Minggu, 27 Oktober 2013

Ngaliwet...





Ngaliwet kerap menjadi acara makan yang saya suka. Nasi dimasak pakai kastrol dan memakai bumbu-bumbu bawang merah, daun salam, daun sereh sehingga menghasilkan aroma khas yang harum. 

Saat ini banyak tempat makan yang menyediakan menu makan dengan nasi liwet lengkap dengan kastrolnya. Salah satunya adalah tempat makan yang saya temui kali ini. Tempat makan itu berada dilereng perbukitan. Jalannya cukup menanjak dan kendaraan yang lewat harus hati-hati mengemudikannya karena disisi kanan jalan merupakan tebing yang curam. Dan bila ada kendaraan roda empat yang berpapasan, salah satunya terpaksa harus mepet dulu memberi jalan pada mobil yang menurun untuk maju duluan. 

Bagi saya tempat makan begitu tidak mengasyikan karena masih banyak tempat makan lain yang letaknya cukup strategis dan aman dilalui kendaraan roda empat tanpa rasa waswas. Namun saya ketempat makan itu karena ajakan seorang teman yang sudah biasa makan disana. Dia bilang ; tempatnya enak dan nasi liwetnya enak. Jadi, okelah saya setuju berangkat kesana dan rupanya saya hanya sekali saja kesana karena saya tidak berani lagi pergi kesana bila saya yang harus menyetir mobil. 

Tempatnya memang enak. Udaranya sejuk dan banyak pohon-pohon besar yang membuat tempatnya cukup teduh dan sejuk. 

Menunggu pesanan nasi liwet ternyata cukup lama juga. Dan harus sabar menunggu. Tak heran ketika akhirnya nasi liwet beserta kawan-kawannya akhirnya datang juga, makan terasa nikmat dan enak…hehe…
 
Nasi liwet ditemani dengan ayam kampung goreng berserta sambal dan lalapannya. Nikmat tentu saja. Apalagi ayam kampungnya memang asli dari kampung…. Lalapan dan sambalnya juga sangat enak… sambalnya pedasnya cukup dan lalapannya sangat segar. Jadi klop deh.. Oh ya, ada ikan asin juga rupanya. Ikan asinnya jambal roti yang empuk. Dipadu dengan nasi liwet yang masih panas, jangan ditanya lagi bagaimana nikmatnya…hehe... 










Piring makan, cangkir serta tempat menaruh makanan lainnya terbuat dari piring enamel. Ini menarik sekali karena piring dan cangkir enamel alias seng sudah jarang digunakan. Jadi ingat masa kecil dulu, paling senang kalau makan beralaskan piring enamel.... 

Sebelum pulang saya sempat melihat pembuatan nasi liwet dibelakang tempat makan itu. Kastrol berjejer diletakan diatas tungku perapian dengan kayu bakar. Hem, pantesan nasi liwetnya sangat enak dan harum…






Rupanya ditempat itu juga menyajikan juga bajigur.  Wadah bajigurnya terbuat dari tempurung kelapa yang menjadi berbentuk cangkir. Wanginya harum. Dan ada jahenya sehingga tubuh terasa hangat dan segar. Apalagi saat itu menjelang sore, jadi pas minum bajigur hangat sore-sore. Dan  cuaca mulai agak mendung dan dingin walaupun tidak turun hujan…


     
     Setelah puas menikmati suasana, dan mendung semakin tebal, kami memutuskan pulang. Perjalanan pulang membutuhkan kehati-hatian yang tinggi karena jalanan yang dilalui menurun dan cukup tajam. Bagi sebagian orang, mencari tempat makan yang seperti itu mungkin mengasyikan, namun bagi saya cukup sekali saja berkunjung kesana karena saya tidak akan kuat menyetir mobil dijalanan yang mendaki dan menurun serta berkelok-kelok dengan sangat tajam, walaupun pernah singgah ditempat makan itu menjadi kenangan tersendiri juga...

Renungan Bunda Tentang Ayah...








Tanggal 26 Oktober 2013, tepat 3 tahun ayahanda tercinta bapak H. Satja meninggal dunia.  Banyak kenangan yg tak terlupakan dan kerap datang menjadi sebuah nostalgia….
Tulisan ini saya temukan dalam salah satu postingan teman FB saya. Tulisan yang cukup menyentuh  dan membuat airmata mengalir saat teringat pada almarhum ayahanda tercinta yang telah tiada…….

Renungan Bunda Tentang Ayah…..  

Anakku...
Memang ayah tak mengandungmu,

Tapi  darahnya mengalir didarahmu.
Darinya kau diwarisi kedermawanan & kerendahan hati. Serta namanya...

Memang ayah tak melahirkanmu,

Tapi  suaranya-lah  yang pertama mengantarkanmu pada Tauhid ketika
kau lahir...

Memang ayah tak menyusuimu,

Tapi  dari keringatnyalah  setiap suapan yang  menJãdi air susumu...

Nak...
Ayah memang tak menjagaimu setiap saat,

Tapi  tahukah  kau dalam do'anya tak pernah terlupa namamu disebutnya...

Tangisan ayah mungkin tak pernah  kau dengar karena dia ingin terlihat kuat agar kau tak ragu untuk
berlindung di lengannya dan dadanya ketika merasa tak aman...

Pelukan ayahmu mungkin tak sehangat dan seerat bunda karena kecintaannya dia takut tak sanggup melepaskanmu...

Dia ingin kau mandiri agar ketika kami tiada kau sanggup menghadapi semua sendiri...

Jauh didalam hatinya dia hanya ingin mampu membanggakanmu di mata Rasulullah, menjadi penolong di Padang Mahsyar serta menJãdi hijab dari api neraka..

Bunda hanya ingin kau tahu nak...
bahwa...
Cinta ayah kepadamu sama besarnya dengan cinta bunda...
Berbahagialah  yang
 masih punya ayah...

Dalam Hadist disampaikan, bahwa Rasulullah SAW bersabda ;
"Jagalah selalu kecintaan dari ayahmu dan janganlah engkau memutuskannya, karena yang demikian lalu Allah Ta'ala akan memadamkan cahaya dari padamu" (HR. Bukhari)

Anakku...
Jadi didirinya juga terdapat surga bagimu. Maka hormati dan sayangi ayahmu... Karena Bunda adalah tulang rusuk-nya....



Subhanallah….

Ps : Ketika sang Khaliq memanggilnya terputus pandangan mata dan belai sayangnya, hanya kiriman doa sebagai penghubung wujud kasih sayang dan pelepas rindu yang dia dambakan ....


(terima kasih teman FB yang sudah mau berbagi tulisan indah ini)


Rabu, 23 Oktober 2013

Ke Sawah





Hari itu matahari bersinar cukup terik.  Udara terasa sangat panas dan ngaheab. Kakiku yang beralaskan sandal pun masih dapat merasakan panasnya pematang sawah yang tengah kupijak. Kening berkernyit menahan silauan sinar mentari. Sayang aku lupa memakai tudung caping padahal biasanya dengan tudung caping yang lebar itu membuatku terlindung dari panas dan terlihat lebih gaya walaupun tengah berada dipesawahan.... hehe. 


Kakiku terus melangkah diatas pematang  sawah menuju saung yang terletak agak jauh ditengah-tengah pesawahan. Sawah yang akan aku kunjungi  bukan sawahku tentu saja, tapi sawah nenekku yang sudah meninggal dunia yang penggarapannya masih tetap dikerjakan oleh para penggarap sawah yang sudah bekerja dengan nenekku selama bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun, mungkin, sepanjang beliau masih ada. 


Sekian tahun lamanya aku bekerja dikantoran, terbiasa bersepatu hak tinggi dan menapaki lantai, namun mungkin sebenarnya jiwaku masih menyimpan jiwa sebagai seorang petani yang merupakan warisan dari aki nini dan leluhurku. Buktinya ketika kakiku tengah melangkah diatas pematang sawah  dan melihat disekelilingku, sejauh mata memandang hanya melihat sawah dan sawah saja, aku merasa tidak asing dengan yang kulihat, aku merasa diriku menyatu dengan alam sekitarku dan aku sudah merasa diriku adalah  sudah menjadi seorang petani…hehe…. 


Sepanjang jalan menuju sawah nenekku, dikiri kanan pematang sawah  yang kutapaki, aku melihat banyak petani dan pekerja penggarap sawah lainnya yang tengah sibuk bekerja disawah-sawah mereka.  Musim panen memang telah tiba. Musim panen yang ditunggu oleh hampir semua petani. Saatnya memetik rejeki setelah sekian bulan lamanya membanting tulang disawah.  Semuanya sibuk bekerja dengan hasil panen mereka dengan penuh harapan bahwa musim panen kali ini hasil panen mereka lebih bagus dan lebih melimpah dibandingkan musim-musim panen sebelumnya. Cerita sedih petani bukan hal baru, dari tahun ke tahun sering terjadi hasil panen seringkali  tidak sebagus yang diharapkan.  Namun wajah-wajah oftimis itu tetap terpancar diwajah  mereka, dengan tetap giat bekerja  dan gembira, dan  penuh harapan semoga panen kali ini hasilnya menggembirakan.  Gusti Allah Maha Uninga.


Akhirnya aku tiba di sawah nenekku. Seperti halnya yang kulihat tadi, beberapa penggarap sawah di sawah milik nenekku pun  tengah sibuk bekerja. Yang seorang tengah menjemur padi yang baru selesai dipanen. Sementara yang lainnya tengah mengumpulkan jerami  dan menumpukkannya dipinggir sawah lalu membakarnya. Pemandangan yang buatku terasa mengasyikan. Mengasyikan karena aku belajar tentang arti semangat dari mereka yang membanting tulang mengais rejeki ditengah sawah. Angin yang bertiup sepoi-sepoi menghapus keringatku dan merasaka tubuhku terasa lebih segar. Sambil menikmati karunia Illahi dari hembusan angin, lagi-lagi aku merasakan jiwa seorang petani telah menyerap dalam sanubariku, dan aku merasa diriku yang tengah berdiri diatas pematang sawah adalah seorang petani.. hehe…
 Padi-padi kuning yang tengah dijemur terlihat gemuk. Mang Maman, salah seorang penggarap sawah, berkata bahwa hasil panen tetap kurang memuaskan. Cuaca yang tak menentu, hujan yang berkepanjangan dan tikus yang memangsa padi yang siap dipanen adalah kendala-kendala yang dihadapi para petani. Aku sendiri kurang faham dengan dunia pertanian, namun aku mendengarkan saja cerita mang Maman sambil manggut-manggut seolah aku faham dengan apa yang dikatakannya. (ini akan menjadi pelajaran bagiku, bila kelak aku ingin menjadi petani, aku harus belajar dan memahami seluk beluk pertanian agar aku tidak menerima saja apa yang diceritakan oleh penggarap sawah).


Edisi memperhatikan kegiatan petani sudah cukup buatku. Dan aku merasa senang dengan cerita-cerita yang disampaikan mereka. Bukankah bila kelak aku ingin menjadi seorang petani aku harus tahu dulu seluk beluk dunia tani? Bila ke sawah tak lengkap rasanya bila tidak ngaliwet.  Ngaliwet sudah menjadi keharusan bila sedang ke sawah. Setelah berlelah-lelah sebentar berjalan-jalan kesana kemari, membiarkan keringat membanjiri tubuhku, akhirnya saat ngaliwet pun tiba. Di saung sudah ada kastrol untuk ngaliwet. Ada tungku yang terbuat dari batu. Ada suluh alias kayu bakar yang bertumpuk. Acara ngaliwet pun dimulai. Bi Inah, istrinya mang Maman yang bertugas untuk ngaliwet. Beras hasil panen tentu saja yang akan dijadikan liwet.   


Tak lengkap ngaliwet tanpa ditemani lauk asin. Untunglah ada warung, walaupun cukup jauh, yang jualan lauk asin. Ikan asin itu dipanggang. Caranya memanggangnya dengan menaruhnya diatas genteng yang diletakkan diatas tungku. Baunya harum dan sangat menggugah selera. Tak percaya? Silahkan mencoba sendiri dan rasakan kenikmatannya.  Aku sendiri kebagian membuat sambel terasi. Terasinya dibakar.  Aku mengulek cabe rawit segenggam, terasi, gula merah, bawang merah dan hasilnya, secowet sambel terasi yang sangat pedas sekali.  Ada yang bilang, sambel ulekan buatanku uenak sekali....hehe...





Udara siang yang panas terik dan menyengat, tak mampu mengurangi kenikmatan ketika mulai berkumpul bersama para penggarap sawah sambil mulai menikmati nasi liwet, ikan asin bakar dan sambel  yang pedas menyengat lidah. Dan tak ketinggalan pula air teh panas yang dibuat mendadak. Teh tubruk yang mendadak diseduh dengan air mendidih yang baru diangkat dari perapian. Sambil makan, sambil menunggu teh tubruknya agak mendingin. Begitu selesai makan, hemmmm….. nikmat bukan main diakhiri dengan segelas teh tubruk hangat. Alhamdulillah Yaa Allah atas segala nikmat dan rejeki yang telah Engkau berikan padaku....