Jumat, 10 Mei 2013

RUMAH BARU





            Hujan masih deras mengguyur halaman. Jalanan didepan rumahnya sunyi dan sepi. Hanya sesekali dia melihat ada kendaraan lewat dan sesekali tukang baso mendorong gerobaknya. Dia termenung didepan kamarnya sambil memperhatikan rumput dihalaman rumahnya yang tergenang air. Dia merasakan kesunyian suasana, sesunyi perasaannya. Sudah dua hari ini dia merasakan keadaan rumah seperti ini, suram dan mendung. Bahkan Wulan dan Anggi yang biasanya ribut berceloteh dan berebut mainan, kini lebih senang bermain dibelakang rumah bersama Bi Ifah atau hanya menonton acara televisi tanpa banyak berkomentar. Dan dia yang paling merasakan dan tersiksa dengan keadaan seperti ini.
Bila suasana sedang begini, biasanya dia jadi malas pulang kerumah. Seusai jam kantor, rasanya dia ingin jalan-jalan dulu, meskipun tidak belanja tapi cukup cuci mata melihat barang-barang model terbaru. Sekedar mengendorkan  kekesalannya agar berkurang. Tapi itu tak mungkin dilakukannya. Hanya karena kesal dan jengkel pada  Risman, suaminya, masa dia harus mengorbankan semuanya. Setiap dia pulang,  masih ada Wulan dan Anggi yang berhamburan membukakan pintu depan dan menyambut kedatangannya. Jadi, sekesal apapun perasaannya pada Risman, masih ada makhluk lain dalam rumahnya yang mampu membuatnya tersenyum dan menghapuskan kelelahan diwajahnya. Ah, seandainya saja semua bisa berjalan harmonis dan damai, alangkah menyenangkannya tinggal dirumah ini, rumah baru mereka yang belum setahun ini mereka tinggali.
            Sambil memandang air hujan yang mengalir dari atas genteng,  dia jadi teringat ketika mereka berkeliling mencari rumah baru yang akan mereka huni. Kebetulan saja ada salah seorang temannya yang memberitahu ada orang yang akan menjual rumah ini. Dan kebetulan mereka cocok setelah melihat rumah ini. Rumah ini tidak terlalu besar tetapi juga tidak terlalu kecil. Cocok untuk keluarga kecil seperti mereka. Dan cocok pula dengan keuangan mereka yang hanya mampu membeli rumah dengan ukuran sedang seperti itu.
Memandang rumah ini seakan menggoreskan kembali ingatannya pada rumah lama yang mereka jual setelah empat tahun mereka tinggali. Dia tak betah tinggal dirumah itu dan mengajukan gagasan pada Risman untuk pindah kekawasan yang lebih nyaman. Risman tidak keberatan meskipun dia sendiri mengatakan khawatir uangnya  tidak akan mencukupi untuk membeli rumah dikawasan yang lebih nyaman. Dia lalu menunjukan uang tabungannya yang menurut perkiraannya cukup untuk membeli rumah dikawasan yang lebih nyaman. Ditambah dengan uang hasil penjualan rumah mereka yang lama, uang itu pasti mencukupi untuk membeli sebuah rumah baru. Akhirnya  Risman setuju, bahkan dia juga ikut mencari informasi dan memberikan gagasan-gagasan padanya agar mereka benar-benar puas dengan kawasan yang mereka pilih hingga tak harus pindah rumah lagi ke lokasi lain.
Akhirnya rumah yang cocok itu mereka temukan setelah mencari hampir empat bulan lamanya. Yang membuatnya jatuh hati, rumah ini berada dikawasan yang nyaman dan asri serta  jauh dari hiruk pikuk kendaraan bermotor dan masih agak bersih dari polusi, tidak seperti rumah lama  mereka. Dengan beberapa perubahan pada beberapa bagian rumah dan menyulap sisa tanah yang oleh pemilik dulu dibiarkan  begitu saja menjadi taman kecil, rumah itu berubah menjadi rumah yang nyaman dan asri. Dia sungguh betah tinggal dirumah ini. Risman, Wulan dan Anggi  pun kelihatannya  senang dan betah tinggal dirumah ini. Dia berharap, suasana yang menyenangkan seperti itu akan berjalan selamanya.  Tapi, bila suatu kali dia  nyeletuk memuji keadaan mereka yang lebih menyenangkan dirumah baru itu, mendadak saja Risman jadi kelihatan suka  tersinggung. Awalnya dia tak tahu mengapa, tapi kejadian sore kemarin membuatnya menjadi mengerti.  Saat itu mereka tengah memperhatikan Wulan dan Anggi yang sedang main sepeda dihalaman rumah mereka.
“Untung kita pindah kekawasan ini, ya, Ris. Kalau tidak, mungkin anak-anak tidak punya tempat untuk bermain dihalaman rumah sendiri.” Katanya santai tanpa punya maksud apa-apa. “Coba kalau kita masih tinggal dirumah yang dulu, iih, aku tak bisa membayangkan, anak-anak tiap hari main ditempat yang kotor.”
Risman tidak berkomentar mendengar kata-katanya.
“Untunglah aku memaksakan membeli rumah ini. Kalau tidak, mungkin akan membutuhkan waktu lama lagi untuk bisa mendapatkan rumah ditempat yang cukup nyaman seperti disini.”
“Tentu saja. Apalagi kalau harus menunggu aku punya uang dulu. Entah berapa puluh tahun kamu harus menunggu.” Kata Risman tiba-tiba dengan suara ketus.  “Rumah ini kan rumahmu. Uang untuk membeli rumah ini sebagian besar adalah uangmu, sementara aku tidak punya andil sama sekali dalam pembelian rumah ini.”
“Tentu saja kau punya andil yang sangat besar. Kekurangan uang untuk membeli rumah ini kan ditutupi dari hasil penjualan rumah kita yang lama.”  Katanya, mendadak merasa tak enak hati mendengar ketusnya suara Risman.
Berkali-kali setelah itu dia mengajak bicara lagi pada Risman tapi  sama sekali tidak digubris oleh suaminya. Melihat sikap Risman  yang seperti itu,  mendadak dia menyadari  ada yang salah dengan kata-katanya tadi. Dia merasa, pasti menyangkut masalah rumah.  Akhirnya dia pun jadi langsung ikut-ikutan terdiam dan tak berani lagi nyeletuk menyangkut masalah rumah ini. Dia tak berani bicara lagi karena bila dia menegur, atau bicara agak keras, ujung-ujungnya pasti Risman ngambek.
            Keadaan seperti ini memang bukan untuk yang pertama kalinya dihadapinya. Rasanya dia sudah dilanda perasaan bosan dan capek menghadapi sikap Risman yang  mudah tersinggung. Bahkan oleh hal sekecil apapun. Dia salah bicara sedikitpun, Risman bisa langsung merasa tersinggung dan ngambek tak mau bicara. Dia tahu, suaminya memang mudah tersinggung karena gengsinya tinggi. Apalagi kalau sudah menyangkut soal materi. Karena itu, dia selalu berusaha menjaga kata-kata agar tidak sampai merusak suasana. Dia juga tidak pernah menyinggung-nyinggung soal penghasilan, apalagi membandingkan penghasilannya dengan penghasilan suaminya. Dia tidak suka membuat perhitungan atau membeda-bedakan mana kepunyaannya dan mana barang-barang suaminya.
            Tapi setelah mereka menempati rumah baru ini, seringkali Risman malah kelihatan seakan mencari-cari alasan untuk bertengkar setiapkali tanpa sengaja dia nyeletuk tentang rumah baru mereka ini meskipun tak sedikitpun dia punya maksud untuk menyinggung perasaan Risman. Setelah itu  Risman suka bicara ketus tanpa dia tahu apa salahnya. Suasana rumah mendadak jadi suram seharian. Kesibukan pekerjaannya kadang-kadang bisa membantunya menurunkan suhu dikepalanya, sehingga kejengkelan terhadap Risman  tidak pernah sampai meledak jadi pertengkaran.
            “Kau sering berkomentar kalau aku gengsian.” Kata Risman dengan nada tinggi ketika kemarin malam dia mencoba mengajak bicara mempertanyakan ada persoalan apa lagi yang membuat Risman tiba-tiba menjadi mendiamkannya dan tak mau bicara sepatah katapun.   “Menurutmu, aku ini memiliki harga diri tinggi.  Lho, apa salahnya aku merasa memiliki harga diri tinggi. Kupikir harga diri tinggi itu wajar saja. Aku laki-laki. Dan aku suamimu. Semestinya engkau yang berusaha mengoreksi diri.  Seringkali kau bicara dan bertindak tanpa memperhitungkan harga diriku sebagai seorang suami.”
Dia melihat mata  Risman  menatapnya tajam. “Maya, mungkin ada baiknya aku  bersikap terbuka kepadamu. Terus-terang, aku sering merasa selama ini kau terlalu  angkuh dan  terlalu bangga akan dirimu sendiri. Kau pun sering menonjolkan kehebatanmu. Bahkan meskipun tidak blak-blakan, seringkali engkau meremehkan perananku sebagai suamimu sehingga seringkali aku merasa sebagai seorang suami aku  tidak bisa membahagiakan dan memenuhi kebutuhan keluarga. Terus-terang, aku sedih sekali merasa seperti itu.”  Suara Risman yang melemah membuatnya mendadak tertegun. Dia menatap Risman  mencoba menyelami apa yang ada dalam hati laki-laki itu.
            “Aku tahu, kau memiliki selera  yang  tinggi.” kata Risman  lagi dengan nada suara yang lebih rendah. “Selama ini kau memang tidak pernah memintanya dari aku, termasuk ketika kau ingin membeli rumah dikawasan yang nyaman ini. Tapi justru karena itu kau lalu seakan ada alasan untuk bersikap angkuh  dan menyakitkan perasaan  saya. Seharusnya kau mau berusaha menyesuaikan diri dengan kondisiku, hidup secara sederhana dan mau menerima tinggal dirumah yang sederhana, rumah yang sesuai dengan kemampuan daya  beliku. Maya, aku belum pernah mengutarakan hal ini kepadamu sebelumnya karena aku tidak yakin kau akan mau mendengarkan. Selama ini kau  sering meminta pendapat dan saranku tapi kenyataannya didalam pelaksanaannya, keputusanmu sendiri yang kau jalankan. Pembicaraan sebelumnya sewaktu kau meminta pendapat dan saranku, sia-sia saja. Nol besar. Hanya buang-buang waktu saja. Dan ini sudah sering terjadi. Seperti ketika kau ingin pindah rumah. Aku bilang, nantilah kalau keuanganku sudah membaik. Tapi kau terus ngotot ingin segera pindah. Kau menunjukan buku tabunganmu yang memang sangat mencukupi untuk membeli rumah. Akhirnya aku merasa, percuma kita bicara panjang lebar bila akhirnya tak satupun saranku yang kau laksanakan.”
            Malam itu dia tak sanggup mengucapkan sepatah-katapun untuk membantah kata-kata Risman lagi. Bahkan Risman pun tak memberinya kesempatan untuk bicara ataupun membela diri. Setelah puas bicara, Risman masuk kamar meninggalkannya sendirian. Dan sepanjang malam itu dia dibiarkan tidur dengan kejengkelan dan kekesalan yang memenuhi dada dan kepalanya. Paginya, kepalanya berdenyut dan Risman sudah pergi lebih dulu tanpa bicara apapun padanya.
            Sehari ini dia belum bicara dengan suaminya. Ketika tadi dia pulang kantor, Risman belum pulang. Ketika Risman pulang, dia masih disibukan dengan kedua anaknya. Setelah kedua anaknya tidur, dia mencoba mencari suaminya. Dikamar mereka tidak ada. Ketika dia pergi kedapur, dia melihat Risman tengah duduk diteras belakang. Dia tak berani menemui suaminya dan akhirnya memilih masuk kekamarnya.
Sekian lamanya dia diam termangu didalam kamar, merenungkan dirinya dan suaminya. Dia mencoba mempertanyakan, apa yang salah dan siapa yang salah diantara mereka. Tiba-tiba dia menyadari, barangkali tanpa disadarinya, selama ini dia memang seringkali menyinggung harga diri suaminya baik dengan kata-kata maupun dengan tindakan-tindakannya sehingga membuat Risman menjadi marah. Barangkali, tanpa sengaja dia sering mencetuskan kebanggaannya karena berhasil memiliki rumah dikawasan yang nyaman itu yang diatasi dengan uang tabungannya karena  bila  menunggu keuangan Risman, entah berapa tahun lagi mereka harus menunggu. Mungkin memang disana letak permasalahannya yang membuat Risman kali ini begitu marah dan tersinggung. Sebagai suami, Risman merasa tersinggung dan merasa dirinya tidak memiliki andil dalam kepemilikan rumah ini. Dia menarik napas dalam. Sekian tahun perkawinanya, mengapa dia selalu saja melakukan kesalahan-kesalahan semacam ini. Ya, barangkali, masih banyak yang perlu diperbaiki  dari dirinya sendiri sebagai istri. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya dia beranjak menuju teras belakang dimana Risman sedang duduk sendirian.
            “Ris, maafkan aku, ya.” Dia duduk disamping suaminya.
            Riman menoleh, menatapnya.  “Kenapa?” tanyanya.
            “Mungkin selama ini secara tak sadar aku sering membuatmu  tersinggung. Tapi sungguh, tak sedikitpun aku punya maksud untuk menyinggung perasaanmu. Termasuk ketika aku membicarakan tentang rumah ini. Ini rumah milik kita berdua. Bukan rumahku atau rumahmu saja.”
            Risman tidak langsung berkomentar.
            “Aku tahu kemarin kamu marah karena mungkin tanpa sengaja ada kata-kataku yang menyinggung perasaanmu.”
            Risman menarik napas panjang, lalu tersenyum sambil menatapnya. “Aku juga minta maaf  bila  aku juga suka salah dalam menafsirkan kata-katamu. Ya, mungkin kita memang masih harus belajar untuk saling tenggang rasa dan saling memahami perasaan kita, May.”
            Dia mengangguk. Mudah-mudahan saja dia tidak mengulang kesalahan-kesalahan semacam ini lagi. Ditatapnya langit yang hitam. Hujan sudah berhenti. Tinggal sisa-sisa air hujan yang jatuh menetes dari atas genting.

--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar