Minggu, 12 Mei 2013

PIRING HIAS BU MARTINI






            Mata Runi terpaku menatap piring keramik tua yang dipajang diatas meja disudut ruangan. Tidak terlalu banyak barang-barang yang mengisi ruang tamu rumah Bu Tia, guru tarinya itu hingga piring berukuran sedang itu cukup menarik perhatiannya. Piring itu kelihatan begitu artistik. Bergambar seorang perempuan Jepang berpakaian kimono tengah memegang sebuah kipas yang terbuka lebar didepan dadanya. Perempuan Jepang itu kelihatan begitu anggun, berdiri dengan latar belakang sebuah pohon yang sebagian daunnya berguguran. Antik dan artistik. Sepintas lalu saja dia sudah bisa menilai bila piring itu sudah cukup tua usianya.
            Pikirannya melayang pada piring dengan gambar yang sama yang ada dirumahnya. Piring itu diletakkan ibunya diatas lemari pendek dekat ruang makan. Piring kuno yang tengah diperhatikannya saat ini begitu persis sama dengan piring milik ibunya yang setiap hari nyaris dilihatnya terutama pada saat dia tengah makan sendirian diruang makan.
            “Untuk acara Hari Jadi itu, ibu sudah menyiapkan kostumnya. Warna kuning cerah yang dipadu dengan warna biru ini cukup serasi, bukan?”
            Suara Bu Tia mengalihkan perhatian Runi dari piring itu. Dia menoleh. Bu Tia keluar dari ruang dalam dengan beberapa kostum tari ditangannya. Minggu  depan seluruh masyarakat dikotanya akan menyambut hari jadi kota mereka. Aneka macam atraksi dan kesenian khas daerah kota mereka akan dipertujukan untuk memeriahkan suasana hari jadi itu. Salah satunya adalah dengan menggelar upacara adat. Kebetulan yang dipercaya untuk menangani seni tari adalah sanggar tari yang dikelola oleh Bu Tia. Dirinya baru setahun masuk kesanggar tari milik Bu Tia. Sebelumnya dia bersama teman-temannya belajar menari pada sanggar tari lain.
            “Latihan harus lebih intens lagi.” kata Bu Tia lagi. Seperti biasanya nada bicaranya selalu penuh semangat. Persis seperti ketika tengah melatih murid-muridnya menari disanggarnya.
            “Ya, bu.” Runi mengangguk. Tentu saja dia pun berharap mereka bisa mempertunjukan yang terbaik. Apalagi pada kesempatan itu seluruh pejabat dan sebagian besar masyarakat kota akan datang menyaksikan acara-acara yang akan digelar. Suguhan langka yang bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat. Bagi bu Tia, acara ini adalah kesempatan pertama bagi sanggar tarinya dipercaya menangani tarian yang melibatkan banyak anggotanya. Dia bisa merasakan perasaan bu Tia. Kesempatan semacam ini bukan kesempatan yang biasa. Wajar bila Bu Tia berusaha semaksimal mungkin untuk menampilkan yang terbaik dari sanggar tarinya. Lagi pula dalam acara  ini secara tidak langsung bisa digunakan sebagai promosi bagi sanggar tarinya agar lebih dikenal oleh masyarakat yang menyaksikan acara itu.
            “Kenapa, Runi?” tanya Bu Tia ketika melihat mata Runi berkali-kali menatap piring antik itu ketika akan pulang.
            “Tidak apa-apa.” Runi tersenyum. “Piring itu antik sekali. Pasti usianya sudah cukup tua, ya Bu.”
            “Oh piring itu hadiah dari Ibu Martini.” sahut Bu Tia.
            Ibu Martini. Runi tertegun sejenak. Nama itu rasanya pernah disebut-sebut ibunya kepadanya. “Ibu Martini?”
            “Beliau guru tari ibu dulu.” sahut Bu Tia.
            Ketika tiba dirumahnya, Runi memperhatikan piring yang ada diruang makan dengan seksama. Benar, piring itu persis sama dengan piring yang dilihatnya dirumah Bu Tia.
            “Ma, aku melihat piring yang persis sama dengan piring ini dirumah Bu Tia.” katanya ketika ibunya muncul dari dapur membawa masakan.
            “Barangkali kebetulan saja Bu Tia memiliki piring yang sama dengan milik kita.” sahut ibunya sambil meletakan masakan diatas meja makan lalu kembali lagi kedapur.
            “Mama membeli piring itu dimana?” tanya Runi sambil mengikuti ibunya kedapur.
            “Piring itu pemberian dari guru tari mama ketika muda dulu.”
            “Bu Tia pun memperoleh piring itu dari guru tarinya. Namanya Ibu Martini.”
            “Ibu Martini?” Ibunya menatapnya. “Benarkah?”
            “Ya, rasanya mama dulu pernah menyebut nama itu kepadaku.”
            “Tentu saja, Ibu Martini adalah guru menari mama ketika gadis dulu. Beliau yang menghadiahkan piring itu kepada mama. Bu Martini memiliki tiga buah piring yang sama yang diperolehnya dari orang Jepang. Satu dari tiga piring itu diberikannya kepada mama.”
            “Kenapa Bu Martini memberikan piring itu kepada mama?”
            Ibunya tersenyum. Matanya kelihatan berbinar haru. “Ibu Martini sangat menyayangi mama. Dulu, mama adalah murid kesayangannya. Ketika mama akan berhenti menari karena akan menikah dengan ayahmu, Ibu Martini menyerahkan salah satu dari piring koleksinya itu kepada mama sebagai kenang-kenangan karena mama akan berhenti menjadi muridnya.”
            “Bu Tia juga memperoleh piring itu dari Ibu Martini.”
            “Oh mungkinkah Bu Tia juga murid Ibu Martini, ma?”
            “Mungkin saja.” sahut ibunya seakan tengah melamun. “Entah dimana Bu Martini sekarang berada. Kasihan, mungkin usianya sekarang telah delapan puluh tahun lebih. Waktu mudanya Bu Martini primadona sanggar tari. Beliau menjadi bintang panggungnya. Ketika negara kita dijajah bangsa Jepang, banyak tentara Jepang yang menyukainya. Bahkan Bu Martini sempat menikah dengan salah seorang tentara Jepang. Ketika Jepang pergi meninggalkan negara kita, Bu Martini ditinggal begitu saja oleh suaminya. Setelah menjanda, beliau kembali kesanggar tarinya. Tapi pada saat dia kembali, sudah ada bintang panggung yang lebih muda dan lebih menarik yang menggantikan posisinya. Akhirnya Bu Martini menjadi guru tari. Hingga beliau dari sanggar tari itu, Bu Martini masih terus mengajar menari. Waktu mama belajar menari kepadanya, usianya sudah tidak muda lagi. Kasihan, neliau hidup sendirian. Hiburan baginya adalah ketika dia sedang melatih menari dan berkumpul bersama murid-muridnya.”
            Rabu sore Runi latihan menari seperti biasanya. Pulangnya dia sengaja menemui Bu Tia setelah teman-temannya satu persatu pulang.
            “Ibu, saya ingin tahu, dimana Bu Martini sekarang?”
            “Bu Martini? Engkau mengenal Bu Martini, Runi?” Bu Tia menatapnya dalam, seakan heran mendengar pertanyaan anggota sanggar tarinya itu.
            “Bu Martini ternyata adalah guru tari mama ketika muda dulu.”
            “Oh ya?”
            “Ketika saya melihat piring antik dirumah ibu beberapa waktu lalu, saya begitu tertarik karena dirumah, mama pun memiliki piring yang sama persis seperti yang ada dirumah ibu. Ketika saya menanyakan darimana mama memperoleh piring antik itu, mama mengatakan piring itu pemberian Bu Martini, guru tarinya ketika mama masih gadis.”
            “Alangkah senangnya apabila Bu Martini mengetahui salah seorang muridnya masih mengingatnya.” sahut Bu Tia pelan.
            “Dimana Bu Martini sekarang, Bu?”
            “Beliau tinggal di rumah jompo, Runi.”
            Rumah jompo. Runi tertegun seketika. Kasihan, batinnya, bintang panggung yang dulu begitu dipuja dan dikagumi harus menghabiskan masa tuanya disebuah rumah jompo. Tanpa sanak keluarga. Kesunyian dan kesepian.
            “Bagaimana keadaan beliau sekarang?” tanyanya menahan rasa haru.
            “Sudah tua. Kasihan, beliau tidak memiliki keluarga. Hidupnya sunyi sepi sendiri. Pernah berkali-kali ibu mengajak Bu Martini tinggal bersama keluarga ibu namun Bu Martini selalu menolak.”
            Ibu pengurus rumah jompo itu menyambut kedatangan mereka dengan ramah ketika dihari minggu sore Runi datang bersama ibunya kerumah jompo itu.
            “Ibu Martini telah tinggal bersama kami setahun lebih.” kata Ibu Ratna, ibu kepala rumah jompo itu ketika ibunya menanyakan ibu Martini kepadanya. “Bu Martini sudah sering sakit-sakitan. Beliau selalu tinggal didalam kamarnya.” kata Bu Ratna sambil mengantar mereka menuju kamar bu Martini.
            Rumah jompo itu tidak terlalu luas tetapi tertata dengan apik dan bersih. Beberapa orang tua kelihatan tengah berjemur. Sebagian lagi ada yang duduk-duduk dikursi rotan didepan kamar mereka masing-masing. Trenyuh juga perasaannya. Dia membayangkan seandainya dirinya telah tua nanti, alangkah menyedihkannya tinggal dirumah jompo, tanpa keluarga yang menemaninya.
            “Inilah kamar Bu Martini.” Bu Ratna menunjuk sebuah kamar yang tinggal beberapa langkah lagi didepan mereka.
            Pintu kamar itu agak terbuka. Bu Ratna membuka pintu pelan-pelan. Runi melihat seorang perempuan tua tengah berbaring dengan sleimut yang menutupi hingga dadanya.
            “Bu Martini......” Ibunya berbisik lirih. Matanya berkaca-kaca ketika melihat  perempuan tua itutengah berbaring lemah tanpa daya.
            “Bu Martini.......” ibunya  duduk ditepi pembaringan. Tangannya meraih tangan perempuan itu dan menggenggamnya. Air matanya berlinang. Dia tak dapat lagi menahan keharuannya melihat kondisi Bu Martini yang begitu lemah.
            Bu Martini terengah pelan. “Siapa?” bisiknya nyaris tidak kedengaran.
            “Saya Antin, Bu....”
            “Antin?” Mata Bu Martini terbuka sedikit. Keningnya semakin berkerut.
            “Antin? Antin yang mana?”
            “Antin murid  ibu waktu di Sumedang dulu.”
            Bu Martini terdiam beberapa saat, seakan-akan tengah mengingat-ingat nama itu. “Benarkah engkau Antin muridku?” bisiknya lirih. Tiba-tiba Bu martini menangis. Dia terisak pelan. Tangannya menggapai bahu Antin dan memeluknya erat.
            “Sudah lama sekali ibu merindukanmu, anakku.” kata Bu Martini tersendat.
            “Maafkan saya, Bu, saya tidak tahu bila ibu tinggal di Bandung.”
            “Darimana engkau tahu ibu ada disini?”
            “Dari Tia, murid ibu juga. Kebetulan Runi, putri saya masuk anggota sanggar tari miliknya.”
            “Tia? Ah, anak itu baik sekali. Dia selalu mengajak ibu tinggal bersamanya tapi ibu takut merepotkannya. Tia punya keluarga sendiri. Tentu ibu akan menjadi beban bagi suami dan anak-anaknya bila ibu tinggal bersamanya.”
            “Ibu tinggalah bersama saya.”
            “Biarlah ibu tinggal disini saja. Ibu tidak mau merepotkan siapapun. Disini ibu memiliki banyak teman yang senasib dengan ibu.”
            Antin menangis terisak. Runi memperhatikan kamar Bu Martini yang berukuran sedang,. Dia melihat photo-photo ibu Martini ketika masih muda tergantung dekat tempat tidurnya. Photo-photo ketika ibu Martini masih menjadi bintang panggung. Alangkah jauh berbedanya Bu Martini dulu dengan sekarang. Siapa yang akan menduga bila diusia tuanya Bu Martini akan menghabiskan masa tuanya disebuah rumah jompo.
            Sejak mereka mengunjungi Bu Martini, sudah tiga kali Bu Martini diajak keurmah mereka.
            “Ibu kerasan tinggal disini?” tanya Runi ketika duduk berdua diteras belakanag.
            “Tentu saja ibu kerasan tinggal disini, apalagi bila ada engkau yang menemani.” sahut Bu Martini sambil tersenyum.
            “Ibu tinggal saja disini bersama kami.”
            Bu Martini menggeleng. “Ibu memiliki teman-teman yang senasib dengan ibu dirumah jompo.”
            Tiga bulan setelah itu Runi menerima telepon bila ibu Martini meninggal. Jenazahnya dibawa kerumah mereka. Meskipun ibu Martini tidak memiliki keturunan namun beliau memiliki murid-murid yang dulu begitu disayanginya.


            --- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar