Mala dan Adela
Matahari
bersinar cerah. Udara dingin dilereng bukit terasa hangat ketika matahari bersinar semakin
terang. Mala menggiring
kambing-kambingnya menaiki lereng bukit. Perasaannya terasa cemas. Rumput hijau
yang segar makanan kambing-kambingnya yang biasanya terhampar luas memenuhi
lereng bukit kini semuanya mengering. Kemarau yang panjang telah membuat rumput
hijau itu kuning mengering.
Mala
menggiring kambing-kambingnya semakin jauh menaiki lereng bukit berharap akan
menemukan rumput hijau. Lereng bukit itu sangat luas. Pastilah ada tempat yang
masih menyisakan rumput hijau segar untuk kambing-kambingnya. Namun hingga jauh
menanjak yang terlihat hanyalah rerumputan kecokelatan yang kering.
Kambing-kambingnya berlarian semakin jauh keatas. Mala ikut berlari mengejar
kambing-kambingnya dengan nafas terengah-engah.
“Tunggu!
Jangan terlalu jauh!” teriak Mala keras.
Namun
kambing-kambingnya tidak mendengarkan teriakannya. Mereka berlari semakin cepat
menaiki lereng bukit. Mala tertinggal dari kambing-kambingnya yang berlari
semakin cepat menuju kepuncak bukit. . Semakin Mala mengejar, semakin cepat
mereka berlari hingga akhirnya Mala tertinggal dari kambing-kambingnya.
“Ah,
kambing-kambing nakal. Mereka meninggalkan aku.” Gerutu Mala sambil berlari semakin
kencang menaiki bukit. Akhirnya Mala berhasil mengejar kambing-kambingnya keatas
bukit. Mala berdiri ditempatnya dan mengedarkan pandangannya kesekelilingnya.
Desanya terlihat jauh dibawah. Yang terlihat hanya atap-atap rumah dan jalanan
desa yang berkelak-kelok.
“Ah,
perjalanan kita hari ini jauh sekali. Atap-atap rumah penduduk desa sangat jauh
dari pandangan.” Kata Mala pada kambingnya.
Tiba-tiba disebelah kanannya dia melihat dari
kejauhan ada tempat yang menghijau. Rumput disana pastilah hijau segar.
“Ah,
akhirnya aku mendapatkan juga rumput hijau yang segar.” Kata Mala gembira.
“Ayo,
kita kesana!” Seru Mala pada kambing-kambingnya.
Mala
segera menggiring kambing-kambingnya
kearah tempat itu. Dia mengira tempat itu dekat namun ternyata tempat itu masih
agak jauh karena naik turun lereng
bukit. Namun Mala terus melangkah dengan penuh semangat menuju kearah tempat
itu. Kambing-kambingnya berlarian gembira mengikutinya. Akhirnya mereka tiba
juga ditempat itu. Kambing-kambingnya segera merumput dengan lahap.
Rumput-rumput itu terlihat hijau segar dan sehat. Mala duduk pada sebuah batu
besar sambil memakan bekalnya. Selesai memakan bekalnya, Mala berjalan ketepi
lereng. Dibawah tempatnya berdiri, dia melihat ada sebuah pondok kayu. Pondok
kayu itu terlihat bersih dan terawat baik.
“Ah,
siapakah yang tinggal di pondok kayu itu? Tempatnya cukup jauh dari desa.” Pikir
Mala.
Tiba-tiba
pintu pondok itu terbuka. Mala terkejut. Gadis yang usianya sebaya dengan Mala,
keluar dari dalam pondok itu. Gadis berambut panjang itu kelihatan terkejut
ketika melihat Mala yang tengah berdiri ditempat yang tinggi tidak jauh dari pondoknya.
“Hai,
siapa kamu?” tanya gadis itu. “Kenapa kamu berdiri disana?”
“Aku
tengah menggembalakan kambing-kambingku didekat sini.” Sahut Mala.
“Menggembalakan
kambing? Kamu penduduk desa dibawah ya?” tanya gadis itu lagi.
“Ya.”
“Kenapa
menggembalakan kambingmu hingga sampai kesini? Apakah ditempat yang lebih dekat
dengan desamu tidak ada rumput?”
“Tempat
dimana biasanya kambing-kambingku merumput kering karena kemarau. Jadi aku
terpaksa mencari tempat rumput yang lebih segar. Dan akhirnya aku menemukan
tempat ini. Rumput dilereng bukit ini lebih hijau dan segar walaupun masih
musim kemarau.” Ucap Mala.
“Ya,
rumput disini selalu hijau dan segar karena ada mata air yang mengalir didekat
tempat ini. Walaupun musim kemarau panjang namun rumput-rumput disini tetap
hijau dan segar.” Kata gadis itu. “Aku juga memiliki beberapa ekor kambing. Aku
biasa menggembalakan kambing-kambingku disini.”
“Mata
air? Dimana letak mata air itu?” tanya Mala tertarik.
“Disebelah
sana. Tidak jauh dari belakang kandang kambingku.” Sahut gadis itu. “Kamu mau
melihatnya?”
“Ya,
aku ingin melihatnya.” Sahut Mala sambil meloncat turun kebawah. Mala mengikuti
gadis itu berjalan menuju mata air yang berada tidak terlalu jauh dari belakang
kandang kambing gadis itu.
“Siapa
namamu?” tanya gadis itu sambil menoleh menatap Mala.
“Mala.
Dan kau?” sahut Mala.
“Adela.”
Sahut Adela. Mereka melintasi jalanan bebatuan hingga akhirnya tiba ditempat
mata air itu.
“Nah,
itu dia mata airnya.” Adela menujuk pada mata air itu.
Mala
melihat air mengalir dari celah-celah bukit seperti pancuran. Airnya jernih dan
bening. Air itu mengalir menuruni lereng bukit dan akhirnya menjadi sungai
kecil dibawah lereng. Sebagian dari air yang mengalir dari mata air itu
merembes pada tanah disekitarnya. Kini Mala mengerti mengapa rumput disekitar
lereng itu subur dan hijau karena tanahnya selalu tersiram dari rembesan mata
air itu.
“Ah,
segarnya berada ditempat ini.” Seru Mala. “Air itu pasti rasanya sangat segar
sekali.”
“Ya,
cobalah. Kau bisa minum air itu dan rasakan bagaimana segarnya air dari mata
air itu. Aku sendiri sering minum dari mata air itu.” Sahut Adela.
Mala
menampung air itu dengan kedua telapak tangannya dan meminumnya. Rasanya dingin
dan segar. Mala minum beberapa kali. Dia tersenyum menatap Adela. “Airnya
dingin dan segar.” Katanya.
Mala
mengikuti Adela meninggalkan mata air itu. Dia melihat banyak bunga-bunga yang
tumbuh disana. Cantik sekali. Bunga-bunga itu terhampar luas seperti hamparan
permadani yang indah.
“Kau
pastinya senang tinggal disini. Tempatnya sejuk dan pemandangannya indah.
Banyak bunga-bunga yang tumbuh indah disini.” Kata Mala.
“Ya,
aku betah tinggal disini. Aku tinggal bersama ibuku dan nenekku.” Sahut Adela.
Tak
lama kemudian mereka sudah sampai lagi dipondok Adela. Adela memasuki kandang
kambing dibelakang rumahnya. Mala mengikuti Adela dan melihat beberapa ekor
kambing yang sehat berada didalam kandang. Kambing-kambing itu terlihat gemuk
dan terawat dengan baik. Bulu-bulunya bersih.
“Ini
kambing-kambingmu?” tanya Mala.
“Ya,
tadi sebelum kau datang kemari, aku baru selesai menggembalakan
kambing-kambingku.” Sahut Adela. Dia mengambil sebuah bangku kecil dan tempat
menampung susu. Adela mulai memerah susu kambing dengan cekatan.
“Ah,
kau ternyata pintar memerah susu kambing.” Seru Mala.
Adela
tersenyum. “Ibuku yang mengajarkan aku bagaimana caranya memerah susu kambing.”
Sahut Adela. “Ibuku pernah cukup lama tinggal dikota ditempat peternakan sapi
dan kambing. Ditempat itu ibuku belajar memerah susu kambing dan susu sapi. Ditempat
itu juga ibuku belajar bagaimana membuat keju.”
“Keju?”
“Ya.
Aku suka keju. Keju terbuat dari susu sapi atau susu kambing. Karena yang ada
disini adalah kambing, jadi keju yang kubuat terbuat dari susu kambing.” Sahut
Adela. “Sebulan sekali ibuku menjual keju itu ke desa sambil berbelanja
kebutuhan lainnya ke pasar.”
Seorang
wanita cantik tiba-tiba keluar dari pondok itu. Rambutnya ditutup dengan
kerudung.
“Adela!”
panggilnya.
“Ya,
Bu. Aku masih memerah susu, Bu. Sebentar lagi selesai.” Sahut Adela tanpa
beranjak dari tempatnya.
Wanita
itu melihat pada Mala yang berdiri diluar kandang kambing.
“Ah,
siapa ini?” tanya wanita itu sambil berjalan mendekati kandang.
Adela
menghentikan pekerjaannya dan keluar dari dalam kandang.
“Dia
Mala, Bu. Dia dari desa dibawah. Dia tengah menggembalakan kambing-kambingnya
disebelah sana.” Sahut Adela.
“Saya
Mala, Bu.” Kata Mala memperkenalkan diri. “Saya mencari rumput segar untuk
kambing-kambing saya dan ternyata menemukannya disekitar sini.”
“Pastinya
cukup jauh kamu menggiring kambing-kambingmu hingga bisa sampai kemari.” Kata
wanita itu sambil tertawa. “Kamu tadi mengambil jalan mana?”
“Jalan
yang disebelah sana, Bu. Yang lurus dari jalan desa.”
“Ah,
kalau melalui jalan sana kamu harus berjalan cukup jauh bila akan sampai
kemari. Namun bila membawa kambing-kambingmu, memang hanya itu satu-satunya
jalan yang bisa kamu tempuh. Tapi bila kau kemari tanpa membawa
kambing-kambingmu, kamu bisa mengambil jalan memotong dari arah kantor desa
itu, lalu menapaki jalanan dibelakang kantor desa dan lurus menanjak hingga
sampai kemari.” Kata ibu Adela.
“Oh
saya baru tahu. Nanti bila saya tidak sedang membawa kambing saya akan mencoba
jalan yang dibelakang kantor desa itu, Bu.” Mala tersenyum.
“Hati-hati menjaga kambing-kambingmu, Mala.
Jangan sampai mereka menaiki tebing.” Kata Ibu Adela ketika melihat
kambing-kambing Mala yang tengah merumput didekat tebing. Ibu Adela tahu
kambing sangat gemar memanjat tempat-tempat tinggi. Kambingnya sendiri sudah
beberapa kali menaiki tebing dan pernah beberapa kali ada yang terperosok
jatuh.
Mala
mengangguk. Dia kembali pada kambing-kambingnya yang masih asyik menikmati
rumput. Matahari semakin tinggi. Udara terasa panas. Mala mengeluarkan bekalnya dan mulai makan. Makannya terasa
sangat nikmat sekali setelah tadi dia kelelahan berlari-lari begitu cepat dari
bawah hingga sampai kepuncak bukit ini. Kambing-kambingnya masih asyik
merumput. Dua ekor anak kambing bermain-main berlari-lari kecil didekat induknya.
Mala menyabit rumput dan memasukannya kedalam karung. Keringat bercucuran
membasahi tubuhnya. Sekarung rumput segar itu cukup untuk makan kambing-kambingnya
hingga esok tiba dan kambing-kambingnya merumput lagi dilereng bukit.
“Sudah
saatnya aku pulang.” Kata Mala sambil memasukan wadah nasi dan tempat minumnya
kedalam kantongnya. Dia mengumpulkan kambing-kambingnya dan menghitungnya.
“Adela,
aku pulang.” Teriak Mala.
“Ya.
Sampai bertemu kembali.” Sahut Adela. Dia keluar dari dalam kandang kambingnya sambil
menenteng ember berisi susu kambing. Keduanya saling melambaikan tangan.
Mala
menggiring kambing-kambingnya menuruni
perbukitan. Langit terlihat mendung.
“Ah,
sebenarnya bulan ini sudah harus musim hujan.” Kata Mala. Langit semakin
mendung. Mala bergegas menggiring kambingnya. Begitu sampai dirumahnya hujan
turun rintik-rintik.
“Ah,
akhirnya hujan turun juga.” Seru Mala gembira.
“Sekarang
sudah saatnya masuk musim hujan.” Kata ibunya sambil menyiapkan makan buat
Mala. Nasi yang masih mengepul hangat, ikan bakar dan sayur mayur segar untuk
lalapan. Mala kembali makan dengan lahap. Perutnya terasa lapar kembali
walaupun dilereng bukit tadi dia sudah menghabiskan bekalnya.
“Bu,
diatas lereng itu ada sebuah pondok. Ada penghuninya yang usianya sebaya dengan
aku. Namanya Adela.” Kata Mala.
“Pondok
dilereng bukit?” ibunya berpikir sejenak.
“Ya, ibu tahu. Itu pondok milik kakek Marta. Sekarang anaknya yang
perempuan, anaknya satu-satunya, tinggal disana juga. Mungkin yang kau maksud
adalah anaknya Mirna. Cucunya kakek Marta.”
“Ya,
kakeknya sudah meninggal.”
“Kau
kenal dengannya?”
“Ya.
Tadi tidak sengaja aku sampai kedekat pondoknya dan berkenalan dengannya. Kenapa?”
“Tidak
apa-apa. Mirna jarang turun ke desa. Dulu dia menikah dengan orang kaya dari
kota. Kabarnya perkawinan mereka tidak disetujui oleh kedua orangtua suaminya.
Ketika suaminya meninggal, Mirna kembali ke desa ini dan tinggal bersama
orangtuanya.”
“Ibu
kenal dengan ibu Adela?”
“Tentu
saja. Dulu waktu kecil ibu dan Mirna suka bertemu dan bermain bersama. Ibu
tidak sekolah tapi Mirna sekolah. Bahkan sekolah hingga ke sekolah menengah
atas di kota dan kami tidak pernah bertemu lagi sejak saat itu.”
Esok
harinya Mala menggembalakan kembali kambingnya ditempat kemarin. Dia melihat
Adela pun tengah menggembalakan kambingnya disana.
“Adela!”
sapa Mala.
“Hai,
Mala.” Sahut Adela gembira. “Au senang kau menggembalakan kambingmu disini
lagi. Jadi sekarang aku punya teman.”
“Adela,
apakah kau suka turun ke desa?”
“Kadang-kadang.
Yang suka turun ke desa adalah ibuku. Sebulan sekali ibu pergi ke pasar, sambil
menjual keju buatannya pada toko didesa, pulangnya ibuku berbelanja kebutuhan
sehari-hari.”
“Aku
tak pernah melihatmu selama ini dan aku baru tahu bila disini ada sebuah pondok.
Kenapa kau tidak tinggal didesa?”
“Pondok
kayu ini milik kakek dan nenekku. Dulu kami tinggal berempat dipondok ini.
Setelah kakek meninggal, kami hanya tinggal bertiga dipondok ini. Kami tidak
ingin pindah kedesa karena tinggal disini sangat nyaman dan menyenangkan.” Ucap
Adela.
“Ayahmu
kemana?”
“Ayahku
sudah meninggal ketika aku masih berusia setahun.”
“Ayahku
juga sudah meninggal ketika aku masih kecil.” Ucap Mala.
Adela
membuka bungkusan berisi dua potong keju. Dia memberikan sepotong keju pada
Mala.
“Ini
keju buatan ibuku. Rasanya enak. Cobalah.” Kata Adela sambil menyodorkan
sepotong keju itu pada Mala.
Mala
menerima potongan keju itu, mengamatinya sejenak, lalu menggigitnya
sedikit. “Ah, keju ini enak sekali.
Ibumu lama hidup dikota jadi terbiasa membuat makanan kota. Kalau ibuku
selamanya tinggal didesa jadi yang dibuat ibu
ya makanan desa saja.” Ucap Mala. Keju itu rasanya enak dan gurih. Baru
kali ini dia merasakan yang namanya keju. Didesanya selama ini dia belum pernah
melihat ada orang yang membuat keju.
“Makanan
kota dan makanan desa sama enaknya menurutku. Ibuku juga sering memasak masakan
dari sayuran yang tumbuh disekitar rumah. Yang penting makanan itu sehat dan
bergizi.” Sahut Adela.
Kedua
gadis kecil itu sama-sama menikmati keju hingga habis.
“Apakah kau tidak bersekolah?” tanya Adela.
“Tidak.
Teman-temanku semuanya bersekolah. Ibuku tidak punya uang untuk menyekolahkan
aku.” Kata Mala lirih. “Padahal aku sebenarnya sangat ingin sekolah agar aku
bisa membaca dan menulis.”
“Aku
juga tidak sekolah. Tapi ibuku setiap malam mengajarkan aku membaca menulis.”
“Kau
bisa membaca dan menulis?”
“Ya.
Aku bisa membaca, menulis dan berhitung. Kalau kau mau ikut belajar, datanglah
setiap sore kemari. Ibuku pasti senang mengajarimu membaca menulis dan
pengetahuan lain.” Adela tersenyum menatap Mala yang kini sudah menjadi
sahabatnya.
“Benarkah?”
tanya Mala tak percaya.
“Ya.
Mari kita temui ibuku. Kita tanyakan apakah ibu bisa mengajarimu membaca,
menulis dan berhitung?” kata Adela.
Kedua
gadis kecil itu berlarian menuruni bukit menuju pondok. Ibu Adela tengah
membuat keju ketika keduanya masuk melalui pintu belakang pondok.
“Bu,
apakah Mala boleh ikut belajar membaca, menulis dan berhitung pada ibu? Mala
tidak sekolah seperti aku tapi dia ingin juga bisa membaca, menulis dan
berhitung.” Kata Adela.
“Tentu
saja. Datanglah setiap sore kemari, Mala. Sekarang Adela punya teman belajar,
jadi dia tidak akan merasa bosan lagi bila sedang belajar.”
“Ibu,
terima kasih. Saya sudah lama sekali ingin belajar membaca, menulis dan
berhitung.” Kata Mala gembira.
Ibu
Adela tersenyum. “Belajar yang rajin. Walaupun kalian tidak sekolah, jadilah
anak yang pintar dengan belajar sendiri.”
Bukan
main senangnya perasaan Mala mendengar ucapan ibu Adela. Sudah lama sekali dia
ingin sekali belajar membaca, menulis
dan berhitung. Walaupun dia tidak bersekolah, namun dia ingin sekali bisa pintar
seperti teman-temannya yang lain. Bila ada kemauan selalu ada jalan.
“Bu,
mulai sore ini aku akan pergi kerumah Adela.” Kata Mala begitu pulang dan masuk
kedalam pondoknya.
“Ada
apa?” tanya ibunya yang tengah sibuk bekerja didapur membuat keripik pisang dan
keripik singkong.
“Ibunya
Adela wanita pintar. Adela diajari ibunya menulis, membaca dan berhitung. Adela
walaupun tidak sekolah sudah pintar sekali membaca, menulis dan berhitung. Tadi Adela menawari
aku seandainya aku juga ingin belajar
pada ibunya. Ternyata ibunya pun mau mengajari aku membaca, menulis dan
berhitung.” Kata Mala.
“Oh,
baik sekali ibu Mirna. Belajarlah yang baik pada ibu Mirna. Anggaplah beliau
sebagai gurumu.” Kata ibu. “Oh ya, apakah Adela tidak bersekolah?”
“Tidak.
Dia seperti aku menjadi penggembala kambing.”
“Ah,
kenapa? Padahal Mirna sendiri dulu bersekolah sampai ke kota.”
“Aku
tidak tahu. Mungkin memang Ibu Mirna ingin mengajar sendiri pada Adela atau
memang Adela sendiri yang tidak ingin bersekolah.”
Ibu
menghentikan pekerjaannya dan menatap Mala. Mata ibu mendadak basah.
“Kenapa,
Bu.” Tanya Mala.
“Mala,
sebenarnya ibu ingin engkau bersekolah yang tinggi. Ibu ingin engkau pintar.
Namun ibu tidak memiliki biaya untuk menyekolahkanmu. Ibu selalu berdoa agar
engkau bisa menjadi anak pintar. Sekarang doa ibu terkabul. Semoga ini sebagai
jalan buatmu untuk masa depanmu. Walaupun engkau tidak duduk dibangku sekolah
seperti teman-temanmu yang lain, namun engkau tetap bisa membaca, menulis dan
berhitung. Belajarlah dengan sungguh-sungguh, Nak.” Kata Ibunya.
Mala
mengangguk. “Ya, bu.” Sahutnya.
Mala
duduk didekat ibunya. “Ibu Mirna juga
pintar membuat keju. Tadi aku diberi sepotong keju oleh Adela. Rasanya enak
sekali. Hanya saja membuatnya pasti sangat rumit.”
“Keju.”
“Ya,
keju. Makanan orang kota. Menurut Adela, Ibu Mirna dulu waktu dikota pernah
lama tinggal ditempat peternakan sapi dan kambing. Disana Ibu Mirna belajar
memelihara sapi dan kambing. Juga belajar memerah susu dan membuat keju.
Sekarang setelah kembali pulang kedesa, ibu Mirna mengajarkan Adela bagaimana
cara memelihara kambing, memerah susu dan membuat keju.” Cerita Mala.
Ibu
terlihat berpikir sejenak. “Kalau tidak salah, dulu Ibu Mirna memang menikah
dengan anak seorang peternak sapi dan kambing yang kaya di kota. Yah, mungkin
dulu ibu Mirna ketika menikah dulu belajar banyak dari mertuanya.” Kata ibu.
“Nanti
juga saya ingin belajar memerah susu dan membuat keju, Bu. Sayangnya kambing
yang kita pelihara bukan kambing yang menghasilkan susu.”
Ibu
tersenyum. “Kau gadis kecil yang luar biasa buat ibu. Ibu sangat bangga padamu.
Bila kau memang ingin memelihara juga kambing yang bisa menghasilkan susu, kau
bisa menukar beberapa ekor kambingmu dengan kambing jenis yang menghasilkan
susu. Harga kambing itu pastinya jauh lebih mahal.”
Mala
termenung sejenak. “Rasanya sayang bila saya harus menukar kambing-kambing saya
dengan kambing lain. Kambing-kambing kita banyak yang membeli untuk diambil
dagingnya.”
“Nah,
kau dan Adela menjadi penggembala kambing untuk tujuan yang berbeda. Kau
tujuannya memelihara kambing untuk
dijual dan diambil dagingnya, sementara Adela memelihara kambing untuk diambil
susunya.”
“Ya,
Bu.” Mala tersenyum.
Mala
bangkit. “Sore ini aku akan kerumah Adela lagi.”
“Ya.”
Sahut ibunya sambil melanjutkan kembali pekerjaannya membuat keripik pisang dan
keripik singkong. Untuk menopang hidup ibu setiap hari membuat keripik pisang
dan kering singkong dan menjajakannya berkelililing desa.
Sore
itu Mala datang kerumah Adela. Ibu Adela bernama Mirna, seorang wanita yang
cantik, pintar, sabar dan telaten. Dia mengajarkan membaca, menulis dan berhitung pada Mala dari awal. Sementara
Adela sudah pintar membaca, menulis dan berhitung. Adela mempunyai beberapa
buah buku bacaan dan mereka sering membacanya bersama-sama. Adela mengajarkan
pada Mala beberapa kata dan kalimat yang tidak dimengertinya. Belajar itu
ternyata sangat menyenangkan, apalagi dibimbing oleh seorang guru yang baik dan
telaten seperti Ibu Mirna. Hampir setiap sore Mala selalu datang ke pondok
Adela. Kecuali hari minggu libur. Seperti kata Ibu Mirna, bila ke pondok Adela,
Mala mengambil jalan dibelakang kantor desa. Ternyata benar, melalui jalan
dibelakang kantor desa, ke pondok Adela lebih dekat. Ibunya ikut merasa gembira
melihat Mala kini sudah bisa membaca, menulis dan berhitung.
“Ibu
Mirna baik sekali. Jangan lupakan beliau, beliau adalah gurumu, Mala.” Kata ibunya
setelah mendengarkan cerita Mala bagaimana Ibu Mirna mengajarinya membaca,
menulis dan berhitung.
“Ya,
Bu. Aku sangat kagum pada Ibu Mirna. Beliau pintar sekali. Bahkan beliau bukan
hanya pintar membaca, menulis dan berhitung saja. Beliau juga pintar membuat
keju dan aneka macam kue kering.” Sahut Mala.
Suatu
hari Mala tidak melihat Adela menggembalakan kambingnya. Mala memburu pondok
Adela. Ibu Mirna tengah menjerang air panas diatas tungku.
“Adela
sakit. Dia deman semalaman.” Kata Ibu Mirna ketika melihat Mala.
“Bolehkah
aku menengoknya?” tanya Mala.
“Tentu
saja. Adela tengah berbaring dikamarnya.”
Mala
masuk kekamar Adela.
“Mala,
aku tidak bisa menggembalakan kambing. Aku sakit. Semalam tubuhku demam dan
menggigil.” Kata Adela ketika melihat Mala.
“Aku
bisa menggantikanmu menggembalakan kambing-kambingmu selama kamu sakit.” Kata
Mala.
Mala
mengeluarkan kambing-kambing dari kandangnya. Kambing-kambing itu berlarian
gembira menuju tempat biasa mereka makan rumput. Sesekali Mala berteriak cemas
ketika melihat beberapa ekor kambing menaiki tebing dan mengembik dari atas
sana.
“Ah,
jangan! Turun! Turun!” teriak Mala cemas.
Dia
khawatir kambing-kambing itu akan terpeleset jatuh dan cedera.
“Mala,
biarkan saja! Nanti juga mereka akan turun sendiri.” Teriak Adela dari jendela
kamarnya.
“Ah,
kamu sedang sakit! Sebaiknya kamu istirahat saja. Biarkan Mala yang
menggembalakan kambing-kambing kita.” Tegur nenek.
“Aku
tidak bisa berbaring terus, Nek. Aku sudah sembuh. Aku tidak demam dan
menggigil lagi setelah minum ramuan dari nenek.” Sahut Adela.
“Ah,
benarkah?” tanya ibunya sambil meraba kening Adela. Ternyata benar demam Adela
sudah turun. Kini sudah tidak panas lagi.
“Tapi
sebaiknya kau beristirahat dulu, Adela. Kau harus benar-benar sembuh jangan
keluar rumah dulu.” Kata nenek lagi.
“Aku
sudah sembuh, Nek.” Sahut Adela sambil mengganti bajunya dengan baju sederhana
yang biasa dia pakai bila tengah mengembalakan kambingnya atau bekerja
dikandang kambing memerah susu.
“Hati-hati!
Jangan pergi terlalu jauh.” Pesan ibunya.
Adela
menghampiri Mala. Keduanya asyik bermain sambil menggembalakan kambing-kabing
mereka. Udara siang semakin panas. Keduanya makan bekal masing-masing dan
saling bercerita.
“Kapan
kau main kerumahku?” tanya Mala. “Sesekali kau harus pergi kedesa dan bertemu
dengan penduduk desa.”
“Ya,
nanti aku akan main kerumahmu.” Kata Adela.
Matahari
bersinar semakin terik. Sudah saatnya pulang.
Sore
itu Mala pergi kembali kerumah Adela seperti biasanya. Dia melihat Adela sudah
menunggunya.
Sore
itu Mala belajar sungguh-sungguh. Dia menemukan kegembiraan ketika akhirnya dia
sudah bisa membaca dan menulis. Adela pun kelihatannya gembira melihat Mala
sudah semakin lancar membaca dan tulisannya semakin bagus.
“Kamu
mendapatkan kemajuan yang cukup cepat, Mala.” Puji Mirna. “Kau sekarang sudah
bisa membaca, menulis dan berhitung.
Teruslah belajar agar ilmu yang kau dapat tidak hilang dan lupa lagi.”
“Ya,
Bu. Terima kasih sudah mengajari saya.” Kata Mala gembira.
Adela
mengambil sebuah buku dari dalam lemari dan memberikannya pada Mala.
“Buku
ini untukmu. Cerita-ceritanya sangat menarik. Kau bisa membacanya menjelang
tidur. Jadi kau tidak akan lupa lagi dengan pelajaran membaca yang sudah kau
pelajari. Dan ini buku tulis dan pulpennya. Masih baru. Kau teruskan belajar
menulis disini. Buatlah cerita dengan begitu kau tetap belajar menulis. Dan
tulisanmu pasti akan semakin bagus bila
kau terus menulis.”
“Terima
kasih, Adela. Kau baik sekali.”
“Terima
kasih juga kau sudah menjadi temanku yang baik.” Kata Adela.
“Ibu
kita ketika masih kecil berteman juga.” Kata Mala.
“Siapa
nama ibumu?” tanya Mirna.
“Tatik.”
“Tatik?
Ah, tentu saja aku masih ingat. Tatik teman masa kecilku dulu. Salamku pada
ibumu. Kapan-kapan aku akan berkunjung kerumahmu.”
“Ya,
Bu.”
Mala
pulang dengan gembira. Dia memperlihatkan buku bacaan dan buku tulis dan pulpen
pemberian Adela.
“Besok
jangan lupa membawa dua bungkus keripik pisang dan singkong buat ibu Mirna.
Sampaikan salam ibu padanya.”
“Ya,
bu.”
Ibu
Mirna gembira menerima kiriman keripik pisang dan singkong.
“Jadi
ibumu berjualan keripik pisang dan singkong?”
“Ya,
ibu menjajakannya keliling desa. Hampir tiap hari jualannya habis terjual.”
“Sampaikan
salamku buat ibumu.” Kata Ibu Mirna.
Mala
bergegas pulang. Hujan turun dengan derasnya. Dia senang hujan turun karena
rumput akan hijau lagi setelah tersiram hujan. Namun dia akan tetap
menggembalaan kambing-kambingnya dilereng bukit dekat mata air itu karena
rumput disana lebih subur dan lebih segar. Dia memperhatikan sejak
kambing-kambingnya makan rumput dilereng bukit dekat mata air itu,
kambing-kambingnya terlihat lebih sehat dan gemuk. Dan susu yang dihasilkannya
pun lebih banyak.
Persahabatan
Mala dengan Adela tetap berlangsung hingga mereka dewasa. Walaupun keduanya tidak bersekolah
namun mereka pintar membaca dan menulis. Ilmu yang mereka dapatkan bukan dari
bangku sekolah namun dari seorang wanita yang menjadi guru mereka, seorang
wanita yang pintar, sabar dan sangat telaten dalam mengajar pada mereka.
Mala
menjadi peternak kambing. Kambing-kambingnya semakin berkembang biak dan
semakin banyak jumlahnya. Banyak pedagang kambing dari kota yang membeli
kambing dari Mala untuk dipotong dan dagingnya dijual dipasar di kota.
Sementara
Adela mengembangbiakan kambingnya untuk menghasilkan susu kambing.
Kambing-kambing Adela berkembang biak dan jumlahnya semakin banyak. Adela menjadi pemasok susu kambing yang dijual berkeliling oleh salah seorang
pegawainya ke kota. Pondok kecilnya
sudah diperbaiki dan menjadi sebuah rumah kayu yang besar dan bagus. Ibu Kandang
kambingnya pun sudah berubah. Tidak lagi kandang kambing kecil tapi kandang
kambing yang besar dan berisi puluhan ekor kambing yang menghasilkan susu
segar. Sebagian dari susu kambing itu dijual berupa susu kambing segar yang
dijual dalam botol. Sebagian lagi susu kambing itu diolah menjadi keju. Keju
buatan Adela sangat enak dan gurih. Penduduk banyak yang mendatangi pondok
dilereng bukit itu untuk membeli susu kambing segar dan keju.
Ibu
Tatik dan Ibu Mirna usianya sudah semakin tua namun mereka hidup tenang
menyaksikan gadis kecil mereka telah menjadi gadis remaja yang pintar dan
cekatan dalam menjalankan usahanya. Sesekali Ibu Tatik dan Ibu Mirna saling
berkunjung satu sama lain dan menjadi dua orang sahabat seperti halnya kedua
anak mereka, Mala dan Adela.
Ka, saya Fauzy dari Sumedang, di usia dewasa ini saya ingin sekali saat berkumpul untuk silaturahmi di hari raya idul Fitri ini menggunakan batik Sumedang, dimana ya saya bisa mendapatkannya? Terimakasih.
BalasHapusDi jalan Cipada Sumedang ada galery Batik Sumedang. Silahkan kesana ya.
Hapus