Shani dan Risma hidup
diperkampungan yang terletak didaerah perbukitan dengan hawanya yang sejuk dan
dingin. Sebagian besar penduduknya hidup dari menanam padi dan beternak
kambing. Ketika kedua orangtuanya meninggal dunia, Shani dan Risma menggarap
sawah peninggalan kedua orangtua mereka. Itulah satu-satunya harta peninggalan
orangtua mereka. Namun karena tidak ada orang yang bisa membantu kedua gadis
itu mengerjakan sawah mereka, akhirnya sawah peninggalan orangtua mereka
menjadi terbengkalai. Lama kelamaan kehidupan Shani dan Risma menjadi semakin
susah karena mereka tidak punya padi lagi untuk mereka makan, sementara uang
pun sudah hampir habis untuk membiayai hidup mereka sehari-hari. Akhirnya Shani
dan Risma kehabisan uang dan tidak memiliki apa-apa lagi untuk mereka
makan.
“Kita tidak bisa begini
terus, kak.” Kata Risma kepada kakaknya, Shani. “Kita harus bekerja mencari
uang.”
“Ya.” Shani mengangguk
setuju. “Tapi aku bingung. Apa yang bisa
kita kerjakan. Orang tua kita hanya mewariskan
sepetak sawah namun akhirnya
terbengkalai karena kita berdua tidak bisa menggarapnya.”
“Jadi sekarang bagaimana?”
Tanya Risma.
“Kita jual saja sawah
peninggalan orangtua kita, uangnya kita pakai untuk hidup kita sehari-hari.”
Kata Shani.
Risma setuju. Tidak susah
menjual sawah. Tidak lama Shani dan Risma sudah menerima sejumlah uang yang
cukup besar hasil dari penjualan sawah peninggalan kedua orangtua mereka.
Mereka hanya menyisakan sepetak kecil
tanah yang tidak jauh dari rumah mereka. Uang membuat
keduanya lupa diri. Shani dan Risma pergi kekota. Mereka takjub dengan
keramaian kota yang nampak indah dengan
berbagai hal yang tak pernah mereka
lihat di kampung mereka.
Keduanya bersenang-senang.
Mereka membeli baju, perhiasan dan berbagi macam barang yang kurang begitu
dibutuhkan. Mereka juga menghabiskan uang untuk berpoya-poya. Dalam waktu yang
tidak lama uang hasill penjuaan sawah itu telah habis. Kini kedua gadis itu
tidak memiliki uang lagi.
“Kita jual saja rumah ini
dan membuat rumah yang lebih kecil.” Usul Risma pada Shani. Shani setuju.
Mereka mulai menawarkan rumah peninggalan orangtua mereka kepada
tetangga-tetangga mereka. Akhirnya ada salah seorang tetangga mereka yang
berniat membeli rumah itu. Namanya Pak Kardi. Pak Kardi menemui kedua gadis
itu.
“Kalau rumah ini kubeli,
kalian akan tinggal dimana?” Tanya pak Kardi.
“Dengan uang hasil
penjualan rumah ini, kami akan membangun sebuah rumah yang lebih kecil.” Sahut
Shani.
“Harta peninggalan
orangtua kalian sudah hampir habis.”
Kata Pak Kardi. “Bapak merasa khawatir dengan
masa depan kalian. Kalian berdua masih muda, sehat dan masih memiliki
masa depan yang panjang. Sebaiknya kalian bekerja untuk masa depan kalian.”
Shani dan Risma bertukar
pandang.
“Ya, pak.” Sahut Shani.
“Kami sudah berusaha menggarap sawah
peninggalan orangtua kami, namun kami tidak bisa menggarap sawah hingga akhirnya sawah kami terbengkalai dan
kami terpaksa menjualnya untuk menyambung hidup.”
“Setiap orang harus mau
belajar.” Kata Pak Kardi. “Kalau kalian tidak bisa menggarap sawah, seharusnya kalian
mau belajar, misalnya dengan bertanya kepada tetangga yang sama-sama jadi
petani.”
Shani dan Risma menunduk.
Mereka merasa malu. Selama ini mereka sering mengikuti perasaan malas dan malu mereka dengan tidak
mau menggarap sawah peninggalan orangtua
mereka, dan ketika mereka merasa tidak bisa menggarap sawah itu, mereka malas
untuk bertanya kepada tetangga-tetangga mereka yang sama-sama petani seperti
orangtua mereka.
Akhirnya jual beli rumah
itu terjadi. Rumah peninggalan orangtua mereka sekarang sudah berpindah tangan
dibeli pak Kardi. Sekarang Shani dan Risma merenungi nasehat pak Kardi. Benar,
mereka harus memiliki pekerjaan untuk masa depan mereka. Akhirnya Shani dan
Risma sepakat, mereka akan menggunakan
uang hasil penjualan rumah itu untuk membangun rumah yang lebih kecil
pada sepetak tanah peninggalan orang tua
mereka. Tanah itu tidak seluruhnya dipakai untuk rumah. Sebagian lagi disisakan. Dengan uang yang masih
tersisa mereka membeli bibit strawberry.
Mereka tidak tertarik untuk menanam padi seperti orangtua mereka ataupun
tetangga-tetangga mereka yang lain. Mereka merasa lebih
tertarik untuk menjadi petani strawberry. Lagi pula dikampung mereka belum ada yang
menjadi petani strawberry.
Karena kesungguhan mereka,
akhirnya pekerjaan mereka membuahkan hasil. Tidak lama kemudian Shani dan Risma
sudah bisa memanen starwberrry mereka.
Buah-buahnya bagus dan manis. Kedua gadis itu merasa gembira dengan hasil kebun
mereka. Mereka segera mengemas buah-buah strawberry itu kedalam kemasan
plastik. Mereka menjajakan dagangannya dipinggir jalan besar, yang terletak
dibawah kampong mereka, dimana banyak kendaraan yang lalu lalang, apalagi tiap
hari sabtu dan minggu ketika banyak orang yang melancong.
“Strawberry! Strawberrynya
pak, bu!! Teriak Shani dan Risma. Mereka memperlihatkan bungkusan-bungkusan
strawberry yang dikemas dalam wadah
plastic. Beberapa pengendara tertarik
melihat buah-buah strawberry yang merah dan segar itu. Mereka menepikan
kendaraannya dan membeli buah strawberry itu.
Bukan main gembiranya
Shani dan Risma dagangan mereka laris. Panen pertama buah strawberry mereka
laris manis. Hal itu membuat Shani dan Risma semakin bersemangat. Setiap
pagi-pagi sekali, ketika oranglain masih tidur, dicuaca yang dingin, kedua
gadis itu sudah berada dikebun strawberry mereka dan bekerja memetik buah-buah
strawberry yang sudah matang, lalu mengemasnya didalam kemasan plastik. Sebelum
matahari terbit kedua gadis itu sudah menuruni jalanan desa mereka yang menurun
dan keduanya bergegas menuju jalan besar dimana mereka menjajakan buah
strawberry mereka pada pengendara kendaraan yang lalu lalang.
Bertahun-tahun
lamanya Shani dan Risma menjalani pekerjaan itu. Mereka sangat berterima kasih
kepada pak Kardi yang telah memberikan nasehat yang sangat berharga kepada
mereka berdua. Hingga Shani dan Risma sama-sama menikah dan berkeluarga, mereka
tetap menjadi petani strawberry. Dengan uang hasil tabungan mereka selama
bertahun-tahun, mereka membeli lagi beberapa petak tanah untuk memperluas usaha pertanian strawberry
mereka.
--- 0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar