Jumat, 10 Mei 2013

Daun-daun Kering





Srek! Srek! Srek!
Ranti membuka jendela kamarnya. Udara pagi yang segar dan sinar mentari yang hangat menerobos masuk kedalam kamarnya. Bi Imas tengah menyapu daun-daun kering yang berserakan dihalaman. Bi Imas mengumpulkan daun-daun kering itu dan menumpuknya disudut halaman.
Sudah dua bulan ini Ranti pulang kembali kerumah emaknya. Akhirnya dia  memutuskan  pulang kembali kerumah emaknya.   Emak menyambut kepulangannya dengan penuh tanda  tanya. Saat itu, mata tua emaknya menatapnya dengan penuh kerisauan walaupun kerisauan itu tak tercetus lewat kata-kata maupun pertanyaan. Airmata Ranti bercampur dengan ceritanya yang meluncur berloncatan menceritakan apa yang tengah  terjadi dalam perkawinannya merupakan jawaban dari tanda  tanya yang tak sempat tercetus dari bibir emaknya.
Bukan hanya emaknya, namun Ranti sendiri seakan masih tak bisa  mempercayai apa yang kini tengah terjadi dalam perkawinannya. Haruskan perkawinannya selama hampir sepuluh tahun bersama Sena akan berakhir seperti ini? Selama ini rumah tangganya bersama Sena seolah begitu tenang. Kalaupun ada riak hanyalah riak-riak kecil yang dianggapnya sebagai bagian dalam menjalankan biduk rumah tangga. Dan itu  lumrah terjadi pada perkawinan siapapun.
Ranti merasa bahwa selama sepuluh tahun  berumah tangga dengan Sena  tak pernah  ada persoalan yang berarti. Ia tidak tahu apakah itu yang disebut dengan kebahagiaan. Namun yang pasti ia bisa mencintai Sena.  Dia  bisa belajar bagaimana menerima kenyataan hidup. Ia bisa menyesuaikan diri dan menempatkan dirinya pada sebuah suasana rumah tangga. Dia bisa merasakan  bahwa apa yang dikatakan emaknya, seorang wanita desa yang sederhana, merupakan kebenaran. Bahwa cinta itu tidak tumbuh begitu saja. Tapi cinta bisa dan harus dipelajari dan dihayati  dalam suatu sikap menerima. Cinta bisa tumbuh dalam  suatu sikap yang tak perlu banyak menuntut pada suami. Menurut emak, wanita yang selama berpuluh tahun mengabdi dengan penuh keikhlasan dalam sikapnya yang sederhana,  makin sedikit tuntutan  seorang istri pada suaminya, berarti makin dekat pada sikap menerima, dan akhirnya makin dekat pula ketentraman dan kebahagiaan yang jadi tujuan hidup seorang istri ketika dalam memahami arti dan tugasnya sebagai pendamping suami. Ranti menghela napas dalam. Bi Imas masih menyapu dihalaman. Bunyi sapu lidinya  menyentuh tanah. Srek! Srek! Srek!  Bi Imas  begitu tekun menyapukan lidinya pada setiap sudut halaman. Lamunan Ranti seakan terlempar pada masa sekian tahun silam.  
Ranti  menikah dengan Sena bukan karena berlandaskan cinta. Dan hal itu hal lumrah yang terjadi pada perkawinan di desa mereka. Emak selalu mengatakan bahwa cinta akan datang kemudian setelah dia menjadi seorang istri. Cinta akan tumbuh dengan sendirinya sebagai bentuk kesadaran ketika seorang perempuan sudah menikah dengan seorang lelaki yang menjadi suaminya dan meresapi bahwa pengabdiannya bukan hanya sekedar kewajiban, namun merupakan benih-benih dari sebuah ketulusan sikap  yang akan melahirkan cinta dan kasih sayang dari suami terhadap istrinya dan akhirnya cinta dan kasih sayang istrinya dengan sendirinya akan tumbuh dan berkembang terhadap suaminya. Cinta bukan patokan  untuk membentuk sebuah perkawinan. Di desa mereka  masih memegang tata cara dan tradisi yang masih kuno. Tradisi  dimasa lalu  yang masih tersisa  untuk urusan jodoh  seorang anak  gadis, dia tidak berhak menentukan sendiri dengan siapa dia ingin berumah tangga. Dia tidak berhak membuat catatan dan membukukan nasibnya sendiri. Orang tualah yang memiliki  pena untuk menulis nasib dan perkawinan anak gadisnya. Dan si anak tak boleh menolak karena itu merupakan bagian dari bakti  seorang anak.
Walau dengan bekal pendidikan  yang membuatnya bisa menjadi seorang guru di sekolah dasar, namun Ranti  tetap merupakan perempuan desa yang masih tersisa yang tercetak sebagai bagian dari  tradisi masa lalu. Dia  tak kuasa menolak ketika bapak dan emak menganggap sudah tiba saatnya dia menikah dan menyodorkan Sena  sebagai calon suaminya. Sena  adalah suatu janji kehidupan masa depan untuk Pak Karna, karena dia  seorang anak kepala desa, anak seorang yang terpandang di desa mereka, dianggal sebagai priyayi didesa mereka. Seseorang yang berasal dari sebuah keturuna yang memiliki  pamor dan kewibawaan dan selalu jadi panutan, baik secara moral maupun  material.
Sena   sudah empat puluh dua tahun dan seorang duda cerai, tanpa anak. Tapi dianggap sangat pantas dengan Ranti   yang berusia duapuluh lima tahun, suatu usia yang sudah terlambat untuk ukuran masyarakat yang memelihara tradisi tua. Sena   adalah  anak  kepala desa Sekarwangi. Sena   laki-laki yang baik. Dia sopan dan ramah. Ketika pertama kali Sena   berkunjung kerumahnya. Ranti sudah menangkap apa maksud kedatangan lelaki itu.
Ranti  tidak berani mengangkat wajahnya ketika dia menyuguhi Sena   yang bercakap-cakap dengan ayahnya. Seminggu setelah kunjungan itu ibunya mengajaknya bicara.
”Kang Sena   menyukaimu. Dia sudah lama memperhatikanmu.  Kang Sena   sudah bicara dengan ayahmu. Kang Sena  berniat menyuntingmu. Bagaimana pendapatmu?”
Ranti   adalah wanita yang lama hidup di desa walaupun dia lulusan pendidikan guru dan sudah dua tahun mengajar pada sebuah sekolah dasar.
Ibunya tidak memaksanya untuk menerima pinangan Sena, namun Ranti   mempertimbangkan perkataan ibunya.  Laki-laki itu  berasal dari keluarga yang cukup berada didesanya. Sena   adalah anak satu-satunya keluarga bapak Sutarjo,   kepala desa Sekarwangi selama dua periode berturut-turut.  Ranti   tak pernah memperhatikan laki-laki itu sebelumnya.
”Saya perlu mengenal Kang Sena  lebih dahulu, mak.” ucap Ranti  pelan. Perkawinan adalah masa depannya, kelangsungan hidupnya setelah dia melepaskan masa lajangnya.
”Kang Sena   akan kemari lagi. Dia juga ingin bicara denganmu.” kata ibunya, menatapnya dengan tatapan lembut.
Ibunya tersenyum. ”Kau cukup punya banyak waktu untuk mempertimbangkan lamarannya. Bapak dan emak  selalu berdoa semoga engkau mendapat jodoh yang baik. Bila memang Sena   adalah laki-laki yang baik untukmu, dekatkanlah dan lancarkanlah segala jalannya menuju perjodohanmu. Namun bila Sena  bukan jodohmu,  semoga Gusti Allah segera mendatangkan jodohmu. Itu yang selalu emak panjatkan kehadhirat Illahi Rabbi.”
Ranti  mulai menyukai laki-laki itu. Dia mulai memperhatikan lelaki itu dengan seksama. Dia mulai rutin mendapat kunjungan Sena  hingga akhirnya diakhir bulan ketiga perkenalan mereka Sena  bertanya padanya. ”Dik Ranti, maukah menjadi istri saya?”
Ranti hanya tersenyum. Senyuman itu adalah sebagai jawaban yang sangat melegakan perasaan Sena. Tak sia-sia upayanya selama ini mendekati gadis cantik yang bersahaja itu.
Perkawinan mereka diselenggarakan bulan berikutnya hanya empat bulan setelah perkenalan mereka. Pesta perkawinannya diselenggarakan dengan sangat meriah. Yang punya hajatan adalah kepala desa, mengawinan anak lelaki satu-satunya. Penduduk desa berdatangan sejak tiga hari tiga malam sebelumnya. Emak dan bapak tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan mereka. Anak semata wayang mereka telah dipersunting oleh lelaki yang pantas. Lelaki yang akan membawa anaknya kedalam sebuah perkawinan yang bahagia.
Ranti mulai menikmati kehidupan barunya sebagai seorang istri. Ranti tetap menjalani hari-hari rutinnya. Pagi sampai siang dia mengajar. Sena memiliki usaha mengurus kebun kopi milik ayahnya. Dia sibuk mengurus kebun dan mengurus jual beli hasil perkebunan. Segalanya berjalan lancar. Menjelang delapan tahun usia  perkawinan mereka, Sena ikut pencalonan kepala Desa. Senda mendapat dorongan dan dukungan dari kedua orangtuanya dan keluarganya, untuk meneruskan tradisi dari ayah dan kakeknya yang selama ini menjadi kepala desa di desa mereka. Sena terpilih menjadi kepala desa menjadi babak baru bagi  kehidupan Ranti.
Kemenangan Sena   tentu saja disambut gembira oleh semuanya, pendukung-pendukungnya, keluarganya, juga oleh dirinya. Ranti tidak sanggup menyembunyikan kebahagiaannya, seperti juga kebahagiaan yang dirasakan oleh suaminya. Segala perjuangan, pengorbananan, dan segala kesukaran yang ditempuh dalam perjalanan untuk meraih kemenangan itu seakan sirna ketika kemenangan sudah  berhasil diraih. Apa yang selama berbulan-bulan ini mereka perjuangkan sekarang telah membuahkan hasil. Kemenangan Sena  adalah kemenangan mereka semua. Tamu-tamu  seakan tidak henti berdatangan untuk mengucapkan selamat kepada suaminya atas kemenangannya itu. Bukan hanya pada suaminya, namun juga kepada  bapak mertuanya, bapak Sudiro, yang merupakan kepala desa dua periode sebelum Sena  kemudian menggantikan posisi ayahnya.
Namun masih ada yang terasa mengganjal dalam perkawinan mereka. Kalaupun ada kekurangan, itu adalah seperti perkawinan Sena yang pertama, perkawinan mereka belum menghadirkan keturunan. Tapi baik Sena maupun  Ranti tidak pernah mempersoalkan hal itu. Mereka percaya bahwa anak adalah rejeki dari gusti Allah. Mungkin Allah belum berkenan memberikan rejeki itu kepada mereka berdua. Sambil menunggu hadirnya rejeki itu, kehidupan tetap  berjalan seperti biasanya.
Ranti  telah menerima bagian nasibnya. Ranti  menerima kebenaran sebagai nilai itu. Sena  memang baik, telaten dan menyayanginya. Dari sini Ranti  mengerti bahwa cinta kasih itu ibarat tanaman merambat. Ketika kecil bisa tampak tidak ada mirip butir kecambah, tapi makin lama membelit dan merimbun. Ia merasa terlindung dalam hidup Sena. Suaminya seolah-olah telah memberikan seluruh hidupnya padanya.
”Bila engkau berhasil menjadi abdi suami, kau akan memperoleh surga.”
Kalimat itu pernah diucapkan emaknya, seminggu sebelum dia melangsungkan perkawinannya dengan Sena.
Tapi suasana tenang itu tiba-tiba pecah. Beberapa bulan setelah Sena memanggu jabatan sebagai kepala desa, sepulang dari kunjungan rutin ke dusun-dusun,  Sena  pulang membawa seseorang. Ranti melihat tamu itu seorang perempuan. Masih muda. Kira-kira dua puluh tahun. Wajahnya manis. Sikapnya malu-malu dan lugu. Sena tidak berbicara apa-apa tentang tamu itu, kecuali memperkenalkan namanya.
”Mayang, keluarga kita juga.” 
Ranti segera menduga bahwa Mayang  masih ada hubungan famili dengan suaminya. Ranti  melayaninya sebaik-baiknya. Sangat baik. Sehingga Mayang  tersipu-sipu malu mendapat perhatian dan kebaikan yang sangat berlebihan dari Ranti.
Hingga  kemudian hadir kenyataan sesungguhnya. Sena menempatkan Mayang dirumah belakang. Hanya terhalang oleh halaman belakang dan sebuah kolam dari rumah yang ditempati Ranti. Semula rumah itu adalah sebuah gudang. Namun hampir setahun lalu, Sena telah membongkar gudang itu dan membangunnya menjadi sebuah rumah mungil yang nyaman dan asri untuk ditempati. Ketika akan membangun rumah itu, Sena mengatakan bahwa rumah itu akan dijadikan sebagai paviliun. Tempat untuk mereka berdua beristirahat dikala senggang.
Tentu saja Ranti percaya. Dan senang mendengar ucapan suaminya. Rumah itu dibangun dengan artistik. Kayu-kayu yang menghiasi rumah itu merupakan kayu-kayu jati yang kokoh dan dibentuk dengan artistik. Namun kini Ranti mengerti, mengapa Sena membangun rumah itu. Bukan untuk tempat mereka beristirahat diwaktu senggang seperti kata Sena sebelumnya, namun dipersiapkan suaminya untuk perempuan lain.
Tak pernah terpikir oleh Ranti bahwa suaminya sedang merencanakan suatu rencana yang sangat menyinggung harga dirinya. Hatinya sakit. Dia tidak bisa menerima kenyataan dikhianati suaminya yang selama ini adalah menjadi tempatnya mengabdi dengan sepenuh hati. Seperti yang diajarkan oleh ibunya. Bahwa mengabdi kepada suami adalah sebuah ibadah yang tidak ternilai harganya.
Malam-malam, beberapa waktu sebelum Ranti mengetahu pasti hal itu, Sena mengajaknya bicara  serius.
”Ranti, aku sesungguhnya  benar-benar sangat menyayangimu. Yah, aku sangat menyayangimu. Kau pasti tahu itu. Kau percaya bahwa aku sungguh mencintai dan menyayangimu, bukan?” 
Malam itu seperti tidak biasanya, tiba-tiba Sena bicara begitu. Mereka duduk berdua diberanda samping. Dengan dua gelas minuman jahe yang masih hangat diatas meja, yang dibuat Ranti beberapa saat  sebelum mereka duduk disana.
Ranti merasakan ada yang berbeda. Sena mengajaknya bicara secara serius. Suaranya terbata-bata seakan menahan tangis.  Tak biasanya suaminya bersikap sentimentil. Seakan  bingung. Dan   galau. Suaminya adalah tipe manusia yang berbuat. Bukan berkata-kata. Karena itu Ranti  hanya termangu tak mengerti walaupun hatinya bertanya.
”Kau percaya aku menyayangimu, bukan?” tanya Sena sekali lagi dengan mimik memelas.
Ranti  mengangguk. Tak pernah dia meragukan kasih sayang Sena selama ini kepadanya. Sebagai suami, Sena sangat bertanggung jawab dan penuh perhatian. Sena bukan suami yang banyak berkata, namun ungkapan cinta dan kasih sayangnya sebagai suami kepadanya diwujudkan dalam bentuk tindakan, perbuatan dan perhatian yang terus menerus seakan tak pernah mengenal lelah. Ranti faham, ungkapan cinta tidak harus selalu diwujudkan dengan kata-kata penuh rayuan namun isinya kosong. Namun tindakan, perbuatan dan perhatian yang sarat penuh ungkapan makna cinta dan kasih sayang, jauh lebih penuh  nilai bagi dirinya.
Tak ada yang diragukan dari Sena.  Suaminya  juga seorang warga teladan yang jadi panutan penduduk kampung. Sebagai seorang kepala desa, keberhasilan desa Sekarwangi yang sudah membangun jalan-jalan beraspal sehingga memudahkan warga dalam melakukan kegiatan sehari-hari, menunjang perekonomian desa, dan membangun sebuah balai desa yang cukup besar dan bagus, jembatan, posyandu dan beragam pembangunan fisik lainnya, sudah cukup membuktikan keberhasilan Sena sebagai seorang kepala desa dalam membangun desanya.  Bila melihat sosok Sena, sebagai suami dan sebagai kepada desa, Ranti tak pernah meragukan Sena. Namun Ranti menunggu apa yang akan disampaikan suaminya sehingga raut wajah dan suara suaminya demikian serius malam ini.
”Yah.” Sena berdesah. ”Aku merasakan bahwa perkawinan kita ini bahagia. Kalaupun ada kekurangan, itu karena belum hadirnya anak-anak. Walaupun kita  sudah berusaha. Kau juga ingin ada anak dirumah kita, bukan?”
Ranti diam saja. Dia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan suaminya. Sena pasti sudah tahu hal itu. Tak ada seorangpun istri yang tidak mendambakan kehadiran anak-anak dalam perkawinannya. Anak merupakan tanda kesempurnaan wanita dan penyambung darah serta kehormatan bagi sebuah keluarga. Dia juga ingin anak sebagai pelengkap kebahagiaannya. Sebagai pengisi bagian hatinya. Namun pembicaraan mengenai anak selalu menyentuh perasaannya yang paling sensitif. Baik dirinya maupun suaminya, sudah tahu bahwa dirinyalah yang mandul. Gabuk. Sebuah kenyataan yang terasa menyakitkan hati namun tak bisa diingkarinya.
Sena  seakan tergesa-gesa lalu  menjawabnya sendiri. ”Ya, tak seorang istri pun yang tak mendambakan anak-anak. Anak merupakan pelengkap dalam sebuah rumah tangga.”
Ranti setuju. Dia juga ingin anak sebagai pelengkap kebahagiaannya, sebagai pengisi bagian hati yang masih ada rongganya. Keinginan itu sudah tumbuh sejak lama, hanya saja ia tak mau mengungkapkannya karena posisinya sebagai istri.  
”Sebenarnya sudah lama aku  berikhtiar tanpa kau ketahui. Sebagai manusia kita wajib berupaya, bukan?”  Sena melanjutkan kembali kata-katanya. ”Aku  sudah banyak bertanya pada orang-orang tua. Masalah perkawinan kita yang belum memiliki keturunan adalah masalah yang mungkin juga terjadi pada pasangan-pasangan suami istri lainnya. Jadi kita tidak sendirian memiliki masalah seperti ini.  Aku juga minta nasehat pada ibu. Ranti, Ibu ternyata sudah  ingin sekali  punya cucu. Aku  bisa mengerti perasaannya. Usianya sudah udzur, tentunya sebelum mati ia ingin melihat cucunya. Apalagi aku hanya anak satu-satunya. Hanya dari aku saja orangtuaku berharap garis keturunan  keluarga kami akan lahir dan terus bersambung. Kuharap engkau mengerti. Betapa berat beban perasaanku. Aku ingin mewujudkan harapan dan keinginan ibu dan bapakku. Engkau  pasti bisa mengerti, bukan?”
Ranti  mengerutkan kening. Secara tersamar dia mulai dapat menangkap  arah pembicaraan suaminya. Anak. Ya, suaminya tengah membicarakan keinginannya memiliki anak. Sesuatu hal yang sudah tidak mungkin diberikannya kepada suaminya karena dia mandul. Gabuk. Mendadak  Ranti merasa terisris perasaannya. Kepekaan perasaannya menangkap hal yang tersamar yang tidak enak.  Memiliki anak adalah tugas dan kewajiban seorang istri.  Seorang istri yang gabuk adalah cacat besar. Anak adalah bagian yang  utama  untuk kesempurnaan seorang istri.  Tak seorang pun wanita merasa senang dan bahagia  apabila dia mandul. Dan ketidaksempurnaan itu adalah miliknya sebagai seorang istri.  Tiba-tiba Ranti  berdebar-debar menunggu kelanjutan ucapan suaminya.
“Ibu mengajurkan agar aku cari ikhtiar lain. Ibu menyodorkan jalan lain. Tentu saja ibu pun sudah mempertimbangkannya matang-matang. Ibu tidak ingin akhirnya malah menjadi berantakan. Percayalah, ibu dan bapak sangat menyayangimu, Ranti. Kau pasti tidak meragukan kasih sayang ibu dan bapak kepadamu. Namun disisi lain, orangtuaku punya keinginan ingin segera memiliki seorang cucu.”  Ucap Sena hati-hati. “Mayang.  Mayang  yatim piatu  yang selama ini  merawat ibu. Kedua orangtuanya sudah lama meninggal. Dia tidak punya sanak keluarga. Itulah sebabnya ibu membawanya kerumah. Ibu bilang padaku, bicarakan baik-baik dengan istrimu, ibu  kira istrimu bisa menerima Mayang  jadi bagian dari keluargamu.”
“Jadi……?” Ranti  menyahut. Dia tidak berani menebak seketika apa  maksud suaminya.
“Itulah sebabnya Mayang aku bawa kemari, tinggal didekat kita. Maafkan aku, Ranti. Aku melakukannya dengan berat hati. Aku sudah menikahi Mayang tanpa meminta ijin terlebih dahulu kepadamu. Maafkan aku, Ranti.  Aku menuruti saran ibu. Ibu bilang, inilah jalan satu-satunya agar aku bisa segera  mendapatkan keturunan. Maafkan aku, Ranti. Tapi kau tahu rasa cinta dan sayangku padamu tak pernah terbagi.”  Sena  berkata dengan nada membujuk. Tak ingin percakapan mereka akan meletupkan api dalam hati istrinya.
Sekonyong-konyong debaran dada Ranti  bertambah kencang. Darahnya mengalir cepat, lalu membakar wajahnya. Mulutnya ingin berteriak keras, tapi terkunci. Kepalanya pusing. Pandangannya mengabur dan ingatannya menyurut hilang. Ranti  pingsan karena tak kuasa menekan perasaannya.
Ketika siuman beberapa saat kemudian, yang dilihat pertama kali adalah perempuan muda berwajah  ayu  itu tampak takut, khawatir dan cemas. Matanya menatapnya dalam-dalam.  Mayang  menggosok tubuh Ranti   dengan minyak kayu putih.  Dia juga mendekatkan sapu tangan yang telah dibubuhi minyak kayu putih kedekat hidung Ranti. Saat melihat Ranti  sadar, wajahnya tampak lega. Mayang  meraih secangkir teh panas dan mengangsurkannya ke bibir pucat  Ranti.
”Minum, Ceu........” ucap Mayang lirih.
”Minum, Ceu......” Mayang memegang tangan Ranti lembut.
Ranti memalingkan tatapannya. Dia menolak teh hangat yang harus dan segar itu dari tangan perempuan itu. Tidak mungkin  dia mau menerima pemberian dari seorang perempuan   yang telah merebut kedudukannya dari suaminya dan yang  telah menorehkan luka dihatinya. Bi Atik mengambil cangkir dari tangan Mayang dan mengangsurkannya ke mulut Ranti. Separuh lebih  isi cangkir itu diteguknya, sehingga ia memperoleh kesegarannya kembali. Bi Atik menggosok-gosok telapak kakinya yang dingin. Ranti mulai mendapatkan kekuatannya kembali. Dia melihat Sena ada dikamarnya, berdiri didekat lemari. Ketika  Ranti  menatapnya,  Sena bangkit keluar. Seakan dapat merasakan suasana yang tidak enak, bi Atik bergegas keluar kamar.
Kini tinggallah  Ranti  dan Mayang. Dua wanita  sebagai istri kepala desa Sena. Dua hati yang bisa saja saling  tikam dan remas karena telah disakiti. Dua hati yang juga bisa bersatu melawan ketidakadilan laki-laki. Namun wanita adalah   makhluk yang dicipta dari bagian tubuh yang paling dekat dengan hati. Karena itu dengan hati pula mereka banyak menimbang dan melihat segala persoalan. Ia sering lemah karena dirinya sendiri. Ia sering kalah dan jadi korban laki-laki.
”Maafkan saya, Ceuceu. Sayalah yang membuat Ceuceu begini.” Mayang  berkata dengan memohon. Kedua tangannya memegang tangan Ranti.
”Semula saya percaya, Ceuceu, bahwa semuanya akan beres. Bu Mien, ibu Kang Kades mengatakannya begitu. Saya terima karena saya tak bisa menolaknya. Saya sudah tak punya siapa-siapa lagi, itulah soalnya. Saya sudah biasa hidup menderita. Atas kebaikan hati bu Mien dan bapak, saya seolah  mendapat tempat bernaung. Tempat berlindung. Bukan hanya dalam arti yang sesungguhnya, namun dalam pengertian lain, saya seolah mendapatkan pengganti orangtua saya yang sudah lama meningga dunia. Saya seolah memiliki keluarga lagi, keluarga yang utuh, menyayangi dan melindungi saya. Tapi ternyata saya begitu bodoh. Sungguh, ceuceu, saya tidak tahu kalau akan begini jadinya.” kata Mayang lagi dengan mata berlinang.
Ranti  bangkit dan duduk di tepi pembaringan. Mayang menumpuk beberapa buah bantal sehingga Ranti bisa bersandar dengan lebih nyaman. Mayang meraih tangan Ranti dan memegangnya lembut.
”Saya akan pulang, ceuceu.” ucap Mayang tersendat menahan tangis. ”Percayalah, saya tidak ingin ceuceu menderita. Saya tidak akan merebut kang Sena dari ceuceu. Tidak. Saya tidak akan melakukan itu.” Mayang   sesenggukan. Tubuhnya yang langsing nampak terguncang.
Sekonyong-konyong Ranti merasa  trenyuh mendengar tangisan perempuan muda itu. Melihat wajah perempuan itu yang pucat pasi dan tangisannya yang sesengguhkan. Kehalusan perasaannya menyeruak, mengalahkan rasa sakit dihatinya.  Sementara sebelah rongga kalbunya menganga luka, sebelah lagi tersentuh. Dia mengelus rambut Mayang.
”Sudahlah, Mayang. Kau tidak salah. Kau jangan pulang. Aku tak apa-apa.” kata Ranti  menghibur.
Namun hari-hari selanjutnya  Ranti  tak bisa menghibur dirinya sendiri. Apa yang diucapkan Ranti pada Mayang tempohari hanyalah kata hiburan sesaat pada perempuan itu karena tangisnya yang menyentuh kalbunya. Kini kenyataan tak lagi bisa menghiburnya lebih lama  lagi.   Hatinya perih dan sakit. Sakit karena semena-mena suaminya, seorang yang terhormat dan terpercaya, membawa perempuan lain, menikah diam-diam tanpa meminta ijin kepadanya dan  menyisihkan fungsi dan kedudukannya sebagai seorang istri yang sah.
Alangkah semena-menanya Sena memperlakukan dirinya. Batinnya   berontak dan meradang  didera rasa sakit dan pengkhianatan suaminya. Pikirannya terasa semakin hari semakin sumpek dan ruwet, dibelenggu rasa curiga dan cemburu yang terus merasuki pikirannya. Jaraknya dengan jarak madunya terlalu dekat.  Dia tidak sanggup membayangkan bagaimana cinta dan kasih sayang  Sena terhadap Mayang. Pastinya tidak jauh dari yang selama ini diberikan Sena kepadanya. Bahkan mungkin lebih karena Mayang sudah akan  memberikan seorang anak kepada suaminya, anak yang menjadi dambaannya selama ini. Perasaan Ranti sakit, tiap hari dilanda perasaan cemburu yang menyesakkan perasaannya.
Jarak mereka terlalu berdekatan.  Seakan dia bisa melihat apa yang terjadi diantara mereka berdua  dengan begitu mudahnya. Hanya dengan membuka jendela belakang rumahnya. Ranti hanya diam termangu   ketika malam itu Sena pamit akan gilir pada Mayang. Hujan seakan dicurahkan dari langit. Begitu deras dan tidak berhenti sepanjang malam.  Ranti merasa hampir gila.  Dia tidak sanggup membayangkan apa yang dilakukan suaminya terhadap istri mudanya yang begitu cantik dan molek. Namun yang dilakukan Ranti kemudian hanya mematung tanpa menatap kepergian suaminya. Setelah itu dia menangis, membiarkan airmatanya tumpah diatas bantalnya. Seluruh kesedihan dan kepedihan hatinya seakan membludak keluar. Tanpa sanggup melawan sedikitpun atas tindakan suaminya yang semena-mena terhadap dirinya.
Esoknya Sena  muncul  kerumahnya dengan wajah segar. Menyapa Ranti dan bergegas pergi keluar. Melakukan rutinitas pekerjaannya sehari-hari sebagai seorang kepala desa.  Ranti sudah tahu, Mayang kini tengah hamil. Usia kandungannya sudah lima bulan. Empat bulan lagi, akan lahir  bayi yang selama ini sangat diharapkan Sena. Seorang anak yang menjadi penerus keturunannya. Hati Ranti terasa panas dilanda perasaan cemburu. Anak itu akan menjadi pelengkap kebahagiaan suaminya. Dan bukan dirinya, perempuan yang memberi pelengkap kebahagiaan pada suaminya itu. Namun perempuan lain yang dijadikan jalan lain oleh suaminya.
”Kalau kau berhasil menjadi abdi suami, kau akan memperoleh surga.” ucapan ibunya terngiang kembali. Bisakah surga itu dimilikinya bila hatinya tak bisa lagi merasa ikhlas menerima segala bentuk perlakuan suaminya terhadapnya? Surga semacam apakah yang akan didapatkannya bila hatinya setiap saat selalu membara  dibakar perasaan cemburu dan sakit hati.
Maka, malam-malam dua minggu setelah Mayang melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan sehat, ketika Ranti dan suaminya  sama-sama berbaring pada dipan kayu berkelambu – dipan pembaringan yang sejak mereka menikah tetap menjadi tempat pembaringan mereka berdua, Ranti  berkata, ”Ceraikan aku. Aku  kira tugasku sudah selesai.”
Ranti merasa dia sudah  tidak akan bisa lagi menanggung beban perasaannya yang selalu berontak dan ingin berontak terhadap suaminya.
”Ceraikan aku.” ucap Ranti lagi. Dia  menatap sekilas pada suaminya. Lalu tatapannya dilemparkan kedinding, membelakangi suaminya.
Sena menoleh, tanpa merubah posisi berbaringnya. Tubuh istrinya terlentang tanpa bergerak, namun wajahnya dipalingkan, membelakanginya, menghadap pada  dinding. Sena hanya diam membisu. Dia mendengar Ranti menangis.
”Ranti......”
”Aku ingin bercerai. Ceraikan aku.” ucap Ranti tersendat-sendat. Akhirnya hanya menangis yang bisa dilakukannya. Menangis tanpa daya. Menangisi ketidakberdayaannya yang harus menerima semua tindakan semena-mena suaminya.
“Jangan terburu nafsu begitu. Soal Mayang, kan bisa dibicarakan. Aku akan memulangkannya setelah ia memberikan keturunan pada kita. Anak itu......” Sena  tak melanjutkannya karena Ranti  membalikan tubuhnya, menatapnya dengan penuh kemarahan dan kebencian, lalu bangkit dari pembaringan dan berjalan keluar kamar.
Ranti benci mendengar ucapan suaminya. Untuk menyelesaikan sebuah persoalan laki-laki itu bertindak semakin semena-mena. Ranti benci dirinya tidak bercaya menghadapi kesemena-menaan suaminya. Ranti semakin kuat mengambil  keputusan.
Malam itu Sena tidak pergi menemui Mayang meskipun malam itu seharusnya giliran Mayang. Sena diam terus dikamar, menunggu Ranti yang menangis sesenggukan, membiarkan istrinya menumpahkan airmatanya  tanpa mengusiknya sedikitpun.
”Aku tidak mengharapkan perceraian diantara kita.” kata Sena ketika Ranti sudah kelihatan tenang. Tingga sedu sedangnnya yang sesekali terdengar.
”Aku menyayangimu, Ranti. Aku harap engkau tidak meragukan kasih sayangku kepadamu.” kata Sena lagi.
”Seandainya kehadiran Mayang sangat menganggumu, aku bersedia menceraikannya. Anak itu kita yang mengurusnya. Dia bisa sebagai pengganti  kehadiran anak yang selama ini kita harapkan. Mengenai Mayang, aku sudah merencanakan akan menceraikannya. Aku akan membangun sebuah rumah untuknya, bukan di desa kita,  tapi di desa lain, untuk ditinggalinya agar dia tidak terlantar setelah menjadi janda.” Sena berhenti sesaat.
”Aku berharap kita bisa  memperbaiki kembali perkawinan kita. Aku sangat mencintaimu, Ranti. Aku tak pernah bermaksud menyakiti perasaanmu. Kehadiran Mayang jangan membuatmu ingin menghancurkan perkawinan kita.”
Ranti mendengar semua kata-kata suaminya. Baginya sekarang semakin jelas. Betapa gampangnya Sena menyelesaikan persoalan diantara ereka bertiga seakan dua wanita yang hadir dalam hidupnya hanyalah raga tanpa jiwa. Betapa entengnya Sena mengucapkan akhir dari penyelesaian kemelut rumah tangga mereka dengan mengorbankan perasaan wanita lain yang sudah jelas telah memberikan keturunan kepdanya. Sesuatu hal yang justru tak bisa diberikannya sebagai istrinya yang selama bertahun-tahun mendampingi Sena. Betapa kejamnya perasaan Sena, tidak bisa menakar perasaan perempuan.
Malam itu Ranti tidak tidur. Dia memikirkan Mayang.wanita itu masih muda. Dia baru saja melahirkan seorang anak. Dia baru saja memenuhi harapan seorang ibu mertua yang ingin segera memiliki seorang cucu dari anaknya. Namun kini dia harus siap untuk disingkirkan dari kehidupan lelaki itu dimana selama lebih dari dua tahu  dia menyerahkan dirinya kepada lelaki itu. Mayang pun seorang perempuan yang memiliki perasaan. Pasti dalam hatinya timbul beragam konflik antara perasaan dirinya sebagai seorang perempuan, sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu dari bayinya dengan kepentingan suaminya yang sungguh egois dan tidak berperasaan.
Mata Ranti nyalang menatap langit-langit kamar. Tak ada posisi yang  lebih menguntungkan diantara dirinya dengan Mayang. Mereka berdua sama-sama menjadi korban penindasan laki-laki yang menjadi suami mereka. Tak ada yang merasa lebih bahagia dan lebih beruntung. Mereka sama-sama menderita dan sama-sama memiliki peluang untuk tersingkir dari sisi suami mereka.
Ranti menarik nafas dalam-dalam. Keputusannya telah bulat. Dia yang akan pergi dari kehidupan Sena. Bila dia yang pergi, hanya dirinyalah sendiri yang menderita. Namun bila Mayang yang pergi, ada dua jiwa yang akan menderita. Mayang dan anaknya, yang menurut keinginan  Sena akan  diambil olehnya, dipisahkan dari ibu yang telah mengandung dan melahirkannya.
Paginya ketika Sena telah pergi, Ranti meninggalkan rumah yang hampir sepuluh tahun ditinggalinya. Rumah dimana dia belajar mencintai seorang lelaki, rumah dimana dia belajar menerima kenyataan hidup. Oahit getir hidup. Sekaligus manis dan indahnya menjadi seorang istri. Rumah itu telah menjadikannya seorang wanita yang matang dan dewasa. Dengan membawa tas tangan dan koper, dia pergi dengan air mata berderai. Barang-barangnya yang lain yang masih ada dirumah itu, nanti Sena akan mengantarkannya kerumah orangtuanya setelah perceraian mereka tuntas.
Ketika melangkah melintasi halaman menuju delman yang sudah menantinya didepan rumah, bi Atiek pembantu yang selama bertahun-tahun setia menjadi pembantu dirumahnya, menubruknya sambil menangis.
”Jangan pergi, bu! Jangan pergi!” Bi Atiek menangis sesenggukan.
Tak ada kata yang terucap dari  mulut Ranti kecuali membalas pelukan bi Atiek dan berpesan agar tetap memeliharan urusan rumah dan pekerjaan-pekerjaan rutin lainnya.
Mayang datang dengan langkah tergesa sambil menggendong anaknya dan menubruk kaki Ranti. Bayi itu menjerit dan menangis keras ketika terhimpit  keras dalam pelukan ibunya.  Mayang menangis sesenggukan memohon Ranti jangan pergi.
”Ceuceu jangan pergi. Saya mohon. Ceuceu jangan pergi. Biar saya saja yang pergi.” Mayang menangis.
Ranti meraih tubuh yang sekarang semakin kurus. Ranti memeluk madunya yang sejak kehadirannya dalam perkawinannya telah menyalakan api yang membakar jantungnya.
”Aku titip kang Sena. Layani dia dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai ada yang kurang.” ucap Ranti lirih.
”Ceuceu jangan pergi.” mayang semakin keras menangis dalam pelukan Ranti.
”Saya yang akan pergi dari kehidupan kang Sena, ceu.” ucap Mayang tersendat.
Rati masih diam membeku. Hatinya terasa dingin. Namun keputusannya telah mantap. Dia yang akapan pergi dari kehidupan suaminya.
Sudah sebulan ini Ranti  pulang. Ibunya merangkulnya dalam diam. Tak berani bicara terlalu banyak. Hampir sepuluh tahun, dirinya dan suaminya yang meminta, seolah mendesak anak gadis satu-satunya itu, untuk menerima pinangan Sena. Pemuda yang mereka nilai layak untuk menjadi suami puteri mereka. Namun hidup tidak akan bisa diduga, bagaimana lembaran berikutnya. Lembaran-lembaran pertama dia dan suaminya menilai kehidupan perkawinan anak gadis mereka sangat bagus, sesuai dengan harapan mereka. Namun lembaran-lembaran berikutnya adalah kenyataan-kenyataan lain yang harus mereka baca. Tak ada seorang pun ibu yang ingin anaknya menderita. Namun bila kesedihan itu sudah datang menyapa, sebagai seoran ibu, dia ikut larut dalam kesedihan yang tengah dirasakan anaknya.
Ranti mulai belajar menikmati kesunyian dan kesendiriannya. Sunyi dan sendiri. Dalam kesunyian dan kesendirian ranti seakan menemukan kembali ketenangan batinnya yang sempat hilang. Dalam kesunyian dan kesediriannya Ranti menemukan kembali ketentraman yang  pernah menjadi miliknya ketika Mayang belum hadir dan mengusik kehidupannya. Ternyata dalam sendiri dan sunyi itu ada nilai lain yang berhasil diperolehnya. Ada nilai lebih yang berhasil diraihnya dibanding ketika hidup bersama dengan Sena yang telah merampai nilai-nilai dalam hidupnya.
Sudah sebulan ini ranti pulang kembali kerumah orangtuanya. Ayahnya sudah  meninggal tiga tahun lalu. Hanya tinggal ibunya sendirian menempati rumah berhalaman luas dengan rumput-rumput menghijau, ibunya tinggal sendirian ditemani bi Imas, pembantu yang telah sekian lama ikut bersama keluarga mereka. Dirumah ini  Ranti ingin menenangkan dirinya. Dia ingin merenungkan apa yang tengah terjadi dalam perkawinannya. Dia merasa bahwa selama berumah tangga dengan Sena, nyaris tidak ada persoalan yang berarti. Dia tidak tahu apakah itu yang disebut kebahagiaan. Namun yang pasti dia mencintai Sena. Dia bisa merasakan bhawa cinta telah membuatnya belajar menerima kenyataan hidup dalam menjalani sebuah perkawinan. Kecuali kenyataan ketika diminta untuk bersedia dimadu. Tidak. Kenyataan hidup yang satu itu tidak akan pernah bisa diterimanya.
Selama ini dia bisa merasakan bahwa cinta tumbuh dengan dipelajari dan dihayati dalam suatu sikap menerima.  Suatu sikap yang tak perlu banyak menuntut. Baginya makin sedikit tuntutan seorang istri, akan makin dekat pada sikap menerima. Makin dekat pula ketentraman dan kebahagiaan yang menjadi tujuan dalam perkawinannya. Kecuali sikap menerima untuk mau dimadu. Dia tetap bersikukuh tidak akan mau dimadu. Bagaimanapun keadaan dirinya. Dia tetap tidak ingin berbagi kasih dengan wanita lain.
Dalam kesendiriannya Ranti semakin sering merenung. Merenungkan bertahun perjalanannya menjadi seorang istri. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Dia merasa diperlakukan semena-mena oleh suaminya yang selama hari pertama perkawinan mereka menjadi tempatnya berbakti dan mengabdikan diri. Bukan semata karena ingin mendapatkan surga. Namun karena sadar sepenuhnya bahwa mengabdi pada suami adalah sebuah kewajiban bagi seorang istri. Berbakti kepada suami adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi. Dalam kondisi apapun. Dalam siatuasi apapun.
Sendiri itu sepi. Sendiri itu senyap. Sendiri itu merampas suatu nilai lebih menjadi kurang. Sehelai daun ketika berada di ranting pohon berwarna hijau dan pemberi nafas kehidupan. Ia menjadi bagian yang berarti dari suatu kehidupan. Tapi ketika ia luruh terhempas ketanah, ia berubah berwarna kuning pucat, kering dan terbuang. Ia melayang kehilangan pegangan, menjadi sampah. Ia lambang kematian dan ketidak berartian.
Di beranda rumah suatu sore, Ranti  menatapi daun-daun sawo kuning yang jatuh tersaou angin. Bi Imas  menyapunya dan mengonggokannya jadi tumpukan. Daun-daun itu adalah dirinya. Kuning pucat dan teronggok. Dan ketika bi Imas  membawa pemantik api dan hendak menyulutnya, Ranti  mencegahnya.
”Bi, jangan dibakar. Biar saja. Biar jadi pupuk. Ia bisa jadi pupuk yang bagus.” katanya.
Bi Imas  menurutinya dengan hati trenyuh. Dia memahami, anak majikannya  tengah dilanda prahara cobaan.
“Ceuceu,  wanita itu sesungguhnya makhluk Gusti Allah yang kuat. Dia  justru seringkali memperoleh kebahagiaan pada rasa kesakitan dan penderitaannya.” Ujar bi Imas. ”Wanita itu sesungguhnya makhluk gusti Allah yang kuat dibandingkan dengan lelaki. Wanita pun sesungguhnya makhluk gusti Allah yang paling sabar dan paling tabah dalam menghadapi beragam cobaan kehidupan. Seringkali akan tiba saatnya seorang wanita akan memperoleh kebahagiaan bagi dirinya sendiri setelah dia menjalani dan mengalami rasa kesakitan dan penderitaan. Hiduyp adalah sebuah lelakon. Lelakon ini yang sedang engkau jalankan. Bila kau kuat, kau akan mendapatkan kebahagiaan yang tidak pernah kau duga.”
Ranti  tersenyum. Barangkali saja bi Imas  benar. Tapi dia merasa bahwa dia sudah tidak lagi diri wanita desa pada umumnya. Dia adalah Ranti. Dia telah menemukan kebenarannya sendiri karena kematangan jiwanya. Bi Imas menyentuh masalah rasa kesakitan dan daya tahan seorang wanitam namun bi Imas tidak melihat bawha dalamkesakitan itu, ada rasa harga diri yang diinjak-injak. Ada kesemena-menaan suami yang tak akan bisa diterimanya. Bukan tentang rasa sakit dan daya tahannya, namun tenatng sikap dirinya yang tak ingin terus meneerus menderita karena kesemena-menaan suaminya. Dia memilih menyingkir dari kehidupan suaminya. Menyingkir berarti memilih hidup terpisah dari suaminya. Hidup terpisah berarti adalah kesendirian. Namun baginya, sendiri itu bukanlah kematian. Sendiri bukanlah akhir dari kehidupan. Sendiri adalah sisi lain dari suatu kehidupan dimana dia masih bisa terus berjalan, melangkah menapaki jalannya walaupun harus menempuh lorong-lorong jalan yang sunyi. Seperti hatinya sendiri yang terasa sunyi.
--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar