Arman
dan Armin dua bersaudara yang sudah lama ditinggal kedua orangtuanya. Tidak
banyak harta yang ditinggalkan
ayahnya untuk mereka berdua kecuali
sepetak tanah yang kurang terurus. Arman dan Armin sudah berusaha mencari
pekerjaan, namun usaha mereka belum juga membuahkan hasil. Mereka tidak mau menjadi petani seperti ayah mereka karena
mereka merasa hasil dari pertanian tidak besar. Mereka ingin bekerja pada
pekerjaan lain namun ternyata tanpa keahlian apapun sulit sekali bagi mereka
untuk mendapatkan pekerjaan.
Arman
dan Armin memiliki tubuh yang sehat dan kuat namun mereka sangat pemalas,
sehingga tidak lama setelah ayahnya meninggal, kehidupan mereka sangat susah
sekali. Mereka hampir tidak memiliki apapun yang bisa mereka makan.
Suatu
hari Pak Sarjo, salah seorang tetangga mereka lewat didepan rumah mereka. Arman
dan Armin sedang duduk bermalas-malasan. Pak Sarjo adalah seorang petani juga
seperti ayah mereka. Pak Sarjo sangat tekun bekerja sehingga dia bisa hidup
berkecukupan dari hasil pertaniannya.
Pak
Sarjo merasa iba meklihat keadaan mereka yang kelihatan sangat miskin
sepeninggal ayah mereka. Pak Sarjo lalu menghampiri mereka dan mengajaknya
berbincang-bincang.
“Apa
pekerjaan kalian sekarang?” tanya pak Sarjo.
“Kami
hanya duduk-duduk saja, Pak.” Sahut Arman.
“Kalian
masih muda dan sehat, kenapa menghabiskan waktu hanya dengan duduk-duduk saja?”
tanya pak Sarjo sambil ikut duduk didekat mereka.
“Kami
sudah berusaha mencari pekerjaan, tapi ternyata tidak mudah mendapatkan
pekerjaan yang cocok dengan kami.” Ujar
Armin.
Pak
Sarjo mengangguk. “Ya, memang tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan pada saat
ini. Namun kalian tetap harus berusaha mendapatkan pekerjaan karena tidak
mungkin kalian terus menerus menghabiskan waktu kalian tanpa bekerja.”
Pak
Sarjo menoleh pada sepetak kebun tidak
jauh dari tempat mereka duduk. Pak Sarjo tahu bahwa kebun itu adalah warisan
satu-satunya orangtua kakak beradik ini.
“Kalian
lihat kebun itu? Itu adalah kebun warisan dari ayah kalian untuk kalian berdua.”
Kata Pak Sarjo. “Kalian perhatikan, kebun itu dulu menghasilkan bermacam-macam
hasil tanaman yang ditanam ayahmu. Sekarang kebun itu tidak terpelihara dan
tidak lagi menghasilkan. Ayahmu pasti merasa sedih kalau mengetahui kebun
warisan satu-satunya untuk kalian terbengkalai tidak terpelihara.
“Kami
tidak mau menjadi petani, pak.” Kata Arman terus terang. “Dengan warisan hanya
sepetak tanah itu, hasil yang akan kami peroleh sangat sedikit sekali.”
“Lalu
kalian ingin bekerja dimana?” tanya Pak Sarjo.
“Itulah,
pak. Ternyata tidak mudah mendapatkan
pekerjaan di kota karena kami tidak memiliki keahlian apa-apa.” Sahut Armin.
‘Paling kami hanya sebagai kuli angkut barang diterminal.”
Pak
Sarjo mengangguk. “Kalian sebenarnya harus merasa bersyukur. Kalian masih muda
dan sehat, dan ayah kalian sudah mewariskan sebuah kebun untuk kalian bekerja dan mendapatkan uang.
Aku teringat pada perbincanganku dengan ayahmu beberapa waktu lalu sebelum ayah
kalian meninggal, bahwa dikebun itu nanti akan tumbuh pohon pisang emas yang
akan membuat kalian menjadi kaya raya.”
“Pohon
pisang emas?” Arman dan Armin melongo tak percaya. Mereka belum pernah mendengar ada pohon
pisang emas. Apalagi tumbuhnya dikebun milik mereka sendiri.
“Kalian
ingin mendapatkan pohon pisang emas itu?” tanya Pak Sarjo.
“Tentu
saja, pa.” Sahut Arman dan Armin serempak.
“Aku
akan memberimu bibit pohon pisang itu. Mulai besok kalian berdua harus mengolah
kebun warisan ayah kalian dan menanam pisang disana. Kalian harus tekun bekerja
dan merawat pohon pisang kalian hingga suatu saat nanti kalian berhasil
menemukan pohon pisang seperti yang dikatakan ayah kalian dulu kepadaku.” Kata
pak Sarjo.
Arman
dan Armin mengangguk.
Esok
harinya Arman dan Armin mulai mencangkul kebun mereka dan menanam bibit pohon
pisang pemberian pak Sarjo. Hari demi hari mereka tak pernah lelah bekerja.
Mereka ingin segera menemukan pohon pisang seperti yang dikatakan ayah mereka lewat Pak Sarjo.
Beberapa bulan kemudian Arman dan Armin sudah melupakan pohon pisang emas itu
karena mereka disibukan dengan panen pisang hasil dari kebun mereka. Pisang
hasil dari kebun mereka bagus sekali dan sangat laku dipasaran.
Bertahun-tahun
sudah berlalu, namun pohon pisang emas itu tidak pernah mereka temukan.
Sementara itu dari hasil yang telah mereka peroleh, Arman dan Armin
mengembalikan bibit yang telah mereka peroleh dari Pak Sarjo berbentuk uang.
Mereka berdua merasa sangat berterima
kasih sekali atas kebaikan dan perhatian pak Sarjo kepada mereka berdua.
“Sebenarnya
kalian tidak perlu mengembalikan bibit pohon yang pernah aku berikan kepada
kalian dulu.” Kata pak Sarjo. “Aku ikhlas memberikan bibit pohon pisang itu
kepada kalian.”
“Oh,
tidak, Pak.” Ujar Arman. “Hasil yang kami peroleh dari kebun sudah lebih dari cukup. Kami sangat berterima
kasih kepada bapak.”
“Namun
kami menyesal, pohon pisang emas seperti yang diucapkan ayah melalui bapak,
tetap tidak bisa berhasil kami temukan.” Kata Armin.
Pak
Sarjo tersenyum. “Pohon pisang emas itu sudah kalian temukan setelah
bertahun-tahun lamanya kalian menjadi petani pisang.”
Arman
dan Armin menatap Pak Sarjo. “Kalian hitung penghasilan kalian dari hasil
berkebun pisang. Uang yang kalian peroleh sudah bisa membeli pisang yang
terbuat dari emas. Kalian sudah kaya sekarang, itu adalah berkat kerja keras
kalian selama bertahun-tahun. Mengenai cerita pisang emas itu adalah karanganku
saja agar kalian mau bekerja keras dan memiliki pekerjaan untuk masa depan
kalian.”
Arman
dan Armin tersenyum. Mereka berdua merasa sangat berterima kasih sekali kepada
Pak Sarjo. Cerita tentang pohon pisang emas itu tidak pernah mereka lupakan.
Cerita itu selalu mereka ceritakan kepada anak cucu mereka sebagai bekal untuk
memberi semangat kepada mereka bahwa dalam hidup apabila ingin mendapatkan
sesuatu, mereka harus mau bekerja keras.
--- 0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar