Pondok kayu di desa itu terasa sunyi dan sepi. Hanya bunyi gemersik dedaunan yang dihembus
angin yang sesekali terdengar ditengah kesunyian itu. Diandra, perempuan
bertubuh pendek dan gemuk itu mengambil dua buah piring berisi makanan dan menaruhnya diatas meja kayu ditengah
ruangan didalam pondok kayu itu. Dia melihat puteri Leyla tengah berdiri
termenung didepan jendela sambil menatap keluar. Kesedihan membayang pada
sepasang mata Leyla yang jeli dan
bening. Rambutnya yang ikal panjang terurai. Diandra memahami kesedihan puteri majikannya.
Kematian seluruh keluarganya pasti sangat memukul perasaan puteri Leyla.
“Sudahlah tuanku, jangan
dipikirkan terus.” Diandra menghampiri Leyla dan.mengelus bahunya.
Leyla menoleh. “Ya, Diandra.
Aku masih belum bisa melupakan peristiwa sedih yang terjadi pada keluargaku.
Aku kehilangan seluruh keluargaku. Ayahku, ibuku, kakak dan kedua adikku.
Bagaimana aku tidak merasa sedih dengan kejadian ini?”
Diandra duduk menghadapi
meja makan. Leyla mengikutinya dan duduk dihadapan Diandra. Leyla menatap
makanan sederhana yang dibuat Diandra.
“Diandra, kini hanya engkau
yang aku miliki didunia ini. Aku merasa
kasihan kepadamu karena engkau jadi terbawa sengsara olehku. Andai engkau tidak
membawaku kedesamu ini dan menempati pondok peninggalan orangtuamu ini, entah
dimana aku akan tinggal karena aku sudah tidak memiliki lagi tempat tinggal
setelah istana ayahku dihancurkan musuh dan pengkhianat.”
Diandra tersenyum mendengar
ucapan Leyla. “Tuanku, selama ini sudah
banyak sekali yang diberikan ayahanda dan ibunda tuanku kepada saya selama saya
mengabdikan diri di istana. Saya ingin membalas budi semua kebaikan ayahanda
dan ibunda tuan puteri.”
“Tapi aku sekarang sudah
tidak punya apa-apa lagi, Diandra. Aku sekarang hanyalah seorang miskin yang
terpaksa lari dari istana tanpa membawa apapun juga.”
“Tuan
puteri tidak usah merisaukan hal itu. Siapa tahu suatu saat istana ayahanda
tuan puteri akan bisa dimiliki lagi.” Diandra melihat masakan yang dibuatnya.
“Sekarang mari kita makan dulu, tuan puteri. Masakan sederhana ini cukup untuk
mengenyangkan perut kita.”
Leyla
menikmati masakan buatan Diandra. Keduanya makan dengan lahap. Didalam ruangan
yang tidak besar itu hanya diterangi sebatang lilin yang diletakkan diatas
meja.
Setelah
makan Leyla masuk kekamarnya. Dia mengambil selembar kulit kambing dan
diperlihatkannya kepada Diandra.
“Diandra,
sebelum meninggal ayah menyerahkan lembaran kulit kambing ini kepadaku.” Kata
Leyla. “Namun aku tidak sempat bertanya apapun pada ayahku karena ayah keburu
menghembuskan nafasnya.”
Diandra
meneliti lembaran kulit kambing itu. “Saya tidak mengerti, tuan puteri. Saya
tidak tahu apa maksudnya ayahanda tuan puteri memberikan lembaran kulit kambing
ini kepada tuan puteri.”
Leyla
memperhatikan kulit kambing itu. “Kulit kambing ini pasti sudah tua sekali
usianya. Namun aku tidak mengerti kenapa ayah memberikan kulit kambing ini
kepadaku.”
Diandra
mencondongkan tubuhnya. Pada saat itu sikutnya menyenggol lilin. Lilin terjatuh
dan menimpa kulit kambing yang diletakkan Leyla diatas meja.
“Oh,
kau ceroboh sekali, Diandra.” Seru Leyla.
Diandra
mengambil lilin dari atas kulit kambing. Tiba-tiba dia berseru. “Tuanku, lihat.
Ada gambar pada kulit kambing itu.”
Leyla
memperhatikan. Dia terkejut melihat gambar yang muncul pada permukaan kulit
kambing yang tertimpa lilin. “Diandra, kulit yang terbakar lilin itu jadi ada gambarnya.”
Leyla
memanggang kulit kambing itu diatas lilin dengan hati-hati. Dia tertegun ketika
perlahan-lahan seluruh permukaan kulit kambing itu dipenuhi gambar. Dia mencoba
memperhatikan dengan seksama. Gambar itu adalah denah istana ayahnya.
“Ini
denah istana ayah, Diandra.”
“Pasti
ada maksudnya ayahanda tuanku menyerahkan kulit kambing ini pada tuanku.’
“Diandra!
Coba perhatikan. Ini ruangan apa? Aku belum pernah masuk keruangan ini.”
Diandra
ikut memperhatikan. Yah, ada satu ruangan dibawah kamar-kamar yang rasanya dia
belum pernah mengetahuinya.
Malam
itu Leyla dan Diandra bercakap-cakap sampai jauh malam. Mereka ingin mengetahui
ruangan apakah yang tergambar pada kulit kambing itu.
Esok
harinya keduanya menyamar dan pergi ke istana yang sudah hangus dibakar musuh.
Ketika keduanya tiba di bekas istana itu, keadaan sangat sunyi. Tidak terlihat
ada seorang pun yang masih tinggal di istana yang sudah luluh lantak dibakar
musuh.
Leyla
menangis melihat keadaan istana ayahnya yang hancur. Diandra mengajaknya
mencari ruangan itu. Ketika mereka turun keruangan dibawah istana, akhirnya
mereka menemukan ruangan itu. Namun pintunya terkunci rapat dan digembok. Musuh
yang menghancurkan istana rupanya tidak mengetahui keberadaan satu ruangan itu.
Leyla mencoba meneliti kembali gambar
pada kulit kambing itu.
“Diandra,
kuncinya ada pada batang pohon tua dibelakang istana. Lihat, ini ada gambar
kunci pada batang pohon dibelakang istana.” Seru Leyla.
Keduanya
berlari menuju pohon tua dibelakang istana. Dibelakang batang pohon tua itu ada
sebuah lubang yang bisa dimasuki tubuh anak kecil. Leyla mencoba memasukan
kakinya kedalam lubang itu. Dia meraba-raba dengan kakinya. Tiba-tiba ibu jari
kaki kanannya menyentuh benda dingin. Leyla mengeluarkan kakinya dari lobang
pohon itu. Kini dia memasukan kepalanya dan tangannya kedalam lubang itu dan
mengambil benda yang tadi tersentuh ibu jarinya. Ketika benda itu sudah
terpegang, Leyla mengeluarkan kepalanya.
“Diandra,
aku sudah mendapatkan kuncinya.”
Keduanya
berlari kembali keruangan itu. Leyla membuka pintu ruangan itu. Dia
terperangah. Didalam ruangan itu berisi harta benda milik ayahnya. Beberapa
buah peti yang berisi emas dan berlian.
“Diandra,
sekarang aku tahu kenapa pengkhianat itu menyerang istana ayah. Mereka
mengincar harta ini namun mereka tidak mengetahui keberadaan ruangan ini.”
“Ya,
tuanku.” Diandra menatap Leyla. “Sekarang tuan puteri bisa membangun kembali
istana ayahanda tuan puteri.”
“Tidak.”
Leyla menggeleng. “Aku takut musuh akan menyerang kembali istana ini bila
mereka tahu aku masih hidup.”
“Lalu
apa rencana tuan puteri selanjutnya?”
“Diandra,
kita kembali ke desamu. Dengan uang
peninggalan ayahku ini aku akan membeli sebidang tanah didesamu, membangun
rumah untuk tempat tinggalku dan aku membuat pertanian dan peternakan di desamu. Aku ingin menjadi seorang petani
didesamu, Diandra. Biarlah aku tidak
menjadi seorang puteri lagi. Aku hanya ingin hidup tenang.”
Diandra
setuju dengan keputusan Leyla. Mereka kembali ke desa Diandra. Leyla membeli
sebidang tanah yang luas. Dia membangun sebuah rumah yang besar dengan
halamannya yang luas. Lalu dia membeli
lahan yang luas untuk pertanian dan perternakan sapi dan biri-biri. Selama
beberapa tahun Diandra masih tetap sebagai pelayan yang setia bagi Leyla hingga
akhirnya Leyla melihat bahwa pengabdian Diandra sudah cukup kepadanya. Sudah
saatnya Diandra berhenti bekerja dan menikmati hidupnya dengan tenang.
Leyla
memberikan emas yang cukup pada Diandra agar Diandra bisa memperbaiki pondoknya
dan memiliki usaha sendiri untuk menjamin masa tuanya. Diandra yang telah terlatih
menjadi koki istana dan pelayan diistana selama bertahun-tahun akhirnya membuka
sebuah toko roti didesanya. Keahliannya membuat roti dan beragam masakan sudah
tidak diragukan lagi. Namun Diandra memilih menggunakan keahliannya dalam
membuat beragam roti yang enak dan lezat. Didesa itu kemudian toko roti milik
Diandra sangat terkenal dan banyak langganannya.
Ketika
Leyla sudah menikah, dan hingga masa tua
mereka, Leyla dan Diandra masih tetap menjaga
hubungan mereka dan selalu saling mengunjungi.
---
0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar