Didapur istana kesibukan
berbeda dari biasanya. Kali ini dapur istana terlihat penuh dengan kesibukan.
Beragam bahan makanan, sayuran, buah-buahan, daging, berkarung-karung beras
diangkut masuk ke dapur istana dan disimpan didalam gudang. Sekian banyak pelayan tengah sibuk dengan
pekerjaan mereka masing-masing. Yang memotong sayuran, yang memotong daging,
mencuci piring, mencuci sayuran,
menyiapkan bumbu masakan dan beraneka macam pekerjaan lainnya. Semuanya
bekerja dengan tekun dan hati-hati karena yang sedang mereka kerjakan adalah
beragam masakan, makanan dan minuman yang akan dihidangkan pada pesta
perkawinan putra mahkota yang tinggal beberapa hari lagi. Banyak sekali tamu
undangan dari kerajaan lain yang akan diundang menghadiri pesta perkawinan putra
mahkota dan satu persatu yang berasal dari kerajaan yang jauh sudah mulai
berdatangan dan ditempatkan dikamar-kamar istana.
Diantara sekian banyaknya
pelayan yang tengah sibuk bekerja, ada seorang gadis yang sama sibuknya juga
dengan pelayan lainnya. Gadis itu adalah Naila. Naila sudah beberapa tahun
lamanya bekerja sebagai pelayan di istana. Dia sangat rajin bekerja. Karena
sudah lama bekerja di dapur istana, Naila pun akhirnya sangat pintar memasak.
Meskipun tangannya bekerja dengan sangat cekatan, namun Naila bekerja dengan
wajah murung. Perasaannya terasa sedih sekali mengetahui pangeran mahkota,
pangeran Alam akan menikah. Ah, ternyata aku hanyalah punguk yang merindukan
bulan saja, pikir Naila.
Naila teringat dengan
pertemuan pertamanya dengan Pangeran Alam. Saat itu, sekitar setahun lalu,
Pangeran Alam tengah sakit. Pangeran Alam selalu menolak makanan apapun yang
diberikan kepadanya. Raja dan permaisuri tentu saja sangat risau melihat
keadaan pangeran Alam yang makin hari semakin kurus.
"Masaklah masakan yang
enak kegemaran Pangeran Alam, bibi Farida." kata permasuri pada Bibi Unti
yang merupakan kepala dapur istana.
"Baik, Yang
Mulia." sahut bibi Farida.
Di dapur istana, bibi
Farida mengumpulkan para pelayan dan memberi perintah untuk memasak masakan
yang paling enak yang digemari oleh sang pangeran.
"Biasanya pangeran
sangat suka dengan gulai kambing." kata salah seorang pelayan.
"Pangeran sangat gemar
dengan sate domba." kata pelayan yang satunya lagi.
"Pangeran sering minta
dimasakan bistik." kata yang lainnya.
"Pangeran gemar dengan
iga bakar." kata yang lainnya lagi.
Masing-masing pelayan
memberitahu makanan kegemaran sang pangeran.
"Kalau begitu,
masaklah apa yang disukai sang pangeran." kata bibi Farida.
Ketika saat makan tiba,
pelayan istana mendorong kereta makanan yang penuh berisi beragam masakan dan
makanan kegemaran sang pangeran. Ada gulai kambing, ada sate domba, ada bistik
daging sapi, ada iga bakar, beragam kue dan minuman. Namun ketika pangeran
melihat semua makanan itu, dia tetap menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak ingin makan
apapun. Bawalah kembali semua makanan itu." kata sang pangeran.
"Anakku, kau harus
makan. Tubuhmu semakin lama semakin kurus saja. Apa makanan yang kau inginkan?
Biar juru masak istana akan membuatkannya untukmu." kata permaisuri.
"Tidak bu, aku tidak
ingin makan apapun." kata pangeran Alam.
"Kau tidak bisa
begitu. Sakitmu tak akan pernah sembuh bila engkau tidak mau makan
apapun." kata permaisuri dengan kesal. Dia mengambil sebutir apel dan
menyodorkannya pada sang pangeran.
"Bila semua makanan tadi kau tolak, makanlah apel ini. Kau harus
mengisi perutmu agar tidak kosong."
"Ah, ibu. Aku memang
tidak mau makan apapun." sahut sang pangeran.
Oh, bukan main sedihnya
perasaan permaisuri. Saat itu Naila melintas didepan kamar sang pangeran.
Permaisuri melihat pelayan yang melintas, dia memanggilnya.
"Pelayan, kemari.
Ambilah piring buah-buahan ini kedapur. Sang pangeran tetap tak mau makan
apapun." kata permaisuri.
Naila menerima piring
buah-buahan itu. Dia merasa kasihan melihat tubuh sang pangeran yang semakin
kurus. Namun tanpa banyak cakap Naila membawa piring itu ke dapur. Dia
termenung memikirkan sang pangeran. Apa sebenarnya sakit sang pangeran? Kenapa
semua makanan yang enak-enak dan lezat-lezat ini ditolaknya? Naila melihat
tumpukan kunyit didalam wadah bumbu dapur. Tiba-tiba terlintas dalam benaknya
untuk membuatkan jamu untuk sang pangeran. Naila segera membersihkan kunyit dan
mengambil asam yang telah masak. Dia lalu mengolah bumbu dapur itu menjadi minuman
yang menyegarkan. Setelah selesai, bergegas dia menuju kamar sang pangeran dan
mengetuk pintu.
"Siapa?" tanya
sang pangeran.
"Saya, tuanku."
sahut Naila sambil mendorong pintu.
Sang pangeran melihat Naila
yang membawa nampan.
"Apa itu?" tanya
sang pangeran.
"Ini minuman yang
sangat menyegarkan. Pangeran belum pernah mencoba minuman seperti ini. Cobalah
dulu." kata Naila sambil menyodorkan gelas berisi minuman kunyit asam
buatannya.
"Sudah kubilang aku
tidak mau makan dan minum apapun." sahut pangeran.
"Tuanku, cobalah
seteguk saja. Bila yang seteguk itu tidak terasa enak, silahkan tuanku membuang
minuman ini." bujuk Naila.
Melihat kesungguhan pelayan
itu, akhirnya pangeran menerima gelas yang disodorkan kepadanya. Dia minum seteguk.
Minuman itu terasa aneh. Baunya juga aneh.
"Minuman apa
ini?" tanya pangeran sambil memperhatikan isi gelas yang berwarna kuning.
"Minuman ini adalah
jamu, tuanku. Terbuat dari kunyit dan asam serta madu. Rasanya memang aneh.
Namun minuman ini dipercaya akan menyembuhkan beragam penyakit, akan membuat
tubuh kuat dan segar. Ini adalah minuman yang sangat menyehatkan." kata
Naila menjelaskan.
Pangeran mencoba seteguk
lagi. "Baunya memang aneh, rasanya pun tidak enak, namun rasanya perutku
terasa nyaman." kata sang pangeran.
"Apabila pangeran
suka, minuman ini bisa dicampur dengan kuning telur ayam kampung. Pangeran
pasti akan segera pulih kembali." kata Naila.
"Kalau begitu, cobalah
campur dengan ayam kampung, aku ingin mencobanya." kata sang pangeran.
Bergegas Naila pergi
kedapur mengambil sebutir ayam kampung dan kembali lagi ke kamar pangeran.
Naila memecahkan ayam kampung dan memisahkan putih telur dengan merah telurnya.
Merah telurnya dimasukan kedalam gelas. Lalu diaduknya.
"Silahkan tuanku
diminum kembali." kata Naila.
Kali ini pangeran meminum
segelas jamu itu sampai habis. Setelah itu Naila memberikan segelas godogan
gula merah dan secangkir anggur. Pangeran meminumnya sampai habis.
"Siapa namamu?"
tanya sang pangeran.
"Naila, tuanku."
sahut Naila penuh hormat.
"Naila, aku menyukai
minuman yang kau buat. Besok aku buatkan lagi minuman yang seperti tadi.
Lidahku terasa pahit tapi tubuhku terasa segar." kata pangeran.
"Baiklah, tuanku.
Besok saya akan membuatkan lagi jamu untuk tuanku hingga tuanku bisa sembuh
kembali seperti sedia kala." ucap Naila. "Tapi tuanku......"
"Ada apa?" tanya
sang Pangeran.
"Tuanku, minuman jamu
ini sangat menyehatkan buat tubuh tuanku, namun tetap saja tubuh tuanku
membutuhkan beraneka macam makanan lainnya yang akan membuat tuanku akan
kembali pulih seperti sediakala."
"Aku tidak mau
makan......." Pangeran mendadak ragu. Perutnya terasa lapar. "Tapi
yah, aku merasa lapar. Ambilkan aku makanan yang enak. Aku ingin makan
sekarang."
Oh, bukan main gembiranya
raja dan permaisuri ketika mendengar pangeran ingin makan. Naila dan beberapa
pelayan segera sibuk menyiapkan makanan buat sang pangeran dan dibawa kekamar
sang pangeran. Pangeran makan dengan lahap sekali.
Sejak saat itu sang
pangeran selalu ingin dibuatkan jamu oleh
Naila dan sakit pangeran berangsur sembuh. Karena sering bertemu dengan
sang pangeran, akhirnya Naila jatuh cinta pada sang pangeran. Dalam hatinya dia
berharap sang pangeran pun menyukainya. Namun tak lama setelah pangeran sembuh,
Naila mendengar kabar bahwa pangeran akan melangsungkan pernikahannya dengan
puteri Emma dari kerajaan tetangga. Oh, bukan main sedihnya perasaan Naila.
Namun dia menyadari bahwa dirinya hanyalah seorang pelayan saja.
Hari pernikahan sang
pangeran semakin dekat. Semua rakyat ikut gembira. Sementara Naila kembali
sibuk dengan pekerjaannya didapur. Dia merasa hatinya sedih. Pangeran kini
pasti sudah tidak ingat lagi kepadanya.
Malam itu Naila duduk
didepan jendela kamarnya sambil melamun. Langit bertaburan bintang. Cahayanya
berkelap-kelip. Indah sekali. Dia menatap keluar kamarnya. Tiba-tiba dia
melihat seseorang melintas dihalaman. Orang itu berdiri tidak jauh dari
kamarnya. Naila memperhatikan orang itu. Dalam kegelapan dia tidak mengenali
siapa orang itu.
"Naila,
kemarilah." panggil orang itu. Naila memperhatikan sejenak. Dia
mengerutkan keningnya. Orang itu ternyata adalah pangeran Alam. Ah, ada apakah
Pangeran Alam memanggilnya? Bukankah lusa Pangeran Alam akan melangsungkan
pernikahan? Naila merasa ragu, namun akhirnya dia keluar juga menemui Pangeran
Alam.
"Naila, aku sengaja
menemuimu. Aku ingin bicara denganmu." kata pangeran.
"Mau bicara apakah,
tuan?" tanya Naila.
"Naila, engkau telah
mengobati aku. Aku merasa berhutang budi kepadamu. Lusa aku akan menikah, namun
aku tetap merasa ragu."
"Ah, kenapa ragu,
tuanku?"
"Naila, aku hanya
ingin menikah denganmu, gadis yang telah mengobati aku."
"Tuanku, hamba hanya
berusaha semampu hamba untuk mengobati tuanku, namun hamba tidak mengharapkan
balasan apapun dari tuanku." sahut Naila.
"Naila, aku tahu
engkau tulus mengobati aku, namun aku tetap akan merasa berhutang budi
kepadamu. Namun disamping itu, aku tak bisa melupakanmu. Aku.... "
Pangeran menatap Naila.
Naila merasa malu ditatap
seperti itu oleh sang pangeran. Ah, kenapa hatinya menjadi berdebar-debar
seperti ini?
"Naila, maukah engkau
menikah denganku?" tanya sang pangeran.
"Ah, mana mungkin,
tuanku. Tuanku sudah akan menikah dengan seorang puteri. Bagaimana mungkin
tuanku akan bisa menikah dengan hamba?" seru Naila terkejut.
"Naila, semula aku
hanya ingin patuh dan taat pada keinginan ayah dan ibuku yang telah menjodohkan
aku dengan Puteri Emma. namun ayah dan
ibuku tahu aku tidak mencintai calon istriku. Ayah dan ibuku tahu, sejak engkau
mengobati aku, aku sudah jatuh cinta kepadamu dan beliau memberiku kesempatan....."
"Bagaimana dengan
Puteri Emma?"
"Puteri Emma sudah
tahu bahwa aku tidak mencintainya. Begitu juga dengan Puteri Emma, dia pun
tidak mencintaiku. Jadi kami sudah sepakat untuk mengakhiri semua ini sebelum
perkawinan berlangsung."
"Ah, tuanku....."
Naila menjadi bimbang.
"Naila, menikahlah
denganku...."
Hari itu di istana
diselenggarakan pesta pernikahan sang pangeran. Namun bukan dengan Puteri Emma
seperti yang diketahui rakyat selama ini, melainkan dengan Naila. Semua rakyat
merasa terkejut, namun akhirnya mereka tetap bergembira karena akhirnya sang
pangeran sudah memiliki pendamping.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar