Rabu, 22 Maret 2017

Miranda dan Rosa








Miranda melihat langit yang gelap. Ah, pasti sebentar lagi hujan akan turun lagi, pikirnya. Musim hujan kali ini terasa panjang sekali. Sudah lebih dari enam bulan lamanya hujan masih turun setiap hari. Miranda tengah bekerja digudang kecil dibelakang pondoknya. Gudang itu berantakan. Hujan angin yang kencang beberapa hari lalu telah memporakporandakan gudang dibelakang pondoknya dan beberapa pondok tetangga disekitarnya. Beruntung pondoknya masih bisa bertahan tidak hancur disapu angin kencang.

“Miranda! Miranda!” terdengar suara seseorang memanggilnya. Tak lama kemudian seorang gadis seusia Miranda masuk kedalam gudang menemuinya. Rosa, adalah tetangganya. Pondoknya tidak jauh dari pondoknya. Mereka berdua sama-sama anak petani. Kedua orangtua Rosa dan Miranda sama-sama telah meninggal dunia. Persahabatan mereka sudah berubah menjadi persaudaraan karena mereka merasa sama-sama sudah tidak lagi memiliki orangtua dan keluarga.

“Miranda, langit sangat gelap, aku khawatir hujan dengan angin yang kencang akan datang lagi. Aku khawatir dengan pondokku yang sudah tua akan rubuh diterjang angin kencang.” Kata Rosa dengan wajah penuh rasa khawatir. “Waktu hujan angin kemarin, aku tak berani keluar dari pondokku. Aku hanya duduk dan berdo’a saja semoga pondokku selamat. Ketika hujan reda, aku keluar dan melihat beberapa pondok tetangga kita ada yang hancur diterjang hujan dan angin kencang kemarin.”

“Rosa, berdo’alah. Hanya ini yang bisa kita lakukan.” Sahut Miranda. “Kau lihat sendiri, gudangku ini juga hancur berantakan. Atapnya sebagian ada yang rusak.  Aku sendiri khawatir dengan keadaan pondokku yang sudah tua, namun aku hanya bisa berdoa semoga pondokku  selamat dari terjangan angin kencang yang akhir-akhir ini hampir setiap hari melanda desa kita.

“Kasihan beberapa tetangga kita saat ini sedang sibuk bekerja memperbaiki pondok mereka yang rusak, karena itu mereka sehari ini tidak pergi ke sawah dan ke ladang.” Kata Rosa.

“Ya, apalagi karena hujan yang turun terus menerus membuat padi disawah mereka banyak yang rusak dan busuk sehingga tidak bisa dipanen.” Miranda menarik napas dalam merasakan apa yang tengah dirasakan oleh tetangga-tetangganya yang semuanya adalah petani.

Rosa membantu Miranda membereskan gudangnya yang berantakan. Dia menumpuk  kayu-kayu tua disudut gudang, menyapu lantai gudang dan membereskan barang-barang bekas yang berserakan dilantai gudang.  

Tiba-tiba Rosa berseru, “Miranda! Lihatlah, aku menemukan sebuah karung. Penuh dengan biji-biji kopi.” Seru Rosa sambil memperlihatkan karung didekatnya.

“Apa? Karung kopi?” tanya Miranda. Dia  menghampiri Rosa. Dibukanya karung itu yang ternyata benar penuh berisi biji kopi.

“Ah, aku tidak tahu bila di gudang ini masih ada sesuatu yang berharga yang tersimpan.” Ucap Miranda dengan gembira.

Rosa menatap Miranda.“Apa yang akan kau lakukan dengan sekarung biji kopi ini? Biji-biji kopi ini kelihatannya masih bagus.

Miranda termenung sejenak seakan ada yang dipikirkannya. Dia menatap Rosa, lalu tersenyum. “Aku akan menyemainya menjadi bibit kopi. Rosa, orangtuaku meninggalkan sepetak kebun. Selama ini kebun itu terbengkalai tak terurus dan tidak ditanami apa-apa. Bila aku berhasil menyemai benih-benih kopi itu menjadi bibit kopi, aku akan menanamnya dikebun itu.”

Rosa kelihatan gembira sekali. “Kau betul, Miranda. Kau bisa menanam kopi. Selama ini kau hanya kerja serabutan saja kesana kemari. Sekarang saatnya engkau bekerja dikebun milikmu sendiri.”

Miranda menatap Rosa. “Rosa, aku pasti tidak akan bisa mengerjakan sendiri rencanaku ini. Aku membutuhkan bantuanmu. Maukan engkau bekerja denganku?”

“Tentu saja, Miranda. Aku akan senang sekali bila aku bisa bekerja membantumu.” Sahut Rosa.

“Rosa, kau tidak bekerja begitu saja tentu saja.” Ucap Miranda. “Kau lihat kopi ini ada sekarung. Dari sekarung kopi ini kita bisa mendapatkan bibit kopi yang cukup banyak. Sebagian akan kita tanam dikebunku dan sebagian lagi akan kita tanam dikebunmu.  Dengan demikian kita berdua bekerja sama.”

Rosa mengangguk setuju. “Aku gembira sekali mendengarnya,  Miranda. Kau tahu sendiri selama ini kehidupanku sangat susah.  Aku harus bekerja keras sepanjang hari agar dapat bisa makan. Bila usaha kita bertanam kopi berhasil, siapa tahu kehidupan kita akan berubah. Aku akan bertanya pada Mang Pardi. Dia sudah lama sekali bertanam kopi dan mendapatkan penghasilan yang bagus dari hasil kebun kopinya. Aku akan bertanya dan belajar pada Mang Pardi bagaimana caranya bertanam kopi dan memeliharanya.

“Ya, Rosa. Mulai besok kita akan mulai bekerja. Bertanam kopi membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum kita dapat memetik hasilnya. Namun bila kopi sudah mulai berbuah, kita bisa memanennya setiap tahun. Miranda berkata penuh harap.

Rosa mengangguk setuju.

Esok harinya kedua gadis itu mulai bekerja. Mereka memilih biji-biji kopi yang masih bagus dan membuang biji-biji kopi yang rusak. Lalu biji-biji kopi itu mulai disiangi dan dijadikan bibit. Berminggu-mingu kedua gadis itu bekerja. Setelah bibit itu tumbuh dengan baik, mereka memindahkannya dan menanamnya di kebun mereka. Miranda dan Rosa banyak bertanya pada Mang Pardi yang sudah lama sekali bertanam kopi dan menjadi petani kopi.

Sore itu Rosa datang lagi berkunjung kerumah Miranda. Kali ini Rosa akan menginap dirumah Miranda agar esok pagi mereka bisa berangkat pagi-pagi bersama-sama ke kebun Miranda.

“Miranda, aku tadi berpikir, didesa kita ini belum ada warung kopi, mengapa engkau tidak membuka warung kopi saja didepan rumahmu?” kata Rosa. “Selama ini kau dan aku bekerja serabutan, dan kopi yang kita tanam masih membutuhkan waktu bertahun-tahun lagi hingga akhirnya berbuah.”

“Warung kopi?” sahut Miranda.

“Yah. Warung kopi. Kau tahu, warung kopi memang menyediakan minuman kopi, tapi kau kan pintar membuat aneka macam makanan, kau bisa menjualnya sekalian diwarung kopimu.”

Miranda termenung mendengar usul Rosa. “Pastinya akan membutuhkan biaya untuk memulai usaha membuka warung kopi itu, Rosa. Aku tak punya uang, tapi.....” Miranda menunduk. Dia memperhatikan kalung emas yang tergantung dilehernya. Hanya kalung ini perhiasan yang tersisa yang masih dimilikinya.

“Aku tertarik dengan usulmu itu, Rosa. Aku akan menjual kalung emas ini, bila dari membuka warung nanti ada keuntungan yang bisa aku simpan, aku akan membelikannya lagi pada kalung emas lagi.” Kata Miranda. “Esok kita pergi dulu ke kebun untuk membabat rumput-rumput disekitar tanaman kopi, lalu kita pergi ke pasar untuk menjual kalungku ini sebagai modal usaha.”

Esok harinya sepulang dari kebun, Miranda  dengan diantar Rosa pergi menjual kalung emasnya ke pasar. Uang dari hasil penjualan kalungnya dibuatkan warung didepan pondoknya dan juga membeli segala macam kebutuhan yang dibutuhkannya untuk warungnya. Rosa membantunya dari awal hingga akhirnya warung kopi itu dibuka. Miranda memberi Rosa upah harian selama bekerja diwarungnya. Mereka bukan hanya menjual minuman kopi, namun juga menyediakan makanan yang digoreng. Ternyata warung minum kopi mereka banyak yang menyukainya dan banyak yang mampir. Dari pagi hingga sore selalu ada saja pembeli yang datang dan minum kopi disana. Apalagi Miranda dan Rosa sangat ramah.

Miranda dan Rosa kini tak lagi bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ketika beberapa tahun kemudian tanaman kopi sudah berbuah, warung kopi ditutup untuk sementara, Miranda dan Rosa menghabiskan waktu diladang untuk memanen kopi dan menjualnya pada pengepul kopi. Pertemanan mereka berjalan sekian lamanya hingga akhirnya mereka kemudian  menikah dan memiliki keluarga masing-masing. Namun walaupun sudah menikah dan punya keluarga sendiri, persahabatan mereka tetap terjalin erat.



--- 0 ---


Tidak ada komentar:

Posting Komentar