Rabu, 23 Oktober 2013

Tungku Jadul

     Menanak nasi jaman sekarang mudah dan cepat. Itu biasa, karena jaman sekarang begitu banyaknya alat menanak nasi modern yang bisa menanak nasi dengan mudah dan cepat. Yang baru terasa luar biasa adalah melihat orang menanak nasi lama dan berkeringat, walaupun itu adalah pemandangan yang biasa dimasa lalu jauh sebelum alat menanak nasi menggempur pasaran dan membuat orang perlahan-lahan melupakan cara menanak nasi secara tradisional.



Terbiasa hidup dalam kondisi yang dipengaruhi suasana modern, barangkali tidak banyak orang yang ingin menghabiskan waktu menunggu nasi masak ala jaman dahulu. Namun bila sesekali menemukan hal itu, ternyata sangat mengasyikan. Terutama buatku. Kadang bosan dengan suasana yang itu-itu saja, tak ada salahnya sesekali berganti suasana, bukan? Jadi sesekali, akupun ingin merasakan suasana yang berbeda. Dan bila ingin merasakan suasana yang berbeda, tentu harus keluar rumah. Dan rumah nenek yang didesa adalah salah satu pilihan bila sedang senggang... 


Walaupun alat menanak nasi sudah menggempur pasaran hingga ke desa-desa dan orang mudah mendapatkan alat menanak nasi yang cepat dan mudah, tapi apakah semua penduduk desa sudah beralih ke alat-alat menanak nasi modern yang cepat dan mudah itu? Ternyata tidak. Masih banyak penduduk desa yang menggunakan tungku jaman dulu dan kayu bakar untuk menanak nasi. 


Di desa asalku, walaupun sebagian penduduk sudah banyak yang memiliki peralatan modern di dapur, namun di rumah nenekku ini masih  mempertahankan keberadaan tungku ini. Yang jadul yang menarik. Itu menurutku. Dari mulai mencuci beras hingga menjadi nasi yang siap dinikmati tenyata sangat lama dan berkeringat. Belum lagi, menanak nasi ala jaman dulu ini harus diikuti aktifitas lain, menjaga api tungku agar tetap menyala dengan meniup selongsong kayu yang diarahkan keperapian dibawah tungku, juga menahan mata dari asap tebal yang memenuhi dapur dan tentu saja hawa panas yang menyerang dan membuat tubuh seperti dibanjiri keringat.


Mungkin ini rahasianya kenapa apabila makan di dapur tradisional ini terasa enak dan nikmat. Itu menurut pikiranku. Karena perut yang sudah lapar masih harus menunggu nasi masak. Dan ditambah udara dapur yang panas dan berasap, melengkapi suasana perut yang lapar. Menunggu dengan sabar hingga akhirnya nasi masak. Itu yang membuat makan menjadi terasa nikmat. (walaupun pastinya nasi ditanak dengan peralatan modernpun tetap terasa nikmat). Ada suasana yang berbeda yang tercipta saat menunggu nasi masak dari tungku jaman dulu.


Sambil menunggu nasi matang, tentu saja sambil menyiapkan lauk pauknya. Apa lauk pauk yang paling tepat menemani suasana tradisional ini? Lauk asin dan sambal pedas serta lalapannya tentu saja menjadi teman nasi yang tak akan pernah terlewatkan. Lauk asin dibakar, bukan digoreng. Dibakarnya dengan cara dibungkus dengan daun pisang, lalu ditaruh diatas potongan genteng dan ditaruh diatas tungku. Lauk asin lainnya dimasukan kedalam abu yang masih panas dan tak lama keluar lagi dalam keadaan sudah matang. Lalapan yang akan menemani sambal dipetik dadakan dari kebun disamping rumah. Terong, surawung, menjadi teman yang pas untuk secowet sambal terasi pedas. Ketika nasi dan lauk pauknya akhirnya matang dan siap disantap, jadilah acara makan terasa sangat nikmat dan mengasyikan. Itu setidaknya menurut pendapatku… Yang jelas, tungku jadul tetap aku suka dan akan tetap membuatku merasa kangen untuk kembali menikmati suasana itu…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar