Kamis, 12 November 2015

Batik Sumedang - Binokasih


Salah satu motif batik Sumedang yang dibuat oleh Batik Saca adalah motif Mahkota Binokasih.  Sedikit catatan tentang Mahkota Binokasih yang saya ambil dari google.

Sejarah



Mahkota Kerajaan Pajajaran Binokasih Sanghyang Pake
Menurut sumber turun-temurun, mahkota ini dibuat atas prakarsa Sanghyang Bunisora Suradipati, raja Galuh (1357-1371). Mahkota ini digunakan oleh raja-raja Sunda selanjutnya dalam upacara pelantikan raja baru dan menjadi benda pusaka kerajaan hingga kerajaan Sunda runtuh.[2]
Pada waktu ibukota kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran diserbu oleh pasukan Banten (1579), mahkota ini berhasil diselamatkan oleh para pembesar kerajaan Sunda yang berhasil meloloskan diri, yaitu: Sayang Hawu, Térong Péot, dan Kondang Hapa. Mahkota ini dibawa ke Sumedanglarang dan diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun dengan harapan dapat menggantikan dan melanjutkan keberadaan dan kejayaan kerajaan Sunda. sejak itu mahkota ini menjadi benda pusaka para raja Sumedanglarang dan kemudian para bupati Sumedang. Sejak pemerintahan Bupati Pangeran Suria Kusumah Adinata atau Pangeran Sugih (1937-1946) mahkota tersebut dipakai untuk hiasan kepala pengantin keluarga bupati Sumedang.[2]


Dibawah ini beberapa Batik Saca motif Mahkota Binokasih.


 
 

 


 
 




 


 

 


Batik Sumedang - Wijayakusumah

Salah satu motif Batik Saca adalah motif bunga Wijayakusumah. Motif Wijayakusumah diambil menjadi salah satu khas Batik Saca karena keindahan dan keunikan dari bunga Wijayakusumah itu sendiri. Selain bentuk bunganya yang indah, bunga Wijayakusumah sering dikaitkan dengan mitos seorang raja. Di kalangan keraton dipercaya bahwa salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh seorang raja bila ingin naik tahta yakni harus mempunyai sekuntum kembang wit wijaya kusuma.

Bunga ini hanya mekar di malam hari saja, tidak heran bila banyak orang yang penasaran dengan bunga yang satu ini. Sebagian masyarakat Jawa bunga Wijayakusuma dipercaya sebagai bunga yang mempunyai kekuatan mistis. Ada banyak sekali mitos yang beredar, mulai yang terdengar biasa sampai yang serius. Ada yang percaya bahwa ketika halaman rumah ditumbuhi bunga Wijayakusumah dan mempunyai bunga ini akan memudahkan pemilik rumah dalam mendapatkan banyak rezeki. Wallohuallam.






















Batik Sumedang - Kuda Renggong

Salah satu motif Batik Saca adalah motif Kuda Renggong.  Kuda Renggong merupakan salah satu seni pertunjukan rakyat yang berasal dari Sumedang. Kata "renggong" di dalam kesenian ini merupakan metatesis dari kata ronggeng yaitu kamonesan  (bahasa sunda untuk "ketrampilan") cara berjalan kuda yang telah dilatih untuk menari mengikuti irama musik terutama kendang, yang biasanya dipakai sebagai media tunggangan dalam arak-arakan anak sunat.

Dibawah ini beberapa motif Kuda Renggong yang dibuat oleh Batik Saca dan termasuk motif yang paling banyak diminati oleh penggemar batik Sumedang karena motif kuda yang terlihat begitu cantik sedang menari. Sayang sekali saat ini Batik Saca sedang berhenti berproduksi untuk sementara waktu.


 

 

 

 

 

Batik Sumedang - Daun Boled








Rabu, 11 November 2015

Batik Sumedang - Hanjuang

 
Salah satu motif Batik Saca adalah motif Hanjuang. Dipilihnya motif Hanjuang tidak terlepas dari sejarah peristiwa ditanamnya pohon Hanjuang oleh Eyang Embah Jayaperkosa.
 
Dibawah ini beberapa buah Batik Saca dengan motif Hanjuang.
 







 
 
 







 
 


Batik Sumedang - Memanah


Salah satu motif Batik Sumedang yang dibuat oleh Batik Saca adalah motif memanah. Memanah adalah salah satu bentuk olahraga khas Sumedang. Dalam motif batik memanah ini saya mengambil gaya memanah yang seperti tradisi memanah gaya Mataram. Dalam tradisi memanah gaya Mataram ini sangat unik, dilakukan dalam posisi duduk bersila. Jelas beda dengan sikap badan dalam olah raga memanah pada umumnya, yang dilakukan dalam posisi badan tegak, menarik busur, serta memicingkan mata mengincar sasaran. Tradisi memanah gaya Mataram ini tentu bukan sekedar olah raga, melainkan juga olah jiwa dan tata krama. Dibawah tulisan ini saya tampilkan beberapa Batik Saca dengan motif Tradisi Memanah.



 

 

 

 

 

 

Melati Di Kaki Bukit






Melati Di Kaki Bukit

Pondok bambu terbuat dari kayu-kayu yang sudah tua. Namun pondok itu terlihat terawat dengan baik. Lantainya bersih disapu dan dipel tiap hari. Halamannya pun terawat dengan baik. Tumbuhan dan bunga-bunga terpelihara dengan baik. Windi, pemilik pondok itu seorang gadis yang rajin. Pondok itu satu-satunya peninggalan kedua orangtuanya yang sudah meninggal sekian tahun lalu. Untuk menyambung hidupnya, Windi meneruskan usaha orangtuanya membuat beberapa macam makanan diantaranya membuat wajit. Wajit buatan ibunya dulu sangat laku. Wajit yang terbuat dari santan, beras ketan dan gula merah itu yang digodok lalu setelah kental dan mengeras dibungkus dengan kertas warna warni. Setiap hari Windi mengerjakan semua pekerjaannya sendirian. Pagi hari, beberapa orang akan mengambil wajitnnya dan menjualnya.
Pagi itu Windi baru selesai membuat wajit ketika pintu pondoknya ada yang mengetuk.
“Windi! Windi!” suara Mak Ifah, penjual keliling kampung yang biasa mengambil wajitnya terdengar memanggilnya berkali-kali.
Windi membuka pintu. Mak Ifah menurunkan gendongannya, bakul yang diikat dengan sehelai selendang yang diikatkan dibahunya. Lalu diatas bakul itu ada nampan yang berisi dagangannya.
“Masuk, Mak. Aku baru selesai mandi.” Kata Windi sambil mengambil wajitnya yang sudah siap didagangkan.
Mak Ifah membayar wajit itu. “Hari ini cuacanya mendung. Mudah-mudahan tidak keburu hujan.” Kata Mak Ifah sambil menggendong kembali bakul dan nyirunya.
“Ya, sekarang sudah musim hujan, Mak. Jangan lupa membawa payung.” Kata Windi.
“Ini payung lipat selalu ada didalam bakul.” Kata Mak Ifah. Lalu dia menuruni bukit dan mulai berkeliling menjajakan dagangannya.
Mak Ifah, penjual gendongan hanya berkeliling seputar desa mereka. Macam-macam yang dijualnya. Sayur mayur, ikan, makanan kering, dan beragam jajanan. Setiap pagi mak Ifah berkeliling disekitar rumah-rumah penduduk di desa. Beberapa orang sudah menjadi langganannnya. Diusianya yang sudah semakin tua Mak Ifah masih sanggup berjalan jauh naik turun didaerah perbukitan didesa mereka. Kehadiran Mak Ifah sering ditunggu oleh beberapa orang langganannya. Dan wajit buatan Windi menjadi salah satu makanan yang sering ditunggu pelanggannya.
Siang itu Windi sudah sibuk seperti biasanya didapur pondoknya. Api menyala didalam tungku. Diatasnya sebuah katel besar mengepul panas berisi adonan wajit yang tengah diolah Windi.
Meskipun diluar hujan turun rintik-rintik namun udara didalam dapur terasa panas oleh api yang menyala didalam tungku. Windi menambah beberapa potong kayu bakar untuk menjaga nyala api. Tangannya dengan cekatan mengaduk-aduk adonan wajit yang makin lama semakin kental. Tak lama kemudian adonan wajitnya telah matang. Windi mengangkat katel besar dan menempatkannya diatas potongan kayu bulat yang berfungsi sebagai tempat menyimpan katel. Windi lalu menanak nasi dan menyiapkan lauk pauknya berupa ikan peda yang dibungkus dengan daun pisang lalu dimasukan kedalam timbunan abu didalam tungku.
Sambil menunggu nasinya matang, dia keluar rumah memetik leunca yang tumbuh dibelakang pondoknya. Hujan masih turun rintik-rintik. Udara terasa dingin sekali. Apalagi didaerah perbukitan seperti ini. Tak lama Windi kembali masuk kedalam dapur pondoknya dan menaruh leunca yang baru dipetiknya dipiring kaleng kecil. Dia mengambil cowet kecil yang terbuat dari tanah liat dan mulai membuat sambal. Ketika nasinya telah matang dan ikan peda yang diperam didalam abu pun telah matang, Windi mulai makan. Dia menikmati rejekinya hari ini. Makanannya selalu sederhana setiap hari namun ini adalah rejeki yang selalu disyukurinya. Dia merasa nikmat sekali. Selesai makan diakhiri dengan minum secangkir teh panas hangat. Diluar hujan turun dengan derasnya. Langit terlihat mendung pertanda hujan masih akan turun lama. 
Selesai makan pekerjaannya belum selesai. Dia harus membungkus wajitnya dan besok pagi telah siap dijajakan kembali.
Tok. Tok. Tok. Sebuah ketukan dipintu dapur membuatnya menghentikan pekerjaannya.
Windi membuka pintu. Dia melihat seorang gadis kecil yang kelihatannya menggigil kedinginan berdiri didepan pintu dapur.
“Ah, siapa kamu?” tanya Windi. Dia tidak mengenal gadis kecil itu. Beberapa orang gadis kecil yang tinggal disekitar pondoknya dikenalnya dengan baik karena beberapa orang dari mereka kerap bermain-main diseputar pondoknya dan memetik bunga-bunga yang tumbuh disekitar pondoknya.
“Aku...aku lapar sekali.” Sahut gadis kecil itu dengan gigi gemeretuk menahan dingin.
Windi merasa iba melihat gadis itu sehingga dia tidak bertanya lagi.”Masuklah.” kata Windi sambil membuka pintu pondok menyuruh gadis kecil itu masuk. Dengan tubuh menggigil kedinginan, gadis itu masuk dan duduk pada bangku kayu didekat pintu. Tubuhnya basah kuyup.
“Sebentar, aku rasanya masih punya baju kecil bekas aku dulu.” Kata Windi. Dia mengambil baju lama didalam kamarnya dan kembali dengan baju berbunga-bunga kecil baju bekas ketika dia masih kecil.
“Gantilah bajumu. Kau pasti kedinginan.” Kata Windi sambil menyerahan baju itu kepada gadis kecil itu.
“Terima kasih, Kakak.” Gadis itu mengganti bajunya. Ternyata baju itu pas ditubuh gadis kecil itu.
“Kau pasti lapar, makanlah seadanya.” Windi menyediakan makan buat gadis kecil itu. Untunglah masih ada nasi yang tersisa dan ikan peda. Gadis itu makan dengan lahap. Windi merasa kasihan melihat gadis itu yang kelihatannya sangat kelaparan sekali. Dia memberi beberapa buah wajit yang langsung dihabiskan oleh gadis kecil itu. Diluar hujan masih turun dengan derasnya.
“Kamu dari mana? Kenapa sampai berada disini?” gadis kecil itu tidak menjawab. Dia hanya menangis sedih.
“Kenapa kamu menangis? Apakah orangtuamu memarahimu?” tanya Windi.
“Aku sudah tidak punya ayah dan ibu. Keduanya sudah lama meninggal dunia.” Kata gadis kecil itu.
“Siapakah namamu?” tanya Windi.
“Melati.”
“Lalu kamu selama ini tinggal bersama siapa?” tanya Windi.
“Ada saudara dari pihak ibuku yang merawat aku setelah kedua orangtuaku meninggal. Namun Ibu Lala, yang merawatku itu selalu memukuliku bila aku tidak bisa bekerja dengan baik.”
“Pekerjaan apa yang harus kau lakukan?”  tanya Windi.
“Membersihkan rumah, menyapu, mengepel, mencuci dan segala macam pekerjaan rumah.”
Windi termenung. Gadis sekecil itu disuruh mengerjakan beragam pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
“Jadi kau pergi dari rumah?” tanya Windi.
“Ya. Ibu Lala sudah beberapa hari tidak memberiku makan karena aku kata bu Lala tidak benar bekerja, katanya lantai masih kotor padahal setiap hari aku selalu menyapu dan mengepelnya. Baju-baju tidak bersih padahal aku selalu berusaha mencuci dengan baik.”
Windi hanya menghela nafas. Dia merasa bingung, apa yang harus dilakukannya. Pintu diketuk dari luar, Mak Ifah masuk sambil menggendong dagangannya.
“Masuk, Mak Ifah.” Kata Windi.
Mak Ifah menurunkan gendongan dagangannya. Matanya melihat pada Melati. Mak Ifah seperti terkejut melihat gadis kecil itu.
“Siapa ini? Rasanya aku pernah melihat gadis kecil ini.” Kata Mak Ifah.
“Namanya Melati.” Kata Windi. Lalu dia menceritakan obrolannya dengan Melati kepada Mak Ifah.
“Mak juga tahu Bu Lala itu. Memang bu Lala sangat galak sekali kepada gadis ini. Kalau Mak lewat depan rumahnya sering mendengar suara Bu Lala yang tengah memarahi gadis kecil ini.” Kata Mak Ifah.
“Tapi tidak baik juga bila kau tinggal disini tanpa meminta persetujuan bu Lala, Melati. Nanti setelah hujan reda, kakak akan mengantarmu pulang kerumahmu.” Kata Windi.
Melati kelihatan tidak mau namun dia tidak mengatakan sepatah katapun. Sore hari Windi mengantarkan Melati kerumahnya. Mereka menuruni bukit lalu menaiki lagi tangga-tangga batu yang jalannya menuju kerumah bu Lala. Tak lama mereka sudah sampai dirumah bu Lala. Bu Lala kelihatan gusar ketika melihat Melati yang pulang diantar Windi.
“Melati tersesat. Tadi dia kerumah saya.” Kata Windi menjelaskan.
“Kau mau kabur lagi rupanya ya? Dasar anak tak tahu diri.” Seru bu Lala.
Windi menahan perasaannya ketika melihat bu Lala memukuli Melati.
“Bu, harap jangan marah pada anak ini......”
“Kau pulanglah! Ini urusanku.” Seru bu Lala sambil menyeret Melati masuk kedalam rumahnya.
Windi pulang dengan perasaan tak menentu. Dia membayangkan Melati yang dipukuli oleh bu Lala. Hatinya terasa pedih. Namun dia meneruskan kembali langkahnya. Dia khawatir bila dia terlalu jauh ikut campur urusan orang lain akan berakibat buruk kepadanya.
Tiga hari kemudian, ketika Windi sedang membungkus wajit, Melati datang lagi kerumahnya dengan baju lusuh, wajah kumal dan letih.
“Ah, Melati. Kau kemari lagi.” Sambut Windi dengan gembira. Windi tahu anak itu kelihatan lapar sekali. Dia memberi anak itu makan. Nasi hangat, tempe goreng, dan ayam panggang. Melati makan dengan lahap sekali. Kelihatan dia sangat lapar sekali.
“Kakak baik sekali.” Kata Melati sambil tersenyum. Wajahnya kelihatan cerah kembali, tidak luyu seperti kedatangannya tadi.
Beberapa kali Melati datang kerumah Windi. Dan selalu disambut Windi dengan gembira karena dia sudah jatuh sayang pada anak kecil yang cantik itu. Namun beberapa waktu kemudian, hampir dua bulan lamanya, Melati tak pernah datang lagi kerumah Windi. Windi merasa kehilangan, dan dia merasa heran kenapa Melati tak pernah lagi berkunjung kerumahnya. Windi sudah menyisihkan uang dan membeli sebuah boneka buat Melati bila nanti dia datang lagi kerumahnya. Namun Melati tak pernah datang lagi kerumahnya. Kemudian Windi mendengar keributan itu. Melati meninggal. Dibunuh oleh bu Lala. Airmatanya mengalir tak henti-hentinya. Dia sudah sangat menyayangi gadis itu. Ada penyesalan dalam hatinya kenapa dia tidak mengambil gadis itu dan merawatnya saja.
“Bu Lala sudah ditahan oleh polisi.” Kata Mak Ifah dengan wajah murung. Beberapa kali bila dia sedang kerumah Windi, dia melihat Melati gadis kecil itu tengah berada dipondok Windi.
“Seandainya kita tahu akhirnya akan begini, Mak pasti setuju bila dulu kau mengambil Melati dan merawatnya disini.” Kata Mak Ifah sambil menghapus airmatanya.
Windi menganguk dengan perasaan sedih. Duka itu terasa menyayat hatinya. Melati, gadis kecil yang cantik itu, yang selalu makan dengan lahap, yang selalu gembira bila tengah ada dipondoknya, kini telah tidak ada lagi. Windi menanam beberapa pohon melati dihalaman di pondoknya. Bunga-bunga melati yang kecil putih bersih itu akan selalu mengingatnya pada gadis kecil bernama Melati yang sangat disayanginya namun takdir menentukan lain, kebersamaannya dengan Melati hanya sekejap saja. 

Jumat, 06 November 2015

Keluarga Laras





Keluarga Laras

1. Pindah Rumah.





Sebuah truk besar yang penuh dengan muatan beragam perabotan rumah itu berhenti dijalan didepan rumah. Bapa sudah lama menunggu kedatangan truk itu. Ketika melihat truk itu datang, Bapa memanggil Laras agar memberitahu Mamah bahwa truk yang mengangkut segala macam perabotan dan barang mereka dari rumah kontrakan mereka sudah datang.
“Laras, beritahu mamah, truknya sudah datang.” Kata Bapa sambil menghampiri truk itu. Supir memarkir truk itu merapat ke pinggiran jalan.
Laras masuk kedalam rumah memberitahu Mamah.  “Mah, truknya sudah datang.”
"Ya." sahut Mamah sambil bergegas keluar rumah menghampiri Bapa dan memperhatikan truk itu yang maju mundur  merapatkan badannya kepinggir jalan. "Sebaiknya perabotan-perabotan langsung ditempatkan ditempatnya masing-masing agar kita tidak dua kali bekerja memindah-mindahkan perabotan-perabotan itu."
"Ya. Bapa sudah mengaturnya." sahut Bapa.
Kernet dengan dua orang pekerja turun dari atas truk dan mulai menurunkan beragam macam perabotan rumah yang dibawa dari rumah kontrakan satu persatu. Lemari, meja, kursi, kasur, lemari pakaian, dan banyak dus yang berisi perabotan pecah belah, beragam peralatan dapur yang dimasukan kedalam beberapa buah karung, koper pakaian dan juga kardus-kardus berisi buku dan segala macam barang. Semuanya diturunkan  dan dibawa masuk kedalam rumah satu persatu.  Laras, Mala dan Dina ikut memperhatikan para pekerja itu yang tengah menurunkan perabotan  sementara Bapa sibuk memberitahu ketiga pegawai itu dimana saja perabotan-perabotan  itu harus diletakan.
"Kursi dan meja itu disimpan diruangan depan. Lemari itu masuk keruangan tengah. Tempat tidur yang itu masuk kekamar depan, dua tempat tidur itu masuk kekamar tengah. Lemari yang itu juga disimpan diruangan tengah.  Lemari pakaian besar itu masuk kekamar tidur depan. Lemari pakaian yang itu masuk kekamar tidur anak-anak." Bapa memberitahu sambil menunjuk perabotan-perabotan itu.
Mamah ikut sibuk mengatur. Dus-dus yang jumlahnya cukup banyak semuanya dibawa masuk keruangan tengah dan ditumpuk pada disudut ruangan. Akan membutuhkan banyak waktu untuk menata kembali semua barang yang ada didalam kardus itu. Dan itu bisa dikerjakan nanti bila semua perabotan sudah masuk kedalam rumah. Mamah masih ikut sibuk mengatur dimana perabotan-perabotan itu diletakan. Bapa ikut mengatur.
"Sisakan ruangan kosong diruangan tengah ini." kata Bapa. "Diruangan ini kita akan menaruh meja makan."
"Meja makan, Pa?" tanya Dina antusias.
"Ya, kalau ada rejeki nanti kita akan membeli meja makan jadi nanti kita bisa makan sambil duduk dikursi dan tidak lagi duduk bersila  diatas karpet." kata Bapa sambil tersenyum.
"Kapan membeli meja makan itu, Pa?" tanya Dina tak sabar.
"Tunggu, nanti kalau sudah ada rejekinya." kata Mamah. "Pekerjaan kita masih banyak. Kita masih harus membereskan dulu semua yang kita angkut dari rumah kontrakan kita. Dan kau pastinya harus ikut bekerja membantu Mamah."
"Ya, Mah." sahut Dina. Dia begitu gembira pindah rumah kerumah baru, dan lebih gembira lagi karena akan ada perabotan baru dirumah mereka, meja makan dan kursinya.  Sudah lama dia ingin sekali makan di meja makan seperti yang dilihatnya bila tengah bermain-main dirumah teman-temannya. Mereka rata-rata semuanya makan dimeja makan. Tidak seperti dirinya sekeluarga yang makan diatas karpet. Sering dia mengatakan hal itu pada Bapa dan Mamah. Bapa dan Mamah hanya menjawab, “Ya, nanti kita juga beli meja makan, saat ini kita masih mengontrak rumah, tempatnya sempit, tidak ada tempat untuk menaruh meja makan.”
Laras melihat tiga orang pekerja itu masih sibuk mondar mandir naik keatas truk dan masuk kedalam rumah sambil menggotong dan mengangkuti barang-barang dan segala macam perabotan satu persatu. Dia belum tahu apa yang akan dikerjakannya dan bisa dilakukannya. Mamah juga masih berdiri memperhatikan para pekerja itu yang sibuk menaruh perabotan satu persatu seperti yang diperintahkan Bapak. Mereka semua menunggu hingga semua perabotan masuk kedalam rumah, barulah mereka tahu apa yang akan mereka kerjakan. 
Dalam hatinya Laras terus menerus mengucapkan rasa syukur, akhirnya mereka sekeluarga bisa tinggal dirumah sendiri, bukan lagi menempati rumah kontrakan. Ketika tinggal dirumah kontrakan, rumah itu kecil dan sederhana. Lingkungannya menyenangkan. Tetangga-tetangga baik-baik dan ramah-ramah. Laras punya beberapa orang teman dilingkungan rumahnya yang menjadi teman bermainnya. Namun rumah itu bukan rumah mereka sendiri. Setiap tahun Bapa dan Mamah harus menyimpan uang untuk membayar rumah kontrakan mereka. Sekarang akhirnya mereka bisa menempati rumah sendiri. Rumah ini kecil namun tentunya lebih besar daripada rumah kontrakan mereka. Selain itu  rumahnya lebih bagus bila dibandingkan dengan rumah kontrakan mereka. Ada sebuah ruang tamu yang cukup memuat seperangkat kursi dan meja tamu, ada tiga  kamar tidur yang menurut mamah yang satu untuk kamar mamah dan bapa, yang satunya lagi untuk diisi Laras, Mala dan Dina, dan kamar tidur satunya lagi untuk kamar tamu bila ada sanak saudara yang menginap. Selain itu ada ruangan tengah, sebagai ruangan untuk mereka sekeluarga bila sedang bersantai. Sebuah dapur dibagian paling belakang rumah yang membuat mamah kelihatan sangat senang sekali. Dapur itu memiliki tempat menaruh kompor, tempat semacam meja dimana mamah bisa menaruh beraneka macam bumbu dan peralatan dapur, juga tempat mencuci piring yang terbuat dari keramik yang sangat cantik sekali dengan keran tempat air mengalir. Dan dua buah kamar mandi, kamar mandi yang satu terletak dibelakang didekat dapur, dan kamar mandi satunya lagi dikamar tidur Bapa dan Mamah. Dibagian paling depan dan paling belakang rumah ada teras. Dan mamah sudah berkali-kali mengatakan sudah tak sabar ingin segera mengisi teras depan dan teras belakang itu dengan aneka macam tanaman pada pot. Mamah sangat senang bertanam, namun ketika masih tinggal di rumah kontrakan dengan teras yang begitu sempit, keinginan mamah menanam beragam macam tanaman dalam pot menjadi tertahan.
“Bukan hanya tanaman dalam pot, lahan yang kita miliki masih memungkinkan buat kita menanam beberapa macam pohon yang nanti akan tumbuh besar dan meneduhi rumah ini.” Kata Bapa ketika mendengarkan keinginan Mamah yang akan menanam banyak tanaman pada pot. “Bapa akan menanam pohon mangga arumanis didepan dan dibelakang rumah ini. Sekian tahun kemudian pohon-pohon itu akan semakin tinggi dan daun-daunnya yang rimbun akan meneduhi rumah ini dibagian depan dan dibagian belakang.”
Laras, Mala dan Dina rasanya tidak sabar ingin segera melihat Bapa menanam pohon mangga itu dan membayangkan bila pohon mangga itu telah tumbuh tinggi dan berbuah mereka bisa memetika buah mangga arumanis yang manis dan harum itu dengan sesuka hati. Namun saat itu masih lama. Saat ini hanya masih sebatas angan saja. Namun angan-angan itu begitu manis. Siapa tahu kelak angan-angan itu akan menjadi kenyataan.  
 Walaupun tidak memiliki banyak tetangga seperti ketika masih tinggal di rumah kontrakan, namun Laras tahu Bapa dan Mamah pasti sama senangnya dengan anak-anaknya, akhirnya mereka bisa menempati rumah mereka sendiri.
Bapa bekerja sebagai pegawai negeri di pemerintah daerah Sumedang dengan gaji yang selalu pas-pasan setiap bulannya. Mamah selalu berusaha mengatur sebaik mungkin gaji Bapa untuk segala macam kebutuhan mereka sehari-hari, juga segala macam keperluan yang tak terduga. Dan juga menabung sekian lamanya sehingga akhirnya bisa membeli tanah dan membangun rumah ini, rumah yang sekarang akan ditempati oleh mereka. Dimata Laras, Mamah seorang ibu  yang sangat bertanggung-jawab dengan segala macam urusan dalam rumah tangga sambil mengurus tiga orang anak perempuannya,  Laras, Mala dan Dina. Mamah tidak pelit, namun Mamah selalu mengajarkan pada mereka untuk membeli barang-barang apa saja yang betul-betul mereka butuhkan. Dan anak-anak mengerti karena Mamah saat ini belum memiliki uang berlebih.
Matahari bersinar cerah. Udara terasa panas. Musim kemarau sudah berlangsung sekian bulan lamanya. Tanah-tanah mulai  terasa kering dan gersang. Pohon-pohon yang tumbuh tidak jauh dari rumahnya daunnya kelihatan telah kuning mengering karena lama sekali tidak disiram hujan. Walaupun udara terasa gerah,  namun Laras hari ini merasa sangat bahagia sekali. Ini hari pertama mereka akan menempati rumah baru mereka setelah selama ini mereka mengontrak rumah.
Laras berdiri di teras rumah, dia memperhatikan kesekeliling rumahnya. Dia hanya melihat ada tiga buah rumah lain yang letaknya cukup berjauhan dengan rumahnya. Selebihnya masih berupa tanah kosong dan kebun.  Suasana disekelilingnya terasa sepi dan sunyi. Hanya dirumahnya saja yang terlihat tengah terjadi kesibukan karena sedang pindahan. Tiga buah rumah yang bertetangga dengan mereka terlihat sunyi. Pagar-pagar kayu tertutup rapat. Suasananya jelas sangat jauh berbeda  dengan saat mereka masih mengontrak rumah, dikiri kanan rumah mereka, juga didepan dan dibelakang rumah, mereka memiliki banyak tetangga. Banyak orang lalu lalang setiap harinya. Suasana selalu hangat karena banyak orang. Tapi disini, hanya kesunyian dan desir angin saja yang dirasakannya.
"Kita tidak memiliki banyak tetangga ya, Pa." kata Laras ketika bapa keluar rumah sambil membawa dompetnya.
Bapa mengangguk. "Ya, ini masih daerah  baru. Belum banyak orang yang berniat membangun rumah disini.  Kau lihat, kita hanya memiliki tiga rumah yang bertetangga. Tapi tunggu dan lihatlah sepuluh tahun yang akan datang, didaerah ini akan dipadati dengan rumah-rumah penduduk." kata Bapak sambil mengeluarkan uang dari dalam dompetnya dan menghitungnya.
Akhirnya selesai sudah semua barang yang diangkut dari rumah kontrakan masuk kedalam rumah. Bapa membayar uang sewa truk dan  upah untuk  para pegawai yang telah bekerja mengangkuti barang dan perabotan. Sementara itu Mamah mulai  sibuk didapur bersama Laras dan Mala. Mamah sedang menanak nasi sambil menggoreng ayam. Sementara Laras dan Mala membuka sebuah dus dan mengeluarkan beberapa buah piring dan gelas dari dalam dus. Laras mencuci piring dan gelas itu sementara Mala menyapu ruangan tengah yang akan dipakai untuk tempat makan. Laras senang mencuci piring dan gelas pada tempat cucian didapur rumah baru mereka. Dia hanya perlu berdiri sambil mencuci dan air yang jernih keluar dari keran. Di rumah kontrakan dulu, bila mencuci piring dan perabotan yang kotor lainnya, dia harus duduk berjongkok  ditempat cucian didapur dimana biasa mencuci pakaian disana, dan mencuci piring dari air yang diambil dari dalam ember.
"Nah, selesai sudah semua yang kita angkut dari rumah lama sudah masuk semua." kata Bapa, kelihatan lega, menemui Mamah yang tengah sibuk didapur.
"Saatnya membereskan semua barang-barang ini agar tidak berserakan." kata Mamah, ikut merasa lega. "Tapi sebaiknya kita makan dulu. Kita  semua pasti sudah sangat lapar sekali."
"Ya, aku sangat lapar sekali." kata Mala.
"Nasi sudah matang. Kita makan duduk dilantai saja seperti biasa. Ayo Laras, ambilkan karpet dan pasang disini." kata Mamah.
Laras mengambil karpet yang terlipat disudut ruangan tengah lalu dihamparkannya ditengah ruangan.  Mamah  membawa nasi panas yang masih mengepul didalam mangkok besar.  Mamah menaruh mangkok nasi diatas lantai. Lalu menaruh ayam goreng kampung. Laras menaruh piring-piring didekat tempat nasi. Dia membawa ceret air teh yang masih panas didekat gelas lalu mengisi tiap gelas itu dengan air teh yang masih panas.
"Isi setengahnya saja, Laras. Air teh itu masih panas. Yang setengahnya lagi isi dengan air dingin." kata Mamah.
Mamah sudah menyiapkan beberapa buah air dingin didalam beberapa botol. Laras mengisi gelas-gelas itu separuhnya dengan air dingin.
"Alhamdulillah, akhirnya kita sudah pindah ke rumah kita yang baru." kata Bapa ketika mereka semua sudah duduk melingkar dilantai. "Kita harus bersyukur kepada Gusti Allah, akhirnya rumah yang kita idam-idamkan ini sekarang sudah menjadi kenyataan. Dan sekarang mari kita makan, ini adalah kali pertama kita makan dirumah baru kita."
Mamah mengambilkan nasi buat Bapak dan menaruh ayam goreng diatas nasi. Setelah itu Laras dan Mala mengambil nasi sendiri. Mamah mengambilkan nasi buat Dina. Dan terakhir Mamah mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Makan terasa sangat nikmat sekali walaupun lauk pauknya hanya satu macam, ayam goreng saja. Namun ayam goreng itu sangat lezat sekali. Ayam kampung. Dagingnya sangat enak dan empuk. Bumbu yang dibuat Mamah sangat pas sekali. Dan untuk Bapak, Mamah tidak lupa menyediakan sambal goang yang sangat pedas sekali. Setiap kali makan siang, bapa selalu ingin ada sambal. Dan sambal buatan Mamah, menurut Bapa, rasanya sangat lezat sekali.  Sambal terasi, sambal goang, sambal jahe, sambal kecap buatan mamah, memang rasanya sangat lezat sekali. Selalu sangat pedas, namun pedasnya itu yang membuat makan jadi terasa semakin nikmat.
Akhirnya makan siang selesai. Mamah mengambil satu kantong plastik dan mengeluarkan isinya, jeruk. Mamah menaruh semua jeruk diatas piring besar. Mereka menikmati jeruk yang manis dan segar itu. Acara makan selesai dan banyak sekali pekerjaan tengah menanti mereka semua.  Laras dibantu Mala mengumpulkan piring, gelas dan perabotan bekas makan yang kotor dan menaruhnya pada tempat cucian piring. Lalu laras yang  mencuci piring dan gelas yang kotor sementara Mala membereskan bekas makan di ruangan tengah, menyapu lantai dan melipat kembali karpet lalu menaruhnya disudut ruangan. Dina membantu Mala melipat karpet dan menaruhnya disudut ruangan.  Mamah menaruh mangkok nasi didapur dan ditutup dengan sehelai serbet bersih. Piring yang masih berisi sisa ayam ditutup dengan piring lagi sehingga terhindar dari debu.
"Sekarang kita membereskan kamar tidur kita masing-masing. Bersihkan dulu tempat tidur sebelum memasang kasur. Lalu pasang sprei, menyapu lantai dan mengepel." kata Mamah sambil mengambil sapu dan mulai membereskan kamar tidurnya. 
Sapu hanya ada satu untuk dibagian dalam rumah yang sedang dipakai mamah sehingga Laras dan Mala menunggu sapu selesai dipakai sambil mulai mengelap tempat tidur kayu mereka sebelum dipasangi kasur. Kamar yang mereka tempati cukup memuat dua buah dipan tempat tidur. Tempat tidur yang satu untuk Laras, sedangkan tempat tidur satunya lagi untuk Mala dan Naila.  Laras membuka jendela yang terletak diantara kepala kedua dipan itu. Halaman kecil didepan jendela masih kosong. Nanti bila semua pekerjaan didalam rumah sudah selesai, dia ingin menanami halaman kecil itu dengan beberapa macam tanaman. Atau menaruh beberapa buah pot tanaman disitu.
Ketika Mamah, Laras dan Mala sibuk bekerja dikamar tidur, Bapa mendorong lemari diruang tengah seperti sesuai dengan keinginannya. Lemari itu masih kosong sehingga mudah digeser kesana kemari.  Semua ruangan dirumah baru itu sudah terisi penuh. Ruangan tamu sudah diisi dengan meja dan kursi tamu. Ruangan tengah diisi dengan meja makan dan dua buah lemari yang nanti akan diisi dengan buku dan perabotan. Kamar depan yang bersebelahan dengan ruangan depan menjadi kamar tidur Bapa dan Mamah. Sementara kamar satunya lagi menjadi kamar Laras, Mala dan Dina.  Ketika Laras, Mala dan Dina bekerja, Mamah mengambil gorden dan memasang gorden pada semua jendela kamar. Gorden-gorden itu semuanya baru dan motifnya sama. Sementara gorden tipisnya terbuat dari bahan gorden halus berwarna putih yang sedikit berkibar ditiup angin dari luar kamar.  
“Ah, gordennya cantik sekali, Mah.” Puji Laras, merasa senang melihat motif gorden itu, warna dasarnya merah hati dengan motif bunga.
“Ya, untuk semua kamar, mamah memilih gorden dengan motif bunga-bunga, biar kelihatan segar.” Sahut Mamah sambil turun dari kursi. Memasang gorden kamar sudah selesai. Sekarang tinggal memasang gorden pada jendela depan dan jendela diruang tengah. Warna dasarnya sama merah hati tapi dengan motif bambu.”
Mamah mengeluarkan lagi gorden-gorden dari kantong plastik yang berbeda dan mulai memasang gorden-gorden itu di kaca jendela ruang tamu dan jendela ruangan tengah. Rumah kelihatan semakin cantik setelah dipasangi gorden. Sementara untuk jendela kecil didapur tidak dipasangi gorden.
“Jendela dapur tidak perlu memakai gorden karena jendelanya kecil.” Kata Mamah.
Ketika melihat rumah yang semakin cantik setelah dipasangi gorden, Bapa memuji Mamah yang pandai memilih gorden-gorden yang cantik-cantik itu. Mamah hanya tersenyum mendengar pujian Bapa.  
Dapur pun sudah tertata dengan baik. Ada lemari es dan juga rak tempat menyimpan beragam peralatan yang akan dipakai sehari-hari. Sebuah lemari rak juga terpasang didapur yang akan menyimpan beragam macam perabotan yang tidak akan dipakai.
Dikamar Mamah dan Bapa ada kamar mandinya,  sehingga kamar mandi yang dibelakang yang didekat dapur akan menjadi kamar mandi buat anak-anak. Jadi sekarang Bapa tidak akan rebutan kamar mandi lagi dengan ketiga anaknya seperti ketika masih tinggal dirumah kontrakan.  Laras senang sekali memperhatikan kamar mandi mereka yang masih baru itu. Masih bersih. Dan harum, karena Mamah sudah menggantungkan pengharum kamar mandi didindingnya.
Waktu berjalan terasa begitu cepat. Mungkin karena semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing sehingga tak terasa waktu berjalan dengan cepatnya. Tidak terasa hari sudah menjelang sore dan rumah sudah selesai dibenahi. Gorden-gorden pada setiap jendela sudah dipasang. Perabotan sudah diletakan ditempatnya masing-masing. Mamah baru saja memasang karpet diruangan tengah dan menaruh dua buah bantal besar disana.
"Bila sudah selesai pekerjaan kalian, sebaiknya kalian segera mandi, hari sudah sore." kata Mamah.
"Aku mandi duluan. Rasanya gerah sekali." kata Mala.
"Ya, nanti giliran aku." kata Dina. Dia mengeluarkan bajunya dari dalam lemari. Daster dengan motif bunga-bunga kecil kesukaannya.
Laras mandi yang terakhir. Tubuhnya terasa segar dibasuh air dingin yang segar.  Dan setelah semua selesai, dia baru memperhatikan kembali keadaan disekitar rumahnya. Terasa sunyi dan sepi. Hanya desir angin yang berhembus kencang yang membuatnya merasa dingin. Rumah baru mereka berada ditempat yang kebanyak tanah-tanahnya  masih kosong. Hanya ada tanda-tanda bahwa tanah itu ada pemiliknya, berupa kebun yang ditanami beberapa tanaman seperti singkong, ubi atau tanaman-tanaman lain sebagai ciri.  Hanya ada tiga buah rumah yang sudah berdiri yang  menjadi tetangga mereka. Dan letaknya cukup berjauhan. Diujung jalan ada sebuah pabrik penggilingan padi. Sebuah truk kelihatan parkir dihalaman pabrik itu dan beberapa orang pekerja keluar masuk kedalam pabrik itu. Suara mesin dari pabrik terdengar sampai kerumahnya. Untung aku punya Mala dan Dina, pikir Laras. Jadi aku tidak akan kesepian karena aku punya teman bermain, adik-adikku sendiri. Laras teringat ucapan Bapa tadi, sepuluh tahun yang akan datang ditempatnya sekarang ini akan banyak dipadati rumah penduduk. Laras setuju. Penduduk akan terus bertambah dan mereka akan selalu membutuhkan tempat baru untuk bermukim.
"Apakah dari sini jauh ke sekolahku, Mah?" tanya Laras.
"Tidak terlalu jauh. Jaraknya ada sekitar sekilo. Kau cukup berjalan kaki sekitar dua puluh menit dan akan segera sampai ke sekolah." sahut Mamah. "Kau lihat jalan besar itu, letaknya seperti jauh dari sini, tapi bila kau sudah terbiasa berjalan kaki melewati jalan besar itu, maka jarak ke sekolahmu itu akan terasa dekat."
"Ya, lagi pula aku tidak akan berjalan sendirian ke sekolah." sahut Laras. "Aku pastinya akan berangkat bersama-sama dengan Mala dan Dina. Tapi apakah Dina akan cukup kuat berjalan ke sekolah, Mah?"
Mamah tersenyum. "Tentu saja kuat. Dina sudah kelas dua. Dia sudah cukup kuat berjalan kaki ke sekolah. Dan jarak itu tidak akan terasa jauh karena dia pergi bersama-sama denganmu dan Mala. Pulangnya Dina juga sudah bisa sendiri karena jalanannya lurus dan dia hapal dimana dia berbelok menuju pulang ke rumah."
"Ya, Mah." Laras mengangguk. Dina bubar sekolah jam 10. Biasanya mamah akan menjemputnya jam 10. Mungkin sekarang Dina sudah bisa pulang sendiri karena jalanan yang harus dilaluinya lebih mudah untuk dihapal. Namun sekarang masih liburan sekolah. Masih dua minggu lagi untuk memulai sekolah. Laras lebih suka diam dirumah dan menikmati rumah barunya.
Laras masih berdiri diteras rumahnya ketika seorang wanita seusia ibunya, bersama anak perempuannya seusia dirinya, lewat didepan rumahnya, tersenyum padanya. Lara membalas senyumannya. Mungkin rumahnya disekitar sini, pikir Laras.
“Oh, neng penghuni rumah baru ini, ya?” Wanita itu menyapa ramah.
“Ya, bu. Hari ini kami mulai menempati rumah ini.” Sahut Laras.
Dia menyambut uluran tangan wanita itu yang mengajak bersalaman. Juga anak perempuannya.
“Mana ibumu? Kami juga tinggal disini. Itu rumah kami.” Kata wanita itu sambil menunjuk rumah yang terletak diujung kebun.
“Oh, ya.” Sahut Laras sambil bergegas masuk memanggil ibunya didapur. Tak lupa dia mempersilahkan wanita itu dan anaknya masuk kedalam rumah. Tak lama Laras keluar lagi diikuti ibunya.
“Oh, Bu. Mari masuk.” Sambut Mamah dengan gembira, akhirnya bertemu juga dengan tetangga pertama dirumah baru mereka.
“Saya ibu Nanih. Rumah saya yang itu. Kapan-kapan mampir ya, Bu. Kita sekarang bertetangga.” Kata bu Nanih ramah.
“Oh, iya. Insya Allah, kapan-kapan saya akan kerumah ibu. Senang rasanya akhirnya saya bertemu juga dengan tetangga saya.” Kata Mamah. “Niat saya juga besok atau lusa akan berkunjung kerumah tetangga-tetangga disini satu persatu sambil memperkenalkan diri sekeluarga.”
“Disini tetangganya masih jarang, Bu. Hanya ada tiga rumah yang sudah berdiri disini. Tapi bila kita melewati kebun-kebun itu, kita akan menemui banyak rumah-rumah lain.” Kata bu Nanih.
“Ya, memang tempat ini masih baru. Sementara yang dibelakang kebun-kebun itu mungkin sudah sejak lama ditempati dan banyak yang membangun rumah disana.” Kata Mamah.
Mamah dan Bu Nanih bercakap-cakap sebentar. Bu Nanih tak lupa memperkenalkan putrinya yang tengah bersamanya pada Laras dan Mamah.
“Ini putri saya, putri kedua saya, namanya Viena.”
“Ini putri saya yang sulung, namanya Laras.”
“Kelas berapa?” tanya bu Nanih.
“Kelas enam. Dan Viena?”
“Sama kelas enam juga. Sekolahnya dimana?”
“Di SD Sindangraja.”
“Lha, kalau begitu Laras satu sekolah dengan Viena. Mungkin juga mereka nanti akan sekelas. Kalian bisa berangkat sekolah bersama-sama.” Kata Bu Nanih.
“Ya.” Sahut Mamah. Laras dan Viena hanya mengangguk. Mereka masih malu-malu karena baru berkenalan.
Mamah dan bu Nanih bercakap-cakap sebentar lalu Bu Nanih pamit. Tak lupa Bu Nanih mengajak Laras main kerumahnya.
“Ya, kapan-kapan.” Sahut Laras sambil tersenyum pada Viena.
“Kita juga nanti bisa belajar bersama, Laras. Apalagi bila kita nanti ternyata satu kelas.” Kata Viena. Sekarang sikapnya sudah tidak kaku lagi.
“Ya.” Sahut Laras.  
Hari itu Bapa pulang dari kantor dengan membawa majalah anak-anak. Laras dan Mala suka berebutan membacanya, dan sekarang setelah Dina sudah belajar membaca, dia pun sering ingin membuka majalah itu.
"Hati-hati, nanti sobek. Kalian bisa membacanya bergiliran." tegur Mamah yang keluar masuk rumah beberapa kali. Mamah sedang menata tanaman-tanaman dalam pot yang dibawa dari rumah kontrakan mereka. Ada beberapa tanaman yang dikeluarkan dari dalam pot dan ditanam didalam tanah, menghiasi halaman rumah mereka yang masih kosong. Kemarin Bapa membawa rumput pemberian dari salah seorang temannya. Rumput-rumput itu sudah disebar menutupi halaman depan rumah. Perlu menunggu lama namun rumput-rumput itu nanti akan tumbuh subur dan membuat rumah terasa sejuk dengan hijaunya rumput.
Selesai mengurus tanaman Mamah kembali sibuk didapur, memasak untuk makan siang. Mamah membuat sayur lodeh, menggoreng ikan asin dan membuat asinan. Saat makan siang, Laras, Mala dan Dina menikmati makan siang mereka. Mamah menunggu Bapa pulang dari kantor dan menemani Bapa sambil makan siang bersama. Hanya saat makan malam saja mereka bisa duduk bersama lengkap sekeluarga. 
Esok paginya, pagi-pagi sekali Laras terbangun. Dia sudah mendengar kesibukan diluar kamarnya. Waktu menunjukan pukul empat lewat sepuluh menit. Mamah sudah bangun sejak dini hari, sambil menyiapkan makanan didapur,  mamah membereskan rumah. Membuka semua jendela, menyapu lantai dan mengepel. Laras membantu Mamah meneruskan menyapu dan mengepel. Rumah baru terasa lebih bersih. Udara pagi menerebos masuk lewat jendela-jendela yang terbuka lebar. Mamah memanggil Mala untuk membantu mengepel didapur. Dina tidak mau ketinggalan. Dia membantu membereska majalah-majalah yang berserakan bekas dibaca kemarin dan menumpuknya pada meja disudut ruangan.
Jam sembilan lebih Mamah terlihat rapi. Mamah memakai baju untuk keluar rumah dan berdandan.
"Mamah dan Bapa akan pergi dulu. Kalian tinggal disini, jangan kemana-mana." kata Mamah.
Bapa mengeluarkan motornya, motor vesva  berwarna hijau. Motor Vesva itu kebanggaan Bapa. Bapa membelinya beberapa tahun lalu.
"Mamah mau kemana?" tanya Dina.
"Kalian tunggu saja. Dan lihat nanti apa yang Mamah bawa." kata Mamah sambil tersenyum. Mamah duduk pada boncengan. Tak lama kemudian Vesva yang dikemudikan Bapa sudah melaju meninggalkan rumah.
Selama menunggu Mamah dan Bapa pulang, Laras mengajak Mala dan Dina membereskan buku-buku pelajaran mereka yang masih tersimpan didalam kardus-kardus. Buku-buku itu diletakan dengan rapi diatas meja belajar satu-satunya yang ada dikamar mereka. Laras dan Mala biasa duduk bergantian diatas meja belajar itu. Laras meletakan lampu duduk yang biasa menemaninya belajar.
Mereka masih sibuk mengurus pekerjaan mereka ketika terdengar suara vesva Bapa masuk kehalaman rumah. Ketiganya berlari kedepan rumah, ingin melihat apa yang dibawa Mamah dan Bapa. Ternyata Mamah dan Bapa tidak membawa apa-apa.
"Ah, katanya Mamah mau membawa sesuatu." kata Mala ketika melihat tangan Mamah yang tidak membawa apa-apa seperti ketika sepulang dari pasar.
Mamah tersenyum. "Tunggu sebentar lagi." kata Mamah sambil masuk kedalam rumah.
Ketiganya menunggu didepan rumah. Mereka tak sabar ingin melihat apa yang akan datang kerumah mereka. Tak lama kemudian sebuah mobil bak terbuka datang dan berhenti didepan rumah. Ketiganya serempak berdiri. Mereka penasaran ingin melihat apa yang dibawa oleh mobil bak terbuka itu. Mereka melihat kursi dan meja makan.
"Ah, akhirnya Mamah dan Bapa membeli meja makan." seru Mala gembira.
Bapa tertawa. "Yah, Bapa kan sudah bilang kita akan membeli meja makan."
"Dan aku akan makan sambil duduk di meja makan." kata Dina gembira.
"Kita semua akan makan sambil duduk dikursi, dan tidak lagi duduk lesehan diatas karpet." kata Bapa masih tertawa. Terlihat wajahnya sangat gembira, akhirnya Bapa bisa memenuhi keinginan anak-anaknya yang ingin makan di meja makan.
Pegawai menurunkan meja makan dan enam  buah kursi. Lalu mengangkutnya keruangan tengah. Mamah mengatur letak meja makan dan kursinya. Tak lama ruangan tengah itu sudah terasa berbeda dengan keberadaan meja makan dan keenam kursi yang mengelilinginya. Meja makan itu terbuat dari kayu cokelat yang halus. Ada ukiran pada keempat tepinya. Kursinya terbuat dari kayu yang ada ukiran juga pada bagian sandarannya. Bantalan kursinya berwarna gading. Sangat cantik sekali. Setelah meja makan dan kursi itu terpasang, Laras, Mala dan Dina duduk masing-masing pada kursi dan duduk mengelilingi meja makan. Mereka berceloteh dengan gembira. Mamah tersenyum melihat kegembiraan pada wajah anak-anaknya.
“Ayo Laras, bantu Mamah memasang dulu taplak meja makannya.” Kata Mamah sambil mengambil taplak meja berwarna gading dengan bordiran pada seluruh sisinya. Laras bangkit dan membantu Mamah merentangkan taplak meja itu sehingga terpasang rapi.
“Cantik sekali taplak meja ini, Mah. Dimana belinya?” tanya Mala sambil memegangi salah satu ujung taplak meja dan memperhatikan bordilannya.
“Dibeli dari Ibu Surya.” Sahut Mamah.
Ibu Surya adalah kenalan Mamah ketika masih tinggal dirumah kontrakan. Ibu Surya sering membawa bermacam-macam barang, kain, taplak meja, batik, dan segala macam peralatan rumah tangga. Banyak ibu-ibu langganannya. Mereka bisa membeli secara kontan maupun dicicil. Namun kebanyakan mereka membeli secara dicicil, dua kali atau tiga kali pembayaran dengan harga yang lebih tinggi dibanding dengan membeli secara kontan. Mamah sering juga membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga dari ibu Surya. Apabila sedang tidak mempunyai uang, Mamah pun sering membayar dengan cara mencicil walaupun harganya lebih mahal sedikit.
Malam itu, untuk pertama kalinya mereka makan sekeluarga sambil duduk mengelilingi meja makan. Bapa duduk pada kursi yang paling kiri, berhadapan dengan Mamah. Laras duduk disamping Bapa. Dina duduk disamping Mamah. Sementara Mala duduk pada kursi yang ujung diantara Mamah dan Bapa. Mamah membuat sop ayam, tempe goreng berbalut tepung, kerupuk udang dan sambal goang. Mereka semua menikmati makan dengan penuh kegembiraan.
Berkali-kali Bapa tersenyum sambil melirik Mamah ketika menyaksikan anak-anaknya makan dengan lahap di meja makan. Laras mengerti arti senyum Bapa.
“Alhamdulillah, akhirnya kita bisa juga makan sambil duduk di kursi ya, Mah.” Kata Laras sambil tersenyum pada ibunya. 
Mamah tersenyum. “Yah, makan sambil duduk diatas karpet nikmat, dan sekarang makan sambil duduk dikursi pun nikmat. Selalu bersyukur dengan segala kondisi apapun yang diberikan Gusti Allah kepada kita. Dengan selalu bersyukur Gusti Allah akan selalu menambah nikmat-nikmatNya yang diberikannya kepada umat-Nya, Insya Allah.”
“Amien.” Bapa mengamini yang diikuti oleh ketiga anaknya mengucapkan amien.  
Hari masih pagi. Udara terasa dingin dan sejuk. Laras mendengar mamah sudah sibuk dengan pekerjaan rutin setiap pagi. Membuka jendela-jendela, menyapu, mengepel, sementara didapur nasi tengah ditanak dan telah mengepul panas. Lauk pauk untuk sarapan pagi biasanya telur ceplok atau telur dadar saja. Laras membuka jendela kamarnya. Udara segar masuk memenuhi kamarnya.   Dia membereskan tempat tidurnya sambil membangungan Mala dan Dina yang masih tidur.
“Ayo bangun, sudah siang. Kalian mandi duluan agar nanti tidak rebutan kamar mandi.” Kata Laras sambil menyibakan selimut yang menutupi tubuh Mala dan Dina.
“Jangan. Dingin.” Mala menarik kembali selimut yang ditarik Laras, selimut itu menyelimuti lagi tubuhnya.
“Jangan malas-malasan. Ayo bangun.” Laras menarik lagi selimut Mala. Setengah merengut Mala bangun. Dia melihat keluar jendela. Diluar kelihatan  masih gelap.
“Masih gelap, kenapa harus bangun cepat-cepat?” gerutu Mala.
“Sudah jam 5. Ayam sudah berkokok sejak subuh tadi. Artinya hari sudah siang.” Kata Laras yang sambil bicara terus membereskan tempat tidurnya, melipat selimut dan merapikan seprei. Lalu dia keluar kamar dan membantu Mamah didapur.
“Kamu mandi saja, Laras. Seragammu sudah kau siapkan?” tanya Mamah.
“Sudah, Mah.”
Mereka mandi bergantian. Airnya terasa sangat dingin sekali. Rasanya malas mandi pagi. Namun ketika selesai mandi, tubuh terasa sangat segar sekali dan mereka masih punya cukup waktu untuk menyiapkan diri ke sekolah, mengecek buku-buku pelajaran yang akan dibawa, mengecek kembali pekerjaan rumah, dan sarapan. Mereka duduk menghadapi meja makan. Diatas meja makan sudah terhidang nasi goreng yang masih mengepul panas dan kerupuk udang yang renyah. Semuanya duduk menikmati sarapan pagi, kecuali Mamah. Setiap pagi, dihari-hari sekolah dan kerja, hanya Mamah yang tidak ikut sarapan. Mamah selalu sibuk menyiapkan ini itu. Jadi Mamah hampir tidak pernah ikut sarapan bersama suami dan ketiga anaknya. Tak lama mereka semua pamitan. Bapa pergi ke kantor, mengendarai vesvanya, sementara Laras, Mala dan Dina berjalan bersama-sama menuju sekolah mereka. Berkali-kali Mamah berpesan pada Dina agar pulangnya nanti hati-hati di jalan. Rumah sepi ketika penghuninya hanya tinggal Mamah. Namun Mamah pastinya tak akan pernah kesepian setelah suami dan anak-anak semua keluar rumah. Ada setumpuk pekerjaan yang menunggu tangan Mamah untuk mengerjakannya. Mencuci pakaian,  membereskan rumah, menyapu, mengepel, menyetrika, dan menyiapkan masakan untuk suami dan anak-anak bila mereka telah kembali pulang kerumah nanti. 

Setiap hari Laras dan Mala sepulang sekolah sibuk membantu Mamah. Mamah sangat disiplin namun selalu mengajarkan banyak hal pada anak-anaknya. Sumedang sebuah kota kecil yang tidak terlalu ramai. Tidak banyak mobil, motor dan kendaraan lain yang melintasi jalanan Sumedang. Juga belum ada angkutan umum didalam kota, bila orang akan bepergian menggunakan kendaraan, ada becak dan delman. Nama sekolah Laras sama dengan nama daerah tempatnya yaitu Sindangraja. Laras senang bersekekolah di SD-nya. Dia ikutan pramuka, ikut latihan basket, dan kegiatan yang paling disukainya adalah latihan degung. Ibu Endang, guru kesenian sudah menunjuk beberapa orang anak kelas lima untuk berlatih degung. Seminggu tiga kali setiap sore sepulang sekolah mereka latihan degung.
Dirumah Laras belajar membuat bunga dari benang wol. Juga belajar menyulam dan merajut. Mamah memiliki beberapa keterampilan. Diwaktu senggang mamah sangat senang menjahit atau merajut. Mamah yang menjahitkan pakaian ketiga anaknya. Juga merajut taplak meja dan sarung bantal kursi. Diakhir bulan, mereka kadang berkunjung kerumah aki dan nini yang berada di Buahdua.
Disepanjang jalan pergi dan pulang sekolah, Laras sering memperhatikan pohon majoni yang tumbuh tinggi di kiri kanan jalan hingga akhirnya suatu hari dia melihat beberapa petugas tengah menebang pohon mahoni satu persatu sehingga jalanan yang semula terasa teduh dan rindang berubah menjadi panas dan gersang. Jalan menjadi panas dan terang oleh sinar matahari. Tidak lagi rimbun dan teduh. Laras menceritakan hal itu pada Bapa.
"Akan ada pelebaran jalan." kata Bapa menjelaskan. "Nanti dikiri kanan jalan akan dibuat trotoar untuk para pejalan kaki sehingga para pejalan kaki akan aman berjalan dipinggir jalan tidak khawatir dengan lalu lintas kendaraan dijalanan."
Laras merasa kehilangan pohon-pohon mahoni itu yang selama ini menaunginya setiap dia pulang sekolah ditengah hari. Bahkan pohon mahoni didepan sekolah pun ikut ditebang. Sebelumnya dibawah pohon mahoni itu mangkal tukang cendol dan tukang baso. Tidak banyak pedagang yang mangkal didepan sekolah. Dan tukang cendol itu adalah satu dari tiga orang pedagang yang biasa mangkal didepan sekolah. 
Sebulan kemudian Laras melihat beberapa pekerja mulai sibuk bekerja membenahi jalanan yang akan dijadikan trotoar. Jalan yang akan dibuat trotoar diperlebar dan dibenahi dari tunggul-tunggul pohon yang masih tersisa. Lalu paving block mulai dipasang dikiri kanan jalan raya. Jalanan terlihat lebih lebar dan pejalan kaki nanti akan merasa lebih nyaman berjalan kaki diatas trotoar itu. Namun bagi Laras terasa ada yang hilang. Memang ada hal baru sebagai gantinya, namun keteduhan yang diberikan pohon-pohon mahoni selama ini tidak akan tergantikan. Keteduhan disepanjang sisi kiri kanan jalan kini sudah tidak ada lagi. Namun ketika trotoar itu telah selesai dibuat, Laras melihat pada jarak tertentu ditengah-tengah trotoar ada sebuah tempat segi empat yang disemen, didalamnya  ditanami dengan pohon-pohon kecil. Kelak pohon itu akan tumbuh tinggi dan besar menggantikan pohon-pohon mahoni yang ditebang itu. 

bersambung...