Hujan masih deras mengguyur halaman.
Jalanan didepan rumahnya sunyi dan sepi. Hanya sesekali dia melihat ada
kendaraan lewat dan sesekali tukang baso mendorong gerobaknya. Dia termenung
didepan kamarnya sambil memperhatikan rumput dihalaman rumahnya yang tergenang
air. Dia merasakan kesunyian suasana, sesunyi perasaannya. Sudah dua hari ini
dia merasakan keadaan rumah seperti ini, suram dan mendung. Bahkan Wulan dan
Anggi yang biasanya ribut berceloteh dan berebut mainan, kini lebih senang bermain
dibelakang rumah bersama Bi Ifah atau hanya menonton acara televisi tanpa
banyak berkomentar. Dan dia yang paling merasakan dan tersiksa dengan keadaan
seperti ini.
Bila
suasana sedang begini, biasanya dia jadi malas pulang kerumah. Seusai jam kantor,
rasanya dia ingin jalan-jalan dulu, meskipun tidak belanja tapi cukup cuci mata
melihat barang-barang model terbaru. Sekedar mengendorkan kekesalannya agar berkurang. Tapi itu tak
mungkin dilakukannya. Hanya karena kesal dan jengkel pada Risman, suaminya, masa dia harus mengorbankan
semuanya. Setiap dia pulang, masih ada
Wulan dan Anggi yang berhamburan membukakan pintu depan dan menyambut
kedatangannya. Jadi, sekesal apapun perasaannya pada Risman, masih ada makhluk
lain dalam rumahnya yang mampu membuatnya tersenyum dan menghapuskan kelelahan
diwajahnya. Ah, seandainya saja semua bisa berjalan harmonis dan damai,
alangkah menyenangkannya tinggal dirumah ini, rumah baru mereka yang belum
setahun ini mereka tinggali.
Sambil memandang air hujan yang mengalir
dari atas genteng, dia jadi teringat
ketika mereka berkeliling mencari rumah baru yang akan mereka huni. Kebetulan
saja ada salah seorang temannya yang memberitahu ada orang yang akan menjual
rumah ini. Dan kebetulan mereka cocok setelah melihat rumah ini. Rumah ini
tidak terlalu besar tetapi juga tidak terlalu kecil. Cocok untuk keluarga kecil
seperti mereka. Dan cocok pula dengan keuangan mereka yang hanya mampu membeli
rumah dengan ukuran sedang seperti itu.
Memandang
rumah ini seakan menggoreskan kembali ingatannya pada rumah lama yang mereka
jual setelah empat tahun mereka tinggali. Dia tak betah tinggal dirumah itu dan
mengajukan gagasan pada Risman untuk pindah kekawasan yang lebih nyaman. Risman
tidak keberatan meskipun dia sendiri mengatakan khawatir uangnya tidak akan mencukupi untuk membeli rumah
dikawasan yang lebih nyaman. Dia lalu menunjukan uang tabungannya yang menurut
perkiraannya cukup untuk membeli rumah dikawasan yang lebih nyaman. Ditambah
dengan uang hasil penjualan rumah mereka yang lama, uang itu pasti mencukupi
untuk membeli sebuah rumah baru. Akhirnya
Risman setuju, bahkan dia juga ikut mencari informasi dan memberikan
gagasan-gagasan padanya agar mereka benar-benar puas dengan kawasan yang mereka
pilih hingga tak harus pindah rumah lagi ke lokasi lain.
Akhirnya
rumah yang cocok itu mereka temukan setelah mencari hampir empat bulan lamanya.
Yang membuatnya jatuh hati, rumah ini berada dikawasan yang nyaman dan asri
serta jauh dari hiruk pikuk kendaraan
bermotor dan masih agak bersih dari polusi, tidak seperti rumah lama mereka. Dengan beberapa perubahan pada
beberapa bagian rumah dan menyulap sisa tanah yang oleh pemilik dulu
dibiarkan begitu saja menjadi taman
kecil, rumah itu berubah menjadi rumah yang nyaman dan asri. Dia sungguh betah
tinggal dirumah ini. Risman, Wulan dan Anggi
pun kelihatannya senang dan betah
tinggal dirumah ini. Dia berharap, suasana yang menyenangkan seperti itu akan berjalan
selamanya. Tapi, bila suatu kali
dia nyeletuk memuji keadaan mereka yang
lebih menyenangkan dirumah baru itu, mendadak saja Risman jadi kelihatan
suka tersinggung. Awalnya dia tak tahu
mengapa, tapi kejadian sore kemarin membuatnya menjadi mengerti. Saat itu mereka tengah memperhatikan Wulan
dan Anggi yang sedang main sepeda dihalaman rumah mereka.
“Untung
kita pindah kekawasan ini, ya, Ris. Kalau tidak, mungkin anak-anak tidak punya
tempat untuk bermain dihalaman rumah sendiri.” Katanya santai tanpa punya
maksud apa-apa. “Coba kalau kita masih tinggal dirumah yang dulu, iih, aku tak
bisa membayangkan, anak-anak tiap hari main ditempat yang kotor.”
Risman
tidak berkomentar mendengar kata-katanya.
“Untunglah
aku memaksakan membeli rumah ini. Kalau tidak, mungkin akan membutuhkan waktu
lama lagi untuk bisa mendapatkan rumah ditempat yang cukup nyaman seperti
disini.”
“Tentu
saja. Apalagi kalau harus menunggu aku punya uang dulu. Entah berapa puluh
tahun kamu harus menunggu.” Kata Risman tiba-tiba dengan suara ketus. “Rumah ini kan rumahmu. Uang untuk membeli rumah ini
sebagian besar adalah uangmu, sementara aku tidak punya andil sama sekali dalam
pembelian rumah ini.”
“Tentu
saja kau punya andil yang sangat besar. Kekurangan uang untuk membeli rumah ini
kan ditutupi
dari hasil penjualan rumah kita yang lama.”
Katanya, mendadak merasa tak enak hati mendengar ketusnya suara Risman.
Berkali-kali
setelah itu dia mengajak bicara lagi pada Risman tapi sama sekali tidak digubris oleh suaminya.
Melihat sikap Risman yang seperti itu, mendadak dia menyadari ada yang salah dengan kata-katanya tadi. Dia
merasa, pasti menyangkut masalah rumah.
Akhirnya dia pun jadi langsung ikut-ikutan terdiam dan tak berani lagi
nyeletuk menyangkut masalah rumah ini. Dia tak berani bicara lagi karena bila
dia menegur, atau bicara agak keras, ujung-ujungnya pasti Risman ngambek.
Keadaan seperti ini memang bukan
untuk yang pertama kalinya dihadapinya. Rasanya dia sudah dilanda perasaan
bosan dan capek menghadapi sikap Risman yang
mudah tersinggung. Bahkan oleh hal sekecil apapun. Dia salah bicara sedikitpun,
Risman bisa langsung merasa tersinggung dan ngambek tak mau bicara. Dia tahu,
suaminya memang mudah tersinggung karena gengsinya tinggi. Apalagi kalau sudah
menyangkut soal materi. Karena itu, dia selalu berusaha menjaga kata-kata agar
tidak sampai merusak suasana. Dia juga tidak pernah menyinggung-nyinggung soal
penghasilan, apalagi membandingkan penghasilannya dengan penghasilan suaminya.
Dia tidak suka membuat perhitungan atau membeda-bedakan mana kepunyaannya dan
mana barang-barang suaminya.
Tapi setelah mereka menempati rumah
baru ini, seringkali Risman malah kelihatan seakan mencari-cari alasan untuk
bertengkar setiapkali tanpa sengaja dia nyeletuk tentang rumah baru mereka ini
meskipun tak sedikitpun dia punya maksud untuk menyinggung perasaan Risman.
Setelah itu Risman suka bicara ketus
tanpa dia tahu apa salahnya. Suasana rumah mendadak jadi suram seharian.
Kesibukan pekerjaannya kadang-kadang bisa membantunya menurunkan suhu
dikepalanya, sehingga kejengkelan terhadap Risman tidak pernah sampai meledak jadi
pertengkaran.
“Kau
sering berkomentar kalau aku gengsian.” Kata Risman dengan nada tinggi ketika
kemarin malam dia mencoba mengajak bicara mempertanyakan ada persoalan apa lagi
yang membuat Risman tiba-tiba menjadi mendiamkannya dan tak mau bicara sepatah
katapun. “Menurutmu, aku ini memiliki
harga diri tinggi. Lho, apa salahnya aku
merasa memiliki harga diri tinggi. Kupikir harga diri tinggi itu wajar saja.
Aku laki-laki. Dan aku suamimu. Semestinya engkau yang berusaha mengoreksi
diri. Seringkali kau bicara dan
bertindak tanpa memperhitungkan harga diriku sebagai seorang suami.”
Dia
melihat mata Risman menatapnya tajam. “Maya, mungkin ada baiknya
aku bersikap terbuka kepadamu.
Terus-terang, aku sering merasa selama ini kau terlalu angkuh dan
terlalu bangga akan dirimu sendiri. Kau pun sering menonjolkan
kehebatanmu. Bahkan meskipun tidak blak-blakan, seringkali engkau meremehkan
perananku sebagai suamimu sehingga seringkali aku merasa sebagai seorang suami
aku tidak bisa membahagiakan dan
memenuhi kebutuhan keluarga. Terus-terang, aku sedih sekali merasa seperti
itu.” Suara Risman yang melemah
membuatnya mendadak tertegun. Dia menatap Risman mencoba menyelami apa yang ada dalam hati
laki-laki itu.
“Aku tahu, kau memiliki selera yang
tinggi.” kata Risman lagi dengan
nada suara yang lebih rendah. “Selama ini kau memang tidak pernah memintanya
dari aku, termasuk ketika kau ingin membeli rumah dikawasan yang nyaman ini.
Tapi justru karena itu kau lalu seakan ada alasan untuk bersikap angkuh dan menyakitkan perasaan saya. Seharusnya kau mau berusaha
menyesuaikan diri dengan kondisiku, hidup secara sederhana dan mau menerima
tinggal dirumah yang sederhana, rumah yang sesuai dengan kemampuan daya beliku. Maya, aku belum pernah mengutarakan
hal ini kepadamu sebelumnya karena aku tidak yakin kau akan mau mendengarkan.
Selama ini kau sering meminta pendapat
dan saranku tapi kenyataannya didalam pelaksanaannya, keputusanmu sendiri yang kau
jalankan. Pembicaraan sebelumnya sewaktu kau meminta pendapat dan saranku,
sia-sia saja. Nol besar. Hanya buang-buang waktu saja. Dan ini sudah sering
terjadi. Seperti ketika kau ingin pindah rumah. Aku bilang, nantilah kalau
keuanganku sudah membaik. Tapi kau terus ngotot ingin segera pindah. Kau
menunjukan buku tabunganmu yang memang sangat mencukupi untuk membeli rumah.
Akhirnya aku merasa, percuma kita bicara panjang lebar bila akhirnya tak
satupun saranku yang kau laksanakan.”
Malam itu dia tak sanggup
mengucapkan sepatah-katapun untuk membantah kata-kata Risman lagi. Bahkan
Risman pun tak memberinya kesempatan untuk bicara ataupun membela diri. Setelah
puas bicara, Risman masuk kamar meninggalkannya sendirian. Dan sepanjang malam
itu dia dibiarkan tidur dengan kejengkelan dan kekesalan yang memenuhi dada dan
kepalanya. Paginya, kepalanya berdenyut dan Risman sudah pergi lebih dulu tanpa
bicara apapun padanya.
Sehari ini dia belum bicara dengan
suaminya. Ketika tadi dia pulang kantor, Risman belum pulang. Ketika Risman
pulang, dia masih disibukan dengan kedua anaknya. Setelah kedua anaknya tidur,
dia mencoba mencari suaminya. Dikamar mereka tidak ada. Ketika dia pergi
kedapur, dia melihat Risman tengah duduk diteras belakang. Dia tak berani
menemui suaminya dan akhirnya memilih masuk kekamarnya.
Sekian
lamanya dia diam termangu didalam kamar, merenungkan dirinya dan suaminya. Dia
mencoba mempertanyakan, apa yang salah dan siapa yang salah diantara mereka.
Tiba-tiba dia menyadari, barangkali tanpa disadarinya, selama ini dia memang
seringkali menyinggung harga diri suaminya baik dengan kata-kata maupun dengan
tindakan-tindakannya sehingga membuat Risman menjadi marah. Barangkali, tanpa
sengaja dia sering mencetuskan kebanggaannya karena berhasil memiliki rumah
dikawasan yang nyaman itu yang diatasi dengan uang tabungannya karena bila
menunggu keuangan Risman, entah berapa tahun lagi mereka harus menunggu.
Mungkin memang disana letak permasalahannya yang membuat Risman kali ini begitu
marah dan tersinggung. Sebagai suami, Risman merasa tersinggung dan merasa
dirinya tidak memiliki andil dalam kepemilikan rumah ini. Dia menarik napas
dalam. Sekian tahun perkawinanya, mengapa dia selalu saja melakukan
kesalahan-kesalahan semacam ini. Ya, barangkali, masih banyak yang perlu
diperbaiki dari dirinya sendiri sebagai
istri. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya dia beranjak menuju teras
belakang dimana Risman sedang duduk sendirian.
“Ris, maafkan aku, ya.” Dia duduk
disamping suaminya.
Riman menoleh, menatapnya. “Kenapa?” tanyanya.
“Mungkin selama ini secara tak sadar
aku sering membuatmu tersinggung. Tapi
sungguh, tak sedikitpun aku punya maksud untuk menyinggung perasaanmu. Termasuk
ketika aku membicarakan tentang rumah ini. Ini rumah milik kita berdua. Bukan
rumahku atau rumahmu saja.”
Risman tidak langsung berkomentar.
“Aku tahu kemarin kamu marah karena
mungkin tanpa sengaja ada kata-kataku yang menyinggung perasaanmu.”
Risman menarik napas panjang, lalu
tersenyum sambil menatapnya. “Aku juga minta maaf bila
aku juga suka salah dalam menafsirkan kata-katamu. Ya, mungkin kita
memang masih harus belajar untuk saling tenggang rasa dan saling memahami
perasaan kita, May.”
Dia mengangguk. Mudah-mudahan saja
dia tidak mengulang kesalahan-kesalahan semacam ini lagi. Ditatapnya langit yang
hitam. Hujan sudah berhenti. Tinggal sisa-sisa air hujan yang jatuh menetes
dari atas genting.
--- 0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar