Minggu, 12 Mei 2013

PISANG EMAS





Arman dan Armin dua bersaudara yang sudah lama ditinggal kedua orangtuanya. Tidak banyak  harta yang ditinggalkan ayahnya  untuk mereka berdua kecuali sepetak tanah yang kurang terurus. Arman dan Armin sudah berusaha mencari pekerjaan, namun usaha mereka belum juga membuahkan hasil. Mereka tidak  mau menjadi petani seperti ayah mereka karena mereka merasa hasil dari pertanian tidak besar. Mereka ingin bekerja pada pekerjaan lain namun ternyata tanpa keahlian apapun sulit sekali bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan.
Arman dan Armin memiliki tubuh yang sehat dan kuat namun mereka sangat pemalas, sehingga tidak lama setelah ayahnya meninggal, kehidupan mereka sangat susah sekali. Mereka hampir tidak memiliki apapun yang bisa mereka makan.
Suatu hari Pak Sarjo, salah seorang tetangga mereka lewat didepan rumah mereka. Arman dan Armin sedang duduk bermalas-malasan. Pak Sarjo adalah seorang petani juga seperti ayah mereka. Pak Sarjo sangat tekun bekerja sehingga dia bisa hidup berkecukupan dari hasil pertaniannya.
Pak Sarjo merasa iba meklihat keadaan mereka yang kelihatan sangat miskin sepeninggal ayah mereka. Pak Sarjo lalu menghampiri mereka dan mengajaknya berbincang-bincang.
“Apa pekerjaan kalian sekarang?” tanya pak Sarjo.
“Kami hanya duduk-duduk saja, Pak.” Sahut Arman.
“Kalian masih muda dan sehat, kenapa menghabiskan waktu hanya dengan duduk-duduk saja?” tanya pak Sarjo sambil ikut duduk didekat mereka.
“Kami sudah berusaha mencari pekerjaan, tapi ternyata tidak mudah mendapatkan pekerjaan yang cocok dengan kami.”  Ujar Armin.
Pak Sarjo mengangguk. “Ya, memang tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan pada saat ini. Namun kalian tetap harus berusaha mendapatkan pekerjaan karena tidak mungkin kalian terus menerus menghabiskan waktu kalian tanpa bekerja.”
Pak Sarjo menoleh pada sepetak kebun  tidak jauh dari tempat mereka duduk. Pak Sarjo tahu bahwa kebun itu adalah warisan satu-satunya orangtua kakak beradik ini.
“Kalian lihat kebun itu? Itu adalah kebun warisan dari ayah kalian untuk kalian berdua.” Kata Pak Sarjo. “Kalian perhatikan, kebun itu dulu menghasilkan bermacam-macam hasil tanaman yang ditanam ayahmu. Sekarang kebun itu tidak terpelihara dan tidak lagi menghasilkan. Ayahmu pasti merasa sedih kalau mengetahui kebun warisan satu-satunya untuk kalian terbengkalai tidak terpelihara.
“Kami tidak mau menjadi petani, pak.” Kata Arman terus terang. “Dengan warisan hanya sepetak tanah itu, hasil yang akan kami peroleh sangat sedikit sekali.”
“Lalu kalian ingin bekerja dimana?” tanya Pak Sarjo.
“Itulah, pak. Ternyata tidak mudah  mendapatkan pekerjaan di kota karena kami tidak memiliki keahlian apa-apa.” Sahut Armin. ‘Paling kami hanya sebagai kuli angkut barang diterminal.”
Pak Sarjo mengangguk. “Kalian sebenarnya harus merasa bersyukur. Kalian masih muda dan sehat, dan ayah kalian sudah mewariskan sebuah kebun  untuk kalian bekerja dan mendapatkan uang. Aku teringat pada perbincanganku dengan ayahmu beberapa waktu lalu sebelum ayah kalian meninggal, bahwa dikebun itu nanti akan tumbuh pohon pisang emas yang akan membuat kalian menjadi kaya raya.”
“Pohon pisang emas?” Arman dan Armin melongo tak percaya.  Mereka belum pernah mendengar ada pohon pisang emas. Apalagi tumbuhnya dikebun milik mereka sendiri.
“Kalian ingin mendapatkan pohon pisang emas itu?” tanya Pak Sarjo.
“Tentu saja, pa.” Sahut Arman dan Armin serempak.
“Aku akan memberimu bibit pohon pisang itu. Mulai besok kalian berdua harus mengolah kebun warisan ayah kalian dan menanam pisang disana. Kalian harus tekun bekerja dan merawat pohon pisang kalian hingga suatu saat nanti kalian berhasil menemukan pohon pisang seperti yang dikatakan ayah kalian dulu kepadaku.” Kata pak Sarjo.
Arman dan Armin mengangguk.
Esok harinya Arman dan Armin mulai mencangkul kebun mereka dan menanam bibit pohon pisang pemberian pak Sarjo. Hari demi hari mereka tak pernah lelah bekerja. Mereka ingin segera menemukan pohon pisang seperti  yang dikatakan ayah mereka lewat Pak Sarjo. Beberapa bulan kemudian Arman dan Armin sudah melupakan pohon pisang emas itu karena mereka disibukan dengan panen pisang hasil dari kebun mereka. Pisang hasil dari kebun mereka bagus sekali dan sangat laku dipasaran.
Bertahun-tahun sudah berlalu, namun pohon pisang emas itu tidak pernah mereka temukan. Sementara itu dari hasil yang telah mereka peroleh, Arman dan Armin mengembalikan bibit yang telah mereka peroleh dari Pak Sarjo berbentuk uang. Mereka  berdua merasa sangat berterima kasih sekali atas kebaikan dan perhatian pak Sarjo kepada mereka berdua.
“Sebenarnya kalian tidak perlu mengembalikan bibit pohon yang pernah aku berikan kepada kalian dulu.” Kata pak Sarjo. “Aku ikhlas memberikan bibit pohon pisang itu kepada kalian.”
“Oh, tidak, Pak.” Ujar Arman. “Hasil yang kami peroleh dari kebun  sudah lebih dari cukup. Kami sangat berterima kasih kepada bapak.”
“Namun kami menyesal, pohon pisang emas seperti yang diucapkan ayah melalui bapak, tetap tidak bisa berhasil kami temukan.” Kata Armin.
Pak Sarjo tersenyum. “Pohon pisang emas itu sudah kalian temukan setelah bertahun-tahun lamanya kalian menjadi petani pisang.”
Arman dan Armin menatap Pak Sarjo. “Kalian hitung penghasilan kalian dari hasil berkebun pisang. Uang yang kalian peroleh sudah bisa membeli pisang yang terbuat dari emas. Kalian sudah kaya sekarang, itu adalah berkat kerja keras kalian selama bertahun-tahun. Mengenai cerita pisang emas itu adalah karanganku saja agar kalian mau bekerja keras dan memiliki pekerjaan untuk masa depan kalian.”
Arman dan Armin tersenyum. Mereka berdua merasa sangat berterima kasih sekali kepada Pak Sarjo. Cerita tentang pohon pisang emas itu tidak pernah mereka lupakan. Cerita itu selalu mereka ceritakan kepada anak cucu mereka sebagai bekal untuk memberi semangat kepada mereka bahwa dalam hidup apabila ingin mendapatkan sesuatu, mereka harus mau bekerja keras.

--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar