Sabtu, 31 Mei 2014

Merpati Kayu















Ditepi pantai Pangandaran yang panas bermandikan sinar mentari yang terik, Bima, pemuda jangkung berambut gondrong,  menarik layang-layang besar diantara ratusan layang-layang lainnya dengan berbagai ukuran dan bentuk yang memenuhi langit biru yang cerah. Intan, gadis cantik berambut ikal sebahu,   menemani Bima sambil membantu menggulungkan   benang dan mengawasi layang-layang mereka yang melayang-layang di langit.  Keduanya asyik bermain layang-layang berbaur dengan  peserta lainnya di arena festival layang-layang yang diadakan di tepi pantai Pangandaran.
Ratusan layang-layang beragam ukuran dan bentuk memenuhi langit yang biru dan jernih. Udara sangat panas. Matahari bersinar terik.  Namun keduanya tak menghiraukan panasnya udara dan teriknya sinar mentari. Keduanya ceria dan gembira. Beragam bentuk layang-layang dan berbagai ukuran memenuhi langit. Layang-layang berbentuk naga, ular, topeng, wayang dan aneka bentuk layang-layang lainnya menghiasi langit. Seharian itu semuanya larut dalam kegembiraan bersama.
Sore harinya Bima dan Intan   duduk berdampingan di tembok ditepi pantai sambil menghadap ke laut. Debur ombak sesekali memecah pantai meninggalkan buih-buih putih seperti kapas. Langit semburat merah dengan lembayung.  
“Barangkali ini terakhir kali kita liburan bersama sebelum kita berpisah, Tan. Kau kuliah di Bandung dan aku kuliah di Jogya. Kenapa kita tidak bisa terus bersama seperti ini, Tan?” ucap  Bima separuh mengeluh.
Intan menatap jauh ke laut hingga ke batas cakrawala. Ada kesedihan yang mengusik perasaannya mendengar ucapan Bima. Tenggorokannya terasa sakit menahan tangis yang ditahannya. Tidak, aku harus kelihatan tegar. Aku tak boleh kelihatan bersedih. Bima pasti akan terpengaruh bila melihat aku menangis. Intan  membatin dalam hatinya.   
“Kita turuti saja keinginan ayah, Bima. Bukankah kita masih bisa bertemu walaupun kita sudah terpisah? Bandung dan Jogya tidak jauh. Kita masih bisa bertemu kapanpun bila kita ingin bertemu. Dan tentunya tempat kita pulang masih tetap Sumedang. Di Sumedang kita masih akan selalu bertemu.” Ucap Intan  lirih.
“Sejak  dulu aku sudah punya rencana ingin kuliah di Bandung bersamamu walaupun missal kita tidak kuliah di perguruan tinggi yang sama. Kenapa ayah harus memisahkan kita seperti ini? Tidak adakah cara lain yang lebih baik selain memisahkan kita?”
“Kita saudara,  Bima. Itu yang harus kau sadari.”
“Kita ini hanya saudara angkat, Tan. Itu tidak salah bila kita saling mencintai.”
“Tapi ayah  kita sama, Bima.”
“Memang betul ayah  kita sama, Intan. Tapi aku anak kandung ayah  sementara  kau hanya anak angkat ayah. Itu berbeda, Tan. Kita tidak memiliki hubungan darah. Ayah  tahu ini. Kenapa ayah  mencoba mengingkari kenyataan ini? Tak ada yang salah apabila kita saling mencintai.”
Debur ombak semakin keras memecah bibir pantai. Suara deburannya menggetarkan perasaan.  Intan  diam. Matanya terasa pedih.  Angin bertiup kencang mempermainkan rambut mereka.
“Ayah, ibu Winda dan mamaku  harus tahu, tidak ada yang salah dengan cinta kita, Tan.  Ayah  memiliki dua istri  dan memiliki dua anak dalam perkawinan yang berbeda.  Aku anak kandung ayah dengan mamaku sementara kau anak angkat ayah  dengan ibu Winda. Ayahku adalah ayah  angkatmu. Bagaimanapun kita tetap bukan saudara kandung. Kita tidak punya hubungan darah. Kau dan aku   saudara angkat. Tak ada yang salah bila kita saling mencintai.
“Bima, aku tak berani melawan ayah. Aku juga tak bisa menentang pada ibu  Winda dan mama Ratna. Mereka semua tak setuju kita menjalin hubungan. Ini menyangkut masa depan kita, Bima. Apa yang terjadi dengan kita, dengan masa depan kita, apabila kita tetap memaksakan berhubungan sementara orangtua kita tidak menyetujui hubungan kita? Aku takut dan aku tak berani membantah sedikitpun.” Airmata Intan  berlinang. Kini dia sudah tak bisa lagi menahan tangisnya. Dadanya terasa sesak. Betapapun kesedihan dan kekecewaan yang tengah dirasakan Bima, dirasakan pula olehnya. Dia mengerti dengan segala kesedihan dan kekecewaan Bima.
“Bima, ayah  dan ibu  Winda sudah memberikan segalanya yang terbaik untukku. Aku dirawat sejak bayi oleh ibu  Winda dan ayah. Ibu  Winda dan ayah  memberikan kasih sayang yang tulus yang membuatku tak percaya ketika kemudian ayah  dan ibu Winda  memberitahuku bahwa aku sebenarnya bukan anak kandung mereka.” Intan terisak pelan.  “Ibu kandungku melahirkanku dirumah ayah  dan ibu Winda. Ibu  Winda yang membantu persalinanku. Ibuku meninggal. Hingga sekarang aku tidak tahu wajah ibu kandungku yang telah melahirkan aku. Ayahku pergi entah kemana. Hingga saat ini aku tidak tahu dimana ayah kandungku berada. Kenyataan itu sudah membuatku sakit dan sedih, Bim. Namun semua itu terobati karena ayah  dan ibu  Winda sangat menyayangi aku seperti menyayangi anak kandungnya sendiri.”
Bima terdiam. Tatapannya jauh melayang ketengah lautan yang biru. Senja semakin merambat. Matahari sebentar lagi akan terbenam. Senja akan segera berganti malam. Namun sepanjang pantai semakin banyak wisatawan yang duduk-duduk disepanjang tepi pantai memperhatikan detik demi detik tenggelamnya sang mentari.  
“Semuanya harus mau memahami bahwa kita saling mencintai, Intan.” Ucap Bima pelan.
“Itu tidak mudah, Bima. Kau berharap mereka semuanya mau memahami kita, namun kenapa kita sendiri tidak bisa memahami bagaimana galaunya perasan mereka ketika mereka mengetahui kita saling mencintai? Dapatkah kita memahami kecemasan dan kekhawatiran mereka dalam menghadapi dan menyikapi hubungan kita? Setiap kali kita bersama, mereka selalu merasa cemas dan khawatir. Dan ini sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Bima, kita harus menghormati keputusan mereka. Orangtua pasti punya alasan kenapa mereka tidak menyetujui hubungan kita ini. Ini menyangkut kehormatan dan harga diri keluarga kita. Apa jadinya bila kedua anaknya, walaupun saudara angkat, saling mencintai?”
Bima diam. Wajahnya kelihatan muram.
“Bima, sebaiknya kita menuruti  keinginan ayah. Ayah sudah menyiapkan masa depan yang baik untuk kita. Kasihan ayah. Ayah sudah bersusah payah menyediakan biaya untuk menyekolahkan kita yang tentunya bukan biaya yang sedikit menyekolahkan dua anaknya sekaligus di perguruan tinggi. Kewajiban kita saat ini adalah kita bersekolah dan menyelesaikan pendidikan dengan sebaik-baiknya. Kedepannya kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dengan kehidupan kita dimasa depan. Biarkanlah waktu berjalan dan kita menjalaninya dengan sebaiknya-baiknya. Bila Allah mentakdirkan kita untuk tetap bersama, Allah akan mengatur segalanya yang terbaik untuk kita dan akan memberikan jalan.”
“Sejak dulu aku ingin kuliah di Bandung bersamamu, Tan. Namun setelah ayah  tahu kita berhubungan,  ayah  tidak setuju aku kuliah di Bandung. Ayah  memutuskan aku harus kuliah di Jogya seperti ayah  dulu kuliah di Jogya. Itu cara ayah untuk memisahkan kita. Kalau saja kau juga kuliah di Jogya bersama aku,  aku pasti akan betah disana.”
Intan tersenyum mendengar ucapan Bima. “Ayah sudah memutuskan yang terbaik untukmu, Bima.”
“Aku pasti tidak akan betah di Jogya. Aku pasti ingat kamu terus dan ingin sering mengunjungimu ke Bandung.”
“Itu ucapanmu sekarang, Bima. Kau yakin di Jogya kau tak akan betah? Hem, aku tidak percaya dan tidak yakin. Disana kau kau akan menemukan banyak pengalaman baru dan bertemu banyak gadis-gadis yang menarik dan akan membuatmu lupa pulang.” Intan mencubit pipi Bima membuat pemuda itu jadi tersenyum.
“Tapi pastinya tidak ada yang sepertimu.” Ucap Bima merajuk.
“Itu gombal. Setelah kau tinggal di Jogya, pikiranmu akan segera berubah. Kehidupan selalu menyediakan banyak pilihan buat kita.  Bertemu dengan teman baru, tinggal dalam lingkungan baru, bertemu dengan kehidupan sosial yang berbeda akan membuatmu  berubah pikiran. Aku tak ingin kamu menjadi lelaki cengeng, Bima. Kau tahu sendiri kehidupanku tidak seindah yang kuinginkan. Namun aku selalu bersyukur aku  punya ayah dan ibu  Winda yang menyayangi aku seperti pada anak kandungnya sendiri. Namun disisi lain aku tumbuh menjadi gadis yang sering merenungi kehidupanku sendiri. Dapatkah kau mencoba sejenak saja menempatkan dirimu seandainya kau yang menjadi aku?  Aku tak pernah tahu wajah ibuku yang telah melahirkanku, aku tak tahu dimana ayahku kini berada. Namun kehidupanku harus terus berjalan. Aku tak boleh terus menerus merenungi nasibku. Aku harus terus melangkah dan mengisi hidupku dengan sebaik-baiknya.” Airmata Intan  berlinang membasahi pipinya.
Bima memegang tangan Intan. “Intan,  kau mau menunggu aku hingga aku selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan? Setelah aku mendapatkan pekerjaan, aku ingin segera menikah denganmu. Itu tekadku.”
“Ya, Bima. Aku mau menunggumu. Berapa tahun aku harus menunggumu? Lima tahun hingga kita selesai sekolah? Ataukah tujuh tahun? Ataukah sepuluh tahun?” Intan memandang Bima terharu dengan kesungguhan pemuda itu.
“Aku berjanji akan menyelesaikan kuliahku tepat waktu dan segera mencari pekerjaan. Aku punya impian dan harapan indah bersamamu, Intan.   Tidak ada yang mudah didunia ini, Tan. Dan aku ingin engkau tetap percaya bahwa aku mencintaimu dan siap menghadapi semua halangan dan rintangan yang akan kita hadapi. Apa yang tengah kita hadapi saat ini adalah ujian untuk menguji kesungguhan kita dalam menjalani hubungan ini.”
“Aku  percaya padamu, Bima. Itu sebabnya aku mau menunggumu.” Intan  tersenyum dalam deraian airmatanya.
“Sungguh?”
“Ya.”
“Walaupun nanti ayah, ibu  Winda dan mamaku tetap tak akan menyetujui hubungan kita?” desak Bima.
“Itu masalah nanti. Masalah kita sekarang adalah kuliah dan membuktikan pada orangtua kita bahwa kita akan tekun menuntut ilmu. Oke?”
Bima tersenyum. Dia memeluk Intan dan mencium pipinya.  “Intan,  tahu enggak, kenapa aku yakin bahwa masa depanku akan bahagia bila bersamamu?”
“Pasti gombal lagi.”  Intan tertawa.
“Aku serius, Tan. Aku tahu engkau akan selalu menjadi penyemangat dalam hidupku. Aku percaya kamu, Tan. Kita bersama-sama sudah  tidak terhitungan hari. Sejak kecil kita sudah bersama. Dan engkau selalu hadir menjadi penyemangatku  dikala aku tengah sedih atau terpuruk.”
Intan  hanya tersenyum mendengar ucapan Bima. Debur ombak memecah pantai. Langit merah dengan lembayung. Beberapa nelayan tengah menarik sampannya ketepi pantai.  Bima dan Intan  berjalan disepanjang tepi pantai sambil berpegangan tangan. Angin laut yang keras menerpa rambut mereka. Hidup terasa indah saat tengah bersama seperti ini. Sayang segalanya sekarang akan segera berakhir.
Bima semakin erat menggenggam tangan Intan. Intan membalas genggaman tangannya. Tuhan, andaikan kehidupan ini selalu sesuai dengan keinginan dan harapan, rasanya aku tak ingin berpisah dengan Bima, aku hanya ingin terus sepanjang hari bersamanya, menikmati hari-hari selalu bersama-sama seperti waktu-waktu kami selama ini yang selalu bersama-sama. Langkah kakinya terasa lemah mengikuti langkah kaki Bima yang terus melangkah sepanjang tepi pantai. Angin laut terasa berhembus kencang. Keduanya saling berpegangan tangan erat. Rasanya berat menghadapi perpisahan yang terpaksa harus dihadapi. Mata Intan memerah. Dia ingin menangis. Namun dia tak ingin terlihat rapuh didepan Bima. Dia harus terlihat tegar agar ketegarannya mampu membangkitkan semangat Bima kembali.   


----- 0 ----


Intan  memasukan baju-bajunya kedalam tas besar dan sebuah koper. Winda  masuk kedalam kamar anaknya. Winda duduk ditepi tempat tidur memperhatikan Intan   yang  tengah sibuk mengepak barang-barang yang akan dibawanya.
“Intan, ibu  percaya engkau mengerti dengan keadaan ini.  Konsentrasilah dengan kuliahmu di Bandung. Lupakan Bima.” Ucap Winda. Matanya merah bekas menangis. Sepanjang hari ini dia menangis terus. Naluri keibuannya terasa terkoyak. Dia sangat memahami bagaimana Intan dan Bima saling mencintai. Mungkin cinta itu sudah jauh-jauh hari ada diantara mereka, jauh sebelum orangtua mereka menyadari hal itu. Dan sekarang cinta itu terpaksa harus diputuskan. Sebagai orangtua, Gilar, Ratna dan dirinya sangat khawatir dengan hubungan mereka. Namun sebagai seorang ibu, dia sendiri tidak tega memutuskan cinta keduanya. Kenapa dia tak bisa membiarkan cinta kedua anak itu terus tumbuh dan bersemi dengan indah. Mereka tidak melakukan cinta terlarang. Hubungan Bima dan Intan hanyalah sebagai saudara angkat saja. Mereka bisa terus melanjutkan hubungan mereka. Namun Gilar, suaminya tak setuju dengan hubungan keduanya dan menganggap hal itu sangat mencoreng kehormatan keluarga.
“Ya, bu.” Intan menyahut pelan tanpa mengalihkan perhatiannya dari pekerjaannya. Hanya beberapa setel baju yang dibawanya.
“Kau kuliah  di Bandung. Bima kuliah di Jogya. Ini sesuai dengan keinginan ayah. Jarak akan membuat kalian saling melupakan.” Ucap Winda. “Ayah tidak salah bila ayah  menentang hubungan kalian. Walaupun kau dan Bima tidak ada hubungan darah, namun sejak bayi kalian sudah saudara. Kalian saudara angkat. Betapa malunya ayah  dan ibu  bila kalian saling menjalin hubungan sementara semua orang tahu kalian adalah anak ayah walaupun berbeda ibu.”
Bunyi  sepasang ukiran merpati kayu  yang tergantung dilangit-langit kamarnya beradu lembut dihembus angin. Intan  menatap sepasang merpati kayu  itu. Sepasang merpati kayu yang diukir dengan halus. Damanik, seorang pengukir, teman Bima,  membuatkan ukira sepasang merpati kayu itu untuk Bima. Bima menghadiahkan ukiran sepasang merpati untuknya. Bima sendiri yang membuatkan rantai pada sepasang merpati kayu itu dan menggantungkannya dilangit-langit ditengah kamarnya. Bila angin berhembus, sepasang merpati itu beradu lembut.  
Intan memegang kedua merpati kayu  itu dengan kedua tangannya. Dia memanjat keatas kursi dan melepaskan kaitannya pada langit-langit kamarnya.  Dia akan memasangnya dikamar kostnya di Bandung nanti.  Dimasukannya sepasang ukiran merpati kayu  itu kedalam kopernya.
Intan memeluk Winda. Sepasang matanya membasah. “Ibu percaya padaku. Aku akan selalu menuruti keinginan ayah dan ibu.”  
Winda membalas pelukan Intan. “Ibu percaya kamu, Intan. Kamu pasti bisa memahami keinginan ayah. Semua tergantung kamu. Bila kamu menjauhi Bima, Bima pasti tidak akan memaksamu. Bima pasti akhirnya akan mengerti juga bahwa hubungan kalian ini sesuatu yang tidak mungkin.”
“Ya, bu.” Intan menyahut lirih. Menahan rasa pedih yang terasa mengoyak dadanya.
Winda tersenyum memeluk Intan. “Ibu tahu kamu pun mencintai Bima. Namun kau harus memahami, jangan sampai cinta kalian membuat keadaan keluarga kita menjadi kacau.”
“Ya, bu.”
“Mang Udin akan mengantarmu sampai ketempat kostmu di  Bandung. Lusa mungkin Bima pun akan berangkat ke Jogya. Kalian akan belajar saling melupakan dan menghadapi kenyataan. Nanti kalian akan bertemu dengan yang lain dan menjalin hubungan dengan yang lain.”
“Ya, bu.” Intan melayangkan pandangannya keluar jendela kamarnya. Pada rumah sebelah. Pada kamar dilantai atas yang jendelanya terbuka separuh. Itu kamar Bima. Matanya membasah. Perlahan dia menutup jendela kamarnya dan menarik gorden.  
Mobil sudah menunggunya dihalaman rumah yang akan mengantarnya ke Bandung. Winda mengantar Intan sampai teras depan. Intan  masuk kedalam mobil.  Perlahan mobil itu meninggalkan halaman rumah. Intan  termenung didalam mobil. Matanya melayang keluar jendela mobil. Airmatanya mengalir. Ini kali pertama dia jatuh cinta, namun ternyata cintanya jatuh pada tempat yang salah.
Mang Udin menyetir tanpa banyak cakap. Namun sesekali matanya melihat pada kaca dan melihat Intan  yang duduk diam dijok belakang. Dari Minah, dia mendengar bahwa keluarga majikannya sedang galau karena kedua anaknya saling mencintai. Dari Minah pula mang Udin baru tahu bahwa sebenarnya Intan bukan anak kandung bapak Gilar dan bu Winda. Perasaannya trenyuh. Intan gadis yang baik. Dan sekarang gadis yang baik itu tengah duduk di jok belakang sambil melamun dengan tatapan yang sedih. Mobil melaju semakin kencang. Mang Udin seakan turut merasakan kesedihan yang tengah dirasakan Intan.  
“Mudah-mudahan kuliahnya segera selesai ya, neng.” Kata Mang Udin mengusik lamunan Intan.
Intan tersenyum. “Kuliahnya juga baru mau masuk, mang Udin. Iya mudah-mudahan saya bisa tepat waktu menyelesaikan sekolah saya.” Ucap Intan. Dia menghapus airmatanya.
“Neng jangan sedih begitu. Neng bisa sering pulang ke Sumedang bila neng mau. Sumedang kan dekat dari Bandung.”
“Iya, mang. Saya sedih karena saya pasti selalu kangen pada Sumedang.” Ucap Intan lirih.
Mobil melaju semakin kencang. Intan kembali melayangkan tatapannya keluar jendela. Bukan meninggalkan Sumedang yang membuatku sedih dan menangis, mang Udin. Namun perpisahan dengan orang yang kucintai yang membuatku sedih dan menangis. Intan menghapus airmatanya kembali.


----- 0 -----


Bima melewati ruangan tengah menuju kamarnya yang dilantai atas. Gilar, ayahnya tengah duduk disana sambil merokok.
“Bima, segala sesuatunya sudah kau persiapkan untuk keberangkatanmu besok ke Jogya?” tegur Gilar ketika melihat anaknya berjalan melintas.
“Sudah, yah.” sahut Bima.
“Ayah yakin, kau pasti akan betah kuliah di Jogya. Ayah juga dulu kuliah di Jogya.” Ucap Gilar seakan ingin mencairkan kebekuan hubungannya dengan Gilar yang akhir-akhir ini terasa tegang.
Bima tidak menyahut. Dia terus melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya. Gilar ingin memanggil anaknya, namun Ratna, istrinya yang tiba-tiba muncul memberi isyarat agar dia tidak banyak bertanya pada anaknya.
“Sudah, yah. Biarkan Bima membereskan apa yang akan dibawanya ke Jogya besok.” Ucap Ratna.
“Anak itu marah sama ayah.” Ucap Gilar seperti kesal merasa tidak digubris oleh anak laki-lakinya.
Ratna tidak berkomentar. Dia menaruh secangkir kopi hitam yang masih mengepul panas diatas meja dihadapan suaminya. Dia sudah malas membicarakan persoalan Bima  dengan Intan yang terus menerus dibahas oleh suaminya yang menjadi marah-marah terus.
Didalam kamarnya dilantai atas, Bima mengepak baju-bajunya kedalam koper. Sesaat dipandangnya sketsa-sketsa lukisannya yang belum selesai. Dia sudah kehilangan semangatnya lagi untuk merampungkan lukisan-lukisannya yang biasanya dia kerjakan diwaktu senggangnya. Biasanya Intan  suka  menemaninya menyelesaikan lukisan-lukisannya. Namun kini gadis yang selalu menemaninya telah pergi lebih dahulu ke Bandung. Mereka harus berpisah untuk waktu yang lama. Bima merenung sejenak. Akhirnya dia mengumpulkan juga kuas-kuas dan peralatan melukisnya dan memasukannya kedalam ranselnya. Siapa tahu di Jogya dia kangen ingin melukis dan bisa mengisi waktu senggangnya dengan melukis. Siapa tahu melukis bisa melupakan rasa kangennya pada Intan.
Bima  membuka jendela kamarnya. Matanya melayang pada kamar dirumah sebelah yang juga terletak diloteng. Jendela kamarnya berhadapan dengan jendela kamar itu. Kamar Intan.  Kamar dirumah sebelah itu sudah terlihat sepi. Lampunya padam. Gordennya tertutup rapat. Dia sudah tidak akan saling melihat lagi bersama Intan. Intan   sudah berangkat ke Bandung.  Bima menarik napas dalam. Ratna, ibunya masuk kedalam kamar. Ratna memperhatikan Bima  yang terlihat murung sambil memandang keluar kamarnya. Ratna tahu kemana arah pandangan Bima. Dia mengelus bahu anaknya.
“Jangan murung begitu, Bima. Intan sudah berangkat ke Bandung kemarin. Lupakanlah Intan. Dia bukan gadis untukmu. Diluar sana masih banyak gadis lain yang akan segera engkau temukan.  Kuliahlah dengan baik. Masa depanmu masih panjang.  Di Jogya kau pasti betah. Jangan kecewakan ayahmu, Bima.”
Bima menatap ibunya. Dia duduk ditepi tempat tidur sambil memandang ibunya.
“Ma, mama bilang aku jangan mengecewakan ayah? Namun ayah telah membuatku kecewa. Apa salahnya aku dan Intan   saling mencintai? Aku dan Intan  hanya saudara angkat. Kenapa cinta kami harus diputuskan dan dijauhkan seperti ini? Kenapa ayah  dan mama tidak menyadari bahwa aku dan Intan saling mencintai dan kami sudah berjanji untuk tetap bersama.”
“Jangan dibahas lagi. Semuanya sudah selesai. Ini keputusan ayah, Bima. Demi kebaikan kita semua.”
“Demi kebaikan kita semua? Apakah dengan memisahkan aku dan Intan   adalah jalan yang terbaik? Kenapa sih Ma, aku dan Intan   harus dipisahkan seperti ini? Sejak dulu aku ingin sekolah di Bandung. Kebetulan Intan  pun ingin sekolah di Bandung. Kenapa aku harus merubah keinginanku dan terpaksa harus kuliah di Jogya mengikuti kemauan ayah  hanya karena Intan  kuliah di Bandung? Di Bandung pun banyak perguruan tinggi yang menyediakan jurusan Ekonomi. Ini sangat menyakitkan sekali buat aku.” Mata Bima memerah.
Perasaan Ratna terasa disayat ribuan pisau tajam. Hatinya ikut terluka. Namun dia tak berdaya melawan keputusan suaminya. Dia hanya sanggup menahan kesedihannya.
“Bima, Mama tidak mau lagi membicarakan masalahmu dengan Intan. Masalahmu dengan Intan  sudah selesai. Kau sudah dewasa. Kau sudah bisa mengerti dengan keputusan ayah  ini. Mama tahu keputusan papa melukai perasaanmu. Namun cobalah kau mengerti. Ayah  sayang pada kalian semua. Ayah  hanya ingin yang terbaik buat kalian berdua.”
“Belum, ma. Masalahku dengan Intan  belum selesai.” Tukas Bima. Nada suaranya marah dan kecewa.  “Apakah dengan memisahkan aku dan Intan tinggal  berjauhan seperti ini mama kira hubungan aku dan Intan   akan terputus begitu saja?”
“Bima, ini sudah sesuai dengan keinginan ayah. Kau kuliah di Jogya dan Intan sudah berangkat ke Bandung kemarin. Jangan membicarakan Intan lagi. Lupakan dia. Kau akan bertemu banyak gadis lain di Jogya atau dimanapun juga. Kau bisa menjalin hubungan dengan gadis manapun yang kau sukai, namun bukan Intan.”
“Ma, apa salahnya aku dan Intan  saling mencintai? Apakah ada yang salah dengan cinta kami? Aku mencintai Intan   dan Intan   pun mencintai aku. Aku dan Intan  tumbuh bersama-sama sejak kecil. Aku tahu Intan   anak pungut ayah  dengan ibu  Winda. Dan cinta yang tumbuh dalam hatiku telah ada sejak pertama aku mengenal cinta. Hatiku sakit kenapa orangtua tidak mau memahami perasaan kami?”
“Bima, bagaimanapun Intan adalah saudara angkatmu. Ayah  pasti tidak setuju dengan pilihanmu. Sudah sering mama ceritakan riwayat dimasa lalu ini berulang kali kepadamu. Dulu, perkawinan ayah dengan ibu  Winda sudah berjalan belasan tahun dan belum juga dikaruniai anak. Lalu ayah  menikah dengan mama.  Pada malam saat mama baru beberapa jam melahirkanmu, pada saat itu  Arni, yang tengah hamil tua dan melarikan diri dari rumah suaminya karena sering disiksa suaminya, pergi kerumah ibu  Winda dan melahirkan Intan  dirumah ibu  Winda. Arni meninggal beberapa saat setelah melahirkan Intan. Intan  lalu diangkat anak oleh ayah  dan ibu Winda.  Ayah  pasti tidak setuju bila kau dan Intan  menjalin hubungan karena bagaimanapun kalian saudara angkat.”
“Ma, aku dan Intan   hanya punya hubungan sebagai saudara angkat saja. Kenapa cinta aku dan Intan   harus dihalangi dan dijauhkan seperti ini? Aku terlahir sebagai anak mama dan ayah. Dan Intan  terlahir sebagai anak angkat ayah  dan ibu  Winda. Ayah  memiliki dua perkawinan. Perkawinan ayah  dengan ibu  Winda dan perkawinan ayah  dengan mama. Kita memang satu keluarga, namun Intan  tetap sebagai saudara angkatku. Tidak ada yang salah bila kami saling mencintai.”
“Bima, ayah  tidak setuju kau berhubungan dengan Intan. Jangan menentang ayahmu, Bima.  Ayah  sangat sayang pada Intan. Kau bisa melihat sendiri bagaimana sayangnya ayah  pada Intan, sama seperti ayah  menyayangimu.  Namun ayah  tidak ingin kau menjalin hubungan dengan Intan. Carilah gadis lain, Bima. Siapapun gadis pilihanmu, ayah  dan mama pasti akan menyetujui. Asal bukan Intan.”
“Ma, aku bisa mencari gadis lain, namun aku belum tentu bisa mencintainya seperti halnya aku mencintai Intan. Apakah cinta bisa dipaksakan?”
“Segeralah berkemas. Begitu sampai di Jogya, kau pasti  melupakan Intan. Kau belum tahu bagaimana keadaan di Jogya nanti. Terlalu banyak gadis yang bisa engkau pilih disana dan dijadikan kekasih atau calon istrimu.”
“Tidak akan. Aku akan bertahan dan menunggu hingga aku bisa kembali bersama Intan.” Sahut Bima keras.
“Turutilah keinginan papa, Bima. Mama tidak mau lagi membicarakan soal kau dan Intan. Semuanya sudah selesai. Segera  tidur. Besok pagi kau sudah harus berangkat ke Jogya.”
“Ayah  sengaja ingin menjauhkan aku dengan Intan.” Ucap Bima mulai uring-uringan lagi.  “Sejak dulu aku dan Intan  sudah punya rencana yang sama ingin kuliah di Bandung.”
“Mama tidak ingin membicarakan masalahmu dengan Intan  lagi. Besok malam kau sudah tiba di Jogya. Jogya akan membuatmu berubah pikiran. Itu pasti.  Mama dan ayah  pasti akan menengokmu bila kau sudah berada di Jogya.”
Ratna keluar dari kamar anaknya. Bima membanting ranselnya dengan kesal. Dia sudah membayangkan tidak akan sanggup betah di Jogya. Hatinya sudah tertaut di Bandung sana bersama Intan.   


----- 0 -----


Besok paginya Bima sudah siap akan berangkat ke Jogya. Ratna mengantar Bima sampai teras depan.
“Baik-baik disana.” Pesan Ratna.
“Ya, ma.” Sahut Bima tak bersemangat.
“Jangan telat makan. Jangan tidur kelewat larut malam. Jangan terlalu sering begadang. Melukislah bila ada waktu senggang, jangan sampai melukis membuatmu lupa belajar. Ingat, kuliahmu lebih penting.”
Bima hanya tersenyum mendengar ucapan ibunya.
Bima berjalan melewati rumah Winda yang bersebelahan dengan rumahnya. Dia melihat rumah itu.  Dia melangkah masuk kedalam rumah yang terletak disamping rumahnya. Dia berjalan lewat pintu samping. Dilihatnya Winda tengah duduk termenung diteras belakang.
“Bu…… “
Winda menatap Bima. Airmatanya berlinang melihat Bima.
“Bima, kau berangkat  ke Jogya sekarang?”
“Iya, bu.”
Winda memeluknya sambil menangis.  “Maafkan ibu, Bima.”
“Tidak ada yang harus dimaafkan, bu.”
“Intan sudah berangkat  ke Bandung kemarin.”
“Ya, aku tahu.”
Winda mengelus rambut Bima yang gondrong.
“Ibu memahami kegalauan perasaanmu, Bima. Ibu juga berada dalam posisi yang serba salah. Namun ini keinginan ayah. Jangan sampai membuat ayah terus marah. Turutilah keinginannya.”
“Aku bersekolah ke Jogya bukan keinginanku, bu. Ini keinginan ayah.”
“Ayah tak ingin engkau kuliah di Bandung bersama-sama dengan Intan. Ayah sangat cemas melihat hubungan kalian selama ini. Itu yang jadi awal persoalannya.”
Bima  diam.
“Bima, ibu turut merasa bersalah dalam hal ini. Ibu  tahu bagaimana kau dan Intan saling mencintai. Sejak kalian kecil, ibu bisa merasakan kalian berdua saling menyayangi. Itu sudah ibu  lihat dan ibu rasakan sejak dulu. Namun ibu  tidak siap menerima kenyataan ketika dimasa dewasa kalian, apa yang ibu  lihat dan ibu  rasakan sejak kalian kecil dulu itu menjadi kenyataan.” Winda menangis.
“Ibu  sadar, cinta bisa tumbuh pada siapa saja. Tidak ada yang salah dengan cinta kalian. Kau dan Intan hanyalah sebagai saudara angkat saja. Tidak ada hubungan darah antara kalian. Hanya saja, karena kau anak ayah  dan mama Ratna, dan Intan  anak angkat ayah  dan ibu, apa yang semestinya bisa terjadi dan menjadi hak kalian untuk bisa saling mencintai, tidak bisa diterima oleh ayah.”
“Bu,  sebetulnya aku sungguh sangat beruntung. Dalam hidupku aku memiliki dua ibu. Yang satu ibu kandungku, yang satu lagi adalah ibu tiriku, ibu  Winda yang sangat menyayangi aku. Mestinya aku sangat bersyukur dengan hal ini. Aku tak ingin membuat mama terus bersedih. Aku akan pergi ke Jogya, kuliah disana seperti keinginan ayah. Aku hanya ingin ayah  tahu bahwa aku sayang ayah. Demi ayah aku rela melepaskan keinginanku kuliah di Bandung dan kuliah di Jogya agar aku berjauhan dengan Intan  seperti keinginan ayah.”
“Maafkan ayah, Bima. Kau jangan marah pada ayah. Ayah  melakukan hal ini untuk kebaikan kalian semua.”
“Aku tidak marah sama ayah, hanya aku tak mengerti kenapa ayah harus marah dan melarang aku menjalin hubungan dengan Intan.”  Bima memeluk Winda. “Di Jogya aku pasti kangen pada ibu  Winda.”
“Ibu juga pasti akan selalu kangen padamu, Bima. Kabari ibu  bila kau sudah sampai di Jogya.”
“Iya, bu. Itu pasti.”
Keduanya berpelukan. Sambil menangis, Winda mengelus kedua belah pipi Bima yang basah oleh airmata.
Bima naik bis menuju Jogyakarta. Sepanjang perjalanan Bima hanya melamun. Dia tahu, dia tidak akan betah di Jogya. Minggu depan dia akan pulang lagi ke Sumedang.


----- 0 -----


Intan  membereskan barang-barang bawaannya didalam kamar kosnya. Memasukan baju-bajunya kedalam lemari. Dia memasang kaitan diatas langit-langit kamarnya dan menggantungkan rantai gantungan ukiran  merpati kayu  dilangit-langit kamarnya. Dipegangnya sepasang merpati kayu  yang tergantung itu. Dia tersenyum sedih. Bima, aku masih ingat.  Suara sepasang merpati kayu  ini tiap kali beradu dihembus angin selalu membuatku ingat kepadamu.  Kau bilang, merpati satu-satunya binatang yang tak pernah berganti pasangan. Intan tersenyum.
Pintu kamar kosnya diketuk dari luar. Intan  membuka pintu. Seorang gadis berparas manis berkulit sawo matang dengan rambut hitamnya yang digelung, tersenyum sambil mengulurkan tangannya.
“Halo. Salam kenal. Penghuni kos baru ya? Namaku Lastri. Aku sudah setahun disini. Ambil jurusan apa?”
“Ekonomi.”
“Sama. Aku juga jurusan ekonomi. Aku kakak kelasmu dikampus. Semoga betah ya.”
“Terima kasih. Namaku Intan.”
“Aku dari Jogya. Kamu?”
“Sumedang.”
“Oh, Sumedang.  Kamarku tepat didepan kamarmu. Kalau kamu membutuhkan bantuanku,  ketuk saja kamar yang ada didepan kamarmu ini ya. Ini kamarku.” Lastri menunjuk kamar didepan kamar Intan.
“Oke. Terima kasih, mbak Lastri.”
“Warung nasi disebelah tempat kos ini tempat aku biasa makan. Aku jarang masak. Kalau kau mau makan bareng aku, kau bisa memanggil aku.  
“Oke, aku masih membereskan barang-barangku dulu.  Sebentar lagi beres. Setelah itu kita keluar ya. Aku juga sudah lapar.”
Lastri memperhatikan kamar Intan. Dia melihat sepasang merpati kayu  yang tergantung dilangit kamar yang baru selesai digantung Intan pada langit-langit kamar. Dia memegang sepasang merpati kayu  itu sambil tersenyum. “Cantik sekali. Ukirannya sangat halus sekali. Pasti dibuat oleh seorang pemahat yang sudah ahli.” Katanya.
Intan tersenyum. “Itu pemberian Bima. Temannya yang membuatkan ukiran sepasang merpati itu, dan Bima memberikannya padaku.”
“Siapa Bima? Pacarmu?”
“Dia saudara angkatku.”
“Oh, pastinya dia sangat sayang kepadamu.” Lastri tersenyum.
“Begitulah.” Sahut Intan. “Dia seumuran denganku. Sekarang dia kuliah di Jogya.”
“Oh ya? Kau bisa ikut denganku bila aku pulang ke Jogya dan bertemu dengan saudara angkatmu itu. Siapa tadi namanya? Bima? Nama yang bagus. Orangnya pasti gagah, segagah namanya.”
“Kami bisa bertemu di Sumedang.”  
“Tidak apa-apa sesekali kau mengunjunginya bila kau sedang ke Jogya. Bima pasti senang bila dikunjungi saudaranya, bukan?”
Intan  tersenyum mendengar ucapan Lastri. Lastri keluar kamar. Intan  melanjutkan kembali pekerjaannya. Intan  menaruh buku-bukunya diatas meja. Pekerjaannya akhirnya selesai juga. Dia keluar kamar dan mengetuk kamar Lastri.
“Aku sudah selesai beres-beres. Kita makan sekarang yuk.”
Lastri membuka kamarnya. Intan  masuk kedalam kamar Lastri. Dia melihat batik tertumpuk rapi pada meja disudut kamar. “Apa ini? Batik. Kamu jualan batik?”
“Ya.  sambil kuliah aku jualan batik. Dikirim dari Jogya. Ini batik tulis. Keluargaku di Jogya pedagang batik.”
“Orang tuamu pedagang  batik?”
“Pedagang sekaligus perajin batik. Usaha turun temurun. Dari nenek buyutku semuanya sudah berkutat dengan membatik.”
Intan memperhatikan batik-batik yang bertumpuk dikamar Lastri. “Batikmu sangat cantik-cantik.”
“Ini batik tulis. Ini pesanan dosenku, Bu Marina namanya. Dia sangat suka batik tulis.”
“Kau bisa membatik?”
“Aku sudah membatik sejak di sekolah dasar. Dilingkunganku, hampir semuanya bisa membatik. Sejak kanak-kanak kami sudah diperkenalkan dengan kegiatan membatik. Kapan-kapan kalau aku ke Jogya, kau ikut pulang bersama aku. Kau nanti bisa lihat kegiatan membatik dirumahku.”
“Menyenangkan bisa kuliah sambil mencari uang.”
Lastri tertawa. “Aku sudah jualan batik sejak SMP. Saat ini berjualan secara online merupakan sebuah pilihan untuk memasarkan jualan kita. Aku juga berjualan lewat dunia maya, facebook. Hasilnya lumayan. Kita berjualan dengan menampilkan foto-foto jualan kita.”
Warung nasi itu tidak jauh dari rumah kos mereka. Tempatnya sederhana. Menu masakannya beragam. Dan harganya sesuai dengan isi dompet mahasiswa yang terbiasa hidup sederhana. Beberapa mahasiswa lain tengah makan disana. Suasananya cukup ramai.
“Aku paling sering makan disini. Harganya cukup murah. Cocok dengan dompet mahasiswa perantau seperti aku. Dan yang jelas disini selalu ada gudeg. Gudeg selalu jadi salah satu menu pilihan aku. Kangen dengan kotaku. Tidak seenak gudeg dikotaku, tapi lumayan untuk mengobati kerindukanku dengan kota kelahiranku.” Kata Lastri sambil memilih tempat duduk dipojok.
Intan duduk disamping Lastri. Mereka memesan makanan. Seorang pelayan mencatat pesanan mereka dan pergi. Tak lama pesanan mereka sudah datang. Keduanya makan. Selesai makan mereka jalan-jalan menikmati suasana jalanan di kota Bandung menjelang sore. Malamnya Intan termenung sendirian didalam kamarnya. Dia teringat Bima.


----- 0 -----


Bima tiba  di Jogya. Atas bantuan teman ayahnya dia mendapatkan tempat kos yang tidak terlalu jauh dari kampusnya. Rumah kosnya sebuah rumah tua yang terawat baik  dengan jendela-jendela  yang tinggi.  Kamar kosnya sederhana dan tidak terlalu besar namun cukup untuk menampung aktifitasnya sehari-hari termasuk melukis.    Bima membuka jendela kamarnya. Setelah membenahi kamarnya,  Bima keluar. Bima  melangkahkan kakinya disepanjang jalan trotoar menelusuri jalanan menikmati suasana. Suasana Jogya yang ramai membuatnya merasa akan betah. Setelah lelah berjalan-jalan tanpa tentu arah, dia mampir diwarung makan sambil menikmati suasana disekitar jalanan dan mendengarkan pengamen jalanan. Menu yang dipilihnya gudeg. Dia jadi teringat pada Intan. Sambil makan, diambilnya teleponnya. “Halo. Intan,  aku sudah tiba di  Jogya.”
“Syukurlah. Aku yakin  kau pasti betah di Jogya.” Intan tertawa.
Bima tertawa. “Yah, akhirnya aku di Jogya. Bukan di Bandung seperti keinginanku semula.”
“Bandung atau Jogya tidak ada bedanya. Dimanapun tujuannya sama, kuliah.”
“Bedanya, di Bandung ada kamu, di Jogya aku tak punya seseorang yang biasa menemani hari-hariku. Ini sungguh tidak adil. Kita seperti boneka yang diatur ayah.”
“Nah, mulai lagi membahas keputusan ayah. Ayah  hanya ingin yang terbaik buat kita, Bima. Ayah  sangat sayang pada kita berdua.”
“Aku habis jalan-jalan. Sekarang aku lagi di warung makan.”
“Makan sama apa?”
“Gudeg saja sama kerupuk. Sederhana ya?  Air tehnya manis. Aku harus membiasakan diri minum teh manis usai makan. Kalau tidak mau pake gula, harus pesan sama pelayannya, minta teh tawar. Agar tidak pakai gula. Tapi aku ternyata lebih enak minum teh manis. Membuat tubuh terasa segar setelah makan.”
Intan tersenyum. “Itu baru permulaan. Menyesuaikan diri dengan makanan di Jogya. Nanti banyak hal yang harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Bangun jangan kesiangan melulu. Mandi sehari dua kali. Dan cuci sendiri pakaianmu. Kalaupun ada pelayan ditempat kosmu, luangkan waktu untuk mencuci sendiri pakaianmu.”
Bima tertawa. “Rasanya kau sekarang berubah menjadi cerewet. Oh ya, waktu tadi jalan-jalan, aku melihat beberapa pelukis jalanan, mereka melukis dijalanan. Ini menarik sekali. Intan, aku membawa peralatan melukisku, aku bisa kembali melukis disini.”
“Kau pasti akan bertemu banyak seniman di Jogya, Bim. Jogya gudangnya seniman.  Kau bisa lebih mengembangkan bakatmu. Namun jangan lupakan kuliahmu. Aku bangga bila engkau bisa terus mengembangkan bakatmu sambil menyelesaikan kuliahmu. Juga buatlah ayah merasa bangga memiliki anak lelaki sepertimu.”
“Aku akan berusaha kuliah selesai tepat pada waktunya, aku hanya ingin kembali bersamamu, Intan. Kita punya masa depan yang akan kita jalani bersama.”
“Semoga Allah mendengar do’a dan harapanmu.” Ucap Intan.
“Kau sendiri berdo’a dong. Masa aku saja yang rajin berdo’a?”
Intan tertawa. “Kok berdo’a disuruh-suruh sih? Isi do’aku mungkin berbeda dengan do’amu.”
“Memangnya kau berdo’a apa?”
“Masa aku harus mengumumkan isi do’aku padamu sih?”
Bima tertawa. “Aku yakin kau pasti berdo’a yang terbaik untuk kita.”
“Tentu. Itu pasti.” Intan tersenyum.
“Tan, kamu tahu engga? Aku tiap saat kangen sama kamu terus.” Celoteh Bima.
“Hemmm…” sahut Intan.
“Waktu di Sumedang kamu sering mengomeli aku karena hampir tiap hari bangun kesiangan. Di Jogya, aku malah kangen mendengarkan omelanmu itu.”
“Hemmm….”
“Kamu tahu engga, aku suka marah sama kamu kalau kamu mencereweti aku terus, di Jogya aku malah suka teringat terus bila tengah dicereweti kamu.”
“Hemmm….”
“Kamu masih ingat engga, bila aku tidur kelewat larut malam, kau suka menimpuk jendela aku hingga aku sadar sudah waktunya aku tidur, di Jogya aku berharap ada yang menimpuk lagi jendela kamarku  bila aku belum tidur juga padahal malam sudah hampir lewat.”
“Hemmm….”
“Kenapa sih kok tanggapanmu hemmm melulu? Apa kau tak percaya dengan kata-kataku?” Mendadak Bima menjadi sewot.
“Aku percaya karena memang semua yang kau ucapkan itu betul. Hanya aku pikir kukira kau tak pernah mengingat saat-saat itu.” Intan tertawa.
“Tan, kenapa ya semua kenangan bersamamu bermunculan lagi justru setelah kita berjauhan.” Tanya Bima.
“Hemmm….”
“Kenapa sih kau tak serius mendengarkan aku?” lagi-lagi Bima sewot.
“Aku serius mendengarkan setiap kata yang kau ucapkan, hanya saja aku sedang berpikir, apakah beberapa bulan lagi atau mungkin setahun lagi, apakah kau masih akan mengucapkan kata-kata itu lagi kepadaku?”
“Maksudmu?”
“Hemmmmm…..”
“Aku serius akan menimpuk kamu dengan bantal kalau kamu masih juga bilang hemmmmm.” Kali ini suara Bima kedengaran geram.
“Timpuk aja. Mana bisa kau menimpuk aku dengan bantal dari Jogya.” Intan tertawa berderai.
“Kau seperti tak percaya lagi padaku.” Gerutu Bima.
“Aku percaya. Dan akan tetap percaya padamu. Hanya waktu mungkin yang akan membuktikan apakah segalanya akan tetap sama seperti ini ataukah berubah.”


----- 0 -----


Dikamarnya Bima termenung sambil menatap peralatan melukisnya. Bila tengah melukis dia sering kali lupa waktu. Namun disana dia serasa menemukan dunianya. Diambilnya peralatan lukisnya. Dia mulai melukis lagi. Pintu kamarnya diketuk dari luar. Arya, teman kuliahnya,  masuk kedalam kamarnya. Arya tercengang melihat apa yang sedang dikerjakan Bima.
“Kau pelukis rupanya?” ucap Arya.
“Hanya kegiatan diwaktu senggang saja.” Sahut Bima.
“Kau bilang ini kegiatanmu dikala senggang? Kau bercanda. Lukisanmu hidup dan ini adalah goresan seseorang yang sangat berbakat.” Cetus Arya sambil memperhatikan lukisan Bima.
“Bakat? Aku kurang percaya dengan bakat. Aku melukis karena aku senang dengan lukisan. Dari situ timbul keinginanku untuk belajar melukis. Aku berlatih dan sering melukis walaupun mungkin aku tidak memiliki bakat.” Sahut Bima.
Arya tertawa. “Berbakat atau tidak, yang jelas kau sudah bisa dikatakan sebagai seorang pelukis. Aku akan memperkenalkanmu pada salah seorang pelukis kenalanku. Barangkali kau bisa bertukar pikiran dengannya. Namanya Mas Pengkuh.”  
Rumah Pengkuh terlihat artistis sekali. Suasananya teduh dan nyaman. Banyak pohon-pohon besar dihalaman depan rumahnya. Arya membawa Bima kerumah Pengkuh dan memperkenalkannya pada Pengkuh. Perkenalan dengan Pengkuh membuat Bima memiliki kegiatan lain. Selesai kuliah dia senang berkunjung ke rumah Pengkuh dan memperhatikannya saat Pengkuh tengah melukis.
“Aku sendiri punya mimpi, suatu saat nanti aku bisa melukis dan menjual lukisanku.” Ucap Bima.
“Kenapa tidak? Semuanya bisa berawal dari mimpi. Melukislah dan buatlah karyamu yang terbaik. Suatu saat nanti akan banyak orang yang akan mencari dan membeli lukisanmu.” Sahut Pengkuh sambil memperhatikan anak muda itu.
“Aku memerlukan seorang guru agar aku bisa mewujudkan mimpiku.”
Pengkuh menatap Bima, lalu tersenyum.
“Aku selama ini melukis hanya sekedar melukis. Melihat mas Pengkuh melukis, aku tahu, aku memerlukan seorang guru yang akan membawaku menjadi lebih baik. Guru itu adalah mas Pengkuh.”
Pengkuh tersenyum.
“Aku bangga punya murid yang memiliki kemauan untuk belajar sepertimu.”
Sejak hari itu, waktu Bima banyak dihabiskan dirumah Pengkuh. Dibawah bimbingan Pengkuh, lukisan-lukisan Bima terlihat semakin hidup dan berkarakter. Pengkuh selalu menjadi teman diskusinya. Bima sangat senang dipertemukan dengan Pengkuh. Disela-sela waktu kuliahnya, dia semakin tekun menekuni hobinya melukis yang sekarang bukan lagi sebagai hobi. Menjadi pelukis adalah tujuannya.
Diantara teman kuliahnya, ada gadis manis bernama Ratih. Gadis berambut panjang itu cantik dan menarik. Dari Arya,  Ratih tahu Bima seorang pelukis. Suatu hari, sepulang kuliah Ratih menemui Bima dirumah Pengkuh.
“Aku mendengar dari Arya katanya kau seorang pelukis.” Kata Ratih sambil memperhatikan lukisan Bima.
Bima hanya tersenyum. Ratih baik dan perhatian. Dia juga menyukai gadis itu. Namun sayang, hatinya sudah tertambat pada Intan. Dia tak ingin mengkhianati cintanya pada Intan. Dia ingin belajar setia. Walaupun kesetiaannya tergoda oleh bunga lain. Namun dia akan mencoba bertahan.
Ratih menaruh dua gelas plastik berisi jus jeruk dan jus melon.
“Hem, aku membeli jus jeruk dan jus melon. Kau mau yang mana?” tanya Ratih sambil menyodorkan kedua jus itu kehadapan Bima.
“Yang mana aja deh.” Sahut Bima.
“Aku mau kamu memilih.” Ucap Ratih sambil tersenyum.
“Aku jus melon saja deh.” Sahut Bima sambil mengambil jus melon dari tangan Ratih dan menyedotnya. Dingin dan segar.
“Kamu di kampus kok dingin banget sih. Temanmu hanya Arya saja. Kenapa sih kau tidak seperti yang lain? Bergaul dengan banyak teman. Belajar bersama dengan teman lain, makan bersama dengan teman lain di kantin kampus. Atau kadang sepulang kuliah jalan-jalan bareng rame-rame kesana kemari. Tapi kau hanya dengan Arya terus. Apa tidak bosan? Aku aja bosan lihat kamu sama Arya terus?” celoteh Ratih sambil memperhatikan Bima yang tengah mulai melukis lagi.
“Kan sekarang temanku sudah bertambah. Engga melulu sama Arya terus.” Sahut Bima santai sambil menggoreskan kuasnya.
“Oh ya? Siapa temanmu itu?” tanya Ratih.
Bima menoleh pada Ratih. Dan tersenyum. “Kamu.”
Ratih mendadak tersenyum. Matanya berbinar senang. “Oh ya? Senangnya, akhirnya kau punya teman lain selain Arya. Padahal aku sudah khawatir melihat kau selalu nempel sama Arya terus. Dimana ada Arya disana ada kamu. Dimana ada kamu disana ada Arya.  Aku sudah berpikir, jangan-jangan kau tidak suka pada gadis….”
“Pikiranmu kacau. Nyatanya aku sekarang berteman denganmu.” Bima tertawa.
“Aih senangnya punya teman seorang pelukis.” Kata Ratih. “Tapi aku pasti bosan bila hanya duduk saja menunggu kamu menyelesaikan lukisanmu sepanjang hari.”
“Hem. Yang engga bikin bosan itu ngapain misalnya?”
“Ya banyaklah. Jalan-jalan kek. Atau makan diluar kek. Atau ngapain aja selain duduk-duduk seperti ini.” Ratih tersenyum.
Sejak saat itu Bima merasa hari-harinya berbeda dari hari-hari biasanya. Kini ada Ratih yang selalu bersamanya. Dikampus mereka lebih sering bersama. Sambil belajar sambil bertukar pikiran. Sambil makan sambil saling menyelami isi hati.  Ratih seorang penari. Dia sering berlatih menari disanggar tarinya. Sesekali Bima mengantar jemput Ratih bila sedang latihan. Dan menghadiri pagelaran tarinya. Dua bulan bersama-sama dengan Ratih, Bima merasa perasaannya berbeda pada teman kuliahnya ini. Bukan hanya perasaan pada seorang teman. Namun kini perasaannya telah berubah. Ratih telah membuatnya jatuh cinta. Dan cintanya bersambut. Perlahan, Bima mulai bisa melupakan cintanya pada Intan. Dia lebih menikmati hari-harinya bersama Ratih. Dan mencoba merajut asa bersama teman kuliahnya ini.  Dia teringat dengan keinginan ayahnya dan kedua ibunya yang menghendakinya mencari gadis lain. Bukan Intan. Hatinya terasa pedih. Namun ini kenyataan yang harus dihadapinya.  


----- 0 -----


Telepon dari Bima semula masih rutin menyapanya. Bahkan kadangkala sehari bisa sampai beberapa kali Bima meneleponnya, hanya untuk memastikan dirinya baik-baik saja atau hanya sekedar ingin tahu apa saja kegiatannya sehari itu.  Hingga akhirnya hampir dua bulan lebih Bima tak pernah meneleponnya lagi. Dia mencoba berulangkali menelepon Bima namun teleponnya tak pernah diangkat. Bahkan pesan singkat pun tak pernah dibalas. Intan merasa Bima telah melupakannya. Banyak syak wasangka yang memenuhi pikirannya walaupun dicoba disingkirkannya. Dia percaya pada Bima. Dia masih percaya Bima masih mencintainya. Dia masih percaya tak mudah bagi mereka untuk menghapus rasa cinta yang ada dalam hati mereka. Namun  kenyataannya benar saja syak wasangkanya, ketika akhirnya Bima meneleponnya.
“Jogya ternyata telah membuatku merasa betah dan nyaman, Intan. Aku betah dan menikmati hari-hariku di Jogya. Kuliah, berkumpul bersama teman dan banyak berdiskusi banyak hal. Aku punya teman, namanya Arya. Dia memperkenalkan aku pada mas Pengkuh. Mas Pengkuh seorang pelukis. Karyanya banyak yang membeli. Aku belajar melukis pada mas Pengkuh.” Cerita Bima setelah sekian bulan tak pernah meneleponnya lagi.
“Jangan sampai mengganggu kuliahmu, Bima. Kuliahmu lebih penting daripada kegiatan-kegiatanmu yang lainnya. Ingat, ayah sangat mengharapkan kau bisa menyelesaikan sekolahmu dengan baik.” Ucap Intan, berdegup senang mendengar suara Bima terdengar lagi.
“Aku bisa membagi waktuku. Sumpek dong bila aku hanya belajar melulu.”
“Aku senang, kau ternyata tidak seperti yang aku bayangkan semula. Kukira kau tidak akan kerasan di Jogya. Itulah kenapa ayah tahu apa yang terbaik buatmu. Ayah  tahu kau pasti akan betah di Jogya karena ayah  juga bertahun-tahun kuliah di Jogya. Ayah  sudah tahu bagaimana suasana disana. Jangan suka meremehkan pendapat dan keinginan orang tua. Orangtua sudah punya pengalaman sementara kita masih mencari pengalaman.”
“Makin lama kau kelihatan makin dewasa saja.”
“Sejak dulu aku sudah dewasa. Masa tak kau sadari?” Intan tertawa. “Dan kau lupa bercerita tentang satu hal lagi kepadaku…. “
“Apa?”
“Kau pastinya sudah bertemu dengan gadis lain disana, dan kau sengaja tak mau bercerita kepadaku.”
Bima tertawa. “Bila aku cerita, apa yakin kau tak akan cemburu?”
“Tentu tidak.” Sahut Intan tak pasti dengan apa yang diucapkannya.
“Ya. Aku sudah bertemu seorang gadis. Cantik. Baik. Dan tentunya sudah membuat aku bisa jatuh cinta.” Bima tertawa berderai. Terdengar riang dan gembira.
Terasa ada sesuatu yang menusuk perasaannya. Intan tertegun sejenak. Bertahan sekuat tenaga agar tidak terpengaruh dengan ucapan Bima, namun kenyataannya dia mendadak merasa cemburu mendengar suara Bima yang terdengar begitu riang dan bahagia.
“Oh… “
“Kenapa hanya ‘Oh” saja? Kau senang bukan aku punya seseorang disini yang setiap hari menemani aku?”
“Tentu saja.”
“Kau kedengarannya kurang gembira mendengar aku sudah punya seseorang disini.”
“Biasa saja. Aku senang dan gembira. Akhirnya…..”
“Yah, akhirnya kita memang harus menyadari bahwa keinginan ayah itu memang cukup rasional. Ayah memisahkan kita juga rasional. Ayah ingin kita membuka mata dan pikiran kita. Ternyata ayah benar. Bila kita tetap bersama, hubungan kita akan mencoreng nama baik keluarga kita walaupun cinta kita tidak salah. Namun ini adalah kenyataan yang harus kita sadari. Ayah ingin aku mencari gadis lain dan engkau mencari pemuda lain. Aku sudah bertemu dengan Ratih. Bersama Ratih aku akan mencoba melupakanmu. Dan akupun ingin engkau segera menemukan pemuda lain dan melupakan aku.”
Setiap kata yang terucap dari mulut Bima terasa bagaikan sayatan seribu pisau yang menorah perasaannya. Tak diduga, Bima akan sanggup mengucapkan kata-kata itu kepadanya. Lutut Intan terasa lemas. Dia terduduk dilantai kamarnya. Tangannya menggenggam erat teleponnya.
“Ya, Bima. Kau benar. Bersama yang lain, kita akan belajar saling melupakan……”
“Kau senang mendengar aku sudah punya kekasih?”
“Ya.”
“Intan?”
“Ya.”
“Kau baik-baik saja?”
“Ya, aku baik-baik saja. Kau percaya padaku, Bima. Oke, aku senang bila kau senang disana. Nanti aku telpon lagi ya. Bye.” Bergegas Intan menutup telepon.
Intan termenung dengan air mata yang perlahan membasahi pipinya. Kenapa hatinya merasa sedih mendengar cerita Bima? Bukankah dia yang selama ini selalu menyemangati Bima bahwa di Jogya Bima akan bertemu gadis lain dan melupakannya? Kenapa setelah Bima mendapatkan gadis yang lain, justru perasaannya terasa sedih dan merasa kehilangan? Intan menatap keluar jendela kamar. Dia menghapus airmata yang membasahi pipinya.  


----- 0 -----


Disela-sela waktu senggangnya, Intan belajar membatik pada Lastri. Lastri membawa peralatan batik dari Jogya. Dibelakang rumah kost mereka ada teras. Disana Lastri suka membatik. Intan semula hanya memperhatikan saja bila Lastri tengah membatik. Namun akhirnya dia tertarik dan ingin belajar membatik.  Ternyata membatik itu tidak mudah. Namun Lastri sangat tekun mengajarinya.
“Aku juga dulu waktu mulai belajar membatik, menemukan banyak kesulitan. Itu hal biasa. Tidak ada orang yang pintar dan ahli dengan tiba-tiba. Semuanya membutuhkan proses dan waktu. Begitu pula dengan membatik. Orang tidak akan bisa belajar membatik hanya dengan sekali belajar. Membatik itu membutuhkan ketekunan. Kau membutuhkan banyak waktu agar  benar-benar bisa membatik.” Ucap Lastri.
“Lastri, kamu baik sekali. Aku sangat senang engkau memperkenalkan aku dengan kegiatan membatik. Aku senang bisa belajar membatik padamu. Aku serius ingin benar-benar bisa membatik.”
Lastri menjadi temannya dirumah. Mereka sering makan bersama diluar atau jalan-jalan dan nonton film. Lastri sudah lama menjalin hubungan dengan Eko, teman kuliahnya. Mereka sama-sama berasal dari Jogya dan sekarang sama-sama kuliah di Bandung. Bila tidak sedang bersama Eko, Lastri sering menghabiskan waktu senggangnya dengan Intan.


----- 0 ----


Saat liburan Intan ikut berlibur kerumah  Lastri di Jogya. Di rumah lastri, Intan melihat  kegiatan para pegawai yang tengah membatik. Beberapa wanita tengah duduk mencanting. Bau malam merebak memenuhi halaman belakang yang dipakai sebagai tempat bekerja.
“Nah, inilah kegiatan sehari-hari dirumahku, Intan. Kami memiliki pegawai dengan tugasnya masing-masing. Ada yang mencanting, ada yang bertugas melakukan pencelupan pewarnaan. Semua kegiatan itu adalah bagian dari usaha kami.”
Intan menelepon Bima.
“Bima, aku sekarang sedang berada di Jogya. Aku menginap dirumah Lastri. Lastri temanku satu kos.”
“Intan, aku minta alamat rumah Lastri. Aku akan segera menjemputmu. Aku ingin bertemu denganmu.” Ucap Bima.
Ketika Bima datang, Lastri tersenyum melihat Bima dan berbisik pada Intan.
“Intan, aku tak akan menyalahkanmu bila kau jatuh cinta pada saudara angkatmu itu.”
Intan tersenyum.
“Bima mengajakku jalan-jalan. Aku pergi dulu, ya.”
Seharian itu Intan dan Bima keliling-keliling Jogya naik motor. Mereka ke candi Borobudur, ke  candi Prambanan, makan di angkringan  dan menikmati suasana Jogya. Intan tak bisa mengingkari, dia bahagia bisa bersama-sama dengan Bima kembali. Walaupun hanya untuk beberapa hari saja. Dia pun melihat Bima kelihatan gembira dan bahagia saat tengah bersama-sama dengannya.
“Aku sangat senang bertemu kamu lagi.” Kata Bima.
Intan tersenyum. “Aku tahu kamu sudah melupakan aku.”
“Bagaimana aku bisa lupa? Aku setiap hari memikirkanmu.”
“Bagaimana dengan gadismu? Ratih namanya, bukan?”
“Ya. Aku masih berhubungan dengan dia. Aku sudah memberitahu ayah  dan mama bahwa aku sudah memiliki seorang kekasih di Jogya. Ibu  Winda juga sudah kuberitahu. Semuanya senang dan gembira.”
“Pastinya.”
“Dan mereka semuanya tidak tahu bahwa aku menjalin hubungan dengan Ratih hanya untuk melarikan kekecewaanku saja, Intan. Aku hanya ingin ayah  tahu bahwa aku sudah tidak berhubungan lagi denganmu.”
“Kalau begitu kau mempermainkan Ratih.”
“Aku tidak mempermainkan Ratih. Ratih baik dan perhatian padaku. Aku belajar mencintai Ratih. Dan kenyataannya aku…. Aku tidak bisa, Intan.”
Bima memegang tangan Intan erat. “Kenyataannya aku hanya mencintaimu, Intan. Tunggulah aku hingga aku nanti selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan. Aku akan segera melamarmu. Aku hanya ingin menikah denganmu, Intan.”
Intan terdiam. “Itu masih lama, Bima.”
“Kau tak mau menunggu aku?”
“Bukan masalah aku mau atau tidak menunggumu, Bima. Namun aku khawatir, apa yang akan kita perjuangkan akan sia-sia.”
Bima mengajak Intan ke tempat kosnya. Intan takjub melihat lukisan-lukisan Bima yang berserakan di lantai.
“Lukisanmu…. Ini luar biasa sekali, Bima. Aku takjub. Kau banyak kemajuan disini.  Jogya adalah tempatmu yang sesungguhnya. Ayah  tidak salah  memilihkan Jogya sebagai tempatmu melanjutkan pendidikan. Kenyataannya disini kamu bisa lebih mengembangkan bakat melukismu. Aku suka sekali melihat semua ini, Bima. Ayah  pun pasti bangga bila melihat karyamu ini.”
“Aku sangat berterima kasih pada guruku, mas Pengkuh. Dia yang memberikan banyak pelajaran dan menjadi kritikus bagi semua karya-karyaku.”
Intan memperhatikan lukisan seorang gadis yang duduk ditepi pantai. Tatapan mata gadis itu melayang jauh keseberang lautan. “Lukisan ini bagus sekali.”
Bima tersenyum menatap Intan. “Itu lukisan kamu, Intan.”
“Lukisan aku?”
“Kau masih ingat waktu kita liburan ke Pangandaran? Kau duduk ditepi pantai. Memandang jauh ke lautan. Seakan ada yang tengah engkau pikirkan. Saat itu aku memperhatikanmu diam-diam dibelakangmu. Rambutmu yang tergerai tertiup angin laut. Gaya dudukmu diatas pasir ditepi pantai. Tatapan matamu yang melayang jauh. Semuanya itu masih terekam jelas dalam benakku. Dan aku menuangkannya dalam lukisanku.”
Intan memperhatikan lukisan itu. “Kau hebat, Bima. Kau bisa menjadi seorang pelukis terkenal. Sudah ada yang membeli lukisanmu?”
Bima tertawa mendengar pertanyaan Intan.  “Di Jogya gudangnya seniman lukis. Namun aku juga masih kecipratan rejeki. Ada beberapa lukisanku yang sudah laku terjual. Jangan tanya berapa harganya. Aku bukan seorang pelukis terkenal yang bisa mematok harga yang tinggi. Itu masih lama.”
“Bima, semua orang sukses memulai segalanya dari bawah dulu. Kau tak perlu berkecil hati. Untuk sampai kepuncak gunung kita mesti menginjak dulu kaki gunung. Saat ini mungkin lukisanmu belum bisa kau jual dengan harga tinggi, tapi tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi dengan dirimu dimasa depan. Aku bermimpi, suatu hari nanti kau menjadi pelukis terkenal.”
Bima tertawa. “Hidup memang perlu bermimpi dulu, Intan. Dari mimpi kita bisa mengejar impian kita.”
Dihari kedua Intan di Jogya, sepulang mereka berjalan-jalan dan kembali ke tempat kost Bima, mendadak muncul seorang gadis manis dengan rambut panjang hitam kelam.
“Oh Bima. Kau tak memberitahu aku bila kau sedang kedatangan tamu.” Ucap gadis itu dengan wajah kurang senang.
Intan  menatap gadis itu dan bertanya dalam hati. Dia menatap Bima. Pemuda itu sejenak seakan salah tingkah. Namun hanya sejenak. Bima cepat menguasai keadaan dengan gayanya yang kalem.
“Ratih, kenalkan. Ini Intan. Saudaraku yang kuliah di Bandung. Dia sedang liburan di Jogya beberapa hari.” Kata Bima tenang.
“Oh, saudara angkatmu yang pernah kau ceritakan padaku itu?” Ratih menatap Intan. Dengan tatapan yang seksama.
“Intan, ini Ratih.”
Kedua gadis itu berjabat tangan. Intan merasa sikap Ratih terasa kaku. Mendadak perasaannya menjadi tidak enak. Apalagi ketika kemudian Ratih tergesa-gesa pamitan kembali.
 “Diakah yang pernah kau ceritakan itu, Bim?”
“Ya.”
“Dia cantik. Dia pasti cemburu melihatmu bersama aku.”
“Aku nanti akan menjelaskannya pada Ratih.”


----- 0 -----


Malam itu Ratih datang kembali ke tempat kost Bima. Wajahnya terlihat murung.
“Itukah gadis yang pernah engkau ceritakan padaku, Bima?” tanya Ratih.
“Ya.” Bima menyahut singkat dan merasa bahwa Ratih cemburu.
“Kau bilang bahwa engkau sudah tidak ada hubungan apapun dengan saudara angkatmu itu.”
“Dia sedang liburan di Jogya dirumah sahabatnya.”
“Dan engkau memberikan keistimewaan selama dia liburan disini. Mengajaknya jalan-jalan, memberinya kenangan indah selama di Jogya sini.”
“Aku hanya ingin menyenangkannya, Ratih. Dan ini tidak setiap hari. Baru kali ini dia datang ke Jogya dan salahkah aku bila hanya beberapa hari saja mencoba menyenangkan perasaannya selama dia berada disini?”
“Menyenangkannya dan menghabiskan waktu bersamanya selama beberapa hari ini bersama dia? Aku tak bisa menerima alasanmu, Bima. Aku tahu kamu masih mencintai Intan. Engkau tak bisa membohongi aku. Aku tak pernah melihatmu sebahagia itu seperti ketika engkau bersamaku. Aku tahu, aku selama ini sangat mencintaimu. Aku selalu ingin memberikan banyak waktuku untukmu namun kau tak pernah punya waktu untukku. Namun kini mataku melihat, untuk Kintan ternyata engkau memiliki banyak waktu. Ini adalah kenyataan yang membuatku sadar bahwa ternyata engkau tak pernah mencintaiku. Kau menjadikan aku kekasihmu karena engkau gamang dengan perasaanmu. Pada siapa sebenarnya hatimu ingin diberikan.”
“Maafkan aku  Ratih bila aku membuatmu kecewa. Aku sayang padamu. Tak pernah aku mengucapkan kata-kata yang akan membuatmu terluka.”
“Aku bisa merasakan kau memang sepertinya sayang padaku. Kau sangat sopan dan santun. Namun aku tahu aku tak bisa dapat merengkuh hatimu. Apa yang kau berikan kepadamu penuh dengan kehati-hatian. Kau seakan ingin menjaga perasaanku agar aku jangan sampai terluka. Namun kenyataannya kau tak mencintaiku.”  Ratih menghapus airmatanya.
Bima hanya diam. Ratih mengambil tasnya dan bergegas pergi. Bima hanya menatap tanpa beranjak dari tempat duduknya.


----- 0 -----


Bima menemui Intan kerumah Lastri. Intan tengah membantu Lastri melipat-lipat batik. Batik-batik cantik bertumpuk diantara kedua gadis itu. Keduanya terlihat gembira. Ketika melihat kedatangan Bima, Lastri memberi isyarat pada Intan agar menemui Bima. Rumah Lastri memiliki halaman yang luas. Ada kursi kayu dengan meja yang terbuat dari kayu jati tua berukir didekat halaman. Intan mengajak Bima duduk disana. Bima menceritakan pembicaraannya dengan Ratih. Intan termenung mendengar cerita Bima tentang Ratih.
“Bima, aku akan mencoba menjelaskan pada Ratih. Jangan sampai hubungan kalian menjadi rusak gara-gara aku.” Ucap Intan pelan. Dia sendiri bingung dengan perasaanya sendiri. Benarkah dia sudah tidak mengharapkan Bima lagi? Benarkah perasaan cintanya kepada Bima sudah terpupus begitu saja? Kenyataannya dia tak bisa mengingkari, dia bahagia bisa bertemu kembali dengan Bima dan melewatkan waktu bersama dengan lelaki itu. Kebahagiaan yang sama yang pernah dirasakannya ketika mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama ketika masih di Sumedang dulu.
“Tak ada yang perlu dijelaskan pada Ratih. Dia sudah tahu bahwa aku memang tidak mencintainya. Aku tak ingin membuatnya semakin sakit hati, Intan.” Ucap Bima pelan. Dia menatap Intan. Menatap dengan cara yang sama seperti dulu.
“Besok aku akan kembali ke Bandung. Aku sangat menyesalkan kejadian ini, Bima. Aku tak bermaksud menyakiti perasaan Ratih. Aku bisa memahami perasaannya. Dia pasti cemburu melihat engkau bersama aku. Aku bersalah. Tak seharusnya aku memberitahumu aku berada di Jogya.”
“Aku pasti kecewa bila kau tak memberitahuku bila kau tengah berada di Jogya. Kita selama ini terpisah cukup lama. Baru sekarang kita bisa bersama-sama lagi. Aku senang bisa bersama-sama denganmu lagi walaupun hanya sebentar saja.” Ucap Bima. “Besok aku akan mengantarmu sampai statsiun.”
“Tidak usah.”
“Aku besok akan menjemput kalian berdua. Aku akan meminjam mobil Arya dan mengantarkan kalian hingga ke statsiun.” Kata Bima.
Intan tersenyum. “Aku senang kau kelihatannya betah disini. Ayah dan ibu kita pasti kangen padamu karena kau jarang pulang ke Sumedang.”
Pagi-pagi Bima sudah berada dirumah Lastri. Dia meminjam mobil tua Arya dan mengantarkan Intan dan Lastri sampai statsiun.
“Aku bisa memahami bila kau jatuh cinta pada saudara angkatmu itu.” Ucap Lastri setelah mereka duduk didalam kereta  dan memperhatikan Bima yang masih berdiri dipinggir statsiun menunggu mereka hingga kereta berangkat.
Intan memperhatikan Bima. Perasaannya terasa pedih. 
“Cinta memang tak akan bisa berdusta. Aku tahu kau dan Bima saling mencintai. Terjang saja segala halangan dan rintangan. Bukankah cinta membutuhkan juga halangan dan rintangan untuk menguji kesungguhan cinta kita?”
Kereta api bergerak perlahan. Intan melambaikan tangannya pada Bima. Bima membalas lambaian tangannya. Intan sadar, dia memang mencintai Bima dan sulit baginya mencari pengganti lelaki itu seandainya dia bertemu dengan lelaki lain sekalipun. Airmatanya mendadak akan runtuh. Dia teringat pada ayah yang sangat menyayanginya. Hatinya tak rela bila dia harus melukai perasaan ayahnya walaupun dia mencintai Bima.  


----- 0 -----


Ibunya menelepon Bima mengabarkan ayahya sakit. “Ayah sakit. Pulanglah. Ayah ingin bertemu denganmu.” Kata Ratna.
Ketika Bima  pulang ke Sumedang, dia melihat ayahnya yang tengah terbaring sakit.  
“Kau menjadi pelukis? Apakah pekerjaan itu memberikan masa depan  buatmu?”
“Melukis panggilan hati, yah. Aku akan menekuni melukis sebagai profesiku kelak.”
“Bagaimana kuliahmu? Ayah  tetap ingin kau menyelesaikan kuliahmu.”
“Kuliah saya pasti akan selesai, Yah. Saya bertanggungjawab dan tetap akan menyelesaikan sekolah saya.”
“Ayah ingin engkau bekerja dikantoran. Bekerja dikantoran masa depanmu lebih jelas. Melukis hanya sebagai hobi saja.”
“Ayah segera sembuh. Ayah tak usah khawatir dengan masa depan saya. Saya bertanggung jawab dengan masa depan saya sendiri.”
Dikamarnya, ibunya menemuinya.
“Jangan membuat ayah kecewa, Bima. Ayah ingin engkau menyelesaikan sarjanamu, lalu melanjutkan kembali pendidikanmu. Ayah ingin engkau bekerja dikantoran.”
“Ma, kenapa sih harus selalu bekerja dikantoran saja? Untuk sekedar gengsi? Lapangan kerja masih terbuka luas, bukan hanya sebagai pegawai kantoran saja. Banyak sarjana menganggur justru karena selalu bermimpi ingin menjadi pekerja kantoran. Aku akan tetap menekuni melukis. Apapun yang akan kuhadapi nanti, aku yakin aku bisa hidup dengan melukis.”
“Oh, Bima. Kau hanya akan membuat ayah merasa kecewa. Menjadi pelukis? Dan berjualan lukisan? Pikirkan lagi. Segera selesaikan kuliahmu dan segera mencari pekerjaan yang layak.” Tukas ibunya.
“Oh ya, ayah bilang mobil yang hitam itu bawa saja olehmu. Sudah sejak lama ayah menyuruh mama memberikan kunci mobil itu kepadamu untuk membantu kegiatanmu sehari-hari disana. Sengaja mama tahan. Mama ingin engkau mandiri.” Ratna menyerahkan kunci mobil pada Bima.
“Tidak usah, ma. Aku bisa naik motor kemana-mana.”
“Motormu tinggalkan disini. Motor itu sudah tua. Bawalah mobil itu.” Ratna mengambil kunci motor dan menaruh kunci mobil diatas meja.
Bima hanya diam saja. Bukan ini yang kuminta. Aku hanya ingin ayah setuju aku menikah dengan Intan. Namun kalimat itu ditelan kembali.  


----- 0 -----


Waktu begitu cepat berlalu. Empat tahun seakan kilatan cahaya. Hari berganti begitu cepat. Tak terasa Intan sudah lebih dahulu menyelesaikan pendidikannya. Dia kembali ke Sumedang. Disusul Bima. Mereka kembali menempati kamar mereka masing-masing. Tak ada pembicaraan lain selain topik mendapatkan pekerjaan setelah selesai kuliah dan menikah. Tak pernah sekalipun orangtua mereka membicarakan lagi mengenai hubungan Bima dan Intan. Mereka mengira bahwa dengan panjangnya perjalanan waktu dan terpisah cukup lama, Bima dan Intan sudah bisa saling melupakan dan menemukan cinta yang lain. Kenyataannya mereka keliru. Bima dan Intan masih saling memperhatikan.  
Bima memperhatikan Intan yang tengah membatik. Dia melukis Intan yang tengah membatik. Intan dilukiskan memakai kain dan kebaya dengan rambutnya yang diikat diatas membentuk sanggul. Ketika lukisan itu telah selesai, Intan memajangnya di ruangan tempat dia menyimpan batik.
Suatu hari seorang pengusaha bernama Andika melihat lukisan itu dan membelinya. Dari Andika yang memiliki gallery lukisan, datang permintaan untuk melukis dengan latar kegiatan membatik.
“Ini menarik sekali. Lukisan dengan latar kegiatan membatik.” Kata Andika.
Intan mendiskusikan hal itu pada Bima memacu semangat Bima untuk terus berkarya. Gilar yang melihat apa yang dikerjakan Bima dan Intan akhirnya mendukung usaha kedua anaknya itu. Paviliun disamping rumah dibenahi. Dua buah ruangan dibongkar menjadi satu hingga menjadi ruangan yang cukup luas untuk menjual batik dan memajang lukisan. Pengunjung bisa datang untuk melihat batik sekaligus lukisan.

----- 0 -----


Winda memperhatikan Bima dan Intan sepertinya sudah tidak bisa dipisahkan lagi. Dia sedih dengan keadaan ini. Begitu sulitkah bagi kedua anak itu untuk menemukan cinta yang lain diluar sana?
“Ayah, haruskah kita tetap bertahan dengan penentangan kita pada mereka? Bima dan Intan saling mencintai sejak lama. Keteguhan mereka yang tak bisa mencari yang lain sudah cukup membuka mata kita bahwa mereka berdua saling menunggu.” Kata Winda akhirnya setelah tak bisa lagi menahan perasaannya.
Gilar melayangkan pandangannya keluar jendela.  Dari loteng rumahnya dia melihat Intan dan Bima yang tengah sibuk mengatur ruangan faviliun samping keluar masuk favilliun. Keduanya terlihat gembira bersama-sama.
“Lihatlah mereka. Mereka kelihatan bahagia sekali. Pernahkah kita melihat Bima segembira itu? Bima menemukan kegembiraannya bila tengah bersama dengan Intan. Dan ini sudah sejak lama kurasakan. Jauh sebelum mereka tumbuh dewasa.” Ucap Winda. Tatapan matanya ikut melayang kebawah. Pada Bima dan Intan yang tengah berada di faviliun samping rumah.  
Maafkan ayah, Bima. Selama ini ayah terlalu egois dan tak mau memahami perasaan kalian berdua. Gilar menangis. Dia merasa bersalah pada kedua anaknya.
Winda mengelus bahu suaminya. “Seringkali apa yang terjadi tidak sesuai dengan harapan kita. Kita harus sadar bahwa segala sesuatunya sudah ada yang mengatur. Bagaimanapun kita mencoba memisahkan mereka berdua, namun kenyataannya mereka tetap bertemu dan bersama lagi. Ini yang harus kita sadari. Sebelum akhirnya kita menyesal sendiri dengan apa yang sudah kita lakukan buat mereka berdua.”


----- 0 -----


Hubungan Lastri dan Intan tidak putus walaupun mereka sudah sama-sama lukus dan kembali ke kota kelahiran mereka masing-masing.
“Lastri, aku mengembangkan usaha batik. Aku sangat berterima kasih kepadamu. Kau mengajarkan aku membatik. Aku ingin mengembangkan usaha sendiri di kotaku di Sumedang. Sumedang bukan daerah dengan tradisi membati. Saat ini ada beberapa perajin yang sudah membuka usaha sebagai perajin batik. Namun jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Ini peluang usaha buatku.” Kata Intan mengabari sahabatnya semasa kuliah.
“Aku mendukungmu. Bila kau perlu bantuan jangan segan menghubungi aku. Mengembangkan usaha batik kau membutuhkan pekerja yang sudah terlatih. Aku bisa membantumu. Beberapa pegawaiku bisa aku kirim ke tempatmu untuk membantu usahamu sekaligus memberikan pelatihan.” Kata Lastri.
“Aku ingin mencoba mengembangkan batik motif daerah. Untuk saat ini aku masih kesulitan untuk memproduksi sendiri. Bagaimana bila kita bekerja sama. Kau yang memproduksinya ditempatmu dan aku mencoba mengenalkan dan memasarkannya?”
“Dengan senang hati. Kita mulai dengan membicarakan motif.”
Hampir setiap hari Lastri dan Intan berkomunikasi membicarakan motif yang akan mereka buat.
“Motif-motif bunga Wijayakusumah, bunga teratai, kujang, kereta nagapaksi, kuda renggong, hanjuang, daun boled, adalah motif-motif yang akan kita buat. Aku akan kirim gambarnya lewat ponsel.   Kau bisa melihat motif yang aku buat. Mana yang perlu dikoreksi dan diperbaiki.”
Beberapa motif selesai dibuat.
“Aku sudah selesai memesan cantingnya. Yang akan kita produksi adalah batik cap kombinasi tulis.” Kata Lastri.
“Untuk produksi pertama, kita buat seratus potong dulu. Dengan beberapa motif. Aku sendiri akan mencoba membuat motif-motif yang sama disini.”
Kerjasama dengan Lastri membuat Intan bisa lebih leluasa mengembangkan usahanya.


----- 0 -----


Bima memperhatikan motif-motif batik di gallery Intan. “Seni lukis dan membatik bisa dipadukan. Sekarang banyak inovasi membatik dengan menerapkan seni lukis pada batik.”
Intan memperhatikan Bima mengerjakan seni lukis batik. “Seni lukis batikmu punya nial jual, Bima.”
“Kau bisa menjualkannya untukku?”
“Akan aku coba.”
Intan memajang seni lukis itu pada facebooknya. Salah seorang teman fesbuknya melihat lukisan itu. Namanya Bismet.  Bismet   meminta teleponnya. Dia datang dan membeli lukisan itu. Kedatangan Bismet  bukan hanya itu. Dia tertarik pada Intan. Intan sendiri menyukai Bismet. Hubungan mereka semakin dekat. Hampir setiap waktu Bismet mengunjungi Intan. Intan kelihatannya senang dan bahagia dekat dengan Bismet. Bima merasa tersisih dengan kehadiran Bismet. Apalagi Bismet menunjukan keseriusannya dalam mendekati Intan. Bima tahu hubungan Intan dengan Bismet semakin dekat. Dia cemburu. Dan akhirnya dia berhenti melukis.
“Jujur, aku tak bisa mengandalkan hidupku dari melukis. Aku akan mencari pekerjaan di Jakarta. Atau kembali ke Jogya.” Kata Bima suatu hari dengan wajah muram.
“Lukisan-lukisanmu laku, Bima. Ini permulaan yang bagus. Memang sangat sulit menjual lukisan. Tapi lukisanmu mulai dikenal orang. Dan Bismet bilang……”
“Kenapa selalu saja membawa-bawa nama Bismet dalam pembicaraan kita?”
“Oh, kau tak suka pada Bismet? Dia seorang pengusaha. Dan dia ternyata bisa menjualkan lukisanmu pada rekan-rekannya.”
“Aku tidak bilang aku tidak suka pada Bismet. Namun aku merasa rasanya aku jadi ikut mengandalkan hasil jualanku pada Bismet. Aku tak suka dengan kondisi seperti ini. Tanpa Bismet pun aku bisa menjual lukisanku sendiri.”
Intan terdiam. Dan mencoba mengerti.
Bima mencari pekerjaan. Lamarannya diterima pada salah satu perusahaan pengembang di Jakarta. Dia pergi ke Jakarta tanpa memberitahu Intan. Intan merasa Bima marah dan kecewa kepadanya. Namun dia tak bisa berbuat apa selain menerima keadaan itu. Dan tetap mengurus usaha batiknya. Walaupun ada perasaan kehilangan karena sudah tidak ada Bima lagi yang menemaninya dalam menjalankan usahanya ini.   Bila ada lukisan Bima yang terjual, dia mentransfer uangnya ke rekening Bima.
“Kau masih tertarik untuk kembali melukis?” Intan menelepon Bima suatu hari.
“Aku sudah bekerja. Aku lebih baik menekuni pekerjaanku dan berkarier dengan baik.” Sahut Bima datar.
Intan tidak tahu, sepulang kerja, Bima semalam suntuk hingga pagi menyelesaikan lukisan-lukisannya. Kamarnya penuh dengan lukisan-lukisan. Dia hanya menyimpannya dan berharap suatu saat dia akan mengirimkannya pada Intan. Dia menahan rasa rindunya. Dia tak ingin terluka. Hubungan Intan dan Bismet terlihat serius. Karena itu dia mencoba menghindar dari Intan.  


----- 0 -----


Bismet  menatap cincin yang telah dipersiapkannya untuk Intan. Dia tak akan menyerahkan cincin itu buat Intan. Intan tidak mencintainya. Cinta Intan untuk Bima. Andaikan Intan dan Bima dipisahkan ribuan kilometer antara dua benua, cinta mereka tak akan pernah terpisahkan lagi.  Berbulan-bulan lamanya dia mencoba merajut harapannya bersama Intan. Dia yakin, cintanya pada gadis itu akan sanggup meluluhkan perasaan gadis itu. Intan baik dan perhatian. Dia menikmati hari-harinya bila tengah bersama Intan. Intan pun seorang teman yang enak diajak diskusi. Bersama Intan dia menemukan seorang kawan bicara yang menyenangkan dan tidak kaku. Dia merasa yakin bahwa Intan adalah gadis yang dicarinya selama ini. Gadis yang akan mendampinginya hingga masa tua nanti. Namun kenyataannya dia merasa kecewa ketika dia mendapati kenyataan bahwa Intan masih memikirkan Bima.
“Maafkan aku, Bismet. Aku mungkin mencintaimu, namun kenyataannya aku tak bisa melupakan Bima. Dia begitu marahnya pada aku sehingga dia kini bahkan tak mau pulang karena bila pulang dia pasti akan bertemu dengan aku.” Ucap Intan suatu hari.
Perasaan Bismet tersingggung mendengar ucapan Intan. Saat itu juga dia memutuskan tak akan menemui gadis itu lagi. Saat hatinya tengah kecewa oleh Intan, justru  dia   menemukan cintanya bersama Della.  Della selalu ada untuknya. Orangtuanya tidak salah telah memilihkan Della untuknya. Pilihannya sendiri kenyataannya membuatnya sering sakit hati. Bila dia mencintai gadis lain belum tentu dia mendapatkan perhatian yang begitu besar seperti della memperhatikannya.
“Aku mungkin bukan wanita terbaik yang pernah engkau kenal, namun aku selalu ingin memberikan yang terbaik untukmu, Bismet.” Ucap Della. Lembut dan keibuan. Bismet sadar, Della-lah untuknya.


------ 0 -----


Lima tahun berlalu. Intan masih meneruskan usahanya menjadi pengusaha batik. Intan dan Lastri masih sering berhubungan. Bila ada waktu, Intan suka pergi ke Jogya dan melihat kesibukan Lastri sebagai pengusaha batik.
“Akhirnya batik juga yang jadi pekerjaanku. Aku tak bisa meninggalkan usaha keluargaku ini. Kau lihat, dari sehelai batik ini banyak menyerap tenaga kerja. Aku harus menghidupi banyak pekerja yang selama bertahun-tahun lamanya mengabdikan dirinya bekerja pada keluargaku. Ibuku sudah tua dan sudah ingin beristirahat. Aku tak mencari pekerjaan kantoran. Aku memilih meneruskan usaha keluargaku ini. Dan kenyataannya aku nyaman dengan pekerjaanku ini.”
Lastri telah menikah dengan Eko, kekasihnya semasa kuliah dulu. Mereka sudah punya anak. Intan melihat kehidupan Lastri dan Eko terlihat tentram dan bahagia.
“Kapan kau menyusul?”
“Belum ada jodohnya.”
“Bagaimana dengan Bima?”
“Dia sudah bekerja di Jakarta. Aku sendiri jarang bertemu dengan dia.”
“Yang namanya jodoh tidak akan kemana. Bila memang Bima jodohmu, dia pasti akhirnya akan kembali kepadamu.”
“Aku tak mau terlalu banyak berharap. Sudah terlalu lama aku dan Bima tak pernah lagi membicarakan antara aku dan dia. Mungkin Bima sudah menemukan wanita lain.”
“Apakah Bima pernah membawa seseorang yang diperkenalkan secara istimewa pada keluargamu?”
“Kurasa belum pernah.”
“Barangkali Bima pun sulit menemukan wanita yang cocok dengan dirinya. Setiap orang mencari-cari pasangan hidupnya. Dan perjalanan setiap orang tidak sama. Ada yang jalannya lebih pendek dan langsung menikah. Ada yang jalannya panjang dan penuh liku sebelum akhirnya menemukan tambatan hatinya. Tiap orang punya jalannya masing-masing.”


----- 0 ----


Bima menikmati kesibukannya bekerja pada sebuah perusahaan pengembang di Jakarta.  Kesibukan yang membuatnya lupa untuk memikirkan seorang wanita. Berulangkali Ratna dan Winda menanyakan hubungan Bima dengan calon pasangan hidupnya. Namun jawaban Bima seakan tidak memuaskan. Winda khawatir Bima menjadi patah hati karena cintanya yang ditentang bersama Intan. Ketika Bima pulang, Winda mencoba bicara.
“Ibu sudah ingin melihatmu menikah, Bima.”
“Belum, Bu.”
“Sudah adakah gadis yang serius ingin kau nikahi?”
Bima hanya tersenyum.
“Kecemasan itu selalu ada dalam hati ibu. Juga mungkin dalam hati mama Ratna dan ayah. Kami khawatir kau patah hati.”
“Hatiku sejak dulu sudah patah, bu. Bila saat ini membicarakan masalah patah hati, semuanya sudah lewat.” Bima tersenyum. Senyum pedih.
Airmata Winda berlinang. Dia memahami perasaan Bima.
 “Bima, usiamu sudah cukup untuk berumah tangga. Selama ini ayah  tak pernah melihatmu membawa gadis kerumah.”
“Belum ketemu saja dengan jodohnya, yah.”
“Bima, apakah kamu masih memikirkan Intan?”
“Kenapa ayah bertanya begitu?”
“Ayah khawatir, kau tak pernah berhubungan dengan gadis lain karena hanya Intan yang ada dalam hatimu.”
“Ayah, andaikan aku berbicara jujur pada ayah, apakah ayah akan setuju? Apakah bila aku mengatakan bahwa memang hanya Intan yang ada dalam hatiku ini apakah hati ayah akan luluh? Terlalu panjang perjalananku selama ini. Namun aku selalu menyimpan semua ini sendirian saja.”
Gilar menangis. “Maafkan ayah, Bima. Sungguh ayah merasa sangat berdosa selama ini telah memisahkan kalian berdua. Bila memang Allah mentakdirkan kalian berjodoh, ayah memberikan restunya kepada kalian.”


----- 0 -----


Ketika Bima pulang ke Sumedang, Intan masuk ke kamar Bima. Dia melihat begitu banyak lukisan yang selama ini tak pernah diperlihatkan Bima kepadanya.
“Aku masih tetap melukis. Semua ini lukisanku yang aku simpan selama dua tahun ini. Aku menyimpannya untukmu.” Ucap Bima pelan.
“Kenapa kau tak pernah menyerahkannya  kepadaku? Aku bisa menjualkan lukisanmu. Banyak yang suka menanyakan lukisanmu.”
“Aku tak ingin menyerahkan  lukisan lagi kepadamu bila hanya membuat hatiku luka.”
“Kau cengeng.”
“Laki-laki juga bisa menangis, Intan.”
“Aku ingin engkau lelaki tegar.”
“Aku berjuang dengan hidupku. Namun salahkah bila dalam hidupku ada saat-saatnya aku ingin menangis dan menumpahkan perasaanku dengan airmataku?”
Intan memegang tangan Bima. “Aku kenal kamu selama berpuluh tahun lamanya, sejak kita masih sama-sama kecil, kita sudah bersama dan saling mengenal. Jangan simpan airmatamu. Kau percaya padaku, kan?”
Keduanya berpelukan. Dan sama-sama menangis. Pedih.


----- 0 -----


Mereka bertemu di Bali tanpa sengaja. Intan menghadiri pameran batik di Bali bersama Lastri, diajak Lastri. Sementara Bima tengah mendapat tugas dari kantornya. Mereka bertemu di hotel yang sama.  Dari Bali keputusan itu diambil.
“Aku tak tahu kau berada di Bali.” Kata Bima.
“Aku kerja sambil liburan.”
“Kapan kau akan pulang kembali ke Sumedang?”
“Lusa aku akan kembali ke Sumedang.”
“Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu.”
“Apa?”
“Pernahkah terpikir olehmu, bahwa perjalanan kita ini sudah lama sekali sejak kita sama-sama meninggalkan Sumedang, meninggalkan keluarga kita untuk mencari masa depan kita?”
“Ya, sudah lama sekali.” Sahut Intan.
“Dan kita seakan terbius mencari yang disebut dengan masa depan itu. Dan yang disebut masa depan itu adalah sekarang, saat ini yang sedang kita jalani.”
“Ya.”
“Pernahkah terpikir olehmu bahwa usia kita telah semakin menanjak? Hidup kita sudah lama sekali kita jalani dan kita belum juga bertemu dengan pasangan hidup kita.”
Intan diam.
“Terpikirkah olehmu jodoh itu adalah takdir dari Allah?”
“Ya.”
“Andaikan seseorang memang ditakdirkan untuk berjodoh, berapapun rentang jarak yang memisahkan mereka, betapapun lamanya waktu yang telah memisahkan mereka, mereka akhirnya akan bertemu kembali dan bersatu. Itulah yang disebut jodoh.”
“Ya.”
“Aku tahu, kita pernah saling mencintai. Dan kenyataannya cinta itu tetap masih ada dihatiku kepadamu, Intan. Betapapun orangtua kita menentang cinta kita, bagaimanapun ayah  telah mencoba memisahkan kita, namun kenyataannya aku tetap tak bisa melupakanmu. Aku tetap menempatkanmu dalam hatiku.
Intan meneteskan airmatanya. “Bima, apa yang salah dengan perasaanku? Kenyataannya aku pun tetap tak bisa menerima lelaki lain dalam hatiku. Aku tak ingin mengingkari perasaanku, kenyataannya aku hanya bisa menerimamu dalam hatiku sebagai satu-satunya lelaki yang bisa mengisi setiap rongga dalam hatiku.”
Bima memegang tangan Intan.  “Lalu, apa lagi yang harus kita tunggu. Ayah  sudah merestui hubungan kita. Intan, tak ada lagi yang akan menghalangi cinta kita. Allah memberikan ujian pada kita untuk menguji cinta kita. Lusa kita pulang sama-sama ke Sumedang. Aku akan melamarmu dan kita akan melangsungkan pernikahan. Tak ada yang salah dengan cinta kita.”
Intan membalas genggaman tangan Bima. Dan tak ingin melepaskannya lagi. Untuk selamanya.  


------ 0 ------


 









Ket : Foto diambil dr google.