Rabu, 22 Maret 2017

Daun-daun Emas







Hujan turun begitu derasnya. Diluar angin bertiup dengan kencang. Pondok bambu tua yang sudah lapuk itu terasa  bergoncang tiap kali angin bertiup dengan kencangnya. Mira dan Nuri menutup jendela dan pintu rapat-rapat. Keduanya merasa cemas angin yang bertiup sangat kencang itu akan merobohkan gubuk mereka.

Sudah hampir tiga bulan lamanya udara buruk melanda desa mereka.  Hampir setiap hari hujan deras disertai dengan angin ribut menerpa desa mereka. Beberapa tanggul sudah jebol. Sawah –sawah tergenang banjir sehingga tanaman padi  membusuk. Demikian pula dengan ladang-ladang pun tergenang banjir sehingga segala macam tanaman menjadi rusak.

Hampir seluruh penduduk desa dilanda kesusahan. Mereka tidak bisa pergi ke sawah dan ladang mereka karena cuaca buruk yang melanda desa mereka. Demikian pula dengan Mira dan Nuri. Mereka tidak berani pergi ke ladang karena khawatir dengan cuaca buruk.  Apalagi ibu mereka sudah beberapa waktu lamanya  terbaring sakit. Sehingga mereka hanya berdiam saja didalam pondok sambil menjaga ibu mereka.

Saat itu hari sudah malam.  Langit sangat gelap sekali. Hujan belum juga berhenti. Sesekali angin bertiup dengan kencang. Setiap kali terdengar bunyi berderak dari pintu dan jendela, ibu memanggil keduanya dari dalam kamarnya.

“Mira! Nuri! Tutup pintu dan jendelanya!” kata ibu dengan suara parau.

“Sudah bu, kami sudah menutup pintu dan jendela. Namun pintu dan jendela sudah rusak, tidak bisa ditutup rapat-rapat.” Kata Mira dan Nuri bergantian menemui ibunya.

Ibu keluar kamar dengan langkah tertatih-tatih. Ibu sudah sejak lama menderita sakit. Dulu ibu rajin pergi ke ladang menggarap sepetak ladang mereka, namun sejak ibu sakit Mira dan Nuri yang menggantikan pekerjaan ibu. Namun kini hujan turun hampir setiap hari sehingga Mira dan Nuri pun tidak bisa pergi ke ladang.

Persediaan makanan mereka sudah semakin sedikit. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan selama musim hujan ini. Untuk menjaga persediaan makan yang semakin sedikit, Mira dan Nuri sering hanya membuat bubur saja, dicampur dengan kentang dan wortel. Mira pintar memasak. Masakannya enak. Walaupun mereka hanya bisa memasak bubur, namun bubur buatan Mira sudah bisa mengenyangkan perut mereka.

“Ibu lapar, apa yang bisa kita makan sekarang?” Tanya ibu.

Mira mengambil mangkok besar berisi bubur yang masih hangat. “Kita masih punya bubur, Bu. Ada campuran wortel dan kentang yang sudah dihaluskan. Baunya harum. Masih ada sedikit daging ayam yang saya campurkan. Cobalah.”

Mereka bertiga duduk diatas tikar sambil menikmati bubur pada piring masing-masing. Pada saat itulah terdengar ketukan pelan pada pintu dapur. Nuri membukakan pintu. Dia melihat seorang nenek berdiri diluar dengan tubuh menggigil kedinginan. Tubuhnya basah kuyup kehujanan.

“Nak,  bolehkan nenek menumpang berteduh sebentar disini?” Tanya nenek itu.

Nuri terdiam sejenak sambil memperhatikan nenek itu. Mendadak terdengar suara halilintar menggelegar keras mengejutkannya dan nenek itu. Nuri tidak berpikir lagi, dia langsung membuka pintu gubuknya lebar-lebar.

“Oh, tentu saja nek, silahkan masuk.” Sahut Nuri.

Nenek itu masuk kedalam gubuk tua itu. Nenek itu melihat pemilik rumah tengah menyantap bubur. Namun nenek itu segera duduk sambil menyelunjurkan kakinya. Kelihatannya nenek itu sangat lelah sekali.

Mira dan ibu bertukar pandang. Mereka tidak memiliki makanan lain selain bubur itu. Akhirnya Mira mengambil mangkok buburnya dan menghampiri nenek itu.   

“Marilah menikmati bubur bersama kami, Nek.” Mira menyerahkan mangkok  buburnya pada nenek yang kelihatan sangat lelah dan lapar itu.

“Oh, terima kasih. Bubur ini milikmu. Kau pasti sangat lapar.” Kata nenek itu menolak pemberian Mira.

Mira tersenyum. “Saya tidak lapar, nek. Tapi nenek lebih membutuhkan bubur ini. Nenek pasti belum sarapan. Bubur ini akan cukup mengenyangkan perut nenek.” Kata Mira.

“Kau anak yang baik sekali.” Kata nenek itu sambil menerima mangkok bubur dari Mira. Nenek itu mulai menikmati bubur itu dengan lahap. Kelihatannya nenek itu sangat lapar sekali. Dalam sekejap sepiring bubur sudah habis.

 “Sebentar saya akan menyeduh secangkir teh hangat buat nenek.” Kata Mira sambil pergi kedapur. Dia  menyeduh segelas teh hangat buat nenek itu dan memberikannya pada nenek itu.

“Terima kasih, kalian sekeluarga baik sekali.” Kata nenek itu yang segera meminumnya hingga habis.

“Oh, nikmat sekali rasanya bubur dan secangkir teh hangat ini.  Tubuhku kini terasa hangat lagi.” Kata nenek itu.

“Bila nenek akan tidur, sebentar saya akan menggelar tikar dulu.” Kata Nuri. Dia mengambil sehelai tikar lalu menggelarnya buat alas tidur nenek itu. Dia lalu  memberikan sebuah bantal  pada nenek itu. Sementara Mira mengambilkan selimut tua yang sudah lusuh pada nenek itu.

“Hanya ini yang kami punya, nek.” Kata Mira.

“Baju nenek basah, tidak nyaman tidur dengan baju basah seperti itu.” Kata ibu. “Mira, ambilkan baju ibu dan berikan pada nenek ini untuk gantinya.”

Mira mengambil baju ibunya dan memberikannya pada nenek itu. Setelah mengganti bajunya, nenek itu membaringkan tubuhnya dan sekejap saja nenek itu sudah tertidur nyenyak. Selimut tua menutupi tubuhnya. Sementara diluar hujan masih turun dengan derasnya, sesekali terdengar suara halilintar menggelegar, namun nenek itu tetap tertidur dengan pulas.   Tidurnya kelihatan tenang sekali. Sementara Mira, Nuri dan ibu hanya duduk saja sambil memperhatikan nenek itu. Mereka merasa kasihan pada nenek itu dan bersyukur walaupun mereka sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dimakan namun mereka masih punya tempat untuk berteduh.

Mendadak terdengar suara berderak yang sangat keras sekali dibelakang pondok mereka.

“Oh, bunyi apa itu?” seru Nuri terkejut.

Nenek itu pun terbangun mendengar suara yang berderak sangat keras diluar gubuk. Nuri dan Mira sambil bergegas keluar memburu halaman belakang. Keduanya terkejut ketika melihat pohon besar dihalaman belakang pondok mereka sudah tumbang dihantam angin kencang. Daun-daunnya berserakan memenuhi halaman belakang.

“Oh, untunglah tidak menimpa pondok kita.” Kata Mira.

Nenek itu turun dari gubuk dan memperhatikan daun-daun yang berserakan disekitar halaman belakang gubuk tua itu.  

“Kumpulkanlah daun-daun yang berserakan itu.” Kata nenek itu tiba-tiba.

“Untuk apa daun-daun itu, nek?” Tanya Mira keheranan.

“Daun-daun itu tidak ada gunanya, besok saya akan mengumpulkannya dan membakarnya.” Kata Nuri.

“Kumpulkanlah daun-daun itu sebanyak yang kalian bisa mala mini juga.” Kata nenek itu lagi.

Mira dan Nuri ingin berbicara lagi namun akhirnya mereka diam. Mereka segera mengumpulkan daun-daun itu dan memasukannya kedalam sebuah karung. Setelah itu mereka menaruh karung itu disamping gubuk mereka.  Setelah itu mereka kembali masuk kedalam gubuk dan tidur.

Pagi-pagi  nenek itu pamitan. Nuri dan Mira lalu bekerja kembali seperti biasanya. Mereka lupa pada karung berisi daun itu selama berhari-hari lamanya hingga suatu hari Nuri tidak sengaja menyenggol karung itu. Karung itu terasa sangat berat sekali.

“Ah, aku lupa membuang daun-daun ini.” Kata Nuri sambil membuka karung itu. Mendadak matanya terbelalak. Didalam karung itu penuh dengan emas berbentuk daun. Jumlahnya sangat banyak sekali, sebanyak daun-daun yang dimasukan kedalam karung itu.

“Astaga! Daun-daun emas!” Seru Nuri. Dia segera memanggil Mira. “Mira! Mira! Lekas kemarin! Lihat ini!”

Mira datang menghampiri Nuri. Dia pun terbelalak kaget melihat isi karung itu yang semula berisi daun kini sudah penuh dengan emas berbentuk daun.

Mereka segera menggotong karung itu kedalam gubuk mereka dan memperlihatkannya pada ibunya. Mereka teringat pada nenek renta yang menumpang istirahat digubuk mereka beberapa waktu lalu. Nenek itulah yang meminta Mira dan Nuri memasukan daun-daun dari pohon yang tumbang itu kedalam karung. Dan kini daun-daun itu telah berubah menjadi daun-daun emas yang tidak ternilai harganya. 

Mereka semua sangat bersyukur. Sejak saat itu hidup mereka menjadi berkecukupan dan sejahtera. Mira dan Nuri membawa ibunya ke tabib terkenal sehingga penyakit ibunya akhirnya sembuh dan ibunya bisa pulih kembali seperti sedia kala. Alangkah bahagianya perasaan Mira dan Nuri melihat ibu mereka telah sembuh kembali.  

Walaupun sudah hidup berkecukupan, mereka tidak pernah lupa dengan kehidupan mereka sebelumnya yang serba kekurangan. Mereka selalu menyisihkan sebagian harta mereka dan diberikan pada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Alangkah senangnya bisa hidup berbagi dengan sesama.



--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar