Pada
jaman dahulu hiduplah seorang pangeran yang baik hati. Namun seumur hidupnya
sang pangeran ini selalu murung dan
muram. Selama ini dia selalu merasa malu bila bergaul dengan puteri-puteri
manapun karena dagunya yang panjang dan berwarna merah seperti cabai.
“Mengapa
daguku panjang dan makin lama makin merah warnanya?” keluh sang pangeran pada
ibundanya.
“Maafkan Bunda, anakku.” Kata ibundanya.
“Semua ini kesalahan ayah dan bunda
ketika kau masih dalam kandungan.”
“Oh, apakah kesalahan ayaha dan bunda
sehingga aku yang harus menanggung akibatnya?” tanya sang pangeran.
“Ketika kandungan bunda berusia tujuh bulan,
ayah dan bunda menyelenggarakan selamatan di istana untuk keselamatanmu. Ketika
acara sudah diselenggarakan, datanglah
seorang nenek. Ayah dan bunda tidak tahu kalau nenek itu adalah seorang nenek
sihir. Nenek sihir itu marah-marah
karena ayah dan bunda lupa mengundangnya ke istana. Nenek sihir itu merasa
tersinggung karena tidak diundang padahal dia tinggal di hutan yang masih masuk
ke wilayah kerajaan kita. Nenek sihir itu menyihir perut bunda. Bila bayi yang
akan lahir nanti laki-laki maka dagunya akan panjang dan berwarna merah seperti cabai. Tapi bila
yang lahir seorang puteri, nenek itu menyumpah agar hidungnya bulat
dan merah seperti tomat.”
Air mata ibundanya berlinang karena merasa
sedih mengingat peristiwa di masa lalu. “Sebelum ayah dan bunda sempat meminta
maaf dan memohon agar nenek sihir itu agar mencabut kembali sihirnya, nenek itu
telah pergi keluar dan tak ada seorangpun yang sanggup mengejarnya.”
“Ketika
tiba saatnya melahirkan,” ibundanya melanjutkan kembali ceritanya. “hati bunda
dilanda kerisauan yang amat kepalang. Ternyata yang lahir adalah seorang
putera, dirimu, anakku. Apa yang ditakutkan oleh bunda ternyata benar terjadi.
Dagumu panjang dan berwarna merah
seperti cabai. Aduh, tak kuasa bunda menahan kesedihan bunda melihat keadaanmu.
Bunda meminta kepada ayahmu untuk mencari nenek sihir itu, namun hingga
sekarang nenek sihir itu tidak berhasil ditemukan.”
Sang
pangeran termenung dengan perasaan masygul. Dia tidak mengira bila keliharannya
memiliki cerita seperti itu.
“Maafkan bunda, anakku, karena kesalahan ayah
dan bunda kau yang harus menanggung akibatnya seperti ini.”
“Tidak
apa-apa, Bunda.” Sahut sang pangeran dengan penuh kebesaran hati. “Aku maklum, barangkali dulu ayah dan bunda
benar-benar tidak tahu kalau ada seorang nenek sihir yang tinggal di hutan yang
masih masuk wilayah kita. Aku akan berusaha mencari nenek sihir itu dan meminta
maaf. Aku akan mencarinya meskipun harus mencarinya keujung dunia.”
“Pergilah
anakku, semoga usahamu berhasil.”
Keesokan
harinya, pergilah sang pangeran berkelana mencari nenek sihir itu. Dia menaiki
gunung, melintasi hutan dan terus mencari si nenek sihir itu. Hingga akhirnya
setelah sebulan lamanya berkelana, sang pangeran tiba di sebuah gubuk kayu
ditepi hutan. Hutan itu merupakan perbatasan wilayah kerajaan ayahnya dengan
kerajaan lain.
Didepan gubuk itu sang pangeran melihat
seorang nenek sedang duduk termenung sendirian.
“Selamat siang, Nek. Bolehkah saya ikut
beristirahat sebentar?” tanya sang pangeran sambil turun dari kudanya.
Nenek itu menatap sang pangeran. Tiba-tiba
matanya menatap wajah sang pangeran dengan seksama. “Siapakah engkau?” tanya
nenek itu dengan nada ketus.
“Saya seorang pangeran. Saya sedang mencari
seorang nenek yang telah menyihir dagu saya hingga panjang dan merah seperti
cabai ini.” Kata sang pangeran dengan suara ramah dan sikap penuh sopan
santun. “Saya juga akan meminta
maaf kepada nenek sihir itu karena dulu
orang tua saya lupa mengundang nenek itu ketika sedang menyelenggarakan
selamatan tujuh bulan usia saya dalam kandungan.”
“Nenek yang kau cari itu adalah aku.” Kata
nenek itu tiba-tiba.
Sang pangeran terperanjat kaget bercampur
girang. “Oh, benarkah, nek? Kalau benar neneklah orang yang saya cari, tentu
nenek akan dapat memulihkan wajah saya hingga normal seperti manusia lain pada
umumnya.”
“Tentu saja.” Sahut nenek sihir itu. “Tapi
apa pedulinya aku harus memulihkan wajahmu?”
“Nenek yang baik, seandainya saja orangtuaku
dulu telah melakukan kesalahan kepadamu, saya secara pribadi memohonkan maaf
kepada nenek. Saya tahu, orang tua saya dulu tidak bermaksud menyakiti perasaan
nenek. Barangkali karena terlalu banyak yang harus diundang sehingga nenek
terlewat oleh mereka tidak diundang.”
Nenek sihir itu mendengus judes.
“Nek, maukah nenek memaafkan kesalahan
orangtua saya dulu? Seandainya saja nenek mau memaafkan kesalahan orangtua
saya, alangkah bahagianya hati saya. Seandainya saya menikah nanti, saya
berjanji, nenek adalah orang pertama yang akan saya undang untuk menghadiri
resepsi perkawinan saya?”
“Oh, benarkah?” Wajah nenek sihir itu
mendadak cerah.
“Ya, saya berjanji. Tapi barangkali sampai
kapanpun janji saya kepada nenek tidak akan dapat saya penuhi karena selama ini
tak ada seorangpun puteri yang mau diperistri oleh saya. Mereka selalu
mentertawakan dagu saya yang panjang dan merah seperti cabai.” Sahut pangeran
dengan raut wajah sedih.
“Oh, bodoh benar puteri-puteri itu!” Si nenek
sihir mendengus sebal. “Coba kita lihat nanti, puteri mana yang masih akan
menolak seorang pangeran tampan sepertimu. Sim salabim!”
Si nenek sihir menunjuk dagu sang pangeran.
Ajaib, dagu sang pangeran tiba-tiba berubah normal. Wajah sang pangeran
kelihatan tampan dengan dagunya yang indah. Si nenek memberikan sebuah cermin
kepada sang pangeran. Pangeran itu bersorak gembira ketika melihat wajahnya
telah normal seperti manusia lainnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia melihat
wajahnya yang tampan dan berseri-seri.
“Oh, nenek yang baik. Terima kasih. Seumur
hidup saya tak akan melupakan kebaikan hati nenek. Dan saya juga tak akan
melupakan janji saya kepada nenek.” Kata sang pangeran dengan penuh suka cita.
Setelah itu sang pangeran kembali pulang ke
istana kerajaan. Raja dan ratu merasa gembira melihat putera mereka telah
kembali dengan selamat. Apalagi ketika melihat wajahnya yang tampan dan berseri-seri. Sang pangeran tidak kelihatan
murung lagi.
Untuk merayakan kegembiraan mereka, raja dan
ratu mengundang puteri-puteri dari kerajaan tetangga. Pada kesempatan itu sang
pangeran berkenalan dengan salah seorang puteri yang cantik dan baik hati. Tak
lama kemudian mereka merayakan pernikahan mereka. Seperti janji sang pangeran,
nenek sihir itu adalah orang pertama yang mendapat kiriman kartu undangan
perkawinan sang pangeran. Alangkah senangnya hati si nenek sihir. Dia datang
menghadiri perayaan perkawinan sang pangeran. Wajahnya tidak lagi cemberut
seperti dulu.
--- 0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar