Saya berasal dari keturunan petani. Dari mulai
Aki, Nini, Buyut, Bao hingga terus keatas ke leluhur saya, mereka semuanya
adalah petani tulen. Artinya pekerjaan mereka semua adalah petani. Petani padi,
itu pekerjaan yang mereka yang utama. Lalu setelah selesai bertanam padi,
mereka bertanam yang lain, palawija, pisang, buah-buahan, atau sayuran untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Juga menanam pohon yang hasilnya sering
digunakan untuk kebutuhan tempat tinggal. Selain itu, sebagian dari mereka ada
yang beternak ayam, memelihara ikan dikolam dan pekerjaan lain yang tidak jauh
dari pekerjaan sebagai petani. Mereka juga memelihara lembu. Jaman dulu, hal
yang lumrah apabila petani memelihara beb,erapa ekor lembu. Lembu itu digunakan
untuk membajak sawah. Demikian pula dengan Aki, Nini dan buyut saya, hampir
semuanya memiliki beberapa ekor lembu. Saat masa kecil saya, saya masih ingat,
apabila lembu-lembu itu telah selesai membajak sawah, maka Aki akan memandikan
lembu-lembu itu dimasukan kedalam kolam. Apabila saya duduk berjongkok ditepi
kolam sambil memandangi lembu-lembu yang tengah dimandikan oleh Aki,
lembu-lembu itu akan memandang saya juga.
Namun mulai dari ayah saya kebawah, maksudnya
pada anak-anaknya, mulailah pekerjaan berubah. Ayah saya seorang pegawai negeri.
Demikian pula dengan keenam putra-putrinya, termasuk saya.
Saya sendiri walaupun seorang pegawai negeri,
rasa-rasanya saya memiliki jiwa seorang petani. Minimal saya suka dengan
pekerjaan seorang petani. Saya suka sawah. Saya sangat suka memandang hamparan
padi disawah. Saya suka melihat petani yang tengah bekerja di sawah. Saya suka
melihat beragam hasil pertanian. Mungkin dari rasa suka-suka itu yang membuat
saya kemudia terpikir untuk kelak apabila saya telah pensiun, saya pun akan
menjadi petani.
Kenyataannya, saat masa pensiun masih cukup
lama, masih sepuluh tahunan lagi, saat itu, saya ternyata mulai merintis
menjadi seorang petani. Walaupun sawah masih digarap oleh penggarap sawah dan
tiap panen bagi hasil antara pemilik sawah dan penggarap sawah, namun itu sudah
berarti bahwa saya sudah mulai menjadi petani.
Apakah lahan sawah itu saya beli sendiri? Tidak.
Sawah itu adalah peninggalan Aki dan Nini saya yang kemudian diwariskan pada
kedua orangtua saya, lalu diwariskan kembali pada saya. Aki Nini mendapatkan
sawah itu dar Buyut saya. Jadi artinya sawah itu adalah sawah turun temurun.
Apakah saya sudah bisa menjadi petani padi?
Belum. Menjadi petani tidak semudah yang ada dalam benak saya. Saya masih harus
banyak belajar. Dan proses belajar itu tidak mudah dan membutuhkan banyak waktu
yang rasa-rasanya sama panjangnya dengan proses pendidikan formal yang saya
tempuh.
Untuk menggarap sawah, sepetak, dua petak atau
sehamparan sawah yang luas, prosesnya pastilah sama. Dan itu bukan sebuah
pekerjaan mudah. Hanya petani tulen, yang sudah terbiasa menjadi petani, yang
akan mengganggap pekerjaan itu sebagai hal yang biasa. Dari mulai menyemai
benih, membajak sawah (umumnya sekarang sudah memakai traktor), mengairi sawah,
menanam bibit padi, menyiangi rumput
yang mengganggu tanaman padi, memberi pupuk, menunggu padi dari serangan hama
dan burung, hingga akhirnya menunggu padi yang menghijau mulai menguning dan
masa panen pun tiba. Berapa bulan melakukan semua pekerjaan itu? Rata-rata lima
bulan. Bila sedang beruntung, padi menguning dan dipanen, petani akan menuai
padi dengan penuh harapan dan kegembiraan, semua jerih payah mereka selama
berbulan-bulan akhirnya memetik hasil. Namun bagaimana bila hasil pekerjaan
mereka tidak seperti yang diharapkan? Padi diserang hama, padi tidak tumbuh
dengan baik, padi dilanda kemarau sehingga air tidak mencukupi kebutuhan dan
segala macam permasalahan yang dihadapi petani, saat itulah petani diuji
kesabarannya. Jerih payah dan uang yang sudah mereka keluarkan tidak membuahkan
hasil dan hal itu jarang terjadi menyurutkan semangat mereka untuk tetap
bertani dan tetap menanam padi dimusim yang akan datang.
Semua pekerjaan adalah mulia. Dan bagi saya
seorang petani mendapat tempat tersendiri dalam hati saya. Pekerjaan yang luar
biasa bagi saya. Tidak ada petani berarti tidak ada makanan. No Farmer, No Food.
Betul. Sampai bolak balik saya memikirkan kalimat itu.
Bayangkanlah, dari sejak kita bangun dipagi hari
hingga malam menjelang, tak ada pekerjaan petani yang tidak bersentuhan dengan
urasan perut kita. Bangun tidur, kita
menyeduh secangkir kopi yang mengepul panas. Kopi hitam atau kopi yang telah
dikemas menjadi kopi creamer, kopi itu berasal dari perkebunan kopi yang
ditanam petani. Gula pasir yang membuat
secangkir kopi kita terasa manis, gulanya berasal dari tebu yang ditanam petani
tebu. Lalu lanjut pada acara masak memasak untuk sarapan pagi, sarapan siang,
bahkan makan malam kita sekeluarga. Beras yang kita tanak, beras itu berasal
dari padi, dan padi itu ditanam oleh petani padi. Kita memasak sayuran, semua
sayuran itu berasal dari sayuran yang ditanam petani sayuran. Bumbu yang kita gunakan untuk memasak,
semuanya berasal dari petani. Bawang merah, bawang putih, tomat, cabe,
lengkuas, merica, dan segala macam bumbu masakan yang membuat masakan kita
menjadi enak dan lezat serta disukai seluruh anggota keluarga, semuanya berasal
dari yang ditanam para petani.
Jadi masihkah kita tidak menghargai pekerjaan petani?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar