Sabtu, 12 Oktober 2013

Air Dibalik Gunung Batu





Musim kemarau kali ini sangat panjang sekali. Hampir delapan bulan lamanya musim kemarau melanda desa Sindangsari.  Para petani  mulai resah memikirkan sawah  mereka yang kekurangan air.  Panen terakhir  sudah hampir setahun lalu. Musim tanam yang seharusnya sudah bisa segera dikerjakan jadi terhambat karena tidak adanya air untuk mengairi sawah mereka. Tanah-tanah sudah retak. Mata air yang menjadi sumber kehidupan bagi seluruh warga sudah surut. Keadaan itu membuat banyak warga desa yang mulai dilanda kelaparan karena tidak ada lagi makanan yang bisa mereka makan. Pak Sujana, kepala desa Sindangsari sangat galau memperhatikan keadaan desanya. Setiap kali dia berkunjung kerumah warga desanya, yang dilihatnya adalah warga yang tengah kesulitan dengan kebutuhan pangan. Hingga akhirnya pak Sujana mengumpulkan warga desanya. Mereka akan mencari sumber mata air baru.
“Dimana kita bisa mendapatkan sumber mata air baru?” Tanya Parja, salah seorang warga. “Desa kita dikelilingi gunung-gunung berbatu.”
“Ya. Kita tidak lagi memiliki sumber mata air.” Sahut Amir.
Pak Kades menatap wajah warga desa yang menghadiri pertemuan di balai desa. “Wargaku sekalian, kesulitan yang melanda desa kita ini adalah kesulitan kita semua. Dan kita semua harus memikirkan jalan keluarnya.” Kata pak Kades.
“Betul, desa kita dikelilingi gunung berbatu. Gunung cadas yang tinggi dan terjal. Dan kita tidak memiliki lagi mata air selain mata air yang saat ini menjadi sumber mata air bagi seluruh penduduk desa kita. Namun dibalik gunung batu itu salah seorang warga kita yaitu Bardi telah menemukan sebuah sumber mata air yang akan bisa memenuhi kebutuhan kita semuanya.”
Warga melongo mendengar penjelasan kepala desa mereka. Mereka belum faham dengan maksud ucapan pak kades.
Pak Kades menarik napas dalam. “Saya tahu bahwa hal ini sangat sulit. Menembus bukit berbatu bukan hal yang mudah. Namun ini satu-satunya yang harus kita kerjakan. Mendobrak gunung berbatu itu dan membuat terowongan untuk menarik air dari sumber mata air dibalik gunung batu itu sehingga mengalir ke desa kita.”
Warga masih diam. Seakan bingung.
“Apakah hal itu mungkin, pak Kades?” Tanya Amir dengan wajah ragu.
“Ya. Mungkin.” Sahut pak kades dengan suara pasti.
“Mendobrak bukit berbatu?” Tanya Amir sekali lagi.
“Ya.” Sahut pak Kades mantaf.
Warga saling bertukar pandang. Terbayang oleh mereka gunung berbatu yang tak akan mungkin digali. Walaupun dibelakang gunung itu ada sebuah harapan baru untuk desa mereka.
“Bagaimana?” Tanya pak Kades.
“Saya tidak setuju, pak kades. Hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga saja.” Sahut Barda.
Ucapan Barda disambut beberapa anggukan dari beberapa warga desa.
“Kita akan bekerja bersama-sama dan bergotong royong.” Kata pak kades.
“Saya sependapat dengan kata-kata kang Barda bahwa pekerjaan itu hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga saja.” Kata Parmin sambil bangkit dan tanpa bicara lagi langsung pergi keluar dari balai desa. Tindakan Parmin diikuti oleh beberapa warga desa. Mereka satu persatu keluar dari balai desa.
Pak kades hanya diam saja memperhatikan beberapa warga desanya yang meninggalkan balai desa. Didalam ruangan itu sekarang hanya ada tersisa duabelas orang lagi.
“Bagaimana menurut pendapat kalian?” Tanya pak kades.
“Kami sepakat dengan pendapat pak kades. Kita akan bekerja bergotong royong menembus gunung berbatu itu dan menarik air dari balik gunung itu.” Kata Sarja. Ucapan Sarja disambut anggukan yang lainnya yang masih ada dibalai desa.
“Baiklah kalau begitu, kita tidak akan membuang-buang waktu lagi. Esok pagi kita mulai bekerja. Dengan peralatan seadanya yang kita miliki.” Ucap pak Kades dengan suara tersendat menahan haru.
Esok paginya pak kades dan keduabelas warganya berjalan beriringan menuju gunung batu. Mereka langsung bekerja membuat terowongan dengan peralatan seadanya yang mereka miliki. Sementara ibu kades dan beberapa perempuan desa lainnya sibuk membuat makanan didapur untuk para pekerja itu.
Pekerjaan itu bukanlah pekerjaan ringan. Namun semangat warga desa itu ternyata mampu mengalahkan kekerasan cadas gunung itu. Seminggu lamanya pak kades dan sebagian warganya bekerja keras. Pekerjaan mereka sudah menunjukan hasil. Gunung batu itu sudah bisa digali. Warga desa lain yang semula tidak mendukung kegiatan itu berangsur-angsur ikut bergabung sehingga jumlah pekerja semakin bertambah. Dan ibu kades semakin sibuk dibantu perempuan desa lainnya menyiapkan makanan untuk para pekerja itu.
Dihari keduabelas pekerjaan mereka sudah menunjukan hasil. Sumber mata air itu sudah berhasil ditembus. Air yang melimpah membuat para pekerja berteriak bersuka cita. Namun pekerjaan belum selesai. Masih dibutuhkan bambu sebagai talang air yang akan mengalirkan air dari mata air itu ke desa mereka. Pak kades berembug dengan warga desa. Membagi-bagi pekerjaan. Sebagian membangun sebuah bak besar yang akan menampung air didesa mereka. Dan sebagian lagi membuat talang air dari bambu. Hampir sebulan warga bekerja secara bergotong royong. Akhirnya air yang mereka butuhkan itu bisa mengalir ke desa mereka. Bak penampungan air menjadi sumber kebutuhan air sehari-hari bagi seluruh warga desa. Dari sumber mata air  itu dialirkan juga kebutuhan air untuk sawah mereka.
Bukan main bahagia dan terharunya pak kades melihat air kini sudah mengalir, memenuhi kebutuhan warganya.
--- 0 ---

2 komentar:

  1. ceritanya bagus bagus ..aku suka sekali membacanya..makasih ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama2... saya jg senang kalo menulis dan ada yg membacanya.. Salam...

      Hapus