Minggu, 06 Desember 2015

Pondok Kayu








Hujan Angin. 

Pondok petani itu terletak ditengah-tengah ladang yang luas. Pondok  yang terbuat dari kayu dan tidak terlalu besar namun kelihatan sangat bersih dan rapi. Penghuninya adalah tiga orang gadis bersaudara. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal dunia dan meninggalkan warisan berupa pondok  kayu, sawah dan ladang. Irin, Mimi dan Tina meneruskan pekerjaan kedua orangtua mereka menjadi petani. Sawah ladang  peninggalan orang tua mereka digarap dengan baik dan menghasilkan padi serta beragam tanaman palawija yang hasilnya mereka jual ke pasar. Irin, kakak tertua mereka menjadi pengganti orangtua mereka. Setiap hari dia yang bangun paling pagi dan bertanggung jawab dengan semua pekerjaan dirumah dan di ladang. Mimi dan Tina sangat patuh pada kakak tertua mereka dan menganggap Irin sebagai pengganti kedua orangtua mereka.
Pagi itu Irin bangun lebih dulu dari kedua adiknya. Kamar tidur Irin terletak diruangan bawah, bekas kamar kedua orangtua mereka. Sementara Mimi dan Tina tidur di loteng. Irin menyalakan tungku dan menjerang air. Dia mengambil beras, mencucinya dan mulai menanak nasi. Mimi dan Tina yang mendengar kesibukan didapur terbangun dari tidurnya.
“Ah, enak sekali tidurku. Badanku yang pegal-pegal kini rasanya segar kembali.” Kata Mimi sambil menyibakan selimut yang menutupi tubuhnya. Rasanya malas bangun meninggalkan kasur yang hangat. Namun dia ingat dengan tugasnya. Hari ini mereka akan memulai menggarap sawah lagi. Musim hujan telah tiba dan sawah-sawah sudah diairi air lagi. Saatnya musim tanam bagi semua petani.
Tina menguap pelan. Dia mendengarkan kesibukan dibawah, didapur. Sama seperti Mimi, dia pun rasanya malah bangun. Namun dia tak mungkin membiarkan Irin bekerja sendirian. “Ah, kak Irin sudah bangun. Kasihan dia sibuk sendiri.” Kata Tina sambil menyibakan selimutnya. Dia menuruni tangga kayu. Didapur dilihatnya Irin tengah menyiapkan bahan makanan yang akan dimasaknya dan dibawa mereka ke sawah.
“Semalam hujan deras sekali, rasanya aku khawatir  hujan angin semalam akan merobohkan pondok kita.” Kata Tina.
“Ya, aku pun mendengarkan dengan penuh kekhawatiran. Untunglah tidak kudengar ada kejadian apa-apa.” Sahut Irin. Dia menyiapkan piring dan cangkir kaleng yang biasa dibawa ke sawah.
Tina mencuci mukanya dijamban dibelakang dapur. Ketika masuk kembali kedapur Mimi tengah sibuk membantu Irin menyiapkan bekal buat mereka ke sawah. Sementara Irin tengah membuka jendela-jendela dan menyapu ruangan.  Tak lama kemudian terdengar suara adzan subuh. Ketiga gadis itu bergantian mandi dan shalat subuh. Tak lama semua pekerjaan didalam rumah sudah selesai. Mereka sarapan bersama. Walaupun diruangan tengah ada meja kecil yang bisa dipakai untuk makan, namun setiap sarapan pagi sebelum berangkat kesawah, mereka lebih suka makan didapur beralaskan tikar sambil menikmati kehangatan api dari dalam tungku. Setelah selesai makan, sisa api bekas memasak dari dalam tungku akan segera dimatikan. Bekal makanan yang akan mereka bawa pun sudah siap, diletakan dalam bakul masing-masing.
Hari masih pagi ketika ketiga gadis itu berangkat ke sawah. Udara terasa dingin, Tina mengenakan syalnya walaupun dia tahu bila telah bekerja disawah tubuhnya akan berkeringat dan syal itu tak akan digunakan lagi. Ketiga gadis itu berjalan cepat menuju sawah tanpa banyak bicara. Dijalan mereka berpapasan dengan beberapa orang petani yang juga akan pergi ke sawah.
Tiba disawah, masing-masing sudah tahu apa yang harus mereka kerjakan. Irin dan Mimi segera bersiap akan membajak sawah. Irin mengeluarkan bajak yang ada dalam saung mereka. Sementara Mimi mengeluarkan kerbau yang ditambat dalam kandang di saung mereka. Tina memeriksa aliran air dari sungai kecil yang mengairi sawah mereka. Matahari mulai menampakan diri dan ketiga gadis itu bergantian membajak sawah dengan kerbau mereka. Ketika Irin duduk diatas kerbau, Mimi yang membantu ketika kerbau itu akan berbalik arah. Sementara Tina memacul bagian-bagian tanah disudut-sudut sawah yang tidak terbajak oleh kerbau. Mereka bekerja bergantian. Setelah Irin yang menaiki kerbau, lalu diganti oleh Mimi yang menaiki kerbau dan Tina yang membantu membelokan bajak saat kerbau akan berputar aluan. Sementara Irin menggantikan Tina memacul bagian-bagian sawah yang tidak terbajak. Makin lama matahari bersinar makin panas dan terik. Sesekali ketiga gadis itu berhenti, minum dan makan makanan kecil sambil menunggu saat makan tiba. Akhirnya saat makan pun tiba. Ketiga tubuh gadis itu sudah bermandi keringat. Wajah mereka merah karena panas.
“Kita makan dulu!” Irin memanggil kedua adiknya yang masih bekerja disawah. Irin sudah mencuci tangan dan kakinya yang kotor berlumpur pada air pancuran disamping saung. Dia mengeluarkan semua bekal makanan dan menaruhnya diatas amben bilik.
Mimi dan Tina menghentikan pekerjaan mereka. Keduanya mencuci tangan dan kaki mereka yang kotor berlumpur pada air pancuran.
“Udaranya cukup panas, tapi nanti siang pasti akan hujan lagi.” Kata Tina. Dia membuka tudungnya dan mengaitkannya pada kayu tiang saung.
“Langit sebentar lagi mendung. Kita harus bergegas menyelesaikan pekerjaan. Setelah itu kita pulang.” Kata Mimi.
Mereka duduk bertiga menikmati makanan yang sederhana namun terasa nikmat karena tubuh yang lelah sehabis bekerja keras dan perut yang lapar.
Malam itu hujan turun denga derasnya. Ketiga gadis itu tengah berkumpul diruangan tengah, duduk pada kursi mengelilingi meja. Irin tengah merajut sebuah taplak meja. Mimi menyelesaikan membuat baju. Sementara Tina tengah menikmati kue kacang yang dibuatnya minggu lalu.
“Aku ingin punya mesin jahit.” Kata Mimi. “Bila menjahit pakaian dengan mesin jahit pastinya hasilnya lebih bagus dan lebih rapih.”
“Ya, aku pun sudah lama ingin membeli mesin jahit, namun keuangan kita belum cukup. Tunggu saja sampai kita punya cukup uang untuk membeli mesin jahit.” Kata Irin.
“Diujung desa ada seorang penjahit. Jahitannya bagus. Tapi ongkosnya mahal.” Tina menimpali. “Aku pernah melihat Nani, bekas teman sekolahku dulu menjahit baju disana.”
Mendengar kata sekolah, mendadak wajah Irin terlihat murung. Tina melihat perubahan wajah pada kakaknya itu. Dia menyesal telah menyinggung masalah sekolah. Dia tahu Irin sangat ingin meneruskan sekolah. Dia ingin menjadi guru. Namun ketiadaan biaya membuat Irin memendam cita-citanya itu. Bukan hanya Irin, namun kedua adiknya pun sama tidak bisa meneruskan sekolah lagi.
Mimi mendesah. “Nani sekarang bersekolah dimana?” tanya Mimi.
“Aku tidak tahu. Tapi pernah kudengar katanya dia sekolah perawat.” Sahut Tina.
“Nani dan yang lainnya beruntung, mereka bisa meneruskan sekolah.” Ucap Irin. Dia mengangkat wajahnya dari rajutan yang tengah dikerjakannya. Wajahnya yang tadi sekilas terlihat murung, kini sudah biasa lagi. “Tiap orang punya nasibnya masing-masing. Kita bertiga nasibnya menjadi petani.”
“Aku tidak menyesali nasibku menjadi petani.” Kata Mimi. “Dulu aku memang punya keinginan juga ingin meneruskan sekolah. Aku ingin menjadi seorang bidan. Namun ternyata nasib menentukan aku harus menjadi petani. Aku tidak menyesal. Menjadi petani adalah juga pekerjaan. Aku menikmati pekerjaan menjadi seorang petani. Dengan bertani aku juga belajar banyak.”
“Aku pun tidak menyesali nasib menjadi petani.” Ucap Irin. “Hanya kadang, suka terlintas perasaan kecewa bila ingat dengan cita-cita dimasa kecilku dulu aku sangat ingin menjadi guru. Sayang aku hanya sempat sekolah sampai sekolah dasar saja.”
“Bukankah aku dan Mimi juga hanya tamatan sekolah dasar?” sahut Tina. “Aku tidak ingin memberatkan bapa dan ema. Jadi aku cukup puas walaupun hanya tamat sekolah dasar.”
“Ya, intinya kita tak ingin memberatkan bapa dan ema. Kehidupan sebagai petani tidak mudah. Hasil yang diperoleh tidak cukup untuk menyekolahkan kita bertiga.” Ucap Irin.
Irin meletakan rajutannya. Matanya sudah lelah. Mimi mengikuti, dia menyimpan baju yang dijahitnya kedalam kantong dan menaruhnya disudut meja. Besok dia akan melanjutkan kembal menjahit bajunya.
“Perutku lapar, aku akan memanggang pisang.” Kata Mimi sambil bangkit.
“Ya, enak sekali makan pisang panggang dicuaca sedingin ini.” Kata Irin setuju. Dia mengikuti adiknya kedapur dan ikut memilihkan pisang yang akan dipanggang diatas tungku. Tak lama harum pisang panggang mengisi rumah. Tina yang sedang berada dikamarnya bergegas turun dan bergabung dengan kedua kakaknya menikmati pisang panggang. Mereka tengah asyik menikmati pisang panggang ketika tiba-tiba terdengar bunyi berderak yang sangat keras diluar rumah. Ketiganya belum sempat berpikir apa yang tengah terjadi ketika tiba-tiba terdengar suara keras menimpa loteng.
“Apa itu?” Mimi menjerit kaget. Ketiganya serentak keruang tengah dan melihat loteng telah ambruk tertimpa pohon.
“Sudah berkali-kali aku ingin menebang pohon itu.” Kata Irin dengan suara lemas. “Ini akibatnya. Pohon itu sudah sangat tua sekali.”
Mimi mengambil payung dan bergegas keluar diikuti Irin dan Tina. Mereka melihat pohon besar itu telah tumbang. Dahan dan rantingnya menimpa atap dan loteng pondok mereka. Udara malam sangat dingin, namun tubuh ketiga gadis itu berkeringat karena terkejut dengan kejadian yang mengejutkan itu.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Tina. Suaranya serak. Dia teringat pada ayah dan ibunya.
“Tak ada yang bisa kita lakukan malam ini.” Kata Irin. “Kita harus menunggu besok dan meminta bantuan orang untuk menyingkirkan batang pohong itu dan memperbaiki loteng.”
Ketiganya masuk kembali kedalam rumah. Mimi melihat kamar tidurnya telah rusak dan sampah-sampah daun yang masuk dari atap yang hancur berserakan didalam kamarnya. Mimi ingin menangis, namun dia menguatkan perasaannya.
“Siapa yang akan kita minta bantuan untuk menyingkirkan dahan pohon dan memperbaiki loteng ini?” tanya Mimi.
“Kita minta bantuan Pak Danis. Mudah-mudahan dia tidak sedang bekerja ditempat lain.” Kata Irin.
“Kalau begitu, sekarang saja aku akan pergi kerumah pak Danis.” Ucap Mimi.
“Aku ikut.” Kata Tina.
Mimi dan Tina pergi kerumah pak Danis. Pak Danis seorang tukang kayu yang biasa dimintai pertolongan memperbaiki rumah. Sementara kedua adiknya pergi kerumah Pak Danis, Irin mengambil sapu dan membersihkan ruangan tengah yang dipenuhi debu dan kotoran yang turun dari loteng.
Tak lama Mimi dan Tina sudah kembali.
“Besok pak Danis akan kemari.” Kata Tina sambil menutup payung.
“Untunglah pak Danis sedang tida bekerja ditempat lain, jadi besok dia punya banyak waktu memperbaiki rumah kita.” Kata Mimi.
Malam itu tak seorangpun yang bisa tidur. Mimi dan Tina tidur dikamar Irin. Mereka bertiga memejamkan mata namun tak seorangpun yang bisa tidur dengan nyenyak. Ketika malam lewat dan subuh tiba, ketiganya langsung bangun dan pergi ke dapur. Mereka tidak menyiapkan bekal buat ke sawah. Hari ini mereka tidak akan pergi ke sawah. Mereka akan melihat kerusakan yang akan diperbaiki oleh pak Danis. Irin menanak nasi sementara Mimi dan Tina menyiapkan lauk pauknya. Mimi memasak sayur lodeh dan Tina memanggang ikan asin. Selesai memasak, ketiganya keluar rumah. Hari mulai terang dan mereka bisa melihat dengan jelas pohon yang tumbang yang menimpa loteng rumah mereka.
“Kerusakannya sangat parah sekali.” Kata Irin. “Tak mungkin selesai sehari. Kalian lihat, atap rumah nyaris roboh semuanya tertimpa pohon itu.”
Mimi termenung menatap atap rumah yang hancur.
“Kita tunggu pak Danis. Mudah-mudahan biayanya tidak mahal.” Ucap Tina.
Pak Danis datang pagi-pagi sekali. Pak Danis teman ayah mereka. Dia sangat baik dan perhatian kepada ketiga gadis itu.
“Oh, atapnya hancur.” Kata pak Danis. Dia meraba-raba pohon yang tumbang itu. “Tapi kayu pohon ini bisa digunakan untuk memperbaiki rumah kalian.”
“Oh begitukah,  pak Danis?” tanya Irin.
“Ya, kalian tidak usah khawatir. Kayu pohon ini bisa digunakan untuk rumah kalian.” Kata pak Danis. “Aku akan kembali lagi segera dengan membawa seorang pegawai dan mulai bekerja.”
“Terima kasih, pak Danis.” Kata ketiga gadis itu serempak.
Hari itu ketiga gadis itu tidak pergi kemana-mana. Mereka membersihkan sekeliling rumah yang penuh dengan daun-daun yang berserakan dari pohon itu sambil melihat pak Danis dan seorang pegawainya bekerja. Seminggu lamanya pak Danis dan pegawainya bekerja memperbaiki atap dan loteng. Tak lama kemudian pondok kayu itu sudah kembali seperti semula. Atap rumah dibuat lebih tinggi sehingga rumah terlihat lebih tingg. Bahkan jendela loteng pun dibuatkan baru dan kelihatan lebih bagus. Jendela dengan dua daun pintu itu membuat pondok kayu mereka terlihat lebih cantik. Mimi dan Tina sangat gembira melihat kamar mereka sudah selesai diperbaiki bahkan kini lebih bagus. Irin memberi upah buat pak Danil dan pegawainya. Sementara sisa kayu yang masih bisa digunakan dibawa pulang oleh pak Danil.
Sore itu Irin, Mimi dan Tina tengah berada didapur dan baru bisa bernafas lega setelah pondok mereka selesai diperbaiki.
“Rasanya lega sekali setelah pondok ini selesai diperbaiki.” Kata Tina.
“Ya, aku pun merasa lega. Aku sudah ingin tidur lagi dikamarku di loteng.” Sahut Mimi.
Irin menatap kedua adiknya. “Bagaimana kalo kita sekarang membuat roti? Aku pernah membaca sebuah resep membuat roti.”
“Asyik. Kita masih punya waktu sebelum besok kembali lagi ke sawah.” Sambut Mimi gembira.
Irin mengeluarkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat roti. Tepung, telur, mentega dan segala macam bahan lainnya. Ini kali pertama mereka akan membuat roti. Berkali-kali Mimi membaca catatan resep roti hingga catatan itu lusuh kena tangan yang kotor. Ketika roti itu keluar dari pemanggangan, ketiga gadis itu bersorak gembira. Roti buatan mereka mengembang sempurna.
“Ah, rasanya tak percaya, roti buatan kita mengembang dan cantik sekali.” Seru Irin gembira.
“Rasanya pasti lembut sekali.” Kata Mimi dengan wajah berseri.
“Aku masih menyimpan selai nanas. Kita akan menikmati roti  dengan diolesi selai nanas.” Kata Tina.
“Nanti malam kita akan menikmati roti ini bersama-sama.” Irin tersenyum pada kedua adiknya. Sekecil apapun kegembiraan yang mereka peroleh, mereka selalu bersyukur karena mereka masih diberi kegembiraan.
Malam itu hujan turun dengan derasnya. Guruh bergemuruh dengan keras. Halilintar sesekali menyambar memecah langit. Irin dan kedua adiknya duduk mengelilingi meja. Tina mengambil selai nanas dari dalam lemari. Irin mengiris roti sementara Tina mengolesinya dengan selai nanas.
“Hem, enak sekali.” Ucap Mimi ketika menikmati seiris roti dengan selai nanas. 
“Menurutku roti ini masih keras. Aku nanti ingin mencoba lagi membuat roti dan hasilnya lebih lembut dari roti ini.” Kata Irin.
“Ya, hasilnya masih belum begitu lembut, namun ini sudah cukup bagus. Dan rasanya enak sekali.” Ucap Tina.
“Lain kali kita mencoba membuat selai lain, selama ini kita hanya membuat selai nanas karena kita punya nanas di kebun.” Mimi mengambil lagi seiris roti karena irisan yang pertama sudah habis. 
“Aku akan menyisihkan kacang bila panen nanti dan kita buat selai kacang.” Usul Irin.
“Selai kacang? Pastinya enak sekali diolesan pada roti.” Mimi setuju.
Malam itu mereka bisa tidur dengan nyenyak dikamar masing-masing setelah selama seminggu lamanya mereka nyaris hampir tiap malam tidak bisa tidur nyeyak. Esok pagi mereka sudah harus bangun pagi-pagi sekali seperti biasanya. Mereka akan kembali pergi ke sawah karena sawah sudah menunggu mereka untuk kembali digarap. Setelah selesai dibajak, sawah akan segera ditanami padi.


--- 0 ---












Pasar  Tani.

Mimi baru pulang melihat sawah, masuk ke dapur dia memberitahu Irin berita yang didengarnya dari Pak Danis.
“Sekarang diselenggarakan Pasar Tani setiap hari sabtu dan minggu dilapangan dekat alun-alun.” Kata Mimi.
“Apa itu Pasar Tani?” tanya Irin yang tengah menyelesaikan rajutannya sambil duduk pada selembar tikar di dapur.
“Mulanya adalah petani dari desa sebelah,” cerita Mimi menceritakan kembali apa yang didengarnya dari pak Danis. “Dia membawa mobil pick-up-nya dan berjualan didalam mobilnya dilapangan itu. Yang dijualnya adalah hasil-hasil pertanian yang dia hasilkan sendiri juga hasil-hasil pertanian yang dititipkan temannya. Ternyata petani itu berhasil berjualan disana. Banyak pembeli yang datang dan belanja padanya. Sejak itu, banyak petani lain yang menggelar dagangannya disana. Mereka berjualan tidak hanya dengan menggunakan mobil tapi juga membuat stan dan tenda-tenda untuk menggelar dagangan.”
“Apakah hanya hasil pertanian saja yang dijual disana?” tanya Tina.
“Tentu saja tidak, bukan hanya hasil pertanian tapi juga beragam macam jualan digelar disana. Banyak stan yang menjual makanan dan minuman. Ada juga yang berjualan baju sepatu dan beragam peralatan dan perabotan rumah tangga. Peralatan pertanian juga ada disana.”
“Pastinya ramai sekali.” Kata Irin tertarik. Dia menatap Mimi. “Kenapa kita juga tidak ikut berjualan disana? Apakah dikenakan biaya bila akan berjualan disana?”
“Kata Pak Danis, pedagang tidak dikenakan biaya apapun bila ingin ikut berjualan disana. Tinggal memilih tempat saja disekitar lapangan itu.”
“Rasanya menarik sekali, kenapa kita tidak mencoba menjual hasil pertanian kita disana?” ucap Tina.
“Apa yang akan kita jual disana?” tanya Irin sambil berpikir.
“Mengapa kita tidak menjual hasil panen kita, beras yang kita bungkus dalam kemasan yang sudah tertentu, minimal isi tiga kilo sampai 5 kilo.” Ucap Tina.
“Kita harus menggiling dulu padi kita.” Kata Irin.
“Dan membeli plastik untuk membungkusnya.” Sahut Mimi. “Kita punya timbangan yang bisa kita gunakan untuk menimbang setiap bungkus beras.”
“Kita lihat apa saja yang kita miliki di gudang di samping dapur dan membawanya kesana sekali. Pisang yang sudah matang, atau persediaan kacang kedelai yang bisa kita kemas dalam bungkusan-bungkusan kecil.” Usul Tina.
“Kita harus mengecek harga pasar. Jangan sampai harga dari kita lebih tinggi dari harga pasar.” Kata Irin.
Sehari itu mendadak ketiga gadis itu terlihat sibuk. Irin dan Tina melihat dan memeriksa isi gudang tempat mereka menyimpan makanan. Sementara Mimi keluar rumah kerumah bu Titi tetangga mereka untuk menanyakan harga-harga. Tak lama  Mimi sudah kembali. Ternyata Bu Titi sudah sejak sebulan lalu ikut menggelar dagangan dilapangan itu.
“Aku sudah mencatat harga-harga dari bu Titi. Harga-harga ini masih bisa berubah lagi.” Kata Mimi sambil memperlihatkan catatan kecil pada selembar kertas.
“Apa yang dijual bu Titi di pasar tani?” tanya Irin.
“Bu Titi menjual cabe, bawang merah, bawang putih, lengkuas, jahe, kunir dan lain-lainnya.” Sahut Mimi.
“Jangan sampai yang kita jual sama dengan yang lainnya.” Kata Tina.
“Tidak apa-apa kita menjual jualan yang sama karena pastinya pembelinya juga berbeda-beda.” Ucap Irin. Dia mendongak pada dinding yang terpasang papan-papan kayu. Ada beberapa barang yang disimpan disana. Dia naik keatas tangga dan menurunkan beberapa wadah dari bambu dan keranjang. “Ini bisa kita pakai untuk tempat jualan kita. Tinggal dibersihkan dulu.”
Tina yang berdiri dibawah menerima barang-barang yang diturunkan Irin.
“Semuanya masih bagus dan masih bisa kita gunakan.” Kata Mimi.
Tina mencuci bersih wadah-wadah itu dan menjemurnya hingga kering. Irin mengumpulkan pisang yang masih berada dalam tandannya, membuka karung yang berisi kacang kedelai dan kacang hijau. Mimi mengeluarkan timbangan dan plastik. Dia mencoba mengisi sebuah plastik dengan kacang hijau dan menimbangnya.
“Ini seperempat kilo.” Mimi menunjukan plastik berisi kacang hijau pada Irin.
Irin mengangguk. “Ya, cukup seperempatan kilo saja.” Kata Irin.
Mereka memiliki persediaan kacang hijau dan kacang kedelai yang cukup banyak. Setelah menimbang dan membungkusnya dengan plastik, Mimi dan Irin menyisakan kacang hijau dan kedelai untuk persediaan mereka sendiri.  Sore itu mereka bernafas lega karena pekerjaan mereka sudah selesai. Lusa mereka akan ikut berjualan untuk pertamakalinya.
Pagi-pagi sekali sebuah kereta yang ditarik kuda sudah datang ke pondok mereka. Kemarin Mimi pergi ke pangkalan keretek dan memesan keretek agar datang pagi-pagi ke pondok mereka. Ketika keretek itu sudah datang, mereka segera mengangkut apa yang akan mereka jual kedalam keretek. Juga papan-papan kayu yang akan mereka setel nanti menjadi sebuah meja kecil tempat menyimpan jualan. Segera saja keretek itu sudah penuh dengan barang. Kuda itu menarik mereka dengan langkah cepat.
Tiba dilapangan, ternyata sudah banyak pedagang yang menggelar jualan mereka disana. Irin, Mimi dan Tina mencari-cari tempat yang tepat untuk menggelar jualan. Masih banyak tempat yang tersisa. Mereka memilih berjualan dibawah sebuah pohon rindang. Mereka dengan dibantu kusir menurunkan barang-barang mereka. Tina dan Mimi segera memasang papan-papan kayu menjadi sebuah meja kecil. Lalu diatas papan-papan kayu itu dipasang tenda kecil sehingga meja tempat jualan itu terlihat lebih menarik. Sementara Irin mengisi wadah-wadah dengan jualan, kacang hijau, kacang kedelai, pisang dan beras yang sudah dibungkus dengan plastik. Mereka masih sibuk berbenah ketika seorang pembeli menghampiri mereka.
“Berapa harga beras ini?” tanya ibu itu.
Irin bergegas bangkit melayani pembeli mereka. Dia menyebutkan harganya per kilo. Ibu itu mengambil sebungkus beras berisi tiga kilo dan sebungkus kacang hijau.
Bukan main gembiranya perasaan mereka bertiga. Mereka sudah mendapatkan pembeli pertama.
Makin siang pembeli semakin banyak berdatangan memenuhi lapangan itu. Dagangan mereka semakin banyak yang terjual. Siang hari, hanya tersisa sedikit saja jualan mereka yang akan mereka bawa pulang. Irin, Mimi dan Tina membereskan dagangan mereka. Pedagang lainpun sudah mulai memberes-bereskan jualan mereka.
“Aku senang berjualan disini.” Kata Tina sambil mengemasi sisa jualan mereka dan memasukannya kedalam karung. “Kita mendapatkan suasana baru, suasana yang berbeda dengan keseharian kita sebagai seorang petani.”
“Ya, disini kita bertemu dengan banyak kenalan yang juga seorang petani.” Sahut Mimi setuju. “Kita bisa berkenalan dan membicarakan banyak hal menarik seputar masalah pertanian.”
“Aku tadi sempat mengobrol dengan pak Andri. Dia sudah lebih dua bulan berjualan disini setiap hari sabtu dan minggu. Pak Andri banyak memberikan informasi-informasi mengenai pertanian. Dia juga menjadi ketua kelompok tani di desanya.” Kata Irin.
“Oh, Pak Andri yang tadi memperlihatkan foto-foto mesin traktor?” tanya Mimi.
“Ya, dia sudah sejak jaman kakeknya dulu sudah menggunakan traktor untuk menggarap sawahnya. Dan pekerjaanya lebih cepat selesai dan hasilnya juga lebih bagus.” Sahut Irin.
“Kita memang ketinggalan jaman.” Kata Tina. Dia sudah selesai mengemasi barang-barang. “Tapi petani dengan cara tradisional seperti kita juga masih banyak.”
“Kita bisa banyak belajar pada Pak Andri mengenai masalah pertanian.” Kata Irin. Dia melihat keretek yang tadi pagi mereka sewa sudah berada dipinggir lapangan. “Ayo kita kesana mengangkuti barang-barang kita. Aku sudah ingin segera pulang kerumah dan beristirahat.”
“Kita tak perlu memasak untuk makan nanti malam, aku membeli beberapa macam masakan dari tenda sebelah tadi.” Kata Mimi.
Keretek yang membawa mereka pulang rasanya berjalan lambat sekali. Ketiga gadis itu terkantuk-kantuk dalam keretek. Kuda berderap cepat menuju kampung mereka. Kusir mengendalikan kuda dengan baik. Dia senang karena sekarang punya langganan baru setiap hari sabtu dan minggu.
Akhirnya mereka tiba juga dirumah setelah hari sore. Kusir membantu menurunkan barang-barang mereka. Mimi membayar ongkos keretek. Ketiganya masuk dengan perasaan lelah namun puas. Hari ini mereka punya pengalaman baru berjualan langsung dengan apa yang selama ini mereka tanam.
Malam itu kesegaran mereka sudah pulih kembali. Setelah mandi dan makan, rasanya tubuh mereka segar kembali. Mimi mengeluarkan dompetnya dan menghitung uang yang mereka peroleh hari itu. Irin mencatat pengeluaran untuk ongkos dan biaya lainnya.
“Kita masih mendapatkan untung.” Irin tersenyum memperlihatkan catatannya. “Bila jualan kita lebih banyak, pastinya akan lebih banyak juga keuntungan yang kita dapatkan.”
“Untuk kali ini aku merasa puas. Walaupun untung kita sangat sedikit tapi kita sudah mencoba berjualan langsung apa yang kita tanam.” Kata Mimi. Dia menyimpan buku catatannya baik-baik.
“Aku tadi sempat jalan-jalan pada stan pedagang lain. Aku melihat ada yang berjualan rajutan. Aku mendadak ingat pada rajutan-rajutan yang selama ini kubuat dan kukumpulkan, kenapa aku tidak sekalian saja sambil berjualan rajutan juga.” Kata Irin.
“Itu bagus. Aku juga tadi melihat ada yang berjualan kantong belanja yang terbuat dari kain dan dihiasi dengan hiasan dari kain lain sehingga jadi kain belanja yang menarik. Aku juga rasanya bisa membuat kantong belanja seperti itu.” Ucap Mimi.
“Kenapa kau tidak mencoba membuatnya, Mi? Aku melihat hasil jahitanmu sangat rapi dan bagus. Nanti kita sisihkan uang untuk membeli kain dan kau bisa mencoba membuat kantong-kantong belanja dan sekalian dijual.” Ucap Irin.
“Artinya kita nanti punya dua meja yang berbeda. Meja yang satu untuk hasil pertanian dan meja satunya lagi untuk tempat rajutan dan kantong.” Kata Tina.
“Itu bisa diatur. Aku akan mengaturnya nanti, bagaimana menempatkan rajutan dan kantong-kantong itu pada wadah-wadah sehingga tidak akan memakan banyak tempat.” Ucap Mimi.   

                                                                          --- 0 ---