Jumat, 10 Mei 2013

Diandra dan Leyla





Pondok kayu di desa  itu terasa sunyi dan sepi.  Hanya bunyi gemersik dedaunan yang dihembus angin yang sesekali terdengar ditengah kesunyian itu. Diandra, perempuan bertubuh pendek dan gemuk itu  mengambil dua  buah piring berisi makanan  dan menaruhnya diatas meja kayu ditengah ruangan didalam pondok kayu itu. Dia melihat puteri Leyla tengah berdiri termenung didepan jendela sambil menatap keluar. Kesedihan membayang pada sepasang mata Leyla  yang jeli dan bening. Rambutnya yang ikal panjang terurai.  Diandra memahami kesedihan puteri majikannya. Kematian seluruh keluarganya pasti sangat memukul perasaan puteri Leyla.
“Sudahlah tuanku, jangan dipikirkan terus.” Diandra menghampiri Leyla dan.mengelus bahunya.
Leyla menoleh. “Ya, Diandra. Aku masih belum bisa melupakan peristiwa sedih yang terjadi pada keluargaku. Aku kehilangan seluruh keluargaku. Ayahku, ibuku, kakak dan kedua adikku. Bagaimana aku tidak merasa sedih dengan kejadian ini?”
Diandra duduk menghadapi meja makan. Leyla mengikutinya dan duduk dihadapan Diandra. Leyla menatap makanan sederhana yang dibuat Diandra.
“Diandra, kini hanya engkau yang aku  miliki didunia ini. Aku merasa kasihan kepadamu karena engkau jadi terbawa sengsara olehku. Andai engkau tidak membawaku kedesamu ini dan menempati pondok peninggalan orangtuamu ini, entah dimana aku akan tinggal karena aku sudah tidak memiliki lagi tempat tinggal setelah istana ayahku dihancurkan musuh dan pengkhianat.”
Diandra tersenyum mendengar ucapan Leyla. “Tuanku, selama  ini sudah banyak sekali yang diberikan ayahanda dan ibunda tuanku kepada saya selama saya mengabdikan diri di istana. Saya ingin membalas budi semua kebaikan ayahanda dan ibunda tuan puteri.”
“Tapi aku sekarang sudah tidak punya apa-apa lagi, Diandra. Aku sekarang hanyalah seorang miskin yang terpaksa lari dari istana tanpa membawa apapun juga.”
“Tuan puteri tidak usah merisaukan hal itu. Siapa tahu suatu saat istana ayahanda tuan puteri akan bisa dimiliki lagi.” Diandra melihat masakan yang dibuatnya. “Sekarang mari kita makan dulu, tuan puteri. Masakan sederhana ini cukup untuk mengenyangkan perut kita.”
Leyla menikmati masakan buatan Diandra. Keduanya makan dengan lahap. Didalam ruangan yang tidak besar itu hanya diterangi sebatang lilin yang diletakkan diatas meja.
Setelah makan Leyla masuk kekamarnya. Dia mengambil selembar kulit kambing dan diperlihatkannya kepada Diandra.
“Diandra, sebelum meninggal ayah menyerahkan lembaran kulit kambing ini kepadaku.” Kata Leyla. “Namun aku tidak sempat bertanya apapun pada ayahku karena ayah keburu menghembuskan nafasnya.”
Diandra meneliti lembaran kulit kambing itu. “Saya tidak mengerti, tuan puteri. Saya tidak tahu apa maksudnya ayahanda tuan puteri memberikan lembaran kulit kambing ini kepada tuan puteri.”
Leyla memperhatikan kulit kambing itu. “Kulit kambing ini pasti sudah tua sekali usianya. Namun aku tidak mengerti kenapa ayah memberikan kulit kambing ini kepadaku.”
Diandra mencondongkan tubuhnya. Pada saat itu sikutnya menyenggol lilin. Lilin terjatuh dan menimpa kulit kambing yang diletakkan Leyla diatas meja.
“Oh, kau ceroboh sekali, Diandra.” Seru Leyla.
Diandra mengambil lilin dari atas kulit kambing. Tiba-tiba dia berseru. “Tuanku, lihat. Ada gambar pada kulit kambing itu.”
Leyla memperhatikan. Dia terkejut melihat gambar yang muncul pada permukaan kulit kambing yang tertimpa lilin. “Diandra, kulit yang terbakar  lilin itu jadi ada gambarnya.”
Leyla memanggang kulit kambing itu diatas lilin dengan hati-hati. Dia tertegun ketika perlahan-lahan seluruh permukaan kulit kambing itu dipenuhi gambar. Dia mencoba memperhatikan dengan seksama. Gambar itu adalah denah istana ayahnya.
“Ini denah istana ayah, Diandra.”
“Pasti ada maksudnya ayahanda tuanku menyerahkan kulit kambing ini pada tuanku.’
“Diandra! Coba perhatikan. Ini ruangan apa? Aku belum pernah masuk keruangan ini.”
Diandra ikut memperhatikan. Yah, ada satu ruangan dibawah kamar-kamar yang rasanya dia belum pernah mengetahuinya.
Malam itu Leyla dan Diandra bercakap-cakap sampai jauh malam. Mereka ingin mengetahui ruangan apakah yang tergambar pada kulit kambing itu.
Esok harinya keduanya menyamar dan pergi ke istana yang sudah hangus dibakar musuh. Ketika keduanya tiba di bekas istana itu, keadaan sangat sunyi. Tidak terlihat ada seorang pun yang masih tinggal di istana yang sudah luluh lantak dibakar musuh.
Leyla menangis melihat keadaan istana ayahnya yang hancur. Diandra mengajaknya mencari ruangan itu. Ketika mereka turun keruangan dibawah istana, akhirnya mereka menemukan ruangan itu. Namun pintunya terkunci rapat dan digembok. Musuh yang menghancurkan istana rupanya tidak mengetahui keberadaan satu ruangan itu. Leyla mencoba meneliti kembali  gambar pada kulit kambing itu.
“Diandra, kuncinya ada pada batang pohon tua dibelakang istana. Lihat, ini ada gambar kunci pada batang pohon dibelakang istana.” Seru Leyla.
Keduanya berlari menuju pohon tua dibelakang istana. Dibelakang batang pohon tua itu ada sebuah lubang yang bisa dimasuki tubuh anak kecil. Leyla mencoba memasukan kakinya kedalam lubang itu. Dia meraba-raba dengan kakinya. Tiba-tiba ibu jari kaki kanannya menyentuh benda dingin. Leyla mengeluarkan kakinya dari lobang pohon itu. Kini dia memasukan kepalanya dan tangannya kedalam lubang itu dan mengambil benda yang tadi tersentuh ibu jarinya. Ketika benda itu sudah terpegang, Leyla mengeluarkan kepalanya.
“Diandra, aku sudah mendapatkan kuncinya.”
Keduanya berlari kembali keruangan itu. Leyla membuka pintu ruangan itu. Dia terperangah. Didalam ruangan itu berisi harta benda milik ayahnya. Beberapa buah peti yang berisi emas dan berlian.
“Diandra, sekarang aku tahu kenapa pengkhianat itu menyerang istana ayah. Mereka mengincar harta ini namun mereka tidak mengetahui keberadaan ruangan ini.”
“Ya, tuanku.” Diandra menatap Leyla. “Sekarang tuan puteri bisa membangun kembali istana ayahanda tuan puteri.”
“Tidak.” Leyla menggeleng. “Aku takut musuh akan menyerang kembali istana ini bila mereka tahu aku masih hidup.”
“Lalu apa rencana tuan puteri selanjutnya?”
“Diandra, kita kembali ke desamu.  Dengan uang peninggalan ayahku ini aku akan membeli sebidang tanah didesamu, membangun rumah untuk tempat tinggalku dan aku membuat pertanian dan peternakan  di desamu. Aku ingin menjadi seorang petani didesamu, Diandra.  Biarlah aku tidak menjadi seorang puteri lagi. Aku hanya ingin hidup tenang.”
Diandra setuju dengan keputusan Leyla. Mereka kembali ke desa Diandra. Leyla membeli sebidang tanah yang luas. Dia membangun sebuah rumah yang besar dengan halamannya yang luas.  Lalu dia membeli lahan yang luas untuk pertanian dan perternakan sapi dan biri-biri. Selama beberapa tahun Diandra masih tetap sebagai pelayan yang setia bagi Leyla hingga akhirnya Leyla melihat bahwa pengabdian Diandra sudah cukup kepadanya. Sudah saatnya Diandra berhenti bekerja dan menikmati hidupnya  dengan tenang.
Leyla memberikan emas yang cukup pada Diandra agar Diandra bisa memperbaiki pondoknya dan memiliki usaha sendiri untuk menjamin masa tuanya. Diandra yang telah terlatih menjadi koki istana dan pelayan diistana selama bertahun-tahun akhirnya membuka sebuah toko roti didesanya. Keahliannya membuat roti dan beragam masakan sudah tidak diragukan lagi. Namun Diandra memilih menggunakan keahliannya dalam membuat beragam roti yang enak dan lezat. Didesa itu kemudian toko roti milik Diandra sangat terkenal dan banyak langganannya.
Ketika  Leyla sudah menikah, dan hingga masa tua mereka, Leyla dan Diandra  masih tetap menjaga hubungan mereka dan selalu saling mengunjungi.

--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar