Pak
Hamid memiliki tiga anak perempuan. Halin, Mita dan Gima. Istrinya telah lama
meninggal dunia sehingga pak Hamid membesarkan ketiga putrinya sendirian saja.
Ketika ketiga anak gadisnya telah cukup dewasa, pak Hamid berniat membagikan
hartanya pada ketiga anak gadisnya.
“Anakku,
ayah sekarang sudah tua dan ayah rasanya sudah tidak sanggup lagi bekerja.”
Kata pak Hamid suatu hari pada ketiga anak gadisnya. “Ayah berniat akan
menyerahkan kebun yang selama ini menjadi mata pencaharian ayah kepada kalian
bertiga. Kebun yang satu terletak diujung desa kita ini, sebuah perkebunan yang
luas yang ayah Tanami dengan kopi. Kebun yang kedua terletak diperbatasan desa
ini, sama dengan kebun yang pertama, kebun inipun ditanami dengan kopi. Lalu
yang satu lagi kebun itu terletak dilereng gunung. Seperti kebun yang pertama
dan kebun yang kedua, kebun inipun ditanami dengan kopi.”
Ketiga
anak gadisnya mendengarkan kata-kata ayahnya dengan seksama.
“Ayah
akan membagikan ketiga kebun itu kepada kalian bertiga. Kebun yang pertama ayah
serahkan padamu Halin, lalu kebun yang kedua untukmu Mita dan kebun yang
terletak dilereng gunung ayah serahkan untukmu, Gima. Semua kebun itu berisi
pohon-pohon kopi yang selama ini selalu menghasilkan kopi-kopi yang bagus.
Sekarang kebun-kebun itu sudah menjadi milik kalian, silahkan kalian pelihara
dengan sebaik-baiknya seperti ayah selama ini memelihara kebun-kebun kopi itu
sehingga bisa menghasilkan uang dan bisa mencukupi segala macam kebutuhan
kita.”
Ketiga
anak gadisnya mengucapkan terima kasih pada ayah mereka.
Esok
harinya ketiga anak gadis itu melihat kebun masing-masing. Halin naik delman
menuju kebunnya. Tidak lama kemudian dia sudah sampai dikebunnya dan merasa
takjub melihat kebunnya yang penuh dengan pohon-pohon kopi yang tengah berbuah
lebat. Buah-buah kopi yang telah matang berwarna merah dan kuning. Oh, bukan
main senang perasaannya melihat kopi-kopi yang telah matang dan siap untuk
dipanen.
Mita
pun pergi kekebun bagiannya. Ketika tiba dikebunnya, bukan main senang hatinya
melihat kebun kopi yang tengah berbuah lebat dan siap dipanen. Dia membayangkan
akan segera mendapatkan banyak uang dari hasil penjualan kopinya.
Sementara
itu Gima pun pergi melihat kebun kopinya yang terletak di lereng gunung. Berbeda
dengan kebun bagian kedua kakaknya yang terletak ditanah yang datar, kebun
bagiannya terletak dilereng gunung. Untuk mencapai kebunnya jalannya menanjak
dan berbatu. Tidak ada kendaraan yang bisa mencapai kebunnya dan harus ditempuh
dengan berjalan kaki saja. Gima berjalan sendirian menuju kebunnya. Perasaannya
terasa gamang melihat jalanan yang menanjak sementara kebunnya masih jauh.
Namun dia terus melangkah dan merasa yakin bahwa akhirnya dia akan tiba juga
dikebun yang menjadi bagiannya. Dia teringat pada ibunya yang menyayanginya dan
perasaannya mendadak menjadi sedih. Namun dia menguatkan perasaannya dan terus
melangkahkan kakinya menapaki jalanan yang menanjak dan berbatu. Peluh
membanjiri tubuhnya. Sesekali dia berhenti dan beristirahat sejenak sambil
menikmati bekal makanannya, setelah itu dia meneruskan kembali langkahnya. Akhirnya
dia tiba juga dikebunnya. Segala kelelahan terasa sirna ketika dia melihat
kebun yang menjadi bagiannya penuh dengan pohon-pohon kopi yang tengah berbuah
lebat. Kopi-kopi itu telah siap dipanen. Bukan main gembira perasaannya. Dia
berniat dalam hati akan memelihara kebun kopinya dengan sebaik-baiknya karena
selama ini kehidupan mereka sehari-hari berasal dari hasil kebun kopi.
Esok
harinya Gima kembali lagi ke kebunnya. Dia mengajak mang Parta dan Bi Yayah
yang selama ini menjadi kepercayaan ayahnya dalam mengelola kebunnya. Mang
Parta membawa banyak karung sementara bi Yayah membawa bakul yang akan dipakai
untuk mengisi kopi-kopi yang telah dipetik. Mereka bertiga bekerja dengan tekun
memetik kopi-kopi yang telah merah dan memasukannya kedalam karung dan bakul.
Mereka juga mengumpulkan buah-buah kopi yang dimakan musang dan mengumpulkannya
dalam karung yang berbeda.
Selama
beberapa hari Gima, Mang Parta dan Bi Yayah memanen kopi dan hasilnya
berkarung-karung kopi bertumpuk dan diangkut kerumah dengan menyewa beberapa
tukang pikul.
“Gima,
kamu anak yang baik dan jujur. Ayah percaya padamu kau bisa menjadi petani yang
baik seperti ayah dan ibu.” Kata pak Hamid terharu ketika melihat anak
bungsunya pulang dengan membawa banyak karung-karung berisi kopi.
“Pekerjaan
belum selesai, ayah. Saya, Mang Parta dan Bi Yayah akan segera mengurus
kopi-kopi ini, menjemurnya lalu mengolahnya menjadi kopi-kopi yang siap untuk
dijual. Mudah-mudahan hasilnya bagus.” Kata Gima.
“Kerjakanlah,
ayah percaya padamu.” Kata pak Hamid.
Sementara
itu Halin dan Mita berbeda dengan Gima. Mereka tidak mau bekerja keras. Mereka
menjual kebun kopi itu dan uangnya dipakai untuk bersenang-senang. Mereka pergi
ke kota dan membelanjakan uang hasil penjualan kopi itu pada barang-barang yang
sudah lama mereka inginkan dan menginap di hotel mewah dan hidup
bersenang-senang.
Pak
Hamid sangat kecewa dengan kelakuan Halin dan Mita namun pak Hamid tidak bicara
apa-apa.
Beberapa
waktu kemudian Halin dan Mita pulang kembali ke desa. Mereka terlihat sangat
bingung. Uang hasil penjualan kebun kopi itu telah habis tak bersisa dan
sekarang mereka bingung karena sudah tidak punya apa-apa lagi. Mereka mencoba
meminta uang pada ayah mereka namun pak Hamid menolak dengan tegas.
“Tidak,
anakku.” kata pak Hamid. “Ayah sudah tidak memiliki apa-apa lagi selain rumah
yang ayah tempati ini. Rumah ini adalah harta satu-satunya yang masih ayah
miliki. Ketiga kebun yang luas itu sudah ayah serahkan dengan adil pada kalian
bertiga, namun kau, Halin dan Mita malah menjual kebun yang ayah berikan pada
kalian. Hanya Gima yang mengolah kebun kopi seperti ayah dan ibu dulu mengolah
kebun kopi sehingga menghasilkan uang dan bisa mencukupi kebutuhan kita. Ayah
sangat kecewa dengan kalian berdua. Kalian tidak mau bekerja dan hanya ingin
senang saja. Sekarang kalian susah sendiri karena kalian tidak mau bekerja
keras. Namun perasaan ayah terhibur melihat Gima sungguh-sungguh bekerja keras
sehingga kebun kopi bisa tetap panen dan menghasilkan uang.”
Halin
dan Mita menangis mendengar ucapan ayahnya, mereka menyesal telah
menyia-nyiakan kepercayaan ayahnya. Sejak itu mereka setiap hari hanya diam
dirumah dan bekerja membereskan rumah dan memasak. Sementara Gima hampir setiap hari pergi ke kebun kopi memeriksa
kopinya. Beberapa tahun kemudian dari hasil penjualan kopi Gima sudah bisa
membeli lagi beberapa buah kebun dan ditanami kembali dengan kopi. Gima
memiliki jiwa usaha. Dia mengolah sendiri kopi yang dihasilkan dari kebunnya
dan akhirnya membeli beberapa buah peralatan mesin untuk mengolah kopi-kopinya.
Gima mengajak kedua kakaknya untuk bekerja bersama-sama dengannya. Halin dan
Mita dengan senang hati mau ikut bekerja keras membantu adiknya. Pak Hamid
merasa bahagia melihat Halin dan Mita akhirnya mau berubah dan tidak lagi
menjadi gadis pemalas. Halin dan Mita mendapat upah yang layak dari Gima dengan
pekerjaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar