Jumat, 10 Mei 2013

Pangeran Berdagu Panjang




Pada jaman dahulu hiduplah seorang pangeran yang baik hati. Namun seumur hidupnya sang  pangeran ini selalu murung dan muram. Selama ini dia selalu merasa malu bila bergaul dengan puteri-puteri manapun karena dagunya yang panjang dan berwarna merah seperti cabai.
“Mengapa daguku panjang dan makin lama makin merah warnanya?” keluh sang pangeran pada ibundanya.
“Maafkan Bunda, anakku.” Kata ibundanya. “Semua ini  kesalahan ayah dan bunda ketika kau masih dalam kandungan.”
“Oh, apakah kesalahan ayaha dan bunda sehingga aku yang harus menanggung akibatnya?” tanya sang pangeran. 
“Ketika kandungan bunda berusia tujuh bulan, ayah dan bunda menyelenggarakan selamatan di istana untuk keselamatanmu. Ketika acara sudah diselenggarakan,  datanglah seorang nenek. Ayah dan bunda tidak tahu kalau nenek itu adalah seorang nenek sihir.  Nenek sihir itu marah-marah karena ayah dan bunda lupa mengundangnya ke istana. Nenek sihir itu merasa tersinggung karena tidak diundang padahal dia tinggal di hutan yang masih masuk ke wilayah kerajaan kita. Nenek sihir itu menyihir perut bunda. Bila bayi yang akan lahir nanti laki-laki maka dagunya akan panjang  dan berwarna merah seperti cabai. Tapi bila yang lahir seorang puteri, nenek itu menyumpah agar hidungnya  bulat   dan merah seperti tomat.”
Air mata ibundanya berlinang karena merasa sedih mengingat peristiwa di masa lalu. “Sebelum ayah dan bunda sempat meminta maaf dan memohon agar nenek sihir itu agar mencabut kembali sihirnya, nenek itu telah pergi keluar dan tak ada seorangpun yang sanggup mengejarnya.”
“Ketika tiba saatnya melahirkan,” ibundanya melanjutkan kembali ceritanya. “hati bunda dilanda kerisauan yang amat kepalang. Ternyata yang lahir adalah seorang putera, dirimu, anakku. Apa yang ditakutkan oleh bunda ternyata benar terjadi. Dagumu panjang  dan berwarna merah seperti cabai. Aduh, tak kuasa bunda menahan kesedihan bunda melihat keadaanmu. Bunda meminta kepada ayahmu untuk mencari nenek sihir itu, namun hingga sekarang nenek sihir itu tidak berhasil ditemukan.”
Sang pangeran termenung dengan perasaan masygul. Dia tidak mengira bila keliharannya memiliki cerita seperti itu. 
“Maafkan bunda, anakku, karena kesalahan ayah dan bunda kau yang harus menanggung akibatnya seperti ini.”
“Tidak apa-apa, Bunda.” Sahut sang pangeran dengan penuh kebesaran hati.  “Aku maklum, barangkali dulu ayah dan bunda benar-benar tidak tahu kalau ada seorang nenek sihir yang tinggal di hutan yang masih masuk wilayah kita. Aku akan berusaha mencari nenek sihir itu dan meminta maaf. Aku akan mencarinya meskipun harus mencarinya keujung dunia.”
“Pergilah anakku, semoga usahamu berhasil.”
Keesokan harinya, pergilah sang pangeran berkelana mencari nenek sihir itu. Dia menaiki gunung, melintasi hutan dan terus mencari si nenek sihir itu. Hingga akhirnya setelah sebulan lamanya berkelana, sang pangeran tiba di sebuah gubuk kayu ditepi hutan. Hutan itu merupakan perbatasan wilayah kerajaan ayahnya dengan kerajaan lain. 
Didepan gubuk itu sang pangeran melihat seorang nenek sedang duduk termenung sendirian.
“Selamat siang, Nek. Bolehkah saya ikut beristirahat sebentar?” tanya sang pangeran sambil turun dari kudanya.
Nenek itu menatap sang pangeran. Tiba-tiba matanya menatap wajah sang pangeran dengan seksama. “Siapakah engkau?” tanya nenek itu dengan nada ketus.
“Saya seorang pangeran. Saya sedang mencari seorang nenek yang telah menyihir dagu saya hingga panjang dan merah seperti cabai ini.” Kata sang pangeran dengan suara ramah dan sikap penuh sopan santun.   “Saya juga akan meminta maaf  kepada nenek sihir itu karena dulu orang tua saya lupa mengundang nenek itu ketika sedang menyelenggarakan selamatan tujuh bulan usia saya dalam kandungan.”
“Nenek yang kau cari itu adalah aku.” Kata nenek itu tiba-tiba.
Sang pangeran terperanjat kaget bercampur girang. “Oh, benarkah, nek? Kalau benar neneklah orang yang saya cari, tentu nenek akan dapat memulihkan wajah saya hingga normal seperti manusia lain pada umumnya.”
“Tentu saja.” Sahut nenek sihir itu. “Tapi apa pedulinya aku harus memulihkan wajahmu?”
“Nenek yang baik, seandainya saja orangtuaku dulu telah melakukan kesalahan kepadamu, saya secara pribadi memohonkan maaf kepada nenek. Saya tahu, orang tua saya dulu tidak bermaksud menyakiti perasaan nenek. Barangkali karena terlalu banyak yang harus diundang sehingga nenek terlewat oleh mereka tidak diundang.”
Nenek sihir itu mendengus judes.
“Nek, maukah nenek memaafkan kesalahan orangtua saya dulu? Seandainya saja nenek mau memaafkan kesalahan orangtua saya, alangkah bahagianya hati saya. Seandainya saya menikah nanti, saya berjanji, nenek adalah orang pertama yang akan saya undang untuk menghadiri resepsi perkawinan saya?”
“Oh, benarkah?” Wajah nenek sihir itu mendadak cerah.
“Ya, saya berjanji. Tapi barangkali sampai kapanpun janji saya kepada nenek tidak akan dapat saya penuhi karena selama ini tak ada seorangpun puteri yang mau diperistri oleh saya. Mereka selalu mentertawakan dagu saya yang panjang dan merah seperti cabai.” Sahut pangeran dengan raut wajah sedih.
“Oh, bodoh benar puteri-puteri itu!” Si nenek sihir mendengus sebal. “Coba kita lihat nanti, puteri mana yang masih akan menolak seorang pangeran tampan sepertimu. Sim salabim!”
Si nenek sihir menunjuk dagu sang pangeran. Ajaib, dagu sang pangeran tiba-tiba berubah normal. Wajah sang pangeran kelihatan tampan dengan dagunya yang indah. Si nenek memberikan sebuah cermin kepada sang pangeran. Pangeran itu bersorak gembira ketika melihat wajahnya telah normal seperti manusia lainnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia melihat wajahnya yang tampan dan berseri-seri.
“Oh, nenek yang baik. Terima kasih. Seumur hidup saya tak akan melupakan kebaikan hati nenek. Dan saya juga tak akan melupakan janji saya kepada nenek.” Kata sang pangeran dengan penuh suka cita.
Setelah itu sang pangeran kembali pulang ke istana kerajaan. Raja dan ratu merasa gembira melihat putera mereka telah kembali dengan selamat. Apalagi ketika melihat wajahnya yang tampan  dan berseri-seri. Sang pangeran tidak kelihatan murung lagi.
Untuk merayakan kegembiraan mereka, raja dan ratu mengundang puteri-puteri dari kerajaan tetangga. Pada kesempatan itu sang pangeran berkenalan dengan salah seorang puteri yang cantik dan baik hati. Tak lama kemudian mereka merayakan pernikahan mereka. Seperti janji sang pangeran, nenek sihir itu adalah orang pertama yang mendapat kiriman kartu undangan perkawinan sang pangeran. Alangkah senangnya hati si nenek sihir. Dia datang menghadiri perayaan perkawinan sang pangeran. Wajahnya tidak lagi cemberut seperti dulu.

--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar