Srek! Srek! Srek!
Ranti membuka jendela kamarnya. Udara
pagi yang segar dan sinar mentari yang hangat menerobos masuk kedalam kamarnya.
Bi Imas tengah menyapu daun-daun kering yang berserakan dihalaman. Bi Imas
mengumpulkan daun-daun kering itu dan menumpuknya disudut halaman.
Sudah dua bulan ini Ranti pulang
kembali kerumah emaknya. Akhirnya dia memutuskan
pulang kembali kerumah emaknya.
Emak menyambut kepulangannya dengan penuh tanda tanya. Saat itu, mata tua emaknya menatapnya dengan
penuh kerisauan walaupun kerisauan itu tak tercetus lewat kata-kata maupun
pertanyaan. Airmata Ranti bercampur dengan ceritanya yang meluncur berloncatan
menceritakan apa yang tengah terjadi
dalam perkawinannya merupakan jawaban dari tanda tanya yang tak sempat tercetus dari bibir emaknya.
Bukan hanya emaknya, namun Ranti
sendiri seakan masih tak bisa
mempercayai apa yang kini tengah terjadi dalam perkawinannya. Haruskan
perkawinannya selama hampir sepuluh tahun bersama Sena akan berakhir seperti ini?
Selama ini rumah tangganya bersama Sena seolah begitu tenang. Kalaupun ada riak
hanyalah riak-riak kecil yang dianggapnya sebagai bagian dalam menjalankan
biduk rumah tangga. Dan itu lumrah
terjadi pada perkawinan siapapun.
Ranti merasa bahwa selama sepuluh
tahun berumah tangga dengan
Sena tak pernah ada persoalan yang berarti. Ia tidak tahu
apakah itu yang disebut dengan kebahagiaan. Namun yang pasti ia bisa mencintai
Sena. Dia bisa belajar bagaimana menerima kenyataan
hidup. Ia bisa menyesuaikan diri dan menempatkan dirinya pada sebuah suasana
rumah tangga. Dia bisa merasakan bahwa
apa yang dikatakan emaknya, seorang wanita desa yang sederhana, merupakan
kebenaran. Bahwa cinta itu tidak tumbuh begitu saja. Tapi cinta bisa dan harus dipelajari
dan dihayati dalam suatu sikap menerima.
Cinta bisa tumbuh dalam suatu sikap yang
tak perlu banyak menuntut pada suami. Menurut emak, wanita yang selama berpuluh
tahun mengabdi dengan penuh keikhlasan dalam sikapnya yang sederhana, makin sedikit tuntutan seorang istri pada suaminya, berarti makin
dekat pada sikap menerima, dan akhirnya makin dekat pula ketentraman dan
kebahagiaan yang jadi tujuan hidup seorang istri ketika dalam memahami arti dan
tugasnya sebagai pendamping suami. Ranti menghela napas dalam. Bi Imas masih
menyapu dihalaman. Bunyi sapu lidinya menyentuh tanah. Srek! Srek! Srek! Bi Imas
begitu tekun menyapukan lidinya pada setiap sudut halaman. Lamunan Ranti
seakan terlempar pada masa sekian tahun silam.
Ranti menikah dengan Sena bukan karena berlandaskan
cinta. Dan hal itu hal lumrah yang terjadi pada perkawinan di desa mereka. Emak
selalu mengatakan bahwa cinta akan datang kemudian setelah dia menjadi seorang
istri. Cinta akan tumbuh dengan sendirinya sebagai bentuk kesadaran ketika seorang
perempuan sudah menikah dengan seorang lelaki yang menjadi suaminya dan
meresapi bahwa pengabdiannya bukan hanya sekedar kewajiban, namun merupakan
benih-benih dari sebuah ketulusan sikap
yang akan melahirkan cinta dan kasih sayang dari suami terhadap istrinya
dan akhirnya cinta dan kasih sayang istrinya dengan sendirinya akan tumbuh dan
berkembang terhadap suaminya. Cinta bukan patokan untuk membentuk sebuah perkawinan. Di desa
mereka masih memegang tata cara dan
tradisi yang masih kuno. Tradisi dimasa
lalu yang masih tersisa untuk urusan jodoh seorang anak
gadis, dia tidak berhak menentukan sendiri dengan siapa dia ingin
berumah tangga. Dia tidak berhak membuat catatan dan membukukan nasibnya
sendiri. Orang tualah yang memiliki pena
untuk menulis nasib dan perkawinan anak gadisnya. Dan si anak tak boleh menolak
karena itu merupakan bagian dari bakti seorang anak.
Walau
dengan bekal pendidikan yang membuatnya
bisa menjadi seorang guru di sekolah dasar, namun Ranti tetap merupakan perempuan desa yang masih
tersisa yang tercetak sebagai bagian dari tradisi masa lalu. Dia tak kuasa menolak ketika bapak dan emak
menganggap sudah tiba saatnya dia menikah dan menyodorkan Sena sebagai calon suaminya. Sena adalah suatu janji kehidupan masa depan untuk
Pak Karna, karena dia seorang anak
kepala desa, anak seorang yang terpandang di desa mereka, dianggal sebagai priyayi
didesa mereka. Seseorang yang berasal dari sebuah keturuna yang memiliki pamor dan kewibawaan dan selalu jadi panutan,
baik secara moral maupun material.
Sena sudah
empat puluh dua tahun dan seorang duda cerai, tanpa anak. Tapi dianggap sangat
pantas dengan Ranti yang berusia duapuluh lima tahun, suatu usia
yang sudah terlambat untuk ukuran masyarakat yang memelihara tradisi tua. Sena adalah
anak kepala desa Sekarwangi.
Sena laki-laki yang baik. Dia sopan dan
ramah. Ketika pertama kali Sena
berkunjung kerumahnya. Ranti sudah menangkap apa maksud kedatangan
lelaki itu.
Ranti tidak berani mengangkat wajahnya ketika dia
menyuguhi Sena yang bercakap-cakap
dengan ayahnya. Seminggu setelah kunjungan itu ibunya mengajaknya bicara.
”Kang
Sena menyukaimu. Dia sudah lama
memperhatikanmu. Kang Sena sudah bicara dengan ayahmu. Kang Sena berniat menyuntingmu. Bagaimana pendapatmu?”
Ranti adalah wanita yang lama hidup di desa
walaupun dia lulusan pendidikan guru dan sudah dua tahun mengajar pada sebuah
sekolah dasar.
Ibunya
tidak memaksanya untuk menerima pinangan Sena, namun Ranti mempertimbangkan perkataan ibunya. Laki-laki itu
berasal dari keluarga yang cukup berada didesanya. Sena adalah anak satu-satunya keluarga bapak
Sutarjo, kepala desa Sekarwangi selama
dua periode berturut-turut. Ranti tak pernah memperhatikan laki-laki itu
sebelumnya.
”Saya
perlu mengenal Kang Sena lebih dahulu,
mak.” ucap Ranti pelan. Perkawinan
adalah masa depannya, kelangsungan hidupnya setelah dia melepaskan masa
lajangnya.
”Kang
Sena akan kemari lagi. Dia juga ingin
bicara denganmu.” kata ibunya, menatapnya dengan tatapan lembut.
Ibunya
tersenyum. ”Kau cukup punya banyak waktu untuk mempertimbangkan lamarannya.
Bapak dan emak selalu berdoa semoga
engkau mendapat jodoh yang baik. Bila memang Sena adalah laki-laki yang baik untukmu,
dekatkanlah dan lancarkanlah segala jalannya menuju perjodohanmu. Namun bila
Sena bukan jodohmu, semoga Gusti Allah segera mendatangkan jodohmu.
Itu yang selalu emak panjatkan kehadhirat Illahi Rabbi.”
Ranti mulai menyukai laki-laki itu. Dia mulai
memperhatikan lelaki itu dengan seksama. Dia mulai rutin mendapat kunjungan Sena
hingga akhirnya diakhir bulan ketiga
perkenalan mereka Sena bertanya padanya.
”Dik Ranti, maukah menjadi istri saya?”
Ranti
hanya tersenyum. Senyuman itu adalah sebagai jawaban yang sangat melegakan
perasaan Sena. Tak sia-sia upayanya selama ini mendekati gadis cantik yang
bersahaja itu.
Perkawinan
mereka diselenggarakan bulan berikutnya hanya empat bulan setelah perkenalan
mereka. Pesta perkawinannya diselenggarakan dengan sangat meriah. Yang punya
hajatan adalah kepala desa, mengawinan anak lelaki satu-satunya. Penduduk desa
berdatangan sejak tiga hari tiga malam sebelumnya. Emak dan bapak tidak bisa
menyembunyikan kebahagiaan mereka. Anak semata wayang mereka telah dipersunting
oleh lelaki yang pantas. Lelaki yang akan membawa anaknya kedalam sebuah
perkawinan yang bahagia.
Ranti
mulai menikmati kehidupan barunya sebagai seorang istri. Ranti tetap menjalani
hari-hari rutinnya. Pagi sampai siang dia mengajar. Sena memiliki usaha
mengurus kebun kopi milik ayahnya. Dia sibuk mengurus kebun dan mengurus jual
beli hasil perkebunan. Segalanya berjalan lancar. Menjelang delapan tahun usia perkawinan mereka, Sena ikut pencalonan kepala
Desa. Senda mendapat dorongan dan dukungan dari kedua orangtuanya dan
keluarganya, untuk meneruskan tradisi dari ayah dan kakeknya yang selama ini
menjadi kepala desa di desa mereka. Sena terpilih menjadi kepala desa menjadi
babak baru bagi kehidupan Ranti.
Kemenangan Sena tentu saja disambut gembira oleh semuanya,
pendukung-pendukungnya, keluarganya, juga oleh dirinya. Ranti tidak sanggup
menyembunyikan kebahagiaannya, seperti juga kebahagiaan yang dirasakan oleh
suaminya. Segala perjuangan, pengorbananan, dan segala kesukaran yang ditempuh
dalam perjalanan untuk meraih kemenangan itu seakan sirna ketika kemenangan
sudah berhasil diraih. Apa yang selama
berbulan-bulan ini mereka perjuangkan sekarang telah membuahkan hasil.
Kemenangan Sena adalah kemenangan mereka
semua. Tamu-tamu seakan tidak henti
berdatangan untuk mengucapkan selamat kepada suaminya atas kemenangannya itu.
Bukan hanya pada suaminya, namun juga kepada
bapak mertuanya, bapak Sudiro, yang merupakan kepala desa dua periode
sebelum Sena kemudian menggantikan
posisi ayahnya.
Namun
masih ada yang terasa mengganjal dalam perkawinan mereka. Kalaupun ada
kekurangan, itu adalah seperti perkawinan Sena yang pertama, perkawinan mereka
belum menghadirkan keturunan. Tapi baik Sena maupun Ranti tidak pernah mempersoalkan hal itu.
Mereka percaya bahwa anak adalah rejeki dari gusti Allah. Mungkin Allah belum
berkenan memberikan rejeki itu kepada mereka berdua. Sambil menunggu hadirnya
rejeki itu, kehidupan tetap berjalan
seperti biasanya.
Ranti telah menerima bagian nasibnya. Ranti menerima kebenaran sebagai nilai itu.
Sena memang baik, telaten dan
menyayanginya. Dari sini Ranti mengerti
bahwa cinta kasih itu ibarat tanaman merambat. Ketika kecil bisa tampak tidak
ada mirip butir kecambah, tapi makin lama membelit dan merimbun. Ia merasa
terlindung dalam hidup Sena. Suaminya seolah-olah telah memberikan seluruh
hidupnya padanya.
”Bila
engkau berhasil menjadi abdi suami, kau akan memperoleh surga.”
Kalimat
itu pernah diucapkan emaknya, seminggu sebelum dia melangsungkan perkawinannya
dengan Sena.
Tapi
suasana tenang itu tiba-tiba pecah. Beberapa bulan setelah Sena memanggu
jabatan sebagai kepala desa, sepulang dari kunjungan rutin ke dusun-dusun, Sena pulang membawa
seseorang. Ranti melihat tamu itu seorang perempuan. Masih muda. Kira-kira dua
puluh tahun. Wajahnya manis. Sikapnya malu-malu dan lugu. Sena tidak berbicara
apa-apa tentang tamu itu, kecuali memperkenalkan namanya.
”Mayang, keluarga
kita juga.”
Ranti segera
menduga bahwa Mayang masih ada hubungan
famili dengan suaminya. Ranti melayaninya sebaik-baiknya. Sangat baik. Sehingga
Mayang tersipu-sipu malu mendapat
perhatian dan kebaikan yang sangat berlebihan dari Ranti.
Hingga kemudian hadir kenyataan sesungguhnya. Sena
menempatkan Mayang dirumah belakang. Hanya terhalang oleh halaman belakang dan
sebuah kolam dari rumah yang ditempati Ranti. Semula rumah itu adalah sebuah
gudang. Namun hampir setahun lalu, Sena telah membongkar gudang itu dan
membangunnya menjadi sebuah rumah mungil yang nyaman dan asri untuk ditempati.
Ketika akan membangun rumah itu, Sena mengatakan bahwa rumah itu akan dijadikan
sebagai paviliun. Tempat untuk mereka berdua beristirahat dikala senggang.
Tentu
saja Ranti percaya. Dan senang mendengar ucapan suaminya. Rumah itu dibangun
dengan artistik. Kayu-kayu yang menghiasi rumah itu merupakan kayu-kayu jati yang
kokoh dan dibentuk dengan artistik. Namun kini Ranti mengerti, mengapa Sena
membangun rumah itu. Bukan untuk tempat mereka beristirahat diwaktu senggang
seperti kata Sena sebelumnya, namun dipersiapkan suaminya untuk perempuan lain.
Tak pernah
terpikir oleh Ranti bahwa suaminya sedang merencanakan suatu rencana yang
sangat menyinggung harga dirinya. Hatinya sakit. Dia tidak bisa menerima
kenyataan dikhianati suaminya yang selama ini adalah menjadi tempatnya mengabdi
dengan sepenuh hati. Seperti yang diajarkan oleh ibunya. Bahwa mengabdi kepada
suami adalah sebuah ibadah yang tidak ternilai harganya.
Malam-malam,
beberapa waktu sebelum Ranti mengetahu pasti hal itu, Sena mengajaknya
bicara serius.
”Ranti, aku
sesungguhnya benar-benar sangat menyayangimu.
Yah, aku sangat menyayangimu. Kau pasti tahu itu. Kau percaya bahwa aku sungguh
mencintai dan menyayangimu, bukan?”
Malam itu
seperti tidak biasanya, tiba-tiba Sena bicara begitu. Mereka duduk berdua
diberanda samping. Dengan dua gelas minuman jahe yang masih hangat diatas meja,
yang dibuat Ranti beberapa saat sebelum
mereka duduk disana.
Ranti
merasakan ada yang berbeda. Sena mengajaknya bicara secara serius. Suaranya terbata-bata
seakan menahan tangis. Tak biasanya
suaminya bersikap sentimentil. Seakan bingung. Dan
galau. Suaminya adalah tipe
manusia yang berbuat. Bukan berkata-kata. Karena itu Ranti hanya termangu tak mengerti walaupun hatinya
bertanya.
”Kau percaya
aku menyayangimu, bukan?” tanya Sena sekali lagi dengan mimik memelas.
Ranti mengangguk. Tak pernah dia meragukan kasih
sayang Sena selama ini kepadanya. Sebagai suami, Sena sangat bertanggung jawab
dan penuh perhatian. Sena bukan suami yang banyak berkata, namun ungkapan cinta
dan kasih sayangnya sebagai suami kepadanya diwujudkan dalam bentuk tindakan,
perbuatan dan perhatian yang terus menerus seakan tak pernah mengenal lelah.
Ranti faham, ungkapan cinta tidak harus selalu diwujudkan dengan kata-kata
penuh rayuan namun isinya kosong. Namun tindakan, perbuatan dan perhatian yang
sarat penuh ungkapan makna cinta dan kasih sayang, jauh lebih penuh nilai bagi dirinya.
Tak ada
yang diragukan dari Sena. Suaminya juga seorang warga teladan yang jadi panutan
penduduk kampung. Sebagai seorang kepala desa, keberhasilan desa Sekarwangi
yang sudah membangun jalan-jalan beraspal sehingga memudahkan warga dalam
melakukan kegiatan sehari-hari, menunjang perekonomian desa, dan membangun
sebuah balai desa yang cukup besar dan bagus, jembatan, posyandu dan beragam
pembangunan fisik lainnya, sudah cukup membuktikan keberhasilan Sena sebagai
seorang kepala desa dalam membangun desanya. Bila melihat sosok Sena, sebagai suami dan
sebagai kepada desa, Ranti tak pernah meragukan Sena. Namun Ranti menunggu apa
yang akan disampaikan suaminya sehingga raut wajah dan suara suaminya demikian
serius malam ini.
”Yah.” Sena
berdesah. ”Aku merasakan bahwa perkawinan kita ini bahagia. Kalaupun ada
kekurangan, itu karena belum hadirnya anak-anak. Walaupun kita sudah berusaha. Kau juga ingin ada anak
dirumah kita, bukan?”
Ranti
diam saja. Dia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan suaminya. Sena pasti
sudah tahu hal itu. Tak ada seorangpun istri yang tidak mendambakan kehadiran
anak-anak dalam perkawinannya. Anak merupakan tanda kesempurnaan wanita dan
penyambung darah serta kehormatan bagi sebuah keluarga. Dia juga ingin anak
sebagai pelengkap kebahagiaannya. Sebagai pengisi bagian hatinya. Namun
pembicaraan mengenai anak selalu menyentuh perasaannya yang paling sensitif.
Baik dirinya maupun suaminya, sudah tahu bahwa dirinyalah yang mandul. Gabuk.
Sebuah kenyataan yang terasa menyakitkan hati namun tak bisa diingkarinya.
Sena seakan tergesa-gesa lalu menjawabnya sendiri. ”Ya, tak seorang istri
pun yang tak mendambakan anak-anak. Anak merupakan pelengkap dalam sebuah rumah
tangga.”
Ranti
setuju. Dia juga ingin anak sebagai pelengkap kebahagiaannya, sebagai pengisi
bagian hati yang masih ada rongganya. Keinginan itu sudah tumbuh sejak lama,
hanya saja ia tak mau mengungkapkannya karena posisinya sebagai istri.
”Sebenarnya
sudah lama aku berikhtiar tanpa kau
ketahui. Sebagai manusia kita wajib berupaya, bukan?” Sena melanjutkan kembali kata-katanya. ”Aku sudah banyak bertanya pada orang-orang tua.
Masalah perkawinan kita yang belum memiliki keturunan adalah masalah yang
mungkin juga terjadi pada pasangan-pasangan suami istri lainnya. Jadi kita
tidak sendirian memiliki masalah seperti ini. Aku juga minta nasehat
pada ibu. Ranti, Ibu ternyata sudah ingin sekali
punya cucu. Aku bisa mengerti
perasaannya. Usianya sudah udzur, tentunya sebelum mati ia ingin melihat
cucunya. Apalagi aku hanya anak satu-satunya. Hanya dari aku saja orangtuaku
berharap garis keturunan keluarga kami
akan lahir dan terus bersambung. Kuharap engkau mengerti. Betapa berat beban
perasaanku. Aku ingin mewujudkan harapan dan keinginan ibu dan bapakku.
Engkau pasti bisa mengerti, bukan?”
Ranti mengerutkan kening. Secara tersamar dia mulai
dapat menangkap arah pembicaraan
suaminya. Anak. Ya, suaminya tengah membicarakan keinginannya memiliki anak.
Sesuatu hal yang sudah tidak mungkin diberikannya kepada suaminya karena dia
mandul. Gabuk. Mendadak Ranti merasa
terisris perasaannya. Kepekaan perasaannya menangkap hal yang tersamar yang
tidak enak. Memiliki anak adalah tugas dan
kewajiban seorang istri. Seorang istri
yang gabuk adalah cacat besar. Anak adalah bagian yang utama untuk kesempurnaan seorang istri. Tak seorang pun wanita merasa senang dan bahagia
apabila dia mandul. Dan
ketidaksempurnaan itu adalah miliknya sebagai seorang istri. Tiba-tiba Ranti berdebar-debar menunggu kelanjutan ucapan
suaminya.
“Ibu
mengajurkan agar aku cari ikhtiar lain. Ibu menyodorkan jalan lain. Tentu saja
ibu pun sudah mempertimbangkannya matang-matang. Ibu tidak ingin akhirnya malah
menjadi berantakan. Percayalah, ibu dan bapak sangat menyayangimu, Ranti. Kau
pasti tidak meragukan kasih sayang ibu dan bapak kepadamu. Namun disisi lain,
orangtuaku punya keinginan ingin segera memiliki seorang cucu.” Ucap Sena hati-hati. “Mayang. Mayang yatim piatu
yang selama ini merawat ibu. Kedua
orangtuanya sudah lama meninggal. Dia tidak punya sanak keluarga. Itulah
sebabnya ibu membawanya kerumah. Ibu bilang padaku, bicarakan baik-baik dengan
istrimu, ibu kira istrimu bisa menerima Mayang
jadi bagian dari keluargamu.”
“Jadi……?”
Ranti menyahut. Dia tidak berani menebak
seketika apa maksud suaminya.
“Itulah
sebabnya Mayang aku bawa kemari, tinggal didekat kita. Maafkan aku, Ranti. Aku
melakukannya dengan berat hati. Aku sudah menikahi Mayang tanpa meminta ijin
terlebih dahulu kepadamu. Maafkan aku, Ranti.
Aku menuruti saran ibu. Ibu bilang, inilah jalan satu-satunya agar aku bisa
segera mendapatkan keturunan. Maafkan
aku, Ranti. Tapi kau tahu rasa cinta dan sayangku padamu tak pernah terbagi.” Sena berkata dengan nada membujuk. Tak ingin
percakapan mereka akan meletupkan api dalam hati istrinya.
Sekonyong-konyong
debaran dada Ranti bertambah kencang.
Darahnya mengalir cepat, lalu membakar wajahnya. Mulutnya ingin berteriak
keras, tapi terkunci. Kepalanya pusing. Pandangannya mengabur dan ingatannya
menyurut hilang. Ranti pingsan karena
tak kuasa menekan perasaannya.
Ketika
siuman beberapa saat kemudian, yang dilihat pertama kali adalah perempuan muda
berwajah ayu itu tampak takut, khawatir dan cemas. Matanya
menatapnya dalam-dalam. Mayang menggosok tubuh Ranti dengan minyak kayu putih. Dia juga mendekatkan sapu tangan yang telah
dibubuhi minyak kayu putih kedekat hidung Ranti. Saat melihat Ranti sadar, wajahnya tampak lega. Mayang meraih secangkir teh panas dan
mengangsurkannya ke bibir pucat Ranti.
”Minum,
Ceu........” ucap Mayang lirih.
”Minum,
Ceu......” Mayang memegang tangan Ranti lembut.
Ranti
memalingkan tatapannya. Dia menolak teh hangat yang harus dan segar itu dari
tangan perempuan itu. Tidak mungkin dia
mau menerima pemberian dari seorang perempuan
yang telah merebut kedudukannya dari suaminya dan yang telah menorehkan luka dihatinya. Bi Atik
mengambil cangkir dari tangan Mayang dan mengangsurkannya ke mulut Ranti. Separuh
lebih isi cangkir itu diteguknya,
sehingga ia memperoleh kesegarannya kembali. Bi Atik menggosok-gosok telapak
kakinya yang dingin. Ranti mulai mendapatkan kekuatannya kembali. Dia melihat
Sena ada dikamarnya, berdiri didekat lemari. Ketika Ranti menatapnya,
Sena bangkit keluar. Seakan dapat
merasakan suasana yang tidak enak, bi Atik bergegas keluar kamar.
Kini tinggallah
Ranti dan Mayang. Dua wanita sebagai istri kepala desa Sena. Dua hati yang
bisa saja saling tikam dan remas karena
telah disakiti. Dua hati yang juga bisa bersatu melawan ketidakadilan
laki-laki. Namun wanita adalah makhluk yang dicipta dari bagian tubuh yang
paling dekat dengan hati. Karena itu dengan hati pula mereka banyak menimbang
dan melihat segala persoalan. Ia sering lemah karena dirinya sendiri. Ia sering
kalah dan jadi korban laki-laki.
”Maafkan
saya, Ceuceu. Sayalah yang membuat Ceuceu begini.” Mayang berkata dengan memohon. Kedua tangannya
memegang tangan Ranti.
”Semula
saya percaya, Ceuceu, bahwa semuanya akan beres. Bu Mien, ibu Kang
Kades mengatakannya begitu. Saya terima karena saya tak bisa menolaknya. Saya
sudah tak punya siapa-siapa lagi, itulah soalnya. Saya sudah biasa hidup
menderita. Atas kebaikan hati bu Mien dan bapak, saya seolah mendapat tempat bernaung. Tempat berlindung.
Bukan hanya dalam arti yang sesungguhnya, namun dalam pengertian lain, saya
seolah mendapatkan pengganti orangtua saya yang sudah lama meningga dunia. Saya
seolah memiliki keluarga lagi, keluarga yang utuh, menyayangi dan melindungi
saya. Tapi ternyata saya begitu bodoh. Sungguh, ceuceu, saya tidak tahu kalau
akan begini jadinya.” kata Mayang lagi dengan mata berlinang.
Ranti bangkit dan duduk di tepi pembaringan. Mayang
menumpuk beberapa buah bantal sehingga Ranti bisa bersandar dengan lebih
nyaman. Mayang meraih tangan Ranti dan memegangnya lembut.
”Saya
akan pulang, ceuceu.” ucap Mayang tersendat menahan tangis. ”Percayalah, saya
tidak ingin ceuceu menderita. Saya tidak akan merebut kang Sena dari ceuceu.
Tidak. Saya tidak akan melakukan itu.” Mayang
sesenggukan. Tubuhnya yang
langsing nampak terguncang.
Sekonyong-konyong
Ranti merasa trenyuh mendengar tangisan
perempuan muda itu. Melihat wajah perempuan itu yang pucat pasi dan tangisannya
yang sesengguhkan. Kehalusan perasaannya menyeruak, mengalahkan rasa sakit
dihatinya. Sementara sebelah rongga
kalbunya menganga luka, sebelah lagi tersentuh. Dia mengelus rambut Mayang.
”Sudahlah,
Mayang. Kau tidak salah. Kau jangan pulang. Aku tak apa-apa.” kata Ranti menghibur.
Namun hari-hari
selanjutnya Ranti tak bisa menghibur dirinya sendiri. Apa yang
diucapkan Ranti pada Mayang tempohari hanyalah kata hiburan sesaat pada
perempuan itu karena tangisnya yang menyentuh kalbunya. Kini kenyataan tak lagi
bisa menghiburnya lebih lama lagi. Hatinya perih dan sakit. Sakit karena
semena-mena suaminya, seorang yang terhormat dan terpercaya, membawa perempuan
lain, menikah diam-diam tanpa meminta ijin kepadanya dan menyisihkan fungsi dan kedudukannya sebagai
seorang istri yang sah.
Alangkah
semena-menanya Sena memperlakukan dirinya. Batinnya berontak dan meradang didera rasa sakit dan pengkhianatan suaminya.
Pikirannya terasa semakin hari semakin sumpek dan ruwet, dibelenggu rasa curiga
dan cemburu yang terus merasuki pikirannya. Jaraknya dengan jarak madunya
terlalu dekat. Dia tidak sanggup
membayangkan bagaimana cinta dan kasih sayang
Sena terhadap Mayang. Pastinya tidak jauh dari yang selama ini diberikan
Sena kepadanya. Bahkan mungkin lebih karena Mayang sudah akan memberikan seorang anak kepada suaminya, anak
yang menjadi dambaannya selama ini. Perasaan Ranti sakit, tiap hari dilanda
perasaan cemburu yang menyesakkan perasaannya.
Jarak
mereka terlalu berdekatan. Seakan dia
bisa melihat apa yang terjadi diantara mereka berdua dengan begitu mudahnya. Hanya dengan membuka
jendela belakang rumahnya. Ranti hanya diam termangu ketika
malam itu Sena pamit akan gilir pada Mayang. Hujan seakan dicurahkan dari
langit. Begitu deras dan tidak berhenti sepanjang malam. Ranti merasa hampir gila. Dia tidak sanggup membayangkan apa yang
dilakukan suaminya terhadap istri mudanya yang begitu cantik dan molek. Namun
yang dilakukan Ranti kemudian hanya mematung tanpa menatap kepergian suaminya.
Setelah itu dia menangis, membiarkan airmatanya tumpah diatas bantalnya.
Seluruh kesedihan dan kepedihan hatinya seakan membludak keluar. Tanpa sanggup
melawan sedikitpun atas tindakan suaminya yang semena-mena terhadap dirinya.
Esoknya
Sena muncul kerumahnya dengan wajah segar. Menyapa Ranti
dan bergegas pergi keluar. Melakukan rutinitas pekerjaannya sehari-hari sebagai
seorang kepala desa. Ranti sudah tahu,
Mayang kini tengah hamil. Usia kandungannya sudah lima bulan. Empat bulan lagi,
akan lahir bayi yang selama ini sangat
diharapkan Sena. Seorang anak yang menjadi penerus keturunannya. Hati Ranti
terasa panas dilanda perasaan cemburu. Anak itu akan menjadi pelengkap
kebahagiaan suaminya. Dan bukan dirinya, perempuan yang memberi pelengkap
kebahagiaan pada suaminya itu. Namun perempuan lain yang dijadikan jalan lain
oleh suaminya.
”Kalau
kau berhasil menjadi abdi suami, kau akan memperoleh surga.” ucapan ibunya
terngiang kembali. Bisakah surga itu dimilikinya bila hatinya tak bisa lagi
merasa ikhlas menerima segala bentuk perlakuan suaminya terhadapnya? Surga
semacam apakah yang akan didapatkannya bila hatinya setiap saat selalu membara dibakar perasaan cemburu dan sakit hati.
Maka,
malam-malam dua minggu setelah Mayang melahirkan seorang bayi perempuan yang
cantik dan sehat, ketika Ranti dan suaminya
sama-sama berbaring pada dipan kayu berkelambu – dipan pembaringan yang
sejak mereka menikah tetap menjadi tempat pembaringan mereka berdua, Ranti berkata, ”Ceraikan aku. Aku kira tugasku sudah selesai.”
Ranti
merasa dia sudah tidak akan bisa lagi
menanggung beban perasaannya yang selalu berontak dan ingin berontak terhadap
suaminya.
”Ceraikan
aku.” ucap Ranti lagi. Dia menatap
sekilas pada suaminya. Lalu tatapannya dilemparkan kedinding, membelakangi
suaminya.
Sena
menoleh, tanpa merubah posisi berbaringnya. Tubuh istrinya terlentang tanpa
bergerak, namun wajahnya dipalingkan, membelakanginya, menghadap pada dinding. Sena hanya diam membisu. Dia
mendengar Ranti menangis.
”Ranti......”
”Aku
ingin bercerai. Ceraikan aku.” ucap Ranti tersendat-sendat. Akhirnya hanya
menangis yang bisa dilakukannya. Menangis tanpa daya. Menangisi
ketidakberdayaannya yang harus menerima semua tindakan semena-mena suaminya.
“Jangan
terburu nafsu begitu. Soal Mayang, kan bisa dibicarakan. Aku akan
memulangkannya setelah ia memberikan keturunan pada kita. Anak itu......” Sena tak melanjutkannya karena Ranti membalikan tubuhnya, menatapnya dengan penuh
kemarahan dan kebencian, lalu bangkit dari pembaringan dan berjalan keluar
kamar.
Ranti
benci mendengar ucapan suaminya. Untuk menyelesaikan sebuah persoalan laki-laki
itu bertindak semakin semena-mena. Ranti benci dirinya tidak bercaya menghadapi
kesemena-menaan suaminya. Ranti semakin kuat mengambil keputusan.
Malam itu
Sena tidak pergi menemui Mayang meskipun malam itu seharusnya giliran Mayang.
Sena diam terus dikamar, menunggu Ranti yang menangis sesenggukan, membiarkan
istrinya menumpahkan airmatanya tanpa
mengusiknya sedikitpun.
”Aku
tidak mengharapkan perceraian diantara kita.” kata Sena ketika Ranti sudah kelihatan
tenang. Tingga sedu sedangnnya yang sesekali terdengar.
”Aku
menyayangimu, Ranti. Aku harap engkau tidak meragukan kasih sayangku kepadamu.”
kata Sena lagi.
”Seandainya
kehadiran Mayang sangat menganggumu, aku bersedia menceraikannya. Anak itu kita
yang mengurusnya. Dia bisa sebagai pengganti
kehadiran anak yang selama ini kita harapkan. Mengenai Mayang, aku sudah
merencanakan akan menceraikannya. Aku akan membangun sebuah rumah untuknya,
bukan di desa kita, tapi di desa lain,
untuk ditinggalinya agar dia tidak terlantar setelah menjadi janda.” Sena
berhenti sesaat.
”Aku
berharap kita bisa memperbaiki kembali
perkawinan kita. Aku sangat mencintaimu, Ranti. Aku tak pernah bermaksud
menyakiti perasaanmu. Kehadiran Mayang jangan membuatmu ingin menghancurkan
perkawinan kita.”
Ranti
mendengar semua kata-kata suaminya. Baginya sekarang semakin jelas. Betapa
gampangnya Sena menyelesaikan persoalan diantara ereka bertiga seakan dua
wanita yang hadir dalam hidupnya hanyalah raga tanpa jiwa. Betapa entengnya
Sena mengucapkan akhir dari penyelesaian kemelut rumah tangga mereka dengan
mengorbankan perasaan wanita lain yang sudah jelas telah memberikan keturunan
kepdanya. Sesuatu hal yang justru tak bisa diberikannya sebagai istrinya yang
selama bertahun-tahun mendampingi Sena. Betapa kejamnya perasaan Sena, tidak
bisa menakar perasaan perempuan.
Malam itu
Ranti tidak tidur. Dia memikirkan Mayang.wanita itu masih muda. Dia baru saja
melahirkan seorang anak. Dia baru saja memenuhi harapan seorang ibu mertua yang
ingin segera memiliki seorang cucu dari anaknya. Namun kini dia harus siap
untuk disingkirkan dari kehidupan lelaki itu dimana selama lebih dari dua
tahu dia menyerahkan dirinya kepada
lelaki itu. Mayang pun seorang perempuan yang memiliki perasaan. Pasti dalam
hatinya timbul beragam konflik antara perasaan dirinya sebagai seorang
perempuan, sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu dari bayinya dengan
kepentingan suaminya yang sungguh egois dan tidak berperasaan.
Mata
Ranti nyalang menatap langit-langit kamar. Tak ada posisi yang lebih menguntungkan diantara dirinya dengan
Mayang. Mereka berdua sama-sama menjadi korban penindasan laki-laki yang
menjadi suami mereka. Tak ada yang merasa lebih bahagia dan lebih beruntung.
Mereka sama-sama menderita dan sama-sama memiliki peluang untuk tersingkir dari
sisi suami mereka.
Ranti
menarik nafas dalam-dalam. Keputusannya telah bulat. Dia yang akan pergi dari
kehidupan Sena. Bila dia yang pergi, hanya dirinyalah sendiri yang menderita.
Namun bila Mayang yang pergi, ada dua jiwa yang akan menderita. Mayang dan
anaknya, yang menurut keinginan Sena
akan diambil olehnya, dipisahkan dari
ibu yang telah mengandung dan melahirkannya.
Paginya
ketika Sena telah pergi, Ranti meninggalkan rumah yang hampir sepuluh tahun
ditinggalinya. Rumah dimana dia belajar mencintai seorang lelaki, rumah dimana
dia belajar menerima kenyataan hidup. Oahit getir hidup. Sekaligus manis dan
indahnya menjadi seorang istri. Rumah itu telah menjadikannya seorang wanita
yang matang dan dewasa. Dengan membawa tas tangan dan koper, dia pergi dengan
air mata berderai. Barang-barangnya yang lain yang masih ada dirumah itu, nanti
Sena akan mengantarkannya kerumah orangtuanya setelah perceraian mereka tuntas.
Ketika
melangkah melintasi halaman menuju delman yang sudah menantinya didepan rumah,
bi Atiek pembantu yang selama bertahun-tahun setia menjadi pembantu dirumahnya,
menubruknya sambil menangis.
”Jangan
pergi, bu! Jangan pergi!” Bi Atiek menangis sesenggukan.
Tak ada
kata yang terucap dari mulut Ranti
kecuali membalas pelukan bi Atiek dan berpesan agar tetap memeliharan urusan
rumah dan pekerjaan-pekerjaan rutin lainnya.
Mayang
datang dengan langkah tergesa sambil menggendong anaknya dan menubruk kaki
Ranti. Bayi itu menjerit dan menangis keras ketika terhimpit keras dalam pelukan ibunya. Mayang menangis sesenggukan memohon Ranti
jangan pergi.
”Ceuceu
jangan pergi. Saya mohon. Ceuceu jangan pergi. Biar saya saja yang pergi.”
Mayang menangis.
Ranti
meraih tubuh yang sekarang semakin kurus. Ranti memeluk madunya yang sejak
kehadirannya dalam perkawinannya telah menyalakan api yang membakar jantungnya.
”Aku
titip kang Sena. Layani dia dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai ada yang
kurang.” ucap Ranti lirih.
”Ceuceu
jangan pergi.” mayang semakin keras menangis dalam pelukan Ranti.
”Saya
yang akan pergi dari kehidupan kang Sena, ceu.” ucap Mayang tersendat.
Rati
masih diam membeku. Hatinya terasa dingin. Namun keputusannya telah mantap. Dia
yang akapan pergi dari kehidupan suaminya.
Sudah
sebulan ini Ranti pulang. Ibunya
merangkulnya dalam diam. Tak berani bicara terlalu banyak. Hampir sepuluh
tahun, dirinya dan suaminya yang meminta, seolah mendesak anak gadis
satu-satunya itu, untuk menerima pinangan Sena. Pemuda yang mereka nilai layak
untuk menjadi suami puteri mereka. Namun hidup tidak akan bisa diduga,
bagaimana lembaran berikutnya. Lembaran-lembaran pertama dia dan suaminya
menilai kehidupan perkawinan anak gadis mereka sangat bagus, sesuai dengan
harapan mereka. Namun lembaran-lembaran berikutnya adalah kenyataan-kenyataan
lain yang harus mereka baca. Tak ada seorang pun ibu yang ingin anaknya
menderita. Namun bila kesedihan itu sudah datang menyapa, sebagai seoran ibu,
dia ikut larut dalam kesedihan yang tengah dirasakan anaknya.
Ranti
mulai belajar menikmati kesunyian dan kesendiriannya. Sunyi dan sendiri. Dalam
kesunyian dan kesendirian ranti seakan menemukan kembali ketenangan batinnya
yang sempat hilang. Dalam kesunyian dan kesediriannya Ranti menemukan kembali
ketentraman yang pernah menjadi miliknya
ketika Mayang belum hadir dan mengusik kehidupannya. Ternyata dalam sendiri dan
sunyi itu ada nilai lain yang berhasil diperolehnya. Ada nilai lebih yang
berhasil diraihnya dibanding ketika hidup bersama dengan Sena yang telah
merampai nilai-nilai dalam hidupnya.
Sudah
sebulan ini ranti pulang kembali kerumah orangtuanya. Ayahnya sudah meninggal tiga tahun lalu. Hanya tinggal
ibunya sendirian menempati rumah berhalaman luas dengan rumput-rumput
menghijau, ibunya tinggal sendirian ditemani bi Imas, pembantu yang telah
sekian lama ikut bersama keluarga mereka. Dirumah ini Ranti ingin menenangkan dirinya. Dia ingin
merenungkan apa yang tengah terjadi dalam perkawinannya. Dia merasa bahwa
selama berumah tangga dengan Sena, nyaris tidak ada persoalan yang berarti. Dia
tidak tahu apakah itu yang disebut kebahagiaan. Namun yang pasti dia mencintai
Sena. Dia bisa merasakan bhawa cinta telah membuatnya belajar menerima
kenyataan hidup dalam menjalani sebuah perkawinan. Kecuali kenyataan ketika
diminta untuk bersedia dimadu. Tidak. Kenyataan hidup yang satu itu tidak akan
pernah bisa diterimanya.
Selama
ini dia bisa merasakan bahwa cinta tumbuh dengan dipelajari dan dihayati dalam
suatu sikap menerima. Suatu sikap yang
tak perlu banyak menuntut. Baginya makin sedikit tuntutan seorang istri, akan
makin dekat pada sikap menerima. Makin dekat pula ketentraman dan kebahagiaan
yang menjadi tujuan dalam perkawinannya. Kecuali sikap menerima untuk mau
dimadu. Dia tetap bersikukuh tidak akan mau dimadu. Bagaimanapun keadaan
dirinya. Dia tetap tidak ingin berbagi kasih dengan wanita lain.
Dalam
kesendiriannya Ranti semakin sering merenung. Merenungkan bertahun
perjalanannya menjadi seorang istri. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Dia
merasa diperlakukan semena-mena oleh suaminya yang selama hari pertama
perkawinan mereka menjadi tempatnya berbakti dan mengabdikan diri. Bukan semata
karena ingin mendapatkan surga. Namun karena sadar sepenuhnya bahwa mengabdi
pada suami adalah sebuah kewajiban bagi seorang istri. Berbakti kepada suami
adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi. Dalam kondisi apapun. Dalam
siatuasi apapun.
Sendiri
itu sepi. Sendiri itu senyap. Sendiri itu merampas suatu nilai lebih menjadi
kurang. Sehelai daun ketika berada di ranting pohon berwarna hijau dan pemberi
nafas kehidupan. Ia menjadi bagian yang berarti dari suatu kehidupan. Tapi
ketika ia luruh terhempas ketanah, ia berubah berwarna kuning pucat, kering dan
terbuang. Ia melayang kehilangan pegangan, menjadi sampah. Ia
lambang kematian dan ketidak berartian.
Di
beranda rumah suatu sore, Ranti menatapi
daun-daun sawo kuning yang jatuh tersaou angin. Bi Imas menyapunya dan mengonggokannya jadi tumpukan.
Daun-daun itu adalah dirinya. Kuning pucat dan teronggok. Dan ketika bi Imas membawa pemantik api dan hendak menyulutnya, Ranti
mencegahnya.
”Bi,
jangan dibakar. Biar saja. Biar jadi pupuk. Ia bisa jadi pupuk yang bagus.”
katanya.
Bi Imas menurutinya dengan hati trenyuh. Dia memahami,
anak majikannya tengah dilanda
prahara cobaan.
“Ceuceu, wanita itu sesungguhnya makhluk Gusti Allah
yang kuat. Dia justru seringkali
memperoleh kebahagiaan pada rasa kesakitan dan penderitaannya.” Ujar bi
Imas. ”Wanita itu sesungguhnya makhluk gusti Allah yang kuat dibandingkan
dengan lelaki. Wanita pun sesungguhnya makhluk gusti Allah yang paling sabar
dan paling tabah dalam menghadapi beragam cobaan kehidupan. Seringkali akan
tiba saatnya seorang wanita akan memperoleh kebahagiaan bagi dirinya sendiri
setelah dia menjalani dan mengalami rasa kesakitan dan penderitaan. Hiduyp
adalah sebuah lelakon. Lelakon ini yang sedang engkau jalankan. Bila kau kuat,
kau akan mendapatkan kebahagiaan yang tidak pernah kau duga.”
Ranti tersenyum. Barangkali saja bi Imas benar. Tapi dia merasa bahwa dia sudah tidak
lagi diri wanita desa pada umumnya. Dia adalah Ranti. Dia telah menemukan
kebenarannya sendiri karena kematangan jiwanya. Bi Imas menyentuh masalah rasa
kesakitan dan daya tahan seorang wanitam namun bi Imas tidak melihat bawha
dalamkesakitan itu, ada rasa harga diri yang diinjak-injak. Ada kesemena-menaan
suami yang tak akan bisa diterimanya. Bukan tentang rasa sakit dan daya
tahannya, namun tenatng sikap dirinya yang tak ingin terus meneerus menderita
karena kesemena-menaan suaminya. Dia memilih menyingkir dari kehidupan
suaminya. Menyingkir berarti memilih hidup terpisah dari suaminya. Hidup
terpisah berarti adalah kesendirian. Namun baginya, sendiri itu bukanlah
kematian. Sendiri bukanlah akhir dari kehidupan. Sendiri adalah sisi lain dari
suatu kehidupan dimana dia masih bisa terus berjalan, melangkah menapaki
jalannya walaupun harus menempuh lorong-lorong jalan yang sunyi. Seperti
hatinya sendiri yang terasa sunyi.
--- 0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar