Senin, 30 Maret 2015

Membakar Ikan


Membakar Ikan

Bunyi halilintar kembali menggelegar memecah langit. Nira menutup telinganya dengan perasaan takut. Setiap kali terdengar bunyi halilintar jantungnya selalu berdegup kencang. Hujan turun dengan derasnya seperti dicurahkan dari langit. Nira melihat keluar jendela. Kolam disamping rumah nampak beriak-riak tertimpa curah hujan yang begitu deras.
"Nira, tutup saja jendelanya. Anginnya kencang sekali." kata nenek ketika melihat Nira yang tengah berdiri didekat jendela.
"Ya, nek." sahut Nira sambil menutup daun jendela. Namun dia tidak menguncinya karena hari masih siang. Hanya saja langit terlihat kelabu dan gelap sehingga kelihatannya hari sudah sore. Nira tinggal bersama neneknya. Kakek dan kedua orangtuanya sudah meninggal sehingga Nira tinggal bersama neneknya. 
Halilintar kembali terdengar menggelegar. Bergegas Nira masuk kedalam kamarnya. Dia mengambil buku dan membacanya. Namun pikirannya tidak pada buku yang tengah dibacanya. Dia mendengarkan bunyi curah hujan yang begitu deras menimpa genting rumah. Dia keluar kamarnya lagi. Dilihatnya neneknya tengah duduk diruangan tengah sambil menikmati singkong rebus.
"Hujannya deras sekali." kata nenek.
"Ya. Kolam tadi kelihatan penuh sekali." kata Nira. Mendadak dia teringat kembali pada kolam yang tadi dilihatnya. Bergegas dia memburu jendela dan membuka kembali daun jendela. Benar saja dugaannya. Air kolam melimpah dan ikah-ikan tumpah keluar dari kolam.
"Benar dugaanku." teriak Nila. "Air kolam membludak. Ikan-ikannya keluar dari kolam."
Nenek bangkit dan menghampir jendela. Ikut melihat keluar. "Ah, hujannya memang deras sekali. Ikan-ikan itu..... cepat panggil bi Yayah. Ikan-ikan itu harus segera  dipunguti."
Nira bergegas pergi ke dapur memanggil bi Yayah, pembantu dirumah nenek  yang tengah sibuk menyalakan api ditungku menanak nasi.
"Bi Yayah, air kolam membludak. Ikan-ikannya keluar dari kolam dan berserakan di tanah." seru Nira.
Bi Yayah bergegas bangkit, mengambil payung yang disangkutkan didinding dan membuka pintu dapur. Bi Yayah memegangi payung dan memburu kolam yang disamping rumah. Benar saja ikan-ikan sudah banyak yang berserakan ditanah.
Bi Yayah mengambil ember besar, mengisinya dengan air dan memasukan ikan-ikan itu kedalam ember.
"Bantu bi Yayah memunguti ikan-ikan itu." kata nenek. "Masukan saja kedalam ember-ember dan baskom."
"Ya" Nira bergegas mengambil payung dan keluar rumah membantu bi Yayah memunguti ikan dan memasukannya kedalam ember.
"Ikannya sudah terlalu banyak didalam kolam." kata bi Yayah pada nenek yang tengah memperhatikan mereka dari jendela.  Bi Yayah mengambil semua ember besar dan mengisinya dengan ikan-ikan itu. 
"Masukan saja semuanya kedalam ember dan baskom." seru nenek.
Empat buah ember dan tiga buah baskom besar telah penuh dengan ikan.
"Dijual saja, mak." kata bi Yayah ketika melihat ikan-ikan yang terkumpul ternyata sangat banyak.
"Ya, jual saja pada tetangga yang mau membeli. Sebagian sisakan untuk kita. Emak akan membuat dendeng ikan." kata nenek.
Hujan mulai mereda dan pekerjaan bi Yayah dan Nira mengumpulkan ikan sudah selesai bersamaan dengan redanya hujan. Bi Yayah bergegas menemui beberapa orang tetangga yang terdekat yang berminat membeli ikan. Tak lama kemudian beberapa orang tetangga berdatangan dan melihat ikan-ikan yang berada didalam ember dan baskom. Mereka membeli ikan-ikan itu. Kehidupan di desa selalu menyenangkan. Sementara nenek memilih-milih ikan yang akan dimasaknya sebagian dan sebagian lagi akan dibuat dendeng. Sementara Nira mengambil dua buah ikan mas yang cukup besar. Tiba-tiba saja dia ingin sekali membakar ikan.
"Nek, ikan mas yang dua ini buat saya ya." kata Nira sambil menunjukan kedua ikan mas itu.
"Boleh. Akan kau masak apa ikan-ikan itu?" tanya nenek.
"Aku ingin membakar ikan, nek. Pastinya enak sekali membakar ikan ditengah cuaca yang dingin ini." kata Nira.
"Suruh bi Yayah membersihkan kedua ikan mas itu dan mengeluarkan isi perutnya. Dan kau menyiapkan bumbunya ya." kata nenek.
Bi Yayah sudah selesai menjual ikan-ikan itu pada tetangga dan memberikan uang hasil penjualannya kepada nenek. Dia lalu membersihkan kedua ikan mas itu, setelah itu menyiapkan pembakaran untuk membakar ikan itu. Sementara Nira menyiapkan bumbu-bumbu yang akan digunakan untuk membakar kedua ikan mas itu. Dia mengulek bawang putih, garam serta jahe. Setelah kedua ikan mas itu bersih, dia membalur kedua ikan itu dengan bumbu yang tadi diuleknya. Dengan dibantu bi Yayah  dibakarnya ikan itu. Tak lama kemudian tercium bau haram ikan bakar. Setelah ikan setengah matang, dia melumuri ikan itu dengan kecap lalu membakarnya lagi. Sementara bi Yayah membuat sambal kecap. Cabe rawitnya diiris tipis-tipis dan kemudian dimasukan kedalam mangkok kecil, lalu menuangkan kecap secukupnya.
Tak lama kemudian kedua ikan bakar itu telah matang. Bi Yayah menyiapkan nasi hangat. Mereka bertiga duduk mengelilingi ikan bakar itu. Ah, rasanya sangat sedap sekali makan nasi hangat dengan lauknya ikan bakar itu yang masih mengepul panas.   


Bunga Di Tebing Bukit



Bunga Di Tebing Bukit

Ratu Shalima adalah permaisuri Raja Shan. Ratu Shalima terkenal dengan kecantikan dan kebaikan budinya. Rakyat sangat mencintai Ratu Shalima karena Ratu Shalima sangat dekat dengan rakyatnya. Namun dari sekian banyak rakyat yang mencintainya, selalu ada saja orang yang merasa iri dan dengki kepadanya. Orang yang membenci Ratu Shalima adalah Puteri Kania, salah seorang selir Raja Shan. Puteri Kania sangat iri dengan kecantikan Ratu Shalima yang membuat Raja sangat mencintai permaisurinya itu. Berbagai upaya sering dilakukan oleh Puteri Kania agar perhatian Raja Shan beralih kepadanya. Namun bagaimanapun kerasnya upaya Puteri Kania, semua upaya Puteri Kania sia-sia saja karena Raja Shan malahan semakin mencintai Ratu Shalima.
Suatu hari Puteri Kania berjalan-jalan dibelakang istana sambil melamun. Dia merasa sedih karena raja kurang memperhatikannya. Raja memiliki beberapa selir namun hampir pada semua selirnya raja kurang perhatian, hanya kepada Ratu Shalima saja raja memberikan perhatian sepenuhnya. Tak terasa langkah Puteri Kania semakin jauh meninggalkan istana. Hingga akhirnya dia tiba diujung lereng. Puteri Kania memandang kebawah lereng yang terjal dan dalam. Pikirannya terasa kalut dibakar perasaan cemburu pada Ratu Shalima dan kemarahannya kepada Raja Shan. Kakinya berdiri diujung lereng. Sementara tatapan matanya menukik kebawah lereng. Puteri Kania berdiri ditempatnya sekian lamanya tanpa berbuat apa-apa. Tiba-tiba Puteri Kania melihat ada sebuah rumpun bunga yang sangat cantik sekali. Bunga itu tumbuh ditebing lereng. Tak mungkin untuk memetik bunga itu karena dia harus menuruni tebing yang terjal dan licin. Bunga itu berwarna merah dan jingga yang sangat cantik sekali tertimpa sinar matahari.
Puteri Kania menatap bunga itu sekian lamanya sambil berpikir bagaimana caranya agar dia bisa memetik bunga itu.
"Ah, sedang melihat apakah tuan puteri? Hati-hati, nanti terpeleset." sebuah suara mengejutkan Puteri Kania yang tengah asyik memperhatikan bunga itu.
Puteri Kania menoleh. Dia melihat seorang wanita tua yang tengah membawa kayu bakar dipunggungnya. Rupanya wanita tua itu adalah seorang pencari kayu bakar di hutan.
"Aku tengah memperhatikan bunga yang tumbuh dilereng tebing itu. Cantik sekali." kata Puteri Kania.
Wanita itu melihat pada bunga yang ditunjukan oleh Puteri Kania.
"Ah, bunga itu memang sangat cantik, namun sangat beracun sekali." kata wanita tua itu. "Bentuknya memang cantik dan menawan namun siapapun yang memegang bunga itu tangan dan tubuhnya nanti akan terasa gatal sekali karena ada racun pada kelopak-kelopak bunganya."
"Oh, begitukah?" tanya Puteri Kania tak percaya.
"Ya, bunga seperti itu hanya tumbuh ditebing-tebing bukit saja karena sangat berbahaya apabila kita memegangnya." kata wanita tua itu.
Puteri Kania hanya termangu mendengar penjelasan wanita tua itu. Ketika wanita tua itu telah pergi berlalu, Puteri Kania memberanikan diri menuruni tebing itu perlahan-lahan. Dia akan memetik bunga itu. Kakinya menginjak tebing itu dengan hati-hati dan berusaha semakin mendekati bunga itu. Akhirnya upayanya berhasil. Dia berhasil menjangkau rumpun bunga itu. Kania memetik beberapa batang bunga itu dengan hati-hati agar tangannya tidak menyentuh bunga-bunganya, lalu membungkusnya dengan ujung gaunnya. Setelah itu dia naik kembali ke atas dan bergegas pulang kembali ke istana.
Puteri Kania memiliki seorang pelayan, namanya Nira. Dia memanggil Nira.
"Nira, masukan bunga-bunga ini kedalam bokor bunga yang biasa dipakai Ratu Shalima untuk mandi. Jangan sampai ada yang tahu kau memasukan bunga ini kedalam bokor bunga." kata Puteri Kania.
Nira mematuhi perintah Puteri Kania. Puteri Kania masuk kedalam kamarnya. Dia tersenyum dalam hatinya sambil membuang gaun yang dipakainya tadi kedalam tempat sampah.
Esok paginya Puteri Kania mendengarkan kegemparan diluar kamarnya. Bergegas dia keluar kamarnya. Beberapa dayang istana kelihatan tengah sibuk mondar mandir.
"Ada apa?" tanya Puteri Kania pada salah seorang dayang.
"Ratu Shalima sakit. Sekujur tubuhnya gatal-gatal." jawab pelayan itu.
Bergegas Puteri Kania masuk kembali kedalam kamarnya dan tersenyum dengan puas.
Siang hari Puteri Kania melihat beberapa orang tabib istana memasuki kamar Ratu Shalima dan berusaha mengobati sakit Ratu Shalima. Namun dari sekian banyak tabib yang berusaha mengobati Ratu Shalima, tak seorangpun yang berhasil menyembuhkan Ratu Shalima. Puteri Kania merasa senang mendengar gatal-gatal diseluruh tubuh Ratu Shalima semakin parah dan Raja Shan sangat sedih melihat keadaan permaisuri yang sangat dicintainya itu.
Berbulan-bulan lamanya Ratu Shalima menderita sakit gatal-gatal. Sekarang keadaannya sudah semakin parah karena sekujur kulit tubuhnya sudah rusak dan bernanah karena akibat gatal-gatal itu sudah berubah menjadi luka yang menjijikan. Oh, bukan main sedihnya perasaan Raja. Akibat luka-lukanya itu kini tubuh Ratu Shalima mulai berbau dan dayang-dayang pun menjadi enggan mendekatinya karena tidak kuat dengan bau yang dikeluarkan dari luka-luka ditubuh Ratu Shalima.
Suatu hari Ratu Shalima berkata kepada Raja Shan. "Suamiku, aku tahu kondisi tubuhku sekarang sudah sangat parah. Aku akan mencoba menyingkir untuk sementara waktu dari istana ini untuk menyembuhkan luka-lukaku ini." kata Ratu Shalima.
"Kemana engkau akan pergi? Aku tak mungkin membiarkan engkau pergi jauh dari istana. Aku sangat mencemaskanmu." kata Raja Shan.
"Dibelakang istana ini, agak jauh dari istana, didekat hutan, ada sebuah tempat didekat lereng bukit. Buatkan aku sebuah gubuk untuk aku tinggal disana untuk sementara waktu sambil aku menyembuhkan luka-lukaku ini." kata Ratu Shalima.
Raja Shan mengabulkan permintaan Ratu Shalima. Raja segera memerintahkan para pegawai istana untuk membuatkan sebuah gubuk yang pantas untuk Ratu Shalima. Didekat gubuk itu dibuatkan pula jamban untuk Ratu Shalima. Setelah gubuk itu selesai dibuat, Ratu Shalima segera berangkat ke gubuk itu seorang diri. Beberapa orang pelayannya yang setia ingin ikut serta menemani Ratu Shalima namun Ratu Shalima menolak. Dia ingin tinggal sendirian saja digubuk itu.
Berhari-hari lamanya Ratu Shalima berdiam diri didalam bilik gubuknya itu sambil berdoa. Sesekali dia mandi dijamban disamping gubuknya sambil berusaha mengobati luka-lukanya dengan daun-daunan yang ditemuinya disekitar gubuknya. Suatu hari Ratu Shalima berjalan-jalan hingga ke tepi lereng bukit. Tiba-tiba dia melihat ada bunga yang sangat cantik sekali yang tumbuh ditebing.
"Ah, bunga yang sangat cantik sekali. Rasanya aku baru kali ini melihat bunga yang seperti itu." kata Ratu Shalima dalam hatinya. Ketika dia akan melangkah mendekati ujung tebing, mendadak sebuah suara menyapanya.
"Oh, hati-hati tuanku, nanti terpeleset."
Ratu Shalima menoleh. Dia melihat seorang wanita tua dengan tumpukan kayu bakar dipunggungnya tengah memperhatikannya.
"Apa yang tuanku perhatikan dibawah tebing itu?" tanya wanita tua itu sambil memperhatikan luka-luka disekujur tubuh Ratu Shalima dan juga diwajahnya. "Ah, kenapa pula wajah dan tubuhmu ini, tuanku? Apakah tuanku tengah sakit?"
"Ya. Aku sedang sakit. Tubuhku semula menderita gatal-gatal yang hebat namun kini sudah berubah menjadi luka-luka." sahut Ratu Shalima. "Aku barusan tengah memperhatikan bunga itu yang tumbuh dilereng tebing. Cantik sekali. aku ingin menanamnya disamping gubukku."
Wanita tua itu mengikuti pandangan mata Ratu Shalima. Wanita tua itu mengerutkan keningnya. "Ah, bunga itu sangat beracun sekali. Aku ingat, rasanya pernah ada juga seorang wanita yang ingin memetik bunga aku. Aku sudah memberitahunya bahwa bunga itu beracun. Namun wanita itu tetap turun ketebing dan memetik bunga itu. Aku ingat saat itu aku sudah akan meninggalkannya namun aku melihat wanita itu turun dan naik kembali dengan bunga itu yang dibungkus ujung gaunnya." kata wanita tua itu.
"Oh, begitukah? Siapakah dia?" tanya Ratu Shalima tertarik.
"Aku tidak tahu. Namun bila melihat dari pakaian yang dikenakannya kelihatannya wanita itu seperti orang dari istana." sahut wanita tua itu sambil kembali memperhatikan luka-luka ditubuh Ratu Shalima. "Tuanku, bolehkah saya melihat luka-luka ditubuh tuanku ini?"
"Baiklah. Marilah ke gubukku." ajak Ratu Shalima. Wanita tua pencari kayu bakar itu mengikuti Ratu Shalima ke gubuk yang tidak jauh letaknya dari tempat mereka bertemu.
Ketika sudah sampai digubuk, wanita tua itu memeriksa sekujur tubuh Ratu Shalima. "Tuanku, luka-luka tuanku kelihatannya disebabkan oleh bunga beracun itu. Awalnya tuanku hanya menderita gatal-gatal saja setelah terkena bunga itu, namun kini gatal-gatal itu sudah berubah menjadi luka-luka yang bernanah."
"Ya." sahut Ratu Shalima.
"Obatnya tidak lain adalah akar dari bunga beracun itu. Kita harus berusaha menuruni tebing dan mengambil akar bunga beracun itu." kata wanita tua itu.
"Baiklah, saya dan emak akan mencoba menuruni tebing itu." kata Ratu Shalima.
Kedua wanita itu kembali ketempat ditepi lereng. Ratu Shalima dan wanita tua itu perlahan-lahan menuruni tebing. Akhirnya mereka bisa mencapai tempat dimana bunga itu tumbuh. Wanita tua itu mengeluarkan goloknya dan menggali akar bunga itu. Setelah berhasil mendapatkan akar bunga itu keduanya kembali naik keatas. Mereka kembali ke gubuk Ratu Shalima. Setelah akar bunga itu dibersihkan, wanita tua itu merebus akar itu dengan air hingga mendidih. Air godogan itu berubah menjadi merah seperti darah. Wanita tua itu menuangkan air godogan akar bunga itu kedalam cangkir yang terbuat dari batok kelapa yang dibawanya dan menyuruh Ratu Shalima meminumnya. Ratu Shalima meminum air godogan akar bunga itu yang masih hangat. Sepanjang hari itu beberapa kali Ratu Shalima meminum air godogan akar bunga itu. Malamnya, Ratu Shalima bisa tidur dengan nyenyak dan tidak terganggu lagi dengan rasa sakit ditubuhnya. Esok paginya Ratu Shalima melihat luka-lukanya telah mengering.
Wanita tua itu datang kembali menemui Ratu Shalima. Dia tersenyum melihat luka-luka ditubuh Ratu Shalima telah mulai mengering. Hampir setiap hari wanita tua itu menemui Ratu Shalima dan mengobati luka-lukanya. Ketika luka-luka itu telah mengering dan sembuh, wanita tua itu membuatkan ramuan dari kunyit  yang kemudian dibalurkan keseluruh tubuh Ratu Shalima. Sebulan lamanya wanita tua itu mengobati Ratu Shalima dan menyembuhkan bekas luka-luka hingga akhirnya kecantikan Ratu Shalima telah pulih kembali.
"Sudah saatnya tuanku kembali ke istana." kata wanita tua itu ketika melihat kecantikan Ratu Shalima telah pulih seperti sedia kala.
"Aku tidak akan kembali lagi ke istana, Emak. Aku sudah merasa senang luka-lukaku telah sembuh dan aku sekarang bisa menikmati kehidupan yang sederhana disini." sahut Ratu Shalima.
"Pulanglah ke istana, aku akan mengantarmu pulang." kata wanita tua itu.
Akhirnya Ratu Shalima pulang kembali ke istana dengan diantar oleh wanita tua itu. Ketika tiba di istana, bukan main gembiranya perasaan Raja Shan ketika melihat permaisuri telah kembali dan sembuh. Saat itu Raja Shan tengah didampingi oleh Puteri Kania. Wanita tua itu masih mengenali Puteri Kania. Wanita tua itu menunjuk Puteri Kania dengan marah.
"Dialah orangnya yang telah memberikan bunga beracun itu kepada Ratu Shalima, tuanku. Tangkaplah orang jahat itu. Dia tidak layak menjadi pendamping tuanku. Saya melihat sendiri orang itu memetik bunga beracun itu dan dibawa pulang ke istana." kata wanita tua itu.
Oh, bukan main marahnya Raja Shan mendengar ucapan wanita tua itu. Dia segera memerintah pengawal untuk menangkap Puteri Kania dan menjebloskannya ke penjara. Puteri Kania menjerit-jerit dan meronta-ronta namun para pengawal berhasil menariknya dan memasukkannya kedalam penjara dibawah tanah.
Ratu Shalima sangat berterima kasih pada wanita tua pencari kayu bakar itu yang ternyata adalah seorang tabib yang telah mengobatinya hingga sembuh. Sebagai hadiah untuk wanita tua itu, Ratu Shalima memberikan gubuknya didekat lereng bukit  itu kepada wanita tua itu. Sesekali Ratu Shalima suka mengunjungi wanita tua itu dan belajar meracik ramuan dari wanita tua itu.