Mata
Runi terpaku menatap piring keramik tua yang dipajang diatas meja disudut
ruangan. Tidak terlalu banyak barang-barang yang mengisi ruang tamu rumah Bu
Tia, guru tarinya itu hingga piring berukuran sedang itu cukup menarik perhatiannya.
Piring itu kelihatan begitu artistik. Bergambar seorang perempuan Jepang
berpakaian kimono tengah memegang sebuah kipas yang terbuka lebar didepan
dadanya. Perempuan Jepang itu kelihatan begitu anggun, berdiri dengan latar
belakang sebuah pohon yang sebagian daunnya berguguran. Antik dan artistik.
Sepintas lalu saja dia sudah bisa menilai bila piring itu sudah cukup tua
usianya.
Pikirannya
melayang pada piring dengan gambar yang sama yang ada dirumahnya. Piring itu
diletakkan ibunya diatas lemari pendek dekat ruang makan. Piring kuno yang
tengah diperhatikannya saat ini begitu persis sama dengan piring milik ibunya
yang setiap hari nyaris dilihatnya terutama pada saat dia tengah makan
sendirian diruang makan.
“Untuk
acara Hari Jadi itu, ibu sudah menyiapkan kostumnya. Warna kuning cerah yang
dipadu dengan warna biru ini cukup serasi, bukan?”
Suara Bu
Tia mengalihkan perhatian Runi dari piring itu. Dia menoleh. Bu Tia keluar dari
ruang dalam dengan beberapa kostum tari ditangannya. Minggu depan seluruh masyarakat dikotanya akan
menyambut hari jadi kota
mereka. Aneka macam atraksi dan kesenian khas daerah kota mereka akan dipertujukan untuk
memeriahkan suasana hari jadi itu. Salah satunya adalah dengan menggelar
upacara adat. Kebetulan yang dipercaya untuk menangani seni tari adalah sanggar
tari yang dikelola oleh Bu Tia. Dirinya baru setahun masuk kesanggar tari milik
Bu Tia. Sebelumnya dia bersama teman-temannya belajar menari pada sanggar tari
lain.
“Latihan
harus lebih intens lagi.” kata Bu Tia lagi. Seperti biasanya nada bicaranya
selalu penuh semangat. Persis seperti ketika tengah melatih murid-muridnya
menari disanggarnya.
“Ya,
bu.” Runi mengangguk. Tentu saja dia pun berharap mereka bisa mempertunjukan
yang terbaik. Apalagi pada kesempatan itu seluruh pejabat dan sebagian besar
masyarakat kota
akan datang menyaksikan acara-acara yang akan digelar. Suguhan langka yang bisa
dinikmati oleh seluruh masyarakat. Bagi bu Tia, acara ini adalah kesempatan
pertama bagi sanggar tarinya dipercaya menangani tarian yang melibatkan banyak
anggotanya. Dia bisa merasakan perasaan bu Tia. Kesempatan semacam ini bukan
kesempatan yang biasa. Wajar bila Bu Tia berusaha semaksimal mungkin untuk
menampilkan yang terbaik dari sanggar tarinya. Lagi pula dalam acara ini secara tidak langsung bisa digunakan
sebagai promosi bagi sanggar tarinya agar lebih dikenal oleh masyarakat yang
menyaksikan acara itu.
“Kenapa,
Runi?” tanya Bu Tia ketika melihat mata Runi berkali-kali menatap piring antik
itu ketika akan pulang.
“Tidak
apa-apa.” Runi tersenyum. “Piring itu antik sekali. Pasti usianya sudah cukup
tua, ya Bu.”
“Oh
piring itu hadiah dari Ibu Martini.” sahut Bu Tia.
Ibu
Martini. Runi tertegun sejenak. Nama itu rasanya pernah disebut-sebut ibunya
kepadanya. “Ibu Martini?”
“Beliau
guru tari ibu dulu.” sahut Bu Tia.
Ketika
tiba dirumahnya, Runi memperhatikan piring yang ada diruang makan dengan
seksama. Benar, piring itu persis sama dengan piring yang dilihatnya dirumah Bu
Tia.
“Ma, aku
melihat piring yang persis sama dengan piring ini dirumah Bu Tia.” katanya
ketika ibunya muncul dari dapur membawa masakan.
“Barangkali
kebetulan saja Bu Tia memiliki piring yang sama dengan milik kita.” sahut
ibunya sambil meletakan masakan diatas meja makan lalu kembali lagi kedapur.
“Mama
membeli piring itu dimana?” tanya Runi sambil mengikuti ibunya kedapur.
“Piring
itu pemberian dari guru tari mama ketika muda dulu.”
“Bu Tia
pun memperoleh piring itu dari guru tarinya. Namanya Ibu Martini.”
“Ibu
Martini?” Ibunya menatapnya. “Benarkah?”
“Ya,
rasanya mama dulu pernah menyebut nama itu kepadaku.”
“Tentu
saja, Ibu Martini adalah guru menari mama ketika gadis dulu. Beliau yang
menghadiahkan piring itu kepada mama. Bu Martini memiliki tiga buah piring yang
sama yang diperolehnya dari orang Jepang. Satu dari tiga piring itu
diberikannya kepada mama.”
“Kenapa
Bu Martini memberikan piring itu kepada mama?”
Ibunya
tersenyum. Matanya kelihatan berbinar haru. “Ibu Martini sangat menyayangi
mama. Dulu, mama adalah murid kesayangannya. Ketika mama akan berhenti menari
karena akan menikah dengan ayahmu, Ibu Martini menyerahkan salah satu dari
piring koleksinya itu kepada mama sebagai kenang-kenangan karena mama akan
berhenti menjadi muridnya.”
“Bu Tia
juga memperoleh piring itu dari Ibu Martini.”
“Oh
mungkinkah Bu Tia juga murid Ibu Martini, ma?”
“Mungkin
saja.” sahut ibunya seakan tengah melamun. “Entah dimana Bu Martini sekarang
berada. Kasihan, mungkin usianya sekarang telah delapan puluh tahun lebih.
Waktu mudanya Bu Martini primadona sanggar tari. Beliau menjadi bintang
panggungnya. Ketika negara kita dijajah bangsa Jepang, banyak tentara Jepang
yang menyukainya. Bahkan Bu Martini sempat menikah dengan salah seorang tentara
Jepang. Ketika Jepang pergi meninggalkan negara kita, Bu Martini ditinggal
begitu saja oleh suaminya. Setelah menjanda, beliau kembali kesanggar tarinya.
Tapi pada saat dia kembali, sudah ada bintang panggung yang lebih muda dan
lebih menarik yang menggantikan posisinya. Akhirnya Bu Martini menjadi guru
tari. Hingga beliau dari sanggar tari itu, Bu Martini masih terus mengajar
menari. Waktu mama belajar menari kepadanya, usianya sudah tidak muda lagi.
Kasihan, neliau hidup sendirian. Hiburan baginya adalah ketika dia sedang
melatih menari dan berkumpul bersama murid-muridnya.”
Rabu
sore Runi latihan menari seperti biasanya. Pulangnya dia sengaja menemui Bu Tia
setelah teman-temannya satu persatu pulang.
“Ibu,
saya ingin tahu, dimana Bu Martini sekarang?”
“Bu
Martini? Engkau mengenal Bu Martini, Runi?” Bu Tia menatapnya dalam, seakan
heran mendengar pertanyaan anggota sanggar tarinya itu.
“Bu
Martini ternyata adalah guru tari mama ketika muda dulu.”
“Oh ya?”
“Ketika
saya melihat piring antik dirumah ibu beberapa waktu lalu, saya begitu tertarik
karena dirumah, mama pun memiliki piring yang sama persis seperti yang ada
dirumah ibu. Ketika saya menanyakan darimana mama memperoleh piring antik itu,
mama mengatakan piring itu pemberian Bu Martini, guru tarinya ketika mama masih
gadis.”
“Alangkah
senangnya apabila Bu Martini mengetahui salah seorang muridnya masih
mengingatnya.” sahut Bu Tia pelan.
“Dimana
Bu Martini sekarang, Bu?”
“Beliau
tinggal di rumah jompo, Runi.”
Rumah
jompo. Runi tertegun seketika. Kasihan, batinnya, bintang panggung yang dulu
begitu dipuja dan dikagumi harus menghabiskan masa tuanya disebuah rumah jompo.
Tanpa sanak keluarga. Kesunyian dan kesepian.
“Bagaimana
keadaan beliau sekarang?” tanyanya menahan rasa haru.
“Sudah
tua. Kasihan, beliau tidak memiliki keluarga. Hidupnya sunyi sepi sendiri.
Pernah berkali-kali ibu mengajak Bu Martini tinggal bersama keluarga ibu namun
Bu Martini selalu menolak.”
Ibu
pengurus rumah jompo itu menyambut kedatangan mereka dengan ramah ketika dihari
minggu sore Runi datang bersama ibunya kerumah jompo itu.
“Ibu
Martini telah tinggal bersama kami setahun lebih.” kata Ibu Ratna, ibu kepala
rumah jompo itu ketika ibunya menanyakan ibu Martini kepadanya. “Bu Martini
sudah sering sakit-sakitan. Beliau selalu tinggal didalam kamarnya.” kata Bu
Ratna sambil mengantar mereka menuju kamar bu Martini.
Rumah
jompo itu tidak terlalu luas tetapi tertata dengan apik dan bersih. Beberapa
orang tua kelihatan tengah berjemur. Sebagian lagi ada yang duduk-duduk dikursi
rotan didepan kamar mereka masing-masing. Trenyuh juga perasaannya. Dia
membayangkan seandainya dirinya telah tua nanti, alangkah menyedihkannya
tinggal dirumah jompo, tanpa keluarga yang menemaninya.
“Inilah
kamar Bu Martini.” Bu Ratna menunjuk sebuah kamar yang tinggal beberapa langkah
lagi didepan mereka.
Pintu
kamar itu agak terbuka. Bu Ratna membuka pintu pelan-pelan. Runi melihat
seorang perempuan tua tengah berbaring dengan sleimut yang menutupi hingga
dadanya.
“Bu
Martini......” Ibunya berbisik lirih. Matanya berkaca-kaca ketika melihat perempuan tua itutengah berbaring lemah tanpa
daya.
“Bu
Martini.......” ibunya duduk ditepi
pembaringan. Tangannya meraih tangan perempuan itu dan menggenggamnya. Air
matanya berlinang. Dia tak dapat lagi menahan keharuannya melihat kondisi Bu
Martini yang begitu lemah.
Bu
Martini terengah pelan. “Siapa?” bisiknya nyaris tidak kedengaran.
“Saya
Antin, Bu....”
“Antin?”
Mata Bu Martini terbuka sedikit. Keningnya semakin berkerut.
“Antin?
Antin yang mana?”
“Antin
murid ibu waktu di Sumedang dulu.”
Bu
Martini terdiam beberapa saat, seakan-akan tengah mengingat-ingat nama itu.
“Benarkah engkau Antin muridku?” bisiknya lirih. Tiba-tiba Bu martini menangis.
Dia terisak pelan. Tangannya menggapai bahu Antin dan memeluknya erat.
“Sudah
lama sekali ibu merindukanmu, anakku.” kata Bu Martini tersendat.
“Maafkan
saya, Bu, saya tidak tahu bila ibu tinggal di Bandung.”
“Darimana
engkau tahu ibu ada disini?”
“Dari
Tia, murid ibu juga. Kebetulan Runi, putri saya masuk anggota sanggar tari
miliknya.”
“Tia?
Ah, anak itu baik sekali. Dia selalu mengajak ibu tinggal bersamanya tapi ibu
takut merepotkannya. Tia punya keluarga sendiri. Tentu ibu akan menjadi beban
bagi suami dan anak-anaknya bila ibu tinggal bersamanya.”
“Ibu
tinggalah bersama saya.”
“Biarlah
ibu tinggal disini saja. Ibu tidak mau merepotkan siapapun. Disini ibu memiliki
banyak teman yang senasib dengan ibu.”
Antin
menangis terisak. Runi memperhatikan kamar Bu Martini yang berukuran sedang,.
Dia melihat photo-photo ibu Martini ketika masih muda tergantung dekat tempat
tidurnya. Photo-photo ketika ibu Martini masih menjadi bintang panggung.
Alangkah jauh berbedanya Bu Martini dulu dengan sekarang. Siapa yang akan
menduga bila diusia tuanya Bu Martini akan menghabiskan masa tuanya disebuah
rumah jompo.
Sejak mereka
mengunjungi Bu Martini, sudah tiga kali Bu Martini diajak keurmah mereka.
“Ibu
kerasan tinggal disini?” tanya Runi ketika duduk berdua diteras belakanag.
“Tentu
saja ibu kerasan tinggal disini, apalagi bila ada engkau yang menemani.” sahut
Bu Martini sambil tersenyum.
“Ibu
tinggal saja disini bersama kami.”
Bu
Martini menggeleng. “Ibu memiliki teman-teman yang senasib dengan ibu dirumah
jompo.”
Tiga
bulan setelah itu Runi menerima telepon bila ibu Martini meninggal. Jenazahnya
dibawa kerumah mereka. Meskipun ibu Martini tidak memiliki keturunan namun
beliau memiliki murid-murid yang dulu begitu disayanginya.
--- 0
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar