Rabu, 22 Maret 2017

Mawar Biru Dari Lembah Naga








Sudah hampir setahun lamanya pangeran mahkota ditimpa penyakit lumpuh.  Sepanjang hari pangeran Zenni hanya bisa berbaring. Tabib dari berbagai penjuru negeri sudah didatangkan untuk mengobatinya namun pangeran  belum sembuh juga.  Tubuhnya semakin kurus dan kulitnya semakin pucat. Raja dan permaisuri hampir setiap hari menangis memikirkan keadaan sang pangeran. 

Sementara itu disuatu lembah yang indah, yang letaknya sangat  jauh dari istana, ada sebuah pondok sederhana namun terlihat indah sekali. Keindahan pondok itu terletak pada  bunga mawar biru yang merambati dinding-dinding  pondok kecil itu sehingga kelihatan indah sekali. Dihalaman pondok itu seorang gadis tampak tengah menyirami bunga-bunga mawar biru. Pada saat itu seorang lelaki melintas dan menyapa gadis itu.

“Selamat pagi Miranda. Cantik sekali bunga-bungamu.” Sapa lelaki itu.

Gadis itu menoleh. “Oh, paman Joni. Iya, paman, kebetulan sekarang matahari bersinar bagus sehingga bunga-bunga mawarku berbunga indah sekali.” Sahut Miranda sambil tersenyum manis.

“Bagaimana dengan keadaan ayahmu, Miranda? Apakah keadaannya sudah membaik?”

“Iya, paman. Ayah sudah mulai berangsur-angsur pulih kembali keadaannya.”

“Oh, syukurlah. Tabib manakah yang telah menyembuhkannya?”

“Ayah tidak diobati oleh tabib, paman. Saya mengobati ayah dengan ramuan mawar biru.”

“Ramuan mawar biru?”

“Ya. Saya tak sengaja mencoba membuat ramuan dari mawar biru ini. Kelopak mawar biru ini diseduh lalu airnya diminumkan dan ternyata ayah berangsur-angsur sembuh.”

“Oh, kalau begitu kenapa engkau tidak mencoba mengobati pangeran mahkota?  Sudah hampir setahun putra mahkota terbaring sakit. Seluruh tubuhnya lumpuh.  Sudah banyak tabib istana yang berusaha mengobati sang pangeran namun hingga sekarang pangeran tidak juga kunjung sembuh.”

“Oh begitukah? Ah, istana sangat jauh. Saya punya ayah dan ibu yang sudah tua yang harus saya rawat.”

Paman Joni tidak mendesak.  Dia tahu bagaimana berbaktinya gadis itu pada kedua orangtuanya.  Akhirnya paman Joni pergi sendiri  ke istana akan memberitahukan pada pihak istana bahwa ada seorang gadis yang bisa menyembuhkan sang pangeran. Pegawai istana segera memberitahu Raja dengan kedatangan salah seorang penduduk dari pelosok yang member  kabar adanya seorang tabib yang bisa menyembuhkan sang pangeran. Raja dan permaisuri bangkit kembali harapannya mendengar berita yang dibawa pengawal itu.

“Bawa gadis itu ke istana.” Perintah Raja.

“Mohon maaf, tuanku, gadis itu tidak bisa kemari. Gadis itu tinggal bersama dengan kedua orangtuanya yang telah tua dan dia tak mau meninggalkan kedua orangtuanya.” Kata paman Joni.

“Dimanakah gadis itu tinggal?” Tanya permaisuri.

“Di Lembah Naga.”

“Lembah Naga? Apakah lembah itu masih termasuk wilayah kerajaan?” Tanya permaisuri.  

“Ya, tuanku. Wilayah itu masih termasuk wilayah kerajaan tuanku.” Sahut  paman Joni yang disambut dengan anggukan Raja.

“Kalau begitu, kita bawa saja sang pangeran kesana dan diobati disana.” Usul Raja yang langsung disepakati oleh permaisuri dan penasehat raja.

Pada keesokan  segala sesuatunya dipersiapkan. Pangeran Zenni ditidurkan didalam kereta yang ditarik dengan dua ekor kuda. Selain kusir kereta, ada tiga orang pengawal setia dan kepercayaan Raja yang mengawal sang pangeran. Nama ketiga pengawal itu adalah Bun, Ben, dan Bon.  Paman Joni ikut serta bersama rombongan. Dia diberi seekor kuda dan menaiki kudanya sendiri. Menjelang dini hari  rombongan  tiba di pondok di Lembah Naga itu.

Bukan main terkejutnya Miranda dipagi buta ada yang mengetuk pintu dan mendengar  ringkik kuda dihalaman rumah. Namun ketakutannya agak memudar ketika dia mendengar suara paman Jodi yang sudah dikenalnya.

“Bukalah pintunya, Miranda. Ini aku paman Joni.” Panggil paman Joni dari luar.

“Oh, paman Jodi. Ada apa sepagi  ini kemari?” Tanya Miranda sambil membuka pintu. Dan dia tertegun melihat ada tandu dan tiga orang  berkuda dihalaman pondoknya.

 “Siapakah mereka, paman Jodi?” Tanya Miranda.

“Persilahkan mereka masuk, Miranda. Mereka membawa sang pangeran yang tengah sakit untuk kau obati.”

“Oh.” Miranda sejenak tertegun. Namun kemudian dia bergegas mempersilahkan para tamunya masuk dan menyediakan sebuah kamar kecil kosong untuk tempat berbaring sang pangeran. Ayah dan ibu Miranda yang telah tua ikut terbangun menyambut kedatangan para tamunya. Sementara Miranda sendiri langsung sibuk menjerang air dan memasak untuk menjamu para tamunya. Dia membuat minuman yang segar terbuat dari jahe. Dan memasak sop daging kambing.

“Oh, kau seorang gadis yang cekatan, Miranda.” Puji Bun ketika menikmati minuman jahe hangat dan sop daging kambing yang disuguhkan Miranda.

“Disini hanyalah sebuah kampung terpencil, tuanku. Hanya ini yang bisa saya sajikan untuk para tuanku sekalian.” Kata Miranda yang masih kelihatan sibuk membuatkan minuman yang terbuat dari seduhan mawar biru buat sang pangeran. Mata sang pangeran memperhatikan Miranda yang membantunya meminumkan rambuan yang dibuatnya.

“Siapakah engkau?” Tanya sang pangeran dengan suara lemah.

“Saya Miranda, tuanku.” Sahut Miranda sambil tersenyum.

“Minuman apa yang kau buat ini? Rasanya manis namun ada kesatnya.”

“Minumlah. Minuman itu adalah ramuan yang saya buat untuk kesembuhan tuanku.”

“Terima kasih. Kau baik sekali.” Kata sang pangeran. Tak lama kemudian pangeran sudah tertidur lelap. Sementara Bun, Ben dan Bon pun tertidur lelap di ambin pondok itu.

Esok paginya Miranda sudah bangun kembali dan menyiapkan beragam hidangan untuk para tamunya.

“Ah, kami jadi merepotkanmu, Miranda.” Kata Ben. “Kebetulan kami pun membawa cukup banyak bekal. Kami membawa daging asap,   ikan kering, buah-buahan kering dan segala macam makanan. Semuanya bisa kau masak untuk kami selama kami dan pangeran berada disini.”

“Dengan senang hati.” Sahut Miranda.

Begitulah, selama keberadaan sang pangeran dipondoknya Miranda sangat sibuk sekali.  Setiap hari  dia membuat ramuan untuk sang pangeran. Dari hari ke hari pangeran menunjukan perbaikan. Jari-jari kakinya mulai bisa digerakan. Bun, Ben dan Bon merasa gembira melihat perkembangan kesehatan pangeran Zenni. Mereka mencoba membantu sang pangeran menapakan kakinya ke tanah. Dan ternyata pangeran sudah bisa berdiri walaupun belum bisa berjalan.

“Oh, pangeran sebentar lagi akan sembuh dan pulih seperti sediakala.” Kata Ben gembira.

“Pangeran akan berkuda kembali seperti dulu.” Kata Bun.

“Dan kita akan berburu kembali setiap akhir pekan.” Kata Bon.

Sebulan sudah pangeran tinggal di pondok Miranda. Kini sang pangeran kakinya terlihat semakin kuat apabila berdiri walaupun belum bisa berjalan. Siang itu sang pangeran ingin berjalan-jalan keluar.

“Kaki pangeran belum kuat untuk berjalan.” Kata Ben.

“Aku ingin melihat-lihat keindahan Lembah Naga ini.” Kata pangeran.

“Baiklah. Aku dan Bon akan memapah tuanku.” Kata Bun.

Akhirnya Bun dan Bon memapah pangeran Zenni berjalan-jalan di Lembah Naga. Hari semakin sore namun sang pangeran dan ketiga pengawalnya belum juga kembali. Langit terlihat mendung. Tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Miranda tengah sibuk didapur memasak untuk makan malam. Mendadak terdengar suara halilintar menggelegar keras sekali. Miranda  terpekik kaget. Dia bergegas menutup jendela dapur. Namun mendadak dia tertegun ketika melihat keluar. Dia melihat seseorang dengan langkah terhuyung-huyung  berjalan menuju pondoknya. Olala, bukankah itu sang pangeran? Pikir Miranda.  Bukan main terkejutnya Miranda. Bergegas dia membuka pintu dapur. Sang pangeran sudah berada didepan pintu dapur.

Miranda memperhatikan kaki sang pangeran. “Pangeran sudah bisa berjalan!” seru Miranda.

“Ya, Miranda.” Sahut Pangeran Zenni dengan nafas terengah-engah namun raut wajahnya terlihat gembira.  “Aku tadi mengajak Bun, Ben dan Bon jalan-jalan.  Aku ingin melihat keindahan  Lembah Naga ini. Saat kembali, mendadak hujan turun. Mendadak ada suara halilintar menggelegar. Aku kaget.  Mendadak saja aku bisa berjalan dan meninggalkan Bun, Ben dan Bon. Mereka masih berada dibelakang.” Kata sang pangeran.

Miranda hanya bisa melongo dengan takjub. Pada saat itu dia melihat Bun, Ben dan Bon berlarian menuju pondok.

“Pangeran sudah sembuh.” Kata Bun, Ben dan Bon berkali-kali.

“Yah, aku telah sembuh. Aku kini bisa berjalan lagi. Terima kasih, Miranda.” Kata  pangeran Zenni.

Miranda tersenyum. Dia ikut gembira melihat kesembuhan sang pangeran. Malam itu mereka semua makan dengan gembira. Seakan merayakan kesembuhan sang pangeran. Sop daging kambing, bebek bakar bumbu jahe, kentang goreng dan sekeranjang anggur  merah menemani makan malam mereka.  Dua hari kemudian sang pangeran dan ketiga  pengawalnya pamit pulang kembali ke istana. Namun dua minggu kemudian sang pangeran serta    ketiga  pengawalnya   datang kembali ke pondok di Lembah Naga itu. Dalam rombongan itu turut serta Raja dan Permaisuri. Rombongan dari istana itu datang untuk meminang Miranda. Rupanya sang pangeran sudah jatuh hati kepada Miranda dan ingin mempersunting gadis yang telah mengobatinya itu. Oh, bukan main bahagianya perasaan Miranda karena dia pun telah jatuh hati pada sang pangeran.

Tidak lama kemudian diselenggarakan pesta pernikahan sang pangeran dan Miranda di Lembah Naga. Dihiasi dengan bunga-bunga mawar biru yang semarak. Setelah pernikahan di Lembah Naga itu, Miranda dan kedua orangtuanya diboyong ke istana. Miranda dan Pangeran Zenni hidup bahagia bersama.

--- 0 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar