatap Trisna. Trisna pun tengah menatapnya. Dari tatapan matanya Mesi tahu, Trisna ingin mengucapkan sesuatu kepadanya. Entah apa.

--- 0 ---


Mona merasa hatinya berbunga. Dia kini semakin yakin dan percaya bahwa Trisna mencintainya. Betapa senangnya dicintai, pikir Mona. Hidupku terasa lebih penuh arti ketika memiliki seseorang yang dicintai dan mencintai. Namun ada hal yang tak luput dari perhatian Mona. Mungkin perasaan kewanitaanku yang kelewat peka, pikir Mona. Dia merasa Trisna tidak sepenuhnya mencintainya. Dia merasa ada sikap-sikap Trisna yang seakan dipaksakan. Apalagi bila mereka sedang berdua. Trisna nampak tidak bahagia bersamanya. Kalaupun tertawa dan tersenyum, namun semua itu seakan dipaksakan. Tidak keluar dari hati yang tulus. Mona merasa sedih, dia hanya menginginkan ketulusan Trisna kepadanya. Bukan paksaan. Bukan kepura-puraan. Semua itu tidak akan ada artinya walau mereka bersama-sama setiap waktu. Namun Mona tidak pernah mengungkapkan perasaannya itu kepada Trisna. Dia khawatir Trisna marah dan tersinggung. Lebih baik aku menahan diri, pikir Mona. Aku tidak ingin membuat  Trisna marah dan tersinggung yang akhirnya akan membuat kedekatanku dengan Trisna akan menjadi berantakan.  Bersikap sabar akan jauh lebih baik bagiku, pikir Mona.
Namun pikiran itu kadang hanya sesaat saja. Sesaat kemudian pikirannya sudah berubah lagi. Lama kelamaan Mona mulai kesal dengan sikap Trisna. Sepertinya Trisna tidak akan bisa dijadikan pegangan untuk menjadi belahan jiwanya, yang sanggup memberinya ketentraman batin dan ketenangan hati. Trisna baik pada semua orang. Apalagi pada kaum hawa. Dia selalu memperlakukan semua teman-teman perempuannya dengan baik dan lemah lembut. Gadis yang jadi pacarnya pasti akan sering dilanda perasaan cemburu melihat sikap Trisna bila tidak faham dengan sifat  pemuda yang satu ini. Dia bukan untukku, pikir Mona. Aku bisa sakit jantung kalau menjadi pacar Trisna. Kemanapun melangkah, Trisna seakan akrab dengan semua gadis yang berjumpa dengannya.
Selama aku menjalin hubungan dengan Trisna, aku akan merasakan hidupku jtidak  bahagia,  kata   Mona dalam hati. Aku seakan memaksakan diriku  menjalin hubungan dengan Trisna. Mungkin sebenarnya Trisna memang tidak mencintaiku. Dia tidak pernag\h mencintai aku. Kalau Trisna  mencintaiku, dia pasti akan selalu menjaga perasaanku, dia pasti menjada agar hatiku tidak kecewa, dia tidak  akan berani menyakiti perasaanku, dan akan selalu menjaga sikap dan ucapannya agar membuatku merasa senang dan nyaman. Aku tidak tahan melihat Trisna menjalin hubungan dengan aku namun dipihak lain dia tidak membatasi pergaulannya dengan banyak gadis. Trisna memang baik namun apabila dia sebagai kekasihku, aku meragukan kesetiaannya.  Kesetiaannya rapuh. Tidak bisa dipegang. Tidak, Mona menggeleng.  Aku tak mungkin menjalin hubungan dengan pemuda seperti Trisna. Sikap  Trisna  tidak bisa ditebak.  Apakah dia bisa serius dengan seorang gadis. Atau barangkali Trisna menyayangi semua gadis yang dekat dengannya. Mona terombang-ambing dengan perasaannya sendiri.  Hingga suatu hari dia mendengar sesuatu yang terasa mengganggu perasaanya. Dia mendengar Trisna tengah menjalin kedekatan yang nampaknya cukup serius dengan gadis lain di sekolah mereka. Gadis itu bernama Sundari.
Berita Trisna dengan  Sundari membuat Mona merasa terganggu. Sundari baru-baru ini terpilih menjadi ketua OSIS. Sundari termasuk gadis  populer di sekolah. Apalagi setelah dia menjadi ketua OSIS. Tidak ada siswa siswi yang tidak kenal namanya. Sundari naksir  Trisna. Sering meminta Trisna ikut dalam berbagai macam kegiatan di sekolah. Trisna sendirinampaknya senang bergaul dengan Sundari.  Mulanya hanya menemani Sundari namun lama kelamaan Trisna seolah menikmati kebersamaan dengan Sundari. Dimana ada Sundari pastilah disitu   ada Trisna yang menemani. Trisna mulai jarang latihan tenis dengan Mona. Kalaupun Mona mengajak, Trisna selalu sudah punya alasan untuk menolak. Mona tahu Sundarilah yang menjadi sebab kenapa Trisna menjadi selalu tidak punya waktu untuknya.
Mulanya memang cuma selentingan biasa. Awalnya Mona menganggap hanya isue belaka. Namun berita kedekatan Trisna dengan Sundari semakin santer masuk ke telinganya. Lama kelamaan telinga Mona terasa semakin panas. Lebih-lebih hatinya. Seperti tusukan daging yang dibakar. Sudah matang menjadi sate. Dan Mona yakin, tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Tidak mungkin ada gosip seperti itu kalau memang tidak ada fakta, baik sedikit ataupun  banyak yang memungkinkan memunculkan isue itu sehingga  berkembang menjadi santer dan menjadi berita.
 Sundari  termasuk siswi yang cukup populer. Dia aktif dalam berbagai macam kegiatan sekolah. Dari mulai ikutan vokal grup sampai tim basket. Dalam bidang pendidikan dia selalu masuk rangking tiga besar dikelasnya. Yang paling menonjol adalah keaktifannya dalam berbagai organisasi pemuda. Sundari nyaris selalu hadir dalam kapasitas sebagai ketua atau bendahara atau sebagai sekretaris. Wajahnya tidak tergolong cantik, namun dia cukup menarik. Kulitnya hitam manis. Mimik wajahnya cukup serius.  Gaya bicaranya tegas dan menunjukan kepintarannya.  Banyak yang bilang gaya Sundari  mirip  gaya seorang pemimpin. Karena  itulah mungkin yang membuat Sundari  terpilih menjadi ketua OSIS. Perawakannya kecil. Gerak-geriknya  terkesan gesit. Entah sudah berapa kali Mona mendengar kabar tentang kedekatan Trisna dengan Sundari. Dan kenyataan itu cukup menghantam perasaan Mona. Dia merasa sakit hati dan merasa dikhianati.
Beberapa pesan pendeknya pada Trisna akhir-akhir ini memang sering tidak terbalas. Mona mulai menaruh perasaan curiga bahwa ada apa-apa dengan Trisna. Namun dia tidak mau terlalu jauh berprasangka. Siapa tahu Trisna sedang sibuk. Dia kan sebentar lagi mau ujian. Pasti dia sedang sibuk belajar atau ikut beragam les  sebagai persiapan untuk menghadapi ujian kelulusan SMA. Juga ujian menghadapi masuk ke perguruan tinggi. Dan lain-lain. Selalu Mona berpikir positif. Tidak suudzon. Tidak mau berprasangka buruk. Namun ketika gosip kedekatan Trisna dengan Sundari  semakin lama semakin deras masuk ketelinganya, barulah perasaan Mona terusik. Memang ada gadis lain dihati Trisna yang telah memikat pemuda itu sehingga berpaling darinya. Perasaannya terasa sakit. Namun dia perlu bukti. Bukan sekedar berita. Kedekatan Trisna dengan Sundari  memang akhirnya terbukti. Mona mendengar sendiri dari Trisna, dia mengaku bahwa dirinya memang dekat dengan Sundari  walaupun Trisna pada mulanya membantah dirinya menjalin hubungan dengan Sundari .
“Kami hanya berteman dekat saja. Tidak ada hubungan apa-apa, kok.” Kata Trisna.
Namun Mona  tahu, Trisna berbohong. Mata Trisna tidak bisa menyembunyikan bahwa Sundari  adalah seseorang yang istimewa dihatinya. Mona menyadari bahwa hubungannya dengan Trisna tidak lagi seperti dulu. Rasanya perasaan Mona seakan ditikam oleh belati tajam. Tapi aku tidak boleh mati, pikir Mona. Tidak. Cintaku dengan Trisna bisa jadi hanya sebagian kecil dari perjalanan cinta dalam hidupku yang masih panjang dan lama, pikir Mona.
Mona mencoba bersikap dewasa. Usia mereka masih muda. Masih banyak kemungkinan yang akan terjadi. Trisna masih akan bertemu dengan banyak gadis lain. Bukan hanya dengan dirinya atau Sundari, namun juga dengan gadis-gadis lain. Aku tidak boleh terlalu serius memandang hubunganku dengan Trisna. Perjalananku masih panjang. Bahkan akupun masih tidak menutup kemungkinan  masih akan bertemu dengan pemuda-pemuda lain. Bukan hanya Trisna. Namun masih akan banyak pemuda-pemuda lain yang akan aku temui dalam perjalananku nanti. Aku tidak boleh menutup diri. Trisna hanya sebagian kecil dari perjalanan hidupku, pikir Mona mencoba menghibur perasaannya agar tidak terlalu kecewa dengan kenyataan ini bahwa perhatian Trisna sudah berpaling pada gadis lain.
Dengan mantap Mona akhirnya memilih mundur teratur. Aku pasti tidak akan tahan bila bersama-sama dengan Trisna terus.   Jauh dalam  hatinya, kesadaran itu perlahan disadarinya. Trisna tidak mencintainya. Mona dapat merasakan kepura-puraan, sandiwara yang dilakukan Trisna kepadanya. Mungkin benar Trisna menyayanginya, namun hanya sebatas sayang biasa saja.  Sayang antara teman. Tidak memiliki arti lebih. Sementara cinta dihatinya kepada Trisna begitu menggebu. Membludak seakan tak terbendung. Hingga akhirnya Mona merasa dia harus mengambil keputusan. Dia tidak ingin cintanya tergantung.
Mona jengkel, tiap kali  Trisna sudah janji dengannya sering batal karena Trisna mendadak berubah pikiran. Mengganti dengan acara lain. Mona merasa Trisna memang tidak bisa menjaga perasaannya. Apabila Trisna mencintainya, pasti Trisna akan selalu berusaha untuk menjaga perasaannya agar tidak tersinggung, tidak jengkel, tidak marah. Aku yang bodoh, pikir Mona. Tak  mungkin aku terus-terusan berharap Trisna akan mencintaiku karena aku seolah memaksa Trisna untuk mencintaiku sementara cinta tak bisa dipaksakan dan tak  mungkin akan dapat tumbuh pada suatu tempat yang bukan tempatnya. Jadi ringkasnya, cintaku kepada Trisna hanya bertepuk sebelah tangan saja, pikir Mona mencoba berbesar hati.
Jadi artinya Trisna  memang bukanlah  untukkku dan aku pun bukan bukan pula  untuk Trisna, pikir Mona.  Aku harus mengambil keputusan. Mau terus dengan Trisna namun  dengan catatan:  aku harus mau ngebatin menjalani hubungan. Atau aku melepaskan diri dari Trisna. Pasti sedikitnya aku akan merasa sakit karena selama ini aku sudah terlalu  berharap banyak pada Trisna namun sakit itu mungkin hanya sebentar karena aku kemudian akan  merasa nafasku  menjadi lega, bebas dan plong. Jadi yang mana yang akan aku pilih? Mona menarik napas panjang. Aku pilih meninggalkan Trisna. Ucapnya dalam hati.
Mona merasa mantap dengan keputusannya. Dia lalu pergi kerumah Osi. Bercakap-cakap dengan Osi, istilahnya mencurahkan isi hatinya, pastilah akan membuat perasaannya lebih nyaman. Dulu Mona senang menulis dalam buku harian bila dia sedang merasa gundah. Atau gelisah. Namun kebiasaan itu sudah lama ditinggalkan. Bukan karena tidak punya waktu lagi untuk menulis dalam  buku harian, namun Mona sering menganggap buku hariannya kemudian jadi terasa lucu dan menggelikan ketika masa-masa gundah dan gelisahnya telah berlalu, kemudian dia membaca kembali apa yang ditulisnya. Kalimat-kalimat yang ditulisnya dalam buku hariannya, menjadi seolah norak dan cengeng.
Tiba didepan gerbang rumah Osi, mendadak Mona tertegun. Dia  melihat ada motor Trisna dihalaman rumah Osi. Ada apa  Trisna kerumah Osi? Pikir Mona.  Mona berjalan mengendap-endap,  lewat  jalan  samping. Disamping rumah Osi ada sebuah teras. Biasanya Osi suka mengajak teman-temannya duduk disana. Langkah Mona terhenti. Dia mendengar suara orang sedang bercakap-cakap. Jelas sekali itu adalah suara Trisna dan Osi.  Mona mencoba mendengarkan percakapan mereka.
”Cobalah kau memahami perasaan Mona, Tris.” terdengar suara Osi. ”Kasihan Mona bila kau seolah memberinya harapan namun  sebenarnya hatimu pada Mesi.” 
”Aku tidak berniat mempermainkan Mona. Aku menyayangi  dia.” suara Trisna.
”Kau menyayangi mona, benarkah?”
”Ya.”
”Lalu?”
”Namun rasa sayangku pada Mona hanya sebatas rasa sayang kepada saudara saja. Mona saudara Mesi. Mereka seayah. Sementara perasaanku sendiri pada Mesi lebih dari perasaan seorang sahabat.”
”Jadi benar kau mencintai Mesi?”
”Ya.”
Mona menggigit bibirnya. Hatinya sakit mendengar pengakuan dari mulut Trisna. Jadi benar Trisna memang mencintai Mesi dan kedekatan mereka selama ini bukanlah kedekatan sebatas persahabatan saja. Dan Trisna memang benar menyayangi aku, namun rasa sayangnya bukanlah diartikan rasa sayang seorang pemuda kepada seorang gadis, namun tidak lebih dari rasa sayang kepada saudara karena aku saudara Mesi.  Mona menggigit bibirnya. Dia tidak tahu, bagaimana perasaannya kini mendengarkan pengakuan Trisna. Pengakuan yang sejujurnya dari seorang pemuda yang selama ini dicintainya. Mona ingin menangis. Namun menangis untuk apa? Untuk cintanya yang sia-sia selama ini? Untuk pengharapannya kepada Trisna selama ini? Mona mengeraskan perasaannya. Aku harus menerima kenyataan ini. Cinta Trisna bukan untukku, dan aku tidak mau rapuh hanya karena cintaku yang sia-sia selama ini kepada Trisna. Mona berusaha menelan kembali air matanya yang  hampir meloncat keluar.
”Lalu apa yang akan kau lakukan pada Mona? Dia sahabatku. Aku bisa memahami perasaannya bahwa dia sungguh-sungguh menyukaimu.”
”Nanti aku akan memberikan penjelasan pada Mona. Dia pasti mengerti.”
”Ya, mudah-mudahan saja.”
”Aku pulang dulu, ya.”
Mona bergegas bersembunyi dibalik tembok ketika mendengar langkah kaki mendekat, Trisna berjalan akan melewatinya.  
Ketika motor Trisna sudah berlalu, Mona menemui Osi yang masih duduk diteras samping. Osi nampak duduk santai walaupun tatapan matanya seakan menerawang sedang memikirkan sesuatu. Wajahnya nampak serius sekali.
”Si!” sapa Mona.
”Hei, Mon.”  Osi  menoleh,  kelihatan keget melihat Mona tiba-tiba muncul.
”Tadi kulihat Trisna , ngapain dia kemari?” tanya Mona.
”Jangan cemburu, Trisna kan teman Risman, belahan jiwaku. Aku hanya ngobrol saja kok.”
”Ngobrolin  aku, ya?”
”Jangan marah, diantaranya, ya.”
’Ngobrolin  apa?”
Osi tersenyum
Mona duduk didekat Osi. ”Aku mendengar sebagian pembicaraan kalian. Trisna tidak perlu menemui aku untuk membicarakan bagainana sesungguhnya  perasaannya kepadaku. Aku faham, kok. Trisna  memang untuk Mesi.”
”Mon, aku berharap  kau  tidak menjadi  kecewa dan sakit hati.”
”Tidak, aku menerima kenyataan ini. Malah aku bodoh  mencintai pemuda yang tidak mencintaiku.”
”Kau tidak  bodoh, Mon. Mencintai adalah sebuah proses pembelajaran bagi diri kita bagaimana kita mensyukuri perasaan yang kita miliki, bahwa kita ternyata bisa mencintai  orang lain. Terlepas apakah cinta kita terbalas atau tidak, namun manusiawi apabila kita mencintai seseorang. Cinta adalah sebuah anugerah yang harus kita syukuri. Bersyukur kita masih bisa mencintai orang lain daripada kita sama sekali tidak pernah merasakan bahkan tidak pernah tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang.   Cinta adalah sebuah proses alamiah yang pasti selalu hadir dalam hati manusia. Bukan hanya kita anak  muda, bahkan orang yang sudah berumur pun masih mungkin merasakan cinta.”
Mona mengangguk.
Osi tersenyum. ”Jadi kau tidak akan kecewa dan murung, kan?”
Mona tersenyum ”Murung akan membuatku  jadi  tua. Aku kan masih muda.  Aku tak  mau  merugikan diri sendiri  bersikap murung hanya karena Trisna.”

---- 0 ----


“Aku memang menyukaimu, Tris,  namun sekarang aku sudah tahu kau tak pernah mencintaiku. Aku bodoh selama ini berharap padamu.” Kata Mona ketika sore itu Trisna datang kerumahnya.
Trisna menatapmya.  ”Osi bercerita sesuatu kepadamu?”
”Bukan Osi. Aku sendiri yang sudah mengetahui bahwa selama ini kau dekat padaku bukan untuk urusan cinta. Kau menjalin persahabatan dengan Mesi, namun memang hatimu untuk Mesi.” Mona ingin menangis ketika mengucapkan kata-kata itu.
”Aku menyesali apa yang terjadi diantara kita, Mon. Aku sungguh menyayangimu, aku ingin dekat denganmu, namun.......”
Mona menggeleng. Dia tidak ingin mendengar Trisna memberikan penjelasan. Dia juga tidak ingin menatap Trisna yang menatapnya dengan sendu.  Mona tidak mau tersentuh oleh hal sepele semacam itu. Dia tidak mau lagi percaya pada Trisna. Trisna sudah dicoret dalam buku hatinya. Mona ingin memulai lembaran baru tanpa Trisna.
Usai percakapan itu,  terasa menyedihkan bagi Mona. Entah bagi Trisna. Mona menangis beberapa waktu lamanya. Dia mengurung diri dikamarnya. Dibiarkannya pikirannya melayang kemana-mana, terbang kemana dia suka. Setelah perasaannya terasa longgar  dan lega, barulah dia mencuci muka dan keluar kamar dengan perasaan lega karena dia merasa sudah mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya.   Mona menelepon Osi. Dia bicara tentang keputusannya akan melupakan Trisna. Osi menyambut gembira.
”Pasti itu keputusan yang terbaik yang akan membuatmu terbebas dari pengaruh bayang-bayang Trisna.” kata Osi mendukung dengan penuh kegembiraan. ”Aku sekarang siap-siap mau  latihan voly. Kalau kau mau ikut, datanglah ke tempat latihan, ya.”
”Ya, aku akan datang. Aku sudah kangen ingin bermain voly lagi.” sahut Mona.
Sore itu  Mona latihan voly lagi bersama teman-teman sekelasnya.  Kehadirannya disambut gembira teman-teman sekelasnya yang hoby main voly.
“Sudah bosan latihan tenis, Mon?” tanya Indri.
Mona tidak menjawab. Dia masuk kelapangan dengan penuh semangat dan mulai bermain-main dengan bola. Semua maklum. Mona tidak latihan tenis  lagi karena Trisna sekarang sibuk terus berdua dengan Sundari. Dan tidak ada yang mengungkit nama Trisna lagi karena  hal itu pasti akan membuat Mona kesal. Mona juga merasa tidak perlu memberikan penjelasan pada teman-temannya. Sudah bukan urusannya lagi apakah Trisna bersama Mesi, atau Sundari, atau siapapun juga.
Semuanya bermain voly dengan gembira. Semangat Mona bangkit lagi. Dia merasa kegembiraannya pulih kembali. Berkumpul dengan teman-teman yang memiliki kesukaan yang sama, mengembalikan kegembiraannya kembali. Dia merasa voly lebih menyatu dengan jiwanya. Dalam voly ada unsur kekompakan dan kerjasama. Kalau mereka telah lulus SMA nanti, dia pasti akan kangen dengan saat-saat seperti ini bersama teman-temannya yang telah bersama-sama dengannya selama  di SMA.
Sejak percakapan mereka yang terakhir, Mona pernah berberapa kali  berpapasan dengan Trisna. Namun Mona sudah tidak ingin peduli lagi. Bagi Mona  Trisna seperti buku usang yang tak ingin dibacanya lagi. 

--- 0 ---


Buku-buku itu disusunnya didalam dus bekas minuman mineral. Ada puluhan buku yang diterimanya sumbangan dari teman-temannya. Lima dus buku itu dimasukan kedalam mobil.
”Pulangnya  jangan terlalu malam, ya.” pesan Teja pada Mesi.
”Ya, ma.” sahut Mesi. ”Aku hanya mengirimkan buku-buku ini ke sanggar. Biar nanti Mimi dan Tuti yang membereskannya.”
Diantar Jono, sopir yang biasa mengantar ibunya, Mesi pergi ke sanggar buku yang baru tiga bulan lalu didirikannya. Sanggar itu terletak di desa kelahiran ibunya. Kakek dan neneknya masih ada dan tinggal disana. Kakek memiliki sebuah kolam yang terletak dipinggir jalan. Ketika kakek mulai mewariskan sebagian sawah, kebun, termasuk kolam kepada ketiga puterinya, kolam itu termasuk yang diwariskan kepada ibunya. Kakek memiliki tiga puteri. Ibunya adalah anak sulung. Kedua adik ibunya, Neni dan Hesti, tinggal  di Bandung.
Ketika Teja bercerita pada Mesi bahwa kolam itu sekarang milik mereka, Mesi memiliki  ide. Sudah lama dia ingin memiliki sanggar buku. Dia memiliki koleksi buku yang sangat banyak. Buku-buku itu tersusun rapi dalam lemari diperpustakaan kecilnya. Setelah selesai dibaca, buku-buku itu hanya mengisi lemari buku saja dan tak pernah dibacanya lagi. Bahkan ada sebagian yang rusak  dimakan rayap. Mesi  berpikir, andai dia memiliki sanggar buku, buku-buku  yang dimilikinya akan berguna bagi orang lain.
Bila iedul fitri, biasanya Mesi menghabiskan beberapa hari di desa kakek neneknya tinggal. Iedul fitri adalah saat-saat keluarga kakek nenek,  puteri-puteri dan keenam cucunya berkumpul bersama. Bibi Neti memiliki tiga anak, Roni, Vien dan Raya. Sementara bibi Hesti memiliki dua puteri, Sinta dan Santi.  Bersama saudara-saudara sepupunya, bila sedang berlibur dirumah  kakek neneknya, Mesi berjalan-jalan menelusuri jalan di pedesaan, pergi ke pesawahan, makan di kebun, menyusuri sungai atai menangkap ikan di kolam. Pada saat itu, Mesi sering melihat, masih banyak anak-anak di desanya yang tidak melanjutkan sekolah karena orangtuanya sudah tidak sanggup lagi membiayai sekolah mereka dan menuntut anak-anak itu untuk bekerja disaah membantu orangtua. Anak–anak itu yang membuatnya ingin mendirikan sanggar buku didesanya. Sanggar buku yang didirikannya akan memberikan  manfaat bagi anak-anak itu yang masih ingin belajar dan menambah pengetahuan.
Mesi kenal dengan Mimi, yang rumahnya tidak jauh  dari rumah kakeknya. Mimi lulusan diploma satu dari perguruan tinggi keguruan. Mimi sudah  dua tahun menjadi guru di sebulah sekolah dasar Ketika Mesi mengungkapkan pada Mimi keinginannya untuk mendirikan sanggar buku. Dengan antusias Mimi menyambut baik gagasan Mesi.
”Aku bersedia membantu mengelola sanggar buku itu,  Mesi.” kara Mimi. ”Waktuku masih cukup banyak sepulang mengajar.”
”Ya, tapi aku tidak bisa memberimu gaji, kecuali honor sekedarnya.” kata Mesi.
Mimi tersenyum. ”Tidak usah kau pikirkan. Aku jadi tenaga sukarela saja.  Dengan keberadaan sanggar buku sudah membuatku merasa bahagia. Aku seorang guru,. Aku ingin mengajar anak-anak, bukan hanya ilmu pengetahuan, namun juga menambah wawasan mereka. Buku akan membuka cakrawala dan menambah wawasan buat mereka. Beruntung dengan anak-anak didesa kita yang masih bisa mengenyam pendidikan dngan baik, dari mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Namun didesa kita ini masih banyak anak-anak yang terpaksa berhenti  bersekolah. Orangtua mereka sudah tidak sanggup lagi membayar biaya pendidikan sekolah mereka karena banyaknya biaya yang harus mereka penuhi. Jadi orangtua memilih anak-anaknya  berhenti  bersekolah dan anak-anak itu membantu orang tua mereka bekerja menggarap sawah.”
”Sebenarnya anak-anak itu masih ingin melanjutkan sekolah ke SMA. ” kata Mimi. ”Bahkan mereka memiliki cita-cita yang tinggi, ingin jadi insinyur, ingin jadi dokter, ingin jadi guru, ingin jadi perawat, ingin jadi bidan, ingin kerja dikantoran dan beragam pekerjaan yang mereka ketahui. Sayangnya, sepertinya terdapat berbagai rintangan yang akan menghalangi mereka mencapai cita-citanya itu, jangankan untuk mencapai pendidikan tinggi di fakulas kedokteran atau keguruan, untuk menuntaskan pendidikan dasar sembilan tahun saja dibutuhkan perjuangan yang sangat berat. Anak-anak  di desa kita masih cukup beruntung. Anak-anak dari desa lain, tetangga desa kita  yang kondisinya masih memprihatinkan, yang keluarganya lebih jauh dan masih langka kendaraan, keadaan mereka lebih memprihatinkan. Andaikan  orangtua masih bersemangat untuk meneruskan sekolah anaknya, namun semangat itu menjadi pupus karena letak SMP sangat jauh dari desa mereka. Mereka kasihan bila anaknya harus berjalan jauh ke sekolah.”
”Di dusun yang jauh, sejumlah anak yang melanjutkan seklah ke SMP negeri  terdekat saja  harus berangkat sejak pukul empat subuh  agar dapat sampai ke sekolah mereka pukul  tujuh.” kata Mimi melanjutkan. ”Biasanya anak-anak itu diantar oleh orangtua mereka memakai obor untuk penerang jalan. Kondisi tersebut ternyata berlangsung sejak belasan tahun. Lalu,  jarak tidak satu-satunya masalah. Momok lain bagi orangtua, lagi-lagi tidak lepas dari persoalan biaya pendidikan. Kepala SMP memang telah  mengatakan bahwa biaya sekolah sudah dibebaskan. Terlebih  lagi dengan adanya dana bantuan operasional  sekolah atau yang dikenal dengan BOS. Tidak ada lagi sumbangan awal masuk dan iuran  bulanan. Sejumlah buku pelajaran juga telah dipinjamkan oleh sekolah. Sementara sebagian buku teks tertentu yang belum diadakan oleh sekolah tidak dipaksakan kepada murid untuk membelinya. Akan tetapi, para orangtua tetap berpandangan tidak mungkin sekolah tanpa biaya. Kalaupun iuran  sekolah gratis,  kan masih butuh sepatu, seragam, alat tulis dan buku pelajaran. Kebanyakan orangtua mereka hanya bekerja sebagia buruh tani, penggarap lahan orang lain  atau  menggarap kebun sendiri yang hasilnya kemudian  dijual kepada tengkulak. Dengan kondisi tersebut, tak heran jika banyak anak-anak lulusan sekolah dasar yang tidak melanjuttkan ke jenjang berikutya.”
”Jadi bagaimana ketika mereka putus sekolah?” tanya Mesi penuh perhatian.
”Anak laki-laki yang putus sekolah biasanya bekerja membantu orangtua mereka di ladang atau dibawa oleh kerabat untuk menjadi kuli di kota. Adapun anak-anak perempuan kerap merantau ke kota, untulk bekerja sebagai pembantu. Piihan lain setelah agak dewasa menjadi tenaga kerja diluar negeri. Tak jarang perempuan menikah diusia yang sangat muda, pada usia  belaksan tahun. Adakalanya mereka menikah di usia lima belas atau   tujuh belas tahun.”
Mesi termenung.  Untuk menyelesaikan permasalah wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun nampaknya perlu upaya ekstra keras disertai pemahaman terhadap kondisi ekonomi, kultur, serta sosial masyarakat. Dengan upaya itu, kelak harapan anak-anak menjadi dokter, tidak hanya mimpi belaka, tetapi bebar-benar suatu kenyataan...... Mudah-mudahan saja, pikir Mesi.  Mesi merasa prihatin.  Dia melihat mimi memiliki dedikasi yang tinggi sebagai seoang pengajar.
”Jadi, Ceu Mimi bersedia membantu aku mengelola sanggar buku itu?”
”Tentu saja.” sahut Mimi serius. ”Aku akan mengajak Irni, sepupuku, untuk membantu aku mengelola sanggar buku itu.”
Mesi membicarakan mengenai gagasannya itu kepada ayah dan ibunya. Kedua orangtuanya setuju dengan  keinginan Mesi dan mendukung sepenuhnya. Diatas kolam itu didirikan sebuah pondok  kecil berdinding bilik dengan pagar kayu sekelilingnya.  Lantainya dari kayu. Rak-rak buku menempel pada ketiga sisi dinding. Pada dinding yang satu, sebuah jendela besar menghadap kekolam, membiarkan angin pedesanan leluasa keluar masuk.
Seminggu setelah pondok itu rampung, Mesi mengangkut hampir semua buku-buku, majalan yang sudah tidak pernah dibacanya diangkut ke sanggar itu. Tiga hari Mesi, Mimi dan Irni membereskan buku-buku itu, menyusun, memberi nomor dan label pada buku-buku itu, lalu menyusun diatas rak berdasarkan lebel dan sanggar itu siap dibuka untuk umum. Mimi yang memberitahu pada orang didesa bahwa didesa mereka sudah berdiri sanggar buku. Siapapun boleh masuk menjadi anggota dan membaca, atau meminjam buku disana.
Hari pertama dibuka, hanya beberapa anak yang masuk dan melihat-lihat sanggar buku itu. Anak-anak yang sudah mengetahu keberadaan sanggar buku itu saling bercerita kepada teman-teman mereka.
Sebulan kemudian Mesi mendapat laporan bahwa pengunjung sanggar itu semakin bertambah banyak.  bukan hanya anak-anak, namun juga remaja-remaja di desa mereka banyak yang rutin mengunjungi sanggar buku itu. Mesi gembira mendapat laporan itu. Dia menceritakan hal itu pada teman-temannya disekolah. Beberapa temannya merasa tertarik dengan apa yang dilakukan Mesi dan menyumbangkan buku-buku bekas dan majalah-majalah bekas untuk menambah koleksi di sanggar itu.
Mesi merasa menemukan kegembiraan dengan sanggar buku itu. Seminggu sekali dia rutin mengunjungi sanggarnya, tiap hari minggu pagi atau sore.  Pikirannya jadi tidak terpokus pada satu hal yang sering mengganggunya. Dia sedang berusaha melupakan Trisna. Dia merasa apa yang telah dilakukannya kepada Trisna sudah semestinya.  Dia dapat merasakan cinta Mona kepada Trisna nampak sungguh-sungguh sementara selama ini antara dirinya dengan Trisna hanya persahabatan saja. Bukankah persahabatan jauh lebih manis daripada mereka menjalin cinta, lalu ternyata putus dan mereka akhirnya akan menjadi saling tidak kenal?
Mesi berusaha menghibur hatinya. Kebersamaannya dengan Trisna sudah terjalin sejak mereka duduk dibangku sekolah menengah pertama. Lintang, adik Trisna,  teman sebangkunya. Persahabatannya dengan Lintang membuatnya akrab pula dengan Trisna karena mereka sering bertemu, disekolah atau dirumah Lintang ketika dia sedang bermain ke rumah Lintang.
Tapi yang membuat mereka dekat adalah ketika Trisna menolongnya yang terjauh dari motor. Motor yang dikendari Lusi yang baru belajar naik motor, tersenggol pengendara motor lain. Mesi tersungkur jatuh  ke aspal. Beberapa orang menolong. Trisna yang kebetulan lewat di lokasi kejadian, mengantar Mesi dan Lusi kerumah sakit. Motor Lusi diantarkan Hendra, teman Trisna kebengkel. Dari sanalah awal kedekatan Mesi dengan Trisna. Namun sampai sejauh itu kedekatan mereka selalu diartikan Mesi hanyalah sebatas kedekatan sebagai teman, sebagai sahabat atau apapun juga namanya. Tidak lebih. Kalau sayang, ya jelas sayang. Kalau cinta, Mesi merasa masih membutuhkan waktu untuk lebih menjajagi lagi perasaan mereka.
Itu dari pihak Mesi. Tidak tahu dari pihak Trisna. Mungkin malah Trisna tidak memiliki  perasaan apapun juga kepadanya. Tidak sayang, apalagi cinta. Dan selama  ini Mesi tidak pernah mengusik soal  perasaan mereka. Trisna juga tidak pernah. Jadi selama ini mereka menjalin persahabatan berjalan apa adanya. Seperti air yang mengalir. Hingga kemudian setelah masuk sekolah menengah atas, Mona hadir diantara mereka. Mesi dapat merasakan, Mona nampak serius menyukai Trisna. Mona seolah tidak menyembunyikan perasaannya bahwa dirinya mencintai  Trisna.
Mesi menghapus airmata disudut matanya. Rasanya akhir-akhir ini seolah ada sesuatu yang hilang dari dalam hidupnya yang semula terasa indah. Perhatian Trisna. Kehadiran Trisna. Perhatian-perhatian Trisna selama ini kepadanya. Kini semuanya seakan telah sirna. Tak ada lagi apapun yang dulu pernah diberikan Trisna untuknya.
Tidak. Aku tidak boleh bersedih, pikir Mesi. Dengan gadis manapun Trisna menjalin hubungan sudah bukan urusannya lagi. Salahnya sendiri, bukankah dia sendiri yang menghendaki Trisna mencari gadis lain?  Bukankah dia sendiri yang menyarankan Trisna menjalin hubungan dengan Mona?
Mendadak Mesi merasa benci dengan dirinya sendiri. Kenapa harus pura-pura? Kenapa harus membohongi dirinya sendiri? Bukankah sebenarnya dia mencintai Trisna? Bukankah jauh dalam hatinya dia tidak ingin kehilangan Trisna? Bukankah kebersamaan mereka selama ini bukan hanya sekedar sebuah persahabatan tanpa arti? Bukankah selama rentang waktu sekian tahun lamanya mereka bersama telah melahirkan sebuah perasaan lain yang jauh lebih indah daripada sekedar pershabatan?
Sesekali Mesi membuka album photonya. Dia melihat photo-photo mereka berdua ketika sedang jalan-jalan ke Maribaya beberapa bulan setelah Mesi diterima di SMA yang sama dengan Trisna. Mesi masih ingat, mereka naik motor berdua di hari minggu yang cerah. Saat itu terasa indah. Kini saat-saat indah itu sudah berlalu. Trisna sudah bukan miliknya lagi. Airmata Mesi mengalir. Jujur, dia menyesal dengan apa yang telah diucapkannya kepada Trisna yang akhirnya membuat Trisna pergi darinya dan bersama dengan gadis lain. Mesi menatap wajahnya dicermin, menatap pipinya yang basah oleh airmata. Mesi  bertanya dalam hati, apakah Trisna tahu bahwa dirinya mencintainya? 
Sanggar  buku itu telah sanggup membuat Mesi melupakan kesedihannya. Dia bisa menemukan kegembiraan ketika menyaksikan sanggar bukunya diminati anak-anak dan remaja di desanya. Dia ikut berkumpul bersama mereka,  berdiskusi, memberikan kebahagiaan tersendiri buat Mesi. Betapa masih banyak hal yang bisa dilakukannya untuk kebahagiaan orang lain selalin memikirkan urusannya sedniri. Dia ingin mengisi hidupnya dengan lebih penuh arti. Bukan hanya untuk dirinya, namun juga untuk orang lain.

--- 0 ---


Kedatangan Trisna dimalam minggu itu membuat jelas membuat Mesi terpana. Tak percaya.  Rasanya tak percaya melihat Trisna akan muncul lagi dirumahnya setelah sekian lamanya menghilang. Hanya beritanya saja yang kerap terdengar. Padahal sore tadi airmatanya mengalir karena teringat pada sahabat terkasihnya ini.
“Mes, jangan usir aku. Aku masih sahabatmu, kan?”
Mesi merasa trenyuh melihat mata Trisna yang menatapnya seperti itu.
“Ada apa?” Tanya Mesi.
Trisna duduk dikursi rotan yang ada diteras. Masih dikursi yang sama seperti kebiasaannya beberapa waktu lalu apabila kerumahnya.
“Aku kangen sama kamu, Mes. Kau tega menyiksa aku.”
Mesi tersenyum. “Kenapa?”
“Mona sudah tidak mau lagi padaku.”
Mesi diam saja.
“Aku dekat dengan Mona. Tapi aku juga tetap berteman dengan yang lain. Mona tidak suka dan marah.”
Mesi masih tetap diam.
“Aku seperti Arjuna mencari cinta. Kucari cinta kepada setiap gadis yang kukenal. Namun aku sadar bahwa cintaku ada dimana dan pada siapa.”
Mesi bertahan diam.
“Arjuna itu sudah lama tahu bahwa cinta  yang sesungguhnya ada pada seorang gadis yang sudah lama menjadi sahabatnya, yang selama ini selalu bersama-sama dengannya, menjadi temannya dalam suka dan duka. Kedudukan gadis itu tetap tak tergantikan oleh gadis siapapun.”
Trisna menatap Mesi.
“Kau pasti mengira aku sedang bercanda. Aku serius, Mes. Percayalah padaku. Percayalah padaku, Mes. Kau sudah lama kenal aku. Tidak mungkin aku berdusta kepadamu.”
Mesi tetap diam. Dia tidak tahu harus bicara apa. Dia sudah lama mengenal Trisna. Sudah hapal dengan sifatnya. Mendadak saja Mesi ingin menangis. Bukankah selama ini diapun merasakan kehilangan indahnya dan kehangatan persahabatannya dengan Trisna. Trisna mungkin bisa bercanda sesuka hati dia dengan gadis manapun. Namun Mesi tahu, Trisna sungguh-sungguh menyayangi dirinya. Air mata Mesi meloncat.
“Percayalah padaku, Mes. Aku ingin kita tetap bersama selamanya. Dua bulan lagi aku sudah akan keluar dari SMA. Aku ingin meneruskan sekolahku ke Jogja. Namun sebelumnya aku ingin memiliki seorang gadis yang akan selalu membuatku rindu untuk pulang ke Sumedang.” Ujar Trisna sungguh-sungguh.
Mesi menghapus airmatanya. Dia tersenyum menatap Trisna. Perasaannya terasa tersentuh mendengar kesungguhan dalam nada suara Trisna. “Aku percaya kepadamu, Tris.”
Trisna menggenggam tangan Mesi dan berucap sungguh-sungguh. “Terima kasih. Berilah aku kepercayaan bahwa aku sungguh-sungguh menyayangimu. Aku ingin masa depanku kelak bersamamu, Mes. Jalan menuju masa depan itu pastilah penuh dengan tantangan namun bila kau bersamaku aku bisa menghadapi semua itu dengan penuh ketabahan.”
Mesi menggangguk. Bibirnya tersenyum.

--- 0 ---


Mesi merasa dia harus bicara jujur kepada Mona. Apapun yang akan terjadi, Mona harus mengetahui bahwa dirinya sekarang menjalin  hubungan dengan Trisna. Bukan sekedar pertemanan. Persahabatan. Namun hubungan dua anak manusia yang sama-sama saling mencintai.
Mesi menemukan kesempatan itu.  Dia sengaja menunggu Mona sepulang sekolah. Dia melihat Mona pulang berjalan sendirian.
“Mona!” sapa Mesi.
Mona menoleh. “Hai!” sahutnya. Suaranya kedengaran lesu.
“Mon, aku mau bicara denganmu.”
“Tentang apa?”
Keduanya berjalan melintasi halaman sekolah. Disudut halaman sekolah ada taman berumput hijau. Taman  hijau, asri, teduh dan sejuk. Beberapa pohon palem tumbuh disana.  Rumpun-rumpun bougenvil  merambat  pada tiang-tiang kayu.  Mesi mengajak Mona duduk  pada sebuah bangku kayu yang ada disana.
“Ada apa, nih?” Tanya Mona.
“Mon, jangan marah ya. Aku mau bicara sesuatu kepadamu.” Ujar Mesi.
Mona menunggu apa yang akan diucapkan Mesi.
“Ini tentang aku dan Trisna.” Ucap Mesi pelan.
Mona diam saja. Menunggu apa kelanjutan yang akan dibicarakan Mesi.
“Trisna ada rencana kuliah di Jogja. Semalam dia kerumahku.”
“Lalu?”
Mesi menatap Mona. “Maafkan aku Mon, semalam Trisna meminta kepastian kepadaku. Selama ini hubunganku dengan Trisna memang seolah hanya persahabatan saja. Namun tadi malam Trisna bicara serius. Dia ingin kepastianku mengenai hubungan kami sebelum keberangkatanya ke Jogja.” Mesi terdiam sesaat. “Dia ingin antara aku dan dirinya bukan lagi hanya sekedar persahabatan. Trisna ingin hubungan kami katakanlah sebagai sepasang kekasih. Maafkan aku Mona, itu yang diinginkan dari Trisna dengan hubungan kami sekarang.”
Mona tersenyum. Dia mengerti. “Lalu, apa jawabanmu?”
Mesi menetap Mona. “Aku menerimanya.”
“Kau mencintai Trisna?”
Mesi tersenyum tipis. “Jujur saja, ya. Aku memang mencintai Trisna.”
“Kau pantas menerima Trisna. Cinta Trisna memang untukmu. Percayalah, aku tidak apa-apa. Aku malah senang bila kau bersama-sama lagi dengan Trisna dalam keadaan yang berbeda dengan dulu. Bukan sekedar persahabatan. Namun dalam jalinan lain yang kuharap lebih indah dan lebih bermakna dari sebelumnya.” ucap Mona berbesar hati. Tidak ada gurat kesedihan diwajahnya. Biasa saja. Seolah pembicaraan Mesi bukan sesuatu hal  yang mempengaruhi perasaannya.
“Aku menyesali kenapa kita terlibat dengan orang yang sama.” Ujar Mesi lirih.
“Tidak usah disesali. Aku merasakan hikmah dari kedekatanku  beberapa waktu lalu dengan Trisna. Hatiku terbuka. Aku ingin mendapatkan pemuda yang mencintaiku.  Kau sudah mendapatkan pemuda yang seperti itu. Cinta Trisna yang sesungguhnya adalah memang untukmu.”
Mesi memegang tangan Mona.  Seolah ingin menyalurkan perasaan sayang dihatinya yang selama ini terbentur oleh dinding tebal dan tinggi yang dibangun Mona untuk menghalangi kasih sayang diantara mereka berdua.
“Kau pun pasti akan mendapatkan pemuda yang setulus hati mencintaimu. Percayalah.” ucap Mesi lirih.
“Ya, mudah-mudahan saja.”  Mona  tersenyum. “Dunia tidak selebar daun kelor. Kau mungkin lebih dahulu mendapatkan hal itu dari aku, Mes. Namun aku yakin suatu saat aku pun akan mendapatkannya.”
Mesi memeluk Mona. “Pasti.” Ujarnya.
Tanpa mereka sadari, sepasang mata dari tadi mempehatikan mereka berdua yang sedang bercakap-cakap. Mata Trisna. Dia tahu Mesi bisa menyelesaikan masalah. Antara dirinya, Mesi dan Mona.  Ketika melihat kedua gadis itu berpelukan, Trisna meringis. Dia merasa senang sekaligus merasakan ada sesuatu yang terasa menggelitik perasaannya. Sebelum Mesi dan Mona melihatnya, bergegas Trisna pergi dan memacu motornya keluar sekolah.


--- 0 ---


Mona berjalan dengan Osi  menyusuri jalanan trotoar. Tadi sepulang sekolah Indri mengajaknya ke toko buku, namun Mona merasa malas. Menemani Indri ke toko buku tidak akan cukup waktu satu jam saja. Indri selalu keasyikan bila sudah berada di toko buku. Memilih buku-buku dan novel-novel yang disukainya. Jadi Mona memilih pulang dengan Osi. Osi mengajaknya makan baso diwarung baso Mas Bejo tidak jauh dari sekolah. Baso Mas Bejo menjadi tongkrongan favorit anak-anak sekolah mereka karena basonya yang besar sebesar bola tenis. Osi sedang berceloteh tentang film yang kemarin ditontonnya ketika tiba-tiba sebuah motor berhenti disampingnya.
“Halo, Mon!”
Mona menoleh. Dia melihat Bono Cakrasasmita tersenyum ramah kepadanya.
“Hai!” sahut Mona tak acuh. Dia mempercepat langkahnya.
“Mau kemana sih kok buru-buru amat?”
“Mau makan baso diwarung baso Mas Bejo.” Sahut Osi riang. “Kau mau ikut?”
“Boleh, kalau diajak Mona.” Sahut Bono kalem.
Mona hanya tersenyum seulas. “Kapan-kapan aku ajak kamu, ya. Kebetulan sekarang aku mau makan baso sambil diskusi dengan Osi. Jadi acaranya hanya untuk kita berdua.”
Bono tersenyum menggoda. “Diskusi apaan sih? Masa diskusi ditempat tukang baso, sih?”
“Lho, belum tahu, ya? Jaman sekarang sedang tren orang diskusi ditempat baso, dikantin, dikafe. Dan semua itu sah-sah saja, tidak ada yang melarang.”
“Oke, kapan-kapan kita makan baso bareng-bareng, ya. Sambil diskusi. Daaah Mona……” Motor Bono melesat pergi.
Osi menyenggol tangan Bono. “Kenapa sih kau tak pernah bisa ramah pada Bono? Padahal dia itu pemuda baik dan sopan.”
Mona tidak menyahut. Sudah lama Bono  menyukai Mona.  Sayang Mona tidak suka dengan lelaki manja. Apalagi yang suka pamer kekayaan orang tua. Ayah Bono, Cakrasasmita, adalah  pemilik perusahaan bus. Bus pariwisata dan bus umum jumlahnya menurut Osi hampir lima puluh buah. Berjejer di kandang  bus  milik ayahnya yang luasnya  dua kali lipat dari luas rumah  yang ditempati keluarga. Rumah ayah Bono yang besar dan luas berdiri megah disamping kandang busnya. Pihak sekolah sering mengucapkan terima kasih pada  ayah Bono. Kalau ada acara darmawisata, pihak sekolah tidak pernah pusing untuk urusan bus. Langsung saja menghubungi perusahaan bus milik ayah Bono. Pihak perusahaan tidak pernah bertele-tele, langsung kasih diskon sekian persen.
Bono sebenarnya menarik. Malah tergolong ganteng dan gagah. Tubuhnya tinggi tegap. Seperti umumnya orang yang rajin berolahraga.  Namun dimata Mona Bono  terkesan manja sehingga Mona merasa tidak suka pada pemuda yangsemacam itu.  Bono tidak mata keranjang. Boro-boro mata keranjang. Dia malah terkesan pemalu menghadapi cewek. Sikapnya selalu baik dan  sopan pada siapapun. Gaya  bicaranya lemah lembut. Tidak kasar. Tapi itulah. Kalau sudah tidak suka Mona tidak mau memaksakan diri. Meskipun Bono baik . Kalau Bono memaksakan diri menyukai Mona, Mona malah  curiga jangan-jangan sebenarnya  Bono ada maunya. Kalau tidak ada maunya kenapa Bono selalu sabar menghadapi Mona. Meskipun Mona selalu memasang tampang judes pada Bono. Menurut Mona hal ini tidak lazim pada diri pemuda  karena biasanya pemuda pasti tidak tahan menghadapi cewek yang galak dan judes.
“Bono naksir kamu, Mon.” kata Osi setelah mereka duduk di warung baso Mas Bejo menunggu pesanan.
“Wah.” Mona tertawa. “Enggak ah. Dia bukan tipe idamanku.”
“Tapi dia pemuda yang baik, Mon.” Kata Osi serius.
“Si, tiap cowok  pasti berusaha menjaga sikap baiknya bila menghadapi cewek yang sedang diincarnya. Justru kita cewek yang perlu hati-hati dan waspada jangan sampai ketipu.”
“Ih, kamu kok selalu berprasangka buruk begitu pada tiap cowok yang suka  sama kamu?”
“Aku hanya ingin berhati-hati agar tidak mengalami kekecewaan seperti yang pernah dialami Indri  ketika dia menghadapi Yudit.” Sahut Mona. “Aku selalu mengambil pelajaran dari pengalaman yang pernah dialami orang lain.”
“Kau mungkin benar. Mon. Namun percayalah, tiap orang tidak akan memiliki pengalaman yang sama. Janganlah pengalaman pahit Indri yang pernah disakiti Yudith kau jadikan ukuran. Siapa tahu bila kau jalani, kau akan mengalami pengalaman yang indah dan mengesankan bersama Bono.”
“Kita lihat saja bagaimana nanti, Si. Yang jelas untuk saat ini aku tidak mau terburu-buru menanggapi Bono.”
Osi tersenyum. “Sebenarnya kau baik, Mon. Aku berdoa semoga kisah cintamu indah. Namun janganlah pengalaman Indri yang pernah  harus menelan kekecewaan dan sakit hati bersama Yudit ketika dia mengkhianati dan membohongi Indri  menjadikanmu menjadi takut pada cowok. Kau lihat, Indri mungkin memang sakit hati dan kecewa oleh Yudith, namun sekarang dia menjalin cinta dengan Bayu. Tidak ada kata patah hati bagi Indri. Selalu ada harapan bisa menjalin hubungan yang lebih baik dengan pemuda lain.”
Mona ikut tersenyum. “Mungkin Yudit hanya sebuah ujian kecil bagi Indri sebelum  dia  menemukan cowok yang lebih baik untuknya, ya.”
“Yah, begitulah kira-kira.”


--- 0 ---


Mona ingin seperti yang lain. Mengapa Linda, Indri, nampak selalu mudah menjalin hubungan dengan pemuda. Bahkan mereka memiliki banyak persediaan teman-teman pemuda. Apa sekedar teman, atau kenalan, atau bahkan bisa dijadikan pacar. Mereka seakan diberikan banyak kemudahan untuk memulai dan menentukan bagaimana kelanjutan dari perkenalan itu. Aku juga bisa seperti mereka, pikir Mona. Mungkin awalnya susah, namun aku pasti bisa bila aku mau mencobanya. Mona mulai memastikan bahwa banyak cara untuk  memenangkan hati seorang pemuda sekarang ini. Bukan hanya  melalui kecantikan, ataupun melalui penampilan yang menarik, atau melalui  makanan ataupun melalui kepribadian yang menarik, namun ada cara lain yang bisa dilakukannya, yah misalnya dengan kemampuan berpura-pura tidak terlalu tertarik pada pemuda itu.
Mona mulai mencoba. Sudah berhari-hari dia berusaha tidak mempedulikan Bono sama sekali dan berpura-pura tidak melihat walaupun dari kejauhan dia sudah melihat Bono.  Hari sabtu,  Mona sadar, bagaikan sebuah keajaiban, bahwa itu berhasil. Bono sedang menunggunya pulang sekolah.
”Halo, Mon. Pulang bareng, yuk.”
Dalam aliran deras rasa suka cita dan rasa sayang, Mona menatap Bono dengan mata berbinar dan ingin menjawab dan  mengatakan, ya.  Namun mendadak Indri muncul, memanggil dan melambaikan tangannya kearahnya.
”Mona!!!”
Tanpa bicara sepatah katapun Mona ngeloyor pergi.  Meninggalkan Bono yang masih duduk disadel motornya.
”Bono menunggumu, ya?” tanya Indri begitu Mona mendekat.
”Ya, nampaknya sih begitu.” sahut Mona santai.
”Perkembangan yang bagus.” kata Indri. ”Namun kau jangan dulu merasa tertarik kepadanya. Biarkan saja dulu sampai Bono nampak sungguh-sungguh ingin dekat denganmu.”
”Nanti dia terbang lagi. Malahan nanti susah lagi menangkapnya.” tukas Mona.
”Tidak! Kalau Bono  sudah mantap memilihmu, dia tidak akan terbang lagi. Kau tinggal mengelus-elusnya dengan penuh rasa sayang.” kata Indri dengan nada tegas.
”Aku ragu dengan teorimu.”
”Buktikan saja dulu.”
”Kalau ternyata teorimu salah dan Bono malah terbang lagi?”
Indri menghela napas. ”Mon, kau belum pernah bercinta. Aku sudah beberapa kali bercinta. Percayalah padaku, teoriku tidak akan meleset.”


--- 0 ---


Mona masih termangu-mangu didepan  jendela kamarnya. Dia membaringkan tubuhnya. Matanya menatap langit-langit kamar.  Ada dua ekor cecak yang saling berkejaran. Bahkan seperti sepasang cecak itu pun aku tidak bisa, pikir Mona. Mereka bisa bermain-main berpasangan. Tidak ada cecak lain diantara  mereka. Sementara aku manusia, kalah oleh cecak. Aku tak berdaya ada manusia lain diantara aku dan Trisna. Mona merasa letih. Dia memejamkan matanya. Mona gampang tidur. Tiap kali kepalanya menempel pada bantal, matanya langsung terpejam. Sekarang pun tak lama kemudian dia sudah terrtidur pulas.
Entah berapa lama tidur. Begitu terbangun, Mona merasa lebih segar. Namun dia masih merasa bosan. Matanya melihat pada kelender duduk diatas meja kecil didekat tempat tidurnya. Ulang tahunnya tinggal dua minggu lagi. Setahun lagi telah berlalu, pikir Mona. Dan selama periode itu semua orang, kecuali dirinya, telah memiliki pacar. Mona merasa sedih memikirkan nasibnya.
Ketiga sahabatnya, Indri, Osi dan Linda telah memiliki pacar. Osi bangga dengan Risman belahan jiwanya. Indri nampak serius menjalin cinta dengan Bayu walaupun beberapa bulan lalu Indri nampak terpukul ketika kisah cintanya dengan Yudith, pemuda yang nampak sungguh-sungguh dicintainya, mengkhianatinya. Yudith memutuskan hubungan dengan Indri dan menjalin cinta dengan gadis lain, Maya, teman seangkatan mereka yang kelasnya bersebelahan dengan kelas mereka. Mau tak mau Indri sering melihat bekas kekasihnya itu nampak selalu bersama-sama dengan Maya, pacar baru Yudit itu. Namun Indri nampak tegar. Apalagi setelah dia memiliki Bayu. Sementa Linda walaupun hubungannya dengan  Vendra baru seumur jagung namun mereka nampak bahagia, serasi, mesra dan selalu memiliki waktu untuk selalu bersama-sama.
Mona merasa dirinya tidak menarik. Ah, tidak. Bukan tidak menarik. Beberapa pemuda terang-terangan menyukainya, namun dia malah memperhatikan Trisna terus yang sudah jelas Trisna punya teman dekat wanita lain. Nasibku, pikir Mona. Kenapa aku harus menyukai lelaki yang sama dengan Mesi? Apakah ini takdirku?  Mona teringat pada Bono. Namun dia teringat pada saran Indri agar dia jangan dulu cepat merasa tertarik kepada Bono. Barangkali Indri benar, pikir Mona. Ya, aku memang masih membutuhkan waktu untuk menguji keseriusan Bono kepadaku jangan sampai aku mengalami kecewa yang kedua kalinya. Indri pasti lebih berpengalaman daripada aku walaupun pengalaman Indri tidak bisa diterapkan kepadaku. Namun setidaknya aku bisa menerima saran dan nasehat Indri sambil memperhatikan perkemabangan yang terjadi, pikir Mona.
Mona bangkit dari tempat tidurnya. Dia berdiri didepan cermin dan terus menerus mengamati wajahnya di cermin. Kalau merengut malah nampak jelek. Coba  tersenyum. Tak sadar Mona tersenyum pada cermin didepannya. Dia melihat wajahnya nampak segar. Ah, kenapa aku tak memikirkan ulangtahunku saja yang ketujuh belas yang tinggal dua minggu lagi? Pikir Mona. Sia-sia hidupku bila harus kuhabiskan hanya untuk memikirkan Trisna.
Mona punya ide tentang ulang tahunnya. Dia akan mengundang sahabat-sahabatnya. Osi, Linda dan Indri. Hanya mereka bertiga  saja yang akan diundang. Mereka akan makan minum dirumah. Atau bisa memesan tempat diretoran dipinggiran kota agar acara ulangtahunnya terasa lebih berkesan. Mona ingat ada rumah makan khas sunda yang baru berdiri dipinggiran  kota. Rumah makan itu terletak diperbukitan, ada kolam ikan dibawahnya. Ada air terjun buatan yang menuruni perbukitan. Cuacanya sejuk dan nyaman. Ya, disana saja aku merayakan ulangtahunku, pikir Mona.  Daripada repot-repot menyiapkan makan dan minum dirumah, aku bisa pesan tempat untuk empat orang. Disana bisa sambil menikmati udara perbukitan yang sejuk. Bahkan  kalau tidak salah disana ada villa-villa yang bisa disewakan. Ah asyik, coba ibu mengijinkan aku merayakan ulangtahun disana. Aku bisa menyewa villa untuk semalam dan merayakan ulangtahunku disana.
Yang pertama ditelepon Mona adalah Osi. Dia menceritakan rencana ulangtahunnya yang disambut Osi dengan antusias. Lima belas menit Mona bicara. Dia baru akan masuk kekamar mandi ketika telepon genggamnya berbunyi. Osi yang menelepon. Dengan bijak Osi berkata. “Mon, ini ulang tahunmu yang ketujuh belas. Dan sebaiknya memang kau hanya mengundang teman-teman dekatmu saja.”
“Ya, aku hanya mencatat kau, Linda dan Indri saja. Kita berempat saja.” Sahut Mona. “Sehari sebelum ulangtahunku pada tanggal sepuluh, jadi artinya pada tanggal sembilan, kau antar aku kerumah makan itu untuk memesan tempat dan menu makanan.”
“Oke.” Sahut Osi. ”Tapi apa tidak terlalu dekat waktunya? Bagaimana kalau tanggal delapan saja kita kesana memesan tempat?”
”Oke.” sahut Mona setuju.
“Kalau ibuku mengijinkan, aku sebenarnya kepingin kita menyewa sebuah villa untuk semalam. Jadi kita merayakan ulangtahunku di villa itu.”
“Oh, ide yang sangat bagus sekali. Aku tahu villa yang bisa disewa.  Nanti aku cari tahu berapa tarifnya menyewa villa itu semalam.” Ujar Osi. “Tapi Mon…..”
”Apa?”
“Dan Risman bagaimana?”
“Kupikir seperti yang kita bicarakan, aku hanya mengundang sahabat-sahabatku saja…….”  Suara Mona terputus. Mendadak dia sadar jika dia mengucapkan sahabat-sahabat, berarti sekaligus mengundang pacar mereka. Osi pasti ingin datang ditemani pacarnya, biar ada yang menemani juga sekaligus pamer pacar pada teman-temannya, pamer kemesraan atau apapun  namanya  yang bisa diperyontonkan kepada orang lain bersama pacarnya.
“Oh,  maksudmu aku harus memasukan Risman kedalam daftar? Tentu saja Risman–mu diundang tapi  bagaimana dengan yang lain? Maksudku kalau kalau kau datang dengan belahan jiwamu, berati Indri dan Linda juga…….”
Baru selesai mandi, Mona mendapat telepon dari Linda. “Aku mendapat telepon dari Osi. Senang kau punya rencana merayakan ulang tahun  bersama kita semua. Tentu saja aku pasti akan datang bersama Vendra. Aku sudah menyiapkan kado untukmu.”
Tidak lama Indri menelepon. “Linda menelepon tentang ulang tahunmu. Linda mendapat telepon dari Osi yang mengabarkan mengenai rencana ulang tahunmu. Tentu saja aku akan datang. Bayu senang diajak datang menghadiri ulang tahunmu. Kita akan merayakannya bersama-sama. Ini ulangtahunmu yang ketujuh belas.  Semestinya lebih banyak lagi yang kau undang.”
”Oh, aku hanya ingin merayakannya diantara kita-kita saja. Tidak mau mengundang lebih banyak orang lagi.”
Mona mengeluarkan motornya. Ngebut. Seolah-olah dia tidak takut kecelakaan. Motornya melintasi jalanan Sumedang yang kelabu dan licin didera hujan deras menuju kerumah Osi. Dia merasa perlu bicara dengan Osi  agar Osi  tidak memberitahu banyak orang lain lagi mengenai rencana ulangtahunnya. Mona tidak mau banyak orang diperayaan ulang tahunnya yang ketujuh belas.  Semangat Mona bisa  hilang dan dia akan merasakan dirinya pusing dikelilingi gadis-gadis lain yang sibuk membanggakan pacarnya. Sementara dia yang punya hajat berdiri didepan kue ulang tahunnya tanpa seorang pacar yang mendampinginya. Yang bisa dibanggakannya kepada  teman-temannya, kepada orang tuanya, kepada saudara-saudaranya. Pacarku masih disembunyikan Tuhan disuatu tempat. Suatu saat dia akan datang mencariku. Dia akan menggandeng tanganku dan membawaku ke suatu tempat yang indah, indah sekali. Dan semua orang akan melihat alangkah serasinya aku dengan pacarku. Mereka akan bilang bahwa terlambat punya pacar justru sangat baik bagiku ketika pacarku jauh lebih menarik, lebih setia, lebih baik dari pacar-pacar temanku. Ooh......
”Ya, ya.” ujar Osi ketika Mona bicara padanya. ”Tentu saja aku tidak akan memberitahu siapapun lagi mengenai rencana ulangtahunmu. Kau memerlukan ketenangan batin pada perayaan ulang tahunmu yang ketujuh belas ini. Kau perlu merenungkan arti  usia tujuh  belas buatmu, bukan?”
Malamnya Mona sedang belajar. Dia paling suka pelajaran sejarah. Menghapal sambil membaca, sambil tidur-tiduran. Telepon genggamnya berbunyi. Mona melihat Mesi yang menelepon. Kening Mona agak berkerut. Ada apa Mesi menelepon? Sejenak Mona ragu  namun diangkat juga telepon dari Mesi.
“Ada apa?” Mona berusaha menjaga nada suaranya agar tidak ketus.
“Ibu Mirta menelepon ibuku. Mengenai rencana ulangtahunmu.” Kata Mesi.
Oh, mama sudah bilang rupanya kepada Ibu Teja.  Lalu Mesi harus diundang? Lho, apa mama tidak tahu kalau nanti hanya pesta ulangtahunku dengan teman-teman dekatku saja? Ah, kenapa sih mama tidak bilang-bilang dulu padaku?
“Yah, rencananya sih mau dirayakan kecil-kecilan. Yah, hanya perayaan kecil-kecilan saja, kok.” Sahut Mona kalem. Jangan harap aku akan mengundangmu. Kedatanganmu malah membuatku akan merasa tidak bahagia ditengah-tengah hari bahagiaku.
“Mon, kau tak perlu repot menyiapkan kue ulang tahunmu. Aku akan membuatkannya untukmu. Kau  maunya ukuran yang sebesar apa? Yang ukuran sedang atau yang agak besar? Persegi empat atau bundar? Warna hiasannya apa? Putih? Cokelat? Atau merah muda?” Mesi nyeroscos riang dan tulus.
Sejenak Mona tertegun.
“Oh, kau bisa bikin kue ulang tahun, ya?” tanya Mona sesaat kemudian, tidak menduga hal itu yang akan dibicarakan Mesi kepadanya.
“Aku pernah membuat beberapa kali. Kue ulang tahun itu adalah hadiah dariku untukmu.”
“Oh, terima kasih.”
“Kau maunya yang bagaimana?”
“Aku sebenarnya sudah mau memesan, tapi bila kau mau membuatkannya untukku, yah tidak apa-apa, malah aku terima kasih.” Ujar Mona tidak tahu apa yang harus diucapkannya kepada Mesi yang nampak tulus ingin berpartisipasi dengan ulang tahunnya yang baru tahap rencana saja.
“Oke, tanggal sembilan jam lima sore kue ulang tahunmu Insya Allah sudah aku antarkan kerumahmu. Atau paling telat jam sembilan pada tanggal sepuluh kue ulang tahun sudah ada dirumahmu. Rencananya kau akan merayakan ulangtahunmu tepat pada tanggal sepuluh, kan?”
“Yah, kira-kira begitulah.”
Agak ragu, kata Mona kemudian, “Mes, maaf. Aku hanya akan merayakan ulangtahunku bersama ketiga sahabatku saja. Aku tidak akan mengundang banyak orang.”
“Oh, begitu?” sahut Mesi ringan. “Tidak apa-apa. Ini ulang tahunmu yang ketujuh belas. Kata orang, usia tujuh belas adalah usia yang paling indah. Benar tidak?” Mesi tertawa renyah. “Apapun rencanamu, mudah-mudahan kau mendapatkan kebahagiaan dengan ulang tahunmu yang ketujuh belas ini.”
“Mes, apa kau juga mau datang?” tanya Mona merasa sedikit tidak enak hati pada Mesi yang sudah terlanjur tahu dirinya akan merayakan ulang tahunnya.
“Kalau kau berencana merayakan ulang tahunmu hanya dengan sahabat-sahabatmu saja, tentu aku tidak boleh mengganggu acara kalian. Tidak apa-apa, aku hanya ingin memberikan kado berupa kue ulang tahun kepadamu.”
Mona merasa tidak bisa berkata apa-apa. Bukan hanya masalah kue itu, namun Mesi seolah ingin membuat acara ulang tahunnya menjadi nampak lebih berkesan. Begitu baik niatnya sehingga mau menyiapkan kue ulang tahun untuknya. Sejenak Mona merasa perasaannya tersentuh oleh kebaikan dan perhatian Mesi. Namun kemudian timbul syak wasangka dan rasa curiga dibenaknya, kenapa Mesi nampak selalu begitu baik kepadanya? Kenapa Mesi nampak begitu perhatian? Kenapa? Kenapa? Apakah ini salah satu upaya Mesi  agar dirinya  mau  tulus ikhlas  merestui  hubungan Mesi dengan Trisna?
“Mon, aku tidak akan mengganggu acaramu bersama sahabat-sahabatmu, ya. Aku ikut merasa bahagia bila kau juga bahagia. Oke. Selamat ulang tahun. Semoga panjang umur dan diberi banyak kebahagiaan.”
Mona berucap pelan. “Terima kasih, Mes.”
Sambil menaruh telepon genggamnya diatas meja kecil disamping tempat tidurnya, sejenak Mona berpikir, benarkan Mesi tulus dengan semua itu? Atau sebagai kedok agar dia tidak terus menerus membenci Mesi karena hubungannya  dengan Trisna? Yah, bisa saja terjadi, pikir Mona. Tapi aku tidak akan tertipu dengan caramu. Mona sejenak memikirkan Mesi. Pasti ini upaya Mesi yang tak pernah bosan-bosannya mendekati aku dengan cara apapun.
Tanpa sepengetahuan Mona, diam-diam ibunya mengintipnya dari celah pintu kamar yang separuh terbuka. Mirta merasa kasihan melihat puteri semata wayangnya mukanya ditekuk seperti itu. Sejarah seakan berulang. Mencintai lelaki yang sama. Walaupun jelas Mirta tidak ingin hal itu terjadi pada Mona. Apalagi gadis yang dianggap saingan Mona adalah saudaranya sendiri. Dunia seolah sempit. Seolah tidak ada pemuda lain lagi. Mona atau Mesi harus ada yang mau mengalah andai salah satunya cintanya lebih kuat kepada Trisna. Mirta belum tahu sampai sejauh mana kedekatan Mesi dengan Trisna, namun dia dapat merasakan bahwa Mona nampak serius mencintai Trisna. Meskipun tidak berniat ikut campur, namun dalam hati Mirta berdoa semoga Allah memberikan jalan yang terbaik untuk mereka berdua jangan sampai rebutan pemuda. Dunia tidak sempit. Andai Mona dan Mesi mau membuka mata, masih banyak pemuda lain yang mungkin jauh lebih menarik daripada Trisna. Namun itulah cinta. Mirta tidak mau menyalahkan Mona andai Mona saat ini menganggap Trisna merupakan pemuda yang paling heibat diseluruh dunia. Mirta menarik napas dalam. Dia hanya berharap anaknya tidak menjadi cinta buta.

--- 0 ---



Pesta ulang tahunnya hanya dihadiri tujuh orang. Ketiga sahabatnya membawa belahan jiwa mereka masing-masing. Kecuali dirinya. Namun Mona nampak gembira. Berkumpul bersama ketiga sahabatnya dirumah makan dibukit yang permai.  Mona urung menyewa villa karena  Ibu melarang dengan keras.
“Tidak.” Kata ibunya ketika Mona meminta ijin ingin menyewa sebuah villa untuk merayakan ulangtahunnya bersama dengan teman-temannya.  “Mama tidak akan mengijinkan kau menyewa villa. Banyak resiko yang bisa terjadi bila kau merayakan ulang tahunmu di villa. Mama akan  memesan makanan dan minuman untuk ulangtahunmu dengan teman-temanmu itu. Acaranya jam lima sore. Jam tujuh malam kalian sudah harus bubar.”
”Tapi ma, ulangtahunku tidak akan dirayakan dirumah. Aku sudah berencana merayakannya  diluar bersama dengan teman-temanku.”
”Tapi tidak di villa.” sahut ibunya tegas.
”Ya, kalau mama  tidak mengijinkan di villa, tidak apa-apa.” sahut Mona. ”Ada sebuah rumah makan yang baru tiga bulan lalu dibuka. Lokasinya diperbukitan. Suasananya enak dan nyaman.”
”Rumah makan ”Permai”?”
”Ya.”
”Baiklah.  Kau boleh merayakan ulangtahunmu disana. Sekalian pesan tempat, makanan dan minuman. Acaranya jam lima sore. Jam tujuh malam kalian sudah harus bubar.”
”Ya, ma.” Seperti ulang tahun anak kecil saja, Mona menggerutu dalam hati. Namun dia tidak membantah. Dia sedang tidak ingin berdebat dengan ibunya. Walaupun itu adalah kebiasaannya selama ini.
Agak sedikit kecewa namun akhirnya Mona memahami kekhawatiran ibunya. Tidak apa, yang penting aku bisa merayakan ulang tahunku  yang ketujuh belas ini.
Mesi sungguh-sungguh memperlihatkan kebaikan hati dan ketulusannya. Jam sembilan kue ulang tahun yang berhias dengan lilin angka  tujuh belas, sudah ada di rumah Mona. Mesi sendiri yang mengantarkannya.
”Selamat ulang tahun, Mon. Semoga kau panjang umur dan diberi banyak kebahagiaan.” ucap Mesi tulus.
”Terima kasih.” sahut Mona pendek.
”Kue ulangtahunnya bagus sekali.” cetus Mona spontan. Ada boneka mungil bergaun merah diatas kue ulangtahunnya yang berbentuk rumah. Atapnya terbuat dari kepingan-kepingan cokelat. Ada halaman berumput hijau. Ada sumur disamping  rumah yang seolah rumah kayu itu. Sebuah kue ulangtahun yang cantik sekali.
”Aku sengaja membuatkan sebuah kue ulangtahun yang spesial untukmu.” sahut  Mesi tersenyum.
Ada sedikit rasa sesal dihati Mona bahwa dia sudah bilang kepada Mesi tidak bisa mengundangnya menghadiri perayaan ulangtahunnya. Padahal Mesi sudah menunjukan perhatian yang besar kepadanya.
”Mes,  kalau kau mau datang ke perayaan ulangtahunku........” ucap Mona.
Mesi tersenyum. ”Kau sudah berencana akan merayakannya  hanya bersama kawan-kawan dekatmu saja. Itu adalah pestamu, Mon. Aku tidak akan mengganggu acaramu. Aku sudah merasa bahagia bisa memberikan kado kue ulangtahun ini kepadamu.” Ucapan Mesi kedengaran begitu  tulus.
Sore itu Mona merayakan ulang tahunnya yang ketujuh belas. Dia berusaha bergembira walaupun hanya dirinya saja yang tidak memiliki pacar. Usai meniup lilin diatas kue ulang tahun, Osi menghibur Mona yang merayakan ulang tahun ketujuh belas tanpa pacar.
”Oh, kau tidak perlu bersedih saat ini masih belum punya pacar. Suatu saat nanti pangeranmu pasti akan dating menjemputmu dan membawamu ke istana.” Hibur Osi.

--- 0 ---


Mona merasa sangat kesal. Uring-uringan sendiri. Dilewatkannya malam tahun baru sendirian  didalam kamarnya. Tidak ada keharusan melewatkan malam tahun baru dengan teman-teman, atau keluarga atau menghadiri acara perayaan malam tahun baru bersama-sama dengan orang lain, misal dihotel, namun diam sendirian dikamarnya jelas terasa menyiksa perasaan Mona, dia bisa mendengarkan bunyi terompet diluar sana, dijalanan. Bunyi kendaraan bermotor terus bergemuruh seolah semua orang keluar rumah dan tumplek dijalanan.  Semua saluran televisi berlomba-lomba menyiarkan acara  malam pergantian tahun dengan meriah.  Semua orang nampak gembira merayakan malam pergantian tahun baru kecuali aku sendiri, pikir Mona.
Mona merasa tersiksa sendiri. Dia tidak menelepon Osi karena Osi jelas bersama Risman. Mona tidak menelepon siapapun.  Oh, sungguh  tersiksa hidup tanpa pacar. Diusianya  sekarang ini. Mona teringat pada Mesi. Sedang apa dia sekarang? Apakah Trisna ada menemani Mesi melewatkan malam pergantian tahun baru bersama-sama? Mona tidak ingin membuat perasaaannya makin sakit memikirkan berbagai macam kebahagiaan  yang mungkin tengah dirasakan  Mesi dan Trisna. Bayangan-bayangan itu hanya akan membuatnya merasa tersiksa  dan sakit hati. Aku harus lebih memikirkan diriku sendiri, pikir Mona. Bukan memikirkan orang lain. Bukan memikirkan urusan orang lain. Atau kebahagiaan orang lain. Tapi yang harus aku pikirkan adalah diriku sendiri. Kebahagiaanku sendiri, pikir Mona.
Akhirnya Mona  duduk sendirian menonton televisi sambil  mengunyah sepotong cokelat.  Tidak, aku tidak boleh nampak menderita hanya karena aku tidak punya pacar sementara yang lain punya, pikir Mona. Telepon genggamnya  berbunyi.  Sengaja distel pelan.  Linda  menelepon.
”Halo, Mon! Kau mau ikutan dengan aku dan Vendra jalan-jalan ke jalan raya bergabung dengan yang lain rame-rame meniup terompet?”
”Tidak.” sahut Mona tegas. Aku akan tetap kesepian dalam suasana yang hiruk pikuk sekalipun. Jadi lebih baik memilih sendirian saja, pikir Mona.
“Ada Osi didepan.”  kata Ibu.
Mona beranjak keluar. Ada yang aneh. Osi nampak sedih. Dia menarik tangan Mona, mengajaknya masuk kekamarnya.
”Ada apa?” tanya Mona.
Osi duduk diatas karpet, langsung menangis. Dalam sekejap dia sudah   bersimbah air mata. Mona perlu beberapa waktu untuk memahami masalahnya sementara Osi menangis lebih keras lagi.
“Ada apa?” Tanya Mona kalem.
“Aku……aku baru saja putus dengan Risman. Tadi jam sembilan lewat lima belas menit. Segalanya begitu mendadak. Aku nyaris tak percaya. Putus menjelang malam tahun baru.  Begitu cepat semua ini terjadi dan menimpaku. Padahal malam tahun baru kemarin kami masih meniup terompet bersama-sama. Ini sungguh tidak masuk akal. Putus cinta ditengah-tengah kemesraan. Oh, mungkin aku yang terlalu emosional. Mungkin aku yang terlalu pencemburu. Mungkin semua ini aku yang salah.” Osi  bercerita dengan suara tersendat.
Mona tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya diliputi perasaan haru menyaksikan sahabatnya yang baru saja putus cinta.
“Kau kan tahu, Mon. Aku sangat, sangat, oh sangat mencintai Risman.”  Ujar Osi tersedu.  “Dialah pemberi semangat dalam hidupku.”
“Ya, aku tahu.” Ucap Mona pelan.
“Mungkin lebih baik seperti dirimu saja tidak punya pacar.  Kalau kau punya pacar, kau harus bersiap-siap andai pacarmu mengkhianati, atau menyakiti perasaanmu, atau memutuskan hubungan.”
Mona tidak bisa berpikir. Mana yang lebih baik. Tidak punya pacar seperti dirinya dan dilanda depresi karena orang lain punya pacar. Atau mendingan seperti Osi, pernah mengalami manisnya masa berpacaran walaupun kemudian merasakan kesedihan ketika harus putus cinta. Serius, Mona tidak bisa memilih mana yang paling baik.
“Untuk saat ini aku akan menutup pintu hatiku untuk semua cowok.” Kata Osi dengan suara tegar. “Mungkin ini lebih baik bagiku, sehingga  aku bisa berpikir jernih. Dan merenungkan kembali apa yang terjadi dalam hubunganku dengan Risman. Kenapa semua ini bisa terjadi?”
“Ya, mungkin itu lebih baik buatmu.” Mona mengangguk setuju.
Akhirnya Mona mengibur Osi, menyuguhinya dengan minuman dingin dan kue-kue cokelat, brownies dan membiarkannya melihat-lihat  album photonya.
“Siapa  ini?’ Tanya Osi ketika melihat seorang pemuda  tengah memeluk bahu Mona dengan latar perkebunan teh  di Puncak yang separuh berkabut.
“Sepupuku.” Sahut Mona. “Kenapa?”
“Wajahnya kok mirip Risman, ya?’
“Ah,  masa sih?’ Mona mencoba memperhatikan Fadil. Mona tidak tahu dimana letak kemiripannya antara Risman dan Fadil.  Namun  Mona tidak berkomentar.
“Siapa sih namanya?”
“Fadil.”
“Mon, kenalin aku dengan dia dong.”
Mona menatap Osi serius. “Si, kau baru putus dengan Risman, bagaimana mungkin kau bisa secepat itu melupakan dia?”
“Oh, ya.” Sahut Osi. Bibirnya tersenyum. “Kupikir bila aku bisa kenalan dengan sepupumu ini aku bisa melupakan Risman. Memangnya hanya dia saja yang bisa cepat mendapatkan gandengan.”
“Oh, kau keterlaluan mau menjadikan sepupuku pelarian kekecewaanmu oleh Risman. Fadil sudah bertunangan. Tunangannya mahasiswi kedokteran.”
”Kita jalan-jalan, yuk.  Aku bawa motor.” ajak Osi.
Mereka tidak bisa ngebut. Jalanan penuh dengan orang-orang yang tengah bergembira merayakan  malam tahun baru.  Mona dan Osi ikut larut dalam kegembiraan. Mereka membeli terompet dan meniupnya bersama-sama dengan yang lain. Wajah Osi nampak gembira. Dia seakan sudah melupakan kesedihan yang baru saja melandanya. Mona ikut merasa lega. Dia dapat merasakan bahwa tadi Osi benar-benar sangat berduka kehilangan belahan jiwanya dalam keadaan yang tak  terduga. Mona membiarkan Osi menikmati kegembiraannya. Mereka membeli makanan dan minuman. Malam tahun baru yang meriah. Pulangnya mereka mengambil jalan yang berbeda. Lewat  kedepan jalan sekolah  yang sepi.
Mona terperanjat. Motor yang dikemudikan  Osi nyelonong masuk ke selokan. Dua orang lelaki yang bertubuh kekar menghadang mereka. Kedua gadis itu langsung menciut. Firasat mereka langsung mengatakan bahwa sesuatu yang buruk akan menimpa mereka.
“Mana uang?” Tanya seorang lelaki berkumis baplang dengan kedua ujungnya melengkung mirip pikulan sate.
“Apa?” Tanya Osi bengong, tak mengerti.
“Bego! Mana uangmu?” bentak lelaki yang satu lagi. Tubuhnya lebih kekar dari lelaki berkumis.
“Aku tidak bawa uang.” Sahut Osi gemetaran. Tak terbayang dalam pikirannya malam ini akan mengalami nasih naas seperti ini. Disergap oleh perampok. Nyali Osi sudah menciut. Nyawanya seperti dalam sebuah peribahasa, seakan  sebuah  telur diujung tanduk. 
“Bohong! Malam-malam berkeliaran. Mau diperkosa, ya?” Tanya lelaki berkumis tebal.
Mendengar pertanyaan itu, kontan Mona dan Osi menangis sambil berangkulan. Ketakutan mereka sudah sampai diubun-ubun kepala. Mendadak Mona teringat pada aneka pemberitaan di media tentang kasus perkosaan sekaligus pembunuhan. Diperkosa lalu dibunuh. Tak kuasa menahan takutnya, Mona memeluk Osi kencang. Ya Allah, lindungilah hamba-Mu yang lemah ini.
“Oh, dasar anak monyet.” Gerutu yang seorang dengan suara jengkel.
“Motornya saja kita ambil.” Ujar  yang berkumis.
Dengan kasar lelaki itu menarik tangan Osi dan mengambil motor. Osi hanya terpaku   tak berdaya ketika motornya dirampas. Motor distarter lelaki itu.  Gasnya meraung-raung keras.
“Jangan coba-coba berteriak!” Ancam lelaki itu dengan nada bengis.  “Sekali kau berani berteriak, kau akan diperkosa. Mengerti?”
Osi dan Mona hanya diam terpaku dengan kaki gemetaran. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk lari pun kaki mereka seakan terasa berat untuk bergerak. Mereka hanya bisa berdoa, memohon Allah Yang Maha Kuasa menyelamatkan hidup mereka dan melindungi mereka dari segala marabahaya dan kejahatan yang akan menimpa. Osi teringat pada tasbih yang selalu dibawanya kemanapun dia pergi. Dirogohnya saku celana panjangnya. Secara  demontratif dan penuh kesungguhan serta keyakinan dia mulai berdizikir, menyebut nama Allah, membaca Asmaul Husna. Kedua lelaki itu tidak memperhatikannya. Mereka sibuk akan segera melarikan diri. 
Lelaki yang satu lagi baru saja akan naik dibelakang motor itu ketika tiba-tiba sebuah mobil datang. Lampunya yang menyorot terang membuat keberanian Mona dan Osi bangkit. Kedua lelaki itu mendadak  panik. Yang memegang kemudi langsung tancap gas.  Osi dan Mona tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mona mengambil batu sebesar kepala monyet yang kebetulan tergeletak didekatnya. Dilemparkannya batu itu sekuat tenaga kearah kedua lelaki itu. Kena kepala  lelaki  yang memegang kemudi. Motor mendadak oleng. Osi berlari kencang mengejar motor yang tidak melaju kencang.  Dia menarik baju lelaki yang duduk dibelakang. Berhasil. Lelaki itu terjungkal.
Mobil itu berhenti tidak jauh dari tempat mereka. Lampunya masih menyala terang.
“Mona. Ada apa?” Dalam kegelapan malam, hanya dterangi lampu mobil, Mona melihat Bono. Diikuti  tiga  lelaki lain yang  keluar dari dalam mobilnya.
“Aku mau diperkosa.”  Sahut Mona. Lega rasanya ketika melihat kedatangan Bono.
“Oh my God! Kurang  ajar!” Tanpa banyak bicara lagi  Bono  dan tiga lelaki yang datang bersamanya mengejar motor yang tersungkur kedalam selokan.  Seperti dalam film kungfu  Bono   dan ketiga lelaki itu menerjang pengendara motor. Keduanya terjungkal.  Bono dan ketiga laki-laki itu ternyata jago kungfu. Osi dan Mona bengong. Menyaksikan pertandingan  itu.  Mereka seakan sedang main film. Dalam keadaan gawat, datang pertolongan. Jangan-jangan aku bakal jadian dengan Bono  nih setelah kejadian ini, pikir Mona.  Kan seperti dalam film drama. Setelah ceweknya ditolong oleh cowok yang  sudah lama naksir dia, cerita akan berlanjut dengan luluhnya perasaan sang gadis setelah dibela oleh cowok itu. Jadi, mulai malam  ini aku harus sudah mulai mempertimbangkan Bono, pikir Mona serius.
Mona dan Osi menyaksikan kedua penjahat itu diringkus. Bono  mendekati Mona. Wajah dan tubuhnya bersimbah peluh.  Sirnalah  kesan manja yang menjadi capnya selama ini, yang membuat Mona merasa tidak suka pada Bono karena menurutnya, pemuda  manja hanya akan merepotkan saja.  Malam ini Bono  tampil seperti seorang pahlawan seperti dalam film-film action.
“Itu motormu?” tanya Bono pada Mona.
“Ya.”  sahut Mona.  Belum pernah dia membalas tatapan  Bono  semesra   malam  ini. Ketika matanya bertatapan dengan  mata Bono, dia merasakan kedamaian menyelinap dalam hatinya. Mona merasakan dadanya berdebar lembut. Aku pasti tidak akan bisa melupakan kejadian malam ini sebagai kenangan terindah dalam hidupku bersama Bono, pikir Mona.
“Motormu biar dibawa pulang kerumahmu oleh sepupuku. Kalian ikut aku naik mobil.” Kata Bono.
“Lalu penjahat itu?”
“Mereka ikut kita.” ujar Bono. ”Kau dan Osi duduk didepan bersamaku. Mereka  duduk dibangku belakang, dijaga kedua sepupuku. Kita  serahkan kedua penjahat itu ke kantor polisi.”
Dalam mobil hardtop itu, Mona duduk ditengah, diantara Bono dan Osi.  Bibir Osi  masih terus berkomat-kamit berdoa. Gusti Allah telah menunjukan kebesaran-Nya, memberikan pertolongan dan keselamatan kepada dirinya dan Mona melalui  Bono dan saudara-saudaranya. Sekarang dia sibuk mengucapkan rasa syukur kehadirat-Nya. Begitu nyata Allah memberikan pertolongan kepada umat-Nya yang selalu mengingat dan menyebut nama-Nya. Dalam hati Osi berjanji, dia akan lebih tekun lagi dalam beribadah kepada Allah.
“Bon, terima kasih, kau sudah menyelamatkan  nyawaku. Kehormatanku.” Kata Mona terbata-bata. Keangkuhannya terasa luluh. Mencair seperti lilin yang kena api. Dia mendadak merasa dekat pada Bono. Malam ini belum pernah dia  merasakan begitu dekat dengan Bono padahal mereka sudah lama kenal. “Kau kau tak datang menolongku,   mungkin aku dan Osi sudah diperkosa.”
“Oh, jangan berkata seperti itu, Mon Itu adalah kemungkinan terburuk yang baru akan terjadi menimpa kita andaikan Bono tidak datang pada saat yang tepat.” Sela Osi.
“Sudahlah, semuanya sudah berlalu.” Bono  menepuk-nepuk paha Mona dengan  tangan kirinya  sebanyak tiga kali, lalu dengan sopan tangan itu kembali memegang kemudi. Dalam keadaan biasa, tangan yang berani menepuk-nepuk pahanya tanpa permisi   akan langsung dipukulnya. Namun malam ini Bono  telah menyelamatkannya bukan saja kehormatannya namun juga nyawanya. Sudah kelewat sering dia membaca perempuan diperkosa lalu dibunuh. Jadi Mona hanya menghityung tepukan tangan Bono dipahanya, diberi ijin tidak lebih dari tiga tepukan.
Di kantor polisi Mona dan Osi tidak bisa langsung pulang. Mereka diperiksa. Diberi sejumlah pertanyaan. Setiap pertanyaan  dan jawaban diketik oleh polisi yang memeriksa mereka. Bono setia menemani mereka hingga acara pemeriksaan usai.  Motor lebih dahulu diantar pulang oleh salah seorang saudara Bono. Tidak lama kemudian ayah dan  ibunya datang kekantor  polisi dengan waajah cemas. Usai  pemeriksaan, mereka boleh pulang. Polisi sempat memberi pesan pada Mona dan Osi agar lain kali jangan suka keluyuran malam hari. Ayah berulang kali mengucapkan terima kasih  pada Bono  yang sudah jadi pahlawan bagi puterinya. Ibu  memeluk dan mencium pipi Bono kiri kanan saking berterima kasihnya. Bono hanya tersipu. Dia ingat ibunya yang sering memperlakukannya seperti itu.
“Nak  Bono, mainlah kerumah. Ibu sungguh sangat berterima kasih nak Bono   telah menyelamatkan Mona dan Osi.”
Wajah Bono  sumringah  dengan keramahan  ibunda Mona.  Dia buru-buru bilang bahwa suatu saat nanti dia pasti  akan main kerumah.
”Bon, terima kasih, ya.” kata Osi.
”Ya.” Bono menepuk bahu Osi lembut untuk menenangkan Osi yang masih nampak pucat.
”Aku juga merasa perlu mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudaramu.” ujar Osi, tersenyum pada Bono.
”Yah, nanti akan aku sampaikan.” sahut Bono kalem.
”Ehm, siapa sih namanya? Yang pakai jaket hitam itu?”
”Oh, Indra. Nanti aku sampaikan ucapan terima kasihmu itu.”
”Sebaiknya aku mengucapkannya sendiri.”
Bono memanggil Indra. Mona memperhatikan Osi. Betapa pandainya Osi memulai sebuah perkenalan dengan seorang pemuda, pikir Mona. Entah apa yang dipercakapkan antara Osi dan Indra. Indra nampak terkesan dan tertawa  lebar.
”Oke, nanti kau kutelpon, ya.” kata Indra.
Osi tersenyum dan melambaikan tangannya sesaat sebelum melangkah keluar dari  kantor polisi. Osi diantar pulang Mona dan orangtuanya. Kepada  orangtuanya, ayah Mona memberi penjelasan singkat tentang kajadian yang baru saja terjadi menimpa Osi dan Mona. Kedua orangtua Osi kaget bukan kepalang.
“Sudah kubilang berulang kali, jangan keluyuran naik motor malam hari. Belum percaya juga kau dengan kata-kata bapakmu. Kejadian malam ini adalah bukti akibat kebandelanmu.” Bentak ibunya. Osi mengerut  ketakutan. Dia tidak membantah ketika disuruh masuk kekamar.
Mona dan kedua orangtuanya pamit. Dalam hati Mona berjanji dia tidak akan keluyuran lagi malam hari tanpa ada lelaki yang mengawal.


--- 0 ---


Setiap peristiwa selalu ada hikmahnya. Peristiwa dimalam tahun baru itu telah mengubah cerita Bono  dan Mona. Juga mengubah sikap dan pandangan  Mona pada Bono.  Sudah dua minggu Mona tak pernah ingat lagi pada Trisna. Kadang memang ingat tapi cuma sekilas. Tiba-tiba saja Mona teringat pada perhatian Bono selama ini. Bono selama ini memang baik, perhatian kepadanya, namun entah kenapa perhatiannya selama ini justru hanya tercurah kepada Trisna saja? Padahal jelas, memperhatikan Trisna malah membuat dirinya merasa ngebatin sendiri. Trisna memang baik, namun  Trisna seolah  tidak pernah merasa bahwa dirinya menyukainya. Trisna malah  lebih perhatian pada Mesi. Selalu memiliki waktu untuk selalu bersama-sama dengan mesi  dan tidak memiliki waktu  untuknya. Perasaan Mona terasa sakit seperti disayat belati tajam. Seakan belati itu menorehkan luka yang dalam dan memanjang. Berdarah dan terasa pedih dan perih.  
Mona baru sekarang menyadari, selama ini dia jadi merasa tersiksa sendiri. Cintanya seakan berat sebelah. Tidak seimbang antara cintanya kepada Trisna dan cinta Trisna kepada dirinya.  Timbangan cinta  lebih berat  berada pada dirinya. Jadinya Mona merasa ngebatin sendiri. Dalam keadaaan seperti ini Bono tiba-tiba saja terasa lebih bermakna. Padahal selama ini kehadiran Bono selalu dianggap angin lalu saja olehnya. Tak pernah dia mau memperhatikan lebih dari lima menit tiap kali melihat Bono. Namun sekarang segalanya terasa berubah. Apapun yang melekat pada Bono seakan-akan mengesankan, menarik dan membuatnya mau memikirkan pemuda itu. Mona mendadak  merasa kangen dan selalu ingin berkhayal sejenak tentang Bono. Oh, bukan sejenak, tapi tanpa terasa bisa habis dua jam duduk melamun tidak ada kerjaan hanya memikirkan pemuda yang satu ini. Bono seolah telah mencuri hatinya. Tak ada lagi yang menyita pikirannya kecuali Bono. Bono. Bono. Nama itu selalu bergema lembut dalam hatinya. 
Mona suka senyum-senyum sendiri. Wajah Bono tak pernah lepas dari pelupuk matanya. Bono yang pendiam, Bono yang baik, Bono yang…… pokoknya yang terpikir tentang Bono adalah yang baik-baik semua. Penampilan Bono yang terkesan lembut, kini tak lagi menyebalkan. Sesuatu hal yang dulu sempat tidak disukainya dari Bono. Sikap Bono yang terkesan lemah lembut dan sopan pun kini mulai disukainya bila dibandingkan dengan sikap teman-teman laki-laki yang cenderung kasar dan seenaknya. Pokoknya penilaiannya semuanya berubah.
Sehari setelah kejadian dimalam itu, Mona menunggu Bono usai sekolah. Ketika Bono melewati kelasnya, Mona yang bersembunyi didalam kelasnya bergegas keluar. Dia memanggil pemuda itu.
“Bono!”
Bono menoleh. Seperti terkejut ada yang memanggilnya karena suasana sekolah saat itu sudah mulai sepi. Soal isue di sekolah mereka ada makhluk halus yang sering melakukan penampakan dalam wujud wanita cantik  sudah lama didengar Bono meskipun dia sendiri belum pernah melihatnya sendiri. Namun bibirnya langsung menyunggingkan senyum ketika melihat raut wajah Mona yang muncul dari dalam kelas.
“Bono!” panggil Mona sekali lagi ketika dia sudah dekat dengan Bono.
“Hai! Belum pulang?”
“Aku sengaja menunggumu.”
“Oh ya? Ada apa?”
“Aku mau mengucapkan terima kasih sekali lagi kepadamu atas pertolonganmu kemarin malam.” Mona tersenyum malu-malu. “Kau sudah menyelamatkan aku. Tanpa kedatanganmu pada saat yang tepat, entah bagaimana dengan nasib aku dan Osi.”
“Sudahlah, aku  juga jadi kepikiran terus.” ucap Bono kalem. ”Aku senang karena aku yang telah menolongmu. Peristiwa kemarin membuatku bisa dekat denganmu, kan?!.”
Mona tersenyum mendengar ucapan Bono. Dia  mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam tasnya.
“Bon, ibuku titip ini untukmu.” Mona mengangsurkan bungkusan kecil itu kepada Bono.
“Apa itu?”
“Buka aja, deh. Kau pasti suka.”
Bona membuka bungkusan yang diberikan Mona. Dia melihat beberapa batang cokelat.
“Oh, cokelat.” Bono ketawa renyah.
“Kenapa? Kau tidak suka diberi cokelat? Ibuku memberimu cokelat atas usulku.”
“Oh begitu? Aku suka dengan cokelat. Pasti enak sekali cokelat pemberian ibumu ini.” Ujar Bono. “Tapi cokelat ini terlalu banyak bila kumakan sendiri. Gigiku bisa sakit. Bagaimana kalau kita makan cokelat ini bersama-sama?”
“Oke. Kapan? Sekarang?”
“Jangan sekarang. Perutku masih kenyang. Bagaimana kalau aku nanti sore kerumahmu? Kan lebih asyik makan cokelat sambil duduk santai dirumah, sambil ngobrol.” Bono tersenyum.
Asyik. Mona nyaris melonjak girang. “Iya deh. Kutunggu. Jangan lupa, ya.”
Bono tersenyum. “Sekarang mau kalau kuantar pulang?”
“Tentu saja.” Sahut Mona ceria.
Sore itu Bono menepati janjinya. Dia datang kerumah. Mona yang sudah menunggunya sejak tadi melonjak girang ketika melihat kedatangan Bono.
“Siapa?” Tanya Mirta ketika melihat Mona mengintip dari balik gorden kamar.
“Bono.” Sahut Mona.
Mirta tersenyum. Namun tidak berkomentar apa-apa. Mona malah merasa senang ibunya tidak banyak tanya.
“Cokelatnya enak.” Kata Bono ketika mereka sudah duduk berdua sambil makan cokelat. Mereka duduk diteras samping dekat kolam. Bono senang melihat ikan-ikan yang mondar-mandir berenang dikolam mungil dekat teras.
“Ibuku ngasih cokelat ini buatmu tapi aku ikut memakannya. Tidak apa-apa, kan?”
“Tidak apa. Kalau kumakan sendiri kebanyakan. Dimakan berdua denganmu malah cokelatnya terasa lebih enak.” Ujar Bono. Mona tersenyum.
“Mon, hari minggu jalan-jalan, yuk. Kau pernah ke kebun cokelat?”
“Kebun cokelat? Maksudmu kebun tempat ditanamnya buah-buah cokelat? Dimana?”
“Ke kebun cokelat ayahku. Sebelum kau bisa menikmati cokelat yang lezat ini, prosesnya berawal dari buah cokelat yang dipetik petani dari kebun.”
Mona merasa girang. Bukan karena akan pergi ke kebun cokelat namun ajakan Bono seolah membuka kesempatan bagi mereka berdua untuk bisa lebih dekat.
“Hari minggu pagi kau kujemput, ya.”
“Oke.”
Mereka ngobrol kesana kemari. Sering diselingi dengan tawa dan canda mereka. Mona merasa Bono sangat menyenangkan juga. Tak terasa waktu sudah hampir dua jam mereka duduk bersama. Bono melihat jam tangannya.
“Pulang dulu, Mon.”
Mona mengantar Bono sampai depan pintu pagar halaman.
“Hati-hati, ya. Jangan ngebut.” Spontan kata itu neluncur dari bibir Mona.
Mona memang suka bilang begitu kalau mengantar teman-temannya kalau mau pulang. Kalau dulu ia memang biasa bilang ‘hati-hati, “atau jangan ngebut” pada teman-teman lain, kini memang ada penghayatan mengatakan itu kepada Bono. Seperti dibebani rasa sayang. Dan Bono merasa bangga. Senyumnya mengembang. Lalu tangannya melambai. Dibalas Mona dengan penuh perasaan.
 “Kenapa enggak  pernah latihan volly  lagi?” tanya Osi ketika mereka berkemas memasukan buku kedalam tas usai pelajaran.
“Aku sekarang main tenis lagi.” Sahut Mona santai. Dia menyandang tasnya bersiap akan pulang.
“Oh, sudah baikan  dengan Trisna rupanya, ya? Wah asyik dong!” ucap Osi spontan.
“Bukan dengan dia, kok.” Kilah Mona sambil tersenyum tanpa menyembunyikan sumringah diwajahnya.
Osi menatap Mona. Menangkap sumringah diwajah Mona. Osi jadi curiga. Dia menangkap ada binar-binar ceria diwajah Mona. Dia ikut merasa senang. Namun siapakah gerangan sang pangeran yang telah membuat Mona nampak sedang bahagia seolah sedang jatuh cinta?
“Bukan Trisna?  Siapa? Kasih tahu, dong. Masa sama sobat berahasia.” Bujuk Osi.
Mona tersenyum. Wajahnya cerah seperti sinar mentari pagi hari.
“Ada deh.”
“Masa sama sahabat sendiri  tidak mau ngasih tahu. Siapa sih?” bujuk Osi penasaran. 
“Dengan Bono.” Sahut Mona.
“Oh.”  Osi agak terpana sesaat. Lalu tersenyum. “Oh, syukurlah kau sudah bisa melepaskan Trisna. Memang percuma kau bertahan menyukainya. Trisna kemarin-kemarin sempat  lengket saja dengan Sundari. Kemana-mana selalu berdua. Bahkan tiap hari pun selalu pulang sama-sama. Namun akhir-akhir ini Trisna malah selalu kelihatan sama-sama lagi dengan Mesi.  Seperti dulu sebelum Trisna jalan denganmu.”
Mona mendengarkan dengan biasa-biasa saja. Tak ada pengaruhnya Trisna mau bareng dengan siapapun. Berita, gosip, isue apapun yang menyangkut Trisna sudah tidak ada setrumnya lagi buatnya.
“Pulangnya bareng ya. Mon. Antar aku ke toko buku.”
“Aduh sorry, Si. Aku sudah janjian dengan Bono mau pulang bareng. Maaf, ya.”
Osi tersenyum memaklumi. “Tidak apa. Aku pulang duluan, ya.”


--- 0 ---




Mona pernah mendengar Bono hobby naik motor besar dan kadang suka ikutan rally.  Sekarang Mona merasakan enak benar naik motor besar  namun juga diselingi perasaan ngeri ketika dijalanan besar berkali-kali Bono menyalip truk dan bus.
“Eh, hati-hati jangan ngebut, dong!” teriak Mona berkali-kali didekat telinga Bono yang tertutup helm.
“Oke.” Sahut Bono.
Mona berpegangan erat pada pinggang Bono. Entah sudah berapa kali sepanjang jalan Mona mengoceh terus. Bono berusaha memahami kakhawatiran Mona. Dia agak melambatkan laju motornya. Namun ketika Mona sedang terbuai menikmati panorama yang dilewati mereka, kembali Bono melajukan mootornya dengan kencang. Akhirnya Mona berusaha percaya bahwa Bono adalah seorang pengendara motor yang baik. Dia pasti sudah memperhitungkan laju kendaraannya. Dan akan berusaha menjaga keselamatan mereka berdua.
“Kebunnya mana? Masih jauh?”
Motor Bono mendadak berhenti ketika ban terantuk  batu besar. Kepala Mona  terantuk kepala Bono. Keduanya mengenakan helm sehingga ketika terantuk menimbulkan suara benturan.
“Hati-hati, dong!” gerutu Mona.
“Kepalamu kan pakai helm. Mana sakit terantuk segitu.” Tukas Bono. “Mon, coba kau lihat dikiri dan kananmu. Pohon-pohon yang sarat dengan buah-buah kecil berwarna merah itu adalah pohon kopi.”
“Oh.” Mona baru menyadari bahwa mereka sudah memasuki perkebunan cokelat.
“Sebentar lagi kita sampai.” Kata Bono.
“Dulu perkebunan cokelat  ini milik orang Belanda. Namun ketika datang orang Jepang, perkebunan ini dikuasai oleh pribumi. Kakekku membeli sebagian lahan perkebunan ini. Bisnis kakekku berawal dari kebun cokelat ini.” Kata Bono.
Mona tidak berkomentar. Dia pernah mendengar isue, nenek buyut Bono dinikahi orang Belanda pemilik perkebunan. Darah Belanda dari kakek buyutnya itu telah mewariskan wajah-wajah kesinyo-sinyoan pada keturunannya, termasuk pada Bono. Yang berwajah putih agak bule dengan rambut agak kemerahan. Asli, bukan karena dicat dengan pewarna rambut yang trend dikalangan remaja.
Jalanan yang mereka lewati mulai menanjak dan motor sulit melaju kencang karena jalanan dipenuhi oleh bebatuan dan kerikil.  Namun Mona menikmati perjalanan itu dan tiba diperkebunan cokelat milik keluarga Bono. Mona turun dari motor, membuka helm dan menghirup udara yang segar dan sejuk.
“Kita jalan kesana, yuk.”  Ajak Bono sambil menuntun tangan Mona.
Mona menurut saja. Dia melihat beberapa pekerja sedang sibuk bekerja memetik buah-buah cokelat dengan pisau. Rupanya saat ini sedang panen cokelat. Mona takjub melihat buah-buah cokelat berwarna merah yang bergelantungan. Hampir semua pohon sarat dengan buah-buah cokelat.
“Bono, baru kali ini aku datang ke perkebunan cokelat. Oh, aku senang sekali kau mengajak aku kemari.  Seringkah engkau kemari?”
“Kalau sedang ingin menikmati udara kebun baru aku kemari.”
Mona melangkahkan kakinya memasuki kebun cokelat itu tanpa melepaskan tangannya dari pegangan Bono. Dibawah  pohon  banyak berserakan daun-daun cokelat kering. Daun-daun kering itu dibiarkan saja. Mona tahu diperkebunan daun-daun kering seperti itu memang suka dibiarkan saja karena  untuk menjaga kelembaban tanah, juga untuk menambah pupuk organik.
Mona senang  melihat buah-buah cokelat yang bergelantungan. Buahnya   besar dan gemuk  berwarna kemerahan. Mona juga melihat pohon-pohon kelapa tumbuh disana.  Menurut Bono, kelapa selain mendatangkan hasil sampingan juga berfungsi sebagai pelindung tanaman cokelat.
“Semua orang tahu yang namanya cokelat itu enak rasanya.” kata  Bono. ”Dan cokelat juga banyak kegunaannya. Dari bubuk cokelat untuk membuat kue, sampai permen cokelat dan cokelat pengoles roti. Padahal, cokelat sebelum bisa dimakan telah melalui perjalanan yang panjang. Sosok pohonnya tidak semua orang tahu. Bentuk buahnyapun bermacam-macam. Nah seperti ini,  agak bulat, namun yang disana  ada pula yang agak panjang. Warnanya ada yang merah ada pula yang hijau.”  Bono menunjuk beberapa  buah cokelat  disekitarnya.
”Bon, pekerjanya banyak, ya?”
”Ya, mereka sudah biasa datang kemari setiap kali buah cokelat siap dipetik.” ujar Bono.
Mona melihat buah  cokelat yang telah dipetik dari pohon dikumpulkan dipinggir kebun disisi jalan. Buah-buah cokelat bertumpuk. Dua buah mobil bak terbuka menunggu dipinggir jalan. Menurut Bono buah-buah cokelat itu sudah dibeli oleh  pedagang yang rutin setiap masa panen mengangkut cokelat dari setiap petani cokelat. Mereka beristirahat disebuah rumah panggung. Salah seorang pekerja memetik buah kelapa muda dan menyuguhkanya pada Mona. Segarnya minum air kelapa muda setelah lelah berjalan-jalan mengelilingi kebun cokelat.
”Kapan-kapan kalau kau kemari lagi, aku ajak lagi, ya?”  kata Mona.
”Oke.” sahut Bono tersenyum.  ”Nampaknya kau sangat menikmati suasana  diperkebunan.”
”Yah, begitulah kira-kira.” sahut Mona. Karena ada kau disampingku, ucap Mona menambahkan.
Mona asyik memperhatikan kesibukan pekerja-pekerja di perkebunan. Rasanya dia masih betah ketika  Bono mengajak pulang. ”Pulang, yuk. Kita mampir dulu ke warung dibawah. Ada sate kambing, tapi disana juga ada menu istimewa. Sate tutut dan sate buntel.”
“Apa? Sate tutut?” Mona merasa jijik. Meskipun Mona tahu  tutut adalah keong sawah yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat  pedesaan namun dia merasa  mual  untuk memakannya.
“Coba dulu, deh. Aku tidak akan mengajakmu makan sate tutut kalau kau tidak akan ketagihan.” Ujar Bono sambil melajukan motornya menuruni jalanan yang berbatu.  ”Sate buntel juga enak rasanya. Sate kambing tapi memakai bumbu khas, pakai telur, dan bentuknya buntel makanya dinamai sate buntel.”
Mona memperhatikan jalanan yang berbatu dan menurun. Angin yang sejuk dan segar terasa meniup wajahnya. Ketika sudah sampai dijalan raya, mendadak Mona mengernyitkan keningnya. Dia melihat Mesi berdiri dipinggir jalan. Sendirian, sedang menunggu angkutan umum.
”Lho, itu Mesi!”  kata Bono. Motornya langsung menepi menghampiri Mesi.
”Halo Mes, mau kemana?” sapa Bono.
”Ke sanggar buku.” sahut Mesi. Dia melihat pada Mona yang duduk dibelakang Bono. ”Dari mana kalian?”
”Jalan-jalan ke kebun cokelat.” sahut Mona. Dia merasa heran bertemu Mesi ditempat ini. ”Kamu mau pergi kemana, Mes?”
”Ke sanggar buku. Aku sedang menunggu angkutan pedesaan. Harus dua kali naik kendaraan kesana.”
”Sanggar buku apa? Kau punya sanggar buku?” tanya Mona.
”Ya.” sahut Mesi. ”Ayah tidak cerita kepadamu bahwa aku mendirikan sanggar buku di desa ibuku?”
”Tidak.” Mona menggeleng.
”Dimana sanggar buku itu? Jauh tidak dari sini? Kalau tidak terlalu jauh, kuantar saja. Kau duduk dibelakang Mona. Kamu setuju, Mon?”
”Ya, tidak apa-apa. Ayo diantar, mumpung ada ojeg.” sahut Mona.
”Tidak terlalu jauh, tapi.......” Mesi seperti ragu. ”Nanti ditangkap polisi kalau ketahuan naik motor bertiga.”
”Kalau ada polisi, kau turun lagi.” tukas Bona ringan.
Mesi duduk  dibelakang Mona. Motor melaju menembus jalanan pedesaan, melewati persawahan. Tidak lama Mesi menunjuk sanggar bukunya.  Mona dan Mesi turun dari motor.  Sementara Bono  melajukan motornya hingga didepan pondok itu. Ada jalan memanjang untuk menuju sanggar buku itu. Namun Mona merasa ngeri karena dikiri dan kanannya adalah kolam. Khawatir motor oleng, mereka bertiga bisa sama-sama terjatuh kedalam kolam.
”Inilah sanggar buku itu.” kata Mesi, mengajak Mona masuk.
Ruangannya tidak terlalu luas. Namun nyaman. Mona tertegun melihat anak-anak yang sedang duduk dilantai. Mereka asyik membaca. Seorang gadis menemui Mesi. Mesi memperkanalkannya kepada Mona dan Bono.
”Kenalkan. Namanya Mimi. Dia  yang mendapat tugas menjaga dan mengelola sanggar buku ini.” kata Mesi.
”Aku tidak tahu kau memiliki sanggar buku, mes.” kata Mona.
”Sanggar ini baru didirikan beberapa bulan lalu. Aku memang sudah lama memiliki keinginan  mendirikan sebuah sanggar buku, namun baru sekarang kesampaian. Tadinya tempat ini hanyalah berupa kolam ikan, milik kakek dari ibuku. Ketika kakek mewariskan kolam ini kepada ibuku, aku menyampaikan kepada ibuku keinginanku untuk mendirikan sanggar buku. Ibu setuju. Ibu mendukung keinginanku dan membangun pondok bilik ini sebagai sanggar buku. Pondok ini tidak terlalu besar, namun cukup nyaman untuk menjadi sebuah sanggar buku. Aku tahu anak-anak didesaku masih kekurangan bahan bacaan. Dengan adanya sanggar buku ini, aku sedikitnya bisa mewujudkan keinginan  untuk mendapatkan  buku-buku bacaan.”
Mona memperhatikan anak-anak yang duduk-duduk dengan buku-buku ditangan mereka. Suasana terasa tenang, karena ada peraturan yang ditempel didinding bahwa setiap pengunjng harus menjaga ketenangan dan tidak membuat suara yang gaduh diruangan. Penampilan anak-anak itu seperti anak-anak pedesaan pada umumnya.
”Apakah anak-anak  ini semuanya masih sekolah?” tanya Bono.
”Sebagian masih bersekolah, namun sebagian lagi ada yang suduh putus sekolah.” sahut Mesi. ”Mereka terpaksa berhenti bersekolah karena orangtuanya sudah tidak punya biaya lagi untuk menyekolahkan mereka. Mereka terpaksa berhenti bersekolah dan membantu orangtuanya bekerja disawah. Sore hari mereka  mengaji di surau atau di mesjid. Dan sore hari yang lainnya, mereka sering datang kemari untuk membaca buku-buku yang mereka minati.”
Mona menatap anak-anak itu. Ada perasaan haru yang menyelinap dalam hatinya melihat ketekunan anak-anak itu, melihat perhatian Mesi kepada mereka. Mesi sudah melakukan sebuah perbuatan yang mulia. Dia sudah berbuat sesuatu untuk anak-anak itu.
”Kondisi itu  yang membuatku ingin agar anak-anak itu tetap bisa belajar.” ucap Mesi dengan suara lirih. ”Dengan membaca, anak-anak itu akan tetap bisa menambah ilmu pengetahuan walaupun mereka sudah tidak duduk lagi di bangku sekolah formal. Mimi adalah seorang guru bantu. Usai mengajar, dia menghabiskan waktunya disini. Anak-anak banyak belajar pada Mimi. Selain Mimi, ada seorang lagi yaitu Irni, yang membantu mengelola sanggar buku ini. Mimi dan Irni bertugas bergantian, apabila Irni jaga pagi, maka Mimi kebagian siang. Begitu sebaliknya.”
Kecintaan Mesi pada buku telah menggerakkanya mendirikan sanggar buku ini.  Mona melihatkeakraban antara Mesi dengan anak-anak desa itu. Bagaimana anak-anak itu dengan antusias membaca buku-buku yang ada disana.
”Mes, kau begitu peduli pada sekelilingmu.” ucap Mona spontan.
Mesi tersenyum. ”Apa yang kulakukan hanyalah hal kecil.”
”Kecil bagimu namun begitu besar artinya bagi anak-anak itu.”
”Aku berharap, mudah-mudahan apa yang kulakukan ini akan memberikan manfaat bagi anak-anak didesaku, agar mereka tidak putus asa dalam memandang masa depan, walaupun sebagian dari mereka harus menerima kenyataan pahit ketika tidak bisa lagi melanjutkan sekolah ke sekolah yang lebih tinggi.”
”Kau sudah berbuat sesuatu yang berguna bagi mereka, Mes. Mudah-mudahan Allah memberikan rakhmat dan hidayahNya kepadamu.” kata Bono. ”Aku kagum dengan apa yang telah kau lakukan. Masih sedikit remaja-remaja yang peduli dengan lingkungannya seperti apa yang telah kau lakukan ini.”
Mesi hanya tersenyum mendengar ucapan Bono.
Mona dan Bono pamitan pulang.
”Kapan-kapan kemari lagi ya, Mon.” kata Mesi.
Mona tersenyum.  ”Insya Allah, aku akan kemari lagi.” ucapnya.
Motor melaju meninggalkan sanggar itu. Tidak ada yang bicara. Mona dan Bono sama-sama asyik dengan pikirannya sendiri.
”Jadi semakin lapar, nih. Kita makan dulu kewarung sate, ya.” kata Bono.
Mona hanya mengangguk setuju.
Warung itu tidak terlalu besar. Berdinding bilik namun bersih dan rapi. Suasana teduh dan nyaman. Beberapa orang sedang makan disana. Akhirnya Mona mengikuti Bono memasuki warung sate tutut itu. Bono memesan   sate tutut. 
“Jangan banyak-banyak. Aku tidak mau makan sate tutut. Aku minum saja.”
“Ya, ya.” Sahut Bono.  ”Sate buntel mau mencoba?”
”Boleh. Pesan dua tusuk saja.”
Bono memesan sate tutut dan sate buntel.
“Kamu sering kemari, ya? Pekerja-pekerja disini sepertinya sudah kenal denganmu.” tanya Mona sambil menunggu pesanan.
“Ya, habis motor-motoran biasanya aku suka kemari. Biasanya hari minggu.”
Tidak lama pesanan sate tutut dan sate buntel datang. Bumbunya tercium harum menggugah selera.
“Makan, yuk.” Ajak Bono. Dia mengambil nasi dan mulai menikmati sate tutut.
“Enak.” Komentar Bono. Dalam sekejap dia sudah menghabiskan sepuluh tusuk sate tutut.
Melihat Bono menyantap sate tutut dengan nikmatnya, Mona mencoba mengambil satu tusuk. Lho, ternyata enak. Mona mengambil tusuk sate tutut yang kedua. Tak terasa sudah lima tusuk yang dihabiskannya. Tubuhnya lelah setelah naik motor menaiki dan menuruni perbukitan. Perutnya  lapar sekali. Bukan main nikmatnya makan nasi hangat dengan sate tutut yang memakai bumbu kacang yang lezat dan gurih. 
”Dicoba sate buntelnya.” Bono menyodorkan piring sate buntel.
Mona mengambil satu tusuk. Dicobanya. Ternyata sama enaknya. Terasa bumbu lengkuas, jahe, kunyit, kencur, kemiri dan pada daging kambing, tertutup oleh adonan telur.
Usai makan Mona meminum satu gelas penuh teh hangat yang terasa memulihkan kembali kesegaran tubuhnya. Mona mengelap mulutnya. Dia menatap Bono agak sedikit malu.
“Enak?” tanya Bono.
Mona mengangguk. “Enak. Sate tututnya enak sekali. Sate buntel juga enak.  Kapan-kapan kita kemari lagi, ya?”
“Boleh.” Sahut Bono. “Kalau kita kemari lagi porsi sate tutut  ditambah, ya.”
Mona tersenyum.
Perjalanan menuju rumah terasa lebih santai. Mona menikmati enaknya  naik motor. Merasakan angin yang bertiup menghembus tubuhnya. Tak terasa mereka sudah sampai dirumah.
“Tidurku malam ini pasti nyenyak.” Ujar Mona ketika turun dari motor Bono.
“Sebelum tidur jangan lupa mandi dulu.” Ujar Bono bergurau.
Mona ketawa. “Nanti malam aku pasti mimpi makan sate tutut dan sate buntel  denganmu.”
--- 0 ---

Bono   senang main tenis.  Seminggu dua kali dia suka latihan tenis.   Hal itu mengingatkan Mona kepada Trisna. Namun cepat-cepat Mona meralat, jelas dengan Bono kedekatan ini terasa lebih manis karena Bono nampak serius mencintainya walaupun masih membutuhkan waktu untuk membuktikan keseriusan cinta Bono kepadanya.  Demi menjaga kedekatan dengan Bono, Mona berhenti main volley dan ganti main tenis dengan Bono. Seminggu tiga kali Bono menjemputnya.
Banyak sekali perubahan Mona sejak saat itu. Ia banyak tersenyum. Sikapnya lebih manis dan lebih pengertian. Lebih perhatian kepada sesama.  Perangai Mona memang sangat mudah bertolak belakang. Perubahannya bisa berbalik sekali. Maklumlah. Kali saja itu karena sentuhan cinta. Cinta telah membuat Mona bisa berubah. 
Pada Bono, Mona bisa bercerita banyak, bercerita segala macam, dari yang ringan sampai yang serius, semua diceritakan  meskipun Bono sendiri tidak ingin tahu banyak. Namun karena tidak ingin mengecewakan Mona, Bono selalu menjadi pendengar yang setia dan serius mendengarkan cerita Mona atau membaca pesan pendek-pesan pendek   yang dikirim Mona.  
  Mona merubah sikapnya selama ini kepada Bono. Tak ada lagi sikap tinggi hati. Tak  ada lagi  tampang judes. Tak ada lagi acara menghindar. Malah bila dari kejauhan dia melihat Bono, Mona sengaja menunggu hingga Bono mendekat. Bertegur sapa. Beramah tamah. Saling menanyakan kabar masing-masing. Saling bertanya kemana saja kok tidak pernah kelihatan. Padahal mereka tidak berjumpa baru sehari.
Perlahan, Mona menikmati perubahan itu. Dia merasa Bono bisa menjadi seorang teman yang menyenangkan. Lagi pula Bono seakan tulus memberikan perhatian kepadanya. Tidak dibuat-buat. Tidak menyebalkan. Sikapnya seakan wajar tanpa basa basi.
 “Kau harus berubah pada Bono, Mona. Perlakukan dia dengan baik.” Nasehat ibunya ketika Mona bercerita bagaimana sikap dia sebelumnya kepada Bono.  
Mona  mengangguk.  Tanpa diminta oleh ibunya pun dia memang sudah berjanji akan  merubah sikapnya kepada Bono. Dia berusaha mencari apa kesalahan Bono kepadanya selama ini sehingga dia pernah merasa tidak suka kepada Bono. Tidak ada. Tidak berhasil ditemukannya. Satu hal yang membuatnya pernah menghindari pemuda itu adalah karena dia menilai Bono pemuda manja. Kesan Bono tidak maskulin. Tidak gentlement, menurut istilah Roro. Rasanya cuma itu. Tidak ada yang lain. Padahal kenyataannya Bono belum tentu manja. Kesan Bono memang pendiam, tidak banyak tingkah, senang memperhatikan penampilan sehingga kelihatan selalu rapi dengan pakaian yang pasti harganya tidak murah. Mungkin Bono memang senang memiliki sesuatu yang berkualitas. Karena kebetulan orangtuanya punya uang untuk membelinya. Jadi, bisa saja dugaannya selama ini terhadap Bono keliru.
Yang aneh lagi,  sekarang Mona  suka melamun dan berkhayal indah tentang Bono. Wajah  Bono    tak pernah lepas dari pelupuk matanya. Mona masih ingat wajah Bono  yang bersimbah peluh seusai kungfu dengan kedua penjahat malam itu. Bono   telah mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan jiwanya. Mona merasakan keharuan yang terasa menyesakan perasaaanya. Tanpa diminta oleh ibunya pun dia berjanji  akan lebih baik memperlakukan Bono.  Lagi pula apa salahnya Bono bila menyukainya? Kenapa dia harus membalas rasa suka Bono  dengan kebenciannya hatinya karena dia tidak suka kelakuan Bono  yang suka pamer  kekayaan. Perilaku sepert itu  pasti bisa dirubah apalagi bila usia Bono makin dewasa.
Mona menikmati perubahan itu. Demikian juga Bono, kelihatannya dia senang Mona sudah berubah. Komunikasi diantara mereka berjalan lancar. Sikap Mona selalu manis, mengimbangi kemanisan yang diberikan Bono kepadanya sejak dulu. Mona baru menyadari sekarang, ternyata memang Bono itu baik dan penyabar.
Bono mulai sering datang kerumah. Bono juga jago   main tenis. Dengan senang hati Bono mengajari Mona main tenis ketika Mona memintanya. Kebersamaan itu  membuat mereka  terasa semakin dekat satu sama lainnya. Pulang main tenis mereka makan bakso, minum es teler atau sekedar jalan-jalan keliling kota. Bila kebetulan mereka selesai tenis mendekati waktu magrib, Bono selalu mengajak Mona mampir di mesjid dekat lapangan tenis.
“Mending shalat dulu disini, Mon. Daripada pulang kerumah waktu magrib hampir habis.” Kata Bono.
Dengan senang  hati Mona menerima ajakan Bono. Lagi pula, bila hari telah lewat senja, Bono biasanya mengantarnya sampai kerumah. Semakin banyak waktu bagi mereka untuk merajut kasih.
Ada warung istimewa tempat mereka selalu melewati makan bersama. Kursi yang selalu sama. Mula-mula masih pesan sendiri-sendiri. Lalu pesannya mulai sama. Lalu satu porsi dibagi berdua. Dan mereka berdua sangat menikmati saat-saat seperti itu sebagai saat-saat manis yang mereka jalani berdua.
Lagu-lagu romatis pun  mulai jadi koleksi Mona.  Lirik-lirik lagu terdengar mulai berarti banyak bagi dirinya. Kalau tadinya mendengarkan lagu itu hanya sambil lalu,  namun sekarang setelah direka-reka, dan tiba-tiba saja menjadi terasa ada hubungannya dengan mereka. Sering Mona merasa lirik lagu itu memang dirilis untuk dirinya dan Bono. Dunia terasa indah.

--- 0 ---


Kemanisan itu tak berlangsung lama. Keindahan itu terusik oleh sebuah berita yang cukup menyengat perasaan Mona yang gampang dilanda cemburu. Mona mendengar ada anak kelas satu yang naksir Bono. Sering kirim cokelat dan kue kesukaan Bono. Bukan main panasnya perasaan Mona. Tapi Mona tahu, Bono tidak terlalu suka dengan makanan-makanan yang manis sebangsa cokelat atau kue-kue. Jadi pasti kiriman Astrid tidak akan dimakan Bono. Paling diberikan pada kucingnya, pikir Mona menghibur diri. Namun tetap saja perasaan Mona terasa panas. Apalagi   Osi  sering memanan-manasinya  walaupun Mona tak pernah menggubris ocehannya .
Bono menunggunya pulang bersama.  Mona tidak bisa menahan perasaannya walaupun dia sudah berusaha ingin tetap bersikap wajar. Namun mulutnya tetap saja cemberut.
”Hei.  kenapa kau ini?”  sapa Bono riang
Sapaan  Bono tak didengarnya. Mona  tetap melangkah tidak menggubris Bono. Bono mengikuti Mona dengan motornya.
”Kenapa sih kau ini? Kalau tidak mau pulang bareng, ya sudah, aku pulang duluan, ya. Bye...’
Tanpa menoleh lagi Bono segera menancap gas, melesat  pergi meninggalkan Mona yang masih berdiri dijalanan  didepan sekolah.
Mona terperangah. Tidak menduga Bono tega meninggalkannya begitu saja dipinggir jalan. Air mata Mona nyaris meloncat. Dia terpaksa berjalan  sendirian menelusuri jalan  troroar. Sambil menikmati keteduhan jalanan yang dinaungi dedaunan  dari pohon-pohon yang rindang, Mona memikirkan Bono.  Dia menyesali mengapa harus terjadi pertengkaran diantara mereka. Mengapa kedamaian diantara mereka tidak berlangsung lama.
Besoknya Mona berharap Bono akan berbaikan lagi dengannya. Namun Mona tidak berjumpa dengan Bono. Sehari. Dua hari. Di hari ketiga Mona melihat Bono. Mona  berharap Bono akan melupakan pertengkaran kecil mereka beberapa hari lalu. Namun ketika melihatnya, Bono hanya diam tanpa senyum. Ketika langkah mereka semakin dekat, Bono berbelok arah. Mona tertegun. Padahal dia sudah siap akan memulai menyapa Bono. Namun semua itu urung karena Bono tidak jadi berpapasan dengannya.
Dirumah Mona tak bisa menahan tangisnya.  Mona kesal dia berubah menjadi begitu cengeng. Namun airmatanya sekana tak terbendung lagi, mendesak keluar seperti air  tanggul yang jebol. Mona merasa nelangsa. Namun dia juga sadar, airmatanya tidak akan bisa membuat Mono kembali lagi kepadanya.
Kalau hubungan ini  tidak bisa pulih kembali, mungkin  aku harus melupakan Bono, pikir Mona.  Aku tidak boleh rapuh. Aku harus kuat. Aku harus tegar. Ini bukan pengalaman pertama aku sakit hati  oleh cowok, pikir Mona berusaha tegar. Lagi pula kalau apa yang terjadi antara aku dengan Bono, bukan Bono yang memulai   berbuat salah, tetapi  aku yang mulai mencari gara-gara. Jadi aku yang salah. Pikiran Mona makin mantap. Dia akan melupakan Bono  dan akan   menghapus nama Bono dari hatinya.
Namun manusia kadang memang suka cepat  lagi berubah pikiran, pikir Mona. Seperti aku, kata Mona dalam hati. Dia merasa kalau dirinya pelan-pelan teringat lagi pada Bono. Pada sikap Bono. Pada kebaikan Bono. Sehingga timbul rasa kangen dihatinya untuk bernostalgia kembali dengan Bono. Namun sesaat kemudian ketika teringat  pertengkaran mereka, rasa kangen  itu mendadak hilang kembali, tenggelam entah kemana.
Mona membutuhkan waktu untuk berpikir lagi. Kadang dia ingin mengirim sebuah pesan pendek  pada Bono walaupun hanya satu pesan pendek. Namun keinginan itu ditahannya. Lalu terlupakan. Ingat lagi. Lalu menghilang lagi.  Menurutnya percuma dia menghubungi Bono  karena mungkin saja Bono masih marah  kepadanya. Ditatapnya  telepon genggamnya beberapa saat lalu disimpannya lagi.  Tak lama kemudian diambilnya lagi. Perasaannya terusik ingin segera memijit tombol-tombol  telepon genggamnya, mengirim pesan pendek, walaupun hanya satu  pesan pendek,  namun akan membuka komunikasi lagi antara dirinya dengan Bono. Namun  sesaat  kemudian  dia berpikir lagi,  bahwa hal itu tak perlu dilakukannya.  
Lalu disimpan lagi telepon genggamnya. Pikirannya seakan dihanyutkan waktu kemarin ketika Bono dan dirinya masih suka saling mengirim pesan pendek. Pesan pendek mereka nampak berkesan. Perasaan Mona kembali tersentuh. Kebaikan-kebaikan Bono kini mulai diingat lagi. Kenapa  aku jadi plin plan begini? Pikir Mona.  Sesaat ingin melupakan Bono. Namun sesaat kemudian dia teringat lagi pada Bono. Mona merasa Bono sulit untuk dilupakan.  
”Mon, antar mama mengambil kerudung kerumah Ibu Sentot, yuk.”  Ajak ibunya ketika melihat Mona sedang duduk bengon diteras depan. Tidak ada sesuatupun yang dikerjakan Mona.  Memang ada buku pelajaran yang ditelakkan diatas meja. Namun buku itu hanya terbuka saja, tidak disentuh Mona.
”Ya, Ma.” Mona mengangguk. Daripada  bengong terus memikirkan nasib dirinya, lebih baik menyegarkan diri jalan-jalan keluar  menemani ibunya.
Rumah Bu Sentot  di jalan Alamanda. Mona tertegun ketika dia melihat Bono ada disana,  duduk diteras depan sambil menekan-nekan  tombol telepon genggamnya. Mona merasa tidak mungkin dia untuk mundur lagi karena Bono seolah  mendapat  firasat, mendadak dia mengangkat  wajahnya dan mata mereka  beradu pandang.
”Nah, Mas Bono rupanya ada disini, Mona.” ujar  Mirta   riang. Mona  suka malu, ibunya selalu  menyebut  Bono  dengan panggilan Mas Bono.  Meskipun Bono nampaknya senang  dipanggil begitu.  
Bono menyalami tangan ibunya. Wajahnya sumringah. Lalu menoleh pada Mona. ”Halo, Mon.”
”Hai.” sahut Mona.  Senang benar  hatinya disapa Bono. Mona tidak bisa menyembunyikan sumringah diwajahnya. 
”Kok jadi jarang main kerumah? Kenapa?” tanya  Mirta.
”Belum sempat main lagi sama Mona, tante. Sedang sibuk membuat proposal.” sahut  Bono santai.
”Oh, ya? Proposal apa?” tanya ibu penuh minat.
”Akan  ada  kegiatan rally  motor, tante. Saya  ditunjuk jadi ketuanya. Untuk  kelancaran kegiatan itu perlu didukung modal. Jadi saya membuat dan ikut mengirim proposal  ke beberapa instansi dan perusahaan mencari dana untuk membiayai   kegiatan itu.”
Bono bercerita tentang kegiatan itu. Mirta  mendengarkan dengan penuh perhatian. Semangat sekali Bono bercerita, seolah ingin  obrolannya   didengar Mona.  Dan kenyataannya Mona memang ikut mendengarkan cerita Bono. Oh, sibuk rupanya yang membuat  Bono tidak pernah kerumah lagi, pikir Mona.
”Nanti kau nonton rally motor ya, Mon.”” kata Bono mengakhiri ceritanya.
”Tentu saja.” sahut Mona spontan.
Mirta tersenyum menatap Mona dan Bono bergantian.


--- 0 ---



Bono mengirim sebuah pesan pendek. Mengajak makan  di warung istimewa tempat mereka beberapa kali melewati makan bersama. Perasaan Mona terasa bahagia emndapat pesan pendek dari Bono. Dia membalas pesan pendek itu dengan suka cita.  Akhirnya Bono mengajaknya berbaikan kembali. Lain kali aku harus bisa mengabaikan berita-berita tidak sedap yang menyangkut Bono. Jangan sampai gara-gara berita sekecil itu malah membuat hubunganku dengan Bono menjadi rusak.
Mona terkenang kembali saat-saat mereka berduaan dihari-hari lalu. Makan diwarung yang  terasa istimewa karena Bono selalu memiih warung itu sebagai tempat makan mereka. Kursi yang selalu sama. Didekat jendela yang menghadap keluar. Mulanya makanan  yang mereka pesan masih berbeda. Bono pesan apa. Mona pesannya lain lagi. Lalu  kemudian pesanan mulai sama. Akhirnya Bono mengajak Mona makan satu porsi berdua agar mereka bisa merasa lebih dekat. Mona sangat menikmati saat-saat seperti itiu. Saat-saat manis yang terasa indah untuk dikenang  dan tak mungkin dengan mudah akan dapat dilupakan.
Hari itu Bono datang menjemput dengan motor trailnya. Wajahnya cerah. Rambutnya yang agak kemerahan bergelompang, agak kusut oleh helmnya.
Disela-sela makan, Mona mendengar lagu yang dinyanyikan penyanyi bernama Astrid.  Mendadak Mona merasa seperti diingatkan oleh nama penyanyinya yang memiliki kesamaan dengan nama anak kelas satu yang suka mengirim  Bono cokelat. Walaupun berita itu belum tentu benar karena tidak pernah ada yang melihat Bono menerima kiriman cokelat dari Astrid.
”Bon, siapa sih Astrid  itu?” tanya Mona seolah sambil lalu, agar tidak kentara bahwa nama itu pernah membuatnya merasa gelisah dilanda perasaan cemburu.
”Astrid? Oh, kau kenal dia, ya?” sahut Bono seakan tidak terpengaruh dengan pertanyaan Mona.
”Tidak.” sahut Mona.  ”Aku hanya pernah mendengar  namanya saja.”
”Dia masih saudara sepupuku. Ibunya Astrid adalah adik sepupu ayahku.”
”Oh.”  Entah mengapa Mona merasa lega mendengar penjelasan Bono.
”Dia sering kirim cokelat dan kue padamu, ya?” Ih, aku kampungan, pikir Mona. Norak.   Kenapa aku harus menanyakan itu kepada Bono. Namun sudah terlanjur terucap, tak mungkin ditarik lagi.
”Haaa.....” Bono tertawa berderai, seakan geli mendengar pertanyaan Mona. ”Rupanya kau cemburu, ya kalau Astrid mengirim cokelat dan kue padaku? Haaa..... memang benar pernah sekali Astrid mengirim cokelat dan kue. Nanti kalau dia kirim lagi aku berikan kepadamu.”
”Oh, jangan.” sahut Mona spontan. ”Nanti Astrid marah kalau kirimannya malah kau kirimkan lagi padaku.”
”Kapan-kapan kau akan kukenalkan pada Astrid, ya. Dia baik, kok.  Kau pasti akan menyukainya. Tapi dia sifatnya agak manja. Jadi  kau  harus dewasa bila kenal dengannya. Kalau sama-sama manja dan kekanak-kanakan, kalian pasti ribut.”
Mona berguman
”Astrid agak manja padaku, namun itu wajar saja. Aku dan dia sudah bersama-sama sejak kecil. Astrid memang belum punya pacar namun itu bukan berarti Astrid  mengharapkan aku untuk menjadi pacarnya” Bono tersenyum, menatap Mona penuh pengertian.
Mona tersenyum menatap Bono.
”Percayalah padaku, Mon. Aku sudah susah-susah mendapatkanmu  masa sekarang  cepat-cepat akan dilepas lagi.”
”Kau pernah berpikir akan melepaskan aku?” tanya Mona.  
”Mon, dalam hidup selalu banyak hal dan kemungkinan yang bisa terjadi. Setiap orang selalu berharap segalanya sesuai dengan harapan, namun kita juga harus bersiap diri   apabila  yang kita harapkan tidak sesuai dengan rencana kita, bukan?”
”Ya.”  Mona mengangguk.
”Tapi itu kan masih lama.” kata Bono ketika melihat  raut  wajah Mona berubah. ”Kau tak perlu membebani  pikiranmu dengan memikirkan segala kemungkinan  negatif yang  akan terjadi dimasa datang. Nikmati saja apa yang kita sedang alami saat ini dengan begitu  kita lebih santai dan lebih menyenangkan dalam menjalani kehidupan, bukan?”
Bono menepuk  punggung tangan Mona lembut, menenangkan Mona. Mona tersenyum
”Percayalah padaku, Mon. Aku berusaha tidak akan membuatmu merasa kecewa.”
Mona  tersenyum mendengar ucapan Bono.
Bono mengantar Mona sampai depan rumah.
“Masuk dulu, yuk.” Ajak Mona. Benar-benar berharap Bono mau mampir dan duduk lama-lama dirumahnya seperti dulu.
Bono tersenyum. “Kapan-kapan saja, ya.”
Mona ingin bertanya, Bono buru-buru mau kemana? Namun pertanyaan itu yang hampir terlontar dari bibirnya sempat diremnya.  Dia tidak boleh terlalu ingin tahu banyak urusan Bono. Bono bisa menjadi jengkel. Lalu  marah. Dan hubungan mereka nanti akan ada konflik lagi.
Mona tersenyum manis. “Iya, deh. Kapan-kapan main lagi kerumah, ya.”
Bono mengangguk. Ketika Bono mau berlalu, Mona melambaikan tangannya. Dia tidak bisa menyembunyikan kemesraannya. Rasanya sudah lama sekali tidak pernah bertemu Bono. Rasanya sudah lama sekali dia menyimpan rasa kangennya kepada Bono. Bono membalas lambaian tangannya. Mona merasa lega. Ketegangannya dengan Bono  sudah berakhir. Siap untuk memulai lagi lembaran baru yang indah dan melupakan apa yang pernah terjadi diantara mereka.
Mona menyalahkan dirinya sendiri karena dia buru-buru masuk kedalam rumah.  Harusnya dia tetap berdiri  sampaimotor Bono lenyap dari pandangan. Apa ini rada angkuh? Bukankah ia ingin melihat, mengantar dan bukankah Bono juga berharap begitu?  Ya, tapi tak apa, pikir Mona sambil masuk kedalam rumahnya.  Mona membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur, memajamkan mata, namun tak bisa tidur. Lagi pula sudah hampir jam empat. Lebih baik aku mandi, pikir Mona.  Justru dia harus bisa menguasai apa yang sama-sama diharap. Kan ini baru permulaan. Pasang harga sedikit. Ah, tidak. Mona tidak merasa bukan pasang harga. Ia memang lagi bingung saja. Bingung dalam arti tak bisa menguasai sepenuhnya keinginannya. Dia merasa gugup.


--- 0 ---


Ditengah-tengah kebahagiaannya merasakan indahnya cintanya dengan Bono, Mona tetap tidak bisa menciptakan kebahagiaan dengan ayahnya sendiri. Selalu saja ada ganjalan diantara mereka. Mona  tahu bahwa hubungan Mesi dengan ayahnya baik-baik saja. Mesi sangat dekat dengan ayahnya. Namun hal itu tidak membuat perasaan Mona tergerak untuk melakukan hal yang sama dengan ayahnya. Ayahnya pasti sedih dengan sikapnya yang tidak juga menunjukan kedewasaannya. Namun pikir Mona, mau apa lagi, bukan salahnya bila dia membenci ayahnya. Namun sesuatu hal ternyata sanggup merubah sikapnya kepada ayahnya.
Ayah sakit. Mona merasa sikapnya beberapa hari lalu yang membuat ayah sakit. Mendadak Mona menyesali sikapnya. Seharusnya dia tidak sekeras itu  pada ayahnya. Kenapa dia tidak pernah bisa menerima dengan lapang dada permaduan yang sebenarnyanya telah cukup lama dijalani ayahnya, seumur dengan dirinya. Tak ada masalah yang berarti. Kedua istrinya bisa hidup rukun. Tak pernah berantem ataupun gontok-gontokan. Mereka berdua hidup damai dan rukun. Bahkan ibunya selalu bilang dirinya ikhlas  dimadu sebagai salah satu bentuk ibadahnya kepada Alllah. Sebelum menikah lagi, ayah sudah meminta ijinya dan dia sudah mengijinkan. Ayak tak berdosa. Ibu tidak merasa dikhianati. Tapi kenapa dia yang tak pernah mau bisa menerima permaduan  ini? Rasa bencinya kepada Mesi dan ibunya seakan tak pernah ada habisnya. Seakan tak akan pernah padam sampai kapanpun. Kebencian yang terus menerus dipupuknya dalam hatinya, disiraminya setiap hari dengan seperti sebatang pohon yang semakin lama semakin tumbuh subur sejak dirinya  cukup dewasa untuk mengetahui apa  arti dua keluarga yang dimiliki ayahnya. 
Ibu menatapnya. “Mama tidak senang kau bersikap seperti itu, Mona. Kenapa sih kau selalu sentimen kepada Mesi? Dia selalu baik kepadamu. Mesi selalu memperlakukanmu dengan lembut dan sabar. Tapi kenapa kau tak pernah bisa merubah sifat dan  tingkah lakumu yang tidak menyenangkan itu? Mama kecewa dan malu dengan sikapmu. Kasihan papa. Papa selalu berusaha untuk menyatukan kalian berdua. Mesi sudah berusaha mendekatimu, namun kau selalu saja mengelak dan menghindarinya. Begitu kerasnya hatimu itu. Tidakkah kau berfikir bahwa sebenarnya sungguh menyenangkan bagimu memiliki seorang saudara seperti Mesi yang bisa menjadi teman berbagi suka dan duka bagimu selain  mama dan papa karena kau hanya anak tunggal. Mesi pun pasti ingin dekat denganmu karena dirinya pun hanya anak tunggal sepertimu. Kalian bisa bersatu sebagai saudara dan menjalani hidup dengan indah dan penuh kedamaian.”
Sekarang ayah sakit. Sikap Mona pasti menjadi salah satu penyebab sakitnya. Mau tak mau pasti ayahnya suka memikirkan sikapnya yang tak pernah bersahabat pada ayahnya. Padahal selama ini ayah selalu berusaha menjadi seorang ayah yang baik, penuh tanggung jawab pada kedua keluarganya. Juga kepada Mona dan Mesi.  Sore itu Mona menjenguk ayah dirumah sakit. Dia akan ikut menjaga ayahnya. Selama tiga hari ayah terbaring dirumah sakit, hanya ibunya, ibu Teja dan Mesi saja yang bergantian secara bergilir menjagai ayah. Aku tidak tahu berterima kasih kepada orangtua, terutama kepada ayah, pikir Mona menyadari kesalahannya.
Mona melihat ayahnya terbaring sakit. Perasaannya tersentuh melihat wajah ayahnya yang pucat. Ayahnya jarang sakit. Kalau sakit paling cuma sekedar flu dan batuk.  Tapi sekarang kelihatan parah. Tangan ayahnya diinfus. Mona ngeri melihat selang infus ditangan ayahnya. Dia berjanji dalam hatinya akan mencoba merobah sikapnya. Pikiran Mona melantur kemana-mana kalau ayahnya mati karena jengkel dengan kelakuannya, dia akan menanggung dosa seumur hidup. Airmata Mona berlinang. Dia mengasihi ayahnya. Namun karena egonya telah mengalahkan rasa kasih sayangnya kepada ayahnya. Ketika ayah sedang tertidur lelap, Mona keluar kamar. Ada sebuah bangku  tidak jauh dari kamar. Mona duduk disitu. Dia menangis, menggukguk. Mesi duduk disampingnya. Memelu bahunya. Mata Mesi juga membasah. Diluar, pada sebuah bangku, Mona menangis menggukguk. Mesi memeluknya.  Mata Mesi juga basah.
“Jangan bersedih, Mon. Ayah pasti sembuh.” Ujar Mesi lembut, menghiburnya. 
Mona menatap Mesi. Dia melihat wajah Mesi yang sendu. Sesuatu terasa menyentuh perasaannya. Selama ini dia merasa tak pernah memiliki saudara. Selama ini dia merasa hanya dirinya satu-satunya anak ayahnya. Selama ini dia nyaris tak pernah menganggap Mesi sebagai saudaranya. Bahkan Mesi selalu dianggap duri yang menusuk  dalam dagingnya. Kini, ketika menatap wajah Mesi, Mona seolah tersadarkan, di dunia ini dia memiliki seseorang yang membuat hidupnya  akan terasa jauh lebih berarti dan lebih bermakna, seorang saudara, dia memiliki seseorang yang bisa menjadi tempat berbagi suka dan duka dengannya.
 “Lebih baik kau pulang,  Mon.  Biar aku yang menjaga ayah.” Kata Mesi.
Mona menggeleng, Biar aku disini saja menjaga ayah. Selama tiga hari ini hanya kau, ibu Teja dan mama yang menjaga ayah. Malam ini biar aku yang akan menjaga ayah..”
“Kau belum makan. Aku membawa roti, mau?”
Perutnya baru terasa lapar. Mona menerima roti  yang diberikan   Mesi. Roti isi sosis.
Sambil memakan roti pemberian Mesi, mendadak Mona teringat pada ucapan ibunya beberapa waktu lalu. Matanya terasa perih. Airmatanya hampir jatuh mengingat ucapan ibunya.
“Papa  sangat sayang padamu, Mona.” Ucap ibunya saat itu. “Coba kau masih ingat tidak, siapa yang suka menggendongmu sewaktu kecil dulu? Siapa yang suka mengajakmu bermain-main dihalaman ketika kau kecil dulu? Siapa yang telaten mengajarmu belajar naik sepeda ketika kau kecil dulu? Semua itu adalah papa. Ketika kau menginjak besar, siapa yang suka membantumu mengerjakan pekerjaan rumah?  Waktu kau menangis kehilangan bonekamu, siapa yang paling sibuk mencarikan kalau bukan papa? Ingatlah selalu kebaikan papamu yang sudah tidak terhitung banyaknya, Mona. Andai kau menghitung-hitung sekalipun, kau tetap tidak akan bisa menghitung semua kebaikan papamu kepadamu. Ketika kau sakit dan terpaksa dibawa kerumah sakit, papa yang paling kelihatan bingung dan sedih.   Siang malam papa  menjagamu dan terus berdoa agar kau bisa segera sembuh. Kini setelah kau besar, yang kau perlihatkan pada ayahmu hanyalah kebencianmu saja. Namun papa  tetap papamu. Betapapun kau membencinya, papa  tetap menunjukan kasih sayang dan perhatiannya padamu. Tak  pernah papa  terpancing emosi dan membalas kebencianmu dengan kebencian pula. Kau tetap anak papa, buah hati papa. Papa  tetap mencintai dan menyayangimu.”
Mona kembali menangis sesenggukan. Roti yang sedang dikunyahnya tersangkut ditenggorokan sehingga dia terbatuk-batuk. Bergegas Mesi menyodorkan botol air minum.
“Kau pasti sedih memikirkan papa. Aku juga sama. Papa adalah ayah kita berdua, Mon.” ucap Mesi lirih.
Ucapan Mesi malah membuat Mona kembali menangis.
“Kau bisa pulang, Mon. Istirahatlah.” Kata Mesi pengertian. “Biar Trisna yang mengantarmu pulang.”
“Tidak! Aku tidak mau.” Sahut Mona spontan. Mana mau dia diantar pulang oleh Trisna.
Trisna mendekat. “Aku antar pulang, Mon.”
Tidak bisa menolak akhirnya Mona mau diantar pulang oleh Trisna. Namun sepanjang jalan Mona  merengut saja dan ingin segera sampai dirumah. Didesaknya Trisna agar ngebut. Trisna mafhum. Motornya ditancap, dilarikan sekencang-kencangnya.  Angin malam menerpa wajah Mona. Dia lega ketika akhirnya tiba didepan rumahnya.
”Nah, sudah sampai.” kata Trisna, seakan  ikutmerasa lega sudah  mengantar Mona  hingga  tiba dirumahnya.
”Terima kasih.” ucap Mona, buru-buru mau masuk kerumahnya.
”Mon.” panggil Trisna.
Mona berhenti melangkah. Dia menatap Trisna.
”Aku senang melihat kau bersama-sama dengan Bono. Dia baik. Dan dia tulus menyayangimu.” ucap Trusna serius.
Mona tidak menanggapi. Dia hanya menatap Trisna biasa-biasa saja.
”Aku berdoa semoga kau bahagia bersama Bono.”
Mona tersenyum seulas, lalu bergegas masuk kedalam rumahnya.
Trisna mungkin tulus mengucapkan semua itu namun dia tidak ingin menanggapinya. Trisna memang sudah tidak ada daya tarik apapun bagi dirinya namun Mona masih ingat bahwa dia dulu pernah mengharapkan Trisna. Sekarang setelah dia memiliki Bono, Trisna tidak ada artinya apap-apa lagi baginya. Trisna adalah lembaran buku lama yang sudah usang dan tak akan pernah dibukanya lagi.


--- 0 ---


Mona mulai belajar mencintai ayahnya. Dia mulai belajar memahami, betapa sebenarnya posisi ayahnya sangat berat. Ayah harus  bekerja dua kali  lebih keras untuk memenuhi kebutuhan dua keluarga. Betapa berat beban pekerjaan ayahnya untuk bisa berlaku adil. Tiba-biba Mona sadar, mengapa dia tidak mencoba memandang sudut yang menyenangkan dari dua keluarga yang dimiliki ayahnya. Mengapa dia tidak mencoba belajar berbagi kasih dengan Mesi yang jelas dia pun pasti sama menderitanya dengan dirinya kalau saja mereka memandang keadaan keluarga mereka dari sudut yang tidak  menyenangkan.
Selama ini dia sering merasa iri melihat keharmonisan Mesi dengan ayahnya. Dia tidak melihat, betapa semua itu bukan dilakukan tanpa sengaja. Keharmonisan itu tidak terjalin begitu saja. Ada upaya dari diri Mesi dan ayahnya untuk menciptakan keharmonisan itu. Mesi bisa menjalin keharmonisan  dengan  ayahnya karena Mesi selalu menempatkan ayahnya pada posisi yang terhormat, sebagai kepala keluarga, sementara dirinya terus memupuk rasa benci pada ayahnya dan tak pernah berhenti menuduh ayahnya sebagai sumber penderitaan ibunya padahal ibunya telah lama memaafkan ayahnya dan menerima kenyataan dimadu. Sekarang Mona sadar, dia pun bisa menjalin keharmonisan dengan ayahnya andai saja dia mau melakukannya. Ayahnya sudah berupaya sejak dulu untuk menciptakan keharmonisan dengan dirinya seperti yang dilakukan ayahnya kepada Mesi. Namun selama ini dia selalu menutup pintu hatinya kepada ayahnya. Dia tidak mau membuka pintu hatinya kepada ayahnya dan hanya memupuk kebencian demi kebencian kepada ayahnya. Mungkin baru sekarang Tuhan membukakan pintu hatinya kepada ayahnya.
Ketika ayahnya sakit, Mona menunggu ayahnya. Dia ingin meminta maaf atas segala kesalahan dirinya.  Malam-malam Mona melihat ayahnya terbangun. Mona duduk disamping ayahnya dengan mata  berlinang.
”Maafkan aku, ayah.”
“Tidak apa-apa, Mona. Ayah selalu memaafkanmu.” Ayah tersenyum.   
”Selama ini sikapku sering membuat ayah kecewa.......”
Ayah mengelus kepala Mona.  ”Ayah memahami gejolak perasaanmu.  Kau memang berhak membenci ayah tapi ayah selalu berdoa agar kau dibukakan hatimu untuk mau menerima ayah apa adanya. Ayah menyayangimu, juga menyayangi Mesi. Kalian berdua tetap darah daging ayah. Andaikan ayah disuruh memilih  mana yang paling ayah sayangi antara kau dan Mesi, jelas ayah tidak akan bisa memilih. Kalian berdua adalah darah daging ayah, jiwa ayah, semangat ayah. Ayah bangga pada kalian berdua. Kau punya kelebihan dan kekurangan, Mesi pun sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan kalian tetap menjadi bagian dari diri ayah karena darah yang mengalir pada kalian berdua adalah darah daging ayah. Salinglah mencintai karena bila ayah dan ibu kalian sudah tidak ada lagi kau hanya memiliki seorang saudara  yaitu Mesi. Demikian pula  Mesi, dia hanya  memiliki kamu, Mona.”
Mona menghapus airmatanya. Kata-kata ayahnya terasa menyentuh perasaannya.
“Ayah mencintai kalian berdua, Mesi. Bila ayah diminta memilih, mana yang lebih baik bagi ayah, apakah dirimu  ataukah Mesi, ayah tidak akan bisa memilih.” Suara ayah tersendat, membuat airmata Mona semakin deras mengalir. ”Karena cinta dan kasih sayang ayah kepada kalian berdua sama besarnya. Sama berat timbanganhya. Ayah berharap kalian berdua bisa saling menerima, saling menyayangi karena kalian adalah dua bersaudara, anak ayah, meski lahir dari  ibu yang berbeda.”
Seminggu ayah dirawat dirumah sakit ketika dokter mengijinkan pulang Mona ikut menjemput ayahnya. Bersama Mesi,  Mona menggandeng  tangan ayah menuju mobil yang akan membawa pulang. Mona berjanji akan bersikap  lebih baik.  Jangan sampai suatu saat nanti dia menyesali perbuatannya.  Ayah seolah merasakan perubahan sikap Mona kepadanya. Berkali-kali ayah tersenyum walaupun mukanya masih nampak pucat.
”Terima kasih ya, Mon.”

--- 0 ---



“Liburanmu kali ini akan kita isi dengan umroh bersama, Mon.” kata ayah.
Mona menatap ayahnya. “Umroh? Ke Mekah?”
“Tentu saja ke Mekah. Memangnya umroh kemana?’ sahut ayahnya sambil tersenyum lebar. “Bagaimana? Senang, kan?”
“Tentu saja.” Sahut Mona ragu.
Ayahnya  seakan menangkap keraguan dimata Mona. Hariman   tersenyum. “Masih banyak waktu untuk belajar mempelajari bacaan-bacaan doa. Melakukan umroh pasti akan memberikan pengalaman yang berharga untukmu.”
Mona tersenyum. Namun senyumnya agak  memudar ketika ayah   melanjutkan kembali kata-katanya. “Kita berlima yang akan berangkat. Mesi dan ibunya ikut serta.”
“Dengan Mesi?”
Apakah perjalanan ini akan menyenangkan?  Pikir Mona.  Ini kali pertama dia akan melakukan perjalanan bersama-sama dengan Mesi. Pernah dulu  letika mereka masih duduk dibangku sekolah dasar, ayah merencanakan akan jalan-jalan ke Bali. Mesi dan ibunya diajak ikut serta. Namun karena Mona tidak mau akhirnya acara wisata itu batal. Jadinya malah membuat Mona semakin kesal karena liburannya jadi dihabiskan dirumah saja karena ayah marah dengan sikap Mona yang keras kepala. Bila sampai dia mengulang lagi kejadian dulu, tidak menutup kemungkinan  ayah akan kembali marah. Lagi pula bukankah waktu dirumah sakit, ketika sedang sama-sama menjaga ayah, Mona telah melihat sebuah hikmah ketika dia melihat perhatian Mesi kepada ayah yang begitu besar  pada saat dirinya justru selalu bersikap memusuhi ayah. Bukankah saat itu Mona seolah telah disadarkan bahwa Mesi adalah saudaranya yang baik dan diapun telah berjanji akan menerima Mesi? Mona menghela napas. Mesi tulus menyayangi dirinya. Dia tidak  ingin menyia-nyiakan ketulusan Mesi kepadanya.     
“Kenapa bareng dengan Mesi?”  tanya Mona.
“Lho, memang kenapa kalau barengan dengan Mesi?” ujar Mirta.   “Bukankah menyenangkan melakukan perjalanan bersama-sama? Apalagi umroh. Pasti lebih menyenangkan apabila kita melakukannya bersama-sama sekeluarga. Mudah-mudahan Allah memberikan rakhmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, kepada keluarga kita.”
Mona  menggerutu dalam hati, tidak berani terus-terusan memperlihatkan sikapnya  yang mendadak ingin  uring-uringan. Kesal tidak juntrungan.
Ibunya menatap Mona serius. “Ingatlah sewaktu papa terbaring sakit dirumah sakit. Bukankah dari sakitnya papa itu kau bisa mengambil hikmah yang besar? Bagaimana kau melihat perhatian Mesi kepada papa pada saat kau selalu bersikap memusuhi papa?”
Mona menatap ibunya. Mendadak hatinya  merasa malu namun dia merasa enggan mengakuinya walaupun kepalanya mengangguk pelan. “Ya.” Ujarnya lirih.
“Ya, apa?” tanya ibunya.
“Ya, aku mendapat hikmah yang besar pada saat papa sakit.”
“Hikmah apa yang kau rasakan?”
Mona menatap ibunya. “Mama benar, Mesi adalah saudaraku yang baik. Seharusnya memang aku sejak dulu bisa menerima dia sebagai saudaraku.”
Ibunya tersenyum senang sambil memeluknya. “Mama percaya padamu. Kau bisa berubah dan bersikap dewasa.”
Mona tersenyum tipis. Ibunya memeluknya semakin erat. “Mama percaya Mesi tulus menyayangi dirimu. Jangan sia-siakan semua itu. Allah telah memberimu seorang saudara yang baik yang siapa tahu suatu saat kelak engkau akan sangat membutuhkan kehadirannya.”

--- 0 ---

“Aku akan berangkat umroh liburan  ini.” Kata Mona pada Indri. Mereka duduk dibangku taman kota yang dinaungi payung besar  sambil makan baso tahu dan es campur.    Orang-orang lalu lalang didepan mereka. Udara terasa panas.
“Oh, ya? Syukurlah. Bersama siapa?”
“Sekeluarga.”
“Mesi ikut?”
“Tentu saja.”
Indri tersenyum menatap Mona. “Nampaknya hubunganmu dengan Mesi sekarang sudah baik, ya?”
Mona tersenyum. “Yah, kira-kira begitulah.”
“Sebenarnya poligami yang dilakukan ayahmu masih jauh lebih baik bila dibandingkan dengan poligami yang dilakukan ayahku.” Ujar Indri. Dia menaruh piring baso tahu yang telah habis dan mengucek-ngucek es campurnya.
“Ayahmu berpoligami juga?” Mona menatap Indri tak percaya.
“Ya.” Indri mengangguk pelan. “Hal ini sudah terjadi sejak lima tahun lalu. Ayahku menikah lagi.”
Mona tertegun. Dia baru tahu sekarang  kalau ayah Indri berpoligami  seperti ayahnya. Sudah sejak kelas satu dia berteman baik dengan Indri, namun tak pernah diketahuinya bila ayah Indri berpoligami. Lagi pula selama ini Indri tidak pernah bercerita tentang keluarganya, apalagi tentang ayahnya yang berpoligami. Indri selalu nampak kalem dan tenang. Sudah beberapa kali Mona main kerumah Indri dan bertemu dengan ibunya Indri. Dia melihat sebuah kehidupan keluarga yang wajar. Ibunya Indri baik dan ramah. Tak pernah disangkanya bila ternyata wanita cantik itu hidup dimadu seperti ibu. Ona tidak pernah menangkap ada gurat kesedihan diraut wajah cantik itu. Tak pernah kelihatan ada duka pada wajah yang selalu nampak berseri itu. Betapa pandainya ibunya Indri menyembunyikan perasaannya.  
Mendadak wajah Indri menjadi muram. “Ayahmu melakukan poligami sebelum  kau lahir sementara ayahku  melakukan poligami setelah aku dan ketiga adikku besar.” Ucap Indri lirih. Matanya berkaca-kaca.
“Aku baru duduk dibangku SMP kelas satu ketika pertama kali aku mengetahui  ayahku telah menikah lagi dengan seorang janda beranak dua. Anaknya yang sulung seusia dengan aku. Kedua anak tirinya perempuan. Dari perkawinan itu ayah tidak memiliki lagi putera namun kedua anak tirinya sepenuhnya menjadi tanggungan ayah. Aku merasakan ayah lebih cenderung  kepada istri keduanya karena istri mudanya itu banyak membantu usaha ayah sehingga lebih berkembang dibandingkan dulu. Terus terang kondisiku jauh lebih menderita bila dibandingkan dengan situasi yang  kau alami. Mon, aku melihat ayahmu tidak lebih cenderung kepada salah satu dari dua keluarga yang dimilikinya. Sementara situasi yang kualami terasa jauh lebih menyakitkan. Ibuku sudah lama sakit-sakitan, mungkin  karena alsan itulah atau  mungkin masih banyak alasan lain yang membuat ayahku menikah lagi. Ibuku pernah menuntut cerai karena tidak mau dimadu namun ayahku tidak mau menceraikan ibuku. Menurut ayah, apa jadinya dengan kehidupan ibu dan anak-anak jika mereka bercerai karena  ibuku hanyalah seorang ibu rumah  tangga saja yang tidak memiliki keahlian apapun untuk  mencari nafkah andaikan ibuku bercerai dengan ayah. Jadi dengan kesadaran bahwa ini adalah suratan takdir, akhirnya ibuku bertahan dan merelakan ayah berpoligami. Kenyataan ini sangat menyakitkan bagi ibuku, juga  bagi aku dan adik-adikku yang mulai memahami bahwa cinta, kasih sayang dan perhatian ayah akan terbagi, tidak utuh lagi untuk kami sekeluarga. Namun apa lagi yang harus kulakukan karena akupun tak bisa merubah keadaan ini.”
Indri menghapus air matanya. “Aku ceritakan hal ini kepadamu agar matamu terbuka, engkau masih harus lebih bersyukur andaikan engkau mau membandingkan kehidupanmu dengan kehidupan yang kualami. Kita sama-sama merasakan menderita memiliki ayah yang berpoligami namun bagaimanapun dalam pandanganku kehidupanmu masih  jauh lebih baik dari aku.”
“Secara pribadi aku menolak poligami karena aku sudah merasakan sendiri bagaimana kehidupan poligami itu.” Kata Indri lagi. “Poligami yang kupandang dari sudut pandang aku berkaca dari pengalamanku sendiri, bagaimanapun dalam berpoligami  selalu ada pihak yang teraniaya dan didholimi. Bagaimana poligami  berdampak pada kejiwaan anak-anaknya.  Poligamipun membuat perilaku anak bisa berubah secara drastis. Sisi,  adikku nomor dua semula adalah anak yang paling penurut dan paling manja kepada ayah. Ketika usianya semakin bertambah, ketika dia sudah semakin memahami posisi ayah yang berdiri diantara dua keluarga, dia berubah menjadi anak yang sangat membenci ayah dan selalu menganggap ayah sebagai sumber penderitaan ibuku, dirinya,  kakak dan  adiknya. Dia selalu menganggap perkawinan ayah dengan istrinya yang kedua telah menimbulkan sederetan penderitaan. Belum lagi dengan beban perasaan malu yang seringkali membebaninya ketika dia sedang berada ditengah-tengah teman-temannya yang memiliki keluarga yang utuh. Sisi, atau mungkin kita juga masih memiliki penilaian bahwa berpoligami masih belum bisa diterima dan dianggap sebagai sebuah kewajaran dalam kehidupan berumah tangga. Sisi, kita bahkan mungkin sebagian masyarakat kita masih  memiliki anggapan bahwa keluarga yang bahagia  adalah sebuah  keluarga yang hanya terdiri dari seorang  ayah, seorang ibu ibu dengan anak-anaknya.”
Mona menitikan airmatanya.  Dipeluknya Indri. Dia dapat merasakan bagaimana perasaan Indri. Dia dapat merasakan kesedihan yang memancar dari sepasang mata Indri yang nampak berkaca-kaca ketika bertutur tentang kisah dirinya. Dia seakan mengetahui  didalam batin sahabatnya ini ada hati yang retak yang mungkin sulit untuk pulih kembali.
Indri tersenyum.  “Kau bisa mengambil hikmah dari apa yang terjadi dalam kehidupanku. Kau masih harus bersyukur bahwa walaupun ayahmu berpoligami namun  ayahmu masih tetap memperhatikanmu walaupun kau harus berbagi dengan Mesi. Namun Mesi adalah darah daging ayahmu.  Mesi adalah saudara seayah denganmu. Sementara yang terjadi padaku, ayahku lebih cenderung kepada kedua anaknya yang bukan darah dagingnya sendiri. Mereka anak tirinya. Namun ayah seolah menganggap keduanya anak kandungnya. Sementara keempat anak kandungnya sendiri terlantar. Ini fakta. Aku selalu belajar untuk menerima dan memendam rasa kecewa ketika kurasakan ayah tidak bisa bersikap adil.”
Mona menghapus airmatanya. “Ya, aku bersimpatik denganmu, Indri.” Ujar Mona. “Kau gadis yang  hebat, Indri.  Kau seorang gadis yang kuat dan tabah. Kau jauh lebih kuat dari aku. Oh, tidak. Aku tidak bisa membandingkan aku dengan  drimu. Aku malah rapuh. Aku lemah. Selama ini yang kulakukan hanyalah keluh kesah saja. Tak pernah aku  berpikir, masih banyak kebahagiaan dan kesenangan lain yang kurasakan andai aku tidak selalu berpikir buruk pada ayahku.  Yang kulihat  melulu  rasa kecewaku karena ibuku berbagi suami dengan wanita lain. Dan itu karena ayahku kawin lagi.”
Indri tersenyum.
“Masa depan kita masih panjang. Mungkin ibu kita harus menderita merasakan cinta yang terbagi namun siapa tahu kehidupan kita jauh lebih baik.  Siapa tahu  suatu saat nanti kita akan mendapatkan seorang  suami yang hanya memiliki satu cinta, cinta untuk kita saja.”
 “Bagaimana dengan dirimu, apakah engkau membenci ayahmu seperti Sisi  yang membenci ayahmu?” tanya Mona.
Indri menggeleng. “Tidak, aku tidak membenci ayahku. Aku sudah cukup dewasa untuk menyikapi permasalahan yang terjadi dalam keluargaku. Awal mulanya aku memang tidak bisa menerima dengan apa yang telah dilakukan ayahku. Yang kunilai mengkhianati ibuku dan membuat kemelut dalam keluarga kami. Namun aku mencoba menerima kenyataan ini. Andaikan aku membenci ayahku, memberontak dan prustasi aku akan menambah deretan masalah yang sudah ada sementara  masa depanku masih panjang. Masih banyak yang bisa kuraih untuk masa depanku. Aku mencoba berfikir jernih. Jauh lebih baik ayahku menikahi wanita itu daripada ayahku berzinah dengan wanita itu. Setidaknya perkawinan itu telah mencegah ayahku dari berbuat dosa.”
Mona terdiam. Ayahnya menikah lagi karena ingin memiliki keturunan setelah sepuluh tahun berumah tangga dengan ibunya belum juga dikarunia anak. Andaikan dari perkawinan dengan ibunya ayahnya langsung mendapatkan  anak mungkin ayahnya tidak berfikir untuk melakukan poligami. Mona melihat ayahnya sangat menyayangi ibunya. Namun ternyata rasa sayang dan cinta ayah kepada ibunya tak sanggup menahan ayahnya untuk tidak berpaling poada wanita lain manakala ayah memiliki kepentingan lain dalam hidupnya.
“Indri, kau hebat, kau jauh lebih tabah dari aku.”
Indri tersenyum. “Aku memang harus tabah. Kalau aku tidak tabah dan menyadari bahwa ini  sudah suratan nasib yang mau tak mau harus kuterima,  apa lagi yang bisa kulakukan. Aku juga memiliki tiga orang adik. Aku harus bisa menjadi sumber kekuatan bagi adik-adikku. Aku harus bisa memberi contoh kepada mereka bahwa hidup adalah sebuah perjuangan. Sepahit apapun kehidupan yang kami jalani, kami harus tetap melangkah. Kami harus tetap memikirkan masa depan kami. Menyongsong kehidupan yang jauh lebih baik dari kehidupan kami sekarang.  Apakah itu ada atau tidak ada ayah berkumpul bersama-sama  kami namun kami harus tetap melangkah. Kami harus memikirkan masa depan kami nanti. Kalau aku selalu berfikir negatif, penderitaan ini pasti akan terasa lebih menyakitkan. Bukankah kalau kita mendapakan luka pada tubuh kita luka itu akan terasa lebih sakit, lebih pedih,  lebih berdenyut,  apabila kita terus menerus memperhatikan luka itu, tidak mengobatinya dan tidak bisa mengalihkan pikiran kita pada hal-hal  lain? Seperti itulah kita-kira apa yang kulakukan untuk memupus kesedihan dan penderitaan yang kurasakan dengan kehidupanku. Aku belajar, aku mengisi waktu dengan kegiatan-kegiatan  yang berguna untuk masa depanku. Selalu kutanamkan dalam hatiku, aku tidak boleh menyerah dengan kondisi yang  kualami ini. Ayah memang berpoligami yang menimbulkan rasa sakit dalam hatiku namun aku tetap harus bersyukur  bahwa aku masih memiliki ayah. Ada banyak anak, ribuan, jutaan bahkan mungkin tidak terhitung jumlahnya, anak-anak yang menderita karena tidak punya ayah, kehilangan ayah bahkan yang tidak mengenal sosok ayahnya sama sekali. Semua itu adalah cerita-cerita kehidupan yang bukan hanya kita lihat dalam sebuah  sinetron namun memang nyata ada dalam  kehidupan sehari-hari. Aku tetap ingin berpikir jernih. Aku tetap ingin menjaga semangatku, juga semangat adik-adikku. Aku dan adik-adikku adalah masa depan keluarga, juga yang menjadi tumpuan harapan ibuku selama ini. Bila aku rapuh, gagal dan prustasi, bagaimana jadinya aku bisa memberikan semangat kepada ketiga adikku agar mereka kuat dan mau terus melangkah. Selalu kutekankah pada ketiga adikku agar mereka rajin belajar dan bisa mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Dengan bekal ilmu  pengetahuan yang cukup mereka akan  bisa menggenggam masa depan mereka yang lebih baik. Selalu kutekankan pada ketiga adikku, andaikan ayah sudah tidak bersama kita lagi namun kita tetap masih memiliki ibu  yang harus kita jaga dan kita kasihi. Untunglah ketiga adikku memahami apa yang menjadi harapanku pada mereka. Sisi memang nampak terpukul ketika pertama kali mengetahui ayah menikah lagi, namun setelah lewat setahun dia mulai  rajin sekolah lagi, mau belajar lagi dan nilai-nilai pelajarannya  yang sempat anjlok  mulai membaik lagi. Juga kedua adikku yang lain, Doni dan Saskia. Mereka melihat aku justru sebagai sumber semangat mereka. Diusiaku  sekarang, aku memang sudah menanggung beban yang cukup berat, namun aku berusaha menjalani semua ini dengan penuh ketabahan. Kubuka pikiranku, dunia  ini luas dan lebar.  Masih banyak kesempatan  yang mungkin masih bisa kuraih andai aku dan ketiga adikku berpegangan tangan dengan erat dan melangkah bersama-saam menuju masa depan kami.”
“Aku simpatik dengan nasibmu. Kau tak pernah bercerita tentang hal ini sebelumnya kepadaku.”
“Mon, apa yang menyakitkan saat ini mungkin suatu saat akan memberikan hikmah yang besar buat hidup kita kelak. Aku selalu berdoa dan berharap semoga Allah kelak memberiku jodoh seorang lelaki yang seutuhnya  hanya mencintaiku.”
Mona menatap Indri.  “Aku pun berharap begitu. Mendapatkan seseorang yang cintanya hanyalah untukku. Mungkinkah?”
“Mengapa tidak?”

--- 0 ---


Semula Mona menganggap sebatas angin lalu. Namun lama kelamaan hatinya terasa panas juga mendengarnya. Mona mendengar  bahwa Bono membicarakan dirinya. Bahwa yang membuat Bono tidak bisa sungguh-sungguh mencintai   Mona karena orangtua Bono tidak menyetujui hubungannya mereka gara-gara ayahnya punya dua isteri. Ayah Bono, Cakrasasmita, sangat menentang poligami.
Mona merasa tersinggung mendengar desas-desus itu.  Dia pertama kali mendengar tentang hal  itu dari Linda, yang nampaknya merasa enggan menyampaikannya lagi kepada Mona karena tahu Mona akan marah dan  tersinggung. Rasa marah dan tersinggung itu langsung memancar pada raut wajah Mona usai Linda bercerita.
”Aku mendengarnya dari Yusron. Teman sekelas Bono.” kata Lina. ”Aku tadinya tidak akan menyampaikan hal ini kepadamu, Mon. Namun daripada kau dbohongi Bono yang nampaknya tulus mencintaimu  padahal sebenarnya dia menyembunyikan konflik keluarganya yangmenentang hubungan  kalian.”
”Aku berterima kasih kau sudah menyampaikan semua itu kepadaku.” kata Mona. ”Aku sedang jadi tahu, ternyata Bono hanya memaksakan diri menjalin hubungan denganku.”
Aku harus punya harga diri, pikir Mona. Jangan sampai keluarga Bono melecehkan aku karena ayahku punya dua isteri.  Memangnya aku ini apa?  Pikir Mona.   Mana mau aku harga diri dan kehormatanku diinjak-injak Bono dan keluarganya. Enak saja keluarganya memvonis tidak setuju kepadaku. Hanya karena bapakku memiliki dua isteri. Apa karena hal itu keluarga Bono bisa seenaknya memperlakukan aku? Mona jadi uring-uringan sendiri. Ketika tanpa sengaja bertemu Bono dijalan sepulang sekolah,   Mona tak bisa menahan emosinya. Tanpa basa-basi, dia langsung memarahi Bono.
”Kalau mau putus, ya putus saja. Tak perlu kau dan keluargamu  menghina aku sedemikian rupa seolah aku ini adalah manusia yang tidak ada artinya dimata keluargamu.” kata Mona separuh berteriak karena kesal.
”Ada apa, nih?” tanya Bono yang nampak belum mengerti utara selatan tibur barat apa  yang menjadi sebab Mona nampak marah seperti itu.
”Kau! Kau yang menjadi sebab aku merasa marah dan tersinggung seperti ini.” sahut mona marah. Dia kelas melihat raut wajah Bono yang nampak tidak mengerti mengapa dia marah. Kenapa Bono harus berpura-pura? Padalah kerahannya sudah sampai diubun-ubun kepalanya. Ubun-ubunnya terasa panas mengepul.
”Serius, Mon. Aku tidak mengerti apa yang terjadi.”  kata Bono.
”Pura-pura, kau!” bentak Mona.
”Lho, kenapa aku harus pura-pura kalau memang  kenyataannya aku tidak tahu apa-apa.”
”Kau bilang pada teman-temanmu  bhawa keluargamu tidak seatuju dengan  hubungan kita karena ayahku berpoligami. Karena ayahku memiliki dua isteri. Itu yang aku dengar dari teman-temanmu.”
”Teman-temanku yang mana? Kenapa sih kau tiap  kali mendengar pembicaraan orang selalu saja terpancing emosi?”
”Lho, apa yang diucapkan keluargamu tidak setuju kepadaku,  jelas membuatku marah dan tersinggung. Apa memang gadis yang berasal dari keluarga yang tidak berpoligami jauh lebih baik daripada gadis yang ayahnya berpoligami?”
”Keluargaku tidak pernah mengeluarkan penyataan semacam itu. Siapa yang bicara begitu kepadamu?”
”Temanku bilang, Yusron yang bicara begitu pada teman-teman sekelasmu. Aku malu.”
”Brengsek!” gerutu Bono. ”Kau harus waspada. Dia sejak dulu naksir kamu. Dia hanya mengada-ada agar kau marah kepadaku.”
Sesaat Mona terdiam.
”Jadi......”
”Jadi apa?”
”Jadi  sebenarnya bagaimana? Apakah semua itu tidak benar?” tanya Mona.
”Kau lebih percaya kepada siapa? Kepadaku atau kepada Yusron?”
Mona terdiam. ”Tentu aku lebih percaya kepadamu.”  ujar Mona.
”Percayalah kepadaku atau pacarai Yusrin kalau kau lebih percaya kepada dia.”  Kata Bono.
Mendengar ucapan Bono, Mona merasa panas lagi hatinya.
”Tutup mulutmu!”   Bentak mona marah. ”Pacaranlah denganku dan perlakukan aku dengan baik atau tinggalkan aku sendirian.”
”Memangnya kau sendiri bagaimana? Mulanya kau selalu  mengabaikan aku seolah-olah tidak tertarik kepadaku, lalu  kau berubah menjadi burung merpati seolah jinak mendekatiku   dan  melirikku,  dan sekarang   ketika kau mendengar berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, kau berubah galak seperti macan.”
Mona dan Bono saling menatap dan terpaku. Lalu tiba-tiba Bono menstarter motornya  dan meninggalkan Mona. Mona terpaku menatap kepergian Bono. Dia berharap Bono akan berhenti dan menunggunya. Namun sia-sia saja. Motor Bono berbelok dan menghilang dari pandangan. Mona merasa sedih. Dia memanggil seorang tukan becak yang lewat. Dengan wajah murung, Mona duduk didalam becak. Tanpa diketahui Mona, ketika becaknya lewat, Bono yang bersembunyi dibalik tikungan, memperhatikan punggung gadis itu dari belakang becak.  

--- 0 ---

“Mon, lihat! Itu Bono!”
Mona melihat pada arah yang ditunjuk Mesi. Diantara anggota rombongan yang tergabung dengan biro perjalanan umroh dan haji PT Samudra, dia melihat Bono bersama dengan kedua orang tua dan tiga kakaknya, ketiganya  laki-laki. Tepat pada saat itu Bono pun tengah melihatnya. Setengah ragu Mona tersenyum seraya melambaikan tangannya. Rasanya canggung mengajak senyum duluan pada Bono. Maunya jaga gengsi. Tapi apa boleh buat, harus ada salah seorang yang mengalah. Tidak mungkin dia bertahan seperti Bono sama-sama menahan diri untuk mengajak senyum dan berbaikan lagi. Ternyata Bono membalas senyumannya. Malah melenggang santai mendekati Mona dan Mesi.
“Hai!” sapa Bono. “Berangkat umroh juga, ya? Sama-sama dong!”
Mona merasakan tatapan Bono yang bersahabat. Tidak ada wajah kaku yang seolah menyimpan benci.
Pemuda tinggi ganteng yang pada saat itu pun sedang berdiri mematung menatapnya adalah Bono. Beberapa saat mereka hanya berpandangan. Mendadak Mona ingat dengan pertengkaran mereka. Dia sudah menyakiti pemuda itu.  Oh, masih ingatkah Bono dengan pertengkaran mereka? Masihkah Bono menyimpan dendam dihatinya kepada dirinya? Mona masih ingat, saat itu wajah Bono   kelihatan marah dan tersinggung meskipun tidak satu patah katapun yang terucap dari bibirnya. Bono tidak membalas dengan mengeluarkan kata-kata lain kepada Mona. Bono hanya diam. Namun Mona tahu, Bono marah dan tersinggung. Mungkin juga sakit hati. Dan dendam. Perasaan Mona terasa bergetar. Malu rasanya ketika melihat cara pemuda itu menatapnya.  Bibir Bono menyunggingkan seulas senyum. Dengan mengenakan baju koko putih dan celana warna krem serta kopiah putih,  Bono   kelihatan menarik sekali. 
“Hai!” Mona melambaikan tangannya.
Bono  tersenyum,  sebelum melangkah mendekati Mona.
“Aku tidak mengira akan bertemu dengan kau disini.” Kata Mona sambil menyalami Bono.   “Aku tidak tahu kau akan umroh juga.”
“Aku sudah mendengar kau akan berangkat umroh.” Ujar Bono.
“Kau tidak cerita akan berangkat umroh, Bon.”
“Ayahku yang mendadak merencanakan keberangkatan ini. Aku juga diberitahu mendadak, menjelang keberangkatan. Membuat paspor pun serba mendadak.”
“Dengan siapa kemari?”
“Kedua orang tuaku dan tiga kakakku.”
Hilang sirna rasa permusuhan diantara mereka. Dia senang Bono wajar memperlakukan dirinya. Tidak kelihatan bahwa Bono menyimpan sakit  hati atau dendam kepadanya.  Tidak kelihatan Bono masih ingat dengan pertengkaran mereka.
Aku  berjanji akan  bersikap baik pada Bono, kata Mona dalam hati.  Dan tidak akan mudah terpancing gosip.
“Bon, maafkan aku, ya.”
Bono tersenyum. Kelihatan tulus. “Minta maaf untuk apa?”
Mona menatap Bono malu. “Atas kekasaran sikap dan kata-kataku kepadamu dulu.”
 Bono tersenyum. “Aku sudah memaafkan kamu, Mon. Kau tak perlu khawatir. Tapi aku perlu memberi nasehat kepadamu. Mulutmu jelek sekali. Kalau sedang emosi, mulutmu luar biasa jeleknya. Seperti bukan anak sekolahan. Seperti bukan anak dari keluarga baik-baik. Berubahlah. Kau kelihatan manis dan menawan bila mulutmu baik.”
Mona merasa trenyuh dinasehati seperti itu.  Ditatapnya Bono dengan malu-malu. “Bon, kenapa kau baik kepadaku? Kenapa kau tak menggubris kekasaranku kepadamu?”
Lama sekali Bono menatapnya. Mulutnya berkata pelan. “Aku sangat sayang kepadamu, Mon. Hanya saja engkau selalu tak percaya kalau aku sangat menyayangimu.”
Mentari seakan menghangatkan seluruh tubuhnya. Mona ingin menangis. Tapi dia hanya menatap Bono dengan terharu. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya yang terasa panas dan basah. Ya Allah, terima kasih. Aku percaya Bono menyayangiku.
--- 0 ---

Mesi menelepon akan main kerumahnya.
”Oke.” sahut Mona.”Kutunggu, ya.”
Mona sedang tidur-tiduran ketika Mesi datang. Mesi langsung masuk kekamar Mona.
”Aku membuatkan cake pisang untukmu.” kata Mesi sambil menaruh dus berisi cake pisang diatas meja belajar Mona. ”Dicoba, ya. Kau pastiu suka.”
”Hm, baunya harum. Pasti enak rasanya.” Ujar Mona. Dia keluar kamar mengambil pisau. Mesi memotong-motong cake itu. Mona mengambil sepotong dan menggigitnya.
”Kau pintar membuat cake. Rasanya enak dan lembut.” puji Mona.
“Aku sudah mencoba membuat resep itu tiga  kali. Baru setelah ketiga kali membuat cake  pisang itu aku berhasil mendapatkan hasil   yang enak. Kalau kau suka, nanti aku buatkan lagi.” Ucap Mesi.
Diluar kamar, Mirta mendengarkan obrolan kedua gadis itu. Mirta  senang Mesi sekarang sering datang berkunjung. Wanita itu melihat Mona sudah berubah sikapnya  terhadap Mesi. Didalam hatinya  wanita itu bersyukur anak gadisnya sudah berubah, sudah bisa menerima kehadiran Mesi dalam hidupnya. Semoga hati Mona terbuka untuk selamanya. Dia dapat merasakan selama ini Mesi selalu berusaha  membuka hati Mona agar mau menerima kehadirannya.  Nampaknya baru sekarang hati Mona terbuka untuk menerima Mesi.
Mona mengajak Mesi bercakap-cakap dikamarnya seperti kebiasaannya bila teman-temannya berkunjung. Dikamarnya mereka bisa lebih leluasa. Pintu yang menghadap ketaman samping sengaja dibuka agar udara segar bisa masuk.
“Kamarmu menyenangkan” komentar Mesi. “Kau pandai menata kamarmu hingga tidak saja berfungsi sebagai kamar tidur namun juga menjadi sebuah ruang baca yang nyaman.”
“Oh, ayah yang memiliki ide ini pada mulanya. Dari pada ayah menyediakan dua ruangan untukku, kamar tidur dan ruangan baca, lebih baik kedua ruangan ini dijadikan satu. Tadinya pintu yang  menghadap ke taman samping ini juga tidak ada, tapi ayah membuatnya dengan maksud agar udara segar dari taman tidak hanya lewat jendela saja tapi sekali-sekali bisa masuk melalui pintu ini kalau aku membukanya.”
“Ya, ayah memang pandai menata ruangan. Dirumah pun ayah yang mengatur letak perabotan rumah hingga ruangan terasa lebih nyaman.” Ucap Mesi. Dia memperhatikan isi lemari buku yang dipenuhi dengan novel-novel yang rapi berderet didalam lemari kaca.
“Rupanya kau  juga  senang membaca, Mona.” Kata Mesi.
“Ya, aku memang hobi membaca sejak masih di sekolah dasar. Buku-buku koleksiku sudah banyak, namun sayang ada sebagian yang hilang. Sebagian dipinjam teman tapi tidak dikembalikan lagi. Padahal buku-buku itu adalah sebagian dari koleksi bukuku.”
“Aku juga senang membaca sejak kecil.” Ujar Mesi. “Namun  hobiku bukan hanya membaca. Aku juga suka menari, juga senang membuat kue.”
“Kau pasti sangat pandai mengisi waktumu dengan hal-hal yang berguna.” Ujar  Mona.
Mesi tersenyum. “Apa yang kita lakukan dan kita pelajari saat ini pasti akan berguna untuk hidup kita esok hari.”
Mesi kelihatan cantik mengenakan blouse ungu muda dengan jeans. Ponselnya berbunyi pelan. Ada sms masuk.  Mesi membaca sms itu. Bibirnya tersenyum kecil.
“Dari siapa?” Tanya Mona mendadak ingin tahu.
“Trisna.” Sahut Mesi terus terang.  “Dia mengucapkan selamat aku dan kau akan berangkat umroh bersama-sama.”
Mona hanya tersenyum. Nama Trisna sudah tidak ada pengaruhnya lagi baginya. Walaupun Mesi yang menyebut nama itu.
“Kapan kau mengajak Trisna kemari?” Tanya Mona.
“Boleh aku mengajak Trisna kemari?” Tanya Mesi. Bibirnya tersenyum.
Mona tersenyum. “Kau harus mengenalkan calon iparku itu kepadaku, kan?”
Mesi tersenyum. “Iya, nanti aku akan mengajak Trisna kemari. Dia pasti senang bisa bertemu denganmu.”
Mona hanya tersenyum biasa-biasa saja. Tidak ada setrum apa-apa lagi. Semuanya telah berlalu. Dia tidak menyesali apa yang telah terjadi antara dirinya dengan Trisna. Hidup manusia kadangkala seperti sebuah cerita. Suatu saat apa yang telah terjadi dimasa lalu akan jadi kenangan atau jadi pengalaman.
Mona menoleh pada cermin besar dikamarnya.  Mona melihat bayangan dirinya dan Mesi pada cermin itu.  Ya, dia dan Mesi memiliki beberapa persamaan yang menunjukan mereka masih saudara. Postur tubuh mereka hampir sama. Kulit merekapun sama, putih susu. Mata ayah yang bulat melekat padanya, tapi dagu ayah mirip dagu Mesi. Mona jadi tersenyum dalam hati.
“Kenapa?” Tanya Mesi ketika melihat Mona tersenyum menatap bayangan mereka dicermin.
“Aku sedang berfikir, kadang aku melihat bayangan ayah pada diriku, tapi aku juga kadang melihat kau pun memiliki kemiripan dengan ayah.”
Mesi tersenyum. “Ya, Allah menciptakan kita pasti membawa sifat-sifat atau ciri-ciri dari orang tua kita. Aku juga suka berfikir begitu. Kadang aku mirip dengan  ibuku, tapi seringkali kudapati ciri-ciri ayah pada wajahku.”
“Dagumu paling mirip dengan dagu ayah, Mesi.” Kata Mona. “Eh, apa benar dagu ayah dulu yang membuat banyak wanita tergila-gila pada ayah. Kalau begitu kau harus hati-hati Mesi, jangan-jagan yang membuat kau digilai banyak laki-laki karena  dagumu yang terbelah itu.”
Mesi tertawa mendengar kata-kata Mona. “Ada-ada saja kau ini.”
Mesi memberikan sebuah bungkusan lain kepada Mona.
 “Aku membelikanmu hadiah.” Kata Mesi.
“Hadiah apa?”
Mona membuka bungkusan yang diberikan Mesi. Dia berseru riang. “Oh, Mesi. Mukena yang bagus sekali. Ada rendanya, bagus sekali. Aku malu. Selama ini sholatku masih bolong-bolong.”
“Aku membelikan itu karena aku tidak tahu apa yang bisa kuberikan kepadamu.” Ujar Mesi. “Kau sudah memiliki segalanya yang kau inginkan.”
“Kau keliru. Kehidupanku biasa saja. Aku tidak selalu memiliki apapun yang aku inginkan.  Justru  sekarang setelah aku dekat denganmu aku memiliki sesuatu yang  selama ini tak pernah kumiliki.” Mona menatap Mesi.
Mesi membalas tatapan Mona.  “Apa itu?”
Mona beranjak menuju jendela. Dia melihat keluar kamar. Hujan baru saja berhenti. Udara terasa sejuk dan segar. Mona melihat  pelangi melengkung indah dilangit dengan warna warni indah bagaikan sebuah lukisan dilangit yang biru.
“Seorang saudara.” Ujar Mona perlahan.  “Ya, baru sekarang setelah aku dekat  denganmu aku merasa memiliki saudara yang selama ini kudambakan. Selama ini hidupku selalu terasa sunyi dan sepi. Aku punya sahabat yang baik, Indri, Helen, Osi. Tapi jelas berbeda antara memiliki sahabat dan memiliki saudara. Mesi, aku sekarang sadar, mengapa aku tidak bisa menerima dirimu sebagai bagian dari diriku? Mengapa aku menutup mata dari sesuatu yang aku dambakan selama ini yang sebenarnya sudah lama diberikan Allah kepadaku. Selama ini aku sering merasa sunyi dan kesepian padahal hanya tiga bulan setelah aku lahir di dunia ini, Allah telah memberikan saudara yang selama ini aku dambakan.”
Mesi berdiri disamping Mona. 
“Maafkan aku, Mesi.”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Mona. Allah memberi kesempatan kepada kita untuk mensyukuri  apapun  yang diberikan oleh Allah untuk mengisi hidup kita. Awalnya kita enggan bersyukur dan tidak menyadari rakhmat dan karunia yang diberikan Allah ke[ada kita,  namun dengan perjalanan waktu dan liku-liku kehidupan  Allah membukakan mata kita.  Dari dulu aku mencintai dan menyayangimu, Mona. Aku tak pernah merasa kau saudara tiriku. Kita memang lahir dari ibu yang berbeda, Mona. Namun ayah kita sama. Bapak Hariman Ginanjar.  Darah yang mengalir dalam tubuh kita juga sama. Namun mengapa kita tidak bisa bersatu? Kau  anak tunggal bapak dan ibu Mirta, aku juga anak tunggal  bapak dan ibuku. Kalau kau pernah merasakan kesepian dalam hidupku, aku  pun mengalami hal yang sama sepertimu. Setiap hari kalau aku  tidak ada kegiatan, aku sering termenung dan teringat kepadamu. Sejak kecil kalau aku punya makanan, aku selalu ingin membagi dua makanan itu denganmu. Bertahun-tahun lamanya hidup rukun dan akur denganmu adalah impianku. Dan aku bersyukur, sekarang Allah telah membukakan mata  hati kita semua untuk melihat  kepincangan dalam hubungan kita ini menjadi suatu ikatan persaudaraan  yang kuat. Aku bahagia sekali, Mona. Tak pernah  kurasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya.  Langit diatas sana seakan mendadak menjadi begitu cerah dan aku melihat duniaku makin luas dengan seorang saudara yang cantik dan baik sepertimu. Aku bahagia sekali, Mona, memiliki seorang kakak dan saudara sepertimu.”
Mona tersenyum. Matanya bertatapan dengan Mesi. Keduanya sama-sama mengulum senyum.
Mona melihat kembali kepada pelangi yang samar-samar masih nampak, melengkung indah di cakrawala. “Lihatlah pelangi itu, Mesi!”
Mesi mengikuti pandangan Mona, menatap pelangi yang melengkung indah dengan warna-warna yang menarik.
“Pelangi itu kelihatan begitu indah.” Ujar Mona. “Pelangi itu bagaikan sebuah lukisan indah yang menghiasi langit yang biru. Demikian pula persaudaraan kita. Seperti sebuah pelangi. Hidup akan terasa lebih indah bila  penuh dengan warna dibandingkan apabila kita hanya sendirian saja yang membuat hidup  kita terasa sepi  sendiri.”
Mesi mengangguk, namun tidak berkata apa-apa.
Ketika Mesi pamitan akan pulang, Mona teringat sesuatu.
”Tunggu, jangan pulang dulu.” kata Mona.
”Ada apa?” tanya Mesi.
Mona mengajak Mesi ke gudang. Dia mengumpulkan buku-buku yang sudah tidak pernah dibacanya lagi, menumpuk di gudang tertutup debu tebal.
”Aku ingin menyumbangkan buku-buku ini untuk sanggarmu.” kata Mona.
”Terima kasih.” sahut Mesi.
Mereka berdua memasukan buku-buku itu kedalam karung. Mesi memilih buku-buku mana yang  akan dibawanya dan menyisihkan buku-buku yang tidak akan dibaca oleh anak-anak didesa.  Mesi sudah bisa berbuat untuk orang lain, pikir Mona. Apa yang dilakukan Mesi sangat berguna bagi anak-anak di desa itu. Mereka yangsudah kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di bangku sekolah, tapi tak putus semangat untuk tetap menambah ilmu pengetahuan dengan jalan membaca. Dengan membaca mereka tetap akan memiliki ilmu pengetahuan. Mereka anak-anak yang kurang beruntung. Tentu masih banyak anak-anak lain yang  kurang beruntung bisa mengenyam pendidikan formal.
”Buku-buku yang tidak dibutuhkan, biar dijual ke tukang loak saja.” kata Mona.
Akhirnya terkumpul dua karung.
”Besok buku-buku itu aku ambil, ya.” kata Mesi. ”Aku tidak mungkin membawanya sekarang.”
”Oke.”  sahut Mona.
Setelah Mesi pulang, Mona berdiri didepan jendela kamarnya. Tatapannya melayang keluar, pada rerumputan yang basah terkena siraman air hujan, pada kelopak-kelopak mawar merahnya yang basah dan sebagiannya berserakan direrumputan. Dia mencoba merenungkan kehidupannya dengan kehidupan Mesi yang selama ini selalu dicoba dikotak-kotakannya, ketika hatinya tetap tidak bisa menerima  Mesi sebagai sebuah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya.
Sebenarnya kehidupanku masih jauh lebih baik, pikir Mona. Dia teringat dengan cerita Indri  yang juga ayahnya berpoligami.  Mona dapat  merasakan dari cerita Indri, bagaimana Indri nampak  menderita bersama dengan ibunya  karena ayahnya lebih cenderung  memprioritaskan keluarga dari istri mudanya. Mona belajar dari Indri, betapa dia harus mensyukuri apa yang telah diberikan Allah kepadanya. Bahwa kebahagiaannya memiliki orangtua yang masih tetap memperhatikannya meskipun harus berbagi.
Mona melihat burung-burung kecil berlindung dibalik dedaunan yang rimbun. Cicit mereka terasa menyentuh perasaannya. Udara terasa dingin. Angin bertiup cukup kencang. Ingin rasanya Mona memanggil anak-anak burung itu dan mengajaknya masuk kedalam kamarnya yang hangat. Mona kembali hanyut dalam lamunannya. Dia merenungkan dirinya. Juga merenungkan cerita Indri yang terasa menyentuh perasaannya. Poligami bagaimanapun adilnya tetap akan memberikan dampak pada kejiwaan anak-anaknya. Bagaimana poligami membuat perilaku anak berubah. Bagaimana poligami membuat seorang anak jadi demikian  membenci ayahnya yang dianggap menjadi sumber penderitaan ibunya, dirinya dan saudara-saudaranya. Poligami membuat sederetan penderitaan, belum lagi timbulnya perasaaan malu ketika berada ditengah-tengah masyarakat pada saat poligami masih dianggap sebagai sebuah penyimpangan dalam sebuah keluarga yang normal. 
Mona mencoba mempelajari  kehidupan permaduan orangtuanya. Dilihat dari sisi ibunya maupun dari sisi ibu Teja, tetap saja tidak ada pihak yang merasa diuntungkan dan memiliki kehidupan yang lebih nyaman dibandingkan dengan yang lainnya. Posisi manapun yang ditempati seorang wanita dalam sebuah permaduan tetap tidak menyenangkan, tidak merasa posisi mereka jauh lebih baik. Selalu ada perasaan yang dikorbankan. Selalu ada ketidaknyamanan yang sangat mengganggu perasaan mereka yang sesungguhnya, apakah posisinya sebagai istri pertama ataupun sebagai madu.
Mona belajar dari ibunya betapa berat menjadi isteri pertama ketika dirinya seolah dipaksa menerima kenyataan harus berbagi cinta dengan wanita lain. Namun ibu Teja, sebagai isteri keduapun tidak mudah. Bagaimana dirinya harus sering mengalah untuk tetap menjaga keharmonisan keluarga mereka. Bagaimana dia harus sering menahan perasaan, bagaimana dia tidak bisa mengambil  waktu, apalagi merampas waktu suaminya pada saat dia sedang membutuhkan suaminya.  Namun kehidupan terus berjalan. Kenyataannya kehidupan poligami dalam keluarga mereka tetap berjalan walaupun mungkin kadangkala diisi dengan perasaan tertekan dari salah satu pihak yang pada saat tertentu harus mau mengalah. Poligami tetap menjadi bagian dari kehidupan mereka, menjadi sebuah kenyataan hidup yang tetap harus bisa diterima dan dijalani. 
Mona  kini menyadari, posisi ayahnya pun bukanlah sebuah posisi yang mudah, ketika tanggung jawabnya dituntut untuk bersikap adil kepada kedua keluarga yang dimilkinya. Adil yang tetap terasa tidak adil ketika masing-masing pihak menuntut ingin diperlakukan sama dan seimbang. Namun selalu saja ayah merasa bagaimana pun dia ingin memperlakukan dengan adil menurut perasaan dan pertimbangannya, tetap saja tak bisa dilaksanakan.
Seharusnya aku mau berubah menjadi lebih bijak dan dewasa, pikir Mona. Dia ingin  belajar  menahan egonya. Dia ingin belajar tidak mengumbar ego dan emosinya. Belajar agar tidak egois   dengan  ingin  memiliki ayahnya seutuhnya. Belajar tidak bersikap memonopoli ayahnya. Faktanya, ayahnya bukan hanya miliknya seorang. Ada Mesi. Ada ibu Teja. Ada keluarga lain yang jelas membutuhkan ayahnya ditengah-tengah mereka seperti halnya dirinyapun  selalu mengharapkan ayahnya hadir ditengah-tengah dirinya dan ibunya. Dan selama ini Mesi dan ibunya seolah bersikap mengalah bila dalam waktu bersamaan Mona menginginkan ayahnya ada bersamanya.
Ini adalah kenyataan, ayahnya memiliki keluarga lain selain keluarganya. Ada keluarga lain yang menuntut untuk mendapatkan  perhatian dari ayahnya. Mona tidak tahu apakah ibunya jujur atau hanya sekedar untuk menghibur diri, untuk menutupi diri agar kesedihan hatinya tidak kelihatan oleh orang lain. Namun sampai sejauh mana ibunya bisa menutupi keadaan hatinya yang sesungguhnya. Sebagai seorang wanita yang dimadu, tidak mudah bagi Mirta menjalankan peranan itu. Bukan hanya dilingkungan keluarga tapi juga ketika tengah berada dilingkungan masyarakat bahwa dirinya   bukan sebagai sosok ibu rumah  tangga yang utuh  dalam menjalankan peranannya sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga namun sebagai wanita yang harus berbagi dengan wanita lain. Tak ada pilihan yang menyenangkan dari posisi manapun yang dilihat Mona.  Setiap posisi seakan memiliki beban dan rasa sakit tersendiri. Semuanya memerlukan ketabahan hati.
Namun sekarang Mona bisa mengambil hikmah. Dalam kehidupan berpoligami  bagaimana untuk menyatukan dua keluarga yang memiliki latar belakang yang berbeda.  Poligami ketika berhasil mampu menciptakan suatu keluarga yang harmonis dimana antara dua keluarga  yang disatukan mampu menciptakan keserasian dan keselarasan. Dibanding Indri, bagi Mona situasinya lebih menguntungkan dimana bentuk perhatian, kasih sayang dan materi dari kedua orangtuanya tidak berkurang meskipun ayahnya jelas memiliki dua keluarga yang menuntut perhatian dan tanggung jawab sama besarnya.
Sekian lama Mona merasa dirinya terbelenggu oleh emosi dan egonya. Sering dia merasakan  sisi kosong dalam hidupnya. Dia menyadari ada yang kurang dalam hidupnya. Matanya sekarang seakan terbuka  ketika dia melhat bahwa sikap Mesi selama ini selalu menunjukan kasih sayang kepada dirinya, tak pernah Mesi menunjukan sikap bahwa Mona adalah orang lain. Mesi sejak kecil selalu bersikap mengalah, menunjukan kedewasaan dirinya, bahkan dia seolah selalu menunjukan bahwa andaikan mereka bersatu, mereka bisa saling memberikan kasih sayang. Mungkin ini adalah hikmah yang bisa diambilnya. Dia mulai menyadari bahwa pada  akhirnya manusia menyadari bahwa akhir dari semua yang mereka lakoni mestinya adalah perjalanan mencari ridho Allah, perjalanan dalam mendapatkan ridho dan kasih sayang Allah….. Kedengkian, iri, buruk sangka semua adalah sifat-sifat manusia yang biasa ada dalam hati siapapun.  Mona banyak belajar betapa membentuk pribadi yang baik itu tidak mudah. Bagaimana dia harus memerangi emosi-emosi dirinya. Bagaimana dia harus mengendalikan segala letupan-letupan emosi dan nafsu dirinya. Walaupun usianya terus bertambah namun kenyataannya kedewasaan itu bukan sesuatu hal yang mudah untuk dilakukan.
Dari diri Mesi pun Mona bisa belajar mengambil sebuah pelajaran ketika dia mencoba menempatkan dirinya andaikan dia menjadi Mesi. Mesi nampak bahagia memiliki ayah dan ibu yang sungguh sangat menyayanginya namun dibalik kebahagiaan itu selalu ada sesuatu hal yang terasa pincang. Kepincangan itu karena dia tetap tidak bisa menjadi bagian dari keluarga ayahnya seutuhnya. Betapa ada batas pemisah antara dirinya dengan keluarga ayahnya yang lain, sesuatu hal yang  tetap tak bisa ditembusnya meskipun sudah belasan tahun mereka sudah menjadi bagian  dalam sebuah keluarga. Mesi melihat dan dapat merasakan ayahnya sudah berusaha untuk merangkul mereka dalam sebuah pelukan hangat ayah mereka, namun Mona tetap menolak  untuk bersatu. Mona tak ingin mereka menjadi satu keluarga. Mona merasa  ayah adalah mutlak  milik dirinya. Kebaikan dan perhatian Mesi selama ini tak pernah ditanggapi Mona bahkan Mona seakan kesal dengan semua yang dilakukan Mesi. Mendadak air mata Mona mengalir merenungkan semua itu. Betapa berat beban perasaan Mesi selama ini dalam upayanya meraih hatinya. Mesi memiliki keahlian membuat kue. Dia berjualan kue. Mengerjakan dibantu beberapa orang pembantu. Kehidupan prihatin menuntut Mesi bersikap dewasa. Dia tidak banyak menuntut, lebih banyak bersikap menerima apa adanya. Mesi belajar untuk mandiri.
Mesi juga belajar dari kehidupan yang dijalani ibunya,  sebagai isteri kedua. Bukan sesuatu hal yang mudah bagi  Teja menjalani  semua itu.  Meskipun dia sudah menyadari, banyak resiko yang akan ditanggungnya. Sejak awal dia menerima Harisman sebagai suaminya. Kehidupan yang dijalani ibunya telah membuat perasaan Mesi lebih peka dibanding anak-anak lainnya yang memiliki kehidupan berkeluarga yang normal, dalam pengertian, memiliki satu ayah dan satu ibu. Mesi belajar bagaimana ibunya sering menahan perasaan dengan berbagai kecaman yang ditudingkan oleh lingkungannya.  Dari apa yang dilihatnya sejak kecil yang membuat perasaan Mesi nampak leboh sensitif, lebih pela. Mungkin karena kondisi   yang tercipta sejak masa kecilnya itu yang telah membentuk kepribadian Mesi nampak halus dan mudah tersentuh.
--- 0 ---


Akhirnya hari keberangkatan mereka tiba juga. Didalam pesawat Mona duduk berdampingan dengan Mesi. Sejak keberangkatan Mesi sangat perhatian pada Mona dan selalu berusaha membuat Mona merasa nyaman bersamanya. Sikapnya nampak tulus, tidak dibuat-buat, apalagi dipaksakan. Dalam hati Mona mengakui, Mesi memang sangat baik. Dia seorang saudara yang baik. Mesi pun sangat rapi dan teratur. Dari cara berpakaian, makan dan sikapnya sangat rapih dan santun. Kadang Mona merasa terkesan dengan sikap Mesi. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang seringkali bersikap seenaknya dan serampangan.
Selama perjalanan Mesi selalu berusaha menjaga sikap dan ucapannya agar tidak ada yang menyinggung perasaan Mona. Mona dapat merasakan kehati-hatian sikap Mesi kepadanya. Dari sejak keberangkatan mereka dari Sumedang,   Mona melihat betapa damainya hubungan antara  ibunya dan ibu  Teja. Tidak nampak ada  permusuhan, persaingan untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang suaminya, tidak ada kebencian, ataupun sikap ego ketika keduanya bersama-sama.  Yang ada adalah  keharmonisan antara dua wanita yang nampak berusaha saling menjaga sikap, saling menghormati, saling menghargai. Semestinya sejak dulu aku belajar dari mama dan Ibu Teja, pikir Mona. Mengapa aku tidak bisa membuka hatiku pada Mesi walaupun Mesi sudah sering mengetuk pintu hatinya agar mau dibuka, dan tatapan Mesi seolah berkata, ”Bukalah pintu hatimu untukku, Mona.
Perjalanan yang semula diragukan Mona akan  menyenangkan, ternyata senang juga melihat sikap Mesi kepadanya. Mengapa dia tidak mencoba menerima Mesi sebagai bagian dari hidupnya? Mengapa dia tidak belajar mencintai Mesi seperti halnya yang telah dilakukan Mesi bertahun-tahun lamanya bahkan hampir disepanjang hidupnya. Tanpa kenal lelah selalu berusaha merengkuhnya. Dia ingat sejak kecil Mesi selalu mendekatinya, membagi makanan yang dimilikinya, sementara dirinya, jangankan untuk berbagi, menoleh pun dia tidak sudi. Padahal apa yang salah dari Mesi? Gadis itu begitu manis dan lembut. Wajah cantiknya selalu menyiratkan ketulusan dari tatapan matanya, senyumannya, sikapnya dan gerak-geriknya. Gadis itu yang disangkanya telah merebut kasih sayang dan perhatian ayahnya, padahal memang sebenarnya Mesi berhak mendapatkan semua itu. Dia berusaha memadamkan kebanggaan dihati ayahnya karena memiliki Mesi.  Padahal ayah mana yang tidak merasa bangga memiliki seorang putri seperti Mesi. Bahkan Trisna  pun, laki-laki  yang dicintainya, terang-terangan memuji Mesi. Ah, mengapa gadis itu seakan tidak ada cacat dimata orang lain? Mona sadar, Mesi seorang gadis yang pandai membawakan dirinya. Dia selalu memperlihatkan hal-hal positif yang menyenangkan orang lain dari dalam dirinya dan pandai menyembunyikan kekurangannya. Andai aku bisa seperti Mesi, tentu aku pun bisa menjadi seorang gadis yang menyenangkan, pikir Mona.  

--- 0 ---


Selama dalam pesawat Mona tertidur. Entah berapa lama dia tidur. Ketika  membuka matanya dan menoleh keluar jendela, dia melihat warna kecoklatan mendominasi pemandangan dibawahnya. Gurun yang luas dan  bukit-bukit tandus. Pikiran Mona melayang pada cerita-cerita yang pernah dibacanya  tentang peziarah-peziarah di Timur Tengah yang melintasi gurun sambil menuntun unta-unta mereka.  Sebentar lagi pesawat akan segera tiba ditempat tujuan. Ya Allah, aku datang kerumah-Mu, bisiknya dalam hati. Semoga Engkau memberkahi kedatanganku ini.
Akhirnya pesawat mendarat dengan mulus di Bandara King Abdul Aziz yang hampir bersamaan waktunya dengan adzan magrib. Beberapa saat lamanya pesawat berputar-putar diatas landasan. Turun dari pesawat rombongan dibawa dengan bis menuju ke terminal. Cukup lama mereka antri menunggu pemeriksaan paspor dan visa. Setelah selesai pemeriksaan paspor dan visa, dua buah bis telah menunggu rombongan jemaah  dari PT Samudra yang akan membawa rombongan ke Madinah.
 “Alhamdulilah, akhirnya sampai juga kita ketanah suci.” Ucap Mesi lagi  ketika bis telah melaju diatas jalanan kota Jeddah yang mulus.
“Ya, akupun merasa seperti mimpi rasanya. “ sahut Mona.
Mona  melayangkan tatapannya keluar jendela, Mesi melihat kejalanan yang dilalui bis. Pemandangan disepanjang jalan kota Jeddah diwaktu malam kelihatan indah diterangi lampu. Menurut  Ahmad, salah seorang pemandu yang berada dalam bis yang ditumpangi Mona dan Mesi, makam Siti Hawa berada di kota Jeddah ini. Oleh karena makam beliau inilah maka kota ini disebut Jeddah yang dalam  bahasa arab  Jiddah, artinya nenek perempuan.
Mona termangu-mangu menatap keluar jendela. Dia melihat pohon kurma berderet disepanjang jalan, kelompok pepohonan yang dari kejauhan mirip pohon kelapa sawit.
“Itu pasti pohon kurma, ya? Kan pohonnya mirip pohon kelapa sawit.”
“Ya.” Sahut Mesi. “Pemandangnya indah, ya?”
Sambil memperhatikan jalanan, Mona kembali hanyut dalam lamunannya. Selama ini dia tak pernah berpikir akan pergi ke tanah suci diusianya saat ini.  Dia tak dapat membayangkan, bacaan dan doa apa yang akan diucapkannya ditanah suci. Bacaan shalat pun masih sering menimbulkan  keraguan dihatinya, apakah sudah benar doa dan bacaan shalat yang diucapkannya? Begitu pula dengan membaca kita suci Al Qur’an. Waktu dia masuk duduk di sekolah dasar, seminggu dua kali setiap sore ibunya memanggilkan guru ngaji kerumah. Namun dia sering merasa malas bila guru ngaji datang kerumah. Sekarang dia merasa menyesal, andai dulu dia tekun belajar membaca Al Qur’an, barangkali dia sekarang sudah lancar membaca Al Qur’an. Untunglah ibunya bijak. Ibu membelikan kaset-kaset penuntun bacaan Al Qur’an. Dari kaset-kasei itu kemarin Mona  mempelajari kembali membaca kitab suci. Ternyata ketika mempelajari itu dilakukan dengan senang hati, pelajaran membaca Al Qur’an yang semula terasa berat, jadi terasa menyenangkan. Mona mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Dan berjanji akan menjadikan membaca Al Qur’an sebagai kebiasannya setiap hari. Aku bangga menjadi seorang muslim, pikir Mona.


--- 0---



Hari telah larut malam ketika rombongan jemaah tiba di kota Madinah. Kota yang termasuk haramain,  dua kota suci disamping kota Mekkah. Ketika bis melintas mesjid Nabawi, mata Mona terpaku menatap mesjid yang nampak gemerlap diterangi ribuan cahaya lampu yang berkilauan. Hotel Bapaqih Palace tempat mereka menginap selama  berada di Madinah, berada diseberang jalan mesjid Nabawi. Rifa dan Ninuk, karyawati  PT. Samudera  segera membagi-bagikan kunci kamar hotel kepada anggota rombongan. Rifa dan Ninuk  selalu paling sibuk mengurus jemaah sejak keberangkatan dari Bandung hingga kedatangan mereka ke tanah suci ini. Mona dan Mesi mendapat kamar dilantai tiga. Mirta dan Teja sekamar dilantai dua. Sementara Harisman  sekamar dengan  Ahmad, pemandu rombongan di kamar lantai empat.
“Sekarang kita istirahat dulu. Nanti  shubuh aku bangunkan. Kita datang lebih awal agar bisa shalat tahajud di mesjid Nabawi.”  Mesi  meletakan tasnya disamping tempat ditidur.
“Aku capek sekali. Habis mandi aku mau langsung tidur.” Kata Mona.
“Sama aku juga capek.” Ujar Mesi. Dia mengeluarkan barang-barangnya dari dalam tasnya.  “Sebaiknya kita mandi dulu. Kau mau mandi duluan?”
“Kamu saja duluan, aku mau tidur-tiduran dulu sebentar. Uh, penat rasanya.” Ucap Mona. Dia membaringkan tubuhnya  diatas tempat tidur. Tangannya meraba selimut yang berbulu lembut dan halus  yang membuatnya ingin tidur.
Mesi mengambil bajunya dari dalam koper. Sebuah baju model terusan  panjang berwarna ungu muda. Cukup lama dia mandi. Keluar  dari kamar mandi wajahnya nampak segar.
“Enak benar  berendam di air hangat.  Tubuhku jadi segar lagi.” Katanya sambil membuka bungkus rambutnya. Rambutnya yang panjang hitam tergerai.
“Rambutmu bagus sekali.” Puji Mona. “Sayang rambut seindah itu ditutup kerudung terus sehingga orang tidak bisa melihat keindahan rambutmu. Kau nampak lebih cantik dengan rambut terurai begitu.”
Mesi tersenyum. “Aku malah merasa lebih cantik dengan mengenakan jilbab.” Ujarnya. “Awal mau mengenakan jilbab aku juga sering memperhatikan rambutku ini. Memang rasanya sayang ditutup. Namun setelah mengenakan jilbab aku malah merasa lebih nyaman menutup rambutku. Soal keindahan rambutku, biarlah orang merasa penasaran dengan keindahan rambutku yang tersembunyi dibalik jilbabku.”
Mona tersenyum mendengar ucapan Mesi.

--- 0 ---

Langit masih gelap.  Mona dan Mesi keluar dari dalam hotel. Mereka berjalan kaki menuju masjid Nabawi yang berada tidak jauh dari hotel. Udara kota Madinah di bulan desember terasa dingin. Angin bertiup cukup kencang.  Mona dan Mesi sudah mengenakan mukena. Dibalik mukena mereka masih mengenakan sweater untuk menahan rasa dingin yang cukup menggigit. Mereka juga mengenakan kaus kaki tebal.  Orang-orang   mulai berdatangan menuju mesjid. Menurut  Ahmad, meskipun bukan musim haji,  Madinah dan Mekkah tetap banyak dikunjungi kaum muslimin dari berbagai negara untuk mengerjakan  umroh, meskipun memang tidak sepadat ketika musim haji besar.
Keduanya memasuki mesjid Nabawi. Mona mengagumi kemegahan meshid itu. Mereka  mengambil tempat dekat tiang, duduk pada karpet merah yanga menutupi lantai masjid. Waktu untuk melaksanakan shalat shubuh masih cukup lama sehingga masih banyak waktu untuk melaksanakan shalat tahajud. Mesi langsung mendirikan shalt tahajud. Mona mengikuti Mesi   melaksanakan shalat tahajud. Mona tahu bahwa mengerjakan shalat malam adalag sunat. Namun hingga usianya sekarang, berapa kali dia pernah mengerjakan shalat malam. Banyak waktunya yang disia-siakannya begitu saja. Semua gara-gara satu penyakit, pikir Mona. Penyakit malas. Malas bangun malam. Malas berwudhu. Malas mengingat Allah. Aku ingin berubah. Ya Allah, bantulah aku agar aku bisa menjadi seorang muslim yang baik.
 Setelah selesai  keduanya duduk berdikir, sambil menunggu shalat shubuh tiba. Orang-orang semakin banyak yang memasuki masjid menjelang berkumandangnya adzan shubuh. Orang-orang seperti tidak ingin kehilangan kesempatan melaksanakan shalat shubuh berjamaah dimesjid ini, pikir Mona, yang konsentrasinya buyar memperhatikan orang-orang yang terus berdatangan memasuki masjid dan mulai memadati mesjid.  Orang-orang sepertinya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk melaksanakan ibadah di mesjid, pikir Mona yang konsentrasinya buyar memperhatikan kaum muslimin yang terus berdatanagn memasuki mesjid dan semakin memadati  mesjid. Bahkan tidak sedikit kaum ibu yang menuntun anaknya yang masih kecil dan menggendong bayi mereka. Mereka semua seolah haus dan dahaga untuk melaksanakan  ibadah kepada Allah.  Mereka seolah takut kehilangan satu kesempatan  shalat berjamaan di mesjid ini. Mata Mona tidak berhenti memperhatikan orang-orang disekitarnya. Sementara aku, pikir Mona, separuh meringis, betapa sulitnya aku mendirikan shalat,  begitu banyak waktuku  yang terbuang percuma tanpa kusadari bahwa waktu adalah sesuatu yang sangatberharga yang diberikan Allah kepada umat-Nya. Kenapa aku tidak mencoba memulai dari sekarang untuk berubah? Pikir Mona. Aku masih memiliki banyak  waktu dan kesempatan untuk berubah, memperbaiki diri dan memanfaatkan setiap  waktu yang kumiliki untuk melakukan hal-hal yang berguna. 
Setelah selesai melaksanakan shalat shubuh  Mona dan Mesi keluar dari mesjid.
“Kita kembali dulu ke hotel untuk makan pagi, ya.” kata Mesi.
Hari masih pagi namun Madinah mulai ramai. Pedagang sudah menggelar dagangannya. Wanita-wanita berkulit hitam dengan jubah hitam dan cadar hitam  yang menutupi bagian hidung hingga leher sibuk menjajakan dagangannya kepada jemaah yang baru pulang dari mesjid. Didepan hotel pun banyak pedagang yang mengelar dagangannya. Suasana  ramai. Matahari bersinar cerah namun udara  Madinah terasa sejuk dan segar.
Ketika mereka masuk kedalam restoran, yang terletak dilantai pertama hotel, sudah banyak anggota jemaah dari biro perjalanan  PT. Samudera yang tengah makan pagi. Sebagian lagi masih parasmanan mengambil makanan. Makanan  yang disajikan adalah masakan indonesia. Menurut Rifa, makanan untuk mereka selama di Madinan dan Mekkah dipesan dari katering milik orang Indonesia yang telah lama bermukim di Madinah dan memiliki usaha menyediakan jasa katering bagi biro-biro perjalanan umroh dan haji yang selalu ramai sepanjang tahun.
“Kita sudah diberi banyak kenikmatan oleh Allah dan nikmat itu akan semakin bertambah pada saat kita tengah menghadap kepada-Nya, mensyukuri apa yang telah  diberikan-Nya kepada kita dan memuji nama-Nya dengan hati tulus dan ikhlas.” kata  Mesi setelah mereka duduk berhadapan dimeja makan. Di meja lain, ayah dan ibu-ibu mereka pun sedang makan. Pagi.
 “Kau pasti rajin berdoa, ya?”  ujar  Mona.
Mesi tersenyum. “Berdoa itu laksana samudera yang bisa mencapai setiap sudut pantai kebutuhan manusia. Dengan berdoa sudah mencakup apapun yang kita inginkan, baik yang kita ucapkan maupun yang kita pendam dalam hati.”
Mesi bangkit dari tempat  duduknya dan mengambil buah-buahan. Dia kembali dengan dua piring kecil masing-masing berisi anggur dan buah pir.
“Anggur ini manis sekali.” Kata Mesi sambil menyodorkan salah satu piring kehadapan Mona.
Mona mengambil sebutir anggur. Benar, anggur ini manis sekali namun yang terasa lebih manis lagi adalah sikap Mesi kepadanya. Ah Mes, kenapa baru sekarang kusadari manisnya memiliki saudara sepertimu? Mengapa selama ini aku sulit membuka pintu hatiku untukmu, Mes?  Padahal engkau  bisa menjadi seorang saudara  yang baik bagiku  sekaligus  sahabatku. Mona teringat dengan hari-harinya selama ini yang sering merasa kesepian meskipun dia memiliki beberapa sahabat yang baik dan perhatian. Namun kehadiran sahabat tetap tidak bisa mengisi ruang kosong dalam hatinya dengan kehadiran seseorang  yang memiliki hubungan batin dengan dirinya. Andaikan sejak dulu dia menoleh kepada Mesi, merengkuhnya  dalam sebuah ikatan persaudaraan mungkin Mesi tidak saja sebagai saudara namun juga bisa menjadi teman sekaligus sahabatnya yang baik, yang bisa menjadi tempat berbagi dikala suka dan duka.
Setelah selesai makan pagi pemandu mengumpulkan anggota jemaah rombongan untuk berangkat bersama-sama berziarah ke makam Rasululloh saw, sahabat Abu Bakar Ashhiddiq dan Umar Ibnu Khathab ra yang terletak dimesjid Nabawi. Didepan makan Rasululloh saw yang dibatasi dinding untuk jemaah wanita, dipenuhi peziarah. Mereka melaksanakan shalat sunat dua rakaat disana. Setelah selesai berziarah rombongan kembali ke hotel.
Setelah selesai makan pagi, Ahmad mengumpulkan rombongan jemaah.
“Kita sekarang berangkat bersama-sama berziarah ke makam Rassululloh saw. Juga berziarah ke makam sahabat nabi Abu Bakar Ashhiddiq  dan Umar bin Khattab ra yang terletak di mesjid Nabawi.”
Didepan makam Rasululloh saw yang dibatasi dinding untuk jemaah wanita, tempat itu dipenuhi peziarah. Anggota jemaah melaksanakan shalat sunat dua rakaat g disana. Setelah selesai berziarah rombongan jemaah pulang kembali ke hotel.
Mesi mengajak Mona jalan-jalan ke pasar yang letaknya tidak jauh dari hotel. Keduanya bergandengan tangan menelusuri jalanan menuju pasar, keluar masuk toko melihat barang-barang yang dijual disana.
“Mari teteh, ceuceu, mangga kalebet. Mangga ditingalan heula barang-barangnya, acuk, kurudung, gamis, seueur rupina, seueur modelna, sadayana sarae, lalucu. Mangga kalebet heula.” Seorang pedagang tersenyum ramah pada Mesi dan Mona ketika keduany baru akan melangkah memasuki sebuah toko pakaian.
“Eh, dia bisa bahasa sunda.” kata  Mona. Jauh-jauh pergi ketanah Arab ternyata ketemu juga dengan orang yang bisa bicara bahasa sunda.
“Banyak  orang sunda yang berdagang disini, ada yang  dari Garut, dari Tasikmalaya dan kota-kota lainnya ditanah air.” Kata pedagang itu sambil tersenyum lebar. “Saya sendiri berasal dari Garut. Sudah lima tahun saya bermukim di Madinah, berdagang pakaian disini.”
“Wah, boleh menawar, dong! Kan masih saudara sadulur. Sama-sama dari Pasundan. Saya dari Sumedang.” Kata Mesi  riang.
“Boleh.” Kata pedagang itu ramah. “Dilihat-lihat dulu kedalam, ceuceu, teteh. Masih banyak barang-barang yang bagus didalam. Mangga. Mangga.”
Mona dan Mesi melihat-lihat baju-baju panjang dengan segala macam model. Mesi memilih baju gamis hitam dengan sulaman dibagian depan. Benar saja, pedagang itu tidak terlalu rewel  ketika Mesi menawar baju gamis yang disukainya itu.
“Mes, aku jadi ingat Osi, Linda dan Indri.” Kata Mona. “Mereka pasti akan menagih oleh-oleh nanti. Antar aku mencari oleh-oleh buat mereka, ya.”
“Oke.” Sahut Mesi. “Banyak barang yang bisa kau jadikan oleh-oleh untuk mereka nanti. Tapi apa tidak sebaiknya kau tidak belanja  yang banyak-banyak dulu  untuk oleh-oleh. Kita masih  beberapa  hari lagi berada di Madinah. Lalu selama seminggu kita akan berada di Mekkah. Kalau kau berbelanja sekarang, nanti kau akan berat sendiri harus  membawa barang-barangmu selama perjalanan. Bagaimana kalau nanti saja di Mekkah, disan banyak barang yang bisa kau pilih untuk kau jadikan oleh-oleh untuk ketiga sahabatmu itu.”
 “Oke.” Ucap Mona, setuju dengan saran Mesi.  “Kita jalan-jalan saja dulu, ya. Aku malas mau kembali ke hotel sekarang. Mau ngapain kita disana, paling tidur-tiduran.”
“Ya, kita jalan-jalan sana.”
Keduanya bergandengan tangan, memasuki satu toko ke toko yang lain. Walaupun tidak berbelanja namun asyik juga cuci mata melihat beragam barang yang dijual disetiap toko yang mereka masuki.  Barang apapun yang mereka cari, tersedia dihampir semua toko. Mona tertarik melihat aneka macam karpet dengan aneka warna dan motif. Nanti aku beli satu untuk dikamarku, pikir Mona.

--- 0 ---



Dihari kedua di kota Madinah setelah sarapan pagi  mereka berziarah kebeberapa tempat bersejarah yang ada di kota Madinah. Pertama mereka dibawa ke medan Uhud.
“Uhud adalah nama gunung terbesar di Madinah. Letaknya lima kilometer dari Madinah. Dilembah gunung ini pernah terjadi peperangan dahsyat antara kaum muslimin melawan kaum musyrikin Mekah.” Nizar menjelaskan.
Dari medan Uhud rombongan dibawa  ke Khondak, mesjid Quba, mesjid Qiblatain dan mesjid Khomsah dan melaksanakan shalat sunat di mesjid-mesjid itu. Setiap kali sedang menuju suatu tempat, Ahmad  yang telah sepuluh kali datang ke tanah suci ini, menceritakan sejarah tempat yang akan mereka kunjungi. Setelah selesai berziarah rombongan kembali lagi ke hotel. Tapi Mona  dan Mesi hanya sebentar masuk kekamar, mereka lalu kembali lagi jalan-halan keliling kota sambil menunggu waktu shalat tiba.
Keduanya sedang makan dirumah makan  yang terletak dilantai pertama hotel. Menu makanan yang disajikan selalu bervariasi, namun masih tetap menu masakan Indonesia. Mesi senang ketika melihat sayur lodeh diantara hidangan yang disajikan.
“Mon, kamu pernah merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta?” Tanya Mesi.
“Tentu saja pernah.” Sahut Mona.
“Apa yang kau rasakan bila kau tengah jatuh cinta?” Tanya Mesi lagi.
Mona menatap Mesi.  “Apa maksudmu bertanya soal iti?”
“Mon, bila kita sedang jatuh cinta, kita pasti ingin selalu bertemu dengan orang yang kita cintai, kan?” Mesi tersenyum menatap Mona.
“Iya dong, kan namanya juga sedang jatuh cinta.” Mona mengangguk sambil tersenyum walaupun dia belum faham kemana arah pembicaraan Mesi.
“Lalu kalau sudah sering bertemu, kita ingin selalu berdekatan dengan orang yang kita cintai, kan?”
Mona mengangguk.
“Nah, begitu pula hubungan kita dengan Allah. Kecintaan kita kepada Allah tidak akan tumbuh bila kita belum mengenal-Nya. Seandainya kira sering bertemu dengan Allah, lama-lama kita akan jatuh cinta kepada-Nya. Setelah kita mencintai Allah, kita pasti ingin sering bertemu dengan-Nya dan dekat dengan-Nya. Mon, bila kita telah mencintai sang Maha Pencipya, kita akan dapat melakukan segala perintah-Nya demi kepatuhan Kepada-Nya. Kita tidak akan merasakan  sebagai beban atau sebagai sebuah keterpaksaan, melainkan suatu kenikmatan yang indah. Sebab bagi orang yang sedang jatuh cinta mengerjakan perintah kekasihnya tidak  akan terasa berat sedikitpun.”
Mesi  sabar dan santun. Pembawaannya tenang. Suaranya lemah lembut. Sikapnya dewasa. Lama lama  Mona merasa semakin simpatik pada adik tirinya ini.
Tanah suci membuat Mona  tak henti-hentinya  memanjatkan puji dan syukur kepada Allah yang telah memberinya nikmat bisa datang ketanah suci ini.  Dia juga mengucapkan syukur  kehadlirat Illah Rabbi yang telah memberikan rejeki yang cukup kepada ayahnya sehingga ayahnya mampu membawa anak istrinya ke tanah suci ini. Mona merasa terharu.  Selama ini ayahnya sudah bekerja keras untuk menghidupi kedua keluarganya. Sekarang sebagian rejeki itu dipergunakan untuk membawa kedua keluarganya melaksanakan ibadah umroh.  Ayahnya mencintai kedua keluarganya. Tidak ada yang dibedakan. Namun selama ini Mona seakan selalu ingin membenci ayahnya.  Airmata Mona menitik perlahan.  Kenapa aku selama ini selalu berprasangka buruk kepada ayah? Pikir Mona. Padahal ayah adalah seorang ayah yang baik, seorang ayah yang mencintai anak, isteri dan keluarganya.


--- 0 ---


Dua hari mereka berada di Madinah. Pada hari ketiga setelah selesai shalat jum’at di mesjid Nabawi rombongan jemaah berangkat meninggalkan  Madinah menuju ke  Mekkah. Di perjalanan mereka mengambil miqot umroh di Bihr Ali dengan berihrom niat umroh. Labbaika Allohima ‘Umratan. Aku sambut panggilan-Mu ya Allah untuk berumroh.
Hari sudah malam ketika rombongan tiba di Mekkah. Mereka singgah sebentar di hotel White Flower Hotel yang letaknya tidak jauh dari Madjidil Harram untuk menyimpan bagasi dikamar masing-masing. Kemudian segera berangkat menuju masjidil Harram untuk mengerjakan ibadah umroh.
Mona merasakan perasaannya bergetar ketika kakinya melangkah memasuki masijidil Harram. Matanya terpaku menatap Ka’bah yang nampak begitu kokoh dan agung. Inilah Baitullah itu, yang selama ini hanya bisa kulihat dalam gambar, pikir Mona takjub. Dia menatap Ka’bah lekat. Ada perasaan haru, bahagia dan entah perasaan apalagi yang bergalau menjadi satu dalam hatinya. Tak percaya rasanya dia sekarang biasa melihat langsung Ka’bah yang dirindukan dan dikunjungi kaum muslimin dan muslimat dari seluruh pelosok dunia. Mona menahan debaran dihatinya. Mendadak dia merasa dirinya begitu kecil tiada arti. Ya Allah, aku datang kerumahMu. Aku  memenuhi panggilan-Mu.”
“Kita akan segera memulai thawaf, mengelilingi Ka’bah tujuh putaran.” Kata Mesi seperti biasanya memberi lagi penjelasan pada Mona setelah mendengar penjelasan dari pemandu.
Mona mengangguk. Dia sudah terbiasa mendengarkan Mesi menerangkan kembali apa  yang didengarnya dari pemandu. Mesi mirip seorang guru pada anak didiknya saja kepadanya, tapi Mona mulai menyukai cara Mesi memperlakukan dirinya.
Mona melangkahkan kakinya disamping Mesi menuju kearah Ka’bah. Semakin lama semakin disadarinya,  ada kenikmatan dalam hatinya mengerjakan ibadah kepada Allah. Alangkah nikmatnya berada di rumah-Mu ini Ya Allah, berkumpul bersama umat muslim sedunia memenuhi panggilan-Mu, mengerjakan thawaf, rukuk dan bersujud kepada-Mu, ucap Mona dalam hati.
Tempat mulai thawaf adalah  garis lurus berwarna coklat dimuka Hajar Aswad. Ketika akan memulai thawaf, Mona mengikuti Mesi mengangkat tangan kearah Hajar Aswad dan mengecupnya sambil mengucapkan ‘Bismillahi wallohu akbar.” Dengan nama Allah dan Allah maha besar. Setelah itu mereka mulai mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran. Mona dan Mesi bergandengan tangan sementara tangan  yang lain memegang  buku panduan berdoa.
Setelah selesai melaksanakan thawaf mereka lalu berangkat menuju  bukit Shafa untuk mengerjakan sa’i, berjalan tujuh kali diantara bukit Shafa dan bukit Marwah. Perjalanan dimulai dari bukit Shafa dan berakhir di bukit Marwah. Seperti saat melaksanakan thawaf tadi, pada saat mengerjakan sa’i pun Mona dan Mesi mengerjakannya bersama-sama.
“Mes, kita mencoba mengecup Hajar Aswad, yuk.” Ajak Mona setelah mereka selesai melaksanakan tahallul, memotong tiga lembar rambut. Ayah yang memotong rambut mereka. Setelah tahallul, selesailah pelaksanaan ibadah umroh mereka.
“Ayo.” Sahut Mesi. Bergandengan tangan mereka menuju kearah  Kabah. Jumlah orang-orang yang tengah thawaf sudah mulai berkurang. Mudah-mudahan mereka bisa mengecup batu hitam dari surga itu. Namun meskipun jumlah jemaah yang melaksanakan umroh tidak sebanyak di musim haji besar, Mona dan Mesi tetap saja harus berdesak-desakan dengan jemaah lain agar bisa mencapai Hajar Aswad.
Entah berapa lama Mona dan Mesi berada terhimpit  ditengah-tengah jemaah lain. Beberapal kali mereka hampir mencapai Hajar Aswad dan tiga kali pula tubuh mereka terdesak kebelakang menjauhi Hajar Aswad. Mesi yang berada dibelakang Mona, terus mendorong tubuh Mona agar mendekati Hajar Aswad. Mona sudah mulai pening. Dia tidak tahan berada dalam desakan orang-orang, tubuhnya terhimpit tubuh orang-orang berwajah Arab yang rata-rata berpostur tubuh tinggi besar. Nafasnya terasa sesak. Namun Mona merasa tubuh Mesi terus mendorongnya sedikit demi sedikit semakin mendekati hajar aswad.
Tiba-tiba saja tangan Mona berhasil menyentuh batu putih yang mengelilingi Hajar Aswad. Mona merasakan Mesi mendorong tubuhnya semakin kuat dan tiba-tiba saja seorang wanita Arab mengenakan pakaian serba  hitam mendorong kepala Mona kearah Hajar Aswad. Mona merasakan kepalanya terdorong  dengan kuat. Bibirnya mengecup Hajar Aswad. Setengah sadar Mona melihat Mesi pun berhasil mengecup batu itu. Sesaat kemudian Mesi menarik tangan Mona, keluar dari desakan orang-orang yang masih berusaha mencapai batu hitam itu.
“Kita sudah berhasil mengecup Hajar Aswad, Mon. Padahal untuk bisa mengecup batu hitam itu sangat sulit sekali.” Kata Mesi terengah-engah ketika mereka berdua telah kelaur dari himpitan orang-orang.
“Aku merasa kepalaku tiba-tiba ada yang mendorong pada Hajar Aswad. Tiba-tiba saja aku sudah mengecup Hajar Aswad.” Ucap Mona.  
“Kita beruntung bisa mengecup Hajar Aswad. Penasaran rasanya kalau datang ke tanah suci tidak mengecup Hajar Aswad.” Kata Mesi lagi.
Keduanya berjalan menuju tempat air zam-zam dan minum air zam-zam. Mereka berdua terduduk beberapa saat sambil memandang kearah Kabah. Masih banyak jemaah yang tengah melaksanakan thawaf.
“Kita shalat sunat barengan di dekat Hijr Ismail, yuk.” Ajak Mesi beberapa saat kemudian setelah merasa cukup beristirahat. Mona mengangguk,  mengikuti Mesi.
Mona dan Mesi  berjalan menuju Hijr Ismail didekat Kabah dan melaksanakan shalat sunat. Mereka  berdiri didekat Hijr Ismail.
Setelah selesai shalat sunah Mona dan Mesi berjalan keluar dari masjidil Harram. Langit begitu kelam dan bersih. Udara malam terasa sejuk. Malam itu Mona dan Mesi berjalan pulang menuju hotel. Perasaan mereka terasa damai dan sejuk.
Ketika tiba di hotel mereka langsung masuk kedalam restoran untuk makan malam. Hanya beberapa  orang angota jemaah yang sudah kembali ke hotel. Bahkan ayah dan ibu mereka belum kelihatan. Mona dan Mesi makan dengan lahap. Keduanya merasa  lelah dan lapar.


--- 0 ---


Masjidil Harram penuh dengan jemaah yang akan menunaikan shalat dhuhur. Mona melangkah sendirian menuju Masjidil Harram. Mesi sudah berangkat lebih dulu. Mona yang memintanya pergi duluan karena dia baru selesai mandi. Kasihan bila Mesi harus menunggunya lama.
Didalam mesjid, Mona mencari tempat yang masih kosong. Dia duduk menunggu shalat. Tanpa sengaja dia menoleh kesebelah kiri,  dia melihat Mesi, duduk tidak jauh darinya sedang khusyu membaca Al-Qur’an. Wajah gadis itu begitu teduh. Belum pernah Mona menatap Mesi selama ini. Wajah gadis itu yang putih bersih kelihatan lembut. Matanya dengan bulu-bulu mata yang hitam terpaku pada kitab suci yang terbuka dipangkuannya. Mona merasakan desiran aneh dalam dadanya. Gadis yang duduk tidak jauh darinya adalah adiknya. Ya, meskipun usianya hanya berbeda dua bulan dengannya namun Mesi tetap adiknya, baik dilihat dari usia maupun dari status ibu-ibu mereka sebagai istri-istri ayah mereka. Entah karena merasa ada yang sedang memperhatikannya, tiba-tiba Mesi mengangkat wajahnya, menoleh dan beradu pandang dengan Mona.
”Duduk disini, Mon.” Mesi melambaikan tangannya. ”Disini masih kosong.”
Mona pindah  kesamping Mesi. “Apa yang sedang kau baca?” tanya Mona. 
“Aku sedang membaca surat Al Balad.” Sahut Mesi. “Hampir tiap hari aku selalu berusaha meluangkan waktu agar bisa membaca surat Al Balad.”
“Kau pintar membaca Qur’an. Suaramu merdu, pasti indah sekali bila kau sedang melantunkan ayat-ayat suci dengan suara keras.”
Mesi tersenyum. “Aku masih belajar membaca Al Qur’an, Mona. Sama sepertimu. Aku belajar setiap hari sehingga lama-lama aku mulai lancar membaca Al Qur’an.”
Mesi memperbaiki mukenanya. “Kesempatan kita berada di tanah suci ini sebaiknya kita pergunakan dengan sebaik-baiknya. Kita beruntung, Mona, diusia kita yang relatif masih muda kita sudah diberi kesempatan oleh Allah untuk mengunjungi rumah-Nya. Pergunakan waktu dengan sebaik-baiknya, semata-mata untuk mengingat-Nya.”
Mona hanya mengangguk. Kemarin ketika baru datang ke Mekah, dia langsung pergi ketoko-toko, membeli oleh-oleh untuk saudara-saudara dan teman-temannya. Dia bahkan cepat-cepat pergi setelah usai shalat sementara ibunya masih berdiam di mesjid.
“Kalau kau merasa menderita dengan permaduan ini, jangan kau mengira bahwa aku lebih bahagia dari dirimu, Mona.” Ujar Mesi. Mereka baru pulang melaksanakan shalat dhuhur. Keduanya berjalan santai menuju hotel sambil menikmati keramaian suasana Mekkah.
“Aku sebagai anak dari seorang istri muda, sering harus menahan perasaan dengan status ibuku sebagai istri muda ayah. Orang kan tidak tahu latar belakang perkawinan ayah dan ibu. Yang mereka tahu hanyalah ibuku yang berstatus istri muda. Masyarakat kadang tidak bijaksana dalam menilai status perkawinan seseorang. Terlepas apakah benar tidak ibuku merebut ayah dari ibumu, namun tetap saja orang menilai ibuku sebagai tukang merebut suami orang. Hatiku sering sakit dengan kenyataan ini. Namun aku selalu menyadarkan diriku bahwa memang kehidupan seperti ini yang harus kujalani. Aku tetap harus bersyukur bahwa aku masih memiliki seorang ayah yang sangat mencintai dan menyayangiku. Aku tak pernah menuntut lebih pada ayah karena aku cukup sadar dengan posisi ibuku yang hanya seorang istri muda. Namun ayah tetaplah seorang ayah. Beliau tetap mengisi jiwaku dengan kehadiran dan perhatiannya. Aku memahami bila kau merasa tersaingi olehku, tapi pada saat yang sama ayah benar-benar bijaksana, bagaimana membagi kasih sayang antara kepadamu dan kepadaku yang sama-sama darah dagingnya.”
Mona mengangguk. Apa yang diucapkan Mesi semakin membuatnya sadar,  dalam sebuah permaduan, tidak ada posisi yang lebih menguntungkan dan lebih menyenangkan. Dua keluarga tetap memiliki beban masing-masing. Selama ini dia selalu merasa hidup Mesi lebih menyenangkan. Namun andaikan posisi itu ditukar, dia menjadi Mesi, barangkali dia akan menyadari bahwa menjadi Mesi kehidupan yang ditanggungnya lebih sulit dari pada menempati posisi menjadi dirinya.  
--- 0 ---
Mereka berada di Mekkah selama enam hari. Selama berada di Mekkah selain memanfaatkan waktu untuk beribadah di Masjidil Harram, mereka juga berziarah ke Jamarat, Padang Arafah, Jabal Rohmah, Masjid Namiroh Mudzdalifah, Mina, Jabal Tsaur dan beberapa tempat bersejarah lainnya di kota Mekkah. Mona  melangkah menuju masjid akan melaksanakan thawaf wadha. Dia melihat seseorang sedang memperhatikannya. Bono tersenyum menatapnya. Mona membalas senyumannya.
Bono mendekatinya. “Mon, kau kamu kelihatan lain sekarang.”
“Apanya yang lain?”
“Kamu kelihatan lebih cantik dan anggun dengan pakaian muslim. Sungguh. Aku serius.”
“Terima kasih.” Kata  Mona.
Bono tersenyum. “Pulang ke tanah air nanti, kau jangan membuka lagi kerudungmu itu. Teruskan dipakai.”
Mona hanya tersenyum. “Ya, aku akan mencobanya.” ujarnya pelan.
Di hari terakhir di Mekkah mereka melaksanakan thawaf wada. Selesai mengerjakan thawaf wada, ditempat yang lurus kearah pintu multazam, Mona dan Mesi berdoa dengan khusyu.
Usai mengerjakan thawaf wadha, rombongan bersiap-siap akan berangkat menuju Jeddah. Sebagian rombongan tinggal di hotel, berkemas-kemas dengan barang bawaan mereka. Sebagian anggota rombongan  yang lain berkeliling di tempat perbelanjaan membeli oleh-oleh untuk sanak saudara ditanah air. Dari Jeddah rombongan akan meneruskan perjalanan menuju Jordania.
Di Jeddah mereka hanya beristirahat sebentar saja sambil menunggu waktu keberangkatan pesawat yang akan membawa mereka ke Jordania. Sore itu rombongan dibawa jalan-jalan melihat laut merah. Laut merah yang  tercatat dalam sejarah Islam. Mona terkecoh. Dia mengira yang disebut dengan laut merah adalah  air laut itu berwarna merah sehingga dinamai laut merah. Ternyata seperti air laut biasa. Asin. Bahkan Mona sempat menjilat tangannya yang dicelupkan kedalam air laut. Setelah puas menikmati keindahan laut merah, rombongan dibawa berkunjung ke  Ballad, sebuah  pusat perbelanjaan yang megah di kota Jeddah.
Jadwal keberangkatan pesawat ke Jordania sekitar pukul sebelas malam. Dengan pesawat Royal Jordanian rombongan terbang menuju Jordania. Untuk kesekian kalinya Mona menikmati perjalanan dengan menumpang pesawat.
Setelah hampir dua jam terbang dari Jedah akhirnya pesawat Royal Jordanian mendarat di bandara Queen Alia Jordan,. Nma bandara itu  diambil dari nama  istri  Raja Jordanian yaitu  Raja Husein. Lokasi Jordania berbatasan dengan Saudi Arabia, Iraq, Syria dan Lebanon.
Kota Amman menyambut kedatangan mereka dengan hujan gerimis dan udara dingin. Dari Queen Alia Airport mereka dibawa ke Middle East Hotel dengan bis. Di hotel itu mereka hanya singgah sebentar untuk menyimpan bagasi dan air zam-zam yang dibawa dari Mekkah. Mereka hanya membawa beberapa potong pakaian saja. Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju Palestina yang berbatasan dengan Jordanian.
Disebelah kiri dan sebelah kanan jalan  sepanjang jalan dari kota Amman menuju ke perbatasan Palestina pemandangan didominasi oleh pertanian. Lalu lintas di kota ini tidak begitu ramai. Mobil-mobil lain yang berpapasan dengan bus yang mereka tumpangi kira-kira hanya sepuluh menit sekali. Udara  terasa segar. 
“Bagus, ya pemandangannya.” Mesi  yang  duduk  dekat jendela tak puas-puasnya memandang keluar jendela yang buram oleh udara yang lembab dan dingin.   Perkebunan anggur di kiri  kanan jalan merupakan pemandangan yang indah sekali. Pemandangan perkebunan anggur  kemudian  berganti dengan pemandangan padang rumput yang tak kalah menawannya.  Mona sangat menikmati setiap pemandangan yang dilihatnya.
Ketika hampir mendekati jembatan sungai Jordan, Mona melihat parit-parit dan bukit-bukit   bekas tempat pertahanan ketika dulu terjadi perang Teluk.
Nizar, seorang wartawan yang pernah meliput perang Teluk bercerita. Pertama kali menginjak tanah Palestina ketika dirinya sebagai wartawan melakukan tugas jurnalistik meliput krisis teluk. Keadaan saat itu cukup gawat. Ancaman Iraq akan melepaskan rudal ke Israel  dan membebaskan Al Quds dari genggaman Yahudi, membuat tentara dan rakyat Israel amat siaga. Perbatasan-perbatasan dijaga ketat. Terutama di sepanjang sungai Jordan, karena Jordania dianggap salah satu negara pendukung Iraq. Bukit-bukit disekitar jembatan King, dibentuk sedemikian rupa, menjadi parit-parit pertahanan yang sulit ditembus lawan serta dilengkap berbagai peralatan perang modern, mulai tank, hingga senjata penangkis serangan udara.
“Memasuki kawasan pendudukan Israel memerlukan perjuangan tersendiri.” Kenang  Nizar. “Dulu di pos imigrasi Jordania tidak ada kesulitan apa-apa. Sehelai kertas berisi data-data pribadi dan visa reentri ke Jordan, diperiksa sepintas, lalu segera di cap. Sebuah mini bus dipanggil dan diperintahkan mengantarkan kami ke perbatasam. Dugaan akan mengalami hambatan  dan kesulitan, ternyata meleset. Pemeriksaan berlangsung cepat. Pemberian bisa masuk ditempat juga,  tidak bertele-tele. Kami hanya disuruh  menghabiskan atau membuang sisa makanan dan  minuman yang dibawa dari Amman. Serdadu Israel penjaga perbatasan nampak ramah tamah.“
Nizar melanjutkan kembali ceritanya. Begitu mudahnya dirinya bersama dua wartawan lain keluyuran di Jerusalem Timur dan Yerusalem Barat, ke Hebron, Betlehem, bahkan Tel Aviv, Haifa, kemudian Nazareth dan bermalam di Tiberias ditepi sungai Galilea. Menengok dataran tinggi Golan, sebelum masuk lagi ke Jericho, untuk diantar keperbatasan sungai Jordan.
Bagi pemerintah Israel prinsip ramah kepada orang asing, terutama wisatawan, sangat dipegang teguh. Sekalipun dalam suasana menjelang perang.
“Kami yang oleh serdadu-serdadu Israel selalu dianggap orang Thailand tak mendapat kesulitan apa-apa. Selama berada didaerah pendudukan  yang ganas itu.“  cerita Nizar  lagi. “Termasuk ketika terlibat intifada didekat  pasar tua Yerusalem. Banyak anak-anak Palestina yang ditembak dan ditangkap dan banyak pula pemuda pemudi Yahudi yang  ikut terseret oleh serdadu dan polisi Israel. Kami bertiga dibiarkan  saja. Ditanyapun tidak. Padahal posisi kami sangat jelas berada di kelompok anak-anak Palestina yang bersemangat melemparkan batu kepada orang-orang Yahudi.”
Akhirnya bus tiba di jembatan sungai Jordan yang berada  di perbatasan negara Jordanian dengan Palestina. Penjagaan di perbatasan sungai Jordan ini ketat sekali karena daerah itu dikuasai oleh Israel. Beberapa buah bis yang berisi orang-orang Palestina antri menunggu gliran untuk memasuki kawasan itu dimulut jembatan sungai Jordan yang dinamakan King Husein Bridge oleh orang Jordania, sementara orang Israel  menyebutnya Allenby Bridge.
Menurut guide, meskipun warga Palestina itu akan memasuki daerahnya sendiri tetapi mereka harus melalui serangkaian pemeriksaan yang sungguh ketat yang dilakukan oleh polisi dan petugas imigrasi Israel.
Semula Nizar  mengira masuk ke Palestina tentu lebih mudah karena perdamaian sudah berjalan. Perkiraan itu meleset. Proses pemeriksaan barang dan pemeriksaan surat-surat di perbatasan sungai Jordan, ternyata lebih lama dibandingkan dulu. Penyebabnya mungkin pengunjung yang membludak. Sementara beberapa bus lagi sudah antri menunggu diujung jembatan wilayah pendudukan Israel menunggu masuk ke pintu gerbang yang masih dijaga ketat oleh pihak polisi dan petugas imigrasi Israel.
Pemuda pemudi sukarelawan Israel memeriksa setiap pendatang yang memasuki daerah  itu dengan teliti. Termasuk para turis yang datang dari Indonesia. Cukup lama mereka tertahan di ruang imigrasi, terutama ketika pemeriksanaan paspor dan barang-barang di loket pemeriksaan karena antri bercampur dengan warga Palestina dan warga Israel sendiri yang baru datang.
Setelah cukup lelah antri dan  menunggu akhirnya mereka bisa meneruskan perjalanan lagi. Sebuah bis telah menunggu mereka diluar pos pemeriksaan yang akan membawa mereka ke kota Jerusalem. Jerusalem tetap aman bagi wisatawan, Nampaknya pemerintah Palestina menyediakan pintu belakang untuk wisatawan kalau pintu depannya sedang kacau. Mereka pintar, yang penting devisa tetap masuk kendati suasana perang selalu berkecamuk.
Ketika bis sudah mulai maju, barulah Mona melihat ada bendera Israel berkibar diatas bukit. Mona sempat mengambil beberapa buah photo  kearah bukit yang ada  bendera Israel yang tengah berkibar itu. Rasanya seperti mimpi berada di negara yang  selalu diberitakan  bergejolak. Selama ini  Mona hanya mengetahui segala macam pemberitaan tentang tanah Palestina beserta warganya yang seakan tak henti berada dalam tekanan Israel hanya dari berita di koran dan berita di televisi saja.  Sekarang  dia  berada ditanah yang terus dipersengketakan itu. Suatu saat aku akan bercerita kepada anak cucuku tentang pengalaman perjalanankuini, pikir Mona. Aku akan menyimpan photo-photoku ketika sedang berada di Palestina. Akan kuperlihatkan kepada anak cucuku bahwa aku pernah menginjak tanah yang penuh sejarah ini. Mona tersenyum dalam lamunannya yang sudah jauh melompat ke depan, ke masa yang entah kapan akan dialaminya. Namun dia merasa tidak salah apabila dia menyimpan photonya ketika sedang berada di Palestina  karena sejarah negara ini akan terus tertulis sepanjang masa, terutama masalah tanah yang terus dipersengkatan antara warga Palestina dan Israel yang entah kapan akan berakhir.
Hari telah senja ketika rombongan tiba di Jerusalem. Udara terasa dingin namun sejuk. Mona mengenakan syal yang dililitkan  dilehernya. Mesi mengenakan jaket tebal yang dibelinya ketika jalan-jalan di Madinah. Mereka makan di Victory Restorant. Udara yang dingin membuat Mona dan Mesi kelaparan. Makanan yang disajikan enak dan lezat.
Usai makan rombongan beristirahat di The Holy Land Hotel. Rencananya sore itu itu mereka akan dibawa ke mesjidil Aqsho sesuai dengan jadwal rencana semula. Namun karena anggota rombongan banyak yang minta ditangguhkan karena sudah merasa lelah dengan perjalanan panjang tadi akhirnya rombongan masuk ke hotel dan beristirahat.
“Wah ternyata  asyik, ya. Akhirnya aku bisa  datang ke Palestina, menginjak tanah yang selama ini hanya kucaba dalam berita-berita di koran dan kulihat di televisi.” Kata Mona senang.
“Ya, Palestina sebuah negara yang akan tetap membuat catatan sejarah sepanjang masa.” Sahut Mesi sambil mengambil   buku dan pulpen yang ada di meja hotel. Seperti biasa Mesi menyimpan buku dan pulpen yang selalu tersedia disetiap kamar hotel tempat mereka menginap. Mesi senang mengumpulkan barang-barang seperti itu karena buku atau notes itu selalu memakai logo hotel. Barang-barang itu  disimpannya sebagai kenang-kenangan.
“Pasti kamu banyak tahu tentang sejarah dari berbagai belahan dunia. Kamu kan rajin membaca berita-berita koran dan memiliki minat pada sejarah dunia.”
Mesi hanya tersenyum. “Aku memang senang membaca, termasuk sejarah dunia, tapi yang kuketahui masih sedikit. Aku masih harus banyak membaca lagi.”
Makan malam di hotel terasa menggembirakan bagi Mona dan Mesi. Udara yang dingin membuat mereka  merasa lapar dan makan dengan lahap.
“Jangan-jangan berat badanku naik, nih.” Kata Mona.
“Aku juga. Rasanya pipiku menjadi tembem dan bulat” sahut Mesi.
Usai makan malam, banyak anggota rombongan yang meninggalkan ruang makan dan duduk-duduk di lobby hotel. Sebagian lagi pergi ke toko kecil di sudut hotel yang menjual aneka macam cindera mata.
Pagi-pagi setelah  sarapan pagi rombongan melanjutkan perjalanan ke Hebron. Bis datang menjemput rombongan ke hotel. Setelah keluar dari wilayah perkotaan, pemandangan di kiri dan kanan jalan sepanjang jalan banyak ditumbuh pohon-pohon cemara. Pemandangan pohon cemara habis, berganti dengan pemandangan perkebunan zaitun dan tin.
“Didalam Al-Qu’ran  ada  disebut nama buah zaitun dan tin.” Kata Mesi. “Menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksud dengan tin itu adalah tempat tinggal nabi Nuh, yaitu Damaskus yang banyak tumbuh pohon tin dan ‘zaitun’ ialah Baitul Maqdis atau Jerusalem yang banyak tumbuh zaitun.”
Mona menghapus kaca yang buram. Cuaca diluar semakin kelabu dan berkabut. Pasti dingin sekali. Namun Mona senang dengan cuaca yang dingin seperti ini karena  tidak pernah terjadi di Indonesia yang hanya mengenal dua musim, musim hujan dan musim kemarau.
Ketika hampir mendekati Hebron, Mona melihat banyak bangunan-bangunan yang hanya tinggal reruntuhan belaka. Menurut Nizar, disekitar tempat itu sekiltar lima tahun lalu sering terjadi intifada. Warga Palestina melempari rumah-rumah dengan batu-batu untuk  menyerang warga Yahudi. Kota itu adalah kota panas dan penuh  kemelut. Kenangan suram dan kelabu bagi warga Palestina. Yang akan tercatat dalam sejarah bangsa mereka sepanjang masa. Bahkan andai kelak perdamaian  di Palestina telah tercipta sekalipun, namun catatan kelam sejarah bangsa itu akan tetap diingat oleh keturunan orang-orang Palestina. 
Mona melihat beberapa orang berjalan kaki dipinggir jalan. Anak-anak kecil berjaket tebal dengan ransel menggantung dipunggungnya berjalan kaki pula. Mungkin mereka akan berangkat ke sekolah, pikir Mona.
“Orang-orang itu adalah warga Palestina, juga anak-anak kecil itu.” Kata Nizar menjelaskan menjelaskan seolah bisa membaca apa yang sedang ada dalam pikiran Mona. “Mereka memilih lebih baik berjalan kaki daripada naik kendaraan umum kerena hampir seluruh kendaraan umum yang ada milik warga Yahudi.”
“Kasihan anak-anak itu.” Cetus Mesi. “Barangkali jarak yang harus mereka tempuh ke sekolahnya cukup jauh. Tentu melelahkan bila harus pulang pergi sejauh itu dengan berjalan kaki.
“Ya.” Mona mengiyakan.
Anak-anak yang tengah berjalan dalam cuaca yang begitu dingin terasa menyentuh perasaannya. Dia  beruntung hidup di Indonesia, tepatnya di Sumedang, kota kecil yang tenang. Di Sumedang tidak ada peperangan. Tidak ada ancaman bom. Tidak ada teror yang menakutkan. Kehidupan berjalan damai dan normal. Tidak ada ketakutan. Dia bisa hidup nyaman dan tenang dilingkungan rumahnya maupun dilingkungan manapun dia berada. Sesuatu hal yang patut disyukurinya. Apalagi sekarang setelah dia melihat bagaimana kehidupan di negara Palestina yang setiap  saat diliputi ketakutan akan peperangan, ancaman bom, pembunuhan, kematian dan teror-teror lain yang menakutkan. Bahkan anak-anak kecil pun yang semestinya menikmati kehidupan masa kecil yang  ceria dan indah, yang semestinya bisa bermain-main sepanjang hari dengan penuh kegembiraan, hal semacam itu tak bisa dinikmati oleh anak-anak Palestina.  Sekecil  itu mereka sudah dihadapkan oleh ketakutan akan ancaman peperangan, teror bom, pembunuhan dan kematian. 
Akhirnya bis tiba di Hebron setelah beberapa kali terhenti karena diperiksa oleh tentara Israel yang sedang patroli disepanjang jalan. Hujan gerimis dan cuaca  yang begitu dingin menyambut mereka etika mereka keluar dari dalam bis.
Untuk mencapai Hebron mereka masih harus berjalan kaki beberapa ratus meter. Sambil berlindung dibawah payung yang dipegangi Mesi, Mona hanya melihat satu dua orang saja yang berada diluar rumah. Di cuaca sedingin ini orang pastinya lebih suka menghangatkan tubuhnya didalam rumah. Atau mungkin pula karena situasi kota ini yang kurang begituaman yang membuat mereka merasa lebih nyaman berada diluar rumah.
Setelah melewati pemeriksaan oleh tentara Yahudi merka memasuki mesjid tempat berkumpulnya makam para nabi, menurut Nizar, makam-makam yang akan mereka ziarahi  diantaranya adalah makan nabi Ibrohin as dan istrinya Siti Sarah, nabi Ishak dan istrinya Rifka, nabi Yakub dan istrinya Leah dan juga makam nabi Yusuf.  Keempat makam nabi tersebut berada didalam mesjid Hebron.
Menurut Nizar, Hebron lima tahun lalu adalah kota tua yang panas oleh intifada. Mesjid Al-Khalil dijaga ketat sekelilingnya. Yang mau masuk diluar waktu shalat fardhu, diseleksi dengan ketat. Hanya wisatawan muslim yang memperoleh dispensasi. Hebron lima tahun lalu walaupun dijaga ketat tentara Yahudi adalah masjid yang luas dan nyaman. Menurut Nizar, dirinya saat itu leluasa berziarah ke makam para nabi yang ada disana. Sayang, Hebron sekarang dikuasai Yahudi. Untuk memasuki mesjid itu orang harus melakukan penjagaan ketat tentara Yahudi. Bahkan ternyata tidak seluruh makam dapat mereka ziarahi. Yang dapat diziarahi oleh kaum muslimin hanya makam nabi Ishak dan istrinya saja. Makam Nabi Ibrohim  dan Siti Sarah terkurung rapat dibagian mesjid yang telah dipenggal dua. Sedangkan makam nabi Yakub dan nabi Yusuf  tidak dapat diziarahi karena berada dibagian mesjid yang dijadikan Sinagoge oleh orang Yahudi. Pemenggalan mesjid terjadi setelah peristiwa penembakan jemaah mesjid Hebron oleh ekstrimis Yahudi Baruch Goldstein. Peristiwa teror kejam itu selain merenggut nyawa puluhan kaum muslimin juga merenggut mesjid bersejarah yang sejak berabad-abad silam merupakan milik berharga kaum muslimin.
Nizar melanjutkan keterangannya, memang dalam pandangan hidup kaum Yahudi terutama yang supra-ortodok semacam mendiang Rabbi Meir Kahane dan Rabbi Levinger, Hebron dianggap tanah suci nomor dua setelah Jerusalem. Mesjid Al-Khalil juga dianggap cikal  bakal sinagoge agung Yahudi masa kini. Persis seperti masjid Al-Aqsa yang menurut mereka berdiri diatas bekas sinagoge atau kuil Sulaiman  dan kelak akan menjadi kuil Sulaiman lagi.
Dari Hebron mereka melanjutkan perjalanan menuju kota Betlehem tempat kelahiran nabi Isa as. Meskipun natal telah berlalu dan tahun baru telah lewat seminggu lalu, namun Betlehem masih begitu ramai dengan pengunjung yang datang berziarah. Wisatawan muslim seperti mereka nampak menonjol ditengah-tengah pengunjung berwajah bule dan berambut pirang.
Betlehem nampak cerah dengan sinar mentari yang hangat dan segar. Di Betlehem,  tidak ada serdadu Israel. Tapi sebelum keluar dan masuk Betlehem, rombongan harus melalui pemeriksaan ketat tentara Israel. Mereka memasuki  gua tempat nabi Isa dilahirkan. Diantara gua itu sekarang dibangun sebuah gereja besar, The Basilica of The Nativity. Untuk memasuki gua itu pengunjung harus membungkukkan badannya dan barulah didalamnya bisa menjelajahi setiap ruangan dengan leluasa. Setelah berkeliling didalam tempat itu akhirnya mereka keluar lagi dan menuju rumah makan   untuk makan siang.
Dari Betlehem mereka berangkat mengunjungi masjid al-Aqsho, kiblat pertama dan tempat suci  setelah masjid al-Harram di Mekkah dan mesjid Nabawi di Madinah. Posisi mesjid al-Aqsho begitu penting bagi umat Islam karena disinilah terjadinya peristiwa Isra Mi’raj nabi Muhammad saw, tempat turunnya wahyu dan tempat shalat para nabi.
Kembali mereka harus melewati pemeriksaan tentara Israel sebelum memasuki wilayah mesjid al-Aqsho. Suatu kondisi yang sungguh jauh berbeda dengan kebebasan mutlak yang diberikan penguasa Islam dulu kepada pemeluk agama Yahudi dan Nasrani untuk beribadah dengan tenang di rumah ibadah mereka masing-masing.
“Coba bandingkan keadaan disini dengan keadaan ditanah air kita.” Kata Cakrawinata, ayah Bono yang berjalan tidak jauh dari Mona sehingga Mona bisa mendengar  kata-katanya. “Disini alangkah sulitnya mengerjakan shalat. Kita harus melewati pemeriksaan dan penjagaan ketat tentara Israel. Di Indonesia mesjid manapun yang akan kita masuki pintu masjid selalu terbuka siang malam. Tak ada seorangpun yang berani melarang kita memasuki mesjid. Tapi justru dinegeri kita yang aman itu kita sering merasa malas pergi ke mesjid.”
Beberapa anggota rombongan tersenyum menanggapi ucapan Cakrawinata. Mona melirik Bono. Bono pun tersenyum tipis mendengar ucapan ayahnya.
Di halaman mesjid al Aqsho mereka berphoto bersama untuk kenang-kenangan. Entah kapan mereka bisa datang lagi memasuki mesjid al Aqsho. Menurut Nizar, Yahudi terus menerus melakukan usaha untuk merobohkan mesjid itu seperti pernah terjadi beberapa dekade yang lalu. Nizar memperlihatkan dinding mesjid yang bolong-bolong  bekas peluru dan juga peluru-peluru yang yang berhasil dikeluarkan dari dinding itu dan disimpan didalam mesjid sebagai bukti kebiadaban orang yahudi.
Mona serius mendengarkan keterangan dari pemandu. Baginya Jerusalem dengan kisahnya sungguh sangat menarik dan menyentuh perasaaannya. Sebagai muslim dia merasa sedih ketika mendengar bagaimana nasib warga Palestina yang tak henti-hentinya berada dibawah ancaman orang israel yang ingin menghancurkan bangsa mereka.
Jerusalem ditaklukan kaum muslimin pada tahun ke-17 Hijriah, bertepatan dengan tahun 638 masehi. Kemudian kurang lebih selama tiga belas abad kaum muslimin menguasainya dan kemudian kurang lebih satu abad lamanya lepas dari kaum  muslimin ketika kaum salib berhasil merebutnya setelah mereka berhasil menguasai sebagian dari Palestina dan menguasai Jerusalem. Komitmen Islam ketika berkuasa atas Jerusalem adalah bahwa the holy land, kota suci ini diurus untuk kepentingan Allah, Tuhan semesta alam. Kota ini menjadi lambang persaudaraan antara umat manusia, toleransi agama-agama, simbol kesucian dengan terpeliharanya semua tempat-tempat suci dari agama yahudi, nasrani dan islam. Ketentraman  dan kebahagiaan yang diciptakan penguasa-penguasa islam itu merupakan mata rantai sejarah yang indah, diukir oleh tokoh-tokoh agung seperti Umar bin Khayttab ra dan Shalahuddin al Ayyubi. Sayang ketentraman itu kini dirusak oleh sikap bangsa Yahudi.
Menurut Nizar, beberapa tahun lalu ketika dia datang ke kawasan ini, tentara Israel hanya berjaga disepanjang benteng kota lama. Di pintu-pintu masuk yang delapan di mesjid Al Aqsho yaitu the golden gate, the new gate, St. Stephen’s gate atau juga disebuh Lion’s gate, the zion gate dan Jaffa gate, paling dekat hanya sekitar gerbang Harod yang menuju ke pemukiman kaum muslimin sebelum masuk gerbang Al Aqsho. Namun sekarang tentara Israel bersenjata lengkap sudah berada di halaman Kubah Sakhra. Sudah jauh masuk dari gerbang Herod, di pintu masuk ke kawasan Al Aqsho yang oleh  Yahudi dinamakan gunung kuil yang dulu dijaga hanya oleh orang palestina saja. Selain itu beberapa tentara Yahudi bebas berkeliaran mauk ke pelataran kubah sakhra yang dulu hanya diperbolehkan bagi kaum muslimin saja.
Ketika  pulang mereka mengambil jalan yang berbeda dengan ketika memasuki kawasan itu. Untuk mencapai bis,  mereka kembali  harus berjalan kaki karena bis diparkir diluar kawasan itu. Kawasan tempat berdirinya mesjid Al Aqsho ini luas sekali. Sebagian lahan taman ditumbuhi pohon-pohon pinus dan cemara. Pemandangannya indah sekali. Apalagi dalam cuaca  yang dingin seperti ini, bagi Mona menimbulkan romantisme tersendiri dalam hatinya.
Pulang dari masjidil Aqsho rombongan  dibawa menuju ke toko cindera mata, yang kebetulan pemiliknya, Mister Jamal, adalah seorang muslim.  Pemilik toko  menyambut mereka dengan ramah. Aneka macam cindera mata unik dan menarik bagi kaum musim dan kristen diletakan ditempat terpisah. Mona memilih-milih piring kecil dari keramik yang bertuliskan surat-surat pendek dalam Al Qur’an,  al–Fatihah, al-Falaq, an-Naas dan beberapa surat pendek lainnya. 
Sore itu mereka kembali ke hotel dengan perasaan puas karena tujuan utama mereka datang ke Jerusalem untuk mengunjungi mesjid al Aqsho telah tercapai dengan selamat.
Dari jerusalem mereka kembali ke Jordania melalui kota Jericho. Sebelum ke Amman, rombongan dibawa untuk  melihat Dead Sea. Sebelum menuju laut mati, bis  melaju berkeliling kota Amman, ibukota Jordania. Bangunan bertingkat maupun perumahannya kelihatannya tidak terlalu padat, tampaknya ini berkaitan dengan jumlah penduduknya.
“Disini cat tembok kurang laku, ya.” Kata Bono. “Semua rumah tidak ada yang dicat.”
Mona baru sadar betapa rumah dan gedung semuanya berwarna abu-abu, alias warna murni dari batu beton. Di tengah kota yang dipadati gedung dan perumahan itu, tersentuh warna hijau disana sini dan panggung pertunjukan terbuka Roman Theatre yang dibangun 1.700 tahun yang lalu. Inilah salah satu dari sekian banyak jejak peninggalan Romawi yang terdapat di Jordania.
Seperti halnya ketika mereka akan memasuki Palestina, ketika akan keluar dari kota Jericho dan memasuki perbatasan, mereka pun harus melalui pemeriksaan tentara Israel terhadap masing-masing kendaraan dan penumpangnya yang dating dari Jericho yang berlangsung cukup lama. Antri dengan mobil-mobil lain.
Sepanjang perjalanan menuju Dead Sea, pemandangan didominasi oleh lapangan yang membentang luas. Sepanjang jalan  lapangan itu dikelilingi dengan pagar  kawat. Menurut pemandu disepanjang pagar kawat itu diletakan ranjau-ranjau oleh tentara Israel. Lapangan itu adalah tempat latihan tempur tentara Israel. Mona melihat ada beberapa buah tank ditengah-tengah lapangan itu.
Akhirnya bis tiba juga di Dead Sea. Pemandu menjelaskan laut mati sebenarnya sebuah danau tempat bermuara sungai Jordan. Tetapi air dari danau itu memiliki keunikan sendiri yaitu bahwa kadar garamnya sangat tinggi, lebih tinggi dari pada rata-rata kadar garam didalam air laut biasa. Sehingga kalau seseorang memasuki airnya, dia akan terapung karena berat jenis airnya cukup tinggi. Tetapi kemudian oleh penguasa Jordania sebagai pengekspor garam dunia, diolah menjadi garam. Karena kadar garam air laut mati terlampau tinggi, maka airnya tidak dapat digunakan untuk kepentingan air irigasi, juga untuk tempat kehidupan binatang yang bisa hidup pada air berkadar garam biasa seperti halnya air laut. Hal lainnya yang unik dari laut mati adalah bahwa permukaan airnya berada sekita empat ratus meter dibawah permukaan air Laut Tengah, jadi sangat rendah sekali. Dead Sea juga  sebuah laut dengan ciri khas airnya yang berminyak dan mengandung khasiat yang tinggi untuk kesehatan dan perawatan kulit. Orang Jordania mengolah kandungan mineral dari laut mati ini menjadi bermacam-macam produk  untuk kesehatan dan perawatan kulit.
Pemandangan  Jerusalem juga bisa dilihat dari seberang laut mati. Menurut Nizar, laut mati ini  memang dimiliki oleh dua negara, Palestina dan Jordania. Dalam perjalanan tadi, disuatu lokasi  terdapat satu tugu yang bertuliskan “sea level”. Tugu itu memberi tanda bahwa pemukaan tanahnya sama dengan permukaan laut. Laut mati itu ternyata terletak 400 meter dibawah garis permukaan laut. Menurut pemandu, inilah permukaan bumi yang paling rendah di dunia yang bisa ditempati manusia.
Disekitar objek wisata laut mati itu ada beberapa fasilitas pariwisata seperti akomodasi, kolam renang air tawar dan fasilitas-fasilitas rekreasi lainnya. Ketika rombongan tiba disana, ada beberapa rombongan turis lain yang sedang menikmati objek wisata itu. Dari penampilan dan raut wajahnya, Mona menebak mereka adalah orang Asia. Mungkin dari Malaysia, Brunei atau mungkin juga sama seperti dirinya dari Indonesia juga.
Ombak yang berbuih dari Dead Sea memancing rasa ingin tahu Mona untuk melangkah ke  tepi laut itu, untuk menyentuh airnya yang konon mengandung kadar garam tertinggi di dunia dan membuat berat jenisnya jadi lebih tinggi dari manusia. Dari putaran video didalam bis tentang pariwisata negara ini, memperlihatkan  manusia yang berenang di Dead Sea tidak tenggelam. Rasanya   tak percaya dalam filma itu dipertontonkan  tanpa pelampung orang berbaring santai, tidak tenggelam sambil membaca Koran, sementara sebuah baki yang diatasnya ada gelas minuman dan piring makanan terapung. Tanpa pelampung kita bisa bersantai seperti ini di laut mati dijamin tak akan ternggelam. Keajaiban laut mati. Ketika meluncur di jalan bebas hambatan sepanjang 50 kilometer dari kota Amman, di kanan kiri menyaksikan pemandangan alam penuh variasi. Mulai dari gurun yang gersang tandus sampai lembah lembah yang ditumbuhi aneka tumbuhan.
Di air yang jernih itu, dasarnya yang terdiri dari koral dan pasir nampak dari permukaan. Tak tampak ada biota  laut yang hidup. Mungkin karena kadar garamnya yang sangat tinggi itu. Yang banyak ditemukan adalah susukan kristal garam dalam aneka bentuk. Tugu yang menandakan  garis permukaan laut nol  meter. Pemandangan daerah jerusalem bisa dilihat dari seberang seberang laut mati. Laut yang luasnya sembilan ratus dua puluh  kilometer persegi ini memang dimiliki oleh dua negara, Palestina dan Jordania. Di suatu  lokasi, terdapat satu tugu yang bertuliskan “Sea Level”. Tugu ini memberi tanda bahwa permukaan tanahnya sama dengan permukaan laut.
Sedangkan untuk menuju laut mati, mobil masih terus menuruni bukit. Laut mati itu hanya terletak empat ratus  meter dibawah garis permukaan laut. Kalau laut jawa itu bagian terdalamnya hanya dua ratus  meter berarti manusia kini berada jauh dibawah dasar laut jawa. Konon inilah permukaan bumi paling rendah di dunia yang bisa ditempati manusia. Disekitar situ ada fasilitas akomodasi, kolam renang air tawar dan fasilitas-fasilitas rekreasi lainnya. Tapi disana suasana sepi-sepi saja mungkin karena sedang tidak musim wisatawan. 
Air yang bening dan riak kecil yang membelai, menggoda Mona untuk menyentuhnya. Terlihat beberapa orang wisatawan sedang berenang-renang di air yang konon mengandung kadar garam tertinggi di dunia dan membuat berat jenisnya jadi lebih tinggi dari manusia. Manusia memang tidak bisa tenggelam di laut mati. Begitu tangan Mona  menyentuh air, diseputarnya langsung terjadi reaksi kimia, menciptakan sejenis selaput lendir yang mengelilingi tangan.  Rupanya karena ada benda asing  yang bergabung terjadi senyawa kimia yang membuat airnya terganggu. Di air sejernih itu sampai-sampai dasarnya yang terdiri dari koral dan pasir tampak dari permukaan, tak tampak ada biota laut yang hidup. Mungkin karena kadar garamnnya yang sangat tinggi itu. Yang banyak ditemukan justru susunan kristal garam dalam aneka bentuk.  Banyak kosmetik yang memiliki kandungan mineral yang berasal dari laut mati yang dijual di toko cendera mata.
Dari Dead Sea  rombongan meneruskan perjalanan menuju makam batu nabi Musa dan makam nabi Syuaib di lembah Jordan. Negara Jordania banyak menyimpan berbagai peninggalan bersejarah dari jaman Romawi. Mereka juga dibawa mengunjungi Hercules Temple. Menurut pemandu bekas lokasi pembuatan   film Hercules  yang kini tinggal reruntuhannya dan sepasang tiang batu besar raksasa yang menjulang tinggi. Mereka juga dibawa melihat panggung pertunjukan terbuka,  Roman Theatre yang dibangun 1.700 tahun yang lalu. Roman Theatre ini merupakan salah satu dari sekian banyak jejak peninggalan Romawi yang terdapat di Jordania. Jordania, negara di Timur Tengah ini menawarkan aneka keajaiban dunia yang bernilai sangat tinggi. Roman Theatre terletak di pusat kota yang dikelilingi kehijauan, rumah dan gedung bertingkat.
Memasuki makam nabi Syuaib  yang tersirat adalah keagungannya. Kawasan yang luasnya sekitar 5.000 meter persegi itu terdiri dari beberapa bangunan. Ada tempat berwudhu di sebelah kiri dan mesjid seluas 40 meter persegi disebelah kanan. Persis disisi mesjid itu ada ruangan lain, lokasi makam.  Rupanya lokasi makam itu terdiri dari 3 ruangan. Semacam ruang tamu, ruang sembahyang dan ruangan khusus dengan pintu berterali yang terkunci, tempat nabi Syuaib dimakamkan. Pengunjung hanya bisa melongok makamnya yang berupa keranda dengan penutup kain warna hijau. Keranda itu panjangnya tiga meter dan lebarnya hampir satu meter, Jaman dahulu manusia memang lebih tinggi dibanding sekarang. Makam nabi Hud  yang ada di Yaman, panjangnya 16 meter.
Begitu keluar dari kompleks makam, Mona melihat tong besar berwarna hijau  dengan sederet kran  serta beberapa gelas.  Seorang pria tampak sedang meminum air dari tempat itu. Tiba-tiba saja Mona merasa haus. Dia minum air itu.  Begitu air jernih itu mengalir ke tenggorokannya, baru disadarinya  kalau airnya sedingin es. Nikmat sekali. Seakan kepuasan rohani yang baru diterima makin mengendap, sampai menjalar ke sudut-sudut kalbu.
Mona bersyukur dia bisa melacak kebesaran sejarah masa lalu. Pengalaman ini sungguh akan sangat berkesan baginya.   Mesi nampak serius mencatat setiap perjalanan.
”Nanti aku ingin menuliskan pengalaman selama perjalanan ini dan dikirim ke media.” kata Mesi.
Sayangnya mereka  tidak sempat melongok kedahsyatan Petra, salah satu objek wisata lain yang dimiliki Jordania,  kota  kuno Jerash yang merefleksikan kejayaan Romawi berikut lokasi penyembahan dewa dari segala dewa, Zeus.  Konon di Petra ada bukit batu yang dipahat dijadikan istana. Sungguh luar biasa. Sayang Petra terlalu jauh dan waktu yang mereka miliki tidak memungkinkan bagi mereka untuk mengunjungi Petra.
Rombongan kemudian dibawa mampir ke toko cendera mata. Toko Holy Land Ceramics yang  menjual aneka macam barang  pecah belah dari keramik. Selain itu disana juga dijajakan aneka macam kosmetik yang menggunakan bahan dasar lumpur laut mati.  Ibu-ibu memborong  beberapa produk kosmetika itu, sebagian untuk  oleh-oleh teman-teman mereka. Konon menurut  penjualnya kosmetika itu akan membuat kulit wajah kencang dan muda kembali. Anggota rombongan  kaum hawa   langsung tertarik mendengarkan penjelasan  seperti itu dan langsung memilih produk kosmetika yang akan mereka beli.
Sementara Mona dan Mesi lebih tertarik meliha aneka macam hiasan dari keramik. Setelah memiih-milih hiasan mana yang akan dibeli, akhirnya Mona membeli beberapa piring kecil hiasan. Beberapa anggota  rombongan  umroh  lain ada yang membeli botol berisi pasir laut mati maupun mangkuk kecil bertuliskan Jordan, petra, dll. Mitra membeli satu set gelas berikut nampannya. Juga beberapa buah kristal buah-buahan seperti kristal berbentuk anggur, buah pear, apel dan aneka  bentuk  buah-buahan lainnya. Kristal-kristal buah-buahan itu diletakan didalam mangkuk yang juga terbuat dari kristal, sehingga nampak indah berkilauan.
Sekitar 10 meter dari toko keramik, ada satu toko cendera mata lain yang menjual gelang dan kalung perak, karpet hiasan dinding, hingga segala barang bertuliskan Jordan. Ditoko lain Mirta  membeli karpet hiasan dinding yang menarik. Anggota rombongan lain pun  memilih aneka  macam cendera mata untuk dibawa pulang. Setelah selesai acara itu barulah rombongan dibawa ke Middle East Hotel tempat mereka menitipkan bagasi selama berada di Palesrtina.
Setelah mendapat kunci kamar Mona segera merebahkan tubuhnya. Tubuhnya terasa letih dan lelah. Membayangkan kesegaran mandi dengan air hangat membuat Mona bergegas masuk duluan kekamar mandi. Usai mandi, dia bersama Mesi mendapat telepon bahwa makan malam telah siap di restoran yang terletak di lantai dasar hotel itu.
Sejak chek out dari hotel di Amman itu Mona dan Mesi sama semangatnya. Mereka akan meneruskan perjalanan ke Mesir.  Didalam pesawat Royal Jordanian yang membawa mereka ke Mesir, Mona dan Mesi bercakap-cakap gembira. Ketika waktu makan tiba, perut mereka terasa lapar. Setelah makan tak sadar Mona tertidur pulas.
“Kita akan segera sampai.” Mona merasakan Mesi menggoyang-goyangkan tangannya. Mona membuka matanya dan menoleh keluar jendela. Pemandangan yang didominasi warna kecoklatan seperti yang dilihatnya ketika akan tiba di Jeddah dulu. Sebentar lagi pesawat akan  mendarat di bandara Kairo.
Pemeriksaan paspor berlangsung relatif cepat. Mona bersyukur mereka akan segera tiba di hotel.
Ketika didalam bis yang membawa mereka menuju hotel, Mona  memperhatikan suasana di sepanjang jalan Kairo  yang ramai dan padat dengan arus lalu lintas.  Cuaca  Kairo terasa dingin bahkan angin pun bertiup cukup keras. Kairo adalah ibukoa sebuah negeri tua yang penuh warna sejarah.  Popularitas Mesir sudah dikenal sejak hampir delapan ribu tahun lampau. Kisah-kisah para nabi yang pernah singgah, tinggal dan mencatat sejarah di Mesir. Sosok Fir’aun  penguasa Mesir  yang paling termashur dinyatakan dalam al Qur’an  sebagai orang  yang telah menobatkan diri menjadi Tuhan.
Bis yang membawa rombongan ternyata tidak segera menuju hotel tapi singgah dulu ke sebuah rumah makan. Mereka disambut dengan musik dan lagu-lagu Mesir yang cukup meriah. Barangkali itu salah satu suguhan sebagai daya tarik wisata yang disuguhkan dari restorant itu dalam menyambut kedatangan wisatawan yang berkunjung untuk bersantap di restorant itu, terutama wisatawan yang datang dari negara lain.   Anggota rombongan  tertawa senang disambut dengan kemeriahan seperti itu. Makanan yang disajikan  khas masakan timur tengah.  
“Kapan lagi kita menikmati makanan Mesir, Mon. Jadi makan aja yang enak.” Kata Bono mengganggunya melihat Mona tidak makan selahap biasanya.
”Ya.” sahut Mona.
Selain untuk menikmati objek wisaya yang menarik makanan khas daerah yang dikunjungi pun termasuk salah satu daya tarik pariwisata.
Dari rumah makan itu mereka langsung dibawa ke Europe Cairo Hotel. Setelah mendapat kunci kamar, Mona dan Mesi langsung masuk kedalam lift menuju kamar mereka.
Esok harinya di Giza tempat berdirinya Pyramid dan Sphinx, Mona tidak ikut dalam rombongan yang masuk kedalam Phiramid itu. Dia hanya berjalan–jalan disekitar dekat bis. Suatu saat dulu dia pernah bergitu terkesan ketika melihat photo Phiramid yang dibawa salah seorang temannya yang pulang tour dari Mesir. Dia pun begitu ingin menyaksikan Phiramid dari dekat. Sekarang Phiramid itu  berdiri didepan matanya. Mona sempat berphoto berdua dengan Mesi dengan latar belakang  Phiramid yang menjulang tinggi.
 Dibalik Phiramid itu tersimpan sebuah sejarah panjang yang menghubungkannya dengan sosok Firaun. Kerucut sebesar bukit yang dijadikan pemakaman jasad serta harta benda Firaun ita adalah hasil karya Firaun yang dimodali tetesan keringat, darah dan airmata rakyat jelata, terutama Bani Israil yang datang ke Mesir mengikuti keluarga Yakub tatkala Yusup menduduki jabatan menteri keuangan.
Mesir memang kaya dengan sejarah. Dari buku yang pernah dibacanya, Mona mengetahui penguasa Mesir lainnya yang juga terkenal yaitu Cleopatra. Kecantikan ratu yang hidup sekitar lima puluh tahun sebelum masehi itu membuat Julius Caesar, kaisar Romawi, mabuk kepayang. Kisah cinta mereka menjadi legenda.
Piramid  itu sekarang telah kosong karena mummi-mummi yang dulu disimpan didalam Piramid telah dipindahkan ke museum Mesir nasional di Kairo.
Sebelum  mengunjungi piramid  rombongan  dibawa terlebih dahulu  mengunjungi musem nasional Mesir di Kairo. Didalam museum itu mummi-miummi itu diletakan didalam ruangan khusus, terpisah dari benda-benda purbakala peninggalan kerajaan Mesir kuno ketika masih dikuasai oleh raja-raja Mesir jaman dulu. Selain mummi-mummi itu yang merupakan objek  paling terkenal yang disimpan di musem itu, Mona sempat berkeliling didalam museum itu melihat beraneka macam benda purbakala peninggalan kerajaan Mesir seperti kereta kerajaan millik raja Fir’aun, mahkota emas yang dulu dipakai oleh raja-raja Firaun,  perhiasan-perhiasan milik raja dan juga patung-patung  binatang yang digunakan sebagai benda berhala yang dipuja raja-raja mesir jaman dulu. Disamping benda-benda purbakala, museum nasional  Mesir pun masih dilengkapi dengan aneka macam patung batu raja-raja Mesir yang pernah berkuasa tempo dulu.
Mona mencatat meskipun mayoritas rakyat Mesir menganut agama Islam namun nampaknya orientasi pemerintah Mesir justru ke masa lampau. Ke masa sebelum Islam. Orientasi mereka adalah Firaun. Hal ini kelihatan jika membandingkan perhatian terhadap segala macam yang berkaitan antara Firaun dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam. Pyramid yaitu makan Firaun dan tempat meyimpan segala macam harta benda Firaun, ditata sedemikian rupa sehingga menjadi tujuan utama wisata dunia. Bahkan  konon menjadi sumber devisa non migas nomor satu.
Mummi Fir’aun dan segala peralatan perawatan mayat jaman Fir’aun disimpan disebuah musieum besar  bertaraf internasional, museum nasional Mesir.
Di Mesir peninggalan sejarah Islam pun cukup banyak. Rombongan dibawa melihat Benteng Salahuddn al Ayubi, Mesjid Sayyidah Zainab, yang diambil dari nama puteri rasulullah yang terletak  ditengah—tengah kota. Mereka juga mengunjungi  perguruan tinggi Al Azhar yang dibangun pada jaman Dinasti Fatimiyah di abad sepuluh, sebuah  perguruan tinggi terkemuka di mancanegara. Mereka meneruskan perjalanan ke komplek  makam Imam as-Syaffi’i, seorang tokoh sufi besar.
Dua hari mereka berada di Mesir. Sebelum meninggalkan negeri ini Mona sempat  masuk kedalam toko yang ada di hotel. Di toko cendera mata Mona  membeli tiga buah kaligrafi ayat kursi yang ditulis diatas daun papyrus, yang konon dijaman dulu dijadikan sebagai alat tulis oleh bangsa Mesir dan kini menjadi salah satu daya tarik cendera  mata negeri itu. Dia juga membeli pembatas  buku dari daun papyrus yang ditulisi hurup mesir. Cantik dan antik. Sementara di toko lain dia membeli tiga  buah tas kulit.
Dari Mesir rombongan kembali lagi ke Jordanian karena mereka akan menggunakan pesawat Royal Jordanian ke Indonesia. Rombongan menginap semalam  di Alia Queen Hotel, hotel yang berada dibandara Queen Alia Jordan.
Menurut jadwal,  keberangkatan  rombongan ke Indonesia sekitar pukul sebelas malam har sehingga mereka masih memiliki waktu untuk tinggal di Jordania. Pagi-pagi  setelah  selesai sarapan pagi rombongan  dijemput Mister Muhamad, seorang guide dari Jordanian  untuk melakukan tour ke beberapa tempat yang belum sempat mereka kunjungi sebelum rombongan  pergi ke Mesir beberapa hari lalu. Jordania, negara di Timur Tengah ini menawarkan aneka keajaiban dunia yang bernilai sangat tinggi.
Tempat  yang dikunjungi adalah gua Kahfi yang terletak dipinggiran kota Amman. Gundukan bukit itu pun menyimpan cerita penuh misteri. Cerita di  jaman kekuasaan Romawi.  Bukit yang menyimpan gua Kahfi, areal ini tetap dilestarikan. Gua Kahfi adalah  tempat tujuh manusia yang tertidur selama 350 tahun. Tengkorak dua dari tujuh manusia ini bisa diintip dari celah kuburan yang berada didalam gua.    Ashaabul Kahfi,  penghuni gua ini   dalam al Qur’an tertuang  dalam surat al-Kahfi, tentang tujuh pemuda beriman yang dikejar-kejar oleh penguasa dzalim. Ketujuh pemuda itu tertidur selama  tiga ratus tahun lamanya didalam gua ditemani seekor anjing yang setia mengikuti mereka dan menjaga mereka dimulut gua. Mona sempat mengambil photo tulang belulang tujuh pemuda itu yang diletakan didalam sebuah makam batu yang memiliki lubang kecil berlampu sehingga pengunjung bisa  melihat tulang belulang ketujuh pemuda itu yang berserakan didalamnya.  Mona  memotret tulang belulang anjing setia yang menunggui ketujuh pemuda dipintu gua. Tulang belulang anjing itu diletakan didalam sebual lemari kaca didalam gua itu.
Dari Ashaabul Kahfi perjalanan dilanjutkan  dengan  mengunjungi lembah Nebo tempat dimana terletak rumah nabi Syuaib dan berdirinya gapura tongkat nabi Musa. Bis yang membawa mereka melaju menaiki bukit melintasi pemandangan di sepanjang lembah Nebo  yang indah dan permai.  Rumah nabi Syuaib terletak di puncak bukit. Meskipun telah dibangun beratus-ratus tahun lampau, namun bangunan itu masih nampak kokoh dan kuat. Rumah nabi Syuaib sekarang dijadikan tempat peribatan umat kristiani. Lantai rumah nabi Syuaib dihiasi dengan relief yang indah yang menunjukan bahwa peradaban telah cukup tinggi pada masa  itu.
Diluar rumah nabi Syuaib terletak sebuah gapura tongkat nabi Musa yang terbuat dari besi dengan hiasan ular besar yang melingkari gapura itu dengan lembah yang menjadi latar belakangnya.  Konon lembah itu dahulu kala merupakan tempat  Nabi Musa as menggembalakan kambing-kambingnya.  Pulang dari bukit Nebo, selesailah rangkaian perjalanan mereka. Rombongan dibawa kembali ke hotel untuk beristirahat. Menurut jadwal, nanti malam mereka akan pulang kembali ketanah air.
Setelah makan malam Mona memperhatikan Mesi yang sedang membereskan barang-barangnya.  Mesi rapih dan teliti. Dia sepertinya tidak bisa melihat barang-barangnya tergeletak begitu saja.
 “Oh, aku ingin segera  tiba di Sumedang.” Kata Mona. 
“Sama. Aku juga sudah ingin segera pulang.” Sahut Mesi sambil tetap asyik dengan pekerjaannya.   Dia merapikan bajunya didalam tas kopernya dan barang-barang yang dibelinya  yang bisa diselipkan didalam kopernya.
hut mereka rutin datang kemari setiap panen buah cokelat.beluk tanaman. n sendiri. “Rasanya perjalanan ini lama sekali. Padahal  hanya tiga minggu.”
“Tiga minggu yang berkesan. Aku ingin menuliskan perjalanan ini dalam bentuk artikel. Akan kukirim kemajalah remaja.”
“Baguslah. Pengalaman ini bisa kau tulis menjadi sebuah tulisan yang menarik.” Ucap Mona. “Sudah ada tulisanmu yang dimuat dimajalah?”
“Ada beberapa. Cerpen dan cerita bersambung.”
“Oh ya? Aku tidak pernah membaca tulisanmu. Apa judul cerita yang pernah dimuat dimajalah?”
“Aku sudah lupa judul-judulnya, tapi sudah lebih dari dua puluh cerita pendek yang dimuat dan sebuah cerita bersambung.”
“Wah, sudah banyak juga, ya. Rupanya kau punya bakat menulis, Mes. Mengapa engkau tidak mengembangkan bakatmu? Siapa tahu suatu saat kau bisa menjadi pengarang terkenal.”
Mesi tersenyum. “Ya, semula aku menulis untuk mengisi waktu luang. Namun ketika tulisanku dimuat beberapa kali, aku berpikir mengapa aku tidak terus menulis. Siapa tahu suatu saat pekerjaan menulis menjadi profesiku.”
“Aku mendukung. Mudah-mudahan kau bisa menjadi pengarang terkenal, Mes. Alangkah bangganya papa bila suatu saat kau dikenal sebagai seorang pengarang.”
“Papa juga sangat bangga kepadamu. Papa berharap suatu saat kau bisa membantu usaha papa memajukan perusahaan.”
Mona tersenyum. “Perusahaan itu suatu saat akan menjadi milik kita berdua. Kau dan aku harus bekerja sama agar suatu saat nanti ketika kita bersama-sama mengelola perusahaan, perusahaan itu akan  lebih berkembang lagi.”
Mesi menatap Mona. “Mengapa tidak dari dulu kita bisa seakrab ini ya, Mon? Sudah lama sekali aku mendambakan bisa bercakap-cakap seperti ini denganmu. Bisa berbagi cerita denganmu.”
Mona menelentangkan badannya. Dia menatap langit-langit kamar. “Ya, mengapa baru sekarang kita bisa  sedekat   ini?”
Keduanya merasa mengantuk sekali. Keduanya terlelap. Tak ada lagi yang bicara. Pesawat yang mereka tumpangi sedang terbang menuju ke tanah air. Tak terasa air mata mona menitik ketika melirik mesi yang duduk tenang disampingnya. 
“Sebenarnya kau itu baik, Mes.” Kata Mona sejujurnya. “Kau baik dan ramah pada siapapun.
Mesi tersenyum mendengar ucapan Mona.
“Terima kasih atas pujianmu namun aku tetap selalu merasa diriku memiliki banyak kekurangan dan kelemahan.” Ujar Mesi sambil tersenyum.   “Sama seperti orang lain, kadangkala dalam hati aku pun memiliki rasa iri, dengki, rendah diri, kurang percaya diri dan sifat-sifat lain yang juga dimiliki  oleh manusia lainnya. Namun  aku selalu berusaha meredam semua perasaan-perasaan negatif itu agar tidak sampai muncul kepermukaan dan seolah memperlihatkan bahwa itulah tabiatku. Aku selalu berusaha agar orang lain tidak sampai tahu bahwa aku pun memiliki sifat-sifat negatig seperti irim dengki, rendah diri dan sifat-sifat negatif lainnya dihadapan orang lain. Aku berusaha menekan sifat-sifat buruk seperti itu dan berkaca, betapa lebih indahnya hidupnya andai aku bisa menjadi seorang manusia yang lebih baik lagi. Aku terus belajar dan berusaha memperbaiki diri.  Ternyata dengan cara seperti itu hidupku terasa lebih tenang. Aku tidak pernah ingin membandingkan diriku dengan kehidupan orang lain yang aku lihat seakan lebih baik dariku. Aku selalu berusaha bersyukur menerima apapun yang diberikan Allah untuk mengisi hidupku dan tidak menyesali apapun yang tidak diberikan Allah kepadaku.
Mesi memeluk Mona  tulus. “Aku sangat sayang kepadamu, Mona. Dari dulu pun aku sangat sayang kepadamu. Namun engkau seolah  membangun sebuah  dinding yang sangat tinggi  dan tebal  diantara kita. Begitu tinggi dan tebalnya dinding itu sehingga aku tak bisa melompatinya untuk  menyentuh dan merengkuhmu. Tanganku didak kuasa merobohkan cinding itu yang sengaja kau bangun untuk menjadi pembatas sekaligus  pemisah diantara kita.”
“Kita bersaudara, Mona.” Kata Mesi lirih. “Kau adalah kakaku karena engkau lahir dari istri pertama ayah. Walaupun aku lahir lebih dahulu beberapa bulan darimu, tapi kau tetap kuanggap sebagai kakakku. Ayah kita sama walaupun  kita lahir dari ibu yang berbeda. Aku menyayangimu seperti layaknya  kepada saudara kandung. Tak pernah kulihat ada perbedaan diantara kira hanya karena kita lagir dari ibu yang berbeda. Namun selama ini engkau selalu membuat jarak denganku. Engkau selalu bersikap membenci dan memusuhiku. Kau selalu menghindariku setiap kali aku ingin dekat denganmu dan menjalani kehidupan  sebagaimana layaknya dua bersaudara.”
Mata Mesi berlinang. Perlahan airmatanya  menuruni kedua belah pipinya. Sasanya serak dan tersendat.  ”Bukalah pintu hatimu untukku, Mona. Biarkan aku masuk kedalam hatimu dan merasakan betapa indahnya tali persaudaraan diantara kita. Biarkaan aku  merasakan aliran darah dalam tubuh kita adalah aliran darah yang sama.”
tutut."mbing, tapi disana juga ada menu istimewa. ing. lan mengelilingi kebun cokelat.
Mona membiarkan  airmatanya ikut mengalir. Dia memeluk Mesi.  Ya Allah, mengapa selama ini aku selalu menutup pintu  hatiku untuk Mesi?   Bukankah dia pun sama menderitanya dengan aku dengan permaduan ini namun Mesi selalu memandang permaduan ini dari sudut yang positif. Dia tidak pernah menyalahkan siapapun. Dia tidak pernah menganggap permaduan yang dilakukan ayah sebagai sebuah dosa dan aib. Mesi  tidak terus menerus membebani hatinya dengan kekecewaan yang makin lama justru makin menumpuk dan merusak jiwa. Dia memandang hidup ini dengan jiwa yang lapang dan hati yang luas. Dia bisa menerima apa yang tidak disukainya dan memandang dari sudut yang paling menyenangkan. Dia mencintai dan menerima ayahnya apapun keadaannya. Dia tetap menempatkan dirinya sebagai seorang anak yang baik dan berbakti, yang takut kepada Allah bahwa berbuat tidak baik kepada orangtua adalah durhaka dan termasuk dosa besar yang tidak akan diampuni Allah.
Tiba-tiba saja Mona sadar, betapa banyaknya yang bisa dipelajarinya dari Mesi, saudara yang selama ini disia-siakannya. Saudara yang selalu mengulurkan kedua belah tangannya dengan penuh kasih sayang kepadanya, namun tak pernah dipedulikannya. Betapa banyaknya yang telah dilakukan Mesi selama ini hanya untuk membuka dan mendobrak pintu  dihatinya yang  selalu tertutup rapat untuk Mesi. Namun Mesi seolah tak pernah menyerah. Mesi benar, dia seolah membangun dinding  yang tinggi dan tebal yang menjadi penghalang diantara mereka. Sekarang disadarinya, hanya dirinya sendiri yang bisa merobohkan dinding itu dan membiarkan Mesi melompat dan masuk kedalam ruangan kosong dihatinya.
Mona merasa hatinya dibalut perasaan haru dan sedih. Dia memeluk Mesi semakin erat. Mesi, aku berjanji akan menyayangimu dengan tulus. Telah kurobohkan dinding tinggi dan tebal itu agar engkau bisa masuk dan memeluk aku. Bukan untuk sehari, namun untuk selamanya. Betapa indahnya andai aku memiliki saudara yang bisa bergandengan tangan dengan aku melwati kehidupan ini. Hal itukini telah  aku miliki. Seharusnya aku bisa menjaganya dengan sebaik-baiknya.
Malam itu pesawat Royal Jordan melesat ke udara akan membawa mereka kembali ketanah air. Bunyi mesin pesawat terdengar bergemuruh ketika pesawat meninggalkan landasan. Mona memejamkan matanya rapat. Jantungnya terasa berdebar. Mulutnya komat kamit membaca doa memohon keselamatan kepada Allah agar mereka semua bisa tiba dengan selamat di tanah air.  Dia merasakan hatinya tentram dan bahagia.


--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar