Rabu, 22 Maret 2017

Naila dan Jamu










Didapur istana kesibukan berbeda dari biasanya. Kali ini dapur istana terlihat penuh dengan kesibukan. Beragam bahan makanan, sayuran, buah-buahan, daging, berkarung-karung beras diangkut masuk ke dapur istana dan disimpan didalam gudang.  Sekian banyak pelayan tengah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Yang memotong sayuran, yang memotong daging, mencuci piring, mencuci sayuran,  menyiapkan bumbu masakan dan beraneka macam pekerjaan lainnya. Semuanya bekerja dengan tekun dan hati-hati karena yang sedang mereka kerjakan adalah beragam masakan, makanan dan minuman yang akan dihidangkan pada pesta perkawinan putra mahkota yang tinggal beberapa hari lagi. Banyak sekali tamu undangan dari kerajaan lain yang akan diundang menghadiri pesta perkawinan putra mahkota dan satu persatu yang berasal dari kerajaan yang jauh sudah mulai berdatangan dan ditempatkan dikamar-kamar istana.

Diantara sekian banyaknya pelayan yang tengah sibuk bekerja, ada seorang gadis yang sama sibuknya juga dengan pelayan lainnya. Gadis itu adalah Naila. Naila sudah beberapa tahun lamanya bekerja sebagai pelayan di istana. Dia sangat rajin bekerja. Karena sudah lama bekerja di dapur istana, Naila pun akhirnya sangat pintar memasak. Meskipun tangannya bekerja dengan sangat cekatan, namun Naila bekerja dengan wajah murung. Perasaannya terasa sedih sekali mengetahui pangeran mahkota, pangeran Alam akan menikah. Ah, ternyata aku hanyalah punguk yang merindukan bulan saja, pikir Naila.

Naila teringat dengan pertemuan pertamanya dengan Pangeran Alam. Saat itu, sekitar setahun lalu, Pangeran Alam tengah sakit. Pangeran Alam selalu menolak makanan apapun yang diberikan kepadanya. Raja dan permaisuri tentu saja sangat risau melihat keadaan pangeran Alam yang makin hari semakin kurus.

"Masaklah masakan yang enak kegemaran Pangeran Alam, bibi Farida." kata permasuri pada Bibi Unti yang merupakan kepala dapur istana.

"Baik, Yang Mulia." sahut bibi Farida.

Di dapur istana, bibi Farida mengumpulkan para pelayan dan memberi perintah untuk memasak masakan yang paling enak yang digemari oleh sang pangeran.

"Biasanya pangeran sangat suka dengan gulai kambing." kata salah seorang pelayan.

"Pangeran sangat gemar dengan sate domba." kata pelayan yang satunya lagi.

"Pangeran sering minta dimasakan bistik." kata yang lainnya.

"Pangeran gemar dengan iga bakar." kata yang lainnya lagi.

Masing-masing pelayan memberitahu makanan kegemaran sang pangeran.

"Kalau begitu, masaklah apa yang disukai sang pangeran." kata bibi Farida.

Ketika saat makan tiba, pelayan istana mendorong kereta makanan yang penuh berisi beragam masakan dan makanan kegemaran sang pangeran. Ada gulai kambing, ada sate domba, ada bistik daging sapi, ada iga bakar, beragam kue dan minuman. Namun ketika pangeran melihat semua makanan itu, dia tetap menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak ingin makan apapun. Bawalah kembali semua makanan itu." kata sang pangeran.

"Anakku, kau harus makan. Tubuhmu semakin lama semakin kurus saja. Apa makanan yang kau inginkan? Biar juru masak istana akan membuatkannya untukmu." kata permaisuri.

"Tidak bu, aku tidak ingin makan apapun." kata pangeran Alam.

"Kau tidak bisa begitu. Sakitmu tak akan pernah sembuh bila engkau tidak mau makan apapun." kata permaisuri dengan kesal. Dia mengambil sebutir apel dan menyodorkannya pada sang pangeran.  "Bila semua makanan tadi kau tolak, makanlah apel ini. Kau harus mengisi perutmu agar tidak kosong."

"Ah, ibu. Aku memang tidak mau makan apapun." sahut sang pangeran.

Oh, bukan main sedihnya perasaan permaisuri. Saat itu Naila melintas didepan kamar sang pangeran. Permaisuri melihat pelayan yang melintas, dia memanggilnya.

"Pelayan, kemari. Ambilah piring buah-buahan ini kedapur. Sang pangeran tetap tak mau makan apapun." kata permaisuri.

Naila menerima piring buah-buahan itu. Dia merasa kasihan melihat tubuh sang pangeran yang semakin kurus. Namun tanpa banyak cakap Naila membawa piring itu ke dapur. Dia termenung memikirkan sang pangeran. Apa sebenarnya sakit sang pangeran? Kenapa semua makanan yang enak-enak dan lezat-lezat ini ditolaknya? Naila melihat tumpukan kunyit didalam wadah bumbu dapur. Tiba-tiba terlintas dalam benaknya untuk membuatkan jamu untuk sang pangeran. Naila segera membersihkan kunyit dan mengambil asam yang telah masak. Dia lalu mengolah bumbu dapur itu menjadi minuman yang menyegarkan. Setelah selesai, bergegas dia menuju kamar sang pangeran dan mengetuk pintu.

"Siapa?" tanya sang pangeran.

"Saya, tuanku." sahut Naila sambil mendorong pintu.

Sang pangeran melihat Naila yang membawa nampan.

"Apa itu?" tanya sang pangeran.

"Ini minuman yang sangat menyegarkan. Pangeran belum pernah mencoba minuman seperti ini. Cobalah dulu." kata Naila sambil menyodorkan gelas berisi minuman kunyit asam buatannya.

"Sudah kubilang aku tidak mau makan dan minum apapun." sahut pangeran.

"Tuanku, cobalah seteguk saja. Bila yang seteguk itu tidak terasa enak, silahkan tuanku membuang minuman ini." bujuk Naila.

Melihat kesungguhan pelayan itu, akhirnya pangeran menerima gelas yang disodorkan kepadanya. Dia minum seteguk. Minuman itu terasa aneh. Baunya juga aneh.

"Minuman apa ini?" tanya pangeran sambil memperhatikan isi gelas yang berwarna kuning.

"Minuman ini adalah jamu, tuanku. Terbuat dari kunyit dan asam serta madu. Rasanya memang aneh. Namun minuman ini dipercaya akan menyembuhkan beragam penyakit, akan membuat tubuh kuat dan segar. Ini adalah minuman yang sangat menyehatkan." kata Naila menjelaskan.

Pangeran mencoba seteguk lagi. "Baunya memang aneh, rasanya pun tidak enak, namun rasanya perutku terasa nyaman." kata sang pangeran.

"Apabila pangeran suka, minuman ini bisa dicampur dengan kuning telur ayam kampung. Pangeran pasti akan segera pulih kembali." kata Naila.

"Kalau begitu, cobalah campur dengan ayam kampung, aku ingin mencobanya." kata sang pangeran.

Bergegas Naila pergi kedapur mengambil sebutir ayam kampung dan kembali lagi ke kamar pangeran. Naila memecahkan ayam kampung dan memisahkan putih telur dengan merah telurnya. Merah telurnya dimasukan kedalam gelas. Lalu diaduknya.

"Silahkan tuanku diminum kembali." kata Naila.

Kali ini pangeran meminum segelas jamu itu sampai habis. Setelah itu Naila memberikan segelas godogan gula merah dan secangkir anggur. Pangeran meminumnya sampai habis.

"Siapa namamu?" tanya sang pangeran.

"Naila, tuanku." sahut Naila penuh hormat.

"Naila, aku menyukai minuman yang kau buat. Besok aku buatkan lagi minuman yang seperti tadi. Lidahku terasa pahit tapi tubuhku terasa segar." kata pangeran.

"Baiklah, tuanku. Besok saya akan membuatkan lagi jamu untuk tuanku hingga tuanku bisa sembuh kembali seperti sedia kala." ucap Naila. "Tapi tuanku......"

"Ada apa?" tanya sang Pangeran.

"Tuanku, minuman jamu ini sangat menyehatkan buat tubuh tuanku, namun tetap saja tubuh tuanku membutuhkan beraneka macam makanan lainnya yang akan membuat tuanku akan kembali pulih seperti sediakala."

"Aku tidak mau makan......." Pangeran mendadak ragu. Perutnya terasa lapar. "Tapi yah, aku merasa lapar. Ambilkan aku makanan yang enak. Aku ingin makan sekarang."

Oh, bukan main gembiranya raja dan permaisuri ketika mendengar pangeran ingin makan. Naila dan beberapa pelayan segera sibuk menyiapkan makanan buat sang pangeran dan dibawa kekamar sang pangeran. Pangeran makan dengan lahap sekali.

Sejak saat itu sang pangeran selalu ingin dibuatkan jamu oleh  Naila dan sakit pangeran berangsur sembuh. Karena sering bertemu dengan sang pangeran, akhirnya Naila jatuh cinta pada sang pangeran. Dalam hatinya dia berharap sang pangeran pun menyukainya. Namun tak lama setelah pangeran sembuh, Naila mendengar kabar bahwa pangeran akan melangsungkan pernikahannya dengan puteri Emma dari kerajaan tetangga. Oh, bukan main sedihnya perasaan Naila. Namun dia menyadari bahwa dirinya hanyalah seorang pelayan saja.

Hari pernikahan sang pangeran semakin dekat. Semua rakyat ikut gembira. Sementara Naila kembali sibuk dengan pekerjaannya didapur. Dia merasa hatinya sedih. Pangeran kini pasti sudah tidak ingat lagi kepadanya.

Malam itu Naila duduk didepan jendela kamarnya sambil melamun. Langit bertaburan bintang. Cahayanya berkelap-kelip.  Indah sekali.  Dia menatap keluar kamarnya. Tiba-tiba dia melihat seseorang melintas dihalaman. Orang itu berdiri tidak jauh dari kamarnya. Naila memperhatikan orang itu. Dalam kegelapan dia tidak mengenali siapa orang itu.

"Naila, kemarilah." panggil orang itu. Naila memperhatikan sejenak. Dia mengerutkan keningnya. Orang itu ternyata adalah pangeran Alam. Ah, ada apakah Pangeran Alam memanggilnya? Bukankah lusa Pangeran Alam akan melangsungkan pernikahan? Naila merasa ragu, namun akhirnya dia keluar juga menemui Pangeran Alam.

"Naila, aku sengaja menemuimu. Aku ingin bicara denganmu." kata pangeran.

"Mau bicara apakah, tuan?" tanya Naila.

"Naila, engkau telah mengobati aku. Aku merasa berhutang budi kepadamu. Lusa aku akan menikah, namun aku tetap merasa ragu."

"Ah, kenapa ragu, tuanku?"

"Naila, aku hanya ingin menikah denganmu, gadis yang telah mengobati aku."

"Tuanku, hamba hanya berusaha semampu hamba untuk mengobati tuanku, namun hamba tidak mengharapkan balasan apapun dari tuanku." sahut Naila.

"Naila, aku tahu engkau tulus mengobati aku, namun aku tetap akan merasa berhutang budi kepadamu. Namun disamping itu, aku tak bisa melupakanmu. Aku.... " Pangeran menatap Naila.

Naila merasa malu ditatap seperti itu oleh sang pangeran. Ah, kenapa hatinya menjadi berdebar-debar seperti ini?

"Naila, maukah engkau menikah denganku?" tanya sang pangeran.

"Ah, mana mungkin, tuanku. Tuanku sudah akan menikah dengan seorang puteri. Bagaimana mungkin tuanku akan bisa menikah dengan hamba?" seru Naila terkejut.

"Naila, semula aku hanya ingin patuh dan taat pada keinginan ayah dan ibuku yang telah menjodohkan aku dengan Puteri Emma.  namun ayah dan ibuku tahu aku tidak mencintai calon istriku. Ayah dan ibuku tahu, sejak engkau mengobati aku, aku sudah jatuh cinta kepadamu dan beliau memberiku kesempatan....."

"Bagaimana dengan Puteri Emma?"

"Puteri Emma sudah tahu bahwa aku tidak mencintainya. Begitu juga dengan Puteri Emma, dia pun tidak mencintaiku. Jadi kami sudah sepakat untuk mengakhiri semua ini sebelum perkawinan berlangsung."

"Ah, tuanku....." Naila menjadi bimbang.

"Naila, menikahlah denganku...."

Hari itu di istana diselenggarakan pesta pernikahan sang pangeran. Namun bukan dengan Puteri Emma seperti yang diketahui rakyat selama ini, melainkan dengan Naila. Semua rakyat merasa terkejut, namun akhirnya mereka tetap bergembira karena akhirnya sang pangeran sudah memiliki pendamping.







  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar